Pendekatan Studi Fiqh

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Fiqh

Citation preview

PENDEKATAN STUDI FIQHTuti Marlina (1476 0006)Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah IbtidaiyahPascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim [email protected]

AbstractIslamic law or commonly known as fiqh is a science that aims to deliver mankind toward the good life and justice. Therefore, we need to examine and explore the science that is closely related to our life's purpose.Many of the scholars and jurists describe the purpose of the science of jurisprudence, but in essence they are almost the same opinion, the science which deals with the law of deeds mukalaf. Tersebu of understanding, of course, the object of study related legal issues itself. In terms of development, Islamic law was started since the advent of Islam itself. This is because Islam is a religion that is used as a foundation for the life of Muslims through the guidelines (Qur'an).The main source of law in determining a first law is the Qur'an, then fitted with a second source, the hadith the prophet. In further developments, namely when the Prophet died, become a growing source of law because of the problems facing mankind is quite complex and the problem has never been found during the time of the prophet. Thus, the basis for determining the law was not limited only to the Qur'an and Hadith, but also reinforced by the opinion of friends, the tabi'in, and so forth. Methods for determining the law became necessary to be observed, so that we as Muslims can find the law relating to our problems later on that might be more complex problem.The usefulness of this knowledge is to know the law with a sure and certain way or by way Dzan is forecast to be stronger in righteousness, so that the ultimate objective is to achieve keridloan Allah., To carry out His Shari'ah on this earth.

Keywords: Fiqh

AbstrakHukum Islam atau yang biasa dikenal dengan fiqh merupakan salah satu ilmu yang bertujuan untuk mengantarkan ummat manusia menuju kehidupannya yang bermashlahah dan berkeadilan. Maka dari itu, kita perlu untuk mengkaji dan mendalami ilmu yang berkaitan erat dengan tujuan kehidupan kita ini.Banyak para ulama dan fuqaha mendeskripsikan maksud dari ilmu fiqh, namun pada intinya pendapat mereka hampir sama, yakni ilmu yang membahas hukum dari perbuatan mukalaf. Dari pengertian tersebu, barang tentu objek kajiannya berkaitan tentang masalah hukum itu sendiri. Dilihat dari segi perkembangannya, hukum Islam itu dimulai sejak munculnya Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan karena agama Islam merupakan agama yang dijadikan landasan bagi kehidupan umat Islam melalui pedomannya (Al-Quran). Sumber hukum yang paling utama dalam menentukan suatu hukum yang pertama adalah Al-Quran, kemudian dilengkapi dengan sumber yang kedua, yakni hadis nabi. Pada perkembangan selanjutnya, yakni ketika Rasulullah wafat, sumber hukum menjadi berkembang karena permasalahan umat manusia yang dihadapi cukup kompleks serta permasalahan tersebut tidak pernah ditemukan pada saat zaman nabi. Sehingga, landasan untuk menentukan hukum pun tidak terbatas hanya pada Al-Quran dan Hadis saja, namun juga diperkuat oleh pendapat sahabat, para tabiin, dan lain sebagainya. Metode untuk menentukan hukum pun menjadi perlu untuk dicermati, agar kita sebagai umat Islam dapat menemukan hukum yang berkaitan dengan permasalahan hidup kita nanti yang mungkin akan lebih kompleks permasalahannya.Kegunaan ilmu ini adalah untuk mengetahui hukum dengan jalan yakin dan pasti atau dengan jalan dzan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada kebenaran, sehingga tujuan akhirnya ialah untuk mencapai keridloan Allah SWT., dengan melaksanakan syariah-Nya di muka bumi ini. Kata kunci: fiqh

PendahuluanFiqih atau hukum islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia berhubungan dengan fiqih. Tentang siapa misalnya yang harus bertanggung jawab memberi nafkah dirinya, siapa yang menjadi ibu bapaknya, sampai ketika ia dimakamkan terkait dengan fiqih. Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang wajib dipelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya.Dengan fungsinya yang demikian itu tidak mengherankan jika fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan ia kuliah di Perguruan Tinggi. Dari sejak anak-anak seseorang sudah mulai diajari berdoa, berwudlu, shalat dan sebagainya, dilanjutkan samapai ke tingkat dewasa di Perguruan Tinggi, para mahasiswa mempelajari fiqih secara lebih luas lagi, yaitu tidak hanya yang menyangkut fiqih ibadah, tetapi juga fiqih muamalah seperti jual beli, perdagangan, sewa menyewa, gadai menggadai, dan perseroan, dilanjutkan dengan fiqih jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah tangga, perceraian sampai dengan masalah perjanjian, peperangan, pemerintahan, dan sebagainya.Demikian besar fungsi yang dimainkan oleh Fiqih, maka tidak mengherankan jika di Perguruan Tinggi atau Universitas terdapat Fakultas Hukum yang didukung oleh para ahli dibidang hukum yang amat banyak jumlahnya. Di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) misalnya dijumpai adanya Fakultas Syariah yang secara lebih khusus mempelajari masalah hukum Islam atau Fiqih dengan merujuk kepada kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama di abad klasik.Keadaan fiqih yang demikian itu nampak inheren atau menyatu dengan misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah SAW sebagai actor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut. Karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan mengetahui kehendak Tuhan secara langsung terhenti semenjak meninggalnya Nabi Muhammad, maka syariah yang telah terungkap secara sempurna pada prinsipnya lantas menjadi statis dan bersifat kekal. Mengapung sebagai jiwa tanpa jasad di atas awang-awang masyarakat muslim, serta terpisah dari arus dan pergantian wahyu, ia pun tampil sebagai cita-cita (idealisme) yang keabsahannya berlaku abadi, dan masyarakat harus mengejar cita-cita itu.Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi hukum Islam atau Fiqih tersebut, maka muncullah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum Islam, yaitu penelitian yang ingin melihat seberapa jauh produk-produk hukum Islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimana seharusnya hukum Islam itu dikembangkan dalam rangka merespon dan menjawab secara konkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Penelitian ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan Hukum Islam atau Fiqih tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat.[footnoteRef:1] [1: http://nunu-anugrah.blogspot.com/2012/02/memahami-islam-melalui-pendekatan-fiqih.html]

