Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
19
KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN STRUKTUR DAN SEMANTIK
The Vocabulary of Psychotic in Sundanese Culture:Structural and Semantic Study
Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Pos-el: [email protected], [email protected]
(Diterima, 26 Maret 2018, Disetujui, 2 Mei 2018)
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kosakata psikosis yang ada dalam kebudayaan Sunda. Masalah penelitian adalah pertama, struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda. Kedua, makna yang terkandung dalam kosakata tersebut. Untuk memecahkan kedua masalah itu digunakan teori struktur dan teori semantik, yakni makna referensial. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda berupa bentuk kata tunggal, kata jadian, frasa, komposisi, dan klausa. Secara semantis, kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda mengacu pada gangguan jiwa tingkat ringan, sedang, dan berat. Di samping itu, terdapat pula makna yang mengacu pada awal gangguan jiwa. Kata Kunci: kosakata, budaya, Sunda, struktur, semantik.
AbstractThis research is purposed to describe the vocabulary of psychotic in Sundanese culture. The problems of the research are the vocabulary structure of psychotic existed in Sundanese culture and the meaning contained in vocabulary. To solve both of these problems, the researcher uses structural and semantic theory named referential meaning. To reach the goal, we use descriptive method. The result of the research shows that the structural psychotic vocabulary found in Sundanese culture are singular, derivative, phrase, composition, and clause. While semantically, the psychotic vocabulary contained in Sundanese culture refers to mild, advanced, and severe mental disorder. Besides that, it refers to the early state of mental disorder.
Keyword: vocabulary, culture, Sundanese, structure, semantic
20
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
I. PENDAHULUAN
Kelahiran, pernikahan, dan kematian
merupakan siklus kehidupan yang secara
umum akan dialami oleh manusia ketika
hidup. Dalam melewati siklus tersebut tidak
selamanya manusia berada dalam keadaan
sehat tetapi ada kalanya juga berada dalam
keadaan sakit. Sehat merupakan kata yang
umum dikenal dalam masyarakat. Meski
merupakan kata yang tak asing lagi,
kenyataannya banyak orang yang masih
kurang peduli terhadap kesehatan. Padahal
kata orang bijak sehat itu mahal, dan hal
itu baru disadari pada saat kita jatuh sakit.
Bahkan harta yang melimpah, karir yang
sukses, kedudukan sosial yang baik, semuanya
tidak dapat dinikmati ketika tubuh terasa
sakit. ‘Sehat’ menurut KBBI (2016) dapat
diartikan dalam keadaan baik segenap badan
serta bagian-bagiannya. Adapun kesehatan
menurut UU RI No. 23 tahun 1992 diartikan
sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa,
dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dalam kebudayaan masyarakat Sunda,
kata ‘sehat’ mempunyai kedudukan yang
sangat penting. Hal ini terlihat dari ekspresi
yang dituturkan oleh orang Sunda yang
saling mengenal ketika mereka berjumpa.
Umumnya dalam masyarakat Sunda ekspresi
yang pertama kali terucap pada saat berjumpa
dengan orang yang dikenal dimulai dengan
suatu kata yang menanyakan kesehatan
yaitu ekspresi kumaha damang? Yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi ‘apa kabar’. Damang dalam bahasa
Sunda mempunyai arti sehat lahir-batin,
Dengan demikian, orang Sunda menempatkan
‘sehat’ sebagai sesuatu yang penting. Selain
ekspresi kumaha damang? dalam masyarakat
Sunda ketika kita mendengar ada orang yang
bersin baik itu bayi, anak-anak, orang dewasa
maupun orang tua maka akan dijawab melalui
ekspresi hurip waras. Hurip mempunyai arti
sehat lahir-batin sedang waras mempunyai arti
sehat atau kesehatan. Jadi, hurip waras berarti
hidup dengan segar dan sehat lahir-batin.
Dalam kaitan dengan ini, Sobarna (2014)
menegaskan bahwa kegiatan bertegur sapa
dengan ekspresi ”Apa kabar?”merupakan
wujud penanaman nilai karakter yang
berkaitan dengan bergaya hidup sehat.
Ekspresi tersebut tentu saja menggambarkan
bagaimana kesehatan menjadi bagian yang
paling utama dalam menjalani kehidupan
ini sehingga ketika mendengar orang bersin
pun kita segera mendoakan kesehatan yang
bersangkutan melalui ekspresi ”hurip waras”.
Pada Zaman feodal pun terdapat ungkapan
hurip gusti waras abdi yang mempunyai arti
raja senang serta mulya rakyat sehat lahir-
batin.
Ekspresi cageur dalam urutan cageur,
bageur, bener, pinter, dan singer pun
menempatkan cageur yang berarti baik
sehat rohani maupun jasmani pada urutan
yang pertama. Urutan unsur-unsur pada
ekspresi tersebut tidak dapat dipermutasikan,
karena memiliki makna filosofis sebagai
siklus yang harus dicapai melalui tahapan
tertentu (Djajasudarma, 2003). Hal ini pun
menunjukkan bahwa ‘sehat’ baik jasmani
maupun rohani menurut masyarakat Sunda
merupakan hal yang penting dalam kehidupan.
Ketika keadaan sehat itu terganggu maka
mulai timbul penyakit. Penyakit merupakan
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
bakteri, virus, atau kelainan sistem faal atau
21
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
jaringan pada organ tubuh (pada makhluk
hidup) (KBBI, 2016). Berdasarkan jenisnya
penyakit terbagi menjadi dua jenis yaitu
penyakit jasmani dan penyakit rohani.
Penyakit jasmani adalah penyakit yang sudah
banyak kita kenal dan hampir seluruh manusia
pernah mengalaminya. Hal tersebut dapat kita
obati baik melalui cara medis maupun cara
tradisional/pengobatan alternatif sedangkan
penyakit rohani adalah penyakit yang
berasal dari dalam diri manusia itu sendiri
yang mengakibatkan terganggunya sistem
syaraf sehingga mengakibatkan gerak-gerik
manusia tersebut menjadi tidak terkontrol/
tidak normal. Dalam kaitan dengan ini, di
kehidupan masyarakat Sunda pun dikenal
kosakata penyakit jasmani dan penyakit
rohani. Gangguan jiwa merupakan penyakit
rohani. Seseorang dikatakan mengalami
gangguan jiwa bila terdapat gangguan
pada unsur psikis berupa pikiran, perasaan,
perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik
dan sosial. Penyebab gangguan jiwa biasanya
tidak tunggal. Berbagai penyebab baik fisik, psikis, dan sosial sekaligus sebagai penyebab
yang saling memengaruhi. Gangguan jiwa
dapat digolongkan ke dalam 4 jenis, yaitu:
1. gangguan jiwa berat yang biasa disebut
gila, 2. gangguan jiwa ringan, 3. gangguan
kepribadian (mengganggu orang lain), 4.
kecerdasan di bawah rata-rata.
