15
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian 218 PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN DI PANGKOH IX, KABUPATEN PULANG PISAU, KALIMANTAN TENGAH M. Anang Firmansyah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jl. G. Obos km 5 Palangka Raya No. HP. 081352738525 E-mail: [email protected] ABSTRAK Perubahan penggunaan lahan alami umumnya berdapak negatif terhadap lingkungan, meskipun tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Survai klasifikasi kesesuaian lahan dapat membantu menyusun arahan pengembangan komoditas dan mengetahui kendalanya guna menilai kelayakan dan juga kelestariannya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Perubahan tata guna lahan dilihat dalam tiga periode sebelum tahun 1980, tahun 1987 dan tahun 2013, sedangkan penetapan kelas kesesuaian lahan dengan mencocokkan persyaratan tumbuh komoditas tanaman dengan karakteristik lahan dalam setiap titik pengamatan. Hasil menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem yang ditandai hilangnya lapisan tanah gambut yang sebelum 1980 masih dijumpai pada jarak 2,5 km dari Sungai Kahayan, maka pada tahun 2003 lapisan gambut hilang dan dijumpai pada jarak 9,5 km dari Sungai Kahayan. Perubahan tutupan lahan yang sebelumnya hutan kini telah berubah menjadi pemukiman hingga perkebunan. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman pangan lebih rendah yaitu kelas S3 (Sesuai Marjinal) hingga N (Tidak Sesuai), sedangkan untuk komoditas tanaman perkebunan lebih tinggi yaitu kelas S2 (Cukup Sesuai) hingga N (Tidak Sesuai). Kelas N umumnya terdapat pada lokasi pengamatan yang memiliki kedalaman gambut 2 meter atau lebih. Kata kunci: kesesuaian lahan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, Pangkoh IX ABSTRACT LAND USE CHANGE AND LAND SUITABILITY CLASSIFICATION IN PANGKOH IX, PULANG PISAU REGENCY, CENTRAL KALIMANTAN. Natural land use change have a negative impact to the environment, although the aim was to improve the welfare of the community. Survey of land suitability classification can be implemented in order to set direction of development areas and determine the constraints in order to assess the feasibility and sustainability. The study was conducted in Pangkoh IX, district of Maliku, Pulang Pisau regency, Central Kalimantan. The land use changes was evaluated during the three years period before 1980, 1987 and 2013, while determination of land suitability class by matching the crop requirements of food crops with soil characteristics within each ground point of observation. The results show that ecosystem has been changed, with loss of peat soil layer. This is still found before 1980 at a distance of 2.5 km from Kahayan river. However, in 2003, the

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KLASIFIKASI … · The actual land suitability classes for food crops were lower namely class S3 (marginally suitable) to N (not suitable), ... yang

  • Upload
    dotuyen

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

218

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KLASIFIKASI

KESESUAIAN LAHAN DI PANGKOH IX, KABUPATEN PULANG

PISAU, KALIMANTAN TENGAH

M. Anang Firmansyah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jl. G. Obos km 5 Palangka Raya

No. HP. 081352738525 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Perubahan penggunaan lahan alami umumnya berdapak negatif terhadap lingkungan, meskipun tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Survai klasifikasi kesesuaian lahan dapat membantu menyusun arahan pengembangan komoditas dan mengetahui kendalanya guna menilai kelayakan dan juga kelestariannya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Perubahan tata guna lahan dilihat dalam tiga periode sebelum tahun 1980, tahun 1987 dan tahun 2013, sedangkan penetapan kelas kesesuaian lahan dengan mencocokkan persyaratan tumbuh komoditas tanaman dengan karakteristik lahan dalam setiap titik pengamatan. Hasil menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem yang ditandai hilangnya lapisan tanah gambut yang sebelum 1980 masih dijumpai pada jarak 2,5 km dari Sungai Kahayan, maka pada tahun 2003 lapisan gambut hilang dan dijumpai pada jarak 9,5 km dari Sungai Kahayan. Perubahan tutupan lahan yang sebelumnya hutan kini telah berubah menjadi pemukiman hingga perkebunan. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman pangan lebih rendah yaitu kelas S3 (Sesuai Marjinal) hingga N (Tidak Sesuai), sedangkan untuk komoditas tanaman perkebunan lebih tinggi yaitu kelas S2 (Cukup Sesuai) hingga N (Tidak Sesuai). Kelas N umumnya terdapat pada lokasi pengamatan yang memiliki kedalaman gambut 2 meter atau lebih. Kata kunci: kesesuaian lahan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, Pangkoh

