30
Mental Model Anggota kelompok : Aldila Rosalina / 1206301652 Ary Faddila / 1206192191 Dania Kosim / 1206301721 Dewi Kartika / 1206301740 Dian Fitri / 1206192424 Doris Tobing / 1206301753 Elfiyanti / 1106039913 Indra Yanti / 1206301886 Luzi Adriyanti / 1601201923 M. Zaidan Jauhari / 1206301936 Sarwanti / 1206193692 Nanang Sugiarto / 1206193326 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Makalah Mental Model Edit Minggu Malam (1)

Embed Size (px)

Citation preview

Mental Model

Anggota kelompok :

Aldila Rosalina / 1206301652

Ary Faddila / 1206192191

Dania Kosim / 1206301721

Dewi Kartika / 1206301740

Dian Fitri / 1206192424

Doris Tobing / 1206301753

Elfiyanti / 1106039913

Indra Yanti / 1206301886

Luzi Adriyanti / 1601201923

M. Zaidan Jauhari / 1206301936

Sarwanti / 1206193692

Nanang Sugiarto / 1206193326

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia

2012

Daftar Isi

Pendahuluan

Tinjauan Pustaka

I. Definisi Mental Model

II. Pembentukan Mental Model

III. Mental Model dan Pemimpin

IV. Mental Model dan Organisasi

Kasus dan Pembahasan

Kesimpulan dan Komentar

Daftar Pustaka

Pendahuluan

1

Berbagai perubahan pada dekade terakhir ini digambarkan oleh banyak ahli

manajemen sebagai suatu turbulent (angin kencang yang berubah arah), organisasi yang

sangat cepat mengalami perubahan, ditambah dengan iklim kompetisi antar organisasi yang

semakin kuat menuntut organisasi apapun untuk selalu mampu mengalami perubahan dan

persaingan. Organisasi harus mampu berkompetisi dengan sesama, juga harus mampu

berkompetisi dengan lembaga lain. Untuk mampu berkompetisi tersebut organisasi harus

mampu melihat berbagai kebutuhan dan harapan stakeholder1.

Rumah Sakit sebagai suatu organisasi juga mengalami hal yang sama. Upaya untuk

selalu memenuhi kebutuhan dan harapan stakeholder inilah yang kemudian menuntut Rumah

Sakit untuk meningkatkan mutu layanan dan produknya. Namun sayangnya, kebutuhan dan

harapan stakeholder bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis,

bahkan seringkali perubahannya berlangsung sangat cepat dan tidak berpola. Kondisi ini tentu

akan sangat memukul Rumah Sakit, jika Rumah Sakit tersebut tidak memiliki kemampuan

untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan cepat. Dengan kata lain, untuk dapat selalu

menjaga mutu produk dan layanannya Rumah Sakit juga harus memiliki kemampuan untuk

selalu berubah menyesuaikan diri dengan kondisi yang berkembang. Rumah Sakit yang

memiliki kemampuan dan kelenturan untuk berubah tersebut hanya dapat dicapai jika Rumah

Sakit tersebut memiliki kemampuan mengelola sumber daya manusia (SDM) dengan baik1.

Seperti kita ketahui bahwa Rumah sakit adalah suatu organisasi dan menurut

definisinya organisasi adalah wadah sekumpulan orang yang saling berinteraksi untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penyelenggaraan kegiatan

organisasi, personil didalamnya akan saling berbagi tugas, mengatur pembagian kewenangan

dan tanggungjawab, membuat prosedur kerja, aturan dan sebagainya untuk memudahkan

mereka bekerja. Seorang pemimpin akan mengarahkan, mengkoordinasikan dan menentukan

keputusan untuk keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, oleh

karenanya kualitas seorang pemimpin dengan kepemimpinannya sangat berpengaruh dan

penting dalam suatu organisasi1.

Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-

aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (Shared Goal) (Hemhiel

and Coons, 1957). Sedangkan menurut Jacobs and Jacques (1990) kepemimpinan adalah

sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang

mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.

Kepemimpinan akan berjalan secara efektif dan efisien apabila dilaksanakan oleh seorang

pemimpin. Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi

2

perilaku orang lain atau kelompok, tanpa mengindahkan bentuk alasannya, sedangkan

kepemimpinan adalah proses kegiatan memimpin1.

