23
159 Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta 1 Siti Hidayati Amal (Universitas Indonesia) Abstract The assimilation between Arabic in-migrants from Hadramaut with Javanese noble women has been taking place since the 13 th century. Some of their offspring has identified themselves as Arabic Indonesians, especially after Independence, while a proportion of them has chosen to associate themselves with their local Javanese relatives. The latter even has lost their Arabic cultural identity, and as a result, has become Javanese. This article tries to explain why such a phenomenon has materialized using a family case of a Javanese trah—Javanese version of a clan—who has been living outside the Yogyakarta court. By tracing the family lineage; attitude -both culturally and politically- and life-style of certain trah’s figures as Javanese in the context of larger meso-institutional and macro-structural systems, this article argues that the fading away of Arabic identity among the offspring of this particular trah could be attrib- uted to two contextual political economic relations between the Dutch and the Javanese rulers in two different eras. The first one was before the Dipanegara war when the relation was mainly economic, namely the Dutch as the trade-corporate (VOC); and the second was after- wards during which time the Dutch managed to consolidate their full total-grip as a colonial power. Furthermore, this article argues that the attitude of the Dutch and the way they treated the offspring this particular Arabic-Javanese court families, and their generational impact, could only be understood within the larger contexts of the day. Key words: trade capitalism; social relation; political economic power. Pengantar Di Indonesia, pembauran antara orang- orang pribumi dengan orang-orang Arab melalui perkawinan, telah dilakukan sejak sebelum Belanda datang ke Indonesia (van den Berg 1989:67; Algadri 1994:23). Pada umumnya 1 Dipersembahkan kepada Almarhumah Ibu Hj. Syarifah Siti Sudarsih binti Sayid Hasan Manadi Madiokusumo dan Almarhum Bapak Soemitro Oetomo bin Ambyah Soeropranoto. perkawinan terjadi antara perempuan pribumi dengan laki-laki Arab. Mereka bersama keturunannya menetap di Nusantara dan sekarang menjadi orang Indonesia. Di antara keturunan Arab ini ada yang menamakan diri sebagai etnik Arab berdasarkan atas pengetahu- an dan kesadaran bahwa mereka berbeda dari kelompok etnik lainnya. Perbedaan itu berdasarkan pada dua hal yaitu, pertama, memiliki moyang yang sama, berasal dari Hadramaut bernama Ahmad bin Isa yang

Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

159Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawadi Luar Tembok Keraton Yogyakarta1

Siti Hidayati Amal

(Universitas Indonesia)

Abstract

The assimilation between Arabic in-migrants from Hadramaut with Javanese noble womenhas been taking place since the 13th century. Some of their offspring has identified themselvesas Arabic Indonesians, especially after Independence, while a proportion of them has chosento associate themselves with their local Javanese relatives. The latter even has lost theirArabic cultural identity, and as a result, has become Javanese. This article tries to explain whysuch a phenomenon has materialized using a family case of a Javanese trah—Javanese versionof a clan—who has been living outside the Yogyakarta court. By tracing the family lineage;attitude -both culturally and politically- and life-style of certain trah’s figures as Javanese inthe context of larger meso-institutional and macro-structural systems, this article argues thatthe fading away of Arabic identity among the offspring of this particular trah could be attrib-uted to two contextual political economic relations between the Dutch and the Javaneserulers in two different eras. The first one was before the Dipanegara war when the relation wasmainly economic, namely the Dutch as the trade-corporate (VOC); and the second was after-wards during which time the Dutch managed to consolidate their full total-grip as a colonialpower. Furthermore, this article argues that the attitude of the Dutch and the way they treatedthe offspring this particular Arabic-Javanese court families, and their generational impact,could only be understood within the larger contexts of the day.

Key words: trade capitalism; social relation; political economic power.

PengantarDi Indonesia, pembauran antara orang-

orang pribumi dengan orang-orang Arab melaluiperkawinan, telah dilakukan sejak sebelumBelanda datang ke Indonesia (van den Berg1989:67; Algadri 1994:23). Pada umumnya

1 Dipersembahkan kepada Almarhumah Ibu Hj. SyarifahSiti Sudarsih binti Sayid Hasan Manadi Madiokusumodan Almarhum Bapak Soemitro Oetomo bin AmbyahSoeropranoto.

perkawinan terjadi antara perempuan pribumidengan laki-laki Arab. Mereka bersamaketurunannya menetap di Nusantara dansekarang menjadi orang Indonesia. Di antaraketurunan Arab ini ada yang menamakan dirisebagai etnik Arab berdasarkan atas pengetahu-an dan kesadaran bahwa mereka berbeda darikelompok etnik lainnya. Perbedaan ituberdasarkan pada dua hal yaitu, pertama,memiliki moyang yang sama, berasal dariHadramaut bernama Ahmad bin Isa yang

Page 2: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

160 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

dijuluki Al Muhajir atau Ahmad Al Muhajir.2

Semua keturunan Ba’alwi yang ada di Indone-sia dapat mengetahui nasabnya melalui pohonkeluarga (van den Berg 1988:34). Kedua, merekamerupakan satu kelompok yang memiliki ciri-ciri primordial yang sama. Kedua hal tersebuthanya ditampakkan dalam bentuk in group feel-ing, di ranah domestik atau di kalangan merekasendiri, misalnya, ketika diadakan acara-acarakeluarga luas. Di dalam ranah publik, merekaadalah orang Indonesia. Seperti orang Indone-sia dari kelompok etnik lainnya, selainmenggunakan bahasa Indonesia, merekamenggunakan bahasa daerah misalnya bahasaJawa, bahasa Sunda, bahasa Betawi, dansebagainya tergantung di mana mereka dibesar-kan. Mayoritas dari generasi mereka kemudiantidak bisa menggunakan bahasa Arab lagi.Pengetahuan dan kesadaran bahwa merekaberbeda dari kelompok etnik yang lain di satupihak, dan pengetahuan serta kesadaran merekayang bukan keturunan Arab di lain pihak, dalaminteraksi sosial sehari-hari telah menumbuhkanin group dan outgroup feelings di antarakeduanya. Kedua belah pihak mengetahuibahwa keduanya berbeda. Keturunan Arabdisebut sebagai orang Arab oleh pihak lainnyayang bukan Arab.

Selain kelompok di atas, di jaman kolonialBelanda ada juga keturunan Arab yangberasimilasi dengan orang-orang dari etnik Jawa,tetapi mereka tidak menggunakan identitas ke-Arab-annya. Mereka menggunakan nama Jawa,berbahasa Jawa, berpakaian Jawa, bertata-krama

Jawa, melakukan adat istiadat Jawa, dan meng-gunakan sistem kekerabatan Jawa (Algadri1988:24–25). Keturunan mereka sekarang ini,meskipun dari pihak ayahnya memiliki satumoyang yang sama yaitu keturunan dari Ahmadbin Isa, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuandan kesadaran tentang hal tersebut di atas.Ikatan primordial mereka bukan kesamaanketurunan dari Arab, tetapi justru dari Jawa. Vanden Berg (1988:129) dalam penelitiannya tentangorang-orang Arab di Indonesia yang berasal dariHadramaut tahun 1884–1886 menemukanadanya sebuah keluarga Arab yang berasal dariHadramaut, yang menduduki posisi penting dikesultanan Yogyakarta. Namun, keluarga itutelah kehilangan sama sekali ciri Arab merekadan menjadi orang Jawa. Van den Berg tidakmenjelaskan lebih lanjut mengenai keluarga Arabini, mungkin karena tidak memperoleh jejaknya.Tulisan ini bertujuan untuk mengisi kekosong-an empirik yang ditinggalkan oleh van den Bergmelalui sebuah studi kasus tentang seorangketurunan Arab-Jawa yang para keturunannya,dari garis laki-laki, telah kehilangan ciri Arabmereka dan dikenal sebagai orang Jawa. Dengandemikian, permasalahan pokok dari artikel iniadalah “bagaimana keturunan Arab-Jawa darigaris laki-laki sampai kehilangan ciri Arabnya danmenjadi orang Jawa?”

Artikel ini disusun berdasarkan pada duasumber utama. Sumber pertama adalahpenuturan seorang keturunan Arab-Jawa daripihak ibu, yaitu ibu Wida. Ibu ini memperolehsilsilah dari Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyindi Jakarta3 yang memperlihatkan moyangnyadari Arab. Selain itu, ia juga memperoleh SeratKekancingan (Surat Keterangan Silsilah) dariKeraton Yogyakarta yang memperlihatkanmoyangnya dari Jawa. Kedua silsilah tersebutmemperlihatkan bahwa ibu Wida adalah

3 Baca tulisan Yasmine Shahab mengenai perkumpulantersebut dalam nomor ini.

2 Ahmad bin Isa diberi nama Al Muhajir karena berhijrahdari Mekah, kemudian ke Basrah (Iraq), kemudian keHadramaut. Cucu Ahmad Al Muhajir yang lahir diHadramaut bernama Alwi dan Alwi ini adalah keturunanNabi Muhammad SAW yang pertama lahir diHadramaut. Keturunan Alwi disebut Ba’alwi atauAlawiyyin. Semua keturunan Alwi (Alawiyyin) yangada di Hadramaut, India, Hijaz, Afrika, dan Indonesiadapat menarik nasab darinya (Alwi Ibnu MuhammadIbnu Ahmad Bafaqih1999).

Page 3: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

161Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

keturunan Arab-Jawa.4 Sumber kedua adalahcatatan-catatan lepas dari almarhum bapakSoemitro Oetomo (Tommy) kerabat ibu Wida(lihat silsilah 2). Semasa hidupnya, almarhumsangat rajin dan tekun melacak orang-orangyang menurunkannya, baik dari pihak ayahmaupun dari pihak ibunya, serta berupayamengetahui sejarah hidup mereka. Ketekunanbapak Tommy diperkuat oleh usahanya mencarikepustakaan sejarah yang ditulis oleh para ahlisejarah yaitu Peter Carrey, Sartono Kartodirdjo,Arnold Toynbee, de Graaf, dan juga KantorArsip Nasional, selain informasi lisan yangdiberikan oleh ibunya seorang perempuanberdarah Arab-Jawa. Semua informasi yangdiperoleh, dituliskannya dalam buku tulis dankertas terpisah dalam tulisan tangan.