Dengan demikian penulis berusaha mengkaji tentang pengertian fiqih serta membahas tentang model-model penelitiannya. Dalam pembahasan ini tidak menutup kemungkinan akan adanya banyak kekurangan, untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua kalangan.

Rumusan MasalahPertama, apa itu Fiqih? Kedua, apa saja objek kajian Ilmu Fiqh? Ketiga, apa saja sumber-sumber hukum Fiqh? Keempat, bagaiman metode Ilmu Fiqh? Kelima, apa tujuan dari ilmu Fiqh? Keenam, apa kegunaan dalam mempelajari Ilmu Fiqh?

Tujuan PenulisanPertama, untuk mendeskripsikan pengertian fiqih. Kedua, untuk mendeskripsikan macam-macam objek kajian dalam Ilmu Fiqh. Ketiga, untuk mendeskripsikan sumber-sumber hukum Fiqh. Keempat, untuk mendeskripsikan metode Ilmu Fiqh. Kelima, untuk mendeskripsikan tujuan dari ilmu Fiqh. Keenam, untuk mendeskripsikan manfaat mempelajari Ilmu Fiqh.

Pembahasan1. Pengertian FiqhKata fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam surat Thaha, 20: 27-28 yang berbunyi:

Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka memahami perkataanku.Pengertian fiqh secara etimologi ini juga ditemukan dalam surat al-nisa 4:78, dan hud, 11:91. Kemudian pengertian yang sama juga terdapat dalam sabda Rasulullah saw.: Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka Ia akan memberikan pemahaman agama (yang mendalam). (H.R Al-Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, al-Turmudzi, dan ibn Majah).[footnoteRef:2] [2: Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hal. 2]

Fiqh sedara terminology adalah: Mengetahui hukum-hukum syara yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.[footnoteRef:3] [3: Nasrun Harun hal. 3]

Fiqh dalam arti terminologi menurut para ulama adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali atau diambil dari dalil-dalil tafsili. Menggali hukum (fiqh) dari dalil tafsili ini disebut dengan Istimbat .[footnoteRef:4] [4: Syaifuddin, JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011]

Menurut Sayyid Al-Jurjaniy, bahwa fikih adalah: Ilmu tentang hukum-hukum syara mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Jalaluddin Al-Mahali menyatakan bahwa fikih adalah Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara (ilmu yang menerangkan segala hukum syara) yang berhubungan dengan amaliah yang diusahakan memperolehnya dari dalil-dalilyang jelas (tafshili).Lebih khusus Abu Hanifah berkata: Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajibanPengikut imam Syafii menulis: ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf yang dikeluarkan (di-istinbath-kan) dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).Dari ayat dan hadits di atas, dapat ditarik satu pengertian bahwa fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi pengertian fiqh dalam arti yang sangat luas sama dengan pengertian syariah dalam arti yang sangat luas.Definisi fiqh yang dikemukakan di atas, hanya sekedar contoh. Sudah tentu masih banyak definisi-definisi yang lain. Para ulama berbeda dalam menakrifkan fiqh karena berbeda di dalam memahami ruang lingkup fiqh dan dari sisi mana mereka melihat fiqh. Walaupun demikian, tampaknya ada kecenderungan bersama bahwa fiqh adalah satu sistem hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama islam.[footnoteRef:5] [5: H.A Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2006) hal. 4 dan 6]

Sedangkan masalah fikih berkaitan dengan segala persoalan yang berhubungan dengan urusan akhirat. Jelasnya segala perbuatan yang dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Segala yang dikerjakan dalam bidang ini bersifat taabuddi. Karenannya hukumnya bersifat tetap untuk sepanjang masa dan untuk setiap masyarakat dan tidak berubah-ubah.[footnoteRef:6] [6: Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Amzah, 2005) hal. 64-66.]