Salah satu bentuk kepemimpinan menggunakan pendekatan perubahan adalah

“Kepemimpinan Stratejik dengan Pendekatan Organisasi Pembelajaran.” Organisasi

pembelajaran (Learning Organization) bersumber pada konsep yang dikemukakan oleh Peter

Senge (1990), yaitu organisasi yang orang-orangnya secara terus-menerus meningkatkan

kapasitasnya untuk menciptakan hasil-hasil yang sungguh-sungguh mereka inginkan, terus

menerus mengembangkan dan memelihara pola-pola pikir baru dan sistemik, membebaskan

aspirasi-aspirasi kolektif berkembang, dan mereka terus belajar bersama-sama secara

sinerjik1.

Organisasi Pembelajar

Definisi organisasi pembelajaran adalah tempat dimana ada sekelompok orang yang

selalu meningkatkan kapasitas atau kemampuannya demi untuk mencapai tujuan yang sangat

mereka dambakan1.

Definisi lain tentang organisasi pembelajaran yang lain adalah dari Pedler, Boydell

dan Burgoyne yang mendefinisikan bahwa organisasi pembelajaran adalah “Sebuah

organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus

mentransformasikan diri”. Menurut Lundberg (Dale, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran

adalah “suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan

keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya”2.

Menurut Peter Senge (1990) organisasi pembelajar adalah organisasi dimana orang

terus-menerus memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang benar-benar

mereka inginkan, dimana pola baru dan ekspansi pemikiran diasuh, dimana aspirasi kolektif

dibebaskan, dan dimana orang terus-menerus belajar melihat bersama-sama secara

menyeluruh. Alasan dasar untuk organisasi tersebut adalah bahwa dalam situasi perubahan

yang cepat hanya mereka yang fleksibel, adaptif dan produktif yang dapat bertahan. Agar hal

ini terjadi, ia berpendapat bahwa organisasi perlu menemukan bagaimana memanfaatkan

komitmen orang dan kapasitas untuk belajar pada semua tingkat’ (Senge, 1990)3.

Menurut Peter Senge, belajar yang nyata adalah sampai kepada hakekat apa artinya

menjadi manusia. Kita menjadi mampu untuk menciptakan kembali diri kita sendiri. Hal ini

berlaku untuk baik individu dan organisasi. ‘”Belajar Survival” atau yang lebih sering disebut

“belajar adaptif” adalah pentingdan perlu bagi organisasi pembelajar, selain itu “belajar

3

adaptif” harus digabungkan dengan “belajar generatif”, belajar yang meningkatkan kapasitas

kita untuk menciptakan’3.

Teori lima disiplin yang diidentifikasikan Peter Senge merupakan kunci untuk

mencapai organisasi jenis ini. Dimensi Learning Organization Peter Senge (1999)

mengemukakan bahwa di dalam learning organization yang efektif diperlukan 5 dimensi

yang akan memungkinkan organisasi untuk belajar, berkembang, dan berinovasi yakni:

1. Personal Mastery

Kemampuan untuk secara terus menerus dan sabar memperbaiki wawasan agar

objektif dalam melihat realitas dengan pemusatan energi pada hal-hal yang strategis2.

2. Mental Model

Suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, keyakinan, dan prasangka

atas rangsangan yang muncul2.

3. Shared Vision

Komitmen untuk menggali visi bersama tentang masa depan secara murni tanpa

paksaan2.

4. Team Learning

Kemampuan dan motivasi untuk belajar secara adaptif, generatif, dan

berkesinambungan2.

5. System Thinking

Organisasi pada dasarnya terdiri atas unit yang harus bekerja sama untuk

menghasilkan kinerja yang optimal. Kesuksesan suatu organisasi sangat ditentukan

oleh kemampuan organisasi untuk melakukan pekerjaan secara sinergis2.

Kelima dimensi dari Peter Senge tersebut perlu dipadukan secara utuh, dikembangkan

dan dihayati oleh setiap anggota organisasi, dan diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.

Kelima dimensi organisasi pembelajaran ini harus hadir bersama-sama dalam sebuah

organisasi untuk meningkatkan kualitas pengembangan SDM, karena mempercepat proses

pembelajaran organisasi dan meningkatkan kemampuannya untuk beradaptasi pada perubahan

dan mengantisipasi perubahan pada masa depan2.

Selain hal yang disebutkan diatas,beberapa pemikiran dasar (premises) dalam

pendekatan pembelajaran,yaitu bahwa :

1. Kepemimpinan diperlukan di semua level, tidak hanya dipuncak untuk lebih

memudahkan koordinasi, maupun pengambilan keputusan sesuai levelnya1.

