Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 956-978
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2865
PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI
BUDAYA TRADISIONAL INDONESIA
Andhika Putra Herzani*
* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 12 Desember 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 10 Maret 2020
Abstract
The development of an increasingly advanced era, the expression of traditional culture
(EBT) is vulnerable to exploitation by other parties due to the lack of awareness of the
importance of the assets of intellectual works and is not well documented or
documented EBT. Inventory is one of the Defensive Protection steps, a step taken by
building an accurate database and inventory, registration or recording that must be
played by the State. Preventive protection needs to be recorded or an inventory of
Indonesia's traditional culture to prevent cases of cultural claim by other countries
which would certainly harm the Indonesian nation and be used by those who have
experienced cases of EBT abuse as a basis for proof. Inventory should ideally be
carried out by an institution that is implicitly a State representative institution, in
supporting the inventory it should also optimize the Ministry of Education and Culture
and coordinate with DJKI in taking comprehensive inventory or documentation
actions. Keywords: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan
Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.
Abstrak
Berkembangnya zaman yang semakin maju, ekspresi budaya tradisional (EBT) rentan
dieksploitasi oleh pihak lain yang disebabkan kurangnya kesadaran betapa pentingnya
aset karya intelektual dan tidak tercatat atau terdokumentasinya EBT dengan baik.
Inventarisasi merupakan salah satu langkah Defensive Protection, langkah yang
dilakukan dengan membangun database yang akurat serta inventarisasi, registrasi atau
pencatatan yang harus diperankan oleh Negara. Perlindungan preventif perlu diadakan
pendataan atau inventarisasi budaya tradisional Indonesia guna mencegah terjadinya
kasus-kasus pengklaiman budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan
bangsa Indonesia serta digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan
EBT sebagai dasar pembuktian. Inventarisasi idealnya dilakukan oleh lembaga yang
secara implisit sebagai lembaga representasi Negara, dalam mendukung inventarisasi
seharusnya mengoptimalkan Kemendikbud dan berkoordinasi dengan DJKI dalam
melakukan tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif. Kata Kunci: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan
Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 957
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO yang memiliki
keanekaragaman budaya. Indonesia merupakan negara anggota yang resmi menjadi
anggota di dalam WTO ketika meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang artinya
melalui ratifikasi ini Indonesia terikat dalam ketentuan-ketentuan WTO.1 Pengetahuan
dan ekspresi budaya tradisional dapat dikatakan sebagai sistem perlindungan hukum
Hak Kekayaan Intelektual yang telah dikembangkan sedemikian rupa tanpa harus
kehilangan karakteristik tradisionalnya. Ketika suatu budaya yang salah satunya
berbentuk kreasi seni dan dimiliki oleh Negara Indonesia, maka sudah seharusnya
dilindungi oleh pemerintah. Rezim perlindungan yang dipakai oleh pemerintah dalam
melakukan perlindungan terhadap potensi budaya ini adalah rezim kekayaan
intelektual.
Potensi budaya secara umum dikenal dengan nama Traditional Cultural
Expressions (Ekspresi Budaya Tradisional). Ekspresi budaya tradisional (EBT)
merupakan istilah yang digunakan WIPO dalam berbagai ranah internasional.2 EBT
adalah suatu perwujudan keterampilan dengan nilai-nilai dan keyakinan khusus serta
kebanyakan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Ekspresi budaya adalah
sekumpulan ciptaan tradisional baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan
dalam masyarakat yang menunjukan identitas sosial dan budayanya berdasarkan
standar dan nilai yang diikuti secara turun temurun. Adapun yang termasuk dalam
kategori objek atau ekspresi budaya, yaitu:3
1. Cerita rakyat;
2. Lagu Khas Daerah dan Instrumen Tradisional;
3. Tarian Rakyat;
4. Permainan Tradisional;
5. Hasil Seni Berupa Lukisan, Gambar, Ukiran, Pahatan, Mozaik,
Perhiasan, Kerajinan Tangan, dan Tenun Tradisional.
Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia dilindungi menggunakan peraturan
hak cipta, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta. Aturan ini menyatakan bahwa negara adalah institusi yang
berperan penting dalam melindungi suatu karya ciptaan. Negara disini dapat dikatakan
sebagai pemegang hak, karena ekspresi budaya tradisional tidak diketahui siapa
penciptanya. 4 Kemudian pada tahun 2017, peraturan yang mengatur mengenai
perlindungan budaya selain rezim hak cipta yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun
2017 tentang Pemajuan Budaya telah disahkan. Peraturan ini memiliki tujuan bukan
hanya untuk melakukan perlindungan, namun juga melakukan pemajuan pada aspek
budaya. Peran yang diberikan bukan hanya untuk pemerintah pusat dan pemerintah
1 Soedjono Dirdjosisworo, “Pengantar Hukum Dagang Internasional”, (PT. Refika Aditama :
Bandung, 2006), hal.133. 2 Booklet No. 1 WIPO menegaskan kembali pengertian EBT : “Traditional cultural expression,
often the products of inter-generational and fluid social and communal creative processes, reflect and
identify a community’s history, cultural, and social identity, and values.” 3 Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual RI,
“Naskah Akademik Pengetahuan Tradisional”, (Jakarta : BPHN dan Dirjen HKI RI, 2006), hal. 38. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara
Nomor 266 Tahun 2014), Pasal 38 Ayat (1).
958 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
daerah, namun masyarakat juga bisa ambil andil dalam berpartisipasi melakukan
perlindungan.
EBT dapat dikatakan sebagai warisan bersama umat manusia yang pertama kali
digunakan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) dalam konvensi “World Heritage Convention” (WHC) pada tahun 1972.
Penyusunan WHC terdapat ide untuk memasukkan EBT dalam susunan WHC tersebut,
alasan dimasukkannya EBT karena saat itu peninggalan-peninggalan yang berkaitan
dengan ekspresi budaya tidak memiliki nilai yang tinggi. Kemudian, WHC
memasukan ekspresi budaya dan membuat rencana untuk mewajibkan negara untuk
melindungi masyarakat internasional guna memastikan terjadinya perlindungan
tersebut.5
EBT adalah bagian dari kehidupan budaya masyarakat, istilah ini sendiri berakar
dari tiga kata yaitu tradisi, budaya dan ekspresi. Untuk kata “ekspresi”, memiliki arti
untuk mengungkapkan atau tujuan yang jelas, ide atau perasaan. Kata “budaya” dalam
Bahasa inggris adalah “culture”, memiliki arti yang sama dengan budaya di Indonesia.
Secara umum budaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran
manusai dan intelek untuk mengembangkan dan mempertahankan hidup di lingkungan
mereka.6 EBT secara nasional maupun internasional dilindungi melalui mekanisme
hak cipta, dimana perlindungan lebih kepada komersialisasi EBT. Ketika
komersialisasi dilakukan oleh pihak yang melakukannya, maka disitu juga
mengesampingkan kepentingan dan kehendak dari kelompok tradisional bersangkutan
dan merubah esensi asli dari kebudayaan tersebut. Di Indonesia sendiri istilah yang
digunakan untuk merumuskan ekspresi budaya adalah Ekspresi Budaya Tradisional
(EBT).
Selanjutnya pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang
merupakan suatu sistem yang melekat pada tatanan kehidupan modern. Pada aspek-
aspek lain yang memberi warna pada kehidupan modern lainnya, hak kekayaan
intelektual dapat dikatakan juga sebagai konsep yang relatif baru bagi sebagian besar
negara, terutama negara berkembang. Pada abad 20 dan awal abad 21 tercapai
kesepakatan negara-negara untuk mengangkat konsep HKI ke arah kesepakatan
bersama dalam wujud sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Agreement
Establishing The World Trade Organization (WTO Agreement) dan segala perjanjian
yang terlampir didalamnya termasuk yang menyangkut HKI.7
Dalam hal ini, World Trade Organization (WTO) sendiri tidak dapat dilepaskan
dari sejarahnya. WTO dimulai dengan keinginan kuat negara-negara untuk
memulihkan ekonomi yang hancur setelah perang dunia ke II. Dalam konsepnya
sendiri perjanjian mengenai hak kekayaan intelektual merupakan bagian integral dari
perjanjian Uruguay Round. Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks,
komperhensif dan ekstensif. Hal-hal pokok yang dicantumkan dalam perjanjian ini
adalah:8
1. Ketentuan mengenai jenis hak kekayaan intelektual yang tercakup dalam
perjanjian.