IX

ABSTRACT

LAND USE CHANGE AND LAND SUITABILITY CLASSIFICATION IN PANGKOH IX, PULANG PISAU REGENCY, CENTRAL KALIMANTAN. Natural land use change have a negative impact to the environment, although the aim was to improve the welfare of the community. Survey of land suitability classification can be implemented in order to set direction of development areas and determine the constraints in order to assess the feasibility and sustainability. The study was conducted in Pangkoh IX, district of Maliku, Pulang Pisau regency, Central Kalimantan. The land use changes was evaluated during the three years period before 1980, 1987 and 2013, while determination of land suitability class by matching the crop requirements of food crops with soil characteristics within each ground point of observation. The results show that ecosystem has been changed, with loss of peat soil layer. This is still found before 1980 at a distance of 2.5 km from Kahayan river. However, in 2003, the

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

219

peat layer became disappear and found at a distance of 9.5 km from the river. In relation to land cover changes, this area was previously forest and it has been changed into settlement to estate areas . The actual land suitability classes for food crops were lower namely class S3 (marginally suitable) to N (not suitable), while for plantation crops, they have higher class namely S2 (moderately suitable) to N (not suitable). Class N is mainly found in the observation areas that have peat depth more than 2 meters. Key words: land suitability, food crops, plantation crops, Pangkoh IX.

PENDAHULUAN

Pengembangan komoditas pertanian berupa komoditas tanaman pangan

dan tanaman perkebunan memerlukan kajian terhadap persyaratan tumbuh

tanaman, antara lain karakteristik iklim, ketersediaan air hingga manajemen

lahan. Semakin banyak karakteristik tersebut mendukung pengembangan

komoditas yang akan ditanam, maka input yang diberikan relatif rendah dan

produksi relatif tinggi, serta sustainable dari sisi kelestarian lingkungan.

Sebaliknya, jika karakteristik tersebut banyak yang tidak mendukung, maka input

dalam mengelola lahan semakin besar agar produksi cukup baik, serta

kelestarian lingkungan rawan terdegradasi.

Lokasi Pangkoh IX tergolong lahan rawa. Noor (2004) rawa adalah

kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok

masuk (intake) ke pedalaman sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya

pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa sebagai lahan yang mendapatkan

pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada musim hujan lahan

tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering

bahkan muka air tanah turun mencapai > 50 cm dari permukaan tanah.

Tanah gambut tergolong sangat marjinal, berbagai upaya untuk

meningkatan produktivitas tanah tersebut banyak dikaji. Masganti et al., (2005)

ameliorasi tanah gambut menggunakan CaCO3 43,8%, abu gambut 43,8% dan

abu gambut 2,5% maka kadar P dan kadar Ca, Mg dan K tertukar akan

meningkat pada tanah gambut saprik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan ekosistem sebelum

dan sesudah ada penempatan transmigrasi serta penetapan kelas kesesuaian

lahan untuk tanaman pangan dan tanaman perkebunan di Pangkoh IX,

Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

220

METODOLOGI

Penelitian dimulai pada bulan Mei – Agustus 2013 di wilayah UPT

Pangkoh IX Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan

Tengah. Lokasi penelitian dilakukan sejajar dengan saluran utama Pangkoh IX

dari hilir hingga hulu, yang melintasi 3 desa, yaitu Desa Purwodadi, Desa

Wonoagung, dan Desa Kanamit Barat. Panjang saluran utama sebagai saluran

drainase yang bermuara di Sungai Kahayan tersebut sembilan kilometer.

Tipologi luapan lahan rawa di areal survai umumnya tergolong tipologi C, yaitu

pasang besar dan pasang kecil tidak masuk kelahan namun permukaan air tanah

pada kedalaman 50 cm atau kurang.

Penelitian ini terbagi dua tahapan, yaitu: perubahan ekosistem dan

klasifikasi kesesuaian lahan. Penelitian tahap pertama menginventarisasi

perubahan ekosistem dilakukan dalam tiga bagian: 1) dari sebelum dibukanya

lokasi tersebut untuk transmigrasi berdasarkan wawancara narasumber

masyarakat lokal yang berdiam sebelum unit pemukiman transmigrasi Pangkoh

IX dibuka sekitar tahun 1980-an hingga kondisi terakhir saat survai dilakukan, 2)

saat tahun 1987 dimana transmigrasi telah mulai dihuni berdasarkan penelitian

Djaenuddin dan Suwardjo (1987), dan 3) juga berdasarkan kondisi terakhir

berdasarkan survai dan verifikasi lapang secara transek pada tahun 2013. Pada

tahap ke tiga ini juga dilakukan pendugaan Karbon tersimpan (C Stock) di tanah

gambut (bellow ground) menggunakan persamaan Dariah et al. (2013) yaitu Y =

5,534x, dimana Y=C stock (t/ha) dan x=kedalaman gambut (m). Penelitian

tahap kedua adalah penentuan klasifikasi kesesuaian lahan untuk berbagai

komoditas pada beberapa titik pewakil

Kajian yang umum digunakan untuk menentukan pengembangan

komoditas tersebut adalah Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Klasifikasi tersebut