4

2. Dibutuhkan pemimpin yang selalu mencari perubahan melalui peningkatan nilai-

nilai, proses pelaksanaan atau praktek dan sumber daya (values, practice and

resources) 1.

3. Dibutuhkan pemimpin yang senantiasa mendorong pembelajaran, membentuk

tatanan sosial dalam organisasinya sedemikian rupa sehingga mampu

menghasilkan modal intelektual seperti : gagasan, metoda / cara (know how),

inovasi, pengetahuan dan keahlian1.

Tinjauan Pustaka

5

Pada bab tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang Mental Model yang merupakan

salah satu dari Teori Lima Disiplin yang diidentifikasikan oleh Peter Senge dan merupakan

kunci untuk mencapai keberhasilan organisasi.

I. Definisi Mental Model

Peter Senge mendefinisikan model mental sebagai semua asumsi, generalisasi, bahkan

gambaran yang tersimpan kuat dalam pikiran dan perasaan sehingga mempengaruhi segala

tindakan, perilaku dan pandangan tentang kehidupan dan dunia pada umumnya5.

The discipline of mental models starts with turning the mirror inward; learning to

unearth our internal pictures of the world, to bring them to the surface and hold them

rigorously to scrutiny. It also includes the ability to carry on “learningful” conversations that

balance inquiry and advocacy, where people expose their own thinking efectively and make

that thinking open to the influence of others. (Senge 1990:9)6.

Mental Model adalah ‘asumsi yang tertanam, generalisasi, atau bahkan gambar dan

gambar yang mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia dan bagaimana kita mengambil

tindakan’. Hal tersebut tergambar pada perilaku kita dan cerminkan dari tindakan kita3.

Didalam mempelajari model mental (mental models) dimulai dengan melihat cerminan

diri sendiri, mengembangkan kemampuan yang diri sendiri dan kemampuan untuk

‘learningful’, mengungkapkan pemikiran secara efektif dan membuat pemikiran terbuka

untuk mempengaruhi orang lain3,6.

Mental models merupakan satu dari lima disiplin yang dikemukakan Peter Senge

(1990). Mental models merupakan refleksi diri, menelusuri dan mendukung, dimana orang-

orang mengekspos pemikiran sendiri secara efektif dan menjadikan pemikiran yang terbuka

terhadap pengaruh orang lain6.

Tjakraatmadja dan Lantu (2006:189) menyatakan bahwa model mental

menggambarkan kemampuan para anggota organisasi untuk melakukan perenungan,

mengklarifikasi dan memperbaiki gambaran-gambaran internal (pemahaman) tentang dunia,

yang dilandasi oleh prinsip-prinsip serta nilai-nilai yang sarat dengan moral etika6.

Senge (1996:8) menyatakan These are ‘deeply ingrained assumptions,

generalizations, or even pictures and images that influence how we understand the world and

how we take action’ bahwa model mental adalah asumsi yang sangat melekat umum, atau

bahkan suatu gambaran dari bayangan / citra yang berpengaruh bagaimana kita memahami

dunia dan bagaimana kita mengambil tindakan6.

6

Sehingga model mental dapat dikatakan sebagai konsep diri, yang dengan konsep

tersebut akan menghasilkan pengambilan keputusan yang baik6

II. Pembentukan Mental Model

Mental Model berasal dari pengamatan dengan pengetahuan, informasi-informasi

membentuk skemata-skemata sehingga terbentuklah mindset atau yang disebut model mental7.

Salah satu teori dasar pembentukan mental model adalah yang disampaikan oleh Cris Argyris

yaitu The Ladder of Inference atau tangga Argyris, yang kemudian dikembangkan oleh Peter

Senge. “The Ladder Of Inference” adalah suatu proses seperti tangga dalam mengambil

kesimpulan. Teori ini berasal dari Chris Argyris kemudian dikembangkan oleh Peter Senge

dalam Learning Organization. Menurut teori ini ada tingkatan dalam mengambil kesimpulan

yaitu4:

1. Reality and fact (kenyataan dan fakta)

2. Selected reality (kenyataan yang terseleksi)

3. Interpreted reality (kenyataan yang diinterprestasikan)

4. Assumtion (asumsi)

5. Conclutions (kesimpulan-kesimpulan)

6. Beliefs (keyakinan)

7. Action (bertindak)

Gambar 1. Tingkatan Pengambilan Keputusan

Sumber : http://www.mindtools.com/pages/article/newTMC_91.htm unduh 28/10/2012

Dengan menerapkan the ladder inference akan membantu kita terhindar dari membuat

kesimpulan yang salah dan mengabaikan fakta-fakta4.

