43
SEMINAR ARTIKEL JURNAL Clinical Efficacy of A New Monofilament Fibre-Containing Wound Debridement Product KRITISI JURNAL Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgikal RSUD dr. Saiful Anwar Malang Oleh: Kelompok 6 - Profesi PSIK A 2010 1. Ana Istiqomah 105070207111003 2. Ma’rifatul Kisabana 105070201111004 3. Dini Widya Ayuningtyas105070200111006 4. Fitri Ayuning Ulansari105070200111039

Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gdggf

Citation preview

Page 1: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

SEMINAR ARTIKEL JURNAL

Clinical Efficacy of A New Monofilament

Fibre-Containing Wound Debridement Product

KRITISI JURNAL

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgikal

RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:

Kelompok 6 - Profesi PSIK A 2010

1. Ana Istiqomah 105070207111003

2. Ma’rifatul Kisabana 105070201111004

3. Dini Widya Ayuningtyas 105070200111006

4. Fitri Ayuning Ulansari 105070200111039

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

Page 2: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun

luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien

dengan luka adalah 3.50 per 1000 populasi penduduk. Mayoritas luka pada

penduduk dunia adalah luka karena pembedahan atau trauma (48.00%), ulkus kaki

(28.00%), luka dekubitus (21.00%). Pada tahun 2009, Med Market Diligence, sebuah

asosiasi luka di Amerika melakukan penelitian tentang insiden luka di dunia

berdasarkan etiologi penyakit. Diperoleh data untuk luka bedah ada 110.30 juta

kasus, luka trauma 1.60 juta kasus, luka lecet ada 20.40 juta kasus, luka bakar 10

juta kasus, ulkus dekubitus 8.50 juta kasus, ulkus vena 12.50 juta kasus, ulkus

diabetik 13.50 juta kasus, amputasi 0.20 juta per tahun, karsinoma 0.60 juta per

tahun, melanoma 0.10 juta, komplikasi kanker kulit ada sebanyak 0.10 juta kasus

(Diligence, 2009).

Luka adalah rusaknya struktur jaringan dan fungsi anatomis normal sebagai

akibat adanya proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal yang

mengenai organ tertentu (Potter & Perry, 2006). Upaya yang dilakukan untuk

menyembuhkan luka bertujuan meminimalkan efek dari luka tersebut akan tetapi

pada umumnya tingkat kesembuhannya tidak sesuai dengan yang diharapkan (Sari,

2009). Perawat harus memahami fisiologi penyembuhan luka dan ditantang untuk

memberikan pengkajian luka berdasarkan pengetahuan integritas kulit dan

pencegahan infeksi (Morison, 2004). Menurut Tarigan (2005), peran perawat dalam

perawatan luka sangat penting, karena keberhasilan penyembuhan luka sangat

tergantung pada penanganan yang tepat. Untuk penanganan yang tepat maka

seorang perawat harus terampil dan memahami prinsip tentang perawatan luka.

Perawatan luka dilakukan terdiri dari proses pembersihan luka, debridemen,

pemberian zat antiseptik dengan bahan alami dan pembalutan (Sari, 2009).

Berdasarkan konsep fisiologi, setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan

mengupayakan pengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak dengan

membentuk struktur baru dan fungsional sama dengan keadaan sebelumnya (Tawi,

2008). Namun, apabila penyembuhan terjadi pada kulit yang mengalami luka terbuka

yang lebar sehingga tepinya tidak dapat saling didekatkan maka akan lebih banyak

jaringan granulasi yang terbentuk sehingga jaringan tersebut sering terlihat menutupi

dasar luka seperti sebuah karpet yang lembut, yang mudah berdarah jika disentuh.

Page 3: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Pada keadaan lain, jaringan granulasi sebenarnya tumbuh di bawah keropeng

dimana akan terlepas setelah penyembuhan lengkap. Sebagian orang sering tidak

sabar menunggu dan melepaskan keropeng tersebut pada stadium penyembuhan

yang belum lengkap sehingga seluruh proses penyembuhan ini memerlukan waktu

yang lebih lama dan biasanya terbentuk jaringan parut yang lebih luas dimana

hasilnya kurang diharapkan pada penyembuhan luka (Wilson, 2006).

Apabila luka telah terinfeksi pada masa yang cukup lama, maka waktu

penyembuhannya tidak sesuai lagi dengan kondisi normal. Hal ini jika tidak

mendapatkan penanganan yang benar dapat menimbulkan kerusakan yang lebih

luas pada jaringan tubuh di sekitarnya sehingga menyebabkan jaringan yang terluka

menjadi mati atau nekrosis. Hal ini juga dapat mengakibatkan penyebaran infeksi

keseluruh tubuh melalui darah, seperti kejadian sepsis sehingga dapat mengancam

nyawa seseorang (Kusmawan, 2009). Walaupun sudah banyak dikembangkan obat-

obatan yang digunakan sebagai penanganan luka seperti Silver Sulfadiazine,

Bacitracin dan Mafenide Acetate yang merupakan agen anti microbial atau

Hydrocolloids dan Hydrogel sebagai Absorptive dressings, namun efisiensi dan

efektifitas dari perbaikan jaringan yang terluka menjadi suatu pokok dalam

kelangsungan hidup manusia (Singer & Dagum, 2008). Oleh karena itu, dalam

penyembuhan luka telah menarik banyak generasi penyedia pelayanan kesehatan,

dan berbagai macam strategi telah digunakan untuk mempercepat dan

menyempurnakan proses penyembuhan luka (Huttenlocher & Horwitz, 2007).

Metode debridement yang tersedia saat ini untuk perawat umum meliputi

debridement mekanik, autolitik, gauze dan surgikal debridement. Beberapa metode

debridement tersebut masih memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Ketika

memilih sebuah metode, dokter atau perawat harus menyadari semua pilihan dan

menentukan apakah ia memiliki atau tidak keterampilan dan pengetahuan untuk

melakukan itu, dan menilai potensi risiko bagi pasien (Wounds UK, 2013). Jika

dokter atau perawat tidak memiliki keterampilan, ia harus merujuk pasien ke

spesialis perawatan luka yang mampu melakukan hal tersebut.

