28
489 MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR LERABAING MOSQUE: LOCAL WISDOM AND HISTORY OF THE SPREAD OF ISLAM IN EAST NUSA TENGGARA Ali Fahrudin Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan, Kementerian Agama Republik Indonesia [email protected] DOI: https://doi.org/10.31291/jlk.v18i2.831 Received: Maret 2020; Accepted: Desember 2020; Published: Desember 2020 ABSTRACT At-Taqwa Lerabaing Mosque is one of the ancient mosques in Alor Island, Nusa Tenggara Timur (NTT). By revealing the history of mosque establishment, it is hoped that it can reveal the history of Islam coming to NTT, which is currently predominant Christian and Catholic. This study aims to preserve the cultural heritage of the Indonesian Nation, especially related to the historic mosque and its role in spreading Islam in the Alor Regency, NTT. This study uses a historical-archaeological approach. Performing this research, it is expected to reveal the origin of the mosque, the condition of the community at the time of its construction, the architecture and the historical objects contained therein, and local wisdom in broadcasting Islam in NTT. The results of this study reveal that the history of the coming Islam to Alor Island was closely related to the arrival of a preacher from Ternate named Sultan Kimales Gogo. After the King of Kui Kingdom and his people converted to Islam, he established this mosque. The mosque in the form of a house on stilts was built in 1042 H or 1633 M. Compared to other mosques in Indonesia, this mosque has its specificity. it lies in its shape which resembles a stage house with a two- story roof and all materials made from wood and bamboo without nails. Keywords: Alor Island, Nusa Tenggara Timur, Lerabaing mosque.

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

489

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL

DAN SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI

NUSA TENGGARA TIMUR

LERABAING MOSQUE: LOCAL WISDOM AND HISTORY

OF THE SPREAD OF ISLAM IN EAST NUSA TENGGARA

Ali Fahrudin Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan,

Kementerian Agama Republik Indonesia

[email protected]

DOI: https://doi.org/10.31291/jlk.v18i2.831 Received: Maret 2020; Accepted: Desember 2020; Published: Desember 2020

ABSTRACT

At-Taqwa Lerabaing Mosque is one of the ancient mosques in Alor Island,

Nusa Tenggara Timur (NTT). By revealing the history of mosque

establishment, it is hoped that it can reveal the history of Islam coming to

NTT, which is currently predominant Christian and Catholic. This study

aims to preserve the cultural heritage of the Indonesian Nation, especially

related to the historic mosque and its role in spreading Islam in the Alor

Regency, NTT. This study uses a historical-archaeological approach.

Performing this research, it is expected to reveal the origin of the mosque,

the condition of the community at the time of its construction, the

architecture and the historical objects contained therein, and local wisdom

in broadcasting Islam in NTT. The results of this study reveal that the

history of the coming Islam to Alor Island was closely related to the arrival

of a preacher from Ternate named Sultan Kimales Gogo. After the King of

Kui Kingdom and his people converted to Islam, he established this

mosque. The mosque in the form of a house on stilts was built in 1042 H or

1633 M. Compared to other mosques in Indonesia, this mosque has its

specificity. it lies in its shape which resembles a stage house with a two-

story roof and all materials made from wood and bamboo without nails.

Keywords: Alor Island, Nusa Tenggara Timur, Lerabaing mosque.

Page 2: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

490

ABSTRAK

Masjid At-Taqwa Lerabaing adalah salah satu masjid kuno yang ada di

Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tulisan ini bertujuan untuk

mengungkap sejarah pendirian masjid At-Taqwa, Lerabaing dan sejarah

masuknya agama Islam di Provinsi NTT. Hal ini merupakan upaya

melestarikan warisan budaya Bangsa Indonesia, khususnya yang berkaitan

dengan masjid bersejarah dan perannya dalam penyiaran Islam di wilayah

Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Penelitian eksploratif deskriptif ini

menggunakan pendekatan historis-arkeologis. Beberapa hal yang ditelaah

adalah asal usul berdirinya masjid, kondisi masyarakat pada saat

pendiriannya, arsitektur dan benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya,

serta kearifan lokal dalam penyiaran Islam di NTT. Kajian ini

menunjukkan bahwa sejarah masuknya Islam di Pulau Alor erat kaitannya

dengan kedatangan pendakwah dari Ternate yang bernama Sultan Kimales

Gogo. Setelah berhasil mengislamkan Raja Kerajaan Kui dan rakyatnya,

Sultan Kimales Gogo mendirikan masjid At-Taqwa. Masjid yang

berbentuk rumah panggung ini dibangun pada tahun 1042 H atau 1633 M.

Kekhasan masjid ini dibandingkan masjid-masjid lainnya di Indonesia

terletak pada bentuknya yang menyerupai rumah panggung dengan atap

bertingkat dua dan semua bahannya terbuat dari kayu dan bambu tanpa

paku.

Kata kunci: masjid Lerabaing, Nusa Tenggara Timur, Pulau Alor

PENDAHULUAN

Masuknya agama Islam di Lerabaing, ibukota Kerajaan

Kui, tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di

Indonesia bagian Timur. Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa

berdirinya Masjid At-Taqwa Lerabaing merupakan jasa besar

dari ulama Ternate yang berdakwah di daerah tersebut.

Penyebaran Islam di wilayah Timur ini juga merupakan

implikasi dakwah di Jawa, sebagai sentral dakwah zaman dahulu.

Penyiaran dan penyebaran Islam di Jawa, dipelopori oleh para

mubalig Islam yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau

Sembilan Wali. Semasa hidup, para wali tersebut mengirimkan

utusan yang terdiri dari santri, saudagar dan nelayan untuk

Page 3: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

491

menyebarkan Islam ke berbagai kepulauan di Indonesia.1 Atas

dakwah itulah, banyak kerajaan Islam di Indonesia bagian Timur

berdiri pada abad XV dan XVI, antara lain: Kerajaan Gowa di

Sulawesi Selatan, Kerajaan Lombok, Sumbawa dan Bima di

Nusa Tenggara Barat, dan Kerajaan Ternate di Maluku. Bahkan,

Sultan Ternate ke-19, Sultan Zainal Abidin bin Kolano Marhum

(memerintah: 1486-1500 M), dikabarkan belajar Islam langsung

dari Sunan Ampel.2 Kerajaan-kerajaan Islam tersebut ternyata

mampu menanamkan pengaruhnya di beberapa daerah di Nusa

Tenggara Timur, di antaranya di Pulau Flores bagian barat,

Flores bagian timur, dan Alor.3

Jejak-jejak pengaruh Kerajaan Ternate dan Gowa di Pulau

Alor, antara lain: terdapat nama Pulau Ternate di bagian barat

laut perairan Pulau Alor, kampung atau suku Maluku di Bara-

nusa, dan sebuah rumah yang bernama Mangkassar Ou (Rumah

Makassar) di Lerabaing. Pada zaman itu, Pulau Alor berkembang

menjadi pelabuhan transit yang penting dan berubah namanya

menjadi pantai Makassar.4 Ada indikasi bahwa terbentuknya

kerajaan-kerajaan pesisir di bagian timur Pulau Alor, merupakan

pengaruh dari kerajaan Ternate dan Gowa. Upaya Ternate dan

Gowa dilakukan untuk membendung pengaruh politik dan

ekonomi penjajah Portugis dan Belanda. Hal ini dibuktikan

adanya tiga aliansi, yaitu: pertama, aliansi Galiyao Watang Lema

(persekutuan lima kerajaan pesisir di negeri Galiyao). Kedua,

aliansi lima kerajaan Pesisir di Alor dan Pantar dengan lima

kerajaan pesisir di Solor; dan ketiga aliansi antara orang-orang

Alor, Makassar dan Ternate.

1Alfan Firmanto, “Masjid Kuno di Pulau Haruku Propinsi Maluku

(Kajian Sejarah, Bentuk dan Fungsi),” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol.

14, No. 1 (2016), 22 . https://doi.org/10.31291/jlk.v14i1. 2Rusdiyanto, “Kesultanan Ternate dan Tidore,” dalam Aqlam: Journal

of Islam and Plurality, Vol. 03, No. 01, 2018, 48. https://doi.org/10.30984/

ajip.v3i1.631 3Tim Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Sejarah Islam

Untuk Madrasah Ibtidaiyah (Jakarta: Kucica, 1993), 10-11. 4Syarifuddin R. Gomang, Hubungan Antar Etnis di Indonesia

(Kupang: Tesis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana, 1993),

10. Tempat-tempat tersebut merupakan bekas daerah atau wilayah dari lima

kerajaan pesisir di Alor.

