56
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 01 - 11 ISSN : 2088-2440 PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA TUNDA SAMBUNG PADA KEBERHASILAN PENYAMBUNGAN BIBIT SIRSAK (Annona muricata L.) Tri Kurniastuti Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar Email: [email protected] Abstract: Soursop plant is generally propagated through seeds. To obtain a uniform crop need to be propagated vegetatively, for example through bud grafting. Vegetative propagation of native connections will result in the growth and production of a uniform than generative propagation. Before connecting soursop seeds need us to do a treatment that is by defoliation or defoliation. Twig leaf defoliation on plants is one way to accelerate the growth of buds at each axillary leaf buds look so fat and pithy. Lukman (2004) states that the entres defoliation treatments can stimulate the formation of shoot buds as a strong sink According to Soegondo (1996), the success of grafting seedling plants is determined by the condition (age, large, freshness and growth) rootstocks and scions (budwood), and precipitation and humidity around the nursery. Storage time and storage media prior to grafting scions also affect the success of grafting (Djazuli et, al, 1999). In addition, the technician skills junction (graftor) will determine the success rate of grafting (Hadad and Koerniati, 1996). This experiment aims to determine leaf defoliation entres and delays continued on the success of grafting plants soursop. This study uses a randomized block design (RBD) with 2 factorial, factor 1. Soursop leaf defoliation on entres, a factor of 2. Long delay in connecting entres soursop. Observation variables include the percentage of success life counted the number of connections with the connection formula divided by the number of plants alive X 100 %, the number of shoots counted at the age of 4 mss connection, 5 mms, 6 mss, shoot length was measured with a ruler the size of 30 cm at the age of 4 mss plants, 5 and 6 mss mss. Number of leaves counted the leaves that have unfolded at the age of 4 mss, mss 5 and 6 mms. Results of Experiment: (1) There is no interaction between defoliation and long delays in the continued success of soursop seeds, (2) There is a significant effect on the success continued defoliation perlakuaan soursop seeds, (3) There are long delays entres influence on the success of grafting shoots soursop seeds. Keywords: Annona muricata L., defoliation, long delay, continued soursop. PENDAHULUAN Sirsak (Annona muricata L.) merupakan salah satu jenis tanaman buah yang berasal dari dataran Amerika Selatan yang beriklim tropis, yang kemudian menyebar luas ke daratan Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada awalnya, Sirsak merupakan tanaman liar dan setelah dibudidayakan umumnya merupakan tanaman pekarangan. Buah sirsak terdiri atas 67% daging buah yang bisa dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan selebihnya bagian tengah buah (Verheij dan Coronel 1997). Perbanyakan tanaman yang populer dikalangan penangkar benih buah-buahan di Indonesia adalah okulasi dan sambung pucuk karena caranya mudah dan tingkat keberhasilanya cukup tinngi Sutarto dan Syah (1991) menyatakan, perbanyakan benih secara vegetatif merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengadaan benih sirsak yang bermutu tinggi dengan harapan buah mewarisi sifat asli seperti induknya dan mampu menghasilkan buah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Penyambungan (Grafting) merupakan kegiatan untuk menggabungkan dua atau lebih sifat unggul dalam satu tanaman. Untuk memperoleh bibit sambungan yang bermutu diperlukan batang bawah dan batang atas yang sesuai dan dapat membentuk bidang sambungan yang sempurna. Keberhasilan penyambungan ditentukan banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah dan batang atas, ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro,

PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 01 - 11 ISSN : 2088-2440

PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA TUNDA SAMBUNG PADA

KEBERHASILAN PENYAMBUNGAN BIBIT SIRSAK (Annona muricata L.)

Tri Kurniastuti

Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar

Email: [email protected]

Abstract: Soursop plant is generally propagated through seeds. To obtain a uniform crop

need to be propagated vegetatively, for example through bud grafting. Vegetative

propagation of native connections will result in the growth and production of a uniform than generative propagation. Before connecting soursop seeds need us to do a treatment

that is by defoliation or defoliation. Twig leaf defoliation on plants is one way to accelerate the growth of buds at each axillary leaf buds look so fat and pithy. Lukman

(2004) states that the entres defoliation treatments can stimulate the formation of shoot

buds as a strong sink According to Soegondo (1996), the success of grafting seedling plants is determined by the condition (age, large, freshness and growth) rootstocks and

scions (budwood), and precipitation and humidity around the nursery. Storage time and

storage media prior to grafting scions also affect the success of grafting (Djazuli et, al, 1999). In addition, the technician skills junction (graftor) will determine the success rate

of grafting (Hadad and Koerniati, 1996). This experiment aims to determine leaf defoliation entres and delays continued on the success of grafting plants soursop. This

study uses a randomized block design (RBD) with 2 factorial, factor 1. Soursop leaf

defoliation on entres, a factor of 2. Long delay in connecting entres soursop. Observation variables include the percentage of success life counted the number of connections with

the connection formula divided by the number of plants alive X 100 %, the number of

shoots counted at the age of 4 mss connection, 5 mms, 6 mss, shoot length was measured with a ruler the size of 30 cm at the age of 4 mss plants, 5 and 6 mss mss. Number of

leaves counted the leaves that have unfolded at the age of 4 mss, mss 5 and 6 mms. Results of Experiment: (1) There is no interaction between defoliation and long delays in

the continued success of soursop seeds, (2) There is a significant effect on the success

continued defoliation perlakuaan soursop seeds, (3) There are long delays entres influence on the success of grafting shoots soursop seeds.

Keywords: Annona muricata L., defoliation, long delay, continued soursop.

PENDAHULUAN

Sirsak (Annona muricata L.) merupakan

salah satu jenis tanaman buah yang berasal dari

dataran Amerika Selatan yang beriklim tropis, yang kemudian menyebar luas ke daratan Asia

Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Pada awalnya, Sirsak merupakan tanaman liar dan setelah dibudidayakan umumnya

merupakan tanaman pekarangan. Buah sirsak terdiri atas 67% daging buah yang bisa

dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan selebihnya

bagian tengah buah (Verheij dan Coronel 1997). Perbanyakan tanaman yang populer

dikalangan penangkar benih buah-buahan di Indonesia adalah okulasi dan sambung pucuk

karena caranya mudah dan tingkat

keberhasilanya cukup tinngi Sutarto dan Syah

(1991) menyatakan, perbanyakan benih secara vegetatif merupakan syarat mutlak yang harus

dipenuhi dalam pengadaan benih sirsak yang

bermutu tinggi dengan harapan buah mewarisi sifat asli seperti induknya dan mampu

menghasilkan buah dalam waktu yang tidak

terlalu lama. Penyambungan (Grafting) merupakan kegiatan untuk menggabungkan dua

atau lebih sifat unggul dalam satu tanaman. Untuk memperoleh bibit sambungan yang

bermutu diperlukan batang bawah dan batang

atas yang sesuai dan dapat membentuk bidang sambungan yang sempurna. Keberhasilan

penyambungan ditentukan banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah dan batang atas,

ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro,

Page 2: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

2

dan keterampilan sumber daya manusia, di samping pemeliharaan setelah penyambungan

(Sukarmin 2009a).

Menurut Soegondo (1996), keberhasilan

penyambungan bibit ditentukan oleh kondisi tanaman (umur, besar, kesegaran dan

pertumbuhan) batang bawah dan batang atas

(entres), serta curah hujan dan kelembapan disekitar pembibitan. Lama penyimpanan dan

media penyimpanan batang atas sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh

terhadap keberhasilan penyambungan (Djazuli

et, al, 1999). Selain itu, ketrampilan teknisi penyambung (graftor) ikut menentukan tingkat

keberhasilan penyambungan (Hadad dan

Koerniati, 1996).

Waktu yang baik untuk melakukan penyambungan adalah pada saat cuaca cerah,

Namun ada pula yang menyebutkan bahwa

penyambungan diawal musim kemarau memberikan hasil yang lebih baik dari pada

musim hujan, tetapi hal tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut (Zaubin dan Suryadi, 1999).

Defoliasi daun pada ranting tanaman merupakan salah satu cara untuk mempercepat

pertumbuhan mata tunas yang ada di setiap ketiak daun sehingga mata tunas tampak gemuk

dan bernas. Lukman (2004) menyatakan bahwa

perlakuan defoliasi entres dapat merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan

sink yang kuat. Perlakuan defoliasi akan

menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan meningkatkan kandungan hormon

sitokinin yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan

memacu pembelahan dan penambahan ukuran

sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger

(1998) yang menyatakan dengan turunnya

auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan memacu pembentukan hormon sitokinin guna

merangsang pembentukan tunas. Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan

asimilat pada entres yang didefoliasi.

Akumulasi asimilat akan dapat merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan

jumlah tunas yang tumbuh. Menurunnya tingkat keberhasilan penyambungan pada entres yang

disimpan selama 1 dan 2 hari sebelum

disambung, diduga karena kesegaran entres yang menurun akibat adanya penguapan selama

proses penyimpanan. Hilangnya air akibat

penguapan akan mengganggu kemampuan jaringan entres untuk membentuk kalus yang

merupakan tahap awal proses pertautan antara

batang bawah dengan batang atas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutarto et al. (1989),

yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan

oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan

cadangan zat makanan dan hormon yang cukup. penggabungan dari dua sistem kehidupan maka

dibutuhkan adanya pengkajian bagaimana hasil

selanjutnya dari tanaman yang disambung tersebut.

Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh

kondisi entres (batang atas) dan batang bawah

yang akan disambung. Kondisi batang bawah yang dipergunakan hendaknya diperhatikan

kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan

ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting

dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan Anwarudin, 1980).

Kondisi entres yang perlu diperhatikan adalah kesehatan, kondisi cadangan makanan

dan hormon yang terdapat di dalam entres (Hartmann dan Kester, 1978). Panjang

pendeknya entres berpengaruh terhadap

persentase keberhasilan penyambungan yang dilaporkan oleh Anwarudin, et al. (1989) bahwa

pada sambung pucuk tanaman manggis, entres

yang terdiri dari satu ruas memberikan persentase keberhasilan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan entris yang terdiri dari dua ruas. Menurut Garner dan Chaudri (1979)

dalam Hidayati (1996) bahwa ukuran entris

menentukan keberhasilan dalam penyambungan.

Dalam perbanyakkan secara vegetatif,

antara tempat mengerjakan grafting pohon

induk biasanya berjauhan, kadang bisa antar pulau. Selain itu, jumlah pohon yang akan di

grafting sangat banyak sehingga grafting sulit

diselesaikan dalam waktu satu hari sehingga entres harus dikemas kembali dan disimpan

karena tertundanya waktu grafting (Sjaefuddin dan abdurrahman 2001). Entres harus segera

digunakan utuk okulasi atau sambung pucuk

karena penundaan okulasi dan penyambungan lebih satu hari sejak pengambilan entres akan

menurunkan presentase bibit jadi dan memperlambat pertumbuhan (Mahfudin, 2000).

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh defoliasi

entres dan lama tunda sambung pada keberhasilan grafting bibit sirsak (annona

muricata L.).

Page 3: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

3

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di pembibitan buah-

buahan CV. Tri Karya Abadi Tulungagung. Penelitian berlangsung pada bulan September

sampai dengan bulan Desember 2013. Alat dan bahan yang digunakan antara lain batang atas

(entres, scion) sirsak, batang bawah (rootstok)

sirsak, pisau okulasi gunting pangkas,tali plastik, sungkup plastik (kantong plastik),

polibag, media, tanah, pupuk kandang, pasir,

insektisida papan pengamatan, penggaris, spidol, pensil dan pena.

1. Metode Penelitan Penelitan yang digunakan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2

faktor dan 3 ulangan. Setiap unit perlakuan terdiri atas 15 tanaman yang disambung. Faktor

tersebut adalah sebagi berikut:

a. Defoliasi Entres (D),

(D0) = Entres di defoliasi saat penyambungan,

(D1) = Entres di defoliasi 3 hari sebelum

penyambungan, (D2) = Entres di defoliasi 6 hari sebelum

penyambungan,

(D3) = Entres di defoliasi 9 hari sebelum penyambungan.

b. Lama Tunda Sambung (L),

(L0) = Lama Tunda entres 0 hari

sebelum penyambungan, (L1) = Lama Tunda entres 1 hari

sebelum penyambungan, (L2) = Lama Tunda entres 2 hari

sebelum penyambungan.

2. Pelaksanaan Batang bawah yang digunakan berasal dari

tanamn sirsak dari biji yang sudah dipersiapkan di polibag ukuran 25 x 30 dengan kritetria:

diameter pangkal batang bawah sekitar 5 - 10 mm, umur bibit rata-rata 12 bulan, sehat, dan

subur. Seleksi bibit untuk batang bawah

dilakukan di pembibitan milik sendiri. Dengan tujuan untuk mendapatkan bibit dengan

pertumbuhan yang seragam.

Perlakuan defoliasi untuk sumber bahan

entres dilakukan di kebun. Semua daun bahan entres dibuang dengan menggunakan gunting

pangkas, diberi label sesuai dengan perencanaan yaitu dari -9, -6, -3 dan 0, label

dibungkus plastik lalu di gantungkan pada

ranting entres yang akan didefoliasi, pucuknya dipotong. Entres adalah berupa cabang-cabang

plagiotrop yang sehat, tidak sedang bertunas (flush), warna hijau kecoklatan, dengan

diameter sekitar 7 mm, berasal dari beberapa

pohon induk yang pertumbuhannya seragam. Entres tersebut tetap dipelihara pada pohon

induk sampai saat penyambungan.

Penyambungan dilakukan pada bangunan

pembibitan. Batang bawah dipotong agak miring sesuai dengan perlakuan, pada

ketinggian sekitar 20 cm dari permukaan media bibit (pada bagian batang yang berwarna

coklat). Daun yang disisakan pada batang

bawah adalah yang mempunyai posisi teratas dekat dengan tempat pemotongan. Entres

dipotong dengan panjang sekitar 10 cm, Bagian

atas entres dipotong agak miring sedangkan bagian bawahnya diruncingkan membentuk

huruf V dengan panjang runcingan sekitar 2 cm. Batang bawah dibelah dengan panjang belahan

sedikit lebih panjang dibandingkan runcingan

entres dengan tujuan agar runcingan entres masuk sempurna ke dalam belahan batang

bawah. Entres disisipkan hati-hati ke dalam

belahan batang bawah. Pertautan entres dengan batang bawah diikat dengan kekuatan sedang

dan rapi menggunakan tali plastik sampai entres kokoh dan tidak mudah goyah. Pengikatan

dimulai dari bawah ke atas dengan tujuan agar

pertautan sambungan tidak mudah dimasuki air. Entres dan pertautannya disungkup dengan

kantong plastik es agar kelembabannya terjaga.

Entres sisanya di simpan pada suhu ruang untuk disambung pada 1 sampai 2 hari kemudian.

Setelah penyambungan selesai, bibit sambung kemudian ditempatkan dirumah bibit secara

acak dan dipelihara secara optimal.

Pemeliharaan bibit sambungan meliputi:

pembukaan sungkup plastik, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, penyiangan

dalam polybag, pembuangan wiwilan batang

bawah serta pemupukan.

3. Peubah Peubah yang diamati meliputi persentase

keberhasilan penyambungan, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbentuk.

Data-data yang terkumpul untuk setiap peubah kemudian dianalisis secara statistik

menggunakan sidik ragam. Bagi peubah yang

menunjukkan perbedaan nyata akibat perlakuan diuji lebih lanjut dengan Duncan Multiple

Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Page 4: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

4

4. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap bibit

setelah penyambungan dengan perlakuan

defoliasi dan lama tunda entres, dengan pengamatan persentase keberhasilan

penyambungan (PK), jumlah tunas yang tumbuh (JT), panjang tunas (PT), jumlah daun

(JD). Pengamatan awal dilakukan mulai saat

sambungan bibit sudah tersambung.

a. Persentase keberhasilan sambungan, dihitung jumlah sambungan yang hidup

dan yang mati pada umur sambungan 4

mss dengan rumus:

Persentase keberhasilan

sambungan

= Sambungan hidup

x 100% Jumlah tanaman

b. Jumlah tunas yang terbentuk dihitung dari

jumlah tunas yang berhasil tumbuh, dihitung pada umur tanaman 4 mss, 5 mss

dan 6 mss.

c. Panjang tunas, diukur pada tunas yang sudah tumbuh menggunakan penggaris

ukuran 30 cm pada umur tanaman 4 mss, 5 mss dan 6 mss.

d. Jumlah daun, dihitung jumlah daun yang

telah membuka secara sempurna pada umur tanaman 4 mss, 5 mss, dan 6 mss.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Keberhasilan Sambungan Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%

dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang

nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap persentase

keberhasilan sambung. Tetapi dari pengamatan

4 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan lama tunda sambung

(L). Dari hasil uji BNT 5% pada peubah rata-rata persentase keberhasilan sambung untuk

perlakuan lama tunda sambung (L) umur 4

minggu setelah sambung dapat dilihat bahwa entres yang langsung didefoliasi dan tanpa

penundaan sambung memberikan persentase

keberhasilan sambungan yang lebih tinggi dari pada penundaan sambung 1 dan 2 hari dengan

rata-rata jumlah keberhasilan 92.09% untuk lama tunda sambung 0 hari, 85.61% untuk lama

tunda sambung 1 hari dan 77.30% untuk lama

tunda sambung 2 hari. Sedangkan lama tunda sambung 1 hari (L1) pada umur 4 minggu

setelah sambung lebih tinggi tingkat keberhasilan penyambungan dibanding lama

tunda sambung 2 hari (L2). Hal ini disebabkan

semakin lama penundaan sambung sirsak semakin rendah tingkat keberhasilan

penyambungan. Menurunnya tingkat

keberhasilan penyambungan pada entres yang 1 hari dan 2 hari sebelum disambung, diduga

kesegaran entres menurun akibat adanya penguapan selama proses penyimpanan serta

dipengaruhi oleh perlakuan defoliasi. Secara

visual terlihat bahwa entres yang ditunda sambung 1 hari dan 2 hari sudah mulai layu.

Hal ini sejalan dengan (Sutarto et, al. 1998

dalam jurnal Jawal, M Anwarudin Syah 2008), yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan

oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan

cadangan zat makanan hormon yang cukup.

Defoliasi daun pada entres juga sangat

mempengaruhi keberhasilan dalam penyambungan bibit sirsak. Karena defoliasi

entres akan meningkatkan kandungan asimilat

pada entres. Akumulasi asimilat akan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel

untuk pembentukan jaringan baru di daerah

pertautan sambungan sehingga meningkatkan persentase sambungan jadi. Sesuai dengan

pendapat Lukman (2004) yang menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat

mendukung persentase sambung jadi karena

berkaitan dengan kandungan asimilat yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi.

Akumulasi asimilat dapat merangsang

pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel, yang kemudian mendorong proses pertautan

antara batang atas dan bawah.

Pada saat defoliasi entres optimal bisa

menghasilkan persentase sambungan jadi lebih tinggi. Defoliasi entres yang dilakukan pada

saat optimal berkaitan dengan kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah.

Kompatibilitas kecepatan pertumbuhan batang

atas yang berbeda dengan batang bawah akan mengakibatkan kematian sambungan. Sesuai

dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang

menyatakan bahwa inkompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah

dapat mengakibatkan kematian sambungan.

Akumulasi fotosintat akan digunakan untuk mendorong pembentukan jaringan baru di

daerah pertautan sambungan sehingga

persentase sambungan jadi makin tinggi. Sejalan dengan pendapat Zaubin dan Suryadi

(2002) yang menyatakan bahwa proses

pertautan sambungan memerlukan energi yang cukup besar sehingga peranan daun batang

Page 5: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

5

bawah sebagai penghasil fotosintat menentukan proses pertautan sambungan.

Keberhasilan penyambungan ditentukan

banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah

dan batang atas, ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro, dan keterampilan

sumber dayamanusia, di samping pemeliharaan

setelah penyambungan (Sukarmin 2009a).

Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh kondisi entres (batang atas) dan batang bawah

yang akan disambung. Kondisi batang bawah

yang dipergunakan hendaknya diperhatikan kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan

ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting

dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan

Anwarudin, 1980). Untuk peubah rata-rata persentase keberhasilan sambung bibit sirsak

dapat dilihat pada grafik dibawah ini:

Gambar 1. Grafik rata-rata persentase

keberhasilan sambung umur 4

minggu setelah sambung

Rata-Rata Jumlah Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%

bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara

perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada pengamatan 4, 5, 6 minggu

setelah sambung. Tetapi pada peubah rata-rata

jumlah tunas pada perlakuan defoliasi entres (D) dan lama tunda sambung (L) didapatkan

adanya perbedaan yang nyata pada umur 4 dan

5 minggu setelah sambung. Rata–rata jumlah tunas sambung untuk bibit sirsak sangat

dipengaruhi oleh defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada waktu penyambungan.

Untuk hasil rata-rata jumlah tunas pada D2

(Defoliasi 6 hari) memberikan hasil yang paling baik yaitu 3.49 diikuti oleh (D3) yaitu 3.10,

(D1) 3.02 dan (D0) 2.33.

Hal ini disebabkan defoliasi entres

tampaknya mempengaruhi jumlah tunas

sambungan yang tumbuh pada bibit sambung pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena

berkaitan erat dengan keseimbangan hormon

dan kandungan asimilat (sumber energi) yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta

kandungan asimilat dan potensi fotosintat batang bawah. Kenyataan yang hampir sama

ditemukan pula oleh Darmanti, Setiari, dan

Romawati (2008), bahwa perlakuan defoliasi pada bibit jarak pagar (Jatropha curcas) umur 4

bulan dapat meningkatkan pembentukan dan

pertumbuhan cabang lateral.

Perlakuan defoliasi akan menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan

meningkatkan kandungan hormon sitokinin

yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan

memacu pembelahan dan penambahan ukuran sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan

tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger

(1998) yang menyatakan dengan turunnya auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan

memacu pembentukan hormon sitokinin guna

merangsang pembentukan tunas.

Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan asimilat pada entres yang

didefoliasi. Akumulasi asimilat akan dapat

merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan jumlah tunas yang tumbuh.

Lukman (2004) menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat meningkatkan akumulasi

asimilat pada cabang entres yang didefoliasi.

Akumulasi asimilat akan merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan

sink yang kuat. Sesuai pula dengan pendapat

Wright (1989) yang menyatakan bahwa tunas dan pucuk merupakan sink yang kuat sehingga

memerlukan asimilat yang banyak untuk pertumbuhannya.

Pertumbuhan yang cepat memerlukan asimilat yang cukup banyak. Namun demikian

karena pertautan sambungan belum sempurna akan terjadi hambatan translokasi asimilat dari

batang bawah sehingga mengganggu

pertumbuhan batang atas. Proses pertautan sambungan bervariasi antara lain tergantung

spesies dan umur tanaman. Perbedaan laju tumbuh batang atas dengan batang bawah

mengakibatkan tidak tercipta kompatibilitas

pertumbuhan dan pertautan sambungan. Keadaan ini mengakibatkan terganggunya

pertumbuhan tunas sambungan termasuk

jumlah tunas yang tumbuh. Sejalan dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang

menyatakan bahwa pertumbuhan tunas akan

Page 6: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

6

terganggu atau bahkan mati jika terjadi inkompatibilitas sambungan.

Daun dalam jumlah yang cukup akan

menghasilkan fotosintat yang maksimal dan

mengurangi transpirasi yang berlebihan sehingga tanaman tumbuh baik dan tidak

mudah layu. Daun berfungsi sebagai penghasil

fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Daun yang lebih banyak akan

menghasilkan fotosintat yang lebih banyak. Fotosintat yang dihasilkan akan digunakan

untuk pertumbuhan tunas sambungan. Sesuai

dengan itu Waard dan Zaubin (1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk

proses pertumbuhan tunas dan pertautan

sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak.

Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih

banyak dan kandungan klorofil yang lebih

tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sehingga memungkinkan tanaman

untuk tumbuh pesat.

