23
Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 956-978 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2865 PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL INDONESIA Andhika Putra Herzani* * Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 12 Desember 2019 Naskah diterima untuk diterbitkan: 10 Maret 2020 Abstract The development of an increasingly advanced era, the expression of traditional culture (EBT) is vulnerable to exploitation by other parties due to the lack of awareness of the importance of the assets of intellectual works and is not well documented or documented EBT. Inventory is one of the Defensive Protection steps, a step taken by building an accurate database and inventory, registration or recording that must be played by the State. Preventive protection needs to be recorded or an inventory of Indonesia's traditional culture to prevent cases of cultural claim by other countries which would certainly harm the Indonesian nation and be used by those who have experienced cases of EBT abuse as a basis for proof. Inventory should ideally be carried out by an institution that is implicitly a State representative institution, in supporting the inventory it should also optimize the Ministry of Education and Culture and coordinate with DJKI in taking comprehensive inventory or documentation actions. Keywords: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu. Abstrak Berkembangnya zaman yang semakin maju, ekspresi budaya tradisional (EBT) rentan dieksploitasi oleh pihak lain yang disebabkan kurangnya kesadaran betapa pentingnya aset karya intelektual dan tidak tercatat atau terdokumentasinya EBT dengan baik. Inventarisasi merupakan salah satu langkah Defensive Protection, langkah yang dilakukan dengan membangun database yang akurat serta inventarisasi, registrasi atau pencatatan yang harus diperankan oleh Negara. Perlindungan preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya tradisional Indonesia guna mencegah terjadinya kasus-kasus pengklaiman budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan bangsa Indonesia serta digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan EBT sebagai dasar pembuktian. Inventarisasi idealnya dilakukan oleh lembaga yang secara implisit sebagai lembaga representasi Negara, dalam mendukung inventarisasi seharusnya mengoptimalkan Kemendikbud dan berkoordinasi dengan DJKI dalam melakukan tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif. Kata Kunci: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.

PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Jurnal Hukum & Pembangunan 50 No. 4 (2020): 956-978

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no4.2865

PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI

BUDAYA TRADISIONAL INDONESIA

Andhika Putra Herzani*

* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 12 Desember 2019

Naskah diterima untuk diterbitkan: 10 Maret 2020

Abstract

The development of an increasingly advanced era, the expression of traditional culture

(EBT) is vulnerable to exploitation by other parties due to the lack of awareness of the

importance of the assets of intellectual works and is not well documented or

documented EBT. Inventory is one of the Defensive Protection steps, a step taken by

building an accurate database and inventory, registration or recording that must be

played by the State. Preventive protection needs to be recorded or an inventory of

Indonesia's traditional culture to prevent cases of cultural claim by other countries

which would certainly harm the Indonesian nation and be used by those who have

experienced cases of EBT abuse as a basis for proof. Inventory should ideally be

carried out by an institution that is implicitly a State representative institution, in

supporting the inventory it should also optimize the Ministry of Education and Culture

and coordinate with DJKI in taking comprehensive inventory or documentation

actions. Keywords: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan

Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.

Abstrak

Berkembangnya zaman yang semakin maju, ekspresi budaya tradisional (EBT) rentan

dieksploitasi oleh pihak lain yang disebabkan kurangnya kesadaran betapa pentingnya

aset karya intelektual dan tidak tercatat atau terdokumentasinya EBT dengan baik.

Inventarisasi merupakan salah satu langkah Defensive Protection, langkah yang

dilakukan dengan membangun database yang akurat serta inventarisasi, registrasi atau

pencatatan yang harus diperankan oleh Negara. Perlindungan preventif perlu diadakan

pendataan atau inventarisasi budaya tradisional Indonesia guna mencegah terjadinya

kasus-kasus pengklaiman budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan

bangsa Indonesia serta digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan

EBT sebagai dasar pembuktian. Inventarisasi idealnya dilakukan oleh lembaga yang

secara implisit sebagai lembaga representasi Negara, dalam mendukung inventarisasi

seharusnya mengoptimalkan Kemendikbud dan berkoordinasi dengan DJKI dalam

melakukan tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif. Kata Kunci: Ekspresi Budaya Tradisional; Hak Cipta, Inventarisasi; Perlindungan

Hukum; Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu.

Page 2: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 957

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara anggota WTO yang memiliki

keanekaragaman budaya. Indonesia merupakan negara anggota yang resmi menjadi

anggota di dalam WTO ketika meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade

Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang artinya

melalui ratifikasi ini Indonesia terikat dalam ketentuan-ketentuan WTO.1 Pengetahuan

dan ekspresi budaya tradisional dapat dikatakan sebagai sistem perlindungan hukum

Hak Kekayaan Intelektual yang telah dikembangkan sedemikian rupa tanpa harus

kehilangan karakteristik tradisionalnya. Ketika suatu budaya yang salah satunya

berbentuk kreasi seni dan dimiliki oleh Negara Indonesia, maka sudah seharusnya

dilindungi oleh pemerintah. Rezim perlindungan yang dipakai oleh pemerintah dalam

melakukan perlindungan terhadap potensi budaya ini adalah rezim kekayaan

intelektual.

Potensi budaya secara umum dikenal dengan nama Traditional Cultural

Expressions (Ekspresi Budaya Tradisional). Ekspresi budaya tradisional (EBT)

merupakan istilah yang digunakan WIPO dalam berbagai ranah internasional.2 EBT

adalah suatu perwujudan keterampilan dengan nilai-nilai dan keyakinan khusus serta

kebanyakan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Ekspresi budaya adalah

sekumpulan ciptaan tradisional baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan

dalam masyarakat yang menunjukan identitas sosial dan budayanya berdasarkan

standar dan nilai yang diikuti secara turun temurun. Adapun yang termasuk dalam

kategori objek atau ekspresi budaya, yaitu:3

1. Cerita rakyat;

2. Lagu Khas Daerah dan Instrumen Tradisional;

3. Tarian Rakyat;

4. Permainan Tradisional;

5. Hasil Seni Berupa Lukisan, Gambar, Ukiran, Pahatan, Mozaik,

Perhiasan, Kerajinan Tangan, dan Tenun Tradisional.

Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia dilindungi menggunakan peraturan

hak cipta, sebagaimana hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta. Aturan ini menyatakan bahwa negara adalah institusi yang

berperan penting dalam melindungi suatu karya ciptaan. Negara disini dapat dikatakan

sebagai pemegang hak, karena ekspresi budaya tradisional tidak diketahui siapa

penciptanya. 4 Kemudian pada tahun 2017, peraturan yang mengatur mengenai

perlindungan budaya selain rezim hak cipta yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun

2017 tentang Pemajuan Budaya telah disahkan. Peraturan ini memiliki tujuan bukan

hanya untuk melakukan perlindungan, namun juga melakukan pemajuan pada aspek

budaya. Peran yang diberikan bukan hanya untuk pemerintah pusat dan pemerintah

1 Soedjono Dirdjosisworo, “Pengantar Hukum Dagang Internasional”, (PT. Refika Aditama :

Bandung, 2006), hal.133. 2 Booklet No. 1 WIPO menegaskan kembali pengertian EBT : “Traditional cultural expression,

often the products of inter-generational and fluid social and communal creative processes, reflect and

identify a community’s history, cultural, and social identity, and values.” 3 Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual RI,

“Naskah Akademik Pengetahuan Tradisional”, (Jakarta : BPHN dan Dirjen HKI RI, 2006), hal. 38. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara

Nomor 266 Tahun 2014), Pasal 38 Ayat (1).

Page 3: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

958 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

daerah, namun masyarakat juga bisa ambil andil dalam berpartisipasi melakukan

perlindungan.

EBT dapat dikatakan sebagai warisan bersama umat manusia yang pertama kali

digunakan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

(UNESCO) dalam konvensi “World Heritage Convention” (WHC) pada tahun 1972.

Penyusunan WHC terdapat ide untuk memasukkan EBT dalam susunan WHC tersebut,

alasan dimasukkannya EBT karena saat itu peninggalan-peninggalan yang berkaitan

dengan ekspresi budaya tidak memiliki nilai yang tinggi. Kemudian, WHC

memasukan ekspresi budaya dan membuat rencana untuk mewajibkan negara untuk

melindungi masyarakat internasional guna memastikan terjadinya perlindungan

tersebut.5

EBT adalah bagian dari kehidupan budaya masyarakat, istilah ini sendiri berakar

dari tiga kata yaitu tradisi, budaya dan ekspresi. Untuk kata “ekspresi”, memiliki arti

untuk mengungkapkan atau tujuan yang jelas, ide atau perasaan. Kata “budaya” dalam

Bahasa inggris adalah “culture”, memiliki arti yang sama dengan budaya di Indonesia.

