30
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 3 (2019): 517-546 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2186 PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN DAN KEMANFAATAN UMUM Henry Dianto Pardamean Sinaga* * Pegawai Kanwil DJP Kalimantan Barat Korespondensi: [email protected] Naskah dikirim: 05 Juli 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 2 Oktober 2018 Abstract The increasing of tax evasion and tax avoidance, due to lack of taxpayer’s liability regulation in tax legislation, has been very detrimental to state revenues. Based on normative juridical research with descriptive-comparative-prescriptive approach which has been done, it is concluded that the regulation of strict liability of taxpayers of Indonesia can: 1) fulfill the sense of justice in terms of equality and or fairness as long as it meets the condition that reflects of material justice and formal justice which must be regulated explicitly in tax legislation; and 2) provide public benefit to the state in handling the social welfare and regulation offences and or in handling the rise of abnormally dangerous behaviors that require a due care standard in the taxpayer’s business environment. It is recommended to be explicitly set about the criteria of strict liability and widening the defenition of any person, including individual and corporation, in tax legislation. Keywords: Strict Liability, taxpayer, justice, public benefit, regulation. Abstrak Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif komparatif preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kata Kunci: Pertanggungjawaban mutlak, wajib pajak, keadilan, kemanfaatan umum, pengaturan.

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 3 (2019): 517-546

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2186

PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK DI

INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN DAN

KEMANFAATAN UMUM

Henry Dianto Pardamean Sinaga*

* Pegawai Kanwil DJP Kalimantan Barat

Korespondensi: [email protected]

Naskah dikirim: 05 Juli 2017

Naskah diterima untuk diterbitkan: 2 Oktober 2018

Abstract

The increasing of tax evasion and tax avoidance, due to lack of taxpayer’s liability

regulation in tax legislation, has been very detrimental to state revenues. Based on

normative juridical research with descriptive-comparative-prescriptive approach

which has been done, it is concluded that the regulation of strict liability of taxpayers

of Indonesia can: 1) fulfill the sense of justice in terms of equality and or fairness as

long as it meets the condition that reflects of material justice and formal justice which

must be regulated explicitly in tax legislation; and 2) provide public benefit to the

state in handling the social welfare and regulation offences and or in handling the rise

of abnormally dangerous behaviors that require a due care standard in the taxpayer’s

business environment. It is recommended to be explicitly set about the criteria of strict

liability and widening the defenition of any person, including individual and

corporation, in tax legislation.

Keywords: Strict Liability, taxpayer, justice, public benefit, regulation.

Abstrak

Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya

penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan

penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan

deskriptif – komparatif – preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa

pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi

rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi

yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara

eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi

negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau

maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam

lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria

pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk

manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban mutlak, wajib pajak, keadilan, kemanfaatan umum,

pengaturan.

Page 2: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

518 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Maraknya penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax

avoidance) yang sangat merugikan penerimaan negara yang dilakukan oleh suatu

Wajib Pajak (WP) tertentu, baik dalam skala internasional maupun skala nasional,

memperlihatkan belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban WP dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan, khususnya di Indonesia. Timbulnya

ketidakmaksimalan ini tidak terlepas dari adanya kesempatan WP dalam

memanfaatkan loophole aturan, terutama yang belum mengantisipasi perkembangan

pertanggungjawaban yang pada saat ini bukan hanya sebatas berdasarkan kesalahan

(based on fault), namun dalam hal-hal tertentu seharusnya telah dapat menerapkan

doktrin pertanggungjawaban lainnya seperti pertanggungjawaban mutlak (strict

liability).1

Maraknya tax evasion dan tax avoidance secara terencana dan terstruktur2 dalam

skala internasional dapat dilihat dari beberapa fakta seperti terungkapnya sekitar

214.488 entitas pribadi dan korporasi di 21 negara tax havens dalam “panama

papers” yang memuat bukti 11,5 juta dokumen yang berasal dari lebih 50 negara

(termasuk Indonesia), 3 dimana Organization for Economic Co-operation and

Development (OECD) telah mengindikasikan sebelumnya bahwa terdapat kerugian

yang diakibatkan oleh terjadinya transaksi perpajakan internasional yang mencapai

sekitar 4%-10% dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan global atau

sekitar AS$100-$240 milyar per tahun.4 Sedangkan maraknya tax evasion dan tax

avoidance dalam skala nasional dapat dilihat dari beberapa kasus seperti putusan

kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam pidana pajak Tax Manager 14 perusahaan grup

AA yang merugikan pendapatan Negara sebesar Rp. 1,25 triliun dan denda pidana

lebih dari Rp.2,5 triliun,5 dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terdakwa

TKB alias W dan bersama-sama dengan terdakwa E dan S yang terbukti

menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari 22 perusahaan sehingga menimbulkan kerugian

pada pendapatan negara sekurang-kurangnya sebesar Rp. 168,13 milyar.6 Bahkan,

Jahanzeb Naseer menaksir adanya sekitar AS$200 milyar kekayaan orang-orang

Indonesia yang ditempatkan di negara-negara offshore.7

1 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP),

<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,

diakses tanggal 27 Mei 2016, hal. 34. 2 Tori Magill dan Anne-Marie Ottaway, ‘Panamania’: legitimate concerns or a lack of

understanding? <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-legitimate-concerns-or-lack-

understanding-13042016 >, diakses tanggal 15 Juni 2017. 3 The International Consortium of Investigative Journalists, Panama Papers the Power Players,

<https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal 15 Agustus 2016. 4 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, “Explanatory

Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”, <www.oecd.org/tax/beps-

explanatory-statement-2015.pdf>, hal. 4. 5 Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, 18

Desember 2012. 6 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal 18 Agustus 2014. 7 Jahanzeb Naseer, “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,” <https://plus.credit-

suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb, diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11

Oktober 2016.

Page 3: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 519

Selain itu, terjadinya tax evasion dan tax avoidance ini disebabkan adanya

manfaat yang diterima oleh pihak-pihak tertentu WP yang dalam hubungan keagenan8

(agency relationship) dikenal sebagai pihak prinsipal 9 (principal). Manfaat yang

diterima oleh prinsipal ini tidak dapat terlepas dari dukungan dan atau bantuan

pegawainya atau dikenal dengan istilah agen 10 (agent) 11 yang merupakan

“gatekeeper”, pihak yang bertanggungjawab kepada prinsipal dalam mencegah

terjadinya pelanggaran dalam kegiatan usaha.12 Hal ini ditegaskan oleh Laffont dan

Tirole 13 dan Privileggi et.al 14 yang menyatakan bahwa “gatekeeper”, demi

kepentingan prinsipal, berperan dalam penghindaran pajak dengan melakukan

manipulasi akuntansi, kemudian Chyz dan White15 dan Desai dan Dharmapala16 juga

menegaskan bahwa terjadinya penghindaran pajak sangat berhubungan dengan kinerja

pembukuan dan tata kelola perusahaan yang merupakan upaya manajerial dalam

meningkatkan nilai perusahaan yang pada dasarnya akan dinikmati oleh para

pemegang saham.

2. Pokok Permasalahan

Mengingat berkembangnya tax evasion dan tax avoidance baik dalam skala

internasional maupun skala nasional yang manfaatnya dinikmati oleh prinsipal tertentu

dengan memanfaatkan agen, terdapatnya pengaturan pengenaan sanksi administrasi

pajak dan atau sanksi pidana pajak, dan adanya semangat untuk melakukan

penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dari sektor

pajak melalui alternatif penerapan strict liability, maka sangat penting agar badan

yudikatif dan legislatif mempertimbangkan perluasan cakupan pertanggungjawaban

mutlak WP dengan tetap didasarkan pada perspektif keadilan dan kemanfaatan umum

di Indonesia. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini.

Pertama, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam

perspektif keadilan hukum di Indonesia? Kedua, bagaimana pengaturan

pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam perspektif kemanfaatan umum di

Indonesia?

II. METODE PENELITIAN

Penulisan ini menggunakan bentuk yuridis normatif, yakni menginventarisir dan

mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, hukum in concreto, asas hukum, dan

8 Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, (St. Paul, West Publishing Co., 2004), hal. 67.

Black’s Law Dictionary menegaskan definisi keagenan sebagai “a fiduciary relationship created by

express or implied contract or by law, in which one party (the agent) may act on behalf of another party

(the principal) and bind that other party by words or actions”. 9 Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 1230. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi prinsipal

sebagai “one who authorizes another to act on his or her behalf as an agent”. 10 Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 68. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi agen sebagai

“one who is authorized to act for or in place of another; a representative”. 11 Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Agent’s Liability versus Principal’s

Liability when Attitudes Toward Risk Differ, “International Review of Law and Economics”, Vol. 21,

No. 2, 2001, 181-195, hal. 181 dan 182. 12 Reinier H. Kraakman, Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement Strategy,

“Journal of Law, Economics, and Organization”, Vol. 2, No. 1, 1986, 53-104, hal. 53. 13 Jean-Jacques Laffont dan Jean Tirole, Cost Padding, Auditing and Collusion, “Annales

d’Economie et de Statistique”, No. 25/26, 1992, 205-226, hal. 206. 14 Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Op.cit, hal. 182. 15 James A. Chyz dan Scott D. White, The Association between Agency Conflict and Tax

Avoidance: A Direct Approach, “Advances in Taxation”, Vol. 21, 2014, 107-138, hal. 133. 16 Mihir A. Desai dan Dhammika Dharmapala, Corporate Tax Avoidance and Firm Value, “The

Review of Economics and Statistics”, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009, 537-546, hal. 546.

Page 4: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

520 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perbandingan hukum terkait pertanggungjawaban mutlak WP dalam perspektif

keadilan dan kemanfaatan hukum di Indonesia berdasarkan bahan pustaka (data

sekunder) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.17 Bahan hukum

primer mencakup bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan

perundang-undangan. Bahan hukum sekunder mengacu pada rancangan undang-

undang, textbooks, pendapat ahli hukum, artikel, hasil-hasil seminar, dan hasil

penelitian di bidang hukum dan perpajakan. Sedangkan bahan hukum tersier mengacu

pada bahan-bahan yang menunjang informasi bahan hukum primer dan sekunder

seperti sumber internet, kamus, encyclopedia, dan bahan- bahan hukum tersier lain.

Data sekunder yang diperoleh diteliti dengan pendekatan deskriptif – komparatif

- preskriptif18 dan dianalisis dengan kritis secara yuridis kualitatif, yaitu berdasarkan

perundang-undangan yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang

lain, dengan memperhatikan hierarki perundang-undangan, mewujudkan kepastian

hukum, mencari hukum yang hidup di dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis.19 Untuk dapat memperoleh penyelesaian terhadap permasalahan

yang dihadapi, dilakukan penalaran hukum (legal reasoning) yang menurut Visser ‘t

Hooft harus berlangsung dalam kerangka tiga acuan dasar, yakni hukum yang

memiliki otoritas yang menjamin adanya kepastian hukum dan prediktabilitas

(positivitas), hukum yang mempunyai daya kerja yang dapat mencegah dan

menanggulangi adanya inkonsistensi dan kontradiksi internal dalam tata hukum

(koherensi), dan hukum yang dapat diterima oleh para pihak dan juga oleh masyarakat

(keadilan). 20 Kemudian data sekunder yang telah disusun secara sistematis akan

disimpulkan, dan diusulkan saran-saran yang membangun.

III. HASIL PENELITIAN

1. Pertanggungjawaban Mutlak dan Gambaran Umum Wajib Pajak di

Indonesia

Konsep pertanggungjawaban (liability) berhubungan dengan konsep kewajiban

hukum terhadap seseorang yang dikatakan secara hukum bertanggung jawab atas suatu

perbuatan tertentu sehingga terhadapnya dapat dikenakan sanksi tertentu bila

melakukan perbuatan yang melawan hukum21 yang tidak hanya dikenakan terhadap

yang melakukan pelanggaran tetapi juga terhadap setiap orang yang secara hukum

terkait dengannya.22

Tentang pertanggungjawaban, Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam teori

tradisional terdapat dua jenis tanggung jawab (atau pertanggungjawaban), yaitu

tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak,23dimana Jeremiah

Smith mengistilahkan pertanggungjawaban dalam hukum dengan causes of personal

action yang meliputi tiga perbuatan berikut: “1) breach of genuine contract, 2) tort in

the sense of fault, 3) a third class comprising cases of so called “absolute liability”,

17 Soerjono Soekanto et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 13 dan 14. 18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 9 dan 10. 19 Ibid., hal. 52 dan 53. 20 Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal

dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi

dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 144 dan 145. 21 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2006), hal. 61. 22 Ibid., hal. 63. 23 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul Muttaqien

(Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 95.

