Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
a
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
The Development and Upgrading of Seven Universities
In Improving the Quality and Relevance of
Higher Education in Indonesia
OPTIMALISASI POTENSI KERBAU DALAM USAHA
PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DI ACEH DENGAN
METODE PEMBEKUAN SPERMATOZOA
Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
Dr. Kartini Eriani, M.Si 0021047001
Dr. Rosnizar, M.Sc 0009037102
Dibiayai oleh Direktorat Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal
Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sesuai
dengan Surat Perjanjian Penugasan Program Penelitian Nomor:
025/SP2H/LT/DRPM/II/2016 tanggal 17 Februari 2016
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
OKTOBER, 2016
i
ii
RINGKASAN
Kualitas dan morfologi abnormal spermatozoa kerbau aceh sangat perlu dilakukan untuk
pelestarian plasma nutfah. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati kualitas dan morfologi
abnormal spermatozoa kerbau sampai ke tahap pembekuan dengan menggunakan 2 ekor
kerbau pejantan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Prosesing Spermatozoa Beku BIB,
Saree dan Laboratorium Riset Biologi FMIPA Unsyiah. -karoten dan glutation merupakan
suatu kelompok senyawa antioksidan yang memiliki peran dalam menangkap radikal bebas
yang terbentuk akibat proses dari metabolisme spermatozoa pada saat pengenceran dan
pembekuan berlangsung. Radikal bebas yang dihasilkan berupa suatu senyawa yang disebut
dengan reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengoksidasi lipid pada membran plasma
sel spermatozoa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan antioksidan -karoten
dan glutation dengan berbagai konsentrasi yang ditambahkan ke dalam pengencer tris kuning
telur terhadap kualitas semen beku kerbau lumpur. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) satu arah dengan 7 perlakuan (kontrol (P0); -karoten : 0,00625 g (P1),
0,0125 (P2) g, 0,025g (P3); glutation: 0,05 g (P4), 0,10 g (P5), 0,15 g (P6)) dan 3 ulangan.
Semen segar kerbau (Bubalus bubalis) diencerkan menggunakan modifikasi bahan pengencer
tris kuning telur dengan penambahan antioksidan sesuai perlakuan dan diekulibrasi selama 4
jam. Kualitas spermatozoa dievaluasi sebanyak 3 kali, yakni pengenceran, ekuilibrasi, dan
pasca thawing (pencairan kembali). Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa
dengan ANAVA menggunakan SPSS. Perbedaan antar perlakuan diuji lanjut dengan uji beda
nyata terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan -karoten dan
glutation ke dalam bahan pengencer semen memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) dalam
memperbaiki kualitas spermatozoa kerbau setelah pembekuan dilakukan. Persentase motilitas
perlakuan P1 (44,3%), P4 (45,0%), P5 (40,3%); persentase spermatozoa hidup P1 (57,6%), P4
(48,0%), P5 (44,7%); persentase TAU P1 (46,0%), P4 (51,0), P5 (45,0%); dan persentase MPU
P1 (57,0%), P4 (54,3%), P5 (51,0%). Konsentrasi antioksidan -karoten 0,0625 g (P1),
glutation 0,05 g (P4) merupakan konsentrasi antioksidan terbaik dalam mempertahankan
kualitas spermatozoa kerbau lumpur.
Kata kunci: Kerbau lokal Aceh (Bubalus bubalis), pembekuan spermatozoa, ROS, peroksidasi
lipid, antioksidan, -karoten, glutation.
iii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga laporan kemajuan penelitian yang berjudul “Optimalisasi Potensi
Kerbau dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Pangan di Aceh dengan Metode
Pembekuan Spermatozoa” telah diselesaikan. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa perubahan mendasar dalam ilmu pengetahuan.
Laporan kemajuan penelitian tahap satu guna memenuhi salah satu persyaratan
dalam pelaksanaan penelitian yang didanai oleh 7in1 melalui Lembaga Penelitian
Universitas Syiah Kuala. Laporan kemajuan penelitian ini disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan di Balai Inseminasi Saree.
Penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak selama
pelaksanaan penelitian yang masih terus berlangsung sampai saat ini. Oleh karenanya
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. H. Hasanuddin, M.S, selaku Ketua Lembaga Penelitian Universitas
Syiah Kuala.
2. Dr. Tarmizi, M.Sc, selaku koordinator IDB Unsyiah yang mendanai penelitian 7in1
3. Syahrial, M.Si, selaku Kepala BIB Saree yang telah mengizinkan penulis untuk
penelitian di BIB Saree dengan segala fasilitas yang ada
4. Dr. Drh. Dasrul, M.Si, selaku staf ahli di BIB Saree yang telah membantu
pelaksanaan penelitian ini
5. Serta seluruh teknisi lapangan dan Laboratorium BIB Saree yang tidak mungkin
disebut satu persatu.
Harapan penulis semoga penelitian ini dapat kami selesaikan sesuai proposal
yang kami ajukan dan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
masyarakat dan pemerintah.
Banda Aceh, 31 Oktober 2016
Penulis
iv
Bab 1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1
Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................
.............................................................
4
Bab 3. TUJUAN DAN MANFAAT.....................................................
...............................................................
8
Bab 4. METODE PENELITIAN............................................................ 9
Bab 5. HASIL YANG DICAPAI............................................................ 17
Bab 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA.................................. 33
Bab 7. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 35
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ............................................................................ i
Ringkasan ............................................................................................... ii
Prakata .................................................................................................. iii
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i v
Daftar Tabel ........................................................................................... v
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Kerbau merupakan salah satu ternak yang dapat hidup dan berkembang baik di
Daerah Aceh, namun sampai saat ini pemanfaatan ternak kerbau belum maksimal karena
masih dipergunakan hanya untuk membajak sawah dan dikonsumsi dagingnya oleh
sebahagian masyarakat. Padahal di Aceh populasi kerbau sangat banyak dibandingkan
daerah lain dan memiliki keragaman genetik yang luar biasa karena kerbau tersebar di
beberapa daerah seperti pulau Aceh, Simeulu, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar dan
lain sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah ternak kerbau di Indonesia pada
tahun 2005 diperkirakan sebanyak 2.428.000 ekor (Ditjen Peternakan, 2005) dan tersebar di
seluruh propinsi. Populasi tertinggi dijumpai di Propinsi NAD diikuti Sumatera Barat dan
Sumatra Utara. Sehingga sudah selayaknya untuk memanfaatkan kerbau sebagai sumber
protein seperti daging dan susu di daerah Aceh seperti yang sudah dimanfaatkan dibeberapa
daerah lainya seperti Sumatra Barat.
Potensi kerbau yang belum dioptimalkan ini seharusnya dapat dioptimalkan untuk
memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat, jika mendapat perhatian yang serius
dari berbagai pihak yang terkait langsung sebagai praktisi di bidang peternakan. Seiring
dengan itu juga untuk meningkatkan potensi ekonomi peternak di pedesaan dan sekaligus
menjawab tantangan kemungkinan ekspor daging dan susu kerbau di masa yang akan
datang.
Upaya yang harus ditempuh untuk menjawab tantangan tersebut adalah bagaimana
meningkatkan populasi dalam waktu yang relatif singkat dan memperbaiki mutu genetik
secara bertahap. Tantangan tersebut perlu didekati dengan penerapan teknologi di bidang
peternakan yang telah berkembang dengan pesat dewasa ini, khususnya teknologi
reproduksi. Penerapan teknologi reproduksi pada kerbau menjadi suatu hal yang penting,
karena selama ini memang belum mendapat ruang yang memadai dari para peneliti. Hal ini
ditandai oleh langkanya informasi hasil penelitian di bidang reproduksi pada kerbau.
Salah satu teknologi reproduksi yang cukup aplikatif dan efisien untuk diterapkan
adalah teknologi Inseminasi Buatan (IB). IB merupakan teknik yang
cukup efektif dan ampuh untuk dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan populasi dan mutu genetik
kerbau, namun khusus pada kerbau belum begitu populer karena terdapat kendala pada plasma semen
kerbau. Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas spermatozoa perlu memodifikasi media
pengencer dengan penambahan antioksidan dan krioprotektan di dalam pengencer semen.
Dalam proses pembekuan (kriopreservasi) semen, spermatozoa memperoleh perlakuan suhu
yang ekstrim sangat rendah (-196˚C) yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap
spermatozoa. Pada suhu rendah di bawah titik beku akan terjadi perubahan-perubahan fisik dan
kimiawi di dalam sel spermatozoa seperti terbentuknya kristal-kristal es dan meningkatnya
konsentrasi elektrolit intraseluler, sehingga menyebabkan terjadinya kejutan dingin pada spermatozoa.
Untuk mengurangi pengaruh negatif ini, beberapa perlakuan dapat dicobakan seperti dengan
menambahkan berbagai senyawa berupa krioprotektan dan antioksidan di dalam pengencer semen.
Dengan demikian, kerusakan spermatozoa selama proses kriopreservasi semen dapat diminimalkan,
sehingga kualitas semen beku yang diperoleh lebih baik.
Ada dua jenis krioprotektan, yaitu krioprotektan ektraseluler berupa gula seperti laktosa, maltosa
dan sukrosa tidak dapat memasuki sel, sehingga senyawa tersebut melindungi sel dengan cara
membungkus membran plasma sel. Sedangkan krioprotektan intraseluler seperti gliserol, etilen glikol
dan dimethyl sulfoxside (DMSO) dapat memasuki sel, sehingga dapat melindungi sel dari dalam
dengan cara menyeimbangkan osmolaritas intra dan ekstra sel serta memodifikasi struktur permukaan
kristal-kristal es sehingga tidak terlalu tajam (Supriatna dan Pasaribu, 1992). Penggunaan kedua jenis
krioprotektan ini secara bersamaan dapat lebih optimal dalam melindungi sel spermatozoa dari
kerusakan selama proses produksi semen beku ( Rizal, 2005).
Penggunaan laktosa dan gliserol sebagai krioprotektan telah banyak dilakukan untuk
pembekuan semen pada berbagai hewan ternak. Namun pada kerbau belum diketahui konsentrasi
yang optimum untuk mempertahankan kualitas semen.
Glutation dan β-karoten sebagai senyawa anti oksidan mampu mengikat radikal bebas hidroksil
(OH-) dan singlet oksigen (O2-) (Tuminah 2000) yang sangat reaktif dan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid pada membran plasma sel, sehingga memungkinkan digunakan dalam pengenceran
semen. Namun demikian, pemakaian glutation dan β-karoten sebagai anti oksidan di dalam
pengenceran semen beku masih jarang sehingga memerlukan pengkajian yang lebih mendalam pada
semen berbagai jenis hewan. Menurut Suryohudoyo (2000) glutation bersifat hidrofilik dan berperan
dalam sitosol, sedangkan β-karoten bersifat lipofilik dan berperan pada membran plasma sel. Dengan
demikian diharapkan kedua senyawa anti oksidan ini dapat secara optimal melindungi sel spermatozoa
dari kerusakan akibat pemakaian senyawa oksidan dan senyawa radikal bebas selama proses
pembekuan semen.
2
Permasalahan yang muncul yaitu semakin menurunnya produktivitas kerbau di Aceh karena
terjadi penurunan mutu genetik. Hal ini terjadi karena belum dilakukan seleksi pejantan dan belum
diaplikasikan bioteknologi reproduksi dalam rangka menjaga, mempertahankan serta meningkatkan
mutu genetik kerbau di Aceh. Untuk itu perlu dilakukan seleksi kerbau pejantan yang dapat
digunakan sebagai sumber material genetik
Kerbau pejantan unggul dapat dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki
mutu genetik, melalui pendekatan teknologi reproduksi. Spermatozoa yang dikoleksi dari pejantan
unggul dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai salah satu alternatif sumber spermatozoa untuk
memenuhi kebutuhan dalam penerapan berbagai teknologi reproduksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah selayaknya penelitian ke arah pembekuan spermatozoa
kerbau dalam rangka memberikan pelayanan IB bagi masyarakat peternak dilaksanakan. Sehingga
Perguruan Tinggi memberi kontribusi aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Krioprotektan
Krioprotektan merupakan suatu zat kimia non elektrolit yang berfungsi mereduksi letal proses
kriopreservasi sel baik yang berupa efek larutan maupun pembentukan kristal es ekstraseluler dan
intraseluler sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi. Terdapat dua kelompok
krioprotektan dilihat dari sisi fisika/kimia dan membran sel yaitu krioprotektan ekstraseluler dan
intraseluler. Krioprotektan intraseluler yaitu krioprotektan yang dapat keluar masuk membran sel dan
biasanya memiliki ukuran molekul yang kecil seperti gliserol, dimethylsulfosida (DMSO), etilin glikol
(EG) dan 2 propanediol. Krioprotektan ekstraseluler biasanya dengan molekul besar sehingga tidak
menembus membran sel seperti fruktosa, sukrosa, protein, lipoprotein, kuning telur, serum darah dan
susu (Supriatna dan Pasaribu, 1991).
3
Dalam proses pembekuan (kriopreservasi) semen, spermatozoa memperoleh perlakuan suhu
yang sangat ekstrim rendah. Perlakuan suhu ekstrim yang mencapai –196oC akan mengakibatkan
dampak negatif terhadap spermatozoa. Pada suhu rendah di bawah titik beku akan terjadi perubahan-
perubahan yang sangat hebat di dalam sel spermatozoa, serta terbentuknya kristal-kristal es. Kesemua
faktor tersebut akan berakibat buruk terhadap sel spermatozoa, khususnya keutuhan membran plasma
sel. Keutuhan membran plasma sel spermatozoa menjadi hal yang sangat penting karena membran
plasma memiliki fungsi ganda terhadap sel. Selain berfungsi melindungi organel-organel sel dari
perusakan mekanik, membran plasma juga berfungsi dalam mengatur lalu lintas zat-zat makanan dan
elektrolit-elektrolit keluar masuk sel yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa rusaknya membran plasma sel berarti awal dari proses berakhirnya
kehidupan sel itu.
Untuk menjaga integritas membran plasma sel dari kerusakan selama proses produksi semen
beku, maka ke dalam pengencer semen harus ditambahkan senyawa yang berfungsi melindungi
membran plasma, sehingga dapat mengurangi efek negatif tersebut. Salah satu senyawa yang sudah
dikenal dan telah diterapkan secara luas untuk mengatasi hal tersebut adalah krioprotektan. Selain itu
dalam beberapa tahun belakangan ini telah dengan cukup intensif diterapkan pemakaian senyawa
antioksidan di dalam pengencer semen. Seperti halnya dengan krioprotektan, pemakaian senyawa
antioksidan juga dimaksudkan untuk mengurangi kerusakan spermatozoa selama proses kriopreservasi
semen.
Dikenal dua golongan krioprotektan, yakni krioprotektan ekstraseluler dan intraseluler.
Krioprotektan ekstraseluler seperti laktosa, maltosa, dan sukrosa tidak dapat memasuki sel, sehingga
mereka melindungi sel dengan cara “membungkus” membran plasma sel. Sedangkan krioprotektan
intraseluler seperti gliserol, etilen glikol, dan dimethyl sulfoxide (DMSO) dapat memasuki sel,
sehingga dapat melindungi sel dari dalam dengan cara menyeimbangkan osmolaritas intra dan
ekstrasel serta memodifikasi struktur kristal-kristal menjadi lebih lembut. Penggunaan kedua jenis
krioprotektan ini secara bersamaan diharapkan tercipta sinergi yang baik antara keduanya sehingga
lebih optimal dalam melindungi sel spermatozoa dari kerusakan selama proses produksi semen beku.
2.2 Antioksidan
Telah dilakukan penelitian pembekuan spermatozoa pada domba garut menggunakan berbagai
krioprotektan dan antioksidan untuk mempertahankan kualitas spermatozoa beku (Rizal, 2005). Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas spermatozoa dengan
penambahan antioksidan.
4
Pemakaian laktosa dan gliserol sebagai krioprotektan telah dikenal luas dalam proses
kriopreservasi semen berbagai jenis hewan ternak. Namun pada sapi aceh belum diketahui
konsentrasi yang optimal dalam mempertahankan kualitas semen beku. Demikian pula halnya dengan
penggunaan antioksidan glutation dan -karoten dalam pengencer semen yang belum lazim digunakan
dalam proses kriopreservasi semen.
Glutation dan -karoten sebagai senyawa antioksidan dapat dipahami karena mampu
membersihkan radikal bebas hidroksil (OH) yang sangat reaktif (Tuminah 2000) dan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipida pada membran plasma sel, sehingga memungkinkan digunakan di dalam
pengencer semen. Namun demikian, pemakaian glutation dan -karoten sebagai antioksidan di dalam
pengencer semen beku masih jarang dibandingkan dengan antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin
E, butylated hydroxytoluene (BHT), dan lain-lain, sehingga memerlukan pengkajian yang lebih
mendalam pada semen berbagai jenis hewan. Menurut Suryohudoyo (2000) glutation bersifat
hidrofilik dan berperan di dalam sitosol, sedangkan -karoten bersifat lipofilik dan berperan pada
membran plasma sel. Dengan demikian diharapkan bahwa dengan kombinasi antara kedua
antioksidan ini dapat secara optimal melindungi sel spermatozoa dari kerusakan akibat serangan zat
oksidan dan radikal bebas.
Demikian pula halnya dengan upaya kriopreservasi spermatozoa yang diaspirasi dari
epididimis perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap hewan-
hewan jantan yang bermasalah dalam melakukan ejakulasi secara normal padahal hewan-hewan ini
tergolong hewan langka atau memiliki mutu genetik yang unggul. Dengan metode ini pelestarian
sumberdaya hewan yang mati secara mendadak masih dapat dilakukan, serta dapat juga diterapkan
pada hewan-hewan liar dan buas.