umumnya menggolongkan lahan dalam tingkat ordo sesuai (Suitable) dan tidak

sesuai (Non suitable), sedangkan tingkat kelas maka ordo sesuai terbagi lagi

menjadi tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai

marjinal (S3). Kelas sangat sesuai (S1) lahan tidak mempunyai faktor pembatas

yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor

pembatas lahan tidak akan menurunkan produktivitas lahan secara nyata. Kelas

cukup sesuai (S2) lahan memiliki faktor pembatas, dan faktor pembatas ini

berpengaruh terhadap produktivitas, sehingga memerlukan input, namun

umumnya petani mampu mengatasi kendala ini. Kelas sesuai marjinal (S3)

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

221

lahan mempunyai faktor pembatas berat, memerlukan input lebih banyak

dibandingkan kelas S2 sehingga memerlukan campur tangan pemerintah atau

pihak swasta. Kelas tidak sesuai (N) lahan mempunyai faktor pembatas yang

sangat berat dan sulit diperbaiki. Karakteristik lahan yang umum digunakan

dalam menetapkan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas

adalah temperatur (tc), ketersediaan air (wa), ketersediaan oksigen (oa), media

perakaran (rc), retensi hara (nr), bahaya sulfidik (xs), bahaya erosi (eh), bahaya

banjir (fh), dan penyiapan lahan (lp).

Contoh tanah yang diambil dari lokasi penelitian dianalisis di laboratorium

Balittra Banjarbaru, antara lain: Kapasitas Tukar Kation (KTK), C organik, dan pH

tanah. Karakteristik tanah untuk tanaman pangan diambil pada lapisan 0-30 cm,

sedangkan untuk tanaman perkebunan pada kedalaman 0-60 cm. Sedangkan

karakteristik lainnya dilakukan penukuran langsung dilapang, sedangkan data

sekunder seperti iklim digunakan dari data rata-rata bulanan dari Stasiun

Meteorologi Tjilik Riwut.

Penetapan kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas

adalah mencocokkan karakteristik lahan untuk tanaman pangan dengan kriteria

kebutuhan hidup tanaman mengacu pada Djaennuddin et al. (2001). Kelas

kesesuaian lahan yang digunakan dalam penyusunan klasifikasi kesesuaian

lahan digunakan dalam kondisi kelas kesesuaian lahan aktual atau eksisting

dengan mengacu kepada kondisi lapang saat penelitian dilakukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan Ekosistem

Kurun waktu lebih dari 30 tahun telah menunjukkan perubahan ekosistem

secara nyata. Sebelum ada penempatan pemukiman transmigrasi di wilayah

Pangkoh IX secara umum merupakan hutan belantara yang memiliki jenis tanah

gambut dengan ketebalan gambut diperkirakan 3 meter atau lebih, dan

ketinggian muka air hingga 1 m di atas permukaan tanah. Kondisi tersebut pada

tahun 2013 telah berubah total. Pembuatan saluran sekunder sepanjang 9 km

dengan lebar hingga 30 m telah membuat kehilangan air berlebihan (over

drainaed). Gambut yang sebelum tahun 1980 memiliki ketebalan 3 m ditemukan

pada jarak 2,5 km dari Sungai Kahayan, kini kebanyakan habis. Gambut pada

saat ini mulai ditemukan pada jarak 8,6 km hingga 11,4 km dari Sungai Kahayan.

Penggunaan lahan yang dulu hutan belantara kini telah berubah menjadi lahan

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

222

pemukiman, pekarangan, hingga perkebunan ( Gambar 1, Tabel 1-2).

Gambar 1. Titik transek lokasi penelitian di Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.

Berkurangnya lahan gambut saat tahun 2013 dibandingkan sebelum

tahun 1980 utamanya diduga karena dibuatnya saluran drainase yang membelah

Pangkoh IX. Hardjowigeno (1993) pembuatan saluran drainase tersebut

merupakan upaya awal agar tanah gambut dapat dimanfaatkan untuk pertanian.