2. Objek Kajian Ilmu FiqhDari pengertian fiqh yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, jelas bahwa objek pembahasan ilmu fiqh adalah aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta dalil dari setiap perbuatan tersebut (dalil tafshili).Seorang ahli fiqh membahas tentang bagaimana seorang mukalaf melaksanakan shalat, puasa, naik haji dan lain-lain yang berkaitan dengan fiqh ibadah mahdlah, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya, apa yang harus dilakukan terhadap harta anggota keluarga yang meninggal dunia dan sebagainya, yang menjadi objek pembahasan al-Ahwal al-syakhsiyah (Hukum Keluarga).Aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta dalil-dalil yang menunjuk kepada tiap perbuatan itu menjadi objek pembahasan ilmu fiqh. Kemudian, menghasilkan penilaian terhadap perbuatan mukalaf tersebut, yaitu salah satu dari al-ahkam al-khamsah (wajib, sunnah, kebolehan, makruh, dan haram).Sebagai contoh sederhana: Shalat itu wajib dalilnya aqimu al-shalah. Jual beli itu boleh, dalilnya ahalla Allah al-bay. Jadi, melakukan shalat itu (maksudnya yang lima waktu) adalah wajib, melakukan jual beli itu boleh. aqimu al-shalah dan ahalla Allah al-bay disebut dalil tafshili. Artinya, menunjuk kepada satu perbuatan tertentu, yaitu perbuatan shalat dan perbuatan jual beli. Ini menjadi objek pembahasan fiqh.[footnoteRef:7] [7: H.A Djazuli, Ibid., hal 19-21]

3. Sumber-Sumber Hukum FiqhPara ahli Ushul mentakrifkan hukum dengan: Perintah atau firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukalaf baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), atau pilihan (kebolehan) atau wadhi (yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang bagi sesuatu hukum).Jadi, yang menetapkan hukum itu adalah Allah. Allah adalah hakim yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa. Rasulullah saw. Menyampaikan hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapkan hukum, maka sumber hukum yang pertama dan paling utama adalah wahyu Allah yaitu Al-Quran al-Karim. Kemudian, disusul dengan sumber yang kedua yaitu Sunnah Nabi. Yang ketiga yaitu ijtihad.Sumber hukum yang disepakati oleh para ulama adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Adapun sumber lainnya, yaitu ijma, qiyas istihsan, mashlahah mursalah, urf, istishab, hukum bagi umat sebelum kita, mazhab shahabi, ada yang menggunakannya dan ada pula yang tidak menggunakannya. Adapun sumber hukum itu diurutkan sebagai berikut:

(1) Al-Quranul KarimAl-Quranul Karim adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam, yaitu: Hukum-hukum Itiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitab-kitan Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada hari akhir.Contoh: (Surat Al-Kafirun:4)Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.Contoh: (Surat Al-Qalam:4)Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung Hukum-hukum Amaliah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum-hukum amaliah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam arti luas.Contoh: Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul ia akan dimasukkan ke dalam surga. (an-Nisa (4) : 13)Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu fiqh.(2) Al-Sunnah Yang dimaksudAl-Sunnah di sini adalah berupa perbuatan, perkataan atau diamnya Nabi SAW. yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada Sunnah filiyah, Sunnah Qauliyah, dan Sunnah Taqririyah. Sunnah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.Al-Sunnah menjadi hujah, bisa dijadikan sumber hukum karena: Allah menyuruh untuk taat kepada Rasulullah. Taat kepada Rasulullah adalah juga berarti taat kepada Allah.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7) Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Quran, seperti dijelaskan dalam Firman Allah:

Barang siapa yang mentaati Rasulullah sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (An-Nisa:80) Ijma sahabat, dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin Jabal yang menerangkan urutan-urutan sumber hukum.Apabila disimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam Sunnah bisa berupa hukum-hukum yang menguatkan kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran atau hukum yang menjelaskan yang ada dalam Al-Quran, atau hukum-hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran akan tetapi bisa dikembalikan kepada prinsip-prinsip umum dalam Al-Quran. Misalnya tentang keharaman daging binatang bertaring bisa dikembalikan kepada ayat:

Dan menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk. (Al-Araf ayat 157)(3) Al-IjtihadIjtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah: mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syariah. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya, dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar, baik, indah, dan bijaksana. Hal ini sudah tentu tidaklah mudah. Karena itu, seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah: Mengetahui Al-Quran, Al-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam. Mengetahui maqasidu syariah, prinsip-prinsip umum, dan semangat ajaran islam. Mengetahui turuq al-istinbath Ushul Fih, metode menemukan dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berjihad.[footnoteRef:8] [8: H.A Djazuli, Ibid., hal 57-72]

Melihat persoalan-persoalan baru yang muncul akibat dari perkembangan iptek, tidak harus dihadapkan dengan ketentuan nash secara konfrontatif, tetapi harus dicari pemecahannya dengan cara ijtihadi. Karena melihat realita yang ada perkembangan masyarakat dan pendapat umum lebih cepat dinamika dan laju jalannya dari pada perkembangan hukum itu sendiri, oleh karena itu penyegaran dan pembaruan Hukum Islam dan hadirnya seorang pembaru di dunia Islam merupakan keharusan sejarah, agar warisan keagamaan termasuk di dalamnya Hukum Islam tidak menjadi jumud. Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra:

Sesungguhnya Allah akan mengutus seorang pembaru (mujaddid) untuk umat Islam setiap pengujung seratus tahun supaya memperbaharui (ajaran) agama merekaIbn Rusyd al-Andalusi dalam kitab karangannya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid memberikan ungkapan yang cukup menarik tentang hal ini: Sesungganya permasalahan diantara masing-masing individu manusia belum selesai (tidak terbatas), sedangkan nash-nash, perbuatan-perbuatan yang dicontohkan, serta ketetapan-ketetapan telah selesai (terbatas), maka tidak mungkin membandingkan sesuatu yang tidak terbatas dengan sesuatu yang terbatas.[footnoteRef:9] [9: http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/merode-ijtihad-fiqh-kontemporer.html]