Informasi-informasi seperti tersebut di atas belum tersedia dalam jumlah yang memadai pada
kerbau Aceh, bahkan belum pernah dilaporkan. Hal inilah yang melandasi diadakannya penelitian ini.
2.3 Peta Jalan Penelitian
Penelitian ini bagian dari tujuan jangka panjang yaitu untuk mendapatkan spermatozoa beku
dengan nilai ekonomi tinggi, dapat digunakan sebagai sumber material genetik kerbau jantan unggul,
disamping publikasi. Penelitian ini mencakup pekerjaan seleksi kerbau pejantan unggul dan
mengkoleksi spermatozoa untuk dibekukan. Pada penelitian ini akan dilakukan analisis kualitas dan
viabilitas spermatozoa beku dan uji fertilitas spermatozoa.
5
Belum
- Belum pernah dilakukan - Keberhasilan belum optimal Penelitian pada kerbau Aceh - Menggunakan kerbau lokal Jawa
Glutation dan β-karoten sudah berhasil untuk membekukan spermatozoa domba garut
Aceh merupakan
daerah yang
memiliki populasi
kerbau terbanyak
dan memiliki
kualitas yang baik
(Hasinah dan
Handiwirawan,
2007)
Pemanfaatan
kerbau di Aceh
belum optimal
(daging dan
susu)
Kebutuhan
bahan pangan
hewani belum
tercukupi
Penambahan
Antioksidan
telah
digunakan
dalam
pembekuan
spermatozoa
kerbau lumpur
(Dasrul, 2005)
Penambahan
Glutation
bertingkat
Penambahan β-
karoten bertingkat
6
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT
Secara umum hasil penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan spermatozoa kerbau dalam
bentuk beku yang dapat digunakan untuk inseminasi buatan guna meningkatkan mutu genetik dan
populasi kerbau di Aceh. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pemerintah
daerah untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani
Kerbau pejantan unggul dapat dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki
mutu genetik, melalui pendekatan teknologi reproduksi. Spermatozoa yang dikoleksi dari pejantan
unggul dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai salah satu alternatif sumber spermatozoa untuk
memenuhi kebutuhan dalam penerapan berbagai teknologi reproduksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka sudah selayaknya penelitian ke arah pembekuan spermatozoa
kerbau dalam rangka memberikan pelayanan IB bagi masyarakat peternak dilaksanakan. Sehingga
Perguruan Tinggi memberi kontribusi aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Adapun keutamaan dari penelitian ini sehingga penting untuk dilakukan antara lain adalah:
1. Mengoptimalkan potensi kerbau dalam aspek meningkatkan mutu genetik dan populasi kerbau
dengan cara seleksi pejantan dan membekukan semen (spermatozoa kerbau) sehingga dapat
diperoleh stok spermatozoa beku yang unggul dengan cara inseminasi buatan.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada daerah Aceh khususnya petani
dan peternak kerbau terhadap pengembangan kerbau sehingga dapat meningkatkan ketahanan
pangan di Aceh. Selain itu, manfaat jangka pangjang yang diperoleh dari penelitian ini membuka
peluang untuk ekspor.
3. Memberi wawasan terhadap pengembangan IB pada kerbau dengan penyediaan teknik
kriopreservasi menggunakan pengencer yang baik.
4. Sebagai salah satu sarana alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan populasi
dan mutu genetik kerbau.
5. Menghasilkan publikasi ilmiah.
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala dan BIB Sare., Penelitian ini dimulai bulan Januari 2015
sampai Desember 2016.
7
4.2 Materi Penelitian
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah empat ekor kerbau pejantan dewasa kelamin asal
Simeulu dengan kondisi tubuh dan kesehatan yang baik, berat badan sekitar 400 – 500 kg dan umur
sekitar 3 – 5 tahun sebagai sumber semen yang akan diuji kualitasnya. Pejantan dikandangkan secara
individu dan diberikan pakan berupa rumput dan leguminosa setiap hari. Untuk menjaga kesehatan,
pejantan dimandikan setiap minggu.
4.3 Bahan dan Alat
Tabel 1. Komposisi pengencer dasar
Bahan Jumlah
Tris(hydroxymethyl)aminomethanea (g)
Asam sitrat-monohidratb (g)
D(-)Fruktosac (g)
Kuning telurd (ml)
Penisilin-Ge (IU/ml)
Streptomisin sulfatf (g/ml)
Akuabidestilatag ad (ml)
3.32
1.86
1.37
20
1000
1000
100
Keterangan: a = Merck, Germany, cat. K27219882 003
b = Merck, Germany, cat. K22939944 632
c = Merck, Germany, cat. K27917123 038
d = Telur ayam ras
e = Meiji, Japan, cat. APG 0598 J
f = Meiji, Japan, cat. SSL 1095 A
g = Supracointra, Indonesia.
Bahan-bahan penelitian yang digunakan adalah: semen segar kerbau, bahan pengencer dasar
(Tabel 1), krioprotektan laktosa-monohidrat (Merck, Germany, cat. K27650960 033) dan gliserol
(Merck, Germany, cat. K28328694 044), antioksidan glutation (Merck, Germany, cat. 336
K20146490) dan -karoten (Merck, Germany, cat. K22585936 632), formaldehida (Merck, Germany,
cat. K25421403 828), NaCl (Merck, Germany, cat. 3.9 K19690004) fisiologis, NaCl 3%, larutan
hipoosmotik (Revell dan Mrode 1994), pewarna eosin B (Merck, Germany, cat. 509 K5003834),
alkohol, nitrogen cair, KY jelly (Johnson and Johnson, Indonesia), dan lain-lain.
Proses kriopreservasi semen akan menggunakan peralatan sebagai berikut: vagina
buatan/elektrik ejakulator, tabung spermatozoa, tabung reaksi, gelas erlenmeyer, gelas piala, gelas
ukur, termometer, mikroskop cahaya, gelas objek, gelas penutup, pipet tetes, hemositometer, pH
8
meter, bunsen, timbangan mikro, konteiner N2 cair dan perlengkapannya, straw mini (0.25 ml), rak
straw, penangas air, lemari es, styrofoam, dan lain-lain. Sedangkan untuk mengetahui angka fertilitas
dilakukan dengan analisis progesteron plasma darah dan ultrasonografi (USG).
4.4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini meliputi pembekuan semen hasil ejakulasi dan IB. Penelitian ini terdiri atas tiga
tahap percobaan, sedangkan penelitian kedua terdiri atas satu tahap.
Percobaan Tahap Pertama
Percobaan tahap pertama ini dilakukan untuk menguji efektivitas krioprotektan ekstraseluler
(laktosa) dan intraseluler (gliserol) terhadap kualitas semen beku.
1. Penampungan Semen
Semen ditampung menggunakan vagina buatan satu kali dalam satu minggu. Segera setelah
ditampung, semen dinilai secara makroskopik dan mikroskopik. Penilaian makroskopik meliputi:
volume, warna, konsistensi (kekentalan), derajat keasaman (pH). Penilaian mikroskopik meliputi:
gerakan massa, persentase motilitas, persentase hidup, konsentrasi, persentase abnormalitas, dan
integritas membran plasma spermatozoa, yakni persentase tudung akrosom utuh (TAU) dan persentase
membran plasma utuh (MPU).
2. Pengenceran dan Ekuilibrasi Semen
Semen segar yang memenuhi syarat (motilitas 70%, konsentrasi 2000 juta sel per ml,
gerakan massa ++ atau +++, dan abnormalitas <15%) diencerkan sesuai dengan perlakuan yang
dicobakan. Perlakuan krioprotektan yang dicobakan adalah sebagai berikut:
Krioprotektan ekstraseluler berupa laktosa dalam tiga tingkat konsentrasi, yakni: 0 mM (L0)
(kontrol), 60 mM (L60), dan 120 mM (L120).
Krioprotektan intraseluler berupa gliserol dalam tiga tingkat konsentrasi, yakni: 3% (G3), 5%
(G5), dan 7% (G7).
Dengan demikian terdapat sembilan kombinasi perlakuan, yakni: L0G3, L0G5, L0G7, L60G3,
L60G5, L60G7, L120G3, L120G5, dan L120G7.
Semen yang telah diencerkan dikemas ke dalam straw mini (0.25 ml) dengan konsentrasi 200
juta sperma motil per straw kemudian diekuilibrasikan di dalam lemari es pada sekitar 5oC selama
tiga jam.
3. Kriopreservasi dan Thawing (Pencairan Kembali) Semen
9
Pembekuan semen dilakukan dengan cara meletakkan straw 10 cm di atas permukaan nitrogen
cair (suhu sekitar –130oC) selama 15 menit. Kemudian straw dimasukkan ke dalam nitrogen cair
(suhu sekitar –196oC) dan disimpan di dalam konteiner. Setelah disimpan satu minggu, setiap sampel
straw masing-masing perlakuan dicairkan kembali untuk dinilai kualitasnya. Semen beku dicairkan
kembali dengan cara memasukkan straw ke dalam air hangat bersuhu 37oC selama 30 detik.
Percobaan Tahap Kedua
Percobaan tahap kedua ini dilakukan untuk menguji efektivitas antioksidan glutation dan -
karoten terhadap kualitas semen beku. Proses kriopreservasi semen menggunakan prosedur yang
sama dengan percobaan tahap pertama. Semen diencerkan dengan komposisi pengencer terbaik dari
hasil percobaan tahap pertama.
Perlakuan yang dicobakan dalam percobaan tahap kedua ini adalah sebagai berikut:
Pengencer tris terbaik pada percobaan tahap pertama (kontrol).
Penambahan glutation dengan tiga tingkat konsentrasi, yakni: 0.05 g (Glu0.05), 0.10 g (Glu0.10), dan
0.15 g (Glu0.15) per 100 ml pengencer.
Penambahan -karoten dengan tiga tingkat konsentrasi, yakni: 0.00625 g (Kt0.00625), 0.0125 g
(Kt0.0125), dan 0.025 g (Kt0.025) per 100 ml pengencer.
Percobaan Tahap Ketiga
1. Uji Fertilitas Semen Beku
Percobaan ini dilakukan untuk menguji tingkat fertilitas semen beku empat perlakuan terbaik
hasil percobaan tahap kedua dengan melakukan IB. Pada percobaan ini digunakan dosis IB sebesar
200 juta per straw.
Inseminasi dilakukan 18 – 24 jam setelah awal berahi. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ovulasi pada kerbau terjadi 26 jam setelah awal berahi, fertilisasi terjadi 2 – 3
jam setelah ovulasi dan waktu minimum yang dibutuhkan spermatozoa fungsional di dalam tuba
fallopii sekitar 6 – 8 jam (Hunter 1985).
Diagnosis kebuntingan dilakukan dengan pengukuran kadar hormon progesteron serum setiap
induk 16 hari setelah inseminasi (Reichenbach et al. 1996). Pemeriksaan kebuntingan dilakukan
kembali 30 hari setelah inseminasi menggunakan ultrasonografi (USG).
4.5 Parameter yang Diamati
10
Parameter kualitas semen yang diamati adalah:
Persentase motilitas, persentase hidup, persentase TAU, dan persentase MPU spermatozoa masing-
masing setelah tahap pengenceran, ekuilibrasi, dan thawing. Konsentrasi malondialdehida (MDA)
setiap perlakuan percobaan tahap kedua dianalisis pada tahap setelah thawing.
Fertilitas semen beku (angka kebuntingan).
Persentase motilitas: persentase spermatozoa yang bergerak progresif. Ditentukan secara subjektif
pada delapan pandang yang berbeda dengan mikroskop cahaya pembesaran 400 kali. Angka yang
diberikan berkisar antara 0% hingga 100% dengan skala 5%.
Persentase hidup: persentase spermatozoa yang hidup. Ditentukan dengan menggunakan pewarnaan
eosin (Toelihere 1993). Spermatozoa yang hidup ditandai oleh kepala yang berwarna putih,
sedangkan yang mati ditandai oleh kepala yang berwarna merah dengan. Jumlah spermatozoa yang
dievaluasi minimal 200.
Persentase TAU: persentase spermatozoa yang memiliki tudung akrosom utuh. Tudung akrosom
utuh ditandai oleh ujung kepala spermatozoa yang berwarna hitam tebal apabila semen dipaparkan di
dalam larutan NaCl fisiologis-1% formalin (modifikasi metode Saacke dan White 1972). Jumlah
spermatozoa yang dievaluasi minimal 200.
Persentase MPU: persentase spermatozoa yang memiliki membran plasma utuh. Ditentukan dengan
menggunakan metode osmotic resistance test (Revell dan Mrode 1994). Spermatozoa yang memiliki
membran plasma utuh ditandai oleh ekor yang melingkar atau menggembung, sedangkan yang rusak
ditandai oleh ekor yang lurus apabila semen dipaparkan di dalam larutan hipoosmotik dan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 60 menit. Spermatozoa dievaluasi dengan mikroskop pembesaran 400 kali.
Jumlah spermatozoa yang dievaluasi minimal 200.
Konsentrasi MDA: dianalisis dengan menggunakan pereaksi asam tiobarbiturat (TBA).
Fertilitas (angka kebuntingan): jumlah betina yang bunting dibagi jumlah betina yang diinseminasi
dikali 100%. Ditentukan dengan cara analisis hormon progesteron dari sampel plasma darah betina
16 hari setelah inseminasi. Diagnosis kebuntingan dilakukan kembali pada hari ketiga puluh setelah
inseminasi menggunakan USG.
4.6 Luaran Penelitian
Target penelitian adalah berhasil melakukan pembekuan spermatozoa kerbau dalam bentuk
straw dan memiliki kualitas yang layak untuk diinseminasikan. Spermatazoa dalam bentuk beku ini
dapat disimpan dalam waktu yang lama walaupun pejantan unggulnya sudah mati. Upaya ini
11
diharapkan dapat meningkatkan mutu genetik dan populasi kerbau di Aceh khususnya daerah yang
banyak populasi kerbau seperti Daerah Simeulu, Aceh Barat dan lain-lain dalam meningkatkan
ketahanan pangan terutama protein hewani dalam bentuk daging dan susu.
4.7 Indikator terukur
Indikator terukur dalam penelitian ini adalah: (1) persentase kebuntingan kerbau betina yang di
IB dengan spermatozoa beku kerbau di Aceh meningkat, (2) spermatozoa beku dengan menggunakan
berbagai krioprotektan dan penambahan antioksidan lebih baik, (3) persentase sel telur yang dibuahi
meningkat.
4.8 Analisis Data
Percobaan tahap pertama dirancang ke dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 3
x 3. Jumlah penampungan semen sebanyak enam kali sebagai ulangan. Perbedaan antarperlakuan
diuji dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel dan Torrie 1993).
Percobaan tahap kedua dirancang ke dalam RAL dengan tujuh perlakuan dan sembilan kali
ulangan. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji BNT (Steel dan Torri 1993). Data percobaan
tahap ketiga dianalisis dengan metode chi square (X2) (Steel dan Torrie 1993) dengan model
matematika sebagai berikut:
(Ri)(Cj)
Eij =
G
dimana: Eij = nilai harapan sel (i,j).
Ri = jumlah baris ke-i.
Cj = jumlah lajur ke-j.
G = jumlah umum.
r c (nij – Eij)2
X2 =
i=1 j=1 Eij
dimana: X2 = nilai pengamatan.
nij = nilai pengamatan dalam kelas peubah baris ke-i dan
peubah lajur ke-j.
Eij = nilai harapan sel (i,j).
r = baris.
c = lajur.
db = (r-1)(c-1).
12
13
4.9 Fishbone Diagram
Bentuk umum diagram tulang ikan dalam mengindentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Mendapatkan spermatozoa beku yang
berkualitas dan meningkatkan keberhasilan
kebuntingan kerbau
Pembekuan spermatozoa pada kerbau belum
berhasil karena plasma semen mudah rusak.
Penampungan semen untuk
seleksi tahap 1.
Pengenceran dan
ekuilibrasi semen.
Kriopreservasi dan thawing
semen
Penngenceran sperma terbaik
dari hasil tahap 1 ditambahkan
dengan bahan antioksidan
Uji fertilitas
Vagina buatan/ elektrik ejakulator
- Krioprotektan
intraseluler
- Krioprotektan
intraseluler
- Penambahan antioksidan
glutation
- Penambahan antioksidan β-
karoten
- Kualitas dan viabilitas
- Uji kebuntingan
Kualitas dan viabilitas
sperma
14
BAB 5. HASIL YANG DICAPAI
5.1. Kualitas Semen Segar
Semen segar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari kerbau lumpur jantan
berumur 3,5 tahun yang dijaga kondisi kesehatannya sehingga layak digunakan sebagai pejantan.
Semen yang memenuhi standar selanjutnya diproses lebih lanjut untuk dilakukan proses ekuilibrasi
dan kriopreservasi. Parameter yang diamati untuk menilai baik buruknya suatu semen meliputi
volume, warna, konsistensi, konsentrasi, gerakan massa, motilitas, spermatozoa hidup dan
abnormalitas. Hasil analisa kualitas semen kerbau lumpur yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hasil rata-rata evaluasi semen segar kerbau
Parameter Hasil
Volume (ml) 1,16 0,21
Warna Putih susu
Konsistensis Sedang
Konsentrasi (106/ml) 1267 26,60
Gerakan massa ++
Motilitas (%) 81,8
Spermatozoa hidup (%) 82,2
Abnormalitas (%) 10,2
Keterangan: (++) = gerakan massa spermatozoa seperti gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang, kurang jelas
dan bergerak lamban.
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa semen kerbau lumpur yang digunakan telah
memenuhi standar sebagai semen yang layak untuk diencerkan dan disimpan sebagai semen beku.