5 Janet Blake, “Safeguarding Traditional Culture and Folklore Existing International Law and
Future Developments”, (Washington DC: Smithsonian Institution, 2001), hal. 149. 6 Suyud Margono, “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, (Pustaka Reka Cipta : Bandung,
2015), hal.180. 7 Purba, “Pemberdayaan Perlindungan Hukum PTEBT”, hal. 78. 8 H.S. Kartadjoemena, “GATT, WTO Dan Hasil Uruguay Round”, (UI Press: Jakarta, 1997), hal.
253.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 959
2. Standar minimum perlindungan atau perincian ketentuan mengenai sejauh
mana perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara peserta.
3. Ketentuan mengenai enforcement atau pelaksanaan kewajiban
perlindungan hak kekayaan intelektual.
4. Ketentuan mengenai kelembagaan.
5. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa.
Dengan berkembangnya zaman yang semakin maju, ekspresi budaya tradisional
dapat dikatakan bahwa nantinya kemungkinan lama kelamaan akan hilang yang
disebabkan kurangnya kesadaran mengenai betapa pentingnya aset suatu karya
intelektual dan tidak tercatat atau terdokumentasinya ekspresi budaya tradisional
dengan baik. Ekspresi budaya tradisional masyarakat adat juga rentan untuk
dieksploitasi oleh pihak lain, dimana perlindungan terhadap itu sangat penting sebagai
sumber dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan komersil. Sehingga hal
tersebut dapat menjadi suatu persoalan terhadap perlindungan hukum yang masih
harus ditegakkan dan diperhatikan dengan baik. Sebagaimana persoalan-persoalan
yang terjadi, negara juga telah berperan dalam memajukan Kebudayaan Nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia serta menjadikan Kebudayaan sebagai investasi
untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan
nasional, hal tersebut sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian negara wajib untuk menginventarisasi, menjaga dan memelihara
ekspresi budaya tradisional, sehingga dalam penggunaan ekspresi budaya tradisional
harus melihat nilai yang hidup dalam suatu masyarakat pengembannya. Upaya yang
dapat dilakukan untuk melindungi karya cipta ekspresi budaya tradisional sebagai
wujud nasionalisme bangsa, salah satunya bisa ditempuh melalui cara inventarisasi.
Inventarisasi atau dokumentasi atas kebudayaan tradisional merupakan kegiatan
pendataan atas suatu karya cipta budaya di suatu wilayah yang dengan adanya data
tersebut kebudayaan tradisional suatu masyarakat dapat terinventarisir dengan baik.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka adapun rumusan masalah
yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana seharusnya perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya
tradisional di Indonesia?
2. Bagaimana seharusnya peran pemerintah Indonesia dalam melakukan
inventarisasi ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat ?
Dalam penelitian ini ditentukan apa yang menjadi batasan materi yang akan
diuraikan. Hal ini perlu dilakukan agar isi atau materi dari tulisan ini tidak
menyimpang dari pokok-pokok permasalahan sehingga pembahasannya dapat terarah
dan diuraikan secara sistematis. Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya
tradisional di Indonesia.
2. Untuk mengetahui peran pemerintah Indonesia dalam melakukan
inventarisasi ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penulisan yang digunakan
adalah metode penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
960 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
mengumpulkan data sekunder atau data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka
seperti buku, skripsi, tesis, jurnal internasional, makalah, artikel internet serta hasil
penelitian. Ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah multi disipliner yang
terdiri dari hukum hak kekayaan intelektual atau hak cipta dan ilmu teknologi dan
informatika. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai bentuk problem identifications
yaitu mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan dan kemudian dianalisis dan
diambil kesimpulannya.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian yang bersifat deskriptif
analisis karena bertujuan untuk melukiskan suatu realitas sosial yang diawali dengan
pengumpulan data. Data yang diperoleh akan dianalisa untuk memperoleh gambaran
secara komprehensif tentang masalah-masalah yang ada. Berdasarkan disiplin ilmu
hukum, maka metode pendekatan terhadap permasalahan pada penelitian ini baik
untuk kepentingan analisisnya maupun pembahasannya adalah melalui pendekatan
yuridis normatif yaitu mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori,
sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat serta
undang-undang, bahasa hukum yang digunakan. 9 Pendekatan yuridis normatif
digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku serta
terkait dengan Perlindungan hukum melalui Inventarisasi ekspresi budaya tradisional
di dalam masyarakat Indonesia.
Pada penelitian ini, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian
digolongkan sebagai data sekunder. Dimana sumber data yang digunakan dalam
penelitian data sekunder adalah meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier.10 Dalam penelitian ini, bahan hukum yang dijadian rujukan
adalah data sekunder, antara lain:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan dan mengikat,
yakni:
a. Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan
4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015
tentang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
5) WIPO, WIPO Copyright Treaty (WCT).
6) WIPO, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
7) UNESCO, Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural
Heritage.
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), hal. 101. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”,
(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2010), hal. 33.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 961
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Seperti hasil penelitian, artikel, buku-buku
referensi, jurnal dan media informasi lainnya seperti internet yang juga menjadi
tambahan bagi penulisan ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan.
3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum
dan ensiklopedia.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia
Dalam hal ini, ekpresi budaya tradisional mengandung beberapa nilai seperti
ekonomi, spiritualitas, dan komunialitas. Keseluruhan nilai ini dihormati oleh
masyarakat tradisional. EBT mewakili identitas masyarakat adat didaerah tertentu.
Istilah EBT merangkum ekspresi baik secara lisan, musik, dan produk budaya karya
artis. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dapat dikategorikan
demikian apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:11
a. Diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi;
b. Merupakan pengetahuan tentang lingkungannya dan hubungannya dengan
segala sesuatu;
c. Bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang
membangunnya;
d. Merupakan jalan hidup (way of life) yang digunakan secara bersama-sama
oleh komunitas masyarakat dan karenanya disana terdapat nilai-nilai
masyarakat”.
Perlindungan terhadap suatu budaya yang timbul untuk keperluan negara
berkembang dalam melindungi sumber daya manusia kreatif yang dimilikinya, Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) dengan ekspresi budaya terdapat pertentangan yang cukup
serius. Dalam hal ini, dimana antara suatu negara pemilik ekspresi budaya dan pihak
lain (dalam hal ini asing) ingin memanfaatkan suatu EBTnya. Pihak asing mengatakan
bahwa sumber daya dan kekayaan tradisional yang ada secara melimpah merupakan
warisan leluhur yang dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun (common heritage
of mankind atau warisan bersama milik umat manusia). 12 Perhatian internasional
kepada perlindungan HKI yang memberikan perlindungan terhadap pengetahuan
tradisional. Hal ini menjadi permasalahan yang begitu kompleks ketika kekayaan
intelektual yang berasal dari tradisi dihadapkan pada sistem HKI yang sangat modern.
