Upload
rey-dudutz
View
71
Download
0
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KELOMPOK
PROBLEM BASED LEARNING
“PREMATURE RUPTURE OF MEMBRAN (PROM)”
REGULER 1 : KELOMPOK 3
INDIRA RAHMADEWI 115070200111047
NADHIRA WAHYU L 115070205111003
RENY RUDY ASISTA 115070200111053
YUNI WIDYANINGSIH 115070207111027
I WAYAN GEDE S 115070200111021
ATIKATSANI LATIFAH 115070200111023
RAHMI NURROSYID P 115070201111017
FRITA FERDINA 115070200111031
DEWANTI ERIN SASMI 115070213111001
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013
TRIGGER
Ny. P usia 25 tahun G1 P0000 Ab000 usia kehamilan 37 minggu datang ke rumah sakit dengan keluhan
keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lhair sejak kemarin pagi. Pasien mengatakan sejak
keluar cairan dari jalan lahir, Ny. P tidak berani beraktivitas berat, pasien hanya tiduran sepanjang
hari. Pasien mengeluh badannya demam, saat di RS hasil pemeriksaan perawat didapatkan TD =
120/80 mmHg N=98x/menit RR=18x/menit suhu =37°C DJJ=120x/menit, pasien tidak merasakan
adanya his. Hasil pemeriksaan cairan amnion menunjukkan pH netral dan warnanya keruh. Pasien
tampak tegang, penurunan konsentrasi, pucat dan gelisah. Berdasarkan anamnesa perawat pasien
mengatakan jarang kontrol kehamilan di puskesmas.
SLO
A. Definisi
B. Faktor resiko
C. Etiologi
D. Patofisiologi
E. Manifestasi klinis
F. Pemeriksaan diagnostik
G. Penatalaksanaan medis
H. Komplikasi
I. Asuhan keperawatan
PREMATURE OF RUPTURE MEMBRANE (KETUBAN PECAH DINI)
A. DEFINISI
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi persalinan yang dapat
terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu.
Ketuban pecah dini adalah rupturnya membran ketuban sebelum persalinan berlangsung.
Ketuban pecah dini/spontaneous/early/premature rupture of membrane (PROM) adalah
pecahnya selaput ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3
cm dan multipara kurang dari 5 cm.
Klasifikasi :
1. PROM (premature rupture of membrane)
Ketuban pecah saat usia kehamilan ≥37 minggu. Pada PROM penyebabnya mungkin
karena melemahnya membran amnion secara fisiologis, yaitu seperti inkompetensi
serviks dan polihidramnion.
2. PPROM (preterm premature rupture of membrane)
PPROM mendefinisikan ruptur spontan membran janin sebelum mencapai usia
kehamilan 37 minggu dan sebelum onset persalinan. Dan salah satu predisposisi utama
adalah infeksi ntrauterin
B. FAKTOR RESIKO
Meskipun banyak publikasi tentang ketuban pecah dini (KPD), namun penyebabnya secara
langsung masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan
menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah dini, namun faktor-
faktor yang lebih berperan sulit diketahui (Sualman, 2009). Faktor-faktor predisposisi itu antara
lain adalah:
a. Infeksi (amnionit is atau korioamnionit is). Korioamnionit is adalah keadaan pada
perempuan hamil dimana korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat
berlanjut menjadi sepsis (Sarwono, 2008). Membrana khorioamnionit ik terdiri dari jaringan
viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan
menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik
(Sualman, 2009). Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionit
is. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-
bakteri yang sering ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri
tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini
menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban
(Sualman, 2009). Jika terdiagnosis korioamnionitis, perlu segera dimulai upaya untuk
melahirkan janin sebaiknya pervaginam. Sayangnya, satu-satunya indikator yang andal untuk
menegakkan diagnosis ini hanyalah demam; suhu tubuh 38ºC atau lebih, air ketuban yang
keruh dan berbau yang menyertai pecah ketuban yang menandakan infeksi (Cunningham,
2006).