Baru-baru ini, metode selektif baru debridement mekanis. Monofilament fiber

telah diperkenalkan ke pasar. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengulas

tentang artikel jurnal yang dilakukan oleh Bahr dan Mustafi et al. (2011) berjudul

“Clinical efficacy of a new monofilament fibre-containing wound debridement

product”. Ketertarikan penulis dikarenan jurnal ini mengevaluasi kefektifan

monofilament fiber pad debridemen baru yang diharapkan mampu meningkatkan

penyembuhan luka pasien dan membantu kinerja dokter maupun perawat yang

merawat luka.

Page 4: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Memahami penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen luka agar

dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui metode dan hasil penelitian berjudul berjudul “Clinical efficacy

of a new monofilament fibre-containing wound debridement product” yang

dilakukan oleh Bahr dan Mustafi et al. pada tahun 2011

2. Memahami keefektifan penggunaan monofilamen fiber pad untuk

debridemen luka agar dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful

Anwar Malang

3. Mengetahui cara penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen

luka agar dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar

Malang

4. Mengidentifikasi implikasi perawatan luka di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar

Malang dengan monofilamen fiber pad sebagai metode debridemen

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan terhadap pembaharuan pedoman

penatalaksanaan perawatan luka dengan debridement menggunakan

monofilamen fiber pad bagi IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang.

2. Memfasilitasi proses penyembuhan luka dan meningkatkan kepuasaan

pasien terhadap perawatan luka dengan memberikan informasi tentang

cara penggunaan monofilamen fiber pad untuk debridemen luka agar

nantinya dapat diimplementasikan di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar

Malang.

3. Memberikan informasi tentang keefektifan monofilamen fiber pad untuk

debridemen luka dibandingkan metode lainnya yang dapat membantu

mengurangi beban kerja perawat dan dokter.

Page 5: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka

2.1.1 Definisi

Luka adalah suatu cedera dimana kulit robek, terpotong atau tertusuk,

atau trauma benda tumpul yang menyebabkan kontusi. Luka dikategorikan

dua jenis yaitu luka terbuka dan tertutup. Luka terbuka diklasifikasikan

berdasarkan obyek penyebab luka antara lain: luka insisi, luka laserasi, luka

abrasi, luka tusuk, luka penetrasi, dan luka tembak. Luka tertutup dibagi

menjadi tiga: kontusi, hematoma dan luka tekan. Luka tertutup memiliki

bahaya yang sama dengan luka terbuka. Selain itu terdapat pula beberapa

jenis luka lainnya seperti luka bakar, luka sengatan listrik, luka akibat zat

kimia, cedera suhu dingin, luka radiasi dan ionisasi serta luka gigit dan

sengatan serangga (Pusponegoro, 2005; Eslami et al, 2009).

2.1.2 Fase Penyembuhan

Tubuh mempunyai pelindung dalam menahan perubahan lingkungan

yaitu kulit. Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung

tersebut maka terjadilah luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki

fungsi fisiologis penyembuhan luka. Proses penyembuhan ini terdiri dari fase

awal, intermediate dan fase lanjut. Masing – masing fase memiliki proses

biologis dan peranan sel yang berbeda. Pada fase awal, terjadi hemostasis

dimana pembuluh darah yang terputus pada luka akan dihentikan dengan

terjadinya reaksi vasokonstriksi untuk memulihkan aliran darah serta inflamasi

untuk membuang jaringan rusak dan mencegah infeksi bakteri. Pada fase

intermediate, terjadi proliferasi sel mesenkim, epitelialisasi dan angiogenesis.

Selain itu terjadi pula kontraksi luka dan sintesis kolagen pada fase ini.

Sedangkan untuk fase akhir, terjadi pembentukan luka/remodeling

(Pusponegoro, 2005; Lawrence, 2002).

Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)

Pada luka yang menembus epidermis, akan merusak pembuluh darah

menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis.

Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah

normal, terdapat monofilament fiber pad endotel seperti prostacyclin untuk

menghambat pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah,

Page 6: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

proses pembekuan dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet.

Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen

dan factor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan

menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan (Lawrence, 2002).

Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor

pembekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas

protrombinase dimulai, memmonofilament fiber padsi trombin secara

eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi

pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah

merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka

untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast (Leong dan Phillips, 2012).

Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen

rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan

dalam membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke

dalm luka. Rangka fibrin-fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan

pada saat luka dan bertindak sebagai penyimpan faktor – faktor tersebut untuk

proses penyembuhan (Lawrence, 2002).

Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam

mengatasi luka. Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor

(pembengkakan), calor (hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi

ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka (Leong dan

Phillips, 2012, Gurtner, 2007).

Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan

kapiler untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh

epinephrin, norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang

cedera. Setelah 10-15 menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi

yang dimediasi oleh serotonin, histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan

monofilament fiber pad endotel. Hal ini yang menyebabkan lokasi luka tampak

merah dan hangat (Eslami, 2009; Lawrence, 2002).

Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan

histamin dan serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas vaskuler. Hal ini mengakibatkan plasma keluar dari intravaskuler

ke ekstravaskuler (Leong dan Phillips, 2012). Leukosit berpindah ke jaringan

yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini dimulai dengan

leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi oleh

selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat

pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM)

Page 7: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke

jaringan yang luka (Lawrence, 2002).

Agen kemotaktik seperti monofilament fiber pad bakteri, complement

factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF)

menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat

pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati

dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk

mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan

fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati.

Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan

neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk

mengalami proses penyembuhan. Hal ini bisa menyebabkan luka akut

berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005; Webster, 2012).

Pada hari kedua / ketiga luka, monosit / makrofag masuk ke dalam luka

melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag

sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi

fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk

mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang

material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM.

Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi

proliferasi fibroblast, monofilament fiber padsi kolagen, pembentukan

pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Lawrence, 2002;

Gurtner, 2007).

Limfosit T muncul secara signifikan pad hari kelima luka sampai hari

ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin,

seperti IL-2 dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan

interferon-γ (IFN- γ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin

seperti IL-1 dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis

(Leong dan Phillips, 2012).

Fase Intermediate (Proliferasi)

Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel inflamasi, tanda-tanda

radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan

pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang

dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang

mengaktivasi fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai

berproliferasi hingga jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada

Page 8: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima

(Lawrence, 2002).

Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks

mettaloproteinase (MMP) untuk memecah matriks yang menghalangi migrasi.