Psikosis adalah gangguan jiwa yang
meliputi keseluruhan kepribadian sehingga
penderita tidak bisa menyesuaikan diri
dalam norma-norma hidup yang yang wajar
dan berlaku umum (Gunarsa, 1998). Ahli
lain, Maramis (2005) mengemukakan
bahwa psikosis adalah suatu gangguan jiwa
dengan kehilangan rasa kenyataan (senseof
reality). Kelainan seperti ini dapat diketahui
berdasarkan gangguan-gangguan pada
perasaaan, pikiran, kemauan, motorik, dan
sebagainya. Di dalam kebudayaan Sunda
terdapat beragam kosakata psikosis (gangguan
jiwa). Sejalan dengan latar belakang yang
telah dikemukakan di atas, masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1). Bagaimana struktur kosakata psikosis
yang terdapat dalam kebudayaan Sunda? 2).
Makna referensial apa yang terkandung dalam
kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda?
Sejalan dengan masalah, tujuan penelitian ini
adalah 1). mendeskripsikan struktur kosakata
psikosis yang terdapat dalam kebudayaan
Sunda; 2). mendeskripsikan makna referensial
yang terkandung dalam kosakata psikosis
dalam kebudayaan Sunda.
Kajian Teori
Untuk memecahkan masalah dan mencapai
tujuan penelitian ini digunakan teori morfologi
dan semantik. Teori morfologi bersandar pada
pandangan Djajasudarma (2013) dan Arifin dkk (2009). Morfologi dipahami sebagai ilmu
yang mempelajari morfem dan bagaimana
morfem-morfem tersebut dibentuk menjadi
kata atau morfem kompleks. Morfem adalah
satuan bahasa terkecil yang mengandung
makna (Arifin dkk, 2009) sejalan dengan
Arifin dkk, Djajasudarma (2013) mengartikan morfem sebagai satuan bunyi bahasa yang
terkecil yang mengandung arti atau ikut
mendukung arti. Morfologi berkaitan dengan
stuktur kata. Struktur ini dapat berupa kata
tunggal dan kata jadian. Kata tunggal (morfem
bebas) dalam bahasa Sunda berdasarkan
jumlah silabenya meliputi monosilabis (satu
silabe), dwisilabis (dua silabe), dan Pilisilabis
22
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
(banyak/lebih dari dua silabe). Kata jadian
dapat berwujud melalui kombinasi kata dasar
dengan afiks, yakni melalui proses morfemis yang disebut afiksasi. Arifin dkk (2009)
menyebut afiksasi atau pengimbuhan sebagai proses morfologis yang mengubah sebuah
leksem menjadi kata setelah mendapat afiks, yang dalam bahasa Indonesia cukup banyak
jumlahnya. Berdasarkan posisi (tempatnya)
afiks dapat berupa prefiks (awalan), infiks
(sisipan), dan sufiks (akhiran). Adapun pengertian frasa ialah satuan
gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih
yang tidak melampaui batas fungsi unsur
klausa (Ramlan, 2001). Batas fungsi unsur
klausa yang dimaksud oleh Ramlan tersebut
adalah predikat. Dengan kata lain, dapat
dinyatakan bahwa frasa merupakan unsur
sintaksis yang terdiri atas dua unsur atau lebih
yang tidak predikatif (Djajasudarma, 2013).
Unsur-unsur frasa dapat bermacam-macam
antara lain preposisi dan posposisi. Selain
frasa terdapat pula gabungan dua unsur kata
yang menimbulkan suatu kata baru yang
disebut dengan komposisi (kata majemuk).
Ciri komposisi di antaranya di antara gabungan
dua unsur kata itu tidak dapat disisipi apa-apa
dan dalam pengucapan tidak ada jeda (unsur
henti).
Ramlan (2001, hlm. 79) menjelaskan
bahwa klausa sebagai satuan gramatik
yang terdiri atas subjek (S) dan predikat (P)
baik disertai objek (O), pelengkap (PEL), keterangan (KET) ataupun tidak. Dengan
demikian, unsur inti klausa adalah subjek (S)
dan predikat (P). Sejalan dengan pernyataan
Ramlan, Djajasudarma (2013, hlm. 134)
menyatakan klausa adalah unsur bahasa yang
terdiri atas dua unsur atau lebih dan bersifat
predikatif (Sekurang-kurangnya memiliki satu
predikat). Dalam bahasa Sunda tipe klausa
dapat berupa intransitif seperti pada Ali indit ‘Ali pergi’, dan lanceukna naek ‘kakaknya
naik’; aktif transitif, seperti pada manehna mawa buku ‘ia membawa buku’ dan Misnem ngadahar sangu ‘Misnem makan nasi’;
ekuatif, seperti pada Minah budak bageur
‘Minah anak baik’ dan Manehna prajurit ‘Ia prajurit’; statif, seperti pada: Manenhna gering ‘Ia sakit’ dan Manehna cape ‘Ia lelah’.
Teori lainnya, mengenai semantik bersandar
pada teori Djajasudarma (2012). Semantik
dipahami sebagai kajian tentang makna.
Makna referensial merupakan salah satu dari
jenis makna. Lebih jauh Djajasudarma (2012)
mengemukakan bahwa makna referensial
atau acuan adalah makna yang berhubungan
langsung dengan kenyataan atau referent.
Makna ini disebut juga dengan makna kognitif
karena memiliki acuan. Pandangan yang sama
dikemukakan oleh Chaer (2002) bahwa bila
kata-kata yang sama itu mempunyai referen,
yaitu sesuatu di luar bahasa yng diacu oleh kata
itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna
referensial. Misalnya, kata meja dan kursi
termasuk ke dalam makna referensial sebab
kedua kata tersebut memiliki referen, yaitu
sejenis perabotan rumah tangga yang disebut
“meja’ dan “kursi”.
Penelitian terdahulu yang sejenis pernah
dilakukan antara lain oleh:
1. Rahmat Taufiq Hidayat, dkk. Peperenian Urang Sunda, Bandung: Kiblat. 2005.
Cetakan kedua terbit tahun 2007. Buku
ini memuat bab yang berjudul rupa-rupa kasakit (berbagai penyakit). Dalam bab ini
istilah penyakit tersebut dikelompokkan
berdasarkan nama penyakit, nama penyakit
23
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
yang berakhiran -eun, nama penyakit yang
memakai kata ulang dan akhiran -eun, dan
nama penyakit yang dibuat oleh manusia.