Secara umum budaya dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran

manusai dan intelek untuk mengembangkan dan mempertahankan hidup di lingkungan

mereka.6 EBT secara nasional maupun internasional dilindungi melalui mekanisme

hak cipta, dimana perlindungan lebih kepada komersialisasi EBT. Ketika

komersialisasi dilakukan oleh pihak yang melakukannya, maka disitu juga

mengesampingkan kepentingan dan kehendak dari kelompok tradisional bersangkutan

dan merubah esensi asli dari kebudayaan tersebut. Di Indonesia sendiri istilah yang

digunakan untuk merumuskan ekspresi budaya adalah Ekspresi Budaya Tradisional

(EBT).

Selanjutnya pembahasan mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang

merupakan suatu sistem yang melekat pada tatanan kehidupan modern. Pada aspek-

aspek lain yang memberi warna pada kehidupan modern lainnya, hak kekayaan

intelektual dapat dikatakan juga sebagai konsep yang relatif baru bagi sebagian besar

negara, terutama negara berkembang. Pada abad 20 dan awal abad 21 tercapai

kesepakatan negara-negara untuk mengangkat konsep HKI ke arah kesepakatan

bersama dalam wujud sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Agreement

Establishing The World Trade Organization (WTO Agreement) dan segala perjanjian

yang terlampir didalamnya termasuk yang menyangkut HKI.7

Dalam hal ini, World Trade Organization (WTO) sendiri tidak dapat dilepaskan

dari sejarahnya. WTO dimulai dengan keinginan kuat negara-negara untuk

memulihkan ekonomi yang hancur setelah perang dunia ke II. Dalam konsepnya

sendiri perjanjian mengenai hak kekayaan intelektual merupakan bagian integral dari

perjanjian Uruguay Round. Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks,

komperhensif dan ekstensif. Hal-hal pokok yang dicantumkan dalam perjanjian ini

adalah:8

1. Ketentuan mengenai jenis hak kekayaan intelektual yang tercakup dalam

perjanjian.

5 Janet Blake, “Safeguarding Traditional Culture and Folklore Existing International Law and

Future Developments”, (Washington DC: Smithsonian Institution, 2001), hal. 149. 6 Suyud Margono, “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, (Pustaka Reka Cipta : Bandung,

2015), hal.180. 7 Purba, “Pemberdayaan Perlindungan Hukum PTEBT”, hal. 78. 8 H.S. Kartadjoemena, “GATT, WTO Dan Hasil Uruguay Round”, (UI Press: Jakarta, 1997), hal.

253.

Page 4: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 959

2. Standar minimum perlindungan atau perincian ketentuan mengenai sejauh

mana perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara peserta.

3. Ketentuan mengenai enforcement atau pelaksanaan kewajiban

perlindungan hak kekayaan intelektual.

4. Ketentuan mengenai kelembagaan.

5. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa.

Dengan berkembangnya zaman yang semakin maju, ekspresi budaya tradisional

dapat dikatakan bahwa nantinya kemungkinan lama kelamaan akan hilang yang

disebabkan kurangnya kesadaran mengenai betapa pentingnya aset suatu karya

intelektual dan tidak tercatat atau terdokumentasinya ekspresi budaya tradisional

dengan baik. Ekspresi budaya tradisional masyarakat adat juga rentan untuk

dieksploitasi oleh pihak lain, dimana perlindungan terhadap itu sangat penting sebagai

sumber dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan komersil. Sehingga hal

tersebut dapat menjadi suatu persoalan terhadap perlindungan hukum yang masih

harus ditegakkan dan diperhatikan dengan baik. Sebagaimana persoalan-persoalan

yang terjadi, negara juga telah berperan dalam memajukan Kebudayaan Nasional

Indonesia di tengah peradaban dunia serta menjadikan Kebudayaan sebagai investasi

untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan

nasional, hal tersebut sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Kemudian negara wajib untuk menginventarisasi, menjaga dan memelihara

ekspresi budaya tradisional, sehingga dalam penggunaan ekspresi budaya tradisional

harus melihat nilai yang hidup dalam suatu masyarakat pengembannya. Upaya yang

dapat dilakukan untuk melindungi karya cipta ekspresi budaya tradisional sebagai

wujud nasionalisme bangsa, salah satunya bisa ditempuh melalui cara inventarisasi.

Inventarisasi atau dokumentasi atas kebudayaan tradisional merupakan kegiatan

pendataan atas suatu karya cipta budaya di suatu wilayah yang dengan adanya data

tersebut kebudayaan tradisional suatu masyarakat dapat terinventarisir dengan baik.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka adapun rumusan masalah

yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana seharusnya perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya

tradisional di Indonesia?

2. Bagaimana seharusnya peran pemerintah Indonesia dalam melakukan

inventarisasi ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat ?

Dalam penelitian ini ditentukan apa yang menjadi batasan materi yang akan

diuraikan. Hal ini perlu dilakukan agar isi atau materi dari tulisan ini tidak

menyimpang dari pokok-pokok permasalahan sehingga pembahasannya dapat terarah

dan diuraikan secara sistematis. Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap ekspresi budaya

tradisional di Indonesia.

2. Untuk mengetahui peran pemerintah Indonesia dalam melakukan

inventarisasi ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat.

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penulisan yang digunakan

adalah metode penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

Page 5: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

960 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mengumpulkan data sekunder atau data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka

seperti buku, skripsi, tesis, jurnal internasional, makalah, artikel internet serta hasil

penelitian. Ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah multi disipliner yang

terdiri dari hukum hak kekayaan intelektual atau hak cipta dan ilmu teknologi dan

informatika. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai bentuk problem identifications

yaitu mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan dan kemudian dianalisis dan

diambil kesimpulannya.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian yang bersifat deskriptif

analisis karena bertujuan untuk melukiskan suatu realitas sosial yang diawali dengan

pengumpulan data. Data yang diperoleh akan dianalisa untuk memperoleh gambaran

secara komprehensif tentang masalah-masalah yang ada. Berdasarkan disiplin ilmu

hukum, maka metode pendekatan terhadap permasalahan pada penelitian ini baik

untuk kepentingan analisisnya maupun pembahasannya adalah melalui pendekatan

yuridis normatif yaitu mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori,

sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi,

penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat serta

undang-undang, bahasa hukum yang digunakan. 9 Pendekatan yuridis normatif

digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku serta

terkait dengan Perlindungan hukum melalui Inventarisasi ekspresi budaya tradisional

di dalam masyarakat Indonesia.

Pada penelitian ini, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian

digolongkan sebagai data sekunder. Dimana sumber data yang digunakan dalam

penelitian data sekunder adalah meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier.10 Dalam penelitian ini, bahan hukum yang dijadian rujukan

adalah data sekunder, antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan dan mengikat,

yakni:

a. Peraturan Perundang-undangan, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Agreement Establishing The World Trade Organization

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan

Kebudayaan

4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015

tentang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

5) WIPO, WIPO Copyright Treaty (WCT).

6) WIPO, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

7) UNESCO, Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural

Heritage.

9 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2004), hal. 101. 10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”,

(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2010), hal. 33.

Page 6: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 961

2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Seperti hasil penelitian, artikel, buku-buku

referensi, jurnal dan media informasi lainnya seperti internet yang juga menjadi

tambahan bagi penulisan ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan

penelitian yang dilakukan.

3. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum

dan ensiklopedia.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Perlindungan Hukum Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia

Dalam hal ini, ekpresi budaya tradisional mengandung beberapa nilai seperti

ekonomi, spiritualitas, dan komunialitas. Keseluruhan nilai ini dihormati oleh

masyarakat tradisional. EBT mewakili identitas masyarakat adat didaerah tertentu.

Istilah EBT merangkum ekspresi baik secara lisan, musik, dan produk budaya karya

artis. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dapat dikategorikan

demikian apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:11

a. Diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi;

b. Merupakan pengetahuan tentang lingkungannya dan hubungannya dengan

segala sesuatu;

c. Bersifat holistik, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang

membangunnya;

d. Merupakan jalan hidup (way of life) yang digunakan secara bersama-sama

oleh komunitas masyarakat dan karenanya disana terdapat nilai-nilai

masyarakat”.