Page 4: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

492

Apabila ditelusuri, aliansi antara orang-orang Alor, Solor,

Makassar dan Ternate, maka aliansi tersebut didasarkan atas

agama Islam. Rasa kesamaan ras dan budaya yang muncul dari

aliansi ini telah memungkinkan orang-orang Makassar dan

Ternate diterima sebagai anggota keluarga dari orang-orang Alor

pada masa itu.5 Lewat transformasi Islam dan hubungan-hubu-

ngan dagang, maka pulau Alor menjadi daerah tujuan penyebar-

an agama Islam, salah satunya Lerabaing.

Salah satu bukti keberadaan Lerabaing sebagai pusat pe-

nyebaran Islam adalah adanya masjid At-Taqwa yang dibangun

oleh Sultan Kimales Gogo6 (selanjutnya ditulis SKG). SKG

diutus oleh Sultan Ternate untuk menyebarluaskan Islam di

daerah tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap sejarah

penyebaran Islam di Pulau Alor dan pendirian Masjid At-Taqwa

sebagai bukti bahwa keberadaan Islam lebih dahulu daripada

agama Kristen dan Katolik, meskipun kedua agama tersebut saat

ini menjadi agama mayoritas penduduk di Nusa Tenggara Timur.

Penelitian tentang Masjid At-Taqwa Lerabaing pernah

dilakukan oleh Muklis M. Susan dalam karyanya, Sejarah

Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di Lerabaing.7 Penelitian

Susan tersebut mengungkap tentang sejarah masuknya Islam dan

pendirian Masjid At-Taqwa Lerabaing. Fokus penelitian Susan

adalah mengungkap sejarah masuknya Islam dan pembangunan

Masjid At-Taqwa. Sedangkan penulis memfokuskan pada seja-

rah penyebaran Islam di Pulau Alor, struktur bangunan Masjid

At-Taqwa dan tradisi sosial budaya masyarakat setempat yang

“diislamkan” setelah kedatangan pendakwah dari Ternate.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Susanne Rodemeier

dalam karyanya, Islam in The Protestant Environment of The

5Gomang, Hubungan Antar Etnis di Indonesia, 7.

6Gelar “Sultan” di depannya tidak menunjukkan bahwa dia seorang

raja di Ternate, melainkan gelar kebangsawanan. Bisa jadi dia merupakan

kerabat raja Ternate, sebagaimana gelar “Raja” untuk gelar kebangsawanan

suku Bugis di Kerajaan Melayu Riau, seperti nama Raja Ali Haji. 7Muklis M. Susan, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di

Lerabaing (Kalabahi: Dinas Budaya dan Pariwisata, 2000).

Page 5: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

493

Alor and Pantar Islands.8 Penelitian Rodemeier mengungkap

tentang sejarah masuknya Islam dan Protestan di Pulau Alor dan

Pulau Pantar. Artikel Rodemeier mengungkap sedikit tentang

nama Kimales Gogo, tokoh sentral dalam penyebaran Islam di

Lerabaing, Pulau Alor, namun tidak menceritakan secara detail

tentang cara dakwah yang dilakukan.

Ada beberapa masalah yang dipertanyakan dalam tulisan

ini: pertama, bagaimana sejarah penyebaran Islam di Pulau

Alor? Kedua, bagaimana Masjid At-Taqwa Lerabaing dibangun?

Ketiga, kearifan lokal apa saja yang dilakukan masyarakat

Lerabaing setelah kedatangan Islam?

Lokasi penelitian rumah ibadah bersejarah ini dilakukan di

Masjid At-Taqwa Lerabaing. Masjid ini terletak di Desa

Wakapsir, Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupaten Alor,

Provinsi NTT. Masjid ini berada di sebelah utara perbukitan

yang curam, yang berbatasan dengan Selat Ombai di sebelah

selatan, sebelah baratnya merupakan perkebunan milik penduduk

setempat dan sebelah timurnya berbatasan dengan sungai Erbah.

Kajian ini merupakan penelitian eksploratif deskriptif

dengan menggunakan pendekatan historis arkeologis. Pendeka-

tan historis dilakukan untuk mendeskripsikan latar belakang

berdirinya masjid. Sedangkan perdekatan arkeologis dilakukan

untuk mendeskripsikan struktur fisik masjid dan makna yang

terkandung di dalamnya.9 Kajian ini juga akan mengungkap

beberapa teori masuknya Islam di NTT, terutama di Pulau Alor.

Teori yang berkembang dalam pola islamisasi suatu wilayah

antara lain: teori perdagangan, perkawinan, pendidikan, tasawuf,

politik, dan atau seni budaya.10

8Susanne Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor

and Pantar Islands,” Indonesia and the Malay World, Vol. 38, No. 110, 2010,

30. https://doi.org/10.1080/13639811003665363. 9Nyoman Rema and Hedwi Prihatmoko, “Potensi Arkeologi di Pulau

Alor,” dalam Kalpataru, Vol. 25, No. 2, 2016, 109, https://doi.org/10. 24832/

kpt.v25i2. 10

Rosita Baiti, Abdur Razzaq, “Teori dan Proses Islamisasi di

Indonesia,” dalam Wardah, Vol. 15, No. 28, 2014, 142-145.

Page 6: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

494

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masyarakat Lerabaing Alor sebelum Kedatangan Islam

Lerabaing terdiri dari kelompok-kelompok suku sebelum

agama Islam masuk, antara lain: Malangkabat, Murwas, Kuiyas,

Abelwas, dan Magalwas serta pendatang dari kerajaan lain.

Mereka adalah suku-suku terasing yang tinggal di dataran-

dataran tinggi yang tidak begitu banyak mengadakan kontak

dengan dunia luar, mereka hidup secara terpisah. Suku Murwas

tinggal di Sola Timpe, suku Kuiyas tinggal di Kuiman, suku

Abelwas tinggal di Peraman, dan suku Magalwas tinggal di

Manikaboi.11

Kelompok-kelompok suku itu belum banyak mengenal atu-

ran-aturan hidup dalam masyarakat. Anggota kelompok hanya

mengetahui bahwa yang berkuasa ialah orang yang dituakan dan

yang terkuat serta berani menghadapi tantangan-tantangan baik

dari pihak kelompok lain maupun dari alam. Dengan demikian

semua peraturan yang dikeluarkan atau diucapkan oleh orang

kuat tersebut merupakan peraturan bagi anggota kelompok seca-

ra turun-temurun. Namun demikian anggota kelompok tersebut

tidak bisa hidup terlepas dari lingkungan alamnya sehingga

mereka menerima bahwa di samping kekuatan dari si orang kuat

sebagai ketua kelompoknya, ada lagi kekuasaan lain yang lebih

kuat. Mereka percaya bahwa benda-benda di sekelilingnya mem-

punyai kekuatan gaib. Bukan manusia saja tetapi benda-benda

seperti: batu, pohon-pohon, sungai, gua, hutan, laut, makhluk

halus (sosala) dan sebagainya mempunyai penunggu (kekuatan).

Kekuatan tersebut dapat menguasai atau mengatasi kekuatan

manusia.12

Maka dari itu, timbullah kepercayaan animisme dan

dinamisme.

Suku-suku di sekitar Lerabaing, yakni: Ler, Koilelan,

Kletuwas, Malangkabat, Murwas, Kuiyas, Abelwas dan Magal-

was, sepakat membentuk kerajaan. Rajanya diambil dari suku

yang paling banyak penduduknya dan memiliki tanah datar yang

11

Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di

Lerabaing, 16. 12

SVD Paul Arndt, Agama Asli di Kepulauan Solor (Flores: Puslit

Candraditya Maumere, 2003), 114.

Page 7: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

495

layak dijadikan kota raja, yakni dari suku Kuiyas. Oleh karena

itu, dinamakan Kerajaan Kui. Adapun menteri dan panglimanya

(mantri dan kapitan) diambil dari masing-masing suku. Seperti

beberapa kerajaan yang berada di Alor, raja membentuk badan-

badan pelaksana pemerintah yang diperlukan untuk menyusun

norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat yang

kemudian dikenal sebagai adat. Dengan adanya kerajaan, maka

dalam masyarakat dikenal tiga lapisan golongan atau kelas,

yakni: pertama, golongan atau kelas yang berkuasa terdiri dari

raja dan para pejabat kerajaan (mantri, kapitan, tamukung, opas

dan sebagainya. Kedua, golongan merdeka, ketiga, golongan

budak atau hamba (gur).

