22
1 VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159 PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL-QUR’AN TERHADAP ISTIMBATH HUKUM FIQIH Agus Amin 1* dan Muhammad Alwi 2** 1 Pascasarjana Universitas Islam Jakarta 2 FAI Universitas Islam Attahiriyah *[email protected] dan **[email protected] Abstract The Qur’an was revealed in seven qira'at (the method of reading) to make it easy for Muslims. There are several ways to recite the Qur’an even though both come from one source, namely the Prophet Muhammad. The difference between Qira'at is related to "lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, and washl". In "ijtihad" making conclusions related to a law, the scholars of Islamic law will refer firstly to the Qur'an. This research focuses on the impact of differences in qira'at on the legal status of Islamic low scholars. The difference is limited to the issue of jurisprudence relating to the law of washing feet in wudlu, touching skin in wudlu, two raka'at in tawaf, substitute for fasting, incest, adultery for married female slaves, i'tikaf in the mosque, war against the musryik in the Masjidil Haram. This research is classified as legal theoretical research conducted or aimed only at the arguments of the Qur'an hadith and opinions of scholars who are expert in the field of Science of Qira'at. Keywords: istinbath, fiqh, qira'at, law Abstrak Alqur'an diturunkan dalam tujuh ahruf atau tujuh qira'at untuk mumudahkan umat Islam dalam membacanya, walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Perbedaan Qira'at berkaitan dengan lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, dan washl. Di dalam ijtihad membuat kesimpulan terkait suatu hukum, para ulama fiqih tentu akan merujuk mula-mula pada sumber utama pengambilan hukum Islam, yaitu Alqur'an. Penelitian ini berfokus pada dampak perbedaan qira'at terhadap pengambilam keputusan hukum para ulama fikih. Perbedaan tersebut dibatasi pada persoalan fikih yang berhubungan dengan hukum membasuh kaki dalam berwudlu, bersentuhan kulit dalam berwudlu, dua raka’at dalam thawaf, pengganti puasa, pernikahan sedarah, hukum zina bagi budak wanita yang telah menikah, i’tikaf di dalam masjid, perang melawan orang-orang musyrik dalam Masjidil Haram. Penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat ulama yang pakar dalam bidang ilmu Qira'at. Kata Kunci: istimbath, fikih, qira'at, hukum

PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

1

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

1

PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL-QUR’AN TERHADAP ISTIMBATH HUKUM FIQIH

Agus Amin1* dan Muhammad Alwi2** 1Pascasarjana Universitas Islam Jakarta

2FAI Universitas Islam Attahiriyah

*[email protected] dan **[email protected]

Abstract

The Qur’an was revealed in seven qira'at (the method of reading) to make it easy for Muslims. There are several ways to recite the Qur’an even though both come from one source, namely the Prophet Muhammad. The difference between Qira'at is related to "lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, and washl". In "ijtihad" making conclusions related to a law, the scholars of Islamic law will refer firstly to the Qur'an. This research focuses on the impact of differences in qira'at on the legal status of Islamic low scholars. The difference is limited to the issue of jurisprudence relating to the law of washing feet in wudlu, touching skin in wudlu, two raka'at in tawaf, substitute for fasting, incest, adultery for married female slaves, i'tikaf in the mosque, war against the musryik in the Masjidil Haram. This research is classified as legal theoretical research conducted or aimed only at the arguments of the Qur'an hadith and opinions of scholars who are expert in the field of Science of Qira'at.

Keywords: istinbath, fiqh, qira'at, law

Abstrak

Alqur'an diturunkan dalam tujuh ahruf atau tujuh qira'at untuk mumudahkan

umat Islam dalam membacanya, walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Perbedaan Qira'at berkaitan dengan lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, dan washl. Di dalam ijtihad membuat kesimpulan terkait suatu hukum, para ulama fiqih tentu akan merujuk mula-mula pada sumber utama pengambilan hukum Islam, yaitu Alqur'an. Penelitian ini berfokus pada dampak perbedaan qira'at terhadap pengambilam keputusan hukum para ulama fikih. Perbedaan tersebut dibatasi pada persoalan fikih yang berhubungan dengan hukum membasuh kaki dalam berwudlu, bersentuhan kulit dalam berwudlu, dua raka’at dalam thawaf, pengganti puasa, pernikahan sedarah, hukum zina bagi budak wanita yang telah menikah, i’tikaf di dalam masjid, perang melawan orang-orang musyrik dalam Masjidil Haram. Penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat ulama yang pakar dalam bidang ilmu Qira'at. Kata Kunci: istimbath, fikih, qira'at, hukum

Page 2: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

2

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

2

A. Pendahuluan

Alquran diturunkan dengan bahasa Arab, yaitu bahasa di mana nabi Muhammad

diutus dan bahasa pergaulan Nabi dan para kaumnya berdialog, akan tetapi bangsa Arab

terdiri dari berbagai suku dengan bermacam macam bahasa sehari-harinya, sehingga

bangsa Arab yang tidak memakai dialek kaum Quraiys merasa kesulitan dalam

pengucapannya, sehingga pada suatu masa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu,

Nabi Muhammad meminta berupa keringanan yaitu Alquran dengan dialek yang lain

Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist “Jibril membacakan (Alquran) kepadaku

dengan satu harf. Kemudian berulang kali aku meminta agar harf itu ditambah, ia pun

menambahkannya kepadaku sampai tujuh ahruf” (al-Qaththân, 2000: 171) Menurut

sebagian ulama, yang dimaksud dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiro'ah. Hikmah

diturunkanya Alquran dengan tujuh huruf adalah untuk mempermudah umat Nabi

Muhammad baik yang ajnabi (bukan orang Arab) atau dari bangsa Arab sendiri yang

terdiri dari berbagai kabilah dan suku.

Ada perbedaan di kalangan ulama tentang waktu mulai di turunkanya qira'at, ada

yang mengatakan qira'at mulai diturunkan di Makah bersamaan dengan diturunkannya

Alquran, ada juga yang mengatakan bahwa Qira'at mulai turun di Madinah sesudah

peristiwah hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling

berbeda ungkapan bahasa dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar

dan dalil yang kuat, namun dua pendapat ini dapat dikompromikan, bahwa qira'at

memang diturunkan di Makah, akan tetapi qira'at pada waktu itu belum diperlukan

karena pemeluk Islam masih terbatas di kalangan orang-orang dari bani Qurays.

Kalaupun ada dari golongan lain, tentu jumlahnya masih terbilang sedikit dan mereka

telah mengetahui dialek bahasa kaum Quraisy. Qira'at semakin diperlukan ketika Nabi

hijrah ke Madinah, dimana pada saat itu orang-orang mulai berduyun-duyun memeluk

agama Islam dari berbagai kabilah dan suku serta dari negeri lain, mereka menggunakan

beragam dialek.

Supaya tulisan ini lebih terarah dan dan memiliki konsep penelitian yang benar

dan tidak melebar kepada permasalah-permasalah yang tidak esensi dan untuk

menghindari penulisan ini keluar dari jalur relefansi masalah maka penulis membuat

pembatasan masalah penelitian ini pada dampak perbedaan qira'at terhadap istimbath

hukum para ulama fiqih.

3

Qira'at dan Istimbath Hukum

Dalam istilah keilmuan, qira'at adalah salah satu mazhab pembacaan Alquran

yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda

dengan mazhab lainnya. Qurra adalah jamak dari qari yang berartinya orang yang

membaca. Qari atau qurra sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu

Alquran, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai mazhab

tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatirah. Qurra bisa juga diartikan secara mudah

sebagai imam qira'at.

Berdasarkan pengertian etimologi “qira'at" merupakan kata jadian (mashdar dari

kata kerja أ ر ق (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi, maka ada

beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para ulama:

1. Menurut Al-Zarqaniy: "Qira'at adalah suatu mazhab yang dianut seorang imam qira'at

yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al- Qur'an serta sepakat riwayat-

riwayatnya dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf

ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya."

2. Menurut Ibnu al-Jaziriy adalah: “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan

kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada

penukilnya"

3. Menurut Al-Qasthalani qira'at adalah: "Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang

disepakati atau diperselihsihkan ulama yang menyangkut persoalan-persoalan lughat,

hadzaf, i'rab, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan".

4. Menurut Al-Zakarkasyi (1988: 39): “Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan)

lafadz- lafadz Alquran; baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan

huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau

yang lainnnya”

5. Menurut Al-Shabuni (1980:1930-223): “Qira'at adalah mazhab cara pelafalan

Alquran yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang

bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”

Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang

sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama berasal dari

satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang

dapat ditangkap dari definisi- definisi di atas, yaitu:

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 3: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

3

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

2

A. Pendahuluan

Alquran diturunkan dengan bahasa Arab, yaitu bahasa di mana nabi Muhammad

diutus dan bahasa pergaulan Nabi dan para kaumnya berdialog, akan tetapi bangsa Arab

terdiri dari berbagai suku dengan bermacam macam bahasa sehari-harinya, sehingga

bangsa Arab yang tidak memakai dialek kaum Quraiys merasa kesulitan dalam

pengucapannya, sehingga pada suatu masa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu,

Nabi Muhammad meminta berupa keringanan yaitu Alquran dengan dialek yang lain

Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist “Jibril membacakan (Alquran) kepadaku

dengan satu harf. Kemudian berulang kali aku meminta agar harf itu ditambah, ia pun

menambahkannya kepadaku sampai tujuh ahruf” (al-Qaththân, 2000: 171) Menurut

sebagian ulama, yang dimaksud dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiro'ah. Hikmah

diturunkanya Alquran dengan tujuh huruf adalah untuk mempermudah umat Nabi

Muhammad baik yang ajnabi (bukan orang Arab) atau dari bangsa Arab sendiri yang

terdiri dari berbagai kabilah dan suku.

Ada perbedaan di kalangan ulama tentang waktu mulai di turunkanya qira'at, ada

yang mengatakan qira'at mulai diturunkan di Makah bersamaan dengan diturunkannya

Alquran, ada juga yang mengatakan bahwa Qira'at mulai turun di Madinah sesudah

peristiwah hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling

berbeda ungkapan bahasa dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar

dan dalil yang kuat, namun dua pendapat ini dapat dikompromikan, bahwa qira'at

memang diturunkan di Makah, akan tetapi qira'at pada waktu itu belum diperlukan

karena pemeluk Islam masih terbatas di kalangan orang-orang dari bani Qurays.

Kalaupun ada dari golongan lain, tentu jumlahnya masih terbilang sedikit dan mereka

telah mengetahui dialek bahasa kaum Quraisy. Qira'at semakin diperlukan ketika Nabi

hijrah ke Madinah, dimana pada saat itu orang-orang mulai berduyun-duyun memeluk

agama Islam dari berbagai kabilah dan suku serta dari negeri lain, mereka menggunakan

beragam dialek.

Supaya tulisan ini lebih terarah dan dan memiliki konsep penelitian yang benar

dan tidak melebar kepada permasalah-permasalah yang tidak esensi dan untuk

menghindari penulisan ini keluar dari jalur relefansi masalah maka penulis membuat

pembatasan masalah penelitian ini pada dampak perbedaan qira'at terhadap istimbath

hukum para ulama fiqih.

3

Qira'at dan Istimbath Hukum

Dalam istilah keilmuan, qira'at adalah salah satu mazhab pembacaan Alquran

yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda

dengan mazhab lainnya. Qurra adalah jamak dari qari yang berartinya orang yang

membaca. Qari atau qurra sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu

Alquran, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai mazhab

tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatirah. Qurra bisa juga diartikan secara mudah

sebagai imam qira'at.

Berdasarkan pengertian etimologi “qira'at" merupakan kata jadian (mashdar dari

kata kerja أ ر ق (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi, maka ada

beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para ulama:

1. Menurut Al-Zarqaniy: "Qira'at adalah suatu mazhab yang dianut seorang imam qira'at

yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al- Qur'an serta sepakat riwayat-

riwayatnya dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf

ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya."

2. Menurut Ibnu al-Jaziriy adalah: “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan

kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada

penukilnya"

3. Menurut Al-Qasthalani qira'at adalah: "Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang

disepakati atau diperselihsihkan ulama yang menyangkut persoalan-persoalan lughat,

hadzaf, i'rab, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan".

4. Menurut Al-Zakarkasyi (1988: 39): “Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan)

lafadz- lafadz Alquran; baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan

huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau

yang lainnnya”

5. Menurut Al-Shabuni (1980:1930-223): “Qira'at adalah mazhab cara pelafalan

Alquran yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang

bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”

Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang

sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama berasal dari

satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang

dapat ditangkap dari definisi- definisi di atas, yaitu:

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 4: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

4

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

4

1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Alquran yang dilakukan salah

seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainya.

