Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
1
PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AT AL-QUR’AN TERHADAP ISTIMBATH HUKUM FIQIH
Agus Amin1* dan Muhammad Alwi2** 1Pascasarjana Universitas Islam Jakarta
2FAI Universitas Islam Attahiriyah
*[email protected] dan **[email protected]
Abstract
The Qur’an was revealed in seven qira'at (the method of reading) to make it easy for Muslims. There are several ways to recite the Qur’an even though both come from one source, namely the Prophet Muhammad. The difference between Qira'at is related to "lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, and washl". In "ijtihad" making conclusions related to a law, the scholars of Islamic law will refer firstly to the Qur'an. This research focuses on the impact of differences in qira'at on the legal status of Islamic low scholars. The difference is limited to the issue of jurisprudence relating to the law of washing feet in wudlu, touching skin in wudlu, two raka'at in tawaf, substitute for fasting, incest, adultery for married female slaves, i'tikaf in the mosque, war against the musryik in the Masjidil Haram. This research is classified as legal theoretical research conducted or aimed only at the arguments of the Qur'an hadith and opinions of scholars who are expert in the field of Science of Qira'at.
Keywords: istinbath, fiqh, qira'at, law
Abstrak
Alqur'an diturunkan dalam tujuh ahruf atau tujuh qira'at untuk mumudahkan
umat Islam dalam membacanya, walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Perbedaan Qira'at berkaitan dengan lughat, hadzaf, i'rab, itsbat, fashl, dan washl. Di dalam ijtihad membuat kesimpulan terkait suatu hukum, para ulama fiqih tentu akan merujuk mula-mula pada sumber utama pengambilan hukum Islam, yaitu Alqur'an. Penelitian ini berfokus pada dampak perbedaan qira'at terhadap pengambilam keputusan hukum para ulama fikih. Perbedaan tersebut dibatasi pada persoalan fikih yang berhubungan dengan hukum membasuh kaki dalam berwudlu, bersentuhan kulit dalam berwudlu, dua raka’at dalam thawaf, pengganti puasa, pernikahan sedarah, hukum zina bagi budak wanita yang telah menikah, i’tikaf di dalam masjid, perang melawan orang-orang musyrik dalam Masjidil Haram. Penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat ulama yang pakar dalam bidang ilmu Qira'at. Kata Kunci: istimbath, fikih, qira'at, hukum
2
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
2
A. Pendahuluan
Alquran diturunkan dengan bahasa Arab, yaitu bahasa di mana nabi Muhammad
diutus dan bahasa pergaulan Nabi dan para kaumnya berdialog, akan tetapi bangsa Arab
terdiri dari berbagai suku dengan bermacam macam bahasa sehari-harinya, sehingga
bangsa Arab yang tidak memakai dialek kaum Quraiys merasa kesulitan dalam
pengucapannya, sehingga pada suatu masa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu,
Nabi Muhammad meminta berupa keringanan yaitu Alquran dengan dialek yang lain
Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist “Jibril membacakan (Alquran) kepadaku
dengan satu harf. Kemudian berulang kali aku meminta agar harf itu ditambah, ia pun
menambahkannya kepadaku sampai tujuh ahruf” (al-Qaththân, 2000: 171) Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiro'ah. Hikmah
diturunkanya Alquran dengan tujuh huruf adalah untuk mempermudah umat Nabi
Muhammad baik yang ajnabi (bukan orang Arab) atau dari bangsa Arab sendiri yang
terdiri dari berbagai kabilah dan suku.
Ada perbedaan di kalangan ulama tentang waktu mulai di turunkanya qira'at, ada
yang mengatakan qira'at mulai diturunkan di Makah bersamaan dengan diturunkannya
Alquran, ada juga yang mengatakan bahwa Qira'at mulai turun di Madinah sesudah
peristiwah hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling
berbeda ungkapan bahasa dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar
dan dalil yang kuat, namun dua pendapat ini dapat dikompromikan, bahwa qira'at
memang diturunkan di Makah, akan tetapi qira'at pada waktu itu belum diperlukan
karena pemeluk Islam masih terbatas di kalangan orang-orang dari bani Qurays.
Kalaupun ada dari golongan lain, tentu jumlahnya masih terbilang sedikit dan mereka
telah mengetahui dialek bahasa kaum Quraisy. Qira'at semakin diperlukan ketika Nabi
hijrah ke Madinah, dimana pada saat itu orang-orang mulai berduyun-duyun memeluk
agama Islam dari berbagai kabilah dan suku serta dari negeri lain, mereka menggunakan
beragam dialek.
Supaya tulisan ini lebih terarah dan dan memiliki konsep penelitian yang benar
dan tidak melebar kepada permasalah-permasalah yang tidak esensi dan untuk
menghindari penulisan ini keluar dari jalur relefansi masalah maka penulis membuat
pembatasan masalah penelitian ini pada dampak perbedaan qira'at terhadap istimbath
hukum para ulama fiqih.
3
Qira'at dan Istimbath Hukum
Dalam istilah keilmuan, qira'at adalah salah satu mazhab pembacaan Alquran
yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda
dengan mazhab lainnya. Qurra adalah jamak dari qari yang berartinya orang yang
membaca. Qari atau qurra sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu
Alquran, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai mazhab
tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatirah. Qurra bisa juga diartikan secara mudah
sebagai imam qira'at.
Berdasarkan pengertian etimologi “qira'at" merupakan kata jadian (mashdar dari
kata kerja أ ر ق (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi, maka ada
beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para ulama:
1. Menurut Al-Zarqaniy: "Qira'at adalah suatu mazhab yang dianut seorang imam qira'at
yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al- Qur'an serta sepakat riwayat-
riwayatnya dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf
ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya."
2. Menurut Ibnu al-Jaziriy adalah: “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan
kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada
penukilnya"
3. Menurut Al-Qasthalani qira'at adalah: "Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang
disepakati atau diperselihsihkan ulama yang menyangkut persoalan-persoalan lughat,
hadzaf, i'rab, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan".
4. Menurut Al-Zakarkasyi (1988: 39): “Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan)
lafadz- lafadz Alquran; baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan
huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau
yang lainnnya”
5. Menurut Al-Shabuni (1980:1930-223): “Qira'at adalah mazhab cara pelafalan
Alquran yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang
bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang
sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama berasal dari
satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang
dapat ditangkap dari definisi- definisi di atas, yaitu:
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
3
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
2
A. Pendahuluan
Alquran diturunkan dengan bahasa Arab, yaitu bahasa di mana nabi Muhammad
diutus dan bahasa pergaulan Nabi dan para kaumnya berdialog, akan tetapi bangsa Arab
terdiri dari berbagai suku dengan bermacam macam bahasa sehari-harinya, sehingga
bangsa Arab yang tidak memakai dialek kaum Quraiys merasa kesulitan dalam
pengucapannya, sehingga pada suatu masa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu,
Nabi Muhammad meminta berupa keringanan yaitu Alquran dengan dialek yang lain
Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist “Jibril membacakan (Alquran) kepadaku
dengan satu harf. Kemudian berulang kali aku meminta agar harf itu ditambah, ia pun
menambahkannya kepadaku sampai tujuh ahruf” (al-Qaththân, 2000: 171) Menurut
sebagian ulama, yang dimaksud dengan tujuh ahruf adalah tujuh qiro'ah. Hikmah
diturunkanya Alquran dengan tujuh huruf adalah untuk mempermudah umat Nabi
Muhammad baik yang ajnabi (bukan orang Arab) atau dari bangsa Arab sendiri yang
terdiri dari berbagai kabilah dan suku.
Ada perbedaan di kalangan ulama tentang waktu mulai di turunkanya qira'at, ada
yang mengatakan qira'at mulai diturunkan di Makah bersamaan dengan diturunkannya
Alquran, ada juga yang mengatakan bahwa Qira'at mulai turun di Madinah sesudah
peristiwah hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling
berbeda ungkapan bahasa dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar
dan dalil yang kuat, namun dua pendapat ini dapat dikompromikan, bahwa qira'at
memang diturunkan di Makah, akan tetapi qira'at pada waktu itu belum diperlukan
karena pemeluk Islam masih terbatas di kalangan orang-orang dari bani Qurays.
Kalaupun ada dari golongan lain, tentu jumlahnya masih terbilang sedikit dan mereka
telah mengetahui dialek bahasa kaum Quraisy. Qira'at semakin diperlukan ketika Nabi
hijrah ke Madinah, dimana pada saat itu orang-orang mulai berduyun-duyun memeluk
agama Islam dari berbagai kabilah dan suku serta dari negeri lain, mereka menggunakan
beragam dialek.
Supaya tulisan ini lebih terarah dan dan memiliki konsep penelitian yang benar
dan tidak melebar kepada permasalah-permasalah yang tidak esensi dan untuk
menghindari penulisan ini keluar dari jalur relefansi masalah maka penulis membuat
pembatasan masalah penelitian ini pada dampak perbedaan qira'at terhadap istimbath
hukum para ulama fiqih.
3
Qira'at dan Istimbath Hukum
Dalam istilah keilmuan, qira'at adalah salah satu mazhab pembacaan Alquran
yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda
dengan mazhab lainnya. Qurra adalah jamak dari qari yang berartinya orang yang
membaca. Qari atau qurra sudah menjadi suatu istilah baku dalam disiplin ilmu-ilmu
Alquran, maksudnya yaitu seorang ulama atau imam yang terkenal mempunyai mazhab
tertentu dalam suatu qira'ah yang mutawatirah. Qurra bisa juga diartikan secara mudah
sebagai imam qira'at.
Berdasarkan pengertian etimologi “qira'at" merupakan kata jadian (mashdar dari
kata kerja أ ر ق (membaca). Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi, maka ada
beberapa definisi yang telah disampaikan oleh para ulama:
1. Menurut Al-Zarqaniy: "Qira'at adalah suatu mazhab yang dianut seorang imam qira'at
yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al- Qur'an serta sepakat riwayat-
riwayatnya dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf
ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya."
2. Menurut Ibnu al-Jaziriy adalah: “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan
kata-kata Alquran dan perbedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada
penukilnya"
3. Menurut Al-Qasthalani qira'at adalah: "Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang
disepakati atau diperselihsihkan ulama yang menyangkut persoalan-persoalan lughat,
hadzaf, i'rab, itsbat, fashl dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan".
4. Menurut Al-Zakarkasyi (1988: 39): “Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan)
lafadz- lafadz Alquran; baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan
huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau
yang lainnnya”
5. Menurut Al-Shabuni (1980:1930-223): “Qira'at adalah mazhab cara pelafalan
Alquran yang dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang
bersambung kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam”
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang
sama bahwa ada beberapa cara melafalkan Alquran walaupun sama-sama berasal dari
satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang
dapat ditangkap dari definisi- definisi di atas, yaitu:
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
4
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
4
1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Alquran yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat Alquran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi Muhammad. Jadi, bersifat tauqifi bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i'rab, i
tsbat, fashl, dan washl.
Istimbath Hukum
Menurut Hasbiyallah (2013: 45), kata “istimbath" secara istilah yaitu upaya
menarik hukum dari Alquran dan as-Sunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar
metode istimbath dibagi menjadi tiga bagian, yang: pertama, segi kebahasaan, kedua,
segi maqashid (tujuan) syari'at, dan ketiga, penyelesaian dalil yang bertentangan.
Setiap istimbath dalam syari'at harus berpijak kepada Alquran dan as-Sunnah oleh
karena itu, dalil- dalil syara' ada dua macam, yaitu nash (textual) dan ghairu nash (non
textual). Dan dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan,
pada hakikatnya digali dan bersumber dan perpedoman pada nash. Oleh karena itu,
metodologi istimbath hukum Islam adalah ilmu tentang metode-metode penggalian
hukum Islam dari dalil-dalil nash, yang merupakan sumber hukum Islam.
Di samping itu, sudah sepatutnya seorang ahli hukum (faqih) mengetahui proses
tersebut dengan cara penggalian hukum-hukum (thuruq al-istimbath) nash. Untuk
kepentingan tersebut ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya. Sehingga tidak
aneh ketika istimbath dijadikan acuan pertama kali dalam ilmu usul fiqih yaitu pada
penjabaran lafadz- lafadz nash agar ditetapkan metodenya.
Dalam penjabaran lafadz-lafadz dan adillah (dalil-dalil ) menurut Abu Zahrah
(2014: 178), ketika Aristoteles menyusun ilmu mantiq (logika), ia banyak
menitikberatkan pada pembahasan tentang macam-macam bentuk bukti (burhan) dan
penjabaran lafadz (penggunaan kosa kata) supaya bukti itu benar. Ia menyajikan
pembahasan tentang pengertian bentuk tasawwur, tashdiq, ta'rif had dan burhan.
