Upload
trankhuong
View
230
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 01 - 11 ISSN : 2088-2440
PENGARUH DEFOLIASI DAUN ENTRES DAN LAMA TUNDA SAMBUNG PADA
KEBERHASILAN PENYAMBUNGAN BIBIT SIRSAK (Annona muricata L.)
Tri Kurniastuti
Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar
Email: [email protected]
Abstract: Soursop plant is generally propagated through seeds. To obtain a uniform crop
need to be propagated vegetatively, for example through bud grafting. Vegetative
propagation of native connections will result in the growth and production of a uniform than generative propagation. Before connecting soursop seeds need us to do a treatment
that is by defoliation or defoliation. Twig leaf defoliation on plants is one way to accelerate the growth of buds at each axillary leaf buds look so fat and pithy. Lukman
(2004) states that the entres defoliation treatments can stimulate the formation of shoot
buds as a strong sink According to Soegondo (1996), the success of grafting seedling plants is determined by the condition (age, large, freshness and growth) rootstocks and
scions (budwood), and precipitation and humidity around the nursery. Storage time and
storage media prior to grafting scions also affect the success of grafting (Djazuli et, al, 1999). In addition, the technician skills junction (graftor) will determine the success rate
of grafting (Hadad and Koerniati, 1996). This experiment aims to determine leaf defoliation entres and delays continued on the success of grafting plants soursop. This
study uses a randomized block design (RBD) with 2 factorial, factor 1. Soursop leaf
defoliation on entres, a factor of 2. Long delay in connecting entres soursop. Observation variables include the percentage of success life counted the number of connections with
the connection formula divided by the number of plants alive X 100 %, the number of
shoots counted at the age of 4 mss connection, 5 mms, 6 mss, shoot length was measured with a ruler the size of 30 cm at the age of 4 mss plants, 5 and 6 mss mss. Number of
leaves counted the leaves that have unfolded at the age of 4 mss, mss 5 and 6 mms. Results of Experiment: (1) There is no interaction between defoliation and long delays in
the continued success of soursop seeds, (2) There is a significant effect on the success
continued defoliation perlakuaan soursop seeds, (3) There are long delays entres influence on the success of grafting shoots soursop seeds.
Keywords: Annona muricata L., defoliation, long delay, continued soursop.
PENDAHULUAN
Sirsak (Annona muricata L.) merupakan
salah satu jenis tanaman buah yang berasal dari
dataran Amerika Selatan yang beriklim tropis, yang kemudian menyebar luas ke daratan Asia
Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Pada awalnya, Sirsak merupakan tanaman liar dan setelah dibudidayakan umumnya
merupakan tanaman pekarangan. Buah sirsak terdiri atas 67% daging buah yang bisa
dimakan, 20% kulit, 8,5% biji, dan selebihnya
bagian tengah buah (Verheij dan Coronel 1997). Perbanyakan tanaman yang populer
dikalangan penangkar benih buah-buahan di Indonesia adalah okulasi dan sambung pucuk
karena caranya mudah dan tingkat
keberhasilanya cukup tinngi Sutarto dan Syah
(1991) menyatakan, perbanyakan benih secara vegetatif merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi dalam pengadaan benih sirsak yang
bermutu tinggi dengan harapan buah mewarisi sifat asli seperti induknya dan mampu
menghasilkan buah dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Penyambungan (Grafting) merupakan kegiatan untuk menggabungkan dua
atau lebih sifat unggul dalam satu tanaman. Untuk memperoleh bibit sambungan yang
bermutu diperlukan batang bawah dan batang
atas yang sesuai dan dapat membentuk bidang sambungan yang sempurna. Keberhasilan
penyambungan ditentukan banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah dan batang atas,
ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro,
2
dan keterampilan sumber daya manusia, di samping pemeliharaan setelah penyambungan
(Sukarmin 2009a).
Menurut Soegondo (1996), keberhasilan
penyambungan bibit ditentukan oleh kondisi tanaman (umur, besar, kesegaran dan
pertumbuhan) batang bawah dan batang atas
(entres), serta curah hujan dan kelembapan disekitar pembibitan. Lama penyimpanan dan
media penyimpanan batang atas sebelum dilakukan penyambungan juga berpengaruh
terhadap keberhasilan penyambungan (Djazuli
et, al, 1999). Selain itu, ketrampilan teknisi penyambung (graftor) ikut menentukan tingkat
keberhasilan penyambungan (Hadad dan
Koerniati, 1996).
Waktu yang baik untuk melakukan penyambungan adalah pada saat cuaca cerah,
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa
penyambungan diawal musim kemarau memberikan hasil yang lebih baik dari pada
musim hujan, tetapi hal tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut (Zaubin dan Suryadi, 1999).
Defoliasi daun pada ranting tanaman merupakan salah satu cara untuk mempercepat
pertumbuhan mata tunas yang ada di setiap ketiak daun sehingga mata tunas tampak gemuk
dan bernas. Lukman (2004) menyatakan bahwa
perlakuan defoliasi entres dapat merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan
sink yang kuat. Perlakuan defoliasi akan
menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan meningkatkan kandungan hormon
sitokinin yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan
memacu pembelahan dan penambahan ukuran
sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger
(1998) yang menyatakan dengan turunnya
auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan memacu pembentukan hormon sitokinin guna
merangsang pembentukan tunas. Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan
asimilat pada entres yang didefoliasi.
Akumulasi asimilat akan dapat merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan
jumlah tunas yang tumbuh. Menurunnya tingkat keberhasilan penyambungan pada entres yang
disimpan selama 1 dan 2 hari sebelum
disambung, diduga karena kesegaran entres yang menurun akibat adanya penguapan selama
proses penyimpanan. Hilangnya air akibat
penguapan akan mengganggu kemampuan jaringan entres untuk membentuk kalus yang
merupakan tahap awal proses pertautan antara
batang bawah dengan batang atas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutarto et al. (1989),
yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan
oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan
cadangan zat makanan dan hormon yang cukup. penggabungan dari dua sistem kehidupan maka
dibutuhkan adanya pengkajian bagaimana hasil
selanjutnya dari tanaman yang disambung tersebut.
Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh
kondisi entres (batang atas) dan batang bawah
yang akan disambung. Kondisi batang bawah yang dipergunakan hendaknya diperhatikan
kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan
ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting
dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan Anwarudin, 1980).
Kondisi entres yang perlu diperhatikan adalah kesehatan, kondisi cadangan makanan
dan hormon yang terdapat di dalam entres (Hartmann dan Kester, 1978). Panjang
pendeknya entres berpengaruh terhadap
persentase keberhasilan penyambungan yang dilaporkan oleh Anwarudin, et al. (1989) bahwa
pada sambung pucuk tanaman manggis, entres
yang terdiri dari satu ruas memberikan persentase keberhasilan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan entris yang terdiri dari dua ruas. Menurut Garner dan Chaudri (1979)
dalam Hidayati (1996) bahwa ukuran entris
menentukan keberhasilan dalam penyambungan.
Dalam perbanyakkan secara vegetatif,
antara tempat mengerjakan grafting pohon
induk biasanya berjauhan, kadang bisa antar pulau. Selain itu, jumlah pohon yang akan di
grafting sangat banyak sehingga grafting sulit
diselesaikan dalam waktu satu hari sehingga entres harus dikemas kembali dan disimpan
karena tertundanya waktu grafting (Sjaefuddin dan abdurrahman 2001). Entres harus segera
digunakan utuk okulasi atau sambung pucuk
karena penundaan okulasi dan penyambungan lebih satu hari sejak pengambilan entres akan
menurunkan presentase bibit jadi dan memperlambat pertumbuhan (Mahfudin, 2000).
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh defoliasi
entres dan lama tunda sambung pada keberhasilan grafting bibit sirsak (annona
muricata L.).
3
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di pembibitan buah-
buahan CV. Tri Karya Abadi Tulungagung. Penelitian berlangsung pada bulan September
sampai dengan bulan Desember 2013. Alat dan bahan yang digunakan antara lain batang atas
(entres, scion) sirsak, batang bawah (rootstok)
sirsak, pisau okulasi gunting pangkas,tali plastik, sungkup plastik (kantong plastik),
polibag, media, tanah, pupuk kandang, pasir,
insektisida papan pengamatan, penggaris, spidol, pensil dan pena.
1. Metode Penelitan Penelitan yang digunakan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 2
faktor dan 3 ulangan. Setiap unit perlakuan terdiri atas 15 tanaman yang disambung. Faktor
tersebut adalah sebagi berikut:
a. Defoliasi Entres (D),
(D0) = Entres di defoliasi saat penyambungan,
(D1) = Entres di defoliasi 3 hari sebelum
penyambungan, (D2) = Entres di defoliasi 6 hari sebelum
penyambungan,
(D3) = Entres di defoliasi 9 hari sebelum penyambungan.
b. Lama Tunda Sambung (L),
(L0) = Lama Tunda entres 0 hari
sebelum penyambungan, (L1) = Lama Tunda entres 1 hari
sebelum penyambungan, (L2) = Lama Tunda entres 2 hari
sebelum penyambungan.
2. Pelaksanaan Batang bawah yang digunakan berasal dari
tanamn sirsak dari biji yang sudah dipersiapkan di polibag ukuran 25 x 30 dengan kritetria:
diameter pangkal batang bawah sekitar 5 - 10 mm, umur bibit rata-rata 12 bulan, sehat, dan
subur. Seleksi bibit untuk batang bawah
dilakukan di pembibitan milik sendiri. Dengan tujuan untuk mendapatkan bibit dengan
pertumbuhan yang seragam.
Perlakuan defoliasi untuk sumber bahan
entres dilakukan di kebun. Semua daun bahan entres dibuang dengan menggunakan gunting
pangkas, diberi label sesuai dengan perencanaan yaitu dari -9, -6, -3 dan 0, label
dibungkus plastik lalu di gantungkan pada
ranting entres yang akan didefoliasi, pucuknya dipotong. Entres adalah berupa cabang-cabang
plagiotrop yang sehat, tidak sedang bertunas (flush), warna hijau kecoklatan, dengan
diameter sekitar 7 mm, berasal dari beberapa
pohon induk yang pertumbuhannya seragam. Entres tersebut tetap dipelihara pada pohon
induk sampai saat penyambungan.
Penyambungan dilakukan pada bangunan
pembibitan. Batang bawah dipotong agak miring sesuai dengan perlakuan, pada
ketinggian sekitar 20 cm dari permukaan media bibit (pada bagian batang yang berwarna
coklat). Daun yang disisakan pada batang
bawah adalah yang mempunyai posisi teratas dekat dengan tempat pemotongan. Entres
dipotong dengan panjang sekitar 10 cm, Bagian
atas entres dipotong agak miring sedangkan bagian bawahnya diruncingkan membentuk
huruf V dengan panjang runcingan sekitar 2 cm. Batang bawah dibelah dengan panjang belahan
sedikit lebih panjang dibandingkan runcingan
entres dengan tujuan agar runcingan entres masuk sempurna ke dalam belahan batang
bawah. Entres disisipkan hati-hati ke dalam
belahan batang bawah. Pertautan entres dengan batang bawah diikat dengan kekuatan sedang
dan rapi menggunakan tali plastik sampai entres kokoh dan tidak mudah goyah. Pengikatan
dimulai dari bawah ke atas dengan tujuan agar
pertautan sambungan tidak mudah dimasuki air. Entres dan pertautannya disungkup dengan
kantong plastik es agar kelembabannya terjaga.
Entres sisanya di simpan pada suhu ruang untuk disambung pada 1 sampai 2 hari kemudian.
Setelah penyambungan selesai, bibit sambung kemudian ditempatkan dirumah bibit secara
acak dan dipelihara secara optimal.
Pemeliharaan bibit sambungan meliputi:
pembukaan sungkup plastik, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit, penyiangan
dalam polybag, pembuangan wiwilan batang
bawah serta pemupukan.
3. Peubah Peubah yang diamati meliputi persentase
keberhasilan penyambungan, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun yang terbentuk.
Data-data yang terkumpul untuk setiap peubah kemudian dianalisis secara statistik
menggunakan sidik ragam. Bagi peubah yang
menunjukkan perbedaan nyata akibat perlakuan diuji lebih lanjut dengan Duncan Multiple
Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
4
4. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap bibit
setelah penyambungan dengan perlakuan
defoliasi dan lama tunda entres, dengan pengamatan persentase keberhasilan
penyambungan (PK), jumlah tunas yang tumbuh (JT), panjang tunas (PT), jumlah daun
(JD). Pengamatan awal dilakukan mulai saat
sambungan bibit sudah tersambung.
a. Persentase keberhasilan sambungan, dihitung jumlah sambungan yang hidup
dan yang mati pada umur sambungan 4
mss dengan rumus:
Persentase keberhasilan
sambungan
= Sambungan hidup
x 100% Jumlah tanaman
b. Jumlah tunas yang terbentuk dihitung dari
jumlah tunas yang berhasil tumbuh, dihitung pada umur tanaman 4 mss, 5 mss
dan 6 mss.
c. Panjang tunas, diukur pada tunas yang sudah tumbuh menggunakan penggaris
ukuran 30 cm pada umur tanaman 4 mss, 5 mss dan 6 mss.
d. Jumlah daun, dihitung jumlah daun yang
telah membuka secara sempurna pada umur tanaman 4 mss, 5 mss, dan 6 mss.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Keberhasilan Sambungan Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%
dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang
nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap persentase
keberhasilan sambung. Tetapi dari pengamatan
4 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan lama tunda sambung
(L). Dari hasil uji BNT 5% pada peubah rata-rata persentase keberhasilan sambung untuk
perlakuan lama tunda sambung (L) umur 4
minggu setelah sambung dapat dilihat bahwa entres yang langsung didefoliasi dan tanpa
penundaan sambung memberikan persentase
keberhasilan sambungan yang lebih tinggi dari pada penundaan sambung 1 dan 2 hari dengan
rata-rata jumlah keberhasilan 92.09% untuk lama tunda sambung 0 hari, 85.61% untuk lama
tunda sambung 1 hari dan 77.30% untuk lama
tunda sambung 2 hari. Sedangkan lama tunda sambung 1 hari (L1) pada umur 4 minggu
setelah sambung lebih tinggi tingkat keberhasilan penyambungan dibanding lama
tunda sambung 2 hari (L2). Hal ini disebabkan
semakin lama penundaan sambung sirsak semakin rendah tingkat keberhasilan
penyambungan. Menurunnya tingkat
keberhasilan penyambungan pada entres yang 1 hari dan 2 hari sebelum disambung, diduga
kesegaran entres menurun akibat adanya penguapan selama proses penyimpanan serta
dipengaruhi oleh perlakuan defoliasi. Secara
visual terlihat bahwa entres yang ditunda sambung 1 hari dan 2 hari sudah mulai layu.
Hal ini sejalan dengan (Sutarto et, al. 1998
dalam jurnal Jawal, M Anwarudin Syah 2008), yaitu keberhasilan sambung pucuk ditentukan
oleh kondisi entres yang segar, sehat, dan kokoh karena akan memiliki kandungan
cadangan zat makanan hormon yang cukup.
Defoliasi daun pada entres juga sangat
mempengaruhi keberhasilan dalam penyambungan bibit sirsak. Karena defoliasi
entres akan meningkatkan kandungan asimilat
pada entres. Akumulasi asimilat akan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel
untuk pembentukan jaringan baru di daerah
pertautan sambungan sehingga meningkatkan persentase sambungan jadi. Sesuai dengan
pendapat Lukman (2004) yang menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat
mendukung persentase sambung jadi karena
berkaitan dengan kandungan asimilat yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi.
Akumulasi asimilat dapat merangsang
pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel, yang kemudian mendorong proses pertautan
antara batang atas dan bawah.
Pada saat defoliasi entres optimal bisa
menghasilkan persentase sambungan jadi lebih tinggi. Defoliasi entres yang dilakukan pada
saat optimal berkaitan dengan kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah.
Kompatibilitas kecepatan pertumbuhan batang
atas yang berbeda dengan batang bawah akan mengakibatkan kematian sambungan. Sesuai
dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang
menyatakan bahwa inkompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah
dapat mengakibatkan kematian sambungan.
Akumulasi fotosintat akan digunakan untuk mendorong pembentukan jaringan baru di
daerah pertautan sambungan sehingga
persentase sambungan jadi makin tinggi. Sejalan dengan pendapat Zaubin dan Suryadi
(2002) yang menyatakan bahwa proses
pertautan sambungan memerlukan energi yang cukup besar sehingga peranan daun batang
5
bawah sebagai penghasil fotosintat menentukan proses pertautan sambungan.
Keberhasilan penyambungan ditentukan
banyak faktor, antara lain kondisi batang bawah
dan batang atas, ketepatan waktu penyambungan, iklim mikro, dan keterampilan
sumber dayamanusia, di samping pemeliharaan
setelah penyambungan (Sukarmin 2009a).
Keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh kondisi entres (batang atas) dan batang bawah
yang akan disambung. Kondisi batang bawah
yang dipergunakan hendaknya diperhatikan kesuburannya, sifat akar, kompatibilitas dan
ketahanan terhadap hama penyakit serta umur batang bawah memegang peranan penting
dalam keberhasilan penyambungan (Kalie dan
Anwarudin, 1980). Untuk peubah rata-rata persentase keberhasilan sambung bibit sirsak
dapat dilihat pada grafik dibawah ini:
Gambar 1. Grafik rata-rata persentase
keberhasilan sambung umur 4
minggu setelah sambung
Rata-Rata Jumlah Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%
bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara
perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada pengamatan 4, 5, 6 minggu
setelah sambung. Tetapi pada peubah rata-rata
jumlah tunas pada perlakuan defoliasi entres (D) dan lama tunda sambung (L) didapatkan
adanya perbedaan yang nyata pada umur 4 dan
5 minggu setelah sambung. Rata–rata jumlah tunas sambung untuk bibit sirsak sangat
dipengaruhi oleh defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) pada waktu penyambungan.
Untuk hasil rata-rata jumlah tunas pada D2
(Defoliasi 6 hari) memberikan hasil yang paling baik yaitu 3.49 diikuti oleh (D3) yaitu 3.10,
(D1) 3.02 dan (D0) 2.33.
Hal ini disebabkan defoliasi entres
tampaknya mempengaruhi jumlah tunas
sambungan yang tumbuh pada bibit sambung pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena
berkaitan erat dengan keseimbangan hormon
dan kandungan asimilat (sumber energi) yang terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta
kandungan asimilat dan potensi fotosintat batang bawah. Kenyataan yang hampir sama
ditemukan pula oleh Darmanti, Setiari, dan
Romawati (2008), bahwa perlakuan defoliasi pada bibit jarak pagar (Jatropha curcas) umur 4
bulan dapat meningkatkan pembentukan dan
pertumbuhan cabang lateral.
Perlakuan defoliasi akan menurunkan konsentrasi auksin pada ketiak daun dan
meningkatkan kandungan hormon sitokinin
yang merangsang pembentukan tunas. Akumulasi hormon sitokinin pada entres akan
memacu pembelahan dan penambahan ukuran sel serta diferensiasi sel untuk pertumbuhan
tunas. Sesuai dengan pendapat Taiz dan Zeiger
(1998) yang menyatakan dengan turunnya auksin pada ketiak daun yang didefoliasi akan
memacu pembentukan hormon sitokinin guna
merangsang pembentukan tunas.
Defoliasi entres juga akan meningkatkan kandungan asimilat pada entres yang
didefoliasi. Akumulasi asimilat akan dapat
merangsang pertumbuhan yang mengakibatkan peningkatan jumlah tunas yang tumbuh.
Lukman (2004) menyatakan bahwa perlakuan defoliasi entres dapat meningkatkan akumulasi
asimilat pada cabang entres yang didefoliasi.
Akumulasi asimilat akan merangsang pembentukan tunas karena tunas merupakan
sink yang kuat. Sesuai pula dengan pendapat
Wright (1989) yang menyatakan bahwa tunas dan pucuk merupakan sink yang kuat sehingga
memerlukan asimilat yang banyak untuk pertumbuhannya.
Pertumbuhan yang cepat memerlukan asimilat yang cukup banyak. Namun demikian
karena pertautan sambungan belum sempurna akan terjadi hambatan translokasi asimilat dari
batang bawah sehingga mengganggu
pertumbuhan batang atas. Proses pertautan sambungan bervariasi antara lain tergantung
spesies dan umur tanaman. Perbedaan laju tumbuh batang atas dengan batang bawah
mengakibatkan tidak tercipta kompatibilitas
pertumbuhan dan pertautan sambungan. Keadaan ini mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan tunas sambungan termasuk
jumlah tunas yang tumbuh. Sejalan dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang
menyatakan bahwa pertumbuhan tunas akan
6
terganggu atau bahkan mati jika terjadi inkompatibilitas sambungan.
Daun dalam jumlah yang cukup akan
menghasilkan fotosintat yang maksimal dan
mengurangi transpirasi yang berlebihan sehingga tanaman tumbuh baik dan tidak
mudah layu. Daun berfungsi sebagai penghasil
fotosintat bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Daun yang lebih banyak akan
menghasilkan fotosintat yang lebih banyak. Fotosintat yang dihasilkan akan digunakan
untuk pertumbuhan tunas sambungan. Sesuai
dengan itu Waard dan Zaubin (1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk
proses pertumbuhan tunas dan pertautan
sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak.
Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih
banyak dan kandungan klorofil yang lebih
tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak sehingga memungkinkan tanaman
untuk tumbuh pesat.
Batang atas yang pertumbuhannya serasi
dengan batang bawah dan pertautan sambungan yang sempurna akan melancarkan translokasi
asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan
mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar
(2007) menyatakan bahwa pada sambungan yang serasi atau kompatibel antara batang atas
dan batang bawah akan menghasilkan jumlah
tunas sambungan yang banyak. Untuk rata-rata jumlah tunas pada peubah perlakuan defoliasi 4,
5 dan 6 minggu sebelum sambung dapat dilihat
pada grafik berikut ini:
Gambar 2. Grafik rata–rata jumlah tunas pada
perlakuan defoliasi entres pada umur 4 dan 5 minggu setelah
sambung
Sedangkan untuk rata-rata jumlah tunas pada lama tunda sambung bibit Sirsak hasil
yang paling baik pada lama tunda sambung 1
hari (L1) dengan rata- rata jumlah tunas 3.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari yaitu
rata-rata jumlah tunas 3.27 dan 2.73 untuk lama tunda sambung 0 hari (L0). Hal ini di pengaruhi
oleh defoliasi dan lama tunda sambung, yang
sangat berpengaruh terhadap jumlah tunas sambungan yang tumbuh pada bibit sambung
pucuk Sirsak. Hal itu diduga terjadi karena
berkaitan erat dengan keseimbangan hormon dan kandungan asimilat (sumber energi) yang
terakumulasi pada entres yang didefoliasi serta kandungan asimilat dan potensi fotosintat
batang bawah. Defoliasi daun pada entres dapat
meningkatkan cadangan makanan dan hormon pada entres ditandai dengan mata tunas yang
gemuk, bernas dan sedikit menonjol. Hal ini
dapat mempercepat pertumbuhan tunas. Hartmann dan Kester (1995) menyatakan
bahwa cadangan makanan yang terbentuk dari proses fotosintesis diperlukan untuk memacu
pembentukan kalus di daerah pertautan dan
meransang mata tunas untuk tumbuh. Batang atas yang pertumbuhannya serasi dengan batang
bawah dan pertautan sambungan yang
sempurna akan melancarkan translokasi asimilat, air, hormon dan enzim sehingga akan
mendorong pertumbuhan jumlah tunas sambungan. Sesuai dengan pendapat Muthohar
(2007) menyatakan bahwa pada sambungan
yang serasi atau kompatibel antara batang atas dan batang bawah akan menghasilkan jumlah
tunas sambungan yang banyak. Jumlah rata-rata
untuk lama tunda sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Gambar 3. Grafik rata–rata jumlah tunas pada
perlakuan lama tunda sambung
umur 5 dan 6 minggu setelah
sambung
7
Rata-Rata Panjang Tunas Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%
dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang
nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama tunda sambung (L) terhadap rata-rata panjang
tunas pada pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung. Tetapi dari pengamatan 4, 5, 6
minggu setelah sambung terdapat pengaruh
defoliasi pada rata-rata panjang tunas dan rata-rata jumlah lama tunda sambung (L). Pada
perlakuan defoliasi ini yang paling baik adalah
pada D2 (defoliasi 6 hari) dengan rata-rata panjang tunas 16.32 diikuti oleh (D1) yaitu
15.58, (D0) 13.82 dan (D3) dengan rata-rata jumlah panjang tunas 13.01. Hal ini disebabkan
panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak
setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres
dan lama tunda entres sirsak sebelum di
sambung.
