16
19 KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN STRUKTUR DAN SEMANTIK The Vocabulary of Psychotic in Sundanese Culture: Structural and Semantic Study Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Pos-el: [email protected], [email protected] (Diterima, 26 Maret 2018, Disetujui, 2 Mei 2018) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kosakata psikosis yang ada dalam kebudayaan Sunda. Masalah penelitian adalah pertama, struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda. Kedua, makna yang terkandung dalam kosakata tersebut. Untuk memecahkan kedua masalah itu digunakan teori struktur dan teori semantik, yakni makna referensial. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda berupa bentuk kata tunggal, kata jadian, frasa, komposisi, dan klausa. Secara semantis, kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda mengacu pada gangguan jiwa tingkat ringan, sedang, dan berat. Di samping itu, terdapat pula makna yang mengacu pada awal gangguan jiwa. Kata Kunci: kosakata, budaya, Sunda, struktur, semantik. Abstract This research is purposed to describe the vocabulary of psychotic in Sundanese culture. The problems of the research are the vocabulary structure of psychotic existed in Sundanese culture and the meaning contained in vocabulary. To solve both of these problems, the researcher uses structural and semantic theory named referential meaning. To reach the goal, we use descriptive method. The result of the research shows that the structural psychotic vocabulary found in Sundanese culture are singular, derivative, phrase, composition, and clause. While semantically, the psychotic vocabulary contained in Sundanese culture refers to mild, advanced, and severe mental disorder. Besides that, it refers to the early state of mental disorder. Keyword: vocabulary, culture, Sundanese, structure, semantic

KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

19

KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN STRUKTUR DAN SEMANTIK

The Vocabulary of Psychotic in Sundanese Culture:Structural and Semantic Study

Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Pos-el: [email protected], [email protected]

(Diterima, 26 Maret 2018, Disetujui, 2 Mei 2018)

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kosakata psikosis yang ada dalam kebudayaan Sunda. Masalah penelitian adalah pertama, struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda. Kedua, makna yang terkandung dalam kosakata tersebut. Untuk memecahkan kedua masalah itu digunakan teori struktur dan teori semantik, yakni makna referensial. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa struktur kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda berupa bentuk kata tunggal, kata jadian, frasa, komposisi, dan klausa. Secara semantis, kosakata psikosis yang terdapat dalam kebudayaan Sunda mengacu pada gangguan jiwa tingkat ringan, sedang, dan berat. Di samping itu, terdapat pula makna yang mengacu pada awal gangguan jiwa. Kata Kunci: kosakata, budaya, Sunda, struktur, semantik.

AbstractThis research is purposed to describe the vocabulary of psychotic in Sundanese culture. The problems of the research are the vocabulary structure of psychotic existed in Sundanese culture and the meaning contained in vocabulary. To solve both of these problems, the researcher uses structural and semantic theory named referential meaning. To reach the goal, we use descriptive method. The result of the research shows that the structural psychotic vocabulary found in Sundanese culture are singular, derivative, phrase, composition, and clause. While semantically, the psychotic vocabulary contained in Sundanese culture refers to mild, advanced, and severe mental disorder. Besides that, it refers to the early state of mental disorder.

Keyword: vocabulary, culture, Sundanese, structure, semantic

Page 2: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

20

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

I. PENDAHULUAN

Kelahiran, pernikahan, dan kematian

merupakan siklus kehidupan yang secara

umum akan dialami oleh manusia ketika

hidup. Dalam melewati siklus tersebut tidak

selamanya manusia berada dalam keadaan

sehat tetapi ada kalanya juga berada dalam

keadaan sakit. Sehat merupakan kata yang

umum dikenal dalam masyarakat. Meski

merupakan kata yang tak asing lagi,

kenyataannya banyak orang yang masih

kurang peduli terhadap kesehatan. Padahal

kata orang bijak sehat itu mahal, dan hal

itu baru disadari pada saat kita jatuh sakit.

Bahkan harta yang melimpah, karir yang

sukses, kedudukan sosial yang baik, semuanya

tidak dapat dinikmati ketika tubuh terasa

sakit. ‘Sehat’ menurut KBBI (2016) dapat

diartikan dalam keadaan baik segenap badan

serta bagian-bagiannya. Adapun kesehatan

menurut UU RI No. 23 tahun 1992 diartikan

sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa,

dan sosial yang memungkinkan setiap orang

hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Dalam kebudayaan masyarakat Sunda,

kata ‘sehat’ mempunyai kedudukan yang

sangat penting. Hal ini terlihat dari ekspresi

yang dituturkan oleh orang Sunda yang

saling mengenal ketika mereka berjumpa.

Umumnya dalam masyarakat Sunda ekspresi

yang pertama kali terucap pada saat berjumpa

dengan orang yang dikenal dimulai dengan

suatu kata yang menanyakan kesehatan

yaitu ekspresi kumaha damang? Yang

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

menjadi ‘apa kabar’. Damang dalam bahasa

Sunda mempunyai arti sehat lahir-batin,

Dengan demikian, orang Sunda menempatkan

‘sehat’ sebagai sesuatu yang penting. Selain

ekspresi kumaha damang? dalam masyarakat

Sunda ketika kita mendengar ada orang yang

bersin baik itu bayi, anak-anak, orang dewasa

maupun orang tua maka akan dijawab melalui

ekspresi hurip waras. Hurip mempunyai arti

sehat lahir-batin sedang waras mempunyai arti

sehat atau kesehatan. Jadi, hurip waras berarti

hidup dengan segar dan sehat lahir-batin.

Dalam kaitan dengan ini, Sobarna (2014)

menegaskan bahwa kegiatan bertegur sapa

dengan ekspresi ”Apa kabar?”merupakan

wujud penanaman nilai karakter yang

berkaitan dengan bergaya hidup sehat.

Ekspresi tersebut tentu saja menggambarkan

bagaimana kesehatan menjadi bagian yang

paling utama dalam menjalani kehidupan

ini sehingga ketika mendengar orang bersin

pun kita segera mendoakan kesehatan yang

bersangkutan melalui ekspresi ”hurip waras”.

Pada Zaman feodal pun terdapat ungkapan

hurip gusti waras abdi yang mempunyai arti

raja senang serta mulya rakyat sehat lahir-

batin.

Ekspresi cageur dalam urutan cageur,

bageur, bener, pinter, dan singer pun

menempatkan cageur yang berarti baik

sehat rohani maupun jasmani pada urutan

yang pertama. Urutan unsur-unsur pada

ekspresi tersebut tidak dapat dipermutasikan,

karena memiliki makna filosofis sebagai

siklus yang harus dicapai melalui tahapan

tertentu (Djajasudarma, 2003). Hal ini pun

menunjukkan bahwa ‘sehat’ baik jasmani

maupun rohani menurut masyarakat Sunda

merupakan hal yang penting dalam kehidupan.