2. Cara pelafalan ayat-ayat Alquran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung

kepada Nabi Muhammad. Jadi, bersifat tauqifi bukan ijtihadi.

3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i'rab, i

tsbat, fashl, dan washl.

Istimbath Hukum

Menurut Hasbiyallah (2013: 45), kata “istimbath" secara istilah yaitu upaya

menarik hukum dari Alquran dan as-Sunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar

metode istimbath dibagi menjadi tiga bagian, yang: pertama, segi kebahasaan, kedua,

segi maqashid (tujuan) syari'at, dan ketiga, penyelesaian dalil yang bertentangan.

Setiap istimbath dalam syari'at harus berpijak kepada Alquran dan as-Sunnah oleh

karena itu, dalil- dalil syara' ada dua macam, yaitu nash (textual) dan ghairu nash (non

textual). Dan dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan,

pada hakikatnya digali dan bersumber dan perpedoman pada nash. Oleh karena itu,

metodologi istimbath hukum Islam adalah ilmu tentang metode-metode penggalian

hukum Islam dari dalil-dalil nash, yang merupakan sumber hukum Islam.

Di samping itu, sudah sepatutnya seorang ahli hukum (faqih) mengetahui proses

tersebut dengan cara penggalian hukum-hukum (thuruq al-istimbath) nash. Untuk

kepentingan tersebut ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya. Sehingga tidak

aneh ketika istimbath dijadikan acuan pertama kali dalam ilmu usul fiqih yaitu pada

penjabaran lafadz- lafadz nash agar ditetapkan metodenya.

Dalam penjabaran lafadz-lafadz dan adillah (dalil-dalil ) menurut Abu Zahrah

(2014: 178), ketika Aristoteles menyusun ilmu mantiq (logika), ia banyak

menitikberatkan pada pembahasan tentang macam-macam bentuk bukti (burhan) dan

penjabaran lafadz (penggunaan kosa kata) supaya bukti itu benar. Ia menyajikan

pembahasan tentang pengertian bentuk tasawwur, tashdiq, ta'rif had dan burhan.

Kemudian analogi dan bentuk-bentuknya dalam metodologi lafziyah. Hal ini

disebabkan, bahwa sesungguhnya penjabaran tentang tujuan-tujuan itu selalu didasarkan

pada penjelasan lafadz-lafadz nash dan sasarannya adalah dalalah-nya (kalimat yang

menunjukkan pada sesuatu hal).

5

1. Bentuk Bentuk Istimbath Hukum

Dalam memahami teks Alquran dan as-Sunnah, para ulama menyusun semantik

(bagian dari ilmu yang mempelajari tentang makna kata) untuk keperluan istimbath

hukum. Oleh karena itu, dalam mengkaji ilmu ushul fiqih para ushuliyyun (orang-orang

yang pakar pada bidang ilmu ushul fiqih ) membagi menjadi;

a. Metode bayani

Dalam khasanah ilmu ushul fiqih, metode ini sering disebut dengan al-qawa'id al-

ushuliyyah al-lughawiyyah atau dalalat al-lafadz. Inilah yang sering disebut dengan

metode bayani, yaitu metode istimbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan

dalam nash dan susunannya kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai

sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Arab.

Metode bayani menurut Hasbi Umar (2007: 66) adalah kaidah-kaidah yang

dirumuskan oleh para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk

melakukan pemahaman terhadap makna lafadz, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi

kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa, syi'ir maupun nadzam.

b. Metode Ta'liliy

Metode ta'liliy yakni analisa hukum dengan melihat kesamaan illat (motif) atau

nilai-nilai substansial dari persoalan aktual tersebut dengan kejadian yang telah

diungkapkan oleh nash. Metodologi yang dikembangkan oleh para ulama dalam corak

analisa tersebut adalah qiyas dan istihsan.

B. Metodologi Penelitian

1. Tipe Penelitian

Sebagai suatu penelitian salah satu cabang ilmu yang erat kaitanya dengan sumber

hukum syar'i yaitu Qira'at Al-Qur'an, dilihat dari segi jenis, sifat dan tujuannya maka

penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat pendapat

ulama yang pakar dalam bidang Ilmu Qira'at.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer adalah: 1) Alquran al-karim, 2) Sunah Nabi, 3) Kitab-kitab

Tafsir dari ulama-ulama termashur dan pakar di bidangnya, 4) Kitab-kitab tajwid

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 5: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

5

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

4

1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Alquran yang dilakukan salah

seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainya.

2. Cara pelafalan ayat-ayat Alquran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung

kepada Nabi Muhammad. Jadi, bersifat tauqifi bukan ijtihadi.

3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i'rab, i

tsbat, fashl, dan washl.

Istimbath Hukum

Menurut Hasbiyallah (2013: 45), kata “istimbath" secara istilah yaitu upaya

menarik hukum dari Alquran dan as-Sunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar

metode istimbath dibagi menjadi tiga bagian, yang: pertama, segi kebahasaan, kedua,

segi maqashid (tujuan) syari'at, dan ketiga, penyelesaian dalil yang bertentangan.

Setiap istimbath dalam syari'at harus berpijak kepada Alquran dan as-Sunnah oleh

karena itu, dalil- dalil syara' ada dua macam, yaitu nash (textual) dan ghairu nash (non

textual). Dan dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan,

pada hakikatnya digali dan bersumber dan perpedoman pada nash. Oleh karena itu,

metodologi istimbath hukum Islam adalah ilmu tentang metode-metode penggalian

hukum Islam dari dalil-dalil nash, yang merupakan sumber hukum Islam.

Di samping itu, sudah sepatutnya seorang ahli hukum (faqih) mengetahui proses

tersebut dengan cara penggalian hukum-hukum (thuruq al-istimbath) nash. Untuk

kepentingan tersebut ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya. Sehingga tidak

aneh ketika istimbath dijadikan acuan pertama kali dalam ilmu usul fiqih yaitu pada

penjabaran lafadz- lafadz nash agar ditetapkan metodenya.

Dalam penjabaran lafadz-lafadz dan adillah (dalil-dalil ) menurut Abu Zahrah

(2014: 178), ketika Aristoteles menyusun ilmu mantiq (logika), ia banyak

menitikberatkan pada pembahasan tentang macam-macam bentuk bukti (burhan) dan

penjabaran lafadz (penggunaan kosa kata) supaya bukti itu benar. Ia menyajikan

pembahasan tentang pengertian bentuk tasawwur, tashdiq, ta'rif had dan burhan.

Kemudian analogi dan bentuk-bentuknya dalam metodologi lafziyah. Hal ini

disebabkan, bahwa sesungguhnya penjabaran tentang tujuan-tujuan itu selalu didasarkan

pada penjelasan lafadz-lafadz nash dan sasarannya adalah dalalah-nya (kalimat yang

menunjukkan pada sesuatu hal).

5

1. Bentuk Bentuk Istimbath Hukum

Dalam memahami teks Alquran dan as-Sunnah, para ulama menyusun semantik

(bagian dari ilmu yang mempelajari tentang makna kata) untuk keperluan istimbath

hukum. Oleh karena itu, dalam mengkaji ilmu ushul fiqih para ushuliyyun (orang-orang

yang pakar pada bidang ilmu ushul fiqih ) membagi menjadi;

a. Metode bayani

Dalam khasanah ilmu ushul fiqih, metode ini sering disebut dengan al-qawa'id al-

ushuliyyah al-lughawiyyah atau dalalat al-lafadz. Inilah yang sering disebut dengan

metode bayani, yaitu metode istimbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan

dalam nash dan susunannya kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai

sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Arab.

Metode bayani menurut Hasbi Umar (2007: 66) adalah kaidah-kaidah yang

dirumuskan oleh para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk

melakukan pemahaman terhadap makna lafadz, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi

kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa, syi'ir maupun nadzam.

b. Metode Ta'liliy

Metode ta'liliy yakni analisa hukum dengan melihat kesamaan illat (motif) atau

nilai-nilai substansial dari persoalan aktual tersebut dengan kejadian yang telah

diungkapkan oleh nash. Metodologi yang dikembangkan oleh para ulama dalam corak

analisa tersebut adalah qiyas dan istihsan.

B. Metodologi Penelitian

1. Tipe Penelitian

Sebagai suatu penelitian salah satu cabang ilmu yang erat kaitanya dengan sumber

hukum syar'i yaitu Qira'at Al-Qur'an, dilihat dari segi jenis, sifat dan tujuannya maka

penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat pendapat

ulama yang pakar dalam bidang Ilmu Qira'at.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer adalah: 1) Alquran al-karim, 2) Sunah Nabi, 3) Kitab-kitab

Tafsir dari ulama-ulama termashur dan pakar di bidangnya, 4) Kitab-kitab tajwid

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 6: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

6

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

6

dan ilmu yang berkaitan dengan makharijul huruf, 5) Merujuk pada perkataan dan

bacaan imam-imam qurra'.

b. Sumber data sekunder. 1) Kitab ulumul qur'an, 2) Kitab ulumul hadits, 3) Kitab

ilmu qira'at, 4) Kitab ilmu ushul fiqh, 5) Kitab Ilmu Nahwu dan Sharf, dan 6)

Kitab asbab nuzul al-Qur'an.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi

dengan langkah langkah sebagai berikut: Pertama-tama mengumpulkan seluruh

dokumentasi yang bersumber dari Qur'an dan hadist serta pendapat para ulama yang

pakar dalam bidangnya. Kemudian ditelaah dan dikaji serta dihubungkan dengan

permasalahaan penelitian. Selanjutnya menafsirkan dan menyimpulkan teks-teks yang

terkandung di dalam Alquran dan Hadits serta karangan ulama yang terkait dengan

cabang ilmu yang sedang penulis kaji dengan metode penafsiran, yaitu gramatikal,

ekstensi, sistematis dan/atau analogis.

4. Tek Analisis Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya proses analisis dimulai dengan menguraikan

data sebagai penjelasan jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian.

Proses analisis data tidak sekadar untuk menemukan makna yang lebih luas, atau

pemaknaan data, melainkan juga membuat rumusan implikasi dari hasil penelitian

dengan jalan mengadakan analogi dan interpretasi.

Analogi digunakan untuk menjelaskan bahan-bahan teori tertulis yang merupakan

jawaban atas permasalahan pokok yang menjadi objek kajian, dan dilakukan dengan

cara menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum qira'at (pengertian dasar dan kaidah

hukum ) mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu qira'at dan dampak dalam sumber hukum

fiqih. Adapun untuk menjelaskan bahan bahan hukum terapan (empiris) sebagai suatu

jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian, maka analogi dilakukan

dengan menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum (pengertian dasar dan kaidah hukum)

aturan perjanjian berdasarkan hukum dalam ilmu qira'at. Sedangkan interpretasi

dilakukan dengan mengadakan penafsiran terhadap fakta hukum objektif terhadap

7

qira'at dan fikih, yakni dengan melakukan pemaknaan atas kontruksi hukum yang

dilakukan dalam sistem operasional kegiatan usaha penggalian dan pendalaman hukum

qira'at dan fikih.

C. Hasil dan Pembahasan

Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh perbedaan istimbath hukum fiqih

yang dilandasi oleh adanya perbedaan dalam qira'at.

1. Membasuh Kaki Dalam Berwudlu

Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:

إل الكعب ي وأرجلكمفاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل المرافق وامسحوا برءوسكم "Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,"

Ulama berbeda pendapat tentang hokum membasuh kaki ketika berwudlu,

terjadinya perbedaan memahami hukum karena ada perbedaan dalam melafalkan (qira'at)

huruf lam pada kata وأسجهكى sebagai berikut:

a. Menurut Abu Ja'far, Abu Amru, Ibnu Katsir, dan Ashim menurut riwayat dari jalur

Abu Bakar dan Hamzah dan Khalaf huruf lam pada lafal tersebut dibaca dengan

khafadz ( كىوأسجه ).

b. Nafi', Ibnu Umar dan Ashim dari riwayat Hafs, al-Kisa'i dan Ya'qub membaca

dengan nashab laam ( كىوأسجه ). Qira'at ini di riwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu

Abbas .