Warna semen segar semen kerbau lumpur yang diperoleh adalah putih susu. Menurut Herdis (1997),
semen kerbau lumpur memiliki warna krem, krem keputihan atau putih susu dengan konsistensi
sedang. Hasil rataan volume semen segar kerbau lumpur yang diperoleh adalah 1,16 ml. Menurut
Toelihere (1993), volume semen pada tiap individu dipengaruhi oleh bobot hidup, pakan, individu,
libido, frekuensi penampungan dan bangsa. Volume ejakulat kerbau lumpur di Indonesia berkisar
antara 0,05 ml sampai dengan 2,5 ml (Toelihere, 1985). Rataan nilai konsentrasi, gerakan massa,
motilitas, spermatozoa hidup dan abnormalitas secara berurutan adalah 1267 juta/ml ++, 81,8%,
82,2% dan 10,2 %. Konsentrasi spermatozoa kerbau lumpur umumnya lebih rendah dibandingkan
15
dengan sapi. Konsentrasi spermatozoa kerbau lumpur di Indonesia berkisar antara 200 – 1000 juta per
ml (Toelihere, 1985). Gerakan massa kerbau lumpur di Indonesia berkisar antara 1(+) sampai 3 (+++).
Abnormalitas berbagai jenis spermatozoa kerbau lumpur di Indonesia berkisar antara 9,93 0,12 %
pada kerbau lumpur mehsana (Bhavsar et al., 1990) dan 6,52 0,43% pada kerbau lumpur murrah
(Krishna dan Rao, 1987).
5.2. Kualitas Spermatozoa Dalam Tiga Tahapan Pengolahan Semen
5.2.1. Motilitas Spermatozoa
Motilitas spermatozoa sangat mempengaruhi keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan
ovum, baik yang dilakukan dengan teknik perkawinan secara langsung maupun menggunakan teknik
inseminasi buatan. Penambahan antioksidan dengan konsentrasi yang optimum ke dalam bahan
pengencer tris kuning telur dapat mempertahankan kualitas semen beku kerbau lumpur. Hal ini dapat
dilihat dari motilitas spermatozoa yang ditambahkan antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol setelah thawing dilakukan. Menurut Toelihere (1993), semen beku yang layak digunakan
dalam program inseminasi buatan (IB) harus memiliki persentase motilitas paling sedikit 40% . Hasil
pengamatan motilitas spermatozoa pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Rata-rata persentase motilitas spermatozoa kerbau lumpur dalam penambahan berbagai
konsentrasi -karoten dan glutation
Perlakuan Tahap pengolahan semen (%)
Pengenceran Ekuilibrasi Pasca thawing
P0 66,7±2,89a 56,7±5,77ab 39,0±1,73c
P1 70,0±0,00ab 61,3±3,21b 44,3±5,13de
P2 70,0±0,00ab 46,7±11,5a 32,0±1,73b
P3 68,3±2,89ab 63,0±4,58b 0,00±0,00a
P4 70,0±0,00ab 62,3±8,73b 45,0±4,00e
P5 70,6±1,15b 61,7±2,89b 40,3±1,15cde
P6 68,3±2.89ab 62,3±4,04b 39,3±1,52cd
16
Keterangan: Huruf dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
P0 = glutation/ -karoten 0 g; P1,P2,P3 = -karoten 0.00625 g, 0,0125 g, 0,025 g; P4,P5,P6 = glutation 0,05 g,
0,10 g, 0,15 g.
Secara statistik (p<0,05), perlakuan pengenceran menunjukkan hasil bahwa P0 (kontrol) tidak
berbeda nyata terhadap perlakuan P1 ( -karoten 0,00625 g), P2 ( -karoten 0,0125 g), P3 ( -karoten
0.025 g), P4 (glutation 0,05 g), dan P6 (glutation 0,15 g), tetapi berbeda nyata terhadap P5 (glutation
0,10 g). P1 menunjukkan nilai persentase motilitas sebesar 66,7 % dan P5 sebesar 70,6%. P1
memperoleh nilai persentase motilitas terendah sedangkan P5 memperoleh nilai persentase motilitas
tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Diduga pada perlakuan kontrol, telah terjadi sedikit
reaksi peroksidasi akibat berkontaknya semen dengan lingkungan yang mengandung oksigen.
Menurut Siregar (1992), 90% oksigen akan masuk ke dalam mitokondria dan terlibat di dalam proses
respirasi sel untuk meghasilkan ATP dengan mengikutsertakan enzim - enzim respirasi. Dalam proses
respirasi, oksigen mengalami reduksi dalam rangkaian elektron transfer di dalam mitokondria. Proses
reduksi oksigen tersebut dapat menghasilkan radikal bebas dan hidrogen peroksida sebagai senyawa
antara. Kemudian dinyatakan bahwa radikal bebas bersifat sangat reaktif, jika bereaksi dengan asam
lemak tak jenuh akan menghasilkan lipid peroksida. Dalam hal ini, antioksidan akan berperan dalam
mendonorkan satu elektronnya untuk senyawa radikal agar senyawa tersebut menjadi lebih aman.
Namun, pada perlakuan kontrol tidak ada penambahan antioksidan sehingga diduga tidak ada agen
yang dapat mencegah reaksi peroksidasi ini. Akibatnya terjadi kerusakan membran plasma beserta
mitokondria sehingga produksi ATP menipis yang menyebabkan turunnya daya motil spermatozoa.
Selanjutnya pada perlakuan ekuilibrasi diperoleh hasil bahwa perlakuan P0 (56,7%) tidak
berbeda nyata terhadap semua perlakuan, sedangkan P2 (46,7%) menunjukkan hasil yang berbeda
nyata terhadap semua perlakuan. Nilai persentase motilitas terhadap semua perlakuan menurun pada
tahap ini. Diduga reaksi antara radikal bebas terutama ROS terhadap membran plasma spermatozoa
semakin tinggi. Menurut Kardivel et al. (2008), senyawa ini meningkatkan peroksidasi lipida terhadap
kandungan asam lemak tak jenuh yang terdapat pada membran plasma. Proses penghasilan energi
melalui mekanisme respirasi sel dan jumlah spermatozoa yang mati merupakan sumber utama
dihasilkannya senyawa ROS (Vishwanath dan Shannon, 1997).
Setelah dilakukannya proses ekuilibrasi, selanjutnya dilakukan proses pembekuan atau
kriopreservasi. Fungsi kedua tahapan yang dilakukan sebelum kriopreservasi dilaksanakan adalah
untuk menurunkan suhu pengencer secara bertahap. Penurunan suhu secara bertahap ini berfungsi
17
agar spermatozoa sedikitnya mampu beradaptasi pada suhu yang sangat rendah ketika proses
pembekuan dilakukan. Berdasarkan hasil analisa data terlihat bahwa penambahan antioksidan -
karoten dan glutation dengan konsentrasi yang tepat dapat mempertahankan motilitas spermatozoa
kerbau lumpur pasca thawing.
Penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,00625 g (P1) merupakan perlakuan konsentrasi
-karoten terbaik dibandingkan dengan kontrol dan -karoten pada konsentrasi lainnya. Hal ini dapat
dilihat dari nilai persentase motilitas spermatozoa meningkat (44,3%) dibandingkan dengan kontrol
(39,0%), P2 (44,3%) dan P3 (0,00%). Ketiga perlakuan ini berbeda nyata secara statistik (p<0,05). -
karoten merupakan senyawa kimia yang mampu menangkal radikal bebas dengan cara memutus rantai
reaksi peroksidasi lipid. Namun, kadar -karoten yang berlebih juga dapat berakibat buruk bagi tubuh.
Menurut Schweigert dan Zucker (1988), kadar -karoten di dalam sel cukup rendah dan dapat bersifat
toksik jika konsentrasinya berlebih. Hasil menunjukkan bahwa penambahan -karoten dengan
konsentrasi terendah dapat meningkatkan motilitas spermatozoa. Sedangkan penambahan -karoten
dengan konsentrasi tertinggi (P3) yakni 0,025 g dapat menghilangkan daya motil spermatozoa. Rata-
rata motilitas spermatozoa (P3) pasca thawing adalah 0,00%. Rizal (2005), melaporkan bahwa
penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,002 g (56,78%) ke dalam bahan pengencer tris kuning
telur menunjukkan persentase motilitas spermatozoa domba garut terbaik dibandingkan dengan
konsentrasi yang lainnya (0,001 g (56,78%) dan 0,003 g (53,33%)). Gunawan et al. (2012),
menyatakan hal yang sama bahwa penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,002 % dapat
mempertahankan motilitas spermatozoa sapi bali pasca thawing. Sedangkan penambahan -karoten
pada konsentrasi lebih dari 0,003 % mengakibatkan penurunan kualitas spermatozoa sapi bali. Hasil
ini mendukung pernyataan peneliti bahwa penambahan -karoten yang berlebih akan menurunkan
motilitas spermatozoa. Nilai persentase motilitas terbaik pada perlakuan -karoten dalam penelitian ini
lebih rendah dibandingkan dengan nilai persentase motilitas perlakuan -karoten pada penelitian Rizal
(2005). Namun, nilai persentase motilitas pada perlakuan -karoten terbaik pada penelitian ini telah
memenuhi standar semen beku (motilitas minimum 40%) yang dapat diproses untuk inseminasi
buatan. Penambahan glutation dengan konsentrasi 0,05 g (P4) merupakan perlakuan konsentrasi
glutation terbaik dibandingkan kontrol, glutation 0,10 g (P5) dan glutation 0,15 g (P6). Hal ini dapat
dilihat dari meningkatnya motilitas spermatozoa pada P4 (45,0%) dibandingkan dengan kontrol
(39,0%), P5 (40,3%) dan P6 (39,3%). Hasil ini yang sama dilaporkan oleh Rizal (2005) bahwa
penambahan glutation sebesar 0,05 g (52,78%) ke dalam media pengencer tris kuning telur dapat
meningkatkan motilitas spermatozoa domba garut dibandingkan dengan kontrol (46.67%). Ansari et
18
al. (2011), melaporkan hal yang serupa, penambahan glutation dengan konsentrasi 0,05 mM (56,7%)
pada media pengencer tris kuning telur secara nyata mampu mempertahankan motilitas spermatozoa
kerbau lumpur pasca thawing dibandingkan dengan kontrol (51%). Hasil persentase yang penelitian
Herdis (2012) juga menunjukan hasil yang sama, yaitu penambahan glutation dengan konsentrasi 0,05
g dan 0,10 g ke dalam bahan pengencer andromed dapat meningkatkan motilitas spermatozoa sapi
bali. Penambahan glutation sebesar 0,05 mM (53,33%) dan 0,10 mM (56,67%) juga mampu
mempertahankan motilitas spermatozoa sapi bali (Syarifuddin, 2012).
Penambahan baik -karoten maupun glutation dengan persentase berlebih menunjukkan
persentase motilitas yang lebih rendah. Hal ini diduga karena terganggunya tekanan osmotik pada
membran plasma spermatozoa. Menurut Gunawan (2012), senyawa antioksidan dalam jumlah banyak
akan semakin meningkatkan tekanan osmotik larutan pengencer dan spermatozoa kurang mampu
untuk beradaptasi sehingga berakibat buruk terhadap berlangsungnya proses metabolisme
spermatozoa.
5.2.2. Spermatozoa hidup
Spermatozoa hidup merupakan salah satu parameter penting yang harus diamati untuk
menentukan kualitas semen. Selain motilitas spermatozoa, semen yang memiliki kualitas yang baik
adalah semen yang memiliki jumlah spermatozoa hidup yang tinggi. Salah satu upaya untuk menjaga
daya hidup spermatozoa selama proses kriopreservasi dilakukan adalah dengan menambahkan
antioksidan ke dalam bahan pengencer semen. Penambahan ini bertujuan untuk melindungi
spermatozoa dari radikal bebas yang dapat merusak membran plasma sel spermatozoa. Penambahan
antioksidan dengan konsentrasi yang optimum dapat menjaga atau meningkatkan daya hidup
spermatozoa. Persentase hidup mati spermatozoa pada berbagai macam perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
Tabel 5.3. Rata-rata persentase spermatozoa hidup kerbau lumpur dalam penambahan berbagai
konsentrasi -karoten dan glutation
Perlakuan Tahap pengolahan semen
Pengenceran Ekuilibrasi Pasca thawing
P0 95,7±4,04d 83,0±12,1b 45,3±7,50bc
P1 94,8±3,01d 82,7±4,61b 57,6±0,057d
P2 63,3±5,77a 46,7±11,5a 38,7±7,50b
P3 74,7±5,03b 72,3±6,80b 0,00±0,00a
P4 87,3±0,57cd 77,5±12,9b 48,0±4,35c
19
P5 89,0±0,00cd 74,3±4,04b 44,7±1,52bc
P6 84,3±7,23c 75,7±5,13b 43,7±5,50bc
Keterangan: Huruf dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
P0 = glutation/ -karoten 0 g; P1,P2,P3 = -karoten 0.00625 g, 0,0125 g, 0,025 g; P4,P5,P6 = glutation 0,05 g,
0,10 g, 0,15 g.
Pengamatan terhadap spermatozoa hidup dilakukan dengan cara membuat preparat ulasan
dengan penambahan zat warna berupa eosin. Spermatozoa yang berwarna merah menandakan
spermatozoa yang mati, sedangkan spermatozoa hidup tidak menyerap warna (Toelihere, 1993).
Perlakuan pada pengenceran secara statitistik (p<0,05) menunjukkan hasil bahwa P0 (kontrol) tidak
berbeda nyata terhadap P1 ( -karoten 0,0625 g), P4 (glutation 0,05 g) dan P5 (glutation 0,10 g), tetapi
berbeda nyata terhadap P2 ( -karoten 0,0125 g), P3 ( -karoten 0,025 g) dan P6 (glutation 0,15 g).
Diduga konsentrasi antioksidan yang terlalu tinggi menimbulkan efek tingginya tekanan osmotik.
Menurut Rizal (2005), penambahan senyawa antioksidan dalam jumlah yang lebih banyak akan
semakin meningkatkan tekanan osmotik larutan pengencer dan hal ini kurang dapat diadaptasi dengan
baik oleh spermatozoa.
Selanjutnya pada pengamatan perlakuan ekuilibrasi menunjukkan penurunan persentase daya
hidup dibandingkan sebelumnya. Perlakuan P2 ( -karoten 0,0125 g) secara statistik (p<0,05) berbeda
nyata terhadap semua perlakuan. Nilai persentase daya hidup pada P2 paling kecil (46,7%) diantara
perlakuan yang lain. Diduga -karoten pada konsentrasi ini belum memadai untuk mempertahankan
daya hidup spermatozoa selama ekuilibrasi berlangsung.
Setelah penurunan suhu secara bertahap dilakukan, selanjutnya semen di bekukan dan di-
thawing beberapa saat kemudian. Berdasarkan hasil amatan menunjukkan bahwa penambahan
antioksidan -karoten dan glutation dengan dosis yang tepat mampu mempertahankan daya hidup
spermatozoa kerbau. Dalam penelitian ini konsentrasi dari antioksidan -karoten yang mampu
mempertahankan daya hidup spermatozoa adalah 0,00625 g (P1) dengan persentase daya hidup
spermatozoa sebesar 57,6 %. Sedangkan pada -karoten 0,0125 g (P2) dan -karoten 0,025 g (P3)
mengalami penurunan. P2 menunjukkan persentase daya hidup sebesar 38,7 % dan P3 0,00%. Hal ini
diduga karena konsentrasi -karoten pada P2 dan P3 terlalu tinggi sehingga meningkatkan tekanan
osmotik yang dapat menggangu proses metabolisme spermatozoa. Selain itu, konsentrasi antioksidan
yang sangat tinggi dapat merubah pH pengencer menjadi menurun (semakin asam). Rizal (2005),
melaporkan bahwa penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,002 % memberikan nilai persentase
20
terbaik dibandingkan kontrol (52,33%), -karoten 0,001 % (52,89%) dan -karoten 0,003 %
(53.33%). Gunawan et al. (2012), melaporkan bahwa penambahan antioksidan -karoten dengan
konsentrasi 0,002 % (68,33%) mampu mempertahankan persentase daya hidup spermatozoa sapi
dibandingkan dengan kontrol (51,67%). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Siahaan et al. (2012)
bahwa penambahan -karoten sebesar 0,002% (62,0%) mampu meningkatkan daya hidup
spermatozoa sapi bali. Konsentrasi -karoten terbaik dari hasil penelitian Rizal (2005) dan Siahaan et
al. (2012) lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi -karoten yang digunakan dalam penelitian
ini. Sehingga memungkinkan persentase daya hidup spermatozoa akan semakin meningkat bila
konsentrasi -karoten diturunkan.
-karoten memiliki kemampuan memproteksi liposom (suatu vesikel yang memiliki
fosfolipida bilayer tunggal) dari kerusakan akibat serangan singlet oksigen. Salah satu turunan ROS
(reactive oxygen species) seperti singlet oksigen merupakan senyawa yang menjadi penyebab
menurunnya kualitas spermatozoa pasca thawing. Singlet oksigen merupakan salah satu jenis senyawa
oksigen reaktif yang dapat merusak sel dengan cara menimbulkan reaksi rantai peroksida lipida
(Oshima et. al., 1993). Sikka (1996) mengatakan spermatozoa mamalia kaya akan asam lemak tak
jenuh dan mudah terpengaruh oleh kelompok oksigen ROS yang mampu menurunkan motilitas dan
meningkatkan kerusakan morfologi spermatozoa.