Kemudian analogi dan bentuk-bentuknya dalam metodologi lafziyah. Hal ini
disebabkan, bahwa sesungguhnya penjabaran tentang tujuan-tujuan itu selalu didasarkan
pada penjelasan lafadz-lafadz nash dan sasarannya adalah dalalah-nya (kalimat yang
menunjukkan pada sesuatu hal).
5
1. Bentuk Bentuk Istimbath Hukum
Dalam memahami teks Alquran dan as-Sunnah, para ulama menyusun semantik
(bagian dari ilmu yang mempelajari tentang makna kata) untuk keperluan istimbath
hukum. Oleh karena itu, dalam mengkaji ilmu ushul fiqih para ushuliyyun (orang-orang
yang pakar pada bidang ilmu ushul fiqih ) membagi menjadi;
a. Metode bayani
Dalam khasanah ilmu ushul fiqih, metode ini sering disebut dengan al-qawa'id al-
ushuliyyah al-lughawiyyah atau dalalat al-lafadz. Inilah yang sering disebut dengan
metode bayani, yaitu metode istimbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan
dalam nash dan susunannya kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai
sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Arab.
Metode bayani menurut Hasbi Umar (2007: 66) adalah kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk
melakukan pemahaman terhadap makna lafadz, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi
kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa, syi'ir maupun nadzam.
b. Metode Ta'liliy
Metode ta'liliy yakni analisa hukum dengan melihat kesamaan illat (motif) atau
nilai-nilai substansial dari persoalan aktual tersebut dengan kejadian yang telah
diungkapkan oleh nash. Metodologi yang dikembangkan oleh para ulama dalam corak
analisa tersebut adalah qiyas dan istihsan.
B. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Sebagai suatu penelitian salah satu cabang ilmu yang erat kaitanya dengan sumber
hukum syar'i yaitu Qira'at Al-Qur'an, dilihat dari segi jenis, sifat dan tujuannya maka
penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat pendapat
ulama yang pakar dalam bidang Ilmu Qira'at.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer adalah: 1) Alquran al-karim, 2) Sunah Nabi, 3) Kitab-kitab
Tafsir dari ulama-ulama termashur dan pakar di bidangnya, 4) Kitab-kitab tajwid
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
5
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
4
1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Alquran yang dilakukan salah
seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat Alquran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung
kepada Nabi Muhammad. Jadi, bersifat tauqifi bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i'rab, i
tsbat, fashl, dan washl.
Istimbath Hukum
Menurut Hasbiyallah (2013: 45), kata “istimbath" secara istilah yaitu upaya
menarik hukum dari Alquran dan as-Sunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar
metode istimbath dibagi menjadi tiga bagian, yang: pertama, segi kebahasaan, kedua,
segi maqashid (tujuan) syari'at, dan ketiga, penyelesaian dalil yang bertentangan.
Setiap istimbath dalam syari'at harus berpijak kepada Alquran dan as-Sunnah oleh
karena itu, dalil- dalil syara' ada dua macam, yaitu nash (textual) dan ghairu nash (non
textual). Dan dalil yang tidak termasuk dalam kategori nash seperti qiyas dan istihsan,
pada hakikatnya digali dan bersumber dan perpedoman pada nash. Oleh karena itu,
metodologi istimbath hukum Islam adalah ilmu tentang metode-metode penggalian
hukum Islam dari dalil-dalil nash, yang merupakan sumber hukum Islam.
Di samping itu, sudah sepatutnya seorang ahli hukum (faqih) mengetahui proses
tersebut dengan cara penggalian hukum-hukum (thuruq al-istimbath) nash. Untuk
kepentingan tersebut ilmu ushul fiqih telah menetapkan metodologinya. Sehingga tidak
aneh ketika istimbath dijadikan acuan pertama kali dalam ilmu usul fiqih yaitu pada
penjabaran lafadz- lafadz nash agar ditetapkan metodenya.
Dalam penjabaran lafadz-lafadz dan adillah (dalil-dalil ) menurut Abu Zahrah
(2014: 178), ketika Aristoteles menyusun ilmu mantiq (logika), ia banyak
menitikberatkan pada pembahasan tentang macam-macam bentuk bukti (burhan) dan
penjabaran lafadz (penggunaan kosa kata) supaya bukti itu benar. Ia menyajikan
pembahasan tentang pengertian bentuk tasawwur, tashdiq, ta'rif had dan burhan.
Kemudian analogi dan bentuk-bentuknya dalam metodologi lafziyah. Hal ini
disebabkan, bahwa sesungguhnya penjabaran tentang tujuan-tujuan itu selalu didasarkan
pada penjelasan lafadz-lafadz nash dan sasarannya adalah dalalah-nya (kalimat yang
menunjukkan pada sesuatu hal).
5
1. Bentuk Bentuk Istimbath Hukum
Dalam memahami teks Alquran dan as-Sunnah, para ulama menyusun semantik
(bagian dari ilmu yang mempelajari tentang makna kata) untuk keperluan istimbath
hukum. Oleh karena itu, dalam mengkaji ilmu ushul fiqih para ushuliyyun (orang-orang
yang pakar pada bidang ilmu ushul fiqih ) membagi menjadi;
a. Metode bayani
Dalam khasanah ilmu ushul fiqih, metode ini sering disebut dengan al-qawa'id al-
ushuliyyah al-lughawiyyah atau dalalat al-lafadz. Inilah yang sering disebut dengan
metode bayani, yaitu metode istimbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan
dalam nash dan susunannya kalimatnya sendiri. Sehingga kaidah-kaidah yang dipakai
sebagaimana yang digunakan oleh ulama pakar bahasa Arab.
Metode bayani menurut Hasbi Umar (2007: 66) adalah kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk
melakukan pemahaman terhadap makna lafadz, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi
kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa, syi'ir maupun nadzam.
b. Metode Ta'liliy
Metode ta'liliy yakni analisa hukum dengan melihat kesamaan illat (motif) atau
nilai-nilai substansial dari persoalan aktual tersebut dengan kejadian yang telah
diungkapkan oleh nash. Metodologi yang dikembangkan oleh para ulama dalam corak
analisa tersebut adalah qiyas dan istihsan.
B. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Sebagai suatu penelitian salah satu cabang ilmu yang erat kaitanya dengan sumber
hukum syar'i yaitu Qira'at Al-Qur'an, dilihat dari segi jenis, sifat dan tujuannya maka
penelitian ini tergolong penelitian teoritis hukum. Oleh karena itu, penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada dalil-dalil Qur'an hadits dan pendapat pendapat
ulama yang pakar dalam bidang Ilmu Qira'at.
2. Sumber Data
a. Sumber data primer adalah: 1) Alquran al-karim, 2) Sunah Nabi, 3) Kitab-kitab
Tafsir dari ulama-ulama termashur dan pakar di bidangnya, 4) Kitab-kitab tajwid
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
6
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
6
dan ilmu yang berkaitan dengan makharijul huruf, 5) Merujuk pada perkataan dan
bacaan imam-imam qurra'.
b. Sumber data sekunder. 1) Kitab ulumul qur'an, 2) Kitab ulumul hadits, 3) Kitab
ilmu qira'at, 4) Kitab ilmu ushul fiqh, 5) Kitab Ilmu Nahwu dan Sharf, dan 6)
Kitab asbab nuzul al-Qur'an.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi
dengan langkah langkah sebagai berikut: Pertama-tama mengumpulkan seluruh
dokumentasi yang bersumber dari Qur'an dan hadist serta pendapat para ulama yang
pakar dalam bidangnya. Kemudian ditelaah dan dikaji serta dihubungkan dengan
permasalahaan penelitian. Selanjutnya menafsirkan dan menyimpulkan teks-teks yang
terkandung di dalam Alquran dan Hadits serta karangan ulama yang terkait dengan
cabang ilmu yang sedang penulis kaji dengan metode penafsiran, yaitu gramatikal,
ekstensi, sistematis dan/atau analogis.
4. Tek Analisis Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya proses analisis dimulai dengan menguraikan
data sebagai penjelasan jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian.
Proses analisis data tidak sekadar untuk menemukan makna yang lebih luas, atau
pemaknaan data, melainkan juga membuat rumusan implikasi dari hasil penelitian
dengan jalan mengadakan analogi dan interpretasi.
Analogi digunakan untuk menjelaskan bahan-bahan teori tertulis yang merupakan
jawaban atas permasalahan pokok yang menjadi objek kajian, dan dilakukan dengan
cara menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum qira'at (pengertian dasar dan kaidah
hukum ) mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu qira'at dan dampak dalam sumber hukum
fiqih. Adapun untuk menjelaskan bahan bahan hukum terapan (empiris) sebagai suatu
jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian, maka analogi dilakukan
dengan menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum (pengertian dasar dan kaidah hukum)
aturan perjanjian berdasarkan hukum dalam ilmu qira'at. Sedangkan interpretasi
dilakukan dengan mengadakan penafsiran terhadap fakta hukum objektif terhadap
7
qira'at dan fikih, yakni dengan melakukan pemaknaan atas kontruksi hukum yang
dilakukan dalam sistem operasional kegiatan usaha penggalian dan pendalaman hukum
qira'at dan fikih.
C. Hasil dan Pembahasan
Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh perbedaan istimbath hukum fiqih
yang dilandasi oleh adanya perbedaan dalam qira'at.
1. Membasuh Kaki Dalam Berwudlu
Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:
إل الكعب ي وأرجلكمفاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل المرافق وامسحوا برءوسكم "Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,"
Ulama berbeda pendapat tentang hokum membasuh kaki ketika berwudlu,
terjadinya perbedaan memahami hukum karena ada perbedaan dalam melafalkan (qira'at)
huruf lam pada kata وأسجهكى sebagai berikut:
a. Menurut Abu Ja'far, Abu Amru, Ibnu Katsir, dan Ashim menurut riwayat dari jalur
Abu Bakar dan Hamzah dan Khalaf huruf lam pada lafal tersebut dibaca dengan
khafadz ( كىوأسجه ).
b. Nafi', Ibnu Umar dan Ashim dari riwayat Hafs, al-Kisa'i dan Ya'qub membaca
dengan nashab laam ( كىوأسجه ). Qira'at ini di riwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas .
Berdasarkan perbedaan tersebut maka terjadilah perbedaan pandangan di antara
para fuqahah, setidaknya menjadi dua kelompok Mazhab. Yaitu;
a. Mazhab pertama adalah mayoritas ulama) dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,
Asyafi'iyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat dari ayat di atas maksudnya adalah
membasuh bukan mengusap.
b. Mazhab kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa wajib mengusap bukan
membasuh, mereka adalah dari golongan Rafidhah,
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
7
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
6
dan ilmu yang berkaitan dengan makharijul huruf, 5) Merujuk pada perkataan dan
bacaan imam-imam qurra'.
b. Sumber data sekunder. 1) Kitab ulumul qur'an, 2) Kitab ulumul hadits, 3) Kitab
ilmu qira'at, 4) Kitab ilmu ushul fiqh, 5) Kitab Ilmu Nahwu dan Sharf, dan 6)
Kitab asbab nuzul al-Qur'an.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi
dengan langkah langkah sebagai berikut: Pertama-tama mengumpulkan seluruh
dokumentasi yang bersumber dari Qur'an dan hadist serta pendapat para ulama yang
pakar dalam bidangnya. Kemudian ditelaah dan dikaji serta dihubungkan dengan
permasalahaan penelitian. Selanjutnya menafsirkan dan menyimpulkan teks-teks yang
terkandung di dalam Alquran dan Hadits serta karangan ulama yang terkait dengan
cabang ilmu yang sedang penulis kaji dengan metode penafsiran, yaitu gramatikal,
ekstensi, sistematis dan/atau analogis.
4. Tek Analisis Data
Setelah data terkumpul, selanjutnya proses analisis dimulai dengan menguraikan
data sebagai penjelasan jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian.
Proses analisis data tidak sekadar untuk menemukan makna yang lebih luas, atau
pemaknaan data, melainkan juga membuat rumusan implikasi dari hasil penelitian
dengan jalan mengadakan analogi dan interpretasi.