Hasil penelitian yang hampir serupa disimpulkan pula oleh Muthohar (2007) bahwa
defoliasi entres memberikan pengaruh terhadap
panjang tunas bibit sirsak hasil sambung pucuk.
Defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan memacu pembentukan
hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi.
Hormon sitokinin berperan merangsang pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan
ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan tunas bertambah panjang. Sesuai dengan
pendapat Salisbury dan Ross (1995) yang
menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel sehingga
tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah
panjang. Alvim, Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan bahwa defoliasi entres akan
menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang peningkatan sitokinin guna
memacu pertumbuhan panjang tunas.
Defoliasi entres pada saat yang optimal mengakibatkan batang atas tumbuh terlalu
cepat. Batang atas yang tumbuh cepat akan
memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum sempurna.
Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan panjang tunas sambungan. Sebaliknya defoliasi
entres yang terlambat akan mengakibatkan
panjang tunas tumbuh lebih lambat. Laju tumbuh batang atas yang berbeda dengan
batang bawah akan mengakibatkan tidak terciptanya kompatibilitas pertumbuhan.
Kompatibilitas pertumbuhan dan pertautan
sambungan akan mempengaruhi aliran nutrisi, hormon, enzim dan air. Gangguan ini akan
mengakibatkan pertumbuhan panjang entres menjadi tertekan. Sesuai dengan pendapat
Mathius, Lukman dan Purwito (2007) yang
menyatakan bahwa sambungan yang tidak kompatibel mengakibatkan terjadinya hambatan
translokasi nutrisi, air, hormon dan aktifitas enzim yang melewati daerah pertautan antara
batang bawah dengan batang atas. Hartman et
al. (1997) menyatakan pula bahwa salah satu ciri inkompatibilitas adalah terjadinya hambatan
pertumbuhan tunas sambungan sehingga
menjadi lebih pendek.
Tanaman dengan cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah membuat tunas
sambungan tidak akan tumbuh dengan baik
karena tunas sambungan merupakan sink yang kuat. Sesuai dengan pendapat Crabbe dan
Barnola (1996) yang menjelaskan bahwa tunas yang tumbuh adalah sink yang kuat.
Terciptanya kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan
membuat translokasi fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga
tunas lebih cepat bertambah panjang. Sesuai
pula dengan pendapat Errea, Garay dan Marin (2001) yang menyatakan jika translokasi
nutrisi, air, hormon, enzim serta fotosintat
berjalan dengan baik antara batang atas dan batang bawah, maka tunas sambungan akan
tumbuh lebih cepat. Jumlah rata-rata untuk panjang tunas 4, 5, dan 6 minggu setelah
sambung dapat dilihat pada grafik berikut ini:
Gambar 4. Grafik rata–rata panjang tunas
pada perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu
setelah sambung
Pada perlakuan lama tunda sambung ini
hasil yang paling baik adalah ada (L0) lama
tunda sambung 0 hari pada 4 minggu setelah smbung dengan rata-rata panjang tunas 10.13
dan sangat berbeda nyata dibanding lama tunda
8
sambung 1 hari dengan jumlah rata-rata panjang 9.47 diikuti oleh lama tunda sambung 2 hari
dengan jumlah rata-rata panjang tunas 9.17.
Untuk perlakuan lama tunda sambung (L) pada 5 minggu setelah sambung dan 6 minggu
setelah sambung tidak ada perbedaan nyata, panjang tunas bibit sambung pucuk sirsak
setelah penyambungan ternyata ditentukan oleh
pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Defoliasi entres akan menurunkan kandungan
hormon auksin dan memacu pembentukan
hormon sitokinin pada entres yang didefoliasi. Hormon sitokinin berperan merangsang
pembelahan dan pembesaran sel. Jumlah dan ukuran sel yang bertambah akan mengakibatkan
tunas bertambah panjang.
Gambar 5. Grafik rata-rata jumlah panjang
tunas pada perlakuan lama tunda
sambung umur 4 minggu setelah sambung
Sesuai dengan pendapat Salisbury dan
Ross (1995) yang menyatakan bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan
pembesaran sel sehingga tunas yang tumbuh pada entres dapat bertambah panjang. Alvim,
Lorentz dan Saunders (1974), juga menyatakan
bahwa defoliasi entres akan menurunkan kandungan hormon auksin dan merangsang
peningkatan sitokinin guna memacu pertumbuhan panjang tunas. Tanaman dengan
cadangan makanan (karbohidrat) yang rendah
membuat tunas sambungan tidak akan tumbuh dengan baik karena tunas sambungan
merupakan sink yang kuat. Terciptanya
kompatibilitas pertumbuhan batang atas dengan batang bawah akan membuat translokasi
fotosintat, air, hormon serta enzim berlangsung lebih baik sehingga tunas lebih cepat bertambah
panjang. Sesuai dengan itu Waard dan Zaubin
(1983) menyatakan bahwa terkurasnya energi untuk proses pertumbuhan tunas dan pertautan
sambungan akan cepat diisi kembali jika jumlah
daun yang aktif berfotosintesis lebih banyak. Lebih lanjut Sukarman, et al. (2002)
menyatakan bahwa jumlah daun yang lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih
tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih
banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus
bertambah. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap panjang tunas.
Rata – Rata Jumlah Daun Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) 5%
dijelaskan bahwa tidak terdapat interaksi yang
nyata antara perlakuan defoliasi (D) dan lama
tunda sambung (L) terhadap jumlah daun. Dari pengamatan 4, 5, 6 minggu setelah sambung
terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan
defoliasi terhadap jumlah daun dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Hasil uji BNT 5%
pada peubah rata–rata jumlah daun untuk perlakuan defoliasi dapat dilihat pada (tabel 7)
dengan rata-rata jumlah daun 7.99 pada (D2)
defoliasi 6 hari merupakan hasil yang terbaik diikuti perlakuan (D1) yaitu 7.01, (D3) yaitu
6.81 dan (D0) dengan jumlah daun rata-rata
6.69. Jumlah daun bibit sambung pucuk bibit sirsak setelah penyambungan ternyata
ditentukan oleh pengaruh antara perlakuan saat defoliasi entres. Karena defoliasi entres dapat
menurunkan kandungan hormon auksin pada
entres dan meningkatkan kandungan hormon sitokinin. Peningkatan kandungan hormon
sitokinin dapat memacu pertambahan jumlah
dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun tanaman. Sesuai
dengan pendapat Alvim, Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan
defolasi akan menurunkan kandungan hormon
auksin dan merangsang pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang
berpengaruh terhadap jumlah daun sambungan.
Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan pula bahwa sitokinin berperan
memacu pembelahan sel dan pembesaran sel untuk pembentukan organ tanaman seperti
daun. Defoliasi entres yang terlalu awal
mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu
cepat akan memerlukan asimilat yang banyak sementara pertautan sambungan belum
sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi
asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan daun sambungan menjadi terganggu.
Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan
mengakibatkan batang atas tumbuh lebih lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal
berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh
9
batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Sejalan
dengan pendapat Hartman et al. (1997) yang
menyatakan bahwa jika terjadi inkompatibilitas sambungan mengakibatkan pertumbuhan tunas
terganggu atau bahkan mati. Pertumbuhan tunas erat kaitannya dengan jumlah daun sambungan.
Daun berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman, karena di dalam daun
terjadi proses fotosintesis. Jumlah daun yang cukup akan menghasilkan fotosintat yang lebih
banyak sebagai energi bagi pertumbuhan
sehingga tanaman tumbuh pesat. Sesuai dengan pendapat Fahn (1995) yang menyatakan bahwa
dalam proses fotosintesis akan dihasilkan
fotosintat sebagai sumber energi pertumbuhan tanaman yang ditentukan oleh jumlah daun
tanaman. Fotosintat yang lebih banyak akan digunakan untuk memacu laju pertumbuhan
jumlah daun batang atas. Sesuai pula dengan
pendapat Sukarman, et al.(2002) yang menyatakan bahwa jika daun lebih banyak dan
kandungan klorofil yang tinggi akan dihasilkan
fotosintat yang lebih banyak untuk didistribusikan keseluruh organ tanaman
termasuk daun itu sendiri. Kompatibilitas pertumbuhan batang atas yang sesuai dengan
batang bawah akan meningkatkan proses
metabolisme tanaman sehingga tanaman tumbuhan dengan baik. Tanaman yang tumbuh
lebih baik akan menghasilkan jumlah daun
sambungan yang lebih banyak. Sesuai dengan pendapat Lizawati (2002) yang menyatakan
bahwa kesesuaian pertumbuhan antara batang atas dan batang bawah akan mengakibatkan
proses metabolisme tanaman berlangsung lebih
baik sehingga tanaman akan tumbuh pesat.untuk rata-rata jumlah daun pada 4, 5 dan
6 setelah sambung dapat dilihat pada grafik
berikut:
Gambar 6. Grafik rata - rata jumlah daun pada
perlakuan defoliasi entres pada umur 4, 5 dan 6 minggu setelah
sambung
Sedangkan untuk peubah perlakuan lama tunda sambung 0, 1, dan 2 hari, rata-rata jumlah
daun 7.65 merupakan hasil yang paling baik
pada (L0) lama tunda sambung 0 hari. Untuk perlakuan lama tunda sambung dari
pengamatan 4,5,6 minggu setelah sambung terdapat perbedaan yang nyata pada jumlah
daun yang tumbuh. Hal ini disebabkan adanya
perlakuan defoliasi dan lama tunda sambung pada entres Sirsak. Lebih lanjut Sukarman, et
al. (2002) menyatakan bahwa jumlah daun yang
lebih banyak dan kandungan klorofil yang lebih tinggi akan menghasilkan fotosintat yang lebih
banyak sehingga memungkinkan tanaman untuk tumbuh pesat dan tinggi tunas akan terus
bertambah. Karena hormon yang terdapat pada
batang atas atau entres adalah hormon sitokinin yang dapat memacu pertambahan jumlah dan
ukuran sel serta differensiasi sel untuk
pembentukan organ daun tanaman. Peningkatan kandungan hormon sitokinin dapat memacu
pertambahan jumlah dan ukuran sel serta differensiasi sel untuk pembentukan organ daun
tanaman. Sesuai dengan pendapat Alvim,
Lorentz dan Saunders (1974) yang menyatakan bahwa perlakuan defolasi akan menurunkan
kandungan hormon auksin dan merangsang
pergerakan sitokinin guna memacu pertumbuhan tunas yang berpengaruh terhadap
jumlah daun sambungan.
Lebih lanjut Salisbury dan Ross (1995)
menyatakan pula bahwa sitokinin berperan memacu pembelahan sel dan pembesaran sel
untuk pembentukan organ tanaman seperti daun. Defoliasi entres yang terlalu awal
mengakibatkan pertumbuhan batang atas terlalu
cepat. Pertumbuhan batang atas yang terlalu cepat akan memerlukan asimilat yang banyak
sementara pertautan sambungan belum
sempurna sehingga terjadi gangguan translokasi asimilat. Akibatnya pertumbuhan tunas dan
daun sambungan menjadi terganggu. Sebaliknya defoliasi entres yang terlambat akan
mengakibatkan batang atas tumbuh lebih
lambat. Defoliasi entres pada saat yang optimal berkaitan erat dengan keserasian laju tumbuh
batang atas dengan batang bawah sehingga tercipta kompatibilitas pertumbuhan. Untuk
rata-rata jumlah daun pada lama tunda (L) dapat
dilihat pada grafik berikut ini:
10
Gambar 7. Grafik rata–rata jumlah daun pada
perlakuan lama tunda sambung
pada umur 4, 5 dan 6 minggu
setelah sambung
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Bahwa tidak ada pengaruh interaksi antara
defoliasi dan lama penundaan sambung
pada keberhasilan sambung bibit sirsak.
2. Perlakuan defoliasi (D) berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak,
perlakuan terbaik adalah entres yang
didefoliasi 6 hari sebelum sambung (D2). 3. Perlakuan lama penundaan sambung (L)
berpengaruh nyata pada keberhasilan sambung bibit sirsak, perlakuan yang
terbaik adalah tanpa tunda sambung atau 0
hari (L0) yang tidak berbeda dengan penundaan sambung 1 hari (L1).
Saran 1. Mempercepat waktu defoliasi daun entres
sirsak dapat meningkatkan keberhasilan
penyaambungan.
2. Penggunaan entres sirsak sebaiknya menggunakan entres yang tidak muda
karena kemungkinan berhasil minim sekali.
3. Perbanyakan bibit sirsak sebelum
penyambungan perlu sekali untuk dilakukan defoliasi daun agar sambungan
tingkat keberhasilan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwarudin M.A., 1. Sutarto, dan H. Sunarjono.
1989.Stimulasi pertumbuhan Semai Manggis (Garciniamangos/ana L.)..l Hort.
5(2): 33 -38
Alvim, P de T., R. Lorentz and P.F Saunders. 1974. The Possible Role of Absisic Acid
and Cytokinins in Growth Rhytms of
Theobroma cacao. Revista, Theobroma, 4, p:3-12.
Campbell, N.A., Reece, J.B. and Mitchell, L.G.
1999. Biology, fifth edition. The Benyamin Cumming Publishing Co. California.
Crabbe, J. dan Barnola P. 1996. A New Conceptual Approach to Bud Dormancy in
Woody Plants.In G.A. Lang (edt.)in Plant
Dormancy. CAB International. 381 p. Darmanti, S, N. Setiari, dan T. D. Romawati.
2008. Perlakuan Defoliasi untuk Errea, P.,
L. Garay and A.J. Marin. 2001. Early Detection of Graft Incompatibility in
Apricot (Prunus Armeniaca) Using in Vitro Techniques. Physiol. Plant., 112,
135-141.
Djazuli, M., E.A. Hadad, A. Dhalimi, dan R. Suryadi. 1999. Pengaruh Medium dan
Waktu Penyimpanan terhadap
Keberhasilan Sambung Pucuk Jambu Mete. Buletin Tanaman Rempah dan Obat
10 (1): 9-16. Fahn, A. l992. Anatomi Tumbuhan. PT
Gramedia Jakarta.
Hartman H. T. and D. E. Kester. 1978. Plant Propagation Principle and Practices.
Prentice Hall INC Englewood. New York.
Hal. 331 – 340. Hartmann, H.T. and D.E. Kester. 1995. Plant
Propagation. Priciples and Practices. Prentice Hall of India Private Limited,
New Delhi. 661 pp.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plant Propagation
Principles and Practices. 6 th. ed. Prentice
Hall, Englewood Cliffs, New York. 662 p. Hidayati, N. 1996. Pengaruh Umur Batang
Bawah dan Panjang Entris Terhadap Keberhasilan Sambungan Alpukat.
Fakultas Pertanian Unlam, Banjarbaru.
Hal. 37 – 38. Hadad, E.A. dan S. Koerniati. 1996. Sambung
Pucuk Sebelas Nomor Harapan Jambu
Mete Langsung di Lapang. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas
Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 265-271.
Kalie, M. B. dan M. J. Anwaruddin. 1980.
Penetapan Umur Pohon Pangkal Durian, cara Menyusunnya Serta Waktu
Pemotongan. Dalam Buletin Holtikultura Vol VII No. 9. Jakarta. Hal. 39 – 42.
Lizawati. 2002. Analisis Interaksi Batang
Bawah dan Batang Atas pada Okulasi Tanaman Karet. Tesis. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
11
Lukman, W. 2004. Teknik Sambung Pucuk Menggunakan Stadium Entres yang
Didefoliasi pada Jambu Mete. Buletin
Teknik Pertanian, Vol. 9, Nomor 1, 2004. Muthohar, Fendra Bagus. 2007. Respon
Beberapa Varietas Entres Mangga (Mangifera Indica L.) pada Perbedaan
Waktu Defoliasi terhadap Pertumbuhan
Bibit Secara Grafting. Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Mathius, T.N, Lukman dan A. Purwito. 2007.
Kompatibilitas Sambung Mikro Cinchona ledgeriana dengan C. succirubra
Berdasarkan Anatomi dan Elektroforesis SDSPAGE Protein Daerah Pertautan.
Menara Perkebunan, 2007, 75(2), 56-69.
Mahfudin. 2000. Pengaruh Lama Penyimpanan Entres Terhadap Pertumbuhan Bibit Hasil
Okulasi dan Sambung Pucuk Pada
Tanaman Durian (Durio Zibethinus Murr.). Fakultas Pertanian Universitas
Juanda, Bogor. hlm. 21-28. Sutarto, I., Sunarjono dan Hasan. 1989.
Pengeratan Cabang Entris pada Sambung
Pucuk Avokad, Durian, dan Duku. Penel. Hort. 3(4):11-15.
Sutarto, I. dan M. J. A Syah 1991. Pengaruh
Jumlah Nodus dan Pengertian Entris Pada Sambung Pucuk Sirsak (Annona muricata
L.). Buletin Penelitian Holtikultura Vol 14. No. 4. 1991. Solok. Hal. 11 – 16.
Sukarmin. 2009a. Teknik Penyambungan Sirsak
Ratu dengan Pemanfaatan Batang Bawah. hlm. 38-41. Prosiding Temu Teknis
Pejabat Fungsional Nonpeneliti. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Setiawan, W. 2009. Jaringan Tumbuhan. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Soegondo, B. 1996. Pembibitan Jambu Mete
Secara Sambung di Balai Penelitian Getas. Balai Penelitian Getas, Salatiga. 7 hlm.
Sjaefudi, A. dan Abdurrahman, 2001. Daya simpan Entres dan Penggunaan Media
Pembungkusnya Pada Tanaman Sirsak.
Bul, Teknik Pert. 6(1):26-28. Sukarman, D. Rusmin dan Melati, 2002.
Pengaruh Asal Sumber Benih dan Cara Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih
Jahe (Zingiberofficinale L.)
Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Bogor
Taiz and Zeiger. 1998. Plant Physiology.
Sinauer Associates Inc., Publisher. Sunderland. Massachusett. 623 hal.
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3. Penerbit ITB. Bandung.
343 hal.
Villalobos, V.M. and M.E. Aquilar. 1991. Plant Production of Cocoa (Theobroma cacao
L.) through Micrografting of Somatic
Emryios. Proc. 1991 Int. Cocoa Conf. Kuala Lumpur, pp: 401 – 408.
Verheij, E.W.M dan R.E. Coronel. 1997. Prosea, Sumberdaya Nabati Asia
Tenggara 2. Gramedia, Jakarta.
Wright C.J., 1989. Interactions Between Vegetative and Reproductive Growth. P:
15-28 On Manipulation of
Fruiting.Butterworths. London. P. 414. Waard, P. W. F. De and R. Zaubin. 1993.
Callus Formation During Grafting of Woody Plants. Tropical Agriculture, 9
(10): pp 9 -19.
Zaubin, R. dan R. Suryadi. 1999. Laporan Teknis Studi Pengembangan Tanaman
Jambu Mete. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 1-6. Zaubin, R. dan Suryadi. 2002. Pengaruh
Topping, Jumlah Daun dan Waktu Penyambungan terhadap Keberhasilan
Penyambungan Mente di Lapangan. Jurnal
Littri, vol. 8, no. 2, hal: 55- 59.
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 12 - 20 ISSN : 2088-2440
INSTRUCTIONAL MANAGEMENT OF THE ENGLISH FOR
SPECIFIC PURPOSES FOR THE AGROTECHNOLOGY AND
AGRIBUSINESS STUDIES: AN EXPERIMENTIAL REFLECTIVE PRACTICE
Supriyono
Lecturer at Balitar Islamic University and
Visiting Lecturer at Post-Graduate Studies of Diponegoro Islamic College Email: [email protected]
Abstrak: Universitas Islam Balitar sebagai universitas entrepreneurial secara ekstensif
telah mendiversifikasi kurikulum dan menghasilkan pengembangan kurikulum yang lebih maju dan profesional. Salah satunya adalah Pendidikan Bahasa Inggris untuk Tujuan
Spesifik (English For Specific Purposes). Dalam konteks studi-studi agroteknologi dan
agribisnis Fakultas Pertanian, pembelajaran Bahasa Inggris untuk Tujuan Spesifik ditujukan untuk membantu mahasiswa agar mampu membaca jurnal, buku akademik,
dan artikel-artikel akademik yang berhubungan dengan studi-studi mereka. Tantangan
utama dari pembelajaran ESP adalah pengembangan kurikulum, metodologi dan strategi pembelajaran, sumber-sumber belajar, dan kesiapan mahasiswa. Hasil analisis
kebutuhan yang seksama menunjukkan bahwa prioritas yang harus dikembangkan di dalam pembelajaran ESP meliputi ketrampilan transliterasi, faktor-faktor sintaksis, dan
faktor-faktor semantik yang umum. Hasil observasi dalam dua sesi pertama ESP,
menunjukkan perlunya mana-jemen pembelajaran untuk membantu mahasiswa berhasil di dalam belajar ESP. Manajemen pembelajaran tersebut meliputi analisis kebutuhan
mahasiswa, kompetensi dan perilaku, persiapan pembelajaran, perlakuan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan kombinasi kepemim-pinan pedagogi dan kepemimpinan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Hasil refleksi profesional atas
proses pembelajaran menunjukkan bahwa kombinasi pem-belajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan tugas yang berpusat kepada mahasiswa dan kepemimpinan
situasional telah menjadikan mahasiswa mampu melakukan transliterasi teks-teks
Bahasa Inggris ke dalam konversi Bahasa Indonesia yang dapat diterima dan mengerjakan tugas akhir berupa transliterasi artikel-artikel dan buku-buku dari ilmiah
berkenaan dengan studi-studi Agroteknologi dan Agribisnis. Kesimpulan dari refleksi
profesional ini adalah kombinasi pendekatan pedagogis dan kepemimpinan situasional telah mencapai tujuan pembelajaran ESP untuk studi-studi Agroteknologi dan
Agribisnis. Disarankan bahwa refleksi profesional ini ditindaklanjuti dengan penelitian tindakan partisipatori (Participatory Action Research) dan penelitian riset dan
pengembangan (research and development).
Kata-kata kunci : Manajemen Pembelajaran (Instructional Management), Bahasa
Inggris untuk Tujuan spesifik (English for Specific Purposes), Agroteknologi (Agrotechnology) dan Agribisnis (Agribusiness studies).
INTRODUCTION
The new emergence of knowledge and
technology has influenced the advancement of
industrial and economic practices on of which is using the information and communication
technology. It forces the higher education institution to face global challenges, future
compertence requirements, community
perception, knowledge and pedagogic
development, and recent chalenges phenomena. These challenges include globalization and
glocalization in all sorts of life (Supriyono,
2013:2). Such phenomenon has been predicted by Toffler (1970) by calling future shock,
Toffler (1980) on the Third Wave book, and Naisbit (1982) on the Megatrens. The
competition of “man and machine” of Toffler
13
and the notion of “hightech and high touch” must be managed in such a way that the higher
education institution provides advance
knowledge to students and enables their students to understand the language of
technology. Most of technological information and new knowledge have been written in
English. Therefore, English trasliteration skill is
highly neeed by students. Looking at the advancement of knowledge and technology,
mainly the Agro technology and Agribusiness,
the Faculty of Agriculture of Balitar Islamic University has provided a compulsory English
for Specific course that aims at enabling students to read scientific texts such as journal,
book, and other scientific articles related to
Agro technology and Agribusiness studies. To succeed the English for Specific Purposes
inlining this purpose, there needs an effective
method and classroom management to support students in learning the English for Specific
Purposes. Having this background, the writer conducts this action research to contribute the
fulfillment of the need.
Focus and Objective This instructional professional practice is a
scientific approached initiative employing
the principles of an action research with the
focus of ESP classroom management using the combined task-based language teaching and
situational leadership approach to enable Agro
Technology and Agribusiness students to transliterate scientific English texts into
Indonesian.
The objective of this semi action research is then describing how the classroom management
improves the ability of the ESP students of Agro Technology and Agribusiness to
transliterate scientific English texts into
Indonesian.
Theoretical Review
English for Specific Purposes has grown
tremendously since 1960 (Anthony, 2014: 1). However, there has been many discussions on
how ESP is approched as a field of study. Anthony (2014:1) states that:
“...discussion list about whether or not English for Academic Purposes (EAP)
could be considered partof ESP in general. At the Japan Conference on ESP also, clear
differences in how people interpreted the
meaning of ESP could be seen. Some described ESP as simply being the
teaching of English for any purpose that could be specified. Others, however, were
more precise describing it as the teaching
of English used in academic studies, or the teaching of English for vocational or
professional purposes.” Considering that the purposes of English
learning in the non English Department in
Balitar Islamic University are different among one department to other departments, the
University considers that the course is named
English for Specific Purposes Course that is translatable to Bahasa Indonesia as Bahasa
Inggris Profesi. English for Specific Purposes can be
defined as a course that meets specific needs of
the learners, makes use of Definition of ESP of underlying methodology and activities of the
discipline it serves, and centered on the
language appropriate to these activities in terms of grammar, lexis, register, study skills,
discourse and genre (Dudley-Evans, 1997, in Anthony, 2014:2). Further, Anthony (2014:3)
states:
“...From the definition, we can see that
ESP can but is not necessarily concerned with a specific discipline, nor does it have
to be aimed at a certain age group or
ability range. ESP should be seen simple as an 'approach' to teaching, or what Dudley-
Evans describes as an 'attitude of mind'.”