Berdasarkan perbedaan tersebut maka terjadilah perbedaan pandangan di antara

para fuqahah, setidaknya menjadi dua kelompok Mazhab. Yaitu;

a. Mazhab pertama adalah mayoritas ulama) dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,

Asyafi'iyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat dari ayat di atas maksudnya adalah

membasuh bukan mengusap.

b. Mazhab kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa wajib mengusap bukan

membasuh, mereka adalah dari golongan Rafidhah,

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 7: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

7

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

6

dan ilmu yang berkaitan dengan makharijul huruf, 5) Merujuk pada perkataan dan

bacaan imam-imam qurra'.

b. Sumber data sekunder. 1) Kitab ulumul qur'an, 2) Kitab ulumul hadits, 3) Kitab

ilmu qira'at, 4) Kitab ilmu ushul fiqh, 5) Kitab Ilmu Nahwu dan Sharf, dan 6)

Kitab asbab nuzul al-Qur'an.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sehubungan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi

dengan langkah langkah sebagai berikut: Pertama-tama mengumpulkan seluruh

dokumentasi yang bersumber dari Qur'an dan hadist serta pendapat para ulama yang

pakar dalam bidangnya. Kemudian ditelaah dan dikaji serta dihubungkan dengan

permasalahaan penelitian. Selanjutnya menafsirkan dan menyimpulkan teks-teks yang

terkandung di dalam Alquran dan Hadits serta karangan ulama yang terkait dengan

cabang ilmu yang sedang penulis kaji dengan metode penafsiran, yaitu gramatikal,

ekstensi, sistematis dan/atau analogis.

4. Tek Analisis Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya proses analisis dimulai dengan menguraikan

data sebagai penjelasan jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian.

Proses analisis data tidak sekadar untuk menemukan makna yang lebih luas, atau

pemaknaan data, melainkan juga membuat rumusan implikasi dari hasil penelitian

dengan jalan mengadakan analogi dan interpretasi.

Analogi digunakan untuk menjelaskan bahan-bahan teori tertulis yang merupakan

jawaban atas permasalahan pokok yang menjadi objek kajian, dan dilakukan dengan

cara menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum qira'at (pengertian dasar dan kaidah

hukum ) mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu qira'at dan dampak dalam sumber hukum

fiqih. Adapun untuk menjelaskan bahan bahan hukum terapan (empiris) sebagai suatu

jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian, maka analogi dilakukan

dengan menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum (pengertian dasar dan kaidah hukum)

aturan perjanjian berdasarkan hukum dalam ilmu qira'at. Sedangkan interpretasi

dilakukan dengan mengadakan penafsiran terhadap fakta hukum objektif terhadap

7

qira'at dan fikih, yakni dengan melakukan pemaknaan atas kontruksi hukum yang

dilakukan dalam sistem operasional kegiatan usaha penggalian dan pendalaman hukum

qira'at dan fikih.

C. Hasil dan Pembahasan

Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh perbedaan istimbath hukum fiqih

yang dilandasi oleh adanya perbedaan dalam qira'at.

1. Membasuh Kaki Dalam Berwudlu

Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:

إل الكعب ي وأرجلكمفاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل المرافق وامسحوا برءوسكم "Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,"

Ulama berbeda pendapat tentang hokum membasuh kaki ketika berwudlu,

terjadinya perbedaan memahami hukum karena ada perbedaan dalam melafalkan (qira'at)

huruf lam pada kata وأسجهكى sebagai berikut:

a. Menurut Abu Ja'far, Abu Amru, Ibnu Katsir, dan Ashim menurut riwayat dari jalur

Abu Bakar dan Hamzah dan Khalaf huruf lam pada lafal tersebut dibaca dengan

khafadz ( كىوأسجه ).

b. Nafi', Ibnu Umar dan Ashim dari riwayat Hafs, al-Kisa'i dan Ya'qub membaca

dengan nashab laam ( كىوأسجه ). Qira'at ini di riwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu

Abbas .

Berdasarkan perbedaan tersebut maka terjadilah perbedaan pandangan di antara

para fuqahah, setidaknya menjadi dua kelompok Mazhab. Yaitu;

a. Mazhab pertama adalah mayoritas ulama) dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,

Asyafi'iyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat dari ayat di atas maksudnya adalah

membasuh bukan mengusap.

b. Mazhab kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa wajib mengusap bukan

membasuh, mereka adalah dari golongan Rafidhah,

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 8: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

8

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

8

Penulis mendukung pendapat mayoritas ulama karena memiliki dasar dalil yang

setidaknya menurut pengamatan kami lebih kuat baik dari sunah fi'liyah (perbuatan)

Nabi Shalallahu alahi Wassalam. Ulama bahasa dan ulama fiqih telah sepakat dan tidak

menyangkal bahwa kalimat masaha (يسخ) bermakna al-ghaslu (انغسم) akan tetapi qira'at

dengan bacaan rafa' pada kalimat (وأسجهكى) mendukung pada qira'at (bacaan) nashab

mewajibkan untuk membasuh kaki dalam wudlu.

2. Bersentuhan Dengan Wanita Dalam Berwudlu

Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:

روا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أ و وإن كنتم جنبا فاطهموا صعيدا طيبا لمستم / لمستم دوا ماء ف ت يم النساء ف لم ت

Jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).

Ayat Al-Maidah ayat 6 ini telah terjadi perbedaan bacaan antara para Qurra' dalam

membaca nash Alquran, sehingga menimbulkan berbedaan dalam memahami hukum

batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan lawan jenis (lelaki dengan wanita atau

bersentuhannya wanita dengan lelaki). Perbedaan bacaan ini terjadi pada qira'at

mutawatir, ada dua qira'at yang berbeda dalam membaca nash Qur'an pada ayat ini.

a. Qira'at Kufi. Mereka adalah, Hamzah, Kasa'i, Al-A'mas, Khalaf dan Yahya ibnu

Tsabit mereka membaca dalam ayat tersebut dengan ( ستم .( ل م b. Qira'at ahlu Hijaz. Mereka di antaranya adalah, Ashim dan Abu Amr ibnu al-A'la

mereka membaca dengan tambahan huruf alif (ستم م . (ل

Dari dua bacaan qira'at tersebut adalah bacaan yang telah disepakati oleh jumhur

ulama bahwa qira'at tersebut adalah bacaan yang mutawatir. Ulama fiqih berbeda

pendapat tentang maksud dari kata tersebut lams (نس). Sebagian ulama berpendapat

bahwa lams bermakna jima' ; maka bersentuhan dengan wanita bagi orang yang sudah

memiliki wudlu tidak batal, kemudian di antara ulama ada yang berpendapat bahwa

lelaki menyentuh wanita membatal kan wudlu, dengan keterangan lebih lanjut sebagai

berikut.

9

a. Mazhab pertama membaca dengan (ستم م Mereka adalah dari golongan Hanafiyah .(ل

yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu secara mutlaq

kecuali berhubungan intim. Tambahan alif (ا) pada kalimat tersebut adalah masuk

dalam bab al-mufa'alah (انفاعهة) yang menunjukan makna “saling" antara dua orang

yang saling menyentuh dan secara zahir kata lams tersebut bermakna jima, karena

ada dua oknum yang saling memberi aksi dan reaksi.

b. Mazhab kedua. Pendapat ini adalah Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah. Selain

dari mazhab syafi'iyah pendapat ini juga dikuat kan oleh Imam Ahmad, beliau

berkata "دال بكم يقض انس sesungguhnya bersentuhan (dengan wanita) "أ

membatalkan wudlu dengan semua kondisi. Pendapat ini sebagaimana dikuatkan

pula oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Az-zuhri dan Rabi'ah (Al-Arabi.2003. vol 2: 564 )

c. Mazhab ketiga. Pendapat dari Imam Malik, Hanafiyah, Alaqamah, Abi Ubaid, An-

Nakha'i, Hakim, Himad, Atsaury, Ishaq mereka berpendapat bahwa apabila sesorang

yang telah memiliki wudlu kemudian bersentuhan dengan lawan jenis dengan

maksud karena untuk mendapatkan sesuatu (kenikmatan bersentuhan) maka

hendaknya dia mengulangi wudlunya kembali.

d. Mazhab Keempat, ini adalah pendapat dari Imam Awza'i. Dari pendapat ini

mengatakan bahwa jika menyentuh dengan tangan maka akan membatalkan wudlu

namun jika menyentuh tidak dengan tangan tapi dengan anggota tubuh yang lain

maka tidak membatalkan wudlu. Dalilnya adalah firman Allah Q.S. al-An'am ayat

tujuh yang maknanya menyentuh dengan tangan.

Dari pendapat para kibar ulama fiqih dan qira'at qur'an yang telah menampilkan

dalil dari Qur'an dan Sunah Nabi maka dari perselisihan dan ikthtilaf hukum diatas;

maka penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan dalil-dalil yang bersumber

dari Alquran dan Hadits serta pendapat para Sahabat dan Ulama-Ulama Fiqih dan

Qira'at Qur'an maka penulis berpendapat bahwa pendapat dari Imam Malik adalah

pendapat yang paling kuat (rajih) dibanding pendapat-pendapat lain, pendapat lebih

mengambil jalan tengah (wasathan). Adapun pendapat dari ulama lain seperti Abu

Hanafi dan Hanafiyah memiliki kecenderungan memudahkan (tasahhul) dalam masalah

ini sehingga makna lamasa menjadi muthlaq tidak membatalkan wudlu dan pendapat

Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah dalam masalah ini pendapatnya terlalu keras

(tasyaddud) sehingga menjadikan semua sentuhan membatalkan wudlu.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 9: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

9

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

8

Penulis mendukung pendapat mayoritas ulama karena memiliki dasar dalil yang

setidaknya menurut pengamatan kami lebih kuat baik dari sunah fi'liyah (perbuatan)

Nabi Shalallahu alahi Wassalam. Ulama bahasa dan ulama fiqih telah sepakat dan tidak

menyangkal bahwa kalimat masaha (يسخ) bermakna al-ghaslu (انغسم) akan tetapi qira'at

dengan bacaan rafa' pada kalimat (وأسجهكى) mendukung pada qira'at (bacaan) nashab

mewajibkan untuk membasuh kaki dalam wudlu.

2. Bersentuhan Dengan Wanita Dalam Berwudlu

Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:

روا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أ و وإن كنتم جنبا فاطهموا صعيدا طيبا لمستم / لمستم دوا ماء ف ت يم النساء ف لم ت

Jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).

Ayat Al-Maidah ayat 6 ini telah terjadi perbedaan bacaan antara para Qurra' dalam

membaca nash Alquran, sehingga menimbulkan berbedaan dalam memahami hukum

batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan lawan jenis (lelaki dengan wanita atau

bersentuhannya wanita dengan lelaki). Perbedaan bacaan ini terjadi pada qira'at

mutawatir, ada dua qira'at yang berbeda dalam membaca nash Qur'an pada ayat ini.

a. Qira'at Kufi. Mereka adalah, Hamzah, Kasa'i, Al-A'mas, Khalaf dan Yahya ibnu

Tsabit mereka membaca dalam ayat tersebut dengan ( ستم .( ل م b. Qira'at ahlu Hijaz. Mereka di antaranya adalah, Ashim dan Abu Amr ibnu al-A'la

mereka membaca dengan tambahan huruf alif (ستم م . (ل

Dari dua bacaan qira'at tersebut adalah bacaan yang telah disepakati oleh jumhur

ulama bahwa qira'at tersebut adalah bacaan yang mutawatir. Ulama fiqih berbeda

pendapat tentang maksud dari kata tersebut lams (نس). Sebagian ulama berpendapat

bahwa lams bermakna jima' ; maka bersentuhan dengan wanita bagi orang yang sudah

memiliki wudlu tidak batal, kemudian di antara ulama ada yang berpendapat bahwa

lelaki menyentuh wanita membatal kan wudlu, dengan keterangan lebih lanjut sebagai

berikut.

9

a. Mazhab pertama membaca dengan (ستم م Mereka adalah dari golongan Hanafiyah .(ل

yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu secara mutlaq

kecuali berhubungan intim. Tambahan alif (ا) pada kalimat tersebut adalah masuk

dalam bab al-mufa'alah (انفاعهة) yang menunjukan makna “saling" antara dua orang

yang saling menyentuh dan secara zahir kata lams tersebut bermakna jima, karena

ada dua oknum yang saling memberi aksi dan reaksi.

b. Mazhab kedua. Pendapat ini adalah Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah. Selain

dari mazhab syafi'iyah pendapat ini juga dikuat kan oleh Imam Ahmad, beliau

berkata "دال بكم يقض انس sesungguhnya bersentuhan (dengan wanita) "أ

membatalkan wudlu dengan semua kondisi. Pendapat ini sebagaimana dikuatkan

pula oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Az-zuhri dan Rabi'ah (Al-Arabi.2003. vol 2: 564 )

c. Mazhab ketiga. Pendapat dari Imam Malik, Hanafiyah, Alaqamah, Abi Ubaid, An-

Nakha'i, Hakim, Himad, Atsaury, Ishaq mereka berpendapat bahwa apabila sesorang

yang telah memiliki wudlu kemudian bersentuhan dengan lawan jenis dengan

maksud karena untuk mendapatkan sesuatu (kenikmatan bersentuhan) maka

hendaknya dia mengulangi wudlunya kembali.

d. Mazhab Keempat, ini adalah pendapat dari Imam Awza'i. Dari pendapat ini

mengatakan bahwa jika menyentuh dengan tangan maka akan membatalkan wudlu

namun jika menyentuh tidak dengan tangan tapi dengan anggota tubuh yang lain

maka tidak membatalkan wudlu. Dalilnya adalah firman Allah Q.S. al-An'am ayat

tujuh yang maknanya menyentuh dengan tangan.