Analogi digunakan untuk menjelaskan bahan-bahan teori tertulis yang merupakan
jawaban atas permasalahan pokok yang menjadi objek kajian, dan dilakukan dengan
cara menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum qira'at (pengertian dasar dan kaidah
hukum ) mengenai prinsip-prinsip dalam ilmu qira'at dan dampak dalam sumber hukum
fiqih. Adapun untuk menjelaskan bahan bahan hukum terapan (empiris) sebagai suatu
jawaban atas permasalah pokok yang menjadi objek kajian, maka analogi dilakukan
dengan menghubungkan konsepsi-konsepsi hukum (pengertian dasar dan kaidah hukum)
aturan perjanjian berdasarkan hukum dalam ilmu qira'at. Sedangkan interpretasi
dilakukan dengan mengadakan penafsiran terhadap fakta hukum objektif terhadap
7
qira'at dan fikih, yakni dengan melakukan pemaknaan atas kontruksi hukum yang
dilakukan dalam sistem operasional kegiatan usaha penggalian dan pendalaman hukum
qira'at dan fikih.
C. Hasil dan Pembahasan
Berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh perbedaan istimbath hukum fiqih
yang dilandasi oleh adanya perbedaan dalam qira'at.
1. Membasuh Kaki Dalam Berwudlu
Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:
إل الكعب ي وأرجلكمفاغسلوا وجوهكم وأيديكم إل المرافق وامسحوا برءوسكم "Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,"
Ulama berbeda pendapat tentang hokum membasuh kaki ketika berwudlu,
terjadinya perbedaan memahami hukum karena ada perbedaan dalam melafalkan (qira'at)
huruf lam pada kata وأسجهكى sebagai berikut:
a. Menurut Abu Ja'far, Abu Amru, Ibnu Katsir, dan Ashim menurut riwayat dari jalur
Abu Bakar dan Hamzah dan Khalaf huruf lam pada lafal tersebut dibaca dengan
khafadz ( كىوأسجه ).
b. Nafi', Ibnu Umar dan Ashim dari riwayat Hafs, al-Kisa'i dan Ya'qub membaca
dengan nashab laam ( كىوأسجه ). Qira'at ini di riwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas .
Berdasarkan perbedaan tersebut maka terjadilah perbedaan pandangan di antara
para fuqahah, setidaknya menjadi dua kelompok Mazhab. Yaitu;
a. Mazhab pertama adalah mayoritas ulama) dari Mazhab Hanafiyah, Malikiyah,
Asyafi'iyah dan Hanabilah. Mereka berpendapat dari ayat di atas maksudnya adalah
membasuh bukan mengusap.
b. Mazhab kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa wajib mengusap bukan
membasuh, mereka adalah dari golongan Rafidhah,
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
8
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
8
Penulis mendukung pendapat mayoritas ulama karena memiliki dasar dalil yang
setidaknya menurut pengamatan kami lebih kuat baik dari sunah fi'liyah (perbuatan)
Nabi Shalallahu alahi Wassalam. Ulama bahasa dan ulama fiqih telah sepakat dan tidak
menyangkal bahwa kalimat masaha (يسخ) bermakna al-ghaslu (انغسم) akan tetapi qira'at
dengan bacaan rafa' pada kalimat (وأسجهكى) mendukung pada qira'at (bacaan) nashab
mewajibkan untuk membasuh kaki dalam wudlu.
2. Bersentuhan Dengan Wanita Dalam Berwudlu
Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:
روا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أ و وإن كنتم جنبا فاطهموا صعيدا طيبا لمستم / لمستم دوا ماء ف ت يم النساء ف لم ت
Jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).
Ayat Al-Maidah ayat 6 ini telah terjadi perbedaan bacaan antara para Qurra' dalam
membaca nash Alquran, sehingga menimbulkan berbedaan dalam memahami hukum
batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan lawan jenis (lelaki dengan wanita atau
bersentuhannya wanita dengan lelaki). Perbedaan bacaan ini terjadi pada qira'at
mutawatir, ada dua qira'at yang berbeda dalam membaca nash Qur'an pada ayat ini.
a. Qira'at Kufi. Mereka adalah, Hamzah, Kasa'i, Al-A'mas, Khalaf dan Yahya ibnu
Tsabit mereka membaca dalam ayat tersebut dengan ( ستم .( ل م b. Qira'at ahlu Hijaz. Mereka di antaranya adalah, Ashim dan Abu Amr ibnu al-A'la
mereka membaca dengan tambahan huruf alif (ستم م . (ل
Dari dua bacaan qira'at tersebut adalah bacaan yang telah disepakati oleh jumhur
ulama bahwa qira'at tersebut adalah bacaan yang mutawatir. Ulama fiqih berbeda
pendapat tentang maksud dari kata tersebut lams (نس). Sebagian ulama berpendapat
bahwa lams bermakna jima' ; maka bersentuhan dengan wanita bagi orang yang sudah
memiliki wudlu tidak batal, kemudian di antara ulama ada yang berpendapat bahwa
lelaki menyentuh wanita membatal kan wudlu, dengan keterangan lebih lanjut sebagai
berikut.
9
a. Mazhab pertama membaca dengan (ستم م Mereka adalah dari golongan Hanafiyah .(ل
yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu secara mutlaq
kecuali berhubungan intim. Tambahan alif (ا) pada kalimat tersebut adalah masuk
dalam bab al-mufa'alah (انفاعهة) yang menunjukan makna “saling" antara dua orang
yang saling menyentuh dan secara zahir kata lams tersebut bermakna jima, karena
ada dua oknum yang saling memberi aksi dan reaksi.
b. Mazhab kedua. Pendapat ini adalah Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah. Selain
dari mazhab syafi'iyah pendapat ini juga dikuat kan oleh Imam Ahmad, beliau
berkata "دال بكم يقض انس sesungguhnya bersentuhan (dengan wanita) "أ
membatalkan wudlu dengan semua kondisi. Pendapat ini sebagaimana dikuatkan
pula oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Az-zuhri dan Rabi'ah (Al-Arabi.2003. vol 2: 564 )
c. Mazhab ketiga. Pendapat dari Imam Malik, Hanafiyah, Alaqamah, Abi Ubaid, An-
Nakha'i, Hakim, Himad, Atsaury, Ishaq mereka berpendapat bahwa apabila sesorang
yang telah memiliki wudlu kemudian bersentuhan dengan lawan jenis dengan
maksud karena untuk mendapatkan sesuatu (kenikmatan bersentuhan) maka
hendaknya dia mengulangi wudlunya kembali.
d. Mazhab Keempat, ini adalah pendapat dari Imam Awza'i. Dari pendapat ini
mengatakan bahwa jika menyentuh dengan tangan maka akan membatalkan wudlu
namun jika menyentuh tidak dengan tangan tapi dengan anggota tubuh yang lain
maka tidak membatalkan wudlu. Dalilnya adalah firman Allah Q.S. al-An'am ayat
tujuh yang maknanya menyentuh dengan tangan.
Dari pendapat para kibar ulama fiqih dan qira'at qur'an yang telah menampilkan
dalil dari Qur'an dan Sunah Nabi maka dari perselisihan dan ikthtilaf hukum diatas;
maka penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan dalil-dalil yang bersumber
dari Alquran dan Hadits serta pendapat para Sahabat dan Ulama-Ulama Fiqih dan
Qira'at Qur'an maka penulis berpendapat bahwa pendapat dari Imam Malik adalah
pendapat yang paling kuat (rajih) dibanding pendapat-pendapat lain, pendapat lebih
mengambil jalan tengah (wasathan). Adapun pendapat dari ulama lain seperti Abu
Hanafi dan Hanafiyah memiliki kecenderungan memudahkan (tasahhul) dalam masalah
ini sehingga makna lamasa menjadi muthlaq tidak membatalkan wudlu dan pendapat
Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah dalam masalah ini pendapatnya terlalu keras
(tasyaddud) sehingga menjadikan semua sentuhan membatalkan wudlu.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
9
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
8
Penulis mendukung pendapat mayoritas ulama karena memiliki dasar dalil yang
setidaknya menurut pengamatan kami lebih kuat baik dari sunah fi'liyah (perbuatan)
Nabi Shalallahu alahi Wassalam. Ulama bahasa dan ulama fiqih telah sepakat dan tidak
menyangkal bahwa kalimat masaha (يسخ) bermakna al-ghaslu (انغسم) akan tetapi qira'at
dengan bacaan rafa' pada kalimat (وأسجهكى) mendukung pada qira'at (bacaan) nashab
mewajibkan untuk membasuh kaki dalam wudlu.
2. Bersentuhan Dengan Wanita Dalam Berwudlu
Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Maidah ayat 6:
روا وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أ و وإن كنتم جنبا فاطهموا صعيدا طيبا لمستم / لمستم دوا ماء ف ت يم النساء ف لم ت
Jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).
Ayat Al-Maidah ayat 6 ini telah terjadi perbedaan bacaan antara para Qurra' dalam
membaca nash Alquran, sehingga menimbulkan berbedaan dalam memahami hukum
batalnya wudlu ketika bersentuhan dengan lawan jenis (lelaki dengan wanita atau
bersentuhannya wanita dengan lelaki). Perbedaan bacaan ini terjadi pada qira'at
mutawatir, ada dua qira'at yang berbeda dalam membaca nash Qur'an pada ayat ini.
a. Qira'at Kufi. Mereka adalah, Hamzah, Kasa'i, Al-A'mas, Khalaf dan Yahya ibnu
Tsabit mereka membaca dalam ayat tersebut dengan ( ستم .( ل م b. Qira'at ahlu Hijaz. Mereka di antaranya adalah, Ashim dan Abu Amr ibnu al-A'la
mereka membaca dengan tambahan huruf alif (ستم م . (ل
Dari dua bacaan qira'at tersebut adalah bacaan yang telah disepakati oleh jumhur
ulama bahwa qira'at tersebut adalah bacaan yang mutawatir. Ulama fiqih berbeda
pendapat tentang maksud dari kata tersebut lams (نس). Sebagian ulama berpendapat
bahwa lams bermakna jima' ; maka bersentuhan dengan wanita bagi orang yang sudah
memiliki wudlu tidak batal, kemudian di antara ulama ada yang berpendapat bahwa
lelaki menyentuh wanita membatal kan wudlu, dengan keterangan lebih lanjut sebagai
berikut.
9
a. Mazhab pertama membaca dengan (ستم م Mereka adalah dari golongan Hanafiyah .(ل
yang berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu secara mutlaq
kecuali berhubungan intim. Tambahan alif (ا) pada kalimat tersebut adalah masuk
dalam bab al-mufa'alah (انفاعهة) yang menunjukan makna “saling" antara dua orang
yang saling menyentuh dan secara zahir kata lams tersebut bermakna jima, karena
ada dua oknum yang saling memberi aksi dan reaksi.
b. Mazhab kedua. Pendapat ini adalah Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah. Selain
dari mazhab syafi'iyah pendapat ini juga dikuat kan oleh Imam Ahmad, beliau
berkata "دال بكم يقض انس sesungguhnya bersentuhan (dengan wanita) "أ
membatalkan wudlu dengan semua kondisi. Pendapat ini sebagaimana dikuatkan
pula oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Az-zuhri dan Rabi'ah (Al-Arabi.2003. vol 2: 564 )
c. Mazhab ketiga. Pendapat dari Imam Malik, Hanafiyah, Alaqamah, Abi Ubaid, An-
Nakha'i, Hakim, Himad, Atsaury, Ishaq mereka berpendapat bahwa apabila sesorang
yang telah memiliki wudlu kemudian bersentuhan dengan lawan jenis dengan
maksud karena untuk mendapatkan sesuatu (kenikmatan bersentuhan) maka
hendaknya dia mengulangi wudlunya kembali.
d. Mazhab Keempat, ini adalah pendapat dari Imam Awza'i. Dari pendapat ini
mengatakan bahwa jika menyentuh dengan tangan maka akan membatalkan wudlu
namun jika menyentuh tidak dengan tangan tapi dengan anggota tubuh yang lain
maka tidak membatalkan wudlu. Dalilnya adalah firman Allah Q.S. al-An'am ayat
tujuh yang maknanya menyentuh dengan tangan.
Dari pendapat para kibar ulama fiqih dan qira'at qur'an yang telah menampilkan
dalil dari Qur'an dan Sunah Nabi maka dari perselisihan dan ikthtilaf hukum diatas;
maka penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan dalil-dalil yang bersumber
dari Alquran dan Hadits serta pendapat para Sahabat dan Ulama-Ulama Fiqih dan
Qira'at Qur'an maka penulis berpendapat bahwa pendapat dari Imam Malik adalah
pendapat yang paling kuat (rajih) dibanding pendapat-pendapat lain, pendapat lebih
mengambil jalan tengah (wasathan). Adapun pendapat dari ulama lain seperti Abu
Hanafi dan Hanafiyah memiliki kecenderungan memudahkan (tasahhul) dalam masalah
ini sehingga makna lamasa menjadi muthlaq tidak membatalkan wudlu dan pendapat
Imam Syafi'i dan mayoritas Syafi'iyah dalam masalah ini pendapatnya terlalu keras
(tasyaddud) sehingga menjadikan semua sentuhan membatalkan wudlu.