Batang atas yang pertumbuhannya serasi

dengan batang bawah dan pertautan sambungan yang sempurna akan melancarkan translokasi

asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan

mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar

(2007) menyatakan bahwa pada sambungan yang serasi atau kompatibel antara batang atas

dan batang bawah akan menghasilkan jumlah

tunas sambungan yang banyak. Untuk rata-rata jumlah tunas pada peubah perlakuan defoliasi 4,

5 dan 6 minggu sebelum sambung dapat dilihat

pada grafik berikut ini:

Gambar 2. Grafik rata–rata jumlah tunas pada

perlakuan defoliasi entres pada umur 4 dan 5 minggu setelah

sambung

Sedangkan untuk rata-rata jumlah tunas pada lama tunda sambung bibit Sirsak hasil

yang paling baik pada lama tunda sambung 1

hari (L1) dengan rata- rata jumlah tunas 3.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari yaitu

rata-rata jumlah tunas 3.27 dan 2.73 untuk lama tunda sambung 0 hari (L0). Hal ini di pengaruhi

oleh defoliasi dan lama tunda sambung, yang

sangat berpengaruh terhadap jumlah tunas sambungan yang tumbuh pada bibit sambung

pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena

berkaitan erat dengan keseimbangan hormon dan kandungan asimilat (sumber energi) yang

terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta kandungan asimilat dan potensi fotosintat

batang bawah. Defoliasi daun pada entres dapat

meningkatkan cadangan makanan dan hormon pada entres ditandai dengan mata tunas yang

gemuk, bernas dan sedikit menonjol. Hal ini

dapat mempercepat pertumbuhan tunas. Hartmann dan Kester (1995) menyatakan

bahwa cadangan makanan yang terbentuk dari proses fotosintesis diperlukan untuk memacu

pembentukan kalus di daerah pertautan dan

meransang mata tunas untuk tumbuh. Batang atas yang pertumbuhannya serasi dengan batang

bawah dan pertautan sambungan yang

sempurna akan melancarkan translokasi asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan

mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar

(2007) menyatakan bahwa pada sambungan

yang serasi atau kompatibel antara batang atas dan batang bawah akan menghasilkan jumlah

tunas sambungan yang banyak. Jumlah rata-rata

untuk lama tunda sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 3. Grafik rata–rata jumlah tunas pada

perlakuan lama tunda sambung

umur 5 dan 6 minggu setelah

sambung

Page 7: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

7

Rata-Rata Panjang Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%

dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang

nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap rata-rata panjang

tunas pada pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung. Tetapi dari pengamatan 4, 5, 6

minggu setelah sambung terdapat pengaruh

defoliasi pada rata-rata panjang tunas dan rata-rata jumlah lama tunda sambung (L). Pada

perlakuan defoliasi ini yang paling baik adalah

pada D2 (defoliasi 6 hari) dengan rata-rata panjang tunas 16.32 diikuti oleh (D1) yaitu

15.58, (D0) 13.82 dan (D3) dengan rata-rata jumlah panjang tunas 13.01. Hal ini disebabkan

panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak

setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres

dan lama tunda entres sirsak sebelum di

sambung.

Hasil penelitian yang hampir serupa disimpulkan pula oleh Muthohar (2007) bahwa

defoliasi entres memberikan pengaruh terhadap

panjang tunas bibit sirsak hasil sambung pucuk.

Defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan memacu pembentukan

hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi.

Hormon sitokinin berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan

ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan tunas bertambah panjang. Sesuai dengan

pendapat Salisbury dan Ross (1995) yang

menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel sehingga

tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah

panjang. Alvim, Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan bahwa defoliasi entres akan

menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang peningkatan sitokinin guna

memacu pertumbuhan panjang tunas.

Defoliasi entres pada saat yang optimal mengakibatkan batang atas tumbuh terlalu

cepat. Batang atas yang tumbuh cepat akan

memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum sempurna.

Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan panjang tunas sambungan. Sebaliknya defoliasi

entres yang terlambat akan mengakibatkan

panjang tunas tumbuh lebih lambat. Laju tumbuh batang atas yang berbeda dengan

batang bawah akan mengakibatkan tidak terciptanya kompatibilitas pertumbuhan.

Kompatibilitas pertumbuhan dan pertautan

sambungan akan mempengaruhi aliran nutrisi, hormon, enzim dan air. Gangguan ini akan

mengakibatkan pertumbuhan panjang entres menjadi tertekan. Sesuai dengan pendapat

Mathius, Lukman dan Purwito (2007) yang

menyatakan bahwa sambungan yang tidak kompatibel mengakibatkan terjadinya hambatan

translokasi nutrisi, air, hormon dan aktifitas enzim yang melewati daerah pertautan antara

batang bawah dengan batang atas. Hartman et

al. (1997) menyatakan pula bahwa salah satu ciri inkompatibilitas adalah terjadinya hambatan

pertumbuhan tunas sambungan sehingga

menjadi lebih pendek.

Tanaman dengan cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah membuat tunas

sambungan tidak akan tumbuh dengan baik

karena tunas sambungan merupakan sink yang kuat. Sesuai dengan pendapat Crabbe dan

Barnola (1996) yang menjelaskan bahwa tunas yang tumbuh adalah sink yang kuat.

Terciptanya kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan

membuat translokasi fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga

tunas lebih cepat bertambah panjang. Sesuai

pula dengan pendapat Errea, Garay dan Marin (2001) yang menyatakan jika translokasi

nutrisi, air, hormon, enzim serta fotosintat

berjalan dengan baik antara batang atas dan batang bawah, maka tunas sambungan akan

tumbuh lebih cepat. Jumlah rata-rata untuk panjang tunas 4, 5, dan 6 minggu setelah

sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 4. Grafik rata–rata panjang tunas

pada perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu

setelah sambung

Pada perlakuan lama tunda sambung ini

hasil yang paling baik adalah ada (L0) lama

tunda sambung 0 hari pada 4 minggu setelah smbung dengan rata-rata panjang tunas 10.13

dan sangat berbeda nyata dibanding lama tunda

Page 8: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

8

sambung 1 hari dengan jumlah rata-rata panjang 9.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari

dengan jumlah rata-rata panjang tunas 9.17.

Untuk perlakuan lama tunda sambung (L) pada 5 minggu setelah sambung dan 6 minggu

setelah sambung tidak ada perbedaan nyata, panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak

setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh

pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Defoliasi entres akan menurunkan kandungan

hormon auksin dan memacu pembentukan

hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi. Hormon sitokinin berperan merangsang

pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan

tunas bertambah panjang.

Gambar 5. Grafik rata-rata jumlah panjang

tunas pada perlakuan lama tunda

sambung umur 4 minggu setelah sambung

Sesuai dengan pendapat Salisbury dan

Ross (1995) yang menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan

pembesaran sel sehingga tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah panjang. Alvim,

Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan

bahwa defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang

peningkatan sitokinin guna memacu pertumbuhan panjang tunas. Tanaman dengan

cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah

membuat tunas sambungan tidak akan tumbuh dengan baik karena tunas sambungan

merupakan sink yang kuat. Terciptanya

kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan membuat translokasi

fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga tunas lebih cepat bertambah

panjang. Sesuai dengan itu Waard dan Zaubin

(1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk proses pertumbuhan tunas dan pertautan

sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah

daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak. Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002)

menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih

tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih

banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus

bertambah. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap panjang tunas.

Rata – Rata Jumlah Daun Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%

dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang

nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama

tunda sambung (L) terhadap jumlah daun. Dari pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung

terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan

defoliasi terhadap jumlah daun dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Hasil uji BNT 5%

pada peubah rata–rata jumlah daun untuk perlakuan defoliasi dapat dilihat pada (tabel 7)

dengan rata-rata jumlah daun 7.99 pada (D2)

defoliasi 6 hari merupakan hasil yang terbaik diikuti perlakuan (D1) yaitu 7.01, (D3) yaitu

6.81 dan (D0) dengan jumlah daun rata-rata

6.69. Jumlah daun bibit sambung pucuk bibit sirsak setelah penyambungan ternyata

ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Karena defoliasi entres dapat

menurunkan kandungan hormon auksin pada

entres dan meningkatkan kandungan hormon sitokinin. Peningkatan kandungan hormon

sitokinin dapat memacu pertambahan jumlah

dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun tanaman. Sesuai

dengan pendapat Alvim, Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan

defolasi akan menurunkan kandungan hormon

auksin dan merangsang pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang

berpengaruh terhadap jumlah daun sambungan.

Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan pula bahwa sitokinin berperan

memacu pembelahan sel dan pembesaran sel untuk pembentukan organ tanaman seperti

daun. Defoliasi entres yang terlalu awal

mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu

cepat akan memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum

sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi

asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan daun sambungan menjadi terganggu.

Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan

mengakibatkan batang atas tumbuh lebih lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal

berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh

Page 9: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

9

batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Sejalan

dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang

menyatakan bahwa jika terjadi inkompatibilitas sambungan mengakibatkan pertumbuhan tunas

terganggu atau bahkan mati. Pertumbuhan tunas erat kaitannya dengan jumlah daun sambungan.

Daun berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman, karena di dalam daun

terjadi proses fotosintesis. Jumlah daun yang cukup akan menghasilkan fotosintat yang lebih

banyak sebagai energi bagi pertumbuhan

sehingga tanaman tumbuh pesat. Sesuai dengan pendapat Fahn (1995) yang menyatakan bahwa

dalam proses fotosintesis akan dihasilkan

fotosintat sebagai sumber energi pertumbuhan tanaman yang ditentukan oleh jumlah daun

tanaman. Fotosintat yang lebih banyak akan digunakan untuk memacu laju pertumbuhan

jumlah daun batang atas. Sesuai pula dengan

pendapat Sukarman, et al.(2002) yang menyatakan bahwa jika daun lebih banyak dan

kandungan klorofil yang tinggi akan dihasilkan

fotosintat yang lebih banyak untuk didistribusikan keseluruh organ tanaman

termasuk daun itu sendiri. Kompatibilitas pertumbuhan batang atas yang sesuai dengan

batang bawah akan meningkatkan proses

metabolisme tanaman sehingga tanaman tumbuhan dengan baik. Tanaman yang tumbuh

lebih baik akan menghasilkan jumlah daun

sambungan yang lebih banyak. Sesuai dengan pendapat Lizawati (2002) yang menyatakan

bahwa kesesuaian pertumbuhan antara batang atas dan batang bawah akan mengakibatkan

proses metabolisme tanaman berlangsung lebih

baik sehingga tanaman akan tumbuh pesat.untuk rata-rata jumlah daun pada 4, 5 dan

6 setelah sambung dapat dilihat pada grafik

berikut:

Gambar 6. Grafik rata - rata jumlah daun pada

perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah

sambung

Sedangkan untuk peubah perlakuan lama tunda sambung 0, 1, dan 2 hari, rata-rata jumlah

daun 7.65 merupakan hasil yang paling baik

pada (L0) lama tunda sambung 0 hari. Untuk perlakuan lama tunda sambung dari

pengamatan 4,5,6 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada jumlah

daun yang tumbuh. Hal ini disebabkan adanya

perlakuan defoliasi dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Lebih lanjut Sukarman, et

al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang

lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih

banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus

bertambah. Karena hormon yang terdapat pada

batang atas atau entres adalah hormon sitokinin yang dapat memacu pertambahan jumlah dan

ukuran sel serta differensiasi sel untuk

pembentukan organ daun tanaman. Peningkatan kandungan hormon sitokinin dapat memacu

pertambahan jumlah dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun

tanaman. Sesuai dengan pendapat Alvim,

Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan defolasi akan menurunkan

kandungan hormon auksin dan merangsang

pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang berpengaruh terhadap

jumlah daun sambungan.

Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995)

menyatakan pula bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel

untuk pembentukan organ tanaman seperti daun. Defoliasi entres yang terlalu awal

mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu

cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu cepat akan memerlukan asimilat yang banyak

sementara pertautan sambungan belum

sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan

daun sambungan menjadi terganggu. Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan

mengakibatkan batang atas tumbuh lebih

lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh

batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Untuk

rata-rata jumlah daun pada lama tunda (L) dapat

dilihat pada grafik berikut ini:

Page 10: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

10

Gambar 7. Grafik rata–rata jumlah daun pada

perlakuan lama tunda sambung

pada umur 4, 5 dan 6 minggu

setelah sambung

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara

defoliasi dan lama penundaan sambung

pada keberhasilan sambung bibit sirsak.

2. Perlakuan defoliasi (D) berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak,

perlakuan terbaik adalah entres yang

didefoliasi 6 hari sebelum sambung (D2). 3. Perlakuan lama penundaan sambung (L)

berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak, perlakuan yang

terbaik adalah tanpa tunda sambung atau 0

hari (L0) yang tidak berbeda dengan penundaan sambung 1 hari (L1).

Saran 1. Mempercepat waktu defoliasi daun entres

sirsak dapat meningkatkan keberhasilan

penyaambungan.

2. Penggunaan entres sirsak sebaiknya menggunakan entres yang tidak muda

karena kemungkinan berhasil minim sekali.

3. Perbanyakan bibit sirsak sebelum

penyambungan perlu sekali untuk dilakukan defoliasi daun agar sambungan

tingkat keberhasilan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Anwarudin M.A., 1. Sutarto, dan H. Sunarjono.

1989.Stimulasi pertumbuhan Semai Manggis (Garciniamangos/ana L.)..l Hort.

5(2): 33 -38

Alvim, P de T., R. Lorentz and P.F Saunders. 1974. The Possible Role of Absisic Acid

and Cytokinins in Growth Rhytms of

Theobroma cacao. Revista, Theobroma, 4, p:3-12.

Campbell, N.A., Reece, J.B. and Mitchell, L.G.

1999. Biology, fifth edition. The Benyamin Cumming Publishing Co. California.

Crabbe, J. dan Barnola P. 1996. A New Conceptual Approach to Bud Dormancy in

Woody Plants.In G.A. Lang (edt.)in Plant

Dormancy. CAB International. 381 p. Darmanti, S, N. Setiari, dan T. D. Romawati.

2008. Perlakuan Defoliasi untuk Errea, P.,

L. Garay and A.J. Marin. 2001. Early Detection of Graft Incompatibility in

Apricot (Prunus Armeniaca) Using in Vitro Techniques. Physiol. Plant., 112,

135-141.

Djazuli, M., E.A. Hadad, A. Dhalimi, dan R. Suryadi. 1999. Pengaruh Medium dan

Waktu Penyimpanan terhadap

Keberhasilan Sambung Pucuk Jambu Mete. Buletin Tanaman Rempah dan Obat

10 (1): 9-16. Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT

Gramedia Jakarta.

Hartman H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation Principle and Practices.

Prentice Hall INC Englewood. New York.

Hal. 331 – 340. Hartmann, H.T. and D.E. Kester. 1995. Plant

Propagation. Priciples and Practices. Prentice Hall of India Private Limited,

New Delhi. 661 pp.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plant Propagation

Principles and Practices. 6 th. ed. Prentice

Hall, Englewood Cliffs, New York. 662 p. Hidayati, N. 1996. Pengaruh Umur Batang

Bawah dan Panjang Entris Terhadap Keberhasilan Sambungan Alpukat.

Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.

Hal. 37 – 38. Hadad, E.A. dan S. Koerniati. 1996. Sambung

Pucuk Sebelas Nomor Harapan Jambu

Mete Langsung di Lapang. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas

Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 265-271.

Kalie, M. B. dan M. J. Anwaruddin. 1980.

Penetapan Umur Pohon Pangkal Durian, cara Menyusunnya Serta Waktu

Pemotongan. Dalam Buletin Holtikultura Vol VII No. 9. Jakarta. Hal. 39 – 42.

Lizawati. 2002. Analisis Interaksi Batang

Bawah dan Batang Atas pada Okulasi Tanaman Karet. Tesis. Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 11: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

11

Lukman, W. 2004. Teknik Sambung Pucuk Menggunakan Stadium Entres yang

Didefoliasi pada Jambu Mete. Buletin

Teknik Pertanian, Vol. 9, Nomor 1, 2004. Muthohar, Fendra Bagus. 2007. Respon

Beberapa Varietas Entres Mangga (Mangifera Indica L.) pada Perbedaan

Waktu Defoliasi terhadap Pertumbuhan

Bibit Secara Grafting. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Mathius, T.N, Lukman dan A. Purwito. 2007.

Kompatibilitas Sambung Mikro Cinchona ledgeriana dengan C. succirubra

Berdasarkan Anatomi dan Elektroforesis SDSPAGE Protein Daerah Pertautan.

Menara Perkebunan, 2007, 75(2), 56-69.

Mahfudin. 2000. Pengaruh Lama Penyimpanan Entres Terhadap Pertumbuhan Bibit Hasil

Okulasi dan Sambung Pucuk Pada

Tanaman Durian (Durio Zibethinus Murr.). Fakultas Pertanian Universitas

Juanda, Bogor. hlm. 21-28. Sutarto, I., Sunarjono dan Hasan. 1989.

Pengeratan Cabang Entris pada Sambung

Pucuk Avokad, Durian, dan Duku. Penel. Hort. 3(4):11-15.

Sutarto, I. dan M. J. A Syah 1991. Pengaruh

Jumlah Nodus dan Pengertian Entris Pada Sambung Pucuk Sirsak (Annona muricata

L.). Buletin Penelitian Holtikultura Vol 14. No. 4. 1991. Solok. Hal. 11 – 16.

Sukarmin. 2009a. Teknik Penyambungan Sirsak

Ratu dengan Pemanfaatan Batang Bawah. hlm. 38-41. Prosiding Temu Teknis

Pejabat Fungsional Nonpeneliti. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Setiawan, W. 2009. Jaringan Tumbuhan. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Soegondo, B. 1996. Pembibitan Jambu Mete

Secara Sambung di Balai Penelitian Getas. Balai Penelitian Getas, Salatiga. 7 hlm.

Sjaefudi, A. dan Abdurrahman, 2001. Daya simpan Entres dan Penggunaan Media

Pembungkusnya Pada Tanaman Sirsak.

Bul, Teknik Pert. 6(1):26-28. Sukarman, D. Rusmin dan Melati, 2002.

Pengaruh Asal Sumber Benih dan Cara Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih

Jahe (Zingiberofficinale L.)

Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Bogor

Taiz and Zeiger. 1998. Plant Physiology.

Sinauer Associates Inc., Publisher. Sunderland. Massachusett. 623 hal.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung.

343 hal.

Villalobos, V.M. and M.E. Aquilar. 1991. Plant Production of Cocoa (Theobroma cacao

L.) through Micrografting of Somatic

Emryios. Proc. 1991 Int. Cocoa Conf. Kuala Lumpur, pp: 401 – 408.

Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel. 1997. Prosea, Sumberdaya Nabati Asia

Tenggara 2. Gramedia, Jakarta.

Wright C.J., 1989. Interactions Between Vegetative and Reproductive Growth. P:

15-28 On Manipulation of

Fruiting.Butterworths. London. P. 414. Waard, P. W. F. De and R. Zaubin. 1993.

Callus Formation During Grafting of Woody Plants. Tropical Agriculture, 9

(10): pp 9 -19.

Zaubin, R. dan R. Suryadi. 1999. Laporan Teknis Studi Pengembangan Tanaman

Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 1-6. Zaubin, R. dan Suryadi. 2002. Pengaruh

Topping, Jumlah Daun dan Waktu Penyambungan terhadap Keberhasilan

Penyambungan Mente di Lapangan. Jurnal

Littri, vol. 8, no. 2, hal: 55- 59.

Page 12: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 12 - 20 ISSN : 2088-2440

INSTRUCTIONAL MANAGEMENT OF THE ENGLISH FOR

SPECIFIC PURPOSES FOR THE AGROTECHNOLOGY AND

AGRIBUSINESS STUDIES: AN EXPERIMENTIAL REFLECTIVE PRACTICE

Supriyono

Lecturer at Balitar Islamic University and

Visiting Lecturer at Post-Graduate Studies of Diponegoro Islamic College Email: [email protected]

Abstrak: Universitas Islam Balitar sebagai universitas entrepreneurial secara ekstensif

telah mendiversifikasi kurikulum dan menghasilkan pengembangan kurikulum yang lebih maju dan profesional. Salah satunya adalah Pendidikan Bahasa Inggris untuk Tujuan

Spesifik (English For Specific Purposes). Dalam konteks studi-studi agroteknologi dan

agribisnis Fakultas Pertanian, pembelajaran Bahasa Inggris untuk Tujuan Spesifik ditujukan untuk membantu mahasiswa agar mampu membaca jurnal, buku akademik,

dan artikel-artikel akademik yang berhubungan dengan studi-studi mereka. Tantangan

utama dari pembelajaran ESP adalah pengembangan kurikulum, metodologi dan strategi pembelajaran, sumber-sumber belajar, dan kesiapan mahasiswa. Hasil analisis

kebutuhan yang seksama menunjukkan bahwa prioritas yang harus dikembangkan di dalam pembelajaran ESP meliputi ketrampilan transliterasi, faktor-faktor sintaksis, dan

faktor-faktor semantik yang umum. Hasil observasi dalam dua sesi pertama ESP,

menunjukkan perlunya mana-jemen pembelajaran untuk membantu mahasiswa berhasil di dalam belajar ESP. Manajemen pembelajaran tersebut meliputi analisis kebutuhan

mahasiswa, kompetensi dan perilaku, persiapan pembelajaran, perlakuan pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan kombinasi kepemim-pinan pedagogi dan kepemimpinan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hasil refleksi profesional atas

proses pembelajaran menunjukkan bahwa kombinasi pem-belajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan tugas yang berpusat kepada mahasiswa dan kepemimpinan

situasional telah menjadikan mahasiswa mampu melakukan transliterasi teks-teks

Bahasa Inggris ke dalam konversi Bahasa Indonesia yang dapat diterima dan mengerjakan tugas akhir berupa transliterasi artikel-artikel dan buku-buku dari ilmiah

berkenaan dengan studi-studi Agroteknologi dan Agribisnis. Kesimpulan dari refleksi

profesional ini adalah kombinasi pendekatan pedagogis dan kepemimpinan situasional telah mencapai tujuan pembelajaran ESP untuk studi-studi Agroteknologi dan

Agribisnis. Disarankan bahwa refleksi profesional ini ditindaklanjuti dengan penelitian tindakan partisipatori (Participatory Action Research) dan penelitian riset dan

pengembangan (research and development).

Kata-kata kunci : Manajemen Pembelajaran (Instructional Management), Bahasa

Inggris untuk Tujuan spesifik (English for Specific Purposes), Agroteknologi (Agrotechnology) dan Agribisnis (Agribusiness studies).

INTRODUCTION

The new emergence of knowledge and

technology has influenced the advancement of

industrial and economic practices on of which is using the information and communication

technology. It forces the higher education institution to face global challenges, future

compertence requirements, community

perception, knowledge and pedagogic

development, and recent chalenges phenomena. These challenges include globalization and

glocalization in all sorts of life (Supriyono,

2013:2). Such phenomenon has been predicted by Toffler (1970) by calling future shock,

Toffler (1980) on the Third Wave book, and Naisbit (1982) on the Megatrens. The

competition of “man and machine” of Toffler

Page 13: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

13

and the notion of “hightech and high touch” must be managed in such a way that the higher

education institution provides advance

knowledge to students and enables their students to understand the language of

technology. Most of technological information and new knowledge have been written in

English. Therefore, English trasliteration skill is

highly neeed by students. Looking at the advancement of knowledge and technology,

mainly the Agro technology and Agribusiness,

the Faculty of Agriculture of Balitar Islamic University has provided a compulsory English

for Specific course that aims at enabling students to read scientific texts such as journal,

book, and other scientific articles related to

Agro technology and Agribusiness studies. To succeed the English for Specific Purposes

inlining this purpose, there needs an effective

method and classroom management to support students in learning the English for Specific

Purposes. Having this background, the writer conducts this action research to contribute the

fulfillment of the need.

Focus and Objective This instructional professional practice is a

scientific approached initiative employing

the principles of an action research with the

focus of ESP classroom management using the combined task-based language teaching and

situational leadership approach to enable Agro

Technology and Agribusiness students to transliterate scientific English texts into

Indonesian.