2. Teddi Muhtadin dkk, Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda, Bandung:
Penelitian Andalan Unpad, 2009. Kamus
ini berisi istilah-istilah yang berkaitan
dengan kesehatan dalam kebudayaan
Sunda. Istilah yang dimaksud berkaitan
dengan nama penyakit, keluhan, gejala,
dan cara pengobatan.
3. Gilang, dkk, Buku Bahasa Sunda untuk Praktik Kedokteran, 2012. Buku ini
merupakan buku saku yang disusun oleh
mahasiswa Fakultas Kedokteran Unpad.
Tujuan penyusunan buku ini sebagai
pedoman untuk para dokter muda yang
banyak terjun di daerah Jawa Barat.
Buku ini dicetak terbatas hanya untuk
mahasiswa kedokteran Unpad. Buku ini
memuat anatomi tubuh dan keluhan dalam
bahasa Sunda dan percakapan anamnesa
dalam bahasa Sunda.
4. Nurfitiriani, Kosakata Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda, Skripsi
Sastra Sunda Unpad. 2010. Skripsi
ini mengkaji berbagai nama penyakit,
keluhan, gejala, dan cara pengobatan dari
segi kelas kata dan maknanya.
Berdasarkan penelitian terdahulu,
penelitian terkait istilah bidang kesehatan
dalam bahasa Sunda telah banyak dilakukan.
Penelitian tersebut berpusat pada inventarisasi
dan dokumentasi kosakata nama penyakit,
keluhan, gejala, klasifikasi jenis penyakit,
dan cara pengobatan. Namun demikian,
penelitian terkait kosakata penyakit yang
mengkhususkan pada psikosis, sepengetahuan
peneliti belum dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengisi
kekosongan tersebut.
Metode Penelitian
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan
atau diterapkan (Sudaryanto, 2015). Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Penggunaan metode
deskriptif dipertimbangkan atas pemusatan
perhatian pada ciri-ciri dan sifat-sifat data
bahasa secara alami sehingga dihasilkan
pemerian data yang sahih untuk dapat
dianalisis (Djajasudarma, 2013). Selanjutnya,
Sugiyono (2017) menyatakan bahwa teknik
pengumupulan data dapat bersumber dari
dokumen. Kamus merupakan salah satu
bentuk dokumen tertulis. Teknik yang
dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan
pengumpulan data berupa pencatatan kosakata
psikosis yang terdapat pada Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda. Kamus
ini merupakan kamus dwibahasa (Sunda-
Sunda-Indonesia) yang disusun oleh Teddi
Muhtadin dkk., dan diterbitkan oleh Penerbit
Kiblat di Bandung tahun 2013 (Cetakan ke-
1). Menurut Muhtadin, tujuan penyusunan
kamus ini sebagai konservasi bahasa dan
budaya Sunda serta sebagai bentuk kontribusi
bagi bidang kesehatan. Selain teknik catat,
peneliti juga menggunakan teknik wawancara,
yakni mewawancarai Dr. Teddi Muhtadin,
penyusun utama Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1).
Wawancara ini dilakukan di ruang kantor
Kepala Pusat Studi Budaya Sunda (PSBS)
FIB Unpad pada hari Rabu, 6 Juni 2018.
Wawancara ini diperlukan terutama guna
memperoleh informasi tambahan terkait
24
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
makna referensial kosakata psikosis bahasa
Sunda.
Kamus yang dijadikan sebagai sumber
data adalah Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1) yang
disusun oleh Teddi Muhtadin dkk., diterbitkan
di Bandung oleh penerbit Kiblat tahun 2013.
Alasan digunakannya kamus ini sebagai sumber
data penelitian sebab kamus ini memuat data
kosakata psikosis yang peneliti perlukan untuk
analisis. Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1) memuat
589 entri. Berdasarkan hasil penyeleksian
dan pencatatan data dari kamus tersebut
terkumpul 50 data kosakata psikosis. Setelah
data terkumpul, tahap berikutnya adalah
melakukan pengklasifikasian data berdasarkan rumusan masalah, dan penganalisisan
data berdasarkan segi struktur dan makna
referensial (acuan) kosakata psikosis yang
terdapat dalam kebudayaan Sunda. Analisis
ini dengan bersandar pada teori struktur dan
semantik. Penyimpulan dilakukan sebagai
jawaban masalah dan tujuan penelitian yang
telah dirumuskan.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Kosakata Psikosis dalam
Kebudayaan Sunda
Dalam kebudayaan Sunda dikenal
beberapa kosakata psikosis (gangguan jiwa)
yang berbeda-beda berdasarkan pada hal yang
menyebabkan terjadinya gangguan tersebut.
Kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda
berdasarkan penelitian ini berbentuk kata
tunggal, kata jadian, frasa, dan klausa. Berikut
uraian mengenai kosakata psikosis dalam
bahasa Sunda berdasarkan bentuknya.
2.1 Kata
2.1.1 Kata Tunggal
Kosakata psikosis yang termasuk ke
dalam bentuk kata tunggal dalam bahasa
Sunda berkategori adjektiva. Adjektiva atau
kata sifat adalah kata yang menjadi ciri suatu
benda atau kata yang menjawab bagaimana.
Berdasarkan segi perilaku semantisnya,
adjektiva kosakata psikosis bahasa Sunda
termasuk ke dalam kelas adjektiva pemeri
sifat yang menggambarkan kualitas dan
intensitas bercorak mental. Kosakata psikosis
dalam kebudayaan Sunda yang berupa kata
tunggal berdasarkan penelitian ini terbagi ke
dalam kata tunggal dwisilabis (dua silabe) dan
Polisilabis (tiga silabe dan empat silabe).
Kata Tunggal Dwisilabis (Dua Silabe)
Kosakata psikosis dalam kebudayaan
Sunda berbentuk kata tunggal dwisilabis (dua
silabe) yang ditemukan dalam penelitian ini
berjumlah 12 data. Berikut ini dua belas data
kosakata psikosis berbentuk kata tunggal dua
silabe.
1. (2) burung ‘gila’
2. (3) edan ‘gila’
3. (4) eusleum ‘agak gila’
4. (5) gejul ‘agak gila’
5. (6) gelo ‘gila’
6. (8) gendol ‘agak gila’
7. (24) majnun ‘gila’
8. (28) sédéng ‘gila’
9. (29) seuit ‘kambuh’
10. (33) sinting ‘agak gila’
11. (35) siwah ‘gila’
12. (37) palung ‘gila’
Data (1) sampai (12) dikatakan bentuk kata
tunggal dwisilabis karena kata ini dapat
25
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil.
Data (1) burung dapat diuraikan lagi pada
bentuk yang lebih kecil yaitu bu-rung, (2) edan
dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih
kecil yaitu e-dan, (3) eusleum dapat diuraikan
lagi pada bentuk yang lebih kecil yaitu eus-leum, (4) gejul dapat diuraikan lagi pada bentuk
yang lebih kecil yaitu ge-jul, (5) gelo dapat
diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil
yaitu ge-lo. (6) gendol dapat diuraikan lagi
pada bentuk yang lebih kecil yaitu gen-dol, (7) majnun dapat diuraikan lagi pada bentuk
yang lebih kecil yaitu maj-nun. Kata majnun
merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Data
(8) sédéng dapat diuraikan lagi pada bentuk
yang lebih kecil yaitu sé-déng, (9) seuit dapat
diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil
yaitu seu-it. (10) sinting dapat diuraikan lagi
pada bentuk yang lebih kecil yaitu sin-ting.
(11) siwah dapat diuraikan lagi pada bentuk
yang lebih kecil yaitu si-wah, dan (7) palung
dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih
kecil yaitu pa-lung. Kata psikosis burung, edan, eusleum, gejul, gelo, gendol, majnun, sédéng, seuit, sinting, siwah, dan palung pada
kebudayaan Sunda dapat dialami oleh berbagai
jenis usia baik anak-anak, remaja, dewasa,
maupun orang tua, serta dapat dialami oleh
laki-laki ataupun perempuan.
Kata Tunggal Polisilabis
Selain bentuk kata tunggal dua silabe,
pada penelitian ini ditemukan pula 5 data
kosakata psikosis bahasa Sunda berbentuk
kata tunggal polisilabis (lebih dari dua silabe)
seperti tampak pada data berikut.
13. (12) kabadi ‘kesurupan’
14. (14) kasibat ‘merasa pusing karena
pengaruh makhluk
halus’
15. (23) majenun ‘gila’
16. (16) kawarian ‘perilaku/perbuatan \
orang yang tidak waras’
17. (49) kawerian ‘perilaku/perbuatan
orang yang tidak waras’
Data (13) sampai (17) dikatakan bentuk
kata tunggal polisilabis karena kata ini dapat
diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil.
Data (13) sampai (15) termasuk kata tunggal
tiga silabe. Data (13) kabadi dapat diuraikan
lagi pada bentuk yang lebih kecil yaitu ka-ba-di, (14) kasibat dapat diuraikan lagi pada
bentuk yang lebih kecil yaitu ka-si-bat, (15)
majenun dapat diuraikan lagi pada bentuk yang
lebih kecil yaitu ma-je-nun. Data (16) dan (17)
termasuk kata tunggal empat silabe. Data (16)
kawarian dapat diuraikan lagi pada bentuk yang
lebih kecil yaitu ka-wa-ri-an, (17) kawerian
dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih
kecil yaitu ka-we-ri-an. Kata psikosis kabadi, kasibat, majenun, kawarian dan kawerian pada
kebudayaan Sunda dapat dialami oleh berbagai
jenis usia baik anak-anak, remaja, dewasa,
maupun orang tua, serta dapat dialami oleh
laki-laki maupun perempuan.
2.1.2 Kata Jadian
Kata jadian merupakan bentuk kata yang
telah mengalami proses morfemis. Kosakata
psikosis dalam kebudayaan Sunda yang
berbentuk kata jadian merupakan hasil dari
proses morfemis afiksasi. Proses morfemis
afiksasi yang terjadi yaitu prefiksasi,
konfiksasi, dan reduplikasi.
26
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
PrefiksBerdasarkan penelitian ini, prefiks
(awalan) yang membentuk kata jadian psikosis
dalam kebudayaan Sunda berupa prefiks ka-. Data kata jadian yang merupakan gabungan
dari prefiks ka- + kata tunggal yang ditemukan
berjumlah 3. Perhatikanlah data berikut.
18. (12) kasambet ‘kesurupan’
19. (30) kaseuit ‘kambuhnya
penyakit’
20. (32) kahudang ‘kambuhnya
penyakit’
Data (18) sampai (20) merupakan kata jadian
yang dibentuk oleh prefiks ka- + kata tunggal.
Data (18) kasambet ‘kesurupan’ dibentuk oleh
prefiks ka- + verba sambet ‘pinjam’. Gabungan
ini berfungsi untuk menunjukkan verba. Data
(19) kaseuit ‘kambuhnya penyakit’ dan (20)
kahudang ‘kambuhnya penyakit’ dibentuk
oleh prefiks ka- + verba seuit ‘kambuh’ dan
verba hudang ‘kambuh’. Gabungan kata pada
data (19) dan (20) berfungsi untuk membentuk
dan menunjukkan nomina.
KonfiksKonfiks merupakan afiks tunggal yang
terjadi dari dua bagian yang terpisah. Konfiks disebut juga dengan kombinasi afiks. Bentuk konfiks yang ditemukan pada kosakata
psikosis dalam kebudayaan Sunda berupa ka- + -an, ka- + sa- + -an dan N- (nasal) + -an.
Berikut adalah data yang memuat konfiks ini.
21. (1) kaasupan ‘kemasukan’
22. (13) kasarumahan ‘kesurupan’
23. (15) kasurupan ‘kesurupan’
24. (17) kedanan ‘tergila-gila’
25. (18) kaedanan ‘tergila-gila’
26. (25) ngagigihan ‘mulai gila’
27. (39) kaleleban ‘tergila-gila’
Data (21), (23), (25), dan (27) merupakan
kata jadian yang dibentuk oleh konfiks ka- + -an + kata tunggal. Data (21) kaasupan
‘kemasukan’, (23) kasurupan ‘kesurupan’
dan (27) kaleleban ‘tergila-gila’ dibentuk
oleh konfiks ka- + -an + verba asup ‘masuk’,
verba surup ‘masuk’, dan verba leleb
‘mendalam’. Gabungan hasil proses morfemis
konfiksasi pada data (21) dan (23) berfungsi untuk menunjukkan verba sedangkan hasil
gabungan proses morfemis konfiksasi pada data (27) berfungsi untuk membentuk pasif
kebetulan. Data (25) kaedanan ‘tergila-gila’
dibentuk oleh konfiks ka- + -an + adjektiva
edan ‘gila’. Gabungan ini berfungsi ini untuk
membentuk makna pasif kebetulan. Pada data
(24) kedanan ‘tergila-gila’ terjadi dua kali
proses berupa proses morfemis konfiksasi dan gejala morfofonemik. (24) kedanan
‘tergila-gila’ dibentuk oleh konfiks ka- + -an + adjektiva edan ‘gila’ yang selanjutnya
dalam proses morfemis konfiksasi ini terjadi pula gejala morfofonemik berupa sandhi. Pada
(24) kedanan dibentuk dari peluluhan dua
vokal yang berderet a + e – e pada kaedanan.
Pada data (18) kasarumahan ‘kesurupan’ pun
terjadi dua kali proses morfemis. Pertama,
prefiks sa- + nomina rumah ‘rumah’ menjadi
sarumah ‘serumah’. Kedua, konfiks ka- + -an + kata jadian sarumah ‘serumah’. Gabungan
proses morfemis pada data (24) berfungsi
untuk membentuk dan menunjukkan verba.
Data (25) ngagigihan ‘mulai gila’ dibentuk
oleh konfiks N (nasal)- + -an + nomina gigih
‘nasi setengah matang’. Gabungan proses
27
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
morfemis konfiksasi pada data (25) berfungsi untuk membentuk dan menunjukkan verba.
Reduplikasi
Reduplikasi merupakan kata ulang. Proses
pengulangan ini dapat terjadi baik sebagian
maupun seluruhnya. Data kosakata psikosis
dalam kebudayaan Sunda yang ditemukan
dalam penelitian ini berjumlah 5, mencakup
dwireka dan dwipurwa (reduplikasi sebagian)
dengan proses morfemis.
Dwireka
Pengulangan dengan mengulang sebuah
bentuk tunggal disertai dengan perubahan
bunyi (vokal) disebut dwireka. Pada penelitian
ini, bentuk dwireka psikosis dalam kebudayaan
Sunda yang ditemukan berjumlah 2 data.
Cermatilah data berikut.
28. (22) langlang-lingling ‘rada gelo’
29. (40) selang-seling ‘agak gila’
Pada data (28) dan (29) terjadi pengulangan
kata tunggal disertai dengan perubahan vokal
a menjadi i. Pada (28) langlang-lingling
‘rada gelo’ dan (29) selang-seling ‘agak
gila’ terjadi pengulangan verba langlang
‘berjalan-jalan (untuk memeriksa keadaan)’
dan verba selang ‘menunda pekerjaaan
sejenak (untuk mengerjakan pekerjaan lain)’
disertai dengan perubahan vokal a menjadi i. Proses pengulangan kata pada (28) dan (29)
berfungsi untuk membentuk dan menunjukkan
adjektiva.
Dwipurwa dengan Proses Morfemis
Dwipurwa dengan proses morfemis
dibentuk oleh pengulangan silabe inisial dengan
penambahan atau pengurangan pada silabe
awal yang diulang. Berdasarkan penelitian ini,
kata psikosis dalam kebudayaan Sunda yang
berbentuk dwipurwa dengan proses morfemis
berjumlah 3 data. Perhatikanlah data berikut.
30. (9) kagegeloan ‘tergila-gila’
31. (31) seuseuitan ‘kambuhnya
penyakit’
32. (38) kabungbulengan ‘tergila-gila’
Pada data (30) dan (32) terjadi pengulangan
silabe inisial dengan pengurangan fonem
dan pembentukan dengan konfiks ka- + -an. Data (30) kagegeloan ‘tergila-gila’
dan (32) kabungbulengan ‘tergila-gila’
dibentuk oleh pengulangan silabe inisial ge
pada awal adjektiva gelo ‘gila’ dan bung
pada nomina buleng ‘sejenis wadah tempat
menampung ikan dari bambu’ + konfiks ka- + -an. Proses reduplikasi dengan morfemis
pada data (30) berfungsi untuk menunjukkan
adjektiva sedangkan pada (32) berfungsi untuk
membentuk dan menunjukkan adjektiva.
Data (31) seuseuitan ‘kambuhnya penyakit’
dibentuk oleh pengulangan silabe inisial seu
pada awal verba seuit ‘kambuh’+ sufiks -an.
Proses reduplikasi dengan morfemis pada
data (31) berfungsi untuk membentuk dan
menunjukkan nomina.
2.2 Frasa
Frasa adalah satuan gramatik yang
terdiri atas dua unsur atau lebih yang
bersifat predikatif. Kosakata psikosis dalam
kebudayaan Sunda yang ditemukan dalam
penelitian ini berbentuk frasa nomina (l), frasa
adjektiva (l), dan frasa numeralia (l). Frasa
dapat berupa gabungan kata dengan kata dan
28
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
gabungan partikel dengan kata. Partikel yang
bergabung dengan kata itu dapat berupa partikel
yang menyatakan tingkat perbandingan dan
partikel ingkar. Pada penelitian ini ditemukan
10 data kata psikosis yang berbentuk frasa.
Frasa Nomina (l)
Frasa nomina (l) adalah frasa yang memiliki
unsur inti berupa nomina. Kosakata psikosis
dalam kebudayaan Sunda berbentuk frasa
nomina (l) dalam penelitian ini hanya berjumlah
1 data, seperti tampak pada data berikut.
33. (19) kurang ingetan ‘kurang
ingatan’
Data (33) merupakan frasa nomina (l) yang
dibentuk dari gabungan partikel dengan kata
tunggal. (33) kurang ingetan ‘kurang ingatan’
dibentuk dari unsur nomina ingetan ‘ingatan’
sebagai inti dan partikel kurang ‘kurang’
sebagai penentu terhadap inti (nomina).
Partikel kurang ‘kurang’ berfungsi sebagai
atribut yang menerangkan frasa.
Frasa Adjektiva (l)
Frasa adjektiva (l) adalah frasa yang
memiliki unsur inti berupa adjektiva.
Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bentuk
frasa adjektiva (l) psikosis dalam kebudayaan
Sunda sebanyak 8 data. Berikut ini data yang
memuat frasa adjektiva (l).
34. (7) rada gelo ‘agak gila’
35. (10) gering pikir ‘sakit pikiran’
36. (41) rada cageur ‘agak sehat
(pikirannya)’
37. (42) teu damang ‘tidak sehat
(pikirannya)’
38. (43) teu eucreug ‘tidak benar
(pikirannya)’
39. (44) teu waras ‘tidak waras
(pikirannya)’
40. (45) teu cageur ‘tidak sehat
(pikirannya)’
41. (46) teu bener ‘tidak benar
(pikirannya)’
Data (34) sampai (41) kecuali (35) merupakan
frasa adjektiva (l) yang dibentuk dari gabungan
partikel dengan kata tunggal. (34) rada gelo
‘agak sehat (pikirannya)’ dan (36) rada cageur ‘agak sehat (pikirannya)’ dibentuk dari unsur
adjektiva cageiur ‘sehat’ dan cageur ‘sehat’
sebagai inti dan preposisi tingkat rada ‘agak’
sebagai penentu terhadap inti (adjektiva). Data
(37) teu damang ‘tidak sehat (pikirannya)’,
(38) teu eucreug ‘tidak benar (pikirannya)’
(39) teu waras ‘tidak waras (pikirannya)’,
(40) teu cageur ‘tidak sehat (pikirannya)’,
dan (41) teu bener ‘tidak benar (pikirannya)’
dibentuk dari unsur adjektiva damang ‘sehat’,
eucreug ‘benar’, waras ‘sehat’, cageur ‘sehat’,
dan bener ‘benar’ sebagai inti dan modalitas
teu ‘tidak’ sebagai penentu terhadap inti
(adjektiva). Modalitas teu ‘tidak’ berfungsi
sebagai atribut yang menerangkan frasa.
Data (35) merupakan frasa nomina (l) yang
dibentuk dari gabungan adjektiva dan nomina.
(35) gering pikir ‘sakit pikiran’ dibentuk dari
unsur adjektiva gering ‘sakit’ pikir ‘pikiran’
sebagai inti dan nomina pikir ‘pikiran’ ‘sebagai
pewatas terhadap inti (adjektiva). Unsur
nomina pikir ‘pikiran’ berfungsi sebagai atribut
yang menerangkan frasa.
Frasa Numeralia (l)
Frasa numeralia (l) adalah frasa yang
memiliki unsur inti berupa numeralia.
29
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
Kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda
berbentuk frasa numeralia (l) dalam penelitian
ini berjumlah 2 data, seperti terlihat pada data
berikut.
42. (20) kurang saeundan ‘kurang dari
setengah
(ikatan padi)’
43. (21) kurang sasetrip ‘kurang satu
strip’
Data (42) kurang saeundan dan (43) kurang sasetrip merupakan frasa numeralia yang
dibentuk dari unsur numeralia saeundan
‘ukuran (setengah) seikat padi’ dan numeralia
sasetrip ‘satu strip’sebagai inti dan partikel
kurang ‘kurang’ sebagai penentu terhadap inti
(numeralia). Partikel kurang ‘kurang’ berfungsi
sebagai atribut yang menerangkan frasa.
Komposisi
Komposisi atau kata majemuk adalah
gabungan dua kata yang menimbulkan suatu
kata baru. Dalam penelitian ini ditemukan 1
data kata psikosis dalam kebudayaan Sunda
berbentuk komposisi, sebagaimana tampak di
bawah ini.
44. (27) satengah buah leunca ‘gila’
Data (44) satengah buah leunca ‘gila’
dibentuk dari numeralia satengah buah
‘setengah buah’ sebagai unsur menerangkan
(M) dan nomina leunca ‘leunca (nama buah)’
sebagai unsur diterangkan (D). Numeralia
satengah buah ‘setengah buah’ merupakan
unsur kata sedangkan nomina leunca ‘buah
leunca’ merupakan unsur pokok kata. Dengan
demikian, data (44) memiliki pola komposisi
MD.
2.3 Klausa
Klausa merupakan satuan gramatikal
berupa kelompok kata yang sekurang-
kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
klausa dapat berupa gabungan nomina dengan
verba, nomina (l) dengan ajektiva, dan
gabungan nomina (l) dengan frasa. Kosakata
psikosis dalam kebudayaan Sunda berdasarkan
penelitian ini berjumlah 6 data yang terbagi ke
dalam klausa transitif, intransitif, dan statif.
Klausa Transitif
Klausa transitif adalah klausa yang
verbanya selalu disertai tujuan. Pada penelitian
ini ditemukan 3 buah data psikosis dalam
kebudayaan Sunda berbentuk klausa transitif,
seperti tampak di bawah ini.
45. (26) Owah pikir ‘(dia) berubah
pikiran (gila)’
46. (47) Jelema owah ‘orang (yang
berpikiran
berubah-ubah)
(gila)’
47. (50) jelema koclak ‘orang
berubah-ubah
(gila)’
Data (45) owah pikir ‘(dia) berubah
pikiran (gila)’ merupakan klausa transitif
yang terdiri atas unsur verba owah ‘berubah’
yang menduduki fungsi predikat (P) dan
nomina pikir ‘pikiran’ yang menduduki
fungsi pelengkap (Pel). Data (46) jelema owah merupakan klausa yang terdiri atas
30
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
unsur nomina makhluk jelema ‘orang’ yang
menduduki fungsi subjek (S) dan verba
aktivitas owah ‘ubah’ yang menduduki fungsi
predikat (P). Owah merupakan kata serapan
dari bahasa Jawa. Data (47) jelema koclak ‘orang gila’ merupakan merupakan klausa
transitif yang terdiri atas unsur nomina makhluk
jelema ‘orang’ yang menduduki fungsi subjek
(S) dan verba koclak ‘terdengar suara yang
berubah dari bagian dalam (benda seperti
kelapa tua, telur busuk) jika digoyangkan’
yang menduduki fungsi predikat (P).
Klausa Intransitif
Klausa intransitif merupakan klausa
yang verbanya tidak mempunyai sasaran dan
menghindari objek. Berdasarkan penelitian
ini, bentuk klausa intransitif psikosis
dalam kebudayaan Sunda berjumlah 2 data.
Perhatikanlah data berikut.
48. (36) pikiranana teu beres ‘pikirannya
tidak beres’
49. (48) pikiranna teu jejeg ‘pikirannya
tidak lengkap’
Data (48) pikiranana teu bener ‘pikirannya
tidak beres’ merupakan klausa intransitif
yang terdiri atas unsur nomina (l) pikiranana
‘pikrannya’ yang menduduki fungsi subjek
(S) dan frasa adjektiva teu beres ‘tidak beres’
yang menduduki fungsi predikat (P). Data (49)
Pikiranana teu jejeg ‘pikirannya tidak lengkap’
merupakan klausa yang terdiri atas nomina(l)
pikiranana ‘pikirannya’ yang menduduki
fungsi subjek (S) dan frasa adverbia teu jejeg ‘tidak lengkap’ yang menduduki fungsi
predikat (P).
Klausa Statif
Selain klausa transitif dan intransitif pada
penelitian ini ditemukan pula data psikosis
dalam kebudayaan Sunda berupa klausa
ekuatif merupakan klausa dengan predikat
nonverbal atau predikatnya berupa unsur
adjektival atau adverbial. Klausa ini hanya
berjumlah 1 data, sebagai berikut.