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
10
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
10
3. Dua Raka’at dalam Thawaf
Allah berfirman pada Q.S. Al-Baqarah ayat 125
من مقام إب راهيم مصلى واواتخذللناس وأمنا وإذ جعلنا الب يت مثابة
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan ......... sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat."
Ayat di atas berbicara tentang shalat di belakang maqam Ibrahim, dan terdapat
dua qira'at yang mutawatir dan syah secara hukum bacaan atas legimitasi dari Nabi,
Sahabat dan hukum riwayat oleh tabi'in dan orang-orang setelahnya. Kedua bacaan
tersebut adalah;
a. Bacaan Ibnu Katsir, Abu Amru, Ashim, Hamzah dan Kasa'i pada kalimat (واتخزوا)
dengan kasrah kha ( او ز خ ات و ) dengan sighah amr (perintah)
b. Bacaan Nafi, Ibnu Amru dengan fatha kha ( او ز خ ات و ) pada kalimat tersebut, dengan fi'il
madhin.
Atas perbedaan bacaan ini maka timbul perbedaan hukum fiqih yang terjadi di
antara para ulama fiqih dalam menentukan hukum. Bagi yang membaca dengan sighah
amr (formula perintah) maka shalat dua rakaat ketika thawaf hukumnya wajib, dan bagi
pendapat yang memegang shighah khabariyah (formula khabar/berita) maka hukum
shalat dua rakaat sebelum thawaf tidak wajib.
Pendapat pertama diambil oleh golongan Hanafiyah, beliau berpendapat bahwa
dua raka'at saat thawaf baik itu thawaf sunah maupun thawaf fardhu. Adapun pendapat
yang kedua meruapkan pendapat salah satu pendapat Hanabilah, dan pendapat salah
satu Ulama Syafi'iyah, dan sebagian Malikiyah bahwa thawaf adalah bagian dari rukun.
Setelah memperhatikan pendapat para Ulama melalui pengamatan panjang dari
dalil- dalil Qur'an, Hadist dan pendapat para Ulama-ulama pendukung Mazhab maka
penulis berpendapat bahwasanya hukum shalat dua rakaat setelah tawaf di maqam
Ibrahim adalah wajib, sementara shalat dua rakaat di maqam Ibrahim selain itu
hukumnya sunah. Pendapat ini merupakan sebuah usaha untuk mengambil jalan tengah
(inshaf) dalam fiqih.
11
4. Pengganti Puasa
Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 184:
ة من أيام أخر وعلى الذين يط ه يقون أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدر لكم إن كنتم ت علمون مسكين طعامفدية ر له وأن تصوموا خي را ف هو خي فمن تطوع خي
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) ……… memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Pembicaraan ayat ini adalah tentang fidyah atau pengganti puasa yang diwajibkan
bagi orang yang terkena kewajiban (taklif) namun ia meninggalkannya karena ada
sebab-sebab yang syar'i. Perdebatan antar para ulama fiqih berkaitan dengan nasikh dan
mansukh ayat tersebut.
Ragam qira'at yang mutawatir dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:
a. Ja'far, Nafi, Ibnu Zakwan, Ibnu Amir mereka membaca ة ي ذ ف tanpamenggunakan
tanwin, kemudian kata ( او ع ط ) dibaca kasrah (jarr) karna idhafah. Sedangkan kata
ي ك س ي dengan jamak (plural) fathah nun tanpa tanwin. Ketika dibaca idhafah
(disandarkan) maka makna fidyah puasa tersebut hanya dibatasi makanan pokok saja,
karena sesungguhnya kata fidyah sangat luas bisa bermakna makanan pokok saja
juga bisa bermakna makanan-makanan yang lainnya.
b. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim, Hamzah, Kisa'iy, Ya'kub, Khalaf membaca ي ة ف ذ
dengan tanwin, kata ط ع او dibaca dengan rafa '(dhammah), ك ي س .tunggal (singular) ي
Adapun qira'at dengan dibaca tanwin (فذيةطعاو) menunjukan bahwa makanan (tha'am)
sebagai pengganti fidyah; Allah Subhanahu Wata'alah hendak menjelaskan
bahwasanya fidyah bisa berupa apa saja tidak terbatas dengan makanan saja.
c. Hisyam dari Ibnu Amir membaca ي ة يساكيdibaca rafa', kata ط ع او ,dengan tanwin ف ذ
dibaca jama (plural). Bacaan kata masakin (يساكي) dalam bentuk jamak
menunjukkan bahwa orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin juga
bermakna plural (jamak) sebagaimana tersirat dalam ungkapan (انزي). Dengan
demikian, kalimat tersebut bermakna bahwa orang yang memberi makan kepada
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
11
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
10
3. Dua Raka’at dalam Thawaf
Allah berfirman pada Q.S. Al-Baqarah ayat 125
من مقام إب راهيم مصلى واواتخذللناس وأمنا وإذ جعلنا الب يت مثابة
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan ......... sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat."
Ayat di atas berbicara tentang shalat di belakang maqam Ibrahim, dan terdapat
dua qira'at yang mutawatir dan syah secara hukum bacaan atas legimitasi dari Nabi,
Sahabat dan hukum riwayat oleh tabi'in dan orang-orang setelahnya. Kedua bacaan
tersebut adalah;
a. Bacaan Ibnu Katsir, Abu Amru, Ashim, Hamzah dan Kasa'i pada kalimat (واتخزوا)
dengan kasrah kha ( او ز خ ات و ) dengan sighah amr (perintah)
b. Bacaan Nafi, Ibnu Amru dengan fatha kha ( او ز خ ات و ) pada kalimat tersebut, dengan fi'il
madhin.
Atas perbedaan bacaan ini maka timbul perbedaan hukum fiqih yang terjadi di
antara para ulama fiqih dalam menentukan hukum. Bagi yang membaca dengan sighah
amr (formula perintah) maka shalat dua rakaat ketika thawaf hukumnya wajib, dan bagi
pendapat yang memegang shighah khabariyah (formula khabar/berita) maka hukum
shalat dua rakaat sebelum thawaf tidak wajib.
Pendapat pertama diambil oleh golongan Hanafiyah, beliau berpendapat bahwa
dua raka'at saat thawaf baik itu thawaf sunah maupun thawaf fardhu. Adapun pendapat
yang kedua meruapkan pendapat salah satu pendapat Hanabilah, dan pendapat salah
satu Ulama Syafi'iyah, dan sebagian Malikiyah bahwa thawaf adalah bagian dari rukun.
Setelah memperhatikan pendapat para Ulama melalui pengamatan panjang dari
dalil- dalil Qur'an, Hadist dan pendapat para Ulama-ulama pendukung Mazhab maka
penulis berpendapat bahwasanya hukum shalat dua rakaat setelah tawaf di maqam
Ibrahim adalah wajib, sementara shalat dua rakaat di maqam Ibrahim selain itu
hukumnya sunah. Pendapat ini merupakan sebuah usaha untuk mengambil jalan tengah
(inshaf) dalam fiqih.
11
4. Pengganti Puasa
Allah berfirman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 184:
ة من أيام أخر وعلى الذين يط ه يقون أياما معدودات فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدر لكم إن كنتم ت علمون مسكين طعامفدية ر له وأن تصوموا خي را ف هو خي فمن تطوع خي
(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) ……… memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Pembicaraan ayat ini adalah tentang fidyah atau pengganti puasa yang diwajibkan
bagi orang yang terkena kewajiban (taklif) namun ia meninggalkannya karena ada
sebab-sebab yang syar'i. Perdebatan antar para ulama fiqih berkaitan dengan nasikh dan
mansukh ayat tersebut.
Ragam qira'at yang mutawatir dalam surat al-Baqarah ayat 184 sebagai berikut:
a. Ja'far, Nafi, Ibnu Zakwan, Ibnu Amir mereka membaca ة ي ذ ف tanpamenggunakan
tanwin, kemudian kata ( او ع ط ) dibaca kasrah (jarr) karna idhafah. Sedangkan kata
ي ك س ي dengan jamak (plural) fathah nun tanpa tanwin. Ketika dibaca idhafah
(disandarkan) maka makna fidyah puasa tersebut hanya dibatasi makanan pokok saja,
karena sesungguhnya kata fidyah sangat luas bisa bermakna makanan pokok saja
juga bisa bermakna makanan-makanan yang lainnya.
b. Ibnu Katsir, Abu Amr, Ashim, Hamzah, Kisa'iy, Ya'kub, Khalaf membaca ي ة ف ذ
dengan tanwin, kata ط ع او dibaca dengan rafa '(dhammah), ك ي س .tunggal (singular) ي
Adapun qira'at dengan dibaca tanwin (فذيةطعاو) menunjukan bahwa makanan (tha'am)
sebagai pengganti fidyah; Allah Subhanahu Wata'alah hendak menjelaskan
bahwasanya fidyah bisa berupa apa saja tidak terbatas dengan makanan saja.
c. Hisyam dari Ibnu Amir membaca ي ة يساكيdibaca rafa', kata ط ع او ,dengan tanwin ف ذ
dibaca jama (plural). Bacaan kata masakin (يساكي) dalam bentuk jamak
menunjukkan bahwa orang-orang yang memberi makan kepada orang miskin juga
bermakna plural (jamak) sebagaimana tersirat dalam ungkapan (انزي). Dengan
demikian, kalimat tersebut bermakna bahwa orang yang memberi makan kepada
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
12
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
12
orang miskin bisa memberikannya dengan cara setiap hari satu orang atau bisa juga
dengan jumlah tertentu pada satu hari sekaligus.
Berdasarkan pengamatan panjang dan silang pendapat antara ulama klasik
linguistik (bahasa) mengenai surat al-Baqarah ayat 184. Maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah, bahwa hukum bacaan
kalimat masakin (يساكي) dengan jamak (plural) dan tunggal. Karena di dalam bentuk
jamak menunjukkan orang miskin dalam ayat tersebut jumlahnya banyak (plural)
sedangkan dalam bentuk mufrad (singular) menunjukan keberadaan predikat masing-
masing orang miskin tersebut.
E. Pernikahan Sedarah
Allah berfirman dalam Alquran Q.S. Al-Nisa' ayat 24.
لكم ذ لكم ما وراء وأحل والمحصنات من النساء إل ما ملكت أيانكم كتاب الله عليكم
(Diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan ……… bagi kamu selain yang demikian.
Pembahasan ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش (د
mengenai klasifikasi mahram yang kemudian menjadi halal untuk dinikahi setelah
disebutkan ayat ى ن ك ر اء س او م pada kalimat ي ;ada dua qira'at (uhilla) أ د
1. Qira'at Hamzah, Kasa'i, Ashim dalam riwayat Hafs. Kalimat م د وأ dengan hamzah di
dhammah dan ha' (ح)-nya di kasrah, sebagai jawaban dari firman Allah dari ت ي ش د
ى ه ي ك م Kata .ع .adalah fi'il mabni majhul dan ma adalah ism mausul naib fai'il أ د
Qira'at ini sesuai dengan kalimat ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش maka sesuai antara awal (د
kalimat dan sesuai tidak bertentangan, sehingga dikatakan haramnya dengan hal
dan halalnya dengan hal yang jelas.
2. Qira'at yang lain membaca kalimat ( م د أ ) dengan hamzah di-fathah-kan. Kata itu
adalah jawaban atas kalimat ى ه ي ك الله ع .berdasarkan predikat sebagai fa'il (subjek) ك ت اب
Dan fa'il (subjek) dhamir-nya kembali kepada lafadz Allah (الله). Dan (يا) adalah ism
mausul (kata sambung) sekaligus sebagai objek (maf'ul bih). Dan hanya Allah yang
berhak mengharamkan atau menghalalkan. Berdasarkan qira'at dengan fathah ( م د أ )
maka diharamkan atas wanita kecuali yang telah disebutkan dalam ayat di atas. Ini
13
pendapat Rafidhah dan Khawarij, mereka berpegang kepada keumuman ayat (وأدم
او ي ى ى ن ك رن ك اء س ).