Selanjutnya terhadap kekayaan intelektual asli (indigenous intellectual property)
yang merupakan sebuah terminologi hukum (an umbrella legal term) yang digunakan
dalam forum-forum baik dalam lingkup nasional maupun internasional yang ditujukan
untuk mengidentifikasikan hak-hak khusus masyarakat asli (indigenous peoples
special rights) untuk mengklaim terhadap seluruh keaslian kelompoknya yang
11 M. Zulfa Aulia, “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional”,
(Penerbit FH UI: Jakarta, 2006), hal. 20. 12 Endang Purwaningsih, “Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Hukum Terhadap
Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa”, Masalah-Masalah Hukum Fakultas Hukum UNDIP, Jilid 41
No.1, (Jan. 2012), hal. 43.
962 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
diketahui sekarang ini, telah diketahui sebelumnya dan yang akan diketahui.
Sebagaimana terminologi yang dikembangkan oleh Chrisoph Beat Graber “Indigenous
Intellectual Property is an umbrella legal term used in national and international
forums to identify indigenous peoples special rights to claim (from within their ow
laws) all that their indigenous groups know now, have known, or will know”.13
Pemikiran konsep HKI sebagai media perlindungan terhadap pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan suatu pengembangan dari
tradisi hukum barat yang dominan. Secara umum terdapat beberapa pihak yang
dimungkinkan menjadi subjek pemegang hak milik atas pengetahuan tradisional dan
ekspresi budaya tradisional, adapun pihak-pihak yang dimaksud yaitu:14
a. Masyarakat adat (Kategori ini diperhitungkan dikarenakan mereka
merupakan pemilik asli dari pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya);
b. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Kategori ini dimasukan
dikarenakan mereka berperan sebagai pelindung dan sebagai pengelola,
terlepas dari itu pemilik hak tetaplah masyarakat adat);
c. Pihak ketiga (Kategori yang dimaksudkan disini adalah pihak-pihak yang
ingin memanfaatkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
namun tetap memperhatikan kepentingan pemilik hak).
Banyak pihak memberikan pendapat bahwa rezim HKI memiliki nilai-nilai yang
berkontradiksi dengan nilai-nilai EBT. HKI pada pokoknya bersifat individual dan
tidak memiliki sifat komunal. HKI sebagai sebuah “hak” tidak dapat dilepaskan
dengan persoalan ekonomi. HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual.
Konsep perlindungan terhadap EBT dengan menggunakan HKI dapat dilakukan
melalui 2 (dua) model perlindungan. Kedua model perlindungan ini dikembangkan
oleh WIPO. Model perlindungan ini dinamakan Defensive Protection dan Positive
Protection:15
1) Defensive Protection : Terminologi defensive protection merujuk pada
usaha yang bertujuan untuk mencegah pemberian HKI atas EBT yang
berkaitan dengan pemakaian EBT oleh pihak lain tanpa sepengetahuan dan
izin dari pemilik EBT tersebut. Perlindungan secara defensif sendiri terdiri
dari 2 (dua) aspek yaitu:16
a. Legal Aspect : Aspek ini sendiri akan memastikan batasan terkait
prior art bagi EBT dengan memastikan di dalam undang-undang
bahwa pengungkapan EBT secara oral merupakan prior art;
b. Practice Aspect : Aspek ini akan memastikan bagaimana sebuah
EBT tersedia dan terbuka untuk dilakukan dokumentasi oleh pihak-
pihak yang ingin melakukan perlindungan terhadap EBT tersebut.
2) Positive Protection : Defensive Protection dapat menjadi salah satu
kebijakan yang efektif untuk mencegah diberikannya HKI kepada pihak
yang tidak berhak. Namun demikian hal ini tidak secara otomatis
menghentikan dilakukannya perbuatan misappropriation atas pengetahuan
tradisional. Dibutuhkan hukum nasional untuk mensupport pelaksanaan
13 Suyud Margono, “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, (Pustaka Reka Cipta : Bandung,
2015), hal. 185. 14 Ibid, hal. 186. 15 Rohaini, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan
Sui Generis Law”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 (Oktober-Desember 2015), hal. 437. 16 Ibid.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 963
kebijakan ini. Hukum positif adalah mekanisme utama dalam upaya untuk
mencapai perlindungan dan pembagian keuntungan terhadap pemilik EBT.
Kemajuan signifikan yang perlu dicatat dalam upaya perlindungan positif
ini ialah disepakatinya Convention for the Safeguarding of the Intangible
Cultural Heritage 2003 dan Convention on the Protection and Promotion of
the Diversity of Cultural Expression 2005 dalam forum United Nations
Education, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) dalam ranah
pelestarian. Indonesia sendiri telah menandatangani dan meratifikasi kedua
Konvensi UNESCO ini. Convention for the Safeguarding of the Intangible
Cultural Heritage 2003 diratifikasi dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the
Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk
Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda), sedangkan Convention on the
Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expression 2005
diratifikasi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 tahun
2011 tentang Pengesahan Convention on the Protection and Promotion of
the Diversity of Cultural Expression (Konvensi tentang Proteksi dan
Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya). Dalam konvensi-konvensi
tersebut telah diuraikan mengenai pentingnya perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Konvensi tersebut
memberikan jalan bagi negara-negara berkembang untuk dapat melindungi
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisionanya.17
Sistem ini dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk upaya hukum yaitu dengan
mengefektifkan penggunaan undang-undang terkait HKI atau melalui
pembentukan undang-undang khusus yang mengatur mengenai EBT itu
sendiri (Sui Generis Law). Selanjutnya terhadap perlindungan yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan HKI dapat dibagi menjadi 2
(dua) yaitu :18
a. Perlindungan HKI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (IP
Protection to Support economic development). Hal ini dimana
masyarakat tradisional mengharapkan agar perlindungan HKI
terhadap hasil kreativitas dan inovasi yang berdasar pada tradisi
budaya mereka dan dapat memberikan benefit komersil yang pada
kemudian hari dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi mereka.
b. Perlindungan HKI untuk mencegah penyalahgunaan dan
komersialisasi warisan budaya yang tidak pantas.
Dengan intervensi perlindungan HKI dalam lingkup TRIPs Agreement yang
diadopsi ke dalam hukum nasional setiap negara peserta, rezim HKI di dunia
kemudian lebih bersifat Ownership daripada authorship. Akibat lebih lanjut dari
sistem tersebut adalah rezim HKI kemudian lebih bersifat kapitalistik. Hal ini
disebabkan karena siapa yang kemudian dapat menguasainya (owner) adalah mereka
yang dapat membeli apapun termasuk hak-hak pencipta. Apalagi eksploitasi hak-hak
ekonomi para pencipta suatu ciptaan tertentu dilakukan melalui perjanjian kontrak.19
17 Anik Tri Haryani, “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Hukum Hak Kekayaan
Intelektual Di Indonesia”, Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum Volume 2 No. 2, 2016, hal. 61-62. 18 Ibid 19 Margono, “Hukum HKI”, hal. 370.
964 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka telah berlaku dengan kenyataan
sosial yang mengatakan bahwa kuat akan mengalahkan yang lemah. Pada akhirnya
pencipta tidak lagi menjadi pemilik hak kekayaan intelektual yang mereka hasilkan.
Hak itu berdasarkan kontrak sebagaimana kini telah menjadi milik kaum pemilik
modal. Dengan situasi ini, maka dari sudut para pemilik modal kiranya sistem hukum
HKI menjadi sangat bermanfaat untuk melinudngi investasi mereka. Sebaliknya bagi
dunia ilmu pengetahuan maupun kreativitas dan kondisinya bisa berbeda sama sekali.
Ketika perlindungan HKI kemudian terlalu berat porsinya bagi perlindungan
pemilik modal maka hanya dapat dipastikan bahwa perlindungan HKI itu pada
akhirnya hanya akan menguntungkan pemilik modal.20 Pada perkembangan saat ini
sistem HKI adalah sistem yang dipakai dalam melindungi EBT. Setelah melihat
deskripsi HKI yang bersifat individualistic secara eksklusif dalam artian kepada
pemilik modal, maka sistem HKI yang dikaitkan dengan perlindungan EBT yang
bukan kepemilikan bersama ini menimbulkan masalah tersendiri. Kendala utama
dalam upaya perlindungannya sendiri menurut soesangobeng dapat dirinci menjadi
beberapa faktor antara lain:21
1. Berkaitan erat dengan beberapa hal yang bersifat mistikal dan turun
temurun.