Pada umumnya kerajaan-kerajaan di Alor13

melaksanakan

sistem musyawarah dan mufakat dalam pemerintahannya. Hal ini

menunjukkan asas demokrasi. Praktik demokrasi membatasi

seorang raja agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi harus

selalu mengikuti keputusan hasil musyawarah dengan dewan

adat. Penguasa kerajaan-kerajaan tersebut ada yang berhubungan

keluarga melalui perkawinan. Namun dalam mengatur rakyat,

masing-masing bertindak secara otonom. Hal ini membawa

pengaruh perbaikan dalam tata cara pemerintahan.

Umumnya dapat dibedakan antara pola hidup dan pola

berpikir penduduk pesisir dan pedalaman. Penduduk pesisir lebih

banyak mendapat pengaruh dari luar, sedangkan penduduk peda-

laman mempertahankan tradisi atau adat kebiasaannya. Pendu-

duk daerah pedalaman terdiri dari kelompok-kelompok suku

yang dikepalai oleh seorang kepala suku. Dari penuturan masya-

rakat, dapat diketahui bahwa kebudayaan masyarakat yang ada di

wilayah Kerajaan Kui (suku Kui), mendapat pengaruh dari kera-

jaan-kerajaan tetangga di pesisir Alor14

, seperti bentuk rumah,

13

Selain kerajaan Kui, Rodemeier menyebutkan ada 6 kerajaan lain

yang berada di Alor dan sekitarnya, yakni: Kerajaan Pandai, Kerajaan Bara-

nusa, Kerajaan Alor Besar, Kerajaan Solor Watang Lema, Kerajaan Pantar,

dan Kerajaan Labala (Lembata Selatan). Rodemeier, “Islam in the Protestant

Environment of the Alor and Pantar Islands,” 29. 14

Kerajaan-kerajaan yang dimaksud sebagaimana diungkap dalam

catatan kami nomor 13. Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of

the Alor and Pantar Islands,” 29.

Page 8: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

496

cara berpakaian, sistem nilai sosial, sistem kekerabatan, perleng-

kapan hidup dan sebagainya.

Sejarah Masuknya Islam di Lerabaing Alor

Lerabaing adalah sebuah perkampungan tua yang terletak

di wilayah pantai selatan Kecamatan Alor Barat Daya, Kabupa-

ten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lerabaing telah dikenal

sejak masa pendudukan Portugis di bumi Nusantara. Pada masa

itu, Lerabaing dipergunakan sebagai ibukota Kerajaan Kui dan

benteng pertahanan jika terjadi peperangan antar kerajaan karena

posisi geografisnya yang strategis.

Masuknya ajaran Islam di Lerabaing, diduga terjadi pada

pertengahan Abad XVII, yaitu dengan kedatangan SKG di

Lerabaing. Proses islamisasi di Kampung Lerabaing dapat dika-

takan berjalan dengan baik. Penduduk dari suku Malangkabat

adalah yang pertama memeluk agama Islam. Hal ini terjadi

karena kesaktian dan karomah yang dimiliki oleh SKG sehingga

mampu mempengaruhi mereka. Setelah itu disusul Raja Kui,

tokoh-tokoh masyarakat dan keluarga mereka masing-masing

serta masyarakat setempat. Masuk Islamnya Raja Kui mempu-

nyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi di Pulau Alor, karena

tidak lama setelah itu, keislamannya diikuti oleh suku-suku lain,

selain suku Malangkabat yang sudah lebih dulu masuk Islam.

SKG datang bersama Kalu dan Paju, pengawal pribadinya.

Mereka menggunakan perahu yang bernama Arabaih (Arabiah)

dari Ternate ke Pulau Alor. Mereka mendarat di sebuah pantai

berpasir putih yang terletak di sebelah barat Kampung Lerabaing

pada tahun 1619 M atau 1028 H. Pantai tersebut dikenal dengan

nama pantai Utan Ga. Menurut tradisi lisan masyarakat setempat,

SKG berhasil menendang sebuah batu besar dari pantai ke bukit

sebagai suatu isyarat pendahuluan bahwa niat pengislamannya

akan berhasil. Batu tersebut kini dikenal dengan nama kimales

wor (Batu Kimales).15

Perjalanan SKG menuju Kampung Lerabaing sempat beris-

tirahat di sebuah gua (Barin Lei). Menurut tokoh masyarakat

15

Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di

Lerabaing, 24.

Page 9: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

497

setempat,16

ketika SKG beristirahat, ada beberapa orang pendu-

duk yang secara kebetulan lewat di depan gua dan melihat SKG

yang sedang beristirahat. Lalu mereka melaporkan hal ini kepada

Raja Kui, bahwa mereka melihat orang jahat (anin baka). Raja

memerintahkan beberapa orang dari ketiga suku, yakni suku Ler,

suku Koilelan dan suku Kletuwas, untuk mengusir SKG dan

pengawalnya. Mereka mengadakan penyerangan dengan mema-

kai senjata (busur anak panah dan klewang atau pedang), namun

tidak berhasil melukai atau membunuh SKG. Karena utusan

pertama tidak berhasil membunuh SKG, maka Raja memerintah-

kan orang-orang dari suku Malangkabat untuk menghadapi SKG

secara baik-baik dan mengajaknya untuk pergi ke Kampung

Lerabaing. Karena itu, mereka kelak merupakan orang-orang

pertama yang dibimbing SKG untuk memeluk agama Islam.

Sebelum memasuki kampung Lerabaing, SKG sempat

mengangkat atau menegakkan beberapa buah batu besar di

pinggiran pantai Lerabaing yang hingga kini batu tersebut masih

berdiri kokoh. Saat tiba di Pantai Lerabaing, SKG beristirahat

terlebih dahulu di sebuah gua. SKG tidak langsung masuk ke

Kampung Lerabaing. Kondisi kampung tersebut masih kotor.

SKG meminta agar Raja KUI memerintahkan orang untuk

mengambil air di Sungai Lerabaing. Air tersebut diberikan kepa-

da SKG dan selanjutnya air tersebut didoakan dan disiram di

Kampung Lerabaing. Karena SKG dianggap orang jahat, SKG

disuruh menempati sebuah tempat angker (menurut kepercayaan

penduduk) yang berada di wilayah pemukiman suku

Malangkabat.17

Misi yang dibawa SKG dapat dikatakan berhasil, berkat

kerja sama antara SKG dengan Raja Kui yang bernama Kinanggi

Atamalai. Dakwah ini mendapat dukungan dari penduduk setem-

pat sehingga mereka berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi

16

Wawancara dengan Imam Masjid At-Taqwa, tanggal 31 Mei 2017. 17

Susanne, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di

Lerabaing, 11.

Page 10: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

498

perkembangan Islam di Kerajaan Kui. Dalam waktu yang relatif

singkat, penduduk setempat menjadi penganut Islam yang setia.18

Cerita tersebut diungkap secara turun-temurun dari

generasi ke generasi. Tidak ada bukti tertulis yang mengungkap

kedatangan SKG di Pulau Alor. Akan tetapi bukti empiris dan

arkeologis dapat disaksikan secara nyata dalam bentuk masjid,

makam, dan peninggalan-peninggalannya berupa tongkat, pisau

penyembelihan dan sebagainya yang akan dibahas di bawah.

Manuskrip khutbah juga ada, akan tetapi ketika penulis datang ke

sana, pemilik naskah tidak ada di tempat sehingga tidak bisa

diperlihatkan. Tidak ada karya tulis sezaman yang dapat dijadi-

kan kritik sumber tentang cerita ini. Susanne Rodemeier, seorang

sarjana barat yang pernah meneliti ke Pulau Alor dan sekitarnya

juga mendapatkan cerita serupa dari penduduk setempat dan

mengungkapkan hal ini dalam artikelnya. Rodemeier mengata-

kan bahwa cerita ini hanya dongeng belaka yang tidak dapat diuji

validitasnya karena setiap daerah yang dikunjungi memiliki versi

berbeda tentang nama orang dan jumlah mereka yang datang.

Akan tetapi, dia mengakui bahwa para pendakwah itu memang

ada dengan adanya peninggalan berupa Masjid Lerabaing dan

mushaf Al-Qur’an yang sampai saat ini masih ada di tangan

keluarga mereka.19

Mushaf ini ada di tempat lain bukan di

Lerabaing, tetapi di tetangga desa. Mushaf itu dibawa oleh sau-

dara SKG dalam dakwahnya di daerah lain.