Namun demikian pembuatan saluran drainase dilahan gambut menyebabkan

gambut mengalami penyusutan volume, gambut mengering dan mengalami

kebakaran. Kebakaran merupakan peristiwa bencana yang berpotensi merusak

ekosistem gamut secara cepat. Peristiwa kebakaran lahan gambut di Desa

jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau menunjukkan

peristiwa yang sama. Pembuatan saluran drainase menyebabkan gambut

mengering dimusim kemarau dan terjadi kebakaran yang berulang kali pada

tahun 2005, 200, dan 2012. Putung rokok yang menyala nampaknya berpotensi

penyebab kebakaran gambut meluas ( Firmansyah et al., 204)

Penyusutan ketebalan gambut umumnya terjadi setelah terjadinya alih

fungsi dari ekosistem hutan ke non ekosistem hutan. Beberapa lokasi gambut di

Indonesia mengalami hal yang serupa. Di Delta Upang sebelum hutan dibuka

pada tahun 1969 dan setelah hutan dibuka pada tahun 1977 mengalami

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

223

penurunan permukaan tanah gambutnya mencapai 2-5 cm per tahun (Chambers,

1976). Di Demplot ICCTF Jabiren, dengan penggunaan kebun karet umur 5

tahunan dalam kurun waktu pengukuran4 bulan telah mengalami penurunan

permukaan tanah gambut hingga 7 cm pada posisi yang berjarak 25 m dari

saluran drainase dan 3 cm yang berjarak 100m dari saluran drainase

(Firmansyah dan Mokhtar, 2012). Daerah yang mengalami penurunan terbesar

adalah daerah yang digunakan untuk peruntukan pertanian intensif. Hal tersebut

diperkuat oleh penelitian Muntalib et al., (1991 dam Ritung et al., 2013) faktor

yang mempengaruhi penurunan permukaan gambut antara lain: (1) pembakaran

waktu pembukaan dan setelah panen, (2) oksidase karena drainase berlebihan,

(3) dekomposisi dan pengolahan tanah, dan (4) pencucian.

Tabel 1. Perubahan Ekosistem Sebelum tahun 1980 dan Tahun 2013 di UPT Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

No Jarak dari

S. Kahayan (km)

Jenis Tanah (m) Tutupan lahan

< 1980 1987 2013 < 1980 1987 2013

1 2,5 Gambut Mineral Mineral Hutan LU Rumput ternak BH

2 3,7 Gambut Mineral Mineral Hutan LU Semak belukar

3 4,8 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Pekarangan 4 6,1 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Karet TM 5 7,2 Gambut Gambut Mineral Hutan LU Rumput

ternak BH 6 8,6 Gambut Gambut Bergambut Hutan LU Kelapa sawit

TBM 7 9,5 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kelapa sawit

TBM 8 9,9 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Semak

belukar 9 10,3 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kebun

campuran 10 11,4 Gambut Gambut Gambut Hutan LU Kelapa sawit

TBM

Keterangan: LU = Lahan Usaha, BH = Brachiaria humidicola ; TBM = Tanaman Belum Menghasilkan, TM = Tanaman Menghasilkan

Lokasi kajian di wilayah Pangkoh IX terletak di daerah aliran sungai

Kahayan saat ini memiliki pola penyebaran tanah mineral dan tanah gambut.

Lahan yang memiliki tanah mineral umumnya terletak di wilayah yang mendekati

Sungai Kahayan yaitu Desa Purwodadi dan Desa Wonoagung, sedangkan makin

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

224

kearah menjauhi sungai Kahayan yaitu di Desa Kanamit Barat kondisi lahan

umumnya terdiri dari tanah gambut.

Kondisi tersebut menunjukkan degradasi sumber daya lahan, terjadinya

deforestasi alih fungsi hutan menjadi berbagai penggunaan lahan serta

degradasi dengan meluasnya tanah gambut yaang hilangnya. Disisi lain kondisi

ekosistem rawa menjadi lahan kering. Indriyanto (2006) vegetasi yang umum

menyusun hutan gambut merupakan spesies-spesiesyang selalu hijau

(evergreen), antara lain: Alstonia spp., Dyera spp., Durio carinatus, Palaquium

spp., Tristania spp., Eugenia spp., Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,

Dactylocladus stenostachys, Diospyros spp., Myristica spp., dan Gonystylus spp

Dirjen PLA (2006) utan gambut pada umumnya sumber daya lahan yang

ada saat ini kondisinya telah mengalami degradasi baik dalam tahap awal

maupun telah mencapai taraf yang lanjut, akibat praktek pengelolaan yang tidak

sesuai dengan daya dukungnya. Hal itu ditandai akibat adanya deforestasi yang

berdampak lebih lanjut pada kerusakan ekologi (Salim, 2006).

Page and Rieley (1998) lahan gambut tropika memiliki peranan yang

besar dalam fungsi sumber daya alam. Namun pembukaan lahan gambut yang

dimulai dengan penebangan hutan dan pembuatan saluran drainase dan tidak

memahami sifat fisik dan kimia tanahnya akan menimbulkan dampak serius

terhadap lingkungan.