b. Infeksi genitalia. Meskipun chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum yang
ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi serviks oleh
organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm belum jelas. Pada wanita yang
mengalami infeksi ini banyak mengalami keputihan saat hamil juga mengalami ketuban
pecah dini kurang dari satu jam sebelum persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir
rendah (Cunningham, 2006). Seorang wanita lebih rentan mengalami keputihan pada saat
hamil karena pada saat hamil terjadi perubahan hormonal yang salah satu dampaknya
adalah peningkatan jumlah produksi cairan dan penurunan keasaman vagina serta terjadi
pula perubahan pada kondisi pencernaan. Keputihan dalam kehamilan sering dianggap
sebagai hal yang biasa dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang
melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan oleh
infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan dapat berbahaya karena dapat menyebabkan
persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir
dengan berat badan rendah (< 2500 gram). Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan
keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihanya dapat membahayakan
kehamilannya, sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan
berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.Dari berbagai macam keputihan
yang dapat terjadi selama kehamilan, yang paling sering adalah kandidiosis vaginalis,
vaginosisbakterial dan trikomoniasi. (Sualman, 2009). Dari NICHD Maternal-fetal Medicine
Units network Preterm prediction Study melaporkan bahwa infeksi klamidia genitourinaria
pada usia gestasi 24 minggu yang dideteksi berkaitan dengan peningkatan kejadian ketuban
pecah dini dan kelahiran preterm spontan sebesar dua kali lipat setelah terinfeksi bakteri ini
(Cunningham, 2006). Infeksi akut yang sering menyerang daerah genital ini termasuk herpes
simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) yang merupakan infeksi paling umumyang mengenai
ibu hamil dan sering menjadi faktor penyebab pada kelahiran preterm dan bayi berat badan
rendah. Pecah ketuban sebelum persalinan pada preterm dapat berhubungan dengan infeksi
maternal. Sekitar 30% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi dan mendapat komplikasi
dari infeksi tersebut (Chapman, 2006). Pada kehamilan akan terjadi peningkatan
pengeluaran cairan vagina dari pada biasanya yang disebabkan adanya perubahan
hormonal, maupun reaksi alergi terhadap zat tertentu seperti karet kondom, sabun, cairan
pembersih vagina dan bahan pakaian dalam. Keputihan pada kehamilan juga dapat terjadi
akibat adanya pertumbuhan berlebihan sel-sel jamur yang dapat menimbulkan infeksi
didaerah genital. Keputihan akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan akan
meningkatkan resiko persalinan prematur dan ketuban pecah dan janinnya juga mengalami
infeksi (Ocviyanti, 2010). Menurut Sarwono, (2008) persalinan preterm terjadi tanpa
diketahui penyebab yang jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya
ketuban pecah dini dan persalinan preterm. Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat
pargantian lakt obasilus penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri
anaerob dalam konsentrasi tinggi seperti gardnerella vaginalis, yang akan menimbulkan
infeksi. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan kejadian ketuban pecah dini, persalinan
preterm dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0 yang
normalnya nilai pH vagina adalah antara 3,8-4,5. Abnormalitas pH vagina dapat
mengindikasikan adanya infeksi vagina. Herpes simpleks adalah virus menular seksual yang
jarang tetapi serius yang bisa tetap tidak aktif sampai orang mengalami stres atau tidak
sehat. Biasanya merupakan kondisi kronis dan kambuhan serta bisa berat bagi bayi baru
lahir. Infeksi herpes primer biasanya menyebabkan demam ringan dan perasaan tidak sehat.
Muncul lesi yang menimbulkan nyeri sekitar genital internal dan eksternal/serviks, ulserasi,
dan biasanya sembuh dalam tiga minggu (Chapman, 2006). Herpes aktif bisa terdiagnosa
dengan inspeksi klinis didaerah genital untuk lesi yang tampak (internal/eksternal) pada saat
awitan persalinan atau pecah ketuban spontan. Sectio saeraria merupakan satu-satunya
indikasi bila infeksi masih aktif sehingga lesinya jelas.
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan pada adanya
ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks
sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi
loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi
obstetrik (Sarwono, 2008). Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis
dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal trimester ketiga
kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan kesehatan dengan keluhan perdarahan
pervaginam, tekanan pada panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya
sudah mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks, rangkaian
peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya, berapa pun jarak kehamilannya.