Fungsi utama dari fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama

ECM. Kolagen tipe I dan III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan

normalnya ada pada dermis manusia. Kolagen tipe III dan fibronectin

dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan kemudian kolagen tipe III

digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah banyak dan

menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka (Lawrence,

2002; Schultz, 2007).

Pembentukan pembuluh darah baru / angiogenesis adalah proses

yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain

itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak

akibat luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan

penurunan tekanan oksigen di jaringan (Leong dan Phillips, 2012; Gurtner,

2007).

Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai

substansi akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga

migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam

luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor

(PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-β). Pembelahan dari sel

endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi dari membran basal

akan menghasilkan maturasi kapiler (Webster et al, 2012; Leong dan Phillip,

2012).

Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang

kebanyakan dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α

(TNF-α) yang dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari

akhir fase inflamasi. Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel

kapiler, berikatan dengan berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular

endothelial growth factor (VEGF) sebagai faktor angiogenik yang poten

dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan fibroblast selama proses

penyembuhan (Lawrence, 2002).

Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan

kembali lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi

setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke

permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi

Page 9: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang.

Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi

menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan

keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu

pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi

MMP lainnya ketika bermigrasi (Schultz, 2007).

Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan

granulasi akan berperan sebagai perantara sel-sel untuk melakukan migrasi.

Jaringan ini terdiri dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast,

makrofag dan sel endotel. Sel-sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh

darah baru sebagai sumber energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul

pada hari keempat setelah luka. Fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM

untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan sebagai perantara migrasi

keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka. Makrofag akan

menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast berproliferasi.

Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk pembuluh

darah baru (Gurtner, 2007).

Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi leka menuju arah

tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15

tapi juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah

tengah dengan rata – rata 0,6 sampai 0,75 mm / hari. Kontraksi juga

tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang banyak ditemukan

pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal

tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Leong dan Phillips, 2012;

Lawrence, 2002).

Fase Akhir (Remodelling)

Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama dari proses

penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun.

Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah

kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15% dari kulit normal.

Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara

drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe

I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga

minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan

mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Lawrence, 2002).

Page 10: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

2.1.3 Gangguan Penyembuhan Luka

Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat

mempengaruhi hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang

terbentuk. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam

tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara lain

kontaminasi bakteri atau benda asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan

koagulasi, obat-obatan penekan sistem imun, paparan radiasi, dan beberapa

faktor lain. Suplai darah juga mempengaruhi proses penyembuhan, dimana

suplai darah pada ekstremitas bawah adalah yang paling sedikit pada tubuh

dan suplai darah pada wajah serta tangan cukup tinggi. Usia pasien yang tua

juga memperpanjang proses penyembuhan (Pusponegoro, 2005; Webster,

2012; Leong dan Phillip, 2012).

2.2 Debridemen

2.2.1 Definisi

Debridemen adalah proses alami yang terjadi pada semua luka dan

penting untuk penyembuhan, pada jaringan yang mati dan rusak, luka yang

kotor dan bakteri yang dikeluarkan dari luka. Sehingga meminimalkan risiko

infeksi dan membentuk jaringan granulasi yang sehat untuk membantu

penyembuhan (Strohal et.al, 2013). Dilakukannya debridemen didasarkan

pada pengkajian luka yang komprehensif dan dilakukan oleh orang yang

berkompeten (Ousey dan Cook, 2012). Sebelum melakukan debridemen ada

beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: keadaan umum pasien,

penyebab luka, kondisi sikulasi pasien dan kemungkinan penyembuhan luka,

ukuran dan lokasi luka, jumlah eksudat, dan kemungkinan infeksi.

2.2.2 Keuntungan

Debridemen dilakukan untuk menghapus jaringan mati, slough, dan

debris. Dengan kata lain dapat mencegah dampak buruk dari jaringan mati,

slough, dan debris. Dampak buruk jaringan mati, slough, dan debris pada luka

(Brown A., 2013), ialah:

Mencegah atau menunda proses penyembuhan luka yang normal

Menyembunyikan infeksi

Menarik bakteri pada luka

Meningkatkan risiko infeksi

Page 11: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Mencegah menilai tingkat dan ukuran luka, yang sangat bermasalah

ketika pementasan kerusakan tekanan ulkus

Meningkatkan bau dan eksudat

2.2.3 Metode

Ada banyak metode yang digunakan untuk debridemen. Metode

debridemen antara lain autolitik, surgikal, biosurgikal, dn mekanikal

debridemen. Keputusan bagaimana dan kapan harus dilakukan prosedur

tergantung pada: metode debridemen yang tersedia, metode yang dikuasai

oleh praktisi, waktu yang tersedia, dan keinginan pasien (Flanagan, 2013).

Berikut ini beberapa metode debridemen menurut Brown A. (2013), yaitu:

Autolitik

Autolitik adalah proses yang menggunakan kelembapan tubuh untuk

menghilangkan jaringan yang mati atau devitalisasi jaringan. Hal ini dapat

menggunakan dressing atau balutan yang yang dapat memberikan

kelembapan. Proses ini umumnya lebih lambat dari proses debridemen yang

lain dan waktu yang dibutuhkan pada metode ini sangat bervariasi sesuai

dengan ukuran luka dan jumlah jaringan yang mati.

Umumnya, perkembangan dari metode ini antara 72-96 jam dan

eschar hitam akan berubah warna menjadi coklat atau abu-abu, bahkan bisa

menjadi slough yang berwarna kuning. Luka perlu dilakukan pengkajian ulang

setiap pergantian balutan dan menentukan kebutuhan balutan.

Balutan yang digunakan untuk debridemen terbagi dalam dua

kategori, yaitu: memberikan kelembapan dan menyerap kelebihan

kelembapan. Jika luka sangat kering, balutan yang akan memberikan

kelembapan seperti hydrogel. Namun, luka akan menjadi basah akibat dari

autilisis sehingga secondary dressing diperlukan untuk menyerap eksudat.

Surgikal

Surgikal merupakan cara tercepat untuk debridement luka, tetapi

membutuhkan skill yang baik dan harus memperhatikan kompetensi dari

praktisi seperti perawat ahli bedah. Metode ini dilakukan di kamar operasi dan

dilakukan ketika debridement diperlukan dengan cepat, seperti selulitis atau

sepsis yang berkembang dengan cepat. Metode ini menggunakan teknik

steril. Namun tidak direkomendasikan dilakukan di rumah pasien karena

berisiko terjadinya perdarahan dan membutuhkan anestesi.