Selain kedua sumber utama tersebut,sumber lain adalah penuturan lisan dua orangbibi ibu Wida yaitu ibu Aisyah dan ibu Yugani,ibunya ibu Wida bernama ibu Siti S, adikkandung bapak Tommy yaitu bapak Basuki, ibuSiti Djuminah (adik kandung neneknya ibuWida), dan dua orang kerabat dalem KeratonYogyakarta yaitu bapak RM Goewindho danbapak RM Moerti. Kedua orang yang disebutterakhir adalah pengurus Tepas Darah DalemKeraton Yogyakarta. Informasi tentangkehidupan keluarga keturunan Arab-Jawa inijuga penulis peroleh melalui pengamatanterlibat penulis terhadap kehidupan beberapakeluarga luas ibu Wida dan almarhum bapakTommy yang segenerasi. Kedua informanmemperoleh Informasi tentang moyang merekaberasal dari Arab selain Jawa, dari ibu masing-masing dan juga dari kerabat mereka yang lain.5

Budaya Jawa di dalam keluargaIbu Wida yang terlahir dari seorang ibu dan

ayah berdarah Jawa, bersama dengan mayoritaskeluarga luasnya, baik dari pihak ibu maupundari pihak ayah di beberapa generasi, dari sejakkecil diasuh dan dididik menjadi orang Jawayaitu belajar unggah-ungguh (tata krama) Jawa,belajar mengenali dan mentaati nilai-nilai dannorma-norma Jawa, menggunakan terminologidan sistem kekerabatan Jawa, berbahasa Jawa,berpakaian Jawa, dan beradat istiadat Jawa.Mayoritas keluarga luas ibu Wida memanggilkedua orangtuanya dengan sebutan “ibu” dan“bapak”. Hanya sebahagian kecil saja yangmemanggil “mama” dan “papa”. Kakek dannenek dari pihak ibu maupun dari pihak ayahdipanggil ”eyang puteri” dan “eyang kakung”.Akan tetapi ibu Siti S (ibunya ibu Wida)mengajari ibu Wida dan adiknya memanggilkakeknya dengan sebutan “eyang abah”.Semua saudara ibu dan ayah yang statusnyalebih muda, jika perempuan dipanggil “bulik”sedangkan yang laki-laki dipanggil “paklik”.Hanya sebahagian kecil saja yang memanggilmereka dengan sebutan “om” dan “tante”.Saudara perempuan dan saudara laki-laki ibudan ayah yang statusnya lebih tua dipanggil“bude” dan “pakde“. Saudara kandung atausaudara sepupu yang statusnya lebih mudabiasanya hanya disebut namanya saja. Untukmenghormati mereka yang statusnya lebihmuda tetapi usianya lebih tua dipanggil dengansebutan ‘dik”. Kepada mereka yang statusnyalebih tua, panggilannya adalah “mas” untukyang laki-laki, dan “mbak” untuk yangperempuan.6 Generasi orangtua ibu Wida dan

4 Silsilah dari Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin danKeraton Yogyakarta sengaja tidak dilampirkan ataspermintaan informan.5 Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih ataskesediaan para narasumber untuk diwawancarai dankesediaan ibu Rosana Soemitro Oetomo untuk

meminjamkan catatan-catatan almarhum bapakSoemitro Oetomo.6 Bagi orang Jawa, usia bukan acuan utama untukmenentukan panggilan yang layak bagi pemilik usia.Orang Jawa selalu melihat status dalam hirarki keluargaluasnya. Apabila seseorang usianya lebih muda, tetapi

Page 4: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

162 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

generasi-generasi di atasnya menggunakanpanggilan “mbakyu” untuk saudara perempuanyang statusnya lebih tua.

Bahasa percakapan sehari-hari yangdigunakan oleh Ibu Wida dengan saudara-saudaranya segenerasi, dan dengan kerabatyang segenerasi dengan orangtuanya, dengankakek-neneknya adalah bahasa Indonesia,sebab ibu Wida dilahirkan dan dibesarkan diJakarta 50 tahun yang lalu. Bahasa Jawa halus(kromo inggil), bahasa Jawa menengah (kromomadio), maupun bahasa Jawa kasar (ngoko)hanya dikuasainya secara pasif saja. Namundemikian, saudara-saudara sepupunya, baikdari pihak ibu maupun dari pihak ayah yanglahir dan dibesarkan di Jawa Timur, JawaTengah, dan Yogyakarta menguasai ketigatingkatan Bahasa Jawa secara baik, apalagigenerasi orangtua, generasi kakek dan nenek,serta generasi buyutnya. Namun, tidak semuaanggota keluarga luas Ibu Wida bisa berbahasaJawa. Sebahagian keluarga luas ibu Wida danalmarhum bapak Tommy, yang lahir dandibesarkan di Bandung, Sukabumi, dan Serangmenguasai bahasa Sunda, baik bahasa Sundahalus maupun bahasa Sunda kasar. Merekayang lahir dan dibesarkan di Jakarta meng-gunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta dalampercakapan sehari-hari.

Pakaian Jawa, kain batik dan kebaya Jawauntuk perempuan, kain batik, beskap/surjan(jas atau kemeja Jawa), blangkon/destar (topiJawa) untuk laki-laki tidak lagi dipakai olehgenerasi ibu Wida dan generasi sesudahnya.Kain dan kebaya Jawa, untuk generasi ibu Widadan generasi di bawahnya, dimodifikasi atautidak dipakai sebagai pakaian resmi. Akan tetapiuntuk anggota keluarga yang segenerasi

dengan nenek dan seterusnya ke atas, kain dankebaya merupakan pakaian sehari-hari danpakaian resmi. Diduga, kain batik, surjan, dandestar dikenakan sebagai pakaian sehari-harisedangkan kain batik, beskap, dan blangkondigunakan sebagai pakaian resmi di kalangangenerasi buyut (generasi orangtua kakek dannenek) dan generasi di atasnya. Berkaitandengan pakaian ini penulis melihat fotokeluarga batih kakek buyut ibu Wida dari pihakibu yang bernama Soendoro Djojowinoto. Padafoto tersebut tampak kakek buyut mengguna-kan kain batik, surjan dan blangkon; nenekbuyut mengenakan kain-kebaya dan ber-kerudung; anak-anak laki-laki yang telahmenginjak usia dewasa berpakaian samadengan ayahnya sedangkan anak-anakperempuan yang juga telah menginjak dewasamengenakan kain-kebaya tanpa kerudung.Anak-anak kecil, yang laki-laki mengenakancelana pendek dan kemeja, anak-anakperempuan mengenakan rok. Salah satu bibiibu Wida, ibu Aisyah, menuturkan pernahmelihat foto kakek ibu Wida bernama HasanManadi Madiokusumo ketika ia bersekolah diMiddelbare Landbouw School (SekolahPertanian Menengah Atas), Bogor. Dalam fototersebut sang kakek mengenakan kain batik,surjan , dan blangkon , sedangkan semuateman-temannya mengenakan pantalon dankemeja. Bibi Ibu Wida pernah menanyakanperihal berbedanya baju sang ayah dari teman-temannya tersebut. Pertanyaan itu dijawabdalam bahasa Jawa kurang lebihnya begini:“Sanajan sekolahe sekolah Londo, nangingojo lali nek awake dewe iki wong Jowo, kudutetep duwe patrap lan unggah ungguh Jowo /meskipun bersekolah di sekolah Belanda, tetapijangan lupa bahwa kita ini tetap orang Jawayang berbudaya Jawa dan harus selalu memilikiperilaku Jawa dan tata krama Jawa”.

Dalam hal pemilihan jodoh, generasi kakekdan nenek ibu Wida tidak bisa memilihnya

statusnya dalam hirarki keluarga luas lebih tua ataulebih muda maka ia akan dipanggil dengan terminologikekerabatan yang sesuai dengan statusnya dalam hirarkikeluarga luasnya (Geertz 1961).

Page 5: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

163Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

sendiri. Contohnya adalah kakek dan nenek ibuWida. Pernikahan mereka diatur oleh orang-tuanya dan juga oleh kakeknya. Keduanyamerupakan kerabat (saudara sepupu satu kakekdan nenek). Begitu pula pernikahan orangtuabapak Tommy. Generasi ibu Wida tidak lagimengalami pernikahan seperti itu. Apalagigenerasi sesudah ibu Wida. Endogami kerabattidak lagi popular, bahkan di antara mereka adayang melakukan perkawinan antar suku. Merekabisa memilih sendiri jodohnya meskipunpersetujuan dari orangtua masih harusdiperoleh dengan mempertimbangkan bibit(keturunan orang baik-baik), bebet (keturunanorang berharta namun dermawan), dan bobot(berpendidikan dan teguh dalam menjalankanprofesi ) dari calon pasangannya.

Sistem kekerabatan yang dikenal dan dianutoleh ibu Wida maupun bapak Tommy dankeluarga luasnya adalah sistem kekerabatanbilateral, yaitu seorang anak dapat menarikgaris keturunan dari ayah ataupun dari ibunya(Geertz 1961). Mereka tidak mengenal caramenarik garis keturunan patrilineal sepertihalnya pada orang Arab. Rumahtangga yangdibangun sesudah pernikahan adalah rumahtangga keluarga inti/batih (nuclear familiyhousehold) atau “somah” dalam bahasa Jawa.Dalam rumah tangga itu anggota keluarga yangutama dan penting hanyalah suami, isteri, dananak-anak yang belum menikah. Anak-anakyang telah menikah sangat diharapkanmembangun somahnya sendiri dan mandirisecara ekonomi. Oleh karena itu, tempat tinggalmenetap setelah menikah di kalangan keluargaluas ibu Wida dan bapak Tommy adalahneolokal, yaitu memisahkan diri dari rumahtangga orang tuanya baik dari pihak suamimaupun dari pihak istri. Sistem kekerabatan bi-lateral dan penekanan utama kepada rumahtangga keluarga batih bersifat neolokal yangberlaku dalam keluarga besar ibu Wida dankeluarga besar bapak Tommy masih sesuai

dengan yang ditemukan oleh Hildred Geertzdalam penelitiannya di Pare, Jawa Timur, tahun1961.

Pertemuan dengan anggota keluarga luasyang hidup dalam satu kota, apalagi di Jakarta,dilakukan bila ada kematian salah satu anggotakeluarga luas, lamaran, pernikahan, danupacara-upacara ritual lainnya dalam sikluskehidupan seseorang atau keluarga, dan jugapada hari raya Idul Fitri. Apabila terjadi peristiwakelahiran, kematian, lamaran, dan perkawinan,tolong menolong dalam bentuk materi, tenaga,dan pemikiran secara resiprokal pun dilakukan.

Upacara pernikahan, selain berdasarkanpada agama masing-masing (tidak semuaanggota keluarga luas ibu Wida beragama Is-lam-santri, di antara mereka ada yang abangandan beragama Katholik), juga masih banyakyang menggunakan adat Jawa. Upacara adatJawa ini dilakukan jika yang menikah adalahanak perempuan dan dilakukan di rumahorangtua pengantin perempuan. Bagi orangJawa, hajatan itu merupakan “hajatannya pihakperempuan”. Tetapi apabila yang menikah anaklaki-laki dan menikah dengan perempuan bukanJawa, belum tentu menggunakan adat Jawa.Generasi orangtua ibu Wida dan generasisebelumnya ketika menikah menggunakan adatJawa. Upacara adat lainnya adalah upacaramitoni atau tingkeban ketika usia kandungan7 bulan; upacara menanam ari-ari (placenta)bayi ketika sang bayi sudah lahir; upacaraselapanan dan cukur rambut ketika sang bayiberusia 40 hari; upacara tedak siten (turuntanah) ketika sang bayi berusia tujuh (7) bulan,juga masih ada yang melakukannya.

Dengan demikian, ibu Wida, bapak Tommydan saudara-saudaranya yang segenerasi,generasi sebelumnya yaitu generasi orangtua,generasi kakek dan nenek, generasi buyut(generasi orangtua kakek dan nenek), generasicanggah (generasi orangtua buyut), generasiwareng (generasi orangtua canggah) yang

Page 6: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

164 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

telah dibesarkan dalam budaya Jawa, akanmelihat dirinya sebagai orang Jawa, bukansebagai orang Arab.

Ketika kedua informan ini dewasa, merekamemperoleh informasi bahwa keduanya berdarahArab. Informasi tersebut mengejutkan, danmenimbulkan sejumlah pertanyaan di benakmereka. Perasaan tidak percaya akan informasiitu mendorong para informan melakukanberbagai upaya untuk mendapatkan bukti-buktitentang kemungkinan mereka berdarah Arab.