Page 5: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 521

i.e., cases where there is neither breach of genuine contract or fault, and yet

liability”.24 Selanjutnya dalam menganalisis pertanggungjawaban, menurut George P.

Fletcher, diperlukan dua paradigma yang sangat berbeda, yaitu paradigma timbal balik

(the paradigm of reciprocity) dan paradigma kepatutan (the paradigm of

reasonableness) yang merepresentasikan suatu pandangan yang kompleks tentang (1)

standar pertanggungjawaban yang tepat, (2) ciri khas legal reasoning yang tepat, dan

(3) hubungan antara pemecahan permasalahan pertikaian individu dan kesejahteraan

masyarakat.25 Berdasarkan paradigma timbal balik, terdapat dua isu sentral dalam tort

law, yaitu bagaimana hak korban untuk mendapatkan ganti rugi dan bagaimana

kewajiban pelaku pelanggaran untuk memberikan ganti rugi, merupakan permasalahan

yang berbeda, yang masing-masing dapat diselesaikan tanpa melihat lebih jauh dari

kasus tersebut.26 Sedangkan paradigma kepatutan merepresentasikan suatu penolakan

dari nilai-nilai yang non-instrumentalist dan suatu komitmen kepada kesejahteraan

masyarakat sebagai kriteria dalam menetapkan siapa yang berhak untuk menerima dan

siapa yang harus membayar kompensasi. Kepatutan ditetapkan oleh keseimbangan

langsung dari biaya dan manfaat dimana jika risiko menghasilkan suatu manfaat

kemasyarakatan maka korban dianggap tidak berhak mendapatkan hak pemulihan

sedangkan jika risikonya menghasilkan suatu ketidakmanfaatan kemasyarakatan maka

korban berhak untuk mendapatkan pemulihan.27 Khusus perihal pertanggungjawaban

mutlak, berdasarkan beberapa literatur kepustakaan, juga dikenal dalam beberapa

istilah yang sudah umum yaitu “no-fault liability” atau “liability without fault” atau

“absolute liability” atau “strict liability” atau prinsip pertanggungjawaban tanpa harus

membuktikan adanya kesalahan.28

Terdapat pemikiran beberapa tokoh, baik yang berasal dari luar negeri maupun

dari Indonesia, yang menguraikan pendapatnya tentang pertanggungjawaban mutlak

berdasarkan masing-masing perspektif. Fleming James, dalam menangani pertanyaan

dalam hal bagaimana para pabrikan (manufacturers) seharusnya menjadi

bertanggungjawab tanpa kelalaian, memperluas jangkauan strict liability dalam tort

law, dengan menyatakan:

“strict liability is to be preferred over a system of liability based on fault

wherever you have an enterprise or activity, beneficial to many, which takes a

more or less inevitable accident toll of human life and limb. This is true at least

where the accident victims are as a class economically ill-equipped to carry the

burden of serious accident losses.”29

Richard A. Posner menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis konsep strict

liability yang digunakan untuk memecahkan permasalahan hukum terhadap

penggunaan sumber daya, namun pada intinya pertanggungjawaban ini merupakan

gagasan tentang seseorang yang merugikan orang lain yang harus dibebani tanggung

jawab walaupun pelaku lalai atau tidak merasa bersalah. 30 Kemudian Richard A.

24 Jeremiah Smith, Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification, “Harvard

Law Review”, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262, hal. 256. 25 George P. Fletcher, Fairness and Utility in Tort Theory, “Harvard Law Review”, Vol. 85, No.

3, January 1972, 537-573, hal. 540 dan 542. 26 George P. Fletcher, Op.cit, hal. 540. 27 George P. Fletcher, Op.cit, hal. 542. 28 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,

2010), hal. 107. 29 Fleming James, Jr., General Products-Should Manufacturers be Liable without Negligence?,

“Tennesse Law Review”, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927, hal. 923. 30 Richard A. Posner, Strict Liability: A Comment, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 2, No. 1,

Januari 1973, 205-221, hal. 205.

Page 6: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

522 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Posner menyimpulkan: (1) teori ekonomi tidak memberikan dasar, secara umumnya,

untuk lebih memilih strict liability terhadap kelalaian (negligence), atau negligence

terhadap strict liability, asalkan beberapa versi dari suatu pembelaan contributory

negligence diakui, (2) suatu standar strict liability tanpa suatu pembelaan contributory

negligence, kurang efisien dibandingkan standar kelalaian negligence-contributory.31

Steven Shavell menjelaskan bahwa strict liability merupakan salah satu contoh

yang terpenting dalam membantu menjelaskan ciri khas tertentu tort law, yang

diterapkan pada kegiatan-kegiatan yang sangat berbahaya. Hal ini disebabkan adanya

dua karakteristik strict liability, yakni:

“First, they are such that injurer activity has a distinctive aspect (which makes

the activity easy for the law to single out) and imposes nonnegligible risks on

victims (which make the activity worthwile controlling). And, second, they are

such that victim activity is usually not at all special - on the contrary, it is

typically entirely routine in nature, part of what it is to carry on a normal life

and is therefore activity that cannot and ought not be controlled.”32

Menurut Keith N. Hylton, strict liability merupakan pondasi kesejahteraan

(welfare) yang tepat karena yang melakukan perbuatan melawan hukum (tortfeasor)

yang berpotensi menerima lebih banyak risiko dibandingkan pelaku khasnya (yang

ternyata tidak menerima manfaat tambahan). Selanjutnya, Keith N. Hylton

mengaplikasikan aktivitas berbahaya yang tidak normal (abnormally dangerous

activities) dalam konteks strict liability yang telah dikodifikasi dalam Pasal 520

Restatement (Second) of Torts yang berbunyi: 33

“In determining whether an activity is abnormally dangerous, the following

factors are to be considered: (a) existence of a high degree of risk of some harm

to the person, land, or chattels of others; (b) likelihood that the harm that results

from it will be great; (c) inability to eliminate the risk by the exercise of

reasonable care; (d) extent to which the activity is not a matter of common

usage; (e) inappropriateness of the activity to the place where it is carried on

and; (f) extent to which its value to the community is outweighed by its

dangerous attributes”.

Kemudian Harvey Wallace dan Cliff Roberson menjelaskan bahwa secara

tradisional, kejahatan mala in se membutuhkan adanya maksud (intent) baik secara

umum maupun secara spesifik. Namun dalam kejahatan mala prohibita, tidak

dibutuhkan pembuktian adanya kesalahan, yang dikenal sebagai pelanggaran “strict

liability”, karena buktinya hanya semata-mata berupa perbuatan yang dilakukan

adalah memadai untuk menghukum seseorang. Selanjutnya, Harvey Wallace dan Cliff

Roberson menegaskan tentang strict liability dengan penjelasan berikut:

“No culpability or state of mind need be proven. Strict liability crimes often

involve one of the following types of conduct: selling impure or adulterated food,

selling prohibited beverages to minors, selling articles that are misbranded, and

driving without a license.”34

31 Ibid., hal. 221. 32 Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 9, No.

1, Januari 1980, 1-25, hal. 24. 33 Keith N. Hylton, A Positive Theory of Strict Liability, “Review of Law and Economics”, Vol.

4, No. 1, 2008, 153-181, hal. 171. 34 Harvey Wallace dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, (New Jersey: Pearson

Education, 2012), hal. 45.

Page 7: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 523

Dalam hubungan dengan tort law, Lucy Jones menguraikan pendapatnya tentang

strict liability sebagaimana dikutip pada uraian berikut:

“The Law of Torts covers a range of different civil wrongs including negligence,

trespass, nuisance, and defamation. Each tort has its own rules about liability

but most torts require an element of culpability, which means that liability is

only imposed on a person who intentionally or negligently acts or fails to act in

a particular manner. However, there are some torts, called strict liability torts,

that impose liability on a person even though they have not been at fault in any

way.” 35

Selain pendapat dari beberapa ahli dari luar negeri, beberapa ahli hukum di

Indonesia juga mengemukakan pendapatnya tentang strict liability. Etty Utju R.

Koesoemahatmadja berpendapat bahwa kemunculan doktrin strict liability adalah

merupakan salah satu alternatif dalam melakukan penanggulangan tindak pidana

badan hukum dimana tanggung jawab ini tidak memiliki keharusan untuk

membuktikan adanya kesalahan karena didasarkan alasan seperti untuk menjamin

dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu untuk kesejahteraan sosial, sulitnya

membuktikan mens rea (niat melakukan) dalam pelanggaran-pelanggaran terkait

kesejahteraan sosial, dan tingginya bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan

yang bersangkutan. 36 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa doktrin

pertanggungjawaban mutlak merupakan pertanggungjawaban pidana badan hukum

yang semata-mata berdasarkan undang-undang (UU) yang pengenaannya adalah

terhadap badan hukum yang melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi

tertentu sebagaimana telah ditentukan oleh UU.37 Chairul Huda berpendapat bahwa

walaupun strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak

pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya, namun

pertanggungjawaban pidana tetap berdasar kesalahan karena kesalahan dipandang

tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik namun tidak harus dibuktikan.38

Selanjutnya Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa, pada umumnya baik pada hukum

pidana di Inggris dan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat,

pertanggungjawaban pidana mutlak diberlakukan terhadap pelanggaran yang termasuk

“welfare offences” atau “regulatory offences” dimana ketentuan untuk dapat

diberlakukannya mencakup: a). tidak untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman

berat, b). ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; b). adanya “mens rea” yang

akan menghambat tujuan perundangan sehingga menurut UU yang berlaku, “mens-

rea” secara kasuistis tidak perlu dibuktikan, c) merupakan kejahatan yang dilakukan

secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-hak orang lain.39

Selain berperan pentingnya pertanggungjawaban dalam mereduksi bahaya

ataupun kerugian dimana yang melakukan pelanggaran dituntut harus membayar

kerugian yang terjadi, maka hal ini juga berhubungan dengan pajak, yang menurut A.

C. Pigou, dapat dipergunakan sebagai sarana mengawasi aktivitas yang berpotensi

35 Lucy Jones, Introduction to Business Law, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hal. 344. 36 Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap Pelaku

Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 66

dan 67. 37 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya

Bakti, 2010), hal. 251. 38 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak

Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 86 dan 87. 39 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Fikahati

Aneska, 2009), hal. 102 dan 103.

Page 8: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

524 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

menghasilkan bahaya, seperti terjadinya polusi. 40 Pendapat ini kemudian

dikembangkan oleh Steven Shavell dengan menggabungkan perbaikan pajak

(corrective taxes) dan liability, namun tetap harus memperhatikan dua poin yang harus

menjadi catatan dalam pelaksanaannya. Pertama, terdapat suatu manfaat umum akan

penggabungan corrective taxes dan liability, karena masing-masing kebijakan ini

dapat mengkompensasi permasalahan-permasalahan yang terdapat satu sama lain.