Page 12: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Biosurgikal

Juga dikenal sebagai terapi larva, metode ini menggunakan larva

yang steril dari lalat hijau (Lucilia sericata) untuk mende-bridemen luka dan

efektif untuk slough, berbau dan luka yang terinfeksi. Metode ini sudah

digunakan sejak 400 tahun yang lalu dan metode ini semakin berkembang.

Larva diberikan pada jaringan mati dan luka yang memiliki eksudat sehingga

akan mengeluarkan antibacterial yang akan mengurangi bakteria. Pergerakan

larva pada luka akan meningkatkan eksudat .

Terapi larva digunakan sebagai alternatif jika debridemen yang cepat

diperlukan atau kalau luka belum membaik dengan autolitik debridemen.

Terdapat beberapa faktor yang digunakan untuk menentukan debridemen

larva: sakit yang dirasakan pasien meningkat dan/atau jumlah eksudat

meningkat, yang mungkin meningkatkan resiko perdarahan. Kontraindikasi

penggunaan terapi larva adalah luka dekat dengan mata, saluran pencernaan

bagian atas dan saluran pernafasan atas, dan pasien yang memiliki alergi

terhadap larva.

Mekanikal

Debridemen mekanis melibatkan baik menggunakan dressing kasa

kering atau basah ke kering, dressing kasa/tulle atau pad serat monofilamen

untuk menghapus jaringan yang mati. Sebuah kasa yang dibasahi diusapkan

pada luka (Strohal et al, 2013; Luka Inggris, 2013). Prosedur ini menyakitkan

dan juga menghilangkan jaringan sehat; tidak dianjurkan untuk digunakan di

Inggris ( Wounds UK, 2013). Sebuah pad monofilamen (Monofilament fiber,

Activa Healthcare) baru-baru ini telah diperkenalkan sebagai alternatif untuk

kasa. Produsen mengklaim pad serat menghilangkan kotoran dan jaringan

mati, meninggalkan jaringan granulasi yang sehat utuh (Strohal et al, 2013;

Wounds UK 2013).

Page 13: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Metode Penelitian Artikel Jurnal

Artikel jurnal ini merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bahr

dan Mustafi et al. (2011) merupakan penelitian observasional analitik pada

beberapa pusat rumah sakit (multicenter). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengevaluasi keefektifan penggunaan monofilament fiber pad baru yaitu

monofilament fibre pada proses debridemen luka.

3.1.1 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dari 11 pusat

penyembuhan luka yaitu 5 pusat penyembuhan luka di Jerman, 4 di Italia,

dan 2 di Australia yang terdiri dari outpatient clinics, community clinics, dan

long-term care facilities. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 57

responden. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan luka yang

dirawat di pusat penyembuhan luka tersebut dengan memenuhi kriteria.

3.1.2 Kriteria Sampel

Kriteria Inklusi

1. Pasien dengan luka tertutup eksudat, seperti ulkus tekanan (decubitus),

ulkus kaki diabetik, luka trauma

2. Pasien dengan lapisan kulit yang keras (slough) pada luka bedah

3. Pasien dengan hiperkeratosis dan/atau penumpukan eksudat kering

pada area kulit sekitar luka.

4. Pasien dengan dugaan terdapat biofilm pada luka.

Kriteria Eksklusi

1. Adanya tanda dan gejala infeksi sistemik (termasuk eritema dan

demam).

2. Pasien dengan skala nyeri >7 atau hiperestesia.

3. Pasien berusia <18 tahun atau lebih dari 85 tahun.

4. Pasien alergi terhadap alat dan bahan.

5. Pasien yang sedang hamil atau menyusui.

3.1.3 Waktu Pengambilan Data

Data untuk penelitian ini dilakukan selama 6 bulan pada tahun 2010.

Page 14: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

3.1.4 Alat dan Bahan

Monofilament Fiber Pad

Terbuat dari 18 juta monofilament fibers per 10x10 cm. Serat ini

didesain untuk menghilangkan lapisan kulit yang keras dan sel-sel kulit

mati. Serat-serat ini tahan terhadap zat kimia, stabil, dan dapat

menyerap cairan.

Cairan irigasi

Cairan irigasi pada luka di penelitian ini menggunakan cairan

salin steril dan polihexanide (betadine).

Cara melakukan debridement

Debridement dilakukan dengan cara mengusap Monofilament

fiber pad secara tegas dari tepi luka untuk menghilangkan slough dan

jaringan mati. Akan tetapi pada kasus dengan slough yang tebal dan

melekat kuat pada dasar luka atau nekrosis yang keras dianjurkan

bahwa jaringan ini dilunakan terlebih dahulu sebelum menggunakan

Monofilament fiber pad.

Balutan Luka

Balutan yang digunakan setel;ah dilakukan debridement

diantaranya adalah alginate dan hidrofiber dengan foam dressing sesuai

balutan standart yang diterapkan di pusat penyembuhan luka tersebut.

3.1.5 Variabel Penelitian

a. Data Primer

Data primer berupa keefektifan debridemen dievaluasi dengan

membandingkan kondisi luka pada setiap perawatan luka. Baik secara

Page 15: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

langsung maupun dari hasil foto menggunakan skor criteria yang sama.

Ketidakefektifan debridemen dinilai dengan beberapa kriteria, yaitu:

Waktu tindakan debridemen (<2, 2-4, 5-7, >7 menit)

Kemampuan menghilangkan debris, jaringan nekrotik, dan slough.

Kemampuan menyerap debris, jaringan nekrotik, dan slough.

Sebelum dan setelah penilaian keefektifan debridement

diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan kondisi luka, yaitu:

Kelas A

Kondisi luka tertutupi oleh slough dan jaringan nekrotik, kulit sekitar

luka juga tertutupi oleh jaringan hiperkeratotik dan eksudat kering.

Kelas B

Kondisi luka tertutupi oleh slough, tanpa jaringan nekrotik, kulit

sekitar luka juga tertutupi sebagian oleh jaringan hiperkeratotik dan

eksudat kering.