7

Kepustakaan lain menyebutkan Model mental (Mental Model) adalah suatu prinsip

yang mendasar dari organisasi pembelajar. Model mental adalah suatu aktivitas perenungan

yang dilakukan dengan terus menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-

gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan

keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam

tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi.

Model mental merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap

individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang

dihadapinya. Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang,

yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. Model mental ini

kemudian menghasilan cara berfikir atau mindset8.

Gambar 2: Mental Model

Sumber : http://www.google.co.id/search?

num=10&hl=id&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1024&bih=

8

Gambar 3 : Mental Model

Sumber : http://www.google.co.id/search?

num=10&hl=id&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1024&bih=

Didalam proses terbentuknya mental model terdapat hal tersebut dibawah ini, yaitu:

a. Konstruksi : menciptakan sesuatu mencari pola dan makna yang paling semu9.

b. Penghapusan : memilih dan menyaring pengalaman, menutupi beberapa bagian9.

c. Distorsi : pengalaman yang berliku mengubah pengalaman, mengurangi dan

melengkapi bagian memberikan arti yang berbeda dengan kenyataan (reading different

meaning into it) 9.

d. Generalisasi : gambaran umum atas semua kejadian yang sama menciptakan sesuatu

dari pengalaman dan mempresentasikan kelompok9.

Selain proses tersebut diatas, didalam pembentukan suatu model mental terdapat Teori

Chris Argyris (Teori Dewasa dan Tidak Dewasa) yang merupakan pengembangan dari Teori

X dan Y. Teori X dan Teori Y oleh Mc.Gregor berdasarkan atas penelitiannya pada organisasi

tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, hubungan

piramida antara atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja ekstrenal, adalah pada

hakikatnya berdasarkan atas asumsi-asumsi mengenai sifat manusia dan motivasinya. Teori X

menyatakan bahwa sebagian besar manusia lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa

tanggungjawab, serta menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka

kepercayaaanya ialah orang-orang hendaknya dimotivasi dengan uang, gaji, honorarium dan

diperlakukan dengan sanksi hukuman. Untuk menutupi kelemahan dari asumsi teori X itu,

maka McGregor memberikan alternative teori lain yang dinamakan teori Y. asumsi teori Y

merupakan kebalikan dari teori X10.

Teori Argyris menambahkan bahwa ada perbedaan antara sikap dan perilaku pada diri

seseorang. Menurut Argyris, ada tujuh perubahan yang terjadi di dalam kepribadian seseorang

jika ia berkembang ke kedewasaan.

a. Seseorang itu akan bergerak dari suatu keadaan pasif sebagai anak-anak, ke suatu

keadaan yang bertambah aktivitasnya sebagai orang dewasa10.

b. Seseorang akan berkembang dari suatu keadaan yang tergantung kepada orang lain ke

suatu keadaan yang relatif merdeka sebagai orang dewasa10.

c. Seseorang bertindak hanya dalam cara sedikit sebagai anak-anak, tetapi sebagai orang

dewasa ia akan mampu bertindak dalam berbagai cara10.

9

d. Seseorang itu mempunyai minat yang tidak menentu, kebetulan dan tidak begitu

mendalam dan kuat minatnya sebagai orang dewasa10.

e. Persfektif waktu bagi anak-anak adalah singkat, hanya melibatkan waktu kini, tetapi

sebagai orang dewasa maka perspektif waktunya bertambah menjangkau masa lalu

dan masa yang akan datang10.

f. Seorang sebagai anak-anak, ia berada di bawah pengendalian setiap orang

(Subordinary to every one) 10.

g. Sebagai anak-anak, seseorang kurang kesadaran akan dirinya, tetapi sebagai orang

yang sudah matang ia tidak hanya sadar, tetapi mampu untuk mengendalikan dirinya10.

III. Mental Model dan Pemimpin

Kegagalan dalam mewujudkan ide dan gagsan cemerlang dalam suatu organisasi

kerap tidak dapat terwujud . Hal tersebut seringkali disebabkan mental model (pola pandang

dan persepsi) para anggota organisasi terhadap suatu kejadian sekelilingnya tidak sama atau

berbeda satu sama lain dan hal ini akan mempengaruhi tindakan terhadap pandangan realitas

tersebut. Tindakannya akan produktif bila mental modelnya sesuai (mendekati) realitas. Bila

mental modelnya tidak sesuai dengan realitas keputusan akan berlawanan dengan realitas1.