Kedua, terdapatnya dua kali pengenaan pembayaran kerugian yang timbul jika

corrective taxes dan liability dikenakan bersamaan.41 Khusus dalam hal menekankan

hubungan strict liability dengan corrective tax, Steven Shavell menyatakan:

“The argument regarding the efficiency of strict liability is similar to that

regarding the efficiency of the corrective tax. Namely, if potential injurers face a

choice about any dimension of their behavior, they will make this choice taking

into account its influence on the expected harm, because they will have to pay

for the actual harm.”42

Lebih lanjut dalam hal ketentuan perpajakan di Indonesia, posisi

pertanggungjawaban pajak identik dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan

yang penyebutannya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan

terkait. UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(UU KUP) menegaskan dengan sebutan WP,43 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan (UU PPh) menegaskan dengan sebutan subjek pajak,44 UU No. 42 Tahun

2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah (UU PPN) menegaskan dengan sebutan PKP,45 dan UU No. 19 Tahun

2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menyebutkan

Penanggung Pajak. 46 Dalam hal setiap WP, baik WP Orang Pribadi maupun WP

Badan, telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif 47 sebagai WP wajib

mengisi, menandatangani dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan

benar, lengkap, dan jelas.48 WP dapat menunjuk seorang kuasa khusus dengan surat

kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT.49 Dalam hal WP Badan, SPT

harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi50 atau seorang kuasa dengan surat

kuasa khusus. Adapun yang menjadi wakil WP, yaitu pengurus dalam hal WP Badan,

bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang

40 Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability, “The American Economic Review”, Vol.

101, No. 3, Mei 2011, 273-276, hal. 273. 41 Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful

Externalities, “The Journal of Law and Economics”, Vol. 54, No. 4, Markets, Firms, and Property

Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase, Nopember 2011, S249-S266, hal. S263 dan

S264. 42 Steven Shavell, Op.cit, S249-S266, hal. S258. 43 Pasal 1 angka (2) UU KUP mendefenisikan Wajib Pajak sebagai orang pribadi atau badan

yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 44 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa subjek pajak terdiri dari subjek

pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum

terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap (BUT). 45 Pasal 1 angka (15) UU PPN mendefenisikan PKP sebagai Pengusaha yang melakukan

penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak

berdasarkan UU PPN. 46 Pasal 1 angka (28) UU KUP dan Pasal 1 angka (3) UU PPSP mendefenisikan Penanggung

Pajak sebagai orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk

wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP sesuai dengan ketentuan perpajakan. 47 Pasal 2 ayat (1) UU KUP. 48 Pasal 4 ayat (1) UU KUP. 49 Pasal 4 ayat (3) UU KUP. 50 Pasal 4 ayat (2) UU KUP.

Page 9: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 525

terutang.51 Namun tanggung jawab renteng tersebut dapat dikecualikan apabila wakil

WP tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya,

menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.52

Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng

Wakil WP tersebut atas pembayaran pajak yang terutang menunjukkan bahwa

pertanggungjawaban atas pembayaran pajak dapat dipertanggungjawabkan kepada

pihak lain yang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum secara langsung, yang

berhubungan erat dengan WP Badan tersebut, seperti komisaris dan atau pemegang

saham mayoritas atau pengendali dan atau orang yang berwenang menentukan

kebijakan dan atau mengambil keputusan dalam perusahaan dan atau berwenang

menandatangani kontrak/perjanjian dan atau cek/giro korporasi.53

2. Nilai-Nilai Hukum dalam Pengaturan Pertanggungjawaban Pajak

Pertanggungjawaban pajak merupakan salah satu pokok persoalan dalam hukum

pajak yang harus dipahami setiap WP dalam menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya karena berhubungan erat dengan sanksi yang ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 54 Peraturan perundang-

undangan perpajakan yang dimaksud, idealnya adalah merupakan perwujudan

rumusan kaidah-kaidah hukum yang sangat berhubungan dengan kecenderungan-

kecenderungan yang ada pada masyarakat. 55 Sehingga, agar peraturan

pertanggungjawaban pajak tetap memiliki validitas dalam masyarakat atau WP

melalui adanya kekuasaan (power) dari negara untuk memberlakukannya, maka

pengaturan tersebut harus mengandung nilai-nilai hukum, sebagaimana menurut

Gustav Radbruch, yang harus mencakup kemanfaatan umum (public benefit),

kepastian hukum (legal certainty), dan keadilan (justice). 56

Perlunya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan adalah merupakan salah satu perwujudan dari positivisme

hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum, yang juga harus sejalan dengan

nilai-nilai hukum lainnya yaitu kemanfaatan dan keadilan. Hal ini ditegaskan Gustav

Radbruch dengan menyatakan:

“Obligation and legal validity must be based, rather, on a value inherent in the

statute. To be sure, one values come with every positive-law statute without

reference to its content: Any statutes is always better than no statute at all, since

it at least creates legal certainty. But legal certainty is not the only value that

law must effectuate, nor is it the decisive value. Alongside legal certainty, there

are two other values: purposiveness and justice.”57

Bahkan di negara yang menganut tradisi common law seperti Amerika Serikat,

pengaturan secara tertulis suatu hukum tetap dibutuhkan, sebagaimana Langdell, yang

dikutip dalam Jeremiah Smith, menyatakan:

51 Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP 52 Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. 53 Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU KUP. 54 V. Lee Hamilton, Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility, “Social

Psychology”, Vol. 41, No. 4, 1978,316-328, hal. 316. 55 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009), hal. 1 dan 31. 56 Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, penerjemah Bonnie Litschewski Paulson

dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15, hal. 13 dan 14. 57 Gustav Radbruch, Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946), penerjemah Bonnie

Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006,

1-11, hal. 6.

Page 10: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

526 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

“Strictly, every obligation is created by the law. When it is said that a contract

creates an obligation, it is only meant that the law annexes an obligation to

every contract. A contract may be well enough defined as an agreement to which

the law annexes an obligation”, 58

dan Corbin menyatakan “All enforcible obligations are created by law”.59 Kemudian

Gilbert Sandler, dalam kaitannya dengan implikasi pada perusahaan industri, juga

menegaskan:

“The proposed legislation would be a major improvement over the present strict

liability scheme. A wider distribution of losses would be accomplished, and the

harsh secondary effects of strict liability in competitive industries would be

alleviated by the proposed scheme of recouping losses either directly from

consumers or from society as a whole”.60

Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah

umum yang memang dengan tegas memformalkan prosedur-prosedur hukumnya untuk

menjamin keakurasian keadilan dan untuk mencegah terjadinya subversi terhadap

keadilan, serta dapat meminimalisasi diskresi yang dilakukan aparatur pemerintahan

dan pengadilan pada saat penegakan peraturan perundang-undangan tersebut.61 Begitu

juga dengan pengaturan pertanggungjawaban pajak terkait strict liability,

pengadopsian nilai-nilai hukum Gustav Radbruch sejalan dengan dua asas pajak dari

empat asas yang dikemukakan oleh Adam Smith62 yakni, asas kesamaan (equality) dan

asas kepastian (certainty).63 Asas equality menekankan bahwa pengenaan pajak harus

bersikap adil, tidak diskriminatif, serta pengenaannya harus seimbang sesuai dengan

kemampuan subjeknya, sedangkan asas certainty menegaskan bahwa semua

pemungutan pajak harus terang/pasti baik mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif

pajak, waktu pembayaran pajak, dan sebagainya.64

3. Prinsip Keadilan Dan Kemanfaatan Umum Dalam Pertanggungjawaban

Pajak

Pengaturan merupakan salah satu perwujudan dari positivisme hukum yang

dapat menciptakan kepastian hukum. Namun pengaturan pertanggungjawaban pajak

dalam suatu negara, khususnya di Indonesia, dapat menimbulkan potensi untuk saling

bertentangan antara keadilan dengan kemanfaatan karena adanya tuntutan dan atau

muatan yang berlainan di dalam pelaksanaanya. Sehingga sangat dibutuhkan alternatif

penyelesaian yang berhubungan erat dengan pendalaman yang mendasar terhadap

nilai-nilai hukum berupa keadilan dan kemanfaatan umum yang diterapkan di bidang

perpajakan yang dapat menjawab permasalahan pengaturan pertanggungjawaban

mutlak WP sebagai salah satu pondasi kepatuhan pajak yang memperkuat sistim

perpajakan di Indonesia

58 Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 257. 59 Jeremiah Smith, Loc.cit. 60 Gilbert Sandler, Strict Liability and the Need for Legislation, “Virginia Law Review”, Vol. 53,

No. 7, Nopember 1967, 1509-1521, hal. 1521. 61 Andrei Shleifer, Understanding Regulation, “European Financial Management”, Vol. 11, No.

4, 2005, 439-451, hal. 445. 62 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, (Hampshire,

UK: Harriman House Ltd, 2007), hal. 535. 63 Ibid., hal. 536-537. 64 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal.

27 dan 28.

Page 11: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 527

Keadilan merupakan kebajikan yang paling utama dari suatu institusi sosial,65

termasuk otoritas pajak, yang hanya dapat dipahami jika diposisikan sebagai situasi

yang harus direalisasikan oleh hukum melalui proses yang dinamis. 66 Terdapat

beberapa pendapat tokoh penting tentang keadilan yang perlu untuk lebih dipahami

dalam kaitannya dengan pengaturan pertanggungjawaban.

Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan tatanan yang mengutamakan

kebajikan dan keadilan umum dalam konteks mutu pribadi individu warga polis

(negara). Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat,

bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum, sejatinya adalah

tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.67

Aristoteles menegaskan bahwa hukum tidak akan pernah dapat menjadi sangat

adil68 sehingga permasalahan keadilan hukum harus dipahami dari segi kesamaan yang

terdiri dari tiga keadilan yaitu keadilan berbasis kesamaan (cummulative), keadilan

distributif (distributive), dan keadilan korektif (remedial). 69 Keadilan kumulatif

mencakup dua kesamaan yaitu kesamaan numerik, yang melahirkan prinsip “semua

orang sederajat di depan hukum”, dan kesamaan proporsional, yang melahirkan

prinsip: “memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Keadilan distributif identik

dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif

bertugas membangun kembali kesetaraan dengan berfokus pada pembetulan sesuatu

yang salah. 70 Ketidakmampuan hukum untuk berlaku adil juga disikapi oleh John

Rawls dengan mengkonsepsikan keadilan dari sisi fairness dengan menegaskannya

dalam dua prinsip yang mengekspresikan keadilan berdasarkan tiga pemikiran

kompleks berupa kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan penghargaan (reward)

atas kontribusi pelayanan untuk kebaikan umum. Kedua prinsip tersebut mencakup:

“First, each person participating in a practice, or affected by it, has an equal

right to the most extensive liberty compatible with a like liberty for all; and

second, inequalities are arbitrary unless it is reasonable to expect that they will

work out for everyone's advantage, and provided the positions and offices to

which they attach, or from which they may be gained, are open to all”.71

Lebih lanjut tentang kemanfaatan, Paul W. Taylor menyatakan bahwa

kemanfaatan dapat digabungkan dengan keadilan untuk menegakkan suatu kondisi

yang memadai untuk dapat membenarkan suatu aturan kemasyarakatan ketika

kemanfaatan dan keadilan tersebut dapat beroperasi sebagai kriteria yang independen

dan walaupun tetap memperlihatkan hasil yang tidak konsisten.72 Namun, bilamana

dalam suatu peraturan terdapat konflik antara keadilan dengan kemanfaatan, keadilan

semestinya lebih terprioritaskan dari kemanfaatan karena begitu suatu aturan atau

suatu tindakan tidak dapat memenuhi suatu kondisi yang mencerminkan keadilan

materiil dan atau keadilan formal, maka setidaknya seseorang tidak akan mempunyai

alasan untuk menjalankan aturan tersebut sebagai suatu peraturan, ataupun

65 John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press, 1999), hal. 3. 66 Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, Op.cit, hal. 14. 67 Bernard L. Tanya, et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hal. 31. 68 Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, (Indianapolis, Hackett Publishing Company,

1998), hal 82. 69 John Rawls, Op.cit, hal. 45. 70 Bernard L. Tanya, et. al, Op.cit, hal. 45. 71 John Rawls, Justice as Fairness, “The Philosophical Review”, Vol. 67, No. 2, April 1958, 164-

194, hal. 165. 72 Paul W. Taylor, Justice and Utility, “Canadian Journal of Philosophy”, Vol. I, No. 3, Maret

1972, 327-350, hal. 334.