Secara tradisi, diagnosis inkompetensia serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang
sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada pertengahan trimester tanpa
disertai awitan persalinan dan pelahiran (Verney, 2006). Faktor resiko inkompetensi serviks
meliputi riwayat keguguran pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat
laserasi serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar, adanya
pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang memanjang pada kehamilan
sebelumnya, ibu berulang kali mengalami abortus elektif pada trimester pertama atau
kedua, atau sebelumnya ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks (conization)
(Verney, 2006). Apabila seorang wanita mempunyai riwayat keguguran pada trimester
kedua atau pada awal trimester ketiga, konsultasi de ngan dokter mutlak diperlukan. Jika
seorang wanita datang ketika sudah terjadi penipisan serviks, pembukaan, tekanan panggul,
atau perdarahan pervaginam yang sebabnya tidak diketahui, maka ia perlu segera mendapat
penatalaksanaan medis.
d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang didapat
misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari frekuensi yang lebih dari 3 kali seminggu,
posisi koitus yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50%
memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak
janin misalnya letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas
panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Sualman,
2009). Menurut Manuaba (2008) hubungan seksual selama hamil memiliki banyak dampak
terhadap kehamilan. Pada trimester pertama kehamilan biasanya gairah seks mengalami
penurunan. Hal ini terjadi akibat ibu didera mual, muntah, lemas, malas dan apapun yang
bertolak belakang dengan semangat libido. Tetapi trimester kedua umumnya libido timbul
kembali, tubuh ibu telah dapat menerima kembali, tubuh telah terbiasa dengan kondisi
kehamilan sehingga ibu dapat menikmati aktifitas dengan lebih leluasa dari pada trimester
pertama. Mual-muntah dan segala rasa tidak enak biasanya sudah jauh berkurang demikian
pula urusan hubungan seksual. Ini akibat meningkatnya pengalihan darah ke organ-organ
seksual seperti vagina dan payudara. Memasuki trimester ketiga minat/libido menurun
kembali, tetapi hal ini tidak berlaku pada semua wanita hamil. Tidak sedikit wanita yang
libidonya sama seperti trimester sebelumnya, hal ini normal sebab termasuk beruntung
karena tidak tersiksa oleh kaki bengkak, sakit kepala, sakit punggung dan pinggul, berat
badan yang semakin bertambah atau keharusan istirahat total. Frekuensi koitus pada
trimester ketiga kehamilan yang lebih dari tiga kali seminggu diyakini berperan pada
terjadinya ketuban pecah dini, hal ini berkaitan dengan kondisi orgasme yang memicu
kontraksi rahim, namun kontraksi ini berbeda dengan kontraksi yang dirasakan menjelang
persalinan. Selain itu,paparan terhadaap hormon prostaglandin didalam semen (cairan
sperma) juga memicu kontraksi yang walaupun tidak berbahaya bagi kehamilan normal,
tetapi harus tetap diwaspadai jika memiliki resiko melahirkan prematur. Oleh sebab itu,
Seno, (2008) menjelaskan bahwa pada kehamilan tua untuk mengurangi resiko kelahiran
preterm maupun ketuban pecah adalah dengan mengurangi frekwensi hubungan seksual
atau dalam keadaan betul-betul diperluka n wanita tidak orgasme meski menyiksa. Tapi jika
tetap memilih koitus, keluarkanlah sperma diluar dan hindari penetrasi penis yang terlalu
dalam serta pilihlah posisi berhubungan yang aman agar tidak menimbulkan penekanan
pada perut ataupun dinding rahim. Mengurangi frekwensi koitus yang sejalan dengan
meminimalkan orgasme selain dapat mengurangi terjadinya ketuban pecah dini, dapat pula
mengurangi penekanan pembuluh darah tali pusat yang membawa oksigen untuk janin,
sebab penekanan yang berkepanjangan oleh karena kontraksi pada pembuluh darah uri
dapat menyebabkan gawat janin akibat kurangnya supply oksigen ke janin.
e. Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah wanita yang
pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang
mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat
hamil, ganggua n fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan
(Cunninghan, 2006). Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu
akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi dan
didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal. Sedangkan multipara
adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup.
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko
akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya (Cunningham,2006). Meski
bukan faktor tunggal penyebab ketuban pecah dini namun faktor ini juga diyakini
berpengaruh terhadap terjadinya ketuban pecah dini. Yang didukung satu dan lain hal pada
wanita hamil tersebut, seperti keputihan, stress (beban psikologis) saat hamil dan hal lain
yang memperberat kondisi ibu dan menyebabkan ketuban pecah dini (Cunningham,2006).
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini
kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah akibat adanya
penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga memicu terjadinya ketuban
pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang
mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban
pecah dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan
kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006).