The objective of this semi action research is then describing how the classroom management

improves the ability of the ESP students of Agro Technology and Agribusiness to

transliterate scientific English texts into

Indonesian.

Theoretical Review

English for Specific Purposes has grown

tremendously since 1960 (Anthony, 2014: 1). However, there has been many discussions on

how ESP is approched as a field of study. Anthony (2014:1) states that:

“...discussion list about whether or not English for Academic Purposes (EAP)

could be considered partof ESP in general. At the Japan Conference on ESP also, clear

differences in how people interpreted the

meaning of ESP could be seen. Some described ESP as simply being the

teaching of English for any purpose that could be specified. Others, however, were

more precise describing it as the teaching

of English used in academic studies, or the teaching of English for vocational or

professional purposes.” Considering that the purposes of English

learning in the non English Department in

Balitar Islamic University are different among one department to other departments, the

University considers that the course is named

English for Specific Purposes Course that is translatable to Bahasa Indonesia as Bahasa

Inggris Profesi. English for Specific Purposes can be

defined as a course that meets specific needs of

the learners, makes use of Definition of ESP of underlying methodology and activities of the

discipline it serves, and centered on the

language appropriate to these activities in terms of grammar, lexis, register, study skills,

discourse and genre (Dudley-Evans, 1997, in Anthony, 2014:2). Further, Anthony (2014:3)

states:

“...From the definition, we can see that

ESP can but is not necessarily concerned with a specific discipline, nor does it have

to be aimed at a certain age group or

ability range. ESP should be seen simple as an 'approach' to teaching, or what Dudley-

Evans describes as an 'attitude of mind'.”

Aiming at the certain group can be said as "ESP is an approach to language teaching in

which all decisions as to content and method are based on the learner's reason for learning"

(Hutchinson and Waters., 1987:19). ESP has

been brought about by a combination of three important facts, which are the expansion of

demand for English to suit particular needs and

developments in the linguistics and educational psychology fields (Hutchinson and Waters,

1987:8). Thus, the tasks of ESP lecturer will contain needs analysis, selection of materials,

and appropriate approach or method suit to the

needs and characteristics of the learners. In terms of language teaching methodology, a lot

of language teaching methodology have been developed for the purpose of teaching English.

Task-based methodology has been widely used

in teaching English to make students’ active and gain their language knowledge and skill

through tasks (Supriyono, 1996:41). With

reference to Crookes and Chaudron (1991:50-51), Supriyono (1996:42) defines “task” as

“any specifically designed activity in EFL

Page 14: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

14

teaching and learning which a teacher alone or together with students sets up to facilitate

language learning”. Learning a language using

tasks can be called as “Task-based learning” (Hammer, 1991:34). With tasks, language can

be learned through active experience and when learners are exposed to directed activitries

involving problem solving in the target

language, learning will take place and powerful (Allwright, 1977:5; Bire, 1993:20).

Poopatwiboon (1993:22) says that task-based

language teaching is a type of Communicative Language Teaching (CLT). Tasks are proposed

to be units of language analysis (Breen, 1987). As a system of language syllabus, there are

three kinds of syllabus with task-based

language teaching (Supriyono, 1996:44). Long and Crookes (1992) name them as prosedural,

process, and task-based language teaching

syllabuses. The procedural syllabus is used with the assumption that “...language structure is

best acquired when the learners are preoccupied with understanding ...in a task”

(Supriyono, 1996:44). The tasks will give

students some processes of thought (Prabhu, 1987:24). Language lessons are facilitated with

the so-called pre-task, task, and feed-back

(Prabhu, 1984: 1984; Barreta and Davies, 1985:121, also in Supriyono, 1996:44). The

process syllabus uses tasks with no presetting tasks, but with negotiation and preinterpretation

(Breen and Candlin, 1980; Breen, 1984; and

Candlin, 1987; also in Supriyono, 1996:45). In this case, teachers do not require to have

prepared tasks and they will negotiate with

students in classes. Finally, the Task-Based Language Teaching (TBLT) syllabus is

employed under the assumption that learners best learn languages through using tasks in real

situations (Long and Crookes, 1992, also in

Supriyono, 1996:45). Such syllabus is best said as the type of communicative language teaching

(Poopatwibon, 1993:20) that enables students to

do tasks which mean clasroom work leading them to comprehend, manipulate, produce, and

interact in the target language (Nunan, 1989:10). Poopatwiboon (1993:21) argues that

among the tree types, the TBLT is powerful by

employing target tasks identification, task types classification, and pedagogic task design.

Supriyono (1996), however, found out in his research in victorian primary schools, Australia

that procdedural syllabus was very powerful to

learn target language faster with limitation of learning time,

Upon the use of any of the three types syllabuses, classroom management is crucial

for divers levels of the students’ English

background. Therefore, a review on the classroom management is essential to discuss.

A classroom management is defined as follow:

“Classroom management is a gestalt,

dependent upon several interdependent components: (1) an engaging curriculum;

(2) working with anger, projection, and depression; (3) students as responsible

citizens; (4) the teacher as a self-knowing

model; (5) classroom management skills; (6) working with resistance, conflict, and

stress; and (7) robust instruction” (Hanson,

1998). In line with the above definition, classroom

management also refers to:

“...to the procedures, strategies, and

instructional techniques teachers use to manage student behavior and learning

activities. Effective classroom management creates an environment that is

conducive to teaching and learning.

Ineffective classroom management often creates chaos.” (Starr, 2004)

Therefore, management functions of

instruction are essential. These are instuctional planning, pupil and tasks leading and

organization, classroom intervention that include controlling, and feedback as well as

evaluation. As long as the writer experience in

teaching language for more that 15 years concerns, adopting the situational leadrship in a

classroom management is beneficial.

Situational leadership is an approach of leading followers by identifying the followers’

readiness that suits the leaders’ style (Hersey, Blanchard, and Johnson, 1996). In contexts of

classroom, this can be adopted as an

instructional leadership in which the leader is the teacher and the followers are the students.

The readiness is identified as including ability

and willingness factors and the leadership style is identified as including task behavior and

relationship behavior. The concept can be simply presented in the following figure.

Page 15: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

15

Figure 1. Adapted from Blanchard Situational

Leadership Two Model

Aligning the notions of English for the specific purposes, the task-based language

teaching, and the situational leadership, the ESP

lecturer can manage the ESP classroom by identifying the purpose of ESP instruction,

selecting ESP materials, identifying of learners

ability and willingness to learn as well as English ability background, designing tasks and

selecting materials, giving tasks and leadding learners to learn by employing suitable styles of

instructional leadership, and giving feedback

for the ESP results.

METHODOLOGY

This was a scientific professional

instructional practice which was not intended to be a designated reseach. However, since the

practice was conducted scienticially using the

principles of an action research, this can be said that this practice was the type of action

research. An action research is

“...a continuous and participative learning

process, with a starting point but often no absolute end-point. The core goal of action

research is to create sustainable learning

capacities and give participants the option of increasing control over theirown

situation. Such a goal suggests the possibility of an extended process that can

span a lifetime.” (Warrican, 2006:2).

The action research is basicaly a problem solving research whose process is an emergent

meaning that . It continues to be emergent until

the problems have been resolved, at least to the satisfaction of attending the set expectation or

criteria to make efficient, energy or finances. In

action research there are cycling processes of instructional inter-vention on the basis of

problem and criteria to achieve. Whithin the process intervention approaches are done for

getting better results of students achievement in

learning EFL. The Action research can be framed as the following:

First Cycle:

Plan Identify the problem area. Narrow it down so that it is manageable.

Investigate the problem. When does it

happen? Who does it affect? Where does it happen?

Think about what might be causing the problem. Talk to other teachers and/or

read to get more ideas about this.

Think about a solution and how to implement it.

Think about what evidence you will

collect to decide whether your action is successful or not. How will you collect

it? How will you analyze it?

Teach / Act Implement your solution.

Observe Gather evidence which you will analyze

to decide whether your solution was successful or not.

Reflect Analyse the evidence you gathered. Has

the problem been solved? If not, what

step will you try next? If yes, what

problem will you try to solve now?

Second cycle works with the same steps . When at the end of the Cycle Two the results are not

satisfactory, Cycle Three shall be done. With

respect to this reflective analysis, the identified problems are the learners behaviors in

classrooms and the inappropriateness in their

transliteration. What to be means by learners behaviors are differences in background,

motivation, and attention which lead to inconducive learning environement and

therefore inappropriateness of their

transliteration remains. To help students get into the appropriate transliteration in terms of

lexical and contextual meanings, the following

criteria are predetermined.

Page 16: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

16

Table 1. Preset Criteria No Chategory Criteria Remarks

1 Lexical meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning

Such as Look Up: Mencari, but not Melihat ke atas.

2 Morphological meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning

Such as living organism: Benda (Organisme) hidup, but not hidup benda (organisme)

3 Synthactical meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning

Such as The green city requires sustainable plantation maintenance: Kota hijau mempersyaratkan pemeliharaan tanaman yang berkelanjutan, but not Hijau kota itu syaratnya tanaman berkelanjutan dipelihara.

Note : In each three-paragraphs text, the impropper transliteration shall be minimized into at least 5% in each chategory to revise.

At the first cycle the classroom was

managed by using the combination of

Procedural Task-Based Language Teaching and Situational Leadership approaches. The tasks

were assigned in groups without selecting the learners’ levels of development. At the second

cycle the tasks were assigned in groups by

selecting the learners’ levels of development. Final assessment in each of the cycle include

group and individual transliteration works.

Since at the second cycle the transliteration inapproppriateness reached satisfactory result,

the third cycle do not apply. The instructional process works for a semester with three

preliminary meetings prior to the need analysis,

and other twelve meetings for the rest of the process. So, each cycle only works for 5 of 90

minutes meetings. Subjects of this semi-action

research were students of Agro-technology and Agribusiness of the employee group. Prior to

the cycle, the students were assigned to transliterate scientific articles taken from Agro-

Technology and Agribusiness Journal both

individually and in group. The individual assignment was in the form of transliterating

two random paragraphs and the group

assignment was in the from of transliterating the whole journal that can be done either in the

classroom and outsite the classroom. However,

at least three paragraphs had to be transliterated

in the classroom with lthe lecturers intervention. The classroom management

intervention was only applied the transliteration activities in the classroom. Analysis of the

transliteration proppriety was done by using the

three above chategories and the theory of translation consideration.

FINDINGS

At the first cycle, learners are simply

grouped into four regardless of the

developmental levels as advised by the situational leadership. The classroom is

managed by helping students in each group simultaneusly and the coaching advise using the

situational leadership styles was done by

differenciating intervention for each students in each group. Students are allowed to use

dictionary and electronic translation tools. The

process was done in six executive meetings. The findings show that prior to EFL Instruction,

the students ability in making transliteration varies. In average the inppropriate

transliteration can be shown in the following

table.

Journal 1. Partially or a paragraph of Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts

(Individual task assignment)

No Chategory Average percentage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 26 Words (54.16%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 15 Phrases (41.66%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (100%) 6 Sentences er paragraph

Journal 1. Wholy or all paragraph: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts

(Group Task Assingment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning 24 Words (50%) 48 Words per paragraph

Page 17: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

17

2 Morphological Meaning 12 Phrases (33.33%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 5 Sentences (83.33% 6 Sentences per paragraph

Journal 2. Wholy or all Paragraph Crop Adaptation to Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild with Next Generation Sequencing Technologies (Individual Task Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning Paragraph 1: 60 words (20%) Paragraph 2: 25 words (17.48%) Paragraph 3: 22 words (11.16%) Paragraph 4 15 words (20.54%)

Total: 122 (17.13%)

Paragraph 1: 299 words Paragraph 2: 143 words Paragraph 3: 197 words Paragraph 4: 73 words

Total: 712

2 Morphological Meaning Paragraph 1: 10 Phrases (20.83%) Paragraph 2: 5 Phrases (27.8) Paragraph 3: 5 Phrases (15 %) Paragraph 4: 3 Phrases (30%)

Total: 23 Phrases (21.10%)

Paragraph 1: 48 Phrases Paragraph 2: 18 Phrases Paragraph 3: 33 Phrases Paragraph 4: 10 Phrases

Total:109 Phrases

3 Syntaxtical Meaning Paragraph 1: 5 Phrases (71.42%) Paragraph 2: 3 Phrases (60%) Paragraph 3: 5 Phrases (62.5 %) Paragraph 4: 2 Phrases (100%)

Total:15 (68.18%)

Paragraph 1: 7 Sentences Paragraph 2: 5 Phrases Paragraph 3: 8 Phrases Paragraph 4: 2 Phrases

Total:22 Sentences

The classroom was managed by intervening the students behavior with the combination of

Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given

individualy in the classroom with prior

activities of translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer

did a quick readiness analysis and helped the

students by using suitable leadership styles as for R1 or D1, the intervention was using

directing style by giving them complete guide. For R2 or D2 students, the intervention was

using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students,

the intervention was using participating style by

giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using

delegation style by just giving them hint.The

Process was done in three executive meetings.

Journal 3. Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current Season Crop (Group Tasks

Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 100 Words (11.76%) 1 Paragraph: 850 Words 2 Morphological Meaning 43 Phrases (37%) 116 Phrases 3 Syntaxtical Meaning 9 Sentences (52%) 17 Sentences

The classroom was managed by intervening

the students behavior with the combination of

Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given in

groups in the classroom with prior activities of

translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer did a quick

readiness analysis and helped the students by using suitable leadership styles within each

group as for R1 or D1, the intervention was

using directing style by giving them complete

guide. For R2 or D2 students, the intervention

was using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students,

the intervention was using participating style by

giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using

delegation style by just giving them hint.The Process was done in three executive meetings.

Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task

Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 13 Words (27.16%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 10 Phrases (27%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 3 Sentences (50%) 6 Sentences per paragraph

Page 18: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

18

Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 9 Words (18.75%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 6 Phrases (16.66%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntactidal Meaning 3 Sentences (50%) 6 Sentences er paragraph

DISCUSSION

The students’ behavior classroom

management at the first cycle turned out to improve the propriety of transliteration by the

students. The average improvement of lexical meaning propriety of the individual assignment

incrased by 27%. The average of morphological

meaning propriety of the individual assignment increased by 14.66%. The average of

Syntaxtical meaning propriety of the individual

assignment increased by 50%.

The average improvement of lexical meaning propriety of the group assignment

incrased by 31.25%. The average of morphological meaning propriety of the group

assign-ment increased by 16.67%. The average

of Syntaxtical meaning propriety of the group assignment increased by 33.33%.

At the second cycle, learners are grouped into four with the identification of learners’

development levels. Each group was containing

the same level of development.The students were allowed to use dictionary and electronic

translation tools. The process was done in six

executive meetings. The findings can be shown in the following table:

Journal 4. Partially: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Individual task assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning 45 words (12%) 375 words of 2 Paragraphs 2 Morphological Meaning 18 Phrases (39.13%) 46 Phrases of 2 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (46%) 13 Sentences of 2 Paragraphs

Journal 4. Wholy: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Group Task Assingment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning 871 Words (12.2%) 7125 Words of 38 Paragraphs 2 Morphological Meaning 173 Phrases (19.8%) 874 Phrases of 38 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 67 Sentences (19.3%) 347 Sentences of 38 Paragraphs

Journal 5. Partially: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (Individual Task Assignment

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 38 Words (5.9%) 642 words of 2 Paragraphs 2 Morphological Meaning 6 Phrases (9%) 66 Phrases of 2 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 3 Sentences (13.6%) 22 Sentences of 2 Paragraphs

Journal 5. Wholy: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (GroupTask Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,

phrases, and words

1 Lexical meaning 93 Words (6%) 1536 Words of 5 Paragraphs 2 Morphological Meaning 10 Phrases (6%) 165 Phrases of 5 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (10%) 55 Sentences of 5 Paragraphs

Page 19: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

19

Journal 1. Rework for parts of the text: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task Assignment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning 2 Words (4.1%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 2 Phrases (5.5%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 1 Sentence (16.6%) 6 Sentences per paragraph

Journal 1. Rework for whole text Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assingment)

No Chategory Average percerntage of

inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,

phrases, and words

1 Lexical meaning 2 Words (4.1%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 2 Phrases (5.5%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 1 Sentence (16.6%) 6 Sentences er paragraph

Compared to the first assessment prior to the classroom management intervention using

the combined Task-Based Approach and

Situational Leadership, the results of the second cycle improved temmendously. The propriety

of transliteration in lexical meaning for the individual task achieved 4.1% exceeding the set

criteria which increased by 50.06%. The

propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task achieved 5.5%

approaching the set criteria which increased by

36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task

achieved 16.6% which increased by 83.4%.

Similarly, the propriety of transliteration in

lexical meaning for the group task achieved 4.1% exceeding the set criteria which increased

by 50.06%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the group task

achieved 5.5% approaching the set criteria

which increased by 36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the

group task achieved 16.6% which increased by

83.4%. Since, the results showed tremendous increase and had approached to the set criteria,

the results were considered satisfactory, and therefore, the third cycle was not necesary to

do.

The Situational leadership approach is more

successful when the students are group on the basis of their level of readiness or development,

which is those who have R1 or D1 level are

grouped in R1 or D1 group. Tasks are procedurally designed by giving Pre-Task

activities, Whilst-Task activities, and Post-task activities. The Pre-tasks were transliteration

tasks in unison led by the lecturer (the writer).

The Whils-tasks were transliteration tasks within their readiness group, and the Post-tasks

were translitertation in unison in the form of

class discussion on their transliteration works in

every paragraph. Results showed that their propriety on the lexical, morphological, and

syntaxtical meaning transliteration improved

tremendously.

CONCLUSION AND SUGGESTION

From the findings, It was concluded that

that the combination of pedagogical and

leadership approach in instructional management has satisfied the aims of teaching

English for Specific Purposes for the Ago

Technology and Agribusiness studies.

It is suggested that this professional reflection is further studied using action

research or research and development.

REFERENCES

Allwright,R.1977. Motivation:The Teachers’ Responsibility? ELT Journal, 32/2, pp

121-129 Anthony.L.2014. Defining English for Specific

Purposes and the Role of the ESP Pract-

tioner. Okayama: Dept. of Information and Computer Engineering, Faculty of

Engineering, Okayama University of

Science Barreta, A and Davis.A. 1985.Evaluation of the

Bangelor Project.ELT Journal, 39/2, pp121-125.

Bire.J.1993. A Research Plan For The Future

Evaluation of The English as A Second Language Program in Indonesia. Master

Thesis. School of Education, La Trobe University, Australia.

Breen.M.P.1984. Process Syllabuses for The

Language Classroom.In Brumfit, C.J.(Ed). General English Syllabus Design. (ELT

Document No 118, pp. 47). London:

Pergamon Press & The British Council.

Page 20: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

20

Breen.M.P.1987. Learner Contributions to Task Design.In C. Candlin and D Murphy (Eds).

Language Learning Task. Anglewood

Cliffs, N.J.:Prentice Hall. Breen, M.P. and Candlin. C.1980. The

Essentials of a Communicative Curriculum in Language Teaching.Applied Linguistics,

1/2, pp 89-112.

Candlin.C.N dan Murphy.D. 1987. Towards Task-Based Language Learning.In C.N.

Candlin and D. Murphy (Eds). Lancaster

Practical Papers in English Language Education: Vol 7 Language Learning

Tasks.pp 5-22 Englishwood Cliffs, N.J.:Prentice Hall.

Crookes, G. dan Chaudron.1991. Guidelines for

Classroom Language Teaching. In Celce-Murcia (Ed) Teaching English as a Second

Language.pp 46-77. Boston,

Massachusetts: Heinle & Heinle Publishers Dudley-Evans, T.1998. Developments in

English for Specific Purposes: A multi-disciplinary approach. London:Cambridge

University Press.

Hanson, J.R.1998. Developing a Classroom Management Repertoire: Classroom

Management: An ASCD Professional

Inquiry Kit, Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum

Development.. Hersey, Blanchard, and Jonathan.1996.

Management of Organizational

Behavior:Utilizing Human Resources.Upper Saddle River,

NJ:Prentice Hall.

Hutchinson, T. & Waters, A.1987. English for Specific Purposes: A learner-centered

approach. London:Cambridge University Press.

Keditsu, R.2013. Nutrient Dynamics in Open

Field Floriculture: Some Thoughts.Journal of Agrotechnology. Volume 2, Issue 2,

1000e105, ISSN: 2168-9881 AGT, an

open access journal, http://dx.doi.org/10.4172/2168-

9881.1000e105. Kountche, AB., Kane, N., Ousseini, IS.,

Vigouroux, Y.2013. Crop Adaptation to

Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild

with Next Generation Sequencing Technologies. Journal of Agrotechnoly.

Vol 2: e103. doi:10.4172/2168-

9881.1000e103. Long, M.H. and Crookes, G.1992. Three

Approaches to Task-Based Syllabus Design.TESOL Quarterly.19/2, pp 207-28.

Martinez-Mejia, P., and Malaga, J.E.2009.

Journal of Agribusiness.Vo: 27, 1/2 (Spring/Fall 2009): 33ԟ47 © 2009

Agricultural Economics Association of

Georgia. Naisbitt, J. 1982. Megatrends: Ten New

Directions Transforming Our Lives.New York: Warners Books, Inc.

Prabhu.N.S.1984. Procedural Syllabuses. In

T.E. Read (Ed.) Trends in Language Syllabus Design, pp 272-

280.Singapore:Singapore University.

Prabhu.N.S.1987. Second Language Pedagogy. Oxford:Oxford University Pres.

Srivastava, AK.2013.Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current

Season Crop. Journal of Agrotechnology.

Vol 2: e104. doi:10.4172/2168-9881.1000e104.

Starr, L.2004. Classroom Management.

http://www.education-world.com/a_curr/strategy/

strategy047.shtml retrieved on October 4th, 2004 at 07.45 p.m.

Supriyono.1996. An Integrated Meaning-Form

Focused Instructional Framwork With Refference To Task-Based Methodology

For The Implementation of The 1994 EFL

Syllabus For Primary Schools In East Java.Master Thesis.La Trobe University.

Supriyono.2013. Nasionalisme Dalam Pendidikan. Makalah.Diskusi Pembaca

Aktif Perpustakaan Nasional Proklamator

Boeng Karno. Blitar: Perpustakaan Nasional Proklamator Boeng Karno

Toffler, A.1970. Future Shock.London:Pan

Books Toffler, A.1980. The Third Wave.London:Pan

Books Warrican, S.2006. Action research: A viable

option for effecting change. Journal of

Curriculum Studies, 38(1), 1–14.

Page 21: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 21 - 24 ISSN : 2088-2440

PROSPEK PENGEMBANGAN UBI KAYU VARIETAS UJ-5 PADA INDUSTRI TAPIOKA DAN BIO-ETHANOL

Palupi Puspitorini

Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar

Email: [email protected]

Abstract: Cassava (Manihot esculenta Crantz) is one of the most important producers of

calories in the tropics. This plant is efficient in carbohydrate production, adapted to various environments and tolerant to drought and soil acidity. The major part of the

economic products, roots, is consumed as human food after processing. An estimated 70 million people get more than 500 kcal / day of cassava, and more than 500 million people

consume more than 100 kcal / day in various forms throughout the tropical cassava.

Fresh for human consumption declined, while its use for feed and processing industry increased rapidly. Thus there is a demand to increase cassava productivity so that will

achieve high productivity in the industry, including the production of tapioca starch and

biofuels (bio-ethanol). Improved of cassava cultivars is one of the easiest to encourage better farm management, which in turn will lead to an increase in agricultural

productivity and income.Problems varieties of the prospects in the fields of tapioca and biofuels industry lies in the potential production of starch varieties are to be converted

into flour or biofuels. The varieties were have lower of conversion value of a raw

material is better than others.