Pada prinsipnya ada tiga macam cara berjihad, yaitu: Dengan memerhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) seperti kemungkinan-kemungkinan arti suatu kata, ruang lingkup kata, pemehaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya. Dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memerhatikan asal, cabang, hukum asal, dan illat hukum. Dengan memerhatikan semangat ajaran islam atau roh syariah. Untuk ini sangat menentukan kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqhiyah, prinsip-prinsip umum hukum islamdan dalil-dalil kulli.Lapangan ijtihad itu meliputi dalil-dalil yang qathi wurudlnya tetapi dhani dalalah-nya, yang dhani wurudl-nya qathi dalalah-nya, yang dhani wurudl-nya dan dalalah-nya serta terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.[footnoteRef:10] Contohnya, menetapkan keharusan ber-iddah tiga kali suci terhadap istri yang dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri, berdasarkan ayat: [10: H.A Djazuli, Ibid., hal 72]

...Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (QS. Al-Baqarah:228)Dalam ayat diatas, memang disebutkan batas waktu iddah, yaitu tiga kali quru, namun lafal quru itu memiliki dua pengertian yang berbeda, bisa berarti suci, bisa juga berarti haid.[footnoteRef:11] [11: Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Ibid., hal. 115]

(4) Al-IjmaIjma secara etimologi adalah kesepakatan, yakni kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. atas suatu hukum syara dalam suatu kasus tertentu. Pengertian ini dijumpai dalam suarat Yusuf, 12:15, yaitu: ...Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur...Pengertian etimologi adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini ditemukan dalam Surat Yunus, 10:71:... ......karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu...[footnoteRef:12] [12: Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Ibid., hal. 51]

Dari definisi tersebut bisa ditarik beberapa pengertian tentang ijtima yaitu: Terdapat beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa terjadi apabila ada beberapa mujtahid. Harus ada kesepakatan diantara mereka. Kebulatan pendapat harus tampak nyata. Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidaklah disebut ijma.[footnoteRef:13] [13: H.A Djazuli, Ibid., hal 74]

Contoh: ijma terhadap jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah: Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali. (Q.S. An-Nur: 2)Firman Allah swt. dalam surat al-Nisa, 4:59 ...Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu...Menurut jumhur ulama ushul fiqh, lafal uli al amr dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara dan perangkatnya). Ibn Abbas menafsirkan uli al amr ini dengan para ulama.[footnoteRef:14] [14: Nasrun Haroen, Ibid., hal 55]

(5) Al-QiyasBanyak takrif qiyas yang dikemukakan para ulama, sesuai dengan pengamatan dan tinjauannya masing-masing. Kalau kita perhatikan unsur-unsur qiyas yaitu: ashal (sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan), cabang (sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang diqiyaskan), hukum asal (hukum syara yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang), dan illat hukum (suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum). Salah satu definisi qiyas adalah: mempersamakan hukum sesuatu kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya persamaan illat hukumnya.Contoh:

Hai orang-orang yang beriman apabila diseur untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. (al-Jumuah:9)Dari ayat diatas, jual-beli bias diqiyaskan pada segala muamalah yang menyebabkan orang lalai melakukan shalat Jumat dan adzan untuk shalat Jumat nisbahnya dengan hukum adalah haramnya jual-beli pada waktu tersebut.(6) Al-IstihsanIstihsan adalah perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syariah Islam. Contohnya, seseorang mempunyai kewenangan bertindak hukum apabila dia sudah dewasa dan berakal. Bagaimana halnya dengan anak kecil yang disuruh ibunya untuk membeli garam ke warung? Berdasarkan istihsan anak kecil diperbolehkan membeli barang-barang yang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan kemafsadatan.Apabila dalam pengertian istihsan itu ada perpindahan dari satu hukum kepada hukum yang lain, maka yang dimaksud dengan perpindahan itu adakalanya perpindahan dari dalil yang kulli kepada kekecualiannya, adakalanya dari umum kepada yang khusus dan adakalanya dari qiyas dhahir kepada qiyas khafi. Para ulama yang menerima istihsan sebagai dalil, mengembalikan dasar istihsan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dalil Al-Quran antara lain:

Maka gembirakanlah hamba hamba-Ku yang mendengar perkataan, lalu mengikutinya yang lebih baik. (az-Zumar: 17-18)Dan dari Al-Hadits sebagai berikut: Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik di sisi Allah[footnoteRef:15] [15: H.A Djazuli, Ibid., hal 74-84]

Contoh istihasan dengan Sunnah Rasul adalah kasus orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang puasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatu kedalam kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hukum ini dikecualikan oleh Hadits Rasulullah yang mengatakan: siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya (HR. Al-Turmudzi).[footnoteRef:16] [16: Nasrun Haroen, Ibid., hal 106]

(7) Al-Mashlahah Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Secara terminologi terdapat beberapa definisi maslahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pada prinsipnya, maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara.[footnoteRef:17] [17: Nasrun Haroen, Ibid., hal 114]