Dari cerita rakyat di atas, diketahui bahwa tokoh-tokoh

yang pertama mengenal ajaran Islam adalah tokoh-tokoh masya-

rakat atau kepala-kepala suku, tokoh kampung, dan panglima

perang. Pelaksanaan ibadah salat di masjid ketika itu hanya

diperkenankan bagi tokoh masyarakat tersebut, sementara

masyarakat biasa, melaksanakan ibadahnya di rumah masing-

masing.

18

Tokoh Kimales Gogo ini ternyata diakui oleh sejarawan Protestan

yang menyebutkan bahwa tokoh ini adalah seorang “missionaris” Islam yang

mendakwahkan Islam di Alor, meskipun mereka tidak mempercayai cerita

tentang dakwahnya. Lihat: Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment

of the Alor and Pantar Islands,” 28. 19

Rodemeier, Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the

Alor and Pantar Islands,” 28.

Page 11: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

499

Hal pertama yang diajarkan SKG adalah mengaji Al-

Qur’an. Metode yang digunakan adalah metode mengeja dan

menghafal dengan bahasa Arab. Metode ini diajarkan secara

terus-menerus. Jika mereka sudah lancar membaca huruf Al-

Qur’an (mengaji), maka dianjurkan untuk mengajarkan kepada

keluarganya masing-masing, termasuk kepada para tetangga, dan

sebagainya. Bacaan Al-Qur’an dengan logat bahasa Kui

diajarkan sehingga setiap guru yang mengajarkannya sudah bisa

menyesuaikan dengan kondisi setempat. Makin lama, penduduk

yang sudah bisa membaca Al-Qur’an makin banyak, lalu

diajarkan pelajaran pokok agama Islam yaitu: tauhid, fikih, dan

tasawuf, atau sering disebut dengan syariat, tarekat, hakekat, dan

makrifat. Ajaran pada level-level (tingkatan tarekat, hakekat, dan

makrifat) ini diberikan kepada orang-orang tertentu saja dan

dilakukan secara rahasia.

SKG meninggal pada tahun 1715 M atau 1134 H dan

dimakamkan di bagian utara Masjid At-Taqwa Lerabaing. Beliau

menikah dengan penduduk setempat dan mendapatkan seorang

putra yang meneruskan misi dakwahnya, yaitu Atakuli Gogo.

Setelah Atakuli Gogo wafat, maka datanglah seorang ulama atau

Waliyullah yang berasal dari Pandai (salah satu kerajaaan di

Kabupaten Alor), yaitu Imam Bolan.

Imam Bolan wafat pada usia 100 tahun lebih. Sebelum

wafat, Imam Bolan berwasiat kepada penduduk setempat untuk

tidak menutup kuburnya dengan tanah selama tiga hari dan untuk

sementara ditutup dengan papan. Ia juga menganjurkan kepada

penduduk setempat untuk datang melihatnya setelah beberapa

menit dimakamkan. Setelah melewati beberapa menit (± 5 menit)

mereka pergi melihatnya dan ternyata yang ditemukan hanyalah

kain kafannya, sedangkan jasadnya tidak ditemukan atau meng-

hilang (moksa), akhirnya mereka menutup kuburnya dengan

tanah.

Berdasarkan cerita di atas dapat disimpulkan bahwa teori

yang mengatakan bahwa penyebaran Islam biasanya diawali

dengan perdagangan tidak selalu menjadi pijakan. Salah satu

buktinya adalah islamisasi di daerah Lerabaing, Alor. Baik me-

nurut Susan maupun Rodeimeier sepakat bahwa dakwah di Alor

atas perintah dari Kerajaan Ternate agar SKG dan para penga-

Page 12: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

500

walnya berdakwah di daerah NTT.20

Para pendakwah tersebut

memiliki ilmu agama yang mumpuni dan memiliki karomah

yang luar biasa sehingga mampu berdakwah kepada penduduk

setempat dengan hal-hal supranatural yang biasa dimiliki oleh

para waliyullah. Selain melalui dakwah, penyebaran Islam juga

melalui perkawinan. Hal ini dilakukan juga oleh SKG dengan

menikahi penduduk setempat yang kemudian mewariskan hirarki

keagamaan yang turun-temurun ke anak cucunya. Islamisasi me-

lalui pendidikan agama dan tasawuf, juga dilakukan oleh SKG

kepada penduduk setempat. Secara politik, SKG mendapatkan

kepercayaan dari Raja Kui untuk menjadi penasehat pribadi Sang

Raja. Beliau juga mewarnai pengembangan seni budaya tradi-

sional yang bercorak animisme dan dinamisme dengan budaya

Islam.21

Sumber: Dokumen Susanne Rodemeier, 1989.22

Gambar 1.

Masjid At-Taqwa Lerabaing sebelum renovasi

20

Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor and

Pantar Islands,” 30. 21

Rosita Baiti, Abdur Razzaq, “Teori Dan Proses Islamisasi di

Indonesia,” 142-145. 22

Rodemeier, “Islam in the Protestant Environment of the Alor and

Pantar Islands.”, 32.

Page 13: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

501

Sumber: Dokumen Ali Fahrudin, Masjid At-Taqwa Lerabaing, 2017.

Gambar 2.

Masjid At-Taqwa Lerabaing setelah renovasi

Masjid Lerabaing dan Kearifan Lokal

dalam Penyiaran Islam

Masjid Lerabaing dan Bukti Penyiaran Islam

Rumah ibadah yang pertama kali dibangun oleh SKG

adalah musala kecil yang disebut ropo. Ketika tempat ibadah ini

tidak dapat menampung jamaah, maka timbullah ide untuk men-

dirikan masjid. Untuk mewujudkan ide ini, diutuslah seorang

utusan ke Pulau Andora (Flores), untuk mengetahui konstruksi

masjid di sana. Utusan tersebut berhasil membuat gambar atau

konstruksi masjid dengan cara menganyam dengan memakai

batang-batang bulun (sejenis rumput).

Masjid At-Taqwa Lerabaing didirikan SKG pada tanggal

16 Rabiulawal 1042 H atau tahun 1633 M,23

bersama Raja

Kinanggi Atamalai dengan dibantu empat suku di bawahnya.

Saat hari pertama pembangunan masjid, SKG memerintahkan

23

Tahun pembangunannya tercantum jelas dalam ukiran yang terdapat

pada sudut pagar kayu masjid ini, namun gambarnya hilang dari file penulis.

Page 14: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

502

orang-orang untuk keluar dari Kampung Lerabaing. Setelah

selesai shalat Subuh, SKG mendirikan sendiri 4 (empat) tiang

utama (soko guru) dengan menggunakan media bambu gila

(buryaman). Pada sisi keempat tiang utama tersebut terdapat uki-

ran atau hiasan sesuai motif dari masing-masing suku yang

berada di ibukota Kerajaan Kui, yakni Suku Ler, Suku Koilelan,

Suku Kletuwas, dan Suku Malangkabat. Khusus untuk Suku

Malangkabat ukiran tiang utamanya dikerjakan sesuai dengan

petunjuk atau ilham yang diperoleh dari salah satu sesepuh ma-

syarakat. Pada saat pengerjaannya, dibuat dinding mengelilingi

tiang utama tersebut untuk menghindari peniruan motif dari

suku-suku lain. Setelah dibangun empat tiang utama itu, pendu-

duk diperintahkan untuk kembali ke kampung Lerabaing.24

Masjid tersebut berbentuk rumah panggung atau layang,

tanpa menggunakan paku, hanya menggunakan pasak dan tali

rotan. Dinding pada bagian dasar dipasang papan berukir dan

pada bagian atas menggunakan pelepah pohon enau dan

lantainya menggunakan belahan bambu. Atap Masjid pada saat

pertama kali dibangun menggunakan batang aur (bulu). Pada

panel-panel cungkup (atap) terdapat ukiran yang berbentuk rang-

kaian bunga. Masjid ini berbentuk segi empat sama sisi, luasnya

11 x 11 m². Bangunan masjid yang unik dan spesifik ini

menggambarkan perpaduan antara kebudayaan pra Islam dengan

kebudayaan Islam sehingga Islam mudah diterima oleh pendu-

duk setempat.