Aiming at the certain group can be said as "ESP is an approach to language teaching in
which all decisions as to content and method are based on the learner's reason for learning"
(Hutchinson and Waters., 1987:19). ESP has
been brought about by a combination of three important facts, which are the expansion of
demand for English to suit particular needs and
developments in the linguistics and educational psychology fields (Hutchinson and Waters,
1987:8). Thus, the tasks of ESP lecturer will contain needs analysis, selection of materials,
and appropriate approach or method suit to the
needs and characteristics of the learners. In terms of language teaching methodology, a lot
of language teaching methodology have been developed for the purpose of teaching English.
Task-based methodology has been widely used
in teaching English to make students’ active and gain their language knowledge and skill
through tasks (Supriyono, 1996:41). With
reference to Crookes and Chaudron (1991:50-51), Supriyono (1996:42) defines “task” as
“any specifically designed activity in EFL
14
teaching and learning which a teacher alone or together with students sets up to facilitate
language learning”. Learning a language using
tasks can be called as “Task-based learning” (Hammer, 1991:34). With tasks, language can
be learned through active experience and when learners are exposed to directed activitries
involving problem solving in the target
language, learning will take place and powerful (Allwright, 1977:5; Bire, 1993:20).
Poopatwiboon (1993:22) says that task-based
language teaching is a type of Communicative Language Teaching (CLT). Tasks are proposed
to be units of language analysis (Breen, 1987). As a system of language syllabus, there are
three kinds of syllabus with task-based
language teaching (Supriyono, 1996:44). Long and Crookes (1992) name them as prosedural,
process, and task-based language teaching
syllabuses. The procedural syllabus is used with the assumption that “...language structure is
best acquired when the learners are preoccupied with understanding ...in a task”
(Supriyono, 1996:44). The tasks will give
students some processes of thought (Prabhu, 1987:24). Language lessons are facilitated with
the so-called pre-task, task, and feed-back
(Prabhu, 1984: 1984; Barreta and Davies, 1985:121, also in Supriyono, 1996:44). The
process syllabus uses tasks with no presetting tasks, but with negotiation and preinterpretation
(Breen and Candlin, 1980; Breen, 1984; and
Candlin, 1987; also in Supriyono, 1996:45). In this case, teachers do not require to have
prepared tasks and they will negotiate with
students in classes. Finally, the Task-Based Language Teaching (TBLT) syllabus is
employed under the assumption that learners best learn languages through using tasks in real
situations (Long and Crookes, 1992, also in
Supriyono, 1996:45). Such syllabus is best said as the type of communicative language teaching
(Poopatwibon, 1993:20) that enables students to
do tasks which mean clasroom work leading them to comprehend, manipulate, produce, and
interact in the target language (Nunan, 1989:10). Poopatwiboon (1993:21) argues that
among the tree types, the TBLT is powerful by
employing target tasks identification, task types classification, and pedagogic task design.
Supriyono (1996), however, found out in his research in victorian primary schools, Australia
that procdedural syllabus was very powerful to
learn target language faster with limitation of learning time,
Upon the use of any of the three types syllabuses, classroom management is crucial
for divers levels of the students’ English
background. Therefore, a review on the classroom management is essential to discuss.
A classroom management is defined as follow:
“Classroom management is a gestalt,
dependent upon several interdependent components: (1) an engaging curriculum;
(2) working with anger, projection, and depression; (3) students as responsible
citizens; (4) the teacher as a self-knowing
model; (5) classroom management skills; (6) working with resistance, conflict, and
stress; and (7) robust instruction” (Hanson,
1998). In line with the above definition, classroom
management also refers to:
“...to the procedures, strategies, and
instructional techniques teachers use to manage student behavior and learning
activities. Effective classroom management creates an environment that is
conducive to teaching and learning.
Ineffective classroom management often creates chaos.” (Starr, 2004)
Therefore, management functions of
instruction are essential. These are instuctional planning, pupil and tasks leading and
organization, classroom intervention that include controlling, and feedback as well as
evaluation. As long as the writer experience in
teaching language for more that 15 years concerns, adopting the situational leadrship in a
classroom management is beneficial.
Situational leadership is an approach of leading followers by identifying the followers’
readiness that suits the leaders’ style (Hersey, Blanchard, and Johnson, 1996). In contexts of
classroom, this can be adopted as an
instructional leadership in which the leader is the teacher and the followers are the students.
The readiness is identified as including ability
and willingness factors and the leadership style is identified as including task behavior and
relationship behavior. The concept can be simply presented in the following figure.
15
Figure 1. Adapted from Blanchard Situational
Leadership Two Model
Aligning the notions of English for the specific purposes, the task-based language
teaching, and the situational leadership, the ESP
lecturer can manage the ESP classroom by identifying the purpose of ESP instruction,
selecting ESP materials, identifying of learners
ability and willingness to learn as well as English ability background, designing tasks and
selecting materials, giving tasks and leadding learners to learn by employing suitable styles of
instructional leadership, and giving feedback
for the ESP results.
METHODOLOGY
This was a scientific professional
instructional practice which was not intended to be a designated reseach. However, since the
practice was conducted scienticially using the
principles of an action research, this can be said that this practice was the type of action
research. An action research is
“...a continuous and participative learning
process, with a starting point but often no absolute end-point. The core goal of action
research is to create sustainable learning
capacities and give participants the option of increasing control over theirown
situation. Such a goal suggests the possibility of an extended process that can
span a lifetime.” (Warrican, 2006:2).
The action research is basicaly a problem solving research whose process is an emergent
meaning that . It continues to be emergent until
the problems have been resolved, at least to the satisfaction of attending the set expectation or
criteria to make efficient, energy or finances. In
action research there are cycling processes of instructional inter-vention on the basis of
problem and criteria to achieve. Whithin the process intervention approaches are done for
getting better results of students achievement in
learning EFL. The Action research can be framed as the following:
First Cycle:
Plan Identify the problem area. Narrow it down so that it is manageable.
Investigate the problem. When does it
happen? Who does it affect? Where does it happen?
Think about what might be causing the problem. Talk to other teachers and/or
read to get more ideas about this.
Think about a solution and how to implement it.
Think about what evidence you will
collect to decide whether your action is successful or not. How will you collect
it? How will you analyze it?
Teach / Act Implement your solution.
Observe Gather evidence which you will analyze
to decide whether your solution was successful or not.
Reflect Analyse the evidence you gathered. Has
the problem been solved? If not, what
step will you try next? If yes, what
problem will you try to solve now?
Second cycle works with the same steps . When at the end of the Cycle Two the results are not
satisfactory, Cycle Three shall be done. With
respect to this reflective analysis, the identified problems are the learners behaviors in
classrooms and the inappropriateness in their
transliteration. What to be means by learners behaviors are differences in background,
motivation, and attention which lead to inconducive learning environement and
therefore inappropriateness of their
transliteration remains. To help students get into the appropriate transliteration in terms of
lexical and contextual meanings, the following
criteria are predetermined.
16
Table 1. Preset Criteria No Chategory Criteria Remarks
1 Lexical meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning
Such as Look Up: Mencari, but not Melihat ke atas.
2 Morphological meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning
Such as living organism: Benda (Organisme) hidup, but not hidup benda (organisme)
3 Synthactical meaning Propperly transliterated in equivalence to Indonesian meaning
Such as The green city requires sustainable plantation maintenance: Kota hijau mempersyaratkan pemeliharaan tanaman yang berkelanjutan, but not Hijau kota itu syaratnya tanaman berkelanjutan dipelihara.
Note : In each three-paragraphs text, the impropper transliteration shall be minimized into at least 5% in each chategory to revise.
At the first cycle the classroom was
managed by using the combination of
Procedural Task-Based Language Teaching and Situational Leadership approaches. The tasks
were assigned in groups without selecting the learners’ levels of development. At the second
cycle the tasks were assigned in groups by
selecting the learners’ levels of development. Final assessment in each of the cycle include
group and individual transliteration works.
Since at the second cycle the transliteration inapproppriateness reached satisfactory result,
the third cycle do not apply. The instructional process works for a semester with three
preliminary meetings prior to the need analysis,
and other twelve meetings for the rest of the process. So, each cycle only works for 5 of 90
minutes meetings. Subjects of this semi-action
research were students of Agro-technology and Agribusiness of the employee group. Prior to
the cycle, the students were assigned to transliterate scientific articles taken from Agro-
Technology and Agribusiness Journal both
individually and in group. The individual assignment was in the form of transliterating
two random paragraphs and the group
assignment was in the from of transliterating the whole journal that can be done either in the
classroom and outsite the classroom. However,
at least three paragraphs had to be transliterated
in the classroom with lthe lecturers intervention. The classroom management
intervention was only applied the transliteration activities in the classroom. Analysis of the
transliteration proppriety was done by using the
three above chategories and the theory of translation consideration.
FINDINGS
At the first cycle, learners are simply
grouped into four regardless of the
developmental levels as advised by the situational leadership. The classroom is
managed by helping students in each group simultaneusly and the coaching advise using the
situational leadership styles was done by
differenciating intervention for each students in each group. Students are allowed to use
dictionary and electronic translation tools. The
process was done in six executive meetings. The findings show that prior to EFL Instruction,
the students ability in making transliteration varies. In average the inppropriate
transliteration can be shown in the following
table.
Journal 1. Partially or a paragraph of Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts
(Individual task assignment)
No Chategory Average percentage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 26 Words (54.16%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 15 Phrases (41.66%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (100%) 6 Sentences er paragraph
Journal 1. Wholy or all paragraph: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts
(Group Task Assingment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning 24 Words (50%) 48 Words per paragraph
17
2 Morphological Meaning 12 Phrases (33.33%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 5 Sentences (83.33% 6 Sentences per paragraph
Journal 2. Wholy or all Paragraph Crop Adaptation to Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild with Next Generation Sequencing Technologies (Individual Task Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning Paragraph 1: 60 words (20%) Paragraph 2: 25 words (17.48%) Paragraph 3: 22 words (11.16%) Paragraph 4 15 words (20.54%)
Total: 122 (17.13%)
Paragraph 1: 299 words Paragraph 2: 143 words Paragraph 3: 197 words Paragraph 4: 73 words
Total: 712
2 Morphological Meaning Paragraph 1: 10 Phrases (20.83%) Paragraph 2: 5 Phrases (27.8) Paragraph 3: 5 Phrases (15 %) Paragraph 4: 3 Phrases (30%)
Total: 23 Phrases (21.10%)
Paragraph 1: 48 Phrases Paragraph 2: 18 Phrases Paragraph 3: 33 Phrases Paragraph 4: 10 Phrases
Total:109 Phrases
3 Syntaxtical Meaning Paragraph 1: 5 Phrases (71.42%) Paragraph 2: 3 Phrases (60%) Paragraph 3: 5 Phrases (62.5 %) Paragraph 4: 2 Phrases (100%)
Total:15 (68.18%)
Paragraph 1: 7 Sentences Paragraph 2: 5 Phrases Paragraph 3: 8 Phrases Paragraph 4: 2 Phrases
Total:22 Sentences
The classroom was managed by intervening the students behavior with the combination of
Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given
individualy in the classroom with prior
activities of translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer
did a quick readiness analysis and helped the
students by using suitable leadership styles as for R1 or D1, the intervention was using
directing style by giving them complete guide. For R2 or D2 students, the intervention was
using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students,
the intervention was using participating style by
giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using
delegation style by just giving them hint.The
Process was done in three executive meetings.
Journal 3. Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current Season Crop (Group Tasks
Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 100 Words (11.76%) 1 Paragraph: 850 Words 2 Morphological Meaning 43 Phrases (37%) 116 Phrases 3 Syntaxtical Meaning 9 Sentences (52%) 17 Sentences
The classroom was managed by intervening
the students behavior with the combination of
Tasks-Based Approach and Situational Leadership Approach. The tasks were given in
groups in the classroom with prior activities of
translating together classically. In the process of instruction, the lecturer/the writer did a quick
readiness analysis and helped the students by using suitable leadership styles within each
group as for R1 or D1, the intervention was
using directing style by giving them complete
guide. For R2 or D2 students, the intervention
was using selling style by giving them complete guide and discussion. For R3 or D3 students,
the intervention was using participating style by
giving a little help with motivation. For R4 or D4 students, the intervention was using
delegation style by just giving them hint.The Process was done in three executive meetings.
Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task
Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 13 Words (27.16%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 10 Phrases (27%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 3 Sentences (50%) 6 Sentences per paragraph
18
Journal 1. Rework: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 9 Words (18.75%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 6 Phrases (16.66%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntactidal Meaning 3 Sentences (50%) 6 Sentences er paragraph
DISCUSSION
The students’ behavior classroom
management at the first cycle turned out to improve the propriety of transliteration by the
students. The average improvement of lexical meaning propriety of the individual assignment
incrased by 27%. The average of morphological
meaning propriety of the individual assignment increased by 14.66%. The average of
Syntaxtical meaning propriety of the individual
assignment increased by 50%.
The average improvement of lexical meaning propriety of the group assignment
incrased by 31.25%. The average of morphological meaning propriety of the group
assign-ment increased by 16.67%. The average
of Syntaxtical meaning propriety of the group assignment increased by 33.33%.
At the second cycle, learners are grouped into four with the identification of learners’
development levels. Each group was containing
the same level of development.The students were allowed to use dictionary and electronic
translation tools. The process was done in six
executive meetings. The findings can be shown in the following table:
Journal 4. Partially: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Individual task assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning 45 words (12%) 375 words of 2 Paragraphs 2 Morphological Meaning 18 Phrases (39.13%) 46 Phrases of 2 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (46%) 13 Sentences of 2 Paragraphs
Journal 4. Wholy: The Effect of Ethanol Production on Coarse Grains: New Price Relationships (Group Task Assingment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning 871 Words (12.2%) 7125 Words of 38 Paragraphs 2 Morphological Meaning 173 Phrases (19.8%) 874 Phrases of 38 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 67 Sentences (19.3%) 347 Sentences of 38 Paragraphs
Journal 5. Partially: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (Individual Task Assignment
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 38 Words (5.9%) 642 words of 2 Paragraphs 2 Morphological Meaning 6 Phrases (9%) 66 Phrases of 2 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 3 Sentences (13.6%) 22 Sentences of 2 Paragraphs
Journal 5. Wholy: Market Orientation, Innovativeness, and Performance of Food Companies (GroupTask Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentences,
phrases, and words
1 Lexical meaning 93 Words (6%) 1536 Words of 5 Paragraphs 2 Morphological Meaning 10 Phrases (6%) 165 Phrases of 5 Paragraphs 3 Syntaxtical Meaning 6 Sentences (10%) 55 Sentences of 5 Paragraphs
19
Journal 1. Rework for parts of the text: Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Individual Task Assignment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning 2 Words (4.1%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 2 Phrases (5.5%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 1 Sentence (16.6%) 6 Sentences per paragraph
Journal 1. Rework for whole text Nutrient Dynamics in Open Field Floriculture: Some Thoughts (Group Task Assingment)
No Chategory Average percerntage of
inappropriateness Numbers of paragtaphs, Sentenxes,
phrases, and words
1 Lexical meaning 2 Words (4.1%) 48 Words per paragraph 2 Morphological Meaning 2 Phrases (5.5%) 36 Phrases per paragraph 3 Syntaxtical Meaning 1 Sentence (16.6%) 6 Sentences er paragraph
Compared to the first assessment prior to the classroom management intervention using
the combined Task-Based Approach and
Situational Leadership, the results of the second cycle improved temmendously. The propriety
of transliteration in lexical meaning for the individual task achieved 4.1% exceeding the set
criteria which increased by 50.06%. The
propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task achieved 5.5%
approaching the set criteria which increased by
36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the individual task
achieved 16.6% which increased by 83.4%.
Similarly, the propriety of transliteration in
lexical meaning for the group task achieved 4.1% exceeding the set criteria which increased
by 50.06%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the group task
achieved 5.5% approaching the set criteria
which increased by 36.16%. The propriety of transliteration in morphological meaning for the
group task achieved 16.6% which increased by
83.4%. Since, the results showed tremendous increase and had approached to the set criteria,
the results were considered satisfactory, and therefore, the third cycle was not necesary to
do.
The Situational leadership approach is more
successful when the students are group on the basis of their level of readiness or development,
which is those who have R1 or D1 level are
grouped in R1 or D1 group. Tasks are procedurally designed by giving Pre-Task
activities, Whilst-Task activities, and Post-task activities. The Pre-tasks were transliteration
tasks in unison led by the lecturer (the writer).
The Whils-tasks were transliteration tasks within their readiness group, and the Post-tasks
were translitertation in unison in the form of
class discussion on their transliteration works in
every paragraph. Results showed that their propriety on the lexical, morphological, and
syntaxtical meaning transliteration improved
tremendously.
CONCLUSION AND SUGGESTION
From the findings, It was concluded that
that the combination of pedagogical and
leadership approach in instructional management has satisfied the aims of teaching
English for Specific Purposes for the Ago
Technology and Agribusiness studies.
It is suggested that this professional reflection is further studied using action
research or research and development.
REFERENCES
Allwright,R.1977. Motivation:The Teachers’ Responsibility? ELT Journal, 32/2, pp
121-129 Anthony.L.2014. Defining English for Specific
Purposes and the Role of the ESP Pract-
tioner. Okayama: Dept. of Information and Computer Engineering, Faculty of
Engineering, Okayama University of
Science Barreta, A and Davis.A. 1985.Evaluation of the
Bangelor Project.ELT Journal, 39/2, pp121-125.
Bire.J.1993. A Research Plan For The Future
Evaluation of The English as A Second Language Program in Indonesia. Master
Thesis. School of Education, La Trobe University, Australia.
Breen.M.P.1984. Process Syllabuses for The
Language Classroom.In Brumfit, C.J.(Ed). General English Syllabus Design. (ELT
Document No 118, pp. 47). London:
Pergamon Press & The British Council.
20
Breen.M.P.1987. Learner Contributions to Task Design.In C. Candlin and D Murphy (Eds).
Language Learning Task. Anglewood
Cliffs, N.J.:Prentice Hall. Breen, M.P. and Candlin. C.1980. The
Essentials of a Communicative Curriculum in Language Teaching.Applied Linguistics,
1/2, pp 89-112.
Candlin.C.N dan Murphy.D. 1987. Towards Task-Based Language Learning.In C.N.
Candlin and D. Murphy (Eds). Lancaster
Practical Papers in English Language Education: Vol 7 Language Learning
Tasks.pp 5-22 Englishwood Cliffs, N.J.:Prentice Hall.
Crookes, G. dan Chaudron.1991. Guidelines for
Classroom Language Teaching. In Celce-Murcia (Ed) Teaching English as a Second
Language.pp 46-77. Boston,
Massachusetts: Heinle & Heinle Publishers Dudley-Evans, T.1998. Developments in
English for Specific Purposes: A multi-disciplinary approach. London:Cambridge
University Press.
Hanson, J.R.1998. Developing a Classroom Management Repertoire: Classroom
Management: An ASCD Professional
Inquiry Kit, Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum
Development.. Hersey, Blanchard, and Jonathan.1996.
Management of Organizational
Behavior:Utilizing Human Resources.Upper Saddle River,
NJ:Prentice Hall.
Hutchinson, T. & Waters, A.1987. English for Specific Purposes: A learner-centered
approach. London:Cambridge University Press.
Keditsu, R.2013. Nutrient Dynamics in Open
Field Floriculture: Some Thoughts.Journal of Agrotechnology. Volume 2, Issue 2,
1000e105, ISSN: 2168-9881 AGT, an
open access journal, http://dx.doi.org/10.4172/2168-
9881.1000e105. Kountche, AB., Kane, N., Ousseini, IS.,
Vigouroux, Y.2013. Crop Adaptation to
Biotic and Abiotic Conditions: Going Wild
with Next Generation Sequencing Technologies. Journal of Agrotechnoly.
Vol 2: e103. doi:10.4172/2168-
9881.1000e103. Long, M.H. and Crookes, G.1992. Three
Approaches to Task-Based Syllabus Design.TESOL Quarterly.19/2, pp 207-28.
Martinez-Mejia, P., and Malaga, J.E.2009.
Journal of Agribusiness.Vo: 27, 1/2 (Spring/Fall 2009): 33ԟ47 © 2009
Agricultural Economics Association of
Georgia. Naisbitt, J. 1982. Megatrends: Ten New
Directions Transforming Our Lives.New York: Warners Books, Inc.
Prabhu.N.S.1984. Procedural Syllabuses. In
T.E. Read (Ed.) Trends in Language Syllabus Design, pp 272-
280.Singapore:Singapore University.
Prabhu.N.S.1987. Second Language Pedagogy. Oxford:Oxford University Pres.
Srivastava, AK.2013.Nutrient Diagnostics in Citrus: Are they Applicable to Current
Season Crop. Journal of Agrotechnology.
Vol 2: e104. doi:10.4172/2168-9881.1000e104.
Starr, L.2004. Classroom Management.
http://www.education-world.com/a_curr/strategy/
strategy047.shtml retrieved on October 4th, 2004 at 07.45 p.m.
Supriyono.1996. An Integrated Meaning-Form
Focused Instructional Framwork With Refference To Task-Based Methodology
For The Implementation of The 1994 EFL
Syllabus For Primary Schools In East Java.Master Thesis.La Trobe University.
Supriyono.2013. Nasionalisme Dalam Pendidikan. Makalah.Diskusi Pembaca
Aktif Perpustakaan Nasional Proklamator
Boeng Karno. Blitar: Perpustakaan Nasional Proklamator Boeng Karno
Toffler, A.1970. Future Shock.London:Pan
Books Toffler, A.1980. The Third Wave.London:Pan
Books Warrican, S.2006. Action research: A viable
option for effecting change. Journal of
Curriculum Studies, 38(1), 1–14.
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 21 - 24 ISSN : 2088-2440
PROSPEK PENGEMBANGAN UBI KAYU VARIETAS UJ-5 PADA INDUSTRI TAPIOKA DAN BIO-ETHANOL
Palupi Puspitorini
Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar
Email: [email protected]
Abstract: Cassava (Manihot esculenta Crantz) is one of the most important producers of
calories in the tropics. This plant is efficient in carbohydrate production, adapted to various environments and tolerant to drought and soil acidity. The major part of the
economic products, roots, is consumed as human food after processing. An estimated 70 million people get more than 500 kcal / day of cassava, and more than 500 million people
consume more than 100 kcal / day in various forms throughout the tropical cassava.
Fresh for human consumption declined, while its use for feed and processing industry increased rapidly. Thus there is a demand to increase cassava productivity so that will
achieve high productivity in the industry, including the production of tapioca starch and
biofuels (bio-ethanol). Improved of cassava cultivars is one of the easiest to encourage better farm management, which in turn will lead to an increase in agricultural
productivity and income.Problems varieties of the prospects in the fields of tapioca and biofuels industry lies in the potential production of starch varieties are to be converted
into flour or biofuels. The varieties were have lower of conversion value of a raw
material is better than others.
Keywords: cassava varietal, cassava UJ5 variety, biofuels, bioethanol, tapioca starch, description of UJ5
PENDAHULUAN
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz)
adalah salah satu penghasil kalori paling
penting di daerah tropis. Tanaman ini efisien dalam produksi karbohidrat, disesuaikan
dengan berbagai lingkungan dan toleran
terhadap kekeringan dan kemasaman tanah. Bagian utama dari produk yang bernilai
ekonomi yaitu akar adalah dikonsumsi sebagai makanan pokok setelah dilakukan pengolahan.
Diperkirakan 70 juta orang mendapatkan lebih
dari 500 kkal / hari ubi kayu, dan lebih dari 500 juta orang mengkonsumsi lebih dari 100 kkal /
hari dalam berbagai bentuk ubi kayu di seluruh
daerah tropis (Cock, 1985). Di banyak bagian negara di Asia peran makanan tradisional ubi
kayu sebagai makanan manusia cepat berubah fungsi menjadi tanaman industri yang efisien
untuk pengolahan pabrik. Konsumsi segar
untuk manusia menurun, sementara penggunaannya untuk pakan dan industri
pengolahan meningkat dengan pesat (Kawano, 2000). Dengan demikian terdapat tuntutan
untuk meningkatkan produktivitas ubi kayu
sehingga nantinya akan dicapai produktivitas
tinggi di bidang industri, diantaranya produksi tepung tapioka dan biofuels(bio ethanol).