Keywords: cassava varietal, cassava UJ5 variety, biofuels, bioethanol, tapioca starch, description of UJ5

PENDAHULUAN

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)

adalah salah satu penghasil kalori paling

penting di daerah tropis. Tanaman ini efisien dalam produksi karbohidrat, disesuaikan

dengan berbagai lingkungan dan toleran

terhadap kekeringan dan kemasaman tanah. Bagian utama dari produk yang bernilai

ekonomi yaitu akar adalah dikonsumsi sebagai makanan pokok setelah dilakukan pengolahan.

Diperkirakan 70 juta orang mendapatkan lebih

dari 500 kkal / hari ubi kayu, dan lebih dari 500 juta orang mengkonsumsi lebih dari 100 kkal /

hari dalam berbagai bentuk ubi kayu di seluruh

daerah tropis (Cock, 1985). Di banyak bagian negara di Asia peran makanan tradisional ubi

kayu sebagai makanan manusia cepat berubah fungsi menjadi tanaman industri yang efisien

untuk pengolahan pabrik. Konsumsi segar

untuk manusia menurun, sementara penggunaannya untuk pakan dan industri

pengolahan meningkat dengan pesat (Kawano, 2000). Dengan demikian terdapat tuntutan

untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu

sehingga nantinya akan dicapai produktivitas

tinggi di bidang industri, diantaranya produksi tepung tapioka dan biofuels(bio ethanol).

Penggunaan etanol atau alkohol sebagai bahan bakar sudah dikenal sejak lama pada

tahun 1880. Peningkatan fungsi biofuels harus ditingkatkan seiring dengan menyusutnya

kandungan petrofuels (Prihandana, et.al, 2007).

Produktivitas ubi kayu tidak terlepas dari

permasalahan budidaya tanaman yang meliputi penyediaan bibit hingga panen. Teknologi

budidaya ubi kayu untuk meningkatkan

produktifitas ubi kayu sangat banyak diteliti. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga-

lembaga penelitian telah menghasilkan

teknologi budidaya yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktifitas ubi kayu ini.

PERMASALAHAN

Perkembangan penelitian mengenai

peningkatan produktivitas melalui pemuliaan tanaman ubi kayu dalam dekade terakhir

mengalami penurunan. Terbukti dengan

Page 22: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

22

menurunnya jumlah rilis varietas ubi kayu oleh pemerintah dalam hal ini Departemen

Pertanian.

Di Indonesia sejak tahun 1970 an industri

tapioka yang akhirnya sekarang berkembang ke industri biofuels menggunakan varietas Adira 4

yang dirilis pemerintah tahun 1978. Varietas ini

mempunyai potensi produksi 22 ton/ha (Deptan). Pabrik tapioka umumnya

menggunakan varietas Adira 4 sebagai bahan bakunya. Varietas ini berkembang pesat dan

sangat dikenal oleh pengusaha tapioka di

Indonesia. Namun sejak dirilisnya varietas baru UJ5 yang awal bibitnya diintroduksi dari

Thailand sekitar tahun 1990, dan diteliti daya

hasilnya selama 10 tahun di berbagai daerah di Indonesia maka tahun 2000 ubi kayu

UJ5ditetapkan pemerintah melalui SK Menteri Pertanian menjadi ubi kayu unggul nasional.

Sejak saat itu dimulai persebaran varietas UJ5

hingga ke seluruh wilayah di Indonesia meliputi Sumatra,Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua

menggantikan Adira 4. Potensi produksi UJ5 25

– 38 t/ha.

Permasalahan varietas terhadap prospeknya di bidang industri tapioka dan biofuels terletak

pada potensi produksi pati varietas tersebut

yang akan dikonversi menjadi tepung atau biofuels. Semakin rendah nilai konversi maka

semakin baik sebuah varietas menjadi unggulan bahan baku.

PEMBAHASAN

Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan

kimia per 100 gram yang memungkinkan bisa

dipakai sebagai bahan baku bioethanol antara lain kalori 146 kal, protein 1.2 gram, lemak 0.3

gram, hidrat arang 34.7 gram, etanol, glikosida

dan kalsium oksalat (data teknis lingkungan ITS), sehingga dari ubi kayu bisa didapatkan

hasil minyak 1020 l/ha ekuivalen 6600kWh/ha (Purwanto, 2010).

Pemanfaatan bioethanol dari ubi kayu yang merupakan salah satu langkah untuk

mewujudkan visi roadmap energi 2025 yang diharapkan mencapai 15% konsumsi premium

nasional. Potensi beberapa tanaman yang

merupakan bahan baku bioethanol pada tabel 1.

Tabel 1. Potensi Bahan Baku Bioethanol

No Tanaman Hasil panen (t/ha/tahun)

Ethanol (l/ha/tahun)

1 Jagung 1-6 400-2500 2 Singkong 10-50 2000-7000

3 Tebu 40-120 3000-8500 4 Ubijalar 10-40 1200-5000 5 Shorgum 3-12 1500-5000 6 Shorgum manis 20-60 2000-6000 7 Kentang 10-35 1000-4500 8 Bit 20-100 3000-8000

Peningkatan kultivar ubi kayu adalah salah

satu yang paling mudah untuk mendorong

pengelolaan pertanian yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan

produktivitas pertanian dan pendapatan. Ada

tiga fase yang diperlukan untuk perbaikan varietas. Tahap pertama sesuai dengan koleksi

serta evaluasi ubi kayu plasma nutfah, tahap kedua sesuai dengan generasi bahan pemuliaan

maju, sementara fase ketiga sesuai dengan

pemilihan kultivar baru, rilis dan penyebaran nya (Koeshartojo et al., 2009) Di Indonesia,

kultivar baru ditanam di lebih dari 110.000 dan

masing-masing 136.000 ha di 1995-1996 dan 1996-1997 (Puspitorini et al.,1998)

Sejak tahun 2002 RILET telah menggunakan alat bioteknologi seperti

pemilihan penanda-dibantu menggunakan

Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk pemilihan toleransi terhadap

tungau merah. Dua varietas ubi kayu telah

resmi dirilis pada tahun 2000, baik berasal dari Thailand, yaitu Rayong 60 diganti sebagai UJ-

3, dan Kasetsart 50 diganti sebagai UJ-5. Dua varietas baru lainnya secara resmi dirilis pada

tahun 2001, yaitu Malang dan Malang 4 6

Malang 4 terpilih di antara baris bersari bebas dari Adira 4 sebagai induk betina, sedangkan

Malang 6 adalah garis yang dipilih dari umpan

silang dibuat antara MLG 10071 dan MLG 10032 sebagai wanita dan pria tua, masing-

masing. Ada beberapa jalur menjanjikan dalam tahap awal dan lanjutan dari seleksi, yang

mampu menghasilkan lebih dari 10 ton pati per

hektar (Koeshartojo et al., 2009) .

Tabel 2. Produktivitas Beberapa Varietas Ubi

Kayu Varietas/

Klon Umur

(bulan) Kadar

Pati (%) Produksi (ton/ha)

Sistem Tanam

UJ-3 8 - 10 25 - 30 35-40 Rapat

(70x80 cm)

UJ-5 10 - 12 30 – 36 45 - 60 Double row

Malang 9 - 10 25 - 32 35 - 38 Rapat

(70x80 cm) Barokah (Lokal)

9 - 10 25 - 30 35 - 40 Double row

Sumber: BPPT Natar-Lampung

Pengujian daya adaptasi varietas UJ5 yang

telah dilakukan di Lampung sejak tahun 1990 menyimpulkan bahwa varietas ini mempunyai

Page 23: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

23

produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (Fauzan, 2000). Hasil kajian

yang dilakukan oleh BPPT Natar Lampung

terhadap varietas UJ5 bahwa varietas ini mampu berproduksi tinggi dan memiliki kadar

pati yang tinggi pula. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa UJ5 sangat unggul dibandingkan

varietas unggul yang lain baik produksi

umbinya (t/ha) maupun kadar pati (%).

Hasil penelitian ubi kayu yang lain yang dilakukan di daerah Lampung Timur dan

Lampung Tengah terhadap varietas UJ5 dengan

berbagai populasi tanaman per hektar. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pada populasi

12,500 tanaman per ha hingga 40,000 tanaman

per ha memberikan hasil yang nyata lebih baik dibandingkan UJ3 baik di daerah Lampung

Timur maupun Lampung Tengah.

Tabel 3. Produktifitas UJ3 dan UJ5 di Daerah Lampung

Varietas

Lampung Timur

12.500 tan/ha

20.000 tan/ha

40.000 tan/ha

UJ3 31.00 b 28.57 b 28.28 a UJ5 36.98 a 31.83 a 28.40 a

Lampung Tengah

UJ3 27.34 a 30.20 a 30.49 a UJ5 29.59 b 32.91 b 31.80 b

Menurut Prihandana et al, (2007), bahwa

dari 10 varietas ubi kayu yang telah dilepas oleh Departemen Pertanian ada 4 varietas yang

direkomendasikan oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan karena memiliki sifat berkadar pati tinggi, potensi hasil

tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik,

fleksibel dalam usahatani dan umur panen (tabel 4)

Tabel 4. Potensi Varietas Unggul Ubi Kayu

Bahan Baku Ethanol

Varietas/Klon Umur (bulan)

Hasil (ton/ha)

Kadar pati (%)

Adira 4 8 25-40 25-30 Malang 6 9 36.4 25-32

UJ3 8 30-40 25-30 UJ5 9-10 25-38 20-30

Sumber: Wargiono, dkk (2006) dalam Prihandana, dkk (2007)

Ethanol (ethyl alcohol-C2H5-OH) dikategorikan sebagai energi komersial atau

energy teknis karena telah mencapai

kematangan teknis dan kematangan komersial. Bioethanol yaitu ethanol yang diproses dari

bahan baku tanaman yang dapat diperbaharui yang merupakan bahan bakar alternatif

pengganti premium dan pertamax. Gas buang

dari mesin yang menggunakan bioethanol mempunyai emisi yang lebih rendah

dibandingkan minyak premium maupun

pertamax. Mesin kendaraan yang menggunakan bahan bakar mempunyai minimal nilai oktan 90

dapat dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80–90 % (nilai

oktan 88) ditambah ethanol 10–20% ( nilai

oktan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai oktan 91–93.

Beberapa penelitian mengenai konversi pati

menjadi alkohol/ethanol telah dilakukan di

Balai Besar Teknologi Pertanian. Hasil penelitian ubi kayu tahun 2007 di B2TP

Sulusuban Lampung Tengah terhadap beberapa

varietas/klon ubi kayu yang dipanen umur 10 bulan menunjukkan bahwa tiga varietas unggul

(UJ3, UJ5, Malang 6) dan tiga klon harapan (MLG 0310, CMM 99008-3 dan OMM 9908-4)

memiliki nilai konversi 4,7–5,5 kg umbi segar

kupas untuk menghasilkan 1 liter etanol 96% (tabel 5). Semakin kecil angka konversi,

semakin sesuai dan efisien untuk bahan baku

etanol karena jumlah atau bobot bahan baku yang diperlukan semakin sedikit untuk

menghasilkan etanol pada takaran tertentu. Angka konversi yang selama ini digunakan

adalah 6,1 kg per satu liter etanol 96% dengan

asumsi kadar gula total 30% dan ratio fer-mentasi 90%. Komposisi kimia delapan varietas

dan klon ubi kayu umur 10 bulan dan

konversinya menjadi etanol 96% melalui fermentasi.

Page 24: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

24

Tabel 5. Konversi Beberapa Varietas Ubi Kayu Menjadi Ethanol

Var/Klon Ubi Kayu

Kadar Air Kadar Bahan

Kering Kadar Gula Total Ratio Fermentasi

Konversi menjadi Etanol

(%) (%) (% bb) (%) a (kg/liter)b

UJ-3 58,82 43,41 36,67 91,64 4,86 UJ-5 54,83 46,34 39,12 86.00 4,86 Adira-4 64,54 40,10 30,96 83,3 6,34 Malang-6 60,27 42,54 34,78 88,24 5,44 Kaspro 59,68 41,89 33,33 88,68 5,54 CMM 99023-4 64,45 40,69 30,34 81,65 6,60 OMM 9908-4 61,74 42,16 34,05 94,78 5,06 CMM 99008-3 58,42 42,5 36,95 94,39 4,71

Sumber: B2TP Sulusuban-Lampung; Keterangan: a. Fermentasi ubi kayu segar menjadi ethanol dengan kadar 7–11 %; b. Ethanol dengan

kadar 96% efisiensi distilasi dianggap 95%).

KESIMPULAN

UJ5 sebagai varietas terbaru sangat cocok

digunakan untuk bahan baku industri tapioka dan biofuels karena mempunyai produktivitas

yang didukung hasil umbi dan kadar pati yang tinggi.

SARAN Perlu dilakukan pemulian tanaman ubi

kayu yang lebih intensif lagi untuk memberikan

alternatif varietas yang mempunyai produktifitas tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Annonymous. http://ubi kayuraksasa.blogspot. com/2013/05/kesesuaian-varietasklon-ubi

kayu-untuk-bahan-bioethanol.html

Annonymous. 2007. Teknologi Budidaya Ubi kayu. Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Serie TP3-2008. ISBN 978-979-1415-24-

D. 21 hal Fauzan and Palupi Puspitorini. Effect of Date

Planting and Rainfall Distribution on the

Yield of Five Cassava Varities in Lampung Indonesia. Proc. 6th Regional Workshop,

held in Ho Chi Min city

Kawano.K, 2000. The Role of Improved Cassava Cultivars in Generating for Better

Farm Management. Proc. 6th Regional

Workshop, held in Ho Chi Min Koes Hartojo and Palupi Puspitorini. 1996.

Cassava Germplasm Conservation and Crop Improvement In Indonesia. Proc.

5thRegional Workshop, held in Danzhou,

Hainan, China Prihandana R., Kartika Noerwijati,

Praptiningsih Gamawati Adinurani, Dwi

Setyaningsih, Sigit Setiadi, Roy Hendroko. 2007. Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar

Masa Depan. Agromedia Pustaka Jakarta. 194 hal.

Puspitorini, P., U. Kartawijaya and K. Kawano.

1998. Cassava Varietal Improvement Program At Umas Jaya Farm and Its

Contribution to Small Farmer

Communities in Sumatra, Indonesia. In: R. Howeler (Ed.). Cassava Breeding,

Agronomy and Farmer Participatory Research in Asia. Proc. 5th Regional

Workshop, held in Danzhou, Hainan,

China. Nov 3-8, 1996. pp. 156-169. Saleh N. St. A. Rahayuningsih dan M Muchlis

Adie.2010. Peningkatan Produksi dan

Kualitas Umbi-umbian. Balitkabi. Makalah. 21 hal.

Page 25: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 25 - 35 ISSN : 2088-2440

KEBERLANJUTAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK URBAN FARMING DITINJAU DARI KUALITAS TANAH (KANDUNGAN KIMIA, SIFAT FISIKA DAN

BIOLOGI TANAH) DI DESA PENANGGUNGAN, KECAMATAN TRAWAS,

KABUPATEN MOJOKERTO, JAWA TIMUR

Ferdianto Budi Samudra1 dan Dwi Purnomo2

1Tenaga Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia

2Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia Email: [email protected]

Abstract: The objective of this research is to know the soil quality from organic

agriculture of urban farming in Penanggungan village, Trawas district, Mojokerto

regency. The research was done on may until june of 2013 in 2 different soil condition which was located in different region. The soil came from Penanggungan village,

Trawas district, Mojokerto regency, its altitude was 606 m dpl, and other the soil came from Desa Pandanrejo Kec. Bumiaji Kota Batu, its altitude was 800 m dpl. Sustainability

was evaluated qualitatively, based on input which was used by farmer on cultivation

process. The input consist of manure fertilizer. The result showed that sustainability of ecology aspect was fairly good. It was observed by soil quality in physics, chemistry and

biology. Laboratory test reported that chemical composition of the soil was fairly good.

Chemical composition consists of C organic value, N total, potassium, organic matter, C/N ratio, CEC (cation exchange capasity) and pH. Composition of phosphorus in soil

was not good enough, it was caused by possibility of phosphorus dissolved in soil due to precipition P by Ca. Evaluation of physical properties of soil by porosity indicator

showed that sustainability of organic farming application in urban farming was good.

Evaluation based on indicator texture showed that organic farming could not change soil texture. Arthropode Shannon-Weaver biodiversity method on nisbi observation was not

significant on both observation, 2,27 (of the biodiversity were fairly good) on urban

farming, but in intensife farming only 1,4 (the biodiversity were low), so the equilibrium can be happened on Urban farming field as the ecosystems function even the farming

used green house. The ratio of fungus/bactery on urban farming and intensive farming were 0,36 and 0,35. That data showed that the ratio was match with researcher

assumsion on organic farming were bigger than intensive farming, because with higher

ratio would increase the soil fertility on agriculture field.

Keywords: sustainability, urban farming, organic farming, intensive farming.

PENDAHULUAN

Sistem budidaya pertanian yang tidak tepat khususnya dalam penambahan kebutuhan

nutrisi, akan menyebabkan penurunan

kesuburan tanah (Ghosh, et al., 2003). Penilaian kualitas tanah telah di rekomendasikan sebagai

alat dalam mengevaluasi keberlanjutan tanah dan tanaman (Zhen dan Routray, 200; Pannel

dan Glen, 2000), dalam menilai kualitas tanah,

sebagai indikator biasanya dihubungkan dengan fungsi tanah (Howard, 1993; Doran, 1995),

yaitu sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang

dapat diukur untuk memantau berbagai

perubahan dalam tanah. Namun bagaimanapun dalam pengukuran kualitas dan kesehatan tanah

adalah bagaimana dapat dengan mudah diterapkan oleh petani (Roming, et al., 1995).

Pertumbuhan penduduk, perubahan fungsi lahan serta semakin sedikitnya tenaga kerja

yang bekerja di sektor pertanian, membuat pertanian perkotaanlah yang dirasakan lebih

baik dibandingkan metode konvensional,

karena memiliki keunggulan, antara lain: tidak hanya bertujuan memperoleh makanan saja

namun juga berbagai keunggulan lain seperti peningkatan kesejahteraan manusia, perbaikan

lingkungan maupun pemberdayaan masyarakat

Page 26: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

26

(Williamson, 2002) dengan cara gerakan kembali ke alam, promosi bertani organik,

usaha mempercantik kota, pendidikan

lingkungan untuk warga, hobi dan sebagai mata pencaharian (Purwanto, 2010). Manfaat lainnya

menurut Halberg (2009) sebagai penyediaan makanan yang akan mempermudah akses warga

terhadap makanan yang segar dan bernutrisi

dengan harga yang relatif murah sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat

berpenghasilan rendah. Sementara pengertian

pertanian organik menurut FAO/WHO (1999) yaitu suatu sistem produksi yang menyeluruh

yang mengedepankan kestabilan agroekosistem, termasuk keanekaragaman, siklus biologi dan

aktivitas biologi tanah, sehingga dalam sistem

budidayanya menggunakan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally).

Pertanian organik urban farming di Desa

Penanggungan Kecamatan Trawas Kabupaten

Mojokerto ini adalah suatu bentuk transformasi pertanian yaitu bertani di lahan sempit di

pekarangan rumah warga dengan memodifikasi

iklim mikro dengan menggunakan mini green house. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai kesuburan tanah lahan urban farming, sehingga diketahui

kecukupan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman

khususnya dengan sistem pertanian organik.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di dua lahan

berbeda, yakni lahan pertanian organik urban

farming yang ditanami sayuran hortikultura

yang terletak di dataran tinggi lereng gunung Penanggungan Provinsi Jawa Timur, dan lahan

pertanian intensif di Desa Pandanrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Waktu

penelitian pada Bulan Mei-Juni 2013, dengan

tipe penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif.

Wawancara dalam pengelolaan sistem

budidaya dilakukan pada kelompok tani

Brenjonk sebagai pelaku pertanian organik urban farming. Pengambilan sampel tanah

dilakukan dengan cara komposit sampel acak (composit random sampling) dengan syarat

diluar area kumpulan tanah erosi, salin, jalan,

drainase air, pupuk kandang ataupun bagian ujung dari lahan. Sampel tanah di ambil di 4

lahan pertanian organik urban farming (UF 1,

UF 2, UF 3, UF 4) dan 4 lahan pertanian intensif (IF 1, IF 2, IF 3, IF 4).Pengambilan

sampel tanah dilakukan dengan cara

menggambil tanah dengan kedalaman 0-20 cm untuk sampel kandungan kimia tanah (C-

organik, Bahan organik, N total, Phospor,

Kalium, KTK, rasio Carbon dan Nitrogen dan pH), sedangkan sampel tanah untuk sifat fisika

(porositas dan tekstur tanah) dan biologi tanah (Total Jamur dan Bakteri) dilakukan dengan

metode tidak terganggu (undisturb)

menggunakan pipa diameter 15 cm dan panjang 20 cm.

Pengambilan sampel arthropoda dilakukan

dengan dua metode, yakni untuk arthropoda

yang ada di dalam tanah dengan menggunakan metode mutlak, sedangkan untuk arthropoda

yang aktif pada permukaan tanah digunakan

metode nisbi. Metode nisbi menggunakan cawan jebak (pitfall trap) yang dibenamkan di

dalam tanah dengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan

deterjen 5% setinggi 2-3 cm. Perangkap

ditanam dan diganti setiap 3 hari, hasil tangkapan diidentifikasi berdasarkan jenis

arthropoda, sementara metode mutlak dilakukan

dengan mengambil tanah menggunakan pipa berdiameter 15 cm sampai kedalaman lapisan

olah tanah yakni 15-20 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke

laboratorium, dilanjutkan dengan memasukkan

tanah kedalam corong Berlese untuk mengeluarkan arthropoda tanah, selanjutnya

dilakukan identifikasi jenis arthropoda yang

ada. Selanjutnya dihitung keanekaragaman menggunakan indeks Shannon Weaver.

Sampel kandungan kimia tanah yang

diambil secara komposit, kemudian

dikumpulkan menjadi satu dan diambil 1-1,5 kg untuk masing-masing lahan pertanian organik

dan intensif, sedangkan sifat fisika tanah tetap dalam pipa dan ditutup plastik pada masing-

masing sisinya. Selanjutnya tanah diuji di

Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah serta Laboratorium mikologi Hama dan Penyakit

Tanaman di Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya Malang untuk mengetahui kandungan kimia (Nitrogen total, Phospor,

Kalium, Carbon organik, Bahan organik, rasio Carbon dan Nitrogen, Kapasitas Tukar Kation

dan Potensial Hidrogen), sifat fisika (tekstur,

porositas) dan biologi tanah (Total jamur dan bakteri).

Page 27: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Existing Pengelolaan Pertanian

Organik di Lokasi Penelitian Dari hasil wawancara dengan informan

pengurus kelompok tani, didapatkan informasi bahwa pada pengelolaan sistem pertanian

organik sesuai dengan persyaratan sertifikasi

yang paling penting adalah pemenuhan kebutuhan baik berupa input/masukan yakni

berupa pupuk kandang maupun benih/bibit

tanaman, karena pada prinsipnya proses pengelolaan secara organik baru dapat

dilakukan setelah input/masukan yang diberikan telah dipastikan asalnya yang mana

dalam hal ini telah dipenuhi dari sumber dari

Desa itu sendiri.

Sementara pada proses produksi di kelompok tani ini telah memiliki Standar

Operasional Prosedur (SOP), sehingga proses

produksi anggota relatif sama. Pada sistem budidaya yang dimulai dari pengolahan tanah,

pemupukan, penyediaan benih yang diusahakan

dengan penangkaran sendiri oleh petani.Pupuk kandang yang diberikan berasal dari daerah

setempat, karena penduduk di daerah tersebut banyak yang memiliki dan memelihara ternak

peliharaan, baik berupa sapi atau kambing.Hal

ini telah sesuai dengan pengertian pertanian organik dari FAO (1999) yaitu suatu sistem

produksi yang menyeluruh yang

mengedepankan penggunaan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally).