Kelas C

Kondisi luka tertutupi oleh slough <20% area luka dan, kulit sekitar

luka bersih.

b. Data Sekunder

1. Keamanan

Keamanan monofilament fiber pad ini dinilai dari keberadaan

efek samping, seperti:

Sisa material pada area luka setelah perawatan luka

Perubahan struktur fiber setelah perawatan luka

2. Toleransi

Page 16: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Toleransi pasien terhadap monofilament fiber pad ini dinilai

dari ada/tidaknya keluhan pasien dan evaluasi dokter atau perawat

dengan 5 point likert scale tentang:

Gangguan rasa nyaman

Adanya rasa tekanan pada luka

Rasa terbakar pada area luka

Iritasi sekitar luka

Bengkak

Kemerahan

Efek samping

3. Kepuasan Pasien

Kepuasan pasien terhadap monofilament fiber pad ini dinilai

menggunakan 6 point likert scale dari penggabungan dua aspek

yaitu penilaian keefektifan debridemen per sesi dan derajat

kepuasan pasien seperti keinginan menggunakan monofilament

fiber pad ini lagi dan keinginan menceritakan monofilament fiber

pad ini kepada kerabat.

3.1.6 Proses Pengambilan Data

Perawatan luka menggunakan Monofilament fiber pad dilakukan

dengan interval 4 hari selama 12 hari. Jadi ada 3 sesi dalam kurun waktu 12

hari. Evaluasi perawatan luka dilakukan pada hari ke-0 (untuk sesi 1), hari

ke 4 (untuk sesi 2), dan hari ke 8 (untuk sesi 3). Kondisi luka dievaluasi

secara langsung dan melalui dokumentasi foto kondisi luka sebelum dan

sesudah masing-masing perawatan. Keseluruhan proses perawatan luka

dan hasil pengkajian dicatat sebagai data variabel.

3.1.7 Analisa Statistik

Variabel-variabel yang telah didapatkan dianalisa menggunakan

ANOVA dengan confidence interval 95% dan significant value p<0,05.

3.2 Hasil Penelitian dan Diskusi Peneliti

1. Data Dasar

Dari 60 pasien dengan luka kronik dan luka akut, tiga pasien gagal di-

follow up dan dievaluasi hingga akhir sehingga hanya dengan 57 pasien

dimana 54 pasien dengan 1 luka dan 3 pasien dengan 2 luka. Cairan irigasi

menggunakan saline pada 30% sampel (n=17) dan polihexanide 70% (n=40).

Page 17: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

2. Keefektifan Debridemen

Perbedaan signifikan ditunjukkan dari perbedaan antara kondisi luka pada

setiap sesi (lihat gambar 2). Bahkan pada sesi ke 3 didapatkan 21% (n=12)

mengalami epitelisasi luka (100% granulasi). Hasil evaluasi pada hari ke

12 menunjukkan 77% (n=44) telah mengalami epitelisasi luka (100%

granulasi). Sedangkan penelitian sebelumnya menunjukkan debridemen

dengan enzim autolitik atau pemberian balutan luka lembab memerlukan

waktu 20 hari untuk 100% granulasi. Contoh kondisi luka bisa dilihat pada

gambar 4 dan 5.

Hasil observasi langsung dan foto juga melaporkan bahwa monofilament

fiber pad ini mampu menghilangkan slough, debris, eksudat kering, hingga

crust secara efisien tanpa merusak jaringan yang rapuh pada kulit sekitar

luka.

Monofilament fiber pad ini juga memerlukan waktu perawatan yang lebih

singkat (p<0,05) bila dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgical,

dan debridement dengan menggunakan kasa basah.

3. Keamanan

Page 18: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Hanya 3,3% dari total jumlah perawatan luka (5/152) yang mengalami

perubahan bentuk pada monofilament fiber pad tetapi perubahan ini tidak mem-

pengaruhi efektifitas debridemen dan serat yang tertinggal pada area luka

mudah dibersihkan dengan irigasi luka.

4. Toleransi

Selama pelaksanaan debridemen menggunakan monofilament fiber pad ini

45% (n=26) pasien tidak mengeluhkan nyeri. Setelah perawatan luka berakhir

pasien ditanya tentang adanya efek sam[ping seperti alergi, nyeri, atau iritasi

didapatkan 98,2% (n=56) menyatakan tidak ada efek samping tersebut.

5. Kepuasan Pasien

Rata-rata nilai kepuasaan pasien terhadap monofilament fiber pad

monofilament fiber untuk perawatan luka ialah “good”.

Page 19: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Peneliti juga menjelaskan keterbatasan penelitiannya dimana tidak

terdapat kelompok kontrol dan peneliti juga menyarankan pengukuran aspek

financial untuk penelitian selanjutnya.

3.3 Kesimpulan

Menurut Strohal et al (2013), debridement adalah proses alami yang terjadi

pada semua luka dan sangat penting untuk penyembuhan dengan menghilangkan

jaringan rusak dan jaringan mati, kotoran dan bakteri dikeluarkan dari luka,

meminimalkan risiko infeksi dan mendorong terbentuknya jaringan granulasi yang

sehat, serta membantu penyembuhan luka. Debridement bukan hanya

penghapusan jaringan mati (juga dikenal sebagai jaringan devitalised) atau jaringan

terinfeksi tetapi juga bahan asing dari luka (Wounds UK, 2013). Hal ini dilakukan

untuk menghasilkan luka yang layak dan memfasilitasi proses penyembuhan.

Metode debridement yang tersedia saat ini untuk perawat umum meliputi

debridement mekanik dan autolitik. Metode lain, seperti gauze dan surgikal

debridement, memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Ketika memilih

sebuah metode, dokter atau perawat harus menyadari semua pilihan dan

menentukan apakah ia memiliki atau tidak keterampilan dan pengetahuan untuk

melakukan itu, dan menilai potensi risiko bagi pasien (Wounds UK, 2013). Jika

dokter atau perawat tidak memiliki keterampilan, ia harus merujuk pasien ke

spesialis perawatan luka yang mampu melakukan hal tersebut.

Baru-baru ini, metode selektif baru debridement mekanis. Monofilament fiber

pad telah diperkenalkan ke pasar. Monofilament fiber pad menawarkan alternatif

penyelesaian masalah tersebut yang aman untuk menghilangkan slough dan

hiperkeratosis (penebalan lapisan luar kulit). Hasil penelitian Bahr dan Mustafi et al.