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
hidramnion dan gemeli. Pada kelahiran kembar sebelum 37minggu sering terjadi pelahiran
preterm, sedangkan bila lebih dari 37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini
(Cunningham, 2006). Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat
dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion. Polihidramnion, akumulasi
berlebihan cairan amnion (> 2 liter), seringkali terjadi disertai gangguan kromosom, kelainan
struktur seperti fistula trakeosofageal, defek pembuluh saraf dan malformasi susunan sarap
pusat akibat penyalahgunaan zat dan diabetes pada ibu. AFI (amnion fluid indeks) pada
kehamilan cukup bulan secara normal memiliki rentang antara 5,0 cm dan 23,0 cm (Varney,
2006). Polihidramnion dapat terjadi akibat kelainan kongenital, diabetes mellitus, janin besar
(makrosomia), kehamilan kembar, kelainan pada plasenta dan tali pusat dan penggunaan
obat-obatan (misalnya propiltiourasil). Kelainan kongenital yang sering menimbulkan
polihidramnion adalah defek tabung neural, obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas,
dan kelainan kromosom (trisomi 21, 18, 8, 13) komplikasi yang sering terjadi pada
polihidramnion adalah malpresentasi janin, ketuban pecah dini, prolaps tali pusat,
persalinan pretem dan gangguan pernafasan pada ibu (Sarwono, 2008). Kehamilan kembar
juga sangat penting diidentifikasi sejak dini. Sejumlah komplikasi yang dihubungakan dengan
kehamilan, persalinan dan pelahiran serta masa nifas pada wanita yang mengandung lebih
dari satu janin. Kemungkinan yang mungkin timbul pada kehamilan kembar adalah anomali
janin, kegugurandini, lahir hidup, plasenta previa, persalinan dan pelahiran preterm,
diabetes kehamilan, preeklamsi, malpresentasi dan persalinan dengan gangguan. Pada
kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya mencakup posisinya tetapi juga
korionisitas kedua janin. Pada banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin
merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga ditentukan apakah janin
terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki
resiko kehamilan. Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk
mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm harus ditinjau kembali
dengan cermat setiap kali melakukan kunjungan. Wanita dengan kehamilan kembar beresiko
tinggi mengalami ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh
peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu, akan sangat membantu
jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam mengamati gejala yang berhubungan dengan
preeklamsi dan tanda-tanda ketuban pecah (Varney, 2006). Kehamilan dengan janin kembar
juga akan mempengaruhi kenyamanan dan citra tubuh, kesiapan perawatan bayi dan
keuangan, semua faktor ini akan menimbulkan stres dan hendaknya petugas kesehatan lebih
banyak memberi konseling dan pendidikan kesehatan. Konseling tentang persalinan pretem
dan preeklamsi perlu di upayakan guna memberi perawatan kehamilan dengan janin kembar
yang bermutu (Cunninghan, 2006).
h. Usia ibu yang = 20 tahun, termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang
kurang matur untuk melahirkan sehingga rentan mengalamiketuban pecah dini. Sedangkan
ibu dengan usia = 35 tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada
ibu primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini. Usia dan fisik wanita
sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses
persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana
disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling
aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia
kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap.
Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah
kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara
mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan
kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher
rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini.
Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan
dan persalinan. Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah
mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya
secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya
secara hati-hat i.Pendapat Seno (2008), usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa
transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan
wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau
tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-
organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang
menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi
semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada
kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya
penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin
mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm ataupun ketuban
pecah dini. Lebih lanjut Seno (2008) menjelaskan, meningkatnya usia juga membuat kondisi
dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur.
Padahal, dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan
kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat
semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan
pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi dan
mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi
hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko keguguran, ketuban
pecah, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga meningkat. Namun secara umum periode
waktu dari ketuban pecah dini sampai kelahiran berbanding terbalik dengan usia gestasi saat
ketuban pecah, jika ketuban pecah pada trimester ketiga, maka hanya diperlukan beberapa
hari saja sehingga pelahiran terjadi dibandingkan dengan trimester kedua (Cunningham,
2006).