Dari sistem budidaya secara umum telah baik, namun pemahaman dari anggota mengenai

rotasi tanamanlah yang harus diperbaiki,

sehingga tidak hanya memutar-mutar jenis tanaman yang ditanam tapi berdasarkan

perbedaan famili tanaman, sehinga diharapkan penyakit tular tanah tidak berkembang, selain

itu rotasi dengan tanaman legum perlu

dilakukan agar kandungan Nitrogen dapat meningkat (Ames, 1996).

Pengaruh Pertanian Organik Urban

Farming terhadap Kandungan Kimia tanah Sistem pertanian organik dengan

menambahkan bahan organik (pupuk kandang/kompos) yang berasal dari daerah

setempat diharapkan dapat mencukupi

kebutuhan nutrisi tanaman, selain itu kelangsungan dari usaha tani dapat

berkesinambungan. Ketersediaan bahan organik

akan meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, meningkatnya ketersediaan air tanah

bagi tanaman, pertambahan Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta semakin meningkatnya

mikroorganisme yang bermanfaat (Doran,

1995; Drinkwater, et al., 1995). Selain itu bahan organik akan meningkatkan aktivitas

biologi, kimia, fisika tanah serta meningkatkan

hasil panen. Ditambahkan oleh Stamatiadis, et al. (1999) bahwa pertanian organik dapat

menstabilkan pH, menyerap air lebih banyak dan cepat, serta meningkatkan daya ikat tanah.

Oleh karena itu pengamatan kandungan kimia

tanah sangat penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan pupuk

kandang/kompos dalam pertanian organik

urban faming dibandingkan pertanian intensif.

Berdasarkan hasil uji t, diketahui rata-rata kandungan kimia dan sifat fisika di tabel 1.,

pertanian organik urban farming (UF) lebih

tinggi dibandingkan dengan pertanian intensif (IF).

Tabel 1. Hasil Uji T terhadap Kandungan Kimia dan Sifat Fisika Tanah

Pola tanam

Corganik Ntotal BO CN P K KTK pH Poro-sitas

UF 4.84* 0.6* 8.3725* 8.25* 132.7225 5.53* 40.2875* 6.875 66.25* IF 0.8725 0.15 1.51 6 94.2075 1.1675 31.47 6.875 55.45

Rata-rata 2.85625 0.375 4.941 7.125 113.465 3.34875 35.87875 6.875 60.85 Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive Farming; BO: Bahan Organik; KTK: Kapasitas Tukar Kation; pH: Potensial Hidrogen. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.

Sementara berdasarkan tabel 1, kandungan kimia yang meliputi C-Organik, N Total, BO,

C/N, K, KTK pada tanah urban farming (UF) berbeda nyata dengan intensive farming (IF),

namun kandungan P (phospor) dan pH tidak

berbeda nyata (p<0.05).

a. Karbon Organik (C organik) Budidaya pertanian secara organik terbukti

dapat menurunkan kandungan karbon (C) di udara, dengan cara penyerapan ke tanah,

maupun ke tanaman melalui fotosintesis. Hasil

uji laboratorium kandungan C-organik pada pertanian organik urban farming (UF) berbeda

Page 28: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

28

nyata (tabel 1) dibandingkan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 4,84% dan IF

sebesar 0,87%.

Tingginya C-organik pada UF

dimungkinkan karena pada urban farming dalam sistem budidayanya menggunakan pupuk

organik sebagai pengganti pupuk kimia, selain

itu rotasi tanaman yang selalu dilakukan setelah panen juga mendorong penyerapan C dari

atmosfer, sesuai dengan penelitian Al-Kaisi (2008). Terbukti dengan budidaya organik

mampu meningkatkan penyerapan karbon 2-3

kali dibandingkan dengan budidaya konvensional (Lal, 2004).

Sedangkan penelitian Clark, et al., (1998)

yang menunjukkan penurunan serapan C-

organik pada lahan organik dan low input dikarenakan terputusnya pemberian pupuk

kandang selama 4 tahun, hal ini menunjukkan

peran pupuk kandang linier terhaap ketersediaan bahan organik yang selanjutnya

menyerap C-organik. Begitu pula dengan penelitian Hepperly, et al., (2007) yang

menyebutkan pemupukan menggunakan pupuk

kandang dan kompos legum, kandungan C-organik tanah berbeda nyata dibandingkan

pemupukan dengan kimia setelah 21 tahun,

padahal pada awal tahun tidak berbeda nyata. Namun jumlah C-organik berubah-ubah setiap

pemanenan dan pengolahan tanah yang dilakukan, sehingga untuk mengamatinya

diperlukan data time series yang dapat dipantau

perubahanya (Fließbach, et al., 2007).

Sebaliknya penggunaan pupuk anorganik yang tidak efisien, dan bahkan pemberian

pupuk N-anorganik secara terus menerus justru

menyebabkan penurunan kandungan C-organik. Penurunan kandungan C-organik tanah lebih

diperparah lagi dengan adanya pengangkutan

sisa panen (limbahtanaman) keluar lapang tanpa diimbangi penambahan bahan organic ke dalam

tanah. Hal ini mendorong semakin banyaknya emisi GRK dari sektor pertanian. Menurut Al

Kaisi, 2008, aktivitas manusia dapat

mengakibatkan timbulnya gas rumah kaca yang dapat menjadi pemicu munculnya perubahan

iklim, salah satu gas rumah kaca adalah karbon (C).

Oleh karena itu sebagai salah satu indikator dari kesuburan tanah adalah

kandungan C-organik dalam tanah, dengan semakin banyaknya kandungan C-organik maka

pengurangan emisi gas rumah kaca lebih akan

lebih banyak terserap dan pemanasan global semakin berkurang dibandingkan pertanian

intensif, sehingga keberlanjutan dari indikator ini telah baik.

b. Nitrogen Total Kandungan N total urban farming berbeda

nyata antara dengan intensive farming dengan

nilai 0,6% (UF) dan 0,15% (IF) (tabel 1). Hal

ini menunjukkan pertanian organik urban farming tanpa menggunakan pupuk kimia yang

selama ini dianggap secara instan menyediakan nutrisi bagi tanaman tidak terbukti, bahkan

dengan menambahkan pupuk kandang/kompos

pada media tanam akan meningkatkan ketersediaan Nitrogen dalam tanah. Selain itu

dengan menggunakan pupuk organik maka

mikroorganisme tanah, termasuk arthropoda akan semakin beragam yang selanjutnya

berperan dalam mineralisasi nutrisi bagi tanaman.

Hasil ini sesuai dengan pendapat Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pada

pertanian organik aktivitas mikroba serta mineralisasi nitrogen lebih tinggi dibandingkan

pertanian intensif. Penggunaan pupuk kandang

mempengaruhi ketersediaan N tanah, pupuk kandang unggas cenderung memiliki

kandungan N lebih tinggi hal ini dikarenakan

pada pupuk kandang unggas tercampur urin, sehingga lebih siap untuk terdekomposisi

dibandingkan dengan pupuk kandang sapi atau kambing yang masih mengandung lignin dan

selulosa (Hue dan Silva, 2000).

Ketersediaan unsur Nitrogen ini

merupakan hal yang vital dalam budidaya pertanian sayuran daun, dikarenakan kebutuhan

akan unsur ini cukup banyak. Sehingga dengan

ketersediaannya yang melimpah di lahan organik maka kesuburan dan keberlanjutan

lahan pertanian telah baik dan dapat terus

terjaga.

c. Fosfor (P) Nilai kandungan phospor (P) tidak berbeda

nyata antara UF dan IF dengan nilai UF 132,72 mg/kg dan IF 94,20 mg/kg (tabel 1).

Ketersediaan Phospor dalam tanah mutlak dibutuhkan tanaman, karena Phospor

merupakan unsur esensial bagi tanaman.

Rendahnya kandungan Phospor ini seharusnya tidak terjadi pada pertanian organik, karena

pada pertanian organik yang memanfaatkan pupuk kandang/kompos sebagai nutrisi tanaman

dapat menyediakan Phospor pada mineralisasi

Phospor organik akibat dekomposisi bahan organik.

Page 29: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

29

Ketidaktersediaan unsur Phospor ini ini kemungkinan disebabkan karena adanya

presipitasi P oleh Ca (menjadi kalsium trifosfat

Ca2(PO4)2, yang relatif mudah larut dalam tanah, hal ini masih terjadi pada pH 6,0 dan pH

di atas 7,0 (Hanafiah, 2007). Berbeda dengan pendapat Clark, et al. (1998) yang mengatakan

kandungan P lebih tinggi dan berbeda nyata

dibandingkan pertanian konvensional. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan pupuk kandang

dalam budidaya, pupuk kandang banyak

mengandung Phospor, namun masih dalam bentuk organik, sedangkan yang dibutuhkan

oleh tanaman adalah anorganik, oleh sebab itu harus melalui proses dekomposisi dengan

menggunakan enzim fosfat yang dihasilkan

oleh mikroorganisme, jamur, serta perakaran tanaman (Nelson dan Mikkelsen, 2008).

Namun dengan nilai unsur P yang tidak

berbeda nyata tersebut, keberlanjuan pertanian

organik dipandang masih relevan dan baik. Hal ini dikarenakan selain input yang dimasukkan

lebih ramah lingkungan serta dapat

memperbaiki ekologi tanah khususnya lahan pertanian.

d. Kalium (K) Kandungan Kalium total berbeda nyata

dengan nilai 40,28 me/100g pada pertanian

organik urban farming dan 31,47 me/100g untuk intensive farming (tabel 1). Kandungan

Kalium ini memiliki peran yang penting dalam

pertumbuhan tanaman, terutama pada percepatan pertumbuhan daerah meristem

(pucuk dan tunas), selain itu juga dalam

pengaturan buka, tutupnya stomata yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan air.

Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh

pemanfaatan pupuk organik dalam budidaya

pertanian organik yang telah berjalan 6 tahun, menurut Bulluck III, et al., (2002) konsentrasi

Kalium meningkat disebabkan penambahan pupuk kandang pada tahun kedua,

dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia.

Selain itu pemupukan menggunakan pupuk kandang biasanya akan meningkatkan KTK

tanah, yang akan juga memudahkan penyerapan K tanah (Hue dan Silva, 2000). Hal yang sama

juga diungkapkan Temple (2000) bahwa

pertanian organik ataupun pertanian input rendah akan meningkatkan kapasitas menahan

air, serapan tanah akan air, peningkatan bahan

organiks, fosfor serta Kalium.

Kalium mutlak diperlukan dalam pertumbuhan tanaman, apabila dengan

pertanian organik ketersediaanya melimpah, maka dapat dinilai keberlajutannya sangat

tinggi, sehingga pemanfaatan pupuk kandang

harus dipertahankan untuk mensuplai nutrisi tanaman.

e. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Nilai KTK lahan pertanian urban farming

(UF) lebih tinggi dan berbeda nyata

dibandingkan lahan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 40.29 (me/100g) dan

IF sebesar 3147 (me/100g) (tabel 1). Tingginya

nilai KTK tanah pada pertanian organik urban farming merupakan pertanda baik, karena KTK

semakin tinggi KTK maka ion-ion yang terikat

pada koloid tanah dapat diserap dan dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga

ketersediaan unsur-unsur hara dapat tersedia oleh tanaman.

Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah (2007), bahwa kation cenderung terikat oleh

tanah, dan dengan memanfaatkan bahan organik yang bermuatan negatif ikatan tanah dapat

terlepas sehingga dapat terserap oleh perakaran

tanaman. Karena kapasitas tukar kation (KTK) merupakan jumlah muatan negatif tanah baik

yang bersumber dari permukaan koloid

anorganik (liat) maupun koloid organik (humus) yang merupak situs pertukaran kation-

kation. Penambahan bahan organik (pupuk kandang) secara signifikan mempertinggi

kandungan KTK tanah (Baldwin, 2001).

Peningkatan nilai KTK ini dapat diartikan ketersediaan unsur hara esensial yang

dibutuhkan tanaman tersedia di tanah, tidak lagi

terikat koloid tanah, sehingga dapat dimanfaatkan tanaman dalam pertumbuhannya

sehingga dengan semakin tingginya kandungan KTK tanah maka kualitas tanah semakin baik

dan optimal bagi pertumbuhan tanaman, begitu

pula dengan keberlanjutannnya.

f. Bahan Organik

Ketersediaan bahan organik lebih tinggi

dan berbeda nyata pada pertanian organik urban farming (UF), dibandingkan intensive farming

(IF) dengan nilai 8,38% (UF) dan 1,51% (IF) (tabel 1), hal ini sangat baik karena pada

pertanian organik pemupukan hanya dilakukan

dengan menambahkan pupuk kandang atau kompos.

Ketersediaan BO dipengaruhi oleh sistem

manajemen usaha pertanian secara organik

dengan menambahkan pupuk kandang (Clark, et al., 1998). Peningkatan BO juga sedikit demi

Page 30: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

30

sedikit juga terjadi pada periode transisi menuju pertanian organik (Wander, 1994), dengan

penambahan bahan organik ini membuktikan

kinerja dari mikroorganisme dalam dekomposisi yang akan meningkatkan

kesuburan tanah (Tiensen, et al., 1994). Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi

dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik

dan tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin

dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah

meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai oksigen, reaksi tanah, serta

ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Parr, 1992). Setiap kilogram bahan organik

mempunyai kemampuan untuk menyerap air

sampai 20 kali, selain itu dengan menambah bahan organik akan mengurangi hilangnya air

ataupun erosi akibat run off (Hepperly, n.d.).

Ketersediaan BO sangat dipengaruhi oleh

fauna tanah (cacing dan arthropoda) serta perakaran tanaman, oleh karena itu rotasi

tanaman sangat dianjurkan guna mempertinggi

kandungan BO tanah (Mc Cauley, 1999). Menurut Baldwin (2006) peran mikroorganisme

sangat komplek dan sensitif dalam mineralisasi nutrisi. Oleh karena itu dengan semakin

tingginya jumlah BO tanah maka perbaikan

kualitas tanah akan semakin optimal. Input (masukan) pada lahan berupa pupuk kandang

semakin mempertinggi kandungan organik

tanah, hal ini berimplikasi secara luas terhadap komposisi biologi, fisika dan kimia tanah

menjadi lebih baik (Pimentel et al., 2005), sehingga penambahan bahan organik dari

pupuk kandang ini perlu dipertahankan guna

menjaga keberlanjutan pertanian organik yang ada, selain itu rotasi tanaman yang terbukti

dapat meningkatkan BO juga dianjurkan.

g. Rasio Karbon dan Nitrogen (CN rasio) Pada pengamatan CN rasio didapatkan

bahwa pertanian organik urban farming (UF)

sebesar 8,25% dan berbeda nyata dibandingkan pertanian intensif (IF) 6% (tabel 1). Perbedaan

yang nyata ini disebabkan karena penambahan pupuk kandang yang telah matang dan tidak

lagi dalam proses dekomposisi. Sehingga rasio

Carbon dan Nitrogen menunjukkan jumlah karbon dibandingkan jumlah Nitrogen pada

suatu biomassa dapat seimbang, karena karbon berfungsi sebagai energi bagi mikrorganisme.

Nilai C/N rasio ini sangat berhubungan dengan ketersediaan Nitrogen tanah, jika

melihat kandungan Nitrogen sebelumnya yang

menunjukkan perbedaan yang nyata, maka pemberian pupuk kandang pada pertanian

organik urban farming, memiliki nilai C/N

yang relatif rendah sehingga mikroorganisme cenderung cepat dalam mendekomposisi

substrat tersebut. Menurut USDA (2011) kandungan C/N pada kotoran sapi adalah 18:1

hal ini menunjukkan mikroorganisme akan

lebih cepat dalam mencerna dan lebih menyediakan Nitrogen tersedia lebih banyak.

Semakin tingginya kandungan karbon yang

diserap mikroorganisme tanah atau tanaman akan berdampak langsung terhadap

pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga sektor pertanian yang sebelumnya

berperan dalam peningkatan emisi GRK dengan

sistem pertanian organik bahkan sebaliknya yakni dapat menyerap karbon secara lebih

effisien, selain itu keberlanjutannya juga

semakin baik.

h. Potensial Hidrogen (pH) Nilai kandungan pH tidak berbeda nyata

antara urban farming dan intensive farming (tabel 1), dengan nilai sudah ideal, yakni 6,8.

Peran pH sangat besar karena pada nilai pH menentukan ketersediaan unsur hara. Nilai pH

tanah optimal berbeda-beda tiap komoditas,

namun pH ideal adalah 6,5 sampai 7,0 karena dengan nilai pH ini unsur-unsur esensial

tersedia bagi tanaman.

Kandungan pH sangat mempengaruhi

dekomposisi bahan organik, serta ketersediaan nutrisi yang dapat diserap oleh tanaman (Mc

Cauley, 1999). Pada penelitian Clark, et al.

(1998) pH pertanian konvensional cenderung stabil, namun pada pertanian input rendah

ataupun organik menunjukkan peningkatan secara konsisten namun tetap pada pH optimal

bagi ketersediaan nutrisi. Hal ini didukung oleh

Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pH tanah dari penambahan bahan alternatif

cenderung lebih rendah dibandingkan pupuk

kimia, namun penambahan bahan alternatif seperti pupuk kandang akan meningkatkan pH

menjadi lebih tinggi dari penggunaan pupuk kimia. Nilai pH antara kedua lokasi penelitian

(organik dan intensif) telah ideal yakni

mendekati nilai 7, karena pH optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7,0

karena pada pH ini unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur mikro tidak

maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan

terjadinya toksisitas unsur mikro rendah. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca,

Page 31: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

31

dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi

defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca dan Mg

juga keracunan B dan Mo (Hanafiah, 2007). Berdasarkan nilai pH tanah diatas

keberlanjutannya sudah baik dan perlu dipertahankan.

Pengaruh Pertanian Organik Urban

Farming terhadap Sifat Fisika Tanah Fungsi tanah dalam sistem usaha tani

adalah sebagai media tumbuh atau sebagai

tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara horisontal maupun secara vertikal.

Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini

tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur).

Kerapatan porositas akan menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara

(drainase dan aerasi).

a. Porositas Tanah Berdasarkan tabel 1, porositas tanah pada

pertanian organik urban farming berbeda nyata

dibandingkan pertanian intensif, dengan nilai 66,25% (UF) dan 55,45% (IF). Ini

membuktikan pemanfaatan pupuk organik akan

meningkatkan proporsi ruang pori total/ruang kosong yang terdapat dalam satuan volume

tanah yang dapat ditempati air atau udara (porositas).

Menurut Krol, et al., (2013) penggunaan pupuk organik dalam waktu yang lama dapat

menciptakan memperbanyak jumlah pori tanah, penggunaan pupuk kandang dapat

meningkatkan sifat fisika tanah, khususnya

porositas. Oleh karena itu pertanian organik tanpa menggunakan pupuk kimia, dinilai akan

memperbaiki sifat fisika tanah, terbukti dengan

meningkatnya porositas tanah, yang menunjukkan daya serap tanah akan air dapat

bertambah selain itu sirkulasi oksigen juga dapat berjalan dengan baik yang juga akan

menunjang aktivitas mikroba tanah.

Sementara perbandingan tekstur tanah

pertanian organik urban farming dan pertanian intensif relatif tetap, diduga karena penambahan

pupuk organik maupun kimia tidak dapat

merubah komposisi liat, lempung dan pasir dalam tanah. Tanah pertanian organik urban

farming bertekstur lempung berdebu sementara pertanian intensif lempung-lepung berpasir.

Dominasi debu akan menyebabkan

terbentuknya pori meso dalam jumlah sedang, sehingga cukup permeabel, menyebabkan daya

pegang air cukup kuat, namun sebagian pori akan terisi udara dan air dalam jumlah yang

seimbang. Sementara lempung berpasir akan

menyebabkan terbentuknya pori mikro, sehingga daya serap akan air sangat kuat dan air

akan terperangkap, pada tanah jenis ini meskipun jumlah air dan nutrisi cukup baik,

ketersediaan udara akan menjadi faktor

pembatas aktivitas mikroba (Hanafiah, 2007). Berdasarkan indikator porositas, keberlanjuan

pertanian organik urban farming sudah baik,

sementara pada indikator tekstur pertanian organik tidakdapat merubah tekstur tanah.

Pengaruh Pertanian Organik Urban

Farming terhadap Biologi Tanah Arthropoda tanah memiliki peran yang

sangat vital dalam rantai makanan khususnya sebagai dekomposer, karena tanpa organisme

ini alam tidak akan dapat mendaur ulang bahan

organik. Selain itu, arthropoda juga berperan sebagai mangsa bagi predator kecil yang lain,

sehingga akan menjaga kelangsungan

arthropoda yang lain. Sebagai konsekuensi struktur komunitas mikro arthropoda akan

mencerminkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanah, termasuk terhadap

aktivitas manusia. Terjadinya perubahan lahan,

khususnya pertanian, menyebabkan hilangnya biodiversitas dibandingkan dengan ekosistem

yang masih alami, terutama pada pertanian

intensif karena manfaat biologi dan kimia tanah sebagai habitat menurun drastis ketika terjadi

perubahan dari ekosistem alami menjadi pertanian. Menurut Curry (1998) dan Lee

(1991) frekuensi pengolahan lahan serta

penggunaan bahan kimia berdampak besar terhadap organisme tanah. Aktivitas pertanian

memiliki pengaruh positif dan negatif dalam

kelimpahan, keanekaragaman serta aktivitas fauna tanah, terutama disebabkan perubahan

suhu tanah, kelembaban, serta jumlah dan kualitas bahan organik (Hendrix dan Edward,

2004). Karena tanah merupakan habitat dari

bakteri, jamur, serta berbagai macam fauna, seperti nematoda, arthropoda dan cacing tanah

(Jeffrey et al, 2010) yang memiliki fungsi khusus dalam ekosistem (Gardi dan Jeffrey,

2009).

a. Keanekaragaman Arthropoda Keanekaragaman arthropoda tanah

berdasarkan Indeks Shannon Weaver pada

urban farming pada metode mutlak tergolong sangat rendah dengan nilai 0,92 pada lahan IF,

Page 32: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

32

sedangkan UF 1,2 (tabel 2.) tergolong rendah dan keduanya tidak berbeda nyata. Sementara

dari metode nisbi berbeda nyata antara

pengamatan UF dan IF dengan nilai 2,27 (keanekaragaman sedang) pada UF dan IF 1,4

(keanekaragaman rendah).

Tabel 2. Hasil Uji T Keanekaragaman Arthropoda

Pengamatan H’

UF IF

Mutlak (m2) 1.2 0.92

Nisbi 2.27* 1.4 Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive

Farming; Mutlak: Visual; Nisbi: Pitfall. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.

Berdasarkan analisis indeks keanekaragaman arthropoda di atas, diketahui

bahwa dengan pertanian organik urban

farming, keanekaragaman arthropoda menjadi sedang dibandingkan pertanian intensif

(intensive farming) yang memiliki keanekaragaman rendah. Hal tersebut

dimungkinkan karena pada pertanian urban

farmingmenggunakan pola tanam tumpang sari hingga mencapai 4-5 tanaman dalam satu mini

green house, dengan semakin tingginya

keanekaragaman arthropoda dalam satu hamparan pertanaman, maka ketersediaan

makanan akan semakin beragam sehingga tidak akan muncul dominasi yang berpotensi menjadi

hama jika ketersediaan makanan habis.

Hal ini menunjukkan sistem organik

berkontribusi terhadap keanekaragaman yang dapat meminimalisir pengaruh negatif dari

intensifikasi pertanian, juga untuk

meningkatkan kualitas habitat orthropoda (Ponce et al, 2011). Selain itu dengan tingginya

keanekaragaman menunjukkan ketersediaan

sumber makanan baik dari mikroorganisme maupun yang lain (Bardgett dan Cook, 1998),

ditambahkan Menta (2012), keanekaragaman dipengaruhi oleh spesies tanaman,

keanekaragaman/komposisi tanaman. Sehingga

modifikasi pertanian organik dengan memanfaatkan pekarangan/urban farming

menggunakan green house tetap mendukung keberlanjutan ekosistem karena dengan

modifikasi iklim mikro dan lapisan olah tanah

(top soil) serta menanam banyak jenis tanaman dalam satu hamparan akan meningkatkan

keanekaragaman arthropoda yang menunjukkan

berjalannya jaring-jaring makananan menuju relatif sempurna sehingga kestabilan ekosistem

sebagai manfaat dari fungsi ekosistem dapat

berjalan.

b. Rasio Jamur dan Bakteri Tanah Jamur dan bakteri merupakan indikator

penting yang menunjukkan keberlanjutan ekosistem, seperti halnya arthropoda yang

merupakan bagian dari organisme tanah sebagai dekomposer. Oleh karena itu biomassa dari

jamur dan bakteri dapat dijadikan sebuah

indikator dalam jaring-jaring makanan.