21
Gambar. 4.1. Spermatozoa hidup (a) dan mati (b)
Penambahan antioksidan glutation dengan konsentrasi yang tepat ke dalam media pengencer
semen juga secara nyata dapat meningkatkan daya hidup spermatozoa. Penambahan glutation dengan
konsentrasi 0,05 g (P4) merupakan konsentrasi glutation yang efektif meningkatkan daya hidup
spermatozoa. Persentase yang diperoleh pada P4 (48,0%). Perlakuan glutation 0,10 g (P5) juga
menunjukkan nilai yang cukup baik (44,7%) dan secara statistik tidak berbeda nyata meskipun
persentase spermatozoa hidup P4 lebih tinggi dibandingkan P5. Hasil ini didiukung oleh penelitian
Rizal (2005) bahwa penambahan glutation dengan konsentrasi 0,05 g (58,78%) dan 0,10 g (59,67%)
memberikan hasil terbaik untuk mempertahankan daya hidup spermatozoa domba garut. Syarifuddin
et. al (2012), menambahkan bahwa penambahan glutation ke dalam bahan pengencer andromed
dengan konsentrasi 0,5 mM (56,67%) dan 1 mM (63,33%) nyata dapat mempertahankan daya hidup
spermatozoa sapi bali setelah thawing lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol (53%). Berikut
juga dilaporkan oleh Gunawan et. al (2012), penambahan glutation ke dalam pengencer andromed
dengan konsentrasi 1 mM dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa sapi bali (68,33%)
dibandingkan dengan kontrol (51,67%). Menurut Triwulanningsih et al. (2003), glutation dapat
mengkontrol homeostatik baik di dalam maupun di luar sel. Glutation adalah antioksidan sulfhydril (-
SH), antitoksin dan kofaktor enzim. Berdasarkan sifat antioksidan yang dapat menetralkan radikal
bebas, maka penambahan glutation sebagai antioksidan primer diharapkan dapat mengurangi
kerusakan membran plasma yang mengakibatkan kematian spermatozoa dalam jumlah yang tinggi
serta meningkatkan persentase daya hidup spermatozoa.
5.2.3. Tudung Akrosom Utuh (TAU)
Akrosom merupakan bagian anterior dari kepala spermatozoa yang sangat esensial bagi
spermatozoa dalam kemampuannya membuahi sel telur. Benturan spermatozoa yang terjadi akibat
proses fertilisasi spermatozoa dengan ovum pada saat membuahi sel telur difasilitasi oleh akrosom.
Akrosom berfungsi untuk melindungi kepala spermatozoa yang mengandung materi genetik agar tidak
rusak pada saat proses fertilisasi terjadi. Menurut Bailey et al. (2000), keutuhan akrosom merupakan
bagian vital dalam proses fertilisasi. Akrosom utuh merupakan salah satu evaluasi terpenting untuk
menentukan keberhasilan pembuahan. Penurunan persentase akrosom utuh berhubungan dengan
menurunnya antioksidan serta meningkatnya produksi ROS (reactive oxygen species). Persentase
tudung akrosom utuh pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.4.
22
Tabel 5.4. Rata-rata persentase TAU spermatozoa kerbau lumpur dalam penambahan berbagai
konsentrasi -karoten dan glutation
Perlakuan Tahap pengolahan semen
Pengenceran Ekuilibrasi Pasca thawing
P0 84,5±7,79c 67,0±6,92b 44,7±4,61b
P1 88,3±9,01c 86,0±6,50c 46,0±1,00b
P2 63,3±5,77a 46,7±11,5a 44,0±12,1b
P3 69,7±4,50ab 67,0±7,00c 0,00±0,00a
P4 90,7±5,50c 78,3±1,15bc 51,0±7,00b
P5 87,3±0,057c 71,7±2,89b 45,0±0,00b
P6 80,05±7,85bc 70,7±3,05b 43,7±3,05b
Keterangan: Huruf dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
P0 = glutation/ -karoten 0 g; P1,P2,P3 = -karoten 0.00625 g, 0,0125 g, 0,025 g; P4,P5,P6 = glutation 0,05 g,
0,10 g, 0,15 g.
Spermatozoa yang memiliki tudung akrosom rusak ditandai dengan warna kehitaman dibagian
ujung kepala spermatozoa setelah dipaparkan dengan larutan NaCl fisiologis 1% formaldehid
(formasaline). Larutan formasaline dapat memfiksasi enzim-enzim yang terdapat di vesikel akrosom
bagian ujung kepala spermatozoa sehingga menyebabkan munculnya warna kehitaman (Rizal, 2005).
Berdasarkan hasil analisa statistik diperoleh hasil bahwa pada perlakuan pengenceran,
penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,0125 g (P2) berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol,
-karoten 0,00625 g (P1), glutation 0,05 g (P4), glutation 0,10 g (P5) dan glutation 0,15 g (P6). -
karoten 0,025 g (P2) berbeda nyata terhadapa semua perlakuan, tetapi tidak berbeda nyata terhadap
P6. Perlakuan P2 (63,3%) dan P3 (69,7%) merupakan perlakuan dengan hasil persentase TAU terkecil
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Diduga pada perlakuan ini, konsentrasi yang digunakan
merupakan konsentrasi yang tidak tepat untuk mencegah peroksidasi lipida terjadi.
Selanjutnya perlakuan pada ekuilibrasi, nilai persentase TAU semakin menurun untuk semua
perlakuan. Diduga hal ini terjadi akibat konsumsi oksigen oleh spermatozoa yang mengakibatkan
terbentuknya zat sisa metabolisme. Zat sisa metabolisme ini merupakan salah satu sumber
dihasilkannya radikal bebas. Secara statistik (p<0,05), P2 berbeda nyata terhadap semua perlakuan.
Nilai persentase TAU P2 (46,7%) merupakan nilai persentase TAU terendah diantara semua
perlakuan. Diduga pada konsentrasi ini, antioksidan -karoten tidak memadai dalam menghambat
peroksidasi lipida oleh radikal bebas. Menurut Gunawan et al.(2012), penambahan antioksidan -
karoten dalam jumlah yang tidak memadai belum mampu mencegah terjadinya peroksidasi lipida.
Setelah melewati tahapan penurunan suhu pada ekuilibrasi, selanjutnya semen dibekukan.
Tahapan ini merupakan bagian yang paling kritis diantara kedua tahapan sebelumnya. Perubahan suhu
23
yang drastis mengakibatkan spermatzoa mengalami cold shock, terbentuknya kristal es, serta
peroksidasi lipida. Timbulnya peroksidasi lipid selama proses pembekuan semen mempengaruhi
kerusakan pada sel spermatozoa. Menurut Maxwell dan Watson (1996), kerentanan spermatozoa
terhadap peroksidasi lipid disebabkan oleh fosfolipid membran plasma sel spermatozoa mamalia
mengandung asam lemak tak jenuh yang sangat rentan terhadap serangan radikal bebas dan
merangsang terjadinya reaksi autokatalitik yang akan merusak ikatan gandanya Sehingga dibutuhkan
antioksidan sebagai agen untuk meredam aktifitas radikal bebas.
Penambahan antioksidan -karoten 0,00625 g (P1) menunjukkan persentase TAU yang lebih
tinggi dibandingkan kontrol (P0) dan kedua perlakuan -karoten yang lain. Persentase TAU pada P1
sebesar 46,0% dan P0 adalah sebesar 44,7 %. Secara statistik (p<0,05) keduanya tidak berbeda nyata.
Sedangkan pada kedua perlakuan -karoten lainnya, yakni -karoten 0,0125 g (0,0125 g) dan -
karoten 0,025 g (P3) menunjukkan persentase TAU yang lebih rendah. Nilai persentase keduanya
secara beurutan adalah 44,0 % dan 0,00 %. Diduga konsentrasi antioksidan yang terlalu tinggi
mempengaruhi tekanan osmotik pada sel spermatozoa. Rizal (2005), melaporkan bahwa penambahan
-karoten 0,002% (51,00 %) menunjukkan nilai persentase TAU lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol (47,11%). Menurut Rizal dan Herdis (2010), pemakaian -karoten sebagai salah satu zat
tambahan pengencer semen belum banyak dilaporkan. Tetapi dikarenakan fungsinya sebagai salah
satu senyawa antioksidan, maka pemakaian senyawa tersebut untuk meningkatkan kualitas semen
sangat memungkinkan. Suryohudoyo (2000), menambahkan bahwa -karoten merupakan salas satu
senyawa antioksidan yang larut dalam lemak dan berfungsi memutus reaksi rantai peroksidasi lipida
yang terjadi pada membran plasma sel.
Penambahan antioksidan glutation memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Pada tahapan
pengenceran, glutation 0,05 g (P4) menunjukkan nilai persentase TAU yang lebih tinggi dibandingkan
perlakuan kontrol. Nilai persentase TAU P4 sebesar 51 % sedangkan pada perlakuan kontrol sebesar
44,7 %, namun keduanya tidak berbeda nyata secara statistik (p<0,05). Hasil ini didukung oleh
penelitian Rizal (2005), penambahan glutation 0,05 g (54,22%) dan glutation 0,10 g (54,00%) mampu
meningkatkan persentase TAU spermatzoa domba garut dibandingkan dengan kontrol (47,11%).
Ansari (2011), menambahkan bahwa penambahan glutation 0,5 Mm (86 ,3 %) mampu
mempertahankan persentase TAU kerbau lumpur pakistan dibandingkan kontrol (84,0%) setelah 3
hari disimpan pada suhu 5 .
Proses penampungan dan pengolahan semen dilakukan, terjadi kontak antara semen dengan
lingkungan yang mengandung oksigen. Hal ini menyebabkan meningkatnya proses metabolisme sel
24
akibat konsumsi oksigen sel yang tinggi. Produk sampingan hasil dari proses ini adalah zat sisa
metabolisme yang bersifat radikal. Menurut Rizal (2005), pada tahapan ini antioksidan berperan
dalam meredam daya rusak radikal bebas dengan cara mencegah terjadinya atau memutus rantai
reaksi peroksidasi lipida pada membran plasma sel spermatozoa.
5.2.4. Membran Plasma Utuh (MPU)
Membran plasma utuh merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menguji
kualitas spermatozoa. Membran plasma adalah salah satu bagian sel yang sangat mudah terkena
dampak radikal bebas. Radikal bebas seperti singlet oksigen merupakan senyawa yang sangat reaktif
karena mengalami kekurangan elektron. Senyawa ini reaktif terhadap lipid yang merupakan
komponen dasar penyusun membran sel. Antioksidan berperan dalam meredam reaksi antara singlet
oksigen dengan membran plasma sel dengan cara mendonorkan elektronnya sehingga mengubah
singlet oksigen menjadi senyawa yang relatif lebih aman. Persentase membran plasma utuh terhadap
setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Rata-rata persentase MPU spermatozoa kerbau lumpurdalam penambahan berbagai
konsentrasi -karoten dan glutation
Perlakuan Tahap pengolahan semen
Pengenceran Ekuilibrasi Pasca thawing
P0 86,3±8,94bc 83,7±8,37de 47,7±3,17c
P1 94,1±3,61c 88,3±0,76d 57,0±2,00c
P2 63,3±5,77a 46,7±11,5a 38,7±7,50b
P3 63,0±11,2a 59,3±8,62b 0,00±0,00a
P4 88,7±0,057bc 68,7±1,15bc 54,3±8,14c
P5 78,0±8,67b 72,0±1,7cd 51,0±1,00c
P6 85,7±3,05bc 78,0±5,56cde 50,3±5,50c
Keterangan: Huruf dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
P0 = glutation/ -karoten 0 g; P1,P2,P3 = -karoten 0.00625 g, 0,0125 g, 0,025 g; P4,P5,P6 = glutation 0,05 g,
0,10 g, 0,15 g.
Spermatozoa yang memiliki membran plasma utuh ditandai dengan bagian kepala spermatozoa
yang menggembung dan bagian ekor spermatozoa yang melengkung ke atas setelah dipaparkan
dengan larutan hipoosmotik. Sperma yang berada dalam lingkungan hipotonik akan mengalami
penggembungan sesaat karena cairan dari lingkungan bergerak masuk ke dalam sel. Hal ini
diakibatkan karena konsentrasi kadar zat terlarut di dalam sel lebih tinggi dibandingkan di lingkungan
sekitar sel.
25
Perlakuan pengenceran, diperoleh hasil bahwa -karoten 0,0125 g (P2) dan -karoten 0,025 g
(P3) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Kedua perlakuan ini memiliki nilai persentase MPU
terendah diantara perlakuan yang lainnya, yaitu 63,3% dan 63,0 %. Diduga pada konsentrasi ini,
antioksidan -karoten tidak mampu bekerja dengan optimal dalam menangkal radikal bebas. Hipotesis
yang bisa dimunculkan yakni tingginya konsentrasi -karoten di dalam pengencer menyebabkan
meningginya tekanan osmotik pada sel spermatozoa.
Setelah semen diekulibrasi selama 4 jam, selanjutnya semen dievaluasi kembali. Secara
statistik (p<0,05) diperoleh hasil bahwa, -karoten 0,0125 g (P2) berbeda nyata terhadap semua
perlakuan. Nilai persentase yang diperoleh (46,7%) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol
(83,7%). Penambahan -karoten pada konsentrasi ini tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan
semen tanpa penambahan -karoten. Diduga penambahan -karoten pada konsentrasi ini tidak
berfungsi dalam menangkal radikal bebas, tetapi memberikan pengaruh buruk terhadap metabolisme
spermatozoa. Seperti laporan Gunawan et al. (2012), penambahan -karoten dalam jumlah yang
sedikit belum mampu mencehag reaksi peroksidasi lipida, sebaliknya penambahan -karoten dalam
jumlah yang berlebih dapat mengakibatkan tinggi tekanan osmotik di dalam bahan pengencer.
Selanjutnya semen dibekukan ke dalam dengan menggunakan nitrogen cair setelah di freezing
selama 15 menit. Kemudian setelah beberapa saat semen di thawing. Pada tahap ini terlihat bahwa
nilai persentase MPU semakin menurun akibat pengaruh suhu yang terlalu rendah (-196 ). Menurut
Amann (1999), terdapat dua tipe kerusakan pada sel akibat kejutan dingin, yakni secara langsung dan
tak langsung. Kerusakan langsung akan mempengaruhi struktur dan fungsi seluler, sedangkan
keursakan tidak langsung sulit untuk diamati dan baru terlihat setelah proses pencairan kembali
(thawing). Pengaruh utama dari kejutan dingin terhadap sel spermatozoa adalah penurun motilitas dan
daya hidup, perubahan permeabilitas dan perubahan komponen lipid pada membran. Berdasarkan
hasil pengamatan, diperoleh bahwa penambahan -karoten 0,0125 g (P2) dan 0,025 g (P3) berbeda
nyata terhadap semua perlakuan. Hasil terbaik dapat dilihat pada penambahan -karoten 0,00625 g
(P1), glutation 0,05 g (P4) dan glutation 0,10 g (P5).
Penambahan -karoten dengan konsentrasi 0,00625 g (P1) merupakan penambahan
antioksidan -karoten dengan konsentrasi terbaik. Hasil persentase MPU P1 (57,0%) lebih tinggi
dibandingkan dengan P0 (47,7%), P2 (38,7%) dan P3 (0,00%). Pengenceran sperma tanpa
penambahan -karoten diduga belum mampu mempertahankan kualitas MPU spermatzoa. Hal ini
disebabkan karena tidak adanya agen yang mampu mempertahankan keutuhan membran plasma
spermatozoa. Menurut Pryor et al. (2002), -karoten merupakan salah satu senyawa antioksidan yang
26
baik dalam menangkal radikal bebas. -karoten memiliki kecenderungan tinggi untuk mengoksidasi,
lebih dari lemak makanan yang paling jenuh. Suryohudoyo (2000), menambahkan bahwa -karoten
bekerja dengan cara memutuskan rantai reaksi antara senyawa radikal dengan membran plasma
spermatozoa.
Gambar 4.2. Membran plasma (a) utuh dan (b) tidak utuh
Penambahan glutation dengan konsentrasi yang tepat juga menunjukkan nilai persentase MPU
yang baik. Penambahan glutation 0,05 g (P4) dan 0,10 g (P5) merupakan perlakuan glutation dengan
konsentrasi yang optimum. Nilai persentase yang diperoleh pada perlakuan P4 (54,3%) lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol (P0), glutation P5 (51,0%), dan glutation 0,15 g (P6). Hasil ini
didukung oleh penelitian Rizal (2005), penambahan glutation 0,05 % (58,22%), mampu
mempertahankan persentase nilai MPU domba garut dibandingkan dengan kontrol (48,44%). Ansari
(2011) menambahkan bahwa penambahan glutation dengan konsentrasi 0,5 mM (61,7%) ke dalam
bahan pengencer tris kuning telur menunjukkan persentase MPU kerbau lumpur pakistan yang lebih
tinggi dibandingkan kontrol (50,0) dan glutation 0,10 mM (61,7%). Triwulanningsih et al. (2003) juga
melaporkan bahwa penambahan glutation ke dalam bahan pengencer tris kuning telur dalam kadar
yang tepat mampu mempertahankan kualitas membran plasma utuh sapi FH. Konsentrasi glutation
yang paling optimal dalam mempertahankan membran plasma utuh sapi FH adalah 0,5 mM (69,75 %)
lebih tinggi dibandingkan kontrol (66,01%) dan 1,0 mM (68,38%). Total nilai persentase parameter
yang diamati lebih rendah dibandingkan dengan penelitian terhadap semen dari berbagai maca jenis
27
hewan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi fisik serta jenis hewan yang digunakan. Menurut
Hafez (1987), motilitas semen kerbau lumpurlebih rendah dibandingkan sapi. Raizada et. al (1988)
menambahkan bahwa rendahnya kualitas sperma kerbau lumpurpasca thawing disebabkan karena
semen kerbau lumpurlebih mudah rusak selama proses pembekuan berlangsung.