Page 12: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

528 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

membiarkan tindakan tersebut dilakukan. Sehingga, tak ada serangkaian peraturan

yang pelaksanaannya melanggar keadilan dapat dibenarkan terhadap setiap orang, dan

karenanya tak ada rangkaian tersebut yang dapat dibenarkan secara mutlak.73 Untuk

selanjutnya Paul W. Taylor mendefenisikan kemanfaatan sebagai “a necessary

condition for the justifiability of social rules because the concept of utility is built into

the very notion of an individual’s having good reasons for committing himself to

social rules.” 74

Kemudian untuk lebih memahami prinsip kemanfaatan umum dalam pengaturan

pertanggungjawaban, penting untuk mengadopsi pemikiran Jeremy Bentham dalam

the principle of utility yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.

Jeremy Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan

jaminan kebahagiaan pada individu-individu, pandangan ini dimulai dengan

menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah

pemerintahan 2 (dua) penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan.

Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu berusaha menghindari ketidaksenangan dan

berusaha mencari kesenangan. Karena kodratnya selalu terarah kepada kebahagiaan,

maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau

mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus

ditentukan dengan menimbang kegunaan untuk mencapai kebahagiaan umat

manusia.75 Pemikiran Jeremy Bentham ini kemudian diperdalam lagi oleh John Stuart

Mill dengan menyatakan bahwa ukuran baik buruknya suatu perbuatan harus diukur

dari segi manfaat yang dihasilkan karena kebaikan yang tertinggi adalah manfaat

(utility). Manfaat merupakan suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-

besarnya.76

4. Tinjauan Literatur Pertanggungjawaban Mutlak

Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini, strict liability tetap diteliti

oleh beberapa kalangan, termasuk aplikasi dan implikasinya pada berbagai kegiatan

atau bidang berdasarkan beberapa sudut pandang atau aspek. Ernest J. Weinreb yang

mengadopsi ide keadilan korektif Aristoteles menyatakan bahwa pertanggungjawaban,

yang merupakan respon hukum terhadap suatu ketidakadilan yang dilakukan pelaku

pelanggaran, adalah berkorelasi dengan kerugian yang tidak adil yang ditanggung oleh

korban. Karena trasansaksi yang tidak adil telah menyebabkan apa yang diperoleh

pelaku pelanggaran adalah apa yang merupakan kerugian yang diderita korban, maka

diperlukan keadilan korektif yang dapat menghubungkan para pihak tersebut.77

Kemudian berdasarkan penelitian Harry A. Newman dan David W. Wright

terhadap principal-agent model, analisisnya mendemonstrasikan bahwa keperdulian

dengan mempergunakan strict liability ketika terdapat moral hazard adalah berbeda

dibanding keperdulian tanpa adanya moral hazard. Mereka menyimpulkan bahwa

strict liability dapat memotivasi prinsipal untuk menawarkan suatu kontrak yang

secara sosial menimbulkan suatu tingkat keperdulian yang optimal, dimana tingkat

optimal keperdulian secara sosial tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah ketika

73 Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 348 dan 349. 74 Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 347. 75 Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,

(Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008), hal. 41 dan 42. 76 Astim Riyanto, Filsafat Hukum, (Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010), hal. 716 dan

717. 77 Ernest J. Weinrib, The Gains and Losses of Corrective Justice, “Duke Law Journal”, Vol. 44,

No. 2, Nopember 1994, 277-297, hal. 277.

Page 13: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 529

terdapat moral hazard dibandingkan dengan ketika tanpa adanya moral hazard.78

Kemudian dalam yang membandingkan antara negligence dan strict liability dalam

suatu principal-agent model, Harry A. Newman dan David W. Wright menghasilkan

penelitian bahwa pemilihan bentuk peraturan pertanggungjawaban kemungkinan

menyebabkan tingkat keperdulian yang dilakukan oleh agen dimana atas adanya

kontrak optimal yang ditawarkan dalam negligence rule dapat lebih memotivasi

pegawai dibandingkan dengan yang ditawarkan dalam strict liability.79

Penelitian Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner menyarankan agar didapat motivasi

yang efisien terhadap kehati-hatian yang tidak teramati (unobservable care) maka

lebih baik dilakukan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan

pertanggunggungjawaban dibandingkan hanya penggunaan pertanggungjawaban saja.

Namun terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict

liability dapat juga diberikan terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama

peraturan dan negligence ketika terdapat care yang multidimensional, care dalam

dimensi yang berbeda yaitu yang dapat diamati, tetapi care dalam beberapa dimensi

tidak diatur. Sehingga dalam hal ini, negligence rule bersama dengan regulation akan

menghasilkan insentif yang lebih baik dibandingkan hanya negligence rule saja, sama

halnya dengan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict liability.80

Dalam perkembangannya, khususnya dalam prakteknya, di beberapa negara,

baik yang telah dan atau bermaksud menerapkannya dalam peraturan perundang-

undangan perpajakannya, strict liability masih menimbulkan reaksi pro dan kontra

sampai dengan saat ini. Menurut Kathleen DeLaney Thomas, dukungan terhadap

penerapan strict liability dalam ketentuan perpajakan didasarkan pada argumen untuk

mengantisipasi adanya pelanggaran doktrin substansi ekonomis81 (economic substance

doctrine), sehingga bermanfaat dalam hal: 82 (a). deterrence, dengan menerapkan

sanksi yang tegas terhadap transaksi yang tidak atau kurang didukung dengan

substansi ekonomis akan menjerakan WP sehingga dapat meningkatkan kepatuhan

WP; dan (b). complexity, adanya kesengajaan WP dalam doktrin substansi ekonomis

membuat struktur transaksi yang rumit yang hanya bisa diakses dan dipahami WP

sehingga hanya ahli-ahli tertentu yang dapat mengungkap permasalahan tersebut.

Selain argumen yang mendukung strict liability, terdapat juga argumen yang

mendebat pengaturan strict liability di bidang perpajakan. Mik Shin-Li dan Richard A.

Wasserstrom berpendapat bahwa strict liability seharusnya tidak diadopsi dalam

78 Harry A. Newman dan David W. Wright, Strict Liability in a Principal-Agent Model,

“International Review of Law and Economics”, Vol. 10, 1990, 219-231, hal. 227. 79 Harry A. Newman dan David W. Wright, Negligence Versus Strict Liability in a Principal-

Agent Model, “Journal of Economics and Business”, Vol. 44, 1992, 265-281, hal. 278. 80 Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner, The Joint Use of Regulation and Strict Liability with

Multidimensional Care and Uncertain Conviction, “International Review of Law and Economics”, Vol.

28, Issue 2, 2008, 123-132, hal. 131. 81 Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 7701 – Definitions,

<https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses tanggal 1 Juni 2017. Lebih lanjut tentang

penggunaan doktrin substansi ekonomis di Amerika Serikat secara tegas diatur dalam Pasal 7701 (o)

Internal Revenue Code (IRC) Amerika Serikat dimana pada Ayat 5 (A) didefenisikan sebagai “the

common law doctrine under which tax benefits under subtitle A with respect to a transaction are not

allowable if the transaction does not have economic substance or lacks a business purpose”. Kemudian

pada Ayat 1 disebutkan perlakuan yang dianggap memiliki substansi ekonomis bilamana: “(A) the

transaction changes in a meaningful way (apart from Federal income tax effects) the taxpayer’s

economic position, and (B) the taxpayer has a substantial purpose (apart from Federal income tax

effects) for entering into such transaction.” 82Kathleen DeLaney Thomas, The Case Against A Strict Liability Economic Substance Penalty,

“University of Pennsylvania Journal of Business Law”, Vol. 13, No. 2, 2011, 445-497, hal. 462-464.

Page 14: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

530 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perpajakan83 karena hukuman yang dikenakan terhadap persons menurut persyaratan

minimum kewajiban yang ketat adalah tidak konsisten dengan tujuan umum hukum

pidana dan bertentangan dengan standar pidana kesalahan yang berlaku di

masyarakat. 84 Thomas C. Vanik berpendapat bahwa klarifikasi doktrin substansi

ekonomis melalui pengaturan pajak memang telah menunjukkan keobjektifan dalam

membangun keseragaman, tetapi dengan mengenakan sanksi strict liability terhadap

transaksi-transaksi yang salah terhadap doktrin ini dan, bukan doktrin common law

yang lain, menambah ketidakpastian yang lebih besar terhadap hukum pajak. 85

Kemudian, Kathleen DeLaney Thomas juga merangkum argumen yang mendasari

pemikiran yang mengkritisi penerapan sanksi pertanggungjawaban mutlak yang

didasarkan pada 4 (empat) hal berikut:86 (a). fairness, merupakan argumen utama yang

sangat menentang pertanggungjawaban mutlak karena didalamnya timbul

ketidakadilan dan ketidak proporsionalan yang sangat serius, terutama kepada WP

yang selama ini berusaha patuh namun karena terdapat kesalahan atau lupa atau

terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), sebagaimana James Quarmby87

mencontohkan di Inggris berupa transaksi harta di negara offshore, dianggap kriminal

dan didenda padahal disebabkan beberapa kendala seperti kompleksitas dalam

investasi atau perdagangan atau hukum di luar negeri; (b). adverse effects on taxpayers

behavioral, ketat dan kerasnya sanksi pidana pajak yang dikenakan menjadikan WP

untuk menghindari transaksi yang sah secara hukum sehingga dapat menyulitkan

otoritas pajak dalam mendeteksi tempat penampungan pajak WP, atau dapat

meningkatkan terjadinya litigasi yang diajukan oleh WP; (c). enforcement issues,

dimana pada saat terjadinya litigasi, pengadilan pajak enggan untuk menelusuri atau

membuktikan kurangnya substansi ekonomis pada kasus pajak tersebut; dan (d).

motivated by revenue, pengenaan sanksi pertanggungjawaban mutlak yang ternyata

dipaksakan untuk tujuan pencapaian target penerimaan pajak dipandang sebagai “an

unsatisfactory rationale”.

IV. PEMBAHASAN

1. Perkembangan Pertanggungjawaban Mutlak di Beberapa Negara

Pemberlakuan strict liability pada hukum pidana dalam tradisi common law

seperti dalam hukum pidana di Inggris biasanya berkaitan dengan tiga macam delik

berikut: “1) public nuisance (gangguan terhadap ketertiban umum), 2) criminal liabel

(fitnah, pencemaran nama), 3) contempt of court (pelanggaran tata tertib

pengadilan)”.88 Namun dalam perkembangannya, strict liability telah diterapkan pada

beberapa kegiatan dan atau bidang tertentu yang berisiko sangat tinggi dan atau sangat

berbahaya yang belum tentu dapat dijangkau oleh pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan, seperti dalam area pertanggungjawaban lingkungan hidup,

83 Mik Shin-Li, Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard in

Noneconomic Substance Transactions, “Fordham Law Review”, Vol. 78, Issue 4, 2010, 2009-2050, hal.

2009. 84 Richard A. Wasserstrom, Strict Liability in the Criminal Law, “Stanford Law Review”, Vol.

12, No. 4, Juli 1960, 731-745, hal. 734. 85 Thomas C. Vanik, Torpedoing a Transaction: Economic Substance versus other Tax Doctrines

and the Application of the Strict Liability Penalty, “Cleveland State Law Review”, Vol. 64, Iss 1, 2015,

109-132, hal. 132. 86 Kathleen DeLaney Thomas, Op.cit, hal. 465-467. 87 James Quarmby, Strict Liability Offences: A Worrying Trend?,

<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-trend-13052016>, diakses

tanggal 15 Juni 2017. 88Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, hal. 109; dan Romli Atmasasmita, Op. cit, hal 100.

Page 15: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 531

pertanggungjawaban produk, atau pertanggungjawaban terhadap risiko terkait

rekayasa genetik, sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara seperti Amerika

Serikat, Inggris, dan Jerman. 89 Bahkan, beberapa negara telah mengadopsi strict

liability dalam peraturan perpajakannya seperti di negara Amerika Serikat, Kanada,

dan Inggris.