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa rasio antara jamur dan bakteri, lebih banyak pada

pertanian organik urban farming yakni

702,5/1,95 x 1010 (jamur/bakteri), sementara intensive farming 675/1,925 x 1010

(jamur/bakteri). Dari hasil ini didapatkan bahwa

jamur/bakteri pada pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan

0,35. Data tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi bahwa rasio jamur dan bakteri

semakin besar pada pertanian organik

dibandingkan pertanian intensif, dikarenakan pada pemupukan yang dilakukan oleh petani

pertanian organik urban farming di Desa

Penanggunan rata-rata menggunakan pupuk kandang sapi ataupun kompos yang mana

memiliki CN rasio relatif tinggi yakni di kisaran 20 atau lebih, pentingnya CN rasio disebabkan

kualitas dari bahan organik akan menentukan

organisme dekomposer.

Tabel 3. Total Populasi Bakteri dan Jamur

Jenis/

ulangan

UF IF

Bakteri Jamur Bakteri Jamur

1 1,3 x 1010 610 1,2 x 1010 400

2 1,9 x 1010 2000 1,8 x 1010 100

3 1,8 x 1010 100 1,2 x 1010 1200

4 2,8 x 1010 100 3,5 x 1010 1000

Rata-rata 1,95 x 1010 702.5 1,925 x 1010 675

Sumber : Olah Data Primer, 2013. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive

Farming.

Hasil penelitian rasio jamur dan bakteri pada penelitian ini sesuai dengan pendapat de

Vries et al., (2006) yang membuktikan bahwa pada pertanian organik rasio jamur/bakteri lebih

besar dibandingkan pertanian konvensional,

khususnya jamur saprophytic sebagai komponen utama dalam jaring-jaring makanan

yang mana dapat mendekomposisi sisa dari residu tanaman dengan lebih baik dibandingkan

Page 33: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

33

bakteri selain itu jamur saprophytic ini juga berperan penting dalam daur N dan P (Jonas,

2007). Sedangkan penambahan pupuk Nitrogen

juga akan mengurangi jumlah jamur (de Vries, et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan

oleh Beare, et al., (1997) menyebutkan pada pertanian konvensional jumlah bakteri lebih

banyak dari pada pertanian tanpa olah tanah.

Rasio yang lebih tinggi antara jamur dan

bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah dan

keberlanjutan pada lahan pertanian organik

yang hanya menggunakan pupuk kandang ataupun kompos dengan CN rasio tinggi,

sehingga akan semakin mempercepat

dekomposisi dengan bantuan dari mikroorganisme jamur dan bakteri, yang

ditunjukkan dengan meningkatnya respirasi tanah (Hanuddin, 2000).

KESIMPULAN

Keberlanjutan aspek ekologi sudah baik,

ditinjau dari kualitas tanah yaitu kandungan

kimia, fisika dan biologi tanah. Kandungan kimia dan sifat fisika tanah dari uji

laboratorium terhadap nilai C-organik, N total,

Kalium, Bahan organik, rasio C/N, KTK,pH, tekstur dan porositas tanah keberlanjutannya

telah baik, hanya unsur Phospor saja yang kurang bagus, hal ini dikarenakan unsur P ada

kemungkinan larut didalam tanah karena

presipitasi P oleh Ca, namun secara keseluruhan sudah baik.

Sementara sifat fisika tanah dengan

indikator porositas, keberlanjuan pertanian

organik urban farmig sudah baik, sementara pada indikator tekstur pertanian organik

tidakdapat merubah tekstur tanah.

Keanekaragaman Shannon-Weaver

pengamatan nisbi arthropoda dipermukaan tanah berbeda nyata antar dua pengamatan,

yakni UF 2,27(keanekaragaman sedang)

sedangkan IF 1,4 (keanekaragaman rendah) sehingga fungsi ekosistem dalam menciptakan

keseimbangan terjadi di lahan pertanian organik urban farming meskipun menggunakan green

house.

Sedangkan rasio jamur/bakteri pada

pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan 0,35. Data tersebut

menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi

bahwa rasio jamur dan bakteri semakin besar pada pertanian organik dibandingkan pertanian

intensif. Rasio yang relatif tinggi antara jamur

dan bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah pada lahan

pertanian.

Ditinjau dari aspek kualitas tanah,

keberlanjutan pertanian organik urban farming ini dapat terus terjaga, baik dari kualitas tanah

(kandungan kimia, sifat fisika, serta biologi

khususnya rasio jamur dan bakteri tanah), sedangkan kelimpahan dan keanekaragaman

arthropoda juga relatif baik, meski tidak berbeda nyata dengan pertanian intensif, kecuali

pada pengamatan metode nisbi keanekaragaman

arthropoda permukaan tanah berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa dengan memodifikasi

iklim mikro kestabilan ekosistem dapat dengan

sendirinya terjaga, selama dalam pemeliharaannya tidak menggunakan pupuk

ataupun pestisida kimia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapakan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada

PUSBINDIKLATREN BAPPENAS atas

bantuan pembiayaan pendidikan dan STPP Malang, Badan Pengembangan SDM Pertanian,

Kementerian Pertanian atas izin yang diberikan

kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca

Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

DAFTAR PUSTAKA Al-Kaisi. 2008. Impact of Tillage and Crop

Rotation Systems on Soil Carbon

Sequestration. University Extension. Iowa

State University. Ames, 1996. Conservation Crop Rotation Effect

on Soil Quality. USDA. Technical Note

No. 2. Baldwin. Keith R. 2006. Crop Rotation on

Organic Farms. Center for Environmental Farming Systems (CEFS).

Bargett, Richard D. and Roger Cook. 1998.

Functional Aspect of Soil Animal diversity in Agricultural Grassland. Applied Soil

Ecology 10: 263-276. Beare, M.H., Parmelee, R.W., Hendrix, P.F.,

Cheng, W., 1992. Microbialand Faunal

Interactions And Effects on Litter Nitrogen and Decompositionin Agroecosystems.

Ecological Monographs 62: 569–591.

Bulluck III, L. R., M. Brosius, G. K. Evanylo, J. B. Ristaino. 2002. Organic and Synthetic

Fertility Amandments Influence Soil

Page 34: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

34

Microbial, Physical and Chemical Properties on Organic and Conventional

Farms. Applied Soil Ecology 19:147-160

Clark, M. S., W. R. Howard, C. Shennan, K. M. Scow. 1998. Changes in Soil Chemical

Properties Resulting form Organic and Low-Input Farming Praactice. Agronomic

Journal Vol. 90: 662-671

Curry, J.P., 1986. Effects of Management on Soil Decomposers and Decomposition

Processes in Grassland, in: Mitchell, M.J.,

Nakas, J.P. (Eds.), Micro floral and FaunalInteractions in Natural and Agro

Ecosystems. Nijhoff/ Junk Publishers, Dotrecht, pp.349–398

de Vries, F. T., Ellis Hoffman, N van Eekeren,

L. Bruusard, dan J. Bloem. 2006. Fungal/Bacterial Ratios in Grassland with

Contrasting Nitrogen Management. Soil

Biology & Biochemistry 38: 2092-2103 Doran, J., 1995. Building Soil Quality.

Proceedings of the 1995 Conservation Workshop on Opportunities and

Challengesin Sustainable Agriculture. Red

Deer, Alta., Canada, Alberta Conservation Tillage Society and Alberta Agriculture

Conservation, Development Branch, pp.

151–158. Drinkwater, L.E., Letourneau, D.K., Workneh,

F., van Bruggen, A.H.C., Shennan, C., 1995. Fundamental Differences Between

Conventional and Organic Tomato

Agroecosystems in California. Ecol. Appl. 5, 1098–1112.

Fließbach, Andreas, Hans-Rudolf Oberholzer,

LucieGunst, Paul Ma¨der., 2007. Soil Organic Matter and Biological Soil

Quality Indicators after 21 Years of Organic and Conventional Farming.

Agriculture, Ecosystems and Environment

118 (2007) 273–284. Gardi, C. dan Jeffrey S., 2009. Soil

Biodiversity. European Commission Joint

Research Centre, Institute for Enviromental and Sustainability, Land

Management and Natural Hazards Unit. Ghosh, P.K., Dayal, D., Mandal, K.G., Wanjari,

R.H., Hati, K.M., 2003. Optimization of

Fertilizer Schedules in Fallow and Groundnut-based Cropping Systems and

an Assessment of System Sustainability. Field Crops Res. 80: 83–98.

Hallberg, 2009. Using Community Gardens to

Augment Food Security Efforts in Low-Income Communities. Major Paper.

Virginia Tech. USA.

Hanafiah, Kiemas Ali. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta

Hanudin, E., 2000. Pedoman Analisis Kimia

Tanah (dilengkapi dengan teori, Prosedur dan Keterangan). Jurusan Tanah. Fakultas

Pertanian UGM. Yogyakarta. Hendrix, P. F. And Edward C. A. 2004.

Earthworm in Agroecosystems: research

Approarches, in: Edward, C. A. (Eds.), Earthworm Ecology, second ed. CRC

Press, Boca Raton, London, New York:

287-295 Hepperly, Paul Reed, n. d., The Impact of

Agriculture and Food Systems on Greenhouse Gas, Energy Use, Economics

and the Environment. Rodale Institute.

USA. Hepperly, Paul, Rita Seidel, David Pimentel,

James Hanson, and David Douds Jr. 2007.

Organic Farming Enhances Soil Carbonand its Benefits.

Howard, P.J.A., 1993. Soil protection and Soil Quality Assessment in the EC. Sci. Tot.

Env. 129: 219–239.

Hue, N. V. dan J. A. Silva. 2000. Plant Nutrient Management in Hawaii’s Soils,

Approaches for Tropical and Subtropical

Agriculture. College of Tropical Agriculture and Human Resources,

University of Hawaii at Manoa. IEA, 2006. World Energy Outlook 2006. Paris:

International Energy Agency

Jeffrey S, Gardi C, Jones A, Montanarella L, Marmo L. Miko L, Ritz K, Peres G,

Rombke J, var der Putten WH. 2010.

European Atlas of Soil Biodiversity. European Commission, Publication Office

of the European Union. Krol, A., J. Pipiec, M. Turski & J. Kus. 2011.

Effect of Organic and Conventional

Management on Physical Properties of Soil Agregates. Int. Agrophys 27: 15-21

Lal, R.,2004. Global Potential of Soil Carbon

Sequestration to Mitigate the Greenhouse Effect. Geoderma 123: 1 –22.

Lee, K.E., 1991. The diversity of Soil Organisms, in: Hawksworth, D.L. (Eds.),

The Biodiversity of Microorganisms and

Invertebrates: Its Role in Sustainable Agriculture. CABI, Wallingford, 73–86.

Mc Cauley, Ann. 1999. Soil pH and Organic Matter. Nutrient Management Module No.

8. Montana State University Extention.

4449-8

Page 35: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

35

Menta, Cristina. 2012. Soil Fauna Diversity-Function, Soil Degradation, Biological

Indices, Soil Restoration. Intech.

Nelson, Nathan dan Robert Mikkelsen. 2008. Meeting the Phosporus Recuirement on

Organic Farm. Better Crops Vol. 92 No. 1. Pannel, David J. dan Nicole A. Glen, 2000. A

Framework for The Economic Evaluation

and Selection Ofsustainability Indicators in Agriculture. Ecological Economics 33:

135–149

Parr, J. F., S. B. Hornic, and R. I. Papendick, 1992. Soil Quality: The Foundation of a

Sustainable Agriculture. Amer.J. Alternative Agric. 7(1,2):2-3.

Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D.

Douds, dan R. Seidel, 2005. Environmental, Energetic, and Economic

Comparisons of Organic and Conventional

Farming Systems. BioScienceVol. 55 No. 7: 573-578.

Ponce, Carlos, Carolina Bravo, David Garcia de Leon, Maria Magana dan Juan Carlos

Alonso. 2011. Effect on Organic Farming

on Plant and Arthropod Communities: A Case Study in Mediterranean Dryland

Cereal. Agricultural, Ecosystems and

Environment 141: 193-201 Purwanto, Semiarto Aji. 2010. Bertani di Kota,

Berumah di Desa: Studi Kasus Pertanian Kota di Jakarta Timur. Disertasi. UI.

Jakarta.

Roming, D.E., Garlynd, M.J., Harris, R.F., McSweeney, K., 1995. How Farmers

Assess Soil Health and Quality (Special

Issue Onsoil Quality). J. Soil Water Conserv. 50: 229–236.

Stamatiadis, S., Werner, M., Buchanan, M. 1999. Field Assessment of Soil Quality as

Affected by Compost and Fertilizer

Application in Brocolly Field. Appl. Soil. Ecol. 12: 217-225

Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian Organik menuju Pertanian Alternatif dan

Berkelanjutan. Kanisius. Jakarta

Temple, Steve. 2002. The Transition From Conventional to Low-Input or Organic

Farming Systems: Soil Biology, Soil Chemistry, Soil Physics, Energy

Utilization, Economics, and Risk.

Sustainable Agriculture Research and Extension (SARE) Project Report SW99-

008. 18 April, 2007.

Tiensen, H. E. Cuevas and P. Chacon. 1994. The Role of Soil Organic matter in

sustainig soil Fertility. Nature 371: 783-785

USDA. 2011. Carbon to Nitrogen Ratios in

Cropping Systems. http//:soils.usda.gov/ sqi. Diakses tanggal 3 September 2013

Wander, M. W. 1997. Soil Quality

Characteristic During Convertion to Organic Orchad Management. App. Soil

Ecol.5: 151-167 Williamson, E.A. 2002. A Deeper Ecology:

Community Gardens in the Urban

Environment: An Analytical Paper. College of Human Resources, Education,

andPublic Policy, University of Delaware.

Zhen, Lin dan Routray, Jayant K. 2003. Operational Indicators for Measuring

Agricultural Sustainability in Developing Countries. Environmental Management

Vol. 32, No. 1, pp. 34–46.

Contact Person

Nama : Ferdianto Budi Samudra, S.P., M.Si.

Instansi : STPP Malang, Jl Dr. Cipto 144A Bedali, Lawang, Malang

Email : [email protected]

HP : 081334251557

Page 36: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 36 - 47 ISSN : 2088-2440

ANALISIS PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN

FAKTOR PRODUKSI (KASUS KEMITRAAN DI PG. CANDI BARU

KECAMATAN CANDI, KABUPATEN SIDOARJO)

Lintar Brillian Pintakami

Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar

Email: [email protected]

Abstract: Development of the agricultural sector is not only a priority to food crops, but also maintain the plantation crops. One of the commodities that today many cultivated,

either by large plantations and smallholders are sugarcane (Saccharum officinarum L).

Commodities development of sugar cane in fact currently experiencing problems. Partnership is an appropriate form of cooperation to overcome the obstacles farmers.

Partnership was developed on the basis of the economic aspects and the coaching to

produce long-term benefits. PG. Candi Baru located in the town of Sidoarjo are factory built by the Dutch and is a producer of sugar Superior Hooft Suiker I (SHS I). Since 1832

the company way until now faced a lot of hurdles one milling capacity is still small. To overcome this problem, one solution is carried out by PG. Candi Baru is to establish a

good partnership with farmers. Thus, in this study it is important to analyze the influence

of partnerships to increase farm income and analyze the effect of the use of sugar cane production factors between partner and non-partner farmers (farmers TR KSU and TRM)

to determine the efficiency of the use of production factors. Sugarcane farmers' income

People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the People's Independent Sugarcane farmers (TRM) with an average farm income of farmers Sugar Cane Farmers

Cooperation Enterprises (TR KSU) is Rp. 16,783,456 per ha, while the average farm income of farmers Sugarcane Independent People (TRM) is Rp. 11,918,102 per ha. The

difference was due to the production of sugar cane and sugar cane farmers yield the

People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the production of sugar cane Sugarcane growers Independent People (TRM). Based on the R-square value indicates

the value of 1.00 or 100%. This demonstrates the ability of the independent variables to

explain the dependent variable by 100%. Calculate the F value indicates the value of 1000000, while the significance of the F value indicates the value of 0.0001 or 0.01%.

Selected based on the degree of error is 10%, thus the value of the F-count as being significant because its value is less than 10%. Based on the value of T with the degree of

error of 10% indicates variables - variables that affect the yield and income is the result

of drops. Keywords: patnership, efficiency, factors of production

PENDAHULUAN

Pada negara-negara yang baru berkembang seperti di Indonesia, pembangunan nasional

sebagian besar mengacu pada sektor pertanian

(Soedarmanto, 2003). Pembangunan pada sektor pertanian tidak hanya mengutamakan

tanaman pangan, tetapi juga mempertahankan tanaman perkebunan. Salah satu komoditas

perkebunan yang dewasa ini banyak

diusahakan, baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat adalah tebu

(Saccharum officinarum L).

Pembangunan komoditas tebu tersebut pada kenyataannya saat ini mengalami kendala.

Pada umumnya kendala yang dihadapi petani, khususnya petani tebu adalah permodalan, baik

pada saat awal penanaman ataupun sampai

dengan pasca panen. Selain itu masalah fluktuasi harga, sarana produksi (benih, pupuk,

dan pestisida), harga jual produksi, persaingan antar petani tebu besar dan kecil, minimnya

teknologi, dan kesulitan akan akses pasar yang

lebih luas dalam menyalurkan hasil panen tebunya. Sedangkan permasalahan yang dialami

oleh perusahaan adalah pemenuhan pasokan

Page 37: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

37

bahan baku gula yang harus selalu tersedia dengan kualitas dan kuantitas tebu yang baik,

maka diperlukan peran serta pengusaha besar

(pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam

bentuk kemitraan.

Kemitraan merupakan suatu bentuk

kerjasama yang tepat untuk mengatasi kendala petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas

dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat jangka panjang.

Hubungan kemitraan diharapkan dapat

menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam hal permodalan, teknologi, saprodi,

penetapan harga, serta pemasaran hasil dengan

mendapat bantuan dari pihak luar (Hafsah, 2000).

PG. Candi Baru yang berlokasi di kota

Sidoarjo adalah pabrik yang di bangun oleh

Belanda dan merupakan perusahaan penghasil gula Superior Hooft Suiker I (SHS I). Semenjak

perjalanan perusahaan tahun 1832 sampai sekarang banyak rintangan yang dihadapi salah

satunya kapasitas giling yang masih kecil. Hal

ini dikarenakan masih sulitnya pengadaan bahan baku gula (tebu). Untuk mengatasi

permasalahan ini, salah satu solusi yang

dilakukan oleh PG. Candi Baru adalah dengan menjalin kemitraan yang baik dengan petani

tebu. Dalam sejarah kemitraan di PG. Candi Baru, semenjak pencabutan Inpres Nomor 9

pada tahun 1995 kemitraan di dalam wilayah

kerja PG. Candi Baru disebut Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU).

Adanya perbedaan karakteristik antara

petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR

KSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) perihal pembinaan tentunya akan berpengaruh

terhadap produktivitas tebu dari masing-masing

petani. Sehingga dalam penelitian ini penting untuk menganalisis pengaruh kemitraan

terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu dan menganalisis pengaruh penggunaan

faktor-faktor produksi antara petani mitra dan

non mitra (petani TR KSU dan TRM) untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor

produksi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi petani tebu rakyat

bahwa pelaksanaan kemitraan akan

memberikan keuntungan bersama bagi kedua belah pihak yang bermitra.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka

permasalahan yang dikaji pada penelitian yakni:

1. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di

PG. Candi Baru?

2. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor

produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru?

Tujuan Dari perumusan masalah yang telah

dikemukakan di atas, maka dapat dijelaskan

bahwa tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di

PG. Candi Baru.

2. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor

produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru.

METODE PENELITIAN

Metode Penentuan Lokasi Penelitian dan

Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan

secara sengaja dengan mengambil lokasi di PG.

Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Pengumpulan data primer dan

sekunder dilakukan pada bulan April hingga

Juni 2013.

Spesifikasi Model

Gambar 1. Keterkaitan antara variabel endogen dan variabel eksogen

dalam analisis pengaruh kemitraan

terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi.

Page 38: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

38

Teknik Pendugaan

Teknik pendugaan untuk menjawab

pertanyaan pertama adalah menggunakan analisis usahatani yang meliputi:

1. Analisis Biaya Produksi Usahatani Untuk mengetahui biaya yang digunakan

dalam usahatani, menggunakan rumus:

TC = FC + VC ………………………….. (1)

Keterangan: TC = Total Biaya Produksi

FC = Biaya tetap, biaya yang relatif tetap

jumlahnya (sewa lahan) VC = Biaya tidak tetap, biaya yang besar

kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (biaya garap, biaya

pupuk, biasa jasa KPTR, biaya fee dan

explo tetes, biaya APTRI, biaya fee lelang, biaya zak, serta bunga

pinjaman)

2. Analisis Penerimaan Usahatani Penerimaan adalah keseluruhan

penerimaan yang diperoleh petani sebelum

dikurangi biaya-biaya produksi yang

dikeluarkan petani. Dalam penelitian ini penerimaan diperoleh dari dua macam yaitu

penerimaan dari unsur gula dan penerimaan

dari unsur tetes. Perhitungan penerimaan usahatani dapat dilakukan dengan rumus

sebagai berikut:

TRgula = Q x Rendemen x P gula ……………(2)

dimana: TR gula : Total penerimaan dari unsur gula

(Rp)

Q : Jumlah produksi tebu Rendemen : Jumlah gula yang terkandung

dalam 100 kg tebu

P gula : Harga jual gula (Rp)

TRtetes = Q x Ptetes

dimana:

TRtetes : Total penerimaan dari unsur tetes (Rp)

Q : Jumlah produksi tebu Ptetes : Harga/uang ganti tetes per kuintal

tebu (Rp/kuintal)

3. Analisis Pendapatan Usahatani Tebu Pendapatan usahatani dihitung berdasarkan

pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses

produksi dengan menggunakan rumus:

Pd = TR – TC .............................................(3)

Keterangan: Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total penerimaan

TC = Total biaya

Pendapatan Usahatani Tebu (Pd) Pendapatan usahatani tebu dihitung

berdasarkan pengurangan antara penerimaan

total dengan biaya total selama satu proses produksi usahatani, dimana didalamnya

terdapat biaya produksi, biaya transaksi dan

dinyatakan dengan Rp/ha/musim tanah. Pendapatan usahatani dirumuskan sebagai

berikut:

Pd1/2 = TR1/2 – TC1/2

Pd1/2 = TR1/2 – (PC1/2 + TrC1/2)

dimana:

Pd = Pendapatan usahatani tebu (Rp) TR = Total penerimaan (Rp/ha)

TC = Biaya total usahatani tebu (Rp/ha) PC = Biaya produksi (Rp/ha)

TrC = Biaya bunga pinjaman dari PG. Candi

Baru 1 = Bermitra dengan PG. Candi Baru

2 = Tidak bermitra dengan PG. Candi Baru

(Soekartawi, 1995)

Sedangkan teknik pendugaan untuk menjawab pertanyaan kedua menggunakan uji

statistik dilakukan untuk mengetahui apakah

model yang terbentuk telah memenuhi asumsi dalam metode kuadrat terkecil (OLS). Pertama,

model diuji terlebih dahulu dengan melihat

koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui kemampuan peubah-peubah bebas (faktor

produksi/input) secara simultan dalam menjelaskan keragaman peubah tak bebasnya

(produksi/output hasil). Bila nilai koefisien

determinasi tinggi maka model yang digunakan adalah baik. Koefisien determinasi dari suatu

model dirumuskan sebagai berikut:

R2 =

Page 39: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

39

Apabila nilai R2 yang di peroleh tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien

regresi dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu

dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai dengan teori maka model yang digunakan

berhubungan dengan masalah multikolinearitas yaitu terjadi korelasi linear yang erat antara

parameter bebas (Drepper dan Smith, 1992).