Dari pendapat para kibar ulama fiqih dan qira'at qur'an yang telah menampilkan

dalil dari Qur'an dan Sunah Nabi maka dari perselisihan dan ikthtilaf hukum diatas;

maka penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan dalil-dalil yang bersumber

dari Alquran dan Hadits serta pendapat para Sahabat dan Ulama-Ulama Fiqih dan

Qira'at Qur'an maka penulis berpendapat bahwa pendapat dari Imam Malik adalah

pendapat yang paling kuat (rajih) dibanding pendapat-pendapat lain, pendapat lebih

mengambil jalan tengah (wasathan). Adapun pendapat dari ulama lain seperti Abu

Hanafi dan Hanafiyah memiliki kecenderungan memudahkan (tasahhul) dalam masalah

ini sehingga makna lamasa menjadi muthlaq tidak membatalkan wudlu dan pendapat

Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah dalam masalah ini pendapatnya terlalu keras

(tasyaddud) sehingga menjadikan semua sentuhan membatalkan wudlu.

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 10: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

10

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

10

3. Dua Raka’at dalam Thawaf

Allah berfirman pada Q.S. Al-Baqarah ayat 125

من مقام إب راهيم مصلى واواتخذللناس وأمنا وإذ جعلنا الب يت مثابة

"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan ......... sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat."

Ayat di atas berbicara tentang shalat di belakang maqam Ibrahim, dan terdapat

dua qira'at yang mutawatir dan syah secara hukum bacaan atas legimitasi dari Nabi,

Sahabat dan hukum riwayat oleh tabi'in dan orang-orang setelahnya. Kedua bacaan

tersebut adalah;

a. Bacaan Ibnu Katsir, Abu Amru, Ashim, Hamzah dan Kasa'i pada kalimat (واتخزوا)

dengan kasrah kha ( او ز خ ات و ) dengan sighah amr (perintah)

b. Bacaan Nafi, Ibnu Amru dengan fatha kha ( او ز خ ات و ) pada kalimat tersebut, dengan fi'il

madhin.

Atas perbedaan bacaan ini maka timbul perbedaan hukum fiqih yang terjadi di

antara para ulama fiqih dalam menentukan hukum. Bagi yang membaca dengan sighah

amr (formula perintah) maka shalat dua rakaat ketika thawaf hukumnya wajib, dan bagi

pendapat yang memegang shighah khabariyah (formula khabar/berita) maka hukum

shalat dua rakaat sebelum thawaf tidak wajib.

Pendapat pertama diambil oleh golongan Hanafiyah, beliau berpendapat bahwa

dua raka'at saat thawaf baik itu thawaf sunah maupun thawaf fardhu. Adapun pendapat

yang kedua meruapkan pendapat salah satu pendapat Hanabilah, dan pendapat salah

satu Ulama Syafi'iyah, dan sebagian Malikiyah bahwa thawaf adalah bagian dari rukun.

Setelah memperhatikan pendapat para Ulama melalui pengamatan panjang dari

dalil- dalil Qur'an, Hadist dan pendapat para Ulama-ulama pendukung Mazhab maka

penulis berpendapat bahwasanya hukum shalat dua rakaat setelah tawaf di maqam

Ibrahim adalah wajib, sementara shalat dua rakaat di maqam Ibrahim selain itu

hukumnya sunah. Pendapat ini merupakan sebuah usaha untuk mengambil jalan tengah

(inshaf) dalam fiqih.

11

4. Pengganti Puasa

Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 184:

ة من أيام أخر وعلى الذين يط ه يقون أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدر لكم إن كنتم ت علمون مسكين طعامفدية ر له وأن تصوموا خي را ف هو خي فمن تطوع خي

(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) ……… memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Pembicaraan ayat ini adalah tentang fidyah atau pengganti puasa yang diwajibkan

bagi orang yang terkena kewajiban (taklif) namun ia meninggalkannya karena ada

sebab-sebab yang syar'i. Perdebatan antar para ulama fiqih berkaitan dengan nasikh dan

mansukh ayat tersebut.

Ragam qira'at yang mutawatir dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:

a. Ja'far, Nafi, Ibnu Zakwan, Ibnu Amir mereka membaca ة ي ذ ف tanpamenggunakan

tanwin, kemudian kata ( او ع ط ) dibaca kasrah (jarr) karna idhafah. Sedangkan kata

ي ك س ي dengan jamak (plural) fathah nun tanpa tanwin. Ketika dibaca idhafah

(disandarkan) maka makna fidyah puasa tersebut hanya dibatasi makanan pokok saja,

karena sesungguhnya kata fidyah sangat luas bisa bermakna makanan pokok saja

juga bisa bermakna makanan-makanan yang lainnya.

b. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim, Hamzah, Kisa'iy, Ya'kub, Khalaf membaca ي ة ف ذ

dengan tanwin, kata ط ع او dibaca dengan rafa '(dhammah), ك ي س .tunggal (singular) ي

Adapun qira'at dengan dibaca tanwin (فذيةطعاو) menunjukan bahwa makanan (tha'am)

sebagai pengganti fidyah; Allah Subhanahu Wata'alah hendak menjelaskan

bahwasanya fidyah bisa berupa apa saja tidak terbatas dengan makanan saja.

c. Hisyam dari Ibnu Amir membaca ي ة يساكيdibaca rafa', kata ط ع او ,dengan tanwin ف ذ

dibaca jama (plural). Bacaan kata masakin (يساكي) dalam bentuk jamak

menunjukkan bahwa orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin juga

bermakna plural (jamak) sebagaimana tersirat dalam ungkapan (انزي). Dengan

demikian, kalimat tersebut bermakna bahwa orang yang memberi makan kepada

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 11: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

11

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

10

3. Dua Raka’at dalam Thawaf

Allah berfirman pada Q.S. Al-Baqarah ayat 125

من مقام إب راهيم مصلى واواتخذللناس وأمنا وإذ جعلنا الب يت مثابة

"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan ......... sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat."

Ayat di atas berbicara tentang shalat di belakang maqam Ibrahim, dan terdapat

dua qira'at yang mutawatir dan syah secara hukum bacaan atas legimitasi dari Nabi,

Sahabat dan hukum riwayat oleh tabi'in dan orang-orang setelahnya. Kedua bacaan

tersebut adalah;

a. Bacaan Ibnu Katsir, Abu Amru, Ashim, Hamzah dan Kasa'i pada kalimat (واتخزوا)

dengan kasrah kha ( او ز خ ات و ) dengan sighah amr (perintah)

b. Bacaan Nafi, Ibnu Amru dengan fatha kha ( او ز خ ات و ) pada kalimat tersebut, dengan fi'il

madhin.

Atas perbedaan bacaan ini maka timbul perbedaan hukum fiqih yang terjadi di

antara para ulama fiqih dalam menentukan hukum. Bagi yang membaca dengan sighah

amr (formula perintah) maka shalat dua rakaat ketika thawaf hukumnya wajib, dan bagi

pendapat yang memegang shighah khabariyah (formula khabar/berita) maka hukum

shalat dua rakaat sebelum thawaf tidak wajib.

Pendapat pertama diambil oleh golongan Hanafiyah, beliau berpendapat bahwa

dua raka'at saat thawaf baik itu thawaf sunah maupun thawaf fardhu. Adapun pendapat

yang kedua meruapkan pendapat salah satu pendapat Hanabilah, dan pendapat salah

satu Ulama Syafi'iyah, dan sebagian Malikiyah bahwa thawaf adalah bagian dari rukun.

Setelah memperhatikan pendapat para Ulama melalui pengamatan panjang dari

dalil- dalil Qur'an, Hadist dan pendapat para Ulama-ulama pendukung Mazhab maka

penulis berpendapat bahwasanya hukum shalat dua rakaat setelah tawaf di maqam

Ibrahim adalah wajib, sementara shalat dua rakaat di maqam Ibrahim selain itu

hukumnya sunah. Pendapat ini merupakan sebuah usaha untuk mengambil jalan tengah

(inshaf) dalam fiqih.

11

4. Pengganti Puasa

Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 184:

ة من أيام أخر وعلى الذين يط ه يقون أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدر لكم إن كنتم ت علمون مسكين طعامفدية ر له وأن تصوموا خي را ف هو خي فمن تطوع خي

(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) ……… memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Pembicaraan ayat ini adalah tentang fidyah atau pengganti puasa yang diwajibkan

bagi orang yang terkena kewajiban (taklif) namun ia meninggalkannya karena ada

sebab-sebab yang syar'i. Perdebatan antar para ulama fiqih berkaitan dengan nasikh dan

mansukh ayat tersebut.

Ragam qira'at yang mutawatir dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:

a. Ja'far, Nafi, Ibnu Zakwan, Ibnu Amir mereka membaca ة ي ذ ف tanpamenggunakan

tanwin, kemudian kata ( او ع ط ) dibaca kasrah (jarr) karna idhafah. Sedangkan kata

ي ك س ي dengan jamak (plural) fathah nun tanpa tanwin. Ketika dibaca idhafah

(disandarkan) maka makna fidyah puasa tersebut hanya dibatasi makanan pokok saja,

karena sesungguhnya kata fidyah sangat luas bisa bermakna makanan pokok saja

juga bisa bermakna makanan-makanan yang lainnya.

b. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim, Hamzah, Kisa'iy, Ya'kub, Khalaf membaca ي ة ف ذ

dengan tanwin, kata ط ع او dibaca dengan rafa '(dhammah), ك ي س .tunggal (singular) ي

Adapun qira'at dengan dibaca tanwin (فذيةطعاو) menunjukan bahwa makanan (tha'am)

sebagai pengganti fidyah; Allah Subhanahu Wata'alah hendak menjelaskan

bahwasanya fidyah bisa berupa apa saja tidak terbatas dengan makanan saja.

c. Hisyam dari Ibnu Amir membaca ي ة يساكيdibaca rafa', kata ط ع او ,dengan tanwin ف ذ

dibaca jama (plural). Bacaan kata masakin (يساكي) dalam bentuk jamak

menunjukkan bahwa orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin juga

bermakna plural (jamak) sebagaimana tersirat dalam ungkapan (انزي). Dengan

demikian, kalimat tersebut bermakna bahwa orang yang memberi makan kepada

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 12: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

12

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

12

orang miskin bisa memberikannya dengan cara setiap hari satu orang atau bisa juga

dengan jumlah tertentu pada satu hari sekaligus.

Berdasarkan pengamatan panjang dan silang pendapat antara ulama klasik

linguistik (bahasa) mengenai surat al-Baqarah ayat 184. Maka penulis mengambil

kesimpulan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah, bahwa hukum bacaan

kalimat masakin (يساكي) dengan jamak (plural) dan tunggal. Karena di dalam bentuk

jamak menunjukkan orang miskin dalam ayat tersebut jumlahnya banyak (plural)

sedangkan dalam bentuk mufrad (singular) menunjukan keberadaan predikat masing-

masing orang miskin tersebut.

E. Pernikahan Sedarah

Allah berfirman dalam Alquran Q.S. Al-Nisa' ayat 24.

لكم ذ لكم ما وراء وأحل والمحصنات من النساء إل ما ملكت أيانكم كتاب الله عليكم

(Diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan ……… bagi kamu selain yang demikian.

Pembahasan ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش (د

mengenai klasifikasi mahram yang kemudian menjadi halal untuk dinikahi setelah

disebutkan ayat ى ن ك ر اء س او م pada kalimat ي ;ada dua qira'at (uhilla) أ د

1. Qira'at Hamzah, Kasa'i, Ashim dalam riwayat Hafs. Kalimat م د وأ dengan hamzah di

dhammah dan ha' (ح)-nya di kasrah, sebagai jawaban dari firman Allah dari ت ي ش د

ى ه ي ك م Kata .ع .adalah fi'il mabni majhul dan ma adalah ism mausul naib fai'il أ د

Qira'at ini sesuai dengan kalimat ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش maka sesuai antara awal (د

kalimat dan sesuai tidak bertentangan, sehingga dikatakan haramnya dengan hal

dan halalnya dengan hal yang jelas.