50. (34) otakna miring ‘otaknya
miring’
Data (50) otakna miring ‘otaknya miring’
merupakan klausa yang terdiri atas unsur
nomina(l) otakna ‘otaknya’ yang menduduki
fungsi subjek (S) dan adjektiva miring ‘miring’
yang menduduki fungsi predikat (P). Predikat
adjektiva miring ‘miring’ berfungsi untuk
mendukung klausa statif.
B. Makna Acuan Kosakata Psikosis dalam
Bahasa Sunda
Dari segi makna, kosakata psikosis dalam
kebudayaan Sunda mengacu pada jenis
gangguan jiwa tingkat rendah, sedang, dan
berat. Tingkatan ini dipicu oleh berbagai sebab
baik masalah pribadi maupun sosial. Selain
itu, terdapat pula makna yang mengacu pada
keadaan awal gangguan jiwa.
Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa
Ringan
Dalam kebudayaan Sunda, kesurupan
termasuk ke dalam makna acuan jenis
gangguan jiwa ringan. Hal ini disebabkan
orang yang kesurupan akan sehat dan normal
kembali seperti biasanya setelah roh yang
masuk ke dalam tubuhnya dikeluarkan atau
diusir. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan
31
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
5 data yang menunjukkan makna kosakata
psikosis dalam kebudayaan Sunda yang
mengacu pada jenis gangguan jiwa ringan.
Makna acuan tersebut terdapat pada data
(1) kaasupan, (11) kabadi, (12) kasambet, (13)
kasarumahan, dan (15) kasurupan. Data (1),
(11), (12), (13), dan (15) adalah gangguan jiwa
yang disebabkan oleh makhluk halus seperti
jin dan makhluk halus lainnya. Orang yang terkena kabadi biasanya disebabkan karena dia
memasang patok di dalam tanah yang dihuni
oleh makhluk halus (setan), Patok tersebut
kemudian menusuk makhluk halus yang ada di
dalam tanah sehingga menyebabkan makhluk
halus marah dan akhirnya masuk ke dalam
tubuh si pemasang patok. Suara orang yang
kaasupan, kasambet, dan kasurupan biasanya
menyerupai suara orang telah meninggal
yang masuk ke dalam tubuh orang kasurupan
tersebut. Adapun orang yang kasarumahan
biasanya berbicara tanpa henti seperti roh
yang telah meninggal yang masuk ke dalam
tubuh orang kasarumahan tersebut.
Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa
Sedang
Dalam kebudayaan Sunda, orang
yang terganggu jiwanya tetapi masih bisa
berkomunikasi dengan orang normal dan bila
berbicara, kata-kata yang diucapkan terkadang
benar dan terkadang juga salah termasuk ke
dalam jenis gangguan jiwa sedang. Orang yang tergila-gila, kurang ingatan, dan agak
gila termasuk pula pada jenis gangguan ini.
Berdasarkan penelitian ini, Makna kosakata
psikosis yang mengacu pada jenis gangguan
jiwa sedang berjumlah 16 data. Makna
kosakata psikosis yang mengacu pada jenis
gangguan jiwa ini ditemukan pada data (4)
eusleum, (5) gejul, (7) rada gelo, (8) gendol, (9) kagegeloan, (17) kedanan, (18) kaedanan,
(19) kurang ingetan, (20) kurang saeundan, (21) kurang sasetrip, (22) langlang-lingling, (33) sinting, (38) kabungbulengan, (39)
kaleleban, (40) selang-seling, dan (41) rada cageur.
Data (4), (5), (7), (8), (22), (33), (40),
dan (41) memiliki makna agak gila. Data (9),
(17), (18), (38), dan (39) memiliki makna
tergila-gila. Data (19), (20), (21) memiliki
makna kurang ingatan. Data (9) kegegeloan
‘tergila-gila’ dan (38) kebungbulengan ‘tergila-
gila’ memiliki perbedaan dalam hal penyebab
terjadinya gangguan jiwa. (38) kegegeloan
‘tergila-tergila’diakibatkan karena ditinggalkan
oleh anak. Orang yang kagegeloan menjadi
sakit ingatan sehingga yang bersangkutan
berperilaku seperti orang gila sedangkan (38)
kabungbulengan ‘tergila-gila’ diakibatkan
karena ditinggal mati oleh kekasih atau cintanya
ditolak. Orang yang kabungbulengan setiap
saat baik pagi, siang, maupun malam akan
selalu teringat pada kekasih yang telah tiada
atau orang yang dicintainya sehingga dia selalu
tampak bersedih.
Data (19) kurang ingetan adalah keadaan
seseorang yang kurang ingatan, (20) kurang saeundan adalah keadaan seseorang yang
memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (idiot).
(21) kurang sasetrip dikatakan pada orang
yang kurang satu garis ingatannya (tergangu).
(22) langlang-lingling dan (23) selang-seling adalah keadaan seseorang yang agak gila.
Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa Berat
Dalam kebudayaan Sunda, orang gila yang
sudah tidak bisa berkomunikasi dengan orang
normal termasuk dalam jenis gangguan jiwa
32
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
berat. Orang gila yang cenderung mengamuk, merusak, bahkan mengganggu termasuk pula
pada jenis gangguan jiwa berat. Berdasarkan
penelitian ini, makna kosakata psikosis dalam
kebudayaan Sunda yang mengacu pada jenis
gangguan jiwa berat ditemukan sebanyak 16
data. Makna kosakata psikosis yang mengacu
pada jenis gangguan jiwa ini ditemukan pada
data (2) burung, (3) edan, (6) gelo, (10) gering pikir, (16) kawarian, (23) majenun, (24)
majnun, (26) owah pikir, (27) satengah buah leunca, (28) sédéng, (34) otakna miring, (35)
siwah, (36) pikiranana teu beres, (37) palung,
(42) teu damang, (43) teu eucreug, (44) teu waras, (45) teu cageur, (46) teu bener, (47)
jelema owah, (48) pikiranna teu jejeg, (49)
kawerian, dan (50) jelema koclak.