Pelacakan moyang dari Arab dan JawaKonon, menurut cerita para pini sepuh7

kedua informan, yang menurunkan keduanyaadalah seorang saudagar kuda bernama SayidAlwi Ba’abud dari Hadramaut yang menikahkananak laki-lakinya bernama Sayid Hasan AlMunadi dengan puteri Sultan Sepuh (SultanHamengku Buwono II) yang bernama BRA(Bendoro Raden Ayu) Samparwadi dari ibu yangstatusnya garwo ampeyan (selir), bernama(BMA) Bendoro Mas Ajeng Citrosari, yangberasal dari desa Beki, Purworejo.8 Siapa Sayid

Alwi Ba’abud itu? Bapak Tommy mencatatbahwa Sayid Alwi Ba’abud (1724–1815) datangke Jawa melalui jalur perdagangan Jepara danDemak. Datang di tahun 1755, tahun ketikaPangeran Mangkubumi (1717–1792), puteraSultan Amangkurat IV dari garwo ampeyanbernama Mas Ayu Tejowati, dinobatkanmenjadi Sultan Hamengku Buwono I, setelahPerjanjian Giyanti 1755. Selain kedatangannyasebagai seorang saudagar kuda, Alwi Ba’abudjuga disebut sebagai seorang ulama dan tabib.Di Kesultanan Yogyakarta, Alwi Ba’abudbersahabat dengan sultan dan diangkat menjadipenasihat agama di Keraton Yogyakarta(penghulu). Syamsu (1999:160) menyebutkan:“Habib Alwi Ba’abud sebagai ulama Arab yangdekat dengan keluarga keraton Yogyakarta….”

Sumber lain, yaitu ibu Yugani (salah satubibi ibu Wida) yang memperoleh informasi dariayahnya (kakek ibu Wida) menyebutkanbertemunya Alwi Ba’abud dengan Sultan Sepuhyaitu ketika Sultan Sepuh diasingkan ke Ceylonoleh Inggeris.9 Berarti, ketika itu Sultan Sepuhsudah naik tahta. Informasi yang mana yangvalid, kiranya penulis masih harus mencarinyalagi dari sumber lainnya.

Bagaimana bisa seorang Arab berbesandengan Sultan Yogya? Menurut cerita nenek,ibu, dan para bibi Ibu Wida dan juga ceritaibunya bapak Tommy adalah sebagai berikut:Samparwadi (1775–1797) salah satu puteri GRMSundoro (1750–1828) putera Sultan Hamengku

7 Sebutan bagi orangtua, paman, bibi, kakek, nenek,adik dan kakak dari kakek dan nenek – generasi yanglebih tua atau dituakan (para tetua).8 Kakek ibu Wida dari ibu, semasa hidupnya jika sedangberada di Jakarta, selalu menyempatkan diri berkunjungke Perpustakaan Museum Gajah. Pada suatu hari ketikapulang dari museum beliau bercerita kepada ibunya ibuWida bahwa benar besan Sultan Sepuh itu seorangsaudagar kuda dari Arab. “Hij was een paardenhandelaar geweest” begitu katanya. Menurut catatanbapak Tommy, Alwi Ba’abud datang ke Yogyakartasebagai utusan Sultan Usman (1754–757) dariKesultanan Ottoman, Turki. Disebutkan oleh almarhumbahwa sejak Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agungtelah terjadi hubungan diplomatik (secara rahasia)dengan Kesultanan Ottoman Turki. Bahkan GRMSundoro (Sultan Hamengku Buwono II) pernah ke Turkitahun 1768–1771 untuk mempelajari Janissary(pasukan infantri elit dan digdaya yang menjadipengawal sultan dan merupakan pasukan perang utamadari Angkatan Darat Turki sejak akhir abad ke-14sampai awal abad ke-19) (bapak Tommy mengutipSejarah Melayu Islam/SIM, halaman 31). Ketika Perang

Dipanegara, pengaruh Janissary Turki sangat tampak.Dipanegara memasukkan pendukungnya yang mahirdalam berperang ke dalam resimen-resimen pilihanseperti bulko-bulkio , turkio-turkio , dan arkio-arkionyaJanissary Turki (Carrey 1985:68).9 Bapak RM Goewindho, Ketua Umum Paguyuban TrahHB II di Yogyakarta dan juga Kepala Tepas DarahDalem, Keraton Yogyakarta mengatakan kepadapenulis bahwa Sultan Sepuh pernah diasingkan keCeylon oleh Inggris tetapi beliau tidak mengetahuitentang kemungkinan sang sultan bertemu danberkenalan dengan Alwi Ba’abud di Ceylon.

Page 7: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

165Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

Buwono I—yang kemudian naik tahta di tahun1792 dan bergelar Sultan Hamengku BuwonoII—saat itu sedang sakit. Seperti dalam dongengsaja, GRM Sundoro bersayembara barang siapayang dapat menyembuhkan puterinya, apabilalaki-laki akan dijodohkan dengan puterinya itu,dan apabila perempuan akan diangkat menjadisaudara Samparwadi. Orang yang berhasilmenyembuhkan puteri Sundoro adalah AlwiBa’abud. Namun, karena sudah lanjut usia,umurnya saat itu 65 tahun, Alwi merasa takpantas menikah dengan perempuan yang masihberusia 14 tahun. Puteri Sundoro kemudiandinikahkan dengan anak laki-laki Alwi Ba’abudyang berusia 25 tahun, bernama Kasan (Hasan)Al Munadi (1764–1830).10 Pernikahan merekadilaksanakan pada tahun 1789.11Salah satu anaklaki-laki Samparwadi dan Hasan Al Munadi yangbernama Ibrahim Ba’abud Madiokusumo inilahyang kemudian, melalui garis keturunan laki-lakidan perempuan, merupakan cikal bakal yangmenurunkan ibu Wida dan bapak Tommybeserta keluarga luasnya dari beberapa generasi,dari pihak ibu mereka (lihat Silsilah 2).

Penjelasan yang lebih rinci tersebutmembuat ibu Wida mulai mempercayainya:“Pantas ibuku mengajariku memanggil kakekkudengan sebutan ‘eyang abah’. Ibuku dansaudara-saudaranya memanggil bapaknyadengan sebutan ‘abah’, meskipun kepadanenekku, ibuku dan saudara-saudaranyamemanggil ‘ibu’ bukan umi12 Pantas pula eyang

abahku, budeku, paklikku yang bungsu danbeberapa orang anaknya, juga salah satu adikperempuan paklik Tommy, eyang Abu Bakar(adik eyang puteriku) dan beberapa anaknya,wajahnya tidak seperti orang Jawa, tetapi justruseperti orang Arab.”

Agar ibu Wida yakin benar tentangmoyangnya dari Arab yang menurunkannya,ia mendatangi Perkumpulan Ar-RabitatulAlawiyyin yang letaknya di Tanah Abang,Jakarta. Informasi tentang Perkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin didapat ibu Wida daribapak Tommy. Tetapi Ibu Wida tidak mem-peroleh informasi yang jelas mengenai letakpersisnya perkumpulan itu di Tanah Abang. Iamengetahui letak perkumpulan itu secarakebetulan ketika melintasi jalan Tanah Abang,dan melihat papan bertuliskan namaperkumpulan tersebut. Beberapa hari kemudian,ketika memiliki kesempatan untuk berkunjungke perkumpulan tersebut, Ibu Wida memberani-kan diri untuk mengetahui tentang moyangnyayang berasal dari Arab. Setelah kurang lebihsatu tahun, ibu Wida memperoleh dariperkumpulan tersebut silsilah moyangnya dariArab yang terhenti sampai nama ibunya saja.Di dalam silsilah itu tertulis nama-nama(berurutan): … - Muhammad Shahib Mirbath -Ali Ba’alwi - Al Faqih Al MuqoddamMuhammad - Alwi Al Ghayyur - Ali -Muhammad Maula Dawilah - Ali13 - AbdullahBa’abud - Abdurrahman Ba’abud - Abu BakarBa’abud Kharbasyan - Ahmad - Husein - AbuBakar - Abdullah - Muchsin - Umar - Muchsin- Abdullah - Alwi Ba’abud - Hasan Al Munadi -Ibrahim Ba’abud - Mohamad Irfan - Ya’kub -Hasan Manadi – Siti S (ibunya ibu Wida).Silsilah ditulis dengan huruf Arab. Setelahmendapatkan informasi tersebut, barulah ibu

10 KPH Mandoyokusumo (1977:23) dalam buku “ SeratRaja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat”menuliskan “Bendoro Raden Ayu Samparwadikatrimakaken Kangjeng Raden TumenggungSamparwadi (Kasanmunadi)/Bendoro Raden AyuSamparwadi dinikahkan dengan Kangjeng RadenTumenggung Samparwadi (Kasanmunadi).11 Pengetahuan tentang tahun-tahun kelahiran,kematian, penobatan, dan pernikahan penulis perolehdari catatan bapak Tommy.12 Keturunan Arab di tanah Jawa memanggil ayahnya“abah” dan memanggil ibunya “umi”.

13 Menurut Alwi Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Balfaqih(1999:33), Ali adalah salah satu dari anak MuhammadMaula Dawilah, yang menurunkan keluarga Ba’abudKharbasyan.

Page 8: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

166 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

Wida percaya bahwa di dalam tubuhnyamengalir darah Arab dari pihak sang ibu.14

Adapun silsilah moyangnya dari Jawa adalahsebagai berikut: Sultan Sepuh (SultanHamengku Buwono II) - BRA Samparwadi - RMHaryo Madiokusumo - RM Haryo Madiowidjojo- RM Soendoro Djojowinoto - R.Hasan ManadiMadiokusumo – R. Ngt. Siti S - Wida - Wita(perempuan, anak tertua ibu Wida). Silsilahyang memperlihatkan bahwa ibu Wida berdarahJawa diperoleh dari Tepas Darah Dalem KeratonYogyakarta, yaitu kantor yang berada di bawahnaungan Kawedanan Hageng Panitera Purayang dipimpin GBPH (Gusti Bendoro PangeranHaryo) Joyokusumo (Buletin Kerabat 2005:no.4,tahun I). Kantor ini menyimpan arsip-arsip yangmemuat silsilah keturunan Sultan HamengkuBuwono II yang sempat tercatat sampaisekurangnya empat (4) generasi sesudah Sul-tan Hamengku Buwono II. Kantor ini jugamelayani mereka yang ingin melacak cikal bakalyang menurunkannya yang konon katanyamasih darah dalem (keturunan sultan) asalkanmembawa akte kelahiran ibu atau ayahnya, aktekelahiran sendiri, nama kakek dan neneknya,serta nama buyut perempuan dan laki-lakinya.

Trah Madiokusuman adalah Trahketurunan Arab-Jawa15

Menurut catatan bapak Tommy, Samparwadidan Hasan Al Munadi berputera empat orang:

dua laki-laki dan dua perempuan. Anak pertama,laki-laki (1790–1850) oleh kakeknya AlwiBa’abud diberi nama Ibrahim, sedangkan olehSultan Sepuh, kakek dari pihak ibu, diberi namaRMH (Raden Mas Haryo) Madiokusumo.Kepadanya Sultan Sepuh memberikansebidang tanah yang sekarang letaknya di dalamkota Purworejo, bernama Madiokusuman.16

Madiokusumo kemudian menikah denganPertiwi Suropranoto, puteri Raden RonggoSuropranoto, guru agama Madiokusumo diTegalrejo. Anak kedua, perempuan, bernama RA(Raden Ayu) Reksodiwiryo (menggunakannama suami)—tidak ada informasi lebih banyaktentang anak kedua ini. Anak ketiga bernamaRM Puspodipuro, laki-laki.17 Anak keempat,perempuan bernama RA Kertopati (mengguna-kan nama suami), isteri Bupati Purworejo.18

Ibrahim Ba’abud Madiokusumo ketikamasih kecil (no. 17—lihat Silsilah 1), menurutcatatan bapak Tommy, kemudian diasuh oleheyang buyut puterinya yaitu Gusti KangjengRatu (GKR) Ageng (no.7)—permaisuri SultanHamengku Buwono I (no.6) yang juga ibukandung Sultan Hamengku Buwono II (no.11).Nama lain dari GKR Ageng yaitu GKR Tegalrejokarena berkediaman di Tegalrejo. GKR Tegalrejoadalah puteri Kiai dan Nyai Drepayuda (no. 4).Menurut garis ibu, Nyai Drepayuda adalahgenerasi ke tiga dari Sultan Bima di Sumbawa

14 Menurut ibu Wida yang memperoleh informasi dariPerkumpulan Ar-Rabitatul Alawiyyin, Sayid AlwiBa’abud meninggal di Yogyakarta dan dimakamkan diNitian, Yogyakarta. Keterangan yang sama tentangmakam Alwi Ba’abud tersebut penulis peroleh daribapak Goewindho, dari Tepas Darah Dalem.15Anak cucu keturunan RM Haryo Madiokusumo, cucuSultan Sepuh dari puterinya Samparwadi yangdinikahkan dengan Sayid Kasan Munadi, setahu penulissecara formal tidak/belum mendirikan suatu organisasikekerabatan yang disebut “trah”, meskipun secaragenealogis trah itu ada. Penulis menggunakan istilahtrah ini untuk menunjukkan keturunan Arab-Jawa yangberada di luar tembok Keraton Yogyakarta.

16 Bapak Tommy memperoleh informasi tersebut dariibunya.17 Menurut catatan bapak Tommy, Puspodipuromenikah dengan perempuan dari Cina. Anak mereka,perempuan bernama Mas Ayu Loano, dinikahkandengan salah satu anak laki-laki Madiokusumo, bernamaWongsodipuro. Salah satu anak perempuanWongsodipuro dengan Loano, dinikahkan denganDjojowinoto, cucu Madoikusumo dari anak laki-lakinyayang lain bernama Madiowidjojo (lihat silsilah 2).18 Di kalangan keluarga Jawa, terutama bangsawan danpriyayi agung, seorang perempuan yang telah menikahtidak lagi mengenakan namanya sendiri, namapemberian orang tuanya, tetapi mengenakan namasuaminya.

Page 9: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

167Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

yang tersohor akan ketaatannya pada ajaranIslam (Carrey 1985:25). GKR Tegalrejo punmerupakan seorang muslimah yang sangat taatkepada ajaran Islam.

Menurut catatan bapak Tommy, selainIbrahim, diasuh pula oleh GKR Tegalrejo cucuSultan Sepuh yang lain, bernama GRMMustahar, putera GRM Surojo dari garwoampeyan benama BRA Mangkorowati (no.16).GRM Surojo bertahta sebagai SultanHamengku Buwono III (no.15) tahun 1812–1814. Kemudian GRM Mustahar berganti namamenjadi GRM Antawirya. Ketika Antawiryasudah dewasa, ayahnya, Sultan HamengkuBuwono III memberikan gelar kepangeranan

kepadanya yaitu GPH (Gusti Pangeran Haryo)Dipanegara (no. 18) pada tahun 1812. DalamPerang Dipanegara (1825–1830) pangeran inimenobatkan diri sebagai sultan dengan namabaru yaitu Sultan Ngabdulkamid HerucokroKabirul Mukminin Sayidina Panatagama Jawa.Artinya, “raja yang adil, yang pertama dari or-ang-orang yang yakin, pemuka agama danpengatur agama di Jawa” (Carrey 1985:190).

Kedua cucu Sultan Sepuh ini oleh nenekbuyutnya diasuh dan dididik untuk mengenalibudaya dan adat istiadat serta tata krama Jawakeraton dan ajaran Islam. Di Tegalrejo,keduanya bergaul secara leluasa dengan rakyatjelata (kawula alit ) dan melihat sendiri

Sumber: KPH Mandoyokusumo, Serat Raja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (1977)

= Keturunan Arab

= Keturunan Jawa

Silsilah 1:Hubungan kerabat antara Sayid Ibrahim Ba’abud Madiokusumo dengan Pangeran Dipanegara

Page 10: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

168 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

kehidupan mereka. Selain itu, kedua cucu Sul-tan Sepuh ini juga bergaul dengan para guruagama setempat yang terkemuka, para kiai, paraulama, dan para santri. Tak pelak lagi keduanyamenjadi muslim yang taat dan memiliki penge-tahuan luas tentang agama Islam sehinggamereka memiliki empati kepada kehidupanrakyat jelata. Keduanya juga sangat mengenalibudaya Jawa dan budaya keraton. Setelahkeduanya dewasa, dan ketika pecah perangDipanegara, Ibrahim mendukung perjuanganDipanegara dan bersama sama Dipanegaramelawan Belanda. Dalam peperangan namaMadiokusumo adalah Pekih (Penghulu KiaiHaji) Ibrahim (Carrey 1985:174–178; Aswi 2004).

Silsilah 1 jelas memperlihatkan bahwaDipanegara adalah seorang Jawa. MoyangDipanegara baik dari pihak ayah maupun ibunyaadalah orang Jawa, bukan orang Arab sepertiyang sekarang diyakini oleh orang-orang Arabdi Jakarta.

Peran Pekih Ibrahim dalam perang itu,menurut Carrey (1986:174) dan Djamhari,(2003:219–220) adalah Penghulu Kepala yangbersama-sama dengan Kiai Badaruddin—pendukung GPH (Gusti Pangeran Haryo)Dipanegara lainnya, ditugaskan oleh Dipanegara,antara lain, sebagai juru runding denganKolonel Cleerens untuk membicarakan suatupertemuan sebelum pertemuan dengan pihakBelanda tanggal 28 Maret 1830 di Magelang.Dalam pertemuan awal dengan kolonel Cleerensitu, Dipanegara menegaskan bahwa dalampertemuan 28 Maret nanti Dipanegara adalahmanusia bebas yang bergelar SultanNgabdulkamid Herucokro Kabirul MukmininSayidina Panatagama Jawa yang bersediadatang memenuhi undangan Belanda danduduk bersama dengan Belanda untukbersilahturahmi sebagai teman di hari Raya IdulFitri, bukan sebagai tawanan perang. Cleerens,dengan disaksikan oleh Pekih Ibrahim dan Kiai

Badaruddin menyepakatinya. Ternyata ke-sepakatan itu oleh Belanda dilanggar. Selamapertemuan, Belanda (de Kock) tidak pernahmemanggil Dipanegara dengan sebutan SultanNgabdulkamid Herucokro Kabirul MukmininSayidina Panatagama Jawa seperti yangdituntutya, tetapi tetap memanggilnya PangeranDipanegara. Padahal nama kepangeranan itutelah diberikan kepada anak laki-laki tertuanyayang kemudian bernama KPH (KangjengPangeran Haryo) Dipanegara (Carrey 1985: 155,163, 168, 170; Djamhari 2003:222–224). Berarti,Belanda tidak pernah mengakuinya sebagaiSultan pemimpin spiritual keagamaan (Islam)di tanah Jawa. Belanda, dengan tipu muslihat-nya, bahkan kemudian menangkap Dipanegaradan mengasingkannya ke Manado, dankemudian memindahkannya ke Makassarsampai wafat. Dalam pengasingannya,Dipanegara tidak membawa anak-anaknya danpara pengikutnya, kecuali abdi dalemnya yangbernama Rata, meskipun ditawarkan olehBelanda, dengan alasan akan menyusahkannyasaja (Carrey 1985:178).

Akan halnya Pekih Ibrahim, menurut Syamsudalam bukunya di bagian tentang PerangDipanegara (1999:160) disebutkan, “Habib AlwiBa’abud adalah ulama Arab yang hidup saat itu.Salah seorang puteri Sultan Hamengku BuwonoII, yaitu Bendoro Raden Ayu Samparwadi,menikah dengan Raden Tumenggung HassanManadi, yang sebelumnya bernama SayidHusein bin Habib Alwi Ba’abud. Dari perkawinanini lahir seorang putera yang diasingkan kePenang, yang selanjutnya dipindahkan kepengasingan Ambon.” Penjelasan Syamsu Asini sesuai dengan cerita ibunya bapak Tommykepada para puteranya dan juga kepada penulis,bahwa kakek buyutnya yang bernama RMHaryo Madiokusumo itu diasingkan olehBelanda ke Ambon dan meninggal di BentengVictoria, lalu dimakamkan di Batu Gajah, Am-

Page 11: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

169Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

bon. Ia diasingkan karena membantu PangeranDipanegara melawan Belanda. Bapak Tommysendiri, menurut cerita adiknya, ketika masihhidup pernah mengunjungi makam tersebut diAmbon.

Penulis tidak menemukan makam IbrahimBa’abud atau Madiokusumo ketika berkunjunganke Batu Merah, Ambon, pada tahun 2004. Yangpenulis temukan justru makam anak cucuPangeran Dipanegara.19 Pada kunjungan penulisyang kedua ke Ambon di bulan Juli 2005, penulismencari makam Ibrahim Ba’abud di Batu Gajah.Tetapi penulis juga tidak menemukannya. Yangpenulis temukan adalah makam anak cucu KPHDipanegara. Kompleks makam yang terletak diatas bukit itu disebut ‘makam Dipanegara” olehpenduduk setempat. Bukit itu terletak di belakangbekas makam Sunan Paku Buwono VI. Untukmenuju ke atas bukit, harus melewati “LorongDipanegara” yang terletak di samping kompleksbekas makam Sunan Paku Buwono VI di JalanRaya Dipanegara, Ambon. Menurut informasidari buyut KPH Dipanegara—yang berarti pulacanggah Pangeran Dipanegara—yang bernamaibu Syamsilah Tomagola, berusia 82 tahun,menikah dengan Abdul Hamid Tomagola—yangberasal dari Jailolo, Halmahera, dan kini tinggaldi Masohi, Seram. Di bukit itu dimakamkansaudara-saudara sepupunya—sesama buyutKPH Dipanegara, sedangkan yang dimakamkandi Batu Merah antara lain adalah Pangeran DaudDipanegara yang menikah dengan seorang“boki” dari Kesultanan Jailolo.20 Pangeran DaudDipanegara adalah paman ibu Syamsilah dancucu KPH Dipanegara, sedangkan PangeranSulaiman Dipanegara (ayah ibu Syamsilah)adalah adik kandung Pangeran Daud

Dipanegara.21 Akan halnya Ibrahim Ba’abudMadiokusumo, ibu Syamsilah dan saudara-saudaranya yang lain yang tinggal di Ambontidak mengenalnya, apalagi mengetahuimakamnya.

Bapak Moerti, salah seorang pengurus Te-pas Darah Dalem yang bertempat tinggal diImogiri, menginformasikan kepada penulisbahwa pada makam no. 21 di Imogiri tertulis nisanbernama KRT Samparwadi (Sayid Hasan AlMunadi) dan makam BRA Samparwadi, sertamakam Ibrahim Ba’abud atau RM HaryoMadiokusumo.22 Bapak Goewindho menginfor-masikan bahwa semua Sultan Yogyakarta dankeluarganya: isteri, putera puteri, mantu, cucudimakamkan di Imogiri, kecuali Sultan Sepuhyang dimakamkan di Kota Gede bersama-samadengan Panembahan Senopati. Mengapa makamMadiokusumo sampai berada di Imogiri?Menurut Bapak Goewindho, besar kemungkinandipindahkan.23

19 Ketika itu penulis belum memperoleh informasibahwa makam Madiokusumo terletak di Batu Gajah,bukan di Batu Merah.20 Boki adalah julukan bagi perempuan keturunan sul-tan Ternate, sultan Jailolo, dan sultan Bacan.

21Menurut penduduk di sekitar Lorong Dipanegara,tanah di sekitar makam adalah tanah milik keturunanPangeran Dipanegara, dan hal tersebut dibenarkan olehBapak Amir Amar (salah seorang keturunan PangeranDipanegara) yang bertempat di belakang bekas makamSunan Paku Buwono VI. Nenek Bapak Amir bernamaSiti Khadijah (anak Pangeran Daud Dipanegara) yangmenikah dengan laki-laki Arab dari Situbondo JawaTimur bernama Amar, adalah canggah (keturunankeempat) Pangeran Dipanegara.22Bapak Tommy mencatat BRA Samparwadidimakamkan di desa Tanggung, di tepi Sungai Bogowonto,di Timur Laut Purworejo, di lereng Bukit Menoreh. Padatanggal 20 Februari 1830, kurang lebih 40 hari sebelumperundingan dengan Belanda 28 Maret 1830 di Magelang,menurut catatan bapak Tommy, makam Samparwadisempat diziarahi oleh puteranya Ibrahim Ba’abudMadiokusumo dan Pangeran Dipanegara.23 Makam Paku Buwono VI serta makam isterinya yangterletak di jalan Dipanegara, Batu Gajah, Ambon itutelah dipindahkan ke Imogiri oleh Bung Karno(sebagaimana yang tertera di papan di depan cungkupmakam). Bagaimana Paku Buwono VI dan isterinyasampai dimakamkan di Ambon? Menurut informasi yangpenulis peroleh dari Bapak Amir Amar, bapaknya pernahbercerita bahwa Paku Buwono VI semula diasingkan

Page 12: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

170 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

Menurut bapak Basuki (adik kandungbapak Tommy), RM Haryo Madiokusumomenikah dengan Pertiwi Suropranoto, puteriRaden Ronggo Suropranoto, guru agama RMHaryo Madiokusumo ketika di Tegalrejo.Madiokusumo berputera enam orang yaitu,pertama, RM Haryo Wongsodipuro yangdinikahkan dengan saudara sepupunya (puteriRM Haryo Puspodipuro-adik kandung RMHaryo Madiokusumo);24 ke dua, RA Ali Alatas;ke tiga, RM Haryo Kusumoatmodjo; ke empatRM Haryo Madiowidjojo atau Muhammad IrfanBa’abud Madiowidjojo (1827–1902),25 ke limadan ke enam kembar perempuan bernama RASaid Husein dan RA Sosrokusumo. RM HaryoMadiowidjojo berputera sebelas orang. Di

antaranya adalah RM Soendoro Djojowinotoatau Ya’kub Ba’abud26 dan RM Madiowinotoatau Dja’far Ba’abud. Keduanya kemudianberbesan dengan menikahkan putera dan puterimereka. Putera Ya’kub Ba’abud Djojowinotobernama R. Hasan Manadi Madiokusumodinikahkan dengan puteri Dja’far Ba’abudMadiowinoto bernama R.Ngt. (Raden Nganten)Siti Kaltum. Hasan Manadi dengan Siti Kaltumberputera sembilan orang, diantaranya adalahibu Siti S (ibunya Ibu Wida—lihat Silsilah 2).

Silsilah 2 adalah silsilah salah satuketurunan Arab – Jawa, Hasan Al MunadiBa’abud (putera Alwi Ba’abud) denganSamparwadi, puteri Sultan Sepuh yang beradadi luar tembok Keraton NgayogyakartaHadiningrat (Sumber: KPH Mandoyokusumo,Serat Raja Putera Keraton NgayogyakartaHadiningrat 1977; dan catatan almarhum BapakTommy).

Sekalipun kakek dan nenek ibu Wida tetapmempertahankan ke-Jawa-annya, beliauberdua bukan pengikut Kejawen. Kakek buyutIbu Wida—Ya’kub Ba’abud atau Soendoro

26 Ya’kub Ba’abud Djojowinoto dinikahkan denganputeri RM Haryo Wongsodipuro—saudara kandungMuhammad Irfan Madiowidjojo (lihat Silsilah 2).Semasa hidupnya, menurut ibu Aisyah dan ibu Yugani,Ya’kub Djojowinoto adalah mantri guru seangkatandengan Bapak Sukemi. Djojowinoto ini pernah bertugasdi Denpasar, kemudian dipindahkan bekerja sebagaimantri guru di Surabaya. Ketika di Yogyakarta, beliautetap seorang guru yang memberikan pelajaran BahasaBelanda kepada para putera-puteri sultan. Ya’kubDjojowinoto dan isterinya dimakamkan di BlunyahGede, Jogyakarta, di belakang mesjid Blunyah.Besannya yang juga adik kandungnya sendiri,RM Dja’far Ba’abud Madiowinoto, sebelum meninggalbekerja sebagai kepala stasiun Karangtengah, Sukabumi,kemudian menjadi Wakil Kepala Setasiun Manggarai,Batavia (informasi diperoleh dari salah satu puteriMadiowinoto, ibu Siti Djuminah, yang tinggal diBekasi). Makam RM Dja’far Ba’abud Madiowinototerletak di Karet, Jakarta, kemudian dipindahkan keSukabumi di dekat makam isterinya. Beliau dikenaloleh para cucunya sebagai “eyang Sep”. Sep artinyakepala setasiun.

oleh Belanda ke Ternate. Oleh karena di Ambon ada“saudaranya” yaitu KPH Dipanegara (anak PangeranDipanegara) yang melarikan diri ke Ambon setelahayahnya ditangkap Belanda, maka atas permintaannyaia kemudian dipindahkan ke Ambon sampai meninggal.Informasi bahwa KPH Dipanegara—anak PangeranDipanegara, melarikan diri ke Ambon, penulis perolehdari ibu Sri Mangkorowati—tinggal di Jakarta, keturunanke lima (wareng) Pangeran Dipanegara. Semua informasitersebut bila dipertemukan dengan informasi yangpenulis dapat dari Syamsu (1999:160) dan catatan lepasbapak Tommy, dapat diduga ketiga “pemberontak”terhadap Belanda itu pernah hidup bersama di Ambon.24 Lihat Silsilah 2.25 Sampai kini penulis belum memperoleh nama Arabdari anak laki-laki Madiokusumo yang lain. Semasahidupnya, Sayid Muhammad Irfan Ba’abud Madiowidjojobekerja sebagai Kepala Mantri Kadaster (pengukurtanah) yang memiliki keahlian di bidang topografi(catatan bapak Tommy), tetapi tidak menyebutkandimana beliau bekerja. Penulis hanya menemukanmakamnya di Cirebon, di pemakaman umum JabangBayi, Kesambi. Salah satu putera Madiowidjojo,bernama RM Madio Adi Kusumo bermukim diCangkring, Cirebon. Putera Madiowidjojo lainnya, yangpenulis ketahui tempat bermukimnya ketika masihhidup, adalah RA Madioredjo di Karang Tengah,Sukabumi; RM Soendoro Djojowinoto (Sayid Ya’kubBa’abud) bermukim di Yogyakarta; RM Madiowinotodi Sukabumi (sebelum dipindahkan tugas di Jakarta).Jandanya, sampai akhir hayatnya bermukim diSukabumi; RM Ali Kusumo bermukim di Bandung; RASuropranoto bermukim di Banyuurip, Purworejo.

Page 13: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

171Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

Silsilah 2:Keturunan Sayid Hasan Al Munadi dengan BRA Samparwadi

= Laki-laki dan perempuan yang berdarah Arab dari pihak ayah maupun dari pihak ibuatau dari keduanya

= Laki-laki dan perempuan yang berdarah Jawa atau lainnya dari pihak ayah maupundari pihak ibu atau dari keduanya

Keterangan:

Page 14: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

172 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

Djojowinoto adalah seorang penganutMuhammadiyah yang tidak menghendakiputera dan puterinya menganut agama lain ataumenikah dengan orang yang beragama lain,kecuali Islam. Nenek ibu Wida ketika masihhidup dan tinggal di Malang, aktif dalamorganisasi Aisyah. Ibu Wida dan ibunya adalahmuslim yang taat menjalankan ibadah agama.Keluarga inti paman bungsunya, bernamaAbdullah Madiokusumo, merupakan keluargasantri. Namun, tidak semua anggota keluargaluas ibu Wida santri. Di antara mereka ada yangberagama Katholik dan ada pula yang abangan.

Proses menghilangnya ciri Arab TrahMadiokusuman

Permasalahan pokok artikel ini adalahmencari penjelasan tentang bagaimanaketurunan Ibrahim Ba’abud, menurut garisketurunan laki-laki (lihat silsilah 2), telahkehilangan ciri Arabnya dan menjadi orangJawa.

Dalam menjelaskan hal tersebut di atas,penulis perlu menyimak kembali kondisiekonomi politik Jawa ketika Ibrahim Ba’abuddan Dipanegara masih hidup. Tepatnya ketikaPerang Dipanegara belum pecah yaitu sebelumtahun 1825, dan sesudah Perang Dipanegaraselesai (1830). Hal penting dari kondisi ekonomipolitik Jawa yang perlu penulis cermati sebelumpecah Perang Dipanegara adalah, pertama,relasi sosial antara para penguasa Jawa denganBelanda pada saat keberadaan Belanda di pulautersebut masih sebatas sebagai pedagang(VOC). Kemudian, ketika VOC digantikan olehPemerintah Hindia Timur Belanda /Dutch EastIndies dengan Daendels sebagai gubernurjenderal; kedua, adalah relasi sosial antarapemerintah Hindia Belanda dengan parapenguasa Jawa sesudah Perang Dipanegaraselesai. Bersamaan dengan kedua masa itu,dicermati juga sikap dan perlakuan Belandaterhadap orang-orang Arab, yang sebelum

kedatangan Belanda, telah terlebih dahuludatang ke Nusantara dan berasimilasi denganpenduduk pribumi, terutama dengan parabangsawan dan kerabat sultan.

Sejak abad ke-13, Nusantara sudah menjadilintasan perdagangan yang cukup ramai dalamjaringan perdagangan Asia dan Asia Tenggara(Lombard 1996b:4–5). Nusantara tidak sajadisinggahi oleh para pedagang Asia dan AsiaTenggara, tetapi juga oleh pedagang dari YamanSelatan. Menurut van den Berg (1989:67) sejakabad pertengahan (abad ke-5 sampai denganabad ke-12) telah terjalin hubungan dagang yangcukup erat antara Yaman Selatan, khususnyaMaskat, Teluk Persia, dengan Nusantara. Jalurperjalanan yang mereka lalui adalah Teluk Per-sia – China – Nusantara. Para pedagang Arabini, selain pedagang besar yang datang keNusantara dengan menggunakan kapal-kapalbesar, juga merupakan orang-orang Arabterpelajar dan berbudaya. Van den Berg (1989)menyebut mereka adalah golongan sayid. Olehkarena itu, mereka lebih mudah diterima olehkelompok bangsawan di Nusantara.

Pada abad ke-15 dan ke-16, di Nusantarasudah terdapat sistem yang memadukankepentingan dagang dan kepentingan politiksecara koheren. Para sultan dan kerabatnyajuga berdagang, sehingga semua pedagangdapat mendatangi pelabuhan. Kontak pertamaantara orang-orang Eropa dengan Asia, menurutkesaksian Alvaro Velho (Lombard 1996b:4–5)adalah kedatangan Vasco da Gama di Kalikuttahun 1498. Jaringan perdagangan yang telahada dan keterpaduan antara kepentingandagang dan politik merupakan faktor-faktoryang memudahkan pedagang-pedagang Eropamasuk ke Nusantara. Kedatangan pedagang-pedagang Arab tidak hanya untuk berdagang,tetapi juga menyebarkan agama Islam. Dalammenyebarkan ajarannya itu mereka tidakmelakukan pemaksaan. Menurut van den Berg(1989:67) (menepis pendapat Snouck Hurgronye

Page 15: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

173Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

bahwa Islam di Indonesia dibawa oleh pe-dagang India dari Gujarat) para navigator danpedagang Arab itulah yang memperkenalkanIslam ke Nusantara, pertama kali di Aceh,kemudian ke Palembang dan Jawa. Di Jawa,terutama di pesisir utara, sejak abad ke-13dikabarkan agama Islam telah menjadi agamapenduduk yang disebarkan oleh para WaliSanga, antara lain, Sunan Gunung Jati, SunanGiri, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan SunanDrajat. Kelimanya ini adalah keturunan SayidinaAl Husein As-Sibith, cucu Rasulullah SayidinaMuhammad dari puterinya Sayidatuna FatimahAz Zahra (Algadri 1994:32). Agama Islam diJawa kemudian meluas ke pedalaman dimanapada abad 16 berdiri Kesultanan Mataramsetelah Demak dan Pajang. Selain peran WaliSanga, penyebaran ajaran Islam di Jawadilakukan juga oleh ulama Arab lainnya yangdatang ke Nusantara dengan cara menikahiperempuan-perempuan pribumi, terutamamereka yang berasal dari keluarga terhormatatau keluarga yang saat itu memiliki pengaruhcukup kuat di kalangan pribumi. Contohnyaadalah pernikahan putera Alwi Ba’abud denganputeri Sultan Sepuh, penguasa KesultananYogyakarta (1792–1826). Bagi sang Sultan—yang dikenal berwatak keras dan sangat tidakmenyukai Belanda, hubungan besan denganAlwi Ba’abud merupakan upaya untukmemperoleh legitimasi agama atas kekuasaanpolitiknya. Bagi Alwi Ba’abud, hubungan besandengan Sultan merupakan upaya legitimasipolitik atas kepentingannya menyebarkanagama Islam di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Kedatangan Belanda ke Nusantara untukpertama kalinya terjadi pada akhir abad ke-16(tahun 1596). Tujuan utamanya semula adalahuntuk memperoleh rempah-rempah langsungdari tempat asalnya. Sebab, rempah-rempahyang sangat dibutuhkan sebagai penghangatbadan, di Eropa harganya sangat mahal. Dikemudian hari, para pedagang Belanda bersama

sistem kapitalisme perdagangannya (VOC)masuk ke Nusantara dan berupaya untukmemonopoli perdagangan rempah-rempah.Dalam upayanya itu, mereka harus bersaingdengan para pedagang lain dari Eropa (Spanyol,Portugis, Inggris), dari Asia (China, India), dandari Nusantara (Bugis, Melayu). Mereka iniadalah para pedagang yang telah lamamelakukan perdagangan antar pulau diNusantara. Pada tahun 1619 Jan PieterzoonCoen memilih pelabuhan Jayakarta menjadipusat jaringan perdagangan Belanda di Asia.

Tahun 1667, Belanda bersama SultanMakassar menandatangani Perjanjian Bongaya.Dengan perjanjian itu, berarti Belanda berhasilmenguasai pantai barat daya Sulawesi. Dengandemikian, selain telah melemahkan jaringanperdagangan orang-orang Bugis, Belanda jugadapat mengawasi dengan ketat perdaganganrempah-rempah dari Maluku serta menyingkir-kan pedagang Portugis yang telah menetap diMakassar dan memperoleh simpati dari raja dankaum bangsawan di Sulawesi Selatan.Keberhasilan berikutnya adalah penguasaanBelanda atas bandar laut penting di pantai utarapulau Jawa yaitu Semarang (1678) dan Cirebon(1705). Pada tahun 1743 mereka berhasilmenguasai semua bagian wilayah pantai utaraJawa yaitu Surabaya, Rembang, dan Jepara.Setelah Perjanjian Giyanti, Belanda memperolehMalang, Bangil (1771), Kedu, Pacitan,Grobogan, Jipang, Japan, dan Wirasaba (1812),Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri yangsemuanya dikuasai seusai Perang Dipanegara(Lombard 1996a:62). Berbagai cara dilakukanoleh Belanda dalam memperoleh kekuasaan ataswilayah-wilayah itu, antara lain, dengan caramemecah belah (divide et impera ) danintervensi. Hasilnya, antara lain, di tahun 1755terjadi Perjanjian Giyanti yang memecahKesultanan Mataram yang kokoh di masa Sul-tan Agung menjadi Kesultanan Yogyakarta danKasunanan Surakarta.

Page 16: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

174 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

Kehadiran orang-orang Arab di Nusantarayang jauh lebih dahulu dari Belanda, tidakdianggap sebagai pesaing yang berarti dalambidang perekonomian oleh mereka, meskipunorang-orang Arab itu juga berdagang.Keberadaan orang-orang Arab di Nusantara,terutama di Jawa, yang telah berasimilasidengan penduduk pribumi terutama dengankalangan bangsawan Jawa itulah, menurutpenulis, yang merupakan ancaman bagikepentingan politik Belanda dalam rangkamenyelamatkan kepentingan ekonomi mereka.Pertama, karena pembauran orang Arab dengankelompok bangsawan Jawa yang saat itumemiliki kekuasaan politik yang cukup kuat diJawa. Ke dua, karena agama mereka Islam.

Ketika para pedagang Belanda datang keNusantara (akhir abad ke-16), Eropa Barat padasaat itu sedang mengalami pencerahan hatinurani kekristenan (renaissance). Kedatanganmereka, seperti halnya para pedagang Arab,tidak hanya untuk berdagang tetapi jugamenyebarkan agama Protestan. Dalam penye-baran agama ini, orang-orang Arab bagiBelanda merupakan pesaing yang cukup berarti.Persaingan tersebut bagi Belanda adalahpersaingan dalam perebutan pengaruh dikalangan pribumi terutama di kalangan parabangsawan untuk memperoleh kekuasaanekonomi. Oleh karena itu, sikap dan perlakuanBelanda terhadap orang Arab sangat antipatidan harus selalu waspada.

Kebangkrutan yang dialami oleh VOC,menyebabkan Belanda yang dikalahkan olehPerancis (Napoleon) menempatkan wakilnyaDaendels sebagai gubernur jenderal (1808–1811). Pada masa Daendels, kemudian Raffles(Inggris), dan kembali lagi ke Belanda antaratahun 1808–1825 adalah masa-masa sangattidak berartinya kekuasaan politik raja-raja Jawa.Lemahnya kekuasaan politik para penguasaJawa dan makin kuatnya kekuasaan politikpemerintah Belanda diperlihatkan oleh ikut

campurnya Belanda dalam masalah-masalahpolitik Keraton Yogyakarta, yaitu denganmenobatkan putera mahkota yang masih berusiatiga (3) tahun menjadi Sultan Yogyakarta yangke lima ketika ayahnya Hamengku Buwono IVmeninggal dunia. Perwalian atas sultan yangmasih balita itu dipercayakan kepada ratu ibu(permaisuri HB III bernama GKR Kedhaton) danibu kandung sultan sendiri yaitu GKR Kenconobersama dengan Dipanegara serta pamanDipanegara yang bernama Mangkubumi.Namun. para wali itu hanya berwenangmengawasi masalah keuangan keraton,sedangkan pelaksanaan pemerintahan ataskesultanan Yogyakarta tetap di bawah PatihDanurejo dengan pengawasan ketat olehBelanda (Carrey 1985:55).

Makin kuatnya kekuasaan politik Belandasecara de facto tersebut berdampak burukterhadap kondisi ekonomi rakyat Jawa yanghidup dari pertanian. Belanda leluasa untukmengatur bahkan menghisap perekonomianrakyat. Tanah rakyat disewa oleh orang Eropadan Cina untuk dijadikan perkebunan denganharga yang amat rendah dan sistem pajak yangtidak lagi berupa hasil bumi tetapi berupa uang(Carrey 1985:43–54) menjadikan kehidupanekonomi rakyat semakin terpuruk, sedangkanraja tidak berdaya untuk membantu mereka.Selain itu, di antara para bangsawan terjadipeningkatan pengonsumsian minuman keras,permainan judi, dan hubungan-hubungangelap yang tidak sesuai dengan moral Islam(Carrey 1985:46, 62). Hal-hal tersebut di atasdan kekecewaan Dipanegara terhadap kerabat-kerabatnya sendiri yang tidak menyadariadanya politik adu domba dan intervensiBelanda terhadap masalah-masalah politikdalam keraton Yogyakarta, serta ambisi pribadi-nya yang menginginkan menjadi pemimpinspiritual keagamaan (Islam) yang adil di tanahJawa merupakan akar penyebab dari pecahnyaPerang Dipanegara tahun 1825. Pelatuk yang

Page 17: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

175Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

meledakkan perang adalah diterjangnya tanahleluhur Dipanegara di Tegalrejo oleh Belandabersama dengan patih Danurejo untukdijadikan jalan tanpa sepengetahuannya.

Dipanegara memperoleh dukungan darirakyat Jawa Tengah dan sebahagian rakyatJawa Timur yang mayoritas sudah memelukIslam, para ulama, para kiai, para guru agama,para santri, para penghulu (termasuk IbrahimBa’abud Madiokusumo), para bangsawanJawa, dan para bupati yang masih memiliki hatinurani. Perang Dipanegara merupakanperwujudan solidaritas kejawaan dan keislamanyang sangat kuat di kalangan rakyat Jawa yangtertindas. Dengan perang itu Dipanegaramenginginkan agar keberadaan Belandakembali seperti awal kedatangannya diNusantara yaitu sebagai pedagang saja.Dipanegara juga menginginkan agar Belandamengakuinya sebagai pemimpin spiritualkeagamaan yang bergelar Sultan NgabdulkamidHerucokro Kabirul Mukminin SayidinaPanatagama Jawa, dan bukan sebagai SultanYogyakarta.

Menurut Carrey (1985:27–28) PerangDipanegara merupakan akhir dari sebuah proseskegelisahan, kemuakan, kemarahan rakyat JawaTengah (dan juga Jawa Timur) karenaketertindasan, yang mulai matang semenjakDaendels menjadi gubernur jenderal (1808–1811). Perang itu sendiri adalah satu peristiwayang menentukan sejarah tanah Jawa dan jugaIndonesia di kemudian hari sebelum merdekamenjadi negara republik. Perang Dipanegaraadalah suatu peristiwa yang memisahkan duajaman yaitu jaman “perdagangan” KompeniHindia Timur Belanda dimana hubungan yangterjalin antara kerajaan-kerajaan Jawa denganBelanda hanya bersifat ambassadorial saja.Setelah perang selesai, pemerintah kolonialHindia Belanda memberlakukan cultuur stelselsecara ketat. Dengan demikian, Belanda dapatmelakukan pengendalian, pengawasan, dan

penguasaan ekonomi dan politik atas pulauJawa tanpa batas (Carrey 1985:27). Sejak itu,relasi (hubungan) antara pemerintah kolonialBelanda dengan para raja Jawa merupakan relasikekuasaan politik, hukum, dan ekonomi yangsangat tidak setara, dimana para raja Jawasudah tidak lagi memiliki kekuasaan apapun,walaupun rakyat mengakuinya sebagaipenguasa Jawa.

Apakah masa sebelum pecah PerangDipanegara benar-benar merupakan era“perdagangan” antarbangsa ketika hubunganantara Belanda dan para penguasa Jawa itumerupakan hubungan yang ambassadorial? Diawal penugasannya sebagai gubernur jenderal,Daendels memberlakukan suatu keputusanresmi yaitu para residen Belanda yangditempatkan di Yogyakarta dan Surakartaberstatus sebagai “menteri”. Status merekakurang lebih sama dengan para raja Jawa, karenamereka adalah para wakil raja Belanda. Dalamacara-acara resmi di keraton, secara protokoler,mereka harus didudukkan sejajar dengan rajaJawa. Bagi penguasa Jawa, hal itu merupakansuatu perubahan posisi pemerintahan Belandayang mendasar atas kekuasaan mereka sebagairaja. Dampak dari keputusan tersebut meluas,bukan hanya menyebabkan tercabik-cabiknyalembaga politik tradisional Jawa yang terwujuddalam kesultanan dan kasunanan. KetikaBelanda belum berkuasa secara politik dan jugaekonomi, perekonomian rakyat yang utamaadalah pertanian subsisten. Sistem ini olehBelanda dirusak dengan menjadikan sebagianbesar tanah di desa-desa menjadi perkebunanuntuk ekspor. Tanah penduduk desa merekasewa dengan harga yang sangat rendah.Bersamaan dengan itu, Belanda memberlaku-kan sistem pajak yang mencekik kehidupanrakyat. Dengan demikian, era “perdagangan”di masa sebelum pecah Perang Dipanegara,pada hakekatnya bukan lagi era perdaganganseperti ketika hubungan antara Belanda dengan

Page 18: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

176 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

para raja Jawa bersifat hubungan ambasadorialdan setara. Hubungan tersebut telah digantidengan hubungan kekuasaan politik yang tidaksetara antara Belanda dengan KesultananYogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Keduayang terakhir ini adalah pihak-pihak yangberada pada posisi subordinat dalam relasitersebut.

Relasi kekuasaan yang tidak setara antarapenguasa Belanda dengan para penguasa Jawayang berdampak sangat buruk terhadap rakyatJawa telah menimbulkan reaksi dari berbagaipihak pada tingkat individu. Orang-orangseperti Dipanegara dan para pendukungnyaseperti RA Retnaningsih (salah satu isteriDipanegara), ketiga anak laki-laki Dipanegara(KPH Dipanegara Muda yang melarikan diri keAmbon setelah ayahnya dikalahkan, RMJoned, dan RM Raib), Sentot Prawiradirdja,Pangeran Serang (keturunan Sunan Kalijaga),41 Bupati dari 88 Bupati yang ada diYogyakarta, para Bupati di wilayah Pacitan,para bangsawan, para ulama, para guru agama,para kiai, para santri, para penghulu keratonseperti Ibrahim Ba’abud dan Kanjeng Terboyo(juga keturunan Arab), Kiai Badaruddin, HajiNgisa, Kiai Maja, (Carrey 1985:64–68, 163–174)berpihak kepada rakyat yang tertindas. Merekabersatu dan bangkit melakukan perlawanan.

Ibrahim Ba’abud, salah satu cucu SultanSepuh dengan Alwi Ba”abud (1790–1850)semasa kecilnya diasuh oleh nenek buyutnya,GKR Ageng Tegalrejo, di Tegalrejo bersamadengan saudara sekakeknya, PangeranDipanegara (lihat silsilah 1). Sebagai seorangketurunan Arab-Jawa yang telah menjadi or-ang Jawa, ia mengetahui dan mengalami sepakterjang Belanda yang tidak adil dan menyengsara-kan rakyat Jawa. Ia juga mengalami sikap danperlakuan Belanda yang antipati dan tidak adilterhadap orang-orang keturunan Arab sepertidirinya. Kesemuanya itu, membuat IbrahimBa’abud, sebagai seorang muslim keturunan

Arab tetapi juga bagian dari orang Jawa yangtertindas berpihak kepada Dipanegara melawanBelanda. Kebencian Belanda terhadap Ibrahimyang merupakan keturunan Arab dan telahmembantu pemberontakan Dipanegara,menyebabkan Ibrahim diasingkan ke Penangkemudian dipindahkan ke Ambon sampaimeninggal.

Menarik untuk dicatat, kedua cucu SultanSepuh ini pada masa peperangan salingbertukar pakaian. Dipanegara yang bukan Arabmenanggalkan pakaian Jawanya dan meng-gantinya dengan pakaian Arab (sorban, jubah,dan keris yang diselipkan di depan perutnya).Sebaliknya, Ibrahim Ba’abud yang berdarahArab selalu mengenakan pakaian Jawa dan tidakpernah menggunakan pakaian Arabnya. BagiDipanegara, pakaian Arab yang dikenakannyaitu secara simbolis menandakan bahwa iaseorang pemimpin spiritual keagamaan (Islam)yang menyatukan umat Islam di Jawa melawantirani penjajah.

Perang Dipanegara bagi Belanda telahmengakibatkan kerugian materi yang amatbesar. Dengan perang itu, Belanda memperolehpelajaran yang amat mahal. Oleh karena itu,mereka kemudian merubah strategi dalammenancapkan kekuasaan politik dan ekonomi-nya di Nusantara. Denys Lombard (1996a:106)mencatat rangkuman pandangan PemerintahHindia Belanda yang dibuat oleh van denBosch, pencipta cultuur stelsel yang ditulisnyatahun 1833, yaitu setelah Perang Dipanegaraselesai (1830). Pelajaran yang mereka dapat dariperang itu adalah bahwa di masa mendatangBelanda harus merangkul para pemimpin Jawa,membuat agar mereka bergantung kepadaBelanda dengan selalu menjaga hak-hak merekayang turun temurun, memperlakukan merekadengan kehormatan yang semestinya, jugamemberi sarana kepada mereka hingga padagilirannya mereka harus melayani kepentinganBelanda.

Page 19: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

177Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

Tomagola (1985:45) mencatat strategi baruyang diterapkan Belanda adalah pemerintahantidak langsung (indirect rule) di pulau Jawayaitu kekuasaan politik terhadap rakyat Jawatetap berada di tangan para raja Jawa, tetapipada gilirannya para raja Jawa ini berada dibawah kekuasaan Belanda. Sultan dan Sunansecara terpaksa harus tunduk kepada merekakarena tak ada pilihan lain. Sementara itu, diSumatera, Belanda melakukan kekuasaanpolitiknya secara langsung (direct rule).

Sikap dan perlakuan Belanda terhadapketurunan Arab pada waktu sebelum PerangDipanegara dan sesudahnya tetap tidakberubah. Belanda tetap berpandangan bahwaketurunan Arab, Islam, kiai, ulama, guru agama,santri itu identik. Orang-orang Arab telahbanyak yang membantu Dipanegara dalampeperangan, misalnya seperti KangjengTerboyo - cucu Sayid Abdullah MohammedBustam (Algadri 1994:28–29), dan IbrahimBa’abud (Syamsu 1999:160). Perang Padri diMinangkabau dan Perang Aceh adalahpeperangan yang dipimpin oleh orang-orangketurunan Arab. Demikian pula, rakyat, kiai,ulama, santri telah mendukung Dipanegara ikutdalam peperangan. Oleh karena itu, Belandasangat meragukan loyalitas keturunan Arab.Mereka dianggap akan mengganggu kebijakan-kebijakan Belanda. Apabila Dipanegara danpemberontak-pemberontak lainnya bisa merekaasingkan, tetapi para kiai, ulama, santri, guruagama yang jumlahnya sangat banyak itu,mustahil mereka asingkan. Oleh karena itu (atasnasihat Snouck Hurgronje), pemerintah HindiaBelanda tetap perlu memberlakukan kebijakanyang diskriminatif terhadap orang-orang Arabdengan mengkategorikan mereka sebagaiorang-orang “Timur Asing” yang merekatuangkan dalam Konstitusi Hindia Belanda,pasal 163. Kebijakan itu untuk membedakanmereka dari mayoritas orang Islam di Nusantara.Selain itu, Belanda juga memberlakukan “pass-

port system” bagi orang-orang Arab. Tujuan-nya untuk membatasi ruang gerak mereka(Algadri 1994:11, 58).

Sikap dan perlakuan Belanda yang sangatantipati dan selalu waspada terhadap orang-orang keturunan Arab tercermin di dalamkebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belandayang diskriminatif. Hal ini membuat paraketurunan Ibrahim Ba’abud dari garis laki-laki(lihat silsilah 2), seperti halnya orang-orangketurunan Arab lainnya di Jawa, lebih leluasamenggunakan nama Jawanya, berbahasa Jawa,berpakaian Jawa, bertata krama Jawa, melakukanadat istiadat Jawa, dan menggunakan sistemkekerabatan Jawa. Semua itu, pada awalnyadipelajari oleh Ibrahim Ba’abud dari nenekbuyutnya kemudian diteruskan ke anak-cucunya melalui proses sosialisasi di dalamkeluarga masing-masing. Sistem kekerabatanJawa yang bilateral yang diperoleh IbrahimBa’abud dari ibunya, BRA Samparwadi, telahmemfasilitasi Ibrahim Ba’abud dan keturunan-nya untuk terus menggunakan nama Jawanyadan berbudaya Jawa.

Keterangan ibu Aisyah (bibi ibu Wida)tentang kakek ibu Wida bernama Hasan ManadiMadiokusumo yang lebih suka berpakaianJawa daripada berpakaian Eropa ketika masihbersekolah, memperlihatkan bahwa sang kakektetap mempertahankan ke-Jawa-annya dantidak kebelanda-belandaan dengan berpakaianseperti sinyo Belanda. Pakaian yang dikenakanoleh kakek ibu Wida hanyalah simbol yangmenyatakan bahwa dirinya tetap berpegangpada nilai dan budaya Jawa, meskipunsekolahnya di sekolah Belanda dan di dalamtubuhnya mengalir darah Arab.

Ibu Yugani (bibi ibu Wida) menjelaskanbahwa ayahnya tidak mau mengidentifikasikandiri sebagai Belanda meskipun ia memperolehpendidikan dari sekolah Belanda dan bekerjadi Pemerintah Belanda, sebagai LandbouwConsulent. Ia tidak menyukai Belanda sejak

Page 20: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

178 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

masih muda. Sang ayah pun tidak pernahmengidentifikasikan dirinya dengan Arab,sebab ia tahu bahwa Belanda tidak menyukaiArab. Kepentingan agar keluarganya dengansembilan orang anak bisa survive secaraekonomi membuat sang ayah ini tetap tidakmemperlihatkan bahwa ia sebenarnyaketurunan Arab. Budaya Jawa yang dianutnyasebagai hasil sosialisasi yang panjang darigenerasi ke generasi telah mendarah daging(internalized ) dalam diri sang ayah yangkemudian ia teruskan ke anak-anaknya.Demikian seterusnya, sehingga anak cucu sangkakek ini, termasuk ibu Wida, hanyamengetahui dan menyadari bahwa dirinyaadalah orang Jawa, bukan Arab. Ikatan primor-dial mereka adalah Jawa, bukan Arab.

Sebagai Landbouw Consulent, tempattugas kakek ibu Wida berpindah-pindah. Padaawal diangkat, tugasnya di Malang, lalu pindahke Lumajang, Bogor, Batavia, Probolinggo,Jember, Bondowoso, Jember, dan Bondowoso.Pada pendudukan Jepang, oleh Jepangjabatannya diganti menjadi gutjo (asistenwedana) di Gambiran, Banyuwangi, laludinaikkan menjadi kutjo (wedana). Tak lamakemudian Jepang dikalahkan Sekutu, dalamPerang Dunia II. Di jaman republik kakek ibuWida dipindahkan ke Situbondo menjadiKepala Djawatan Koperasi. Ketika beliausekeluarga batih pindah dari Situbondo keMalang untuk menunaikan tugasnya diMalang, Belanda (1947) masuk lagi melalui PasirPutih, Panarukan. Kakek ibu Wida sekeluargaterhenti perjalanannya ke Malang di Jembersebagai pengungsi. Di kota ini, kakek ibu Widatak mau bekerja lagi di kantor pemerintahBelanda. Beliau dan isterinya membuka warung.Anak-anak perempuan, Aisyah dan Yugani,berjualan makanan; anak laki-laki bungsunya,Abdullah, berjualan minyak tanah. Anak laki-laki ketiga Mahmud Nyonoroso masuk tentaraberperang melawan Belanda. Ia tertangkap oleh

Belanda dengan pangkat kapten dandipenjarakan di Lowok Waru, Malang. Ia nyarisdihukum mati oleh Belanda. Anak laki-lakikeenam, Muhamad Achadiat, ikut bergerilyamenjadi TRIP (Tentara Republik IndonesiaPelajar). Setelah Belanda pergi, kakek ibu Widameneruskan karirnya sebagai Kepala DjawatanKoperasi di Malang hingga pensiun dan wafatdi kota itu. Beberapa sumber yang mengetahuikehidupan kakek ibu Wida mengatakan bahwasang kakek ini hidupnya sederhana dan jujur.Ia menginginkan semua anaknya, perempuandan laki-laki, bisa terus bersekolah dan hiduplayak.

Kakek ibu Wida, Hasan Manadi, adalahsatu-satunya anak Ya’kub Ba’abud Djojowinotodan mungkin juga, setahu penulis, dari semuaketurunan Ibrahim Ba’abud Madiokusumoyang menyandang nama Madiokusumo dibelakang namanya. Nama Madiokusumo yanghanya dimiliki oleh sang cikal bakal trahMadiokusuman yaitu Ibrahim Ba’abud,menurut penjelasan Ibu Aisyah, tidak bisadisandang oleh siapa pun keturunan IbrahimBa’abud secara sembarangan. Penyandang namatersebut harus memiliki sifat dan kepribadianseperti Ibrahim Ba’abud yaitu jujur, sederhana,andap asor (rendah hati/tidak angkuh) danseorang muslim yang taat beribadah. Setelahkakek ibu Wida, orang kedua yang menyandangnama Madiokusumo di belakang namanyaadalah paman bungsu ibu Wida bernamaAbdullah.

Budaya Arab yang masih melekat padakeluarga-keluarga keturunan Ibrahim Ba’abudMadiokusumo adalah endogami kerabat darigenerasi Ibrahim sampai ke keturunanketiganya—buyut Ibrahim Ba’abud (lihatsilsilah 2). Menurut Assegaf (2000:252–253)endogami kerabat tersebut mengikuti sistempernikahan di Hadramaut yang melarangsyarifah (anak perempuan sayid denganperempuan pribumi) menikah dengan laki-laki

Page 21: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

179Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

bukan sayid. Budaya Arab lainnya yang masihmelekat adalah panggilan “abah” untuk ayahyang merupakan keturunan Arab dari garis laki-laki. Sementara itu, keturunan PangeranDipanegara memanggil ayahnya dengansebutan ”romo”.

KesimpulanPenjelasan tentang bagaimana keturunan

Arab-Jawa telah kehilangan ciri Arabnya secarabudaya, memperlihatkan adanya struktur dansistem yang bekerja pada tataran-tataran makro-struktural, meso-institusional, dan mikro-indi-vidual yang menghasilkan realitas menghilang-nya budaya Arab keturunan Arab - Jawa (Keatdan Urry 1982:119–137).

Pada tataran makro-struktural, perdagangandi Nusantara sejak abad ke-15 telah diramaikanoleh tidak saja pedagang pribumi (Bugis danMelayu) tetapi juga pedagang asing sepertiCina, India, Arab, dan Eropa. Pada mulanyapedagang Portugis berusaha memonopoliperdagangan rempah-rempah di Nusantara,tetapi tidak berhasil. Mereka hanya berhasilmenguasai Malaka. Belanda kemudian belajardari kelemahan Portugis (Ricklefs 2001:63–79).Oleh karena itu, pada akhirnya monopoliperdagangan rempah-rempah berhasil dikuasaioleh Belanda (VOC) setelah menyingkirkan parapedagang asing lainnya dan juga pedagangpribumi. Dalam persaingan ekonomi tersebut,pedagang Arab bukan pesaing yang berartibagi Belanda. Kedatangan Belanda keNusantara tidak hanya untuk berdagang tetapijuga menyebarkan agama Protestan. Bagimereka, keberadaan pedagang Arab dariHadramaut di Jawa yang juga menyebarkanagama Islam dan telah berasimilasi dengan or-ang-orang pribumi terutama dengan parabangsawan dan kerabat sultan merupakanpesaing utama dalam berebut pengaruh dikalangan para bangsawan Jawa yang saat ituadalah penguasa. Kepada orang-orang Arab

ini Belanda memperlihatkan sikap dan perilakuyang tidak bersahabat.

Ketika komoditi perdagangan di Eropa tidaklagi berupa hasil pertambangan tetapi hasil bumisebagai bahan mentah untuk industri, makaperhatian Belanda beralih ke pulau Jawapedalaman yang subur. Dengan menggunakanpolitik intervensi dan adudomba, Belandaberhasil menangguk keuntungan dari kemelutpolitik dalam Kesultanan Mataram. MelaluiPerjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram yangpernah jaya di masa pemerintahan SultanAgung, terbelah dua menjadi KesultananYogyakarta dan Kasunanan Surakarta. VOCkemudian digantikan oleh Pemerintah BelandaHindia Timur dengan Daendels sebagaigubernur jenderal. Melalui peraturan yangdibuatnya, Belanda kemudian memperolehkekuasaan politik dan ekonominya d Jawa.

Sistem perekonomian Jawa yang semulaadalah pertanian subsisten secara bertahapdigantikan dengan sistem perkebunan untukekspor. Belanda mengembangkan sistemperkebunan tersebut di tanah-tanah milikorang desa yang disewa dengan hara murah.Dalam waktu yang bersamaan, Belanda jugamenerapkan sistem pajak yang sangat mencekikkehidupan rakyat. Para penguasa Jawa sendiritak mampu berbuat apa-apa untuk membelarakyatnya. Sekalipun demikian, di Jawa saat itubelum terjadi kolonisasi Belanda dalampengertian yang sebenarnya (Carrey 1985:28).

Relasi kekuasaan yang tidak setara antarapemerintah Belanda yang diwakili olehDaendels dengan para sultan dan sunansebagai penguasa setempat; kemiskinan yangdialami oleh rakyat Jawa yang hidup daripertanian; serta sikap dan perilaku Belandayang tidak bersahabat terhadap orang-orangArab, menumbuhkan kesadaran para ulama,guru agama, santri, kiai, para penghulu keraton,para bupati dan para bangsawan yang memilikihati nurani, para keturunan Arab-Jawa seperti

Page 22: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

180 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No. 2, 2005

Ibrahim Ba’abud, Pangeran Terboyo dan lain-lainnya, serta para petani Jawa yang tertindasuntuk bersatu dalam solidaritas kejawaan dankeislaman yang dipimpin oleh Dipanegaramelawan Belanda dalam Perang Dipanegara.

Perang Dipanegara telah mengakibatkankerugian ekonomi yang cukup besar di pihakBelanda dan karenanya menyadarkan merekauntuk merubah cara dalam menaklukkan raja-raja Jawa yang memerintah kemudian. Dengansistem pemerintahan tidak langsung danpemberlakuan cultuur stelsel secara ketat,pemerintah kolonial Belanda berhasilmemperoleh kekuasaan politik, ekonomi, danhukum tanpa batas atas raja-raja Jawa danrakyatnya.

Sikap dan perlakuan Belanda yang tetapantipati dan diskriminatif terhadap keturunanArab sesudah Perang Dipanegara, Perang Padri,dan Aceh yang dipimpin oleh orang-orang

keturunan Arab, diperlihatkan denganmenerapkan kebijakan-kebijakan mereka yangdiskriminatif terhadap orang-orang keturunanArab. Kebijakan itu telah menumbuhkan reaksipada tingkat keluarga dan individu orang-or-ang keturunan Arab-Jawa. Para keturunanIbrahim Ba’abud, dalam studi kasus ini, melaluikeluarga yang mereka bentuk, meskipun darigaris keturunan laki-laki, tetap melakukansosialisasi budaya Jawa kepada generasiberikutnya. Oleh karena itu, budaya Jawa telahmendarah daging (internalized) dalam dirigenerasi keturunan Ibrahim Ba’abud, sekurang-kurangnya sampai kepada generasi kelima.Pada generasi keenam kelihatannya mulai terjadipembauran melalui perkawinan antar kelompoketnik di kalangan anak cucu Ibrahim Ba’abud.Besar kemungkinan identittas ke-Jawa-angenerasi ini dan seterusnya akan menghilangjuga.

Referensi

Algadri, H.1994 Dutch Policy Against Islam and Indonesians of Arab Descent in Indonesia. Jakarta:

LP3ES.

Alwi ibnu Muhammad ibnu Ahmad Bafaqih.1999 Alawiyyin: Asal-usul dan Peranannya (terjemahan). Jakarta: Lentera Basritama.

Assagaf, H.M2000 Derita Putri-putri Nabi: Studi Historis Kafa’ah Syarifah. Bandung: Penerbit PT

Remaja Rosdakrya.

Carrey, P.1985 Asal-Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh

(terjemahan). Jakarta: Pustaka Azet.

Djamhari, S.A.2003 Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827–1830. Jakarta: Yayasan

Komunikasi Bambu.

Garraty, J.A.1985 The University History of The World. UK: New Orchard Editions.

Geertz, H.1961 The Javanese Family. USA: the Free Press of Glencoe, Inc.

Page 23: Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar

181Amal, Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa

Keat, R. dan J. Urry1985 Social Theory as Science. London: Routledge and Kegan Paul.

Lombard, D.1996a Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Gramedia.1996b Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Gramedia.

Mandoyokusumo, KPH1977 Serat Raja Putera Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Museum

Keraton Yogyakarta, cap-capan III.

Ricklefs, M.C.2001 Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Syamsu As. M.1999 Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera.

Tomagola, T.A.1985 “Perbedaan Ciri-ciri Pendidikan antara Migran Sumatera Barat dengan Migran Jawa

Barat di Jakarta,” Prisma (15)3:44–63.

van den Berg, LWC1989 Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (terjemahan). Jakarta: INIS, jilid III.

Wibowo, A. (Aswi)2004 LAWAN!: Sebuah Novelet Perjuangan. Bandung: Penerbit Mizan.