2. Qira'at yang lain membaca kalimat ( م د أ ) dengan hamzah di-fathah-kan. Kata itu

adalah jawaban atas kalimat ى ه ي ك الله ع .berdasarkan predikat sebagai fa'il (subjek) ك ت اب

Dan fa'il (subjek) dhamir-nya kembali kepada lafadz Allah (الله). Dan (يا) adalah ism

mausul (kata sambung) sekaligus sebagai objek (maf'ul bih). Dan hanya Allah yang

berhak mengharamkan atau menghalalkan. Berdasarkan qira'at dengan fathah ( م د أ )

maka diharamkan atas wanita kecuali yang telah disebutkan dalam ayat di atas. Ini

13

pendapat Rafidhah dan Khawarij, mereka berpegang kepada keumuman ayat (وأدم

او ي ى ى ن ك رن ك اء س ).

Setelah memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing firqah,

penulis berpendapat bahwa istidlal jumhur yang paling kuat (rajih) karena haram

hukumnya menikahkan seorang perempuan dengan saudara laki-laki dari ibunya dan

saudara laki-laki dari saudara ayahnya, hal demikian telah dijelaskan dalam hadits Nabi

Shalallahu alahi Wassalam. Ibrah dari pengharaman tersebut menurut jumhur ulama

adalah menghindari terputusnya tali silaturahim saudara dan senasab.

6. Hukum Zina Bagi Budak Wanita Yang Telah Menikah

Allah berfirman dalam Alquran Q.S. An-Nisa: 25

فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من العذاب أحصن فإذا

Apabila mereka ……, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.

Ayat ini membicarakan tentang wanita yang berzina, terdapat dua qira'at yang

shahih secara riwayat tentang kata ( ص .pada surat Al-Nisa ayat 25 di atas (أد

a. Qira'at Ashim, Hamzah dan Kasa'i. membaca dengan fathah pada hamzah dan shad

( ص أ د )

b. Qira'at yang lain membaca dengan dhomah pada huruf hamzah dan kasrah pada huruf

shad ( ص أ د ).

Kalau dibaca dengan cara pertama, maka kata tersebut bermaka telah masuk Islam.

Dan kalau dibaca dengan cara kedua, maka kata tersebut bermakna wanita yang telah

bersuami. Berdasarkan dua bacaan tersebut para ulama berbeda pandangan terkait

kandungan ayat tersebut.

a. Pendapat Pertama. Mereka yang berpendapat bahwa seorang budak wanita muslimah

jika ia melakukan zina maka ia dicambuk setengah dari wanita yang merdeka, dan

dengan sebab ke-Islaman-nya dia terlindungi (dari zina). Dengan demikian jumhur

ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ص أ د

bermakna telah masuk Islam; karena orang kafir tidak dikenai had ketika ia berzina

sekalipun ia telah menikah.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 13: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

13

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

12

orang miskin bisa memberikannya dengan cara setiap hari satu orang atau bisa juga

dengan jumlah tertentu pada satu hari sekaligus.

Berdasarkan pengamatan panjang dan silang pendapat antara ulama klasik

linguistik (bahasa) mengenai surat al-Baqarah ayat 184. Maka penulis mengambil

kesimpulan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah, bahwa hukum bacaan

kalimat masakin (يساكي) dengan jamak (plural) dan tunggal. Karena di dalam bentuk

jamak menunjukkan orang miskin dalam ayat tersebut jumlahnya banyak (plural)

sedangkan dalam bentuk mufrad (singular) menunjukan keberadaan predikat masing-

masing orang miskin tersebut.

E. Pernikahan Sedarah

Allah berfirman dalam Alquran Q.S. Al-Nisa' ayat 24.

لكم ذ لكم ما وراء وأحل والمحصنات من النساء إل ما ملكت أيانكم كتاب الله عليكم

(Diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan ……… bagi kamu selain yang demikian.

Pembahasan ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش (د

mengenai klasifikasi mahram yang kemudian menjadi halal untuk dinikahi setelah

disebutkan ayat ى ن ك ر اء س او م pada kalimat ي ;ada dua qira'at (uhilla) أ د

1. Qira'at Hamzah, Kasa'i, Ashim dalam riwayat Hafs. Kalimat م د وأ dengan hamzah di

dhammah dan ha' (ح)-nya di kasrah, sebagai jawaban dari firman Allah dari ت ي ش د

ى ه ي ك م Kata .ع .adalah fi'il mabni majhul dan ma adalah ism mausul naib fai'il أ د

Qira'at ini sesuai dengan kalimat ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش maka sesuai antara awal (د

kalimat dan sesuai tidak bertentangan, sehingga dikatakan haramnya dengan hal

dan halalnya dengan hal yang jelas.

2. Qira'at yang lain membaca kalimat ( م د أ ) dengan hamzah di-fathah-kan. Kata itu

adalah jawaban atas kalimat ى ه ي ك الله ع .berdasarkan predikat sebagai fa'il (subjek) ك ت اب

Dan fa'il (subjek) dhamir-nya kembali kepada lafadz Allah (الله). Dan (يا) adalah ism

mausul (kata sambung) sekaligus sebagai objek (maf'ul bih). Dan hanya Allah yang

berhak mengharamkan atau menghalalkan. Berdasarkan qira'at dengan fathah ( م د أ )

maka diharamkan atas wanita kecuali yang telah disebutkan dalam ayat di atas. Ini

13

pendapat Rafidhah dan Khawarij, mereka berpegang kepada keumuman ayat (وأدم

او ي ى ى ن ك رن ك اء س ).

Setelah memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing firqah,

penulis berpendapat bahwa istidlal jumhur yang paling kuat (rajih) karena haram

hukumnya menikahkan seorang perempuan dengan saudara laki-laki dari ibunya dan

saudara laki-laki dari saudara ayahnya, hal demikian telah dijelaskan dalam hadits Nabi

Shalallahu alahi Wassalam. Ibrah dari pengharaman tersebut menurut jumhur ulama

adalah menghindari terputusnya tali silaturahim saudara dan senasab.

6. Hukum Zina Bagi Budak Wanita Yang Telah Menikah

Allah berfirman dalam Alquran Q.S. An-Nisa: 25

فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من العذاب أحصن فإذا

Apabila mereka ……, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.

Ayat ini membicarakan tentang wanita yang berzina, terdapat dua qira'at yang

shahih secara riwayat tentang kata ( ص .pada surat Al-Nisa ayat 25 di atas (أد

a. Qira'at Ashim, Hamzah dan Kasa'i. membaca dengan fathah pada hamzah dan shad

( ص أ د )

b. Qira'at yang lain membaca dengan dhomah pada huruf hamzah dan kasrah pada huruf

shad ( ص أ د ).

Kalau dibaca dengan cara pertama, maka kata tersebut bermaka telah masuk Islam.

Dan kalau dibaca dengan cara kedua, maka kata tersebut bermakna wanita yang telah

bersuami. Berdasarkan dua bacaan tersebut para ulama berbeda pandangan terkait

kandungan ayat tersebut.

a. Pendapat Pertama. Mereka yang berpendapat bahwa seorang budak wanita muslimah

jika ia melakukan zina maka ia dicambuk setengah dari wanita yang merdeka, dan

dengan sebab ke-Islaman-nya dia terlindungi (dari zina). Dengan demikian jumhur

ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ص أ د

bermakna telah masuk Islam; karena orang kafir tidak dikenai had ketika ia berzina

sekalipun ia telah menikah.

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 14: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

14

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

14

b. Mazhab kedua adalah pendapat dari Sa'id bin Jubair, Hasan, Qatadah dan dia

diriwayatkan dari Ibnu Abas dan Abu al-Darda. Bahwasanya hamba sahaya wanita

yang telah menikah apabila berzina maka had-nya seperti seorang wanita yang

merdeka. Apabila seorang hamba sahaya muslimah yang belum menikah melakukan

zina, maka tidak ada had atasnya. Sementara jika hamba sahaya kafirah yang telah

menikah melakukan perzinahan maka berlaku had atasnya. Ini menurut pendapat

mereka.

c. Mazhab ketiga berpendapat bahwa sesungguhnya “ihshanu al-amah” (الأية (إدصا

adalah dengan pernikahan. Kecuali had tersebut wajib atas hamba sahaya muslimah

yang belum menikah. Hal tersebut terdapat dalah sunnah. Zahra mengatakan,

pendapat ketiga ini mirip dengan pendapat kedua. Tiada lain pendapat ini hendak

menggabungkan dua pendapat yang berbeda.

Setelah memperhatikan dalil-dalil dari Alquran dan Sunah serta pendapat para

sahabat dan kibar ulama maka penulis menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama

karena mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi al-ihshan (الإدصا)

sebagian mereka memahami bahwa ihshan adalah Islam dan sebagian yang lain

memahami ihshan adalah at-tazwij ( menikah ).

Ulama yang berpendapat bahwa ihshan adalah at-tazwij di antaranya adalah

Mujahid, menurut Mujahid bahwa seorang lelaki budak yang hendak menikahi wanita

merdeka dan wanita budak yang hendak dinikahi lelaki merdeka maka disebutkan

statusnya adalah pernikahan mereka adalah pernikahan budak lelaki dan budak wanita,

bukan pernikahan muhshan.

7. I’tikaf di Dalam Masjid

Firman Allah Surat Al-Baqarah 187 menyatakan:

جدالمس /جد المس ول ت باشروهن وأن تم عاكفون ف Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.

Pembicaraan pada ayat di atas berkaitan dengan i'tikaf dan apakah masjid sebagai

syarat sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaf. Terjadi perselisihan di antara para

fuqaha' (ulama fikih) berkaitan dengan masjid sebagai tempat i'tikaf. Sebab silang

15

pendapat di antara para ulama adalah apakah masjid sebagai syarat untuk terlaksananya

i'tikaf atau masjid bukan syarat untuk pelaksanaan i'tikaf? Pada firman Allah di atas

terjadi beberapa pandangan pendapat. Apakah ayat di atas adalah dalil khitab (panduan

dasar) atau bukan?

Golongan yang berpendapat surat al-Baqarah ayat 187 adalah dalil khitab berkata;

bahwa tidak ada i'tikaf kecuali di dalam masjid, dan masjid sebagai syarat i'tikaf dan

dilarang melakukan hubungan intim (jimak) dengan istri. Golongan yang berpendapat

bahwa ayat di atas bukan dalil khitab mengatakan bahwa masjid bukan syarat untuk

i'tikaf. Menurut pendapat ini, i'tikaf boleh dilakukan dimana saja, mereka mengkiaskan

“Jika Si Fulan tidak memberikan apapun di luar rumah makan, maka ketika di dalam

rumahpun dia tidak memberikan apa pun” namun oleh Ibnu Rusyd pendapat ini

dinyatakan sebagai pendapat yang tidak memiliki sumber yang jelas (syadz) ( Rusyd.

2009. Vol 3: 365 )

Ulama salaf sepakat bahwa syadz adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah

dan dalil dalam menetapkan hukum-hukum syar'i. Jumhur ulama telah sepakat bahwa

masjid adalah syarat adanya i'tikaf, namun terjadi ikhtilaf di antara mereka apakah

semua masjid bisa dijadikan tempat untuk i'tikaf atau hanya masjid-masjid tertentu saja

yang bisa dijadikan tempat i'tikaf? Penyebab terjadinya ikhtilaf di antara para ulama

adalah perbedaan dalam memahamai maksud ( ذ اج س ف يان اك ف ى ع ت ى أ Apakah masjid di .(و

sana maksudnya masjid secara umum atau ada masjid-masjid khusus yang bisa menjadi

syarat terjadinya i'tikaf?

Golongan yang memahami masjid secara umum karena mengkiaskan kepada

makna masjid adalah tempat-tempat berkumpulnya jama'ah dalam menunaikan shalat

dan acara-acara keagamaan lainnya, masjid sebagai batasan untuk i'tikaf dan bagi orang

yang keluar masjid maka batallah niat i'tikaf sebagaimana jika seseorang keluar dari

suatu golongan maka dia dikatakan “dia telah keluar dari jama'ah".