Para ahli Ushul memberikan takrif al-mashlahah al-mursalah dengan: memberikan hukum syara kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijma atas dasar memelihara kemashlahatan. Ada tiga macam kemashlahatan: Kemaslahatan yang ditegaskan oleh Al-Quran atau Al-Sunnah. Contohnya seperti hifdzu nafsi, hifdzu mal, dan lain sebagainya. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara yang qathi. Jumhur ulama menolak kemaslahatan semacam ini kecuali Najmuddin Athufi dari Mazhab Maliki. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan oleh syara, tapi juga tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang disebut dengan al-mursalah.Memang menggunakan al-mashlahah al-mursalah tanpa persyaratan-persyaratan tertentu sangat besar kemungkinan jatuh kepada keinginan nafsu belaka. Oleh karena itu, diperlukan persyaratan-persyaratan penggunaan maslahah agar tetap ada dalam nilai-nilai Syariah, yakni: Al-maslahah al-mursalah tidak boleh bertentangan dengan maqasid al-syariah, dalildalil kulli, semangat ajaran islam dan dalildalil juzi yang qathi wurudl dan dalalahnya. Kemaslahatan tersebut harus meyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penelitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin bahwa hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemadaratan. Kemaslahatan tersebut bersifat umum. Pelaksanaannya tidak menimbulkan kesulitan yang tidak wajar.Banyak sekali contoh-contoh penggunaan almaslahah almursalah terutama dalam melayani dan mengurus masyarakat, seperti peraturan lalu lintas, adanya lembaga-lembaga peradilan, adanya surat nikah, dan lain sebagainya.(8) Al-Urf (Al-Adah)Pengertian urf adalah sikap, perbuatan, dan perkataan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya. Syarat-syarat urf yang bisa diterima oleh hukum islam: Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam Al-Quran atau Sunnah Pemakaiannya tidak melibatkan dikesampingkannya nash syariah termasuk juga tidak mengakibatkan kemafsadatan, kesempitan, dan kesulitan. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.[footnoteRef:18] [18: H.A Djazuli, Ibid., hal 86-89]

Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut imam al-Qarafi harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf diantaranya adalah yang paling dasar: Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat Yang ditetapkan malalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat dan atau hadits).Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum yang didasarkan kepada urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.[footnoteRef:19] [19: Nasrun Haroen, Ibid., hal 142-143]

(9) Al-IstishhabSecara etimologi, istishhab berarti minta bersahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Secara terminologi, ada beberapa definisi istishhab yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Imam al-Ghazali mendefinisikan istishhab dengan berpegang pada dalil akal atau syara, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada.Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlau sebagaiman adanya.[footnoteRef:20] [20: Ibid., hal 128]

Asyaukani mentarifkan istishhab dengan: tetapnya suatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya. Jadi, hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu terus berlaku sampai ada dalil lain yang merubah hukum tersebut. Atau, sebaliknya apa yang tidak ditetapkan pada masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.Contoh tentang istishhab adalah seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.(10) Syariat ummat sebelum kita (syarun man qablana)Dalam menanggapi berlakunya syariat umat sebelum kita ini ada beberapa hal yang disepakati ulama. Pertama: hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum islam, karena dikalangan umat islam nilai suatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum islam kedua: segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariah islamiayah, otomatis hukum tersebut tidak berlaku bagi kita. Demikian hukum-hukum yang dikhususkan untuk suatu umat tertentu, tidak berlaku bagi umat islam seperti keharaman beberapa makanan/daging babi bani Israil. Ketiga: segala yang ditetapkan dengan nash, nash yang dihargai oleh islam seperti juga ditetapkan oleh agama-agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat islam, karena ketetapan nash islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu seperti:

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Al-Baqarah: 183).Secara ringkas tentang syariah umat sebelum kita ini, maka gambaran Syarun man Qablana ada dua macam, yaitu: Ada yang telah dihapus oleh Syariah islam Yang tidak dihapuskan oleh Syariah islam, dibagi menjadi dua yaitu: Yang ditetapkan oleh Syariat islam dengan tegas Yang tidak ditetapkan oleh Syariat islam dengan tegas, dibagi menjadi dua: Yang diceritakan kepada kita baik melalui Al-Quran atau Hadits Yang tidak disebut-sebut sama sekali di dalam Al-Quran atau Hadits.[footnoteRef:21] [21: H.A Djazuli, Ibid., hal 91-96]

(11) Mazhab shahabi (Pendapat sahabat)Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafii dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi), maka pendapat sahabat didahulukan.Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam Surat Ali-Imran, 3:110: ...Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar...Menurut mereka, ayat ini ditujukan kepada para sahabat. Kemudian alasan lain yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah saw.: ( )"Sahabtku ibarat bintang, siapa pun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk". (HR. Abu Daud)[footnoteRef:22] [22: Nasrun Haroen, Ibid., hal 156-157]

Imam Ibn Qayyim dalam kitabnya Ilmu Muwaqqiin (Juz 4 Halaman 148) menyatakan 43 alasan yang mewajibkan mengikuti pendapat sahabat, akhirnya beliau berkata: bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk: Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita. Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh sahabat yang sampai kepada kita malalui salah seorang sahabat Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujah yang wajib diikuti Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujah.[footnoteRef:23] [23: H.A Djazuli, Ibid., hal 97-98]