Di negara Amerika Serikat, strict liability diidentikkan dengan pengenaan sanksi

sebesar 20% atas pajak yang kurang disetor terhadap setiap larangan terkait klaim

manfaat pajak yang didasarkan atas transaksi yang kurang memenuhi substansi

ekonomis sebagaimana diatur dalam Pasal 6662 huruf (a) juncto huruf (b) angka (6)

United States Internal Revenue Code (US IRC).90 Bahkan, pengenaan sanksi sebesar

20% tersebut dapat meningkat menjadi sebesar 40% atas pajak yang kurang disetor

bila WP sama sekali tidak mengungkapkan transaksi-transaksi yang bersubstansi non-

ekonomis (nondiclosed noneconomic substance transactions) sebagaimana diatur

dalam Pasal 6662 huruf (i) angka (1) US IRC,91 dimana pada Pasal 6662 huruf (i)

angka (2) US IRC ditegaskan pengertian nondiclosed noneconomic substance

transactions sebagai “any portion of a transaction described in subsection (b)(6) with

respect to which the relevant facts affecting the tax treatment are not adequately

disclosed in the return nor in a statement attached to the return”. Negara Kanada mengadopsi strict liability secara tegas dalam Canadian Income

Tax Act, yakni pada Pasal 163 (1) dan Pasal 238 (1). Pasal 163 (1) Canadian Income

Tax Act mengatur tentang pengenaan sanksi sebesar 50% terhadap setiap orang yang

salah melaporkan angsuran pajaknya.92 Kemudian Pasal 238 (1) Canadian Income Tax

Act mengatur bahwa setiap orang yang salah melaporkan Surat Pemberitahuan

Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan pidana dengan denda minimal

sebesar $1.000 hingga denda maksimal $25.000 dan penjara maksimal 12 bulan.93

89 Martin Nell dan Andreas Richter, The Design of Liability Rules for Highly Risk Activities – Is

Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?, “International Review of Law and Economics”,

Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47, hal. 32. 90 Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of

accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,

diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (a) US IRC yang berbunyi: “If this section applies to

any portion of an underpayment of tax required to be shown on a return, there shall be added to the tax

an amount equal to 20 percent of the portion of the underpayment to which this section applies” dan

Pasal 6662 huruf (a) angka (6) US IRC yang mengatur selanjutnya tentang portion of underpayment

yang berbunyi: “This section shall apply to the portion of any underpayment which is attributable to 1

or more of the following: (1) ... (6) Any disallowance of claimed tax benefits by reason of a transaction

lacking economic substance (within the meaning of section 7701(o)) or failing to meet the requirements

of any similar rule of law. ... (8) ...”. 91 Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 6662 - Imposition of

accuracy-related penalty on underpayments, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>,

diakses pada tanggal 1 Juni 2017. Pasal 6662 huruf (i) angka (1) US IRC yang berbunyi: “In the case of

any portion of an underpayment which is attributable to one or more nondisclosed noneconomic

substance transactions, subsection (a) shall be applied with respect to such portion by substituting “40

percent” for “20 percent””. 92 Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last

amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-3.3/page-194.html#docCont>, diakses

tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 163 (1) Canadian Income Tax Act tersebut

adalah: “Every person who fails to pay all or any part of an instalment of tax for a taxation year on or

before the day on or before which the instalment is required by this Part to be paid is liable to a penalty

equal to 50% of the amount, if any, by which (a) the interest payable by the person under section 161 in

respect of all instalments for the year, exceeds the greater of (b) $1,000, and (c) 25% of the interest that

would have been payable by the person under section 161 in respect of all instalments for the year if no

instalment had been made for that year.” 93 Government of Canada, Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last

amended on 2017-05-01, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-263.html#docContt>,

Page 16: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

532 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Sedangkan di negara Inggris, strict liability dengan tegas diatur dalam United

Kingdom Finance Act 2016 dengan mengenakan hukuman berupa denda dan atau

penjara maksimal 51 minggu atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset,

atau kegiatan-kegiatannya di negara offshore sebagaimana diatur dalam Pasal 106B

sampai dengan Pasal 106H, kecuali WP dapat membuktikan di pengadilan bahwa

mereka memiliki alasan yang masuk akal. Adapun Pasal 106B mengatur tentang

pelanggaran atas kesalahan dalam memberitahukan biaya yang dapat dibebankan pada

pajak (offence of failing to give notice of being chargeable to tax) dan atau pajak atas

capital gain pada suatu tahun pajak, kecuali WP tersebut dapat membuktikan bahwa

kesalahannya tersebut mempunyai alasan pemaaf. 94 Pasal 106C mengatur tentang

pelanggaran terhadap kesalahan dalam mengirimkan SPT (offence of failing to deliver

return) akhir periode yang telah ditentukan, suatu SPT yang dilaporkan akan telah

mengungkapkan adanya kewajiban atas PPh dan atau pajak capital gain yaitu yang

dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan

penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah PPh dan pajak capital

gain yang dapat dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan

penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore yang melebihi batas yang telah

ditetapkan. 95 Pasal 106D mengatur tentang pelanggaran dalam mengisi SPT yang

isinya tidak benar (offence of making inaccurate return) yang menyebabkan

meningkatnya jumlah PPh atau pajak capital gain yang lebih besar yaitu yang dapat

dibebankan pada tahun fiskal atas atau oleh yang berhubungan dengan penghasilan,

asset, dan kegiatan-kegiatan offshore, dan jumlah kenaikan tersebut melebihi batas

yang telah ditetapkan, kecuali orang yang diduga melanggar tersebut dapat

membuktikan telah melakukan kehati-hatian yang layak/patut dalam pelaporan SPT

diakses tanggal 22 Juni 2017. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 238 (1) Canadian Income Tax Act

adalah: “Every person who has failed to file or make a return as and when required by or under this Act

or a regulation or who has failed to comply with subsection 116(3), 127(3.1) or (3.2), 147.1(7) or

153(1), any of sections 230 to 232, 244.7 and 267 or a regulation made under subsection 147.1(18) or

with an order made under subsection (2) is guilty of an offence and, in addition to any penalty

otherwise provided, is liable on summary conviction to: (a) a fine of not less than $1,000 and not more

than $25,000; or (b) both the fine described in paragraph 238(1)(a) and imprisonment for a term not

exceeding 12 months.” 94 The United Kingdom, Finance (No. 2) Bill,

<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1

Juni 2017. Selengkapnya bunyi Pasal 106B UK Finance (No. 2) Bill 2016: “(1) A person who is

required by section 7 to give notice of being chargeable to income tax or capital gains tax (or both) for

a year of assessment and who has not given that notice by the end of the notification period commits an

offence if— (a) the tax in question is chargeable (wholly or in part) on or by reference to offshore

income, assets or activities, and (b) the total amount of income tax and capital gains tax that is

chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities exceeds

the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an offence under this section to prove

that the person had a reasonable excuse for failing to give the notice required by section 7. (3) In this

section “the notification period” has the same meaning as in section 7 (see subsection (1C) of that

section).” 95 Ibid., selengkapnya Pasal 106C UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is

required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an

offence if— (a) the return is not delivered by the end of the withdrawal period, (b) an accurate return

would have disclosed liability to income tax or capital gains tax (or both) that is chargeable for the

year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (c) the total amount

of income tax and capital gains tax that is chargeable for the year of assessment on or by reference to

offshore income, assets or activities exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person

accused of an offence under this section to prove that the person had a reasonable excuse for failing to

deliver the return. (3) In this section “the withdrawal period” has the same meaning as in section 8B

(see subsection (6) of that section).”

Page 17: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 533

tersebut.96 Pasal 106E mengatur tentang pengecualian-pengecualian dari pelanggaran

Pasal 106B sampai dengan Pasal 106D (exclusions from offences under sections 106B

to 106D).97 Pasal 106F mengatur tentang ketentuan tambahan pelanggaran Pasal 106B

sampai dengan Pasal 106D (offences under sections 106B to 106D: supplementary

provision) seperti adanya perpanjangan waktu, adanya pemberian wewenang mengatur

kepada Departemen Keuangan (The Treasury) dalam hal jumlah tertentu sepanjang

yang tidak melebihi £25.000,- terkait jumlah pajak atas atau oleh yang berhubungan

dengan penghasilan, asset, dan kegiatan-kegiatan offshore dimana kenaikan jumlah

pajak tersebut berasal dari jumlah koreksi atas ketidak benaran. Kemudian dalam Pasal

106F tersebut ditegaskan juga defenisi penghasilan, asset, dan kegiatan offshore

sebagai: “(a) income arising from a source in a territory outside the United Kingdom,

(b) assets situated or held in a territory outside the United Kingdom, or (c) activities

carried on wholly or mainly in a territory outside the United Kingdom. (5) In

subsection (4), “assets” has the meaning given in section 21(1) of the 1992 Act, but

also includes sterling.” 98 Pasal 106G mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran

Pasal 106B sampai dengan Pasal 106D (penalties for offences under sections 106B to

106D).99 Dan Pasal 106H mengatur tentang tata cara regulasi Pasal 106E dan Pasal

106F (Regulations under sections 106E and 106F) yang memperkenankan perbedaan

96 Ibid., selengkapnya Pasal 106D UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person who is

required by a notice under section 8 to make and deliver a return for a year of assessment commits an

offence if, at the end of the amendment period— (a) the return contains an inaccuracy the correction of

which would result in an increase in the amount of income tax or capital gains tax (or both) that is

chargeable for the year of assessment on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b)

the amount of that increase exceeds the threshold amount. (2) It is a defence for a person accused of an

offence under this section to prove that the person took reasonable care to ensure that the return was

accurate. (3) In this section “the amendment period” means the period for amending the return under

section 9ZA.”

97 Ibid., selengkapnya Pasal 106E UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person is not

guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if the capacity in which the person is required to

give the notice or make and deliver the return is— (a) as a relevant trustee of a settlement, or (b) as the

executor or administrator of a deceased person. (2) The Treasury may by regulations provide that a

person is not guilty of an offence under section 106B, 106C or 106D if— (a) conditions specified in the

regulations are met, or (b) circumstances so specified exist. (3) The conditions may (in particular)

include conditions in relation to the income, assets or activities on or by reference to which the tax in

question is chargeable.” 98 Ibid., selengkapnya Pasal 106F UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) Where a period of

time is extended under subsection (2) of section 118 by HMRC98, the tribunal or an officer (but not

where a period is otherwise extended under that subsection), any reference in section 106B, 106C or

106D to the end of the period is to be read as a reference to the end of the period as so extended. (2)

The Treasury may by regulations specify the amount (which must not be less than £25,000) that is to be

the threshold amount for the purposes of sections 106B to 106D. (3) The Treasury may by regulations

make provision as to the calculation for the purposes of sections 106B to 106D of— (a) the amount of

tax that is chargeable on or by reference to offshore income, assets or activities, and (b) the increase in

the amount of tax that is so chargeable as a result of correcting an inaccuracy. (4) In sections 106B to

106D and this section “offshore income, assets or activities” means— (a) income arising from a source

in a territory outside the United Kingdom, (b) assets situated or held in a territory outside the United

Kingdom, or (c) activities carried on wholly or mainly in a territory outside the United Kingdom. (5) In

subsection (4), “assets” has the meaning given in section 21(1) of the 1992 Act, but also includes

sterling.”

99 Ibid., selengkapnya Pasal 106G UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) A person guilty

of an offence under section 106B, 106C or 106D is liable on summary conviction— (a) in England and

Wales, to a fine or to imprisonment for a term not exceeding 51 weeks or to both, and (b) in Scotland or

Northern Ireland, to a fine not exceeding level 5 on the standard scale or to imprisonment for a term

not exceeding 6 months or to both. (2) In relation to an offence committed before the coming into force

of section 281(5) of the Criminal Justice Act 2003, the reference in subsection (1)(a) to 51 weeks is to

be read as a reference to 6 months.”