(2011) yang diulas diatas telah menunjukkan bahwa Monofilament fiber memenuhi

tujuan utama dilakukannya debridemen dan merupakan metode yang nyaman serta

mudah untuk diterapkan. Keunggulan Monofilament fiber pad diantaranya berupa:

Keefektifan debridement 'sangat bagus' untuk penyembuhan luka baik dari segi

waktu perawatan, kemampuan debridemen dan lama penyembuhan luka

hingga granulasi

Tingkat keamanan pengguna baik

Tingkat toleransi pengguna baik

Kenyamanan dan kemudahan bagi penggunaan 'sangat bagus'

Tidak ada efek samping berarti

Page 20: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Analisis fotografi juga telah menegaskan bahwa pad Monofilament fiber pad

mampu menghilangkan slough, eksudat yang kering dan mengeras, tanpa merusak

kulit yang rapuh di sekitar luka.

Dari penelitian Bahr dan Mustafi et al. (2011), keefektifan debridement

'sangat bagus' untuk penyembuhan luka baik dari segi waktu perawatan

monofilament fiber pad ini juga memerlukan waktu perawatan yang lebih singkat

(p<0,05) bila dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgikal, dan debridemen

dengan menggunakan kasa basah hanya kurang lebih 2,51 menit. Strohal et al

(2013) juga menyatakan debridement mekanis dianggap sebagai metode tercepat

dari debridement. Hasil case report Gray et al (2011) melaporkan bahwa dua dari

sepuluh pasien memiliki kulit hiperkeratotik pada tungkai bawah mampu dihilangkan

dalam waktu kurang dari 2 menit dan dua pasien lainnya mampu dibersihakan

hematoma pada luka dalam waktu kurang dari 5 menit (lihat tabel 2).

Keefektifan debridement dari segi kemampuan debridemen pada penelitian

Bahr dan Mustafi et al. (2011) melaporkan bahwa monofilament fiber pad ini mampu

menghilangkan slough, debris, eksudat kering, hingga crust secara efisien tanpa

merusak jaringan yang rapuh pada kulit sekitar luka. Hasil penelitian lainnya yang

dilakukan oleh Haemmerle et al (2011), Vowden et al (2011), dan Gray et al (2011)

menunjukkan bahwa Monofilament fiber pad bukan hanya mampu menghilangkan

slough nekrotik, dan hiperkeratosis tetapi dapat digunakan pada berbagai jenis luka,

termasuk ulkus vena tungkai, ulkus kaki diabetik (neuropati dan neuro-iskemik),

ulkus arteri, borok karena berbagai penyebab, ulkus dekubitus dan luka paska

trauma (lihat contoh gambar pada tabel 2). Hasil studi Stephen-Haynes dan

Callaghan (2012) menunjukkan tiga puluh dua perawat (80%) dari empat puluh

responden melaporkan adanya dampak positif pada dasar luka menggunakan

Page 21: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

penilaian visual. Tiga puluh empat perawat (85%) juga melaporkan bahwa setelah

debridemen, ada visibilitas yang lebih jelas dari dasar luka dan kulit di sekitarnya

karena penghapusan puing-puing, slough atau hiperkeratosis, sehingga mereka

mampu mengidentifikasi tujuan manajemen luka dengan lebih jelas. Akan tetapi

pada kasus dengan slough yang tebal dan melekat kuat pada dasar luka atau

nekrosis yang keras dianjurkan bahwa jaringan ini dilunakan terlebih dahulu

sebelum menggunakan pad. Hasil studi Gray et al (2011) menunjukkan bahwa

Monofilament fiber pad lebih menguntungkan pada slough dan jaringan nekrotik

yang lebih lunak dilihat dari kecepatan dan keefektifan debridemen dibandingkan

dengan kondisi luka dimana debris melekat kuat pada dasar luka.

Tabel. Jenis Slough dan Jaringan Nekrotik Yang Paling Diuntungkan Dari Debridemen Mekanis

(Gray et al, 2011)

No. Jenis Luka Sebelum Debridemen Setelah Debridemen

1 Hiperkeratosis

2 Hematoma

Page 22: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

3 Ulkus kaki

Dari segi lamanya penyembuhan luka hingga granulasi 100% pada

penelitian Bahr dan Mustafi et al. (2011) menunjukkan bahwa kurang lebih

dibutuhkan waktu 12 hari agar luka mengalami epitelisasi (100% granulasi).

Penelitian sebelumnya menunjukkan debridemen dengan enzim autolitik atau

pemberian balutan luka lembab memerlukan waktu 20 hari untuk 100% granulasi.

Strohal et al (2013) juga menyatakan bahwa debridemen autolitik dianggap sebagai

metode paling lambat dari debridemen.

Tingkat keamanan pengguna Monofilament fiber pad juga cukup baik

dimana hanya 3,3% dari total jumlah perawatan luka (5/152) yang dilakukan oleh

Bahr dan Mustafi et al. (2011) mengalami perubahan bentuk pada monofilament

fiber pad tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi efektifitas debridemen dan serat

yang tertinggal pada area luka mudah dibersihkan dengan irigasi luka. Selama

proses debridemen pada penelitian monofilament fiber pad ini juga menunjukkan

toleransi, kenyamanan, dan kepuasan yang baik, serta tidak adanya efek samping

dimana 45% (n=26) pasien tidak mengeluhkan nyeri, rata-rata pasien puas, dan

98,2% (n=56) tidak melaporkan efek samping. Hasil studi Johnson et al (2012) juga

melaporkan bahwa seluruh pasien sangat menerima monofilament fiber pad

perawatan ini dengan rasa nyeri minimal selama proses debridemen pada 95%

kasus. Karena pad ini dilaporkan menyebabkan rasa sakit yang minimal sehingga

dapat digunakan oleh dokter atau perawat pemula baik di klinik maupun di rumah.

3.4 Keunggulan Monofilament Fiber Pad

Meskipun manfaat dari debridemen diakui baik dalam praktek klinis dan

sejumlah teknik debridement yang ada, pada kenyataannya pilihan dapat

dipersempit oleh faktor-faktor seperti akses ke spesialis dan peralatan yang tidak

memadai. Semua teknik debridemen non-bedah melibatkan cara penghapusan

jaringan dan debris dari luka, tanpa merusak jaringan yang sehat dalam waktu

Page 23: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

secepat mungkin. Studi menunjukkan bahwa jika proses debridement dipercepat,

penyembuhan akan tercapai lebih cepat (Steed et al, 1996). Namun, dalam

pelaksanaannya membutuhkan perawat spesialis, dokter yang terlatih, penggunaan

USG, serta peralatan hydrosurgical, untuk melaksanakan prosedur. Hal ini

merupakan masalah pada pelaksanaan perawatan luka yang dapat menyebabkan

keterlambatan dalam proses pengobatan.