Ada beberapa benda bersejarah sebagai bukti peninggalan

SKG yang sampai saat ini masih ada. Benda-benda tersebut

antara lain: 4 tongkat yang kegunaannya antara lain untuk untuk

khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha, dan untuk

memenangkan perang atau tolak bala; 2 buah rotan yang diguna-

kan untuk meluruskan saf dan satu lagi untuk mengusir makhluk

halus serta untuk meredakan angin dan ombak.

Selain itu, ada tiga manuskrip khutbah, masing-masing

digunakan untuk khutbah Jumat, khutbah Idul Fitri, dan khutbah

Idul Adha; ada tiga pisau, masing-masing digunakan untuk pe-

24

Susan, Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya Masjid di

Lerabaing,12.

Page 15: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

503

nyembelihan hewan kurban (2 buah) dan untuk mengkhitan satu

buah; ada dua piring, mangkuk dan cangkir; Juga ada perahu dan

meriam yang dinamakan senjata subhana; Ada satu buah mushaf

Al-Qur’an yang telah rusak; Ada dacin atau alat berupa tongkat

untuk penimbangan zakat fitrah dan daging hewan qurban; Ada

kayu untuk alas kepala hewan pada saat penyembelihan hewan

qurban, dan dua buah tasbih.

Sumber: Dokumen Ali

Fahrudin, Masjid At-Taqwa

Lerabaing,2017.

Gambar 4.

Mimbar dan tongkat

Sumber: Dokumen Ali

Fahrudin, Masjid At-Taqwa

Lerabaing, 2017.

Gambar 3.

Peninggalan SKG: pisau

penyembelihan kurban

dan tasbih

Barang-barang yang disimpan di rumah SKG (Lebah Ou),

antara lain: rotan, pisau penyembelihan hewan kurban, mangkuk,

cangkir, piring, Al-Qur’an, tasbih dan jangkar. Sedangkan tong-

kat, kayu alas kepala hewan, dacin, dan meriam (senjata pem-

bom) yang dinamakan subhana, disimpan di masjid. Adapun teks

khutbah dan pisau khitanan disimpan di rumah Bung Sumpit

(Modin Ou).

Page 16: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

504

Mimbar Masjid At-Taqwa sangat sederhana berbentuk per-

segi panjang dengan ukuran panjang dan tinggi 200 cm x lebar

75 cm. Mimbar tersebut memiliki dua anak tangga dan satu

tempat duduk khatib. Materialnya terbuat dari bambu dan kayu.

Empat sisi mimbar diberi tabir putih sebagai lambang kesucian.

Bagian atasnya terdapat semacan cungkup segi empat.

Mihrab atau tempat imam menjorok ke dalam untuk uku-

ran satu orang imam. Mihrab tersebut berukuran panjang 120 cm

dan lebar 150 cm. Dinding dan lantai masjid terbuat dari belahan

bambu. Jendelanya ada 7 buah.

Analisis Bangunan Masjid

Masjid At-Taqwa Lerabaing berbentuk bujur sangkar

dengan tipe bangunan berbentuk rumah panggung atau layang.

Bangunan yang mempunyai 4 tiang utama (soko guru) dan 20

tiang penyangga ini mengingatkan pada gaya arsitektur Melayu

tradisional. Pada sisi keempat tiang utama tersebut terdapat

lukisan, ukiran atau hiasan dengan pola-pola hias daun-daunan

dan hiasan geometrik (ilmu ukur). Pola-pola hias daun-daunan

(floral design) ini memiliki persamaan dengan hiasan-hiasan

permadani atau sajadah buatan Persia yang sudah dikenal sejak

abad VI M. Ukiran atau hiasan pada keempat tiang utama itu,

tidak menunjukkan persamaan bentuk, model dan isi tulisan.

Ukiran atau hiasan tersebut menggambarkan tentang lambang

seni atau simbol dari keempat suku yang berada di Lerabaing,

yakni: Suku Ler, Koilelan, Kletuwes dan Malangkabat.

Ukiran tiang utama pada sisi barat daya (ukiran tiang

utama dari Suku Malangkabat) diberi nama ukiran “Apargen atau

bubu,“ yaitu salah satu alat penangkapan ikan yang dibuat dari

bambu. Motif dasarnya mengikuti pola anyaman menyerupai

sulur-sulur anyaman alat penangkapan ikan tersebut sehingga

bisa dilihat secara cermat berlainan dengan motif ukiran atau

hiasan dari ketiga tiang utama lainnya. Pengerjaannya mengikuti

petunjuk atau ilham yang diperoleh salah satu sesepuh dari suku

Malangkabat dan pembuatannya secara rahasia dengan dibuatkan

dinding mengelilingi tiang utama tersebut untuk menghindari

peniruan motif oleh suku-suku lain. Ukiran itu menggambarkan

penghormatan khusus kepada SKG.

Page 17: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

505

Pada puncak keempat tiang utama dipasang papan berukir

sebagai palang. Ukiran pada palang itu menggunakan pola hiasan

dedaunan dan hiasan geometrik. Bagian dasar dinding masjid

juga dipasang papan berukir dengan pola-pola hias yang sama,

yakni pola hias daun-daunan dan geometrik. Apabila diamati

pola-pola hias atau ukiran yang diabadikan oleh para seniman di

Lerabaing, memperlihatkan seni ukir dan seni hias berbentuk

sebuah artefak (benda) makhluk hidup. Namun, mereka mengo-

lah artefak makhluk hidup tersebut dengan menstilir (distyler)

sedemikian rupa dengan pola-pola hias daun-daunan dan hiasan

geometrik sehingga lukisan-lukisan makhluk hidup itu tersamar.

Adapun hukum lukisan-lukisan makhluk hidup tersebut,

para ulama berbeda pendapat. Yusuf al-Qardhawi mengatakan

jika yang digambar itu bukan manusia atau sesuatu yang disuci-

kan oleh agama tertentu atau gambar yang tidak menimbulkan

bayangan seperti patung, yakni yang digambar di kain, tembok,

atau papan maka hukumnya boleh karena tidak ada nas yang

secara tegas mengharamkannya.25

Adapun hadis Rasulullah yang

memerintahkan Aisyah untuk menyingkirkan gambar yang ada

di bantal, menurut sebagian ulama bukan termasuk keharaman,

namun termasuk makruh karena sebagian ulama tersebut

memaknai gambar di bantal sebagai bentuk kemewahan.26

Dengan demikian, lukisan yang terdapat di masjid ini tidak

bertentangan dengan ajaran Islam.

Masjid At-Taqwa mempunyai tiga pintu utama, tujuh buah

jendela, dan serambi pada bagian Timur. Serambi tersebut

digunakan sebagai tempat istirahat atau santai pada saat selesai

sembahyang, atau untuk mempersiapkan hidangan pada upacara-

upacara keagamaan. Serambi masjid dipagari dengan papan dan

pada kedua sisi serambi dipasang tangga menuju pintu masuk

masjid. Pada bagian atas tangga terdapat ukiran dengan pola

hiasan dedaunan yang di dalamnya terdapat gambar menyerupai

kadal yang diapit dua ekor burung. Gambar kadal tersamar dalam

25

Tarmizi, Membuat Gambar dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi

UIN Ar-Raniri Aceh (Aceh: UIN Ar-Raniri, 2018), 44. 26

Yusuf Al-Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, ed. Mu’ammal

Hamidi (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), 146.

Page 18: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

506

hiasan daun-daunan. Secara filosofis, gambar kadal menunjuk-

kan bahwa seseorang yang hendak menghadap atau menyembah

Tuhannya haruslah berjalan merangkak (baca: merendahkan

diri) dihadapan-Nya. Secara mitologis gambar kadal mempunyai

nilai mistis. Jika dihubungkan dengan pendirian Masjid Demak

yang dibangun oleh para wali dalam semalam, konon dibantu

oleh binatang-binatang, seperti: kura-kura, katak hijau dan

kadal.27

Sedangkan gambar burung yang tersamar di hiasan

dedaunan, secara filosofis menggambarkan tentang Kemahating-

gian atau Kemahakuasaan Allah serta kemuliaan bagi orang yang

selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Gambar burung mengisya-

ratkan pada keseimbangan antara aspek eksoteris (syariah) dan

aspek esoteris (tasawuf) sebagaimana diumpamakan oleh kaum

sufi, yaitu “terbanglah dengan dua sayap menuju Tuhanmu.“

Dalam ilmu pewayangan Islam, kayon atau gunungan yang biasa

dipakai dalam pertunjukan wayang memiliki hiasan bermacam-

macam binatang, seperti: harimau, banteng, kera, kalajengking,

kijang, ular dan burung yang melambangkan tingkatan nafsu

manusia.28

Burung melambangkan nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang

cenderung pada kesucian.29

Gambar burung juga memiliki

kesamaan dengan lambang kesultanan Ternate yang mengguna-

kan lambang burung dengan dua kepala dan di dalamnya terda-

pat gambar hati yang melambangkan menyatunya dua hati antara

sultan dan rakyatnya.

Simbol naga terletak pada sisi selatan masjid, diletakkan

berdekatan dengan pintu gerbang ke Kampung Lerabaing. Sim-

bol naga, melambangkan kekuasaan dan keperkasaan seorang

raja yang selalu mengayomi dan melindungi rakyatnya. Naga

juga menggambarkan utusan Tuhan, berwujud malaikat yang

27

Effendi Zarkasjih, Unsur Islam dalam Pewayangan (Bandung: Al-

Ma’arif, 1983), 64. 28

Muhajirin, “Dari Pohon Hayat Sampai Gunungan Wayang Kulit

Purwa (Sebuah Fenomena Transformasi Budaya),” dalam Imaji, Vol. 8, No. 1,

2010, 56. https://doi.org/10.21831/imaji.v8i1.66. 29

Effendi Zarkasjih, Unsur Islam dalam Pewayangan, 149.

Page 19: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

507

akan menolong manusia.30

Hal ini memiliki kesamaan dengan

keraton atau kesultanan di Jawa dan Ternate, yang biasanya

menggunakan simbol naga sebagai aksesoris ruangan terutama

pada ukiran lemari dan alat-alat kesenian. Ukiran naga biasanya

dibuat khusus dan diletakan di samping kursi sultan.

Bentuk atau tipe Masjid At-Taqwa Lerabaing, sebagaimana

tipe masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya berbentuk

bujur sangkar, di bagian depan (kadang-kadang di bagian sam-

ping) terdapat serambi dan sebuah ruang yang menjorok keluar

pada sisi barat sebagai mihrab. Bentuk tersebut kiranya masih

mengikuti pola dasar masjid yang pertama didirikan oleh Nabi

Muhammad Saw. di Quba pada tahun 622 M.

Masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya mempu-

nyai atap bersusun atau bertingkat yang berbentuk menyerupai

limas, piramida atau kerucut. Masjid-masjid kuno di Jawa dan

beberapa tempat di luar Jawa mempunyai susunan atau tingkat

bervariasi. Pertama, susun dua, antara lain: Masjid Agung

Cirebon, Masjid Ampel Karangasem Bali31

dan Masjid Gala

Sunan Pandanarang.32

Kedua, susun tiga, antara lain: Masjid

Agung Demak dan Masjid Agung Banda Aceh. Ketiga, Susun

lima, antara lain: Masjid Agung Ternate.33

Masjid At-Taqwa adalah salah satu masjid yang mempu-

nyai susunan atap tingkat dua dari bangunan induk dengan satu

sayap berbentuk piramida. Karena bangunan yang saling dihu-

bungkan, maka mau tidak mau orang akan merujuk pada

Mugatha atau Suntu dalam arsitektur Islam di Timur Tengah dan

India. Bagian atas masjid memiliki atap tumpang berbentuk

30

Marwoto dan Maryono A., “Simbol Arsitektur Kota Religi, Studi

Kasus: Kota Demak,” dalam Reinterpretasi Identitas Arsitektur Nusantara,

Prosiding Seminar Nasional, Bali: Universitas Udayana, 2013, 39-49. 31

Asep Saefulah, “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu

Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan,

Vol. 11, No. 2, 2013, 39. 32

Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, “Islamisasi Jawa Bagian

Selatan : Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten,” Jurnal Lektur Keagamaan,

Vol. 11, No. 2, 2013, 49. 33

Uka Tjandrasasmita, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran

(Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 128.

Page 20: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

508

kerucut yang berukuran kecil sangat mirip dengan apa yang

disebut dalam seni rupa Islam sebagai liwan, dan di puncak atap

tersebut dipasang mahkota yang berbentuk kelopak bunga yang

sedang mekar mengingatkan orang agar menjalankan kehidupan

dunia dan akhirat harus berjalan seimbang dan ditujukan atau

dipusatkan pada Tuhan, sebagai sumber dari segala eksistensi.

Panel-panel cungkup (atap) masjid memiliki hiasan berupa daun-

daunan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga

menyerupai bunga seroja. Sedangkan pada pinggiran atap ada

talang air yang menjorok keluar, hiasannya berbentuk pucuk

rebung mengingatkan orang akan adanya nafas Melayu

tradisional.

Lambang atau simbol-simbol tersebut biasanya dipakai

sebagai mahkota pada upacara-upacara adat atau pada saat

kegiatan kesenian seperti lego-lego, dimana setiap laki-laki dan

perempuan dari masing-masing suku menggunakan lambang atau

simbol-simbol tersebut. Biasanya simbol-simbol tersebut dipa-

sang diikat kepala bagian depan atau bagian belakang, atau ditan-

capkan pada ikatan rambut.

Secara tipologis, Masjid At-Taqwa Lerabaing mengikuti

pola bangunan yang berasal dari tradisi masyarakat setempat

yakni berupa rumah panggung, sedangkan bagian atapnya meng-

ikuti tipologi masjid Bali dan Jawa yang susun dua seperti:

Masjid Agung Cirebon, Masjid Ampel Karangasem Bali34

dan

masjid Gala Sunan Pandanarang.35

Bangunan dengan atap susun dalam pengertian arsitektur

Bali disebut Meru. Meru yang lazim pada pura di Bali bertingkat

sebelas. Atas dasar itu, GF. Pijper berpendapat bahwa bangunan

dengan atap susun merupakan kelanjutan tradisi dari Meru.36

Secara umum bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia, melan-

jutkan tradisi bangunan pra Islam (terutama Hindu dan Buddha),

namun secara fungsional terdapat perbedaan yang jelas, antara

34

Asep Saefulah, “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem,” 39. 35

Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, “Islamisasi Jawa Bagian

Selatan: Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten,” 49. 36

Glistin dan Brandes, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran

(Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 128.

Page 21: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

509

lain: arah mihrab menuju ke kiblat, adanya mimbar yang diper-

gunakan khatib dalam berkhutbah, dan adanya menara tempat

azan. Hal-hal tersebut menunjukkan konsepsi tempat ibadah

umat Islam.

Berdasarkan kerangka kronologi di atas, Masjid At-Taqwa

Lerabaing memiliki data penanggalan dibangun pada 16 Rabiul-

awal 1042 H atau tahun 1633 M.37

Hal tersebut sejalan dengan

rincian tipologinya. Secara tipologis, bangunan masjid ini seperti

bangunan-bangunan masjid di Indonesia abad XIV sampai XVII.

Pada abad XVIII dan XIX Masehi, masjid kuno mengalami

perubahan desain, karena masuknya pengaruh Eropa atau Timur

Tengah dan Asia Selatan. Bangunan masjid kuno yang dibangun

di Indonesia pada abad tersebut lebih banyak menunjukan desain

arsitektur Mongol dan Persia.

Pada kedua abad terakhir itu terjadi perubahan komposisi

bahan bangunan dari kayu ke bangunan tembok batu bata.

Umumnya bangunan yang lebih tua lebih banyak menggunakan

bahan bangunan kayu, sedangkan bangunan yang lebih muda

banyak menggunakan tembok batu atau bata.

Tipe atap bersusun pada masjid di Indonesia yang menye-

rupai limas, piramida dan kerucut menunjukkan ciri-ciri

bangunan masjid yang dibangun pada abad XIV sampai XVII M.

Sedangkan bentuk atap masjid dengan kubah menunjukkan ciri

masjid yang lebih kemudian.

Dari uraian di atas, maka Masjid At-Taqwa Lerabaing,

adalah kategori masjid kuno di Indonesia bagian Timur, yang

didirikan antara abad XIV sampai XVII M, tepatnya pada abad

XVII M. Komposisi bahan bangunan Masjid At-Taqwa

Lerabaing berasal dari kayu, dengan susunan atap tingkat dua

berbentuk piramida. Pada bagian atas terdapat atap tumpang

yang berukuran kecil dan di puncak atap tersebut dipasang

kamusan.

37

Tahun pembangunannya tercantum jelas dalam ukiran yang terdapat

pada sudut pagar kayu masjid ini, namun gambarnya hilang dari file penulis.

Page 22: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

510

Masjid sebagai Sarana Pendidikan

Masuknya ajaran Islam di Lerabaing tidak banyak mengu-

bah proses pendidikan yang biasa dilakukan masyarakat. Hanya

saja, pengajaran Al-Qur’an sudah mulai dilakukan dengan cara

orang tua mencarikan guru ngaji bagi anak-anaknya. Kadang-

kadang anak-anak belajar di rumah guru atau guru mengajar di

masjid. Imbalan untuk guru mengaji tergantung dari kerelaan

orang tua murid. Adakalanya gurunya dibayar dengan tenaga si

murid, misalnya dengan membantu gurunya mengambil air, kayu

bakar, dan membersihkan kebun, ada pula dengan cara mem-

berikan imbalan berupa benda seperti hasil pertanian, parang,

seperangkat pakaian shalat dan lainnya. Semuanya tergantung

pada kemampuan orang tua anak.

Sistem yang dipakai dalam mengajar adalah sistem meniru

dan menghafal (metode Bagdadi). Guru duduk menghadapi

murid-muridnya, guru membaca lalu diikuti murid-murid. Mula-

mula mengeja huruf demi huruf dengan tanda bacanya lalu kata

demi kata hingga dapat membaca Al-Qur’an dengan baik. Ketika

mereka sudah mahir membaca, guru mulai mengajarkan pem-

bacaan Al-Qur’an tingkat berikut, yakni membacanya dengan

irama. Irama ini mengandung tingkatan nada yang disebut

(nagham), seperti: bayati, hijaz, jawabul jawab, sikha, dan

hijazkar.38

Dengan demikian, sejak zaman dahulu para ulama

sudah berinisiatif mengajarkan kesenian dalam membaca Al-

Qur’an untuk menggantikan nyanyian-nyanyian yang dilantun-

kan penduduk setempat.

Ejaan para guru dalam mengajarkan muridnya di daerah

tersebut adalah ejaan dalam bahasa Arab, Indonesia (Melayu),

dan ejaan dalam bahasa Kui. Dalam pengajian ini murid-murid

hanya diajarkan membaca, tidak diajarkan menulis. Istilah meng-

ajar seperti ini di Kampung Lerabaing disebut dengan mengaji

pamumpu.

Selain itu, pengajaran juga dilakukan di masjid dengan

adanya ceramah pada waktu malam selesai salat Magrib sampai

38

Saidah Haris Harith, Muhammad Lukman Ibrahim, and Mustaffa

Abdullah, “Ilmu Tarannum Al Qur’an: Sejarah dan Perspektif,” dalam Jurnal

Darul Quran, Vol. 32 No. 19, 2015, 144.

Page 23: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

511

menjelang salat Isya, bahkan berlanjut hingga dini hari dengan

sistem halaqah (murid mengelompok membentuk lingkaran). Isi

ceramah ini menyangkut cerita-cerita sejarah para rasul mulai

dari Nabi Adam As., hingga Nabi Muhammad Saw., atau hikayat

sufistik dan hal-hal lain yang berkaitan dengan syariah dan

sebagainya. Media lain yang dipakai sebagai tempat berdakwah

adalah ketika pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Saat itu, para mubalig mengadakan ceramah-ceramah agama

kepada khalayak yang hadir, sebagaimana kebiasaan orang

Indonesia zaman sekarang.39

Kearifan Lokal dalam Penyiaran Islam

Islam mengajarkan bahwa ketertiban sosial akan terjamin

jika peraturan-peraturan syariah ditegakkan, karena peraturan-

peraturan tersebut berfungsi sebagai penjaga ketertiban sosial.

Ketika hukum agama (syariah) Islam diintegrasikan ke dalam

hukum adat, maka terbentuklah suatu konsepsi yang berkembang

di masyarakat Kui yang dikenal sebagai Adam Kamma. Kamma

adalah aturan-aturan Tuhan yang diintegrasikan ke dalam Adam,

yaitu aturan-aturan adat. Syariah dimasukkan sebagai salah satu

unsurnya dan disosialisasikan pada berbagai strata kehidupan

masyarakat pemeluknya. Hal ini berlaku pula pada tatanan

kebudayaan, terutama perkawinan (akad nikah), akikah,

khitanan, faraid (hukum waris), dan sebagainya. Agama Islam

telah mempengaruhi pola-pola budaya mereka. Semua unsur-

unsur budaya masyarakat Kui, dapat disesuaikan dalam Islam.

Nilai-nilai tradisi itu berlanjut dan diselaraskan pula dengan

nilai-nilai Islam. Tradisi yang tidak bertentangan dengan Islam

tetap dilestarikan, sembari dimasukkan nilai-nilai Islam yang

lebih penting di dalamnya. Strategi dakwah inilah yang diadopsi

dari walisongo.40

Salah satu yang bisa diamati adalah pada kesenian tradisio-

nal masyarakat Kui, seperti lego-lego (dar), yaitu suatu kegiatan

39

Wawancara dengan Imam Masjid At-Taqwa, tanggal 31 Mei 2017 40

Hatmansyah, S.Ag., ME, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo,”

dalam Al-Hiwar: Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol. 3, No. 5, 2017, 93

https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.

Page 24: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

512

seni yang dilakukan secara bersama-sama (kelompok/suku) de-

ngan membentuk suatu lingkaran dengan berpegangan tangan

dan melantunkan syair-syair yang diiringi dengan irama musik

tradisional (gong dan tambur).41

Kalau kita melihat bentuk seni

ini akan terlihat adanya pola pembagian wilayah kesukuan atau

kekeluargaan dalam lingkaran itu, atau lebih tepatnya dapat

dikatakan pola pendekatan muhrim. Setiap orang yang masuk

lingkaran itu harus satu suku dengannya atau keluarga dekatnya

(muhrim) dan dilarang keras untuk melewati batas wilayah kesu-

kuan dalam lingkarannya. Dalam seni ini, terlihat adanya

penerapan syariah secara sungguh-sungguh.

Selain budaya tradisional ada juga seni budaya Islam,

misalnya barzanji (berisikan salawat Nabi dan puji-pujian kepa-

da Allah), syair-syair atau tembang-tembang yang bercirikan

dakwah, seni musik rebana, gambus, seni suluk, bacaan salawat,

dan sebagainya.42

Perkembangan seni ini mampu beradaptasi

dengan masa di mana pemeluknya bermukim. Ini terlihat pada

upacara-upacara perkawinan, akikah, khitanan, dan acara silatu-

rahmi pada hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Setiap suku

memberi selamat pada suku lain, mereka melantunkan salawat

Nabi secara bersama-sama menuju suku yang akan diberi

selamat.

Masyarakat Kui juga biasanya melakukan upacara sesuci

yang lebih dikenal dengan mandi safar dan upacara selamatan

atau erba basa. Upacara sesuci atau mandi safar ini dilaksanakan

di bawah pimpinan seorang tokoh agama (Jou atau Imam). Jou

atau Imam menulis doa-doa di atas selembar kain putih, kemu-

dian kain tersebut di gantung di dalam aliran sungai. Setelah itu,

orang-orang disuruh untuk mandi di dalam air tersebut.

Upacara selamatan atau erba basa dilaksanakan setelah

hari raya Idul Fitri. Pelaksanaannya semua penduduk Lerabaing

pergi ke sungai Lerabaing secara bersama-sama dengan memba-

41

Wamanah Hamap Demang, “Eksistensi Tarian Lego-Lego sebagai

Alat Pemersatu Masyarakat,” Skripsi Universitas Muhammadiyah Mataram,

2019, 103. 42

Ahmad Farhan Holidi and Miftahus Surur, “Memasyaratkan Shola-

wat Nariyah di Bumi Nusantara,” dalam Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an

Dan Hadist, Vol. 2, No. 1, 2019, 54. https://doi.org/10.35132/ albayan.v2i1.

Page 25: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

513

wa perlengkapan upacara berupa nasi tumpeng (do lan ma),

ketupat, kleso, daging, ikan, dan sayur-sayuran, serta kue (susur).

Upacara ini dimulai dengan mandi bersama dengan pembagian

wilayah pemandian secara terpisah antara laki-laki dan perem-

puan. Mandi bersama ini sebagai simbol pembersihan atau

penyucian diri bahwa setiap manusia telah kembali menjadi

pribadi yang fitrah atau suci. Kemudian dilanjutkan dengan

pembacaan doa selamat oleh Jou atau Imam sebagai ucapan

syukur kepada Tuhan, bahwa manusia telah selamat dari perang

melawan hawa nafsu, penyakit, dan bencana. Setelah itu mereka

menikmati hidangan secara bersama-sama. Demikianlah bebera-

pa tradisi masyarakat Lerabaing dalam menjalankan kegiatan

adat istiadat diiringi dengan prosesi keagamaan. Tujuannya

adalah merekatkan tali silaturahim antarwarga dan doa bersama

menjauhkan diri dari bala dan bencana.