Untuk mengatasi adanya multikolinearitas, koefisien regresi dapat diduga dengan Metode

Analisis Komponen Utama (Principal

component analysis method).

Kedua, pengujian terhadap koefisien regresi, baik secara keseluruhan maupun secara

tersendiri. Uji keseluruhan dilakukan dengan

uji-F, yaitu untuk mengetahui apakah sekurang-kurangnya satu peubah bebas yang digunakan

dalam model berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas (Drapper dan Smith, 1992).

Perhitungan penduga parameter persamaan struktural dilakukan dengan menggunakan

program computer SAS versi 9,1 (Statistical Analysis System Econometric Time Series)

terhadap data sekunder time series periode

1981-2005. Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama

berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel

endogen, maka setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-

masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka

pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.

Selanjutnya karena model mengandung

persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variabel), maka uji serial korelasi

dengan menggunakan statistik dw (Durbin

Watson Statistik) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah

serial korelasi (autocorrelation) atau tidak

dalam setiap persamaan maka digunakan uji statistik dh (Durbin-h statistiks) (pindyck dan

Rubinfeld, 1991), sebagai berikut:

dimana:

h = Angka statistik durbin-h d = dw statistik

n = Jumlah observasi, dan

Var (β) = Varian koefisien regresi untuk lagged dependent variabel

Apabila h-hitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam

persamaan tidak mengalami serial kolerasi.

Simulasi

Tujuan simulasi model adalah untuk melakukan pengujian dan evaluasi terhadap

model, mengevaluasi kebijakan-kebijakan pada

masa lampau, membuat peramalan untuk masa yang akan datang (Pyndick dan Rubinfield,

1991). Simulasi diperlukan untuk mempelajari

dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model.

Peubah Eksogen:

R = Rendemen

BT = Bagi Hasil tetes BG = Bagi Hasil Gula

M = Mitra LH = Lahan

IR = Irigasi

I = Income

Peubah Endogen:

π = P.Q – Px.X – F

0 = P.MP – Px Px = P.MP Endogenus 1. π = PG.QG –BG 2. BG = 0,3 PGQG – BT 3. QG = QTRG 4. QT = f (bibit, pupuk, irigasi, LH, TK,

Kepras, T) 5. Pupuk = f (income, mitra)

Validasi Model Validasi model bertujuan untuk

mengetahui tingkat representasi model

dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi. Berbagai kriteria

statistik dapat digunakan untuk validasi model ekonometrika dengan membandingkan nilai-

nilai aktual dan dugaan peubah-peubah endogen

(Klein, 1993). Validasi model dilakukan dengan menggunakan Root Means Squares

Error (RMSE), Root Means Percent Squares

Error (RMSPE) dan Theil’ Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfield, 1991).

Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:

Page 40: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

40

dimana:

Yts = Nilai hasil simulasi dasar dari variable

observasi

Yta = Nilai actual variable observasi

n = Jumlah periode observasi

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah

endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur

nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu

mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk

mengetahui kemampuan model untuk analisis

simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Disamping itu, validasi

model juga dapat dijelaskan dari nilai koefisien determinsi (R2),semakin besar nilai tersebut

semakin besar proporsi variasi perubahan

peubahe ndogen yang dapat dijelaskan oleh variasi dalam peubah penjelas sehingga model

semakin baik.

Variabel yang Di Simulasi:

1. Apabila yang berubah adalah variabel R =

Rendemen, maka bagaimana dengan: a. Qg (Kuantitas Gula)

b. π (Pendapatan)

c. Bg (Bagi Hasil Gula) d. Pg (Harga Gula)

2. Apabila yang berubah adalah variabel BT=

Bagi Hasil Tetes, maka bagaimana dengan: a. Bg (Bagi Hasil Gula)

b. π (Pendapatan) 3. Apabila yang berubah adalah variabel I=

Income, maka bagaimana dengan:

a. TK (Tenaga Kerja) b. Bibit

c. Pupuk

4. Apabila yang berubah adalah variabel LH= Lahan, maka bagaimana dengan:

Qt (Kuantitas Tebu)

5. Apabila yang berubah adalah variabel Mitra, maka bagaimana dengan:

a. Qt (Kuantitas Tebu)

b. Pupuk c. TK (Tenaga Kerja)

d. Bibit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Usahatani Petani Tebu Rakyat

Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani

Tebu Rakyat Mandiri (TRM) 1. Biaya Usahatani

Biaya usahatani yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya tetap dan

biaya variabel. Berikut ini merupakan rincian

biaya-biaya tersebut:

a. Biaya Tetap

Biaya tetap merupakan biaya yang besar

kecilnya tidak dipengaruhi oleh nilai produksi. Biaya tetap yang diperhitungkan dalam

penelitian ini meliputi biaya sewa lahan.

Sementara itu dalam penelitian ini tidak dimasukkan biaya penyusutan alat dan pajak

sewa lahan sebagai komponen penyusun biaya tetap. Biaya penyusutan tidak dimasukkan

karena biaya tersebut telah tergabung dalam

unsur biaya garap.

Rata-rata biaya sewa lahan yang dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama

Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 8.925.000

dan rata-rata biaya sewa lahan pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah Rp.

8.909.091. Selisih biaya sewa lahan di antara

keduanya adalah sebesar Rp. 15.909. Adanya perbedaan nilai sewa tersebut disebabkan

karena beberapa faktor diantaranya letak lahan kaitannya dengan akses jalan,

kesuburan, jenis lahan (tegal atau sawah)

maupun kemudahan irigasi.

b. Biaya Variabel

Biaya variabel usahatani tebu meliputi biaya pupuk, biaya garap, jasa KUD/KPTR, fee

dan explo tetes, APTRI, fee lelang, zak, bunga pinjaman, dan biaya panen yang terdiri dari

biaya tebang dan angkut. Sementara itu biaya

bibit tidak dimasukkan dalam komponen penyusun biaya variabel karena sebagian besar

responden dalam penelitian ini melakukan usahatani tebu keprasan. Rincian biaya variabel

yang dikeluarkan petani responden ditunjukkan

dalam tabel 1.

Page 41: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

41

Tabel 1. Rata-rata Biaya Variabel per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat

Kerjasama Usaha (TR KSU) dan

Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam

No Rincian Biaya

Variabel

Petani Tebu Rakyat

Kerjasama Usaha

(Rp/Ha)

Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha)

1 Biaya Garap 6.500.000 5.000.000 2 Biaya Pupuk

- ZA 855.000 1.020.000 - Phonska 1.162.500 1.080.000

3 Jasa KUD/KPTR 18.652 0 4 Fee & ExploTetes 41.967 37.925 5 APTRI 13.989 12.642 6 Fee Lelang 22.849 19.371 7 Zak 302.973 256.857 8 Bunga Pinjaman 455.000 0 9 Biaya Panen

- Tebang 3.823.650 4.213.864 - Angkut 2.238.234 2.528.318

Jumlah Biaya

Variabel 15.434.814 14.168.977

Sumber: Data Primer Diolah, 2013

Besarnya selisih rata-rata biaya variabel per ha pada petani Tebu Rakyat Kerjasama

Usaha (TR KSU) dan petani Tebu Rakyat

Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 1.265.837.

c. Total Biaya

Rata-rata total biaya usahatani pada

petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 24.359.814 per ha

dan rata-rata total biaya usahatani pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar

Rp. 23.078.068 (tabel 2). Total biaya yang

dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan

dengan total biaya yang dikeluarkan petani

Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan selisih sebesar Rp. 1.281.746. Adanya perbedaan

total biaya tersebut disebabkan karena beberapa hal diantaranya kelas lahan sewa

yang berbeda-beda, biaya garap berdasarkan

kebijakan pada masing-masing petani, bunga pinjaman, dan ada tidaknya pembayaran jasa

KUD/KPTR pada masing-masing petani.

Tabel 2. Rata-rata Total Biaya per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM)

Dalam Satu Musim Tanam

No Rincian Biaya Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha

(Rp/Ha)

Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha)

1 Biaya Tetap

- Biaya Sewa Lahan 8.925.000 8.909.091

Jumlah Biaya Tetap 8.925.000 8.909.091

2 Biaya Variabel

- Biaya Garap 6.500.000 5.000.000

- Biaya Pupuk

• ZA 855.000 1.020.000 • Phonska 1.162.500 1.080.000

- Jasa KUD/KPTR 18.652 0 - Fee & Explo Tetes 41.967 37.925 - APTRI 13.989 12.642

- Fee Lelang 22.849 19.371 - Zak 302.973 256.857 - Bunga Pinjaman 455.000 0 - Biaya Panen

• Tebang 3.823.650 4.213.864 • Angkut 2.238.234 2.528.318

Jumlah Biaya Variabel 15.434.814 14.168.977

Total Biaya Usahatani 24.359.814 23.078.068

Sumber: Data Primer Diolah, 2013

2. Penerimaan Usahatani

Perhitungan penerimaan usahatani tebu dilakukan dengan menghitung nilai gula dan

nilai tetes. Penerimaan petani tebu dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya rendemen,

jumlah fisik yang dihasilkan, dan harga lelang

gula. Jika ketiga faktor tersebut memiliki nilai

yang tinggi maka semakin tinggi pula penerimaan petani. Apabila rendemen konstan,

tetapi jumlah produksi dan harga lelang gula tinggi maka akan tetap memberikan penerimaan

yang tinggi bagi petani.

Page 42: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

42

Tabel 3. Rata-rata Penerimaan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat

Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam

No Rincian Penerimaan Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha

Petani Tebu Rakyat Mandiri

1 Produksi Tebu/Ha/Kwi 933 843 2 Rendemen SHS 4,9% 4,6% 3 Produksi Gula 46 39

Penerimaan Hasil Gula Rp. 39.100.000 Rp. 33.150.000 4 Harga tetes Rp. 730 Rp. 730

Penerimaan Hasil Tetes Rp. 2.043.270 Rp. 1.846.170 Total Penerimaan Rp. 41.143.270 Rp. 34.996.170

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

3. Pendapatan Usahatani Hasil pendapatan yang diperoleh petani

pada penelitian ini lebih besar dibandingkan

dengan pendapatan petani yang lain karena semua petani di lokasi penelitian melakukan

usahatani dengan sistem kepras sehingga tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit. Rata-

rata pendapatan tiap hektar pada masing-

masing petani dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Rata-rata Pendapatan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR

KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim

No Rincian Penerimaan

(Rp/Ha) Total Biaya

(Rp/Ha) Pendapatan

(Rp/Ha) Nilai t hitung

1 Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha 41.143.270 24.359.814 16.783.456 6,176 2 Petani Tebu Rakyat Mandiri 34.996.170 23.078.068 11.918.102

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Berdasarkan tabel 4, pendapatan petani

Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar daripada petani Tebu Rakyat Mandiri

(TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani

pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap

hektar, sedangkan rata-rata pendapatan

usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap hektar.

Selisih pendapatan pada keduanya adalah

sebesar Rp. 4.865.354 tiap hektar.

Analisis Pengaruh Kemitraan Terhadap Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Tebu di PG. Candi Baru

1. Hasil Estimasi Model dan Validasi Model

Sistem SAS

Prosedur SYSLIN

Descriptif Statistik Uncorrected Std

Variables Sum Mean SS Variance Deviation

Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 d1 15.0000 0.5000 15.0000 0.2586 0.5085

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model lI Dependent Variable lI

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 0.334494 0.083624 1000000 <.0001

Page 43: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

43

Error 25 2.18E-9 8.72E-11 Corrected Total 29 0.334494

Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00005

Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.492110 0.000347 4298.40 <.0001 lrendemen 1 0.946644 0.000119 7972.29 <.0001 llahan 1 5.861E-6 2.333E-6 2.51 0.0188 lBT 1 0.999999 0.000021 47517.5 <.0001 d1 1 0.000107 8.8E-6 12.19 <.0001

Interpretasi Dummy Intersep Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan

nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan

kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai F-

Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai

0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat

kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut

tergolong signifikan karena nilainya kurang dari

10%.

Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah:

Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes

+ 0,000107 D Berdasarkan nilai T dengan derajat

kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel -

variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes

a. Rendemen = setiap penambahan

rendemen sebesar 1% akan meningkatkan

income sebesar 1 satuan.

b. Bagi Hasil tetes = setiap penambahan bagi hasil tetes

sebesar 1% akan

meningkatkan income sebesar 1

satuan.

Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86

lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 D

Jika D = 1 Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86

lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 (1)

Income = 1,500107 + 0,95 rendemen +

5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes

Jika D = 0

Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes

+ 0,000107 (0) Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86

lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes

Berarti perbedaan produksi antara D = 1

dan D = 0 adalah 0,000107.

Sistem SAS

Prosedur SYSLIN

Descriptif Statistik

Uncorrected Std

Variables Sum Mean SS Variance Deviation

Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 slop 30096680 1003223 6.118E13 1.068E12 1033602

Page 44: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

44

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model lI

Dependent Variable lI Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 0.334494 0.083624 1000000 <.0001 Error 25 2.43E-9 9.72E-11 Corrected Total 29 0.334494

Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00006

Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.493557 0.000453 3296.73 <.0001 lrendemen 1 0.946685 0.000123 7687.57 <.0001 llahan 1 7.802E-6 2.418E-6 3.23 0.0035 lBT 1 0.999894 0.000025 39966.5 <.0001 slop 1 5.53E-11 4.84E-12 11.44 <.0001

Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan

nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan

kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai F-

Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai

0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat

kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut

tergolong signifikan karena nilainya kurang dari

10%.

Parameter estimasi Model yang dihasilkan adalah:

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8

lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes

Berdasarkan nilai T dengan derajat

kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income

adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan

rendemen sebesar 1%

akan meningkatkan income sebesar 1

satuan.

b. Bagi hasil tetes = setiap penambahan

bagi hasil tetes

sebesar 1% akan meningkatkan income

sebesar 1 satuan.

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8

lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes

Jika D = 1

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 (1)) bagi

hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8

lahan + 6,52 bagi hasil tetes

Jika D = 0 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8

lahan + (0,99 + 5,53 (0)) bagi

hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8

lahan + 0,99 bagi hasil tetes

Berarti perbedaan produksi antara D = 1

dan D = 0 untuk bagi hasil tetes adalah 5,53.

Page 45: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

45

Sistem SAS Prosedur SYSLIN

Descriptif Statistik

Uncorrected Std

Variables Sum Mean SS Variance Deviation

Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 d1 15.0000 0.5000 15.0000 0.2586 0.5085 slop 30096680 1003223 6.118E13 1.068E12 1033602

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model lI Dependent Variable lI

Analysis of Variance

Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 0.334494 0.066899 1000000 <.0001 Error 24 2.182E-9 9.09E-11 Corrected Total 29 0.334494

Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00005

Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.492055 0.001005 1484.92 <.0001 lrendemen 1 0.946644 0.000122 7779.86 <.0001 llahan 1 5.795E-6 2.632E-6 2.20 0.0376 lBT 1 1.000002 0.000070 14348.8 <.0001 d1 1 0.000111 0.000067 1.66 0.1097 slop 1 -204E-14 3.49E-11 -0.06 0.9539

Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan

nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan

variabel independen sebesar 100%. Nilai F-hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan

nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai

0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%,

dengan demikian nilai Fhitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari

10%.

Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah:

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 D) bagi

hasil tetes – 204 D

Berdasarkan nilai T dengan derajat

kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income

adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan

rendemen sebesar 1%

akan meningkatkan income sebesar 1

satuan. b. Bagi hasil tetes = setiap penambahan

bagi hasil tetes

sebesar 1% akan meningkatkan income

sebesar 1 satuan.

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795

lahan + (1 + 0,0001 D) bagi hasil tetes – 204 D

Page 46: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

46

Jika D = 1

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795

lahan + (1 + 0,0001 (1)) bagi hasil tetes – 204 (1)

Income = 205,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1,0001 bagi

hasil tetes

Jika D = 0

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795

lahan + (1 + 0,0001 (0)) bagi hasil tetes – 204 (0)

Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1 bagi hasil tetes

Berarti perbedaan produksi antara D = 1 dan D = 0 untuk intersep adalah 204 sedangkan

untuk bagi hasil tetes adalah 0,0001

2. Simulasi 1. Variabel R (Rendemen)

a. Apabila R (rendemen) meningkat maka

pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga

akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka

akan meningkatkan π (Pendapatan).

c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg (bagi hasil gula) yang didapat semakin

tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi

perubahan maka tidak akan

mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula)

tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi

oleh kualitasnya.

2. Variabel BT (Bagi Hasil Tetes) a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak

akan berubah terhadap Bg (bagi hasil

gula), karena tetes merupakan produk sampingan dari gula sehingga

dibagikan atau tidak tidak akan

mempengaruhi jumlah gula. Karena tetes merupakan sisa hasil produksi

gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg

(bagi hasil gula).

b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π

(pendapatan) petani.

3. Variabel I (Income)

I (Income) mempengaruhi daya beli petani sehingga mampu meningkatkan kemampuan

menambah bibit dalam jumlah yang lebih

banyak, menambah tenaga kerja serta meningkatkan penggunaan pupuk.

4. Variabel Lahan Semakin luas areal maka Qt (kuantitas

tebu) semakin banyak.

5. Variabel Mitra

a. Dengan bermitra, maka akan meningkatkan Qt (kuantitas) tebu,

karena tujuan petani bermitra adalah

untuk meningkatkan produktifitas. Melalui bimbingan teknik budidaya

tebu sesuai dengan baku teknis. b. Dengan adanya kemitraan, maka akan

mengurangi biaya produksi dari segi

pengadaan pupuk, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani

mitra.

c. Apabila petani bermitra, maka akan mendapatkan bantuan modal sehingga

mampu meningkatkan tenaga kerja. d. Dengan adanya kemitraan, maka akan

mengurangi biaya produksi dari segi

pengadaan bibit, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani

mitra.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan di PG.

Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten

Sidoarjo mengenai analisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendapatan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan

petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani

pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha

(TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap ha, sedangkan rata-rata pendapatan

usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri

(TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap ha. Perbedaan tersebut disebabkan petani

Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) selalu diberikan pembinaan oleh PG. Candi

Baru karena merupakan petani mitra

sedangkan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) tidak. Jadi PG. Candi Baru

menyediakan petunjuk baku teknis budidaya tebu yang dianjurkan untuk

petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR

KSU) dan sebagai penunjang dari kegiatan pembinaan kepada petani mitra maka pada

setiap wilayah PG dibentuk satu Forum

Page 47: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

47

Temu Kemitraan (FTK) dan pada setiap wilayah Kecamatan dibentuk satu FTW

(Forum Temu Wilayah). Selain itu

besarnya biaya panen yang terdiri dari biaya tebang dan angkut pada petani Tebu

Rakyat Mandiri (TRM) lebih besar dibandingkan petani Tebu Rakyat

Kerjasama Usaha (TR KSU). Hal ini

dikarenakan kuantitas trast (kotoran tebu) petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) lebih

banyak, sehingga membutuhkan biaya

yang lebih besar. 2. Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan

nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen

menjelaskan variabel independen sebesar

100%. Nilai F- Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya

dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau

0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan

demikian nilai F-hitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari

10%.

3. Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan

variabel – variabel yang berpengaruh

terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes.

4. Variabel yang di simulasi adalah R (rendemen), BT (Bagi Hasil Tetes), I

(Income), LH (Lahan), dan variabel Mitra.

5. Hasil simulasi Variabel R (Rendemen): a. Apabila R (rendemen) meningkat maka

pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga

akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka

akan meningkatkan π (Pendapatan). c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg

(bagi hasil gula) yang didapat semakin

tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi

perubahan maka tidak akan

mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula)

tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi oleh kualitasnya.

6. Hasil simulasi Variabel BT (Bagi Hasil

Tetes): a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak

akan berubah terhadap Bg (bagi hasil gula), karena tetes merupakan produk

sampingan dari gula sehingga

dibagikan atau tidak tidak akan mempengaruhi jumlah gula. Karena

tetes merupakan sisa hasil produksi

gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg

(bagi hasil gula).

b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π

(pendapatan) petani.

DAFTAR PUSTAKA

Bachriadi, Dianto. 1996. Kondisi Pembaruan

Agraria di Indonesia, a paper for KPA’s

internal discussion. Boediono. 1986. Teori Pertumbuhan Ekonomi.

BPFE-UGM. Yogyakarta. Drapper, N. and H. Smith. 1992. Analisis

Regresi Terapan. Edisi Kedua. Terjemahan

Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta. Eko, R. 2006. Ragam Model Bisnis Kemitraan

Pemerintah-Swasta. Perbanas (STMIK).

Jakarta. Hafsah, J. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi

dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Matodierso dan Suryanto. 2006. Agribisnis

Kemitraan Usaha Bersama. Kanisius. Yogyakarta.

Pakpahan, Agus. 2004. Petani Menggugat. Max

Havelar Indonesia Foundation. Jakarta. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfeild. 1991.

Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGarw-Hill Inc.,

New York.

Saptana. 2009. Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing

Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta.

Saragih, B. 2001. Suara dari Bogor Membangun Sistem Agribisnis.

SUCOFINDO. Jakarta.

Soedarmanto, 2003. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya. Malang

Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.

Toharisman. 2005. Potensi Pengembangan

Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan

Gula Indonesia (P3GI). Pasuruan. Umar, Husein. 2003. Metode Riset Bisnis. PT

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 48: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

48

GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 48 - 55 ISSN : 2088-2440

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS PETANI PASCA

PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK

(Studi Kasus pada Usahatani Padi di Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji,

Kabupaten Malang)

Febriananda Faizal

Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar

Email: [email protected]

Abstract: The purpose of this study were (1) Describe the farmer decisions in purchasing

organic fertilizer in the area of research, (2) To analyze the satisfaction of rice farmers

after the use of organic fertilizers, (3) To analyze the loyalty of rice farmers after the use of organic fertilizers. Kebonagung village, District Pakisaji, Malang is one of the villages

that participated in the program Gerakan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K)

which aims to increase rice production of 7 tonnes / ha up to 8 to 8.5 tonnes / ha where the program is encouraged to apply a balanced fertilizer is 5: 3: 2. Comparison of

fertilizer consists of organic fertilizers Petroganik 500 kg, 300 kg NPK (Phonska) and 200 kg Urea. Based on village profile Kebonagung agricultural land paddy ± 45 ha with

an average yield of 6-7 tonnes / ha depending on the season. The production of rice in the

village Kebonagung deemed not maximized so that rice production can be increased again. One of the factors supporting the rice production is the use of fertilizer inputs.