Teknik debridemen dengan menggunakan Monofilament Fibre Pad dapat

mempercepat proses debridemen alami tubuh dan merupakan metode yang relatif

sederhana yang tidak memerlukan pelatihan khusus. Tetapi hal ini membutuhkan

proses yang panjang, untuk memperoleh debride luka secara efektif (Gray et al,

2011).

Monofilament Fibre Pad dikembangkan sebagai kebutuhan perawatan luka

yang murah, mudah digunakan, cepat dan efektif untuk membersihkan kulit dan

debride luka yang dapat digunakan dalam semua pengaturan kesehatan oleh semua

praktisi kesehatan, dan tampaknya telah mencapai sasaran tersebut di klinik berlatih

sejak diluncurkan di Inggris pada tahun 2011. Monofilament Fibre Pad juga bisa

digunakan untuk menggantikan metode debridement yang ada, misalnya

debridement autolitik, atau untuk metode lain, misalnya untuk mempertahankan

manfaat dari debridment bedah atau tajam (Vowden dan Vowden, 2011). Hal ini

dapat digunakan pada biasa ditemui luka kronis seperti borok kaki, ulkus tekanan

dan ulkus kaki diabetik dan trauma akut dan luka bedah penyembuhan dengan niat

sekunder mekanis debride luka dangkal yang mengandung slough longgar dan

puing-puing, atau untuk menghilangkan kerak atau hiperkeratosis dari kulit.

Page 24: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Tabel. Perbandingan Keunggulan dan Kekurangan Masing-Masing Teknik Debridemen

(Strohal et al, 2013)

No. Jenis Luka Keunggulan Kekurangan

1 Debridement

mekanik

Prosedur sangat cepat

Tidak membutuhkan atau

keterampilan khusus

Hanya menyebabkan

sedikit atau tidak ada rasa

nyeri

Tidak ada kerusakan

pada jaringan yang sehat

Kurang efisien bila digunakan

pada jaringan nekrosis padat,

sehingga membutuhkan

beberapa prior softening

2 Debridement

gauze

Prosedur yang cepat

Membutuhkan biaya lebih

untuk staff, alat dan

bahan

Efisien digunakan pada

jaringan nekrosis yang

padat

Cocok digunakan untuk

luka terinfeksi

Beresiko terjadinya infeksi bila

sterilitas tidak dijaga dengan

baik

3 Debridement

larva

Mampu mengurangi

infeksi bakteri

Mampu memisahkan

jaringan nekrosis dari

jaringan yang sehat

dengan baik

Membutuhkan sedikit alat

dan bahan

Kemungkinan menimbulkan

nyeri

Memiliki kontrainsdikasi bila

pasien mengalami penurunan

perfusi, pada luka terdapat

pembuluh darah yang

berhubungan dengan organ

vital, luka kanker

4 Autolitik

debridemen

Mudah digunakan

Sedikit menimbulkan nyeri

Mampu mengurangi

jumlah eksudat

Tidak ada kerusakan

pada jaringan yang sehat

Resiko alergi

Resiko inflamasi

Tidak semua teknik autolitik

cocok untuk eksudat berlebih

Membutuhkan waktu

perawatan yang lama

Mampu memicu eksudat

berlebih

5 Debridement Efisien pada jaringan Dibutuhkan keterampilan dan

Page 25: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

surgical nekrosis yang padat

Cocok untuk luka yang

terinfesksi

keahlian khusus seperti teknik

pembedahan dan anastesi

Membutuhkan biaya lebih

untuk alat, bahan dan ruang

operasi

Membutuhkan waktu yang

lebih lama

Beresiko menghilangkan

jaringan yang sehat

Beresiko infeksi bila sterilitas

tidak terjaga

Tidak cocok digunakan pada

pasien dengan penurunan

perfusi

Butuh pencegahan lebih bila

dilakukan seperti area wajah

3.5 Cara Penggunaan

Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam penggunaan

Monofilament fiber pad sesuai rekomendasi dari L&R Company, yaitu cuci setiap

emolien, krim atau salep sebelum menggunakan Monofilament fiber pad kemudian

ikuti langkah berikut:

Langkah 1

Buka paket Monofilament fiber pad.

Langkah 2

Sepenuhnya membasahi sisi putih dan lembut dari Monofilament fiber pad

dengan normal saline, jika disarankan untuk melakukannya. Singkirkan

kelebihan air tetapi jangan diperas.

Langkah 3

Dengan tekanan lembut, sapu area kulit dengan gerakan lurus searah atau

gerakan melingkar pada luka, membersihkan daerah tersebut dengan lembut.

Langkah 4

Gunakan sepotong Monofilament fiber pad baru untuk setiap daerah luka yang

terpisah misalnya jika memiliki kulit kering atau luka pada kedua kaki. Untuk

wilayah yang lebih luas, mungkin membutuhkan lebih dari satu bagian dari

Monofilament fiber pad.

Page 26: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

3.6 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini merupakan sebuah deskriptif dari praktik, tidak memiliki

pembanding atau kelompok kontrol, serta hubungan sebab dan akibat tidak dapat

disimpulkan. Sehingga peneliti belum dapat menerapkan hasil penelitian. Secara

umum hasil dari penelitian menunjukkan bahwa monofilament fiber pad secara

cepat dan efektif dapat mendukung penyembuhan luka. Namun, hal tersebut

berada di luar ruang lingkup evaluasi, sehingga untuk menarik kesimpulan

mengenai dampak yang mungkin dari uji monofilament fiber pad pada

penyembuhan luka masih akan dibahas dalam penelitian selanjutnya yang saat ini

direncanakan.

3.7 Implikasi Keperawatan di Indonesia

Metode debridemen yang tersedia saat ini untuk perawat di Indonesia masih

memerlukan ketrampilan dan pelatihan khusus. Alternatif metode yang baru yaitu

Monofilament fiber pad telah diperkenalkan untuk menyelesaian masalah tersebut.