Dalam kaitan hal tersebut sangat penting bagi setiap pimpinan untuk memliki

kemampuan untuk mengatasi model-model mental yang tidak sesuai dengan tujuan

organisasi, dengan tujuan meningkatkan efektivitas keputusan dan menghindari konflik dan

mempercepat penyelesaian masalah.Mental model yang tidak sesuai dengan realitas obyektif

akan menimbulkan keputusan / tindakan keliru terhadap realitas sehingga timbul konflik dan

masalah tidak terselesaikan1.

Pemimpin dalam menyesuaikan dan menumbuhkembangkan kesamaan mental model

anggota organisasi yang sesuai dengan realitas kolektif harus mempunyai kemampuan hal hal

dibawah ini,yaitu:

1. Ladder of Inference, yaitu urutan berpikir dalam menganggapi suatu kejadian. Dalam

hal ini jangan terlalu cepat menyimpulkan (leap of abstraction), yaitu terlalu cepat

pindah dari pengamatan langsung (concrete data) kepada kesimpulan tanpa pengujian.

Harus mampu berpikir dengan tenang dan dengan tata urut yang jelas sehingga dapat

diperoleh suatu kesepakatan dan keputusan untuk bertindak dengan lebih obyektif1.

2. Left Hand Column¸ yaitu kemampuan mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tertutup.

Dalam hal ini jangan mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada dalam

10

pikiran. Masih ada pemimpin yang hanya bermanis bibir (lip service) untuk

mengatakan pemberdayaan, belajar dari kesalahan dan seterusnya tetapi tindak nyata

tidak sesuai dengan perkataan tersebut. Komitmen yang dibangun disini adalah

kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, dan integritas. Warren Bennis (2002)

mengemukakan bahwa integritas adalah landasan kepercayaan, bukan sekedar bahan

kepemimpinan, namun lebih merupakan hasil kepemimpinan. Integritas adalah sebuah

kualitas yang tidak dapat diperoleh, namun harus dimiliki. Tanpa integritas pemimpin

tidak akan berfungsi. Dengan demikian keberadaan kepemimpinan yang berintegritas

adalah yang tanggap, bermoral, beretika, serta profesional dalam mengelola

permasalahan dan tuntutan publik. Komitmen terhadap kejujuran dan integritas ini

selanjutnya menjadi norma serta dilakukan secara fokus, serius, ikhlas yang diawali

diri sendiri. Anwar Suprijadi mempertegas hal ini bahwa yang harus dimiliki oleh

seorang pemimpin adalah kepercayaan (trust). Kepercayaan harus dibangun melalui

integritas dan kompetensi. Kepercayaan akan ada jika pemimpin itu mempunyai jati

diri sebagai individu yang patut dipercaya karena kejujurannya, komitmennya dan

kompetensinya. Dengan kepercayaan, pemimpin akan mendapat dukungan terutama

dari pihak-pihak yang berkaitan dengan perubahan. Dalam birokrasi, kepercayaan dan

dukungan yang diperlukan adalah dari atas maupun dari bawahan, juga perlu

diperhatikan dukungan publik1.

IV. Mental Model dan Organisasi

Mental model memungkinkan manusia bekerja dengan lebih cepat. Namun, dalam

organisasi yang terus berubah, mental model ini kadang-kadang tidak berfungsi dengan baik

dan menghambat adaptasi yang dibutuhkan. Dalam organisasi pembelajar, mental model ini

didiskusikan, dicermati, dan direvisi pada level individual, kelompok, dan organisasi2.

Adapun dimensi model mental meliputi :

1. Prinsip dan nilai-nilai : seluruh anggota organisasi mengetahui dan memiliki prinsip-

prinsip dan nilai-nilai yang dimiliki bersama6.

11

2. Mengkaji ulang kebiasaan : mengkaji ulang nilai-nilai bersama yang ada untuk

diselaraskan dengan kondisi lingkungan6.

3. Memperkuat kebersamaan : anggota organisasi selalu berusaha untuk memelihara dan

memperkuat kebersamaan6.

Jika organisasi adalah untuk mengembangkan kapasitas untuk bekerja dengan model mental

maka akan diperlukan bagi orang untuk belajar keterampilan baru dan mengembangkan

orientasi baru, dan untuk mereka untuk menjadi perubahan institusional yang mendorong

perubahan tersebut. Mental model yang sudah berdiri kuat menggagalkan perubahan yang

dapat berasal dari sistem pemikiran3.