Penggunaan etanol atau alkohol sebagai bahan bakar sudah dikenal sejak lama pada
tahun 1880. Peningkatan fungsi biofuels harus ditingkatkan seiring dengan menyusutnya
kandungan petrofuels (Prihandana, et.al, 2007).
Produktivitas ubi kayu tidak terlepas dari
permasalahan budidaya tanaman yang meliputi penyediaan bibit hingga panen. Teknologi
budidaya ubi kayu untuk meningkatkan
produktifitas ubi kayu sangat banyak diteliti. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga penelitian telah menghasilkan
teknologi budidaya yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan produktifitas ubi kayu ini.
PERMASALAHAN
Perkembangan penelitian mengenai
peningkatan produktivitas melalui pemuliaan tanaman ubi kayu dalam dekade terakhir
mengalami penurunan. Terbukti dengan
22
menurunnya jumlah rilis varietas ubi kayu oleh pemerintah dalam hal ini Departemen
Pertanian.
Di Indonesia sejak tahun 1970 an industri
tapioka yang akhirnya sekarang berkembang ke industri biofuels menggunakan varietas Adira 4
yang dirilis pemerintah tahun 1978. Varietas ini
mempunyai potensi produksi 22 ton/ha (Deptan). Pabrik tapioka umumnya
menggunakan varietas Adira 4 sebagai bahan bakunya. Varietas ini berkembang pesat dan
sangat dikenal oleh pengusaha tapioka di
Indonesia. Namun sejak dirilisnya varietas baru UJ5 yang awal bibitnya diintroduksi dari
Thailand sekitar tahun 1990, dan diteliti daya
hasilnya selama 10 tahun di berbagai daerah di Indonesia maka tahun 2000 ubi kayu
UJ5ditetapkan pemerintah melalui SK Menteri Pertanian menjadi ubi kayu unggul nasional.
Sejak saat itu dimulai persebaran varietas UJ5
hingga ke seluruh wilayah di Indonesia meliputi Sumatra,Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua
menggantikan Adira 4. Potensi produksi UJ5 25
– 38 t/ha.
Permasalahan varietas terhadap prospeknya di bidang industri tapioka dan biofuels terletak
pada potensi produksi pati varietas tersebut
yang akan dikonversi menjadi tepung atau biofuels. Semakin rendah nilai konversi maka
semakin baik sebuah varietas menjadi unggulan bahan baku.
PEMBAHASAN
Ubi kayu mempunyai komposisi kandungan
kimia per 100 gram yang memungkinkan bisa
dipakai sebagai bahan baku bioethanol antara lain kalori 146 kal, protein 1.2 gram, lemak 0.3
gram, hidrat arang 34.7 gram, etanol, glikosida
dan kalsium oksalat (data teknis lingkungan ITS), sehingga dari ubi kayu bisa didapatkan
hasil minyak 1020 l/ha ekuivalen 6600kWh/ha (Purwanto, 2010).
Pemanfaatan bioethanol dari ubi kayu yang merupakan salah satu langkah untuk
mewujudkan visi roadmap energi 2025 yang diharapkan mencapai 15% konsumsi premium
nasional. Potensi beberapa tanaman yang
merupakan bahan baku bioethanol pada tabel 1.
Tabel 1. Potensi Bahan Baku Bioethanol
No Tanaman Hasil panen (t/ha/tahun)
Ethanol (l/ha/tahun)
1 Jagung 1-6 400-2500 2 Singkong 10-50 2000-7000
3 Tebu 40-120 3000-8500 4 Ubijalar 10-40 1200-5000 5 Shorgum 3-12 1500-5000 6 Shorgum manis 20-60 2000-6000 7 Kentang 10-35 1000-4500 8 Bit 20-100 3000-8000
Peningkatan kultivar ubi kayu adalah salah
satu yang paling mudah untuk mendorong
pengelolaan pertanian yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan
produktivitas pertanian dan pendapatan. Ada
tiga fase yang diperlukan untuk perbaikan varietas. Tahap pertama sesuai dengan koleksi
serta evaluasi ubi kayu plasma nutfah, tahap kedua sesuai dengan generasi bahan pemuliaan
maju, sementara fase ketiga sesuai dengan
pemilihan kultivar baru, rilis dan penyebaran nya (Koeshartojo et al., 2009) Di Indonesia,
kultivar baru ditanam di lebih dari 110.000 dan
masing-masing 136.000 ha di 1995-1996 dan 1996-1997 (Puspitorini et al.,1998)
Sejak tahun 2002 RILET telah menggunakan alat bioteknologi seperti
pemilihan penanda-dibantu menggunakan
Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) untuk pemilihan toleransi terhadap
tungau merah. Dua varietas ubi kayu telah
resmi dirilis pada tahun 2000, baik berasal dari Thailand, yaitu Rayong 60 diganti sebagai UJ-
3, dan Kasetsart 50 diganti sebagai UJ-5. Dua varietas baru lainnya secara resmi dirilis pada
tahun 2001, yaitu Malang dan Malang 4 6
Malang 4 terpilih di antara baris bersari bebas dari Adira 4 sebagai induk betina, sedangkan
Malang 6 adalah garis yang dipilih dari umpan
silang dibuat antara MLG 10071 dan MLG 10032 sebagai wanita dan pria tua, masing-
masing. Ada beberapa jalur menjanjikan dalam tahap awal dan lanjutan dari seleksi, yang
mampu menghasilkan lebih dari 10 ton pati per
hektar (Koeshartojo et al., 2009) .
Tabel 2. Produktivitas Beberapa Varietas Ubi
Kayu Varietas/
Klon Umur
(bulan) Kadar
Pati (%) Produksi (ton/ha)
Sistem Tanam
UJ-3 8 - 10 25 - 30 35-40 Rapat
(70x80 cm)
UJ-5 10 - 12 30 – 36 45 - 60 Double row
Malang 9 - 10 25 - 32 35 - 38 Rapat
(70x80 cm) Barokah (Lokal)
9 - 10 25 - 30 35 - 40 Double row
Sumber: BPPT Natar-Lampung
Pengujian daya adaptasi varietas UJ5 yang
telah dilakukan di Lampung sejak tahun 1990 menyimpulkan bahwa varietas ini mempunyai
23
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (Fauzan, 2000). Hasil kajian
yang dilakukan oleh BPPT Natar Lampung
terhadap varietas UJ5 bahwa varietas ini mampu berproduksi tinggi dan memiliki kadar
pati yang tinggi pula. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa UJ5 sangat unggul dibandingkan
varietas unggul yang lain baik produksi
umbinya (t/ha) maupun kadar pati (%).
Hasil penelitian ubi kayu yang lain yang dilakukan di daerah Lampung Timur dan
Lampung Tengah terhadap varietas UJ5 dengan
berbagai populasi tanaman per hektar. Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa pada populasi
12,500 tanaman per ha hingga 40,000 tanaman
per ha memberikan hasil yang nyata lebih baik dibandingkan UJ3 baik di daerah Lampung
Timur maupun Lampung Tengah.
Tabel 3. Produktifitas UJ3 dan UJ5 di Daerah Lampung
Varietas
Lampung Timur
12.500 tan/ha
20.000 tan/ha
40.000 tan/ha
UJ3 31.00 b 28.57 b 28.28 a UJ5 36.98 a 31.83 a 28.40 a
Lampung Tengah
UJ3 27.34 a 30.20 a 30.49 a UJ5 29.59 b 32.91 b 31.80 b
Menurut Prihandana et al, (2007), bahwa
dari 10 varietas ubi kayu yang telah dilepas oleh Departemen Pertanian ada 4 varietas yang
direkomendasikan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan karena memiliki sifat berkadar pati tinggi, potensi hasil
tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik,
fleksibel dalam usahatani dan umur panen (tabel 4)
Tabel 4. Potensi Varietas Unggul Ubi Kayu
Bahan Baku Ethanol
Varietas/Klon Umur (bulan)
Hasil (ton/ha)
Kadar pati (%)
Adira 4 8 25-40 25-30 Malang 6 9 36.4 25-32
UJ3 8 30-40 25-30 UJ5 9-10 25-38 20-30
Sumber: Wargiono, dkk (2006) dalam Prihandana, dkk (2007)
Ethanol (ethyl alcohol-C2H5-OH) dikategorikan sebagai energi komersial atau
energy teknis karena telah mencapai
kematangan teknis dan kematangan komersial. Bioethanol yaitu ethanol yang diproses dari
bahan baku tanaman yang dapat diperbaharui yang merupakan bahan bakar alternatif
pengganti premium dan pertamax. Gas buang
dari mesin yang menggunakan bioethanol mempunyai emisi yang lebih rendah
dibandingkan minyak premium maupun
pertamax. Mesin kendaraan yang menggunakan bahan bakar mempunyai minimal nilai oktan 90
dapat dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80–90 % (nilai
oktan 88) ditambah ethanol 10–20% ( nilai
oktan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai oktan 91–93.
Beberapa penelitian mengenai konversi pati
menjadi alkohol/ethanol telah dilakukan di
Balai Besar Teknologi Pertanian. Hasil penelitian ubi kayu tahun 2007 di B2TP
Sulusuban Lampung Tengah terhadap beberapa
varietas/klon ubi kayu yang dipanen umur 10 bulan menunjukkan bahwa tiga varietas unggul
(UJ3, UJ5, Malang 6) dan tiga klon harapan (MLG 0310, CMM 99008-3 dan OMM 9908-4)
memiliki nilai konversi 4,7–5,5 kg umbi segar
kupas untuk menghasilkan 1 liter etanol 96% (tabel 5). Semakin kecil angka konversi,
semakin sesuai dan efisien untuk bahan baku
etanol karena jumlah atau bobot bahan baku yang diperlukan semakin sedikit untuk
menghasilkan etanol pada takaran tertentu. Angka konversi yang selama ini digunakan
adalah 6,1 kg per satu liter etanol 96% dengan
asumsi kadar gula total 30% dan ratio fer-mentasi 90%. Komposisi kimia delapan varietas
dan klon ubi kayu umur 10 bulan dan
konversinya menjadi etanol 96% melalui fermentasi.
24
Tabel 5. Konversi Beberapa Varietas Ubi Kayu Menjadi Ethanol
Var/Klon Ubi Kayu
Kadar Air Kadar Bahan
Kering Kadar Gula Total Ratio Fermentasi
Konversi menjadi Etanol
(%) (%) (% bb) (%) a (kg/liter)b
UJ-3 58,82 43,41 36,67 91,64 4,86 UJ-5 54,83 46,34 39,12 86.00 4,86 Adira-4 64,54 40,10 30,96 83,3 6,34 Malang-6 60,27 42,54 34,78 88,24 5,44 Kaspro 59,68 41,89 33,33 88,68 5,54 CMM 99023-4 64,45 40,69 30,34 81,65 6,60 OMM 9908-4 61,74 42,16 34,05 94,78 5,06 CMM 99008-3 58,42 42,5 36,95 94,39 4,71
Sumber: B2TP Sulusuban-Lampung; Keterangan: a. Fermentasi ubi kayu segar menjadi ethanol dengan kadar 7–11 %; b. Ethanol dengan
kadar 96% efisiensi distilasi dianggap 95%).
KESIMPULAN
UJ5 sebagai varietas terbaru sangat cocok
digunakan untuk bahan baku industri tapioka dan biofuels karena mempunyai produktivitas
yang didukung hasil umbi dan kadar pati yang tinggi.
SARAN Perlu dilakukan pemulian tanaman ubi
kayu yang lebih intensif lagi untuk memberikan
alternatif varietas yang mempunyai produktifitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Annonymous. http://ubi kayuraksasa.blogspot. com/2013/05/kesesuaian-varietasklon-ubi
kayu-untuk-bahan-bioethanol.html
Annonymous. 2007. Teknologi Budidaya Ubi kayu. Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Serie TP3-2008. ISBN 978-979-1415-24-
D. 21 hal Fauzan and Palupi Puspitorini. Effect of Date
Planting and Rainfall Distribution on the
Yield of Five Cassava Varities in Lampung Indonesia. Proc. 6th Regional Workshop,
held in Ho Chi Min city
Kawano.K, 2000. The Role of Improved Cassava Cultivars in Generating for Better
Farm Management. Proc. 6th Regional
Workshop, held in Ho Chi Min Koes Hartojo and Palupi Puspitorini. 1996.
Cassava Germplasm Conservation and Crop Improvement In Indonesia. Proc.
5thRegional Workshop, held in Danzhou,
Hainan, China Prihandana R., Kartika Noerwijati,
Praptiningsih Gamawati Adinurani, Dwi
Setyaningsih, Sigit Setiadi, Roy Hendroko. 2007. Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar
Masa Depan. Agromedia Pustaka Jakarta. 194 hal.
Puspitorini, P., U. Kartawijaya and K. Kawano.
1998. Cassava Varietal Improvement Program At Umas Jaya Farm and Its
Contribution to Small Farmer
Communities in Sumatra, Indonesia. In: R. Howeler (Ed.). Cassava Breeding,
Agronomy and Farmer Participatory Research in Asia. Proc. 5th Regional
Workshop, held in Danzhou, Hainan,
China. Nov 3-8, 1996. pp. 156-169. Saleh N. St. A. Rahayuningsih dan M Muchlis
Adie.2010. Peningkatan Produksi dan
Kualitas Umbi-umbian. Balitkabi. Makalah. 21 hal.
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 25 - 35 ISSN : 2088-2440
KEBERLANJUTAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK URBAN FARMING DITINJAU DARI KUALITAS TANAH (KANDUNGAN KIMIA, SIFAT FISIKA DAN
BIOLOGI TANAH) DI DESA PENANGGUNGAN, KECAMATAN TRAWAS,
KABUPATEN MOJOKERTO, JAWA TIMUR
Ferdianto Budi Samudra1 dan Dwi Purnomo2
1Tenaga Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia
2Dosen Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Malang, Indonesia Email: [email protected]
Abstract: The objective of this research is to know the soil quality from organic
agriculture of urban farming in Penanggungan village, Trawas district, Mojokerto
regency. The research was done on may until june of 2013 in 2 different soil condition which was located in different region. The soil came from Penanggungan village,
Trawas district, Mojokerto regency, its altitude was 606 m dpl, and other the soil came from Desa Pandanrejo Kec. Bumiaji Kota Batu, its altitude was 800 m dpl. Sustainability
was evaluated qualitatively, based on input which was used by farmer on cultivation
process. The input consist of manure fertilizer. The result showed that sustainability of ecology aspect was fairly good. It was observed by soil quality in physics, chemistry and
biology. Laboratory test reported that chemical composition of the soil was fairly good.
Chemical composition consists of C organic value, N total, potassium, organic matter, C/N ratio, CEC (cation exchange capasity) and pH. Composition of phosphorus in soil
was not good enough, it was caused by possibility of phosphorus dissolved in soil due to precipition P by Ca. Evaluation of physical properties of soil by porosity indicator
showed that sustainability of organic farming application in urban farming was good.
Evaluation based on indicator texture showed that organic farming could not change soil texture. Arthropode Shannon-Weaver biodiversity method on nisbi observation was not
significant on both observation, 2,27 (of the biodiversity were fairly good) on urban
farming, but in intensife farming only 1,4 (the biodiversity were low), so the equilibrium can be happened on Urban farming field as the ecosystems function even the farming
used green house. The ratio of fungus/bactery on urban farming and intensive farming were 0,36 and 0,35. That data showed that the ratio was match with researcher
assumsion on organic farming were bigger than intensive farming, because with higher
ratio would increase the soil fertility on agriculture field.
Keywords: sustainability, urban farming, organic farming, intensive farming.
PENDAHULUAN
Sistem budidaya pertanian yang tidak tepat khususnya dalam penambahan kebutuhan
nutrisi, akan menyebabkan penurunan
kesuburan tanah (Ghosh, et al., 2003). Penilaian kualitas tanah telah di rekomendasikan sebagai
alat dalam mengevaluasi keberlanjutan tanah dan tanaman (Zhen dan Routray, 200; Pannel
dan Glen, 2000), dalam menilai kualitas tanah,
sebagai indikator biasanya dihubungkan dengan fungsi tanah (Howard, 1993; Doran, 1995),
yaitu sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang
dapat diukur untuk memantau berbagai
perubahan dalam tanah. Namun bagaimanapun dalam pengukuran kualitas dan kesehatan tanah
adalah bagaimana dapat dengan mudah diterapkan oleh petani (Roming, et al., 1995).
Pertumbuhan penduduk, perubahan fungsi lahan serta semakin sedikitnya tenaga kerja
yang bekerja di sektor pertanian, membuat pertanian perkotaanlah yang dirasakan lebih
baik dibandingkan metode konvensional,
karena memiliki keunggulan, antara lain: tidak hanya bertujuan memperoleh makanan saja
namun juga berbagai keunggulan lain seperti peningkatan kesejahteraan manusia, perbaikan
lingkungan maupun pemberdayaan masyarakat
26
(Williamson, 2002) dengan cara gerakan kembali ke alam, promosi bertani organik,
usaha mempercantik kota, pendidikan
lingkungan untuk warga, hobi dan sebagai mata pencaharian (Purwanto, 2010). Manfaat lainnya
menurut Halberg (2009) sebagai penyediaan makanan yang akan mempermudah akses warga
terhadap makanan yang segar dan bernutrisi
dengan harga yang relatif murah sehingga dapat meningkatkan ketahanan pangan masyarakat
berpenghasilan rendah. Sementara pengertian
pertanian organik menurut FAO/WHO (1999) yaitu suatu sistem produksi yang menyeluruh
yang mengedepankan kestabilan agroekosistem, termasuk keanekaragaman, siklus biologi dan
aktivitas biologi tanah, sehingga dalam sistem
budidayanya menggunakan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally).
Pertanian organik urban farming di Desa
Penanggungan Kecamatan Trawas Kabupaten
Mojokerto ini adalah suatu bentuk transformasi pertanian yaitu bertani di lahan sempit di
pekarangan rumah warga dengan memodifikasi
iklim mikro dengan menggunakan mini green house. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai kesuburan tanah lahan urban farming, sehingga diketahui
kecukupan nutrisi bagi pertumbuhan tanaman
khususnya dengan sistem pertanian organik.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di dua lahan
berbeda, yakni lahan pertanian organik urban
farming yang ditanami sayuran hortikultura
yang terletak di dataran tinggi lereng gunung Penanggungan Provinsi Jawa Timur, dan lahan
pertanian intensif di Desa Pandanrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Waktu
penelitian pada Bulan Mei-Juni 2013, dengan
tipe penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Wawancara dalam pengelolaan sistem
budidaya dilakukan pada kelompok tani
Brenjonk sebagai pelaku pertanian organik urban farming. Pengambilan sampel tanah
dilakukan dengan cara komposit sampel acak (composit random sampling) dengan syarat
diluar area kumpulan tanah erosi, salin, jalan,
drainase air, pupuk kandang ataupun bagian ujung dari lahan. Sampel tanah di ambil di 4
lahan pertanian organik urban farming (UF 1,
UF 2, UF 3, UF 4) dan 4 lahan pertanian intensif (IF 1, IF 2, IF 3, IF 4).Pengambilan
sampel tanah dilakukan dengan cara
menggambil tanah dengan kedalaman 0-20 cm untuk sampel kandungan kimia tanah (C-
organik, Bahan organik, N total, Phospor,
Kalium, KTK, rasio Carbon dan Nitrogen dan pH), sedangkan sampel tanah untuk sifat fisika
(porositas dan tekstur tanah) dan biologi tanah (Total Jamur dan Bakteri) dilakukan dengan
metode tidak terganggu (undisturb)
menggunakan pipa diameter 15 cm dan panjang 20 cm.
Pengambilan sampel arthropoda dilakukan
dengan dua metode, yakni untuk arthropoda
yang ada di dalam tanah dengan menggunakan metode mutlak, sedangkan untuk arthropoda
yang aktif pada permukaan tanah digunakan
metode nisbi. Metode nisbi menggunakan cawan jebak (pitfall trap) yang dibenamkan di
dalam tanah dengan bibir cawan sejajar pada permukaan tanah. Cawan diisi dengan larutan
deterjen 5% setinggi 2-3 cm. Perangkap
ditanam dan diganti setiap 3 hari, hasil tangkapan diidentifikasi berdasarkan jenis
arthropoda, sementara metode mutlak dilakukan
dengan mengambil tanah menggunakan pipa berdiameter 15 cm sampai kedalaman lapisan
olah tanah yakni 15-20 cm. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibawa ke
laboratorium, dilanjutkan dengan memasukkan
tanah kedalam corong Berlese untuk mengeluarkan arthropoda tanah, selanjutnya
dilakukan identifikasi jenis arthropoda yang
ada. Selanjutnya dihitung keanekaragaman menggunakan indeks Shannon Weaver.
Sampel kandungan kimia tanah yang
diambil secara komposit, kemudian
dikumpulkan menjadi satu dan diambil 1-1,5 kg untuk masing-masing lahan pertanian organik
dan intensif, sedangkan sifat fisika tanah tetap dalam pipa dan ditutup plastik pada masing-
masing sisinya. Selanjutnya tanah diuji di
Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah serta Laboratorium mikologi Hama dan Penyakit
Tanaman di Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang untuk mengetahui kandungan kimia (Nitrogen total, Phospor,
Kalium, Carbon organik, Bahan organik, rasio Carbon dan Nitrogen, Kapasitas Tukar Kation
dan Potensial Hidrogen), sifat fisika (tekstur,
porositas) dan biologi tanah (Total jamur dan bakteri).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Existing Pengelolaan Pertanian
Organik di Lokasi Penelitian Dari hasil wawancara dengan informan
pengurus kelompok tani, didapatkan informasi bahwa pada pengelolaan sistem pertanian
organik sesuai dengan persyaratan sertifikasi
yang paling penting adalah pemenuhan kebutuhan baik berupa input/masukan yakni
berupa pupuk kandang maupun benih/bibit
tanaman, karena pada prinsipnya proses pengelolaan secara organik baru dapat
dilakukan setelah input/masukan yang diberikan telah dipastikan asalnya yang mana
dalam hal ini telah dipenuhi dari sumber dari
Desa itu sendiri.
Sementara pada proses produksi di kelompok tani ini telah memiliki Standar
Operasional Prosedur (SOP), sehingga proses
produksi anggota relatif sama. Pada sistem budidaya yang dimulai dari pengolahan tanah,
pemupukan, penyediaan benih yang diusahakan
dengan penangkaran sendiri oleh petani.Pupuk kandang yang diberikan berasal dari daerah
setempat, karena penduduk di daerah tersebut banyak yang memiliki dan memelihara ternak
peliharaan, baik berupa sapi atau kambing.Hal
ini telah sesuai dengan pengertian pertanian organik dari FAO (1999) yaitu suatu sistem
produksi yang menyeluruh yang
mengedepankan penggunaan input off-farm, yang berasal dari daerah setempat (locally).
Dari sistem budidaya secara umum telah baik, namun pemahaman dari anggota mengenai
rotasi tanamanlah yang harus diperbaiki,
sehingga tidak hanya memutar-mutar jenis tanaman yang ditanam tapi berdasarkan
perbedaan famili tanaman, sehinga diharapkan penyakit tular tanah tidak berkembang, selain
itu rotasi dengan tanaman legum perlu
dilakukan agar kandungan Nitrogen dapat meningkat (Ames, 1996).
Pengaruh Pertanian Organik Urban
Farming terhadap Kandungan Kimia tanah Sistem pertanian organik dengan
menambahkan bahan organik (pupuk kandang/kompos) yang berasal dari daerah
setempat diharapkan dapat mencukupi
kebutuhan nutrisi tanaman, selain itu kelangsungan dari usaha tani dapat
berkesinambungan. Ketersediaan bahan organik
akan meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman, meningkatnya ketersediaan air tanah
bagi tanaman, pertambahan Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta semakin meningkatnya
mikroorganisme yang bermanfaat (Doran,
1995; Drinkwater, et al., 1995). Selain itu bahan organik akan meningkatkan aktivitas
biologi, kimia, fisika tanah serta meningkatkan
hasil panen. Ditambahkan oleh Stamatiadis, et al. (1999) bahwa pertanian organik dapat
menstabilkan pH, menyerap air lebih banyak dan cepat, serta meningkatkan daya ikat tanah.
Oleh karena itu pengamatan kandungan kimia
tanah sangat penting untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penggunaan pupuk
kandang/kompos dalam pertanian organik
urban faming dibandingkan pertanian intensif.
Berdasarkan hasil uji t, diketahui rata-rata kandungan kimia dan sifat fisika di tabel 1.,
pertanian organik urban farming (UF) lebih
tinggi dibandingkan dengan pertanian intensif (IF).