2. Lemahnya kemampuan untuk mengurai unsur-unsur dasar serta
pengembangan teknik penerusan kepada orang lain secara terbuka dan
ilmiah.
3. Sedikitnya intelektual Indonesia yang berminat mempelajari karya cipta
masyarakat ada Indonesia.
4. Pengetahuan secara ekonomi berupa nilai uang masih dilakukan secara
malu-malu dan terselubung. Akibatnya pengetahuan dan teknologi luar
negeri umumnya dinilai lebih layak dibayar mahal daripada hasil karya
cipta masyarakat adat Indonesia sendiri.
5. Perangkat hukum dan sistem pelacakan hasil karya cipta serta
pengetahuan masyarakat adat yang belum ditegakan dengan baik dan
lugas.
Kemudian perlindungan ekspresi budaya tradisional di Indonesia apabila ditinjau
dalam Undang-Undang Nasional yang disahkan oleh pemerintah atas suatu EBT yakni
Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No 5
Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ekspresi budaya tradisional tersebut juga
dapat dikatakan masuk didalam rezim hak cipta sebagaimana tercantum dalam Pasal
38 Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:22
"ekspresi budaya tradisional" mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi
sebagai berikut:
a. Verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa
maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat
berupa karya sastra ataupun narasi informatif;
b. Musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;
c. Gerak, mencakup antara lain, tarian;
d. Teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;
20 Ibid, hal. 371. 21 Ibid. 22 UU Hak Cipta, Penjelasan Pasal 38 Ayat (1)
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 965
e. Seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang
terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam,
batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan
f. Upacara adat”.
Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan yang dapat dikatakan sebagai suatu peraturan pertama sebagai bentuk sui
generis yang berbeda dari Hak Kekayaan Intelektual yang bisa melindungi suatu
bentuk pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional. Pada undang-undang pemajuan
kebudayaan, objek pemajuan kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan yang
menjadi sasaran utama dalam pemajuan kebudayaan.23 Objek pemajuan kebudayaan
pada peraturan ini meliputi:24
1. Tradisi lisan;
2. Manuskrip;
3. Adat Istiadat;
4. Ritus;
5. Pengetahuan Tradisional;
6. Teknologi Tradisional;
7. Seni;
8. Bahasa;
9. Permainan Rakyat;
10. Olahraga Tradisional.
Apabila kita lihat dalam peraturan pemajuan kebudayaan, perlindungan terhadap
ekspresi budaya tradisional dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Perlindungan
ini dapat dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:25
1) Inventarisasi
Dalam hal ini, suatu inventarisasi terdiri dari beberapa tahapan-tahapan,
pertama dimulai dari pencatatan dan pendokumentasian26 serta penetapan
dan pemutakhiran data.27 Dengan itu, inventarisasi dapat dilakukan melalui
sebuah sistem yang bernama Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu
(SPKT). Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu dibentuk oleh
kemendikbud untuk mendukung pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan.
Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu berisi data mengenai 4 (empat) hal
yaitu objek pemajuan kebudayaan; sumber daya manusia kebudayaan,
lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan; sarana dan prasarana
Kebudayaan; dan data lain terkait kebudayaan.28
2) Publikasi
Dalam hal ini, suatu publikasi merupakan publikasi terhadap informasi-
informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan
23 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (Lembaran
Negara Nomor 104 Tahun 2017), Pasal 1 Ayat (8). 24 Ibid, Pasal 5 25 Ibid, Pasal 1 Ayat (4) 26 Yang dimaksud dengan “pencatatan dan pendokumentasian” adalah upaya merekam untuk
menggambarkan keadaan Objek Kebudayaan baik wujud fisik maupun arti sosialnya dengan tujuan
untuk mengidentifikasi Objek Kebudayaan. (Penjelasan Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) 27 Ibid, Pasal 16 28 Pembagian Manfaat, Prinsip Pemanfaatan Objek Budaya oleh Pihak Asing,
<https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/06/pembagian-manfaat-prinsip-pemanfaatan-objek-
budaya-oleh-pihak-asing>, diakses tanggal 5 Desember 2019.
966 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
dan penyelamatan suatu objek budaya. Publikasi yang dimaksud juga
dilakukan untuk penyebaran informasi kepada publik baik dalam negeri
maupun luar negeri dengan menggunakan berbagai media. Bentuk media
yang digunakan untuk melakukan suatu publikasi disesuaikan dengan
sasaran dan tujuan publikasi.29
3) Pengamanan
Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib
melakukan pemeliharaan terhadap ekspresi budaya tradisional. Selain
pemerintah, orang/individu juga bisa melakukan pemeliharaan terhadap
ekspresi budaya tradisional. Pengaman ini sendiri dilakukan agar ekspresi
budaya tradisional tidak punah dan untuk mencegah agar pihak asing30 tidak
melakukan klaim-klaim atas kekayaan intelektual ekspresi budaya
tradisional. Kemudian pengamanan disini itu dapat dilakukan dengan
beberapa cara sebagaimana dikatakan dalam Undang-Undang Pemajuan
Kebudayaan, dimana pengamanan dapat dilakukan sebagai berikut:31
a. Memutakhirkan data dalam Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu
secara terus menerus;
b. Mewariskan Objek Pemajuan Kebudayaan kepada generasi berikutnya;
dan
c. Memperjuangkan Objek Pemajuan Kebudayaan sebagai warisan budaya
dunia.
4) Pemeliharaan
Dalam hal ini, pemeliharaan dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan-
kerusakan atau hilangnya objek dari pemajuan kebudayaan. Pemeliharaan
ini dapat dilakukan dengan menghidupkan dan menjaga suatu kebudayaan
serta mewariskannya kepada generasi yang akan datang.32
5) Penyelamatan
Dalam hal ini, suatu penyelamatan terhadap objek pemajuan kebudayaan
dapat dilakukan dengan cara revitalisasi, repatriasi dan restorasi.33
Upaya pencatatan kebudayaan pada sistem pendataan kebudayaan terpadu, maka
sistem ini tentu saja sama seperti konsep yang dimiliki oleh National Digital Library
atau perpustakaan digital yang ada di berbagai negara-negara lainnya. Negara lain juga
telah menginisiasi adanya perpustakaan digital dan tidak hanya melalui akses literatur
namun juga kebudayaan. Perpustakaan digital mempunyai fungsi penting untuk
menambah apresiasi atau keterikatan dengan budaya, dimana suatu ekspresi budaya
tradisional tidak serta merta hanya dilindungi namun dapat diakses secara global.
Dalam undang-undang pemajuan kebudayaan dapat dilihat suatu sistem pendataan
kebudayaan tepadu yang memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:34
1) Mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dalam satu sistem, sebagaimana
dalam Pasal 1 Angka (12) UU Pemajuan Kebudayaan yang menyatakan
bahwa “Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu adalah sistem data utama
29 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 28. 30 Yang dimaksud dengan “Pihak Asing” adalah warga negara asing, organisasi asing, badan
hukum asing, korporasi asing atau negara asing. 31 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 22 Ayat (4). 32 Ibid, Pasal 24. 33 Ibid, Pasal 26. 34 UU Pemajuan Kebudayaan
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 967
kebudayaan yang mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dari berbagai
sumber”.