Kemudian yang menyebabkan terjadi ikthilaf dalam masalah ini adalah cara

membaca yang berbeda, dalam hal ini terdapat dua qira'at yang diriwayatkan melalui

derajat mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh rawi di setiap jenjang nya) qira'at

tersebut adalah;

a. Jumhur ulama membaca kata tersebut dalam bentuk jamak ( ذ سج .( ان

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 15: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

15

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

14

b. Mazhab kedua adalah pendapat dari Sa'id bin Jubair, Hasan, Qatadah dan dia

diriwayatkan dari Ibnu Abas dan Abu al-Darda. Bahwasanya hamba sahaya wanita

yang telah menikah apabila berzina maka had-nya seperti seorang wanita yang

merdeka. Apabila seorang hamba sahaya muslimah yang belum menikah melakukan

zina, maka tidak ada had atasnya. Sementara jika hamba sahaya kafirah yang telah

menikah melakukan perzinahan maka berlaku had atasnya. Ini menurut pendapat

mereka.

c. Mazhab ketiga berpendapat bahwa sesungguhnya “ihshanu al-amah” (الأية (إدصا

adalah dengan pernikahan. Kecuali had tersebut wajib atas hamba sahaya muslimah

yang belum menikah. Hal tersebut terdapat dalah sunnah. Zahra mengatakan,

pendapat ketiga ini mirip dengan pendapat kedua. Tiada lain pendapat ini hendak

menggabungkan dua pendapat yang berbeda.

Setelah memperhatikan dalil-dalil dari Alquran dan Sunah serta pendapat para

sahabat dan kibar ulama maka penulis menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama

karena mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi al-ihshan (الإدصا)

sebagian mereka memahami bahwa ihshan adalah Islam dan sebagian yang lain

memahami ihshan adalah at-tazwij ( menikah ).

Ulama yang berpendapat bahwa ihshan adalah at-tazwij di antaranya adalah

Mujahid, menurut Mujahid bahwa seorang lelaki budak yang hendak menikahi wanita

merdeka dan wanita budak yang hendak dinikahi lelaki merdeka maka disebutkan

statusnya adalah pernikahan mereka adalah pernikahan budak lelaki dan budak wanita,

bukan pernikahan muhshan.

7. I’tikaf di Dalam Masjid

Firman Allah Surat Al-Baqarah 187 menyatakan:

جدالمس /جد المس ول ت باشروهن وأن تم عاكفون ف Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.

Pembicaraan pada ayat di atas berkaitan dengan i'tikaf dan apakah masjid sebagai

syarat sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaf. Terjadi perselisihan di antara para

fuqaha' (ulama fikih) berkaitan dengan masjid sebagai tempat i'tikaf. Sebab silang

15

pendapat di antara para ulama adalah apakah masjid sebagai syarat untuk terlaksananya

i'tikaf atau masjid bukan syarat untuk pelaksanaan i'tikaf? Pada firman Allah di atas

terjadi beberapa pandangan pendapat. Apakah ayat di atas adalah dalil khitab (panduan

dasar) atau bukan?

Golongan yang berpendapat surat al-Baqarah ayat 187 adalah dalil khitab berkata;

bahwa tidak ada i'tikaf kecuali di dalam masjid, dan masjid sebagai syarat i'tikaf dan

dilarang melakukan hubungan intim (jimak) dengan istri. Golongan yang berpendapat

bahwa ayat di atas bukan dalil khitab mengatakan bahwa masjid bukan syarat untuk

i'tikaf. Menurut pendapat ini, i'tikaf boleh dilakukan dimana saja, mereka mengkiaskan

“Jika Si Fulan tidak memberikan apapun di luar rumah makan, maka ketika di dalam

rumahpun dia tidak memberikan apa pun” namun oleh Ibnu Rusyd pendapat ini

dinyatakan sebagai pendapat yang tidak memiliki sumber yang jelas (syadz) ( Rusyd.

2009. Vol 3: 365 )

Ulama salaf sepakat bahwa syadz adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah

dan dalil dalam menetapkan hukum-hukum syar'i. Jumhur ulama telah sepakat bahwa

masjid adalah syarat adanya i'tikaf, namun terjadi ikhtilaf di antara mereka apakah

semua masjid bisa dijadikan tempat untuk i'tikaf atau hanya masjid-masjid tertentu saja

yang bisa dijadikan tempat i'tikaf? Penyebab terjadinya ikhtilaf di antara para ulama

adalah perbedaan dalam memahamai maksud ( ذ اج س ف يان اك ف ى ع ت ى أ Apakah masjid di .(و

sana maksudnya masjid secara umum atau ada masjid-masjid khusus yang bisa menjadi

syarat terjadinya i'tikaf?

Golongan yang memahami masjid secara umum karena mengkiaskan kepada

makna masjid adalah tempat-tempat berkumpulnya jama'ah dalam menunaikan shalat

dan acara-acara keagamaan lainnya, masjid sebagai batasan untuk i'tikaf dan bagi orang

yang keluar masjid maka batallah niat i'tikaf sebagaimana jika seseorang keluar dari

suatu golongan maka dia dikatakan “dia telah keluar dari jama'ah".

Kemudian yang menyebabkan terjadi ikthilaf dalam masalah ini adalah cara

membaca yang berbeda, dalam hal ini terdapat dua qira'at yang diriwayatkan melalui

derajat mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh rawi di setiap jenjang nya) qira'at

tersebut adalah;

a. Jumhur ulama membaca kata tersebut dalam bentuk jamak ( ذ سج .( ان

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 16: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

16

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

16

b. Mujahid dan A'masy membaca kata tersebut dengan bentuk tunggal ( ذ ج س ان ).

Menurut A'masy yang dimaksud ذ ج س ان pada ayat tersebut adalah Masjidil Haram.

Permasalah perdebatan antara ulama bermula ketika mereka menemukan bacaan

qira'at yang berbeda, yang satu menggunakan jamak dan yang lain menggunakan

tunggal. Bagi yang membaca jamak tentunya memiliki makna bahwa semua masjid bisa

dijadikan tempat untuk dilaksanakannya i'tikaf, akan tetapi bagi yang membaca dengan

tunggal maka hukum i'tikaf menjadi berbeda, yaitu masjid yang telah ditentukan.

Menurut penulis, dengan perkataan jumhur ulama yang membaca dalam ayat tersebut

sebagai kata jamak yang memiliki makna bahwa semua masjid yang dijadikan tempat

ibadah shalat lima waktu dan shalat jum'at maka boleh dijadikan tempat untuk

dilaksanakanya i'tikaf. Lalu bagaimana dengan kedudukan dua qira'at yang memiliki

riwayat mutawatir, yang menurut para ulama adalah riwayat yang memiliki legilitas

absolut kekuatan hukumnya? Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa jumhur

ulama berpendapat bahwa bacaan jamak pengkhususan terhadap masjid bisa jadi telah

di mansukh oleh tindakan Nabi Muhammad (Nabi Muhammad pernah melakukan i'tikaf

di Madinah) atau bahwa masjid-masjid yang disebutkan karena memiliki keutamaan

khusus dibanding dengan masjid yang lainnya. Akan tetapi bagi qira'at yang dibaca

ifrad (tunggal) di sana ada penguatan pendapat mayoritas ulama, yaitu menguatkan

bahwa shalat dan i'tikaf di Masjidil Haram adalah memiliki keutamaan yang sangat

tinggi nilainya.

7. Perang Melawan Orang- Orang Musryik Di Dalam Masjidil Haram

Firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 191

menyatakan sebagai berikut:

نة أشد من القتل ت لوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفت ول ت قاتلوهم واق ت لوهم ق ت لوكم / قات لوكم عند المسجد الرام حت ي قاتلوكم فيه فإن لوهم ت ق ت / لك فاق كذ

جزاء الكافرين Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari

tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu ……….. mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka ………. kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

17

Perbincangan ayat ini berkaitan dengan larangan memerangi orang-orang musrik

di dalam Masjidil Haram kecuali jika jika orang-orang musyrik membahayakan

keselamatan diri kita, dalam kondisi dharurat.

Terdapat dua qira'at yang shahih menurut riwayat yang telah mencapai derajat

mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh orang di setiap jenjangnya). Qira'at tersebut

adalah;

a. Hamzah, Kasa'i dan Khalaf. membaca sebagai berikut

ت لوهم فإن لك جزاء الكافرين ق ت لوكم فاق كذ

Yaitu dengan membuang alif pada af'alul tsalatsah (أفعالثلاثة)

b. Qira'at yang lain adalah ى يفاعهة dengan timbangan (wazan) ق ات ه ىك

Terkait dengan dua bacaan yang telah disebutkan di atas Dr. Izzat Syahatah (2006:

63) mengutip perkataan Al-Azhari, mengatakan ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) dengan makna bahwa, tidak

boleh memulai peperangan di dalam Masjidil Haram sehingga mereka memulai dan

memerangi kaum Muslimin, bagi kaum Muslimin juga boleh untuk menghindari dari

pertempuran di Masjidil Haram, apabila telah terjadi peperangan di sekitar Masjidil

Haram maka perangilah orang-orang musyrik yang memerangi dan membiarkan

musyrikin yang lain yang tidak ikut andil dalam penyerangan. Orang Arab sering

mengatakan dalam komunikasi sehari-hari mereka sering menggunakan bahasa qotalna

al-qaum (قتهاانقىو) dengan maksud bahwa mereka memerangi sebagian dari kaum, tidak

memerangi semua kaum tersebut.

Dari dua bacaan (qira'at) di atas yang shahih terjadi silang pendapat di antara

ulama fikih pada masalah peperangan terhadap musyrikin yang memasuki Masjidil

Haram kepada dua pendapat:

Pendapat pertama; Dari Imam Hanifah, Imam Hambali, Imam Malik dan didukung

oleh Mujahid, Thawus. Mereka berkata:

ليجىصقتالأدذيانششكيفيانسجذانذشاو

Maksudnya: "Tidak boleh memerangi salah satu dari orang musyrik di dalam Masjidil

Haram." (Qurthubi, 2006: Vol 2, 234)

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 17: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

17

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

16

b. Mujahid dan A'masy membaca kata tersebut dengan bentuk tunggal ( ذ ج س ان ).

Menurut A'masy yang dimaksud ذ ج س ان pada ayat tersebut adalah Masjidil Haram.

Permasalah perdebatan antara ulama bermula ketika mereka menemukan bacaan

qira'at yang berbeda, yang satu menggunakan jamak dan yang lain menggunakan

tunggal. Bagi yang membaca jamak tentunya memiliki makna bahwa semua masjid bisa

dijadikan tempat untuk dilaksanakannya i'tikaf, akan tetapi bagi yang membaca dengan

tunggal maka hukum i'tikaf menjadi berbeda, yaitu masjid yang telah ditentukan.

Menurut penulis, dengan perkataan jumhur ulama yang membaca dalam ayat tersebut

sebagai kata jamak yang memiliki makna bahwa semua masjid yang dijadikan tempat

ibadah shalat lima waktu dan shalat jum'at maka boleh dijadikan tempat untuk

dilaksanakanya i'tikaf. Lalu bagaimana dengan kedudukan dua qira'at yang memiliki

riwayat mutawatir, yang menurut para ulama adalah riwayat yang memiliki legilitas

absolut kekuatan hukumnya? Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa jumhur

ulama berpendapat bahwa bacaan jamak pengkhususan terhadap masjid bisa jadi telah

di mansukh oleh tindakan Nabi Muhammad (Nabi Muhammad pernah melakukan i'tikaf

di Madinah) atau bahwa masjid-masjid yang disebutkan karena memiliki keutamaan

khusus dibanding dengan masjid yang lainnya. Akan tetapi bagi qira'at yang dibaca

ifrad (tunggal) di sana ada penguatan pendapat mayoritas ulama, yaitu menguatkan

bahwa shalat dan i'tikaf di Masjidil Haram adalah memiliki keutamaan yang sangat

tinggi nilainya.

7. Perang Melawan Orang- Orang Musryik Di Dalam Masjidil Haram

Firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 191

menyatakan sebagai berikut:

نة أشد من القتل ت لوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفت ول ت قاتلوهم واق ت لوهم ق ت لوكم / قات لوكم عند المسجد الرام حت ي قاتلوكم فيه فإن لوهم ت ق ت / لك فاق كذ

جزاء الكافرين Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari

tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu ……….. mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka ………. kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

17

Perbincangan ayat ini berkaitan dengan larangan memerangi orang-orang musrik

di dalam Masjidil Haram kecuali jika jika orang-orang musyrik membahayakan

keselamatan diri kita, dalam kondisi dharurat.