Perlindungan terhadap suatu budaya yang timbul untuk keperluan negara

berkembang dalam melindungi sumber daya manusia kreatif yang dimilikinya, Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) dengan ekspresi budaya terdapat pertentangan yang cukup

serius. Dalam hal ini, dimana antara suatu negara pemilik ekspresi budaya dan pihak

lain (dalam hal ini asing) ingin memanfaatkan suatu EBTnya. Pihak asing mengatakan

bahwa sumber daya dan kekayaan tradisional yang ada secara melimpah merupakan

warisan leluhur yang dapat digunakan oleh siapapun dan kapanpun (common heritage

of mankind atau warisan bersama milik umat manusia). 12 Perhatian internasional

kepada perlindungan HKI yang memberikan perlindungan terhadap pengetahuan

tradisional. Hal ini menjadi permasalahan yang begitu kompleks ketika kekayaan

intelektual yang berasal dari tradisi dihadapkan pada sistem HKI yang sangat modern.

Selanjutnya terhadap kekayaan intelektual asli (indigenous intellectual property)

yang merupakan sebuah terminologi hukum (an umbrella legal term) yang digunakan

dalam forum-forum baik dalam lingkup nasional maupun internasional yang ditujukan

untuk mengidentifikasikan hak-hak khusus masyarakat asli (indigenous peoples

special rights) untuk mengklaim terhadap seluruh keaslian kelompoknya yang

11 M. Zulfa Aulia, “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan Tradisional”,

(Penerbit FH UI: Jakarta, 2006), hal. 20. 12 Endang Purwaningsih, “Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Hukum Terhadap

Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa”, Masalah-Masalah Hukum Fakultas Hukum UNDIP, Jilid 41

No.1, (Jan. 2012), hal. 43.

Page 7: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

962 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

diketahui sekarang ini, telah diketahui sebelumnya dan yang akan diketahui.

Sebagaimana terminologi yang dikembangkan oleh Chrisoph Beat Graber “Indigenous

Intellectual Property is an umbrella legal term used in national and international

forums to identify indigenous peoples special rights to claim (from within their ow

laws) all that their indigenous groups know now, have known, or will know”.13

Pemikiran konsep HKI sebagai media perlindungan terhadap pengetahuan

tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan suatu pengembangan dari

tradisi hukum barat yang dominan. Secara umum terdapat beberapa pihak yang

dimungkinkan menjadi subjek pemegang hak milik atas pengetahuan tradisional dan

ekspresi budaya tradisional, adapun pihak-pihak yang dimaksud yaitu:14

a. Masyarakat adat (Kategori ini diperhitungkan dikarenakan mereka

merupakan pemilik asli dari pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya);

b. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Kategori ini dimasukan

dikarenakan mereka berperan sebagai pelindung dan sebagai pengelola,

terlepas dari itu pemilik hak tetaplah masyarakat adat);

c. Pihak ketiga (Kategori yang dimaksudkan disini adalah pihak-pihak yang

ingin memanfaatkan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional

namun tetap memperhatikan kepentingan pemilik hak).

Banyak pihak memberikan pendapat bahwa rezim HKI memiliki nilai-nilai yang

berkontradiksi dengan nilai-nilai EBT. HKI pada pokoknya bersifat individual dan

tidak memiliki sifat komunal. HKI sebagai sebuah “hak” tidak dapat dilepaskan

dengan persoalan ekonomi. HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual.

Konsep perlindungan terhadap EBT dengan menggunakan HKI dapat dilakukan

melalui 2 (dua) model perlindungan. Kedua model perlindungan ini dikembangkan

oleh WIPO. Model perlindungan ini dinamakan Defensive Protection dan Positive

Protection:15

1) Defensive Protection : Terminologi defensive protection merujuk pada

usaha yang bertujuan untuk mencegah pemberian HKI atas EBT yang

berkaitan dengan pemakaian EBT oleh pihak lain tanpa sepengetahuan dan

izin dari pemilik EBT tersebut. Perlindungan secara defensif sendiri terdiri

dari 2 (dua) aspek yaitu:16

a. Legal Aspect : Aspek ini sendiri akan memastikan batasan terkait

prior art bagi EBT dengan memastikan di dalam undang-undang

bahwa pengungkapan EBT secara oral merupakan prior art;

b. Practice Aspect : Aspek ini akan memastikan bagaimana sebuah

EBT tersedia dan terbuka untuk dilakukan dokumentasi oleh pihak-

pihak yang ingin melakukan perlindungan terhadap EBT tersebut.

2) Positive Protection : Defensive Protection dapat menjadi salah satu

kebijakan yang efektif untuk mencegah diberikannya HKI kepada pihak

yang tidak berhak. Namun demikian hal ini tidak secara otomatis

menghentikan dilakukannya perbuatan misappropriation atas pengetahuan

tradisional. Dibutuhkan hukum nasional untuk mensupport pelaksanaan

13 Suyud Margono, “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, (Pustaka Reka Cipta : Bandung,

2015), hal. 185. 14 Ibid, hal. 186. 15 Rohaini, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui Pengembangan

Sui Generis Law”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 (Oktober-Desember 2015), hal. 437. 16 Ibid.

Page 8: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 963

kebijakan ini. Hukum positif adalah mekanisme utama dalam upaya untuk

mencapai perlindungan dan pembagian keuntungan terhadap pemilik EBT.

Kemajuan signifikan yang perlu dicatat dalam upaya perlindungan positif

ini ialah disepakatinya Convention for the Safeguarding of the Intangible

Cultural Heritage 2003 dan Convention on the Protection and Promotion of

the Diversity of Cultural Expression 2005 dalam forum United Nations

Education, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) dalam ranah

pelestarian. Indonesia sendiri telah menandatangani dan meratifikasi kedua

Konvensi UNESCO ini. Convention for the Safeguarding of the Intangible

Cultural Heritage 2003 diratifikasi dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the

Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (Konvensi Untuk

Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda), sedangkan Convention on the

Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expression 2005

diratifikasi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 tahun

2011 tentang Pengesahan Convention on the Protection and Promotion of

the Diversity of Cultural Expression (Konvensi tentang Proteksi dan

Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya). Dalam konvensi-konvensi

tersebut telah diuraikan mengenai pentingnya perlindungan terhadap

pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Konvensi tersebut

memberikan jalan bagi negara-negara berkembang untuk dapat melindungi

pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisionanya.17

Sistem ini dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk upaya hukum yaitu dengan

mengefektifkan penggunaan undang-undang terkait HKI atau melalui

pembentukan undang-undang khusus yang mengatur mengenai EBT itu

sendiri (Sui Generis Law). Selanjutnya terhadap perlindungan yang

diperoleh dari peraturan perundang-undangan HKI dapat dibagi menjadi 2

(dua) yaitu :18

a. Perlindungan HKI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi (IP

Protection to Support economic development). Hal ini dimana

masyarakat tradisional mengharapkan agar perlindungan HKI

terhadap hasil kreativitas dan inovasi yang berdasar pada tradisi

budaya mereka dan dapat memberikan benefit komersil yang pada

kemudian hari dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan

ekonomi mereka.

b. Perlindungan HKI untuk mencegah penyalahgunaan dan

komersialisasi warisan budaya yang tidak pantas.

Dengan intervensi perlindungan HKI dalam lingkup TRIPs Agreement yang

diadopsi ke dalam hukum nasional setiap negara peserta, rezim HKI di dunia

kemudian lebih bersifat Ownership daripada authorship. Akibat lebih lanjut dari

sistem tersebut adalah rezim HKI kemudian lebih bersifat kapitalistik. Hal ini

disebabkan karena siapa yang kemudian dapat menguasainya (owner) adalah mereka

yang dapat membeli apapun termasuk hak-hak pencipta. Apalagi eksploitasi hak-hak

ekonomi para pencipta suatu ciptaan tertentu dilakukan melalui perjanjian kontrak.19

17 Anik Tri Haryani, “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Hukum Hak Kekayaan

Intelektual Di Indonesia”, Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum Volume 2 No. 2, 2016, hal. 61-62. 18 Ibid 19 Margono, “Hukum HKI”, hal. 370.

Page 9: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

964 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka telah berlaku dengan kenyataan

sosial yang mengatakan bahwa kuat akan mengalahkan yang lemah. Pada akhirnya

pencipta tidak lagi menjadi pemilik hak kekayaan intelektual yang mereka hasilkan.

Hak itu berdasarkan kontrak sebagaimana kini telah menjadi milik kaum pemilik

modal. Dengan situasi ini, maka dari sudut para pemilik modal kiranya sistem hukum

HKI menjadi sangat bermanfaat untuk melinudngi investasi mereka. Sebaliknya bagi

dunia ilmu pengetahuan maupun kreativitas dan kondisinya bisa berbeda sama sekali.