(12) Sadd al-dzariah dan fath al-dzariahDzariah artinya washilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Yang dimaksud dengan dzariah di sini adalah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Maka jalan/cara yang menyampaikan kepada haram hukumnya pun haram, dan cara yang menyampaikan kepada halal hukumnya pun halal pula, dan apa yang menyampaikan kita kepada wajib hukumnya pun wajib pula sampai ada suatu kaidah: Hukumnya washilah (jalan/cara yang menuju kepada tujuan) sama dengan hukumnya tujuanContohnya, zina itu adalah haram, maka melibatkan aurat wanita yang membawa kepada perzinahan adalah haram juga. Shalat Jumat adalah wajib, maka meninggalkan jual-beli pada waktu shalat Jumat demi untuk melaksanakan shalat Jumat adalah wajib pula.Dengan demikian yang dilihat dalam dzariah ini adalah perbuatan-perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib atau mengakibatkan kepada terjadinya yang haram; Allah telah melarang menghina berhala, meskipun berhala adalah sesuatu yang bathil. Karena menghina berhala mengakibatkan dihinanya Allah oleh orang-orang penyembah berhala.Firman Allah:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah, selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melewati batas tanpa pengetahuan. (Al-Anam:108)[footnoteRef:24] [24: H.A Djazuli, Ibid., hal 98-99]

a. Periode kemunduranPeriode ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir abad ke-13 H, yaitu waktu pemerintah Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi fiqh disusun dengan sistematis dalam satu kitab undangundang hukum perdata. 1. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduranPada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh: Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh. Dengan dianutnya mazhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti mazhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-quran dan Al-Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan tertentu. Misalnya, Pemerintahan Turki termasuk para hakim-nya menganut dan membantu mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat mengokohkan madzhab Maliki dan di sebelah timur madzhab al-Syafii. Dengan banyak kitab-kitab fiqh, para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa memperhatikan kembali Al-Quran dan Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang esar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya. Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di Barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung kebudayaan Islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehacuran masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulma di bagian Timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak banyak menolong, karena nasib suatu masyarakat tidak hanya bergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.2. Klasifikasi mujtahidKerja para ulama pada masa ini masih sekitar hasil ijtihad para imam-imam mujtahidin yang sebelumnya. Misalnya, membuat ikhtisar-ikhtisar yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan-penjelasan lagi yang disebut hasyiah. Kadang-kadang juga mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dalam satu mazahb tertentu kemudian memisah-misahkannya antara pendapat yang kuat dari pendapat yang kurang kuat. Hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya selalu mengikatkan diri dengan mazhab yang ada. Atas dasar ini kemudian timbul istilah-istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al-madzhab, dan lail-lain, seperti berikut: Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syari yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbat hukum, mereka inilah imam-imam madzhab. Seperti Abu Hanifah, Maliki, al-Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal. Mujtahid muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti pendapat imam mazhab dalam usul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya (furu) ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam mazhab. Mujtahid fi al-mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mazhab baik dalam ushul maupun furu hanya berbeda dalam penerapannya. Jadi hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab. Mujtahid fi al-masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya berjihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-imam mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka. Ahlu Takhrij, yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam madzhabnya. Ahli tarjih, yaitu fuqoha yang kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya.b. Periode Kebangkitan kembali1. Tanda-tanda kemajuana) Di bidang perundang-undanganPeriode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-ahkam al-Adliyah yaitu kitab undang-undang Hukum perdata Islam pemerintah Turki Usmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. Baik bentuk maupun isi dari kitab Undang-Undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqh dari satu mazhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk dan isi mazhab tertentu saja. Meskipun warna Hanafi sangat kuat.Di mesir dengan keluarnya undang-undang no. 25 tahun 1920 M., dalam sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut mazhab Hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari mazhab al-Arabah. Kemudian dalam undang-undang no. 25 tahun 1929 M. juga tentang hukum keluarga maju selangkah yaitu tidak hanya mengambil dari mazhab al-Arabah, tetapi juga dari mazhab yang lain. Pada tahun 1936 M. undang-undang hukum keluarga di Mesir tidak mengikatkan diri secara ketat dengan mazhab, tetapi juga mengambil mazhab ulama lain yang sesuai dengan kemaslahatan manusia dan perkembangan masyarakat. Contoh lain tentang al-Wasiyah al-Wajibah di mesir tahun 1946, di Siria tahun 1953, di Tunis tahun 1957, di Maroko tahun 1958, di Indonesia dengan UU No. 1 tahun 1974 tidak melalui tahap-tahap seperti di Mesir, tetapi tampaknya langsung mengambil pendapat-pendapat yang maslahat untuk diterapkan di Indonesia. Demikian pula halnya dengan PP No. 28 tahun 1977 dan pengaturan zakat di beberapa provinsi.b) Di bidang pendidikanDi perguruan-perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu mazhab tertentu, tetapi juga dipelajari mazhab-mazhab yang lain secara muqaranah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari sistem Hukum Adat dan sisitem Hukum Romawi. Degan demikian diharapkan wawasan berpikir hukum di kalanga mahasiswa Islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan Hukum Islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang hukum keluarga tetapi juga dibidang hukum lainnya. Pendekatan semacam ini akan lebih intensif lagi apabila di fakultas-fakultas hukum diajarkan hukum islam, sehingga terjadi perpaduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat khususnya di Indonesia.[footnoteRef:25] [25: H.A Djazuli, Ibid., hal 157-160]