Tabel 1. Hasil Uji T terhadap Kandungan Kimia dan Sifat Fisika Tanah
Pola tanam
Corganik Ntotal BO CN P K KTK pH Poro-sitas
UF 4.84* 0.6* 8.3725* 8.25* 132.7225 5.53* 40.2875* 6.875 66.25* IF 0.8725 0.15 1.51 6 94.2075 1.1675 31.47 6.875 55.45
Rata-rata 2.85625 0.375 4.941 7.125 113.465 3.34875 35.87875 6.875 60.85 Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive Farming; BO: Bahan Organik; KTK: Kapasitas Tukar Kation; pH: Potensial Hidrogen. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.
Sementara berdasarkan tabel 1, kandungan kimia yang meliputi C-Organik, N Total, BO,
C/N, K, KTK pada tanah urban farming (UF) berbeda nyata dengan intensive farming (IF),
namun kandungan P (phospor) dan pH tidak
berbeda nyata (p<0.05).
a. Karbon Organik (C organik) Budidaya pertanian secara organik terbukti
dapat menurunkan kandungan karbon (C) di udara, dengan cara penyerapan ke tanah,
maupun ke tanaman melalui fotosintesis. Hasil
uji laboratorium kandungan C-organik pada pertanian organik urban farming (UF) berbeda
28
nyata (tabel 1) dibandingkan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 4,84% dan IF
sebesar 0,87%.
Tingginya C-organik pada UF
dimungkinkan karena pada urban farming dalam sistem budidayanya menggunakan pupuk
organik sebagai pengganti pupuk kimia, selain
itu rotasi tanaman yang selalu dilakukan setelah panen juga mendorong penyerapan C dari
atmosfer, sesuai dengan penelitian Al-Kaisi (2008). Terbukti dengan budidaya organik
mampu meningkatkan penyerapan karbon 2-3
kali dibandingkan dengan budidaya konvensional (Lal, 2004).
Sedangkan penelitian Clark, et al., (1998)
yang menunjukkan penurunan serapan C-
organik pada lahan organik dan low input dikarenakan terputusnya pemberian pupuk
kandang selama 4 tahun, hal ini menunjukkan
peran pupuk kandang linier terhaap ketersediaan bahan organik yang selanjutnya
menyerap C-organik. Begitu pula dengan penelitian Hepperly, et al., (2007) yang
menyebutkan pemupukan menggunakan pupuk
kandang dan kompos legum, kandungan C-organik tanah berbeda nyata dibandingkan
pemupukan dengan kimia setelah 21 tahun,
padahal pada awal tahun tidak berbeda nyata. Namun jumlah C-organik berubah-ubah setiap
pemanenan dan pengolahan tanah yang dilakukan, sehingga untuk mengamatinya
diperlukan data time series yang dapat dipantau
perubahanya (Fließbach, et al., 2007).
Sebaliknya penggunaan pupuk anorganik yang tidak efisien, dan bahkan pemberian
pupuk N-anorganik secara terus menerus justru
menyebabkan penurunan kandungan C-organik. Penurunan kandungan C-organik tanah lebih
diperparah lagi dengan adanya pengangkutan
sisa panen (limbahtanaman) keluar lapang tanpa diimbangi penambahan bahan organic ke dalam
tanah. Hal ini mendorong semakin banyaknya emisi GRK dari sektor pertanian. Menurut Al
Kaisi, 2008, aktivitas manusia dapat
mengakibatkan timbulnya gas rumah kaca yang dapat menjadi pemicu munculnya perubahan
iklim, salah satu gas rumah kaca adalah karbon (C).
Oleh karena itu sebagai salah satu indikator dari kesuburan tanah adalah
kandungan C-organik dalam tanah, dengan semakin banyaknya kandungan C-organik maka
pengurangan emisi gas rumah kaca lebih akan
lebih banyak terserap dan pemanasan global semakin berkurang dibandingkan pertanian
intensif, sehingga keberlanjutan dari indikator ini telah baik.
b. Nitrogen Total Kandungan N total urban farming berbeda
nyata antara dengan intensive farming dengan
nilai 0,6% (UF) dan 0,15% (IF) (tabel 1). Hal
ini menunjukkan pertanian organik urban farming tanpa menggunakan pupuk kimia yang
selama ini dianggap secara instan menyediakan nutrisi bagi tanaman tidak terbukti, bahkan
dengan menambahkan pupuk kandang/kompos
pada media tanam akan meningkatkan ketersediaan Nitrogen dalam tanah. Selain itu
dengan menggunakan pupuk organik maka
mikroorganisme tanah, termasuk arthropoda akan semakin beragam yang selanjutnya
berperan dalam mineralisasi nutrisi bagi tanaman.
Hasil ini sesuai dengan pendapat Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pada
pertanian organik aktivitas mikroba serta mineralisasi nitrogen lebih tinggi dibandingkan
pertanian intensif. Penggunaan pupuk kandang
mempengaruhi ketersediaan N tanah, pupuk kandang unggas cenderung memiliki
kandungan N lebih tinggi hal ini dikarenakan
pada pupuk kandang unggas tercampur urin, sehingga lebih siap untuk terdekomposisi
dibandingkan dengan pupuk kandang sapi atau kambing yang masih mengandung lignin dan
selulosa (Hue dan Silva, 2000).
Ketersediaan unsur Nitrogen ini
merupakan hal yang vital dalam budidaya pertanian sayuran daun, dikarenakan kebutuhan
akan unsur ini cukup banyak. Sehingga dengan
ketersediaannya yang melimpah di lahan organik maka kesuburan dan keberlanjutan
lahan pertanian telah baik dan dapat terus
terjaga.
c. Fosfor (P) Nilai kandungan phospor (P) tidak berbeda
nyata antara UF dan IF dengan nilai UF 132,72 mg/kg dan IF 94,20 mg/kg (tabel 1).
Ketersediaan Phospor dalam tanah mutlak dibutuhkan tanaman, karena Phospor
merupakan unsur esensial bagi tanaman.
Rendahnya kandungan Phospor ini seharusnya tidak terjadi pada pertanian organik, karena
pada pertanian organik yang memanfaatkan pupuk kandang/kompos sebagai nutrisi tanaman
dapat menyediakan Phospor pada mineralisasi
Phospor organik akibat dekomposisi bahan organik.
29
Ketidaktersediaan unsur Phospor ini ini kemungkinan disebabkan karena adanya
presipitasi P oleh Ca (menjadi kalsium trifosfat
Ca2(PO4)2, yang relatif mudah larut dalam tanah, hal ini masih terjadi pada pH 6,0 dan pH
di atas 7,0 (Hanafiah, 2007). Berbeda dengan pendapat Clark, et al. (1998) yang mengatakan
kandungan P lebih tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan pertanian konvensional. Hal ini dipengaruhi oleh penggunaan pupuk kandang
dalam budidaya, pupuk kandang banyak
mengandung Phospor, namun masih dalam bentuk organik, sedangkan yang dibutuhkan
oleh tanaman adalah anorganik, oleh sebab itu harus melalui proses dekomposisi dengan
menggunakan enzim fosfat yang dihasilkan
oleh mikroorganisme, jamur, serta perakaran tanaman (Nelson dan Mikkelsen, 2008).
Namun dengan nilai unsur P yang tidak
berbeda nyata tersebut, keberlanjuan pertanian
organik dipandang masih relevan dan baik. Hal ini dikarenakan selain input yang dimasukkan
lebih ramah lingkungan serta dapat
memperbaiki ekologi tanah khususnya lahan pertanian.
d. Kalium (K) Kandungan Kalium total berbeda nyata
dengan nilai 40,28 me/100g pada pertanian
organik urban farming dan 31,47 me/100g untuk intensive farming (tabel 1). Kandungan
Kalium ini memiliki peran yang penting dalam
pertumbuhan tanaman, terutama pada percepatan pertumbuhan daerah meristem
(pucuk dan tunas), selain itu juga dalam
pengaturan buka, tutupnya stomata yang berkaitan dengan efisiensi penggunaan air.
Hal ini sekali lagi dipengaruhi oleh
pemanfaatan pupuk organik dalam budidaya
pertanian organik yang telah berjalan 6 tahun, menurut Bulluck III, et al., (2002) konsentrasi
Kalium meningkat disebabkan penambahan pupuk kandang pada tahun kedua,
dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia.
Selain itu pemupukan menggunakan pupuk kandang biasanya akan meningkatkan KTK
tanah, yang akan juga memudahkan penyerapan K tanah (Hue dan Silva, 2000). Hal yang sama
juga diungkapkan Temple (2000) bahwa
pertanian organik ataupun pertanian input rendah akan meningkatkan kapasitas menahan
air, serapan tanah akan air, peningkatan bahan
organiks, fosfor serta Kalium.
Kalium mutlak diperlukan dalam pertumbuhan tanaman, apabila dengan
pertanian organik ketersediaanya melimpah, maka dapat dinilai keberlajutannya sangat
tinggi, sehingga pemanfaatan pupuk kandang
harus dipertahankan untuk mensuplai nutrisi tanaman.
e. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Nilai KTK lahan pertanian urban farming
(UF) lebih tinggi dan berbeda nyata
dibandingkan lahan pertanian intensif (IF), dengan nilai UF sebesar 40.29 (me/100g) dan
IF sebesar 3147 (me/100g) (tabel 1). Tingginya
nilai KTK tanah pada pertanian organik urban farming merupakan pertanda baik, karena KTK
semakin tinggi KTK maka ion-ion yang terikat
pada koloid tanah dapat diserap dan dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga
ketersediaan unsur-unsur hara dapat tersedia oleh tanaman.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah (2007), bahwa kation cenderung terikat oleh
tanah, dan dengan memanfaatkan bahan organik yang bermuatan negatif ikatan tanah dapat
terlepas sehingga dapat terserap oleh perakaran
tanaman. Karena kapasitas tukar kation (KTK) merupakan jumlah muatan negatif tanah baik
yang bersumber dari permukaan koloid
anorganik (liat) maupun koloid organik (humus) yang merupak situs pertukaran kation-
kation. Penambahan bahan organik (pupuk kandang) secara signifikan mempertinggi
kandungan KTK tanah (Baldwin, 2001).
Peningkatan nilai KTK ini dapat diartikan ketersediaan unsur hara esensial yang
dibutuhkan tanaman tersedia di tanah, tidak lagi
terikat koloid tanah, sehingga dapat dimanfaatkan tanaman dalam pertumbuhannya
sehingga dengan semakin tingginya kandungan KTK tanah maka kualitas tanah semakin baik
dan optimal bagi pertumbuhan tanaman, begitu
pula dengan keberlanjutannnya.
f. Bahan Organik
Ketersediaan bahan organik lebih tinggi
dan berbeda nyata pada pertanian organik urban farming (UF), dibandingkan intensive farming
(IF) dengan nilai 8,38% (UF) dan 1,51% (IF) (tabel 1), hal ini sangat baik karena pada
pertanian organik pemupukan hanya dilakukan
dengan menambahkan pupuk kandang atau kompos.
Ketersediaan BO dipengaruhi oleh sistem
manajemen usaha pertanian secara organik
dengan menambahkan pupuk kandang (Clark, et al., 1998). Peningkatan BO juga sedikit demi
30
sedikit juga terjadi pada periode transisi menuju pertanian organik (Wander, 1994), dengan
penambahan bahan organik ini membuktikan
kinerja dari mikroorganisme dalam dekomposisi yang akan meningkatkan
kesuburan tanah (Tiensen, et al., 1994). Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
dekomposisi ini meliputi faktor bahan organik
dan tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin
dan ukuran bahan, sedangkan faktor tanah
meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai oksigen, reaksi tanah, serta
ketersediaan hara terutama N, P, K dan S (Parr, 1992). Setiap kilogram bahan organik
mempunyai kemampuan untuk menyerap air
sampai 20 kali, selain itu dengan menambah bahan organik akan mengurangi hilangnya air
ataupun erosi akibat run off (Hepperly, n.d.).
Ketersediaan BO sangat dipengaruhi oleh
fauna tanah (cacing dan arthropoda) serta perakaran tanaman, oleh karena itu rotasi
tanaman sangat dianjurkan guna mempertinggi
kandungan BO tanah (Mc Cauley, 1999). Menurut Baldwin (2006) peran mikroorganisme
sangat komplek dan sensitif dalam mineralisasi nutrisi. Oleh karena itu dengan semakin
tingginya jumlah BO tanah maka perbaikan
kualitas tanah akan semakin optimal. Input (masukan) pada lahan berupa pupuk kandang
semakin mempertinggi kandungan organik
tanah, hal ini berimplikasi secara luas terhadap komposisi biologi, fisika dan kimia tanah
menjadi lebih baik (Pimentel et al., 2005), sehingga penambahan bahan organik dari
pupuk kandang ini perlu dipertahankan guna
menjaga keberlanjutan pertanian organik yang ada, selain itu rotasi tanaman yang terbukti
dapat meningkatkan BO juga dianjurkan.
g. Rasio Karbon dan Nitrogen (CN rasio) Pada pengamatan CN rasio didapatkan
bahwa pertanian organik urban farming (UF)
sebesar 8,25% dan berbeda nyata dibandingkan pertanian intensif (IF) 6% (tabel 1). Perbedaan
yang nyata ini disebabkan karena penambahan pupuk kandang yang telah matang dan tidak
lagi dalam proses dekomposisi. Sehingga rasio
Carbon dan Nitrogen menunjukkan jumlah karbon dibandingkan jumlah Nitrogen pada
suatu biomassa dapat seimbang, karena karbon berfungsi sebagai energi bagi mikrorganisme.
Nilai C/N rasio ini sangat berhubungan dengan ketersediaan Nitrogen tanah, jika
melihat kandungan Nitrogen sebelumnya yang
menunjukkan perbedaan yang nyata, maka pemberian pupuk kandang pada pertanian
organik urban farming, memiliki nilai C/N
yang relatif rendah sehingga mikroorganisme cenderung cepat dalam mendekomposisi
substrat tersebut. Menurut USDA (2011) kandungan C/N pada kotoran sapi adalah 18:1
hal ini menunjukkan mikroorganisme akan
lebih cepat dalam mencerna dan lebih menyediakan Nitrogen tersedia lebih banyak.
Semakin tingginya kandungan karbon yang
diserap mikroorganisme tanah atau tanaman akan berdampak langsung terhadap
pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga sektor pertanian yang sebelumnya
berperan dalam peningkatan emisi GRK dengan
sistem pertanian organik bahkan sebaliknya yakni dapat menyerap karbon secara lebih
effisien, selain itu keberlanjutannya juga
semakin baik.
h. Potensial Hidrogen (pH) Nilai kandungan pH tidak berbeda nyata
antara urban farming dan intensive farming (tabel 1), dengan nilai sudah ideal, yakni 6,8.
Peran pH sangat besar karena pada nilai pH menentukan ketersediaan unsur hara. Nilai pH
tanah optimal berbeda-beda tiap komoditas,
namun pH ideal adalah 6,5 sampai 7,0 karena dengan nilai pH ini unsur-unsur esensial
tersedia bagi tanaman.
Kandungan pH sangat mempengaruhi
dekomposisi bahan organik, serta ketersediaan nutrisi yang dapat diserap oleh tanaman (Mc
Cauley, 1999). Pada penelitian Clark, et al.
(1998) pH pertanian konvensional cenderung stabil, namun pada pertanian input rendah
ataupun organik menunjukkan peningkatan secara konsisten namun tetap pada pH optimal
bagi ketersediaan nutrisi. Hal ini didukung oleh
Bulluck III, et al., (2002) yang menyebutkan pH tanah dari penambahan bahan alternatif
cenderung lebih rendah dibandingkan pupuk
kimia, namun penambahan bahan alternatif seperti pupuk kandang akan meningkatkan pH
menjadi lebih tinggi dari penggunaan pupuk kimia. Nilai pH antara kedua lokasi penelitian
(organik dan intensif) telah ideal yakni
mendekati nilai 7, karena pH optimum untuk ketersediaan unsur hara tanah adalah sekitar 7,0
karena pada pH ini unsur makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur mikro tidak
maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan
terjadinya toksisitas unsur mikro rendah. Pada pH di bawah 6,5 dapat terjadi defisiensi P, Ca,
31
dan Mg serta toksisitas B, Mn, Cu, Zn dan Fe, sedangkan pada pH di atas 7,5 dapat terjadi
defisiensi P, B, Fe, Mn, Cu, Zn, Ca dan Mg
juga keracunan B dan Mo (Hanafiah, 2007). Berdasarkan nilai pH tanah diatas
keberlanjutannya sudah baik dan perlu dipertahankan.
Pengaruh Pertanian Organik Urban
Farming terhadap Sifat Fisika Tanah Fungsi tanah dalam sistem usaha tani
adalah sebagai media tumbuh atau sebagai
tempat akar mencari ruang untuk berpenetrasi, baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Kemudahan tanah untuk dipenetrasi ini
tergantung pada ruang pori-pori yang terbentuk di antara partikel-partikel tanah (tekstur).
Kerapatan porositas akan menentukan kemudahan air untuk bersirkulasi dengan udara
(drainase dan aerasi).
a. Porositas Tanah Berdasarkan tabel 1, porositas tanah pada
pertanian organik urban farming berbeda nyata
dibandingkan pertanian intensif, dengan nilai 66,25% (UF) dan 55,45% (IF). Ini
membuktikan pemanfaatan pupuk organik akan
meningkatkan proporsi ruang pori total/ruang kosong yang terdapat dalam satuan volume
tanah yang dapat ditempati air atau udara (porositas).
Menurut Krol, et al., (2013) penggunaan pupuk organik dalam waktu yang lama dapat
menciptakan memperbanyak jumlah pori tanah, penggunaan pupuk kandang dapat
meningkatkan sifat fisika tanah, khususnya
porositas. Oleh karena itu pertanian organik tanpa menggunakan pupuk kimia, dinilai akan
memperbaiki sifat fisika tanah, terbukti dengan
meningkatnya porositas tanah, yang menunjukkan daya serap tanah akan air dapat
bertambah selain itu sirkulasi oksigen juga dapat berjalan dengan baik yang juga akan
menunjang aktivitas mikroba tanah.
Sementara perbandingan tekstur tanah
pertanian organik urban farming dan pertanian intensif relatif tetap, diduga karena penambahan
pupuk organik maupun kimia tidak dapat
merubah komposisi liat, lempung dan pasir dalam tanah. Tanah pertanian organik urban
farming bertekstur lempung berdebu sementara pertanian intensif lempung-lepung berpasir.
Dominasi debu akan menyebabkan
terbentuknya pori meso dalam jumlah sedang, sehingga cukup permeabel, menyebabkan daya
pegang air cukup kuat, namun sebagian pori akan terisi udara dan air dalam jumlah yang
seimbang. Sementara lempung berpasir akan
menyebabkan terbentuknya pori mikro, sehingga daya serap akan air sangat kuat dan air
akan terperangkap, pada tanah jenis ini meskipun jumlah air dan nutrisi cukup baik,
ketersediaan udara akan menjadi faktor
pembatas aktivitas mikroba (Hanafiah, 2007). Berdasarkan indikator porositas, keberlanjuan
pertanian organik urban farming sudah baik,
sementara pada indikator tekstur pertanian organik tidakdapat merubah tekstur tanah.
Pengaruh Pertanian Organik Urban
Farming terhadap Biologi Tanah Arthropoda tanah memiliki peran yang
sangat vital dalam rantai makanan khususnya sebagai dekomposer, karena tanpa organisme
ini alam tidak akan dapat mendaur ulang bahan
organik. Selain itu, arthropoda juga berperan sebagai mangsa bagi predator kecil yang lain,
sehingga akan menjaga kelangsungan
arthropoda yang lain. Sebagai konsekuensi struktur komunitas mikro arthropoda akan
mencerminkan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanah, termasuk terhadap
aktivitas manusia. Terjadinya perubahan lahan,
khususnya pertanian, menyebabkan hilangnya biodiversitas dibandingkan dengan ekosistem
yang masih alami, terutama pada pertanian
intensif karena manfaat biologi dan kimia tanah sebagai habitat menurun drastis ketika terjadi
perubahan dari ekosistem alami menjadi pertanian. Menurut Curry (1998) dan Lee
(1991) frekuensi pengolahan lahan serta
penggunaan bahan kimia berdampak besar terhadap organisme tanah. Aktivitas pertanian
memiliki pengaruh positif dan negatif dalam
kelimpahan, keanekaragaman serta aktivitas fauna tanah, terutama disebabkan perubahan
suhu tanah, kelembaban, serta jumlah dan kualitas bahan organik (Hendrix dan Edward,
2004). Karena tanah merupakan habitat dari
bakteri, jamur, serta berbagai macam fauna, seperti nematoda, arthropoda dan cacing tanah
(Jeffrey et al, 2010) yang memiliki fungsi khusus dalam ekosistem (Gardi dan Jeffrey,
2009).
a. Keanekaragaman Arthropoda Keanekaragaman arthropoda tanah
berdasarkan Indeks Shannon Weaver pada
urban farming pada metode mutlak tergolong sangat rendah dengan nilai 0,92 pada lahan IF,
32
sedangkan UF 1,2 (tabel 2.) tergolong rendah dan keduanya tidak berbeda nyata. Sementara
dari metode nisbi berbeda nyata antara
pengamatan UF dan IF dengan nilai 2,27 (keanekaragaman sedang) pada UF dan IF 1,4
(keanekaragaman rendah).
Tabel 2. Hasil Uji T Keanekaragaman Arthropoda
Pengamatan H’
UF IF
Mutlak (m2) 1.2 0.92
Nisbi 2.27* 1.4 Sumber : Olah Data Primer, 2012. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive
Farming; Mutlak: Visual; Nisbi: Pitfall. Tanda * menunjukkan adanya perbedaan nyata menurut uji T, dengan taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan analisis indeks keanekaragaman arthropoda di atas, diketahui
bahwa dengan pertanian organik urban
farming, keanekaragaman arthropoda menjadi sedang dibandingkan pertanian intensif
(intensive farming) yang memiliki keanekaragaman rendah. Hal tersebut
dimungkinkan karena pada pertanian urban
farmingmenggunakan pola tanam tumpang sari hingga mencapai 4-5 tanaman dalam satu mini
green house, dengan semakin tingginya
keanekaragaman arthropoda dalam satu hamparan pertanaman, maka ketersediaan
makanan akan semakin beragam sehingga tidak akan muncul dominasi yang berpotensi menjadi
hama jika ketersediaan makanan habis.
Hal ini menunjukkan sistem organik
berkontribusi terhadap keanekaragaman yang dapat meminimalisir pengaruh negatif dari
intensifikasi pertanian, juga untuk
meningkatkan kualitas habitat orthropoda (Ponce et al, 2011). Selain itu dengan tingginya
keanekaragaman menunjukkan ketersediaan
sumber makanan baik dari mikroorganisme maupun yang lain (Bardgett dan Cook, 1998),
ditambahkan Menta (2012), keanekaragaman dipengaruhi oleh spesies tanaman,
keanekaragaman/komposisi tanaman. Sehingga
modifikasi pertanian organik dengan memanfaatkan pekarangan/urban farming
menggunakan green house tetap mendukung keberlanjutan ekosistem karena dengan
modifikasi iklim mikro dan lapisan olah tanah
(top soil) serta menanam banyak jenis tanaman dalam satu hamparan akan meningkatkan
keanekaragaman arthropoda yang menunjukkan
berjalannya jaring-jaring makananan menuju relatif sempurna sehingga kestabilan ekosistem
sebagai manfaat dari fungsi ekosistem dapat
berjalan.
b. Rasio Jamur dan Bakteri Tanah Jamur dan bakteri merupakan indikator
penting yang menunjukkan keberlanjutan ekosistem, seperti halnya arthropoda yang
merupakan bagian dari organisme tanah sebagai dekomposer. Oleh karena itu biomassa dari
jamur dan bakteri dapat dijadikan sebuah
indikator dalam jaring-jaring makanan.
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa rasio antara jamur dan bakteri, lebih banyak pada
pertanian organik urban farming yakni
702,5/1,95 x 1010 (jamur/bakteri), sementara intensive farming 675/1,925 x 1010
(jamur/bakteri). Dari hasil ini didapatkan bahwa
jamur/bakteri pada pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan
0,35. Data tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi bahwa rasio jamur dan bakteri
semakin besar pada pertanian organik
dibandingkan pertanian intensif, dikarenakan pada pemupukan yang dilakukan oleh petani
pertanian organik urban farming di Desa
Penanggunan rata-rata menggunakan pupuk kandang sapi ataupun kompos yang mana
memiliki CN rasio relatif tinggi yakni di kisaran 20 atau lebih, pentingnya CN rasio disebabkan
kualitas dari bahan organik akan menentukan
organisme dekomposer.
Tabel 3. Total Populasi Bakteri dan Jamur
Jenis/
ulangan
UF IF
Bakteri Jamur Bakteri Jamur
1 1,3 x 1010 610 1,2 x 1010 400
2 1,9 x 1010 2000 1,8 x 1010 100
3 1,8 x 1010 100 1,2 x 1010 1200
4 2,8 x 1010 100 3,5 x 1010 1000
Rata-rata 1,95 x 1010 702.5 1,925 x 1010 675
Sumber : Olah Data Primer, 2013. Keterangan : UF: Urban Farming; IF: Intensive
Farming.