Berdasarkan pengamatan lapang nampak terlihat pembuatan saluran

drainase yang cukup intensif telah menyebabkan air di lahan mengalir ke luar

menuju saluran drainase utama. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan

kondisi drainase, yang semula berdrainase buruk yang sesuai untuk padi

menjadi berdrainase baik yang lebih sesuai untuk tanaman perkebunan.

Perubahan jenis tanaman dari tanaman pangan khusunya padi ke tanaman

perkebunan diakibatkan pembuatan saluran-saluran drainase tidak dilengkapi

pintu air. Kondisi penurunan permukaan air di lahan akibat pembuatan saluran

drainase tersebut menyebabkan gambut mengering dan berpotensitinggi terjadi

kebakaran. Hilangnya tanah gambut memang dipicu oleh pembuatan saluran

drainase yang tanpa dilengkapi pintu air, namun kehilangan yang sangat besar

dan cepat diakibatkan dari kebakaran lahan gambut, baik sengaja maupun tanpa

disengaja.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

225

Tabel 2. Data Morfologi Lokasi Penelitian Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.

No Posisi Lapang Tebal

Gambut (m)

Muka Air

Tanah (m)

pH air parit

pH air tanah

Topsoil Sub-

sratum Pirit (m) Landuse Desa

Latitute Longitute

D M S D M S

1 2 53 41,6 114 9 47,9 0 0,1 4,4 4,8 Liat Liat >0,75 Rumput BH Purwodadi

4 2 52 56,1 114 8 56,4 0 0,6 3,1 3,8 Liat Liat - Semak Belukar Wonoagung

13 2 52 37,9 114 8 23,9 0 0,6 3,1 3,3 Liat Liat - Pekarangan Wonoagung

14 2 52 31,0 114 7 40,9 0 0,6 3,0 2,9 Liat Liat - Karet TM Wonoagung 15 2 52 17,7 114 7 6,9 0 0,3 3,4 3,6 Liat Liat - Rumput BH Wonoagung

16 2 52 12,7 114 6 22,0 0,56 0,3 3,6 3,7 Gambut Liat 0,60 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat

17 2 52 7,1 114 5 53,9 1,27 0,7 3,8 3,9 Gambut Liat 1,30 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat

18 2 52 5,7 114 5 41,8 1,37 0,2 3,8 3,9 Gambut Liat 1,40 Semak Belukar Kanamit Barat

19 2 52 11,8 114 5 24,2 1,35 0,9 3,3 3,5 Gambut Liat 1,40 Kebun Campuran Kanamit Barat

20 2 51 52,6 114 4 56,5 6,00 0,02 4,6 4,7 Gambut Liat 6,10 Kelapa Sawit TBM Kanamit Barat

Keterangan: TBM = Tanaman Belum Menghasilkan, TM = Tanaman Menghasilkan, S = Saprik (matang), H = Hemik (setengah Matang), F = Fibrik (mentah).

225

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

226

Hasil hipotesis dan dugaan C stock (Karbon tersimpan) di dalam tanah

(bellow ground) di lokasi Pangkoh IX pada tiga periode waktu menunjukkan

adanya penurunan. C Stock tertinggi ditunjukkan pada periode sebelum tahun

1980 atau sebelum kawasan tersebut di buka untuk lokasi transmigrasi yang

masih hutan belantara. Setelah penepatan transmigrasi selama kurang lebih 7

tahun, maka C stock menunjukkan penurunan, dan pada tahun 2013 penurunan

C Stock makin tajam (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan

ekosistem telah berlangsung intensif, ditandai makin menurunnya C stock pada

tanah gambut.

Model sederhana untuk mengkonversi C stock yang hilang dari lahan

gambut dengan membagi berat molekul CO2 dan berat atom C yaitu 3,6667,

maka pada tahun 1987 dan 2013 teremisikan gas rumah kaca secara rata-rata

sekitar 5.783 t/ha CO2 dan 7.508 t/ha CO2.

Khusus untuk kondisi hidrologi, pada sekitar titik no 17 yang telah

memasuki Desa Kanamit Barat, telah dijumpai aqiufer, dimana air memancar dari

dalam tanah jika dilakukan pemboran sekitar 20 meter. Meskipun air yang keluar

jernih, namun memiliki aroma besi belerang dan jika diendapkan akan nampak

endapan besi (Gambar 3). Menurut warga setempat, pancaran air yang lekuar

dari dalam tanah sudah agak melemah dibandingkan pada saat awal pembukaan

lokasi UPT Pangkoh IX. Hal ini diduga tekanan yang terdapat di dalam tanah

mulai berkurang. Fenomena unik ini yang umm ada di daerah karst ternyata

terdapat di lahan awa, dan terkait penurunan daya semburan aquifer

menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan hidrologi di wilayah

Pangkoh IX.