4. Metodologi Ilmu FiqhAdapun objek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum islam) di dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan menjelaskan cara-cara ber-istinbath: Bagaimana caranya menetapkan hukum dari dalil-dalilnya.[footnoteRef:26] [26: H.A Djazuli, Ibid., hal 21]

Ali Hasbullah melihat ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath, a) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan, b) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syara.Teks Syariah yang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah dituangkan dalam bahasa Arab. Maka untuk dapat memetik (mengistinbathkan) hukum-hukum yang dikandungnya, mujtahid yang akan menggali hukum- hukumnya harus memahami secara komprehensip. Oleh karena it ia harus mengetahui seluk beluk bahasa Arab, sebagai bahasa al-Quran dan al-Hadis. Satu hal yang tidak masuk akal kalau ada seorang yang tidak memahami bahasa Arab akan dapat mengistinbathkan hukum secara memuaskan dari al-Quran dan al-Hadis yang berbahasa Arab. Oleh karena itu Al-Ghazali menyebut kaidah kebahasaan sebagai pilar ushul fiqh, yang dengannya para mujtahid dapat menggali dan mengistinbathkan dari sumber-sumbernya.[footnoteRef:27] [27: Syaifuddin, ibid., hal 38-39]

Adapun dalam hal yang berkaitan dengan cara mengeluarkan hukum dari dalil, dibahas tentang kaidah bahasa: Tinjauan tentang jelas dan tidak jelasnya satu kata yang menunjukkan kepada maksud tertentu, seperti ada kata yang dhahir, nash, dan lain-lain. Tinjauan tentang cara memahami kata-kata dalam satu nash, apakah dengan manthuq-nya atau dengan mahfum-nya (dengan yang tersurat atau yang tersirat). Tinjauan tentang ruang lingkup satu kata tertentu, seperti kata yang am atau yang khas. Tinjauan tentang bentuk katanya, seperti amr (perintah), nahyu (larangan). Dibahas pula kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam memecahkan masalah-masalah yang tidak ada nash-nya, seperti:maqashid al-syariah, hak Allah dan hak damai. Pembahasan disekitar Hakim, yaitu pembahasan yang menjelaskan bahwa Allah SWT., sebagai zat yang menetapkan hukum. Hukum Allah ini disampaikan melalui Rasulullah. Pembahasan tentang mahkum fih, yaitu pembahasan sekitar perbuatan mukalaf yang diberi hukum (perbuatan hukum). Pembahasan tentang mahkam alayh, yaitu orang mukalaf yang dibebani hukum. Singkatnya pembahasan tentang subjek hukum. Pembahasan yang menjelaskan tentang manusia itu memiliki ahliyah al-wujub, karena kemanusiaannya, janin sekalipun harus dihormati hak-haknya. Disamping itu, dibahas pula tentang orang-orang yang ahliyah-nya kurang serta hambatan-hambatan ahliyah-nya seperti orang gila.Fiqh sebagai produk istimbath yang dikeluarkan dari dalil-dalil yang dijadikan sumber pengambilannya melalui penafsiran resmi dari syari sendiri, mengkaji kaidah-kaidah bahasa dalam pemberian makna suatu lafadh, dan meneliti terhadap latarbelakang, hikmah dan rahasia penetapan suatu hukum.[footnoteRef:28] [28: Syaifuddin, ibid., hal 40]