Ketika keadaan sehat itu terganggu maka

mulai timbul penyakit. Penyakit merupakan

gangguan kesehatan yang disebabkan oleh

bakteri, virus, atau kelainan sistem faal atau

Page 3: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

21

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

jaringan pada organ tubuh (pada makhluk

hidup) (KBBI, 2016). Berdasarkan jenisnya

penyakit terbagi menjadi dua jenis yaitu

penyakit jasmani dan penyakit rohani.

Penyakit jasmani adalah penyakit yang sudah

banyak kita kenal dan hampir seluruh manusia

pernah mengalaminya. Hal tersebut dapat kita

obati baik melalui cara medis maupun cara

tradisional/pengobatan alternatif sedangkan

penyakit rohani adalah penyakit yang

berasal dari dalam diri manusia itu sendiri

yang mengakibatkan terganggunya sistem

syaraf sehingga mengakibatkan gerak-gerik

manusia tersebut menjadi tidak terkontrol/

tidak normal. Dalam kaitan dengan ini, di

kehidupan masyarakat Sunda pun dikenal

kosakata penyakit jasmani dan penyakit

rohani. Gangguan jiwa merupakan penyakit

rohani. Seseorang dikatakan mengalami

gangguan jiwa bila terdapat gangguan

pada unsur psikis berupa pikiran, perasaan,

perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik

dan sosial. Penyebab gangguan jiwa biasanya

tidak tunggal. Berbagai penyebab baik fisik, psikis, dan sosial sekaligus sebagai penyebab

yang saling memengaruhi. Gangguan jiwa

dapat digolongkan ke dalam 4 jenis, yaitu:

1. gangguan jiwa berat yang biasa disebut

gila, 2. gangguan jiwa ringan, 3. gangguan

kepribadian (mengganggu orang lain), 4.

kecerdasan di bawah rata-rata.

Psikosis adalah gangguan jiwa yang

meliputi keseluruhan kepribadian sehingga

penderita tidak bisa menyesuaikan diri

dalam norma-norma hidup yang yang wajar

dan berlaku umum (Gunarsa, 1998). Ahli

lain, Maramis (2005) mengemukakan

bahwa psikosis adalah suatu gangguan jiwa

dengan kehilangan rasa kenyataan (senseof

reality). Kelainan seperti ini dapat diketahui

berdasarkan gangguan-gangguan pada

perasaaan, pikiran, kemauan, motorik, dan

sebagainya. Di dalam kebudayaan Sunda

terdapat beragam kosakata psikosis (gangguan

jiwa). Sejalan dengan latar belakang yang

telah dikemukakan di atas, masalah dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1). Bagaimana struktur kosakata psikosis

yang terdapat dalam kebudayaan Sunda? 2).

Makna referensial apa yang terkandung dalam

kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda?

Sejalan dengan masalah, tujuan penelitian ini

adalah 1). mendeskripsikan struktur kosakata

psikosis yang terdapat dalam kebudayaan

Sunda; 2). mendeskripsikan makna referensial

yang terkandung dalam kosakata psikosis

dalam kebudayaan Sunda.

Kajian Teori

Untuk memecahkan masalah dan mencapai

tujuan penelitian ini digunakan teori morfologi

dan semantik. Teori morfologi bersandar pada

pandangan Djajasudarma (2013) dan Arifin dkk (2009). Morfologi dipahami sebagai ilmu

yang mempelajari morfem dan bagaimana

morfem-morfem tersebut dibentuk menjadi

kata atau morfem kompleks. Morfem adalah

satuan bahasa terkecil yang mengandung

makna (Arifin dkk, 2009) sejalan dengan

Arifin dkk, Djajasudarma (2013) mengartikan morfem sebagai satuan bunyi bahasa yang

terkecil yang mengandung arti atau ikut

mendukung arti. Morfologi berkaitan dengan

stuktur kata. Struktur ini dapat berupa kata

tunggal dan kata jadian. Kata tunggal (morfem

bebas) dalam bahasa Sunda berdasarkan

jumlah silabenya meliputi monosilabis (satu

silabe), dwisilabis (dua silabe), dan Pilisilabis

Page 4: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

22

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

(banyak/lebih dari dua silabe). Kata jadian

dapat berwujud melalui kombinasi kata dasar

dengan afiks, yakni melalui proses morfemis yang disebut afiksasi. Arifin dkk (2009)

menyebut afiksasi atau pengimbuhan sebagai proses morfologis yang mengubah sebuah

leksem menjadi kata setelah mendapat afiks, yang dalam bahasa Indonesia cukup banyak

jumlahnya. Berdasarkan posisi (tempatnya)

afiks dapat berupa prefiks (awalan), infiks

(sisipan), dan sufiks (akhiran). Adapun pengertian frasa ialah satuan

gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih

yang tidak melampaui batas fungsi unsur

klausa (Ramlan, 2001). Batas fungsi unsur

klausa yang dimaksud oleh Ramlan tersebut

adalah predikat. Dengan kata lain, dapat

dinyatakan bahwa frasa merupakan unsur

sintaksis yang terdiri atas dua unsur atau lebih

yang tidak predikatif (Djajasudarma, 2013).

Unsur-unsur frasa dapat bermacam-macam

antara lain preposisi dan posposisi. Selain

frasa terdapat pula gabungan dua unsur kata

yang menimbulkan suatu kata baru yang

disebut dengan komposisi (kata majemuk).

Ciri komposisi di antaranya di antara gabungan

dua unsur kata itu tidak dapat disisipi apa-apa

dan dalam pengucapan tidak ada jeda (unsur

henti).

Ramlan (2001, hlm. 79) menjelaskan

bahwa klausa sebagai satuan gramatik

yang terdiri atas subjek (S) dan predikat (P)

baik disertai objek (O), pelengkap (PEL), keterangan (KET) ataupun tidak. Dengan

demikian, unsur inti klausa adalah subjek (S)

dan predikat (P). Sejalan dengan pernyataan

Ramlan, Djajasudarma (2013, hlm. 134)

menyatakan klausa adalah unsur bahasa yang

terdiri atas dua unsur atau lebih dan bersifat

predikatif (Sekurang-kurangnya memiliki satu

predikat). Dalam bahasa Sunda tipe klausa

dapat berupa intransitif seperti pada Ali indit ‘Ali pergi’, dan lanceukna naek ‘kakaknya

naik’; aktif transitif, seperti pada manehna mawa buku ‘ia membawa buku’ dan Misnem ngadahar sangu ‘Misnem makan nasi’;

ekuatif, seperti pada Minah budak bageur

‘Minah anak baik’ dan Manehna prajurit ‘Ia prajurit’; statif, seperti pada: Manenhna gering ‘Ia sakit’ dan Manehna cape ‘Ia lelah’.

Teori lainnya, mengenai semantik bersandar

pada teori Djajasudarma (2012). Semantik

dipahami sebagai kajian tentang makna.

Makna referensial merupakan salah satu dari

jenis makna. Lebih jauh Djajasudarma (2012)

mengemukakan bahwa makna referensial

atau acuan adalah makna yang berhubungan

langsung dengan kenyataan atau referent.