C. ETIOLOGI
Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 dan Morgan, 2009 meliputi :
1. Serviks inkompeten menyebabkan dinding ketuban paling bawah mendapatkan tekanan
yang semakin tinggi
2. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik)
3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genitalia dan meningkatnya
enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase
laten. Makin panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan,
makin sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin dan komplikasi
ketuban pecah dini makin meningkat
4. Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan mempengaruhi proses
embriogenesis sehingga selaput ketuban yang tebentuk akan lebih tipis yang akan
menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum tanda-tanda impartu
5. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sefalopelvuk disproporsi.
Hidramnion atau kadang-kadangdisebut polihidramnion adalah keadaan di mana banyaknya
air ketuban melebihi 2000 cc (Prawirohardjo, 2007). Hidramnion dapat terjadi pada kasus
anensefalus, atresia asophagus, gemeli dan ibu yang mengalami diabetes meliitus
gestasional (DMG). Ibu dengan DMG akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan
pada semua usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih (Saifuddinm
2002). Kehamilan ganda adalah adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih sehingga
kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih besar (Mochtar, 1998)
6. Kelainan letak yaitu letak lintang sungsang
7. Pendular abdomen (perut gantung)
8. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada ibu muda
9. Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
10. Merokok selama kehamilan
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluar ketuban warna putih, keruh, jernih, kuning, hijau/kecoklatan sedikit-sedikit atau
sekaligus banyak merembes melalui vagina.
2. Dapat disertai demam bila sudah ada infeksi.
3. Janin mudah diraba.
4. Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah bersih
5. Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air ketuban
sudah kering.
6. Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes/menetes dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
7. Tidak ada HIS dalam 1 jam, belum ada tanda-tanda persalinan.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pHnya.
Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine atau sekret vagina.
Sekret vagina ibu hamil pH 4-5 dengan kertas nitrazin tidak berubah warna.
Tes nitrazin (lakmus) jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukkan
adanya air ketuban (alkali). pH air ketuban 7-7,5. Darah dan infeksi vagina dapat
menghasilkan tes positif yang palsu.
Karakteristik cairan ketuban adalah kandungan air pada cairan ketuban mencapai 98%,
cairan amnion memiliki berat jenis sekitar 1007-1008, berwarna putih dan mengandung
bahan organik sehingga keruh berbau khas (amis). Bahan organik yang terkandung pada
cairan amnion terdiri dari rambut, lanugo, sel epitel yang lepas, verniks kaseosa, dan
protein albumin sekitar 2,5%.
2. Pemeriksaan USG
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus KPD jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada
penderita oligohidramnion.
3. Pemeriksaan spekulum
Untuk mengambil sampel cairan ketuban di forniks posterior dan mengambil sampel cairan
untuk kultur dan pemeriksaan bakteriologis.
4. Pemeriksaa C Reaktif Protein (CRP)
CRP normal pada kehamilan 0,3-0,8 mg/ maksimal 2 mg.
Peningkatan CRP di atas 2 mg menunjukkan infeksi chorioamnionitis
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalahan dalam mengelola
KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.
Penatalaksanaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa
masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri
kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan
menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara
aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif
dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin
dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak
diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui
umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan
adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu
evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan
34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan
sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput
ketuban atau lamanya periode laten.
1. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya
mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan
komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan
disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin
memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan
sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam
setelah kulit ketuban pecah bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada
tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan
bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik
tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap
chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik
profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera
setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6
jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari
6 jam.
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau
ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan
sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga
resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan
janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya.
Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan
ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang
kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat
dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri
persalinan dengan seksio sesaria.
2. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-
tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang
adekuat sebagai profilaksi
Penderita perlu dirawat di rumah sakit ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu
dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan
diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent
diberikan juga tujuan menunda proses persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD
kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama
menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi,
maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan
merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang
kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai
mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar.
Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar hendaknya
dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauteri tetapi seyogyanya ada indikasi
obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata
pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka
perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah
menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterine.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan
tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin,
pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti
dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32
minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis
masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap
12 jam.
Penanganan ketuban pecah di rumah
- Apabila terdapat perembesan atau aliran cairan dari vagina, segera hubungi dokter atau
tenaga kesehatan terdekat.
- Gunakan pembalut wanita untuk penyerapan air yang keluar.
- Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi, jangan
berhubungan seksual atau mandi berendam.
- Selalu membersihkan area perineal dari depan ke belakang untuk menghindari infeksi
dari dubur.