Setelah memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing firqah,
penulis berpendapat bahwa istidlal jumhur yang paling kuat (rajih) karena haram
hukumnya menikahkan seorang perempuan dengan saudara laki-laki dari ibunya dan
saudara laki-laki dari saudara ayahnya, hal demikian telah dijelaskan dalam hadits Nabi
Shalallahu alahi Wassalam. Ibrah dari pengharaman tersebut menurut jumhur ulama
adalah menghindari terputusnya tali silaturahim saudara dan senasab.
6. Hukum Zina Bagi Budak Wanita Yang Telah Menikah
Allah berfirman dalam Alquran Q.S. An-Nisa: 25
فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من العذاب أحصن فإذا
Apabila mereka ……, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
Ayat ini membicarakan tentang wanita yang berzina, terdapat dua qira'at yang
shahih secara riwayat tentang kata ( ص .pada surat Al-Nisa ayat 25 di atas (أد
a. Qira'at Ashim, Hamzah dan Kasa'i. membaca dengan fathah pada hamzah dan shad
( ص أ د )
b. Qira'at yang lain membaca dengan dhomah pada huruf hamzah dan kasrah pada huruf
shad ( ص أ د ).
Kalau dibaca dengan cara pertama, maka kata tersebut bermaka telah masuk Islam.
Dan kalau dibaca dengan cara kedua, maka kata tersebut bermakna wanita yang telah
bersuami. Berdasarkan dua bacaan tersebut para ulama berbeda pandangan terkait
kandungan ayat tersebut.
a. Pendapat Pertama. Mereka yang berpendapat bahwa seorang budak wanita muslimah
jika ia melakukan zina maka ia dicambuk setengah dari wanita yang merdeka, dan
dengan sebab ke-Islaman-nya dia terlindungi (dari zina). Dengan demikian jumhur
ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ص أ د
bermakna telah masuk Islam; karena orang kafir tidak dikenai had ketika ia berzina
sekalipun ia telah menikah.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
13
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
12
orang miskin bisa memberikannya dengan cara setiap hari satu orang atau bisa juga
dengan jumlah tertentu pada satu hari sekaligus.
Berdasarkan pengamatan panjang dan silang pendapat antara ulama klasik
linguistik (bahasa) mengenai surat al-Baqarah ayat 184. Maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah, bahwa hukum bacaan
kalimat masakin (يساكي) dengan jamak (plural) dan tunggal. Karena di dalam bentuk
jamak menunjukkan orang miskin dalam ayat tersebut jumlahnya banyak (plural)
sedangkan dalam bentuk mufrad (singular) menunjukan keberadaan predikat masing-
masing orang miskin tersebut.
E. Pernikahan Sedarah
Allah berfirman dalam Alquran Q.S. Al-Nisa' ayat 24.
لكم ذ لكم ما وراء وأحل والمحصنات من النساء إل ما ملكت أيانكم كتاب الله عليكم
(Diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan ……… bagi kamu selain yang demikian.
Pembahasan ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yaitu ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش (د
mengenai klasifikasi mahram yang kemudian menjadi halal untuk dinikahi setelah
disebutkan ayat ى ن ك ر اء س او م pada kalimat ي ;ada dua qira'at (uhilla) أ د
1. Qira'at Hamzah, Kasa'i, Ashim dalam riwayat Hafs. Kalimat م د وأ dengan hamzah di
dhammah dan ha' (ح)-nya di kasrah, sebagai jawaban dari firman Allah dari ت ي ش د
ى ه ي ك م Kata .ع .adalah fi'il mabni majhul dan ma adalah ism mausul naib fai'il أ د
Qira'at ini sesuai dengan kalimat ( ى ه ات ك أ ي ى ه ي ك ع ت ي ش maka sesuai antara awal (د
kalimat dan sesuai tidak bertentangan, sehingga dikatakan haramnya dengan hal
dan halalnya dengan hal yang jelas.
2. Qira'at yang lain membaca kalimat ( م د أ ) dengan hamzah di-fathah-kan. Kata itu
adalah jawaban atas kalimat ى ه ي ك الله ع .berdasarkan predikat sebagai fa'il (subjek) ك ت اب
Dan fa'il (subjek) dhamir-nya kembali kepada lafadz Allah (الله). Dan (يا) adalah ism
mausul (kata sambung) sekaligus sebagai objek (maf'ul bih). Dan hanya Allah yang
berhak mengharamkan atau menghalalkan. Berdasarkan qira'at dengan fathah ( م د أ )
maka diharamkan atas wanita kecuali yang telah disebutkan dalam ayat di atas. Ini
13
pendapat Rafidhah dan Khawarij, mereka berpegang kepada keumuman ayat (وأدم
او ي ى ى ن ك رن ك اء س ).
Setelah memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing firqah,
penulis berpendapat bahwa istidlal jumhur yang paling kuat (rajih) karena haram
hukumnya menikahkan seorang perempuan dengan saudara laki-laki dari ibunya dan
saudara laki-laki dari saudara ayahnya, hal demikian telah dijelaskan dalam hadits Nabi
Shalallahu alahi Wassalam. Ibrah dari pengharaman tersebut menurut jumhur ulama
adalah menghindari terputusnya tali silaturahim saudara dan senasab.
6. Hukum Zina Bagi Budak Wanita Yang Telah Menikah
Allah berfirman dalam Alquran Q.S. An-Nisa: 25
فإن أت ي بفاحشة ف عليهن نصف ما على المحصنات من العذاب أحصن فإذا
Apabila mereka ……, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
Ayat ini membicarakan tentang wanita yang berzina, terdapat dua qira'at yang
shahih secara riwayat tentang kata ( ص .pada surat Al-Nisa ayat 25 di atas (أد
a. Qira'at Ashim, Hamzah dan Kasa'i. membaca dengan fathah pada hamzah dan shad
( ص أ د )
b. Qira'at yang lain membaca dengan dhomah pada huruf hamzah dan kasrah pada huruf
shad ( ص أ د ).
Kalau dibaca dengan cara pertama, maka kata tersebut bermaka telah masuk Islam.
Dan kalau dibaca dengan cara kedua, maka kata tersebut bermakna wanita yang telah
bersuami. Berdasarkan dua bacaan tersebut para ulama berbeda pandangan terkait
kandungan ayat tersebut.
a. Pendapat Pertama. Mereka yang berpendapat bahwa seorang budak wanita muslimah
jika ia melakukan zina maka ia dicambuk setengah dari wanita yang merdeka, dan
dengan sebab ke-Islaman-nya dia terlindungi (dari zina). Dengan demikian jumhur
ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ص أ د
bermakna telah masuk Islam; karena orang kafir tidak dikenai had ketika ia berzina
sekalipun ia telah menikah.
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
14
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
14
b. Mazhab kedua adalah pendapat dari Sa'id bin Jubair, Hasan, Qatadah dan dia
diriwayatkan dari Ibnu Abas dan Abu al-Darda. Bahwasanya hamba sahaya wanita
yang telah menikah apabila berzina maka had-nya seperti seorang wanita yang
merdeka. Apabila seorang hamba sahaya muslimah yang belum menikah melakukan
zina, maka tidak ada had atasnya. Sementara jika hamba sahaya kafirah yang telah
menikah melakukan perzinahan maka berlaku had atasnya. Ini menurut pendapat
mereka.
c. Mazhab ketiga berpendapat bahwa sesungguhnya “ihshanu al-amah” (الأية (إدصا
adalah dengan pernikahan. Kecuali had tersebut wajib atas hamba sahaya muslimah
yang belum menikah. Hal tersebut terdapat dalah sunnah. Zahra mengatakan,
pendapat ketiga ini mirip dengan pendapat kedua. Tiada lain pendapat ini hendak
menggabungkan dua pendapat yang berbeda.
Setelah memperhatikan dalil-dalil dari Alquran dan Sunah serta pendapat para
sahabat dan kibar ulama maka penulis menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama
karena mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi al-ihshan (الإدصا)
sebagian mereka memahami bahwa ihshan adalah Islam dan sebagian yang lain
memahami ihshan adalah at-tazwij ( menikah ).
Ulama yang berpendapat bahwa ihshan adalah at-tazwij di antaranya adalah
Mujahid, menurut Mujahid bahwa seorang lelaki budak yang hendak menikahi wanita
merdeka dan wanita budak yang hendak dinikahi lelaki merdeka maka disebutkan
statusnya adalah pernikahan mereka adalah pernikahan budak lelaki dan budak wanita,
bukan pernikahan muhshan.
7. I’tikaf di Dalam Masjid
Firman Allah Surat Al-Baqarah 187 menyatakan:
جدالمس /جد المس ول ت باشروهن وأن تم عاكفون ف Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.
Pembicaraan pada ayat di atas berkaitan dengan i'tikaf dan apakah masjid sebagai
syarat sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaf. Terjadi perselisihan di antara para
fuqaha' (ulama fikih) berkaitan dengan masjid sebagai tempat i'tikaf. Sebab silang
15
pendapat di antara para ulama adalah apakah masjid sebagai syarat untuk terlaksananya
i'tikaf atau masjid bukan syarat untuk pelaksanaan i'tikaf? Pada firman Allah di atas
terjadi beberapa pandangan pendapat. Apakah ayat di atas adalah dalil khitab (panduan
dasar) atau bukan?
Golongan yang berpendapat surat al-Baqarah ayat 187 adalah dalil khitab berkata;
bahwa tidak ada i'tikaf kecuali di dalam masjid, dan masjid sebagai syarat i'tikaf dan
dilarang melakukan hubungan intim (jimak) dengan istri. Golongan yang berpendapat
bahwa ayat di atas bukan dalil khitab mengatakan bahwa masjid bukan syarat untuk
i'tikaf. Menurut pendapat ini, i'tikaf boleh dilakukan dimana saja, mereka mengkiaskan
“Jika Si Fulan tidak memberikan apapun di luar rumah makan, maka ketika di dalam
rumahpun dia tidak memberikan apa pun” namun oleh Ibnu Rusyd pendapat ini
dinyatakan sebagai pendapat yang tidak memiliki sumber yang jelas (syadz) ( Rusyd.
2009. Vol 3: 365 )
Ulama salaf sepakat bahwa syadz adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah
dan dalil dalam menetapkan hukum-hukum syar'i. Jumhur ulama telah sepakat bahwa
masjid adalah syarat adanya i'tikaf, namun terjadi ikhtilaf di antara mereka apakah
semua masjid bisa dijadikan tempat untuk i'tikaf atau hanya masjid-masjid tertentu saja
yang bisa dijadikan tempat i'tikaf? Penyebab terjadinya ikhtilaf di antara para ulama
adalah perbedaan dalam memahamai maksud ( ذ اج س ف يان اك ف ى ع ت ى أ Apakah masjid di .(و
sana maksudnya masjid secara umum atau ada masjid-masjid khusus yang bisa menjadi
syarat terjadinya i'tikaf?
Golongan yang memahami masjid secara umum karena mengkiaskan kepada
makna masjid adalah tempat-tempat berkumpulnya jama'ah dalam menunaikan shalat
dan acara-acara keagamaan lainnya, masjid sebagai batasan untuk i'tikaf dan bagi orang
yang keluar masjid maka batallah niat i'tikaf sebagaimana jika seseorang keluar dari
suatu golongan maka dia dikatakan “dia telah keluar dari jama'ah".
Kemudian yang menyebabkan terjadi ikthilaf dalam masalah ini adalah cara
membaca yang berbeda, dalam hal ini terdapat dua qira'at yang diriwayatkan melalui
derajat mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh rawi di setiap jenjang nya) qira'at
tersebut adalah;
a. Jumhur ulama membaca kata tersebut dalam bentuk jamak ( ذ سج .( ان
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
15
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
14
b. Mazhab kedua adalah pendapat dari Sa'id bin Jubair, Hasan, Qatadah dan dia
diriwayatkan dari Ibnu Abas dan Abu al-Darda. Bahwasanya hamba sahaya wanita
yang telah menikah apabila berzina maka had-nya seperti seorang wanita yang
merdeka. Apabila seorang hamba sahaya muslimah yang belum menikah melakukan
zina, maka tidak ada had atasnya. Sementara jika hamba sahaya kafirah yang telah
menikah melakukan perzinahan maka berlaku had atasnya. Ini menurut pendapat
mereka.
c. Mazhab ketiga berpendapat bahwa sesungguhnya “ihshanu al-amah” (الأية (إدصا
adalah dengan pernikahan. Kecuali had tersebut wajib atas hamba sahaya muslimah
yang belum menikah. Hal tersebut terdapat dalah sunnah. Zahra mengatakan,
pendapat ketiga ini mirip dengan pendapat kedua. Tiada lain pendapat ini hendak
menggabungkan dua pendapat yang berbeda.