Makna ini disebut juga dengan makna kognitif

karena memiliki acuan. Pandangan yang sama

dikemukakan oleh Chaer (2002) bahwa bila

kata-kata yang sama itu mempunyai referen,

yaitu sesuatu di luar bahasa yng diacu oleh kata

itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna

referensial. Misalnya, kata meja dan kursi

termasuk ke dalam makna referensial sebab

kedua kata tersebut memiliki referen, yaitu

sejenis perabotan rumah tangga yang disebut

“meja’ dan “kursi”.

Penelitian terdahulu yang sejenis pernah

dilakukan antara lain oleh:

1. Rahmat Taufiq Hidayat, dkk. Peperenian Urang Sunda, Bandung: Kiblat. 2005.

Cetakan kedua terbit tahun 2007. Buku

ini memuat bab yang berjudul rupa-rupa kasakit (berbagai penyakit). Dalam bab ini

istilah penyakit tersebut dikelompokkan

berdasarkan nama penyakit, nama penyakit

Page 5: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

23

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

yang berakhiran -eun, nama penyakit yang

memakai kata ulang dan akhiran -eun, dan

nama penyakit yang dibuat oleh manusia.

2. Teddi Muhtadin dkk, Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda, Bandung:

Penelitian Andalan Unpad, 2009. Kamus

ini berisi istilah-istilah yang berkaitan

dengan kesehatan dalam kebudayaan

Sunda. Istilah yang dimaksud berkaitan

dengan nama penyakit, keluhan, gejala,

dan cara pengobatan.

3. Gilang, dkk, Buku Bahasa Sunda untuk Praktik Kedokteran, 2012. Buku ini

merupakan buku saku yang disusun oleh

mahasiswa Fakultas Kedokteran Unpad.

Tujuan penyusunan buku ini sebagai

pedoman untuk para dokter muda yang

banyak terjun di daerah Jawa Barat.

Buku ini dicetak terbatas hanya untuk

mahasiswa kedokteran Unpad. Buku ini

memuat anatomi tubuh dan keluhan dalam

bahasa Sunda dan percakapan anamnesa

dalam bahasa Sunda.

4. Nurfitiriani, Kosakata Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda, Skripsi

Sastra Sunda Unpad. 2010. Skripsi

ini mengkaji berbagai nama penyakit,

keluhan, gejala, dan cara pengobatan dari

segi kelas kata dan maknanya.

Berdasarkan penelitian terdahulu,

penelitian terkait istilah bidang kesehatan

dalam bahasa Sunda telah banyak dilakukan.

Penelitian tersebut berpusat pada inventarisasi

dan dokumentasi kosakata nama penyakit,

keluhan, gejala, klasifikasi jenis penyakit,

dan cara pengobatan. Namun demikian,

penelitian terkait kosakata penyakit yang

mengkhususkan pada psikosis, sepengetahuan

peneliti belum dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengisi

kekosongan tersebut.

Metode Penelitian

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan

atau diterapkan (Sudaryanto, 2015). Metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif. Penggunaan metode

deskriptif dipertimbangkan atas pemusatan

perhatian pada ciri-ciri dan sifat-sifat data

bahasa secara alami sehingga dihasilkan

pemerian data yang sahih untuk dapat

dianalisis (Djajasudarma, 2013). Selanjutnya,

Sugiyono (2017) menyatakan bahwa teknik

pengumupulan data dapat bersumber dari

dokumen. Kamus merupakan salah satu

bentuk dokumen tertulis. Teknik yang

dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan

pengumpulan data berupa pencatatan kosakata

psikosis yang terdapat pada Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda. Kamus

ini merupakan kamus dwibahasa (Sunda-

Sunda-Indonesia) yang disusun oleh Teddi

Muhtadin dkk., dan diterbitkan oleh Penerbit

Kiblat di Bandung tahun 2013 (Cetakan ke-

1). Menurut Muhtadin, tujuan penyusunan

kamus ini sebagai konservasi bahasa dan

budaya Sunda serta sebagai bentuk kontribusi

bagi bidang kesehatan. Selain teknik catat,

peneliti juga menggunakan teknik wawancara,

yakni mewawancarai Dr. Teddi Muhtadin,

penyusun utama Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1).

Wawancara ini dilakukan di ruang kantor

Kepala Pusat Studi Budaya Sunda (PSBS)

FIB Unpad pada hari Rabu, 6 Juni 2018.

Wawancara ini diperlukan terutama guna

memperoleh informasi tambahan terkait

Page 6: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

24

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

makna referensial kosakata psikosis bahasa

Sunda.

Kamus yang dijadikan sebagai sumber

data adalah Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1) yang

disusun oleh Teddi Muhtadin dkk., diterbitkan

di Bandung oleh penerbit Kiblat tahun 2013.

Alasan digunakannya kamus ini sebagai sumber

data penelitian sebab kamus ini memuat data

kosakata psikosis yang peneliti perlukan untuk

analisis. Kamus Kosakata Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda (Cetakan ke-1) memuat

589 entri. Berdasarkan hasil penyeleksian

dan pencatatan data dari kamus tersebut

terkumpul 50 data kosakata psikosis. Setelah

data terkumpul, tahap berikutnya adalah

melakukan pengklasifikasian data berdasarkan rumusan masalah, dan penganalisisan

data berdasarkan segi struktur dan makna

referensial (acuan) kosakata psikosis yang

terdapat dalam kebudayaan Sunda. Analisis

ini dengan bersandar pada teori struktur dan

semantik. Penyimpulan dilakukan sebagai

jawaban masalah dan tujuan penelitian yang

telah dirumuskan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur Kosakata Psikosis dalam

Kebudayaan Sunda

Dalam kebudayaan Sunda dikenal

beberapa kosakata psikosis (gangguan jiwa)

yang berbeda-beda berdasarkan pada hal yang

menyebabkan terjadinya gangguan tersebut.

Kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda

berdasarkan penelitian ini berbentuk kata

tunggal, kata jadian, frasa, dan klausa. Berikut

uraian mengenai kosakata psikosis dalam

bahasa Sunda berdasarkan bentuknya.

2.1 Kata

2.1.1 Kata Tunggal

Kosakata psikosis yang termasuk ke

dalam bentuk kata tunggal dalam bahasa

Sunda berkategori adjektiva. Adjektiva atau

kata sifat adalah kata yang menjadi ciri suatu

benda atau kata yang menjawab bagaimana.

Berdasarkan segi perilaku semantisnya,

adjektiva kosakata psikosis bahasa Sunda

termasuk ke dalam kelas adjektiva pemeri

sifat yang menggambarkan kualitas dan

intensitas bercorak mental. Kosakata psikosis

dalam kebudayaan Sunda yang berupa kata

tunggal berdasarkan penelitian ini terbagi ke

dalam kata tunggal dwisilabis (dua silabe) dan

Polisilabis (tiga silabe dan empat silabe).