Kasus dan Pembahasan

Dari beberapa kepustakaan diatas, kami merangkum apa yang dimaksud dengan mental model

dan bagaimana prosesnya, yaitu :

1. Dari semua asumsi, generalisasi, bahkan gambaran yang tersimpan kuat dalam pikiran

dan perasaan sehingga mempengaruhi segala tindakan, perilaku dan pandangan

tentang kehidupan dan dunia pada umumnya, atau

12

2. Dari suatu proses menilai diri sendiri untuk memahami, asumsi, keyakinan, dan

prasangka atas rangsangan yang muncul, atau

3. Dari proses berpikir seseorang tentang bagaimana sesuatu bekerja di dunia nyata. Ini

adalah representasi dari dunia sekitarnya, hubungan antara berbagai bagian dan

persepsi intuitif seseorang tentang tindakannya sendiri dan konsekuensinya. Model

mental dapat membantu membentuk perilaku dan menetapkan pendekatan untuk

memecahkan masalah (mirip dengan personal algoritma) dan melakukan tugas-tugas,

atau

4. Sebuah model mental adalah semacam simbol internal atau representasi dari realitas

eksternal, diduga memainkan peran utama dalam kognisi, penalaran, dan pengambilan

keputusan, atau

5. Dari suatu aktivitas perenungan yang dilakukan dengan terus menerus

mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia,

dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental

terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan

bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental

merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu

untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya.

Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang

dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. Dalam

pembahasan terdahulu model mental ini kemudian menghasilan cara berfikir atau

mindset, atau

6. Dari suatu proses bercermin, sinambung memperjelas, dan meningkatkan gambaran

diri kita tentang dunia luar, melihat bagaimana mereka membentuk keputusan  kita

dan tindakan kita. Menurut Senge dalam membentuk mental models di perlukan

terjadinya ‘metanoia’ yaitu pergeseran mindset atau perubahan cara berpikir, atau

7. Dari asumsi mendalam, generalisasi dan gambaran yang mempengaruhi bagaimana

memahami dunia sekitar serta bagaimana mengambil langkah berikutnya, atau

8. Dari gambar atau bayangan yang mempengaruhi bagaimana kita memandang dunia

dan bagaimana kita bertindak.

Membangun mental models orang-orang yang terlibat dan beragam di rumah sakit

adalah penting. Namun lebih penting lagi adalah bagaimana mengembangkan model mental

bersama untuk mencapai tujuan organisasi/rumah sakit. Tindakan yang harus dilakukan

13

membangun model mental secara efektif adalah dengan mengembangkan keterbukaan

terhadap kritik dari sesama anggota organisasi. Keterbukaan terhadap kritik tidak hanya

berlaku bagi pemimpin rumah sakit, tapi bagi seluruh anggota organisasi rumah sakit.

Didalam sebuah rumah sakit yang mempunyai struktur organisasi berjenjang yaitu

Direktur Utama, Direktur Medik dan Keperawatan dan Kepala Bidang Keperawatan, dapat

terjadi masalah beberapa masalah yang berkaitan dengan mental model yang dapat

menghambat kesuksesan sebuah rumah sakit. Berikut ini beberapa contoh yang dapat terjadi,

antara lain :

1. Tipe penyakit Model Mental yang dapat kita temui pada level top manajemen, antara

lain:

a. Memiliki ketakutan untuk merubah sistem kerja yang ada, meskipun

mengetahui sistem yang ada sekarang sudah tidak mampu lagi membawa

kemajuan perusahaan. Ketakutan ini muncul karena kekhawatiran bahwa

perubahan sistem dapat membawa dampak yang lebih buruk dari situasi yang

ada saat ini.

b. Sifat tidak ingin dibantah oleh bawahan, dan merasa bahwa ide dan

gagasannya adalah yang terbaik karena sudah melalui proses pengalaman kerja

yang panjang. Hal ini menyebabkan tidak berkembangnya sistem

pembaharuan, dan kreativitas yang dimiliki oleh para staf atau manajer pada

perusahaan tersebut. (Expert Blindness)

c. Menganggap perubahan-perubahan eksternal (kebijakan pemerintah,

pergeseran pola permintaan konsumen, fluktuasi pola penyakit setiap tahun),

sebagai ancaman terhadap kestabilan kinerja perushaan. Tidak mampu

mengambil sikap untuk bagaimana menjadikan perubahan-perubahan eksternal

yang ada sebagai sebuah peluang dan kekuatan baru bagi perusahaan.