Ketika perlindungan HKI kemudian terlalu berat porsinya bagi perlindungan

pemilik modal maka hanya dapat dipastikan bahwa perlindungan HKI itu pada

akhirnya hanya akan menguntungkan pemilik modal.20 Pada perkembangan saat ini

sistem HKI adalah sistem yang dipakai dalam melindungi EBT. Setelah melihat

deskripsi HKI yang bersifat individualistic secara eksklusif dalam artian kepada

pemilik modal, maka sistem HKI yang dikaitkan dengan perlindungan EBT yang

bukan kepemilikan bersama ini menimbulkan masalah tersendiri. Kendala utama

dalam upaya perlindungannya sendiri menurut soesangobeng dapat dirinci menjadi

beberapa faktor antara lain:21

1. Berkaitan erat dengan beberapa hal yang bersifat mistikal dan turun

temurun.

2. Lemahnya kemampuan untuk mengurai unsur-unsur dasar serta

pengembangan teknik penerusan kepada orang lain secara terbuka dan

ilmiah.

3. Sedikitnya intelektual Indonesia yang berminat mempelajari karya cipta

masyarakat ada Indonesia.

4. Pengetahuan secara ekonomi berupa nilai uang masih dilakukan secara

malu-malu dan terselubung. Akibatnya pengetahuan dan teknologi luar

negeri umumnya dinilai lebih layak dibayar mahal daripada hasil karya

cipta masyarakat adat Indonesia sendiri.

5. Perangkat hukum dan sistem pelacakan hasil karya cipta serta

pengetahuan masyarakat adat yang belum ditegakan dengan baik dan

lugas.

Kemudian perlindungan ekspresi budaya tradisional di Indonesia apabila ditinjau

dalam Undang-Undang Nasional yang disahkan oleh pemerintah atas suatu EBT yakni

Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No 5

Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ekspresi budaya tradisional tersebut juga

dapat dikatakan masuk didalam rezim hak cipta sebagaimana tercantum dalam Pasal

38 Undang-Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa:22

"ekspresi budaya tradisional" mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi

sebagai berikut:

a. Verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa

maupun puisi, dalam berbagai tema dan kandungan isi pesan, yang dapat

berupa karya sastra ataupun narasi informatif;

b. Musik, mencakup antara lain, vokal, instrumental, atau kombinasinya;

c. Gerak, mencakup antara lain, tarian;

d. Teater, mencakup antara lain, pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat;

20 Ibid, hal. 371. 21 Ibid. 22 UU Hak Cipta, Penjelasan Pasal 38 Ayat (1)

Page 10: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 965

e. Seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang

terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam,

batu, keramik, kertas, tekstil, dan lain-lain atau kombinasinya; dan

f. Upacara adat”.

Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan

Kebudayaan yang dapat dikatakan sebagai suatu peraturan pertama sebagai bentuk sui

generis yang berbeda dari Hak Kekayaan Intelektual yang bisa melindungi suatu

bentuk pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional. Pada undang-undang pemajuan

kebudayaan, objek pemajuan kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan yang

menjadi sasaran utama dalam pemajuan kebudayaan.23 Objek pemajuan kebudayaan

pada peraturan ini meliputi:24

1. Tradisi lisan;

2. Manuskrip;

3. Adat Istiadat;

4. Ritus;

5. Pengetahuan Tradisional;

6. Teknologi Tradisional;

7. Seni;

8. Bahasa;

9. Permainan Rakyat;

10. Olahraga Tradisional.

Apabila kita lihat dalam peraturan pemajuan kebudayaan, perlindungan terhadap

ekspresi budaya tradisional dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Perlindungan

ini dapat dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:25

1) Inventarisasi

Dalam hal ini, suatu inventarisasi terdiri dari beberapa tahapan-tahapan,

pertama dimulai dari pencatatan dan pendokumentasian26 serta penetapan

dan pemutakhiran data.27 Dengan itu, inventarisasi dapat dilakukan melalui

sebuah sistem yang bernama Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu

(SPKT). Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu dibentuk oleh

kemendikbud untuk mendukung pelaksanaan Pemajuan Kebudayaan.

Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu berisi data mengenai 4 (empat) hal

yaitu objek pemajuan kebudayaan; sumber daya manusia kebudayaan,

lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan; sarana dan prasarana

Kebudayaan; dan data lain terkait kebudayaan.28

2) Publikasi

Dalam hal ini, suatu publikasi merupakan publikasi terhadap informasi-

informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan

23 Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (Lembaran

Negara Nomor 104 Tahun 2017), Pasal 1 Ayat (8). 24 Ibid, Pasal 5 25 Ibid, Pasal 1 Ayat (4) 26 Yang dimaksud dengan “pencatatan dan pendokumentasian” adalah upaya merekam untuk

menggambarkan keadaan Objek Kebudayaan baik wujud fisik maupun arti sosialnya dengan tujuan

untuk mengidentifikasi Objek Kebudayaan. (Penjelasan Pasal 16 Ayat (1) Huruf (a) 27 Ibid, Pasal 16 28 Pembagian Manfaat, Prinsip Pemanfaatan Objek Budaya oleh Pihak Asing,

<https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/06/pembagian-manfaat-prinsip-pemanfaatan-objek-

budaya-oleh-pihak-asing>, diakses tanggal 5 Desember 2019.

Page 11: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

966 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

dan penyelamatan suatu objek budaya. Publikasi yang dimaksud juga

dilakukan untuk penyebaran informasi kepada publik baik dalam negeri

maupun luar negeri dengan menggunakan berbagai media. Bentuk media

yang digunakan untuk melakukan suatu publikasi disesuaikan dengan

sasaran dan tujuan publikasi.29

3) Pengamanan

Dalam hal ini, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah wajib

melakukan pemeliharaan terhadap ekspresi budaya tradisional. Selain

pemerintah, orang/individu juga bisa melakukan pemeliharaan terhadap

ekspresi budaya tradisional. Pengaman ini sendiri dilakukan agar ekspresi

budaya tradisional tidak punah dan untuk mencegah agar pihak asing30 tidak

melakukan klaim-klaim atas kekayaan intelektual ekspresi budaya

tradisional. Kemudian pengamanan disini itu dapat dilakukan dengan

beberapa cara sebagaimana dikatakan dalam Undang-Undang Pemajuan

Kebudayaan, dimana pengamanan dapat dilakukan sebagai berikut:31

a. Memutakhirkan data dalam Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu

secara terus menerus;

b. Mewariskan Objek Pemajuan Kebudayaan kepada generasi berikutnya;

dan

c. Memperjuangkan Objek Pemajuan Kebudayaan sebagai warisan budaya

dunia.

4) Pemeliharaan

Dalam hal ini, pemeliharaan dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan-

kerusakan atau hilangnya objek dari pemajuan kebudayaan. Pemeliharaan

ini dapat dilakukan dengan menghidupkan dan menjaga suatu kebudayaan

serta mewariskannya kepada generasi yang akan datang.32

5) Penyelamatan

Dalam hal ini, suatu penyelamatan terhadap objek pemajuan kebudayaan

dapat dilakukan dengan cara revitalisasi, repatriasi dan restorasi.33

Upaya pencatatan kebudayaan pada sistem pendataan kebudayaan terpadu, maka

sistem ini tentu saja sama seperti konsep yang dimiliki oleh National Digital Library

atau perpustakaan digital yang ada di berbagai negara-negara lainnya. Negara lain juga

telah menginisiasi adanya perpustakaan digital dan tidak hanya melalui akses literatur

namun juga kebudayaan. Perpustakaan digital mempunyai fungsi penting untuk

menambah apresiasi atau keterikatan dengan budaya, dimana suatu ekspresi budaya

tradisional tidak serta merta hanya dilindungi namun dapat diakses secara global.

Dalam undang-undang pemajuan kebudayaan dapat dilihat suatu sistem pendataan

kebudayaan tepadu yang memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:34

1) Mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dalam satu sistem, sebagaimana

dalam Pasal 1 Angka (12) UU Pemajuan Kebudayaan yang menyatakan

bahwa “Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu adalah sistem data utama

29 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 28. 30 Yang dimaksud dengan “Pihak Asing” adalah warga negara asing, organisasi asing, badan

hukum asing, korporasi asing atau negara asing. 31 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 22 Ayat (4). 32 Ibid, Pasal 24. 33 Ibid, Pasal 26. 34 UU Pemajuan Kebudayaan

Page 12: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 967

kebudayaan yang mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dari berbagai

sumber”.