Terdapat dua qira'at yang shahih menurut riwayat yang telah mencapai derajat

mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh orang di setiap jenjangnya). Qira'at tersebut

adalah;

a. Hamzah, Kasa'i dan Khalaf. membaca sebagai berikut

ت لوهم فإن لك جزاء الكافرين ق ت لوكم فاق كذ

Yaitu dengan membuang alif pada af'alul tsalatsah (أفعالثلاثة)

b. Qira'at yang lain adalah ى يفاعهة dengan timbangan (wazan) ق ات ه ىك

Terkait dengan dua bacaan yang telah disebutkan di atas Dr. Izzat Syahatah (2006:

63) mengutip perkataan Al-Azhari, mengatakan ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) dengan makna bahwa, tidak

boleh memulai peperangan di dalam Masjidil Haram sehingga mereka memulai dan

memerangi kaum Muslimin, bagi kaum Muslimin juga boleh untuk menghindari dari

pertempuran di Masjidil Haram, apabila telah terjadi peperangan di sekitar Masjidil

Haram maka perangilah orang-orang musyrik yang memerangi dan membiarkan

musyrikin yang lain yang tidak ikut andil dalam penyerangan. Orang Arab sering

mengatakan dalam komunikasi sehari-hari mereka sering menggunakan bahasa qotalna

al-qaum (قتهاانقىو) dengan maksud bahwa mereka memerangi sebagian dari kaum, tidak

memerangi semua kaum tersebut.

Dari dua bacaan (qira'at) di atas yang shahih terjadi silang pendapat di antara

ulama fikih pada masalah peperangan terhadap musyrikin yang memasuki Masjidil

Haram kepada dua pendapat:

Pendapat pertama; Dari Imam Hanifah, Imam Hambali, Imam Malik dan didukung

oleh Mujahid, Thawus. Mereka berkata:

ليجىصقتالأدذيانششكيفيانسجذانذشاو

Maksudnya: "Tidak boleh memerangi salah satu dari orang musyrik di dalam Masjidil

Haram." (Qurthubi, 2006: Vol 2, 234)

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 18: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

18

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

18

Pijakan Dalil Pendapat Ini;

a. Bahwa ayat tersebut adalah ayat yang muhkam (hukumnya tetap) dan tidak

termansukh oleh ayat lainnya.

b. Pada bacaan ت ق ات ه ىه ى ل menunjukkan bahwa (huruf alif tetap dan tidak dibuang) و

kalimat ini adalah larangan untuk berperang terhadap orang-orang musyrik kecuali

mereka memulai dan mereka membahayakan keselamatan kaum muslimin maka dari

itu wajib hukumnya untuk memerangi mereka walaupun di dalam Masjidil Haram.

Sebab-sebab dilarangnya berperang (qital) pada bacaan ini karena sebab terjadi

pembunuhan adalah perang. Bila disebutkan larangannya adalah perang maka dia

sebagai sebab terjadinya pembunuhan maka ini menunjukan bahwa larangan

menumpahkan darah adalah dalil yang jelas secara zahir.

c. Demikian dengan bacaan yang kedua (mahdzhuf bil alif) ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) ini adalah bacaan

yang sudah sangat jelas dalil tentang larangan membunuh orang musyrik ketika

mereka berada di Masjidil Haram kecuali apabila mereka memerangi sebagian kaum

Muslimin maka apabila mereka memasuki Masjid Haram boleh hukumnya untuk

memerangi mereka.

Pendapat Kedua. Mereka adalah Qatadah, Muqatil bin Sulaiman dan ini adalah

pendapat kedua dari Imam Malik mereka mengatakan: "Maksud ayat tersebut adalah

boleh memerangi mereka (musryikin) di dalam Masjidil Haram. (Shatah, 2006: 65)

Pijakan dalil pendapat ini adalah sebagai berikut;

a. Ayat ini telah dimansyukh (dihapus) dengan firman Allah surat at-Taubah:

الأ ش ه خ س اا ىه ى ف إ ر ت ذ ج و ي ث د ش ك ي ش ف اق ت ه ىاان و ش ان ذ ه ش

Artinya: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka." (Q.S. At- Taubah: 5) Kemudian dimansyukh juga dengan surat al- Baqarah pada ayat yang sama juga.

ىه ى ث ق ف ت ي ث د اق ت ه ىه ى و

Artinya: “Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka”(Q.S. Al-Baqarah: 191)

b. Menurut pendapat ini bahwa surat al-Bara'ah turun setelah surat al-Baqarah dua

tahun Rasulullahi 'alahi Wassalam sebelum masuk ke kota Makah dan beliau

bersabda:

19

يتعهقبأستاسانكعبةفقالاقتهىأابخطم

Maksudnya: "Bahwa Ibnu Khatal tergantung sebagai hiasan Ka'bah maka beliau memerintahkan. Bunuhlah mereka!” (Qurthubi, 2006. Vol, 3: 224)

Apakah ayat tersebut telah dimansukh atau tidak? Bagi yang berpendapat bahwa

ayat tersebut telah dimansukh maka memerangi orang musryik di dalam Masjidil Haram

dibolehkan. Dan bagi golongan yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah muhkam

(ayat yang terang dan tegas hukumnya) maka tidak boleh memerangi orang-orang

musyrik di dalam Masjidil Haram.

Mereka yang berpegang pada pendapat bahwa memerangi orang-orang musyrik

dilarang mereka memegang kepada bacaan dua qira'at yang shahih (ولتقاتهىهى) dengan

alif tetap dan tidak dimahdzhuf dan (ولتقتهىهى) dimahdzhuf huruf alif (ا) dan makna dari

dua bacaan tersebut adalah dilarang memerangi musyrikin di dalam Masjidil Haram,

karena sebab pembunuhan adalah perang. Menurut pendapat ini bahwa ayat tersebut

jelas bahwa memerangi musyrikin adalah sebuah hal yang terlarang kecuali apabila

dengan kondisi dimana kaum musyrikin memerangi terlebih dahulu dan kaum muslimin

merasa terancam kesalamatannya.

Jawaban saya atas hadits (قتمابخطمانتعهقبأستاسانكعبة) hadits tersebut tidak bisa

dijadikan hujjah (dalil pembolehan membunuh) karena saat Nabi menyampaikan hadits

tersebut saat itu adalah kondisi dimana terjadi peperangan (داسدشب) dengan orang kafir.

Dari pemaparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pendapat

yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama, yaitu

larangan berperang dengan orang-orang musyrik di Masjidil Haram. Ini adalah sikap

agar terjaga kesucian tempat ibadah dari kepentingan-kepentingan di luar ibadah kepada

Allah. Jika ada orang musyrik memasuki Masjidil Haram dan membuat gaduh dan

keributan maka jalan preventifnya adalah menarik dan mengeluarkan orang-orang

musyrik keluar dari wilayah Masjidil Haram. Karena Masjidil pada dasarnya tidak

dibangun untuk hal-hal di luar kegiatan beribadah seperti berjual beli dan tawar

menawar dan urusan-urusan lainnya.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 19: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

19

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

18

Pijakan Dalil Pendapat Ini;

a. Bahwa ayat tersebut adalah ayat yang muhkam (hukumnya tetap) dan tidak

termansukh oleh ayat lainnya.

b. Pada bacaan ت ق ات ه ىه ى ل menunjukkan bahwa (huruf alif tetap dan tidak dibuang) و

kalimat ini adalah larangan untuk berperang terhadap orang-orang musyrik kecuali

mereka memulai dan mereka membahayakan keselamatan kaum muslimin maka dari

itu wajib hukumnya untuk memerangi mereka walaupun di dalam Masjidil Haram.

Sebab-sebab dilarangnya berperang (qital) pada bacaan ini karena sebab terjadi

pembunuhan adalah perang. Bila disebutkan larangannya adalah perang maka dia

sebagai sebab terjadinya pembunuhan maka ini menunjukan bahwa larangan

menumpahkan darah adalah dalil yang jelas secara zahir.

c. Demikian dengan bacaan yang kedua (mahdzhuf bil alif) ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) ini adalah bacaan

yang sudah sangat jelas dalil tentang larangan membunuh orang musyrik ketika

mereka berada di Masjidil Haram kecuali apabila mereka memerangi sebagian kaum

Muslimin maka apabila mereka memasuki Masjid Haram boleh hukumnya untuk

memerangi mereka.

Pendapat Kedua. Mereka adalah Qatadah, Muqatil bin Sulaiman dan ini adalah

pendapat kedua dari Imam Malik mereka mengatakan: "Maksud ayat tersebut adalah

boleh memerangi mereka (musryikin) di dalam Masjidil Haram. (Shatah, 2006: 65)

Pijakan dalil pendapat ini adalah sebagai berikut;

a. Ayat ini telah dimansyukh (dihapus) dengan firman Allah surat at-Taubah:

الأ ش ه خ س اا ىه ى ف إ ر ت ذ ج و ي ث د ش ك ي ش ف اق ت ه ىاان و ش ان ذ ه ش

Artinya: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka." (Q.S. At- Taubah: 5) Kemudian dimansyukh juga dengan surat al- Baqarah pada ayat yang sama juga.

ىه ى ث ق ف ت ي ث د اق ت ه ىه ى و

Artinya: “Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka”(Q.S. Al-Baqarah: 191)

b. Menurut pendapat ini bahwa surat al-Bara'ah turun setelah surat al-Baqarah dua

tahun Rasulullahi 'alahi Wassalam sebelum masuk ke kota Makah dan beliau

bersabda:

19

يتعهقبأستاسانكعبةفقالاقتهىأابخطم

Maksudnya: "Bahwa Ibnu Khatal tergantung sebagai hiasan Ka'bah maka beliau memerintahkan. Bunuhlah mereka!” (Qurthubi, 2006. Vol, 3: 224)

Apakah ayat tersebut telah dimansukh atau tidak? Bagi yang berpendapat bahwa

ayat tersebut telah dimansukh maka memerangi orang musryik di dalam Masjidil Haram

dibolehkan. Dan bagi golongan yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah muhkam

(ayat yang terang dan tegas hukumnya) maka tidak boleh memerangi orang-orang

musyrik di dalam Masjidil Haram.

Mereka yang berpegang pada pendapat bahwa memerangi orang-orang musyrik

dilarang mereka memegang kepada bacaan dua qira'at yang shahih (ولتقاتهىهى) dengan

alif tetap dan tidak dimahdzhuf dan (ولتقتهىهى) dimahdzhuf huruf alif (ا) dan makna dari

dua bacaan tersebut adalah dilarang memerangi musyrikin di dalam Masjidil Haram,

karena sebab pembunuhan adalah perang. Menurut pendapat ini bahwa ayat tersebut

jelas bahwa memerangi musyrikin adalah sebuah hal yang terlarang kecuali apabila

dengan kondisi dimana kaum musyrikin memerangi terlebih dahulu dan kaum muslimin

merasa terancam kesalamatannya.

Jawaban saya atas hadits (قتمابخطمانتعهقبأستاسانكعبة) hadits tersebut tidak bisa

dijadikan hujjah (dalil pembolehan membunuh) karena saat Nabi menyampaikan hadits

tersebut saat itu adalah kondisi dimana terjadi peperangan (داسدشب) dengan orang kafir.

Dari pemaparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pendapat

yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama, yaitu

larangan berperang dengan orang-orang musyrik di Masjidil Haram. Ini adalah sikap

agar terjaga kesucian tempat ibadah dari kepentingan-kepentingan di luar ibadah kepada

Allah. Jika ada orang musyrik memasuki Masjidil Haram dan membuat gaduh dan

keributan maka jalan preventifnya adalah menarik dan mengeluarkan orang-orang

musyrik keluar dari wilayah Masjidil Haram. Karena Masjidil pada dasarnya tidak

dibangun untuk hal-hal di luar kegiatan beribadah seperti berjual beli dan tawar

menawar dan urusan-urusan lainnya.

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 20: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

20

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

20

D. Kesimpulan

Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat unik, memiliki banyak makna yang

beragam sekali aturan yang harus dipalajarinya untuk bisa memahami makna yang

terkandung di dalamnya, Alquran turun dengan bahasa yang sangat komprehensif.

Dalam bahasa Arab, jika ada perbedaan dalam pengucapan harakat, idgham, takdim wa

takhir, berbeda penggunaan ilmu balaghah, sharaf, dan nahwu akan berdampak pada

makna yang berbeda.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa bacaan

(qira'at) Alquran sangat berpengaruh pada makna dan pemahaman interprestasi bagi

pembacanya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi bacaan diantaranya adalah perbedaan

bahasa (ikhtilaf lughawiy) seperti pada ism marfu, pada ism mansub, pada ism majrur,

asma' mabniyyah (yang tidak berubah bacaanya). Ikhtilaf juga terjadi pada sisi

perbedaan cara pengucapan (shautiy), pada penggantian (badal), atau perubahan (iqlab)

dan penggabungan (idgham). Selain itu, tedapat juga perbedaan qira'ah karena ada

perbedaan antara yang dikedepankan dengan yang diakhirkan (bi al-taqdim wa al-

ta'khir), perbedaan pada tata cara bahasa (nahwu dan sharf). Perbedaan juga terjadi

dalam segi periwayatan seperti; riwayatnya mutawatir akan tetapi ada yang bacaan

masdar-nya syadz, mufrad-nya yang syadz, atau mutsana-nya yang syadz. Atau jamak-

nya yang syadz, atau sighah isim fa'il-nya yang syadz, atau sighah af'al tafdhil-nya yang

syadz.