- Jangan mencoba-coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi KPD dapat dibagi 2, yaitu terhadap maternal dan janin.
1. Maternal
a. Antepartum
1. Korioamnionitis 30-60%
2. Selusio plasenta
b. Intrapartum : trauma persalinan akibat induksi/operatif
c. Kemungkinan retensio dari plasenta
d. Postpartum
1. Trauma tindakan operatif
2. Infeksi masa nifas
3. Perdarahan postpartum
2. Janin
a. Semakin muda usia kehamilan dan semakin rendah BB janin, maka komplikasi akan
semakin berat
b. Komplikasi post partum
1. Penyakit RDS/hialin membran
2. Hipoplasia paru dengan akibatnya
3. Tidak tahan terhadap hipotermia
4. Gangguan fungsi alat vital
c. Komplikasi akibat prematuritas
1. Mudah infeksi
2. Mudah terjadi trauma akibat tindakan persalinan
3. Mudah terjadi aspirasi air ketuban dan menimbulkan kematian.
4. Komplikasi akibat oligohidramnion
5. Gangguan tumbuh kembang yang menimbulkan deformitas
6. Gangguan sirkulasi retroplasenter yang menimbulkan asidosis
7. Retraksi otot uterus yang menimbulkan sulosio plasenta
d. Komplikasi akibat ketuban pecah
1. Pkolpa bagian janin terutama tali pusat dengan akibatnya
2. Mudah terjadi infeksi intrauteri dan neonatus.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny.P
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : perempuan
B. STATUS KESEHATAN SAAT INI
Keluhan utama : keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lahir
Lama keluhan : sejak kemarin pagi
Kualitas keluhan : (masih perlu dikaji lebih lanjut)
Faktor pencetus : (perlu dikaji lebih dalam berdasarkan faktor risiko)
Faktor pemberat : jarang kontrol kehamilan
Upaya yang telah dilakukan : tiduran sepanjang hari
Keluhan saat pengkajian : keluar cairan berwarna keruh merembes dari jalan lahir,
badannya demam
C. RIWAYAT KESEHATAN SAAT INI
Ny.P usia 25 tahun, G1 P0000 Ab000 usia kehamilan 37 minggu keluar cairan berwarna keruh
merembes dari jalan lahir sejak kemarin pagi. Sejak keluar cairan pasien tidak berani
beraktivitas berat, pasien hanya tiduran sepanjang hari. Pasien mengeluh badannya demam.
Pasien tidak merasakan adanya his. Pasien jarang kontrol kehamilan ke Puskesmas.
Diagnosa Medis : Ketuban Pecah Dini
D. RIWAYAT KESEHATAN TERDAHULU
Perlu dikaji lagi adanya riwayat merokok, alkohol, alergi terhadap obat, adanya penyakit
kronis atau akut yang diderita, maupun riwayat kecelakaan atau operasi sebelumnya.
E. RIWAYAT KELUARGA
Perlu pengkajian lebih lanjut mengenai adakah riwayat penyakit keturunan dalam keluarga.
HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIKAJI :
- Kondisi lingkungan tempat tinggal berkaitan dengan kebersihan lingkungan, keamanan
terhadap kecelakaan yang mungkin terjadi, dll.
- Pola nutrisi ibu selama kehamilan
- Kebersihan diri terutama daerah perineal selama kehamilan maupun sebelum hamil.
- Adanya stres pada ibu terhadap situasi tertentu.
- Faktor pendukung dari suami dan keluarga terhadap kehamilan
- Pola seksualitas
F. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : pasien tampak tegang, penurunan konsentrasi, pucat, dan gelisah
Kesadaran : mengalami penurunan konsentrasi
TTV : TD=120/80mmHg; N=98x/menit; RR=18x/menit; suhu=37oC;
DJJ=120x/menit
G. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Cairan amnion menunjukkan pH netral dan berwarna keruh.
II. Analisis Data
No. DATA ETIOLOGI DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. DS :
- Klien mengeluh
keluar cairan yang
merembes dari jalan
lahir
- Klien mengeluh
merasa demam
- Klien tidak merasa
adanya his
DO :
- Cairan berwarna
keruh dengan pH
netral
Kehamilan yang pertama
↓
Kekhawatiran menghadapi
proses persalinan
↓
Stress
↓
Selaput amnion lemah
↓
Ketuban pecah dini
↓
Ketuban keruh dan netral
↓
Resiko gangguan hubungan
ibu dan janin
Resiko gangguan
hubungan ibu dan janin
2. DS :
- Klien mengeluh
keluar cairan
berwarna keruh
merembes dari jalan
lahir sejak kemarin
pagi.