Setelah memperhatikan dalil-dalil dari Alquran dan Sunah serta pendapat para
sahabat dan kibar ulama maka penulis menyimpulkan bahwa perbedaan para ulama
karena mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi al-ihshan (الإدصا)
sebagian mereka memahami bahwa ihshan adalah Islam dan sebagian yang lain
memahami ihshan adalah at-tazwij ( menikah ).
Ulama yang berpendapat bahwa ihshan adalah at-tazwij di antaranya adalah
Mujahid, menurut Mujahid bahwa seorang lelaki budak yang hendak menikahi wanita
merdeka dan wanita budak yang hendak dinikahi lelaki merdeka maka disebutkan
statusnya adalah pernikahan mereka adalah pernikahan budak lelaki dan budak wanita,
bukan pernikahan muhshan.
7. I’tikaf di Dalam Masjid
Firman Allah Surat Al-Baqarah 187 menyatakan:
جدالمس /جد المس ول ت باشروهن وأن تم عاكفون ف Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.
Pembicaraan pada ayat di atas berkaitan dengan i'tikaf dan apakah masjid sebagai
syarat sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaf. Terjadi perselisihan di antara para
fuqaha' (ulama fikih) berkaitan dengan masjid sebagai tempat i'tikaf. Sebab silang
15
pendapat di antara para ulama adalah apakah masjid sebagai syarat untuk terlaksananya
i'tikaf atau masjid bukan syarat untuk pelaksanaan i'tikaf? Pada firman Allah di atas
terjadi beberapa pandangan pendapat. Apakah ayat di atas adalah dalil khitab (panduan
dasar) atau bukan?
Golongan yang berpendapat surat al-Baqarah ayat 187 adalah dalil khitab berkata;
bahwa tidak ada i'tikaf kecuali di dalam masjid, dan masjid sebagai syarat i'tikaf dan
dilarang melakukan hubungan intim (jimak) dengan istri. Golongan yang berpendapat
bahwa ayat di atas bukan dalil khitab mengatakan bahwa masjid bukan syarat untuk
i'tikaf. Menurut pendapat ini, i'tikaf boleh dilakukan dimana saja, mereka mengkiaskan
“Jika Si Fulan tidak memberikan apapun di luar rumah makan, maka ketika di dalam
rumahpun dia tidak memberikan apa pun” namun oleh Ibnu Rusyd pendapat ini
dinyatakan sebagai pendapat yang tidak memiliki sumber yang jelas (syadz) ( Rusyd.
2009. Vol 3: 365 )
Ulama salaf sepakat bahwa syadz adalah sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah
dan dalil dalam menetapkan hukum-hukum syar'i. Jumhur ulama telah sepakat bahwa
masjid adalah syarat adanya i'tikaf, namun terjadi ikhtilaf di antara mereka apakah
semua masjid bisa dijadikan tempat untuk i'tikaf atau hanya masjid-masjid tertentu saja
yang bisa dijadikan tempat i'tikaf? Penyebab terjadinya ikhtilaf di antara para ulama
adalah perbedaan dalam memahamai maksud ( ذ اج س ف يان اك ف ى ع ت ى أ Apakah masjid di .(و
sana maksudnya masjid secara umum atau ada masjid-masjid khusus yang bisa menjadi
syarat terjadinya i'tikaf?
Golongan yang memahami masjid secara umum karena mengkiaskan kepada
makna masjid adalah tempat-tempat berkumpulnya jama'ah dalam menunaikan shalat
dan acara-acara keagamaan lainnya, masjid sebagai batasan untuk i'tikaf dan bagi orang
yang keluar masjid maka batallah niat i'tikaf sebagaimana jika seseorang keluar dari
suatu golongan maka dia dikatakan “dia telah keluar dari jama'ah".
Kemudian yang menyebabkan terjadi ikthilaf dalam masalah ini adalah cara
membaca yang berbeda, dalam hal ini terdapat dua qira'at yang diriwayatkan melalui
derajat mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh rawi di setiap jenjang nya) qira'at
tersebut adalah;
a. Jumhur ulama membaca kata tersebut dalam bentuk jamak ( ذ سج .( ان
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
16
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
16
b. Mujahid dan A'masy membaca kata tersebut dengan bentuk tunggal ( ذ ج س ان ).
Menurut A'masy yang dimaksud ذ ج س ان pada ayat tersebut adalah Masjidil Haram.
Permasalah perdebatan antara ulama bermula ketika mereka menemukan bacaan
qira'at yang berbeda, yang satu menggunakan jamak dan yang lain menggunakan
tunggal. Bagi yang membaca jamak tentunya memiliki makna bahwa semua masjid bisa
dijadikan tempat untuk dilaksanakannya i'tikaf, akan tetapi bagi yang membaca dengan
tunggal maka hukum i'tikaf menjadi berbeda, yaitu masjid yang telah ditentukan.
Menurut penulis, dengan perkataan jumhur ulama yang membaca dalam ayat tersebut
sebagai kata jamak yang memiliki makna bahwa semua masjid yang dijadikan tempat
ibadah shalat lima waktu dan shalat jum'at maka boleh dijadikan tempat untuk
dilaksanakanya i'tikaf. Lalu bagaimana dengan kedudukan dua qira'at yang memiliki
riwayat mutawatir, yang menurut para ulama adalah riwayat yang memiliki legilitas
absolut kekuatan hukumnya? Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa jumhur
ulama berpendapat bahwa bacaan jamak pengkhususan terhadap masjid bisa jadi telah
di mansukh oleh tindakan Nabi Muhammad (Nabi Muhammad pernah melakukan i'tikaf
di Madinah) atau bahwa masjid-masjid yang disebutkan karena memiliki keutamaan
khusus dibanding dengan masjid yang lainnya. Akan tetapi bagi qira'at yang dibaca
ifrad (tunggal) di sana ada penguatan pendapat mayoritas ulama, yaitu menguatkan
bahwa shalat dan i'tikaf di Masjidil Haram adalah memiliki keutamaan yang sangat
tinggi nilainya.
7. Perang Melawan Orang- Orang Musryik Di Dalam Masjidil Haram
Firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 191
menyatakan sebagai berikut:
نة أشد من القتل ت لوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفت ول ت قاتلوهم واق ت لوهم ق ت لوكم / قات لوكم عند المسجد الرام حت ي قاتلوكم فيه فإن لوهم ت ق ت / لك فاق كذ
جزاء الكافرين Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu ……….. mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka ………. kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
17
Perbincangan ayat ini berkaitan dengan larangan memerangi orang-orang musrik
di dalam Masjidil Haram kecuali jika jika orang-orang musyrik membahayakan
keselamatan diri kita, dalam kondisi dharurat.
Terdapat dua qira'at yang shahih menurut riwayat yang telah mencapai derajat
mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh orang di setiap jenjangnya). Qira'at tersebut
adalah;
a. Hamzah, Kasa'i dan Khalaf. membaca sebagai berikut
ت لوهم فإن لك جزاء الكافرين ق ت لوكم فاق كذ
Yaitu dengan membuang alif pada af'alul tsalatsah (أفعالثلاثة)
b. Qira'at yang lain adalah ى يفاعهة dengan timbangan (wazan) ق ات ه ىك
Terkait dengan dua bacaan yang telah disebutkan di atas Dr. Izzat Syahatah (2006:
63) mengutip perkataan Al-Azhari, mengatakan ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) dengan makna bahwa, tidak
boleh memulai peperangan di dalam Masjidil Haram sehingga mereka memulai dan
memerangi kaum Muslimin, bagi kaum Muslimin juga boleh untuk menghindari dari
pertempuran di Masjidil Haram, apabila telah terjadi peperangan di sekitar Masjidil
Haram maka perangilah orang-orang musyrik yang memerangi dan membiarkan
musyrikin yang lain yang tidak ikut andil dalam penyerangan. Orang Arab sering
mengatakan dalam komunikasi sehari-hari mereka sering menggunakan bahasa qotalna
al-qaum (قتهاانقىو) dengan maksud bahwa mereka memerangi sebagian dari kaum, tidak
memerangi semua kaum tersebut.
Dari dua bacaan (qira'at) di atas yang shahih terjadi silang pendapat di antara
ulama fikih pada masalah peperangan terhadap musyrikin yang memasuki Masjidil
Haram kepada dua pendapat:
Pendapat pertama; Dari Imam Hanifah, Imam Hambali, Imam Malik dan didukung
oleh Mujahid, Thawus. Mereka berkata:
ليجىصقتالأدذيانششكيفيانسجذانذشاو
Maksudnya: "Tidak boleh memerangi salah satu dari orang musyrik di dalam Masjidil
Haram." (Qurthubi, 2006: Vol 2, 234)
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
17
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
16
b. Mujahid dan A'masy membaca kata tersebut dengan bentuk tunggal ( ذ ج س ان ).
Menurut A'masy yang dimaksud ذ ج س ان pada ayat tersebut adalah Masjidil Haram.
Permasalah perdebatan antara ulama bermula ketika mereka menemukan bacaan
qira'at yang berbeda, yang satu menggunakan jamak dan yang lain menggunakan
tunggal. Bagi yang membaca jamak tentunya memiliki makna bahwa semua masjid bisa
dijadikan tempat untuk dilaksanakannya i'tikaf, akan tetapi bagi yang membaca dengan
tunggal maka hukum i'tikaf menjadi berbeda, yaitu masjid yang telah ditentukan.
Menurut penulis, dengan perkataan jumhur ulama yang membaca dalam ayat tersebut
sebagai kata jamak yang memiliki makna bahwa semua masjid yang dijadikan tempat
ibadah shalat lima waktu dan shalat jum'at maka boleh dijadikan tempat untuk
dilaksanakanya i'tikaf. Lalu bagaimana dengan kedudukan dua qira'at yang memiliki
riwayat mutawatir, yang menurut para ulama adalah riwayat yang memiliki legilitas
absolut kekuatan hukumnya? Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa jumhur
ulama berpendapat bahwa bacaan jamak pengkhususan terhadap masjid bisa jadi telah
di mansukh oleh tindakan Nabi Muhammad (Nabi Muhammad pernah melakukan i'tikaf
di Madinah) atau bahwa masjid-masjid yang disebutkan karena memiliki keutamaan
khusus dibanding dengan masjid yang lainnya. Akan tetapi bagi qira'at yang dibaca
ifrad (tunggal) di sana ada penguatan pendapat mayoritas ulama, yaitu menguatkan
bahwa shalat dan i'tikaf di Masjidil Haram adalah memiliki keutamaan yang sangat
tinggi nilainya.
7. Perang Melawan Orang- Orang Musryik Di Dalam Masjidil Haram
Firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 191
menyatakan sebagai berikut:
نة أشد من القتل ت لوهم حيث ثقفتموهم وأخرجوهم من حيث أخرجوكم والفت ول ت قاتلوهم واق ت لوهم ق ت لوكم / قات لوكم عند المسجد الرام حت ي قاتلوكم فيه فإن لوهم ت ق ت / لك فاق كذ
جزاء الكافرين Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu ……….. mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka ………. kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
17
Perbincangan ayat ini berkaitan dengan larangan memerangi orang-orang musrik
di dalam Masjidil Haram kecuali jika jika orang-orang musyrik membahayakan
keselamatan diri kita, dalam kondisi dharurat.
Terdapat dua qira'at yang shahih menurut riwayat yang telah mencapai derajat
mutawatir (diriwayatkan lebih dari sepuluh orang di setiap jenjangnya). Qira'at tersebut
adalah;
a. Hamzah, Kasa'i dan Khalaf. membaca sebagai berikut
ت لوهم فإن لك جزاء الكافرين ق ت لوكم فاق كذ
Yaitu dengan membuang alif pada af'alul tsalatsah (أفعالثلاثة)
b. Qira'at yang lain adalah ى يفاعهة dengan timbangan (wazan) ق ات ه ىك
Terkait dengan dua bacaan yang telah disebutkan di atas Dr. Izzat Syahatah (2006:
63) mengutip perkataan Al-Azhari, mengatakan ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) dengan makna bahwa, tidak
boleh memulai peperangan di dalam Masjidil Haram sehingga mereka memulai dan
memerangi kaum Muslimin, bagi kaum Muslimin juga boleh untuk menghindari dari
pertempuran di Masjidil Haram, apabila telah terjadi peperangan di sekitar Masjidil
Haram maka perangilah orang-orang musyrik yang memerangi dan membiarkan
musyrikin yang lain yang tidak ikut andil dalam penyerangan. Orang Arab sering
mengatakan dalam komunikasi sehari-hari mereka sering menggunakan bahasa qotalna
al-qaum (قتهاانقىو) dengan maksud bahwa mereka memerangi sebagian dari kaum, tidak
memerangi semua kaum tersebut.