Glutation merupakan senyawa antioksidan yang sering digunakan untuk mempertahankan
kualitas spermatozoa hewan ternak dari serangan radikal bebas. Menurut Meister dan Anderson
(1983), glutation memiliki peran penting dalam menangkap dan mengumpulkan senyawa-senyawa
oksigen reaktif dan radikal bebas lainnya. Tingginya nilai persentase MPU spermatatozoa kerbau
lumpurpada bahan pengencer yang mengandung glutation dikarenan glutation melindungi membran
plasma spermatozoa dengan cara menghambat proses peroksidasi lipid (Sinha et al., 1996).
Uji Fertilitas Semen Beku
Uji fertilitas pada penelitian ini belum dapat dilaporkan karena sampai pembuatan laporan ini
masih pada tahap sinkronisasi kerbau betina dengan PGF2alpha. Jika kerbau betina memberi respon
positif maka akan segera di inseminasi dengan semen kerbau pada dosis glutation terbaik yaitu pada
perlakuan dengan konsentrasi -karoten adalah 0,00625 g dan konsentrasi terbaik pada perlakuan
glutation adalah 0,05 g.
Inseminasi dilakukan 18 – 24 jam setelah awal berahi. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa ovulasi pada kerbau terjadi 26 jam setelah awal berahi, fertilisasi terjadi 2 – 3
jam setelah ovulasi dan waktu minimum yang dibutuhkan spermatozoa fungsional di dalam tuba
fallopii sekitar 6 – 8 jam (Hunter 1985).
Diagnosis kebuntingan dilakukan dengan pengukuran kadar hormon progesteron serum setiap
induk 16 hari setelah inseminasi (Reichenbach et al. 1996). Pemeriksaan kebuntingan dilakukan
kembali 30 hari setelah inseminasi menggunakan ultrasonografi (USG).
28
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Penambahan antioksidan -karoten dan glutation mampu meningkatkan kualitas
spermatozoa kerbau lumpur pasca thawing
2. Konsentrasi terbaik pada perlakuan -karoten adalah 0,00625 g dan konsentrasi terbaik
pada perlakuan glutation adalah 0,05 g
3. -karoten merupakan jenis antioksidan yang mampu mempertahankan kualitas semen
kerbau lumpur pasca thawing lebih baik dibandingkan dengan glutation.
29
DAFTAR PUSTAKA
Afiati, F., Herdis, dan Said, S. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Amann, R. P. 1999. Cryopreservation of Semen. Encyclopedia of Reproduction. 1: 773-783.
Ansari, M. S., Rakha, B. A., Ullah, N., Andrabi, S. M. H., and Akhter, S. 2011. Glutathione Addition
of Cooled Buffalo (Bubalus bubalis) Bull Semen. Pakistan J. Zool. 43 (1): 49-55.
Bailey, J.L., Bilodeau, J.F., and Cormier, N. 2000. Semen Cryopreservation in Domestic Animals: a
damaging and capacotacing phenomena. J. Androl. 21: 895-902.
Baby Food Steps. G is For Glutathione.https://babyfoodsteps.wordpress.com/2012/11/12/g-is-for
glutathione/ Tanggal Akses 12 November 2012.
Battacharya, P. 1974. Reproduction of Buffalo. FAO, Roma.
Bhavsar, B. K., Dhami, A. J., and Kodagali, S. B. 1990. Abnormal Sperm Content in Mehsana
Buffalo Semen with Regard to Freezabilitu, Seasonality and Fertility. Indian Vet. J. 67: 233-
237.
BSN. 2011. Bibit Kerbau Bagian I: Lumpur. Manggala Wanabakti, Jakarta.
Cockrill, W.R. 1974. The husbandty and health of domestic buffalo. FAO, Roma.
Combs, J.R. 1992. The Vitamin: Fundamental aspects in nutrition and health. Academic Press Inc.
New York.
Dhami, A. J and Sahni, K. L. 1994. Role of different extenders and additives in improving certain
biolocal indicates of frozen bull and buffalo semen. Indian Vet. J. 71:670-677.
Febriani, G. D, Hamdan, dan Melia, J. 2014. Pengaruh Waktu Ekuilibrasi Terhadap Kualitas Semen
Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Setelah Thawing. Jurnal Medika Veterinaria. 1(8):1.
Ghosadara, P. U., Gajbhiye, A. R., Ahlawat and Murthy, K. S. 2016. Evaluation of Fresh Semen
Quality and Predicting the Number of Frozen Semen Doses in Jaffrabadi Buffalo Bull.
Buffalo Bulletin. 35 (1): 65-72
Goyal, R.L., Tuli, R.K., George, G.C., and Chand, D. 1996. Comparison of quality and freezability of
water buffalo semen after washing or sephadex filtration. Theriogenology. 46:679-686.
Gunawan, I., Laksmi, D. N., dan Trilaksana, D. I. 2012. Efektivitas Penambahan B-Karoten dan
Glutation pada Bahan Pengencer Terhadap Motilitas dan Daya Hidup Spermatozoa pada
Semen Beku Sapi. Indonesia Medicus Veterinus. 1(3).: 385.
Hafez, E. S. E and Garner, D. L. 2000. Spermatozoa and seminal plasma. In: Reproduction in farm
animals. Ed-7. Edited by E. S. E. Hafez and B. Hafez. Lippincott Williams and Wilkins.
Philadelphia.
Halliwell, B. and Whiteman, M.. 2004. Measuring reactive species and oxidative damage in vivo and
30
in cell culture: How should you do it and what do the results mean? Br. J. Pharmacol. 142:
231-255.
Hellyward, J. F., Rahim dan Arlinda. 2000. Pemeliharaan Ternak Kerbau Lumpur Ditinjau dari Aspek
Teknis Pemeliharaan di Sumatera Barat. Jurnal Peternakan. 6(01): 77-85.
Herdis. 1997. Karakteristik Reproduksi dan Sifat Semen Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis). Bulletin.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Jainudeen, H. R.., and Hafez, E. S. E. 1980. Gestation, Prenatal Physiology and Parturition. Lea and
Febiger, Philadelphia.
Kardivel, G., Satish, K., and Kumaresan, A. 2008. Lipid peroxidation, mitochondrial membrane
potential and DNA Integrity of Spermatozoa in Relation to Intracellular Reactive Oxygen
Species in Liquid and Frozen-Thawed Buffalo Semen. Anim. Reprod. Sci. (in press).
Kidd, P.M. 1997. Glutathione : Systemic Protectant Against Oxidative and Free Radical Damage.
Alternative Medicine Review. 2(3).
Krishna, M. K., and Rao, A. R. 1987. Acrosomal Morphology In Fresh and Freeze-Thawed Buffalo
Sperm. Indian Vet. J. 64: 248-249.
Lewis, S.E.M. dan Aitken, R. J. 2005. Sperm DNA damage, fertilization and pregnancy. Cell Tissue.
322: 33-41.
Matos, D.G de., dan Furnus, C.C. 2000. The importance of having high glutathione (GSH) level after
bovine in vitro maturation on embryo development. Effect of beta-mercaptoethanol, cystein
and cystine. Theriogenology. 53:761-771.
Maxwell, W.M.C. and Watson, P.F. 1996. Recent progress in the preservation of ram semen. Anim.
Reprod. Sci. 42:55-65.
Meister, A., and Anderson, M. E. 1983. Glutathione. Ann. Rev. Biochem. 42: 55-65.
Nainar, M. A., Easwaran, B. M. dan Ulagnatha, V. 1990. Studies on Non-motile Spermatozoa (static
semen) in Buffalo Bull Semen. Indian Vet. J. 67: 133-135.
Oshima, S.F., Ojima, H., Sakamoto, Y., Ishiguro and Terao, J. 1993. Inhibitory Effect of -Carotene
and Asthaxanthin on Phorosensitizied Oxidation of Phospolipid Bilayers. Nur. Sci Vitaminol.
39(3): 607-615.
Parris, M.K. 1998. Glutathione: Systemic protectant against oxidative and free radical damage.
Alternative Medicine Review. 2(3): 155.
Pintar Biologi. Beta Karoten: Pengertian, Fungsi, Manfaat dan Rumus Kimianya.
http://www.pintarbiologi.com/2016/06/beta-karoten-pengertian-fungsi-manfaat-rumus-
kimia.html. Tanggal akses 6 Juni 2016.
Price, A., Lucas PW and Lea, P.J,. 1990. Age Dependent Damage and Glutathione Metabolism in
Ozone Fumigated Barley: a Leaf Section Approach. Journal of Experimental Botany. 41:
1309-1317.
31
Pryor, W. A., Stahl, W. and Roch, C. L. 2000. Pengaruh Kombinasi kuning telur dan air kelapa
terhadapa daya tahan hidup dan abnormalitas spermatozoa domba Priangan pada
penyimpanan 5 . Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Bogor. 172-177.
Raizada, B. C., Satior, A., and Pandet, M. O. 1988. A Comparative Study of Freezing Buffalo Semen
in Two Dilutors. Procceding of II World Buffalo Congress. New Delhi.
Rizal, M. 2005. Efektivitas Berbagai Konsentrasi β-karoten Terhadap Kualitas Semen Beku Domba
Garut. Animal Production. 7 (1): 6-13.
Rizal, M., dan Herdis. 2010. Peranan Antioksidan dalam Meningkatkan Kualitas Semen Beku.
Wartazoa. 20 (3): 139-145.
Schweigert, F. J., and Zucker, H. 1988. Concentration of Vitamin A, -Carotene and Vitamin E in
Individual Bovine Follicles of Different Quality. J Reprod Fertil.82: 575-579.
Siahaan, E. A., Laksmi, D. N. D. I., dan Bebas, W. 2012. Efektivitas Penambahan Berbagai
Konsentrasi B-Karoten Terhadap Motilitas dan Daya Hidup Spermatozoa Sapi Bali Post
Thawing. Indonesia Medicus Veterinus. 1 (2): 239-251.
Sikka, Suresh C. 1996. Oxidative Stress and Role of Antioxidants In Normal and Abnormal Sperm
Function. Available from :www.bioscience.org. (Accessed 2010 Nov. 2).
Sinha, M.P., Sinha, A.K., Singh, B.K., and Prasad, R.L. 1996. The effect of glutathione on the
motility, enzyme leakage and fertility of goat semen. Anim Reprod Sci. 41: 237-243.
Siregar, P. 1992. Metabolit Oksigen Radikal Bebas dan Kerusakan Jaringan. Cermin Dunia
Kedokteran. 80: 112-115.
Soeatmaji, D.W. 1998. Peran Stress Oksidatif dalam Patogenesis Angiopati Mikro dan Makro .
Medica . 5(24): 318-325.
Stradaioli, G.T., Noro, L., Syilla, and Monaci., M. 2007. Decrease in glutathione (GSH) content in
bovine sperm after cryopreservation: Comparison between two extenders. Theriogenology.
67: 1249-1255.
Subianto, M. 2010. Populasi Kerbau Lumpur Semakin Menurun: Menuju Swasembada Daging 2014.
Publikasi Budidaya Ternak Ruminansia, Jakarta.
Sunari, 2007. Beternak Kerbau. JP Books, Surabaya.
Supriatna, I., dan Pasaribu, F. H. 1992. In Vitro Fertilization, Transfer Embrio dan Pembekuan
Embrio. PAU IPB, Bogor.
Surachman, M., Herdis, Setiadi, M. A., dan Rizal, M. 2006. Kriopreservasi Spermatozoa Epididimis
Domba Menggunakan Pengencer Berbasis Lesitin. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta.
Suryohudoyo, P. 2000. Oksidan, Antioksidan, dan Radikal Bebas. Suryohudoyo P dalam Kapita
Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. CV. Sagung Seto, Jakarta.
32
Syarifuddin, A., Laksmi. D. N. D. I., dan Bebas. W. 2012. Efektivitas Penambahan Berbagai
Konsentrasi Glutation Terhadap Daya Hidup dan Motilitas Spermatozoa Sapi Bali post
thawing. Indonesia Medicus Veterinus 1(2): 173-185.
Takahashi, M., Saka, N., Kanai, Y., and Okano, A. 1997. Depletion of Glutathione Causes DNA
Damage and Increase of Hydrogen Peroxide Levels in Bovine Embryos. Theriogenology.
47:321.
Terada, T. 2004. Effects of egg yolk during the freezing step of cryopreservation on the viability of
goat spermatozoa. Theriogenology. 62:1160-1172.
Toelihere, M. R . 1993 . Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Edisi ke-1. Penerbit Angkasa, Bandung.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Triwulanningsih, E., Situmorang, P., Sugiarti, T., Sianturi, R. G., dan Kusumaningrum, D. A. 2003.
Pengaruh Penambahan Glutation pada Medium Pengencer Sperma terhadap Kualitas Semen
Cair (Chilled Semen). JIVT. 8 (2): 91-97.
Triwulanningsih, E., Situmorang, P., Sugiarti, T., Sianturi, R.G dan Kusumaningrum, D.A. 2003.
Pengaruh penambahan glutathione pada medium pengencer sperma terhadap kualitas semen
cair. Ilmu Ternak Veteriner. 8:91-97.
Vishwanath, R., and Shannon, P. 1997. Do sperm eggs age ? A Review of Physcological Changes in
Sperm During Storage at Ambient Temperature. Reprod. Fertil. Dev. 9: 321-332.
Wijaya, A. 1996. Radikal bebas dan parameter status antioksidan. Forum Diagnostikum No. 1. Lab.
Klinik Prodia.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius, Yogyakarta.
Winarsi, H.D. Muchtadi, F.R. Zakaria, dan Purwantara, B. 2003. Status Antioksidan Wanita
Premenopause yang Diberi Minuman Suplemen Susumeno. Prosiding Seminar Nasional
PATPI, Vol. 1. Yogyakarta.
Zulbardi, M., Djajanegara, A., dan Rangkuti, M. 1982. Pengaruh Pelepasan terhadap Konsumsi Jerami
Padi pada Kerbau. Proceedings Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan.
Bogor. 1 :30 – 36.
33
Lampiran 2. Dukungan sarana dan prasarana di Laboratorium jurusan Biologi, Unsyiah.
No Prasarana utama Ketersediaan
1 Ruang pemeliharaan hewan ada
2 Kandang pemeliharaan hewan ada
3 Vagina buatan Ada/disewa dari FKH Unsyiah
4 Meja peralatan ada
5 Wastafel ada
6 sentrifus ada
7 Elektrik ejakulator Ada/ disewa dar FKH Unsyiah
8 UV Transilluminator ada
9 Spektrofotometer ada
10 Tabung gas ada
11 Tabung nitrogen cair ada
12 Penangas air ada
13 Mikrowafe ada
14 Dll. ada
34
Lampiran 3. Format Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas
No Nama / NIDN
Instansi Asal
Bidang Ilmu Alokasi Waktu (jam/minggu)
Uraian Tugas
1. Dr. Kartini Eriani, M.Si
Biologi, FMIPA, UNSYIAH
Fisiologi Perkembangan
12 jam/minggu 1. Seleksi pejantan unggul
2. Evaluasi kualitas spermatozoa pasca koleksi
3. Uji in vitro
4. Pembekuan semen
5. Pelaporan
2. Dr. Rosnizar, M.Sc
Biologi, FMIPA, UNSYIAH
Bioteknologi 12 jam/minggu 1. Seleksi pejantan unggul
2. Uji kesehatan reproduksi resipien
3. Preparasi pembekuan
6. Uji in vivo
4. Pelaporan
3. Tenaga ahli (Dr. Bayu Rosadi, S.Pt., M.Si)
Peternakan, Universitas Jambi
Fisiologi Reproduksi
6 jam/minggu 1. Sinkronisasi kerbau
2. Inseminasi Buatan
3. Evaluasi kebuntingan
4. Nur Fajri Asisten Peneliti
5. Nisa Sari Asisten Peneliti
6. Meutia Ihdina
Asisten Peneliti
7. Rahmi Asisten Peneliti
35
Lampiran 3. Biodata Peneliti
A. Biodata Ketua Peneliti
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Dr. Kartini Eriani. M.Si
2 Jenis Kelamin P
3
2
Jabatan Fungsional Lektor
4 NIP 197004211999032001
5 NIDN 0021047001
6 Tempat dan Tanggal Lahir Banda Aceh, 21 April 1970
7 Alamat Rumah Jl. Purnawirawan No 11 Geuceu Komplek
8
9
9
Nomor HP 085277060751
9 Alamat Kantor Jl. Syeh Abdurrauf No 3 Darussalam
SSyiah Kuala Darussalam Banda Aceh 23111 10 Nomor Telepon/Fax -
11 Alamat e-mail [email protected]
12 Lulusan yg telah dihasilkan S1 = 19 orang, S2 =1 orang., S3 = ..........
13
Mata Kuliah yg diampu 1. Struktur Hewan
2. Perkembangan Hewan
3. Pengantar Bioteknologi
4. Reproduksi Hewan
5. Biologi Umum
6. Endokrinologi
7. Bioteknologi Hewan
8. Imunologi
9. Manipulasi Embrioi
10. Sitogenetika
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Universitas
Syiah Kuala
Institut Pertanian
Bogor
Institut Pertanian
Bogor
Bidang Ilmu Biologi Biologi Biologi
Tahun Masuk- Lulus 1989-1994 1995-1998 2000 – 2005
Judul
Skripsi/Thesis/Disertasi
Pengamatan
Siklus Estrus
Melalui
Preparat Ulas
Vagina Mencit
(Mus musculus
albinus)
Pengaruh Penambahan
Asam Amino Dalam
Medium Kultur Bebas
Serum Terhadap
Perkembangan
Preimplantasi Embrio
Mencit In Vitro
Viabilitas Gamet
Setelah Preservasi
Ovarium dan
Epididimis Serta
Pemanfaatannya
Untuk Produksi
Embrio Kucing
Secara In Vitro
Nama
Pembimbing/Promotor
Dra. Sunarti,
MS
Drs. Abdul
Hadi mahmud,
Prof. Dr. drh. Yuhara
Sukra.