Balanced use of fertilizers which can support rice production so that the results can be as

expected by the farmers. If the yield obtained in accordance with the expectations of the farmers it will affect farmers' satisfaction and loyalty fertilizer use. Based on the analysis

of decision-making description of farmers in the purchase of organic fertilizer Petroganik has gone through a series of stages of decision-making that needs recognition,

information search, evaluation of alternatives, decision-making and results. Based on the

analysis of Customer Satisfaction Index (CSI) is obtained farmer satisfaction index score of 62.64% is included in a range of scales fairly satisfied overall, which means farmers

who use organic fertilizers Petroganik are sufficiently satisfied with the attributes of

organic fertilizer Petroganik. Farmer satisfaction index remains below 100 percent indicates that it is necessary to increase on some attributes. Based on the analysis

Importance Performance Analysis (IPA) obtained some attributes that have a high level of interest and the level of performance is low and in need of repair are the benefits,

nutrient content and influence on the productivity of the plant. Based on theresults ofthe

analysisshowed thatloyaltypyramidoffivecategories ofthe loyalty ofthe majority offarmersare in thecategory ofhabitual buyer. There are39farmers, or 97.5% of farmersin

this category. This showsthat theloyaltyof farmersin usingorganic

fertilizersPetroganikbecause it usedin its use. Keywords: satisfaction,loyalty, organic fertilizer Petroganik, CSI, IPA, the loyalty

pyramid

PENDAHULUAN

Pada tahun 2011 sekitar 33 juta Ha lahan

pertanian Indonesia mengalami penurunan kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk

anorganik (Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat Bogor, 2011). Penurunan tersebut diakibatkan oleh penggunaan pupuk anorganik

seperti Urea, ZA, dan TSP yang terus menerus

tanpa diimbangi dengan penggunaan pupuk

organik. Salah satu program pemerintah yang

bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan kesejahteraan petani

adalah program Gerakan Peningkatan Produksi

Pangan berbasis Korporasi (GP3K). Program ini memberikan pengawalan aplikasi

pemupukan berimbang kepada petani dengan

komposisi 5:3:2. Komposisi 5:3:2 yaitu 500 kg

Page 49: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

49

Petroganik, 300 kg NPK (Phonska) dan 200 kg Urea untuk setiap ha. Pengkajian anjuran

pemupukan 5:3:2 dilakukan pada lahan sawah

1 ha di 82 kabupaten di Jawa. Hasilnya, melalui penerapan pemupukan berimbang

mampu meningkatkan produksi padi dari 7 ton gabah kering panen (GKP) menjadi 8 - 8,5 ton

gabah kering panen (GKP) per ha (PT

Petrokimia Gresik, 2011). Berdasarkan hasil positif tersebut, pemerintah menghimbau para

petani untuk mau menerapakan pemupukan

berimbang 5:3:2 untuk menjaga keseimbangan lahan pertanian dan untuk meningkatkan

produktivitas lahan dan padi. Akan tetapi di desa Kebonagung

kecamatan Pakisaji kabupaten Malang yang

merupakan salah satu desa yang ikut serta dalam program GP3K di Jawa Timur hasil

produksi padi tidak sesuai dengan yang

disosialisasikan oleh pemerintah. Rata-rata hasil produksi padi sebesar 6 – 7 ton/hektar,

peningkatan yang terjadi tidak begitu signifikan sehingga petani merasa belum

merasakan hasil yang memuaskan. Hasil

produksi padi di Desa Kebonagung dirasa belum maksimal sehingga produksi padi dapat

ditingkatkan lagi. Penggunaan pupuk yang

berimbang dapat menunjang produksi padi sehingga hasil yang diperoleh meningkat

seperti yang diharapkan oleh petani. Apabila hasil produksi yang diperoleh sesuai dengan

harapan petani maka akan mempengaruhi

petani terhadap kepuasan dan loyalitas penggunaan input pupuk.

Penelitian ini bertujuan untuk (1)

mendeskripsikanpengambilan keputusan petani dalam pembelian pupuk organik di daerah

penelitian, (2) menganalisis tingkat kepuasan petani pasca penggunaan pupuk organik di

daerah penelitian, (3) menganalisis tingkat

loyalitas petani pasca penggunaan pupuk organik di daerah penelitian.

METODE PENELITIAN

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa

Kebonagung. Pemilihan sampel dilakukan

pada kelompok tani “Rias” dengan metode random sampling (acak) karena populasi

dianggap homogen. Jumlah sampel diperoleh sebanyak 40 petani dengan menggunakan

rumus Slovin. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah wawancara mendalam menggunakan kuisoner. Analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis

Deskriptif, Customers Satisfaction Index (CSI), Importance Performance Analysis (IPA) dan

Piramida Loyalitas.

Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif digunakan untuk

mendeskripsikan proses keputusan pembelian yang terdiri dari lima tahapan yaitu pengenalan

kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi

alternatif, keputusan pembelian dan hasil.

Analisis Custumers Satisfaction Index (CSI) Customer Satisfaction Index (CSI)

digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan

konsumen secara menyeluruh dengan melihat tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan

dengan tingkat kinerja dari atribut-atribut

produk/jasa. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:

1. Menentukan Mean Importance Score

(MIS) dan Mean Satisfaction Score (MSS).

Ket:

n : Jumlah responden Xi : Nilai kinerja atribut ke-i

Yi : Nilai kepentingan atribut ke-i

i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i) 2. Menghitung Weigh Factor (WF)

Ket: p : Jumlah atribut kepentingan

i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i)

3. Selanjutnyamenghitung Weight Score (WS).

4. MenghitungCustomer Satisfaction Index

(CSI), dengan rumus:

Ket: HS : Skala maksimal yang digunakan

Tingkat kepuasan responden secara

menyeluruh dapat dilihat dari kriteria kepuasan konsumen dalam tabel berikut:

Tabel 1. Kriteria Kepuasan Konsumen

Nilai CSI Kriteria CSI

0,81-1,00 Sangat Puas

0,66-0,80 Puas 0,51-0,65 Cukup Puas

0,35-0,50 Kurang Puas

0,00-0,34 Tidak Puas

Sumber: Amiliyah, 2006 dalam Afifi, 2007

Page 50: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

50

Importance Performance Analysis (IPA) Menurut Supranto dalam Manullung

2008, Importance Performance Analysis(IPA) adalah suatu metode yang menganalisis sejauh

mana tingkat kepuasan seseorang terhadap

kinerja suatu produk. Berikut adalah langkah-langkah perhitungan Importance Performance

Analysis (IPA):

1. Menentukan tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerja

dengan rumus:

Ket: TKi: Tingkat kesesuaian

Xi : Skor penilaian kinerja Yi : Skor kepentingan petani

i : Atribut ke-n (i = 1, 2, 3, ... n)

2. Menghitung rata-rata untuk setiap atribut yang dipersepsikan oleh petani, dengan

rumus:

Ket:

:Skor rata-rata dari atribut kinerja pupuk organik

: Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani

n : Jumlah responden petani i : Atribut

3. Menghitung rata-rata seluruh atribut

tingkat kepentingan (y) dan kinerja (x) dengan rumus:

Ket:

: Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kinerja

: Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kepentingan

: Skor rata-rata dari atribut kinerja

pupuk organik

: Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani

k : Banyaknya atribut 4. Masukan nilai ke dalam diagram kartesius

Gambar 1.Matriks Importance Performance Analysis

Piramida Loyalitas Terdapat 5 kategori loyalitas yaitu tingkat

switcher buyer(berganti-ganti merek),habitual buyer (kebiasaan pembelian), satisfied buyer

(kepuasan pembelian), liking the

brand(menyukai merek) dan committed buyer (komitmen pembelian). Oleh karena itu perlu

diketahui jumlah variabel pada tiap variabel,

serta jumlah skor terendah dan tertinggi. Perhitungan kisaran nilai disajikan dalam

tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Elemen Pada Tiap Variabel

No Variabel Jumlah

Atribut

Jumlah

Skala

Skor

Terendah Tertinggi

1 Switcher

buyer 2 3 2 6

2 Habitual

buyer 4 3 4 12

3 Satisfied

buyer 3 3 3 9

4 Liking the

brand 4 3 4 12

5 Committed

buyer 3 3 3 9

Dalam penelitian ini untuk menentukan

klasifikasi konsumen dilakukan dengan membuat selang kelas. Dari selang kelas

tersebut akan diklasifikasikan konsumen-konsumen yang termasuk dan tidak termasuk

pada tiap-tiap tingkatan loyalitas. Perhitungan

rentang skala dilakukan setelah mengetahui selang kelas:

Page 51: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

51

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses keputusan terdiri dari lima tahapan

yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan

pembelian, dan tahap pasca pembelian.

Mengenai tahapan-tahapan proses keputusan pembelian pupuk organik merek Petroganik

akan dijelaskan sebagai berikut.

Analisis Deskriptif

1. Tahapan Pengenalan Kebutuhan Motivasi petani responden di Desa

Kebonagung memilih bertani padi karena

paling besar bertujuan untuk memperoleh keuntungandan menjadikan sebagai pekerjaan

utama (45%), selain itu petani termotivasi

bertani padi karena memiliki lahan sawah warisan dan menjadikan bertani sebagai

pekerjaan sampingan (20%) dan motivasi petani bertani padi yang terkahir karena

merupakan pekerjaan turun temurun (35%).

Petani menilai penggunaan pupuk organik cukup penting (42,5%) dengan harapan

produktivitas padi akan meningkat (67,5%).

Harapan lain yang diinginkan petani dengan penggunaan pupuk organik adalah tanah sawah

mereka menjadi lebih subur dan gembur (32,5%).

2. Tahapan Pencarian Informasi Sebagian besar informasi mengenai pupuk

organik diperoleh petani dari Petugas Penyuluh

Lapang (PPL) (72,5%) yang menganjurkan dan

mewajibkan penggunaan pupuk organik sehingga informasi yang diberikan oleh

Petugas Penyuluh Lapang (PPL) merupakan informasi yang sangat dipercaya oleh petani

(100%). Selain dari Petugas Penyuluh Lapang

(PPL), petani memperoleh informasi dari keluarga/teman dan penjual/iklan.

3. Tahapan Evaluasi Altrenatif Adapun kriteria evaluasi yang ditentukan

oleh petani yaitu merek, harga dan kepraktisan

dalam pengaplikasian. Jika dibandingkan dengan kinerja produk lain yang

dipertimbangkan, pupuk organik memiliki

merek dagang yang cukup dikenal oleh masyarakat (12,5%) sehingga masyarakat

sudah percaya terhadap merek dagang tersebut. Selain itu, harga yang tergolong murah

(62,5%) karena pupuk organik merupakan

pupuk bersubsidi dan yang terakhir pengaplikasian pupuk organik yang mudah

(25%).

4. Tahapan Keputusan Pembelian Keputusan pembelian pupuk organik yang

dilakukan oleh petani sebagian besar sudah

terencana (60%), biasanya rencana pembelian dilakukan sebelum pengolahan tanah. Sisanya

pembelian dilakukan tergantung situasi atau

kebutuhan (40%). Semua petani di Desa Kebonagung membeli pupuk organik di toko

pertanian di daerah tersebut (100%) dengan

alasan toko pertanian tersebut merupakan satu-satunya toko pertanian yang ada di daerah

tersebut (47,5%), alasan lain yaitu merupakan langganan petani (32,5%) dan pemiliki toko

pertanian merupakan anggota kelompok tani

(20%). Cara pembayaran yang dilakukan petani

pada saat pembelian pupuk organik dengan

cara membayar langsung atau tunai (70%), sebagian kecil petani membayar kredit (30%)

yaitu dengan cara membayar setengah harga dan sisanya dibayar pada saat panen atau bisa

sebelum panen. Terdapat berbagai jenis

kemasan dari pupuk organik, dan kemasan yang biasa dibeli oleh petani yaitu kemasan 40

kg (100%) karena kebutuhan yang banyak dan

toko pertanian hanya menyediakan kemasan 40 kg.

5. Tahapan Hasil Petani responden merasa cukup puas

terhadap hasil dari penggunaan pupuk organik

(50%), dengan berbagai alasan diantaranya, harga yang cukup murah. Jika terjadi kenaikan

harga pupuk organik yang biasa dibeli, semua

petani akan terus membeli (100%) karena penggunaan pupuk anorganik harus dicampur

dengan penggunaan pupuk organik. Apabila pupuk organik yang biasa dibeli

tidak tersedia di tempat biasa membeli,

sebagian besar petani akan menunggu sampai pupuk organik tersedia (47,5%). Beberapa

petani memilih untuk mengurungkan niatnya

membeli pupuk (17,5%), mencari ke tempat lain (12,5%), membeli pupuk organik lain

(15%) dan ada yang bertanya ke Petugas Penyuluh Lapang (PPL) (7,5%).

Analisis Customers Satisfaction Index (CSI) 1. Analisis Tingkat Kepentingan

AtributPupuk Organik

Page 52: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

52

Tabel 3. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kepentingan Atribut Pupuk Organik

Atribut

Skor Tingkat Kepentingan

Atribut Nilai

Total

Mean Score (ei)

Kategori

1 2 3 4 5

Manfaat 0 2 3 6 17 178 4,45 Sangat

Penting

Kandungan Unsur Hara 0 0 11 10 19 168 4,20 Sangat

Penting Bentuk Pupuk 4 22 13 1 0 91 2,27 Tidak Penting

Kemasan 0 1 11 14 14 161 4,02 Penting

Petunjuk Guna 17 21 2 0 0 65 1,62 Sangat Tidak

Penting Pengaruh terhadap Produktivitas

Tanaman 0 1 2 11 26 182 4,55

Sangat

Penting

Kemudahan Pengaplikasian 0 2 15 21 2 143 3,58 Penting

Ramah Lingkungan 0 3 13 20 4 145 3,63 Penting Kemudahan Memperoleh Pupuk 0 7 12 21 0 134 3,35 Penting

Harga 0 2 10 28 0 146 3,65 Penting

Merek 11 16 12 1 0 83 2,07 Tidak Penting

2. Analisis Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik Petroganik Tabel 4. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik

Atribut Skor Tingkat Kinerja Atribut Nilai

Total

Mean Score (bi)

Kategori 1 2 3 4 5

Manfaat 12 20 8 0 0 76 1,90 Tidak

Bermanfaat Kandungan Unsur Hara 11 21 7 1 0 78 1,95 Sedikit Hara

Bentuk Pupuk 0 1 8 17 14 164 4,10 Sesuai

Kemasan 0 1 10 14 15 163 4,07 Sesuai

Petunjuk Guna 16 19 4 1 0 70 1,75 Sangat Tidak Sesuai

Pengaruh terhadap Produktivitas

Tanaman 10 24 4 2 0 78 1,95

Tidak

Berpengaruh

Kemudahan Pengaplikasian 0 0 10 14 16 166 4,15 Mudah Ramah Lingkungan 0 1 4 11 24 178 4,45 Sangat Ramah

Kemudahan Memperoleh Pupuk 0 1 9 15 15 164 4,10 Mudah

Harga 0 1 6 22 11 163 4,07 Murah

Merek 17 20 2 1 0 67 1,67 Sangat Tidak Tersedia

3. Kepuasan Petani Pasca Penggunaan Pupuk Organik Petroganik Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Customer Satisfaction Index (CSI)

No Atribut (Variabel)

MIS

(a)

MSS

(b)

WFi

(c) WSi

Y X (a)/(b) (c) x (d)

1 Manfaat 4,450 1,900 0,12 0,23

2 Kandungan Unsur Hara 4,200 1,950 0,11 0,22

3 Bentuk Pupuk 2,275 4,100 0,06 0,25 4 Kemasan 4,025 4,075 0,11 0,44

5 Petunjuk Guna 1,625 1,750 0,04 0,08

6 Pengaruh Produktivitas Tanaman 4,550 1,950 0,12 0,24 7 Kemudahan Pengaplikasian 3,575 4,150 0,10 0,40

8 Ramah Lingkungan 3,625 4,450 0,10 0,43

9 Kemudahan dalam Memperoleh Pupuk 3,350 4,100 0,09 0,37

10 Harga 3,650 4,075 0,10 0,40 11 Merek 2,075 1,675 0,06 0,09

Jumlah 37,400 (d) Weight Average Total 3,132

CSI 62,64%

Page 53: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

53

Tabel 5 menunjukkan hasil perhitungan analisis Customer Satisfaction Index (CSI)

pada pupuk organik Petroganik memperoleh

skor sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam rentang skala 40%

<CSI ≤ 60% yang berarti bahwa tingkat kepuasan petani termasuk dalam kategori

cukup puas. Tingkat kepuasan petani ini

dipengaruhi kinerja dari atribut-atribut pupuk organik Petroganik yang kurang berjalan

maksimal sesuai harapan petani sehingga

menjadikan tingkat kepuasan masih rendah. Hasil cukup puas tentu harus lebih

ditingkatkan sehingga petani bisa mencapai rasa puas atau bahkan hingga sangat puas.

Importance Performance Analysis (IPA) Indeks kepuasan petani yang

menggunakan pupuk organikPetroganik masih

berada dibawah 100% mengindikasikan bahwa memang perlu dilakukan upaya

peningkatan.Oleh sebab itu, usaha yang dapat dilakukan produsen dalam meningkatkan

kepuasan petani padi menggunakan pupuk

organikPetroganik adalah dengan pendekatan peningkatan kinerja. Setelah dilakukan

perhituangan, kemudian hasil dimasukkan

dalam diagram kartesius dan diperoleh sebagai berikut:

Gambar 2. Diagram Kartesius Pupuk Organik

Petroganik

Hasil diagram kartesius berdasarkan

gambar diatas dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Atribut-atribut pada kuadran I

dianggap penting oleh petani tetapi pada

kenyataannya atribut-atribut tersebut belum memberikan kinerja yang sesuai dengan

kepentingan petani. Atribut pada kuadran I ini harus mendapatkan perhatian lebih agar kinerja

atribut tersebut dapat meningkat. Adapun

atribut yang masuk dalam kuadran I adalah

manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh terhadap produktivitas tanaman.

Tabel 6. Pembagian Atribut dalam Kuadran Kuadran I Kuadran II Kuadran

III

Kuadran

IV

Manfaat Kemasan Petunjuk

Guna

Bentuk

Pupuk

Kandungan Unsur Hara

Kemudahan Pengaplikasian

Merek

Pengaruh

Produktivitas

Tanaman

Ramah

Lingkungan

Kemudahan

dalam

Memperoleh

Pupuk

Harga

Piramida Loyalitas Loyalitas konsumen memberikan

gambaran tentang mungkin tidaknya seorang

konsumen beralih ke produk / merek yang lain,

terutama jika pada produk tersebut didapati adanya suatu perubahan, baik menyangkut

harga maupun perubahan pada atribut yang lain. Untuk mengetahui loyalitas petani dengan

cara menggolongkan responden yang menjadi

swithcer buyer, habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan committed buyer.

1. Switcher Buyer

Gambar 3. Kategori petani pada tingkat loyalitas Switcer Buyer

Pada kategori ini variabel yang digunakan adalah harga dan ketersediaan pupuk di kios

pertanian. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa petani di Desa Kebonagung yang

menggunakan pupuk organik Petroganik secara

keseluruhan yaitu 100% tidak berpindah-pindah merek dikarenakan harga yang cukup

terjangkau yaitu Rp. 500 dan ketersediaan

pupuk organik Petroganik di kios pertanian yang selalu tersedia.

2. Habitual Buyer Variabel yang digunakan dalam kategori

ini adalah kecocokan produktivitas, kecocokan bentuk, aman dan pengaruh dari

orang lain Diperoleh hasil sebesar 97,5% atau

Page 54: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

54

sebanyak 39 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik sudah terbiasa dalam

penggunaan pupuk organik Petroganik.

Karena penggunaan pupuk organik Petroganik dalam budidaya padi telah dilakukan sejak

lama atau sekitar 5 tahun terakhir.

Gambar 4. Kategori petani pada tingkat

loyalitas Habitual Buyer

3. Satisfied Buyer

Gambar 5. Kategori petani pada tingkat

loyalitas Satisfied Buyer

Variabel yang digunakan dalam kategori

ini adalah hasil panen, adaptasi pupuk dan ramah lingkungan Diperoleh hasil sebesar

57,5% atau sebanyak 23 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik puas

dengan atribut yang telah diberikan oleh pupuk

organik Petroganik sehingga mereka tidak akan berpindah kepada merek lain

4. Liking the Brand

Gambar 6. Kategori petani pada tingkat loyalitas Satisfied Buyer

Adapun variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah merek pupuk, kualitas,

pengaruh lingkungan dan pengalaman.

Sebanyak 27,5% atau 11 orang petani loyal terhadap merek pupuk organik Petroganik.

5. Committed Buyer

Gambar 7. Kategori petani pada tingkat loyalitas Committed Buyer

Variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah komitmen, rekomendasi dan

informasi. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 55% atau 22 petani termasuk

dalam kategori committed buyer

Pada penelitian ini menggunakan teori yang sudah dikembangkan oleh Himawan

(2013) dimana tidak menggunakan tingkatan

loyalitas seperti pada teori piramida loyalitas tetapi menggunakan istilah “kategori”. Istilah

kategori dikarenakan variabel-variebel disetiap kategorinya berbeda-beda. Bentuk dari

kategori loyalitas ini juga berbeda dengan

bentuk piramida loyalitas, akan tetapi berbentuk parsial. Dalam bentuk parisal

tersebut masing-masing kategori tersusun

dalam bentuk grafik dan jika diaplikasikan akan muncul persentase dari masing-masing

kategori tersebut. Pada pengembangan teori ini bentuk dari

kategori loyalitas yaitu berbentuk parsial,

masing-masing konsumen dapat masuk ke dalam kategori loyalitas yang telah ditentukan

dan apabila diaplikasikan akan muncul

persentase pada setiap kategori loyalitas seperti pada Gambar 8.

Teori baru ini mempunyai keunggulan yaitu setiap konsumen dapat masuk kedalam

kategori loyalitas yang sudah ditentukan.

Persentase dari setiap kategori mempunyai batas maksimal yaitu 100%. Sehingga

berdasarkan persentase tersebut akan muncul

kategori yang paling dominan, yang dapat digunakan untuk menentukan kategori mana

yang membuat konsumen loyal terhadap produk dan terus membeli merek yang sama.

Page 55: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

55

100%

50%

0%

97,5%

Habitual

Buyer 57,5%

Satisfied

Buyer

55,5%

Commited

Buyer 27,5%

Liking the

Brand

0%

Switcher Buyer

Gambar 8. Diagram Kategori Loyalitas Merek

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Berdasarkan teori mengenai tahapan

keputusan pembelian bahwa petani di

Desa Kebonagung dalam melakukan

pembelian pupuk organik Petroganik melalui kelima proses keputusan

pembelian yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif,

keputusan pembelian dan hasil pembelian.

2. Berdasarkan hasil perhituangan Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance

Performance Analysis (IPA) diperoleh

sebagai berikut: a. Nilai Customer Satisfaction Index

(CSI) sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam

rentang skala 40% <CSI ≤ 60% yang

berarti secara keseluruhan petani yang menggunakan pupuk organik

Petroganik cukup puas terhadap atribut

pupuk organik Petroganik. b. Hasil analisis diagram kartesius

dengan metode Importance Performance Analysis (IPA) diperoleh

hasil atribut yang masuk dalam

kuadran I ini harus mendapatkan perhatian lebih agar kinerja atribut

tersebut dapat meningkat adalah

Manfaat, Kandungan Unsur Hara dan Pengaruh terhadap Produktivitas

Tanaman. Ketiga atribut tersebut perlu

dilakukan perbaikan kinerja oleh

perusahaan.

3. Berdasarkan analisis piramida loyalitas, sebagian besar petani berada pada

karegori habitual buyer. Terdapat 39 petani atau 97,5% petani dalam kategori

ini. Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas

petani dalam menggunakan pupuk organik Petroganik karena terbiasa dalam

penggunaannya.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian, produsen perlu melakukan pembenahan pada atribut

manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh

terhadap produktivitas agar lebih baik lagi karena petani merasa penggunaan pupuk

organik tidak berpengaruh terhadap

produktivitas padi sehingga kepuasan petani belum tercapai dikarenakan kinerja pupuk

organik belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh petani.

Bagi pemerintah dapat digunakan untuk

bahan perbaikan program yang telah dilakukan dan dapat digunakan untuk evaluasi program

selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Afifi, M. F. 2007. Analisis Kepuasan

Konsumen terhadap Atribut Sayuran

Organik Dan Penerapan Personal Selling Benny’s Organic Garden. Sarjana

Ekstensi Manajemen

Himawan.2013. Analisis Kepuasan dan Loyalitas Petani terhadap Pupuk Organik

merek "Super Petroganik".Skripsi. Fakultas Pertanian Unversitas Brawijaya.

Malang

Manullang, S. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen SPBU Shell Di DKI

Jakarta.Program Studi Manajemen Dan

Bisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertaniaan Bogor. Bogor

Nazir, Moh. 2002. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

Page 56: PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA …jurnal.unisbablitar.ac.id/images/jurnal/70/Grafting_2014.pdf · grafting: vol. 4 no. 1 maret 2014: 01 - 11 issn : 2088-2440 pengaruh defoliasi

56