Dari dua bacaan (qira'at) di atas yang shahih terjadi silang pendapat di antara
ulama fikih pada masalah peperangan terhadap musyrikin yang memasuki Masjidil
Haram kepada dua pendapat:
Pendapat pertama; Dari Imam Hanifah, Imam Hambali, Imam Malik dan didukung
oleh Mujahid, Thawus. Mereka berkata:
ليجىصقتالأدذيانششكيفيانسجذانذشاو
Maksudnya: "Tidak boleh memerangi salah satu dari orang musyrik di dalam Masjidil
Haram." (Qurthubi, 2006: Vol 2, 234)
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
18
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
18
Pijakan Dalil Pendapat Ini;
a. Bahwa ayat tersebut adalah ayat yang muhkam (hukumnya tetap) dan tidak
termansukh oleh ayat lainnya.
b. Pada bacaan ت ق ات ه ىه ى ل menunjukkan bahwa (huruf alif tetap dan tidak dibuang) و
kalimat ini adalah larangan untuk berperang terhadap orang-orang musyrik kecuali
mereka memulai dan mereka membahayakan keselamatan kaum muslimin maka dari
itu wajib hukumnya untuk memerangi mereka walaupun di dalam Masjidil Haram.
Sebab-sebab dilarangnya berperang (qital) pada bacaan ini karena sebab terjadi
pembunuhan adalah perang. Bila disebutkan larangannya adalah perang maka dia
sebagai sebab terjadinya pembunuhan maka ini menunjukan bahwa larangan
menumpahkan darah adalah dalil yang jelas secara zahir.
c. Demikian dengan bacaan yang kedua (mahdzhuf bil alif) ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) ini adalah bacaan
yang sudah sangat jelas dalil tentang larangan membunuh orang musyrik ketika
mereka berada di Masjidil Haram kecuali apabila mereka memerangi sebagian kaum
Muslimin maka apabila mereka memasuki Masjid Haram boleh hukumnya untuk
memerangi mereka.
Pendapat Kedua. Mereka adalah Qatadah, Muqatil bin Sulaiman dan ini adalah
pendapat kedua dari Imam Malik mereka mengatakan: "Maksud ayat tersebut adalah
boleh memerangi mereka (musryikin) di dalam Masjidil Haram. (Shatah, 2006: 65)
Pijakan dalil pendapat ini adalah sebagai berikut;
a. Ayat ini telah dimansyukh (dihapus) dengan firman Allah surat at-Taubah:
الأ ش ه خ س اا ىه ى ف إ ر ت ذ ج و ي ث د ش ك ي ش ف اق ت ه ىاان و ش ان ذ ه ش
Artinya: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka." (Q.S. At- Taubah: 5) Kemudian dimansyukh juga dengan surat al- Baqarah pada ayat yang sama juga.
ىه ى ث ق ف ت ي ث د اق ت ه ىه ى و
Artinya: “Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka”(Q.S. Al-Baqarah: 191)
b. Menurut pendapat ini bahwa surat al-Bara'ah turun setelah surat al-Baqarah dua
tahun Rasulullahi 'alahi Wassalam sebelum masuk ke kota Makah dan beliau
bersabda:
19
يتعهقبأستاسانكعبةفقالاقتهىأابخطم
Maksudnya: "Bahwa Ibnu Khatal tergantung sebagai hiasan Ka'bah maka beliau memerintahkan. Bunuhlah mereka!” (Qurthubi, 2006. Vol, 3: 224)
Apakah ayat tersebut telah dimansukh atau tidak? Bagi yang berpendapat bahwa
ayat tersebut telah dimansukh maka memerangi orang musryik di dalam Masjidil Haram
dibolehkan. Dan bagi golongan yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah muhkam
(ayat yang terang dan tegas hukumnya) maka tidak boleh memerangi orang-orang
musyrik di dalam Masjidil Haram.
Mereka yang berpegang pada pendapat bahwa memerangi orang-orang musyrik
dilarang mereka memegang kepada bacaan dua qira'at yang shahih (ولتقاتهىهى) dengan
alif tetap dan tidak dimahdzhuf dan (ولتقتهىهى) dimahdzhuf huruf alif (ا) dan makna dari
dua bacaan tersebut adalah dilarang memerangi musyrikin di dalam Masjidil Haram,
karena sebab pembunuhan adalah perang. Menurut pendapat ini bahwa ayat tersebut
jelas bahwa memerangi musyrikin adalah sebuah hal yang terlarang kecuali apabila
dengan kondisi dimana kaum musyrikin memerangi terlebih dahulu dan kaum muslimin
merasa terancam kesalamatannya.
Jawaban saya atas hadits (قتمابخطمانتعهقبأستاسانكعبة) hadits tersebut tidak bisa
dijadikan hujjah (dalil pembolehan membunuh) karena saat Nabi menyampaikan hadits
tersebut saat itu adalah kondisi dimana terjadi peperangan (داسدشب) dengan orang kafir.
Dari pemaparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pendapat
yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama, yaitu
larangan berperang dengan orang-orang musyrik di Masjidil Haram. Ini adalah sikap
agar terjaga kesucian tempat ibadah dari kepentingan-kepentingan di luar ibadah kepada
Allah. Jika ada orang musyrik memasuki Masjidil Haram dan membuat gaduh dan
keributan maka jalan preventifnya adalah menarik dan mengeluarkan orang-orang
musyrik keluar dari wilayah Masjidil Haram. Karena Masjidil pada dasarnya tidak
dibangun untuk hal-hal di luar kegiatan beribadah seperti berjual beli dan tawar
menawar dan urusan-urusan lainnya.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
19
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
18
Pijakan Dalil Pendapat Ini;
a. Bahwa ayat tersebut adalah ayat yang muhkam (hukumnya tetap) dan tidak
termansukh oleh ayat lainnya.
b. Pada bacaan ت ق ات ه ىه ى ل menunjukkan bahwa (huruf alif tetap dan tidak dibuang) و
kalimat ini adalah larangan untuk berperang terhadap orang-orang musyrik kecuali
mereka memulai dan mereka membahayakan keselamatan kaum muslimin maka dari
itu wajib hukumnya untuk memerangi mereka walaupun di dalam Masjidil Haram.
Sebab-sebab dilarangnya berperang (qital) pada bacaan ini karena sebab terjadi
pembunuhan adalah perang. Bila disebutkan larangannya adalah perang maka dia
sebagai sebab terjadinya pembunuhan maka ini menunjukan bahwa larangan
menumpahkan darah adalah dalil yang jelas secara zahir.
c. Demikian dengan bacaan yang kedua (mahdzhuf bil alif) ( ل ت ق ت ه ىه ى و ) ini adalah bacaan
yang sudah sangat jelas dalil tentang larangan membunuh orang musyrik ketika
mereka berada di Masjidil Haram kecuali apabila mereka memerangi sebagian kaum
Muslimin maka apabila mereka memasuki Masjid Haram boleh hukumnya untuk
memerangi mereka.
Pendapat Kedua. Mereka adalah Qatadah, Muqatil bin Sulaiman dan ini adalah
pendapat kedua dari Imam Malik mereka mengatakan: "Maksud ayat tersebut adalah
boleh memerangi mereka (musryikin) di dalam Masjidil Haram. (Shatah, 2006: 65)
Pijakan dalil pendapat ini adalah sebagai berikut;
a. Ayat ini telah dimansyukh (dihapus) dengan firman Allah surat at-Taubah:
الأ ش ه خ س اا ىه ى ف إ ر ت ذ ج و ي ث د ش ك ي ش ف اق ت ه ىاان و ش ان ذ ه ش
Artinya: "Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka." (Q.S. At- Taubah: 5) Kemudian dimansyukh juga dengan surat al- Baqarah pada ayat yang sama juga.
ىه ى ث ق ف ت ي ث د اق ت ه ىه ى و
Artinya: “Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka”(Q.S. Al-Baqarah: 191)
b. Menurut pendapat ini bahwa surat al-Bara'ah turun setelah surat al-Baqarah dua
tahun Rasulullahi 'alahi Wassalam sebelum masuk ke kota Makah dan beliau
bersabda:
19
يتعهقبأستاسانكعبةفقالاقتهىأابخطم
Maksudnya: "Bahwa Ibnu Khatal tergantung sebagai hiasan Ka'bah maka beliau memerintahkan. Bunuhlah mereka!” (Qurthubi, 2006. Vol, 3: 224)
Apakah ayat tersebut telah dimansukh atau tidak? Bagi yang berpendapat bahwa
ayat tersebut telah dimansukh maka memerangi orang musryik di dalam Masjidil Haram
dibolehkan. Dan bagi golongan yang berpendapat bahwa ayat tersebut adalah muhkam
(ayat yang terang dan tegas hukumnya) maka tidak boleh memerangi orang-orang
musyrik di dalam Masjidil Haram.
Mereka yang berpegang pada pendapat bahwa memerangi orang-orang musyrik
dilarang mereka memegang kepada bacaan dua qira'at yang shahih (ولتقاتهىهى) dengan
alif tetap dan tidak dimahdzhuf dan (ولتقتهىهى) dimahdzhuf huruf alif (ا) dan makna dari
dua bacaan tersebut adalah dilarang memerangi musyrikin di dalam Masjidil Haram,
karena sebab pembunuhan adalah perang. Menurut pendapat ini bahwa ayat tersebut
jelas bahwa memerangi musyrikin adalah sebuah hal yang terlarang kecuali apabila
dengan kondisi dimana kaum musyrikin memerangi terlebih dahulu dan kaum muslimin
merasa terancam kesalamatannya.
Jawaban saya atas hadits (قتمابخطمانتعهقبأستاسانكعبة) hadits tersebut tidak bisa
dijadikan hujjah (dalil pembolehan membunuh) karena saat Nabi menyampaikan hadits
tersebut saat itu adalah kondisi dimana terjadi peperangan (داسدشب) dengan orang kafir.
Dari pemaparan di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa pendapat
yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama, yaitu
larangan berperang dengan orang-orang musyrik di Masjidil Haram. Ini adalah sikap
agar terjaga kesucian tempat ibadah dari kepentingan-kepentingan di luar ibadah kepada
Allah. Jika ada orang musyrik memasuki Masjidil Haram dan membuat gaduh dan
keributan maka jalan preventifnya adalah menarik dan mengeluarkan orang-orang
musyrik keluar dari wilayah Masjidil Haram. Karena Masjidil pada dasarnya tidak
dibangun untuk hal-hal di luar kegiatan beribadah seperti berjual beli dan tawar
menawar dan urusan-urusan lainnya.
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
20
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
20
D. Kesimpulan
Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat unik, memiliki banyak makna yang
beragam sekali aturan yang harus dipalajarinya untuk bisa memahami makna yang
terkandung di dalamnya, Alquran turun dengan bahasa yang sangat komprehensif.
Dalam bahasa Arab, jika ada perbedaan dalam pengucapan harakat, idgham, takdim wa
takhir, berbeda penggunaan ilmu balaghah, sharaf, dan nahwu akan berdampak pada
makna yang berbeda.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa bacaan
(qira'at) Alquran sangat berpengaruh pada makna dan pemahaman interprestasi bagi
pembacanya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi bacaan diantaranya adalah perbedaan
bahasa (ikhtilaf lughawiy) seperti pada ism marfu, pada ism mansub, pada ism majrur,
asma' mabniyyah (yang tidak berubah bacaanya). Ikhtilaf juga terjadi pada sisi
perbedaan cara pengucapan (shautiy), pada penggantian (badal), atau perubahan (iqlab)
dan penggabungan (idgham). Selain itu, tedapat juga perbedaan qira'ah karena ada
perbedaan antara yang dikedepankan dengan yang diakhirkan (bi al-taqdim wa al-
ta'khir), perbedaan pada tata cara bahasa (nahwu dan sharf). Perbedaan juga terjadi
dalam segi periwayatan seperti; riwayatnya mutawatir akan tetapi ada yang bacaan
masdar-nya syadz, mufrad-nya yang syadz, atau mutsana-nya yang syadz. Atau jamak-
nya yang syadz, atau sighah isim fa'il-nya yang syadz, atau sighah af'al tafdhil-nya yang
syadz.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abu Maryam, Imam Nasr bin Ali bin Muhammad Abu Abdillah Asy-Syirozi al-Farisiy. Al-Kitab Al-Mawadhi fi Wujuh al-Qira'at wa I'laliyah, Jaddah: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.