d. Pemilik rumah sakit berasumsi dengan membangun rumah sakit dengan

gedung yang besar dan bangunan yang mewah akan menarik pasien. Hal ini

tidak sesuai dengan realita bahwa rumah sakit tersebut dibangun dikalangan

masyarakat menengah yang tidak mampu membayar. Pemilik tidak menyadari

membangun rumah sakit tidak hanya membutuhkan bangunan tetapi juga

manajemen dan peralatan yang baik, sehingga pada akhirnya dana sudah habis

hanya untuk pembangunan gedung. Hal ini berakibat rumah sakit tidak bisa

membeli peralatan yang baik dan merekrut SDM yang berkualitas karena

14

terbentur gaji. Dampaknya, tidak ada dokter spesialis yang mau praktek

sebagai fulltime karena tidak lengkapnya sarana prasarana, banyak tenaga

kesehatan yang keluar karena gaji yang tidak sesuai, dan tidak adanya

manajemen yang solid. Dana banyak dihabiskan untuk biaya operasional

gedung yang tinggi (listrik, kebersihan). Mindset pihak pemilik agar segera

balik modal karena sudah menghabiskan banyak biaya membuat tarif rumah

sakit tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat sekitar.

e. RS sedang tertimpa masalah hukum dan media tentang penyalahgunaan obat

yang tidak sesuai prosedur sehingga mengakibatkan kunjungan pasien

menurun. Mental model pemimpin melihat realita bahwa kondisi ini akan

merugikan rumah sakit dan dia berasumsi akan dipecat oleh pemilik rumah

sakit. Pemimpin akan mencari solusi yaitu melakukan kerja sama dengan pihak

askes dengan perjanjian yang merugikan rumah sakit. Keputusan itu berhasil

menyelamatkan rumah sakit karena pasien tetap masih ada (yang berasal dari

askes). Namun ternyata, semakin lama kerugian semakin membesar dan

akhirnya pasien askes mulai ditolak dengan alasan penuh yang akan berakibat

kerepotan merujuk dan merugikan pasien.

2. Penyakit Model Mental lain yang dapat ditemukan pada level staf dan manajer madya

antara lain:

a. Hanya ingin mengetahui sistem kerja departemen yang ditempatinya, dan

enggan untuk melihat lebih luas sistem kerja rumah sakit secara keseluruhan.

Model mental seperti ini memiliki kecenderungan pengkotak-kotakan sistem,

sehingga dapat berujung pada sikap “I am my position”.

b. Memiliki ketakutan untuk menyuarakan ide dan pendapat apabila dinilai takut

bertentangan dengan keinginan direksi. Padahal ide atau pendapat yang dia

miliki sebetulnya dapat membuat kemajuan perusahaan.

c. Takut melakukan argumentasi dengan atasan karena kekhawatiran akan

diberhentikan atau tidak disukai atasan.

d. Pemimpin tidak memberikan ruang bagi manajer lini dan manajer madya untuk

mengembangkan ide dan pemikirannya, namun hanya memberikan instruksi

tanpa memberikan kesempatan untuk mengembangkan ide-ide sehingga para

manajer tergantung kepada pimpinan. Dengan demikian apabila terjadi

masalah di lapangan mereka tidak berani untuk mengambil keputusan karena

tidak mau atau takut bertanggung jawab. Hal ini akan berakibat pelayanan dan

15

keluhan pelanggan yang harusnya diatasi dengan cepat menjadi berlarut-larut

dan lambat, sehingga tentunya akan menimbulkan ketidakpuasan dari

pelanggan. Semua orang didalam organisasi akan cenderung untuk berpusat

pada pimpinan Rumah Sakit dan manajer tidak difungsikan dengan maksimal

sehingga tentunya akan lambat untuk belajar.