Gambar 2. Hipotesis dan dugaan C stock pada jarak tertentu dari sungai Kahayan dalam tiga periode waktu di Pangkoh IX.

0.00

1000.00

2000.00

3000.00

4000.00

5000.00

6000.00

2,5 3,7 4,8 6,1 7,7 8,6 9,5 9,9 10,3 11,4

C

Sto

ck (

t/h

a)

Jarak dari Sungai Kahayan (km)

<1980

1987

2013

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

227

Gambar 3. Air aquifer menyembul tak henti di permukaan lahan rawa Pangkoh IX Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Hasil dari kajian kegiatan berupa karakteristik iklim dan tanah untuk

tanaman pangan dan tanaman perkebunan (Tabel 3-4), dan juga klasifikasi

kesesuaian lahan utuk tanaman pangan dan perkebunan (Tabel 5). Kriteria

kesesuaian lahan untuk komoditas mengacu pada Djaenuddin et al., (2001).

Tanah lokasi penelitian terdiri dari tanah gambut (Organosol) dan tanah

yang mengandung pirit, dan sebagiannya pirit (Aluvial Gleisol) ditemukan pada

kedalaman kurang dari 75 cm. Tanah-tanah tersebut tergolong marjinal.

Hardjowigeno (2003) tanah di daerah-daerah transmigrasi umumnya tergolong

tanah marjinal. Pada lokasi rawa maka umum ditemukan tanah gambut dan

tanah berpotensi sulfat masam. Tanah gambut yang tebal (> 2 m) tergolong

gambut tidak subur karena berasal dari vegetasi yang miskin hara, sedangkan

tanah yang mengandung bahan sulfidik (pirit) bila teroksidasi akan berubah

menjadi sulfat yang sangat masam (pH <3,5) dan dapat mematikan tanaman.

Berdasarkan klasifikasi kesesuaian lahan, nampaknya tanaman padi, ubi

kayu dan ubi jalar memiliki kelas kesesuan lahan S2, sedangkan tanaman

pangan lainnya yaitu jagung, kacang tanah dan kedelai kebanyakan memiliki

kelas kesesuaian lahan S3, kecuali di gambut dalam semuanya masuk N karena

merupakan kawasan konservasi.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

228

Tabel 3. Karakteristik Lahan Untuk Tanaman Pangan Berdasarkan Titik Sample Survai di Wilayah Pangkoh IX, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah

Karakteristik Lahan

Wilayah Titik Bor Pengamatan

1 4 13 14 15 16 17 18 19 20

tc Suhu rerata (oC)

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

wa Crh hujan (mm) Kelembaban (%) Bulan kering < 75 mm

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

1.823 84,4

2

Oa drainase

at

at

at

at

at

at

-

-

-

-

rc Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tnh (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Sisipan Kematangan

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

- - - -

56 -

- - -

127 - -

- - -

600 -

hmk

- - -

500 -

hmk

- - -

487 -

hmk

nr KTK KB pH H2O C Organik (%)

47,5

- 5,04 24,7

57,5

- 4,94 8,1

41,5

- 5,19 7,3

42,5

- 5,18 7,4

30,0

- 4,37 9,2

32,5

- 4,73 5,15

30,0

- 4,66 6,0

145,0

- 3,93 40,7

232,5

- 4,16 56,0

190,0

- 4,35 51,8

xs Kedalaman sulfidik (cm)

>100

>100

>100

>100

>100

>100

>100

40

155

225

eh Lereng (%) Bahaya erosi

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

fh Genangan

F0

F0

F0

F0

F0

F0

F4

F1

F2

F2

lp Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

Keterangan: at=agak terhambat, h=halus, hmk=hemik, sr=sangat rendah, h=halus; sr=sangat ringan; F0 = (tanpa), F1 (ringan); F3 (agak berat);F4=berat.

Sumber: Djaenuddin et al., (2001)

Nampak bahwa padi masih layak untuk dikembangkan, namun demikian

terjadi kompetisi dengan tanaman perkebunan yang lebih mudah

pengelolaannnya dan resiko kegagalan yang lebih rendah. Di lapangan terlihat

bahwa karet telah banyak menggantikan lahan yang dulu ditanami padi. Dan

kurang lebih 5 tahun kebelakang komoditas kelapa sawit makin banyak

dikembangkan masyarakat. Berdasarkan potensi kesesuaian lahan, maka karet

umumnya memiliki kelas S3, namun kelapa sawit memiliki kelas S2. Tak heran

jika di kawasan survai banyak ditemukan kebun-kebun kelapa sawit rakyat.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

229

Upaya penyelamatan lahan-lahan sentra atau berpotensi padi adalah

memberikan sosialisasi SKPD terkait yang melakukan pembuatan dan

pemeliharaan saluran drainase untuk membuat pintu air. Pintu-pintu air tersebut

bertujuan mengatur ketinggian air di saluran dainase dan dilahan. Untuk

kawasan yang berpotensi tinggi bagi pengembangan komoditas padi, maka

pembuatan pintu air dapat menyediakan air yang cukup selama pertanaman

padi, sedangkan untuk lahan-lahan yang telah terlanjur atau berpotensi untuk

tanaman perkebunan, maka pembuatan pintu air merupakan upaya konservasi

air dan mengupayakan lahan dalam kondisi lembab untuk mencegah kebakaran

saat memasuki musim kemarau.