Kecenderungan kuat para ahli ushul fiqh bukan saja memerhatikan cara-cara penarikan hukum dari Al-Quran dan Hadits, juga berusaha agar cara tersebut (thuruq al-istinbath) bisa dipertanggungjawabkan. Dalam ushul fiqh ada kaidah bahasa yang berbunyi: Pada dasarnya bentuk kata nahyu (larangan) itu menunjukkan haramKaidah ini bisa diterapkan kepada berbagai macam ayat atau hadits yang memakai bentuk kata larangan, seperti ayat: ...Janganlah kamu mendekati zina. (Al-Isra:32)Ayat tersebut menunjukkan haramnya membunuh dan haramnya mendekati zina.Dalam ushul fiqh sering satu masalah bisa didekati dengan berbagai cara. Untuk memilih mana yang paling tepat diantara cara-cara tersebut dalam memecahkan satu kasus tertentu sangat tergantung kepada kecermatan dan pengamatan yang tajam dari seorang mujtahid terhadap masalah tersebut dan kepada seni berijtihad. Agar hasil ijtihadnya tidak hanya benar dan akurat, tetapi juga baik dan indah, memiliki kearifan yang tinggi. Oleh karena itu para mujtahid selalu melakukan shalat istiharah sebelum memberikan fatwanya, sebagai usaha terakhir di dalam proses ijtihad.Dengan demikian dalam proses ijtihad itu segala potensi insani seorang mujtahid dikerahkan untuk meraih sebanyak mungkin nilai-nilai samawi. Sebab pada akhirnya hasil ijtihad yang paling mendekati kepada kebenaran, kebaikan, keindahan dan kearifan adalah yang paling banyak meraih nilai-nilai uluhiyah.5. Tujuan Ilmu FiqhTujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridloan Allah SWT., dengan melaksanakan syariah-Nya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual, hidup berkeluarga, mapun hidup bermasyarakat.Agar hidup ini sesuai dengan syariah, maka dalam kehidupan harus terlaksana nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, mengandung rahmat dan hikmah.Untuk itu, Imam al-Syatibi telah menggunakan istiqra (penelitian) yang digali dari Al-Quran maupun Sunnah, yang menyimpulkan bahwa tujuan Hukum Islam di dunia ini ada lima hal, yang terkenal dengan al-maqasid al-Khamsah, yaitu: Memelihara agama (Hifd al-Din). Yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama dalam arti sempit (ibadah mahdlah) yaitu hubungan manusia dengan Allah SWT. Memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk larangan membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larangan menghina dan sebagainya, dan kewajiban menjaga diri. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifdz al-nas/irdl). Seperti aturan-aturan tentang pernikahan, larangan perzinahan, dan lain-lain. Memelihara harta (Hifdz al-mal). Termasuk kewajiban kasb al-halal, larangan mencuri, dan menghasab harta orang. Memelihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk larangan meminum minuman keras, dan kewajiban menuntut ilmu.Dari maqashidu syariah tersebut jelas bahwa fungsi Hukum Islam adalah:1) Mengerahkan kehidupan manusia kepada al-maqasid al-khamsah, dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi yang termasuk Hifd al-Din ialah segala usaha dan pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia dengan Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana keagamaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz al-Nafs (pembangunan nilai-nilai spiritual manusia), Hifdz al-nasl (usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generasi mendatang yang lebih baik), Hifdz al-mal (menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia, termasuk kebutuhan dasarnya), Hifdz al-Aql (mendewasakan manusia didalam berpikir, bersikap, dan beremosi). Semua ini mengerah kepada terciptanaya masyarakat manusia yang sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis, dan diwarnai oleh al-Akhlak al-Karimah yang indah.2) Mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan terperinci yang telah ditegaskan oleh Al-Quran dan Hadits atau hasil ijtihad para ulama.6. Kegunaan Mempelajari Ilmu FiqhKegunaan memperlajari ilmu fiqh sama pentingnya dengan kegunaan mempelajarin ushul fiqh dan kaidah fiqh. Kegunaan mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui hukum dengan jalan yakin dan pasti atau dengan jalan dzan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada kebenaran. Selanjutnya kegunaan mempelajari ilmu fiqh, bisa dirumuskan sebagai berikut:1) Mempelajari ilmu fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam.2) Mempelajari ilmu fiqh berguna sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani hidup dan kehidupan.[footnoteRef:29] [29: H.A Djazuli, Ibid., hal 21-32]

PenutupDari paparan pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:Pertama, fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. Fiqh dalam arti terminologi menurut para ulama adalah Ilmu tentang hukum-hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang digali atau diambil dari dalil-dalil tafsili. Sedangkan objek pembahasan ilmu fiqh adalah aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta dalil dari setiap perbuatan tersebut (dalil tafshili).Kedua, hukum fiqh tumbuh bersama dengan pertumbuhan agama islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan himpuan dari akidah akhlak dan huum amaliah. Perkembangan ilmu fiqh terbagi menjadi tiga, yaitu:a. Periode Rasulullah, menggunakan sumber hukum melalui Al-Quran, Sunnah, dan ijtihad.b. Periode sahabatc. Imam mujtahid.Ketiga, Sumber hukum: Al-quran, Sunnah, ijtihad, ijma, qiyas, istihsan, maslahah, urf, istishab, syarun man qablana, pendapat sahabat, Sadd al-dzariah dan fath al-dzariah.Keempat, metodologi ilmu fiqh adalah dengan cara-cara ber-istinbath: Bagaimana caranya menetapkan hukum dari dalil-dalilnya. Ali Hasbullah melihat ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath, a) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan, b) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syara.Kelima, tujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridloan Allah SWT., dengan melaksanakan syariah-Nya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidup individual, hidup berkeluarga, mapun hidup bermasyarakat.Kegunaan mempelajari ilmu fiqh, bisa dirumuskan sebagai berikut:1. Mempelajari ilmu fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam.2. Mempelajari ilmu fiqh berguna sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani hidup dan kehidupan.Keenam, dalam menyikapi perbedaan pemahaman fiqih nazhari hendaknya seorang muslim mencontoh para ulama zaman dahulu yang sangat toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda.Dari paparan pembahasan diatas, penulis memiliki beberapa saran, diantaranya adalah:Pertama, kita sebagai umat Islam sangat perlu untuk memperhatikan agama yang kita anut, terutama dalam aspek hukum karena hukum berkaitan erat dengan aturan dalam pelaksanaan ibadah.Kedua, dalam memahami suatu hukum, pasti terjadi adanya kesimpang-siuran dalam memaknai maksud yang terdapat dalam teks hukum, untuk itu perlu adanya sikap keterbukaan dan saling menghargai diantara umat muslim.Ketiga, sebagai umat Islam yang saling bersaudara diantara umat Islam yang lain, kita tidak perlu memiliki rasa fanatik mazhab, karena setiap Muslim dalam memaknai hukum yang ada, sudah pasti memiliki sumber-sumber yang bersifat qathi dalam menentukan jenis-jenis hukumnya.

Daftar Pustaka

Nasrun Harun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997H.A Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta:Kencana, 2006Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, 2005Syaifuddin, JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011http://kangasyad.blogspot.com/2009/12/merode-ijtihad-fiqh-kontemporer.htmlhttp://nunu-anugrah.blogspot.com/2012/02/memahami-islam-melalui-pendekatan-fiqih.html28