Dr. drh. Hasim, DEA.
Dr. drh. Ita Djuwita,
Prof. Dr. drh.
Yuhara Sukra.
Prof. Dr. drh. Arief
Boediono.
36
MS M.Phil Dr. drh. Ita Djuwita,
M.Phil
Dr. Sony Heru
Sumarsono, M.Sc
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian
Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1 2009 Pengaruh Asap Rokok terhadap Infertilitas
(Kualitas Spermatozoa, Defek Makroskopis
dan Mikroskopis Testis) pada Mencit Jantan
(Mus musculus albinus)
Risbin
Iptekdok
Litbangkes
125
2 2010 Pengaruh Asap Rokok Terhadap Infertilitas
Pada Mencit (Mus musculus)
IMHERE 5
3 2011 Potensi Akar Gingseng Jawa (Talinum
paniculatum Gaertn.) Untuk Meningkatkan
Kualitas dan Viabilitas Spermatozoa Mencit
(Mus musculus)
IMHERE 5
4 2011 Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Pinang
(Areca catechu L.) Terhadap Kualitas dan
Viabilitas Spermatozoa Mencit (Mus
musculus albinus).
IMHERE 5
5 2011 Potensi Getah jarak Cina (Jatropha multifida
L.) untuk Penyembuhan Luka baru Pada
Mencit (Mus musculus)
IMHERE 5
6 2011 Pengaruh Pemberian Pengaruh Pemberian
Ekstrak Etanol Akar Anting-Anting
(Acalypha indica L.) terhadap Libido dan
Kualitas Spermatozoa Mencit
Mandiri
7 2012 Hubungan Frekuensi Kopulasi dan
Ejakulasi Monyet Ekor Panjang
(Macaca fascicularis) Jantan dengan
Ketersediaan Pakan
Mandiri
8 2012 Pengaruh Ekstrak Etanol Tumbuhan Anting-
Anting (Acalypha indica L.) terhadap
Kebuntingan dan Fetus Mencit
Mandiri
9 2013 Kualitas dan Morfologi Abnormal
Spermatozoa Sapi Aceh pada Berbagai
Frekuensi Ejakulasi
Mandiri
10 2014 Uji Efek Imunostimulan Ekstrak Metanol
Daun Flamboyan (Delonix regia (Boj. Ex
Hook.) Raf) terhadap Peningkatan Sel-Sel
Imun Pada Mencit Strain Swiss-Webster
Mandiri
11 2014 Uji Efek Imunustimulan Ekstrak Buah Korma
(Phoenix dactylifera) Terhadap Peningkatan
Sel-Sel Imun Pada Mencit Jantan
Mandiri
37
12 2015 Optimalisasi Potensi Kerbau dalam Usaha
Meningkatkan Ketahanan Pangan di Aceh
dengan metode Pembekuan Spermatozoa
Project 7in1 70
13 2015 Pengaruh Kejutan Suhu terhadap
Kelangsungan Hidup dan Keberhasilan
Triploidisasi pada Ikan Seurukan
Mandiri
14 2015 Analisis Genomik dan proteomik
Plasmodium berghe sebagai Model Kajian
terhadap Infeksi Malaria pada Manusia
DIKTI 65
15 2016 Optimalisasi Potensi Kerbau dalam Usaha
Meningkatkan Ketahanan Pangan di Aceh
dengan metode Pembekuan Spermatozoa
Project 7in1 130
16 2016 Analisis Genomik dan proteomik
Plasmodium berghe sebagai Model Kajian
terhadap Infeksi Malaria pada Manusia
DIKTI 65
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1 2014 IbM Pemanfaatan Sampah Plastik di Perkampungan Tsunami Indonesia-Tiongkok, Desa Neuhen, Aceh Besar
Dikti 32
2 2015 Pemanfaatan Produk Ekstrak Daun Kedondong Pagar (Lannea coromandelica) untuk Meningkatkan Kesehatan dan Daya Tahan Tubuh Unggas
BOPTN 30
3 2015 Aplikasi Inseminasi Buatan Menggunakan Semen Beku Aceh dalam Meningkatkan Perekonomian Peternak di Aceh besar
BOPTN 20
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Alam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/
Nomor/Tahun
1 Development of Domestic Cat
Embryo Produced by Preserved
sperm.
Hayati Journal of
Biosciences
ISSN 1978-3019
15/4/2008
2 Viabilas Spermatozoa yang Dikoleksi
dari Ejakulat, Duktus Deferens dan
Epididimis Kambing Kacang (Capra
capri) setelah Kriopreservasi
Natural
ISSN 1141-8513
9/1/2009
3 The effect of cigarettes smoke
exposured cause fertility of male mice
(Mus musculus).
Natural
ISSN 1141-8513
10/2/ 2010
38
4 Pengaruh pemberian ekstrak etanol
akar anting-anting (Acalypha indica
L) terhadap kualitas spermatozoa
mencit.
Jurnal Kedokteran Yarsi
ISSN 0854-1159 18/1/2010
5 Potency of java gingseng (Talinum
paniculatum Gaertn.) root exttract on
quality and viability of mice sperm
Natural
ISSN 1141-8513
11/1/2011
6 The potential of jarak cina (Jatropha
multifida L.) secretion in healing new-
wounded mice.
Natural
ISSN 1141-8513
11/1/2011
7. Produksi embrio kucing secara in vitro
dari spermatozoa hasil preservasi
melalui fertilisasi mikro.
Jurnal Kedokteran
Hewan
ISSN 0854-1159
7/1/2013
8. Efek ekstrak etanol akar anting-anting
(Acalypha indica L) terhadap Libido
mencit
Jurnal Kedokteran Yarsi
ISSN 0854-1159
21/1/2013
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No
.
Nama Pertemuan
Ilmiah/Seminar
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1
Seminar Nasional
XXI Perhimpunan
Biologi Indonesia
Perkembangan Preimplantasi
Embrio mencit dalam Kultur
Bebas Serum
5 Maret 2012,
Banda Aceh,
Indonesia
2 Aceh veterinary
International
Adaptation Process of Simeulue
Wild Buffalo to Spermatozoa
Freezing as Aplication of
Artificial Insemination
12-13 Oktober 2015,
Banda Aceh
Indonesia
3 Seminar Nasional
Biodiversitas
Fertilisasi dan Perkembangan
Embrio Mencit (Mus musculus)
Secara In Vitro Setelah Pemberian
Ekstrak Buah Merah (Pandanus
conoidenus Lam)
17 September 2016
Bogor
Indonesia
4 Seminar Nasional
Biologi ke 5
Effect of temperature shock on the
successful of triploidization of the
seurukan fish Osteochilus vittatus
29 Oktober 2016,
Semarang
Indonesia
5
The Anual 6th
International
Conference
A Study of Adaptation of
Simeuleu Wild Buffallo Behavior
for Semen Collection
4-6 Oktober 2016
Banda Aceh
Indonesia
39
6
International
Conference on
Biodiversity
The induction of flamboyant
flowers Delonic regia extract on
differentiation og bone marrow
mwswnchymal stem cell
proliferation
4-6 November 2016
Surakarta
Indonesia
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit
- - - - -
H. Perolehan HKI dalam 5-10 Tahun Terakhir
No. Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
- - - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Judul/Tema/rekayasa sosial
lainnya yang telah diterapkan Tahun
Tempat
penerapan Respon masyarakat
- - - - -
J. Penghargaan dalam 10 Tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)
No
. Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi
Penghargaan Tahun
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian
dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
laporan akhir hibah PUPT 2017.
Darussalam, 14 Oktober 2016
Pengusul,
40
BIODATA ANGGOTA PENELITII
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap dengan gelar Dr. Rosnizar, M.Sc
2. Jenis Kelamin Perempuan (P)
3. Jabatan Fungsional Asisten Ahli
4. NIP/NIK/Identitas lainnya 197103092005012001
5. NIDN 0009037102
6. Tempat dan Tanggal Lahir Langsa, 09 Maret 1971
7. E-mail [email protected]
8. Nomor Telepon/HP 082368351735
9. Alamat Kantor Jl. Tgk Syech Abdurrauf No. 3 Darussalam
Banda Aceh - 23111
10. Nomor Telepon/Faks
11. Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = orang, S-2 = orang, S-3= orang
12.
Mata Kuliah yang diampu
1 Pengantar Bioteknologi
2 Immunobiologi
3 Bioteknologi Hewan
4 Parasitologi
5 Biologi Sel Molekul
B. RiwayatPendidikan
S-1 S-2 S-3
Dr. Kartini Eriani, M.Si
NIP. 19700421 1999032001
41
Nama
Perguruan
Tinggi
Universitas Syiah
Kuala (Unsyiah)
Universiti Kebangsaan
Malaysia
Universiti Kebangsaan
Malaysia
Bidang Ilmu Mikrobiologi Zoologi Biokimia
Tahun Masuk –
Lulus
1990-1997 1998-2001 2005-2012
Judul Skripsi/
Thesis/
Disertasi
Pengaruh
pemberian
oksitetrasiklin
terhadap
pertumbuhan
khamir tembolok
ayam
Teknik pengesanan awal
spora Nosema bombycis
dan jangkitannya pada
Plutella xylostela (L.)
Keimunogenan dan
keimunan
perlindungan protein
rekombinan PbMSP-1
(rPbMSP-1) pada
mencit (Mus
musculus)
Pembimbing/
supervisor
Drh. Zakiah
Herawati.
Prof. Dr. Zainal Abidin
Abu Hasan
Prof. Madya Dr.
Hasidah Mohd Sidek;
Prof. Madya Dr.
Nazlina Ibrahim.
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 TahunTerakhir
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah (Rp.)
1 2013 Uji ekstrak etanol batang trembesi (Samanea
saman) terhadap aktifitas antimalaria pada
mencit terinfeksi Plasmodium berghei
Mandiri
-
2 2014 Efek imunostimulator ekstrak daun
Flamboyan (Delonix regia) terhadap
peningkatan sistem imun mencit (Mus
musculus) -
Mandiri
-
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Pendanaan
Sumber Jumlah (Rp.)
2014
Pemberdayaan ekonomi istri nelayan dan
remaja putri di desa Neuheun (Aceh Besar)
dengan pemanfaatan limbah tekstil (kain
perca) menjadi produk lenan rumah tangga
untuk dipasarkan
DIKTI
100.000.000
42
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal Dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Tahun
1 Penilaian Bioassay Pada Potegen Nosema
Bombycis dan Fungsinya Sebagai Biopestida
Terhadap Larva Plutella Xylostella
(Diamondback,DBM)
Jurnal Rona
Lingkungan
Hidup
(Journal of
environment
).
Vol 6. No. 2
September 2013.
ISSN 1412 – 7709.
Penerbit Pemerintah
Aceh. Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan.
2 Pengaruh Pemberaian Oksitetrasiklin Sebagai
Feed Additive Terhadap Pertumbuhan Khamir
Pada Tembolok ayam pedaging.
Jurnal Rona
Lingkungan
Hidup
(Journal of
environment
).
Vol 6. No. 2
September 2013.
ISSN 1412 – 7709.
Penerbit Pemerintah
Aceh. Badan
Pengendalian
Dampak
Lingkungan.
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) Dalam 5 TahunTerakhir
No Nama Pertemuan Ilmiah Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
- - -
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku Tahun Jumlah
Halaman
Penerbit
- - -
H. Perolehan HKI dalam 5-10 TahunTerakhir
No. Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
- - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Judul Tahun Tempat
Penerapan
Respon Masyarakat
- - - -
J. Penghargaan dalam 10 TahunTerakhir
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Tahun
43
Penghargaan
1 Pekan Kebudayaan Aceh Ke 6 Gubernur Aceh 2013
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian
dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pengajuan hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi 7 in One.
Banda Aceh, 20 Oktober 2016
Anggota Peneliti,
Dr. Rosnizar, M.Sc
NIP. 197103092005012001
.
A Study of Adaptation of Simeuleu Wild Buffallo
Behavior for Semen Collection
44
1Kartini Eriani, 2Dasrul, 1Rosnizar, 1Ria Ceriana , 1Irma Suryani
and 3Syahruddin Said
1 Department of Biology, Faculty of mathematics and science, Syiah Kuala University
2 Department of Reproduction, Faculty of Veterinary Medicine, Syiah Kuala University
3 Laboratory of Animal Cell Culture and Reproduction Biotechnology LIPI
*Corresponding Author: [email protected]
Abstract
Simeulue buffalo live along the coast of the Simeulue Island. Simeulue buffalo can be
used as semen donor so it is necessary to adapt from the wild to the site
maintenance. This study used two wild Simeulue buffaloes held in the Saree Central
Artificial Insemination (BIB). The study was conducted during five months from March
to July 2015. We used standard training methods in Saree BIB. The results showed
that Simeulue buffalo needs special handling to get optimal results
Key words : simeulue buffalo, artificial insemination, adaptation, sperm collection
Introduction
Buffaloes all over the world can be put in two types; river and swamp buffaloes. River buffalo is
kept for its milk, while swamp buffalo for its meat. Simeulue buffalo, one of buffaloes originated
from Indonesia, is swamp buffalo and has special characteristics. Buffalo population in the world
(Bahri and Talib, 2008; Cruz, 2009) especially in Indonesia (DITJENAK, 2010) tends to decline.
To increase buffalo population it can be done by increasing its productivity. Artificial insemination
technique is a solution to increase buffaloes’ productivity. Artificial insemination (AI) is a
technique that can be used to increase animal population and genetic quality (Foote, 2001).
45
Simeulue buffalo is a local buffalo lives along the coast of Simeulue Island. Its specific trait is a
white line above its eyes, looking almost like eyewear, and white color around its neck. Picture 1
shows simeulue buffalo characteristics that distinguish it from other sort buffaloes from outside
Simeulue Island. This buffalo lives in the wild along the coast of Simeulue Island. It has a
superior genetic quality and has a good potential to meet the demand of buffalo meat in Aceh.
Therefore this prime buffalo is expected to be able to be bred and developed in other areas. The
breeding needs adaptation process with its new environment. After finding the right handling in
breeding this buffalo, artificial insemination can be applied.
Artificial insemination is necessary to increase the efficiency of this genetically superior buffalo.
The problem is that most all simeulue buffalo is bred in the wild that makes it very difficult to
treat it as semen donor. Therefore efforts should be made to tame and make it ready to fertilize
female counterparts.
Materials and Methods
Two male buffaloes were brought from Simeulue Island and they were kept for four months ,
starting from March until July 2015 in Saree Artificial Insemination Centre (BIB). After taming the
wild male buffaloes, the next step was preparing them as semen donor. The buffaloes were fed
with grass and concentrate, and once a week was given honey and eggs. Their sexual behavior
was observed once a month for five months while treated and used as semen donor. Data was
then analyzed descriptively.
Results and Discussion
The buffalo behavior being observed were its eating, adaptation to the new environment and
sexual behavior in order to prepare them as semen donor. The results of the observation were as
follow.
1. Eating behavior.
Eating begins with sniffing greeneries, snatching food, then lifting , chewing and swallowing
(Rasyid , 2008). The results of the observation of the eating behavior and the training of buffalo
stud can be seen in Table 1.
Table 1. Simeulue buffalo eating behaviors in new environment (Saree BIB)
46
Buffalo March April May June
1 Not willing to
eat grass
Willing to eat a
little
Willing to eat grass Not willing to eat
concentrate
2 Not willing to
eat grass
Willing to eat a
little
Willing to eat grass
and concentrate
Willing to eat
grass and
concentrate
The buffalo 1 was not willing to eat concentrate at all (Table 1). Buffalo 1 and 2 showed the
same eating behavior in March and April. But in May buffalo 2 was already willing to eat
concentrate. It shows that Simeulue buffalo needs a long time to adapt to a new environment
that is different from its habitat. Their original environment is warm because it is situated in
coastal area while Saree is somewhat colder for it is situated in a mountain. The environments
are very different so that the buffaloes needed a more serious adapting. Cruz (2010) reported
that buffaloes take varying time to adapt to a different environment, depending on individual
and species’ capability. Although in general buffaloes eat a lot more than cows, and they eat all
kinds of leaves, but apparently wild buffaloes show different eating behavior. Their appetite
disappears due to environment change. After having a discussion with local people, it seems that
the changing of water from salt to sweet water has impact on buffaloes’ eating pattern and
immunity.
Figure 1. Glasses a specific character of Simeulue buffalo
2. Environment adaptation behavior and taming
Observation of adaptation behavior can be seen from outer morphology such as hair and body
posture. Wild behavior and taming adaptation were observed from approachability and the ability
to be herded. The result can be seen in Table 2.
Table 2. Environment adapting behavior and taming Simeulue buffalo
47
Buffalo March April May June
1 Very wild and
aggressive .
Trying to rout
and made the
loud noise.
Could not be
put nose ring.
Hair loss and
looked a bit
skinnier. Still
wild and
aggressive.
Trying to rout
and made the
loud noise. Nose
ring could not
be mounted
Nose ring was
mounted but lost
because it was still
wild. Body hair
started to grow
back.
Body weight was
back to normal
and became a bit
tame. Still hard
to herd.
2 Very wild and
aggressive .
Trying to rout
and made the
loud noise.
Nose ring
could not be
mounted.
Hair loss and
looked a bit
skinnier. Still
wild and
aggressive.
Trying to rout
and made the
loud noise. Nose
ring could not
be mounted.
Nose ring was
mounted and could
be herded. Body
hair started to
grow back.