2) Pencatatan dan diperbarui baik oleh pemerintah maupun masyarakat,
sebagaimana dalam Pasal 18 dan Pasal 20 UU Pemajuan Kebudayaan. Dalam
Pasal 18 menyatakan bahwa “Setiap Orang dapat melakukan pencatatan dan
pendokumentasian Objek Pemajuan Kebudayaan”. Sedangkan dalam Pasal 20
Ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah
wajib melakukan pemutakhiran data Objek Pemajuan Kebudayaan yang telah
ditetapkan”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, karakteristik sistem pendataan kebudayaan
terpadu dapat dikatakan sebagai fungsi yang akan menjadi Defensive Protection, yang
dimana suatu sistem pendataan kebudayaan terpadu dapat diakses secara global,
penyusunan database kebudayaan sistem pendataan kebudayaan terpadu dalam bentuk
National Digital Library yang merupakan langkah yang tepat. Bentuk dari hal tersebut
juga dapat digunakan oleh negara lainnya dan juga sebagai rekomendasi dari
Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,
Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF). 35 Sebagaimana hal diatas
tersebut, dalam pembentukan suatu database kebudayaan sistem pendataan
kebudayaan terpadu dalam bentuk National Digital Library, maka tentu saja sistem ini
dapat dijadikan suatu media yang berguna dan tepat dalam melakukan suatu
perlindungan hukum terhadap pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional.
Perlindungan maupun pelestarian terhadap budaya tradisional dapat dianggap
sebagai dua sisi mata uang yang sama, namun hal ini juga terdapat perbedaan dalam
memandang keduanya, bukan berarti keduanya tidak dapat saling melengkapi. Sebab
akan sangat sulit bicara soal pelestarian budaya tanpa bicara soal perlindungan dan
sebaliknya sulit bicara soal perlindungan tanpa bicara soal pelestarian. 36 Langkah
perlindungan preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya tradisional
Indonesia untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penklaiman budaya oleh negara lain
yang tentunya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri dan pendataan ini juga
penting bagi pelestarian budya Indonesia untuk mewariskan dari generasi ke generasi.
2. Peran Pemerintah Indonesia Dalam Melakukan Inventarisasi Pengetahuan
dan Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam hal ini, peran pemerintah Indonesia dalam melakukan inventarisasi
pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional didalam masyarakat, pembahasan
berawal dari Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT) yang diatur dalam
undang-undang pemajuan kebudayaan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah
wadah yang dapat berfungsi sebagai Defensive Protection.
Istilah defensive protection dapat dikatakan sebagai kebalikan dari positive
protection, dimana positive protection ini lebih menekankan pada tindakan yang aktif
untuk memperoleh hak sehingga defensive protection tersebut lebih menekankan pada
upaya pencegahan agar pihak asing tidak dapat mengajukan klaim perlindungan HKI
35 WIPO, Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,
Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF), http://www.wipo.int/tk/en/igc/, diakses 9
Desember 2019. 36 Afrillyanna Purba, “Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Dan
Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, Alumni, Bandung,
2012, hal. 142.
968 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
terhadap sebuah kebudayaan. 37 Dengan defensive protection, pencatatan dan
pendokumentasian melalui sistem pendataan kebudayaan terpadu oleh pemerintah
Indonesia, maka sudah tepat dikatakan bahwa hal tersebut bisa menjadi sebagai media
guna alat bukti dan langkah preventif ketika apabila budaya milik Indonesia diklaim
pihak asing.
Sistem Pendataan Kebudyaan Terpadu (SPKT) dengan sistem data referensial
yang dibentuk akan didukung dengan perbaikan mekanisme pendataan bidang
kebudayaan yang berjalan seperti menjalankan ekosistem kebudayaan, mekanisme
tersebut juga membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak khsusnya yang menangani
pendataan kebudayaan. Permasalahan yang saat ini banyak ditemukan dalam
mekanisme pendataan di pusat dan daerah, terutama data kebudayaan adalah tidak
terpusatnya pengumpulan sumber data. Akibatnya sering terjadi kerumitan dalam
menentukan kebenaran data dari berbagai sumber data, meskipun data yang diminta
sebenarnya menginformasikan hal yang sama.
Undang-Undang Hak Cipta sebelum adanya Undang-Undang Pemajuan
Kebudayaan, terlebih dahulu melembagakan pencatatan ciptaan.38 Pencatatan ciptaan
diatur dalam Bab X Undang-Undang Hak Cipta. Dalam hal mencatatkan ciptaan,
sebagaimana dalam Pasal 66 Undang-Undang Hak Cipta mensyaratkan adanya
permohonan pencatatan. Permohonan tersebut diajukan dengan menyertakan contoh
ciptaan, melampirkan surat pernyataan kepemilikan ciptaan,39 dan membayar biaya.
Berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Hak Cipta mengatakan bahwa
permohonan dapat diajukan oleh beberapa orang yang secara bersama-sama berhak
atas suatu Ciptaan dan badan hukum dengan dilampiri salinan resmi akta pendirian
badan hukum yang telah disahkan oleh pejabat berwenang. Setelah permohonan
diajukan, langkah selanjutnya adalah Menteri akan melakukan pemeriksaan. Menteri
yang dimaksud dalam hal ini menurut Pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta adalah
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Berdasarkan
Pasal 68 Undang-Undang Hak Cipta, pemeriksaan dilakukan untuk untuk mengetahui
Ciptaan yang dimohonkan tersebut secara esensial sama atau tidak sama dengan
Ciptaan yang tercatat dalam daftar umum Ciptaan atau objek kekayaan intelektual
lainnya.40 Kemudian apabila permohonan tersebut disetujui, maka surat pencatatan
ciptaan akan dikeluarkan oleh Menteri, dan ciptaan tersebut akan tercatat dalam daftar
umum ciptaan.
Kemudian dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Pemajuan
Kebudayaan yang telah mengatur kewenangan pemerintah mulai dari pembentukan,
pencatatan, hingga pengelolaan dan pemeliharaan Sistem Pendataan Kebudayaan
Terpadu. Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang
37 Agus Sardjono, “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional”, (PT Alumni :
Bandung, 2010), hal. 284 38 Ekspresi budaya tradisional dalam Undang-Undang Hak Cipta termasuk dalam ruang lingkup
Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3: “Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta
yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.” Ekspresi budaya
tradisional dapat masuk ke dalam lingkup ciptaan berdasarkan Penjelasan Pasal 38 Undang-Undang
Hak Cipta, yaitu verbal tekstual, musik, gerak, teater, dan seni rupa. 39 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana yang dimaksud pada Pasal
66 ayat 2 huruf (b) : Yang dimaksud dengan "surat pernyataan kepemilikan" adalah pernyataan
kepemilikan Hak Cipta atau produk Hak Terkait yang menyatakan bahwa Ciptaan atau produk Hak
Terkait tersebut benar milik Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. 40 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Hak Cipta yang dimaksud pada Pasal 68 Ayat 2 :
Yang dimaksud dengan "objek kekayaan intelektual lainnya" adalah daftar umum yang terdapat pada
daftar umum merek, daftar umum desain industri, dan daftar umum paten.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 969
menyatakan bahwa Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu dibentuk oleh Menteri.
Sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan
menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan.41
Dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam pengerjaan SPKT lembaga yang
bertanggung jawab dalam hal pembentukan SPKT adalah lembaga Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, kedudukan Kemendikbud berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Selanjutnya, dimana Kemendikbud bertugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan
untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Kemendikbud menjalankan fungsinya sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 sebagai berikut:42
a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta
pengelolaan kebudayaan.
b. Pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan
kebudayaan.
c. Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru
dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan.
d. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
e. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
f. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
g. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di daerah.
h. Pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra;
i. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat,
serta kebudayaan.
j. Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam menjalankan fungsinya di bidang kebudayaan, Kemendikbud mempunyai
unit kerja berupa Direktorat Jenderal Kebudayaan (Dirjen Kebudayaan). Dirjen
Kebudayaan berdasarkan Pasal 18 bertugas menyelenggarakan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan secara khusus di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian,
tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan
lainnya. 43 Hal pertama yang perlu dilakukan dalam memanfaatkan SPKT adalah
41 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 1 42 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 15), Pasal 3 43 Ibid, Pasal 18.