2) Pencatatan dan diperbarui baik oleh pemerintah maupun masyarakat,

sebagaimana dalam Pasal 18 dan Pasal 20 UU Pemajuan Kebudayaan. Dalam

Pasal 18 menyatakan bahwa “Setiap Orang dapat melakukan pencatatan dan

pendokumentasian Objek Pemajuan Kebudayaan”. Sedangkan dalam Pasal 20

Ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah pusat dan/atau Pemerintah Daerah

wajib melakukan pemutakhiran data Objek Pemajuan Kebudayaan yang telah

ditetapkan”.

Berdasarkan penjelasan tersebut, karakteristik sistem pendataan kebudayaan

terpadu dapat dikatakan sebagai fungsi yang akan menjadi Defensive Protection, yang

dimana suatu sistem pendataan kebudayaan terpadu dapat diakses secara global,

penyusunan database kebudayaan sistem pendataan kebudayaan terpadu dalam bentuk

National Digital Library yang merupakan langkah yang tepat. Bentuk dari hal tersebut

juga dapat digunakan oleh negara lainnya dan juga sebagai rekomendasi dari

Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,

Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF). 35 Sebagaimana hal diatas

tersebut, dalam pembentukan suatu database kebudayaan sistem pendataan

kebudayaan terpadu dalam bentuk National Digital Library, maka tentu saja sistem ini

dapat dijadikan suatu media yang berguna dan tepat dalam melakukan suatu

perlindungan hukum terhadap pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional.

Perlindungan maupun pelestarian terhadap budaya tradisional dapat dianggap

sebagai dua sisi mata uang yang sama, namun hal ini juga terdapat perbedaan dalam

memandang keduanya, bukan berarti keduanya tidak dapat saling melengkapi. Sebab

akan sangat sulit bicara soal pelestarian budaya tanpa bicara soal perlindungan dan

sebaliknya sulit bicara soal perlindungan tanpa bicara soal pelestarian. 36 Langkah

perlindungan preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya tradisional

Indonesia untuk mencegah terjadinya kasus-kasus penklaiman budaya oleh negara lain

yang tentunya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri dan pendataan ini juga

penting bagi pelestarian budya Indonesia untuk mewariskan dari generasi ke generasi.

2. Peran Pemerintah Indonesia Dalam Melakukan Inventarisasi Pengetahuan

dan Ekspresi Budaya Tradisional

Dalam hal ini, peran pemerintah Indonesia dalam melakukan inventarisasi

pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional didalam masyarakat, pembahasan

berawal dari Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu (SPKT) yang diatur dalam

undang-undang pemajuan kebudayaan, hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah

wadah yang dapat berfungsi sebagai Defensive Protection.

Istilah defensive protection dapat dikatakan sebagai kebalikan dari positive

protection, dimana positive protection ini lebih menekankan pada tindakan yang aktif

untuk memperoleh hak sehingga defensive protection tersebut lebih menekankan pada

upaya pencegahan agar pihak asing tidak dapat mengajukan klaim perlindungan HKI

35 WIPO, Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,

Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF), http://www.wipo.int/tk/en/igc/, diakses 9

Desember 2019. 36 Afrillyanna Purba, “Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Dan

Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, Alumni, Bandung,

2012, hal. 142.

Page 13: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

968 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

terhadap sebuah kebudayaan. 37 Dengan defensive protection, pencatatan dan

pendokumentasian melalui sistem pendataan kebudayaan terpadu oleh pemerintah

Indonesia, maka sudah tepat dikatakan bahwa hal tersebut bisa menjadi sebagai media

guna alat bukti dan langkah preventif ketika apabila budaya milik Indonesia diklaim

pihak asing.

Sistem Pendataan Kebudyaan Terpadu (SPKT) dengan sistem data referensial

yang dibentuk akan didukung dengan perbaikan mekanisme pendataan bidang

kebudayaan yang berjalan seperti menjalankan ekosistem kebudayaan, mekanisme

tersebut juga membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak khsusnya yang menangani

pendataan kebudayaan. Permasalahan yang saat ini banyak ditemukan dalam

mekanisme pendataan di pusat dan daerah, terutama data kebudayaan adalah tidak

terpusatnya pengumpulan sumber data. Akibatnya sering terjadi kerumitan dalam

menentukan kebenaran data dari berbagai sumber data, meskipun data yang diminta

sebenarnya menginformasikan hal yang sama.

Undang-Undang Hak Cipta sebelum adanya Undang-Undang Pemajuan

Kebudayaan, terlebih dahulu melembagakan pencatatan ciptaan.38 Pencatatan ciptaan

diatur dalam Bab X Undang-Undang Hak Cipta. Dalam hal mencatatkan ciptaan,

sebagaimana dalam Pasal 66 Undang-Undang Hak Cipta mensyaratkan adanya

permohonan pencatatan. Permohonan tersebut diajukan dengan menyertakan contoh

ciptaan, melampirkan surat pernyataan kepemilikan ciptaan,39 dan membayar biaya.

Berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Hak Cipta mengatakan bahwa

permohonan dapat diajukan oleh beberapa orang yang secara bersama-sama berhak

atas suatu Ciptaan dan badan hukum dengan dilampiri salinan resmi akta pendirian

badan hukum yang telah disahkan oleh pejabat berwenang. Setelah permohonan

diajukan, langkah selanjutnya adalah Menteri akan melakukan pemeriksaan. Menteri

yang dimaksud dalam hal ini menurut Pasal 1 Undang-Undang Hak Cipta adalah

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Berdasarkan

Pasal 68 Undang-Undang Hak Cipta, pemeriksaan dilakukan untuk untuk mengetahui

Ciptaan yang dimohonkan tersebut secara esensial sama atau tidak sama dengan

Ciptaan yang tercatat dalam daftar umum Ciptaan atau objek kekayaan intelektual

lainnya.40 Kemudian apabila permohonan tersebut disetujui, maka surat pencatatan

ciptaan akan dikeluarkan oleh Menteri, dan ciptaan tersebut akan tercatat dalam daftar

umum ciptaan.

Kemudian dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Pemajuan

Kebudayaan yang telah mengatur kewenangan pemerintah mulai dari pembentukan,

pencatatan, hingga pengelolaan dan pemeliharaan Sistem Pendataan Kebudayaan

Terpadu. Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang

37 Agus Sardjono, “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional”, (PT Alumni :

Bandung, 2010), hal. 284 38 Ekspresi budaya tradisional dalam Undang-Undang Hak Cipta termasuk dalam ruang lingkup

Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3: “Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta

yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.” Ekspresi budaya

tradisional dapat masuk ke dalam lingkup ciptaan berdasarkan Penjelasan Pasal 38 Undang-Undang

Hak Cipta, yaitu verbal tekstual, musik, gerak, teater, dan seni rupa. 39 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana yang dimaksud pada Pasal

66 ayat 2 huruf (b) : Yang dimaksud dengan "surat pernyataan kepemilikan" adalah pernyataan

kepemilikan Hak Cipta atau produk Hak Terkait yang menyatakan bahwa Ciptaan atau produk Hak

Terkait tersebut benar milik Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait. 40 Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Hak Cipta yang dimaksud pada Pasal 68 Ayat 2 :

Yang dimaksud dengan "objek kekayaan intelektual lainnya" adalah daftar umum yang terdapat pada

daftar umum merek, daftar umum desain industri, dan daftar umum paten.

Page 14: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 969

menyatakan bahwa Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu dibentuk oleh Menteri.

Sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan.41

Dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam pengerjaan SPKT lembaga yang

bertanggung jawab dalam hal pembentukan SPKT adalah lembaga Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan, kedudukan Kemendikbud berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Presiden. Selanjutnya, dimana Kemendikbud bertugas menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan

untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam

melaksanakan tugas tersebut, Kemendikbud menjalankan fungsinya sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 3 sebagai berikut:42

a. Perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini,

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta

pengelolaan kebudayaan.

b. Pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan

kebudayaan.

c. Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru

dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan.

d. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan

administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

e. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;

f. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan.

g. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di daerah.

h. Pelaksanaan pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa dan sastra;

i. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan anak usia

dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat,

serta kebudayaan.

j. Pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di

lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam menjalankan fungsinya di bidang kebudayaan, Kemendikbud mempunyai

unit kerja berupa Direktorat Jenderal Kebudayaan (Dirjen Kebudayaan). Dirjen

Kebudayaan berdasarkan Pasal 18 bertugas menyelenggarakan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan secara khusus di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian,

tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan

lainnya. 43 Hal pertama yang perlu dilakukan dalam memanfaatkan SPKT adalah

41 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 1 42 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 15), Pasal 3 43 Ibid, Pasal 18.