Hasil penelitian rasio jamur dan bakteri pada penelitian ini sesuai dengan pendapat de
Vries et al., (2006) yang membuktikan bahwa pada pertanian organik rasio jamur/bakteri lebih
besar dibandingkan pertanian konvensional,
khususnya jamur saprophytic sebagai komponen utama dalam jaring-jaring makanan
yang mana dapat mendekomposisi sisa dari residu tanaman dengan lebih baik dibandingkan
33
bakteri selain itu jamur saprophytic ini juga berperan penting dalam daur N dan P (Jonas,
2007). Sedangkan penambahan pupuk Nitrogen
juga akan mengurangi jumlah jamur (de Vries, et al., 2006). Penelitian lain yang dilakukan
oleh Beare, et al., (1997) menyebutkan pada pertanian konvensional jumlah bakteri lebih
banyak dari pada pertanian tanpa olah tanah.
Rasio yang lebih tinggi antara jamur dan
bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah dan
keberlanjutan pada lahan pertanian organik
yang hanya menggunakan pupuk kandang ataupun kompos dengan CN rasio tinggi,
sehingga akan semakin mempercepat
dekomposisi dengan bantuan dari mikroorganisme jamur dan bakteri, yang
ditunjukkan dengan meningkatnya respirasi tanah (Hanuddin, 2000).
KESIMPULAN
Keberlanjutan aspek ekologi sudah baik,
ditinjau dari kualitas tanah yaitu kandungan
kimia, fisika dan biologi tanah. Kandungan kimia dan sifat fisika tanah dari uji
laboratorium terhadap nilai C-organik, N total,
Kalium, Bahan organik, rasio C/N, KTK,pH, tekstur dan porositas tanah keberlanjutannya
telah baik, hanya unsur Phospor saja yang kurang bagus, hal ini dikarenakan unsur P ada
kemungkinan larut didalam tanah karena
presipitasi P oleh Ca, namun secara keseluruhan sudah baik.
Sementara sifat fisika tanah dengan
indikator porositas, keberlanjuan pertanian
organik urban farmig sudah baik, sementara pada indikator tekstur pertanian organik
tidakdapat merubah tekstur tanah.
Keanekaragaman Shannon-Weaver
pengamatan nisbi arthropoda dipermukaan tanah berbeda nyata antar dua pengamatan,
yakni UF 2,27(keanekaragaman sedang)
sedangkan IF 1,4 (keanekaragaman rendah) sehingga fungsi ekosistem dalam menciptakan
keseimbangan terjadi di lahan pertanian organik urban farming meskipun menggunakan green
house.
Sedangkan rasio jamur/bakteri pada
pertanian organik urban farming dan intensive farming sebesar 0,36 dan 0,35. Data tersebut
menunjukkan bahwa sesuai dengan asumsi
bahwa rasio jamur dan bakteri semakin besar pada pertanian organik dibandingkan pertanian
intensif. Rasio yang relatif tinggi antara jamur
dan bakteri pada sistem pertanian organik mendukung perbaikan kualitas tanah pada lahan
pertanian.
Ditinjau dari aspek kualitas tanah,
keberlanjutan pertanian organik urban farming ini dapat terus terjaga, baik dari kualitas tanah
(kandungan kimia, sifat fisika, serta biologi
khususnya rasio jamur dan bakteri tanah), sedangkan kelimpahan dan keanekaragaman
arthropoda juga relatif baik, meski tidak berbeda nyata dengan pertanian intensif, kecuali
pada pengamatan metode nisbi keanekaragaman
arthropoda permukaan tanah berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa dengan memodifikasi
iklim mikro kestabilan ekosistem dapat dengan
sendirinya terjaga, selama dalam pemeliharaannya tidak menggunakan pupuk
ataupun pestisida kimia.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapakan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada
PUSBINDIKLATREN BAPPENAS atas
bantuan pembiayaan pendidikan dan STPP Malang, Badan Pengembangan SDM Pertanian,
Kementerian Pertanian atas izin yang diberikan
kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
DAFTAR PUSTAKA Al-Kaisi. 2008. Impact of Tillage and Crop
Rotation Systems on Soil Carbon
Sequestration. University Extension. Iowa
State University. Ames, 1996. Conservation Crop Rotation Effect
on Soil Quality. USDA. Technical Note
No. 2. Baldwin. Keith R. 2006. Crop Rotation on
Organic Farms. Center for Environmental Farming Systems (CEFS).
Bargett, Richard D. and Roger Cook. 1998.
Functional Aspect of Soil Animal diversity in Agricultural Grassland. Applied Soil
Ecology 10: 263-276. Beare, M.H., Parmelee, R.W., Hendrix, P.F.,
Cheng, W., 1992. Microbialand Faunal
Interactions And Effects on Litter Nitrogen and Decompositionin Agroecosystems.
Ecological Monographs 62: 569–591.
Bulluck III, L. R., M. Brosius, G. K. Evanylo, J. B. Ristaino. 2002. Organic and Synthetic
Fertility Amandments Influence Soil
34
Microbial, Physical and Chemical Properties on Organic and Conventional
Farms. Applied Soil Ecology 19:147-160
Clark, M. S., W. R. Howard, C. Shennan, K. M. Scow. 1998. Changes in Soil Chemical
Properties Resulting form Organic and Low-Input Farming Praactice. Agronomic
Journal Vol. 90: 662-671
Curry, J.P., 1986. Effects of Management on Soil Decomposers and Decomposition
Processes in Grassland, in: Mitchell, M.J.,
Nakas, J.P. (Eds.), Micro floral and FaunalInteractions in Natural and Agro
Ecosystems. Nijhoff/ Junk Publishers, Dotrecht, pp.349–398
de Vries, F. T., Ellis Hoffman, N van Eekeren,
L. Bruusard, dan J. Bloem. 2006. Fungal/Bacterial Ratios in Grassland with
Contrasting Nitrogen Management. Soil
Biology & Biochemistry 38: 2092-2103 Doran, J., 1995. Building Soil Quality.
Proceedings of the 1995 Conservation Workshop on Opportunities and
Challengesin Sustainable Agriculture. Red
Deer, Alta., Canada, Alberta Conservation Tillage Society and Alberta Agriculture
Conservation, Development Branch, pp.
151–158. Drinkwater, L.E., Letourneau, D.K., Workneh,
F., van Bruggen, A.H.C., Shennan, C., 1995. Fundamental Differences Between
Conventional and Organic Tomato
Agroecosystems in California. Ecol. Appl. 5, 1098–1112.
Fließbach, Andreas, Hans-Rudolf Oberholzer,
LucieGunst, Paul Ma¨der., 2007. Soil Organic Matter and Biological Soil
Quality Indicators after 21 Years of Organic and Conventional Farming.
Agriculture, Ecosystems and Environment
118 (2007) 273–284. Gardi, C. dan Jeffrey S., 2009. Soil
Biodiversity. European Commission Joint
Research Centre, Institute for Enviromental and Sustainability, Land
Management and Natural Hazards Unit. Ghosh, P.K., Dayal, D., Mandal, K.G., Wanjari,
R.H., Hati, K.M., 2003. Optimization of
Fertilizer Schedules in Fallow and Groundnut-based Cropping Systems and
an Assessment of System Sustainability. Field Crops Res. 80: 83–98.
Hallberg, 2009. Using Community Gardens to
Augment Food Security Efforts in Low-Income Communities. Major Paper.
Virginia Tech. USA.
Hanafiah, Kiemas Ali. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta
Hanudin, E., 2000. Pedoman Analisis Kimia
Tanah (dilengkapi dengan teori, Prosedur dan Keterangan). Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta. Hendrix, P. F. And Edward C. A. 2004.
Earthworm in Agroecosystems: research
Approarches, in: Edward, C. A. (Eds.), Earthworm Ecology, second ed. CRC
Press, Boca Raton, London, New York:
287-295 Hepperly, Paul Reed, n. d., The Impact of
Agriculture and Food Systems on Greenhouse Gas, Energy Use, Economics
and the Environment. Rodale Institute.
USA. Hepperly, Paul, Rita Seidel, David Pimentel,
James Hanson, and David Douds Jr. 2007.
Organic Farming Enhances Soil Carbonand its Benefits.
Howard, P.J.A., 1993. Soil protection and Soil Quality Assessment in the EC. Sci. Tot.
Env. 129: 219–239.
Hue, N. V. dan J. A. Silva. 2000. Plant Nutrient Management in Hawaii’s Soils,
Approaches for Tropical and Subtropical
Agriculture. College of Tropical Agriculture and Human Resources,
University of Hawaii at Manoa. IEA, 2006. World Energy Outlook 2006. Paris:
International Energy Agency
Jeffrey S, Gardi C, Jones A, Montanarella L, Marmo L. Miko L, Ritz K, Peres G,
Rombke J, var der Putten WH. 2010.
European Atlas of Soil Biodiversity. European Commission, Publication Office
of the European Union. Krol, A., J. Pipiec, M. Turski & J. Kus. 2011.
Effect of Organic and Conventional
Management on Physical Properties of Soil Agregates. Int. Agrophys 27: 15-21
Lal, R.,2004. Global Potential of Soil Carbon
Sequestration to Mitigate the Greenhouse Effect. Geoderma 123: 1 –22.
Lee, K.E., 1991. The diversity of Soil Organisms, in: Hawksworth, D.L. (Eds.),
The Biodiversity of Microorganisms and
Invertebrates: Its Role in Sustainable Agriculture. CABI, Wallingford, 73–86.
Mc Cauley, Ann. 1999. Soil pH and Organic Matter. Nutrient Management Module No.
8. Montana State University Extention.
4449-8
35
Menta, Cristina. 2012. Soil Fauna Diversity-Function, Soil Degradation, Biological
Indices, Soil Restoration. Intech.
Nelson, Nathan dan Robert Mikkelsen. 2008. Meeting the Phosporus Recuirement on
Organic Farm. Better Crops Vol. 92 No. 1. Pannel, David J. dan Nicole A. Glen, 2000. A
Framework for The Economic Evaluation
and Selection Ofsustainability Indicators in Agriculture. Ecological Economics 33:
135–149
Parr, J. F., S. B. Hornic, and R. I. Papendick, 1992. Soil Quality: The Foundation of a
Sustainable Agriculture. Amer.J. Alternative Agric. 7(1,2):2-3.
Pimentel, D., P. Hepperly, J. Hanson, D.
Douds, dan R. Seidel, 2005. Environmental, Energetic, and Economic
Comparisons of Organic and Conventional
Farming Systems. BioScienceVol. 55 No. 7: 573-578.
Ponce, Carlos, Carolina Bravo, David Garcia de Leon, Maria Magana dan Juan Carlos
Alonso. 2011. Effect on Organic Farming
on Plant and Arthropod Communities: A Case Study in Mediterranean Dryland
Cereal. Agricultural, Ecosystems and
Environment 141: 193-201 Purwanto, Semiarto Aji. 2010. Bertani di Kota,
Berumah di Desa: Studi Kasus Pertanian Kota di Jakarta Timur. Disertasi. UI.
Jakarta.
Roming, D.E., Garlynd, M.J., Harris, R.F., McSweeney, K., 1995. How Farmers
Assess Soil Health and Quality (Special
Issue Onsoil Quality). J. Soil Water Conserv. 50: 229–236.
Stamatiadis, S., Werner, M., Buchanan, M. 1999. Field Assessment of Soil Quality as
Affected by Compost and Fertilizer
Application in Brocolly Field. Appl. Soil. Ecol. 12: 217-225
Sutanto, Rachman. 2002. Pertanian Organik menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan. Kanisius. Jakarta
Temple, Steve. 2002. The Transition From Conventional to Low-Input or Organic
Farming Systems: Soil Biology, Soil Chemistry, Soil Physics, Energy
Utilization, Economics, and Risk.
Sustainable Agriculture Research and Extension (SARE) Project Report SW99-
008. 18 April, 2007.
Tiensen, H. E. Cuevas and P. Chacon. 1994. The Role of Soil Organic matter in
sustainig soil Fertility. Nature 371: 783-785
USDA. 2011. Carbon to Nitrogen Ratios in
Cropping Systems. http//:soils.usda.gov/ sqi. Diakses tanggal 3 September 2013
Wander, M. W. 1997. Soil Quality
Characteristic During Convertion to Organic Orchad Management. App. Soil
Ecol.5: 151-167 Williamson, E.A. 2002. A Deeper Ecology:
Community Gardens in the Urban
Environment: An Analytical Paper. College of Human Resources, Education,
andPublic Policy, University of Delaware.
Zhen, Lin dan Routray, Jayant K. 2003. Operational Indicators for Measuring
Agricultural Sustainability in Developing Countries. Environmental Management
Vol. 32, No. 1, pp. 34–46.
Contact Person
Nama : Ferdianto Budi Samudra, S.P., M.Si.
Instansi : STPP Malang, Jl Dr. Cipto 144A Bedali, Lawang, Malang
Email : [email protected]
HP : 081334251557
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 36 - 47 ISSN : 2088-2440
ANALISIS PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN
FAKTOR PRODUKSI (KASUS KEMITRAAN DI PG. CANDI BARU
KECAMATAN CANDI, KABUPATEN SIDOARJO)
Lintar Brillian Pintakami
Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar
Email: [email protected]
Abstract: Development of the agricultural sector is not only a priority to food crops, but also maintain the plantation crops. One of the commodities that today many cultivated,
either by large plantations and smallholders are sugarcane (Saccharum officinarum L).
Commodities development of sugar cane in fact currently experiencing problems. Partnership is an appropriate form of cooperation to overcome the obstacles farmers.
Partnership was developed on the basis of the economic aspects and the coaching to
produce long-term benefits. PG. Candi Baru located in the town of Sidoarjo are factory built by the Dutch and is a producer of sugar Superior Hooft Suiker I (SHS I). Since 1832
the company way until now faced a lot of hurdles one milling capacity is still small. To overcome this problem, one solution is carried out by PG. Candi Baru is to establish a
good partnership with farmers. Thus, in this study it is important to analyze the influence
of partnerships to increase farm income and analyze the effect of the use of sugar cane production factors between partner and non-partner farmers (farmers TR KSU and TRM)
to determine the efficiency of the use of production factors. Sugarcane farmers' income
People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the People's Independent Sugarcane farmers (TRM) with an average farm income of farmers Sugar Cane Farmers
Cooperation Enterprises (TR KSU) is Rp. 16,783,456 per ha, while the average farm income of farmers Sugarcane Independent People (TRM) is Rp. 11,918,102 per ha. The
difference was due to the production of sugar cane and sugar cane farmers yield the
People's Partnership Enterprises (TR KSU) is greater than the production of sugar cane Sugarcane growers Independent People (TRM). Based on the R-square value indicates
the value of 1.00 or 100%. This demonstrates the ability of the independent variables to
explain the dependent variable by 100%. Calculate the F value indicates the value of 1000000, while the significance of the F value indicates the value of 0.0001 or 0.01%.
Selected based on the degree of error is 10%, thus the value of the F-count as being significant because its value is less than 10%. Based on the value of T with the degree of
error of 10% indicates variables - variables that affect the yield and income is the result
of drops. Keywords: patnership, efficiency, factors of production
PENDAHULUAN
Pada negara-negara yang baru berkembang seperti di Indonesia, pembangunan nasional
sebagian besar mengacu pada sektor pertanian
(Soedarmanto, 2003). Pembangunan pada sektor pertanian tidak hanya mengutamakan
tanaman pangan, tetapi juga mempertahankan tanaman perkebunan. Salah satu komoditas
perkebunan yang dewasa ini banyak
diusahakan, baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat adalah tebu
(Saccharum officinarum L).
Pembangunan komoditas tebu tersebut pada kenyataannya saat ini mengalami kendala.
Pada umumnya kendala yang dihadapi petani, khususnya petani tebu adalah permodalan, baik
pada saat awal penanaman ataupun sampai
dengan pasca panen. Selain itu masalah fluktuasi harga, sarana produksi (benih, pupuk,
dan pestisida), harga jual produksi, persaingan antar petani tebu besar dan kecil, minimnya
teknologi, dan kesulitan akan akses pasar yang
lebih luas dalam menyalurkan hasil panen tebunya. Sedangkan permasalahan yang dialami
oleh perusahaan adalah pemenuhan pasokan
37
bahan baku gula yang harus selalu tersedia dengan kualitas dan kuantitas tebu yang baik,
maka diperlukan peran serta pengusaha besar
(pemilik modal) untuk membantu mengembangkan usahatani petani kecil dalam
bentuk kemitraan.
Kemitraan merupakan suatu bentuk
kerjasama yang tepat untuk mengatasi kendala petani tersebut. Kemitraan dikembangkan atas
dasar aspek ekonomis dan dengan pembinaan untuk menghasilkan manfaat jangka panjang.
Hubungan kemitraan diharapkan dapat
menyelesaikan segala permasalahan seperti dalam hal permodalan, teknologi, saprodi,
penetapan harga, serta pemasaran hasil dengan
mendapat bantuan dari pihak luar (Hafsah, 2000).
PG. Candi Baru yang berlokasi di kota
Sidoarjo adalah pabrik yang di bangun oleh
Belanda dan merupakan perusahaan penghasil gula Superior Hooft Suiker I (SHS I). Semenjak
perjalanan perusahaan tahun 1832 sampai sekarang banyak rintangan yang dihadapi salah
satunya kapasitas giling yang masih kecil. Hal
ini dikarenakan masih sulitnya pengadaan bahan baku gula (tebu). Untuk mengatasi
permasalahan ini, salah satu solusi yang
dilakukan oleh PG. Candi Baru adalah dengan menjalin kemitraan yang baik dengan petani
tebu. Dalam sejarah kemitraan di PG. Candi Baru, semenjak pencabutan Inpres Nomor 9
pada tahun 1995 kemitraan di dalam wilayah
kerja PG. Candi Baru disebut Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU).
Adanya perbedaan karakteristik antara
petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR
KSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) perihal pembinaan tentunya akan berpengaruh
terhadap produktivitas tebu dari masing-masing
petani. Sehingga dalam penelitian ini penting untuk menganalisis pengaruh kemitraan
terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu dan menganalisis pengaruh penggunaan
faktor-faktor produksi antara petani mitra dan
non mitra (petani TR KSU dan TRM) untuk mengetahui efisiensi penggunaan faktor
produksi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagi petani tebu rakyat
bahwa pelaksanaan kemitraan akan
memberikan keuntungan bersama bagi kedua belah pihak yang bermitra.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
permasalahan yang dikaji pada penelitian yakni:
1. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di
PG. Candi Baru?
2. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru?
Tujuan Dari perumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat dijelaskan
bahwa tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu di
PG. Candi Baru.
2. Menganalisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi usahatani tebu di PG. Candi Baru.
METODE PENELITIAN
Metode Penentuan Lokasi Penelitian dan
Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja dengan mengambil lokasi di PG.
Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo. Pengumpulan data primer dan
sekunder dilakukan pada bulan April hingga
Juni 2013.
Spesifikasi Model
Gambar 1. Keterkaitan antara variabel endogen dan variabel eksogen
dalam analisis pengaruh kemitraan
terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi.
38
Teknik Pendugaan
Teknik pendugaan untuk menjawab
pertanyaan pertama adalah menggunakan analisis usahatani yang meliputi:
1. Analisis Biaya Produksi Usahatani Untuk mengetahui biaya yang digunakan
dalam usahatani, menggunakan rumus:
TC = FC + VC ………………………….. (1)
Keterangan: TC = Total Biaya Produksi
FC = Biaya tetap, biaya yang relatif tetap
jumlahnya (sewa lahan) VC = Biaya tidak tetap, biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (biaya garap, biaya
pupuk, biasa jasa KPTR, biaya fee dan
explo tetes, biaya APTRI, biaya fee lelang, biaya zak, serta bunga
pinjaman)
2. Analisis Penerimaan Usahatani Penerimaan adalah keseluruhan
penerimaan yang diperoleh petani sebelum
dikurangi biaya-biaya produksi yang
dikeluarkan petani. Dalam penelitian ini penerimaan diperoleh dari dua macam yaitu
penerimaan dari unsur gula dan penerimaan
dari unsur tetes. Perhitungan penerimaan usahatani dapat dilakukan dengan rumus
sebagai berikut:
TRgula = Q x Rendemen x P gula ……………(2)
dimana: TR gula : Total penerimaan dari unsur gula
(Rp)
Q : Jumlah produksi tebu Rendemen : Jumlah gula yang terkandung
dalam 100 kg tebu
P gula : Harga jual gula (Rp)
TRtetes = Q x Ptetes
dimana:
TRtetes : Total penerimaan dari unsur tetes (Rp)
Q : Jumlah produksi tebu Ptetes : Harga/uang ganti tetes per kuintal
tebu (Rp/kuintal)
3. Analisis Pendapatan Usahatani Tebu Pendapatan usahatani dihitung berdasarkan
pengurangan antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan selama proses
produksi dengan menggunakan rumus:
Pd = TR – TC .............................................(3)
Keterangan: Pd = Pendapatan usahatani
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Pendapatan Usahatani Tebu (Pd) Pendapatan usahatani tebu dihitung
berdasarkan pengurangan antara penerimaan
total dengan biaya total selama satu proses produksi usahatani, dimana didalamnya
terdapat biaya produksi, biaya transaksi dan
dinyatakan dengan Rp/ha/musim tanah. Pendapatan usahatani dirumuskan sebagai
berikut:
Pd1/2 = TR1/2 – TC1/2
Pd1/2 = TR1/2 – (PC1/2 + TrC1/2)
dimana:
Pd = Pendapatan usahatani tebu (Rp) TR = Total penerimaan (Rp/ha)
TC = Biaya total usahatani tebu (Rp/ha) PC = Biaya produksi (Rp/ha)
TrC = Biaya bunga pinjaman dari PG. Candi
Baru 1 = Bermitra dengan PG. Candi Baru
2 = Tidak bermitra dengan PG. Candi Baru
(Soekartawi, 1995)
Sedangkan teknik pendugaan untuk menjawab pertanyaan kedua menggunakan uji
statistik dilakukan untuk mengetahui apakah
model yang terbentuk telah memenuhi asumsi dalam metode kuadrat terkecil (OLS). Pertama,
model diuji terlebih dahulu dengan melihat
koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui kemampuan peubah-peubah bebas (faktor
produksi/input) secara simultan dalam menjelaskan keragaman peubah tak bebasnya
(produksi/output hasil). Bila nilai koefisien
determinasi tinggi maka model yang digunakan adalah baik. Koefisien determinasi dari suatu
model dirumuskan sebagai berikut:
R2 =
39
Apabila nilai R2 yang di peroleh tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien
regresi dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu
dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai dengan teori maka model yang digunakan
berhubungan dengan masalah multikolinearitas yaitu terjadi korelasi linear yang erat antara
parameter bebas (Drepper dan Smith, 1992).
Untuk mengatasi adanya multikolinearitas, koefisien regresi dapat diduga dengan Metode
Analisis Komponen Utama (Principal
component analysis method).
Kedua, pengujian terhadap koefisien regresi, baik secara keseluruhan maupun secara
tersendiri. Uji keseluruhan dilakukan dengan
uji-F, yaitu untuk mengetahui apakah sekurang-kurangnya satu peubah bebas yang digunakan
dalam model berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas (Drapper dan Smith, 1992).
Perhitungan penduga parameter persamaan struktural dilakukan dengan menggunakan
program computer SAS versi 9,1 (Statistical Analysis System Econometric Time Series)
terhadap data sekunder time series periode
1981-2005. Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama
berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel
endogen, maka setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-
masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka
pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.
Selanjutnya karena model mengandung
persamaan simultan dan peubah bedakala (lag endogenous variabel), maka uji serial korelasi
dengan menggunakan statistik dw (Durbin
Watson Statistik) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah
serial korelasi (autocorrelation) atau tidak
dalam setiap persamaan maka digunakan uji statistik dh (Durbin-h statistiks) (pindyck dan
Rubinfeld, 1991), sebagai berikut:
dimana:
h = Angka statistik durbin-h d = dw statistik
n = Jumlah observasi, dan
Var (β) = Varian koefisien regresi untuk lagged dependent variabel
Apabila h-hitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam
persamaan tidak mengalami serial kolerasi.
Simulasi
Tujuan simulasi model adalah untuk melakukan pengujian dan evaluasi terhadap
model, mengevaluasi kebijakan-kebijakan pada
masa lampau, membuat peramalan untuk masa yang akan datang (Pyndick dan Rubinfield,
1991). Simulasi diperlukan untuk mempelajari
dampak perubahan peubah-peubah eksogen terhadap peubah-peubah endogen dalam model.