Tabel 4. Karakteristik lahan untuk tanaman perkebunan berdasarkan titik sampel survei di wilayah Pangkoh IX, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah

Karakteristik Lahan

Wilayah Titik Pengamatan

1 4 13 14 15 16 17 18 19 20

tc Suhu rerata (

oC)

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

27,2

wa Curah hujan (mm) Kelembaban (%) Bulan kering <75mm

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

1.82

3 84,4

2

oa drainase

at

at

at

at

at

at

t

-

-

-

rc Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tnh (cm) Gambut: Ketebalan (cm) Sisipan Kematangan

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

h -

>100 - - -

- - -

35 -

hmk

- - -

148 -

hmk

- - -

215 -

hmk

nr KTK KB pH H2O C Organik (%)

37,5

- 4,92 17,4

57,0

- 4,90 7,2

49,5

- 4,96 7,5

51,3

- 4,86 6,3

32,0

- 4,41 9,5

32,5

- 4,39 5,5

55,0

- 4,33 6,6

96,3

- 3,87 24,9

220,0

- 4,20 55,8

186,3

- 4,25 54,3

xs Kedalaman sulfidik (cm)

>100

>10

0

>10

0

>10

0

>10

0

>10

0

>10

0

40

155

225

eh Lereng (%) Bahaya erosi

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

<3 sr

fh Genangan

F0

F0

F0

F0

F0

F0

F4

F1

F2

F2

lp Batuanpermukaan (%) Singkapan batuan (%)

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

Keterangan: at=agak terhambat, h=halus, hmk=hemik, sr=sangat rendah, h=halus; sr=sangat ringan; F0 = (tanpa), F1 (ringan); F3 (agak berat);F4=berat.

Sumber: Djaenuddin et al., (2001).

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

230

Tanaman perkebunan terutama kelapa sawit umumnya memiliki kelas

kesesuaian lahan S2 dan S3, kecuali pada lokasi gambut yang memiliki

kedalaman lebih dari 2 m (Gambar 4). Hal ini sejalan dengan penelitian

Erningpraja et al., (2005) lahan-lahan potensial bukaan baru didominasi oleh

kelas S3 (86%) dan S2 (14%) yang berdasarkan sentra baru pengembangan

kelapa sawit mengarah ke Indonesia bagian tegah dan Indonesia bagian timur.

Tabel 5. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman pangan dan perkebunan

di wilayah Pangkoh IX, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau.

Komoditas Wilayah Titik Pengamatan

1 4 13 14 15 16 17 18 19 20

Padi S2nr S3nr S2nr S2nr S3nr S3nr S3nr S3rc,xs,nr

S3rc,nr

Nrc

Jagung S3wa,nr

S3wa,nr

S3wa, nr

S3wa, nr

S3wa, nr

S3wa,nr

Nfh S3wa, rc,xs

Nfh Nrc,fh

Kedelai S3wa,nr

S3wa,nr

S3wa, nr

S3wa, nr

S3wa, nr

S3wa,nr

N fh S3wa, fh,nr

Nfh Nrc,fh

Kacang tanah

S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa, nr

S3wa,nr

Nfh Nfh,.xs Nfh Nrc,fh

Ubi jalar S2tc,wa,rc

S2tc,wa,rc

S2tc,wa,rc

S2tc,wa,rc

S3nr S3nr Nfh S3tc,wa,fh

Nfh Nrc,fh

Ubi kayu S2rc,nr

S2rc,nr

S2rc,nr

S2rc,nr S3nr S3nr Nfh Nfh Nfh Nrc,fh

Karet S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa S3wa Noa ,fh

Nxs S3wa,rc,fh

Nrc

Kelapa sawit

S2wa,oa,nr

S2wa,oa,nr

S2wa, oa,nr

S2wa, oa,nr

S3nr S3nr Nfh Nxs S3rc, fh,nr

Nrc

Lokasi pengamatan yang memiliki ketebalan gambut lebih dari 2 atau 3

meter umumnya masuk ke dalam kelas tidak sesuai (N). Djaenuddin dan

Suwardjo (1987) rendahnya potensi pertanan pada jarak 5 km dari Sungai

Kahayan selain karena merupakan kubah (dome) gambut yang sangat masam,

kejenuhan basa rendah, juga tidak ada pengaruh pasang surut. Sejak dibangun

saluran drainase telah terjadi perubahan fisik akibat kesulitan memperoleh air.