970 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
dengan melakukan inventarisasi. Inventarisasi terbagi atas beberapa tahapan yakni
dimulai dari pencatatan dan pendokumentasian, penetapan dan pemutakhiran data.44
Seteleh selesai melakukan Inventarisasi, kemudian menteri melakukan penetapan hasil
pencatatan dan pendokumentasian objek budaya. Penetapan yang dimaksud adalah
dilakukan dengan tahapan verifikasi dan validasi mengenai suatu objek budaya.
Dengan melakukan kegiatan Inventarisasi, secara tidak langsung suatu objek budaya
dapat terjamin terhadap perlindungannya dan bisa menjadi langkah preventif dalam
melakukan pembelaan terhadap suatu kasus atau klaim budaya. Setelah melakukan
inventarisasi, selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah pengamanan.
Dalam hal pengamanan sendiri, pemerintah wajib melakukan pemeliharaan terhadap
sebuah objek ekspresi budaya. Pengamanan ini dilakukan agar ekspresi budaya
tradisional tidak punah dan untuk mencegah agar pihak asing tidak melakukan klaim
atas kekayaan intelektual ekspresi budaya.
Pembahasan selanjutnya adalah Publikasi, dimana maksud dari publikasi
tersebut adalah publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi,
pengamanan, pemeliharaan dan penyelamatan suatu objek budaya. Publikasi dilakukan
untuk penyebaran informasi kepada publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri
dengan menggunakan berbagai media. Bentuk media yang digunakan untuk publikasi
disesuaikan dengan sasaran dan tujuan publikasi. Ketentuan publikasi diatur dengan
peraturan pemerintah nantinya. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh
pemerintah baik pusat maupun daerah dan individu dalam melakukan publikasi
terhadap suatu ekspresi budaya tradisional.45 Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai
berikut:
1. Didokumentasi sejarahnya lewat buku-buku.
2. Dijelaskan kedudukannya secara rinci lewat artikel.
3. Dibuat tulisan-tulisan ilmiah.
4. Dibuat catatan-catatan tentang ekspresi budaya tradisional.
5. Dipublikasikan di media elektronik.
Pemerintah wajib melakukan publikasi dokumentasi terhadap suatu objek
kebudayaan. publikasi dokumentasi disini merujuk pada seluruh aktivitas yang
bertujuan untuk mengorganisasi data seperti data-data tertulis, digital database, dan
pengarsipan. Sistem ini sendiri telah disampaikan oleh UNESCO pada tahun 2003
lewat konvensi UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage. Berdasarkan konvensi ini, publikasi dokumentasi adalah sebuah kegiatan
yang bertugas untuk menjamin pemeliharaan, pemakaian dan pengembangan dari
sebuah pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional baik untuk di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang untuk sebuah masyarakat lokal. 46
Kemudian adapun tujuan utama dari publikasi dokumentasi sebuah ekspresi budaya
tradisional disini adalah agar bisa menjamin pengamanan dari sebuah objek ekspresi
budaya tradisional. Fungsi-fungsi dari publikasi dokumentasi sendiri adalah sebagai
berikut:47
1. Dapat berfungsi sebagai alat pelindung dari “The Secret and Sacred” dari
sebuah ekspresi budaya tradisional.
44 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 16. 45 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 28. 46 WIPO, “WIPO Background Brief No.9 : Documentation of Traditional Knowledge and
Traditional Cultural Expressions”,( Geneva : WIPO Publication , 2016), hal. 1-2. 47 Ibid.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 971
2. Dokumentasi akan sangat membantu dalam pengembangan dan penelitian
sebuah objek pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
3. Dapat berfungsi sebagai sarana Defensive Protection.
Kegiatan yang dilakukan tersebut, mungkin saja kedepannya menjadi salah satu
yang akan sangat membantu dalam melindungi suatu ekspresi budaya tradisional yang
apabila dikerjakan oleh semua pihak secara bersama-sama. Dalam melakukan
pengerjaan dari segi publikasi juga akan dapat banyak hambatan-hambatan, dimana
beberapa diantaranya karena beragam budaya yang ada di Indonesia itu sangat banyak.
Hal ini termasuk didalamnya keberagaman ekspresi budaya tradisional, diversikasi
kultur masyarakat di tiap daerah dan bahkan perbedaan linguistik dapat terlihat. Maka
dari itu ketika suatu publikasi dilakukan, diharapkan baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat juga seharusnya dapat turut mengikutsertakan
dalam melakukan suatu publikasi yang baik terhadap ekspresi budaya tradisional.
Dalam melakukan perlindungan melalui SPKT, hal pertama yang dilakukan oleh
pemerintah derah ialah menyusun pokok pikiran kebudayaan daerah kabupaten atau
kota.48 Penyusunan pokok pikiran kebudayaan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat melalui para ahli yang memiliki
kompetensi dan kredibilitas dalam objek pemajuan kebudayaan di kabupaten atau
kota.49 Kemudian pokok pikiran terhadap kebudayaan akan berisi sebagai berikut:50
1. Identifikasi keadaan terkini dari perkembangan Objek Pemajuan Kebudayaan
di kabupaten/kota
2. Identifikasi Sumber Daya Manusia Kebudayaan,lembaga Kebudayaan, dan
pranata Kebudayaan di kabupaten/kota
3. Identifikasi sarana dan prasarana Kebudayaan di Kabupaten/kota
4. Identifikasi potensi masalah Perna juan Kebudayaan
5. Analisis dan rekomendasi untuk implementasi Pemajuan Kebudayaan di
kabupaten/kota.
Apabila ada pihak yang ingin melakukan pemanfaatan terhadap suatu ekspresi
budaya tradisional dan ekspresi budaya lainnya untuk menghindari terjadinya sengketa
pemakaian tanpa izin seperti kasus-kasus sebelumnya maka pihak tersebut perlu
meminta izin dari pemerintah. Objek pemajuan kebudayaan yang telah dicatatkan
dalam SPKT selanjutnya dapat dilakukan upaya pemanfaatan budaya. Pemanfaatan
berdasarkan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah upaya pendayagunaan
objek pemajuan kebudayaan untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengaturan
mengenai pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dibahas dalam Bab II Undang-
Undang Pemajuan Kebudayaan.51 Adapun pemanfaatan yang bertujuan sebagai berikut:
1. Membangun karakter bangsa dan Meningkatkan ketahanan budaya :
Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dengan tujuan membangun
karakter bangsa dan meningkatkan ketahanan budaya, berdasarkan Pasal
33 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
48 Pada UU Pemajuan Kebudayaan Pasal 9, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah
kabupaten/kota,Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Strategi Kebudayaan, dan Rencana Induk
PemajuanKebudayaan merupakan serangkaian dokumen yang disusun secara berjenjang. 49 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 11 Ayat 1. 50 Ibid, Pasal 11 Ayat 2. 51 Ibid, Pasal 1 Ayat 6.
972 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
a. Internalisasi nilai budaya.
b. Inovasi.
c. Peningkatan adaptasi menghadapi perubahan.
d. Komunikasi lintasbudaya.
e. Kolaborasi antarbudaya.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat :
Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan
dilakukan melalui pengolahan Objek Pemajuan Kebudayaan menjadi produk.
Produk yang dihasilkan antara lain di bidang perindustrian, perdagangan,
pariwisata, dan bidang lainnya. Sebagaimana dalam peraturan tersebut dapat
dikatakan bahwa Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan melihat potensi objek
pemajuan kebudayaan atau budaya tradisional Indonesia untuk dimanfaatkan
secara komersial dan Undang-Undang ini berusaha untuk mengakomodasi
penggunaannya. Produk hasil pengolahan objek pemajuan kebudayaan ini
kemudian akan dikelola oleh Pemerintah Pusat berdasarkan ketentuan Pasal 36
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Untuk mencegah penyalaghunaan oleh
pihak asing, Pasal 37 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan mensyaratkan
industri besar dan/atau pihak asing yang akan melakukan pemanfaatan objek
pemajuan kebudayaan untuk kepentingan komersial wajib memiliki Izin
Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan. Izin tersebut dapat diperoleh apabila
pihak industri dan/atau pihak asing telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki persetujuan atas dasar informasi awal.
b. Pembagian manfaat.
c. Pencantuman asal-usul Objek Pemajuan Kebudayaan.
3. Meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan
internasional :
Pemanfaatan objek pemajuan budaya untuk meningkatkan peran aktif dan
pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional, berdasarkan Pasal 35 Undang-
Undang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan dengan cara diplomasi budaya dan
peningkatan kerja sama internasional di bidang kebudayaan.
Berdasarkan penjelasan diatas tersebut, maka hal yang berkaitan dengan
pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan itu izin pemanfaatan objek pemajuan
kebudayaan hanya dipersyaratkan bagi industri besar dan/atau pihak asing (warga
negara asing, organisasi asing, badan hukum asing, korporasi asing, atau negara asing).
Undang-undang pemajuan kebudayaan mengatur bahwa izin ini diberikan oleh
Menteri, dalam hal ini kepanitiaan atau lembaga yang menyelenggarakan Sistem
Pendataan Kebudayaan Terpadu di bawah Kemendikbud. Adanya undang-undang
pemajuan kebudayaan, masyarakat lokal sebenarnya juga bisa turut serta dalam
membantu menjaga dan mempertahankan ekspresi budaya tradisional mereka dengan
membantu pemerintah dengan cara:
1. Membantu melakukan pencatatan dan pendokumentasian;
2. Membantu memutakhiran data ekspresi budaya tradisional;
3. Membantu mengamankan ekspresi budaya tradisional;
4. Berperan aktif dalam melakukan pemeliharaan terhadap sebuah ekspresi
budaya tradisional; dan
5. Melakukan penyelematan terhadap ekspresi budaya tradisional dengan
melakukan revitalisasi, repatriasi dan restorasi.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 973
Kemudian dalam rangka menegakan perlindungan hukum terhadap ekspresi
budaya tradisional, masyarakat lokal juga dapat berperan aktif dalam melakukan
publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan,
pemeliharaan dan penyelamatan terhadap sebuah ekspresi budaya tradisional.
Kemudian kerjasama inventarisasi dokumentasi dengan masyarakat lokal sendiri
menurut Consultation Draft WIPO yang menyatakan bahwa haruslah diperhatikan
secara rinci mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebelum kegiatan dokumentasi,
disaat kegiatan dokumentasi dan setelah dokumentasi berhasil dilaksanakan.52 Ketiga
fase tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:53
1. Fase Pertama (sebelum melakukan dokumentasi) :
Hal yang paling utama pada fase ini adalah melakukan perencanaan mengenai
proses dokumentasi. Dalam proses ini sendiri perlu ada interaksi terbuka dan
masyarakat adat setempat. Selain itu juga perlu mendefinisikan mengenai
transparan antara pihak yang ingin melakukan dokumentasi dengan tujuan
proses dokumentasi (objek apa yang ingin didokumentasi).
2. Fase Kedua (Ketika melakukan dokumentasi) :
Yang harus dilakukan ketika kegiatan dokumentasi dilakukan adalah :
a. Memiliki informan (orang yang berasal dari masyarakat lokal)
b. Memilih dan menggunakan kriteria dan metode yang tepat untuk
mengidentifikasi dan mengumpulkan ekspresi budaya tradisional yang
didokumentasikan.
c. Meninjau peraturan dan prinsip yang mengatur kondisi dimana sebuah
ekspresi budaya tradisional dikumpulkan dan diperoleh serta dievaluasi
nanti.
d. Mendapatkan data mengenai ekspresi budaya tradisional dan
menggunakan bahan pendukung yang memungkinkan ekspresi budaya
tradisional suatu masyarakat lokal direkam dan dipertahankan. Dalam hal
ini semua ekspresi budaya yang telah direkam akan didokumentasikan
lewat media sistem pendataan kebudayaan terpadu.
3. Fase Ketiga (Setelah Dokumentasi) :
Dalam hal ini, ketika setelah kerjasama dengan masyarakat lokal berhasil maka
hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain:
a. Mempromosikan ekspresi budaya tradisional yang telah direkam lewat
media SPKT.
b. Melakukan monitoring terhadap ekspresi budaya yang telah didokumentasi.
c. Mengembangkan media perlindungan SKPT.
Sebagaimana penjelasan diatas, masyarakat lokal juga dapat dikatakan sebagai
orang-orang yang memiliki pemahaman yang lengkap terhadap suatu ekspresi budaya
yang lahir di tempat mereka, apabila kerjasama dengan masyarakat lokal dapat
dimanfaatkan dengan baik maka hal ini tentu saja akan dapat membantu pemerintah
dalam melindungi ekspresi budaya tradisional. WIPO Intergovernmental Comitee
telah menyimpulkan pentingnya inventarisasi dalam melakukan perlindungan budaya.
Inventarisasi ini sangat penting bagi masyarakat yang bersangkutan ataupun
pemerintah untuk mempertahankan budaya miliknya. Dokumentasi yang dimaksud
52 WIPO, “WIPO Traditional Knowledge Documentation ToolKit”, (Geneva : WIPO Publication,
2012), hlm. 1-3 53 Ibid, hal. 18-33.
974 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
disini dapat berbentuk buku, artikel, rekaman audio, gambar atau foto, manuskrip,
tulisan ilmiah atau catatan-catatan yang dibuat oleh pemerintah.54 Inventarisasi harus
dilakukan dengan hati-hati agar data yang di dapat tidak menimbulkan kerugian bagi
masyarakat lokal pemilik budaya dan sebaliknya tidak menguntungkan negara-negara
maju yang ingin mengeksploitasi budaya.
Perlindungan karya cipta budaya dalam kajian Prof. Agus Sardjono adalah
menciptakan model dokumentasi yang tidak semata-mata untuk kepentingan prior art
search. Apabila pada kedudukan dokumentasi sebagai defensive protection
membutuhkan tindakan aktif dari masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan
maksimal sarana yang telah dikembangkan dalam membangun proses dokumentasi
tersebut. Disarankan untuk dipikirkan pengadaan model dokumentasi yang
dimaksudkan untuk pelestarian karya cipta budaya sebagai warisan budaya
(preservation of cultural heritage) masyarakat lokal yang hidup dan berkembang
secara alamiah.55
Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan teori John Locke mengenai the labour of
his body and the work of his hands, maka kegiatan inventarisasi merupakan cara untuk
menelaah dan menelusuri siapakah yang sesungguhnya bekerja dengan tangan dan
badannya baik dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun kedudukannya sebagai
kumpulan pribadi dalam masyarakat sehingga dapat ditemukan secara tepat siapa yang
paling berhak untuk mendapatkan nilai ekonomi dan nilai moral atas EBT tersebut.
Kegagalan dalam memberikan perlindungan terhadap terjangan negara asing dapat
dipandang menyalahi prinsip memberikan hak kepada yang bekerja dengan badannya
dan bekerja dengan tanngannya berdasarkan teori Hukum Alamnya John Locke.
Apabila suatu nnilai ekonomi dari suatu EBT itu harus berbagi berdasarkan
transaksi kontraktual antara pemilik atau negara mewakili pemilik atau karya cipta
budaya dimaksud tidak terkategorikan sebagai HKI dan masuk dalam kategori karya
peninggalan itu dapat dipandang sah berdasarkan hukum, dengan penerapan teori
keadilan dari John Rawls yang menyebut justice as a fairness, maka masih dapat
dikategorikan sebagai memenuhi prinsip keadilan berdasarkan kesetaraan. Namun
dalam faktanya pihak luar negeri lebih banyak memperoleh keuntungan finansial dari
penggunaan kampanye wisata dengan disertai klaim kepemilikan, maka negara dapat
dipandang tidak mendorong terpenuhinya prinsip dari teori keadilan pada kasus klaim-
klaim tersebut.