Page 18: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

534 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

perlakuan untuk kasus yang berbeda namun harus tetap dibuat oleh instrumen

peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang. 100

Di Indonesia, pengaturan eksplisit strict liability masih sebatas aturan sanksi

administrasi perpajakan, sedangkan dalam bentuk sanksi pidana di bidang perpajakan

belum diatur secara eksplisit. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hukum (positif)

lingkungan hidup yang telah mengatur secara tegas strict liability sebagaimana

tercantum pada Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang menyatakan bahwa setiap orang

yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan

dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap

lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan. Sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana

mutlak masih dalam bentuk ius constituendum yang dalam Pasal 39 ayat (1) Konsep

Rancangan KUHP 2015-2016 yang berbunyi: “Bagi tindak pidana tertentu, UU dapat

menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya

unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.”101

Pengaturan secara eksplisit strict liability dalam hukum administrasi perpajakan

diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU KUP yang mengenakan sanksi administrasi berupa

denda sebesar Rp.500.000,00 untuk SPT Masa PPN, Rp.100.000,00 untuk SPT Masa

Lainnya dan untuk SPT Tahunan PPh WP Orang Pribadi, dan Rp.1.000.000,00 untuk

SPT Tahunan PPh WP Badan, yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah

ditentukan, dan Pasal 16F UU PPN yang mengenakan tanggung jawab renteng

pembayaran PPN kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak dapat

menunjukkan bukti bahwa PPN telah dibayar.

Adanya strict liability di negara Inggris dalam hal pengenaan hukuman berupa

denda dan atau penjara atas kesalahan dalam melaporkan penghasilan, asset, atau

kegiatan-kegiatannya di negara offshore, hampir mirip dengan hukum administrasi

pajak di Indonesia, namun identik dengan pertanggungjawaban pengganti (vicarious

liability), yang umum dikenal dengan istilah beneficial owner (BO)102 dan hubungan

istimewa (related party) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3b), ayat (3c), dan

ayat (3d) UU PPh. Pasal 18 ayat (3b) UU PPh mengatur tentang WP yang membeli

saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau special purpose company (SPV),

yang dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut

sepanjang WP yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain

atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. Pasal 18 ayat (3c)

UU PPh mengatur tentang penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara

100 Ibid., selengkapnya Pasal 106H UK Finance (No. 2) Bill 2016 berbunyi: “(1) This section

makes provision about regulations under sections 106E and 106F. (2) If the regulations contain a

reference to a document or any provision of a document and it appears to the Treasury that it is

necessary or expedient for the reference to be construed as a reference to that document or that

provision as amended from time to time, the regulations may make express provision to that effect. (3)

The regulations— (a) may make different provision for different cases, and (b) may include incidental,

supplemental, consequential and transitional provision and savings. (4) The regulations are to be made

by statutory instrument. (5) An instrument containing the regulations is subject to annulment in

pursuance of a resolution of the House of Commons.” 101 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,

Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP),

<http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_dengan_lampiran.pdf>,

diakses tanggal 27 Mei 2016. 102 Abdul Ficar Hadjar, et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik atas

Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan Terdakwa Suwir Laut,

(Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan Indonesian Corruption Watch, 2014).

Page 19: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 535

(conduit company atau SPV) yang didirikan atau bertempat kedudukan di tax haven

country yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau

bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia yang dapat ditetapkan

sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat

kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia. Kemudian Pasal 18 ayat (3d) UU PPh

mengatur tentang besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri

dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat ditentukan

kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan WP

orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya

yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia tersebut.

2. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia Dalam

Perspektif Keadilan

Pertentangan paling utama atas penerapan pertanggungjawaban mutlak dalam

suatu peraturan perundang-undangan adalah anggapan adanya ketidakadilan berupa

pengenaan sanksi terhadap suatu subjek hukum yang bukan merupakan pelaku

pelanggaran atas suatu hukum tertentu tanpa harus membuktikan adanya kesalahan.

Hal ini semakin kompleks dalam lapangan hukum pajak karena adanya kesamaan

anggapan bahwa pemungutan pajak terhadap masyarakat tidak akan pernah bisa

mencerminkan keadilan yang hakiki dimana pengertian dari pajak itu sendiri, di

Indonesia, merupakan kontribusi wajib kepada negara dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.103

Dalam hal anggapan adanya ketidakadilan terhadap pengenaan strict liability

terhadap yang bukan pelaku pelanggaran adalah sepenuhnya tidak benar karena

konsep pertanggungjawaban hukum sangat berhubungan dengan konsep kewajiban

hukum karena terhadap “setiap orang” yang dianggap cakap maka secara hukum harus

bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu. Sehingga terhadap setiap

pelanggaran hukum yang terjadi dapat menimbulkan konsekuensi, baik terhadap yang

melakukan pelanggaran langsung maupun terhadap setiap orang yang secara hukum

terkait dengannya. Salah satu segi keadilan strict liability ini dapat dilihat dari

maraknya pelanggaran pajak yang dilakukan dalam konteks hubungan keagenan

dimana dalam hal terjadinya tax evasion dan tax avoidance, yang menjadi korban

adalah negara, yang melakukan langsung pelanggaran adalah pegawai atau agen yang

dalam hal ini dapat meliputi pegawai tetap dan atau pegawai tidak tetap dan atau

dewan direksi dan atau dewan komisaris sesuai dengan tugas dan tanggung jawab

masing-masing, sedangkan yang menerima manfaat, pada umumnya, adalah prinsipal

yang dalam hal ini dapat meliputi pemegang saham dan atau top management seperti

direksi dan atau komisaris.

Dalam hal anggapan tentang adanya ketidakadilan terkait pengenaan strict

liability terhadap suatu subjek hukum tanpa harus membuktikan adanya kesalahan,

adalah merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap pengertian strict

liability itu saja. Selain itu, pengenaan sanksi tanpa adanya kesalahan sangat

bertentangan dengan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana di Indonesia.

Strict liability adalah merupakan pertanggungjawaban yang tetap berdasarkan

kesalahan karena kesalahan dipandang tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur

delik namun tidak harus dibuktikan. Dalam hal terjadinya pelanggaran yang berkenaan

103 Pasal 1 angka (1) UU KUP.

Page 20: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

536 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

dengan keuangan negara, dalam hal ini yang berkenaan dengan penerimaan negara

dari sektor pajak, maka “fault”, sebagaimana dikemukakan oleh Jeremiah Smith, dapat

mengacu pada eksistensi kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, atau dengan kata

lain, perbuatan pelaku pelanggaran telah menyebabkan adanya kerusakan atau

kerugian terhadap korban dimana jenis pelanggaran tersebut merupakan perhatian

hukum. Atas kerusakan atau kerugian tersebut maka hukum akan berusaha

memperbaiki dengan mengatur bahwa sewaktu-waktu “person” yang menimbulkan

kerusakan atau kerugian tersebut dapat dianggap sebagai pelaku pelanggaran.104

Selain pemahaman yang menganggap bahwa pertanggungjawaban mutlak tidak

adil untuk diterapkan, F. E. Devine menganggap bahwa berdasarkan penyesuaian yang

telah dilakukan pada beberapa negara, strict liability diperlukan dan memang

memenuhi rasa keadilan untuk diterapkan, khususnya yang menyangkut tiga areanya

yang fleksibel. Pertama, elemen batin yang dapat didefenisikan dengan jangkauan

yang lebih luas dari fakta yang berdasarkan kesalahan yang masuk akal, melalui

pengabaiannya terhadap fakta, menjadi penerimaan semua kehati-hatian (care) yang

masuk akal. Kedua, tingkat pembebanan kepada pelaku pelanggaran dapat terbentang

dari pembuktian sikap batin yang diklaim oleh bukti yang berpengaruh lebih besar

menjadi semata-mata perolehannya untuk meningkatkan suatu keraguan yang masuk

akal yang mesti disanggah oleh pihak penuntut. Ketiga, tingkat pertanggungjawaban

mutlak yang dapat dibuat dapat bervariasi dari menerimanya ketika badan legislatif

dengan jelas menginginkannya, menjadi membatasinya ke peraturan perundang-

undangan yang dapat menghukum hanya melalui denda.105 Lebih dalam tentang care

dalam strict liability, sebagai bagian dari tort law di negara yang menganut tradisi

common law dimana salah satu bagian fundamental dari analisis ekonomi modern tort

law adalah adanya perbedaan care dan tingkatan kegiatan (activity levels),106 Steven

Shavell berpendapat bahwa the level of activity, biasanya, tidak dipertimbangkan

dalam merumuskan suatu standar kehati-hatian (a due care standard) karena adanya

kesulitan pada saat proses peradilan, dimana peradilan, yang akan memformulasikan

suatu standar kehati-hatian yang diperluas melalui defenisinya, akan kesulitan dalam

memutuskan tingkat aktivitas yang tepat, dan kompetensi peradilan untuk

melakukannya.107

Dalam hal keadilan di bidang perpajakan, pengaturan pertanggungjawaban

mutlak, menurut LeFevre, secara analitis dapat ditelusuri kembali dari 4 (empat)

maksim Adam Smith dan yang saat ini diwujudkan dalam bentuk kesamaan horisontal,

sebagai kesamaan perlakuan dalam perpajakan seperti kesamaan pembayaran pajak

yang dilakukan oleh 2 (dua) WP yang berada dalam yurisdiksi pajak yang sama

dengan jenis dan jumlah penghasilan yang sama, dan kesamaan vertikal, sebagai

kesamaan terhadap para WP yang berada dalam keadaan yang berbeda yang harus

diperlakukan berbeda dalam tingkatan yang sesuai.108 Kemudian, Bărbuţă-Mişu109

menyarankan bahwa kerangka konseptual yang mengacu pada tax system fairness

tidak dapat dipisahkan dari keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan

retribusi yang masing-masing diartikan sebagai berikut:

104 Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 258. 105 F. E. Devine, Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition Countries,

“International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice”, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128,

hal. 126. 106 Keith N. Hylton, Op.cit, hal. 153. 107 Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, Op.cit, hal. 22. 108 Tyler Antone LeFevre, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>, direvisi

terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30, hal. 7. 109 Nicoleta Bărbuţă-Mişu, A Review of Factors for Tax Compliance, “Economics and Applied

Informatics”, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76, hal. 74.

Page 21: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 537

“Distributive justice is related to the fairness of taxpayers' outcomes and the

desire of taxpayers to be treated relative to their merits, efforts and needs.

Procedural justice is related to the neutrality of the procedure, trustworthiness of

the tax authorities and polite, dignified, and respectful treatment. Retributive

justice is related to the perceived appropriateness of sanctions in the case of

norm-breaking toward the tax office and taxes in general.”