Page 15: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

970 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

dengan melakukan inventarisasi. Inventarisasi terbagi atas beberapa tahapan yakni

dimulai dari pencatatan dan pendokumentasian, penetapan dan pemutakhiran data.44

Seteleh selesai melakukan Inventarisasi, kemudian menteri melakukan penetapan hasil

pencatatan dan pendokumentasian objek budaya. Penetapan yang dimaksud adalah

dilakukan dengan tahapan verifikasi dan validasi mengenai suatu objek budaya.

Dengan melakukan kegiatan Inventarisasi, secara tidak langsung suatu objek budaya

dapat terjamin terhadap perlindungannya dan bisa menjadi langkah preventif dalam

melakukan pembelaan terhadap suatu kasus atau klaim budaya. Setelah melakukan

inventarisasi, selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah pengamanan.

Dalam hal pengamanan sendiri, pemerintah wajib melakukan pemeliharaan terhadap

sebuah objek ekspresi budaya. Pengamanan ini dilakukan agar ekspresi budaya

tradisional tidak punah dan untuk mencegah agar pihak asing tidak melakukan klaim

atas kekayaan intelektual ekspresi budaya.

Pembahasan selanjutnya adalah Publikasi, dimana maksud dari publikasi

tersebut adalah publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi,

pengamanan, pemeliharaan dan penyelamatan suatu objek budaya. Publikasi dilakukan

untuk penyebaran informasi kepada publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri

dengan menggunakan berbagai media. Bentuk media yang digunakan untuk publikasi

disesuaikan dengan sasaran dan tujuan publikasi. Ketentuan publikasi diatur dengan

peraturan pemerintah nantinya. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh

pemerintah baik pusat maupun daerah dan individu dalam melakukan publikasi

terhadap suatu ekspresi budaya tradisional.45 Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai

berikut:

1. Didokumentasi sejarahnya lewat buku-buku.

2. Dijelaskan kedudukannya secara rinci lewat artikel.

3. Dibuat tulisan-tulisan ilmiah.

4. Dibuat catatan-catatan tentang ekspresi budaya tradisional.

5. Dipublikasikan di media elektronik.

Pemerintah wajib melakukan publikasi dokumentasi terhadap suatu objek

kebudayaan. publikasi dokumentasi disini merujuk pada seluruh aktivitas yang

bertujuan untuk mengorganisasi data seperti data-data tertulis, digital database, dan

pengarsipan. Sistem ini sendiri telah disampaikan oleh UNESCO pada tahun 2003

lewat konvensi UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural

Heritage. Berdasarkan konvensi ini, publikasi dokumentasi adalah sebuah kegiatan

yang bertugas untuk menjamin pemeliharaan, pemakaian dan pengembangan dari

sebuah pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional baik untuk di masa

sekarang maupun di masa yang akan datang untuk sebuah masyarakat lokal. 46

Kemudian adapun tujuan utama dari publikasi dokumentasi sebuah ekspresi budaya

tradisional disini adalah agar bisa menjamin pengamanan dari sebuah objek ekspresi

budaya tradisional. Fungsi-fungsi dari publikasi dokumentasi sendiri adalah sebagai

berikut:47

1. Dapat berfungsi sebagai alat pelindung dari “The Secret and Sacred” dari

sebuah ekspresi budaya tradisional.

44 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 16. 45 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 28. 46 WIPO, “WIPO Background Brief No.9 : Documentation of Traditional Knowledge and

Traditional Cultural Expressions”,( Geneva : WIPO Publication , 2016), hal. 1-2. 47 Ibid.

Page 16: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 971

2. Dokumentasi akan sangat membantu dalam pengembangan dan penelitian

sebuah objek pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

3. Dapat berfungsi sebagai sarana Defensive Protection.

Kegiatan yang dilakukan tersebut, mungkin saja kedepannya menjadi salah satu

yang akan sangat membantu dalam melindungi suatu ekspresi budaya tradisional yang

apabila dikerjakan oleh semua pihak secara bersama-sama. Dalam melakukan

pengerjaan dari segi publikasi juga akan dapat banyak hambatan-hambatan, dimana

beberapa diantaranya karena beragam budaya yang ada di Indonesia itu sangat banyak.

Hal ini termasuk didalamnya keberagaman ekspresi budaya tradisional, diversikasi

kultur masyarakat di tiap daerah dan bahkan perbedaan linguistik dapat terlihat. Maka

dari itu ketika suatu publikasi dilakukan, diharapkan baik dari pemerintah pusat,

pemerintah daerah, dan masyarakat juga seharusnya dapat turut mengikutsertakan

dalam melakukan suatu publikasi yang baik terhadap ekspresi budaya tradisional.

Dalam melakukan perlindungan melalui SPKT, hal pertama yang dilakukan oleh

pemerintah derah ialah menyusun pokok pikiran kebudayaan daerah kabupaten atau

kota.48 Penyusunan pokok pikiran kebudayaan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh

pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat melalui para ahli yang memiliki

kompetensi dan kredibilitas dalam objek pemajuan kebudayaan di kabupaten atau

kota.49 Kemudian pokok pikiran terhadap kebudayaan akan berisi sebagai berikut:50

1. Identifikasi keadaan terkini dari perkembangan Objek Pemajuan Kebudayaan

di kabupaten/kota

2. Identifikasi Sumber Daya Manusia Kebudayaan,lembaga Kebudayaan, dan

pranata Kebudayaan di kabupaten/kota

3. Identifikasi sarana dan prasarana Kebudayaan di Kabupaten/kota

4. Identifikasi potensi masalah Perna juan Kebudayaan

5. Analisis dan rekomendasi untuk implementasi Pemajuan Kebudayaan di

kabupaten/kota.

Apabila ada pihak yang ingin melakukan pemanfaatan terhadap suatu ekspresi

budaya tradisional dan ekspresi budaya lainnya untuk menghindari terjadinya sengketa

pemakaian tanpa izin seperti kasus-kasus sebelumnya maka pihak tersebut perlu

meminta izin dari pemerintah. Objek pemajuan kebudayaan yang telah dicatatkan

dalam SPKT selanjutnya dapat dilakukan upaya pemanfaatan budaya. Pemanfaatan

berdasarkan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah upaya pendayagunaan

objek pemajuan kebudayaan untuk menguatkan ideologi, politik, ekonomi, sosial,

budaya, pertahanan, dan keamanan dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengaturan

mengenai pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dibahas dalam Bab II Undang-

Undang Pemajuan Kebudayaan.51 Adapun pemanfaatan yang bertujuan sebagai berikut:

1. Membangun karakter bangsa dan Meningkatkan ketahanan budaya :

Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan dengan tujuan membangun

karakter bangsa dan meningkatkan ketahanan budaya, berdasarkan Pasal

33 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

48 Pada UU Pemajuan Kebudayaan Pasal 9, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah

kabupaten/kota,Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Strategi Kebudayaan, dan Rencana Induk

PemajuanKebudayaan merupakan serangkaian dokumen yang disusun secara berjenjang. 49 UU Pemajuan Kebudayaan, Pasal 11 Ayat 1. 50 Ibid, Pasal 11 Ayat 2. 51 Ibid, Pasal 1 Ayat 6.

Page 17: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

972 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

a. Internalisasi nilai budaya.

b. Inovasi.

c. Peningkatan adaptasi menghadapi perubahan.

d. Komunikasi lintasbudaya.

e. Kolaborasi antarbudaya.

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat :

Pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan

dilakukan melalui pengolahan Objek Pemajuan Kebudayaan menjadi produk.

Produk yang dihasilkan antara lain di bidang perindustrian, perdagangan,

pariwisata, dan bidang lainnya. Sebagaimana dalam peraturan tersebut dapat

dikatakan bahwa Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan melihat potensi objek

pemajuan kebudayaan atau budaya tradisional Indonesia untuk dimanfaatkan

secara komersial dan Undang-Undang ini berusaha untuk mengakomodasi

penggunaannya. Produk hasil pengolahan objek pemajuan kebudayaan ini

kemudian akan dikelola oleh Pemerintah Pusat berdasarkan ketentuan Pasal 36

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Untuk mencegah penyalaghunaan oleh

pihak asing, Pasal 37 Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan mensyaratkan

industri besar dan/atau pihak asing yang akan melakukan pemanfaatan objek

pemajuan kebudayaan untuk kepentingan komersial wajib memiliki Izin

Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayaan. Izin tersebut dapat diperoleh apabila

pihak industri dan/atau pihak asing telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Memiliki persetujuan atas dasar informasi awal.

b. Pembagian manfaat.

c. Pencantuman asal-usul Objek Pemajuan Kebudayaan.