Kata Tunggal Dwisilabis (Dua Silabe)

Kosakata psikosis dalam kebudayaan

Sunda berbentuk kata tunggal dwisilabis (dua

silabe) yang ditemukan dalam penelitian ini

berjumlah 12 data. Berikut ini dua belas data

kosakata psikosis berbentuk kata tunggal dua

silabe.

1. (2) burung ‘gila’

2. (3) edan ‘gila’

3. (4) eusleum ‘agak gila’

4. (5) gejul ‘agak gila’

5. (6) gelo ‘gila’

6. (8) gendol ‘agak gila’

7. (24) majnun ‘gila’

8. (28) sédéng ‘gila’

9. (29) seuit ‘kambuh’

10. (33) sinting ‘agak gila’

11. (35) siwah ‘gila’

12. (37) palung ‘gila’

Data (1) sampai (12) dikatakan bentuk kata

tunggal dwisilabis karena kata ini dapat

Page 7: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

25

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil.

Data (1) burung dapat diuraikan lagi pada

bentuk yang lebih kecil yaitu bu-rung, (2) edan

dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih

kecil yaitu e-dan, (3) eusleum dapat diuraikan

lagi pada bentuk yang lebih kecil yaitu eus-leum, (4) gejul dapat diuraikan lagi pada bentuk

yang lebih kecil yaitu ge-jul, (5) gelo dapat

diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil

yaitu ge-lo. (6) gendol dapat diuraikan lagi

pada bentuk yang lebih kecil yaitu gen-dol, (7) majnun dapat diuraikan lagi pada bentuk

yang lebih kecil yaitu maj-nun. Kata majnun

merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Data

(8) sédéng dapat diuraikan lagi pada bentuk

yang lebih kecil yaitu sé-déng, (9) seuit dapat

diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil

yaitu seu-it. (10) sinting dapat diuraikan lagi

pada bentuk yang lebih kecil yaitu sin-ting.

(11) siwah dapat diuraikan lagi pada bentuk

yang lebih kecil yaitu si-wah, dan (7) palung

dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih

kecil yaitu pa-lung. Kata psikosis burung, edan, eusleum, gejul, gelo, gendol, majnun, sédéng, seuit, sinting, siwah, dan palung pada

kebudayaan Sunda dapat dialami oleh berbagai

jenis usia baik anak-anak, remaja, dewasa,

maupun orang tua, serta dapat dialami oleh

laki-laki ataupun perempuan.

Kata Tunggal Polisilabis

Selain bentuk kata tunggal dua silabe,

pada penelitian ini ditemukan pula 5 data

kosakata psikosis bahasa Sunda berbentuk

kata tunggal polisilabis (lebih dari dua silabe)

seperti tampak pada data berikut.

13. (12) kabadi ‘kesurupan’

14. (14) kasibat ‘merasa pusing karena

pengaruh makhluk

halus’

15. (23) majenun ‘gila’

16. (16) kawarian ‘perilaku/perbuatan \

orang yang tidak waras’

17. (49) kawerian ‘perilaku/perbuatan

orang yang tidak waras’

Data (13) sampai (17) dikatakan bentuk

kata tunggal polisilabis karena kata ini dapat

diuraikan lagi pada bentuk yang lebih kecil.

Data (13) sampai (15) termasuk kata tunggal

tiga silabe. Data (13) kabadi dapat diuraikan

lagi pada bentuk yang lebih kecil yaitu ka-ba-di, (14) kasibat dapat diuraikan lagi pada

bentuk yang lebih kecil yaitu ka-si-bat, (15)

majenun dapat diuraikan lagi pada bentuk yang

lebih kecil yaitu ma-je-nun. Data (16) dan (17)

termasuk kata tunggal empat silabe. Data (16)

kawarian dapat diuraikan lagi pada bentuk yang

lebih kecil yaitu ka-wa-ri-an, (17) kawerian

dapat diuraikan lagi pada bentuk yang lebih

kecil yaitu ka-we-ri-an. Kata psikosis kabadi, kasibat, majenun, kawarian dan kawerian pada

kebudayaan Sunda dapat dialami oleh berbagai

jenis usia baik anak-anak, remaja, dewasa,

maupun orang tua, serta dapat dialami oleh

laki-laki maupun perempuan.

2.1.2 Kata Jadian

Kata jadian merupakan bentuk kata yang

telah mengalami proses morfemis. Kosakata

psikosis dalam kebudayaan Sunda yang

berbentuk kata jadian merupakan hasil dari

proses morfemis afiksasi. Proses morfemis

afiksasi yang terjadi yaitu prefiksasi,

konfiksasi, dan reduplikasi.

Page 8: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

26

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

PrefiksBerdasarkan penelitian ini, prefiks

(awalan) yang membentuk kata jadian psikosis

dalam kebudayaan Sunda berupa prefiks ka-. Data kata jadian yang merupakan gabungan

dari prefiks ka- + kata tunggal yang ditemukan

berjumlah 3. Perhatikanlah data berikut.

18. (12) kasambet ‘kesurupan’

19. (30) kaseuit ‘kambuhnya

penyakit’

20. (32) kahudang ‘kambuhnya

penyakit’

Data (18) sampai (20) merupakan kata jadian

yang dibentuk oleh prefiks ka- + kata tunggal.

Data (18) kasambet ‘kesurupan’ dibentuk oleh

prefiks ka- + verba sambet ‘pinjam’. Gabungan

ini berfungsi untuk menunjukkan verba. Data

(19) kaseuit ‘kambuhnya penyakit’ dan (20)

kahudang ‘kambuhnya penyakit’ dibentuk

oleh prefiks ka- + verba seuit ‘kambuh’ dan

verba hudang ‘kambuh’. Gabungan kata pada

data (19) dan (20) berfungsi untuk membentuk

dan menunjukkan nomina.

KonfiksKonfiks merupakan afiks tunggal yang

terjadi dari dua bagian yang terpisah. Konfiks disebut juga dengan kombinasi afiks. Bentuk konfiks yang ditemukan pada kosakata

psikosis dalam kebudayaan Sunda berupa ka- + -an, ka- + sa- + -an dan N- (nasal) + -an.

Berikut adalah data yang memuat konfiks ini.

21. (1) kaasupan ‘kemasukan’

22. (13) kasarumahan ‘kesurupan’

23. (15) kasurupan ‘kesurupan’

24. (17) kedanan ‘tergila-gila’

25. (18) kaedanan ‘tergila-gila’

26. (25) ngagigihan ‘mulai gila’

27. (39) kaleleban ‘tergila-gila’

Data (21), (23), (25), dan (27) merupakan

kata jadian yang dibentuk oleh konfiks ka- + -an + kata tunggal. Data (21) kaasupan

‘kemasukan’, (23) kasurupan ‘kesurupan’

dan (27) kaleleban ‘tergila-gila’ dibentuk

oleh konfiks ka- + -an + verba asup ‘masuk’,

verba surup ‘masuk’, dan verba leleb

‘mendalam’. Gabungan hasil proses morfemis

konfiksasi pada data (21) dan (23) berfungsi untuk menunjukkan verba sedangkan hasil

gabungan proses morfemis konfiksasi pada data (27) berfungsi untuk membentuk pasif

kebetulan. Data (25) kaedanan ‘tergila-gila’

dibentuk oleh konfiks ka- + -an + adjektiva

edan ‘gila’. Gabungan ini berfungsi ini untuk

membentuk makna pasif kebetulan. Pada data

(24) kedanan ‘tergila-gila’ terjadi dua kali

proses berupa proses morfemis konfiksasi dan gejala morfofonemik. (24) kedanan

‘tergila-gila’ dibentuk oleh konfiks ka- + -an + adjektiva edan ‘gila’ yang selanjutnya

dalam proses morfemis konfiksasi ini terjadi pula gejala morfofonemik berupa sandhi. Pada

(24) kedanan dibentuk dari peluluhan dua

vokal yang berderet a + e – e pada kaedanan.

Pada data (18) kasarumahan ‘kesurupan’ pun

terjadi dua kali proses morfemis. Pertama,

prefiks sa- + nomina rumah ‘rumah’ menjadi

sarumah ‘serumah’. Kedua, konfiks ka- + -an + kata jadian sarumah ‘serumah’. Gabungan

proses morfemis pada data (24) berfungsi

untuk membentuk dan menunjukkan verba.

Data (25) ngagigihan ‘mulai gila’ dibentuk

oleh konfiks N (nasal)- + -an + nomina gigih

‘nasi setengah matang’. Gabungan proses

Page 9: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

27

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

morfemis konfiksasi pada data (25) berfungsi untuk membentuk dan menunjukkan verba.

Reduplikasi

Reduplikasi merupakan kata ulang. Proses

pengulangan ini dapat terjadi baik sebagian

maupun seluruhnya. Data kosakata psikosis

dalam kebudayaan Sunda yang ditemukan

dalam penelitian ini berjumlah 5, mencakup

dwireka dan dwipurwa (reduplikasi sebagian)

dengan proses morfemis.

Dwireka

Pengulangan dengan mengulang sebuah

bentuk tunggal disertai dengan perubahan

bunyi (vokal) disebut dwireka. Pada penelitian

ini, bentuk dwireka psikosis dalam kebudayaan

Sunda yang ditemukan berjumlah 2 data.

Cermatilah data berikut.

28. (22) langlang-lingling ‘rada gelo’

29. (40) selang-seling ‘agak gila’

Pada data (28) dan (29) terjadi pengulangan

kata tunggal disertai dengan perubahan vokal

a menjadi i. Pada (28) langlang-lingling

‘rada gelo’ dan (29) selang-seling ‘agak

gila’ terjadi pengulangan verba langlang

‘berjalan-jalan (untuk memeriksa keadaan)’

dan verba selang ‘menunda pekerjaaan

sejenak (untuk mengerjakan pekerjaan lain)’

disertai dengan perubahan vokal a menjadi i. Proses pengulangan kata pada (28) dan (29)

berfungsi untuk membentuk dan menunjukkan

adjektiva.

Dwipurwa dengan Proses Morfemis

Dwipurwa dengan proses morfemis

dibentuk oleh pengulangan silabe inisial dengan

penambahan atau pengurangan pada silabe

awal yang diulang. Berdasarkan penelitian ini,

kata psikosis dalam kebudayaan Sunda yang

berbentuk dwipurwa dengan proses morfemis

berjumlah 3 data. Perhatikanlah data berikut.

30. (9) kagegeloan ‘tergila-gila’

31. (31) seuseuitan ‘kambuhnya

penyakit’

32. (38) kabungbulengan ‘tergila-gila’

Pada data (30) dan (32) terjadi pengulangan

silabe inisial dengan pengurangan fonem

dan pembentukan dengan konfiks ka- + -an. Data (30) kagegeloan ‘tergila-gila’

dan (32) kabungbulengan ‘tergila-gila’

dibentuk oleh pengulangan silabe inisial ge

pada awal adjektiva gelo ‘gila’ dan bung

pada nomina buleng ‘sejenis wadah tempat

menampung ikan dari bambu’ + konfiks ka- + -an. Proses reduplikasi dengan morfemis

pada data (30) berfungsi untuk menunjukkan

adjektiva sedangkan pada (32) berfungsi untuk

membentuk dan menunjukkan adjektiva.

Data (31) seuseuitan ‘kambuhnya penyakit’

dibentuk oleh pengulangan silabe inisial seu

pada awal verba seuit ‘kambuh’+ sufiks -an.

Proses reduplikasi dengan morfemis pada

data (31) berfungsi untuk membentuk dan

menunjukkan nomina.

2.2 Frasa

Frasa adalah satuan gramatik yang

terdiri atas dua unsur atau lebih yang

bersifat predikatif. Kosakata psikosis dalam

kebudayaan Sunda yang ditemukan dalam

penelitian ini berbentuk frasa nomina (l), frasa

adjektiva (l), dan frasa numeralia (l). Frasa

dapat berupa gabungan kata dengan kata dan

Page 10: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

28

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

gabungan partikel dengan kata. Partikel yang

bergabung dengan kata itu dapat berupa partikel

yang menyatakan tingkat perbandingan dan

partikel ingkar. Pada penelitian ini ditemukan

10 data kata psikosis yang berbentuk frasa.

Frasa Nomina (l)

Frasa nomina (l) adalah frasa yang memiliki

unsur inti berupa nomina. Kosakata psikosis

dalam kebudayaan Sunda berbentuk frasa

nomina (l) dalam penelitian ini hanya berjumlah

1 data, seperti tampak pada data berikut.

33. (19) kurang ingetan ‘kurang

ingatan’

Data (33) merupakan frasa nomina (l) yang

dibentuk dari gabungan partikel dengan kata

tunggal. (33) kurang ingetan ‘kurang ingatan’

dibentuk dari unsur nomina ingetan ‘ingatan’

sebagai inti dan partikel kurang ‘kurang’

sebagai penentu terhadap inti (nomina).

Partikel kurang ‘kurang’ berfungsi sebagai

atribut yang menerangkan frasa.

Frasa Adjektiva (l)

Frasa adjektiva (l) adalah frasa yang

memiliki unsur inti berupa adjektiva.

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bentuk

frasa adjektiva (l) psikosis dalam kebudayaan

Sunda sebanyak 8 data. Berikut ini data yang

memuat frasa adjektiva (l).

34. (7) rada gelo ‘agak gila’

35. (10) gering pikir ‘sakit pikiran’

36. (41) rada cageur ‘agak sehat

(pikirannya)’

37. (42) teu damang ‘tidak sehat

(pikirannya)’

38. (43) teu eucreug ‘tidak benar

(pikirannya)’

39. (44) teu waras ‘tidak waras

(pikirannya)’

40. (45) teu cageur ‘tidak sehat

(pikirannya)’

41. (46) teu bener ‘tidak benar

(pikirannya)’

Data (34) sampai (41) kecuali (35) merupakan

frasa adjektiva (l) yang dibentuk dari gabungan

partikel dengan kata tunggal. (34) rada gelo

‘agak sehat (pikirannya)’ dan (36) rada cageur ‘agak sehat (pikirannya)’ dibentuk dari unsur

adjektiva cageiur ‘sehat’ dan cageur ‘sehat’

sebagai inti dan preposisi tingkat rada ‘agak’

sebagai penentu terhadap inti (adjektiva). Data

(37) teu damang ‘tidak sehat (pikirannya)’,

(38) teu eucreug ‘tidak benar (pikirannya)’

(39) teu waras ‘tidak waras (pikirannya)’,

(40) teu cageur ‘tidak sehat (pikirannya)’,

dan (41) teu bener ‘tidak benar (pikirannya)’

dibentuk dari unsur adjektiva damang ‘sehat’,

eucreug ‘benar’, waras ‘sehat’, cageur ‘sehat’,

dan bener ‘benar’ sebagai inti dan modalitas

teu ‘tidak’ sebagai penentu terhadap inti

(adjektiva). Modalitas teu ‘tidak’ berfungsi

sebagai atribut yang menerangkan frasa.

Data (35) merupakan frasa nomina (l) yang

dibentuk dari gabungan adjektiva dan nomina.

(35) gering pikir ‘sakit pikiran’ dibentuk dari

unsur adjektiva gering ‘sakit’ pikir ‘pikiran’

sebagai inti dan nomina pikir ‘pikiran’ ‘sebagai

pewatas terhadap inti (adjektiva). Unsur

nomina pikir ‘pikiran’ berfungsi sebagai atribut

yang menerangkan frasa.

Frasa Numeralia (l)

Frasa numeralia (l) adalah frasa yang

memiliki unsur inti berupa numeralia.

Page 11: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

29

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

Kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda

berbentuk frasa numeralia (l) dalam penelitian

ini berjumlah 2 data, seperti terlihat pada data

berikut.

42. (20) kurang saeundan ‘kurang dari

setengah

(ikatan padi)’

43. (21) kurang sasetrip ‘kurang satu

strip’

Data (42) kurang saeundan dan (43) kurang sasetrip merupakan frasa numeralia yang

dibentuk dari unsur numeralia saeundan

‘ukuran (setengah) seikat padi’ dan numeralia

sasetrip ‘satu strip’sebagai inti dan partikel

kurang ‘kurang’ sebagai penentu terhadap inti

(numeralia). Partikel kurang ‘kurang’ berfungsi

sebagai atribut yang menerangkan frasa.

Komposisi

Komposisi atau kata majemuk adalah

gabungan dua kata yang menimbulkan suatu

kata baru. Dalam penelitian ini ditemukan 1

data kata psikosis dalam kebudayaan Sunda

berbentuk komposisi, sebagaimana tampak di

bawah ini.

44. (27) satengah buah leunca ‘gila’

Data (44) satengah buah leunca ‘gila’

dibentuk dari numeralia satengah buah

‘setengah buah’ sebagai unsur menerangkan

(M) dan nomina leunca ‘leunca (nama buah)’

sebagai unsur diterangkan (D). Numeralia

satengah buah ‘setengah buah’ merupakan

unsur kata sedangkan nomina leunca ‘buah

leunca’ merupakan unsur pokok kata. Dengan

demikian, data (44) memiliki pola komposisi

MD.

2.3 Klausa

Klausa merupakan satuan gramatikal

berupa kelompok kata yang sekurang-

kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan

mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

klausa dapat berupa gabungan nomina dengan

verba, nomina (l) dengan ajektiva, dan

gabungan nomina (l) dengan frasa. Kosakata

psikosis dalam kebudayaan Sunda berdasarkan

penelitian ini berjumlah 6 data yang terbagi ke

dalam klausa transitif, intransitif, dan statif.

Klausa Transitif

Klausa transitif adalah klausa yang

verbanya selalu disertai tujuan. Pada penelitian

ini ditemukan 3 buah data psikosis dalam

kebudayaan Sunda berbentuk klausa transitif,

seperti tampak di bawah ini.

45. (26) Owah pikir ‘(dia) berubah

pikiran (gila)’

46. (47) Jelema owah ‘orang (yang

berpikiran

berubah-ubah)

(gila)’

47. (50) jelema koclak ‘orang

berubah-ubah

(gila)’

Data (45) owah pikir ‘(dia) berubah

pikiran (gila)’ merupakan klausa transitif

yang terdiri atas unsur verba owah ‘berubah’

yang menduduki fungsi predikat (P) dan

nomina pikir ‘pikiran’ yang menduduki

fungsi pelengkap (Pel). Data (46) jelema owah merupakan klausa yang terdiri atas

Page 12: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

30

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

unsur nomina makhluk jelema ‘orang’ yang

menduduki fungsi subjek (S) dan verba

aktivitas owah ‘ubah’ yang menduduki fungsi

predikat (P). Owah merupakan kata serapan

dari bahasa Jawa. Data (47) jelema koclak ‘orang gila’ merupakan merupakan klausa

transitif yang terdiri atas unsur nomina makhluk

jelema ‘orang’ yang menduduki fungsi subjek

(S) dan verba koclak ‘terdengar suara yang

berubah dari bagian dalam (benda seperti

kelapa tua, telur busuk) jika digoyangkan’

yang menduduki fungsi predikat (P).

Klausa Intransitif

Klausa intransitif merupakan klausa

yang verbanya tidak mempunyai sasaran dan

menghindari objek. Berdasarkan penelitian

ini, bentuk klausa intransitif psikosis

dalam kebudayaan Sunda berjumlah 2 data.

Perhatikanlah data berikut.

48. (36) pikiranana teu beres ‘pikirannya

tidak beres’

49. (48) pikiranna teu jejeg ‘pikirannya

tidak lengkap’

Data (48) pikiranana teu bener ‘pikirannya

tidak beres’ merupakan klausa intransitif

yang terdiri atas unsur nomina (l) pikiranana

‘pikrannya’ yang menduduki fungsi subjek

(S) dan frasa adjektiva teu beres ‘tidak beres’

yang menduduki fungsi predikat (P). Data (49)

Pikiranana teu jejeg ‘pikirannya tidak lengkap’

merupakan klausa yang terdiri atas nomina(l)

pikiranana ‘pikirannya’ yang menduduki

fungsi subjek (S) dan frasa adverbia teu jejeg ‘tidak lengkap’ yang menduduki fungsi

predikat (P).

Klausa Statif

Selain klausa transitif dan intransitif pada

penelitian ini ditemukan pula data psikosis

dalam kebudayaan Sunda berupa klausa

ekuatif merupakan klausa dengan predikat

nonverbal atau predikatnya berupa unsur

adjektival atau adverbial. Klausa ini hanya

berjumlah 1 data, sebagai berikut.

50. (34) otakna miring ‘otaknya

miring’

Data (50) otakna miring ‘otaknya miring’

merupakan klausa yang terdiri atas unsur

nomina(l) otakna ‘otaknya’ yang menduduki

fungsi subjek (S) dan adjektiva miring ‘miring’

yang menduduki fungsi predikat (P). Predikat

adjektiva miring ‘miring’ berfungsi untuk

mendukung klausa statif.

B. Makna Acuan Kosakata Psikosis dalam

Bahasa Sunda

Dari segi makna, kosakata psikosis dalam

kebudayaan Sunda mengacu pada jenis

gangguan jiwa tingkat rendah, sedang, dan

berat. Tingkatan ini dipicu oleh berbagai sebab

baik masalah pribadi maupun sosial. Selain

itu, terdapat pula makna yang mengacu pada

keadaan awal gangguan jiwa.

Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa

Ringan

Dalam kebudayaan Sunda, kesurupan

termasuk ke dalam makna acuan jenis

gangguan jiwa ringan. Hal ini disebabkan

orang yang kesurupan akan sehat dan normal

kembali seperti biasanya setelah roh yang

masuk ke dalam tubuhnya dikeluarkan atau

diusir. Berdasarkan penelitian ini, ditemukan

Page 13: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

31

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

5 data yang menunjukkan makna kosakata

psikosis dalam kebudayaan Sunda yang

mengacu pada jenis gangguan jiwa ringan.

Makna acuan tersebut terdapat pada data

(1) kaasupan, (11) kabadi, (12) kasambet, (13)

kasarumahan, dan (15) kasurupan. Data (1),

(11), (12), (13), dan (15) adalah gangguan jiwa

yang disebabkan oleh makhluk halus seperti

jin dan makhluk halus lainnya. Orang yang terkena kabadi biasanya disebabkan karena dia

memasang patok di dalam tanah yang dihuni

oleh makhluk halus (setan), Patok tersebut

kemudian menusuk makhluk halus yang ada di

dalam tanah sehingga menyebabkan makhluk

halus marah dan akhirnya masuk ke dalam

tubuh si pemasang patok. Suara orang yang

kaasupan, kasambet, dan kasurupan biasanya

menyerupai suara orang telah meninggal

yang masuk ke dalam tubuh orang kasurupan

tersebut. Adapun orang yang kasarumahan

biasanya berbicara tanpa henti seperti roh

yang telah meninggal yang masuk ke dalam

tubuh orang kasarumahan tersebut.

Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa

Sedang

Dalam kebudayaan Sunda, orang

yang terganggu jiwanya tetapi masih bisa

berkomunikasi dengan orang normal dan bila

berbicara, kata-kata yang diucapkan terkadang

benar dan terkadang juga salah termasuk ke

dalam jenis gangguan jiwa sedang. Orang yang tergila-gila, kurang ingatan, dan agak

gila termasuk pula pada jenis gangguan ini.

Berdasarkan penelitian ini, Makna kosakata

psikosis yang mengacu pada jenis gangguan

jiwa sedang berjumlah 16 data. Makna

kosakata psikosis yang mengacu pada jenis

gangguan jiwa ini ditemukan pada data (4)

eusleum, (5) gejul, (7) rada gelo, (8) gendol, (9) kagegeloan, (17) kedanan, (18) kaedanan,

(19) kurang ingetan, (20) kurang saeundan, (21) kurang sasetrip, (22) langlang-lingling, (33) sinting, (38) kabungbulengan, (39)

kaleleban, (40) selang-seling, dan (41) rada cageur.

Data (4), (5), (7), (8), (22), (33), (40),

dan (41) memiliki makna agak gila. Data (9),

(17), (18), (38), dan (39) memiliki makna

tergila-gila. Data (19), (20), (21) memiliki

makna kurang ingatan. Data (9) kegegeloan

‘tergila-gila’ dan (38) kebungbulengan ‘tergila-

gila’ memiliki perbedaan dalam hal penyebab

terjadinya gangguan jiwa. (38) kegegeloan

‘tergila-tergila’diakibatkan karena ditinggalkan

oleh anak. Orang yang kagegeloan menjadi

sakit ingatan sehingga yang bersangkutan

berperilaku seperti orang gila sedangkan (38)

kabungbulengan ‘tergila-gila’ diakibatkan

karena ditinggal mati oleh kekasih atau cintanya

ditolak. Orang yang kabungbulengan setiap

saat baik pagi, siang, maupun malam akan

selalu teringat pada kekasih yang telah tiada

atau orang yang dicintainya sehingga dia selalu

tampak bersedih.

Data (19) kurang ingetan adalah keadaan

seseorang yang kurang ingatan, (20) kurang saeundan adalah keadaan seseorang yang

memiliki kecerdasan di bawah rata-rata (idiot).

(21) kurang sasetrip dikatakan pada orang

yang kurang satu garis ingatannya (tergangu).

(22) langlang-lingling dan (23) selang-seling adalah keadaan seseorang yang agak gila.

Mengacu pada Jenis Gangguan Jiwa Berat

Dalam kebudayaan Sunda, orang gila yang

sudah tidak bisa berkomunikasi dengan orang

normal termasuk dalam jenis gangguan jiwa

Page 14: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

32

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

berat. Orang gila yang cenderung mengamuk, merusak, bahkan mengganggu termasuk pula

pada jenis gangguan jiwa berat. Berdasarkan

penelitian ini, makna kosakata psikosis dalam

kebudayaan Sunda yang mengacu pada jenis

gangguan jiwa berat ditemukan sebanyak 16

data. Makna kosakata psikosis yang mengacu

pada jenis gangguan jiwa ini ditemukan pada

data (2) burung, (3) edan, (6) gelo, (10) gering pikir, (16) kawarian, (23) majenun, (24)

majnun, (26) owah pikir, (27) satengah buah leunca, (28) sédéng, (34) otakna miring, (35)

siwah, (36) pikiranana teu beres, (37) palung,

(42) teu damang, (43) teu eucreug, (44) teu waras, (45) teu cageur, (46) teu bener, (47)

jelema owah, (48) pikiranna teu jejeg, (49)

kawerian, dan (50) jelema koclak.

Data (2) burung, (6) gelo, (23) majenun,

(24) majnun, (27) satengah buah leunca, (28)

sédéng, (34) otakna miring, (35) siwah, dan

(37) palung memiliki makna yang sama yakni

gila, terkena gangguan jiwa dan tidak mampu

berkomunikasi dengan orang normal. Dalam

budaya masyarakat Sunda, seseorang dikatakan

edan bukan hanya karena dia gila tetapi karena

dia sering mengamuk serta mengganggu orang

lain. Orang yang siwah biasanya bersifat

merusak. Wanita yang baru melahirkan

kemudian mengalami sakit panas yang parah

biasanya mengalami siwah. Gangguan ini tidak

berlangsung lama. Berikutnya, data (26) owah pikir, (36) pikiranana teu beres (47) jelema owah, (48) pikiranna teu jejeg, dan (50) jelema koclak juga mempunyai makna gila, yaitu

memiliki pikiran yang tidak beres (terganggu

jiwanya) dan tidak ada komunikasi dengan

orang normal.

Kata damang, eucreug, waras, cageur, dan

bener mempunyai makna sehat (lahir-batin).

Gabungan kata-kata tersebut dengan partikel

ingkar teu ‘tidak’ pada (42) teu damang,

(43) teu eucreug, (44) teu waras, (45) teu cageur, (46) teu bener menghasilkan makna

sebaliknya yang berarti tidak sehat dalam

hal ini pikirannya yang dapat dimaknai juga

gila. Teu damang merupakan bentuk halus

dalam bahasa Sunda untuk menyatakan gila.

Adapun data (16) kawarian dan (49) kawerian

mempunyai makna perbuatan orang gila.

Mengacu pada Keadaan Awal Gangguan

Jiwa

Selain makna yang mengacu pada

gangguan jiwa ringan, sedang, dan berat,

dalam penelitian ini ditemukan pula makna

kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda

yang yang mengacu pada keadaan awal

gangguan jiwa. Dalam kebudayaan Sunda,

orang yang merasa pusing karena pengaruh

makhluk halus, orang yang kambuh kembali

penyakit lamanya (penyakit jiwa), dan

kondisi orang yang mulai gila termasuk ke

dalam keadaan awal gangguan jiwa. Data

yang mengacu pada makna ini berjumlah 6.

Keenam data ini ditemukan pada (14) kasibat, (25) ngagigihan, (29) seuit, (30) kaseuit, (31)

seuseuitan, dan (32) kahudang.

Data (29) seuit, (30) kaseuit, (31)

seuseuitan, dan (32) kahudang mempunyai

makna kambuhnya penyakit lama. Dalam

masyarakat Sunda dikenal kosakata bahwa

orang gila sering kaseuit dan seuseuitan bila

memakan daging. Adapun data (15) ngagigihan

mempunyai makna gejala seseorang yang

akan mulai terkena gangguan gila sedangkan

(14) kasibat memiliki makna acuan keadaan

awal gangguan jiwa berupa perasaan pusing

karena pengaruh makhluk halus.

Page 15: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

33

Kosakata Psikosis dalam Kebudayaan...Asri Soraya Afsari, Ayu Septiani

III. SIMPULAN

Kosakata psikosis dalam kebudayaan

Sunda memiliki keragaman baik dari segi

struktur maupun makna. Secara struktur,

kosakata psikosis dalam kebudayaan Sunda

berbentuk kata tunggal, kata jadian, frasa,

komposis, dan klausa. Kata tunggal terbagi

atas kata tunggal dwisilabis (dua silabe) dan

polisilabis (tiga dan empat silabe). Bentuk kata

jadian terbagi atas prefiks ka- + verba, konfiks ka- + -an, ka- + sa- + -an dan N- (nasal) +

-an, reduplikasi (dwireka dengan perubahan

vokal a menjadi i dan dwipurwa dengan proses

morfemis konfiks ka- + -an dan sufiks -an).

Bentuk frasa psikosis dalam kebudayaan

Sunda mencakup frasa nomina (l), frasa

adjektiva (l), frasa numeralia (l). Bentuk-

bentuk frasa ini terdiri atas dua unsur dan tiga

unsur. Bentuk komposisi berpola MD. Bentuk

klausa psikosis dalam kebudayaan Sunda

mencakup klausa transitif, klausa intransitif,

dan klausa statif.

Secara semantis, makna kosakata

psikosis dalam kebudayaan Sunda mengacu

pada jenis gangguan jiwa tingkat rendah,

sedang, dan berat. Dalam kebudayaan Sunda,

kesurupan termasuk ke dalam makna acuan

jenis gangguan jiwa ringan sedangkan orang

yang terganggu jiwanya tetapi masih bisa

berkomunikasi dengan orang normal, orang

yang tergila-gila, kurang ingatan, dan agak

gila termasuk ke dalam jenis gangguan jiwa

sedang. Adapun orang gila yang sudah tidak

bisa berkomunikasi dengan orang normal,

yang cenderung mengamuk, merusak, bahkan

mengganggu termasuk termasuk dalam jenis

gangguan jiwa berat. Selain makna yang

mengacu pada gangguan jiwa ringan, sedang,

dan berat, dalam penelitian ini ditemukan pula

makna kosakata psikosis dalam yang mengacu

pada keadaan awal gangguan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal, & Junaiyah. (2009). Morfologi: Bentuk, Makna, dan Fungsi. Edisi Kedua.

Jakarta: Grasindo.

Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka

Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. (2012). Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Cet.II.

Bandung: PT Refika Aditama. Djajasudarma, T. Fatimah. (2003). Pariwisata

dalam Pembangunan Mental: Satu Studi Kasus Pariwisata dalam Hubungannya dengan Aspek Sosial-Budaya. Makalah

disampaikan pada Seminar Bidang

Ilmu Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran.

Djajasudarma, T. Fatimah. (2013). Metode Lingusitik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.

Djajasudarma, T. Fatimah. (2013). Fonologi dan Gramatika Sunda. Bandung: Refika Aditama.

Dewan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi V. Jakarta: Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Gilang, dkk.. (2012). Buku Bahasa Sunda untuk Praktik Kedokteran. Jatinangor: FK

Unpad.

Gunarsa, Singgih, dkk.. (1998). Psikologi Olahraga: Teori dan Praktik. Jakarta: PT

BPK Gunung Mulia.

Hidayat, Rahmat Taufiq, dkk.. (2007). Peperenian Urang Sunda . Cet.II .

Bandung: Kiblat.

Page 16: KOSAKATA PSIKOSIS DALAM KEBUDAYAAN SUNDA: KAJIAN …

34

Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & KesastraanVolume 15, Nomor 1, Juni 2018

Maramis, W.F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga

University Press.

Muhtadin, Teddi, dkk.. (2009). Kamus Istilah Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian

Universitas Padjadjaran, Bandung.

Muhtadin, Teddi, dkk.. (2013). Kamus Istilah Kesehatan dalam Kebudayaan Sunda,

Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

Nurfitiriani. (2010). Kosakata Kamus Istilah Kesehatan dalam Bahasa Sunda. Skripsi

Program Studi Sastra Sunda, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran,

Jatinangor.

Ramlan. (2001). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Republik Indonesia. (1992). Undang-Undang

No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Lembaran Negara RI tahun 1992, No. 100. Sekretaris Negara. Jakarta.

Sudaryanto. ( 2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Penerbit USD.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: untuk Penelitian yang Bersifat: Eksploratif, Enterpretif, Interaktif, dan Konstruktif. Bandung: ALFABETA.

Sumber internet:

Sobarna, Cece. (2014). Bahasa sebagai

Pendidikan Karakter: Diakses tanggal 1 Maret

2018dari htt://badanbahasa.kemdikbud.go.id/

artikel/319.