Penggunaan Monofilament fiber pad sebagai debridemen mekanik juga telah

direkomendasikan secara internasional. Pada konferensi tahunan "EWMA 2013",

yang diselenggarakan 15-17 Mei di Kopenhagen, European Wound Management

Association (EWMA) menerbitkan artikel "EWMA Document: Debridement. An

updated overview and clarification of the principle role of debridement". Dalam

konferensi ini, sebuah tim internasional ahli perawatan luka memberikan ringkasan

yang komprehensif dan berbasis metode praktik debridemen untuk pertama kalinya.

Ketika membandingkan prosedur mekanis debridement dengan Monofilament fiber

dari Lohmann & Rauscher (L&R) sangat direkomendasikan: “Monofilamen fiber pad

menunjukkan potensi untuk meningkatkan keefektifan debridemen mekanis sebagai

teknik yang layak, ditunjukkan bahwa metode ini dapat mempercepat tindakan,

penyembuhan luka, aman, mudah diterapkan dan sedikit memiliki efek nyeri untuk

pasien.”

Data atau catatan terkait penerapan monofilamen fiber pad atau yang lebih

dikenal Monofilament fiber di Indonesia belum ada. Bila melihat manfaat

monofilament fiber pad ini baik untuk pasien dan perawat, maka selayaknya

direkomendasikan untuk diterapkan di Indonesia baik perawatan luka akut maupun

kronis khususnya di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Kedepannya sebelum

penerapam tersebut dilakukan, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

keefektifan aplikasi Monofilamen fiber pad dengan melibatkan kelompok kontrol dan

membandingkan dengan metode debridement serta modern wound dressing yang

telah ada saat ini.

Page 27: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3
Page 28: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

BAB 4

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai jurnal yang berjudul

“Clinical Efficacy of a New Monofilament Fibre-Containing Wound Debridement

Product” maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Monofilament fiber pad dengan menggunakan metode debridement, terbukti

mampu menghilangkan slough, eksudat yang kering dan mengeras, tanpa

merusak kulit yang rapuh di sekitar luka, aman, tidak memiliki efek samping yang

berarti, nyaman dan mudah digunakan. Keefektifan debridement 'sangat bagus'

untuk penyembuhan luka baik dari segi waktu perawatan, kemampuan

debridemen dan lama penyembuhan luka hingga granulasi

2. Monofilamen fiber pad untuk debridemen luka masih membutuhkan penelitian

lebih lanjut di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan mempertimbangkan

hasil dari penelitian jurnal terkait keefektifan debridemen yang sangat bagus untuk

penyembuhan luka dalam waktu perawatan yang lebih singkat (p<0,05) apabila

dibandingkan dengan debridemen autolitik, surgikal, dan debridemen dengan

menggunakan kasa basah hanya kurang lebih 2,51 menit.

3. Penggunaan Monofilamen fiber pad di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang

dapat diimplementasikan dengan teknik sederhana. Monofilament fiber pad

dibasahi dengan normal saline secukupnya, berikan tekanan lembut, sapu area

kulit dengan gerakan lurus searah atau gerakan melingkar pada luka,

membersihkan daerah tersebut dengan lembut dengan menggunakan sepotong

Monofilament fiber pad baru untuk setiap daerah luka yang terpisah.

4. Implikasi perawatan luka di IRNA II RSUD dr. Saiful Anwar Malang dengan

Monofilamen fiber pad sebagai metode debridemen tidak memerlukan ketrampilan

dan pelatihan khusus, sehinggan dapat dilakukan oleh semua perawat.

3.2 SARAN

Kedepannya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan aplikasi

Monofilamen fiber pad dengan melibatkan kelompok kontrol dan membandingkan

dengan metode debridement serta modern wound dressing yang telah ada saat ini.

Page 29: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

DAFTAR PUSTAKA

Bahr S, Mustafi N, Hattig P, et al. 2011. Clinical Efficacy of A New Monofilament Fibre-

Containing Wound Debridement Product. J Wound Care.

Brown A. 2013. The role of debridement in the healing process. Nursing Times.

Eslami A, Gallant-Behm CL, Hart DA, Wiebe C, Honardoust D, Gardner H, dkk, 2009.

Expression of Integrin αvβ6 and TGF-β in Scarless vs Scar-forming Wound

Healing. J Histochem Cytochem.

Gray D, Acton C, Chadwick P, et al. 2011. Consensus Guidance For The Use of

Debridement Techniques In The UK. Wounds UK.

Gurtner GC. 2007. Wound Healing: Normal and Abnormal. Grabb and Smith’s Plastic

Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Hammerle, G., Duelli, H., Abel, M., Strohal, R. 2011. The Wound Debrider: A New

Monofilament Fibre Technology. Br J nurs.

Johnson, Susan et al. 2012. A Multicentre Observational Study Examining The Effects of

A Mechanical Debridement System. Journal of Community Nursing.

Lawrence WT. 2002. Wound Healing Biology and Its Application to Wound Management,

The Physiologic Basis of Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins.

Leong M. dan Phillips LG. 2012. Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-19. Amsterdam:

Elsevier Saunders.

Potter PA., Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan

Praktik. Edisi 4. Alih Bahasa: Renata Kumalasari. Jakarta: EGC.

Pusponegoro AD, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

Schultz GS. 2007. The Physiology of Wound Bed Preparation. Surgical Wound Healing

and Management. Switzerland: Informa Healthcare.

Stephen-Haynes J. 2010. Wound Assessment In The Primary Care Setting. Community

Health Care Support. Available at: http://tinyurl.com/kge3yvb.

Page 30: Laporan Seminar Surgikal Kelompok 16,17,18-3

Stephen-Haynes J, Callaghan R. 2012. A New Debridement Technique Tested On

Pressure Ulcers. Wounds UK.

Strohal R, Apelqvist J, Dissemond J et al. 2013. EWMA document: Debridement. J

Wound Care.

Vowden, K.R., Vowden, P. 1999. Wound Debridement, Part 2: Sharp Techniques. J

Wound care.

Webster J, Scuffham P, Sherriff KL, Stankiewicz M, Chaboyer WP. 2012. Negative

pressure wound therapy for skin grafts and surgical wounds healing by primary

intention. Cochrane Database of Systematic Reviews.

Wounds UK. 2013. Effective Debridement in a Changing NHS: UK Consensus. Wounds

UK, London.