Selain itu, pengaturan strict liability di bidang perpajakan dalam suatu hubungan

keagenan sangat berhubungan dengan konsep keadilan distributif dan keadilan

korektif yang pelaksanaannya dapat dipahami secara hukum melalui proses yang

dinamis. Pemahaman ini dapat dilihat pada praktek sehari-hari suatu hubungan

keagenan tertentu, dimana prinsipal berusaha bekerjasama dengan agennya untuk

melepaskan tanggung jawab atas terjadinya tax evasion dan atau tax avoidance dengan

berargumen bahwa pelanggaran dilakukan oleh agen dengan tanpa sepengetahuan

prinsipal. Bahkan proses perwujudan keadilan terhadap agen menjadi semakin

kompleks bilamana prinsipal yang dimaksud bukan berwujud manusia alami

melainkan dalam bentuk badan hukum sehingga terjadi kesulitan dalam membuktikan

mens rea karena adanya argument yang menyatakan bahwa pelanggaran, baik berupa

kelalaian, kesengajaan atau kesalahan, hanya dapat dilaksanakan oleh manusia, bukan

oleh badan hukum (dalam hal ini WP Badan) yang keberadaannya seolah-olah masih

dipertanyakan dalam hukum apakah nyata atau fiksi atau hanya berupa kumpulan

manusia yang terikat kontrak.110

Sehubungan dengan terjadinya permasalahan keadilan dalam praktek hubungan

keagenan sebagaimana diuraikan sebelumnya, adalah dapat diselesaikan sepanjang

adanya pengaturan strict liability dalam suatu peraturan perundang-undangan

perpajakan dimana secara alami contract liability telah melekat dalam setiap

perjanjian keagenan yang dilakukan sesuai dengan hukum kontrak yang berlaku di

Indonesia. Hal dapat dilihat dari ide utama teori keagenan yang selalu menekankan

hubungan kontraktual antara prinsipal dengan agen yang harus merefleksikan

organisasi yang efisien yang dapat menyelesaikan permasalahan asimetri informasi

dalam hubungan keagenan, seperti: (a) adanya konflik tujuan antara prinsipal dengan

agen, dan (b) adanya kesulitan dan timbulnya biaya yang tidak sedikit yang dialami

prinsipal dalam mengawasi tindakan para agen. 111 Hubungan kontraktual ini juga

ditegaskan oleh Robert E. Scott yang menekankan bahwa inti dari setiap kewajiban

kontraktual adalah melekatnya strict liability di dalamnya, dan setiap bisnis komersial

akan mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault- based rules dalam

menilai kinerja dan merespon yang tidak berkinerja. 112Dengan adanya pengaturan

strict liability, mekanisme keadilan hukum melalui proses yang dinamis terwujud

melalui tingkat pembebanan sanksi yang tepat kepada prinsipal dan agen yang

berorientasi pada pemulihan kerugian terhadap korban, dalam hal ini adalah negara

atas kerugian dari sektor pajak, yang walaupun dilakukan oleh agen namun karena

perbuatan tersebut dilakukan sebagai gatekeeper yang semata-mata untuk kepentingan

prinsipal maka tidak adil jika pertanggungjawaban (pidana) pajak tersebut hanya

dibebankan kepada agen yang juga belum tentu memiliki kemampuan untuk

menanggulangi kerugian negara yang terjadi. Bahkan sepanjang agen dapat

110 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana,

2013), hal. 185. 111 Kathleen M. Eisenhardt, Agency Theory: An Assessment and Review, “Academy of

Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74, hal. 57-59. 112 Robert E. Scott, In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract, “Michigan Law Review”,

Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June 2009, 1381-1396, hal. 1396.

Page 22: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

538 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

membuktikan tindakan pelanggaran yang dilakukannya tersebut telah melalui proses

due diligence yang patut secara hukum dan tidak ada manfaat timbal balik yang

diterima agen dari prinsipal atas tax evasion dan atau tax avoidance yang terjadi maka

sewajarnya penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara

tersebut dibebankan kepada prinsipal.

Selain itu, sehubungan dengan adanya pertanggungjawaban pidana pajak yang

belum mengatur secara tegas WP Badan sebagai bagian dari unsur setiap orang dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku saat ini, dapat menciptakan

ketidakadilan bagi agen sebagai pelaku pelanggaran karena prinsipal dalam bentuk

WP Badan dianggap tidak pernah melakukan pelanggaran pidana pajak, baik secara

lalai atau sengaja, dan hal ini juga dikhawatirkan dapat menyuburkan praktek tax

evasion dan tax avoidance melalui WP Badan. Padahal beberapa peraturan di

Indonesia telah menyatakan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum di

Indonesia, seperti dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)

yang menegaskan bahwa Perseroan merupakan badan hukum,113 yang pendiriannya

wajib didirikan dua orang114 atau lebih, yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum

sebagai subyek hukum dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi

pengurusnya,115 Peraturan MA (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 yang menegaskan

bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,116 dan Peraturan Jaksa

Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 yang menegaskan bahwa Jaksa berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana terhadap korporasi.117

Bahkan mengingat pentingnya pertanggungjawaban pidana badan hukum, pada

Rancangan KUHP 2015-2016118 ditegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan suatu

korporasi dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama pengurus apabila pengurus

yang memiliki jabatan penting dan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan

fungsional dalam struktur organisasi yang bertindak baik secara individual atau atas

nama badan hukum untuk dan atas nama badan hukum, berdasarkan hubungan kerja

atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup badan hukum tersebut, dan pada Pasal

118 ayat (2) RUU KUP119 diatur tentang adanya pemidanaan pajak terhadap Badan

dalam hal: (a) dilakukan atau diperintahkan oleh pengurus; (b) dilakukan dalam

rangka pemenuhan maksud dan tujuan Badan; (c) dilakukan sesuai dengan tugas dan

fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan (d) dilakukan dengan maksud memberikan

manfaat bagi Badan.

3. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia

Dalam Perspektif Kemanfaatan Umum

113 Pasal 7 ayat (6) UU PT menyatakan bahwa status badan hukum suatu Perseroan hanya dapat

diperoleh setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. 114 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PT menegaskan kata “orang” sebagai orang perseorangan,

baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. 115 Pasal 1 angka (1) UU PT. 116 Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21

Desember 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. 117 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor

PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan

Subjek Hukum Korporasi. 118 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia, Op.cit, hlm 35. 119 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,

“Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan

Umum Dan Tata Cara Perpajakan”, <http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-

Ttg-Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF>, diakses tanggal 29 Maret 2017.

Page 23: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 539

Banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan dan kelalaian sebagai rezim pertanggungjawabannya. Padahal

terdapat banyak kegiatan yang mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau sangat

berbahaya dan atau perilaku tertentu dalam kemasyarakatan dan atau sulitnya

membuktikan mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan dan atau berdasarkan kelalaian tersebut, sementara potensi

pelanggaran mencakup bidang-bidang yang berhubungan dengan kesejahteraan

kemasyarakatan yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat sebagai wujud

tugas dan tanggung jawab negara. Sehingga sangat diperlukan pengaturan khusus oleh

hukum tertentu terhadap solusi atas permasalahan yang ada tersebut, yaitu pengaturan

pertanggungjawaban mutlak yang dapat memberi kemanfaatan umum tanpa

mengabaikan rasa keadilan.

Pentingnya kemanfaatan atas pengaturan pertanggungjawaban mutlak

menunjukkan bahwa dengan dapat menginterpretasikan keberadaan kemanfaatan

secara baik dan benar, berdasarkan preferensi berupa urutan-urutan opsi-opsi dari

manfaat yang diharapkan (expected utility), 120 diharapkan dapat menghasilkan

keputusan yang berhasil,121 khususnya dalam pengaturan pertanggungjawaban mutlak.

Hal ini ditegaskan oleh Kangoh Lee dengan mengemukakan bahwa strict liability

merupakan salah satu aturan pertanggungjawaban yang terbaik dan efisien dalam tort

law, sebagaimana penjelasannya lebih lanjut berbunyi:

“Under strict liability, an injurer is liable for the loss when an accident occurs

and causes a loss to a victim. The probability of an accident depends on the level

of precaution or care taken by the injurer, and the injurer has an incentive to

take care. The key question concerns the efficiency of the injurer’s incentive to

take care.”122

Selanjutnya, Martin Nell dan Andreas Richter menegaskan bahwa strict liability

sangat bermanfaat diatur untuk aktivitas yang mengandung risiko yang sangat tinggi,

sebagaimana pernyataannya berbunyi:

“Highly risky activities, however, are often by strict liability. The reason usually

given for applying strict liability to these areas is that not only efficient care is

supposed to be induced, but also an efficient level of the risky activity itself. It is

argued that, in the case of no market relationship between injurers and victims,

this could only be achieved through strict liability but not via negligence”.123

Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng

menunjukkan bahwa strict liability dapat berperan dalam hal pengenaan sanksi

terhadap WP dan atau pihak-pihak yang menerima manfaat atas timbulnya kerugian

negara dari sektor pajak tersebut. Hal ini disebabkan bilamana strict liability telah

diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan maka ketidakpastian hukum

dapat dihindari dan atau diskresi pada saat pelaksanaan hukum pajak dapat

diminimalisasi, sehingga aparatur pajak (fiskus) dan atau hakim (pidana) pajak dapat

lebih mudah mengelola proses penegakan hukum di bidang perpajakan melalui adanya

informasi yang diperoleh atas tingkat kerugian negara yang telah ditimbulkan.

Secara sanksi administrasi perpajakan, manfaat strict liability tersebut melekat

pada sanksi administrasi denda pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

120 Paul Weirich, Utility and Framing, “Synthese”, Vol. 176, Issue 1, 2010, 83-103, hal. 84. 121 Paul Weirich, Op.cit, hal. 86. 122 Kangoh Lee, Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability and the

Negligence Rule, “Review of Law & Economics”, Vol. 12, Issue 2, Juli 2016, 261-274, hal. 261. 123 Martin Nell dan Andreas Richter, Op.cit, hal. 44.

Page 24: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

540 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

KUP terhadap SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah diatur

dalam UU KUP, dan dapat melekat pada sanksi administrasi atau pidana pajak dalam

hal pelanggaran Pasal 16F UU PPN juncto Pasal 39A UU KUP yang mengenakan

tanggung jawab renteng kepada pembeli BKP atau penerima JKP atas pembayaran

PPN yang terutang yang tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan

pembeli BKP atau penerima JKP tidak dapat memberikan bukti yang sah bahwa atas

faktur pajak telah sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Hal ini diharapkan dapat

memberikan efek jera terhadap WP sehingga dapat semakin mengatur perilaku WP

agar tertib dalam melaporkan SPT serta tidak dengan sengaja berusaha membuat

struktur transaksi yang rumit yang disengaja untuk tujuan tax evasion dan atau tax

avoidance.

Walaupun manfaat strict liability sudah melekat pada sanksi administrasi denda

pajak di Indonesia, namun kemanfaatan langsung dalam bentuk sanksi pidana pajak

belum didapat karena belum adanya pengaturan secara eksplisit saat ini, terutama

dalam ketentuan formal (UU KUP). Sebagaimana strict liability sangat tepat

dikategorikan sebagai mala prohibita untuk diaplikasikan pada abnormally dangerous

activities, yang dalam bidang perpajakan meliputi pelanggaran yang berkenaan dengan

pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and welfare offences) berupa timbulnya

kerugian pada pendapatan negara, dimana mens rea secara kasuistis tidak perlu

dibuktikan karena dapat menghambat tujuan perundang-undangan perpajakan itu

sendiri, maka pengaturan strict liability dalam peraturan perundang-undangan

perpajakan di Indonesia layak untuk dipertimbangkan. Pertimbangan ini tidak dapat

terlepas dari pesatnya globalisasi dan promosi investasi dari banyak negara di dunia

sehingga diperlukan upaya maksimal dari pemerintah atau negara untuk

meminimalisasi terjadinya tax evasion dan tax avoidance terutama yang berkenaan

dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di negara-negara

offshore, sebagaimana Inggris telah mengaturnya di UK Finance Bill 2016, dan

transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik secara langsung maupun secara tidak

langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi substansi ekonomisnya, sebagaimana

Amerika Serikat telah mengantisipasimya dalam Internal Revenue Code –nya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Tulisan ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, pengaturan

pertanggungjawaban mutlak WP di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan dalam

pelaksanaannya karena berkenaan dengan terjadinya pelanggaran hukum pajak yang

menyebabkan timbulnya kerugian pada pendapatan negara dari sektor pajak dan

sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap masing-masing pihak yang saling

terkait. Walaupun hukum tidak akan pernah menjadi sangat adil, tetapi rasa keadilan

dari segi equality dan atau fairness harus diwujudkan terhadap tiga pihak yang saling

terkait, yaitu terhadap negara sebagai korban (adanya kerugian pada pendapatan

negara dari sektor pajak), terhadap pelaku langsung (dalam hubungan keagenan

disebut agen), dan terhadap penerima manfaat (dalam hubungan keagenan disebut

prinsipal), yang akan dapat tercapai sepanjang pertanggungjawaban mutlak pada setiap

orang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal

yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kedua, pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia dapat

memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas permasalahan

terhadap maraknya pelanggaran di bidang-bidang kesejahteraan kemasyarakatan yang

mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau maraknya perilaku tertentu yang

Page 25: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 541

memerlukan a due care standard dalam kemasyarakatan yang pada pelaksanaannya

harus lebih mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault-based rules.

Pelanggaran yang berkenaan dengan pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and

welfare offences) tersebut telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara di

sektor pajak dalam bentuk tax evasion dan tax avoidance dimana pajak yang

seharusnya dipungut dari masyarakat yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan

objektif untuk dikelola negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.