Las et al., (2012); Mulyani dan Noor (2011) ketebalan gambut yang lebih dari 3

meter untuk pengembangan komoditas tanaman secara agronomis dan

ekonomis masih menguntungkan, namun dari segi lingkungan dan dampaknya

kedepan sebaiknya tetap dipertahankan sebagai kawasan konservasi (hidrologis

dan resapan air).

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

231

KESIMPULAN

Perubahan ekosistem sebelum tahun 1980-an dan 2013 ditandai dengan

terdegradasinya lahan gambut hingga jarak 8,6 km dari Sungai Kahayan dan

makin menurunnya C stock tanah gambut. Kondisi hutan belantara sebelum

tahun 1980-an saat ini di tahun 2013 telah berubah menjadi pekarangan hingga

perkebunan karet atau kelapa sawit. Kelas kesesuaian lahan aktual di Pangkoh

IX nampaknya memiliki tingkat kesesuaian sedang hingga marjinal, namun pada

posisi gambut dalam tergolong tidak sesuai untuk penggunaan lahan pertanian

dan perkebunan. Pembuatan pintu air di saluran drainase diperlukan untuk

mengatur ketinggian air tanah untuk peruntukan komoditas yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Ilmu tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 286 hal. Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subagyo, M. Sukardi, Ismangun, Ds. Marsudi, N.

Suharta, L. Hakim, Widagdo, J. Dai, V. Suwandi, S. Bachri, dan E.R. Jordens. 2001. Kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian dan kehutanan. Land Resource Evaluation and Planning Project. Center For Soil And Agroclimate Research. 50p.

Chambers, M.J. 1979. Rate of peat loss on the Upang transmigration Project

South Sumatra. Makalah A17. The Third Symposiumon Tidal Swamp Land Development Aspects. Palembang, 5-10 Pebruari 1979.

Dairiah, A., E. Susanti, A. Mulyani, dan F. Agus. 2013. Faktor penduga

simpanan carbon pada tanah gambut. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 213-221.

Dirjen PLA. 2006. Arah dan strategi pengelolaan lahan dan air mendukung

revitalisasi pertanian. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Hal.:5-18.

Djaenudin, D., dan H. Suwarjo. 1987. Evaluasi lokasi bermasalah di daerah

Transmigrasi Pangkoh, Kalimantan Tengah. Jurnal Litbang Pertanian. 4(3):73-79.

Erningparja, L., A. Kurniwan, dan H. Santoso. 2005. Kaitan daya dukung

wilayah dan daya tarik pengembangan perkebunan kelapa sawit di areal bukaan baru. Warta PPKS. 13(1)1-9.

Firmansyah, M.A., dan M.S. Mokhtar. 2012. Profil ICCTF di Kalimantan Tengah:

Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. Palangka Raya. 32 hal.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Inovasi Teknologi Pertanian

232

Hardjowigeno, S. 2006. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika

Pressindo. Jakarta. 274 hal. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hal. Las, I., M. Sarwani, A. Mulyani, dan M.F. Saragih. 2012. Dilema dan rasionalisai

kebijakan pemanfaatan lahan gambut untuk areal pertanian. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 12-27.

Masganti, T. Notohadikusumo, A. Maas, dan B. Radjagukguk. 2005. Perbaikan

sifat kimia gambut pedalaman yang ditanami jagung dengan metode amelioran. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim. Bogor, 14-14 September 2004. Hal: 233-246.

Mulyani, A., dan M. Noor. 2011. Evaluasi kesesuaian lahan untuk

pengembangan pertanian di lahan gambut. Editor: N.L. Nurida, A. Mulyani, dan F. Agus. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Hal: 27-43.

Noor. M. 2004. Lahan Rawa, Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat

Masam. Raja Grafindo Persada. 241 hal. Page, S.E., and J.O. Rieley. 1998. Tropical peatlands: a review of their natural

resource functions, with particular reference to Southeast Asia. International Peat Journal. 8:95-106.

Ritung, S., Wahyunto, dan K. Nugroho. 2012. Karakterisasi dan sebaran lahan

gambut di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. Badan Litbang Pertanian. Hal.: 47-61.

Salim, E. 2006. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan membangun RI

2025. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Hal:1-3.

W.A. Nugroho, A. Anto, A. Bhermana, dan M.S. Mokhtar. 2014. Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi melalui Inovasi Teknologi dan Pemberdayaan Masyarakat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 36 hal.