PENUTUP

Kajian ini menunjukkan bahwa sejarah masuknya Islam di

Pulau Alor Nusa Tenggara Timur dimulai sejak kedatangan

seorang ulama yang berasal dari Ternate yakni Sultan Kimales

Gogo. Hal ini terjadi pada tahun 1619 M atau 1028 H. Berkat

karomahnya, SKG berhasil mengislamkan Raja Kui yang berna-

ma Kinanggi Atamalai. Ibarat mengambil pohon, jika akarnya

dicabut, maka dahan dan buahnya ikut serta tercabut. Demi-

kianlah yang dilakukan SKG, setelah beliau mengislamkan Raja

Kui, maka seluruh pejabat dan rakyatnya dengan sukarela masuk

agama Islam. Tujuan SKG ke daerah tersebut memang untuk

berdakwah, bukan untuk berdagang. Ini mematahkan teori bahwa

Islamisasi Nusantara diawali dengan perdagangan. Setelah

dakwah masuk, tahap berikutnya sesuai dengan teori yang ada,

yakni menikahi penduduk setempat, mengajarkan ilmu agama,

termasuk tasawuf, masuk dalam politik pemerintahan, dan

mengubah tradisi dan budaya lokal agar tidak bertentangan

dengan syariat Islam.

SKG bersama penduduk Lerabaing mendirikan Masjid At-

Taqwa pada tahun 1042 H atau 1633 M. Inskripsi tahun pendiri-

annya ini terungkap di salah satu tiang masjid. Pembangunan

masjid dilakukan setelah 14 tahun Islam masuk ke Lerabaing.

Page 26: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

514

Sebelum mendirikan masjid, SKG dan umat Islam mendirikan

salatnya di musala yang disebut ropo. Masjid At-Taqwa ini

dibangun oleh empat suku besar yang bekerja secara gotong

royong mendirikan masjid. SKG membangun sendiri 4 (empat)

tiang utama (soko guru) dengan menggunakan media bambu gila

(buryaman). Masing-masing bambu tersebut diberi ukiran sesuai

kekhasan masing-masing suku. Masjid yang berukuran 11 x 11

m² ini berbentuk segi empat. Atapnya cungkup bertingkat dua,

berbeda dengan Masjid Demak yang memiliki tiga tingkat.

Kearifan lokal yang diintegrasikan antara agama dan adat

istiadat Lerabaing antara lain: a) Peraturan adam kamma, yakni

aturan-aturan Tuhan yang harus dilaksanakan dan disosialisasi-

kan bagi semua strata kehidupan masyarakat pemeluknya. Hal

ini menyangkut pada tatanan kebudayaan, terutama perkawinan

(akad nikah), akikah, khitanan, faraid (hukum waris), dan

sebagainya; b) kesenian tradisional masyarakat Kui, seperti lego-

lego (dar), yaitu suatu kegiatan seni yang dilakukan secara

bersama-sama (kelompok/suku) dengan membentuk suatu ling-

karan dengan berpegangan tangan dan melantunkan syair-syair

yang diiringi dengan irama musik tradisional (gong dan tambur);

c) kesenian tradisi Islam, seperti: barzanji (berisikan salawat

Nabi dan puji-pujian kepada Allah), syair-syair atau tembang-

tembang yang bercirikan dakwah, seni musik rebana, gambus,

seni suluk, bacaan salawat, dan sebagainya; d) upacara sesuci

yang lebih dikenal dengan mandi safar, yang dilaksanakan diba-

wah pimpinan seorang tokoh agama (Jou atau Imam); e) Upacara

selamatan atau erba basa yang dilaksanakan setelah hari Raya

Idul Fitri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arndt, SVD Paul. Agama Asli di Kepulauan Solor. Flores: Puslit

Candraditya Maumere, 2003.

Brandes dan Glistin. Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran.

Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Page 27: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 18, No. 2, 2020: 489 - 516

515

Demang, Wamanah Hamap. “Eksistensi Tarian Lego-Lego Seba-

gai Alat Pemersatu Masyarakat.” Skripsi Universitas

Muhammadiyah Mataram, 2019.

Gomang, Syarifuddin R. Hubungan Antar Etnis di Indonesia.

Kupang: Tesis Fakultas Ilmu Administrasi Universitas

Nusa Cendana, 1993.

Marwoto, Maryono A. “Simbol Arsitektur Kota Religi, Studi

Kasus: Kota Demak.” dalam Reinterpretasi Identitas Arsi-

tektur Nusantara, Prosiding Seminar Nasional, Bali: Uni-

versitas Udayana, 2013.

Al-Qardhawi, Yusuf. Halal Haram dalam Islam. Edited by

Mu’ammal Hamidi. Jakarta: Bina Ilmu, 1993.

Susan, Muklis M. Sejarah Masuknya Islam dan Berdirinya

Masjid di Lerabaing. Kalabahi: Dinas Budaya dan Pariwi-

sata, 2000.

Tarmizi. Membuat Gambar dalam Perspektif Hukum Islam,

Skripsi UIN Ar-Raniri Aceh, 2018.

Tim Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama. Sejarah Islam

untuk Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kucica, 1993.

Tjandrasasmita, Uka. Penelitian Agama, Masalah dan Pemiki-

ran. Jakarta: Sinar Harapan, 1982.

Zarkasjih, Effendi. Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung:

Al-Ma’arif, 1983.

Jurnal

Baiti, Rosita dan Abdur Razzaq. “Teori dan Proses Islamisasi di

Indonesia.” dalam Wardah, Vol. 15, No. 28, 2014.

Firmanto, Alfan.“Masjid Kuno di Pulau Haruku Propinsi Maluku

(Kajian Sejarah, Bentuk dan Fungsi).” Jurnal Lektur

Keagamaan, Vol. 14, No. 1, 2016, 1-28. https://doi.org/10.

31291/jlk.v14i1.470.

Harith, Saidah Haris, Muhammad Lukman Ibrahim, and

Mustaffa Abdullah. “Ilmu Tarannum Al Qur’an: Sejarah

dan Perspektif.” in Jurnal Darul Quran, Vol. 32, No. 19,

2015.

Page 28: MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH …

MASJID LERABAING: KEARIFAN LOKAL DAN SEJARAH

PENYEBARAN ISLAM DI NUSA TENGGARA TIMUR— Ali Fahrudin

516

Hatmansyah,. “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo.” dalam

Al-Hiwar : Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol. 03, No.

05, 2017. https://doi.org/10.18592/al-hiwar.v3i5.1193.

Holidi, Ahmad Farhan, Miftahus Surur. “Memasyarakatkan

Sholawat Nariyah di Bumi Nusantara.” Al-Bayan: Jurnal

Ilmu Al-Qur’an dan Hadist, Vol. 02, No. 01, 2019.

https://doi.org/10.35132/albayan.v2i1.54.

Imansyah, Retno Kartini Savitaningrum. “Islamisasi Jawa

Bagian Selatan : Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten.”

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 01, No. 02 (2013): 42–54.

Muhajirin. "Dari Pohon Hayat Sampai Gunungan Wayang Kulit

Purwa: Sebuah Fenomena Transformasi Budaya", dalam

Imaji, Vol. 08, No. 01, 2010. https://doi.org/10. 21831/

imaji.v8i1.6656.

Rema, Nyoman, Hedwi Prihatmoko. “Potensi Arkeologi di Pulau

Alor.” dalam Kalpataru, Vol. 25, No. 02, 2016. https://

doi.org/10.24832/kpt.v25i2.109.

Rodemeier, Susanne. “Islam in the Protestant Environment of the

Alor and Pantar Islands.” Indonesia and the Malay World,

Vol. 38, No. 110, 2010. https://doi.org/10.1080/ 1363981

1003665363.

Rusdiyanto. “Kesultanan Ternate dan Tidore.” dalam Aqlam:

Journal of Islam and Plurality, Vol. 03, No. 01, 2018, 44-

53 https://doi.org/10.30984/ajip.v3i1.631.

Saefulah, Asep. “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem : Salah

Satu Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata.” dalam

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 02, 2013.