- Klien jarang kontrol
kehamilan di
puskesmas
- Usia kehamilan 37
minggu
- Klien mengeluh
badannya demam
Faktor resiko
↓
Selaput kolagen tidak kuat
↓
Mudah pecah+air ketuban
mudah keluar
↓
Ketuban pecah dini
↓
Tidak ada pelindung dari luar
di daerah perineal
↓
Resiko infeksi
Resiko infeksi
DO :
- Cairan amnion
menunjukkan pH
netral dan warnanya
keruh
3. DS :
- Klien mengeluh
keluar cairan
berwarna keruh
merembes dari jalan
lahir sejak kemarin
pagi.
DO :
- Pasien tampak
tegang, penurunan
konsentrasi, pucat,
dan gelisah
Faktor resiko
↓
Terjadi proses biomekanik
pada selaput ketuban
↓
Ketuban pecah dini, cairan
amnion warna keruh dengan
pH netral
↓
Tidak ada his
↓
Takut janinnya dalam bahaya
↓
Tegang, gelisah, pucat
↓
Penurunan konsentrasi
↓
ansietas
Ansietas
III. Rencana asuhan keperawatan
NO
.
DIAGNOSA TUJUAN+KRITERIA HASIL INTERVENSI
1. Resiko gangguan
hubungan ibu dan
janin
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama x24 jam
gangguan ibu dan janin
teratasi
Kriteria Hasil :
NOC :
NIC : Labor Suppresion
1. Menentukan status
membran amnion
2. Lakukan cervical exam.
Kaji adanya bukaaan dan
posisi serviks
3. Palpasi posisi fetal
- Maternal status :
intrapartum
- Fetal status : intrapartum
1. Tidak ada perubahan
atau klien nyaman
dengan keadaan cairan
ketuban yang merembes
2. Pasien dapat merasakan
his
3. DJJ (120-160 bpm)
4. Tidak ada perubahan
warna cairan amnion
4. Monitor DJJ
2. Resiko infeksi Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan x24 jam resiko
infeksi dapat diminimalisir
KH :
NOC : Risk Control
a. Mengembangkan strategi
pengendalian resiko yang
efektif
NOC : Self-Care Hygiene
b. Cleans perineal care
NIC : Infection control
1.1 mengajarkan pasien dan
keluarga tentang tanda
dan gejala infeksi dan
kapan melaporkan ke
pelayanan kesehatan
yang ada.
1.2 Instruksikan pasien
menggunakan teknik cuci
tangan dengan tepat
1.3 Menggunakan sabun
antimikroba untuk cuci
tangan
1.4 Cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan
aktivitas
1.5 Administrasikan terapi
antibiotika
NOC : Perineal care
2.1 menjaga perineum secara
berkala
2.2 membersihkan perineum
secara berkala
2.3 menggunakan pakaian
dalam yang mudah
menyerap
3. Ansietas Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama x24 jam
ansietas klien berkurang
Kriteria Hasil :
NOC : Anxiety Self Control
- decrease environtmental
stimuli when anxiety
- seeks information to
reduce anxiety
- uses relaxation
techniques to reduces
anxiety
NIC : Anxiety Reduction
1. stay with patient to
promote savety and
reduce fear
2. encourage family to stay
with patient
3. create an atmosphere to
facilitatae trust
4. encourage verbalization
of feeling, perceptions,
and fears.
5. Help patient identify
situation that precipitate
anxiety
6. Control stimuli for patient
needs
IV.
REFERENSI
Cunningham, F,Gary. 2012. William Obstetri. Jakarta:EGC
Joane Mc Closkey, dkk. 2008. Nursing Intervention classification (NIC) Edisi 5. United States of
Amerika:Mosby Elsevier
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta:Media Aesculapius.
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan
KB Volume 2 halaman 221. Jakarta:EGC
Manuaba, Ida Bagus Gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri Edisi 1 halaman 457. Jakarta:EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta:EGC
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC) Edisi 4. United States of
America:Elsevier
Nanda International. 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta:EGC
Prawirohardjo, S. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina Pustaka