Peubah Eksogen:
R = Rendemen
BT = Bagi Hasil tetes BG = Bagi Hasil Gula
M = Mitra LH = Lahan
IR = Irigasi
I = Income
Peubah Endogen:
π = P.Q – Px.X – F
0 = P.MP – Px Px = P.MP Endogenus 1. π = PG.QG –BG 2. BG = 0,3 PGQG – BT 3. QG = QTRG 4. QT = f (bibit, pupuk, irigasi, LH, TK,
Kepras, T) 5. Pupuk = f (income, mitra)
Validasi Model Validasi model bertujuan untuk
mengetahui tingkat representasi model
dibandingkan dengan dunia nyata sebagai dasar untuk melakukan simulasi. Berbagai kriteria
statistik dapat digunakan untuk validasi model ekonometrika dengan membandingkan nilai-
nilai aktual dan dugaan peubah-peubah endogen
(Klein, 1993). Validasi model dilakukan dengan menggunakan Root Means Squares
Error (RMSE), Root Means Percent Squares
Error (RMSPE) dan Theil’ Inequality Coefficient (U) (Pindyck dan Rubinfield, 1991).
Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
40
dimana:
Yts = Nilai hasil simulasi dasar dari variable
observasi
Yta = Nilai actual variable observasi
n = Jumlah periode observasi
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah
endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur
nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu
mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk
mengetahui kemampuan model untuk analisis
simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Disamping itu, validasi
model juga dapat dijelaskan dari nilai koefisien determinsi (R2),semakin besar nilai tersebut
semakin besar proporsi variasi perubahan
peubahe ndogen yang dapat dijelaskan oleh variasi dalam peubah penjelas sehingga model
semakin baik.
Variabel yang Di Simulasi:
1. Apabila yang berubah adalah variabel R =
Rendemen, maka bagaimana dengan: a. Qg (Kuantitas Gula)
b. π (Pendapatan)
c. Bg (Bagi Hasil Gula) d. Pg (Harga Gula)
2. Apabila yang berubah adalah variabel BT=
Bagi Hasil Tetes, maka bagaimana dengan: a. Bg (Bagi Hasil Gula)
b. π (Pendapatan) 3. Apabila yang berubah adalah variabel I=
Income, maka bagaimana dengan:
a. TK (Tenaga Kerja) b. Bibit
c. Pupuk
4. Apabila yang berubah adalah variabel LH= Lahan, maka bagaimana dengan:
Qt (Kuantitas Tebu)
5. Apabila yang berubah adalah variabel Mitra, maka bagaimana dengan:
a. Qt (Kuantitas Tebu)
b. Pupuk c. TK (Tenaga Kerja)
d. Bibit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Usahatani Petani Tebu Rakyat
Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani
Tebu Rakyat Mandiri (TRM) 1. Biaya Usahatani
Biaya usahatani yang diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya tetap dan
biaya variabel. Berikut ini merupakan rincian
biaya-biaya tersebut:
a. Biaya Tetap
Biaya tetap merupakan biaya yang besar
kecilnya tidak dipengaruhi oleh nilai produksi. Biaya tetap yang diperhitungkan dalam
penelitian ini meliputi biaya sewa lahan.
Sementara itu dalam penelitian ini tidak dimasukkan biaya penyusutan alat dan pajak
sewa lahan sebagai komponen penyusun biaya tetap. Biaya penyusutan tidak dimasukkan
karena biaya tersebut telah tergabung dalam
unsur biaya garap.
Rata-rata biaya sewa lahan yang dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama
Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 8.925.000
dan rata-rata biaya sewa lahan pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah Rp.
8.909.091. Selisih biaya sewa lahan di antara
keduanya adalah sebesar Rp. 15.909. Adanya perbedaan nilai sewa tersebut disebabkan
karena beberapa faktor diantaranya letak lahan kaitannya dengan akses jalan,
kesuburan, jenis lahan (tegal atau sawah)
maupun kemudahan irigasi.
b. Biaya Variabel
Biaya variabel usahatani tebu meliputi biaya pupuk, biaya garap, jasa KUD/KPTR, fee
dan explo tetes, APTRI, fee lelang, zak, bunga pinjaman, dan biaya panen yang terdiri dari
biaya tebang dan angkut. Sementara itu biaya
bibit tidak dimasukkan dalam komponen penyusun biaya variabel karena sebagian besar
responden dalam penelitian ini melakukan usahatani tebu keprasan. Rincian biaya variabel
yang dikeluarkan petani responden ditunjukkan
dalam tabel 1.
41
Tabel 1. Rata-rata Biaya Variabel per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat
Kerjasama Usaha (TR KSU) dan
Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam
No Rincian Biaya
Variabel
Petani Tebu Rakyat
Kerjasama Usaha
(Rp/Ha)
Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha)
1 Biaya Garap 6.500.000 5.000.000 2 Biaya Pupuk
- ZA 855.000 1.020.000 - Phonska 1.162.500 1.080.000
3 Jasa KUD/KPTR 18.652 0 4 Fee & ExploTetes 41.967 37.925 5 APTRI 13.989 12.642 6 Fee Lelang 22.849 19.371 7 Zak 302.973 256.857 8 Bunga Pinjaman 455.000 0 9 Biaya Panen
- Tebang 3.823.650 4.213.864 - Angkut 2.238.234 2.528.318
Jumlah Biaya
Variabel 15.434.814 14.168.977
Sumber: Data Primer Diolah, 2013
Besarnya selisih rata-rata biaya variabel per ha pada petani Tebu Rakyat Kerjasama
Usaha (TR KSU) dan petani Tebu Rakyat
Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 1.265.837.
c. Total Biaya
Rata-rata total biaya usahatani pada
petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 24.359.814 per ha
dan rata-rata total biaya usahatani pada petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar
Rp. 23.078.068 (tabel 2). Total biaya yang
dikeluarkan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan
dengan total biaya yang dikeluarkan petani
Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan selisih sebesar Rp. 1.281.746. Adanya perbedaan
total biaya tersebut disebabkan karena beberapa hal diantaranya kelas lahan sewa
yang berbeda-beda, biaya garap berdasarkan
kebijakan pada masing-masing petani, bunga pinjaman, dan ada tidaknya pembayaran jasa
KUD/KPTR pada masing-masing petani.
Tabel 2. Rata-rata Total Biaya per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM)
Dalam Satu Musim Tanam
No Rincian Biaya Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha
(Rp/Ha)
Petani Tebu Rakyat Mandiri (Rp/Ha)
1 Biaya Tetap
- Biaya Sewa Lahan 8.925.000 8.909.091
Jumlah Biaya Tetap 8.925.000 8.909.091
2 Biaya Variabel
- Biaya Garap 6.500.000 5.000.000
- Biaya Pupuk
• ZA 855.000 1.020.000 • Phonska 1.162.500 1.080.000
- Jasa KUD/KPTR 18.652 0 - Fee & Explo Tetes 41.967 37.925 - APTRI 13.989 12.642
- Fee Lelang 22.849 19.371 - Zak 302.973 256.857 - Bunga Pinjaman 455.000 0 - Biaya Panen
• Tebang 3.823.650 4.213.864 • Angkut 2.238.234 2.528.318
Jumlah Biaya Variabel 15.434.814 14.168.977
Total Biaya Usahatani 24.359.814 23.078.068
Sumber: Data Primer Diolah, 2013
2. Penerimaan Usahatani
Perhitungan penerimaan usahatani tebu dilakukan dengan menghitung nilai gula dan
nilai tetes. Penerimaan petani tebu dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya rendemen,
jumlah fisik yang dihasilkan, dan harga lelang
gula. Jika ketiga faktor tersebut memiliki nilai
yang tinggi maka semakin tinggi pula penerimaan petani. Apabila rendemen konstan,
tetapi jumlah produksi dan harga lelang gula tinggi maka akan tetap memberikan penerimaan
yang tinggi bagi petani.
42
Tabel 3. Rata-rata Penerimaan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) dan Petani Tebu Rakyat
Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim Tanam
No Rincian Penerimaan Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha
Petani Tebu Rakyat Mandiri
1 Produksi Tebu/Ha/Kwi 933 843 2 Rendemen SHS 4,9% 4,6% 3 Produksi Gula 46 39
Penerimaan Hasil Gula Rp. 39.100.000 Rp. 33.150.000 4 Harga tetes Rp. 730 Rp. 730
Penerimaan Hasil Tetes Rp. 2.043.270 Rp. 1.846.170 Total Penerimaan Rp. 41.143.270 Rp. 34.996.170
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
3. Pendapatan Usahatani Hasil pendapatan yang diperoleh petani
pada penelitian ini lebih besar dibandingkan
dengan pendapatan petani yang lain karena semua petani di lokasi penelitian melakukan
usahatani dengan sistem kepras sehingga tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit. Rata-
rata pendapatan tiap hektar pada masing-
masing petani dapat dilihat dalam tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Rata-rata Pendapatan Per Ha Usahatani Tebu Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR
KSU) dan Petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Dalam Satu Musim
No Rincian Penerimaan
(Rp/Ha) Total Biaya
(Rp/Ha) Pendapatan
(Rp/Ha) Nilai t hitung
1 Petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha 41.143.270 24.359.814 16.783.456 6,176 2 Petani Tebu Rakyat Mandiri 34.996.170 23.078.068 11.918.102
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Berdasarkan tabel 4, pendapatan petani
Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar daripada petani Tebu Rakyat Mandiri
(TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani
pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap
hektar, sedangkan rata-rata pendapatan
usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap hektar.
Selisih pendapatan pada keduanya adalah
sebesar Rp. 4.865.354 tiap hektar.
Analisis Pengaruh Kemitraan Terhadap Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Tebu di PG. Candi Baru
1. Hasil Estimasi Model dan Validasi Model
Sistem SAS
Prosedur SYSLIN
Descriptif Statistik Uncorrected Std
Variables Sum Mean SS Variance Deviation
Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 d1 15.0000 0.5000 15.0000 0.2586 0.5085
The SYSLIN Procedure
Ordinary Least Squares Estimation
Model lI Dependent Variable lI
Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 0.334494 0.083624 1000000 <.0001
43
Error 25 2.18E-9 8.72E-11 Corrected Total 29 0.334494
Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00005
Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.492110 0.000347 4298.40 <.0001 lrendemen 1 0.946644 0.000119 7972.29 <.0001 llahan 1 5.861E-6 2.333E-6 2.51 0.0188 lBT 1 0.999999 0.000021 47517.5 <.0001 d1 1 0.000107 8.8E-6 12.19 <.0001
Interpretasi Dummy Intersep Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan
nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan
kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai F-
Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai
0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat
kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut
tergolong signifikan karena nilainya kurang dari
10%.
Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah:
Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes
+ 0,000107 D Berdasarkan nilai T dengan derajat
kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel -
variabel yang berpengaruh terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes
a. Rendemen = setiap penambahan
rendemen sebesar 1% akan meningkatkan
income sebesar 1 satuan.
b. Bagi Hasil tetes = setiap penambahan bagi hasil tetes
sebesar 1% akan
meningkatkan income sebesar 1
satuan.
Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86
lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 D
Jika D = 1 Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86
lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes + 0,000107 (1)
Income = 1,500107 + 0,95 rendemen +
5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes
Jika D = 0
Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86 lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes
+ 0,000107 (0) Income = 1,5 + 0,95 rendemen + 5,86
lahan + 0,99 Bagi Hasil Tetes
Berarti perbedaan produksi antara D = 1
dan D = 0 adalah 0,000107.
Sistem SAS
Prosedur SYSLIN
Descriptif Statistik
Uncorrected Std
Variables Sum Mean SS Variance Deviation
Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 slop 30096680 1003223 6.118E13 1.068E12 1033602
44
The SYSLIN Procedure
Ordinary Least Squares Estimation
Model lI
Dependent Variable lI Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 0.334494 0.083624 1000000 <.0001 Error 25 2.43E-9 9.72E-11 Corrected Total 29 0.334494
Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00006
Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.493557 0.000453 3296.73 <.0001 lrendemen 1 0.946685 0.000123 7687.57 <.0001 llahan 1 7.802E-6 2.418E-6 3.23 0.0035 lBT 1 0.999894 0.000025 39966.5 <.0001 slop 1 5.53E-11 4.84E-12 11.44 <.0001
Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan
nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan
kemampuan variabel dependen menjelaskan variabel independen sebesar 100%. Nilai F-
Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai
0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat
kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan demikian nilai F-hitung tersebut
tergolong signifikan karena nilainya kurang dari
10%.
Parameter estimasi Model yang dihasilkan adalah:
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8
lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes
Berdasarkan nilai T dengan derajat
kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income
adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan
rendemen sebesar 1%
akan meningkatkan income sebesar 1
satuan.
b. Bagi hasil tetes = setiap penambahan
bagi hasil tetes
sebesar 1% akan meningkatkan income
sebesar 1 satuan.
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8
lahan + (0,99 + 5,53 D) bagi hasil tetes
Jika D = 1
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8 lahan + (0,99 + 5,53 (1)) bagi
hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8
lahan + 6,52 bagi hasil tetes
Jika D = 0 Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8
lahan + (0,99 + 5,53 (0)) bagi
hasil tetes Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 7,8
lahan + 0,99 bagi hasil tetes
Berarti perbedaan produksi antara D = 1
dan D = 0 untuk bagi hasil tetes adalah 5,53.
45
Sistem SAS Prosedur SYSLIN
Descriptif Statistik
Uncorrected Std
Variables Sum Mean SS Variance Deviation
Intercept 30.0000 1.0000 30.0000 0 0 lI 523.1 17.4376 9122.4 0.0115 0.1074 lrendemen 46.6604 1.5553 72.6148 0.00143 0.0379 llahan 44.8461 1.4949 86.2485 0.6624 0.8139 lBT 434.2 14.4731 6284.3 0.00815 0.0903 d1 15.0000 0.5000 15.0000 0.2586 0.5085 slop 30096680 1003223 6.118E13 1.068E12 1033602
The SYSLIN Procedure
Ordinary Least Squares Estimation
Model lI Dependent Variable lI
Analysis of Variance
Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 0.334494 0.066899 1000000 <.0001 Error 24 2.182E-9 9.09E-11 Corrected Total 29 0.334494
Root MSE 0.00001 R-Square 1.00000 Dependent Mean 17.43757 Adj R-Sq 1.00000 Coeff Var 0.00005
Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1.492055 0.001005 1484.92 <.0001 lrendemen 1 0.946644 0.000122 7779.86 <.0001 llahan 1 5.795E-6 2.632E-6 2.20 0.0376 lBT 1 1.000002 0.000070 14348.8 <.0001 d1 1 0.000111 0.000067 1.66 0.1097 slop 1 -204E-14 3.49E-11 -0.06 0.9539
Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan
nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen menjelaskan
variabel independen sebesar 100%. Nilai F-hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan
nilai signifikansinya dari F menunjukkan nilai
0,0001 atau 0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%,
dengan demikian nilai Fhitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari
10%.
Parameter Estimasi Model yang dihasilkan adalah:
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + (1 + 0,0001 D) bagi
hasil tetes – 204 D
Berdasarkan nilai T dengan derajat
kesalahan sebesar 10% menunjukkan variabel – variabel yang berpengaruh terhadap income
adalah rendemen dan bagi hasil tetes. a. Rendemen = setiap penambahan
rendemen sebesar 1%
akan meningkatkan income sebesar 1
satuan. b. Bagi hasil tetes = setiap penambahan
bagi hasil tetes
sebesar 1% akan meningkatkan income
sebesar 1 satuan.
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795
lahan + (1 + 0,0001 D) bagi hasil tetes – 204 D
46
Jika D = 1
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795
lahan + (1 + 0,0001 (1)) bagi hasil tetes – 204 (1)
Income = 205,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1,0001 bagi
hasil tetes
Jika D = 0
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795
lahan + (1 + 0,0001 (0)) bagi hasil tetes – 204 (0)
Income = 1,49 + 0,95 rendemen + 5,795 lahan + 1 bagi hasil tetes
Berarti perbedaan produksi antara D = 1 dan D = 0 untuk intersep adalah 204 sedangkan
untuk bagi hasil tetes adalah 0,0001
2. Simulasi 1. Variabel R (Rendemen)
a. Apabila R (rendemen) meningkat maka
pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga
akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka
akan meningkatkan π (Pendapatan).
c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg (bagi hasil gula) yang didapat semakin
tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi
perubahan maka tidak akan
mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula)
tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi
oleh kualitasnya.
2. Variabel BT (Bagi Hasil Tetes) a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak
akan berubah terhadap Bg (bagi hasil
gula), karena tetes merupakan produk sampingan dari gula sehingga
dibagikan atau tidak tidak akan
mempengaruhi jumlah gula. Karena tetes merupakan sisa hasil produksi
gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg
(bagi hasil gula).
b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π
(pendapatan) petani.
3. Variabel I (Income)
I (Income) mempengaruhi daya beli petani sehingga mampu meningkatkan kemampuan
menambah bibit dalam jumlah yang lebih
banyak, menambah tenaga kerja serta meningkatkan penggunaan pupuk.
4. Variabel Lahan Semakin luas areal maka Qt (kuantitas
tebu) semakin banyak.
5. Variabel Mitra
a. Dengan bermitra, maka akan meningkatkan Qt (kuantitas) tebu,
karena tujuan petani bermitra adalah
untuk meningkatkan produktifitas. Melalui bimbingan teknik budidaya
tebu sesuai dengan baku teknis. b. Dengan adanya kemitraan, maka akan
mengurangi biaya produksi dari segi
pengadaan pupuk, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani
mitra.
c. Apabila petani bermitra, maka akan mendapatkan bantuan modal sehingga
mampu meningkatkan tenaga kerja. d. Dengan adanya kemitraan, maka akan
mengurangi biaya produksi dari segi
pengadaan bibit, dikarenakan adanya subsidi dari pemerintah bagi petani
mitra.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan di PG.
Candi Baru, Kecamatan Candi, Kabupaten
Sidoarjo mengenai analisis pengaruh kemitraan terhadap efisiensi penggunaan faktor produksi
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendapatan petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) lebih besar dibandingkan
petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) dengan rata-rata pendapatan usahatani
pada petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha
(TR KSU) adalah sebesar Rp. 16.783.456 tiap ha, sedangkan rata-rata pendapatan
usahatani petani Tebu Rakyat Mandiri
(TRM) adalah sebesar Rp. 11.918.102 tiap ha. Perbedaan tersebut disebabkan petani
Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR KSU) selalu diberikan pembinaan oleh PG. Candi
Baru karena merupakan petani mitra
sedangkan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) tidak. Jadi PG. Candi Baru
menyediakan petunjuk baku teknis budidaya tebu yang dianjurkan untuk
petani Tebu Rakyat Kerjasama Usaha (TR
KSU) dan sebagai penunjang dari kegiatan pembinaan kepada petani mitra maka pada
setiap wilayah PG dibentuk satu Forum
47
Temu Kemitraan (FTK) dan pada setiap wilayah Kecamatan dibentuk satu FTW
(Forum Temu Wilayah). Selain itu
besarnya biaya panen yang terdiri dari biaya tebang dan angkut pada petani Tebu
Rakyat Mandiri (TRM) lebih besar dibandingkan petani Tebu Rakyat
Kerjasama Usaha (TR KSU). Hal ini
dikarenakan kuantitas trast (kotoran tebu) petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) lebih
banyak, sehingga membutuhkan biaya
yang lebih besar. 2. Berdasarkan nilai R-Square menunjukkan
nilai 1,00 atau 100%. Hal ini menunjukkan kemampuan variabel dependen
menjelaskan variabel independen sebesar
100%. Nilai F- Hitung menunjukkan nilai 1000000 sedangkan nilai signifikansinya
dari F menunjukkan nilai 0,0001 atau
0,01%. Berdasarkan derajat kesalahan yang dipilih adalah sebesar 10%, dengan
demikian nilai F-hitung tersebut tergolong signifikan karena nilainya kurang dari
10%.
3. Berdasarkan nilai T dengan derajat kesalahan sebesar 10% menunjukkan
variabel – variabel yang berpengaruh
terhadap income adalah rendemen dan bagi hasil tetes.
4. Variabel yang di simulasi adalah R (rendemen), BT (Bagi Hasil Tetes), I
(Income), LH (Lahan), dan variabel Mitra.
5. Hasil simulasi Variabel R (Rendemen): a. Apabila R (rendemen) meningkat maka
pengaruh ke Qg (Kuantitas Gula) juga
akan meningkat. b. Apabila R (rendemen) meningkat maka
akan meningkatkan π (Pendapatan). c. Semakin besar R (rendemen) maka Bg
(bagi hasil gula) yang didapat semakin
tinggi. d. Apabila R (rendemen) terjadi
perubahan maka tidak akan
mengakibatkan perubahan pada Pg (harga gula), karena Pg (harga gula)
tidak dipengaruhi oleh kuantitasnya tapi oleh kualitasnya.
6. Hasil simulasi Variabel BT (Bagi Hasil
Tetes): a. Jika BT (bagi hasil tetes) berubah tidak
akan berubah terhadap Bg (bagi hasil gula), karena tetes merupakan produk
sampingan dari gula sehingga
dibagikan atau tidak tidak akan mempengaruhi jumlah gula. Karena
tetes merupakan sisa hasil produksi
gula, dilakukan bagi hasil atau tidak. Maka tidak akan mempengaruhi Bg
(bagi hasil gula).
b. Jika BT (bagi hasil tetes) ditiadakan maka dampaknya terjadi penurunan π
(pendapatan) petani.
DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi, Dianto. 1996. Kondisi Pembaruan
Agraria di Indonesia, a paper for KPA’s
internal discussion. Boediono. 1986. Teori Pertumbuhan Ekonomi.
BPFE-UGM. Yogyakarta. Drapper, N. and H. Smith. 1992. Analisis
Regresi Terapan. Edisi Kedua. Terjemahan
Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta. Eko, R. 2006. Ragam Model Bisnis Kemitraan
Pemerintah-Swasta. Perbanas (STMIK).
Jakarta. Hafsah, J. 2000. Kemitraan Usaha Konsepsi
dan Strategi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Matodierso dan Suryanto. 2006. Agribisnis
Kemitraan Usaha Bersama. Kanisius. Yogyakarta.
Pakpahan, Agus. 2004. Petani Menggugat. Max
Havelar Indonesia Foundation. Jakarta. Pindyck, R. S. dan D. L. Rubinfeild. 1991.
Econometric Models and Economic Forcasts. Third Edition. McGarw-Hill Inc.,
New York.
Saptana. 2009. Strategi Kemitraan Usaha Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing
Agribisnis Cabai Merah di Jawa Tengah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta.
Saragih, B. 2001. Suara dari Bogor Membangun Sistem Agribisnis.
SUCOFINDO. Jakarta.
Soedarmanto, 2003. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian. Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Toharisman. 2005. Potensi Pengembangan
Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia (P3GI). Pasuruan. Umar, Husein. 2003. Metode Riset Bisnis. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
48
GRAFTING: Vol. 4 No. 1 Maret 2014: 48 - 55 ISSN : 2088-2440
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS PETANI PASCA
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
(Studi Kasus pada Usahatani Padi di Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji,
Kabupaten Malang)
Febriananda Faizal
Fakultas Pertanian Universitas Islam Balitar (UNISBA) Blitar
Email: [email protected]
Abstract: The purpose of this study were (1) Describe the farmer decisions in purchasing
organic fertilizer in the area of research, (2) To analyze the satisfaction of rice farmers
after the use of organic fertilizers, (3) To analyze the loyalty of rice farmers after the use of organic fertilizers. Kebonagung village, District Pakisaji, Malang is one of the villages
that participated in the program Gerakan Produksi Pangan berbasis Korporasi (GP3K)
which aims to increase rice production of 7 tonnes / ha up to 8 to 8.5 tonnes / ha where the program is encouraged to apply a balanced fertilizer is 5: 3: 2. Comparison of
fertilizer consists of organic fertilizers Petroganik 500 kg, 300 kg NPK (Phonska) and 200 kg Urea. Based on village profile Kebonagung agricultural land paddy ± 45 ha with
an average yield of 6-7 tonnes / ha depending on the season. The production of rice in the
village Kebonagung deemed not maximized so that rice production can be increased again. One of the factors supporting the rice production is the use of fertilizer inputs.