3. Contoh penyakit Model Mental yang sering ditemukan di lingkungan kerja RS kita,

antara lain :

a. Dokter spesialis dibayar sangat murah, dibatasi obat dan tindakan yang akan

dilakukan untuk pasien askes menyebabkan mereka tidak mau menjadi

fulltimer dan mencari pendapatan lain di luar RS sehingga RS tidak bisa

memberi pelayanan yang optimal.

b. Model mental dokter spesialis yang menulis resep tidak jelas karena berasumsi

bahwa dokter tidak masalah jika tulisannya jelek. Hal ini tentu saja

membahayakan pasien karena dapat menimbulkan kesalahan pembacaan resep

dan pemberian obat. Pihak farmasi yang sulit memahami tulisan para dokter,

justru kadang dimarahi karena menyebabkan bias terjadinya kesalahan

pemberian obat yang fatal bagi pasien.

c. Mental model seorang dokter spesialis yang mengambil tesis penyakit TB

membuat dia beranggapan sebagian besar orang TB dan mengobati TB tidak

sesuai prosedur. Dampaknya pasien dengan mual muntah, gagal ginjal, gagal

jantung, geriatri semua dipukul rata diberi OAT yang menambah keluhan

pasien.

d. Dokter jaga tidak visit pasien di ruangan dengan alasan mereka dikontrak

untuk jaga UGD dan tidak ada fee visit di ruangan. Pihak manajemen

mengganggap jaga ruangan adalah satu paket tugas dan tanggung jawab

mereka jaga. Mental model yang dilakukan dokter jaga karena asumsinya dia

hanya jaga ruangan dan dari penalarannya visit pasien ruangan dia tidak

dibayar jadi dia tidak visit.

e. Petugas rumah sakit yang menganggap pasien hanya sebagai orang sakit yang

butuh pertolongan atau beban dan mengaitkan pelayanan (jasa) dengan

pendapatan. Hal ini menyebabkan banyak sikap dari petugas yang kurang tepat

sehingga pelayanan yang diberikan memuaskan. Mereka terkadang

menunjukkan tidak sepenuh hati, kurang peduli akan kebutuhan pasien, dan

kurang ramah kepada pasien, dan lain-lain. Tidak adanya penyatuan visi dari

16

pemimpin rumah sakit untuk memajukan rumah sakit sehingga memberikan

pelayanan yang lebih baik kepada pasien. Pelayanan pasien yang meningkat

seharusnya disertai dengan tunjangan kesejahteraan yang juga meningkat.

Kesemua contoh penyakit Model Mental di atas dapat berdampak pada buruknya kualitas

pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, untuk itu adalah tugas tiap pemimpin untuk menyadari

penyakit Model Mental yang dimiliki oleh organisasinya dan mencari solusi terbaik guna

mencapai perubahan ke arah kemajuan.

Kesimpulan dan Komentar

1. Model mental secara tidak sadar mempengaruhi dan membentuk bagaiman kita dalam

bertindak dan memandang suatu kejadian yang ada disekeliling kita

2. Dua orang yang berbeda mental model akan menggambarkan suatu kejadian yang

sama secara berbeda.

3. Cara mental model membentuk persepsi sangat penting dalam manajemen

4. Mental model yang sudah melekat akan menghambat terjadinya perubahan perubahan

dalam individu dan organisasi

17

Daftar Pustaka

1. Hamdani, I. “Kepemimpinan Stratejik dengan Pendekatan Organisasi Pembelajaran :

Strategi Menantisipasi Perubahan.”

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1405188199.pdf (diunduh 26 Oktober 2012)

2. “Organisasi Belajar.” http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_belajar (diunduh 28

Oktober 2012)

3. “Peter M. Senge: Organisasi Pembelajar.” http://perilakuorganisasi.com/peter-m-

senge-organisasi-pembelajar.html (diunduh 26 Oktober 2012)

4. http://www.mindtools.com/pages/article/newTMC_91.htm unduh 28/10/2012

(diunduh 28 Oktober 2012)

18

5. Suryohadiprojo, S. “Membangun Model Mental Yang Tepat.”

http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1086 (diunduh 26 Oktober 2012)

6. http://repository.upi.edu/operator/upload/s_adpend_0705248_chapter2.pdf (diunduh

25 Oktober 2012)

7. Zulyadaini. “Model Mental dan Pemimpin.”

http://zulyadai.wordpress.com/2012/06/19/model-mental-dan-pemimpin/ (diunduh 26

Oktober 2012)

8. http://www.uinmalang.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=1699:organisasi-pembelajar&catid=35:artikel-

dosen&Itemid=210 (diunduh 26 Oktober 2012)

9. Rahardijanto, T.H. “Teori Sistem.” kk.mercubuana.ac.id/files/42004-7-

145163489210.doc (diunduh 26 Oktober 2012)

10. Idrus, A. “Teori Motivasi.” http://formasiprima.blogspot.com/2008/02/teori-motivasi-

motivasi-berasal-dari.html (diunduh 26 Oktober 2012)

19