Al-Baghdadi, Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Maliki. Kitab Al- Raudhah al-Qira'at al-Ihda Asharah, Mamlakat al-Arabiya: Arabia, 1994.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali. As- Sunan Al- Kubro, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2003.
Al-Baili, Ahmad. Al-Ikhtilaf baina Al-Qira'at, Bairut: Dar Jail, 1988.
Al-Dzarqaniy, Syaikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi. 1995.
Al-Fadli, Abdul Hadi. Al-Qira'at Alquraniyyah, Beirut: Dar al-Majma' al-Ilmi, 1979.
Al-Farisi, Abu Ali al-Husain bin Abdil Ghaffar. Al-Hujjah li al-Qira'at al-Sab'ah Aimmat al- Amshar bi al- Hijaz wa al- Iraq wa Syam Alladzina Dzakarahum Abu Bakar Ibnu Mujahid, Bairut: Dar al-Ma'mun li al-Turats, t.t.
Al-Hushariy, Syaikh al-Muqri al-Mahsriy Mahmud Khalil. Ahkam Qira'at Alquran Al- Karim, Makkah Mukaromah: t.p., t.t.
Al-Jauziyah, Imam bin Qayim. Jami' al-Fiqih, Mansuroh: Dar al-Wafa, 2000.
Al-Jazos, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Ahkam Alquran, Bairut: Dar Ihya al- Turats al-Arabi, 1992.
Al-Khan, Mustafa Sa'id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qaw'aid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf Fuqaha, Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1972.
Al-Khayyath, Abu al-Hasan Ali bin Faris. Al-Tabshirah fi Qira'at al-Aimmah al-Asyrah, Riyadh: Maktabah al- Rusyd, 2007.
Al-Mursifiy, Abdul Fatah As-Sayid Ajami. Hidayah al-Qari Ila Tajwid Kalam al- Bari, Madinah Munawarah: Maktabah Thayibah, t.t.
Al-Qadhiy, Abdul Fatah Abdul Ghani. Al-Qira'at fi Nadzhar al-Mustasyrikin wa al- Mulhidin, Madinah: Maktabah Alquran wa al-Sunah, 1981.
_____________. Al-Wafi fi Syarh Syatibiyah fi al-Qira'at al- Saba', Madinah Munawarah: Maktabah al-Dar, 1989.
_____________. Al-Qira'at al-Syadzah wa Taujihuha min Lughah Al-Arab, Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 198.
Al-Qaththan, Manna' Khalil. Mabahits fi Ulum Alquran, t.tp.: Maktabah al-Ma'arif, 1421 H/ 2000 M. Cet. III
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abi Bakar. Al- Jami' Ahkam Alquran, Bairut: Mu'asasah al-Risalah, 2006.
Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. Dirasat fi Ulum Alquran al-Karim, Riyadh: t.p., 2004.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih
21
VOL. II. No. 1, Juli - Desember 2019 ISSN 2654-6159
20
D. Kesimpulan
Bahasa Arab adalah bahasa yang sangat unik, memiliki banyak makna yang
beragam sekali aturan yang harus dipalajarinya untuk bisa memahami makna yang
terkandung di dalamnya, Alquran turun dengan bahasa yang sangat komprehensif.
Dalam bahasa Arab, jika ada perbedaan dalam pengucapan harakat, idgham, takdim wa
takhir, berbeda penggunaan ilmu balaghah, sharaf, dan nahwu akan berdampak pada
makna yang berbeda.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa bacaan
(qira'at) Alquran sangat berpengaruh pada makna dan pemahaman interprestasi bagi
pembacanya. Hal-hal yang dapat mempengaruhi bacaan diantaranya adalah perbedaan
bahasa (ikhtilaf lughawiy) seperti pada ism marfu, pada ism mansub, pada ism majrur,
asma' mabniyyah (yang tidak berubah bacaanya). Ikhtilaf juga terjadi pada sisi
perbedaan cara pengucapan (shautiy), pada penggantian (badal), atau perubahan (iqlab)
dan penggabungan (idgham). Selain itu, tedapat juga perbedaan qira'ah karena ada
perbedaan antara yang dikedepankan dengan yang diakhirkan (bi al-taqdim wa al-
ta'khir), perbedaan pada tata cara bahasa (nahwu dan sharf). Perbedaan juga terjadi
dalam segi periwayatan seperti; riwayatnya mutawatir akan tetapi ada yang bacaan
masdar-nya syadz, mufrad-nya yang syadz, atau mutsana-nya yang syadz. Atau jamak-
nya yang syadz, atau sighah isim fa'il-nya yang syadz, atau sighah af'al tafdhil-nya yang
syadz.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abu Maryam, Imam Nasr bin Ali bin Muhammad Abu Abdillah Asy-Syirozi al-Farisiy. Al-Kitab Al-Mawadhi fi Wujuh al-Qira'at wa I'laliyah, Jaddah: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.
Al-Baghdadi, Abu Ali al-Hasan bin Muhammad bin Ibrahim al-Maliki. Kitab Al- Raudhah al-Qira'at al-Ihda Asharah, Mamlakat al-Arabiya: Arabia, 1994.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali. As- Sunan Al- Kubro, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2003.
Al-Baili, Ahmad. Al-Ikhtilaf baina Al-Qira'at, Bairut: Dar Jail, 1988.
Al-Dzarqaniy, Syaikh Muhammad Abdul Adzim. Manahil al-Irfan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi. 1995.
Al-Fadli, Abdul Hadi. Al-Qira'at Alquraniyyah, Beirut: Dar al-Majma' al-Ilmi, 1979.
Al-Farisi, Abu Ali al-Husain bin Abdil Ghaffar. Al-Hujjah li al-Qira'at al-Sab'ah Aimmat al- Amshar bi al- Hijaz wa al- Iraq wa Syam Alladzina Dzakarahum Abu Bakar Ibnu Mujahid, Bairut: Dar al-Ma'mun li al-Turats, t.t.
Al-Hushariy, Syaikh al-Muqri al-Mahsriy Mahmud Khalil. Ahkam Qira'at Alquran Al- Karim, Makkah Mukaromah: t.p., t.t.
Al-Jauziyah, Imam bin Qayim. Jami' al-Fiqih, Mansuroh: Dar al-Wafa, 2000.
Al-Jazos, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Razi. Ahkam Alquran, Bairut: Dar Ihya al- Turats al-Arabi, 1992.
Al-Khan, Mustafa Sa'id. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qaw'aid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf Fuqaha, Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1972.
Al-Khayyath, Abu al-Hasan Ali bin Faris. Al-Tabshirah fi Qira'at al-Aimmah al-Asyrah, Riyadh: Maktabah al- Rusyd, 2007.
Al-Mursifiy, Abdul Fatah As-Sayid Ajami. Hidayah al-Qari Ila Tajwid Kalam al- Bari, Madinah Munawarah: Maktabah Thayibah, t.t.
Al-Qadhiy, Abdul Fatah Abdul Ghani. Al-Qira'at fi Nadzhar al-Mustasyrikin wa al- Mulhidin, Madinah: Maktabah Alquran wa al-Sunah, 1981.
_____________. Al-Wafi fi Syarh Syatibiyah fi al-Qira'at al- Saba', Madinah Munawarah: Maktabah al-Dar, 1989.
_____________. Al-Qira'at al-Syadzah wa Taujihuha min Lughah Al-Arab, Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 198.
Al-Qaththan, Manna' Khalil. Mabahits fi Ulum Alquran, t.tp.: Maktabah al-Ma'arif, 1421 H/ 2000 M. Cet. III
Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abi Bakar. Al- Jami' Ahkam Alquran, Bairut: Mu'asasah al-Risalah, 2006.
Al-Rumi, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. Dirasat fi Ulum Alquran al-Karim, Riyadh: t.p., 2004.
AGUS AMIN DAN MUHAMMAD ALWI
22
MUTSAQQAFIN; JURNAL PENDIDIKAN ISLAM DAN BAHAS ARAB
22
Al-Shabuniy, Muhammad Ali. Al-Tibyan fi Ulum Alquran, t.tp: t.p., 1980.
Al-Suyuthiy, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Itqan fi Ulum Alquran, Bairut: Maktabah al-Ashriyyah, 1988.
Al-Ukbariy, Abu Al-Baqa Abdullah bin Husain. At-Tibyan Fi I'rab Alquran, Qahirah: Maktabah Isya al-Bab al-Halabi wa Syarikah. t.t.
Al-Waqidiy, Abu Abdillah Muhammad bin Umar. Kitab Maghazi, Madinah: Al- Risalah, 1988.
Al-Zarkasyiy, Badruddin Muhammad bin Abdillah. Al-Burhan fi Ulum Alquran, Bairut: Dar al-Fikr, 1988.
Al-Zubairiy, Abu Abdillah al-Mus'ab bin Abdillah bin Mus'ab. Kitab Nasab Qurays. Qahirah: Dar al- Ma'arif, t.t.
Ambabiy, Husain Muhammad. Al-Qira'at wa Atsaruha fi Ulumil Arabiyah, Qahirah: Maktabah Kuliat al-Hariyah, 1983.
Bazhul, Muhammad bin Hamr bin Salim. Al-Qira'at wa Atsaruha fi al-Tafsir wa al- Ahkam, Arabia: Far' al-Kitab wa al-Sunah. t.t.
Ibn al-Arabi, Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah. Ahkam al- Qur'an, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003.
Ibn al-Badiz, Abu Ja'far Ahmad bin Ali bin Ahmad bin Khalaf al-Anshori. Kitab Al-Iqna' fi al- Qiro'at al-Saba', Dimasyq: Dar al-Fikr, 1982.
Ibn Dzanjilah, Imam al-Jalil Abu Dzara'ah Abdurrahman bin Muhammad. Hujjah al-Qira'at. Bairut: Mu'assasah al-Risalah, 1997.
Ibn Mujahid, Ahmad bin Musa. Al-Sab'ah fi al-Qira'at, Qahirah: Dar al-Ma'arif, 1400 H.
Ismail, Nabil bin Muhammad Ibrahim Ali. Ilmu Qira'at; Nasya'at wa Athwaruh Atsarahu fi Ulumil Asy- Syar'iyah, Riyadh: Maktabah Taubah, 2000.
23
PENGENALAN TOAFL SEBAGAI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI MADRASAH ALIYAH
Farida Setiawaty Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Arqam Garut Jabar
Abstract
The Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) was carried out as a standardized assessment of Arabic related to listening ability, ability to understand structure and Arabic idiomatic structure, as well as ability to understand Arabic vocabulary, reading and grammar. The teaching needs of TOAFL in Madrasah Aliyah are increasing along with the increasing interest of Madrasah Aliyah students to continue their studies to the Middle East. TOAFL learning techniques still need to be developed continuously to be more effective and efficient by adopting behavioristic theory, cognitive learning theory, social learning theory, humanism learning theory. And by utilizing the principles and techniques of several foreign language learning methods that have been developed for a long time such as; grammar and translation method, directed method, reading method, audio-lingual method, and election method. Theories and methods are adjusted to the abilities or needs of students and supported by technology or multimedia.
Keywords: TOAFL, method, Madrasah Aliyah, Arabic
Abstrak
Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) dilaksanakan sebagai standarisasi penilaian bahasa Arab terkait kemampuan menyimak, kemampuan memahami struktur dan idiomatik bahasa Arab, serta kemampuan memahami kosakata, membaca dan tata bahasa Arab. Kebutuhan pengajaran TOAFL di Madrasah Aliyah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya minat siswa Madrasah Aliyah untuk melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Teknik pembelajaran TOAFL masih perlu dikembangkan terus menerus agar lebih efektif dan efisien dengan mengadopsi teori behavioristik, teori belajar kognitif, teori belajar sosial, teori belajar humanism. Serta dengan memanfaatkan prinsip dan teknik beberapa metode pembelajaran bahasa asing yang telah berkembang lama semisal; grammar and translation method, directed method, reading method, audio-lingual method, dan election method. Teori dan metode tersebut kemudian disesuaikan dengan kemampuan atau kebutuhan siswa serta didukung dengan teknologi atau multimedia.
Kata Kunci: TOAFL, metode, Madrasah Aliyah, bahasa Arab
Pengaruh Perbedaan Qira’at Al-Qur’an Terhadap Istimbath Hukum Fiqih