Balanced use of fertilizers which can support rice production so that the results can be as
expected by the farmers. If the yield obtained in accordance with the expectations of the farmers it will affect farmers' satisfaction and loyalty fertilizer use. Based on the analysis
of decision-making description of farmers in the purchase of organic fertilizer Petroganik has gone through a series of stages of decision-making that needs recognition,
information search, evaluation of alternatives, decision-making and results. Based on the
analysis of Customer Satisfaction Index (CSI) is obtained farmer satisfaction index score of 62.64% is included in a range of scales fairly satisfied overall, which means farmers
who use organic fertilizers Petroganik are sufficiently satisfied with the attributes of
organic fertilizer Petroganik. Farmer satisfaction index remains below 100 percent indicates that it is necessary to increase on some attributes. Based on the analysis
Importance Performance Analysis (IPA) obtained some attributes that have a high level of interest and the level of performance is low and in need of repair are the benefits,
nutrient content and influence on the productivity of the plant. Based on theresults ofthe
analysisshowed thatloyaltypyramidoffivecategories ofthe loyalty ofthe majority offarmersare in thecategory ofhabitual buyer. There are39farmers, or 97.5% of farmersin
this category. This showsthat theloyaltyof farmersin usingorganic
fertilizersPetroganikbecause it usedin its use. Keywords: satisfaction,loyalty, organic fertilizer Petroganik, CSI, IPA, the loyalty
pyramid
PENDAHULUAN
Pada tahun 2011 sekitar 33 juta Ha lahan
pertanian Indonesia mengalami penurunan kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk
anorganik (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat Bogor, 2011). Penurunan tersebut diakibatkan oleh penggunaan pupuk anorganik
seperti Urea, ZA, dan TSP yang terus menerus
tanpa diimbangi dengan penggunaan pupuk
organik. Salah satu program pemerintah yang
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan kesejahteraan petani
adalah program Gerakan Peningkatan Produksi
Pangan berbasis Korporasi (GP3K). Program ini memberikan pengawalan aplikasi
pemupukan berimbang kepada petani dengan
komposisi 5:3:2. Komposisi 5:3:2 yaitu 500 kg
49
Petroganik, 300 kg NPK (Phonska) dan 200 kg Urea untuk setiap ha. Pengkajian anjuran
pemupukan 5:3:2 dilakukan pada lahan sawah
1 ha di 82 kabupaten di Jawa. Hasilnya, melalui penerapan pemupukan berimbang
mampu meningkatkan produksi padi dari 7 ton gabah kering panen (GKP) menjadi 8 - 8,5 ton
gabah kering panen (GKP) per ha (PT
Petrokimia Gresik, 2011). Berdasarkan hasil positif tersebut, pemerintah menghimbau para
petani untuk mau menerapakan pemupukan
berimbang 5:3:2 untuk menjaga keseimbangan lahan pertanian dan untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan padi. Akan tetapi di desa Kebonagung
kecamatan Pakisaji kabupaten Malang yang
merupakan salah satu desa yang ikut serta dalam program GP3K di Jawa Timur hasil
produksi padi tidak sesuai dengan yang
disosialisasikan oleh pemerintah. Rata-rata hasil produksi padi sebesar 6 – 7 ton/hektar,
peningkatan yang terjadi tidak begitu signifikan sehingga petani merasa belum
merasakan hasil yang memuaskan. Hasil
produksi padi di Desa Kebonagung dirasa belum maksimal sehingga produksi padi dapat
ditingkatkan lagi. Penggunaan pupuk yang
berimbang dapat menunjang produksi padi sehingga hasil yang diperoleh meningkat
seperti yang diharapkan oleh petani. Apabila hasil produksi yang diperoleh sesuai dengan
harapan petani maka akan mempengaruhi
petani terhadap kepuasan dan loyalitas penggunaan input pupuk.
Penelitian ini bertujuan untuk (1)
mendeskripsikanpengambilan keputusan petani dalam pembelian pupuk organik di daerah
penelitian, (2) menganalisis tingkat kepuasan petani pasca penggunaan pupuk organik di
daerah penelitian, (3) menganalisis tingkat
loyalitas petani pasca penggunaan pupuk organik di daerah penelitian.
METODE PENELITIAN
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu di Desa
Kebonagung. Pemilihan sampel dilakukan
pada kelompok tani “Rias” dengan metode random sampling (acak) karena populasi
dianggap homogen. Jumlah sampel diperoleh sebanyak 40 petani dengan menggunakan
rumus Slovin. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara mendalam menggunakan kuisoner. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis
Deskriptif, Customers Satisfaction Index (CSI), Importance Performance Analysis (IPA) dan
Piramida Loyalitas.
Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan proses keputusan pembelian yang terdiri dari lima tahapan yaitu pengenalan
kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi
alternatif, keputusan pembelian dan hasil.
Analisis Custumers Satisfaction Index (CSI) Customer Satisfaction Index (CSI)
digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan
konsumen secara menyeluruh dengan melihat tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan
dengan tingkat kinerja dari atribut-atribut
produk/jasa. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan Mean Importance Score
(MIS) dan Mean Satisfaction Score (MSS).
Ket:
n : Jumlah responden Xi : Nilai kinerja atribut ke-i
Yi : Nilai kepentingan atribut ke-i
i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i) 2. Menghitung Weigh Factor (WF)
Ket: p : Jumlah atribut kepentingan
i : Atribut ke-i (1, 2, 3 ... i)
3. Selanjutnyamenghitung Weight Score (WS).
4. MenghitungCustomer Satisfaction Index
(CSI), dengan rumus:
Ket: HS : Skala maksimal yang digunakan
Tingkat kepuasan responden secara
menyeluruh dapat dilihat dari kriteria kepuasan konsumen dalam tabel berikut:
Tabel 1. Kriteria Kepuasan Konsumen
Nilai CSI Kriteria CSI
0,81-1,00 Sangat Puas
0,66-0,80 Puas 0,51-0,65 Cukup Puas
0,35-0,50 Kurang Puas
0,00-0,34 Tidak Puas
Sumber: Amiliyah, 2006 dalam Afifi, 2007
50
Importance Performance Analysis (IPA) Menurut Supranto dalam Manullung
2008, Importance Performance Analysis(IPA) adalah suatu metode yang menganalisis sejauh
mana tingkat kepuasan seseorang terhadap
kinerja suatu produk. Berikut adalah langkah-langkah perhitungan Importance Performance
Analysis (IPA):
1. Menentukan tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerja
dengan rumus:
Ket: TKi: Tingkat kesesuaian
Xi : Skor penilaian kinerja Yi : Skor kepentingan petani
i : Atribut ke-n (i = 1, 2, 3, ... n)
2. Menghitung rata-rata untuk setiap atribut yang dipersepsikan oleh petani, dengan
rumus:
Ket:
:Skor rata-rata dari atribut kinerja pupuk organik
: Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani
n : Jumlah responden petani i : Atribut
3. Menghitung rata-rata seluruh atribut
tingkat kepentingan (y) dan kinerja (x) dengan rumus:
Ket:
: Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kinerja
: Skor rata-rata dari rata-rata atribut tingkat kepentingan
: Skor rata-rata dari atribut kinerja
pupuk organik
: Skor rata-rata dari atribut tingkat kepentingan petani
k : Banyaknya atribut 4. Masukan nilai ke dalam diagram kartesius
Gambar 1.Matriks Importance Performance Analysis
Piramida Loyalitas Terdapat 5 kategori loyalitas yaitu tingkat
switcher buyer(berganti-ganti merek),habitual buyer (kebiasaan pembelian), satisfied buyer
(kepuasan pembelian), liking the
brand(menyukai merek) dan committed buyer (komitmen pembelian). Oleh karena itu perlu
diketahui jumlah variabel pada tiap variabel,
serta jumlah skor terendah dan tertinggi. Perhitungan kisaran nilai disajikan dalam
tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Elemen Pada Tiap Variabel
No Variabel Jumlah
Atribut
Jumlah
Skala
Skor
Terendah Tertinggi
1 Switcher
buyer 2 3 2 6
2 Habitual
buyer 4 3 4 12
3 Satisfied
buyer 3 3 3 9
4 Liking the
brand 4 3 4 12
5 Committed
buyer 3 3 3 9
Dalam penelitian ini untuk menentukan
klasifikasi konsumen dilakukan dengan membuat selang kelas. Dari selang kelas
tersebut akan diklasifikasikan konsumen-konsumen yang termasuk dan tidak termasuk
pada tiap-tiap tingkatan loyalitas. Perhitungan
rentang skala dilakukan setelah mengetahui selang kelas:
51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses keputusan terdiri dari lima tahapan
yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan
pembelian, dan tahap pasca pembelian.
Mengenai tahapan-tahapan proses keputusan pembelian pupuk organik merek Petroganik
akan dijelaskan sebagai berikut.
Analisis Deskriptif
1. Tahapan Pengenalan Kebutuhan Motivasi petani responden di Desa
Kebonagung memilih bertani padi karena
paling besar bertujuan untuk memperoleh keuntungandan menjadikan sebagai pekerjaan
utama (45%), selain itu petani termotivasi
bertani padi karena memiliki lahan sawah warisan dan menjadikan bertani sebagai
pekerjaan sampingan (20%) dan motivasi petani bertani padi yang terkahir karena
merupakan pekerjaan turun temurun (35%).
Petani menilai penggunaan pupuk organik cukup penting (42,5%) dengan harapan
produktivitas padi akan meningkat (67,5%).
Harapan lain yang diinginkan petani dengan penggunaan pupuk organik adalah tanah sawah
mereka menjadi lebih subur dan gembur (32,5%).
2. Tahapan Pencarian Informasi Sebagian besar informasi mengenai pupuk
organik diperoleh petani dari Petugas Penyuluh
Lapang (PPL) (72,5%) yang menganjurkan dan
mewajibkan penggunaan pupuk organik sehingga informasi yang diberikan oleh
Petugas Penyuluh Lapang (PPL) merupakan informasi yang sangat dipercaya oleh petani
(100%). Selain dari Petugas Penyuluh Lapang
(PPL), petani memperoleh informasi dari keluarga/teman dan penjual/iklan.
3. Tahapan Evaluasi Altrenatif Adapun kriteria evaluasi yang ditentukan
oleh petani yaitu merek, harga dan kepraktisan
dalam pengaplikasian. Jika dibandingkan dengan kinerja produk lain yang
dipertimbangkan, pupuk organik memiliki
merek dagang yang cukup dikenal oleh masyarakat (12,5%) sehingga masyarakat
sudah percaya terhadap merek dagang tersebut. Selain itu, harga yang tergolong murah
(62,5%) karena pupuk organik merupakan
pupuk bersubsidi dan yang terakhir pengaplikasian pupuk organik yang mudah
(25%).
4. Tahapan Keputusan Pembelian Keputusan pembelian pupuk organik yang
dilakukan oleh petani sebagian besar sudah
terencana (60%), biasanya rencana pembelian dilakukan sebelum pengolahan tanah. Sisanya
pembelian dilakukan tergantung situasi atau
kebutuhan (40%). Semua petani di Desa Kebonagung membeli pupuk organik di toko
pertanian di daerah tersebut (100%) dengan
alasan toko pertanian tersebut merupakan satu-satunya toko pertanian yang ada di daerah
tersebut (47,5%), alasan lain yaitu merupakan langganan petani (32,5%) dan pemiliki toko
pertanian merupakan anggota kelompok tani
(20%). Cara pembayaran yang dilakukan petani
pada saat pembelian pupuk organik dengan
cara membayar langsung atau tunai (70%), sebagian kecil petani membayar kredit (30%)
yaitu dengan cara membayar setengah harga dan sisanya dibayar pada saat panen atau bisa
sebelum panen. Terdapat berbagai jenis
kemasan dari pupuk organik, dan kemasan yang biasa dibeli oleh petani yaitu kemasan 40
kg (100%) karena kebutuhan yang banyak dan
toko pertanian hanya menyediakan kemasan 40 kg.
5. Tahapan Hasil Petani responden merasa cukup puas
terhadap hasil dari penggunaan pupuk organik
(50%), dengan berbagai alasan diantaranya, harga yang cukup murah. Jika terjadi kenaikan
harga pupuk organik yang biasa dibeli, semua
petani akan terus membeli (100%) karena penggunaan pupuk anorganik harus dicampur
dengan penggunaan pupuk organik. Apabila pupuk organik yang biasa dibeli
tidak tersedia di tempat biasa membeli,
sebagian besar petani akan menunggu sampai pupuk organik tersedia (47,5%). Beberapa
petani memilih untuk mengurungkan niatnya
membeli pupuk (17,5%), mencari ke tempat lain (12,5%), membeli pupuk organik lain
(15%) dan ada yang bertanya ke Petugas Penyuluh Lapang (PPL) (7,5%).
Analisis Customers Satisfaction Index (CSI) 1. Analisis Tingkat Kepentingan
AtributPupuk Organik
52
Tabel 3. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kepentingan Atribut Pupuk Organik
Atribut
Skor Tingkat Kepentingan
Atribut Nilai
Total
Mean Score (ei)
Kategori
1 2 3 4 5
Manfaat 0 2 3 6 17 178 4,45 Sangat
Penting
Kandungan Unsur Hara 0 0 11 10 19 168 4,20 Sangat
Penting Bentuk Pupuk 4 22 13 1 0 91 2,27 Tidak Penting
Kemasan 0 1 11 14 14 161 4,02 Penting
Petunjuk Guna 17 21 2 0 0 65 1,62 Sangat Tidak
Penting Pengaruh terhadap Produktivitas
Tanaman 0 1 2 11 26 182 4,55
Sangat
Penting
Kemudahan Pengaplikasian 0 2 15 21 2 143 3,58 Penting
Ramah Lingkungan 0 3 13 20 4 145 3,63 Penting Kemudahan Memperoleh Pupuk 0 7 12 21 0 134 3,35 Penting
Harga 0 2 10 28 0 146 3,65 Penting
Merek 11 16 12 1 0 83 2,07 Tidak Penting
2. Analisis Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik Petroganik Tabel 4. Persepsi Petani terhadap Tingkat Kinerja Atribut Pupuk Organik
Atribut Skor Tingkat Kinerja Atribut Nilai
Total
Mean Score (bi)
Kategori 1 2 3 4 5
Manfaat 12 20 8 0 0 76 1,90 Tidak
Bermanfaat Kandungan Unsur Hara 11 21 7 1 0 78 1,95 Sedikit Hara
Bentuk Pupuk 0 1 8 17 14 164 4,10 Sesuai
Kemasan 0 1 10 14 15 163 4,07 Sesuai
Petunjuk Guna 16 19 4 1 0 70 1,75 Sangat Tidak Sesuai
Pengaruh terhadap Produktivitas
Tanaman 10 24 4 2 0 78 1,95
Tidak
Berpengaruh
Kemudahan Pengaplikasian 0 0 10 14 16 166 4,15 Mudah Ramah Lingkungan 0 1 4 11 24 178 4,45 Sangat Ramah
Kemudahan Memperoleh Pupuk 0 1 9 15 15 164 4,10 Mudah
Harga 0 1 6 22 11 163 4,07 Murah
Merek 17 20 2 1 0 67 1,67 Sangat Tidak Tersedia
3. Kepuasan Petani Pasca Penggunaan Pupuk Organik Petroganik Tabel 5. Hasil Perhitungan Nilai Customer Satisfaction Index (CSI)
No Atribut (Variabel)
MIS
(a)
MSS
(b)
WFi
(c) WSi
Y X (a)/(b) (c) x (d)
1 Manfaat 4,450 1,900 0,12 0,23
2 Kandungan Unsur Hara 4,200 1,950 0,11 0,22
3 Bentuk Pupuk 2,275 4,100 0,06 0,25 4 Kemasan 4,025 4,075 0,11 0,44
5 Petunjuk Guna 1,625 1,750 0,04 0,08
6 Pengaruh Produktivitas Tanaman 4,550 1,950 0,12 0,24 7 Kemudahan Pengaplikasian 3,575 4,150 0,10 0,40
8 Ramah Lingkungan 3,625 4,450 0,10 0,43
9 Kemudahan dalam Memperoleh Pupuk 3,350 4,100 0,09 0,37
10 Harga 3,650 4,075 0,10 0,40 11 Merek 2,075 1,675 0,06 0,09
Jumlah 37,400 (d) Weight Average Total 3,132
CSI 62,64%
53
Tabel 5 menunjukkan hasil perhitungan analisis Customer Satisfaction Index (CSI)
pada pupuk organik Petroganik memperoleh
skor sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam rentang skala 40%
<CSI ≤ 60% yang berarti bahwa tingkat kepuasan petani termasuk dalam kategori
cukup puas. Tingkat kepuasan petani ini
dipengaruhi kinerja dari atribut-atribut pupuk organik Petroganik yang kurang berjalan
maksimal sesuai harapan petani sehingga
menjadikan tingkat kepuasan masih rendah. Hasil cukup puas tentu harus lebih
ditingkatkan sehingga petani bisa mencapai rasa puas atau bahkan hingga sangat puas.
Importance Performance Analysis (IPA) Indeks kepuasan petani yang
menggunakan pupuk organikPetroganik masih
berada dibawah 100% mengindikasikan bahwa memang perlu dilakukan upaya
peningkatan.Oleh sebab itu, usaha yang dapat dilakukan produsen dalam meningkatkan
kepuasan petani padi menggunakan pupuk
organikPetroganik adalah dengan pendekatan peningkatan kinerja. Setelah dilakukan
perhituangan, kemudian hasil dimasukkan
dalam diagram kartesius dan diperoleh sebagai berikut:
Gambar 2. Diagram Kartesius Pupuk Organik
Petroganik
Hasil diagram kartesius berdasarkan
gambar diatas dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Atribut-atribut pada kuadran I
dianggap penting oleh petani tetapi pada
kenyataannya atribut-atribut tersebut belum memberikan kinerja yang sesuai dengan
kepentingan petani. Atribut pada kuadran I ini harus mendapatkan perhatian lebih agar kinerja
atribut tersebut dapat meningkat. Adapun
atribut yang masuk dalam kuadran I adalah
manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh terhadap produktivitas tanaman.
Tabel 6. Pembagian Atribut dalam Kuadran Kuadran I Kuadran II Kuadran
III
Kuadran
IV
Manfaat Kemasan Petunjuk
Guna
Bentuk
Pupuk
Kandungan Unsur Hara
Kemudahan Pengaplikasian
Merek
Pengaruh
Produktivitas
Tanaman
Ramah
Lingkungan
Kemudahan
dalam
Memperoleh
Pupuk
Harga
Piramida Loyalitas Loyalitas konsumen memberikan
gambaran tentang mungkin tidaknya seorang
konsumen beralih ke produk / merek yang lain,
terutama jika pada produk tersebut didapati adanya suatu perubahan, baik menyangkut
harga maupun perubahan pada atribut yang lain. Untuk mengetahui loyalitas petani dengan
cara menggolongkan responden yang menjadi
swithcer buyer, habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan committed buyer.
1. Switcher Buyer
Gambar 3. Kategori petani pada tingkat loyalitas Switcer Buyer
Pada kategori ini variabel yang digunakan adalah harga dan ketersediaan pupuk di kios
pertanian. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa petani di Desa Kebonagung yang
menggunakan pupuk organik Petroganik secara
keseluruhan yaitu 100% tidak berpindah-pindah merek dikarenakan harga yang cukup
terjangkau yaitu Rp. 500 dan ketersediaan
pupuk organik Petroganik di kios pertanian yang selalu tersedia.
2. Habitual Buyer Variabel yang digunakan dalam kategori
ini adalah kecocokan produktivitas, kecocokan bentuk, aman dan pengaruh dari
orang lain Diperoleh hasil sebesar 97,5% atau
54
sebanyak 39 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik sudah terbiasa dalam
penggunaan pupuk organik Petroganik.
Karena penggunaan pupuk organik Petroganik dalam budidaya padi telah dilakukan sejak
lama atau sekitar 5 tahun terakhir.
Gambar 4. Kategori petani pada tingkat
loyalitas Habitual Buyer
3. Satisfied Buyer
Gambar 5. Kategori petani pada tingkat
loyalitas Satisfied Buyer
Variabel yang digunakan dalam kategori
ini adalah hasil panen, adaptasi pupuk dan ramah lingkungan Diperoleh hasil sebesar
57,5% atau sebanyak 23 petani yang menggunakan pupuk organik Petroganik puas
dengan atribut yang telah diberikan oleh pupuk
organik Petroganik sehingga mereka tidak akan berpindah kepada merek lain
4. Liking the Brand
Gambar 6. Kategori petani pada tingkat loyalitas Satisfied Buyer
Adapun variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah merek pupuk, kualitas,
pengaruh lingkungan dan pengalaman.
Sebanyak 27,5% atau 11 orang petani loyal terhadap merek pupuk organik Petroganik.
5. Committed Buyer
Gambar 7. Kategori petani pada tingkat loyalitas Committed Buyer
Variabel yang digunakan dalam kategori ini adalah komitmen, rekomendasi dan
informasi. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa sebanyak 55% atau 22 petani termasuk
dalam kategori committed buyer
Pada penelitian ini menggunakan teori yang sudah dikembangkan oleh Himawan
(2013) dimana tidak menggunakan tingkatan
loyalitas seperti pada teori piramida loyalitas tetapi menggunakan istilah “kategori”. Istilah
kategori dikarenakan variabel-variebel disetiap kategorinya berbeda-beda. Bentuk dari
kategori loyalitas ini juga berbeda dengan
bentuk piramida loyalitas, akan tetapi berbentuk parsial. Dalam bentuk parisal
tersebut masing-masing kategori tersusun
dalam bentuk grafik dan jika diaplikasikan akan muncul persentase dari masing-masing
kategori tersebut. Pada pengembangan teori ini bentuk dari
kategori loyalitas yaitu berbentuk parsial,
masing-masing konsumen dapat masuk ke dalam kategori loyalitas yang telah ditentukan
dan apabila diaplikasikan akan muncul
persentase pada setiap kategori loyalitas seperti pada Gambar 8.
Teori baru ini mempunyai keunggulan yaitu setiap konsumen dapat masuk kedalam
kategori loyalitas yang sudah ditentukan.
Persentase dari setiap kategori mempunyai batas maksimal yaitu 100%. Sehingga
berdasarkan persentase tersebut akan muncul
kategori yang paling dominan, yang dapat digunakan untuk menentukan kategori mana
yang membuat konsumen loyal terhadap produk dan terus membeli merek yang sama.
55
100%
50%
0%
97,5%
Habitual
Buyer 57,5%
Satisfied
Buyer
55,5%
Commited
Buyer 27,5%
Liking the
Brand
0%
Switcher Buyer
Gambar 8. Diagram Kategori Loyalitas Merek
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Berdasarkan teori mengenai tahapan
keputusan pembelian bahwa petani di
Desa Kebonagung dalam melakukan
pembelian pupuk organik Petroganik melalui kelima proses keputusan
pembelian yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif,
keputusan pembelian dan hasil pembelian.
2. Berdasarkan hasil perhituangan Customer Satisfaction Index (CSI) dan Importance
Performance Analysis (IPA) diperoleh
sebagai berikut: a. Nilai Customer Satisfaction Index
(CSI) sebesar 62,64%. Hasil perhitungan tersebut termasuk dalam
rentang skala 40% <CSI ≤ 60% yang
berarti secara keseluruhan petani yang menggunakan pupuk organik
Petroganik cukup puas terhadap atribut
pupuk organik Petroganik. b. Hasil analisis diagram kartesius
dengan metode Importance Performance Analysis (IPA) diperoleh
hasil atribut yang masuk dalam
kuadran I ini harus mendapatkan perhatian lebih agar kinerja atribut
tersebut dapat meningkat adalah
Manfaat, Kandungan Unsur Hara dan Pengaruh terhadap Produktivitas
Tanaman. Ketiga atribut tersebut perlu
dilakukan perbaikan kinerja oleh
perusahaan.
3. Berdasarkan analisis piramida loyalitas, sebagian besar petani berada pada
karegori habitual buyer. Terdapat 39 petani atau 97,5% petani dalam kategori
ini. Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas
petani dalam menggunakan pupuk organik Petroganik karena terbiasa dalam
penggunaannya.
Saran
Sesuai dengan hasil penelitian, produsen perlu melakukan pembenahan pada atribut
manfaat, kandungan unsur hara dan pengaruh
terhadap produktivitas agar lebih baik lagi karena petani merasa penggunaan pupuk
organik tidak berpengaruh terhadap
produktivitas padi sehingga kepuasan petani belum tercapai dikarenakan kinerja pupuk
organik belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh petani.
Bagi pemerintah dapat digunakan untuk
bahan perbaikan program yang telah dilakukan dan dapat digunakan untuk evaluasi program
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, M. F. 2007. Analisis Kepuasan
Konsumen terhadap Atribut Sayuran
Organik Dan Penerapan Personal Selling Benny’s Organic Garden. Sarjana
Ekstensi Manajemen
Himawan.2013. Analisis Kepuasan dan Loyalitas Petani terhadap Pupuk Organik
merek "Super Petroganik".Skripsi. Fakultas Pertanian Unversitas Brawijaya.
Malang
Manullang, S. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen SPBU Shell Di DKI
Jakarta.Program Studi Manajemen Dan
Bisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertaniaan Bogor. Bogor
Nazir, Moh. 2002. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
56