2. Saran

Berkembangnya tax evasion dan tax avoidance yang dalam praktek sehari-hari

berkenaan dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di

negara-negara offshore maupun maraknya transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik

secara langsung maupun secara tidak langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi

substansi ekonomisnya ternyata sangat menimbulkan kerugian pada pendapatan

negara dari sektor pajak dimana dalam hal hubungan keagenan, manfaatnya dinikmati

oleh prinsipal tertentu dengan memanfaatkan agen, dan agen memanfaatkan

kompleksitas pembuktian mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau berdasarkan kelalaian. Sehingga,

sangat penting agar dalam kerangka pembaharuan hukum pajak di Indonesia yang

berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak yang tetap didasarkan pada rasa

keadilan dan untuk kemanfaatan umum, agar:

a. Pertanggungjawaban mutlak dan kriterianya diatur secara eksplisit dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan,

b. Diatur secara tegas perluasan definisi setiap orang dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan, khususnya delik pidana pajak, yang bukan hanya

mencakup manusia alami saja tetapi juga termasuk badan hukum. Hal ini

diperlukan dalam rangka penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada

pendapatan negara dari sektor pajak, yang dalam hal ini yang menjadi korban

adalah negara, yang walaupun dilakukan agen dalam wujud manusia alami

ternyata kemanfaatannya diterima oleh prinsipal dalam wujud Wajib Pajak

Badan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT. Citra

Aditya Bakti, 2010.

Aristotle, Politics, terjemahan C.D.C. Reeve, Indianapolis, Hackett Publishing

Company, 1998.

Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta:

Konstitusi Press, 2006.

Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Penerbit

Fikahati Aneska, 2009.

Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama,

2010.

Erwin, Muhammad dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,

Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008.

Page 26: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

542 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Penerbit

Kencana, 2013.

Garner, Bryan A. (Ed), Black’s Law Dictionary, St. Paul, West Publishing Co., 2004.

Hadjar, Abdul Ficar et. al., Menghukum Pengemplang Pajak: Hasil Eksaminasi Publik

atas Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana Pajak dengan

Terdakwa Suwir Laut, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center dan

Indonesian Corruption Watch, 2014.

Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap

Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:

Kencana, 2008.

Jones, Lucy, Introduction to Business Law, Oxford: Oxford University Press, 2013.

Kelsen, Hans, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul

Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006.

Koesoemahatmadja, Etty Utju R, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap

Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Bogor: Penerbit

Ghalia Indonesia, 2011

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta:

Kencana, 2010.

Rahardjo, Satjipto, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009.

Rawls, John, A Theory of Justice, Massachusetts: Harvard University Press, 1999.

Riyanto, Astim, Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010.

Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations,

Hampshire, UK: Harriman House Ltd, 2007.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.

Soekanto, Soerjono, et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007.

Sidharta, Bernard Arief, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal

dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode

Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2009.

Tanya, Bernard L., et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Wallace, Harvey dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, New Jersey:

Pearson Education, 2012.

Jurnal

Bhole, Bharat dan Jeffrey Wagner. “The Joint Use of Regulation and Strict Liability

with Multidimensional Care and Uncertain Conviction”, International Review

of Law and Economics, Vol. 28, Issue 2, 2008, 123-132: 131.

Nicoleta Bărbuţă-Mişu. “A Review of Factors for Tax Compliance”, Economics and

Applied Informatics, Vol. XVII, No. 1, 2011, 69-76: 74.

Chyz, James A., dan Scott D. White. “The Association between Agency Conflict and

Tax Avoidance: A Direct Approach”, Advances in Taxation, Vol. 21, 2014,

107-138: 133.

Devine, F. E. “Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition

Countries”, International Journal of Comparative and Applied Criminal

Justice, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128: 126.

Page 27: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 543

Desai, Mihir A., dan Dhammika Dharmapala. “Corporate Tax Avoidance and Firm

Value”, The Review of Economics and Statistics, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009,

537-546: 546.

Eisenhardt, Kathleen M. “Agency Theory: An Assessment and Review”, Academy of

Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74: 57-59.

Fletcher, George P. “Fairness and Utility in Tort Theory”, Harvard Law Review, Vol.

85, No. 3, January 1972, 537-573: 540 dan 542.

Hamilton, Lee. “Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility”,

Social Psychology, Vol. 41, No. 4, 1978, 316-328: 316.

Hylton, Keith N. “A Positive Theory of Strict Liability”, Review of Law and

Economics, Vol. 4, No. 1, 2008, 153-181: 153 dan 171.

Kraakman, Reinier H. “Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement

Strategy”, Journal of Law, Economics, and Organization, Vol. 2, No. 1, 1986,

53-104: 53.

James Jr., Fleming. “General Products-Should Manufacturers be Liable without

Negligence?”, Tennesse Law Review, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927: 923.

Laffont, Jean-Jacques dan Jean Tirole. “Cost Padding, Auditing and Collusion”,

Annales d’Economie et de Statistique, No. 25/26, 1992, 205-226: 206.

Lee, Kangoh. “Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability

and the Negligence Rule”, Review of Law & Economics, Vol. 12, Iss 2, Juli

2016, 261-274: 261.

Nell, Martin dan Andreas Richter. “The Design of Liability Rules for Highly Risk

Activities – Is Strict Liability Superior when Risk Allocation Matters?”,

International Review of Law and Economics, Vol. 23, Issue 1, 2003, 31-47: 32

dan 44.

Newman, Harry A., dan David W. Wright. “Strict Liability in a Principal-Agent

Model”, International Review of Law and Economics, Vol. 10, 1990, 219-231:

227.

_____. “Negligence Versus Strict Liability in a Principal-Agent Model”, Journal of

Economics and Business, Vol. 44, 1992, 265-281: 278.

Posner, Richard A. “Strict Liability: A Comment”, The Journal of Legal Studies, Vol.

2, No. 1, Januari 1973, 205-221: 205 dan 221.

Privileggi, Fabio, et. al. “Agent’s Liability versus Principal’s Liability when Attitudes

Toward Risk Differ”, International Review of Law and Economics, Vol. 21,

No. 2, 2001, 181-195: 181 dan 182.

Radbruch, Gustav. “Five Minutes of Legal Philosophy”, penerjemah Bonnie

Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,

Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15: 13 dan 14.

_____. “Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946)”, penerjemah Bonnie

Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, Oxford Journal of Legal Studies,

Vol. 26, No. 1, 2006, 1-11: 6.

Rawls, John, “Justice as Fairness”, The Philosophical Review, Vol. 67, No. 2, April

1958, 164-194: 165.

Sandler, Gilbert. “Strict Liability and the Need for Legislation”, Virginia Law Review,

Vol. 53, No. 7, Nopember 1967, 1509-1521: 1521.

Scott, Robert E. “In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract”, Michigan Law

Review, Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June

2009, 1381-1396: 1396.

Shavell, Steven. “Strict Liability versus Negligence”, The Journal of Legal Studies,

Vol. 9, No. 1, Januari 1980, 1-25: 22 dan 24.

Page 28: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

544 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

_____, “Corrective Taxation versus Liability”, The American Economic Review, Vol.

101, No. 3, Mei 2011, 273-276: 273.

_____, “Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful

Externalities”, The Journal of Law and Economics, Vol. 54, No. 4, Markets,

Firms, and Property Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase,

Nopember 2011, S249-S266: S258, S263 dan S264.

Shin-Li, Mik. “Strictly Wrong as a Tax Policy: The Strict Liability Penalty Standard

in Noneconomic Substance Transactions”, Fordham Law Review, Vol. 78,

Issue 4, 2010, 2009-2050: 2009.

Shleifer, Andrei. “Understanding Regulation”, European Financial Management, Vol.

11, No. 4, 2005, 439-451: 445.

Smith, Jeremiah. “Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification”,

Harvard Law Review, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262: 256-258.

Taylor, Paul W. “Justice and Utility”, Canadian Journal of Philosophy, Vol. I, No. 3,

Maret 1972, 327-350: 334.

Thomas, Kathleen DeLaney. “The Case Against A Strict Liability Economic Substance

Penalty”, University of Pennsylvania Journal of Business Law, Vol. 13, No. 2,

2011, 445-497: 462-465, dan 467.

Vanik Jr, Thomas C., “Torpedoing a Transaction: Economic Substance Versus Other

Tax Doctrines and the Application of the Strict Liability Penalty”, Cleveland

State Law Review, Vol. 64, Iss 1, 2015, 109-132: 132.

Wasserstrom, Richard A. “Strict Liability in the Criminal Law”, Stanford Law Review,

Vol. 12, No. 4, Juli 1960, 731-745: 734.

Weinri, Ernest J. “The Gains and Losses of Corrective Justice”, Duke Law Journal,

Vol. 44, No. 2, Nopember 1994, 277-297: 277.

Weirich, Paul. “Utility and Framing”, Synthese, Vol. 176, Iss 1, 2010, 83-103: 84 dan

86.

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Lainnya

Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Lembaran Negara Republik Indonesia

(LNRI) Tahun 2009 Nomor 62, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)

Nomor 4953.

_____, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan UndangUndang

Nomor 36 Tahun 2008, LNRI Tahun 2008 Nomor 133, dan TLN Nomor 4893.

_____, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali

Diubah Terakhir Dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009, LNRI Tahun

2009 Nomor 150, dan TLN Nomor 5069.

_____, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan

Surat Paksa Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 19

Tahun 2000, LNRI Tahun 2000 Nomor 129, dan TLN Nomor 3987.

_____, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, LNRI

Tahun 2007 Nomor 106, dan TLN Nomor 4756.

_____, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LNRI Tahun 2009 Nomor

140, dan TLN Nomor 5059.

Page 29: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 545

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung

Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman

Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21 Desember 2016 Tentang Tata

Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Sumber Internet

Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik

Indonesia, “Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan”,

http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-Ttg-

Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF, diakses 29 Maret 2017.

_____, “Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP)”,

http://www.bphn.go.id/data/documents/naskah_akademik_tentang_kuhp_deng

an_lampiran.pdf, diakses 27 Mei 2016.

Government of Canada, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and

last amended on 2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/i-

3.3/page-194.html#docCont>, diakses tanggal 22 Juni 2017.

_____, “Canadian Income Tax Act - Act current to 2017-06-05 and last amended on

2017-05-01”, <http://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/I-3.3/page-

263.html#docContt>, diakses tanggal 22 Juni 2017.

LeFevre, Tyler Antone, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>,

direvisi terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30: 7.

Legal Information Institute of Cornell Law School, “26 U.S. Code § 7701 –

Definitions”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses

tanggal 1 Juni 2017.

_____, “26 U.S. Code § 6662 - Imposition of accuracy-related penalty on

underpayments”, <https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/6662>, diakses

pada tanggal 1 Juni 2017.

Magill, Tori dan Anne-Marie Ottaway. “‘Panamania’: legitimate concerns or a lack

of understanding?”, <https://www.taxjournal.com/articles/panamania-

legitimate-concerns-or-lack-understanding-13042016>, diakses tanggal 15 Juni

2017.

Naseer, Jahanzeb. “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,”

<https://plus.credit-suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb,

diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11 Oktober 2016.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). “Explanatory

Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”,

<www.oecd.org/tax/beps-explanatory-statement-2015.pdf>.

Quarmby, James. “Strict Liability Offences: A Worrying Trend?”,

<https://www.taxjournal.com/print/articles/strict-liability-offences-worrying-

trend-13052016>, diakses tanggal 15 Juni 2017.

The International Consortium of Investigative Journalists. “Panama Papers the Power

Players”, <https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal

15 Agustus 2016.

The United Kingdom, “Finance (No. 2) Bill”,

<https://www.publications.parliament.uk/pa/bills/cbill/2015-

2016/0155/160155.pdf>, diakses tanggal 1 Juni 2017.

Page 30: PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK …

546 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019

Putusan Pengadilan

Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 tanggal 18

Desember 2012.

Indonesia, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal

18 Agustus 2014.