Data (2) burung, (6) gelo, (23) majenun,
(24) majnun, (27) satengah buah leunca, (28)
sédéng, (34) otakna miring, (35) siwah, dan
(37) palung memiliki makna yang sama yakni
gila, terkena gangguan jiwa dan tidak mampu
berkomunikasi dengan orang normal. Dalam
budaya masyarakat Sunda, seseorang dikatakan
edan bukan hanya karena dia gila tetapi karena
dia sering mengamuk serta mengganggu orang
lain. Orang yang siwah biasanya bersifat
merusak. Wanita yang baru melahirkan
kemudian mengalami sakit panas yang parah
biasanya mengalami siwah. Gangguan ini tidak
berlangsung lama. Berikutnya, data (26) owah pikir, (36) pikiranana teu beres (47) jelema owah, (48) pikiranna teu jejeg, dan (50) jelema koclak juga mempunyai makna gila, yaitu
memiliki pikiran yang tidak beres (terganggu
jiwanya) dan tidak ada komunikasi dengan
orang normal.
Kata damang, eucreug, waras, cageur, dan
bener mempunyai makna sehat (lahir-batin).
Gabungan kata-kata tersebut dengan partikel
ingkar teu ‘tidak’ pada (42) teu damang,
(43) teu eucreug, (44) teu waras, (45) teu cageur, (46) teu bener menghasilkan makna
sebaliknya yang berarti tidak sehat dalam
hal ini pikirannya yang dapat dimaknai juga
gila. Teu damang merupakan bentuk halus
dalam bahasa Sunda untuk menyatakan gila.
Adapun data (16) kawarian dan (49) kawerian
mempunyai makna perbuatan orang gila.
Mengacu pada Keadaan Awal Gangguan
Jiwa
Selain makna yang mengacu pada
gangguan jiwa ringan, sedang, dan berat,
dalam penelitian ini ditemukan pula makna
kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda
yang yang mengacu pada keadaan awal
gangguan jiwa. Dalam kebudayaan Sunda,
orang yang merasa pusing karena pengaruh
makhluk halus, orang yang kambuh kembali
penyakit lamanya (penyakit jiwa), dan
kondisi orang yang mulai gila termasuk ke
dalam keadaan awal gangguan jiwa. Data
yang mengacu pada makna ini berjumlah 6.
Keenam data ini ditemukan pada (14) kasibat, (25) ngagigihan, (29) seuit, (30) kaseuit, (31)
seuseuitan, dan (32) kahudang.
Data (29) seuit, (30) kaseuit, (31)
seuseuitan, dan (32) kahudang mempunyai
makna kambuhnya penyakit lama. Dalam
masyarakat Sunda dikenal kosakata bahwa
orang gila sering kaseuit dan seuseuitan bila
memakan daging. Adapun data (15) ngagigihan
mempunyai makna gejala seseorang yang
akan mulai terkena gangguan gila sedangkan
(14) kasibat memiliki makna acuan keadaan
awal gangguan jiwa berupa perasaan pusing
karena pengaruh makhluk halus.
33
Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani
III. SIMPULAN
Kosakata psikosis dalam kebudayaan
Sunda memiliki keragaman baik dari segi
struktur maupun makna. Secara struktur,
kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda
berbentuk kata tunggal, kata jadian, frasa,
komposis, dan klausa. Kata tunggal terbagi
atas kata tunggal dwisilabis (dua silabe) dan
polisilabis (tiga dan empat silabe). Bentuk kata
jadian terbagi atas prefiks ka- + verba, konfiks ka- + -an, ka- + sa- + -an dan N- (nasal) +
-an, reduplikasi (dwireka dengan perubahan
vokal a menjadi i dan dwipurwa dengan proses
morfemis konfiks ka- + -an dan sufiks -an).
Bentuk frasa psikosis dalam kebudayaan
Sunda mencakup frasa nomina (l), frasa
adjektiva (l), frasa numeralia (l). Bentuk-
bentuk frasa ini terdiri atas dua unsur dan tiga
unsur. Bentuk komposisi berpola MD. Bentuk
klausa psikosis dalam kebudayaan Sunda
mencakup klausa transitif, klausa intransitif,
dan klausa statif.
Secara semantis, makna kosakata
psikosis dalam kebudayaan Sunda mengacu
pada jenis gangguan jiwa tingkat rendah,
sedang, dan berat. Dalam kebudayaan Sunda,
kesurupan termasuk ke dalam makna acuan
jenis gangguan jiwa ringan sedangkan orang
yang terganggu jiwanya tetapi masih bisa
berkomunikasi dengan orang normal, orang
yang tergila-gila, kurang ingatan, dan agak
gila termasuk ke dalam jenis gangguan jiwa
sedang. Adapun orang gila yang sudah tidak
bisa berkomunikasi dengan orang normal,
yang cenderung mengamuk, merusak, bahkan
mengganggu termasuk termasuk dalam jenis
gangguan jiwa berat. Selain makna yang
mengacu pada gangguan jiwa ringan, sedang,
dan berat, dalam penelitian ini ditemukan pula
makna kosakata psikosis dalam yang mengacu
pada keadaan awal gangguan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal, & Junaiyah. (2009). Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Edisi Kedua.
Jakarta: Grasindo.
Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. (2012). Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Cet.II.
Bandung: PT Refika Aditama. Djajasudarma, T. Fatimah. (2003). Pariwisata
dalam Pembangunan Mental: Satu Studi Kasus Pariwisata dalam Hubungannya dengan Aspek Sosial-Budaya. Makalah
disampaikan pada Seminar Bidang
Ilmu Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Djajasudarma, T. Fatimah. (2013). Metode Lingusitik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.
Djajasudarma, T. Fatimah. (2013). Fonologi dan Gramatika Sunda. Bandung: Refika Aditama.
Dewan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi V. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Gilang, dkk.. (2012). Buku Bahasa Sunda untuk Praktik Kedokteran. Jatinangor: FK
Unpad.
Gunarsa, Singgih, dkk.. (1998). Psikologi Olahraga: Teori dan Praktik. Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia.
Hidayat, Rahmat Taufiq, dkk.. (2007). Peperenian Urang Sunda . Cet.II .
Bandung: Kiblat.
34
Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018
Maramis, W.F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Muhtadin, Teddi, dkk.. (2009). Kamus Istilah Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Muhtadin, Teddi, dkk.. (2013). Kamus Istilah Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda,
Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Nurfitiriani. (2010). Kosakata Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda. Skripsi
Program Studi Sastra Sunda, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran,
Jatinangor.
Ramlan. (2001). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
Republik Indonesia. (1992). Undang-Undang
No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI tahun 1992, No. 100. Sekretaris Negara. Jakarta.
Sudaryanto. ( 2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Penerbit USD.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: untuk Penelitian yang Bersifat: Eksploratif, Enterpretif, Interaktif, dan Konstruktif. Bandung: ALFABETA.
Sumber internet:
Sobarna, Cece. (2014). Bahasa sebagai
Pendidikan Karakter: Diakses tanggal 1 Maret
2018dari htt://badanbahasa.kemdikbud.go.id/
artikel/319.