Body weight was
back to normal.
Became tame.
Approachable and
was able to be
herded.
Table 2 showed that adapting behavior of buffalo 1 and 2 in March and April was the same.
During the first two months both were still very wild, unapproachable, could not be herded nor
unable to mount a nose ring.
In the second month, there was hair loss. In the third month, they became tamer which could be
concluded from the fact that a nose ring was well mounted and they could be herded. In the
third month, hair started to grow back. It showed that buffaloes started to adapt to their new
environment in the third month. Buffalo 1 showed wilder and more aggressive behavior
compared to buffalo 2. It was still seen in the fourth month as it was still difficult to herd
although already approachable. Handiwirawan et al., (2008) reported that the way buffalo adapt
to a new environment is different from the cow because buffalo has only one tenth sweat glands
that of the cow, so that heat releasing by way of sweating did not help much. Besides, buffalo
has very few hair which gives less protection against the sun. It makes buffalo susceptible to
weather changes, whether warm or cold. A sudden weather change can cause pneumonia and
sudden death.
In May mud pools were made around Saree BIB so that the buffaloes started to adapt. In a mud
pool, their body temperature became colder. It is stated by Ramesh et al.,. (2002) that the body
48
temperature of buffalo declines faster in a mud pool because its black skin may have a lot of
blood vessels that transport and release heat efficiently. Because of its susceptibility to weather
changes, buffalo likes to soak in pools or other still water. In June the buffaloes were tame and
stable so that efforts to prepare them as semen donor could be done.
3. Efforts taken to prepare male buffalo as semen donor
Based on observation on sexual behavior of male buffaloes, it shows that it takes special
handling for the buffaloes to copulate and produce semen (Table 3). In this study, male
buffaloes were not yet able to get on female buffaloes. Although it seems that the male buffaloes
could adapt to the new environment, they were not able to adapt to get on female buffaloes
(thus copulate). After being coached several times, they started to show very faint signs of
arousal. They finally did get on female buffalo, but there was no copulation. And thus there was
no semen production which is the raw material for artificial insemination process. For artificial
insemination semen collection shoud not relay on the presence of female.
Besides coaching to get on female buffalo, the male ones must be given better food to increase
their libido. That goes also for the female. Before the male was brought to get on the female, the
female must be synchronized with PGF2 (Foote, 2002). A different thing happens to Aceh cow at
Saree BIB, the male gets straight on the female when brought closer. They even get on another
male cow. The libido of the buffaloes was still low, due to food and probably also to another
factor; adaptation to a totally different environment, from Simeulue to Saree. Agrawal (2003)
reports that buffalo reproductive system is quite specific; if they move to a different area, there
will be disruption to the reproductive system. In this research, there was a change of
environment and living pattern, from the wild to a farm designed to collect semen. Dwiyanto and
Handiwirawan (2010) also report that libido of male buffalo declines in the summer and increases
in colder seasons. The productivity of buffalo is lower than cow due to its biological
characteristics which are the genitalia matures slower than cow.
49
Figure 2. Collecting semen from Simeulue bufallo
Table 3. Sex behavior of male buffalo after adapted to get on female buffalo
Anima
l
Observation of sex behavior per week
Buffalo June July
Week 1 Week 2 Week 3 Week 4 Week 1 Week 2 week 3 Week 4
50
1 Refused
to
approac
h
Refused
to
approac
h
Approache
d female
but not
getting on
it
Approache
d female
but not
getting on
it
Approache
d female
but not
getting on
it
Started
showing
signs of
arousal
female
(preputiu
m was
released)
Got on
female
but failed
to
copulate
Got on
female
but
failed to
copulat
e
2 Refused
to
approac
h
Refused
to
approac
h
Approache
d female
but not
getting on
it
Approache
d female
but not
getting on
it
Approache
d female
but not
getting on
it
No signs
of arousal
female but
started
sniffing at
female
There
were
signs of
arousal,
preputiu
m was
seen
Got on
female
but
failed to
copulat
e
Mud pool is also a factor that determines buffalo health and reproduction. According to Saladin
(1984), practical management in keeping buffalo as cattle should include a pool, cold water pool
or shades. Buffalo has thicker skin compared to cow and fewer sweat glands, which makes it
necessary to protect from heat. It needs longer time to adapt and better feeding including the
supplement to increase the libido and also semen quality. Handiwirawan et al., (2008) also
report that less supportive environment like the excessive sun can obstruct buffalo reproduction
and growth. That is why the confinement must resemble its natural habitat. The efforts to collect
Simeulue buffalo semen can be seen in picture 2. From this study, it can be recommended that
to make Simeulue buffalo as stud semen donor, weather, season and supportive environment
should be taken into account. Buffalo sexual behavior is nearly the same as that of the cow, but
less intense. Libido is hampered on hot day time, declines during the dry season and gets better
in the colder season. Therefore semen collecting for artificial insemination should take those
factors into consideration.
Conclusions
1. Siumeuleu buffalo can be trained as genetic resource to increase the population and genetic quality but takes longer time and requires the same environment as in Simeulue Island
2. it is recommended that to make Simeulue buffalo as stud semen donor, weather, season and supportive environment should be taken into account
Acknowledgements
Authors wish to thank The Research Institute of Syah Kuala and 7 In 1 IDB who have funded
this study at scheme Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (University Supreme Study) (PUPT)
with contract number 137/UN11.2/PP/SP3/2016 and everyone who has contributed to this study.
References
51
Agrawal, KP. 2003. Augmentation of Reproduction in Buffaloes. Proceeding of 4 th Asian Buffalo
Congress, New Delhi. India. 121.
Bahri, S dan C. Talib. 2008. Strategi Pengembangan Pembibitan Ternak Kerbau. Pros. Seminar
dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau di Jambi, 22-23 Juni 2007. Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari, Dinas Peternakan Provinsi Jambi,
Direktorat Jenderal Peternakan dan Puslibang Peternakan. Bogor. Hlm. 1-11.
Cruz, LC. 2010. Transforming Swamp Buffaloes to Producers of Milk and Meat through
Crossbreeding and Backcrossing. Wartazoa Vol. 19: No:3. Hlm. 103-116.
DITJENAK. 2010. Statistik Peternakan Tahun 2009. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Dwiyanto, K dan E. Hardiman. 2010. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau : Aspek Penjaringan
dan Distribusi. Pros. Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program
Kecukupan Daging Sapi. Bogor. Hlm. 3-12.
Foote, RH. 2002. The History of Artificial Insemination: Selected notes and notables. American
Society of Animal Science. 1-10.
Hardiman, E. Suryana dan C. Talib. 2008. Karakteristik Tingkah Laku Kerbau untuk Manajemen
Produksi yang Optimal. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Bogor. Hlm. 97-104.
Ramesh, V. TT Vana and A. Varadhrajan. 2002. Improvement of Reproductive Performance of
Buffaloes. Pashudhan. 17 (01): 1-4.
Rasyid, IN. 2008. Tingkah Laku Ternak. Bahan Ajar Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Sudirman, Purwokerto.
Robinson DW. 1977. Pengamatan Pendahuluan Atas Daya Hasil dari Kerbau Kerja di Indonesia.
Puslitbang Peternakan (Australia – Indonesia) No. 2 Ciawi Bogor.
Saladin, R. 1984. Beternak Kerbau. Fakultas Peternakan Universitas Andalas. Padang.
Thomas CS. 2008. Efficient Dairy Buffalo Pproduction. DeLaval International. Sweden
CRYOPRESERVATION OF ACEHNESE SWAMP BUFFALO (Bubalus bubalis) SEMEN
WITH COMBINATION OF GLYCEROL AND LACTOSE
52
KARTINI ERIANI1, NISA SARI1, MEUTIA IHDINA1, ROSNIZAR1, DASRUL2, SUHARTONO SUHARTONO1,
SYAHRUDDIN SAID3, MUHAMMAD RIZAL4
1Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala,Jl.Syeh
Abdur Rauf No. 3, Banda Aceh, 2311, Indonesia [email protected]
2Laboratorium Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala,Jl. Tgk. Hasan Krueng
Kalee No. 4 Darussalam, Banda Aceh. 23111, Indonesia
3Research Center for Biotechnology, Indonesia Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor Km. 46,
Cibinong 16911, Indonesia
4Departement of Animal science, Faculty of Agriculture Lambung Mangkurat University, Jl. Jendral
Ahmad Yani Km 36 Banjar Baru 70714 Indonesia
Abstract.The objective of thestudy was to determine the influence of lactose and glycerol
cryoprotectants on spermatozoa of swamp buffalo (Bubalus bubalis) after thawing. A completely
factorial randomized design with 9 treatments and 5 replications was applied in this study. Fresh
sperms of the swamp buffalo(B. bubalis) were diluted by using a combination diluent lactose
cryoprotectants 0 mM (L0), 60 mM (L60), 120 mM (L120) and glycerol 3% (G3), 5% (G5), 7% (G7)
with the equilibration of 4 hours. The results showed that the combination of cryoprotectants
L120G7showed significant difference (P < 0.05) on the quality of spermatozoa of the swamp
buffalo (B. bubalis) after thawing. The percentage of treatment sperm motility L120G7 (42,60 ±
1,14); treatment live sperm L120G7 (55,00 ± 0,71); treatment TAU L120 G7 (52,00 ± 0,71); and
treatment MPU L120G7 (53,20 ± 1,48). The combination of lactose cryoprotectants 120 mM (L120) and
glycerol 7% (G7) was the most optimum combination to maintain the quality of spermatozoa of
swamp buffalo.
Key words: cryopreservation, glycerol, lactose, swamp buffalo semen, thawing
53
2
INTRODUCTION
Swamp buffalo’s spermatozoa are vulnerably defected during cryopreservation
process (Herdis et al. 1999). The defect during cryopreservation process is mainly due to
cold shock applied to the frozen cells. To overcome the problem, cryoprotectants can be
added to spermatozoa diluentsto hinder defect of cell membrane mechanically as
temperature drops (Tambing et al. 2000).
The diluents must be able to protect spermatozoa during cooling, freezingand
thawing process. The defect during freezing until thawing will affect spermatozoa
especially the cellular membrane (plasma and mitochondria) and nucleus. Additionally,
the defect of cellular membrane will give a negative impact on metabolism process.
Therefore, a change in spermatozoa integrity will influence life sustainability and fertility
of spermatozoa.
Cryopreservationis a non-physiological method using adaptation of cells being
cryopreserved. Several studies on freezing buffalo spermatozoa have been performed to
find the optimum level of glycerol as cryoprotectants. Since the result was not satisfying,
more studies are being developed to reach better outcomes.
There are two kinds of cryoprotectants; intra and extracellular cryoprotectants.
Intracellular cryoprotectants, such as glycerols,are commonly used in spermatozoa
cryopreservation. Glycerols can penetrate spermatozoa cell and bind water to prevent the
forming of ice crystals in the diluents during freezing process (Azizah and Arifiantini 2009).
Andrabi (2009) studied the influence of varying glycerol concentration (2%, 3%, 4%, 5%,
6%, 7%, 8%, 10% or 12%) on the quality of spermatozoa after thawing. The result showed
that frozen spermatozoa with 7% glycerol addition were better than other concentration
based on spermatozoa motility, sustainability and the integrity of plasma membrane.
3
Adding glycerol step by step is suitable for buffalo spermatozoa motility. Adding bigger
amount of glycerol at once, however, can be toxic to spermatozoa. Therefore, for a higher
level of glycerol, mixing with semen is carried out gradually for more than one hour. El-
Harary et al. (2011) studied on how to improve glycerol ability as cryoprotectants in
diluents.
In addition to glycerol as intracellular cryoprotectants, there are other forms of
sugar, such as lactose,that can be used as extracellular cryoprotectants (Rizal and Herdis,
2005). Lactose as extracellular cryoprotectant can replace water molecules normally
(Viswanath and Shannon, 2000). These qualities stabilize plasma membrane of
spermatozoa cell during transition,through critical temperature zone, and mechanical
change of diluents through enhancement of viscosity (Labetubun and Piter, 2011. The
combination of intra and extracellular cryoprotectants is expected to generate an
optimum protection to spermatozoa during semen processing, especially during freezing
and thawing.The objective of the study was to determine the optimum combination of
glycerol and lactose as cryoprotectants of Acehnese swamp buffalo (Bubalus bubalis)
semen.
MATERIALS AND METHODS
Procedures
Buffalo adaptation and buffalo semen collecting
The buffaloes used as object of this study were trained and well-adapted to semen
collecting condition. The buffaloes were trained by experts to be able to get on female
buffalo and copulate in an unusual environment. Semen was collected from a 3.5year old
male buffalo. Semen was collected using artificial vagina with the assistance of a 3.5
yearold female buffalo. The collecting of semen was done in the morning at 08.00 am.
4
Evaluation of buffalo fresh semen
Semen was then evaluated macro- and microscopically. Macroscopic evaluation
included observation of spermatozoa color, pH, volume, smell and consistency, while
microscopic observation included mass movement, motility percentage, living
spermatozoa percentage, its concentration and abnormality.
Diluting and adding cryoprotectant
Basic diluents were added with each combination lactose[L0(0 mM), L60
(60mM), L120 (120mM)] andglycerol[G3 (3%), G5 (5%), G7 (7%)] resulted in
combinationL0G3, L0G5, L0G7, L60G3, L60G5, L60G7, L120G3, L120G5 dan L120G7. The
diluents were then placed in a tube and stored in an ice thermos and were taken to
spermatozoa collection site. The diluents were added with fresh semen that met
the standard (motility70%, concentration 2000 million cells per ml, massa
movement(++) or (+++)and abnormality<15%).
Semen equilibration, prefreezing and cryopreservation
Equilibration process started as semen was diluted into diluents which was kept in
an ice vacuum flask. The diluted semen was packed into a mini straw (0.25 ml) with a
concentration of 60 million motile spermatozoa and then equilibrated in a refrigerator at
temperature of around 5oC for 4 hours. Prefreezing was performed by putting straw on a
straw shelve in a styrofoam containing liquid nitrogen in a position 2 cm above the liquid
nitrogen. Styrofoam was then closed and let stand for 15 minutes before it was stored
into a liquid nitrogen container (temperature -196°).
Thawing and frozen spermatozoa evaluation
5
Thawing was carried out by putting a straw into a basin containing warm water at
body temperature of37°C for 30 seconds. Spermatozoa were then transferred from straw
onto object glass for evaluation using microscope.
Study Parameter
The parametersof this study were motility, percentage of living
spermatozoa,percentage of intact acrosome cap (TAU), percentage of intact plasma
membrane (MPU)during pre-equilibration, post equilibration and after thawing.
Spermatozoa motility was determined by placing a drop of diluted spermatozoa on an
object glass and covered by a thin glass cover. The progressive motility was observed
subjectively using400x objective magnifications of light microscope in eight different
fields. The number given was between 0% until 100% with a scale of 5% (Toelihere 1993).
Living
Spermatozoawere determined using eosin coloring method (Toelihere 1993).One
drop of spermatozoa was added with eosin, mixed until homogenous and thinly spread on
the object glass. Living spermatozoa were recognized from their white head, while dead
spermatozoa were marked by red heads. At least 200 spermatozoa were observed under
light microscope with 400x magnifications.
Intact acrosome cap (TAU) was evaluated using the method developed by Saacke
and White (1972). A 25 μl semen was added into 100 μl NaCl physiological solution
containing 1% formalin, slowly mixed until homogenous and let stand for 5 minutes.
Semen was thinly spread on object glass and observed using light microscope with 400x
magnification to more than 200 spermatozoa. Spermatozoa with intact acrosome cap
6
were marked by pitch-black heads, while damaged spermatozoa did not appear pitch-
black.
Intact plasma membrane (MPU) was evaluated using Osmotic Resistance Test
(ORT) method (Revell and Mrode 1994). A total of 25 μl of semen was added into 200 μl
hypo osmotic solution and incubated at a temperature of 37°C for 60 minutes. Semen was
thinly spread on object glass and observed using light microscope with 400x magnification
to more than 200 spermatozoa. Spermatozoa with intact plasma membrane was marked
by curved or swollen tail, while the damaged ones were recognized from straight tail.
Data analysis
Treatmentswere repeated five times. Data were analyzed using ANOVA. Difference
between treatment was tested using Tukey (Hanafiah, 1997; Walpole, 1992).
RESULTS AND DISCUSSION
Fresh semen quality
The acquired semenmust meet the standard for further processing from diluting until
freezing. The analysis result of buffalo fresh semen quality showed that it was fit to
criteria requested(Table 1).
Tablel1. Average result of buffalo fresh semen evaluation
Parameter Result
7
Volume (ml) 1,16 ± 0,21
Color Milk white
Consistency Medium
Concentration (106/ ml) 1267 ± 26,60
Mass movement (++)
Motility (%) 81.8 ± 2,49
Living spermatozoa(%) 82,2 ± 5,18
Abnormality 10.2 ± 1,92
The acquired fresh semen had good quality and could be used for
cryopreservation. The evaluation of average sperm quality was mass movement (++),
motility 81.8%, living percentage 82.2%, sperm concentration 1267 × 106 /ml. This result
showed that the spermswere fit for cryopreservation. It is in consistence with Vale (2010)
who stated that it necessary for semen to have movement more than 50% and motility
more than 70% in order to be able to be frozen
8
Semen quality after cryopreservation process
Cryopreservation process can cause damage to spermatozoa due to cold shock,
therefore several parameters must be evaluated after cryopreservation process to determine
the quality of spermatozoa.
Percentage of Spermatozoa Motility
Percentage of sperm motility with different treatments showed different results after
diluents were added. The result of observation on sperm motility can be seen in Table 2.