3. Meningkatkan peran aktif dan pengaruh Indonesia dalam hubungan

internasional :

Pemanfaatan objek pemajuan budaya untuk meningkatkan peran aktif dan

pengaruh Indonesia dalam hubungan internasional, berdasarkan Pasal 35 Undang-

Undang Pemajuan Kebudayaan, dilakukan dengan cara diplomasi budaya dan

peningkatan kerja sama internasional di bidang kebudayaan.

Berdasarkan penjelasan diatas tersebut, maka hal yang berkaitan dengan

pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan itu izin pemanfaatan objek pemajuan

kebudayaan hanya dipersyaratkan bagi industri besar dan/atau pihak asing (warga

negara asing, organisasi asing, badan hukum asing, korporasi asing, atau negara asing).

Undang-undang pemajuan kebudayaan mengatur bahwa izin ini diberikan oleh

Menteri, dalam hal ini kepanitiaan atau lembaga yang menyelenggarakan Sistem

Pendataan Kebudayaan Terpadu di bawah Kemendikbud. Adanya undang-undang

pemajuan kebudayaan, masyarakat lokal sebenarnya juga bisa turut serta dalam

membantu menjaga dan mempertahankan ekspresi budaya tradisional mereka dengan

membantu pemerintah dengan cara:

1. Membantu melakukan pencatatan dan pendokumentasian;

2. Membantu memutakhiran data ekspresi budaya tradisional;

3. Membantu mengamankan ekspresi budaya tradisional;

4. Berperan aktif dalam melakukan pemeliharaan terhadap sebuah ekspresi

budaya tradisional; dan

5. Melakukan penyelematan terhadap ekspresi budaya tradisional dengan

melakukan revitalisasi, repatriasi dan restorasi.

Page 18: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 973

Kemudian dalam rangka menegakan perlindungan hukum terhadap ekspresi

budaya tradisional, masyarakat lokal juga dapat berperan aktif dalam melakukan

publikasi terhadap informasi yang berkaitan dengan inventarisasi, pengamanan,

pemeliharaan dan penyelamatan terhadap sebuah ekspresi budaya tradisional.

Kemudian kerjasama inventarisasi dokumentasi dengan masyarakat lokal sendiri

menurut Consultation Draft WIPO yang menyatakan bahwa haruslah diperhatikan

secara rinci mengenai hal-hal yang harus dilakukan sebelum kegiatan dokumentasi,

disaat kegiatan dokumentasi dan setelah dokumentasi berhasil dilaksanakan.52 Ketiga

fase tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:53

1. Fase Pertama (sebelum melakukan dokumentasi) :

Hal yang paling utama pada fase ini adalah melakukan perencanaan mengenai

proses dokumentasi. Dalam proses ini sendiri perlu ada interaksi terbuka dan

masyarakat adat setempat. Selain itu juga perlu mendefinisikan mengenai

transparan antara pihak yang ingin melakukan dokumentasi dengan tujuan

proses dokumentasi (objek apa yang ingin didokumentasi).

2. Fase Kedua (Ketika melakukan dokumentasi) :

Yang harus dilakukan ketika kegiatan dokumentasi dilakukan adalah :

a. Memiliki informan (orang yang berasal dari masyarakat lokal)

b. Memilih dan menggunakan kriteria dan metode yang tepat untuk

mengidentifikasi dan mengumpulkan ekspresi budaya tradisional yang

didokumentasikan.

c. Meninjau peraturan dan prinsip yang mengatur kondisi dimana sebuah

ekspresi budaya tradisional dikumpulkan dan diperoleh serta dievaluasi

nanti.

d. Mendapatkan data mengenai ekspresi budaya tradisional dan

menggunakan bahan pendukung yang memungkinkan ekspresi budaya

tradisional suatu masyarakat lokal direkam dan dipertahankan. Dalam hal

ini semua ekspresi budaya yang telah direkam akan didokumentasikan

lewat media sistem pendataan kebudayaan terpadu.

3. Fase Ketiga (Setelah Dokumentasi) :

Dalam hal ini, ketika setelah kerjasama dengan masyarakat lokal berhasil maka

hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah antara lain:

a. Mempromosikan ekspresi budaya tradisional yang telah direkam lewat

media SPKT.

b. Melakukan monitoring terhadap ekspresi budaya yang telah didokumentasi.

c. Mengembangkan media perlindungan SKPT.

Sebagaimana penjelasan diatas, masyarakat lokal juga dapat dikatakan sebagai

orang-orang yang memiliki pemahaman yang lengkap terhadap suatu ekspresi budaya

yang lahir di tempat mereka, apabila kerjasama dengan masyarakat lokal dapat

dimanfaatkan dengan baik maka hal ini tentu saja akan dapat membantu pemerintah

dalam melindungi ekspresi budaya tradisional. WIPO Intergovernmental Comitee

telah menyimpulkan pentingnya inventarisasi dalam melakukan perlindungan budaya.

Inventarisasi ini sangat penting bagi masyarakat yang bersangkutan ataupun

pemerintah untuk mempertahankan budaya miliknya. Dokumentasi yang dimaksud

52 WIPO, “WIPO Traditional Knowledge Documentation ToolKit”, (Geneva : WIPO Publication,

2012), hlm. 1-3 53 Ibid, hal. 18-33.

Page 19: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

974 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

disini dapat berbentuk buku, artikel, rekaman audio, gambar atau foto, manuskrip,

tulisan ilmiah atau catatan-catatan yang dibuat oleh pemerintah.54 Inventarisasi harus

dilakukan dengan hati-hati agar data yang di dapat tidak menimbulkan kerugian bagi

masyarakat lokal pemilik budaya dan sebaliknya tidak menguntungkan negara-negara

maju yang ingin mengeksploitasi budaya.

Perlindungan karya cipta budaya dalam kajian Prof. Agus Sardjono adalah

menciptakan model dokumentasi yang tidak semata-mata untuk kepentingan prior art

search. Apabila pada kedudukan dokumentasi sebagai defensive protection

membutuhkan tindakan aktif dari masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan

maksimal sarana yang telah dikembangkan dalam membangun proses dokumentasi

tersebut. Disarankan untuk dipikirkan pengadaan model dokumentasi yang

dimaksudkan untuk pelestarian karya cipta budaya sebagai warisan budaya

(preservation of cultural heritage) masyarakat lokal yang hidup dan berkembang

secara alamiah.55

Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan teori John Locke mengenai the labour of

his body and the work of his hands, maka kegiatan inventarisasi merupakan cara untuk

menelaah dan menelusuri siapakah yang sesungguhnya bekerja dengan tangan dan

badannya baik dalam kedudukannya sebagai pribadi maupun kedudukannya sebagai

kumpulan pribadi dalam masyarakat sehingga dapat ditemukan secara tepat siapa yang

paling berhak untuk mendapatkan nilai ekonomi dan nilai moral atas EBT tersebut.

Kegagalan dalam memberikan perlindungan terhadap terjangan negara asing dapat

dipandang menyalahi prinsip memberikan hak kepada yang bekerja dengan badannya

dan bekerja dengan tanngannya berdasarkan teori Hukum Alamnya John Locke.

Apabila suatu nnilai ekonomi dari suatu EBT itu harus berbagi berdasarkan

transaksi kontraktual antara pemilik atau negara mewakili pemilik atau karya cipta

budaya dimaksud tidak terkategorikan sebagai HKI dan masuk dalam kategori karya

peninggalan itu dapat dipandang sah berdasarkan hukum, dengan penerapan teori

keadilan dari John Rawls yang menyebut justice as a fairness, maka masih dapat

dikategorikan sebagai memenuhi prinsip keadilan berdasarkan kesetaraan. Namun

dalam faktanya pihak luar negeri lebih banyak memperoleh keuntungan finansial dari

penggunaan kampanye wisata dengan disertai klaim kepemilikan, maka negara dapat

dipandang tidak mendorong terpenuhinya prinsip dari teori keadilan pada kasus klaim-

klaim tersebut.

Apabila Inventarisasi yang cepat menjamin hak warga masyarakat untuk

memperoleh hasil kerja badan dan tangannya diperankan oleh negara secara maksimal

dalam fungsi sebagai regulator dan entrepreneurship yang akan memberikan

keuntungan finansial bagi individu, masyarakat dan negara. Inventarisasi yang akurat

dan sistematis menjamin perlindungan hukum bagi produk EBT tersebut. Peran

pemerintah itu merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses dokumentasi

serta kemudian hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga membawa manfaat bagi

masyarakat secara keseluruhan. Proses inventarisasi atau dokumentasi ini idealnya

dilakukan oleh lembaga yang secara implisit disebutkan sebagai lembaga representasi

Negara, langkah riil yang bisa dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini

adalah dengan mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia. Upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah berkoordinasi juga dengan

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual yang juga bersinergi dalam melakukan

54 Agus Sardjono, HKI dan PT, hal. 286. 55 Agus Sardjono, HKI dan PT, hal. 293.

Page 20: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 975

tindakan inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi

karya-karya ekspresi budaya tradisional.

Kerumitan dalam melakukan inventarisasi tersebut, mengharuskan adanya

intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dan terlibat langsung, sebagai contoh

masyarakat yang menjadi adresat ekspresi budaya tradisional tersebut, budayawan dan

pakar yang ahli di bidangnya. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan

perlindungan EBT seperti invenarisasi, registrasi atau pencatatan yang harus

diperankan oleh Negara. Oleh karena itu di Indonesia sebagai langkah perlindungan

preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya tradisional Indonesia

untuk mencegah terjadinya kasus-kasus pengklaiman budaya oleh negara lain yang

tentunya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri, sehingga nantinya pendataan,

inventarisasi atau pendokumentasian ini dapat digunakan oleh pihak yang mengalami

kasus penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional sebagai dasar pembuktian serta

dapat melanjutkan pembuatan Peta Budaya (Culture Map) di berbagai daerah di

Indonesia.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Perlindungan ekspresi budaya tradisional melalui hukum hak cipta

merupakan salah satu bentuk perlindungan yang paling relevan dalam

prinsip-prinsip hukum Kekayaan Intelektual. Inventarisasi atau dokumentasi

merupakan salah satu langkah Defensive Protection. Perlindungan secara

defensif hanya dimaksudkan sebagai upaya agar tidak terjadi penggunaan

secara melawan hukum terhadap ekspresi budaya tradisional tertentu yang

dimiliki oleh suatu masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan oleh

berbagai negara dan komunitas masyarakat dalam memanfaatkan defensive

protection ini adalah dengan membangun database yang akurat dan updated

berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional

tertentu. Sehingga, database ini dapat digunakan sebagai proses akhir

inventarisasi yang kemudian di dokumentasikan secara sistematis dalam

sebuah database tersebut. Pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan

perlindungan EBT seperti inventarisasi, registrasi atau pencatatan yang

harus diperankan oleh Negara. Oleh karena itu di Indonesia sebagai langkah

perlindungan preventif perlu diadakan pendataan atau inventarisasi budaya

tradisional Indonesia untuk mencegah terjadinya kasus-kasus pengklaiman

budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan bangsa Indonesia

sendiri.

2. Peran Pemerintah dalam melakukan perlindungan melalui inventarisasi

ekspresi budaya tradisional di dalam masyarakat juga harus mengupayakan

seperti halnya merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses

dokumentasi serta kemudian hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga

membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Proses inventarisasi

atau dokumentasi ini idealnya dilakukan oleh lembaga yang secara implisit

disebutkan sebagai lembaga representasi Negara, langkah riil yang bisa

dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini adalah dengan

Page 21: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

976 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia. Menurut penulis, upaya konkrit yang dapat dilakukan adalah

berkoordinasi juga dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)

yang juga bersinergi dalam melakukan tindakan inventarisasi atau

dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi karyakarya

ekspresi budaya tradisional, sehingga nantinya Dokumentasi ini dapat

digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan ekspresi

budaya tradisional sebagai dasar pembuktian serta dapat melanjutkan

pembuatan Peta Budaya (Culture Map) di berbagai daerah di Indonesia.

4.2. Saran

1. Dalam melakukan suatu perlindungan hukum preventif sebaiknya diadakan

suatu kegiatan inventarisasi atau dokumentasi yang merupakan salah satu

langkah Defensive Protection. Pendataan atau inventarisasi budaya

tradisional Indonesia bertujuan untuk mencegah terjadinya kasus-kasus

pengklaiman budaya oleh negara lain yang tentunya akan merugikan bangsa

Indonesia sendiri. Perlindungan hukum melalui inventarisasi ekspresi

budaya tradisional di dalam masyarakat juga harus mengupayakan seperti

halnya merencanakan, menyiapkan dan melaksanakan proses dokumentasi.

Kemudian langkah-langkah yang dilakukan dalam memanfaatkan defensive

protection ini adalah dengan membangun database yang akurat dan updated

berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional

tertentu.

2. Pemerintah sebaiknya melakukan inventarisasi terhadap ekspresi budaya

tradisional dan hasilnya dikelola sedemikian rupa sehingga membawa

manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Kemudian upaya konkrit yang

bisa dilakukan dalam rangka mendukung inventarisasi ini adalah dengan

mengoptimalkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia serta berkoordinasi juga dengan Direktorat Jenderal Kekayaan

Intelektual (DJKI) yang juga bersinergi dalam melakukan tindakan

inventarisasi atau dokumentasi yang komprehensif, berupa database berisi

karyakarya ekspresi budaya tradisional. Sehingga nantinya Dokumentasi ini

dapat digunakan oleh pihak yang mengalami kasus penyalahgunaan ekspresi

budaya tradisional sebagai dasar pembuktian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aulia, M. Zulfa. “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual atas Pengetahuan

Tradisional”, Penerbit FH UI: Jakarta, 2006.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

RI, “Naskah Akademik Pengetahuan Tradisional”, Jakarta : BPHN dan Dirjen

HKI RI, 2006.

Page 22: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

Peran Pemerintah Dalam Menginventaris, Andhika Putra Herzani 977

Blake, Janet. “Safeguarding Traditional Culture and Folklore Existing International

Law and Future Developments”, Washington DC: Smithsonian Institution, 2001.

Kartadjoemena, H.S. “GATT, WTO Dan Hasil Uruguay Round”, UI Press:

Jakarta, 1997.

Margono, Suyud. “Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)”, Pustaka Reka Cipta :

Bandung, 2015.

Muhammad, Abdulkadir. “Hukum dan Penelitian Hukum”, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, 2004.

Purba, Afrillyanna. “Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional

dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia”, PT. Alumni : Jakarta, 2012.

Sardjono, Agus. “Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional”, PT

Alumni : Bandung, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat)”, Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2010.

WIPO, “WIPO Traditional Knowledge Documentation ToolKit”, Geneva : WIPO

Publication , 2012.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Establishing The World Trade Organization, Lembaran Negara Republik

Indonesia (LNRI) Tahun 1994 Nomor 57

Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Lembaran

Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan

Lembaran Negara (TLN) Nomor 5599

Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,

Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2017 Nomor 104

Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 Tentang

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2015 Nomor 15).

WIPO, WIPO Copyright Treaty (WCT).

WIPO, Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

UNESCO, Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage.

Artikel / Jurnal

Purwaningsih, Endang. “Partisipasi Masyarakat dalam Perlindungan Hukum

Terhadap Kekayaan Intelektual Warisan Bangsa”, Masalah-Masalah Hukum

Fakultas Hukum UNDIP, Jilid 41 No.1, (Jan. 2012). Hlm. 42-49.

Rohaini. “Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional Melalui

Pengembangan Sui Generis Law”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9

(Oktober-Desember 2015). Hlm. 428-449.

Tri Haryani, Anik. “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Hukum Hak

Kekayaan Intelektual Di Indonesia”, Yustisia Merdeka: Jurnal Ilmiah Hukum

Volume 2 No. 2, 2016, hal. 61-62.

WIPO, “WIPO Background Brief No.9 : Documentation of Traditional Knowledge

and Traditional Cultural Expressions”,( Geneva : WIPO Publication , 2016),

Internet

Pembagian Manfaat, Prinsip Pemanfaatan Objek Budaya oleh Pihak Asing,

Page 23: PERAN PEMERINTAH DALAM MENGINVENTARISASI EKSPRESI BUDAYA …

978 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.4 Oktober-Desember 2020

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/06/pembagian-manfaat-

prinsippemanfaatan-objek-budaya-oleh-pihak-asing, diakses 5 Desember 2019.

WIPO, Intergovernmental Comitee on Intellectual Property and Genetic Resources,

Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKF),

http://www.wipo.int/tk/en/igc/, diakses 9 Desember 2019.