Apabila Inventarisasi yang cepat menjamin hak warga masyarakat untuk
memperoleh hasil kerja badan dan tangannya diperankan oleh negara secara maksimal
dalam fungsi sebagai regulator dan entrepreneurship yang akan memberikan
keuntungan finansial bagi individu, masyarakat dan negara. Inventarisasi yang akurat
dan sistematis menjamin perlindungan hukum bagi produk EBT tersebut. Peran
pemerintah itu merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses dokumentasi
serta kemudian hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga membawa manfaat bagi
masyarakat secara keseluruhan. Proses inventarisasi atau dokumentasi ini idealnya
dilakukan oleh lembaga yang secara implisit disebutkan sebagai lembaga representasi
Negara, langkah riil yang bisa dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini
adalah dengan mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah berkoordinasi juga dengan
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang juga bersinergi dalam melakukan
54 Agus Sardjono, HKI dan PT, hal. 286. 55 Agus Sardjono, HKI dan PT, hal. 293.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 975
tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi
karya-karya ekspresi budaya tradisional.
Kerumitan dalam melakukan inventarisasi tersebut, mengharuskan adanya
intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dan terlibat langsung, sebagai contoh
masyarakat yang menjadi adresat ekspresi budaya tradisional tersebut, budayawan dan
pakar yang ahli di bidangnya. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
perlindungan EBT seperti invenarisasi, registrasi atau pencatatan yang harus
diperankan oleh Negara. Oleh karena itu di Indonesia sebagai langkah perlindungan
preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya tradisional Indonesia
untuk mencegah terjadinya kasus-kasus pengklaiman budaya oleh negara lain yang
tentunya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri, sehingga nantinya pendataan,
inventarisasi atau pendokumentasian ini dapat digunakan oleh pihak yang mengalami
kasus penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional sebagai dasar pembuktian serta
dapat melanjutkan pembuatan Peta Budaya (Culture Map) di berbagai daerah di
Indonesia.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Perlindungan ekspresi budaya tradisional melalui hukum hak cipta
merupakan salah satu bentuk perlindungan yang paling relevan dalam
prinsip-prinsip hukum Kekayaan Intelektual. Inventarisasi atau dokumentasi
merupakan salah satu langkah Defensive Protection. Perlindungan secara
defensif hanya dimaksudkan sebagai upaya agar tidak terjadi penggunaan
secara melawan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional tertentu yang
dimiliki oleh suatu masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan oleh
berbagai negara dan komunitas masyarakat dalam memanfaatkan defensive
protection ini adalah dengan membangun database yang akurat dan updated
berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
tertentu. Sehingga, database ini dapat digunakan sebagai proses akhir
inventarisasi yang kemudian di dokumentasikan secara sistematis dalam
sebuah database tersebut. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan
perlindungan EBT seperti inventarisasi, registrasi atau pencatatan yang
harus diperankan oleh Negara. Oleh karena itu di Indonesia sebagai langkah
perlindungan preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya
tradisional Indonesia untuk mencegah terjadinya kasus-kasus pengklaiman
budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan bangsa Indonesia
sendiri.
2. Peran Pemerintah dalam melakukan perlindungan melalui inventarisasi
ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat juga harus mengupayakan
seperti halnya merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses
dokumentasi serta kemudian hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga
membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Proses inventarisasi
atau dokumentasi ini idealnya dilakukan oleh lembaga yang secara implisit
disebutkan sebagai lembaga representasi Negara, langkah riil yang bisa
dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini adalah dengan
976 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. Menurut penulis, upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah
berkoordinasi juga dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
yang juga bersinergi dalam melakukan tindakan inventarisasi atau
dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi karyakarya
ekspresi budaya tradisional, sehingga nantinya Dokumentasi ini dapat
digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan ekspresi
budaya tradisional sebagai dasar pembuktian serta dapat melanjutkan
pembuatan Peta Budaya (Culture Map) di berbagai daerah di Indonesia.
4.2. Saran
1. Dalam melakukan suatu perlindungan hukum preventif sebaiknya diadakan
suatu kegiatan inventarisasi atau dokumentasi yang merupakan salah satu
langkah Defensive Protection. Pendataan atau inventarisasi budaya
tradisional Indonesia bertujuan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus
pengklaiman budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan bangsa
Indonesia sendiri. Perlindungan hukum melalui inventarisasi ekspresi
budaya tradisional di dalam masyarakat juga harus mengupayakan seperti
halnya merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses dokumentasi.
Kemudian langkah-langkah yang dilakukan dalam memanfaatkan defensive
protection ini adalah dengan membangun database yang akurat dan updated
berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
tertentu.
2. Pemerintah sebaiknya melakukan inventarisasi terhadap ekspresi budaya
tradisional dan hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga membawa
manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Kemudian upaya konkrit yang
bisa dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini adalah dengan
mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia serta berkoordinasi juga dengan Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI) yang juga bersinergi dalam melakukan tindakan
inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi
karyakarya ekspresi budaya tradisional. Sehingga nantinya Dokumentasi ini
dapat digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan ekspresi
budaya tradisional sebagai dasar pembuktian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aulia, M. Zulfa. “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan
Tradisional”, Penerbit FH UI: Jakarta, 2006.
Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
RI, “Naskah Akademik Pengetahuan Tradisional”, Jakarta : BPHN dan Dirjen
HKI RI, 2006.
Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 977
Blake, Janet. “Safeguarding Traditional Culture and Folklore Existing International
Law and Future Developments”, Washington DC: Smithsonian Institution, 2001.
Kartadjoemena, H.S. “GATT, WTO Dan Hasil Uruguay Round”, UI Press:
Jakarta, 1997.
Margono, Suyud. “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, Pustaka Reka Cipta :
Bandung, 2015.
Muhammad, Abdulkadir. “Hukum dan Penelitian Hukum”, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004.
Purba, Afrillyanna. “Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia”, PT. Alumni : Jakarta, 2012.
Sardjono, Agus. “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional”, PT
Alumni : Bandung, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat)”, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2010.
WIPO, “WIPO Traditional Knowledge Documentation ToolKit”, Geneva : WIPO
Publication , 2012.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization, Lembaran Negara Republik
Indonesia (LNRI) Tahun 1994 Nomor 57
Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5599
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2017 Nomor 104
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 15).
WIPO, WIPO Copyright Treaty (WCT).
WIPO, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
UNESCO, Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage.
Artikel / Jurnal
Purwaningsih, Endang. “Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Hukum
Terhadap Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa”, Masalah-Masalah Hukum
Fakultas Hukum UNDIP, Jilid 41 No.1, (Jan. 2012). Hlm. 42-49.
Rohaini. “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui
Pengembangan Sui Generis Law”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9
(Oktober-Desember 2015). Hlm. 428-449.
Tri Haryani, Anik. “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Hukum Hak
Kekayaan Intelektual Di Indonesia”, Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum
Volume 2 No. 2, 2016, hal. 61-62.
WIPO, “WIPO Background Brief No.9 : Documentation of Traditional Knowledge
and Traditional Cultural Expressions”,( Geneva : WIPO Publication , 2016),
Internet
Pembagian Manfaat, Prinsip Pemanfaatan Objek Budaya oleh Pihak Asing,
978 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/06/pembagian-manfaat-
prinsippemanfaatan-objek-budaya-oleh-pihak-asing, diakses 5 Desember 2019.
WIPO, Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,
Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF),
http://www.wipo.int/tk/en/igc/, diakses 9 Desember 2019.