Table 2. Percentage of spermatozoa motility
Phase Lactose (L)
Treatment
Glycerol (G) Treatment Average L
G3 G5 G7
Pre
equilibration
L0 51,60 ±1,52 51,00 ± 1,00 51,60 ± 0,55 51,40 ± 1,02a
L60 46,40 ± 0,89 53,20 ± 1,30 53,60 ± 0,55 51,06 ± 0,92a
L120 54,00 ± 1,00 54,40 ± 0,89 60,60 ± 2,07 56,33 ± 1,53b
Average G 50,66 ± 1,14a 52,87 ± 1,06b 55,27 ± 1,06c
Post
equilibration
L0 42,20 ± 0,84 43,60 ± 2,51 47,40 ± 0,55 44,40 ± 1,29a
L60 46,40 ± 0,89 47,40 ± 0,55 45,00 ± 0,71 46,27 ± 0,72b
L120 45,00 ± 0,71 48,40 ± 0,55 50,80 ± 1,64 48,07 ± 0,95c
Average G 44,53 ± 0,81a 46,47 ± 1,20b 47,73 ± 0,97c
Post thawing
L0 32,40 ± 1,82 32,60 ± 1,67 39,80 ± 0,45 34,93 ± 1,31a
L60 34,40 ± 0,89 37,60 ± 0,55 37,60 ± 0,55 36,53 ± 0,66b
L120 37,60 ± 0,55 41,40 ± 1,34 42,60 ± 1,14 40,53 ± 1,01c
Average G 34,80 ± 1,09a 37,20 ± 1,19b 40,00 ± 0,71c
9
Note: Superscript with different letters in the same lines and column showed significant difference
(P<0,05)
Based on the data analysis, the highest motility percentage was by the
combination L120G7 (Tabel 2). A 7%glycerol assumed to have penetrate cell membrane as
intracellular cryoprotectant and thus protect spermatozoa. According to Gazali and
Tambing (2002), as intracellular cryoprotectant, glycerol can penetrate spermatozoa by
diffusion and therefore binds intracellular water and replace some free water and releases
intracellular electrolytes. According to Kwon et al. (2002), glycerol also prevents water
from freezing and reduces the forming of ice crystals which can damage spermatozoa cell
organelle and thus maintain the quality of spermatozoa. Cell damage can occur from
dehydration, increase in electrolyte concentration and the forming of intracellular ice
which influence wall permeability leading to the reduction of spermatozoa motility.
Percentage of Living Spermatozoa
Percentage of living spermatozoa with different treatments showed different results
after diluents were added. The results of observation on Acehnese swamp buffalo
spermatozoa in every treatment can be seen in Table 3.
Table 3. Percentage of living spermatozoa
Phase Lactose (L)
Treatment
Glycerol (G) Treatment Average L
G3 G5 G7
Preequilibration L0 72,00 ± 1,87 74,20 ± 0,84 76,60 ± 0,55 74,27 ± 1,09a
L60 76,40 ± 0,89 77,40 ± 0,89 78,20 ± 0,45 77,33 ± 0,73b
10
Note: Superscript with different letters in the same lines and column showed significant difference
(P<0,05)
Based on data analysis on living percentage (Table 3) the combination L120G7
showed the highest living percentage among other combinations of lactose and glycerol.
Glycerol with concentration of 3% (G3) and 5% (G5) did not show enough protection for
buffalo spermatozoa, especially against damage due to freezing. It was different from 7%
glycerol which could prevent spermatozoa from damage that leads to death. Glycerol
prevents spermatozoa from death due to damaged organelles that play a role in cell
energy metabolism and cell energy. Lactose as disaccharide acts not only as
cryoprotectant and maintains diluents osmotic pressure and keeps plasma membrane
intact, but also supplies energy substrate for spermatozoa during storing process. If
energy cannot be metabolized, it might lead to the death for spermatozoa. Therefore,
L120 80,40 ± 0,55 83,20 ± 0,84 84,80 ± 1,30 82,80 ± 0,89c
Average G 76,27 ± 1,10a 78,27 ± 0,86b 79,87 ± 0,77c
Postequilibration
L0 49,40 ± 1,14 52,80 ± 2,78 72,40 ± 0,55 58,20 ± 1,67a
L60 51,00 ± 0,71 53,60 ± 0,55 74,40 ± 0,55 59,66 ± 0,60b
L120 54,60 ± 0,55 64,00 ± 0,71 74,80 ± 2,28 64,47 ± 1,18c
Average G 51,67 ± 0,79a 56,80 ± 1,35b 73,86 ± 1,13c
Post thawing
L0 34,60 ± 1,14 34,60 ± 1,82 42,00 ± 0,71 37,07 ± 1,01a
L60 38,60 ± 0,55 42,60 ± 0,55 52,40 ± 0,55 44,53 ± 0,55b
L120 44,40 ± 0,55 48,00 ± 0,71 55,00 ± 0,71 49,13 ± 0,66c
Average G 39,00 ± 0,75a 41,73 ± 0,81b 49,8 ± 0,66c
11
there must be optimum energy in diluents to be used by spermatozoa to stay viable and
move actively (Yildizet, 2000; Salamon and Maxwell, 2000).
a
b
Figure 1. Spermatozoa colored with eosin; a) living spermatozoab) dead spermatozoa
Percentage ofSpermatozoa Intact Acrosome Cap (TAU)
Percentage of spermatozoa TAU with different treatments showed different results
after thawing. The results of the observation on Acehnese swamp buffalo TAU with
different treatments can be seen in Table 4.
Table 4. Percentage spermatozoa CAI
Phase Lactose (L)
Treatment
Glycerol Treatment (G) Average L
G3 G5 G7
Pre
equilubration
L0 71,40 ± 0,89 73,80 ± 1,64 75,60 ± 0,55 73,60 ± 1,03a
L60 74,40 ± 0,89 75,00 ± 0,71 81,20 ± 0,84 76,87 ± 0,81a
L120 77,60 ± 0,55 86,00 ± 1,00 86,80 ± 1,30 83,47 ± 0,95b
Avergae G 74,47 ± 0,78a 78,27 ± 1,12b 81,20 ± 0,89c
12
Post
equilibration
L0 49,00 ± 1,41 51,60 ± 1,82 53,20± 0,84 51,33 ± 1,36a
L60 51,00 ± 0,71 59,60 ± 0,55 61,40± 0,55 57,30 ± 0,60b
L120 63,80 ± 0,84a 65,00 ± 0,71b 76,20 ±1,48c 68,33 ± 1,01c
Average G 54,60± 0,98a 58,73 ± 1,02b 63,60 ± 0,96c
Post thawing
L0 40,60 ± 0,89 42,40 ± 1,95 45,40 ± 0,55 42,80 ± 1,13a
L60 43,60 ± 0,55 44,60 ± 0,55 46,00 ± 0,71 44,73 ± 0,60b
L120 45,40 ± 0,55 48,60 ± 0,89 52,00 ± 0,71 48,67 ± 0,72c
Average G 43,20 ± 0,67a 45,20 ± 1,13b 47,80 ± 0,66c
Note: Superscript with different letters in the same lines and column showed significant
difference (P<0,05)
Damaged acrosome cap was marked by a pitch-black head after being exposed to
NaCl fisiologic-1% formaldehide (formalsaline). According to Rizal (2005), formalin fixates
the enzymes of acrosome vesicle at the tip of spermatozoa’s head. Based on this study,
the combination of L120G7 showed better protection for spermatozoa after thawing. From
the data analysis a 7% glycerol (Tabel 4) succeeded in protecting acrosome cap from
damage due to freezing which is one of spermatozoa death causes. It is in accordance
withAbbas and Andrabi (2002) who studied the effect of several glycerol concentrations
(2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, 10 % dan 12 %) with the result that the best percentage
of living sperm is at the addition of 7% glycerol. According to Krishna and Rao (1987)
acrosome can swell, disrupted, wrinkleand be torn after sperm was frozen. That is why
cryoprotectant with the right concentration is required to protect spermatozoa during
cryoprocessing
Lactose was assumed to be able to protect the sperm as it is areducing
compoundthat will neutralize hydrogen peroxide which is known for its ability to damage
13
double bond of unsaturated fat acid from spermatozoa plasma membrane fosfolipid
bilayer. As a result, spermatozoa plasma membrane stays stable and intact, and at the
same time protects acrosome cap from damage during cryopreservation process.
(Tambing et al., 2003).
Percentage of Spermatozoa Intact Plasma Membrane (MPU)
Percentage of spermatozoa MPU with different treatments showed different results
after thawing. The results of observation on Acehnese swamp buffalo spermatozoa MPU
can be seen in Table 5.
Table 5.Percentage spermatozoa IPM
Phase
Lactose
(L)
Treatment
Glycerol (G) Treatment
Average L G3 G5 G7
Pre
equilibration
L0 68,40 ± 0,89 70,20 ± 1,48 73,40 ± 0,55 70,67 ± 0,97a
L60 71,40 ± 0,89 71,40 ± 0,55 73,60 ± 0,55 72,13 ± 0,67b
L120 74,60 ± 0,55 80,80 ± 0,87 83,80 ± 0,84 79,73 ± 0,74c
Average G 71,47± 0,77a 74,13± ,77b 76,93 ± 0,65c
Post
equilibration
L0 45,80 ± 0,84 51,40 ± 1,14 54,60 ± 0,55 50,60 ± 0,84a
L60 53,60 ± 0,55 54,40 ± 0,55 61,00 ± 1,00 56,33 ± 0,70b
L120 56,20 ± 0,45 60,80 ± 0,85 74,60 ± 2,07 63,87 ± 1,13c
Average G 51,87 ± 0,61a 55,53±0,84b 62,20 ± 1,22c
Post thawing L0 40,80 ± 0,45 40,60 ± 0,55 42,80 ± 0,45 41,40 ± 0,48a
14
L60 41,00 ± 1,23 42,80 ± 1,64 44,40 ± 0,55 42,77 ± 1,13b
L120 42,60 ± 1,14 49,40 ± 1,14 53,20 ± 1,48 48,4 ± 1,25a
Average G 41,47 ± 0,94a 44,27 ± 0,95b 46,80 ± 0,83c
Note: Superscript with different letters in the same lines and column showed significant difference
(P<0,05)
b
a
Figure 2. Spermatozoa with a) intact plasma membrane b) not intact plasma membrane
Intact plasma membrane in spermatozoa is marked by its curved or swollen tail
after being incubated in hypo osmotic solution. According to Rizal (2005), it is related to
the intact cell membrane. Water entering the cell will be halted for a while, so that
spermatozoa swollen or curved. Based on this study, the addition of 120 mM lactose (L120)
combined with 7% glycerol (G7) showed a relatively high MPU of buffalo spermatozoa
after thawing
15
(Table 5) compared to the other cryoprotectants combinations. The difference is caused
by the characteristics of spermatozoa semi permeable cell membrane and therefore
glycerol must be in the right concentration. It is presumed that glycerol of 3% and 5% did
not work well and thus cannot protect buffalo spermatozoa plasma membrane. Water
leaves cell because plasma membrane is damaged. According to Rizal (2005), non intact
plasma membrane will cause water release and no mechanical increase so that tail stays
straight when exposed to hypo osmotic solution.
In this case, sugar (lactose) functions as extracellular cryoprotectant that protects
spermatozoa cells from damage due to the forming of ice crystals. According to Salamon
and Maxwell (2000) frozen sugar takes form like glass but not sharp so that it does not
mechanically damage spermatozoa cells.
The result of this study showed that lactose concentration of 0 mM dan 60 mM
was not sufficient to protect spermatozoa plasma membrane from damage during
preservation process in low temperature. The addition of 120 mM lactose (L120) influenced
spermatozoa motility.the concentration met the requirements of spermatozoa to maintain
their quality. According to Singh et al. (1995) the addition of 180 mM lactose in Tris
diluents can improve the quality of goat frozen semen.
Lactose as extracellular cryoprotectant compound has the qualities to replace
water molecules normally (Viswanath and Shannon, 2000). The qualities stabilize
spermatozoa cell plasma membrane during transition period through critical zone, and
change diluents mechanical quality through enhancement in viscosity (Labetubun and
Siwa, 2011). The decrease in living spermatozoa percentage presumably happens due to
drastic change in temperature during freezing and thawing process. Darnel et al. (1990)
stated that when there is unusual extracellular temperature change, then damaged
permeability of fosfolipid hidrofiliccan disturb membrane fluidity that leads to
spermatozoa death.
16
The 7% glycerol and 120 mM lactose was the optimum combination between
intra and extracellular cryoprotectant in the cryopreservation process of Acehnese swamp
buffalo semen. One of the main functions of these two cryoprotectants is to maintain
spermatozoa cell plasma membrane from damage during semen processing, especially
during freezing and thawing phases. An intact plasma membrane will ensure metabolism
process inside the cell, so that ATP as energy will be produced and spermatozoa
movement (motility) is ensured.An intact cell plasma membrane also has good impact on
acrosome cap integrity. It is because acrosome cap is located right under the plasma
membrane as cell’s outermost part.
CONCLUSION
The combination of 120 mM lactose and 7% glycerol as cryoprotectants in Tris-egg
yolk diluents was the most optimum in maintaining buffalo spermatozoauntilpost thawing
in this study.
ACKNOWLEDGMENTS
Authors wish to thank the Research Institute of Syah Kuala and 7 In 1 IDB who have funded this
study at scheme Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (University Supreme Study) (PUPT) with
contract number 137/UN11.2/PP/SP2/2016 and everyone who contributed to this study.
REFERENCES
Abbas, A and S.M.H. Andrabi. 2002. Effect of different glycerol concentrations on
motility before and after freezing,recov-ery rate, longevity and plasma membrane
integrity of Nili-Ravi buffalo bull spermatozoa. Pak Vet J 22:1–4.
Andrabi, S.M.H. 2009 .Factors Affecting the Quality of Cryopreserved Buffalo
(Bubalus bubalis) Bull Spermatozoa. Reprod.Dom .Anim. Rev 44: 552–569.
17
Azizah and R I. Arifiantini. 2009. Kualitas Semen Beku Kuda Pada Pengencer Susu
Skim Dengan Kosentrasi Gliserol Yang Berbeda. Jurnal Venteriner 2 : 63-70.
Darnel.1990. Applied Animal Reproduction. Second edtion. Reshton Publishing Company,
inc. A prentice -hall Company, Reston.Virginia
El-Haralry, M.A., LN. Eid, A.EB. Zeiden, A.M. Abd El- Salaam and M.A.M. El-Kishk.
2011. Quality and Fertily Of The Frozen – Thawes bull semen as Affected
by different cryoprotectans and Glutathuione Levels. J.Am.Sci. 70: 791-801
Gazali, M. and S.N.Tambing. 2002. Kriopreservasi sel spermatozoa. Hayati. 9:27-32.
Hanafiah, K.A. 1997. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi Edisi kedua cetakan lima. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Herdis, B. Purwantara, I. Supriatna, dan I.G. Putu. 1999. Integritas Spermatozoa Kerbau
Lumpur (Bubalus Bubalis) pada Berbagai Metode Pembekuan Semen. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner. 4(1):7-12.
Krishna, K.M and A.R. Rao. 1987. Acromosal Morphology and Freeze-Thawed Buffalo
Sperm. Indian Vet. J. 64: 246-249.
Kwon, A.Y., H.J. Ko and C.S. Park. 2002. Effect Of Diluent Component, Freezing Rate,
Thawing Time, And Thawing Temperature On Ac Acrosoma Morphology, And
Motility Of Frozen Thawed Boar Semen. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15: 247-249
Labetubun J and I.P Siwa. 2011. The Quality Of Cauda Epididymal Spermatozoa Of Bali
Cattle When Preserved At 3-5°C In Media Solution With The Addition Of Lactose Or
Maltose. Jurnal Veteriner 3: 200-207.
Revell S.G and Mrode RA. 1994. An osmotic resistance test for bovinesemen. Anim Reprod
Sci 36:77-86.
Rizal,M. 2005. Fertilitas Spermatozoa Ejakulat Dan Epididimis Domba Garut Hasil
Kriopreservasi Menggunakan Modifikasi Pengencer Tris dengan Berbagai
Krioprotektan Dan Antioksidan. Tesis. Sekolah pasca sarjana IPB, Bogor
Saacke R.G. and J.M. White. 1972. Semen quality tests and their relationshipto fertility. Di
dalam: Proceeding 4thTech Conf on AI and Reprod,NAAB. hlm 22-27
Salamon, S. and W.M.C. Maxwell. 2000. Storage of Ram Semen.Anim ReproducS 2:77-111.
18
Singh M.P., A.K Sinha, and B.K Singh.. 1995. Effect Cryoprotectants On Certain Seminals
Ttributes And On The Fertility Of Buck Spermatozoa. Theriogenology43:1047-105.
Tambing, .S.N., M.R Toelihere, T.L. Yusuf and I.K. Sutama. 2000. Pengaruh Gliserol dalam
Pengencer Tris Terhadap Kualitas Semen Beku Kambing Peranakan Etawah. JITV
5:84599.
Tambing, S.N., K.I. Sutama and R.I. Arifiantini. 2003. Effectivity Of Variousconcentration Of
Lactose In Tris Extender On Liquid Semen Viability Of Saanenbucks. Jitv. 8(2): 84-
90.
Toelihere M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak.Angkasa, Bandung.
Viswanath R and P. Shannon. 2000. Storage of bovine semen in liquid frozen state. Anim
Reprod Sci 62:23-25.
Walpole, R.E. 1992. Pengantar Statistika. Gramedia, Jakarta.
Yildiz, C., A. Kaya., M. Aksoy and T. Tekeli. 2000. Influence of sugar supplementation of
the extender on motility, viability and acrosomal integrity of dog spermatozoa during
freezing. Theriogenology. 54: 579-585