21

DAFTAR PUSTAKA

Abu Maryam, Imam Nasr bin Ali bin Muhammad Abu Abdillah Asy-Syirozi al-Farisiy. Al-Kitab Al-Mawadhi fi Wujuh al-Qira'at wa I'laliyah, Jaddah: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.

Al-Baghdadi, Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Maliki. Kitab Al- Raudhah al-Qira'at al-Ihda Asharah, Mamlakat al-Arabiya: Arabia, 1994.

Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali. As- Sunan Al- Kubro, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2003.

Al-Baili, Ahmad. Al-Ikhtilaf baina Al-Qira'at, Bairut: Dar Jail, 1988.

Al-Dzarqaniy, Syaikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi. 1995.

Al-Fadli, Abdul Hadi. Al-Qira'at Alquraniyyah, Beirut: Dar al-Majma' al-Ilmi, 1979.

Al-Farisi, Abu Ali al-Husain bin Abdil Ghaffar. Al-Hujjah li al-Qira'at al-Sab'ah Aimmat al- Amshar bi al- Hijaz wa al- Iraq wa Syam Alladzina Dzakarahum Abu Bakar Ibnu Mujahid, Bairut: Dar al-Ma'mun li al-Turats, t.t.

Al-Hushariy, Syaikh al-Muqri al-Mahsriy Mahmud Khalil. Ahkam Qira'at Alquran Al- Karim, Makkah Mukaromah: t.p., t.t.

Al-Jauziyah, Imam bin Qayim. Jami' al-Fiqih, Mansuroh: Dar al-Wafa, 2000.

Al-Jazos, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Ahkam Alquran, Bairut: Dar Ihya al- Turats al-Arabi, 1992.

Al-Khan, Mustafa Sa'id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qaw'aid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf Fuqaha, Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1972.

Al-Khayyath, Abu al-Hasan Ali bin Faris. Al-Tabshirah fi Qira'at al-Aimmah al-Asyrah, Riyadh: Maktabah al- Rusyd, 2007.

Al-Mursifiy, Abdul Fatah As-Sayid Ajami. Hidayah al-Qari Ila Tajwid Kalam al- Bari, Madinah Munawarah: Maktabah Thayibah, t.t.

Al-Qadhiy, Abdul Fatah Abdul Ghani. Al-Qira'at fi Nadzhar al-Mustasyrikin wa al- Mulhidin, Madinah: Maktabah Alquran wa al-Sunah, 1981.

_____________. Al-Wafi fi Syarh Syatibiyah fi al-Qira'at al- Saba', Madinah Munawarah: Maktabah al-Dar, 1989.

_____________. Al-Qira'at al-Syadzah wa Taujihuha min Lughah Al-Arab, Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 198.

Al-Qaththan, Manna' Khalil. Mabahits fi Ulum Alquran, t.tp.: Maktabah al-Ma'arif, 1421 H/ 2000 M. Cet. III

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abi Bakar. Al- Jami' Ahkam Alquran, Bairut: Mu'asasah al-Risalah, 2006.

Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. Dirasat fi Ulum Alquran al-Karim, Riyadh: t.p., 2004.

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih

Page 21: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

21

VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159

20

D. Kesimpulan

Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat unik, memiliki banyak makna yang

beragam sekali aturan yang harus dipalajarinya untuk bisa memahami makna yang

terkandung di dalamnya, Alquran turun dengan bahasa yang sangat komprehensif.

Dalam bahasa Arab, jika ada perbedaan dalam pengucapan harakat, idgham, takdim wa

takhir, berbeda penggunaan ilmu balaghah, sharaf, dan nahwu akan berdampak pada

makna yang berbeda.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa bacaan

(qira'at) Alquran sangat berpengaruh pada makna dan pemahaman interprestasi bagi

pembacanya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi bacaan diantaranya adalah perbedaan

bahasa (ikhtilaf lughawiy) seperti pada ism marfu, pada ism mansub, pada ism majrur,

asma' mabniyyah (yang tidak berubah bacaanya). Ikhtilaf juga terjadi pada sisi

perbedaan cara pengucapan (shautiy), pada penggantian (badal), atau perubahan (iqlab)

dan penggabungan (idgham). Selain itu, tedapat juga perbedaan qira'ah karena ada

perbedaan antara yang dikedepankan dengan yang diakhirkan (bi al-taqdim wa al-

ta'khir), perbedaan pada tata cara bahasa (nahwu dan sharf). Perbedaan juga terjadi

dalam segi periwayatan seperti; riwayatnya mutawatir akan tetapi ada yang bacaan

masdar-nya syadz, mufrad-nya yang syadz, atau mutsana-nya yang syadz. Atau jamak-

nya yang syadz, atau sighah isim fa'il-nya yang syadz, atau sighah af'al tafdhil-nya yang

syadz.

21

DAFTAR PUSTAKA

Abu Maryam, Imam Nasr bin Ali bin Muhammad Abu Abdillah Asy-Syirozi al-Farisiy. Al-Kitab Al-Mawadhi fi Wujuh al-Qira'at wa I'laliyah, Jaddah: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.

Al-Baghdadi, Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Maliki. Kitab Al- Raudhah al-Qira'at al-Ihda Asharah, Mamlakat al-Arabiya: Arabia, 1994.

Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali. As- Sunan Al- Kubro, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2003.

Al-Baili, Ahmad. Al-Ikhtilaf baina Al-Qira'at, Bairut: Dar Jail, 1988.

Al-Dzarqaniy, Syaikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi. 1995.

Al-Fadli, Abdul Hadi. Al-Qira'at Alquraniyyah, Beirut: Dar al-Majma' al-Ilmi, 1979.

Al-Farisi, Abu Ali al-Husain bin Abdil Ghaffar. Al-Hujjah li al-Qira'at al-Sab'ah Aimmat al- Amshar bi al- Hijaz wa al- Iraq wa Syam Alladzina Dzakarahum Abu Bakar Ibnu Mujahid, Bairut: Dar al-Ma'mun li al-Turats, t.t.

Al-Hushariy, Syaikh al-Muqri al-Mahsriy Mahmud Khalil. Ahkam Qira'at Alquran Al- Karim, Makkah Mukaromah: t.p., t.t.

Al-Jauziyah, Imam bin Qayim. Jami' al-Fiqih, Mansuroh: Dar al-Wafa, 2000.

Al-Jazos, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Ahkam Alquran, Bairut: Dar Ihya al- Turats al-Arabi, 1992.

Al-Khan, Mustafa Sa'id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qaw'aid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf Fuqaha, Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1972.

Al-Khayyath, Abu al-Hasan Ali bin Faris. Al-Tabshirah fi Qira'at al-Aimmah al-Asyrah, Riyadh: Maktabah al- Rusyd, 2007.

Al-Mursifiy, Abdul Fatah As-Sayid Ajami. Hidayah al-Qari Ila Tajwid Kalam al- Bari, Madinah Munawarah: Maktabah Thayibah, t.t.

Al-Qadhiy, Abdul Fatah Abdul Ghani. Al-Qira'at fi Nadzhar al-Mustasyrikin wa al- Mulhidin, Madinah: Maktabah Alquran wa al-Sunah, 1981.

_____________. Al-Wafi fi Syarh Syatibiyah fi al-Qira'at al- Saba', Madinah Munawarah: Maktabah al-Dar, 1989.

_____________. Al-Qira'at al-Syadzah wa Taujihuha min Lughah Al-Arab, Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 198.

Al-Qaththan, Manna' Khalil. Mabahits fi Ulum Alquran, t.tp.: Maktabah al-Ma'arif, 1421 H/ 2000 M. Cet. III

Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abi Bakar. Al- Jami' Ahkam Alquran, Bairut: Mu'asasah al-Risalah, 2006.

Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. Dirasat fi Ulum Alquran al-Karim, Riyadh: t.p., 2004.

AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI

Page 22: PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL QUR’AN TERHADAP …

22

MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB

22

Al-Shabuniy, Muhammad Ali. Al-Tibyan fi Ulum Alquran, t.tp: t.p., 1980.

Al-Suyuthiy, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Itqan fi Ulum Alquran, Bairut: Maktabah al-Ashriyyah, 1988.

Al-Ukbariy, Abu Al-Baqa Abdullah bin Husain. At-Tibyan Fi I'rab Alquran, Qahirah: Maktabah Isya al-Bab al-Halabi wa Syarikah. t.t.

Al-Waqidiy, Abu Abdillah Muhammad bin Umar. Kitab Maghazi, Madinah: Al- Risalah, 1988.

Al-Zarkasyiy, Badruddin Muhammad bin Abdillah. Al-Burhan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Fikr, 1988.

Al-Zubairiy, Abu Abdillah al-Mus'ab bin Abdillah bin Mus'ab. Kitab Nasab Qurays. Qahirah: Dar al- Ma'arif, t.t.

Ambabiy, Husain Muhammad. Al-Qira'at wa Atsaruha fi Ulumil Arabiyah, Qahirah: Maktabah Kuliat al-Hariyah, 1983.

Bazhul, Muhammad bin Hamr bin Salim. Al-Qira'at wa Atsaruha fi al-Tafsir wa al- Ahkam, Arabia: Far' al-Kitab wa al-Sunah. t.t.

Ibn al-Arabi, Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah. Ahkam al- Qur'an, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003.

Ibn al-Badiz, Abu Ja'far Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Khalaf al-Anshori. Kitab Al-Iqna' fi al- Qiro'at al-Saba', Dimasyq: Dar al-Fikr, 1982.

Ibn Dzanjilah, Imam al-Jalil Abu Dzara'ah Abdurrahman bin Muhammad. Hujjah al-Qira'at. Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1997.

Ibn Mujahid, Ahmad bin Musa. Al-Sab'ah fi al-Qira'at, Qahirah: Dar al-Ma'arif, 1400 H.

Ismail, Nabil bin Muhammad Ibrahim Ali. Ilmu Qira'at; Nasya'at wa Athwaruh Atsarahu fi Ulumil Asy- Syar'iyah, Riyadh: Maktabah Taubah, 2000.

23

PENGENALAN TOAFL SEBAGAI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH ALIYAH

Farida Setiawaty Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arqam Garut Jabar

[email protected]

Abstract

The Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) was carried out as a standardized assessment of Arabic related to listening ability, ability to understand structure and Arabic idiomatic structure, as well as ability to understand Arabic vocabulary, reading and grammar. The teaching needs of TOAFL in Madrasah Aliyah are increasing along with the increasing interest of Madrasah Aliyah students to continue their studies to the Middle East. TOAFL learning techniques still need to be developed continuously to be more effective and efficient by adopting behavioristic theory, cognitive learning theory, social learning theory, humanism learning theory. And by utilizing the principles and techniques of several foreign language learning methods that have been developed for a long time such as; grammar and translation method, directed method, reading method, audio-lingual method, and election method. Theories and methods are adjusted to the abilities or needs of students and supported by technology or multimedia.

Keywords: TOAFL, method, Madrasah Aliyah, Arabic

Abstrak

Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) dilaksanakan sebagai standarisasi penilaian bahasa Arab terkait kemampuan menyimak, kemampuan memahami struktur dan idiomatik bahasa Arab, serta kemampuan memahami kosakata, membaca dan tata bahasa Arab. Kebutuhan pengajaran TOAFL di Madrasah Aliyah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya minat siswa Madrasah Aliyah untuk melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Teknik pembelajaran TOAFL masih perlu dikembangkan terus menerus agar lebih efektif dan efisien dengan mengadopsi teori behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar sosial, teori belajar humanism. Serta dengan memanfaatkan prinsip dan teknik beberapa metode pembelajaran bahasa asing yang telah berkembang lama semisal; grammar and translation method, directed method, reading method, audio-lingual method, dan election method. Teori dan metode tersebut kemudian disesuaikan dengan kemampuan atau kebutuhan siswa serta didukung dengan teknologi atau multimedia.

Kata Kunci: TOAFL, metode, Madrasah Aliyah, bahasa Arab

Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih