68
Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan SENI & BUDAYA KOREA Tongyeong MUSIM GUGUR 2015 VOL. 4 NO. 3 TONGYEONG FITUR KHUSUS Tongyeong: Pesona Tak Terduga; Orang-orang yang Hidup Bergantung pada Laut dan Pulau; Kota Para Seniman yang Memimpikan Kebebasan ISSN 2287-5565

Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

Citation preview

Page 1: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

US$15.00W15,000

eaSt aSia’S edUcation WorrieS: eSSaYS BY Cheng Kai-ming, Takehiko Kariya, Yang Rui, Young Yu Yang, S. Gopinathan & Catherine Ramos, Nicola Yelland and Qian Tang

Breaking oUt of the rUt: engaging north koreaJoongAng Ilbo Chairman Seok-Hyun Hong offers thoughts on paths to draw Pyongyang out of isolation

the evolving US-Japan relationShipJ. Berkshire Miller on Abe’s recent Washington visit

plUSSpecial feature: india’s quest for fdi Three writers look at the drive for foreign investment under Narendra Modiin focus: northeast asia’s history problem Jie-Hyun Lim, Alexis Dudden and Mel Gurtov analyze the intractable issues around attempts to suppress historical truths in South Korea and Japn heiko Borchet German Security Co-operation with AsiaBook reviews by Christopher Capozzola, John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and John Swenson-Wright

a JoUrnal of the eaSt aSia foUndation | WWW.gloBalaSia.org | volUme 10, nUmBer 2, SUmmer 2015

Overstrained, Outdated and in Need of Reform

Education in East Asia

Latest issue, full archives and analysis on our expert blog at www.globalasia.org

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia.

In our latest issue:Education

in East Asia: Overstrained,

Outdated and in Need of Reform

Learn more and subscribe to our print or online editions at

www.globalasia.org

Have you tried our digital edition yet? Read Global Asia on any device with our digital edition by Magzter. Issues are just $5.99 or $19.99 per year. Download the free Magzter app or go to www.magzter.com

A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION

our digital edition by Magzter. Issues are

Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

SENI & BUDAYA KOREA

Tongyeong

ww

w.koreana.or.kr

Mu

siM Gu

Gur 2015

vol. 4 n

o. 3

TONgYEON

gFITUR Kh

USUSTongyeong: Pesona Tak Terduga; Orang-orang yang Hidup Bergantung pada Laut dan Pulau;Kota Para Senim

an yang Mem

impikan Kebebasan

MU

SIM g

Ug

UR

2015 vol. 4 n

o. 3

ISSN 2287-5565

Page 2: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

Korean Literature in Your Hands!Our new multimedia platforms bring interactive content

you can watch and listen to beyond the pages of the magazine.

The New www.list.or.kr | Mobile Application

New_list(HD)Available on

the App Store & Google Play

www.list.or.kr

www.klti.or.kr / Yeongdong-daero 112-gil 32, Gangnam-gu, Seoul 135-873, Korea / TEL: +82-2-6919-7714 / [email protected]

문학번역원 앱광고_교환광고용.indd 1 2015-03-18 오후 3:56:24

Korean Literature in Your Hands!Our new multimedia platforms bring interactive content

you can watch and listen to beyond the pages of the magazine.

The New www.list.or.kr | Mobile Application

New_list(HD)Available on

the App Store & Google Play

www.list.or.kr

www.klti.or.kr / Yeongdong-daero 112-gil 32, Gangnam-gu, Seoul 135-873, Korea / TEL: +82-2-6919-7714 / [email protected]

문학번역원 앱광고_교환광고용.indd 1 2015-03-18 오후 3:56:24

CITra KOrea

Page 3: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

Perubahan Harapan dari Musim Gugur

Semoga segenap 365 hari dalam setahun menjadi bagaikan Hangawi!” Ketika Chuseok datang, orang-orang Korea memiliki harapan yang sederhana. Hangawi, nama lain untuk Chuseok, jatuh pada hari kelima belas dari bulan kedelapan kalender bulan. Hari itu merupakan festival panen

bulan tradisional, yang datang di musim gugur ketika makanan berlimpah. Sehubungan dengan Hari Tahun Baru Imlek, saat itu merupakan hari libur terbesar tahun ini.

Di seputar Chuseok, cuaca dingin tumbuh dan langit terlihat bersih dan sangat tinggi. Padi berwarna emas menggelombang di sawah-sawah. Bulir-bulir yang telah dibesarkan dengan kerja keras sepan-jang tahun tampak matang dan siap dipanen. Pada saat seperti itu di setiap tahun, orang-orang yang telah meninggalkan desa untuk hidup di kota-kota tiba-tiba memikirkan kembali kampung halaman, tempat orang tua mereka menghabiskan usia dengan terus hidup dan bekerja di lahan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tahun ini Chuseok jatuh pada Minggu, 27 September pada kalender matahari. Liburan Chuseok secara resmi berlangsung selama tiga hari. Tapi ketika hari libur nasional jatuh pada hari Minggu, hari pengganti pun ditambahkan, sehingga liburan Chuseok tahun ini akan diperpanjang sampai empat hari. Ketika waktunya semakin dekat, “migrasi besar” akan berlangsung, 75 persen dari semua warga Korea berniat untuk mengunjungi kampung halaman mereka pada Hari Raya Chuseok. Jalan raya akan macet dan tiket kereta api akan habis terjual dalam sekejap.

Pada Hari Raya Chuseok, sebuah festival kelimpahan dan syukur, orang mengunjungi makam nenek moyang mereka untuk memotong rumput yang tumbuh pada gundukan dan melaksanakan rit-ual syukur terima kasih kepada leluhur yang telah melindungi kehidupan mereka. Salah satu makanan yang tak tergantikan di meja ritual dan meja makan pada hari perayaan ini adalah songpyeon. Sebuah simbol Chuseok, potongan kue berbentuk bulan-separo yang dibuat dari beras, makanan pokok rakyat Korea. Tepung beras dicampur dengan air hangat untuk dibentuk menjadi adonan. Potongan-potongan kecil adonan yang diisi dengan kacang-kacangan, kacang merah, biji wijen, kacang pinus atau bijinya, dibentuk menjadi setengah bulan, dan kemudian dikukus. Untuk memastikan bahwa kue beras tidak menempel satu sama lain dan untuk memberikan mereka aroma pinushalus, mereka dikukus pada lapisan pinus. Itulah sebabnya mereka disebut songpyeon, secara harfiah berarti “kue pinus.” Songpy-eon melambangkan begitu banyak ragam kehidupan di Korea - aroma pohon-pohon pinus yang begitu luas di seluruh negeri, tangan yang membuat kue beras, cinta dan tawa dari orang-orang yang akan menyantapnya bersama-sama.

Namun zaman telah berubah, dan orang-orang tidak lagi membuat songpyeon tetapi lebih memilih untuk membeli kue beras dan meletakkan di atas meja ritual untuk nenek moyang mereka. Dan dari-pada meninggalkan kota dan pulang ke desa, terjadilah semacam “mudik terbalik,” para orang tua datang ke kota-kota besar untuk berkumpul bersama anak-anak mereka menikmati liburan Chuseok. Banyak orang Korea yang lebih muda lebih memilih biskuit kemasan, makanan ringan dan hamburger sebagai kue beras tradisional. Kehidupan pun berubah dengan cara begitu. Namun tetap saja bulan purnama naik tinggi di langit musim gugur. Dan keinginan masyarakat banyak tetap tidak berubah: “Semoga segenap 365 hari dalam setahun menjadi bagaikan Hangawi!”

Kim Hwa-yongKritikus Sastra, Anggota Akademi Kesenian Nasional

Page 4: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

PemimPin UmUm Yu Hyun-seokDireKtUr eDitorial Yoon Keum-jinPemimPin reDaKsi Koh Young HunDewan reDaKsi Bae Bien-u Choi Young-in Emanuel Pastreich Han Kyung-koo Kim Hwa-young Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner SasseDireKtUr Kreatif Kim SameDitor Kim Jeong-eun Noh Yoon-young Park Sin-hyePenata artistiK Lee Young-bokDesainer Kim Ji-hyun Lee Sung-ki Yeob Lan-kyeong

Penata letaK Kim’s Communication AssociatesDan Desain 385-10 Seogyo-dong, Mapo-gu Seoul 121-839, Korea www.gegd.co.kr Tel: 82-2-335-4741 Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000.Di negara lain US$9.Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan.

informasi Berlangganan:The Korea FoundationWest Tower 19F Mirae Asset CENTER1 Bldg. 26 Euljiro 5-gil, Jung-gu, Seoul 100-210, Korea

PercetaKan eDisi mUsim gUgUr 2015Samsung Moonwha Printing Co.274-34 Seongsu-dong 2-ga, Seongdong-gu, Seoul 133-831, KoreaTel: 82-2-468-0361/5

© The Korea Foundation 2015Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Musim gugur merupakan musim yang indah. Pada musim ini hampir di seluruh cakrawala dan sudut-sudut kota bagaikan kanvas yang ditebari cat warna-warni. Langit membentang biru, pohon-pohon menampilkan beragam warna, seperti hijau, kuning, jingga, merah, dan cokelat. Pada musim ini, orang-orang berduyun-duyun berburu warna, takjub pada keindahan seni yang dilahirkan oleh alam.

Aneka warna musim gugur sebenarnya merupakan bagian dari proses pepo-honan mempersiapkan diri demi menghadapi musim dingin yang pasti tiba. Perubahan warna itu sebenarnya merupakan bentuk reaksi biologis pohon untuk mulai menghentikan penyediaan air dan nutrisi ke daun, agar musim dingin dapat ditapaki dengan sempurna.

Sifat pepohonan yang selalu menyiapkan diri tersebut juga terjadi pada masyarakat Korea. Mempersiapkan diri dengan baik selalu dilakukan oleh masyarakat Korea yang tinggal di wilayah empat musim ini. Maka, tak ada per-soalan yang tidak bisa diselesaikan. Kasus MERS yang menghebohkan itu akhir-nya tuntas juga. Korea telah aman dari gangguan sebaran virus tersebut. Bahkan, ancaman Korea Utara sudah diatasi dengan dialog tiga hari di perbatasan antara pejabat tinggi kedua belah pihak. Dan, pada musim gugur ini, semua siap menik-mati keajaiban warna-warna, sebab segala persoalan telah dilalui.

Mari, sambil menikmati semilir angin sejuk, guguran daun mapel dan ginkgo, kita nikmati pula sajian Koreana yang menampilkan segala sesuatu tentang kota Tongyeong yang terletak di selatan semenanjung Korea. Bacalah penjelasan empat pakar mengenai sejarah dan latar belakang Tongyeong, kehidupan masyarakat Tongyeong, para seniman yang berasal dari kota tersebut, serta keunikan dan kelezatan makanannya. Selamat membaca.

Berburu aneka warna musim gugurDari Redaksi

“suara dari Pinggir laut tongyeong” Suh Hyung-il Cat minyak di atas kanvas, 45,5cm x 53,0cm, 2011

seni & BUDaya Korea Musim Gugur 2015

Koh young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

Diterbitkan empat kali setahun oleh the Korea foundation

2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-guSeoul 137-863, Korea

http://www.koreana.or.kr

Page 5: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

fitUr KHUsUs

Tongyeong:Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

FITUR KHUSUS 1

TongyeongPesona Tak TerdugaHan Kyung-koo

FITUR KHUSUS 2

Orang-orang yang Hidup Bergantung pada Laut dan PulauKang Je-yoon

FITUR KHUSUS 3

Kota Para Seniman yang Memimpikan KebebasanLee Chang-guy

FITUR KHUSUS 4

Nostalgia Kota Pelabuhan, Kelezatan Masakan yang MenggodaSong Young-man

FOKUS

Pergelaran Musik Ritual Leluhur Kerajaan Korea di Paris Song Hey-jin

WAWANCARA

“Menunggu adalah bakat saya,berempati adalah kekuatan saya.”– Im Heung-soon, Pemenang Penghargaan Silver Lion dalam Venice Biennale tahun 2015Kwon Keun-young

PELINDUNG HARTA WARISAN

Kehidupan yang Dikhususkan untuk Pengemasan Harta Peninggalan BudayaChung Jae-suk

CERITA TENTANG DUA KOREA

Kisah Daeseong-Dong, ‘Desa Kebebasan’Kim Hak-soon

JATUH CINTA PADA KOREA

Yukari Muraoka Terpikat Cita Rasa BudayaDarcy Paquet

BUKU & LAINNYA

“Putri Bari”sebuah Kisah Hantu Paduan mitos dan realitas

“Tanpa Anda, Kami Pun tiada: Hari-hariku Bersama Anak Lelaki Elite Korea Utara”sekilas Hidup nan asing di Korea Utara

“Sebuah Biografi Singkat Yuja”Penggambaran lucu dan sarkastik modernisasi Korea

http://www.kmdb.or.kr/eng/Harta Karun dari film Korea

Charles La Shure, Lee Woo-young

ESAI

Belajar Membangun Budaya Riset Sejak Dini di Korea SelatanChairul Hudaya

KENIKMATAN GOURMET

Jeoneo, Meningkat Rasa Gurihnya Ketika Padi Siap PanenPark Chan-il

HIBURAN

Film-film Favorit di KoreaKim Young-jin

GAYA HIDUP

Obsesi Warga Korea dalam KopiKim Yong-sub

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Meremas Waktu- Sebuah Proses RekonsiliasiChang Du-yeong

Mi dalam MangkukKim Sum

52

54

56

60

62

66

18

31

13

65

04

10

18

24

28

36

40

44

48

Page 6: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

4 KOREANA Musim Gugur 2015

Pesona tak terdugatongyeong

tongyeong adalah satu dari 2 kota dalam negeri yang ingin ditinggali oleh orang Korea. tongyeong sulit digambarkan

dengan kata-kata. walau merupakan satu kota kecil dengan penduduk 140.000 jiwa, kota ini telah melewati beberapa

kali perubahan. ia merupakan pusat transportasi laut, kota militer yang terencana, pusat kerajinan dan industri

tradisional. Pada zaman penjajahan Jepang kota tongyeong merupakan tempat tinggal yang penuh sesak oleh orang

Jepang dan sekaligus merupakan tempat yang sempat riuh oleh gerakan kemerdekaan ataupun gerakan masyarakat,

juga merupakan kota yang melahirkan sejumlah artis seperti penulis, pelukis, dan penyanyi seriosa yang ternama.

tongyeong juga terkenal dengan seafood lezat yang menarik pencinta makanan sepanjang tahun, dan juga aktif dalam

menghidupkan kembali lingkungan lama dengan aktivisme budaya. Kota ini turut menjadi Pusat Pendidikan untuk

Pengembangan Berkesinambungan PBB, serta memimpikan menjadi Kota Kreatif Unesco melalui musik sebagai

kota wisata dan budaya.

FITUR KHUSUS 1 Tongyeong:Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

Han Kyung-kooAntropolog Budaya; Profesor di College of Liberal Arts, Seoul National Universityahn Hong-beomFotografer

Page 7: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 5

Pesona tak terduga

Tongyeong bukanlah pulau tetapi karena terhubung ke daratan oleh sebuah jembatan sempit maka kelihatan se-perti sebuah pulau, sebelum invasi Jepang di abad ke-16

(1592-1596), kota ini adalah desa nelayan yang tenang bernama Duryongpo yang memiliki nuansa sebuah pulau. Kemenangan per-tama Korea terhadap Jepang setelah pecahnya perang Okpo, per-tempuran di laut dekat Pulau Goeje, perang Pulau Hansan yang merupakan salah satu dari tiga kemenangan terbesar dalam per-ang melawan Jepang yang berlangsung pada bulan Juli 1592 di lepas pantai Tongyeong. Menyadari perlunya pemusatan komando, pada bulan Agustus 1593 kerajaan Joseon melantik Laksamana Yi Sun-shin sebagai komandan Markas Besar Angkatan Laut Tiga

Provinsi (Gyeongsang, Jeolla dan Chungcheong). Laksamana ber-tanggung jawab atas armada dari tiga provinsi selatan serta lima batalyon angkatan laut. Dengan kata lain, ia membawahi hampir seluruh angkatan laut dari Joseon pada masa itu dan memimpin semua pertempuran laut di perairan selatan Semenanjung Korea.

Pusat Perhubungan laut, tempat terjadinya Pertempuran sengit

Markas angkatan laut pertama kali didirikan di Pulau Hansan dan pindah beberapa kali setelah itu sebelum akhirnya ditempat-kan di Tongyeong pada tahun 1604. Markas ini terus berfungsi selama hampir tiga ratus tahun sebelum ditutup pada tahun 1895.

Dilihat dari udara, pemandangan kota Tongyeong, Pulau Mireuk, dan pulau-pulau lepas pantai Tongyeong terlihat bagaikan sebuah lukisan cat air yang indah. Kawasan Tongyeong saat matahari terbit difoto dari udara.

Page 8: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

6 KOREANA Musim Gugur 2015

Nama kota Tongyeong berasal dari kata ‘tongjeyeong’ yang berarti “markas angkatan laut.” Selama tahun 1955-1994 kota ini dina-mai ‘Chungmu’ yang adalah nama kehormatan Laksamana Yi Sun-shin.

Alasan yang membuat Tongyeong berkembang menjadi pusat komersial yang tangguh di paruh kedua masa Dinasti Joseon dan yang membuat banyak orang Jepang datang untuk tinggal selama masa pendudukan Jepang tak lain karena Tongyeong adalah pusat transportasi. Letaknya dekat dengan Busan dan Pulau Daema dan juga berade pada rute dari Busan ke provinsi Jeolla.

Karena lokasinya, Tongyeong menjadi target serangan bagi ten-tara Korea Utara selama Perang Korea (1950-1953). Tentara Korea Utara bermaksud untuk menduduki Tongyeong dan mengguna-kannya sebagai dasar untuk menguasai Busan melalui Pulau Geoje dan Masan, yang saat itu merupakan bahaya besar bagi pasukan Korea Selatan dan PBB. Tapi unit angkatan laut yang buru-buru dikirim untuk mempertahankan Pulau Geoje melakukan penda-ratan amfibi, berhasil mengusir Korea Utara dan merebut kem-bali Tongyeong. Ini terjadi satu bulan sebelum terjadinya peristiwa Pendaratan Incheon pada tahun 1950. Angkatan laut Korea men-jadi terkenal melalui artikel yang ditulis oleh Marguerite Higgins (1920-1966), seorang koresponden perang New York Times, yang menulis “Bahkan setan pun mungkin bisa mereka tangkap.”

sebuah Kota militer yang memimpikan PerdamaianTongyeong dibentuk sebagai kota militer, untuk mendukung

relokasi markas angkatan laut Joseon untuk tiga provinsi selatan. Dan juga Tongyeong adalah sebuah kota damai yang direncanakan dengan tekad untuk mencegah agar perang sengit tidak lagi terjadi untuk kedua kalinya dan demi menjaga perdamaian. Di pusat kota berdiri sebuah bangunan bersejarah yang fungsional dan simbo-lik sebagai kekuatan angkatan laut Jeoson. Dinamakan Sebyeong-gwan, atau “Gedung Cuci Senjata”, memiliki gerbang depan berna-ma Jigwamun, atau “Gerbang Hentikan Tombak” nama yang men-gandung keinginan negara untuk menjaga perdamaian dengan pertahanan yang kuat.

Sejak waktu berdirinya markas angkatan laut, dituntut man-diri secara finansial. Di tengah perang, Laksamana Yi Su-shin tidak bisa mengharapkan dukungan keuangan dari pemerintah pusat, sehingga ia membentuk markas pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan pasukannya dan memberikan bantuan kepa-da masyarakat umum. Pasukannya menangkap ikan dan mem-produksi garam sebagai cara untuk membiayai perang. Selain itu ia membangun 12 bengkel kerja di Tongyeong agar pengrajin dapat langsung memproduksi senjata dan perlengkapan militer lainnya. Bengkel tersebut menghasilkan bukan hanya barang militer tetapi juga alat pertanian dan barang-barang rumah tangga, beberapa di antaranya dikirim ke pemerintah pusat sebagai upeti dan sisa-nya dijual untuk menambah keuangan markas angkatan laut. Oleh karena itu, ketenaran Tongyeong sebagai pusat kerajinan, misal-

nya quilting Tongyeong yang terkenal, bisa dikatakan bermula dari sejarah angkatan laut. Permintaan untuk kain jahit berlapis untuk pakaian tentara melonjak membuat semua wanita Tongyeong menjadi ahli dalam seni jahit menjahit karena mereka membuat pakaian tentara untuk suami dan anak-anak laki-laki mereka.

Kemajuan Perdagangan dan industriSeirama dengan Tumbuh suburnya bengkel kerja dan produk

mereka seperti topi bulu kuda yang dipakai oleh kelas penguasa (gat), meja makan kecil (Soban), dan kotak perhiasan berhiaskan mutiara (Najeon Chilgi) dengan kualitas tinggi menjadi terkenal di seluruh negeri sehingga pasar lokal menjadi luas dan membuat populasi meningkat. Teknologi yang digunakan untuk memproduk-si dan memperbaiki kapal perang digunakan dalam membuat dan memperbaiki kapal komersial dan dibangun juga gudang-gudang untuk menyimpan barang yang diperlukan untuk pelayaran.

Dengan meningkatnya jumlah orang dan barang yang datang dan pergi melalui laut, pada tahun 1872 muara laut diperlebar dan dibuka daerah yang lebih luas untuk memperlebar pasar. Mun-cullah toko-toko yang mengkhususkan diri dalam menjual beras, kain, aksesoris, tembakau, dan teripang yang membuat Tongyeong terbentuk sebagai pusat komersial pantai di wilayah Provinsi Gyeongsang Selatan.

Pusat kota Tongyeong juga secara otomatis menjadi besar. Jumlah penduduk yang semakin bertambah menimbulkan kurangnya ruang tempat tinggal sehingga penduduk mulai mene-tap di pulau-pulau terdekat, dan populasi Tongyeong menjadi dua kali lipat di antara akhir abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Dengan jumlah rata-rata penduduk 7,2 orang per rumah tangga, kepadatan penduduknya jauh lebih tinggi dari Seoul, yang berjumlah 4,4 per rumah tangga pada masa yang sama. Tepat sebelum bermulanya era modern, Tongyeong sudah merupakan kota terbesar ke-12 di Korea dalam hal populasi, lebih besar daripada Mokpo atau Jinju.

Bertumbuh dalam sakit dan eksploitasi Kolonial Orang-orang dari Tongyeong tidak hanya tahan banting. Mereka

memiliki rasa bangga dan dan kesadaran sosial yang baik. Hal ini mungkin karena adanya markas angkatan laut di kota ini selama tiga ratus tahun. Komandan angkatan laut di markas itu berper-ingkat kedua, yakni peringkat yang sama dengan gubernur setem-pat. Sebelas kota-kota terdekat seperti Jinju, Changwon, Gimhae, Jinhae, Sacheon, dan Geoje serta 23 kamp angkatan laut berada di bawah kendalinya. Dalam keadaan darurat ia dapat memberi per-intah dan memimpin semua prajurit kamp tersebut. Tongyeong menjadi pusat militer regional, pusat administrasi dan budaya dae-rah, sekaligus juga menjadi pusat industri dan komersial masyara-kat tradisional.

Merupakan pukulan besar ketika markas angkatan laut Tongyeong ditutup atas perintah angkatan laut dari Provinsi Gyeongsang sebagai satu akibat dari Reformasi Gabo di tahun

Page 9: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 7

Meskipun sekarang tampak seperti kota kecil dan lusuh saat ini, sebenarnya di masa lalu Tongyeong adalah kota yang besar dan sangat baru. Kota ini adalah kota terencana pertama pada zaman Joseon dan menjadi pelopor dalam perubahan di bidang ekonomi dan sosial dengan pengembangan kerajinan tradisional dan perdagangan. Ia juga merupakan dasar yang kokoh sebagai daerah pusat seni. Setelah dibukanya pelabuhan, Tongyeong kota kosmopolitan yang paling cepat menerima budaya dari Jepang dan Barat. Selain itu, dengan kekayaan akumulasi dari nelayan dan kegiatan komersial lain, Tongyeong berada di garis depan modernisasi.

Peta tua mengenai Tongyeong dibuat pada tahun 1830 menunjuk-kan Tongyeong dikeli-lingi oleh tembok kota di tengah-tengahnya, Gangguan, Jembatan Gullyang yang meng-hubungkannya dengan Pulau Mireuk, dan ribuan pulau dalam berbagai ukuran di laut. Peta ini dibeli secara online di situs lelang luar negeri oleh Seol Jong-guk, presiden Hotel Geobukseon di Tongyeong.

Page 10: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

8 KOREANA Musim Gugur 2015

1895, yang dilakukan oleh Joseon ketika mulai menerima per-adaban barat. Banyak pejabat dan tentara yang pernah bekerja di markas angkatan laut kehilangan pekerjaan mereka. Sejumlah besar pengrajin yang bekerja di 12 bengkel kerja pindah ke Seoul atau wilayah sekitar lainnya. Beberapa menetap di sekeliling kota Tongyeong dan terus bekerja, tetapi kerajinan tradisional secara keseluruhan mengalami penurunan.

Di sisi lain ketika Joseon membuka pelabuhannya, nelay-an Jepang berdatangan untuk mencari ladang mata pencahar-ian baru. Didukung oleh dukungan politik dan administrasi, nela-yan Jepang membawa teknologi baru, peralatan dan modal dan memonopoli tempat penangkapan ikan terbaik. Mereka mulai mengambil alih bisnis dan keuangan di Tongyeong. Jumlah orang Jepang yang benar-benar tinggal di kota ini mulai bertambah juga. Bahkan beberapa dari mereka seperti prefektur Okayama, mem-beri subsidi kepada nelayan Jepang dan mengutus mereka dalam upaya untuk membuat pemukiman kolonial di Korea.

Industri perikanan dari Tongyeong, mengalaml banyak kesulit-an, berkembang dari menggunakan metode tradisional menjadi menggunakan metode modern dan terus bertumbuh. Pada tahun 1966 sebuah pusat pemancingan didirikan di Pulau Yokji dan tahun berikutnya pusat benih ikan dibuka di Tongyeong untuk mendu-kung budidaya ikan. Dan berkat kondisi alam yang sangat mendu-kung, Tongyeong memperoleh ketenaran sebagai ‘pusat perikanan terkemuka.’

Walaupun sampai pada masa modern Tongyeong tetap menjadi pusat penting dari industri perikanan modern dan transportasi laut, pada periode pertumbuhan ekonomi Korea yang pesat peran eko-nomi dan budaya Tongyeong menurun. Terutama industri perikan-an secara keseluruhan menghadapi beberapa krisis. Krisis sem-pat terjadi ketika rumput laut merah mewabah, menyebabkan ikan dan kerang-kerangan di pembudidayaan mati, dan juga ekspor tiram sempat terhenti. Pada 1980-an dan 1990-an, kota ini jatuh ke dalam kemerosotan ditandai dengan dengan tidak adanya pertum-

buhan populasi. Pada pertengahan 2000-an, industri perkapalan maju dan untuk beberapa waktu waktu melebihi industri perikanan di masa jayanya. Namun bagaimanapun, isolasi dari perkemban-gan selama periode waktu yang cukup panjang memungkinkan Tongyeong untuk mempertahankan lingkungan alam yang masih asli.

Kota indah yang Penuh KejutanTongyeong berbangga diri menjadi sebuah kota seni. Banyak

penulis dan artis terkenal yang lahir dan dibesarkan di kota ini, seperti penyair Kim Chun-su (1922-2004) dan Yu Chi-hwan (1908-1967), pelukis Jeon Hyuck-lim (1917-1995), dan novelis Pak Kyong-ni (1926-2008) dan Kim Yong-ik (1920-1995), banyak seniman yang memiliki hubungan dekat dengan Tongyeong termasuk penyair Baek Seok (1912-1995) dan artis Lee Jung-seop (1916-1956). Di seluruh jalan dan taman di kota terdapat monumen dan galeri dan ruang memorial yang didedikasikan untuk mengenang para seni-man tersebut.

Kebanyakan orang merasa heran bahwa sebuah kota kecil telah menghasilkan begitu banyak penulis dan seniman terkenal. Beber-apa mengatakan, itu berkat alam yang indah dan beberapa meng-atakan tradisi 12 bengkel kerja memiliki pengaruh yang kuat. Tapi mungkin kita harus ingat bahwa sebagian besar seniman tersebut aktif kira-kira pada periode waktu yang sama.

Meskipun sekarang tampak seperti kota kecil dan lusuh saat ini, sebenarnya di masa lalu Tongyeong adalah kota yang besar dan sangat baru. Ia juga merupakan dasar yang kokoh sebagai daerah pusat seni. Setelah dibukanya pelabuhan, Tongyeong kota kosmo-politan yang paling cepat menerima budaya dari Jepang dan Barat.

Dengan tujuan mencari peluang ekonomi, banyak orang Jepang telah menetap di Tongyeong bahkan sebelum Jepang menduduki Korea pada tahun 1910. Kecuali Sebyeonggwan, semua bangunan markas angkatan laut telah dirombak dan di tempat itu didirikan sekolah, pengadilan hukum, dan kantor pajak. Sebuah pusat kota

1 Tiruan dari kapal penyu, atau geobukseon (kiri), dan panok-seon (kanan) sedang bersandar di Pelabuhan Gangguan. Kapal penyu dirancang oleh Laksamana Yi Sun-sin, memiliki dek atas yang tertutup logam dan paku besi untuk mengusir serangan dari pasukan angkatan laut Jepang. Seiring dengan panokseon, kapal perang dengan menara komando yang ter-letak di dek atasnya, kapal kura-kura dengan berbagai senjata hebat berperan penting dalam kemenangan Joseon dalam pertempuran laut melawan penjajah Jepang dalam Perang Imjin dari akhir abad ke-16.

2 Sebyeonggwan (“Balai Cuci Senjata”), dibangun pada 1604, merupakan salah satu bangunan utama dari Markas Be-sar Komando Angkatan Laut Tiga Provinsi, yang berpusat di Tongyeong. Nama tersebut berarti “membasuh senjata dengan kekuatan galaksi” dan menyampaikan kebijaksanaan untuk mencegah terulangnya perang.

1

Page 11: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 9

Jepang bergaya modern didirikan, sementara jalan dan fasilitas pelabuhan yang diperbaiki. Pada tahun 1931 kanal dan terowongan bawah tanah selesai dibuat. Pada pertengahan 1930-an ada sekitar 3.000 orang Jepang di desa dan total berjumlah 6.000 orang di dis-trik Tongyeong.

Peradaban Barat juga masuk ke Tongyeong sangat awal. Ang-gota misionaris Gereja Anglikan dan Presbyterian dari Austra-lia memulai kegiatan penginjilan di kota ini sekitar 1894-1895. Pada tahun 1905, sebuah gereja didirikan dan di tahun 1911-1912, dibentuk taman kanak-kanak. Meskipun misionaris gagal dalam tujuan mereka mendirikan sebuah sekolah dasar, mereka berhasil mendirikan Sekolah Pelatihan Jinmyeong untuk anak perempuan masa usia sekolah dan juga mendirikan sekolah malam. Ini lemba-ga pendidikan yang disediakan untuk pelatihan kejuruan dan pen-didikan tentang kesadaran nasional, berdasarkan semangat Kris-ten, sehingga menjadi pilar spiritual dari aktivisme sosial warga Tongyeong. Melalui misionaris ini orang-orang dari Tongyeong menjadi terbuka terhadap budaya Barat lebih awal dari banyak bagian lain dari Korea.

Tongyeong juga menjadi ajang berbagai gerakan sosial sep-erti Gerakan Kemerdekaan 3 Maret 1919, gerakan pemuda, ger-akan buruh, gerakan petani, dan Singanhoe (arti harfiah “gerakan

masyarakat baru”). Cabang dari Singanhoe, yang merupakan ge-rakan politik nasionalis, memiliki dasar yang lebih kuat dari pada gerakan lainnya di Korea. Selain itu, gairah masyarakat untuk mengenyam pendidikan sama kuatnya seperti di Seoul. Tongyeong mengirim lebih banyak mahasiswa untuk belajar di Jepang diban-ding kota-kota lainnya. Gerakan pemuda juga kuat, melalui kegi-atan penggalangan dana independen, mereka berhasil mendirikan Gedung Pemuda Tongyeong Pemuda berlantai dua lantai, sebuah bangunan bata merah. Setelah pembebasan dari penjajahan Jepang pada tahun 1945, warga Tongyeong aktif dalam memba-ngun negara demokratis yang merdeka.

Tradisi aktivisme sosial mendasari beberapa perkembangan penting saat ini. ‘Tongyeong Hijau 21’ adalah organisasi swasta-publik yang didirikan untuk melaksanakan tujuan ‘Agenda 21’ secara regional yang terpilih sebagai tempat untuk Pusat Pendi-dikan untuk Pembangunan Berkesinambungan. ‘Tongyeong Hijau 21’ berhasil menghidupkan kembali Dongpirang, lingkungan lama yang terancam pembongkaran menjadi sebuah desa dengan tem-bok bergambar yang sekarang menjadi tujuan wisata yang terke-nal. Tidak diragukan lagi Tongyeong akan terus mengubah dirinya dan mengejutkan kita dengan keragaman dan pesonanya.

2

Page 12: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

10 KOREANA Musim Gugur 2015

FITUR KHUSUS 2 Tongyeong:Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

orang-orang yang HiDUP BergantUng PaDa laUt Dan PUlaUtongyeong adalah perpaduan indah dari pegunungan, laut, dan kepulauan.

Pegunungan utama yeohang dan mireuk, teluk gangguan yang mengitari

pantai, yang di sampingnya terdapat pasar ramai, tampak sibuk sepanjang

tahun - ini adalah beberapa hal yang memberikan semangat dan kehidupan di

kota ini. Perairan lepas pantai yang penuh dengan pulau-pulau dengan ukuran

yang beraneka ragam, bagaikan permata yang mengapung di atas air. mari kita

sejenak menyaksikan keindahan kehidupan orang-orang yang hidup bagaikan di

dalam gambar.

Kang Je-yoonPenyair, Kepala Sekolah, Sekolah Pulau, Institut Kemanusiaan Pressianahn Hong-beom, choi Jung-sun Fotografer

Page 13: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 11

Teri segar yang tertangkap tampak berkelojotan di jaring pada perahu nelayan. Teri Tongyeong diproses di perahu untuk mempertahankan kesegaran mereka. Konvoi menjala ikan teri biasanya terdiri atas empat kapal: satu kapal eksplorasi, dua kapal penangkap dengan jaring, dan satu perahu yang dilengkapi dengan fasilitas pengolahan.

Page 14: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

12 KOREANA Musim Gugur 2015

1 Sebagian besar ikan segar yang tertangkap oleh para nelayan Tongyeong langsung dikeringkan di tempat. Meskipun dibutuh-kan banyak pekerjaan untuk membuat ikan kering, hasil produknya akan mem-peroleh harga tinggi yang sangat berarti bagi para nelayan.

2 Perempuan desa cenderung mencari ikan dengan jaring. Jaring yang rusak harus secara hati-hati diperbaiki untuk memastikan bahwa mereka dapat digunakan lagi.

Tempat di mana laut memanggil Anda bahkan ketika Anda sedang tidur.” Tongyeong adalah kota pelabuhan yang indah. Tongyeong adalah pelabuhan alami diberkati dengan gelombang angin dan air yang lembut dengan adanya Pulau Mireuk (Pulau Buddha Maitreya), yang terletak di depan semenan-

jung Tongyeong, memecah ombak yang bergelora. ‘Gangguan’ adalah teluk yang mencapai sampai ke pusat kota dan merupakan detak jantung kota. Kapal-kapal berlalu lalang sepanjang hari, dan ikan yang telah ditangkap malam sebelumnya telah habis terjual di Pasar Induk yang terletak tepat di tepi air. Peran Tongyeong sebagai pusat distribusi hasil laut dikukuhkan dengan keberadaan teluk dan perahu nelayan yang menyebarkan bau asin laut.

gunung mireuk dan Desa Dongpirang Gunung Mireuk terbentang mengelilingi kota Tongyeong. Kuil Yonghwa dan tempat pertapaan Dosol

yang berusia lebih dari seribu tahun terletak di gunung tersebut. Gunung ini melindungi penduduk dari angin kencang dan gelombang yang bergelora. Gunung Mireuk bukanlah sekedar gunung pelindung namun juga telah lama menjadi obyek pemujaan.

Dewasa ini, para turis naik ke puncak gunung dengan menggunakan mobil kabel, di sana panorama besar tersebar di depan mata, yakni kota Tongyeong dan pulau-pulau lepas pantai di bawahnya, Sam-cheonpo dan Namhae tampak dari kejauhan, demikian juga pulau Goseong, Sacheon dan Geoje. Di puncak gunung juga terdapat mercusuar yang digunakan oleh Markas Besar Angkatan Laut Tiga Provinsi, sebagai tempat pengamatan selama invasi Jepang (1592-1598). Oleh karena itu desa yang terletak di kaki gunung

1 2

Page 15: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 13

ini disebut Bongsugol, yang berarti “lembah mercusuar.”Di tengah lereng selatan Gunung Mireuk terdapat Kuil Mirae. Kuil Buddha yang menyatu dengan peman-

dangan gunung sekitarnya terkenal dengan keindahan arsitekturnya, akan tetapi sebenarnya yang lebih berharga adalah hutan cemara yang terdapat di dalamnya. Pepohonan itu ditanam oleh Jepang selama masa perang, kemudian dibeli oleh pihak kuil sehingga saat itu perawatannya diambil alih oleh si pembeli. Luas hutan cemara itu sekitar 50.000 pyeong (lebih kurang 165 ribu meter persegi), sangat tepat dijadikan sebagai tempat pemulihan. Dengan berjalan di sepanjang jalan jiwa dan raga akan terasa disucikan.

Belakangan ini yang menjadi sensasi terbesar dalam Tongyeong adalah desa bernama Dongpirang, yang berarti “tebing di sisi timur.” Desa yang pernah menjadi lingkungan termiskin di kota ini mulai dikenal masyarakat waktu organisasi sipil lokal melakukan sebuah proyek untuk menghidupkan kembali daerah itu. Pada tahun 2007 pemerintah kota Tongyeong menyusun rencana untuk merombak seluruh desa dan membuat sebuah taman di dalamnya. Tapi kepala organisasi sipil, tidak ingin melihat rumah-rumah tua, lorong-lorong dan sisa-sisa masa lalu lenyap. Sebagai alternatif, ia menyarankan rencana untuk meng-konservasikan desa itu. Ia membujuk para pejabat kota untuk mencoba mengenal nilai serta mengilhami budaya yang akan mencerminkan dan merangkul sejarah daerah dan kehidupan masyarakat. Dia percaya bahwa desa tua dan lorong-lorong rusak itu berharga dan layak untuk dilestarikan. Mahasiswa datang dan mulai melukis mural di dinding bangunan yang sudah bobrok. Dan ketika Dongpirang menjadi terke-nal karena lukisan itu, maka wisatawan mulai berduyun-duyun ke sana. Hanya dengan melukis beberapa mural di dinding rumah-rumah tua, telah cukup untuk mengembalikan kehidupan di desa ini. Lingkungan

Page 16: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

14 KOREANA Musim Gugur 2015

yang sempat terancam punah ini sama can-tiknya dengan semangat yang telah memu-lihkan desa ini menjadi suatu pemandangan yang penuh dengan warna.

Perairan tongyeong dan Pulau yokji Di perairan Tongyeong terdapat seki-

tar 500 pulau. Pada pantai di sekeliling-nya terdapat tempat pembudidayaan ikan. Tongyeong terutama terkenal dengan squirt laut dan tiramnya di Korea. Hasil squirt laut dan tiram dari Tongyeong berjumlah 60-70 persen dari total hasil di Korea. Kare-na dibiakkan dalam air jernih dan segar, rasa tiram Tongyeong sangatlah lezat. Tongyeong menjadi tempat berkembang biak tiram sejak tahun 1960-an ketika perta-nian tiram rakit dimulai di desa Gwangdo.

Pada musim semi, banyak perahu mena-rik jala penuh squirt laut yang dikumpul-kan dari peternakan ikan, yang terlihat seperti bunga-bunga merah mekar di atas air. Squirt laut mulai dikenal setelah pada

tahun 1970-an mulai dikembangbiakkan di Tongyeong dan daerah pesisir lainnya. Sebelumnya, squirt laut hanya dimakan oleh orang-orang yang tinggal di tepi laut. Squirt laut liar yang dikumpulkan oleh haenyeo (penyelam wanita khusus untuk mengambil hasil laut) atau penyelam umumnya sangatlah langka, sehing-ga orang biasa di kota tidak dapat menikmatinya. Di kota-kota squirt laut umumnya dimakan mentah, tapi orang-orang yang tinggal di tepi laut memakannya dengan berbagai cara, dalam bentuk sup, sayur campur, atau bibimbap (nasi campur).

Pulau Yokji dikelilingi dengan pulau-pulau kecil dan besar yang seakan menghiasinya dengan hamparan pemandangan laut yang terbuka di hadapannya. Pulau istimewa yang menawarkan keindahan beraneka ragam dari kepulauan Dadohae dan berbagai sensasi laut. Sekitar 1.500 orang tinggal di pulau ini. Jalan dakian menuju tempat tertinggi pulau, Puncak Cheongwang (392m) dengan pemandangan indah menarik orang-orang sepanjang tahun untuk datang. Dari sini pulau-pulau yang tak terhitung jumlahnya di daerah sekitarnya mulai terlihat. Pemandangan dari batu datar besar yang dapat dicapai dengan melintasi jem-batan ayun benar-benar memuaskan hati. Seluruh pulau bergunung-gunung, ada banyak hutan dan yang terbaik di antaranya adalah hutan pohon chinquapin (Castanopsis cuspidata var. Thunbergii) di Jabupo. Sa-ngat jarang untuk sebuah hutan chinquapin tumbuh secara alami di hutan beriklim hangat Korea.

Di masa silam Pulau Yokji adalah pusat pemancingan utama di mana ribuan kapal berkumpul. Tetapi kini budidaya ikan menjadi industri utama dan perairan di dekatnya yang penuh sesak dengan peternakan ikan untuk bream laut, rockfish, dan kerapu. Belakangan, pembudidayaan mackerel juga aktif. Setelah meraih sukses pertama di Pulau Yokji, kini telah menyebar ke pulau Yeonhwa di dekatnya. Rasa macke-rel mentah segar begitu manis dan gurih yang akan membuat Anda melupakan semua ikan mentah lain yang pernah Anda rasakan. Daya tarik lain terkenal Jabupo adalah “barista nenek.” Sekelompok wanita tua berusia 60-an sampai 80-an mengoperasikan sebuah kafe di mana mereka membuat kue dari ubi jalar yang mereka tanam di pulau dan menggongseng langsung biji kopi mereka.

orang-orang di Pulau-pulauDi Pulau Daemaemul ada jalan sepanjang pantai di mana Anda dapat berjalan-jalan sambil menikma-

ti laut. Jalan kaki menyenangkan dan santai yang mengarah ke tebing. Jika melewati hutan, akan terlihat

1 Jabupo terkenal dengan “barista nenek,” wanita tua yang berusia 70-an dan 80-an yang menjalankan sebuah kafe di Pulau Yokji. Secangkir kopi dan kue yang terbuat dari ubi jalar yang ditanam di pulau merupakan tujuan utama bagi wisatawan.

2 Setelah diancam akan di-bongkar, desa Dongpirang menjadi terkenal ketika seniman muda datang dan melukis mural di dinding bangunan bobroknya. Desa ini sekarang menjadi salah satu tujuan wisata yang pal-ing terkenal di Tongyeong, daya tarik para wisatawan dari berbagai negara.

1

2

Page 17: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 15

pemandangan yang fantastis padang rumput dan laut bagian luar. Sisi belakang pulau dipagari dengan for-masi batuan yang fantastis, dan di antara batu-batu di lereng gunung selalu hijau ditumbuhi oleh pohon chinquapin dan camellia yang tampak seperti gumpalan bunga hijau. Dari observatorium di bagian atas Puncak Jangun, Somaemul dan pulau-pulau Deungdae tampaknya cukup dekat untuk dapat diraih dengan tangan. Di sinilah pada akhirnya kita akan mengerti akan kecantikan terkenal Pulau Somaemul. Dan tentu saja, seseorang hanya bisa melihat hutan setelah keluar dari hutan yang lain. Tempat terbaik untuk me- ngetahui kehindahan Pulau Somaemul dan pulau-pulau Deungdae tak lain adalah Pulau Daemaemul. Penyelam wanita yang disebut Haenyeo mengumpulkan kerang sorban, landak laut, dan tiram. Salah satu kenikmatan lain bepergian ke pulau-pulau ini adalah duduk di dermaga sambil minum-minum dan makan tiram seukuran kepalan tangan yang baru saja dibawa oleh Haenyeo berusia sepuh dari dalam laut.

Mahasiswa datang dan mulai melukis mural di dinding bangunan yang sudah bobrok. Ketika Dongpirang menjadi terkenal karena lukisan itu, maka wisatawan mulai berduyun-duyun ke sana. Hanya dengan melukis beberapa mural di dinding rumah-rumah tua, telah cukup untuk mengembalikan kehidupan di desa ini. Lingkungan yang sempat terancam punah ini sama cantiknya dengan semangat yang telah memulihkan desa ini menjadi pemandangan yang penuh dengan warna.

Page 18: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

16 KOREANA Musim Gugur 2015

Pulau Chu adalah habitat dari ikan lele air. Perahu nelayan dari pulau semua turut serta dalam menang-kap ikan lele air dengan perangkap ikan. Sementara nelayan dari daerah lain menggunakan perangkap yang terbuat dari plastik penduduk setempat Pulau Chu masih memakai perangkap bambu tradisional. Ini adalah metode yang ramah lingkungan. Musim penangkapan ikan lele air berlangsung dari akhir musim gugur sampai musim dingin, dan selama waktu itu seluruh pulau menjadi tempat pengeringan ikan. Tidak hanya jalan berbukit tapi juga jalan dan pagar, ladang dan pekarangan rumah kosong semua penuh dengan pengeringan ikan. Di setiap rumah lebih banyak mengeringkan ikan lele air daripada menjemur pakaian. Ikan lele air memang dijual segar juga tapi kebanyakan dijual dalam keadaan kering. Mengeringkan ikan lele air memang adalah kerja keras tetapi produk itu menghasilkan uang lebih banyak daripada menjualnya dalam keadaan segar. Sup ikan lele air kering merupakan obat mengatasi mabuk yang tidak ada duanya.

Pulau Yeonhwa (Pulau Bunga Teratai) adalah sebuah gunung besar. Warga hidup berkelompok bersa-ma-sama di lereng curam. Jika dilihat dari puncak gunung pulau ini, kita akan dapat menikmati pemandang-an pantai Yongmeori (kepala naga) yang menakjubkan. Para wanita tua desa Yeonhwa-ri membuat makge-olli (minuman keras dari beras) yang lebih dari cukup untuk memuaskan dahaga setiap wisatawan. Jalan setapak di Pulau U yang ada di dekatnya juga memiliki pantai yang menakjubkan. Jika berjalan mengikuti jalan sepanjang pulau yang terhubung dengan jalan setapak, kita akan dapat melihat terowongan hutan dan hamparan laut silih berganti. Makanan terkenal dari pulau ini adalah hidangan meja rumput laut yang disiapkan oleh istri nelayan. Nasi dengan tot (berbagai rumput laut cokelat), atau nasi campur dengan gang-gang merah dan rumput laut lainnya ditambah dengan kecap asin adalah makanan sehat tiada taranya.

Page 19: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 17

1 Bergerigi, pantai berbatu di Pulau Yeon-hwa menciptakan pemandangan spek-takuler. Pemandangan air berwarna giok di bawah jembatan suspensi, dibuka pada tahun 2011, tak terlupakan.

2 Seorang pria tua yang lahir pada Pulau Yeonhwa dan selama 30 tahun bekerja di sebuah kapal pesiar menghabiskan hari-harinya dengan memperbaiki jaring ikan dan menjaga ibunya, yang menderita de-mensia. Dia mulai memperbaiki jaring ke-tika ia menyaksikan beberapa nelayan dari pulau bangkrut saat terjadi kecelakaan di kandang peternakan ikan mereka.

Di sisi dermaga di Pulau Yeonhwa, seorang bapak tua sedang mengerjakan jala ikannya. Disebut ‘jubok’, jala jenis itu adalah jenis jala yang kini jarang digu-nakan. Di bawah terik matahari, ia mengenakan topi berbentuk payung kecil. Suatu ide yang menarik bagi saya. Saya bertanya darimana topi itu. “Di internet banyak yang menjual,” jawabnya.

Bapak tua itu lahir dan dibesarkan di pulau. Setelah menjalani wajib militer ia menghabiskan lebih dari 30 tahun sebagai orang mesin di sebuah kapal pesiar. Ia kembali ke pulau ketika ibunya menua dan jatuh sakit demensia. Sejak itu, sang bapak tua setia merawat ibunya, yang kini berusia 92 tahun. Pembiakan ikan tersebar di seluruh perairan antara Pulau Yeonhwa dan Pulau U. Tapi kadang-kadang jala pembiakan jebol dan ikan berbondong-bondong melari-kan diri. Pemilik pembiakan ikan terkena kerugian besar dan kadang-kadang bangkrut. Bapak tua itu telah melihat beberapa orang jatuh ke dalam keputusa-saan karena kejadian seperti itu. Dari pengalaman itu dia memutuskan untuk mengerjakan jala. Dengan berharap bisa membantu siapapun yang karena jala pembiakannya rusak sehingga ikannya kabur dapat memakai jala yang diker-jakannya itu untuk bisa meminimalkan kerugian yang terjadi, ia mengerjakan jala tanpa pamrih.

Bapak tua percaya jika dua sisi dari laut di mana menjadi jalan keluar ikan-ikan yang kabur itu diberi jala, tentunya sebagian dari ikan itu bisa didapat kem-bali. Kalau seorang nelayan bangkrut, ‘dia tidak bisa pergi ke manapun untuk bekerja’ katanya lirih dan khawatir sehingga ingin memberikan bantuan yang dapat diberikannya. Sungguh itu adalah hati seorang Bodhisattva.

Seorang nelayan Tua dengan HaTi BodHiSaTTva

1

2

©K

ang Je-yoon

Page 20: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

18 KOREANA Musim Gugur 2015

1

FITUR KHUSUS 3 Tongyeong:Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

lahir di tongyeong pada masa kolonial Jepang, para seniman merajai sebuah era sebagai

musikus, sebagai penyair, sebagai pelukis, dan sebagai novelis. Pada akar pencapaian artistik

mereka, tersimpan fakta mengenai kemandirian dan kekayaan kota modern tongyeong.

Kota Para seniman yang memimPiKan KeBeBasan

lee chang-guyPenyair dan Kritikus Sastraahn Hong-beom, choi Jung-sunFotografer

Page 21: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 19

Penduduk Tongyeong tanpa ragu menamai Tongyeong sebagai ‘Kota Seni dan Budaya.’ Ketika orang

membandingkan kota tersebut dengan Florence, Paris, atau Vienna akan muncul pertanyaan: Benarkah Tongyeong telah memberikan kontribusi budaya yang mulia yang pantas dibandingkan dengan kota-kota lain?

Agar suatu wilayah bisa memiliki iden-titas yang berbeda sebagai sebuah tempat (place), penduduk yang sedang menga-lami tempat tersebut harus menciptakan sebuah gambaran mentalitas milik ber-sama dan harus dapat memahami konteks aktivitas manusia yang berhubungan de-ngan lokasi tersebut serta menerima tem-pat tersebut sebagai sebuah tempat yang menyimpan makna khusus.

Tongyeong bukanlah sebuah kota yang terbentuk secara alamiah. Tongyeong merupakan kota militer yang terbentuk berdasarkan keperluan strategis setelah usainya perang Imjin melawan Jepang pada akhir abad ke-15 yang berakhir de-ngan susah payah setelah melewati kurun waktu tujuh tahun.

Konflik antara masa Kolonial dan modern

Mari coba kita sebutkan para seniman kebanggaan kota budaya seni Tongyeong. Musikus Yun I-sang (1917-1995), penu-lis naskah drama Yu Chi-jin (1905-1974), penyair Yu Chi-hwan(1908-1967), Kim Chun-su (1922-2004), dan Kim Sang-ok (1920-2004), novelis Park Kyongni (1926-

2008), Kim Yong-ik (1920-1995), pelukis Jeon Hyuck-lim (1916-2010), dan sebagain-ya. Semuanya lahir atau tumbuh besar di Tongyeong, dan tak diragukan hasil karya-karya seninya yang menonjol mengantar-kan seni modern Korea ke masa gemi-lang. Satu bagian yang perlu diperhatikan adalah bahwa para seniman tersebut hidup di tahun ’20-an, dengan kata lain mereka semua melewati masa kolonial Jepang.

Pada tahun 1895, Tongyeong kehilang-an posisi sebagai bagian dari 3 provin-si markas angkatan laut. Tetapi saat itu Tongyeong telah berkembang menjadi pusat perikanan laut Selatan. Mendapat pengaruh perairan panas Tsushima, hasil sumber daya alam perikanannya berlim-pah sehingga membantu perkembangan industri perikanan dan Tongyeong menik-mati kejayaan ekonominya. Di sisi lain, berkat pertukaran dengan orang Jepang

yang menetap di wilayah ini sebelum Korea memasuki masa kolonial Jepang, penduduk Tongyeong tidak asing dengan gerakan budaya baru. Gelombang pendi-dikan baru yang muncul setelah gerakan kemerdekaan 1 Maret membuat para pemilik tanah kecil dan pemilik daerah penangkapan ikan mulai mengirim anak-anaknya ke Jepang untuk belajar dengan harapan bisa mendapat pekerjaan yang layak.

cahaya dan Bayang-bayang seniPada tahun1920-an siklus sastra ter-

bentuk dengan pelajar Tongyeong yang kembali dari Tokyo sebagai pusatnya, dan majalah coterie berjudul <The Cleaner> diterbitkan. Penerbitan majalah ini dimu-lai oleh kakak-beradik Yu Chi-jin dan Yu Chi-hwan. Meskipun sang adik Yu Chi-hwan terpaksa pulang ke tanah air karena

1 Taman Memorial Isang Yun memiliki ruang pamer yang menampilkan instrumen komposer, aransemen musik, dan peninggalan lainnya. Terletak di sebelah tempat kelahirannya, sebuah ruang pameran berdiri membantu pengunjung untuk memahami mengenai bagaimana makna musik dan negaranya bagi kom-poser itu.

2 Lahir di kota yang berdekatan dari Geoje (Bangha-ri, Dundeok-myeon) dan dibesarkan di Tongyeong, Yu Chi-hwan merupakan seorang penyair terkenal karena “puisi kehidupan, kekosongan, dan ket-ahanan.” Penyair ini mengungkapkan kerinduan yang mendalam terhadap kampung halamannya di puisi-puisinya dan kini dimakamkan di pemakaman keluarga di sana.

2

Page 22: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

20 KOREANA Musim Gugur 2015

kegagalan usaha obat-obatan tradisional ayahnya, pada saat itu Ia telah mendapat pengaruh dari penulis anarkis Jepang dan penyair Korea Jeong ji-Yong(1902~1950). Di dalam kumpulan puisi pertama Yu Chi-hwan berjudul <Kumpulan Puisi Cheong-ma> yang diterbitkan pada tahun 1939 ter-dapat karya utamanya berjudul <Bendera> yang juga dimuat di buku Bahasa Korea tingkat menengah, yang terkenal den-gan untaian kata-kata pembuka “teriakan tanpa suara.” Akan tetapi ia diharuskan untuk melakukan berbagai pekerjaan untuk kelangsungan hidup dan pada tahun 1940 Ia bersama dengan keluarganya pin-dah menuju Manchuria.

Berbeda dengan adiknya, Yu Chi-jin telah menyelesaikan pendidikannya di Uni-versitas Rikkyo dengan jurusan sastra Ing-gris. Sekembalinya dari Jepang, Yu Chi-

jin yang menaruh ambisi pada seni teater langsung mendirikan Institut Drama dan Seni, dan melakukan gerakan Teater Baru. Ia menulis naskah drama dan mengatur panggung teater sebelum institut terse-but dibubarkan oleh pemerintah kolonial Jepang. Ia menggambarkan eksploitasi kolonial Jepang dan proses pemiskinan rakyat Korea secara realistis.

Kim Chun-su(1922-2004), penyair yang memperkaya dunia puisi modern Korea dengan gaya uniknya yang disebut ‘puisi tak bermakna’, memiliki hubungan priba-di dengan istri Yu Chi-hwan yang bekerja sebagai guru di taman kanak-kanaknya, dan berkat itu ia pernah membawa buket dan menjadi penggiring sang pengantin di upacara pernikahan Yu Chi-hwan dengan istrinya. Kim Chun-su yang tidak memiliki tujuan tertentu pergi ke Jepang di mana

ia tergila-gila dengan puisi Rilke, dan de-ngan semakin parahnya paksaan wajib militer oleh pemerintah kolonial Jepang di pengakhiran perang Samudra Pasifik, Kim Chun-su menyembunyikan dirinya di kediaman keluarga istrinya di Masan. Setelah Korea merdeka dari penjajahan Jepang ia pergi ke Tongyeong untuk mene-mui Yu Chi-hwan. Kim Chun-su mengingat kembali saat-saat itu.

“Begitu merdeka para seniman dan orang yang bercita-cita menjadi seni-man asal Tongyeong berkumpul di kam-pung halamannya dan membentuk Aso-siasi Budaya Tongyeong. Penyair Yu Chi-hwanlah yang memimpin asosiasi itu. Ang-gota utama dalam asosiasi itu termasuk komposer Yun I-sang yang sekarang telah berganti ke kewarganegaraan Jerman Barat, penyair Kim Sang-ok, almarhum penulis naskah drama Park Jae-song, komposer lain Jeong Yun-ju, dan pelukis Jeon Hyuck-lim.”

Di kota kecil bernama Tongyeong, fakta berkumpulnya berbagai seniman berbakat tinggi sudah merupakan sebuah hal yang mengejutkan, tetapi hal yang lebih menge-jutkan adalah disamping aktivitas mereka memulihkan tarian rakyat, melakukan pertunjukan teater, mengajar menulis dan memberikan kuliah sastra, mereka juga mengoperasikan sekolah malam. Para seniman ini “selalu memiliki ambisi untuk menanam spirit nasionalisme di dalam hati mereka melalui gerakan budaya di atas tanah air merdeka mereka.” Tetapi seperti ingatan Kim Chun-su, “gerakan ini bah-

Fakta bahwa kota kecil itu merupakan basis kelahiran para seniman kelas tinggi itu sungguh menakjubkan. Namun yang lebih luar biasa adalah kegiatan mereka di sana, mengembalikan tarian rakyat, mementaskan drama, mengajar orang buta huruf, menawarkan pembelajaran tentang sastra dan malam pembukaan sekolah. Para seniman ini “selalu memiliki ambisi untuk menanam spirit nasionalisme di dalam hati mereka melalui gerakan budaya di atas tanah air merdeka mereka.”

1

Page 23: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 21

kan tidak mampu memenuhi 2 tahun,” dan “saat itu kami terlalu muda dan dipenuhi kesombongan.”

Meskipun “kebeliaan” dan “kesom-bongan” mereka dapat diartikan sebagai “semangat” dan “ambisi,” di dalam seja-rah hidup mereka juga terdapat bayang-bayang kegelapan. Nama Yu Chi-jin yang mendirikan teater baru atas perintah pemerintah Jepang setelah teater per-tamanya dibubarkan oleh pemerintah Jepang. ‘Peristiwa Dongbaekrim(peristiwa mata-mata Berlin Timur) pada tahun 1967 membuat pemerintah Korea mengkla-sifikasikan Yun I-sang sebagai seorang pemikir yang mengganggu negara sehing-ga ia tidak dapat menginjakkan kakinya di tanah airnya sendiri hingga akhir hay-atnya. Belakangan, Badan Intelijen Nasi-onal mengungkapakan bahwa peristiwa Dongbaekrim dipergunakan secara politik oleh pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan. Lalu, apakah makna kampung halaman Tongyeong bagi Yun I-sang?

Kampung Halamanku, tongyeong.“Ayah sering mengajak saya ke laut

untuk memancing di malam hari. Kemu-dian kami duduk diam di tengah pera-hu sambil mendengar bunyi ikan yang melompat-lompat dan mendengarkan nyanyian para nelayan lain yang bertempo pelan. Nyanyian itu menyambung dari satu perahu ke perahu lainnya. Melodi bernu-ansa muram itu berjudul “Lagu Provinisi Selatan” dan menggema jauh. Permu-kaan laut bagaikan papan suara dan la-

1 Dijuluki “penyair bunga,” Kim Chun-su dikenang melalui pameran tetap yang menampilkan sekitar 800 benda peninggalannya disumbangkan oleh keluarganya. Berdiri tidak jauh dari dermaga, ruang pamer menampilkan buku dan naskah penyair di lantai pertama, dan beberapa perabot, pakaian, buku dan barang-barang pribadi lainnya yang ia gunakan dalam hidupnya di lantai dua.

2 Salah satu novelis terbesar dalam sastra modern Korea, Pak Kyong-ni menulis banyak karya yang terkenal termasuk “Para Putri Apoteker Kim” dan “Tanah.” Dia pernah menulis, “Bentuk paling murni dan terdalam dari cinta adalah kasih sayang.” Disajikan sekilas kehidupan novelis, foto dan peninggalannya yang dipamerkan di aula peringatan yang menghadap ke laut di kota kelahirannya.

2

2 ©Toji Cultural Foundation

Page 24: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

22 KOREANA Musim Gugur 2015

1 Balai Memorial Jeon Hyuck-lim di Bongsugol di kaki Gunung Mireuk memiliki dinding eksternal halus dihiasi dengan motif yang diambil dari karya seni-man dan putranya Jeon Hyeong-geun. Di tempat ini dipajang lukisan Jeon Hyuck-lim, yang dipuji karena menampilkan “warna kepulauan” atau “sentuhan penyihir dengan warna.”

2 Desa Dongpirang terletak di atas di bukit yang menghadap ke Pelabuhan Gangguan telah direvitali-sasi dengan mural yang dilukis di dinding rumah-rumah tua menyatu erat sepanjang lorong-lorong sempit. Berduyun-duyun tanpa habis-habisnya aliran para wisatawan, Dongpirang dianggap sebagai bukti keberhasilan revitalisasi desa.

1

Page 25: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 23

atas kanvas saya adalah cahaya pelabuh-an Chungmu dalam memoriku dan la-ngit yang menyetuh horizon (Pelukis Jeon Hyuck-lim, Langit dan Cahaya Laut Kam-pung Halamanku Adalah Guru Besar Karyaku).

“Tongyeong merupakan pelabuhan kecil di sekitar kepulauan laut Selatan. Terle-tak di jalan laut antara Busan dan Yeosu, kota ini dipuja oleh pemuda-pemudi lokal sebagai “Neapolitan Joseon.” Sudah tentu lautnya jernih dan biru.” (Novelis Park Kyungni, dalam <Putri-putri Apoteker Kim>).

Kota ambisi dan semangatTongyeong yang memancarkan laut

bermandikan cahaya, jejak yang me-reka tinggalkan dan lokasi budaya yang dibuat untuk mengingat mereka bisa ba-

nyak setebal sebuah buku jika ditulis. Aula Musik Internasional Tongyeong di mana Yun I-sang membuka festival musik inter-nasional tiap tahunnya, Aula Sastra Cheon-gma di kaki puncak Mangil, Aula Pameran barang peninggalan Kim Chun-su di jalan sekitar pantai, Gedung Memorial Park Kyungni di seberang jembatan Tongyeong, Museum Seni Jeon Hyuck-lim di sim-pang lima Bongpyeong. Di samping tem-pat umum untuk ruang budaya, terdapat juga lokasi-lokasi yang berhubungan den-gan cerita kehiduan mereka: Seonglim Tea Shop di Hangnam-dong dimana pelukis Lee Jung-seop menyelenggarakan pamer-an selama perang Korea (1950-1953), kan-tor pos di Jungang-dong di mana Yu Chi-hwan mengirim 5.000 kartu pos kepada kekasihnya beserta toko kerajinan tangan miliknya di seberang jalan, dan ada pula batu bertuliskan puisi Baek Seok(1912-1996) tentang gadis pujaan hatinya yang tidak bisa diungkapkannya.

Di sisi lain Tongyeong juga memiliki lokasi yang dapat mengubah kota ini men-jadi kota kreatif. Tempat itu adalah desa bertembok lukisan yang memperlihatkan pemandangan laut Gangguan. Tempat yang semulanya merupakan tempat ber-kumpulnya penduduk yang tersingkir aki-bat pembangunan kota, kini berubah men-jadi ruang tempat bersemayamnya budaya. Dengan diubahnya gang-gang yang sempit dan suram dengan lukisan tembok mem-buat para wisatawan bergerombol me-ngunjunginya, dan rumah yang berdempet-dempet menjadi ruang kreasi para seni-man yang memiliki maksud tersendiri.

Tongyeong yang dulunya merupakan desa nelayan yang terpencil berperan seba-gai kota militer penjaga negara di abad ke-17, menjadi kota perdagangan yang meningkatkan ekonomi dengan hasil laut-nya, dan sekarang menjadi kota budaya dan seni. Penasaran dengan Tongyeong? Sekarang giliran Anda untuk mengalami jejak ambisi dan semangat budaya dan seni penduduk Tongyeong yang tak terbatas secara langsung.

ngit malam penuh akan bintang-bintang.” (Komposer Yun I-sang, dalam <Naga yang Terluka>)

“Saya beranjak menjadi murid menen-gah pertama dan bersekolah di Seoul. Ketika berjalan entah itu di depan Hwasin Mall di Jongno atau di suatu jalanan dekat gerbang Gwanghwamun, tiba-tiba terden-gar oleh saya tidak hanya satu, melainkan puluhan tangisan burung camar. Peman-dangan laut dan langit yang saya lihat itu adalah pulau Janggae di kampung hala-man saya. Gumpalan awan putih yang ber-lapis-lapis layaknya lautan Hallyeosudo yang berpantulkan cahaya yang meman-jang di permukaannya.” (Penyair Kim Chun-su, dalam <Menaiki Keledai Sebagai Penyair>)

“Bagi seniman, kampung halaman juga menjadi sumber kreasinya. Warna biru di

2

Page 26: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

24 KOREANA Musim Gugur 2015

masakan kota tongyeong enak. meskipun masakan provinsi gyeongsang tak seberapa menonjol di kalangan

rakyat Korea, tongyeong merupakan sebuah pengecualian. masakan hidangan tongyeong yang dipenuhi

dengan hasil bahari tiap musimnya menggoda selera para penikmat makanan di seluruh negeri. Pada masa

Dinasti Joseon, markas angkatan laut meliputi 3 provinsi dan mungkin status unik inilah yang memberikan

keanekaragaman, kekayaan, serta kelezatan pada masakan tongyeong.

nostalgia Kota Pelabuhan, Kelezatan masakan yang menggoda

1

2

song young-manPemimpin Umum Hyohyung Publishing Companyahn Hong-beom Fotografer

FITUR KHUSUS 4 Tongyeong:Beragam Pesona Kota Pelabuhan Selatan

Page 27: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 25

Jauh di dalam kenangan, pertemuan pertama saya den-gan Tongyeong yang pada mulanya bernama Chungmu dan memiliki sejarah yang dalam terjadi pada awal tahun ’60-

an. Pada suatu hari ketika saya duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, saya menemui kota pelabuhan Chungmu di dalam atlas milik kakak perempuan saya. Di belakang angka populasi 70.000 orang, ditandai dengan kata-kata menawan berbunyi “Neapoli-tan Oriental.” Keinginan untuk mengunjungi tempat ini begitu memenuhi hati bahkan ketika masih di usia muda. Akan teta-pi pada realitasnya itu hanyalah mimpi belaka. Baik Neapolitan di seberang belahan bumi maupun Neapolitan perairan Hallyeo merupakan dunia jauh tak teraih bagi saya.

Hingga saya lulus perguruan tinggi, keadaan saya maupun sarana transportasi umum tidak mendukung untuk dapat pergi ke Tongyeong. Berbeda dengan situasi 10 tahun yang lalu di mana kita harus menjalani perjalanan jauh nan jauh melewati Daegu, Masan, dan Jinju untuk menginjak tanah Tongyeong, dengan dibukanya jalan tol Daejeon-Tongyeong, baru sekaranglah dapat mencapai Tongyeong dari Seoul dalam waktu kurang-lebih 4 jam.

gang-gang tongyeong yang Berlimpahkan masakan lezatPemandangan kota Tongyeong sangatlah terperinci dan mem-

bawa nostalgia. Jalan gang-gang belakang seakan-akan mem-bawa keberuntungan yang tak disangka. Bukit desa Dongpirang yang memperlihatkan pemandangan pelabuhan Gangguan telah menjadi destinasi favorit generasi muda sepanjang tahun. Gai-rah hiburan dan penjelajahan kota juga telah menciptakan sebuah lapangan budaya baru di bidang makanan. Rangsangan rasa manis dan asin pun sangat banyak dan beragam. Gimbab Chungmu, gurita goreng, dan kkulppang (bola donat goreng) memenuhi jalan pelabuhan Gangguan.

Setiap toko Gimbab Chungmu merupakan toko orisinal makan-an khas ini. Gimbab Chungmu, yaitu gimbab yang dibuat dengan membungkus nasi dengan rumput laut kering tanpa isi daging sapi, cumi-cumi berbumbukan asam-manis, dan beberapa potong kimchi lobak kini dikenal sebagai ‘masakan rakyat’ yang dapat kita temui di convenience store atau tempat istirahat jalan tol.

Pada awalnya, Gimbab Chungmu pertama kali muncul dari kapal perahu antara Busan dan Yeosu. Perahu tersebut berhenti sebentar di Tongyeong pada saat jam makan siang. Nenek-nenek penjual gimbab memasuki kapal untuk berjualan. Akan tetapi di musim panas gimbab sangatlah mudah menjadi basi. Di sini mun-cullah ide yang sempurna. Mereka menjual gimbab dan isi lauk pauknya secara terpisah. Inilah yang merupakan kebijaksanaan hidup, ‘Kebutuhan merupakan ibu dari penemuan.’

Kkulppang Tongyeong, meskipun namanya kkulpang (roti madu) di dalamnya tidak terdapat madu. Di dalam adonan diisi kacang merah dan dibentuk menjadi bola, kemudian digoreng, dikuliti dengan sirup gula, terakhir ditaburi wijen dan jadilah makanan bernama kkulppang. Makanan ini merupakan camilan

bagi para siswi di masa miskin untuk mengisi kelaparan dengan makanan manis. Kemiskinan tidak dapat melewati godaan rasa manis ini. Akan tetapi wisatawan yang hidup di zaman serba ada seperti sekarang pun tergoda dengan rasa manis ini dan masing-masing membawa kkulppang ini sebagai oleh-oleh untuk saudara-saudara mereka.

Saya kira-kira sudah 15 kali mengunjungi Tongyeong. Meski-pun demikian, saya tak sekalipun pernah berniat untuk melaku-kan penjelajahan makanan. Mungkin karena ajaran orang-orang tua yang mengatakan “Kita harus memakan makanan dengan enak tanpa sisa sebutir apapun,” saya tidak pernah berusaha untuk menikmati secara mendalam rasa yang tersimpan pada masakan. Lima atau enam kalinya saya pergi untuk menikmati pemandangan Tongyeong, dan enam atau tujuh kalinya saya pergi ke Tongyeong semata-mata hanya untuk urusan pekerjaan. Perjalanan ke Tongyeong selalu menggairahkan hati dibandingkan dengan per-jalanan ke luar negeri. Karena terdapat begitu banyaknya tempat berkeliling, makanan yang dapat dicoba, sesuatu yang dapat dinai-ki, dan sesuatu yang dapat dibeli, perjalanan ke Tongyeong selalu menjadi sebuah penantian. Ketika berada di Tongyeong, saya mau tak mau jarang dapat memenuhi setiap porsi makan. Maklum, di tempat destinasi wisata sulit untuk memenuhi porsi makan 3kali sehari.

Hasil Bahari tongyeong Berhembuskan aroma lautAkan tetapi berbeda dengan Tongyeong. Sop ikan buntal dan

sirakguk (sop daun lobak yang dikeringkan) sedang menunggu bagi mereka yang meminum minuman beralkohol berlebihan pada malam sebelumnya. Ke mana pun kita pergi menuju toko yang terbuka, tidak akan pernah ada rasa kecewa. Untuk makan siang, masakan yang membawakan bau laut seperti rumput laut dan bintang emas (sea squirt) bibimbab, serta masakan Korea

yang dilengkapi dengan sa-yuran hijau segar dari gunung Mireuk menanti Anda. Untuk makan malam, terdapat ajang hasil laut yang menyebar-kan hasil-hasil lautan perai-ran bersih yang mengkilau seperti berlian layaknya pan-orama. Saya untuk pertama kalinya benar-benar men-coba memakan ikan men-tah (sashimi) saat kunjungan saya ke Tongyeong ketika liburan pertama saya di akhir umur 20-an. Lahir dan besar di pedalaman Provinsi Chun-gcheong dan Seoul, ikan yang pernah saya coba hanya-

1 Karena mereka tumbuh di batu, me-nyebar seperti bunga, tiram kadang-kadang disebut seokhwa di Korea, yang berarti “bunga batu.” Dengan keberhasilan pertanian tiram di Tongyeong, tiram telah menjadi favorit bagi semua warga Korea.

2 Sebelum mereka dibudidayakan, laut menyemburkan bahan-bahan makanan laut langka yang hanya bisa dipanen oleh wanita penyelam dengan mencabutnya dari laut. Hari-hari ini mereka jauh lebih mudah diperoleh dan harganya terjangkau, dan menjadi hidangan seafood men-tah yang populer. Sementara para pribumi biasanya makan mentah-mentah dengan saus pasta cabai merah, penduduk Tongyeong dan penduduk pantai suka memakannya dengan mencampurnya dalam nasi, sayuran dan berbagai bumbu.

Page 28: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

26 KOREANA Musim Gugur 2015

1 Tidak seperti jenis lain dari Gimbap yang biasa diisi dengan daging, say-uran dan bahan-bahan lainnya, Gimbap Chungmu adalah gulungan yang diisi dengan nasi putih saja dan disajikan dengan cumi-cumi pedas dan lobak kimchi di samping. Tongyeong pernah dikenal sebagai Chungmu dan nama ini tercetak dalam piring bahkan ketika nama kota kembali kepada nama aslinya. Gimbap Chungmu populer secara nasional.

2 Kkulppang pertama kali dijual oleh penjaja pinggir jalan di dekat bisnis dry cleaning di Tongyeong yang bernama Omisa. Binatu itu kini telah tak ada tapi namanya tetap hidup di toko kkulppang, yang telah melahirkan toko-toko lain yang menjual bola adonan manis yang digoreng di seluruh Tongyeong.

3 Jalan-jalan di sepanjang Pelabuhan Gangguan dan Central Market, tempat-tempat wisata utama Tongyeong, dikelilingi oleh Gimbap Chun-gmu dan toko-toko kkulppang.

Sop ikan sisi bundar yang dimasak bersama barucina (Artemisia) yang tumbuh di awal semi memberikan kedalaman dan kehalusan rasa pada sop. Sama halnya seperti ikan haring yang mewakili musim gugur, ikan sisi bundar merupakan boga bahari musim semi. Selain itu bintang emas (sea squirt) di awal musim panas yang katanya tidak ingin dibagikan kepada menantu baru, sop ikan buntal yang membuat kita selalu ingat sarapan, belut pike mentah yang merupakan makanan peningkat stamina, dan tiram Tongyeong di musim dingin merupakan masakan yang mewakili Tongyeong.

lah sebatas ikan kering asin, ikan corvina kuning, dan ikan sauri pasifik. Pada zaman itu, baik orang kaya maupun miskin biasanya memakan ikan dengan cara dipanggang atau diasinkan.

Pada pertengahan tahun ’80-an saya sering mengunjungi Tongyeong, Jinju, dan Masan untuk memberikan seminar “Kuliah Khusus Mengenai Ekonomi dan Sains di Abad Ke-21” yang dise-lenggarakan oleh perusahaan percetakan koran. Sarjana dari uni-versitas bergengsi, dosen ekonomi, dan para guru sains juga de- ngan susah payah menghadiri seminar tersebut sehingga mendapat perlakuan yang ramah di sana. Untuk makan siang dan makan malam kami diantar menuju restoran yang terpilih ter-

kenal. Saat itulah saya untuk pertama kalinya mencoba asinan timun laut (Konowada). Saya memang menyukai timun laut, tetapi sepanjang hidup saya untuk pertama kalinya saya mendengar dan mencoba asinan organ dalam timun laut. Dosen Seoul National University jurusan Ekonomi (Almarhum) Prof. Kang Gwang Ha (1947~2012) mengatakan bahwa beliau juga merupakan pengalam-an pertama memakan konowada. Hal tersebut tidak mengheran-kan sebab beliau berasal dari Daegu. Hari itu kami terbawa sua-sana gembira dan meneguk beberapa hirekaze (sake hangat yang dibuat dengan ekor ikan buntal yang dikeringkan di bawah sinar matahari). Ikan hitam, ikan ekor kuning, ikan gulamah, dan aba-

1

2

Page 29: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 27

lon mentah disajikan dengan rapi. Landak laut dan ikan belanak pun turut disajikan sehingga membuat kami menikmati 3 masakan lezat terbaik Jepang. Malam itu merupakan malam mewah berte-mankan tamu-tamu penghasilan laut yang tak terduga.

Saya memiliki ruang tersendiri bahkan ketika berwisata de-ngan keluarga saya. Ke manapun saya pergi berwisata di dalam negeri, ada tempat yang selalu saya kunjungi. Tempat itu bisa jadi pasar loak, atau bisa juga pasar tradisional yang membawa aroma manusia. Untuk Tongyeong, saya senang mengunjungi pasar ikan segar. Di pasar ini saya bisa mencicipi ikan mentah segar yang dihi-dangkan secara langsung begitu dipotong atau bisa juga dibungkus dan dibawa ke penginapan. Tempat ini diramaikan dengan ocehan logat daerah Selatan dan bunyi denting pisau. Setiap ikan dan hasil tangkapan laut Tongyeong lainnya mengeluarkan gelembung-gelembung air di dalam ember plastik. Ikan kakap merah, ikan haring, ikan sebelah, gurita, dan hasil laut lainnya menggelempar dengan keras. Kesegaran bintang emas, cacing laut (spoon worm), timun laut, keong laut, dan abalon benar-benar luar biasa. Karena begitu segarnya timun laut di sini, geraham saya sampai-sampai terasa nyeri.

menikmati Kelezatan makanan musiman tongyeongKarena sering berkunjung ke Tongyeong membuat saya dapat

mencoba tangkapan ikan musiman tiap musimnya. Ikan kakap putih mentah hadir di musim semi dan untuk musim panas terse-dia belut dan ikan gulamah mentah. Kesegarannya menambah kedalaman rasanya. Akan tetapi tidak ada yang bisa melawan ikan haring mentah dan ikan selar mentah yang muncul di musim gugur. Ikan haring di musim gugur yang mendapat banyak makan-an bergizi di musim panas sangatlah gemuk dan kenyal. Ikan selar yang bertabiat bagaikan kilat langsung mati begitu tertangkap. Itu-lah alasan mengapa sulit untuk mencari ikan selar di toko sashimi. Oleh karenanya, ikan selar biasanya dihidangkan sebagai masakan asinan. Belakangan ini peternakan ikan selar tersebar baik di pulau Yokji maupun pulau Yeonhwa. Beberapa waktu yang lalu saya meli-hat pemandangan peternakan ikan selar di pulau Yokji. Dari peter-nakan berbentuk lingkaran bagaikan arena ssireum (gulat Korea) yang mengambang di atas laut, terlihat keindahan yang ganjil. Ikan selar yang ditangkap dikurung dan dipelihara dalam jangka waktu tertentu. Dengan gerakan aktifitas yang terbatas di dalam peter-akan, ikan-ikan tersebut tumbuh gemuk. Itulah alasan orang-orang menyukai ikan selar sekalipun harganya mahal.

Semua hasil tangkapan laut di musim dingin enak. Terutama diantaranya sop ikan kod dan sop ikan snailfish yang disantap di musim dingin cenderung menjadi favorit penduduk Tongyeong. Kedua masakan tersebut bagaikan ritual musim dingin. Rasa sop ikan kod segar terbaik adalah sop yang dimasak dengan jernih dan menyegarkan. Sop ini popular di kalangan rakyat berusia paruh baya yang tidak begitu suka dengan masakan berbumbu kental. Saya tidak begitu suka dengan sop berkuah tawar sehingga saya

lebih menikmati sop ikan kod pedas pada saat masa muda saya. Di Tongyeong sangatlah membosankan hanya menyantap masakan laut tanpa minuman keras. Jika menunya enak, secara otomatis kita menambah minuman keras. Kemudian lambung kita terasa perih di tengah malamnya. Akan tetapi masakan pereda minuman beralkohol sudah siap menanti dimana-mana. Sop ikan snailfish mengambil peranan sebagai masakan pereda tersebut. Sop ini sop pereda minuman beralkohol yang biasa dikenal sebagai sop belut laut Barat. Di pantai barat Gangneung atau Sokcho yang sering saya kunjungi di masa muda, sop belut selalu disediakan di atas meja sarapan. Ikan snailfish yang dikeringkan di atas tali jemur di pinggiran danau Cheongcho terlihat dengan jelas dari bukit desa Sanyang.

Sop ikan sebelah bundar yang dimasak bersama barucina (Arte-misia) yang tumbuh di awal semi memberikan kedalaman dan kejernihan rasa pada sop. Sama halnya seperti ikan haring yang mewakili musim gugur, ikan sebelah bundar merupakan boga bahari musim semi. Selain itu bintang emas (sea squirt) di awal musim panas yang katanya bahkan tidak ingin dibagikan kepada menantu baru, sop ikan buntal yang membuat kita ingat akan sara-pan, belut pike mentah yang merupakan makanan peningkat stam-ina, dan tiram Tongyeong di musim dingin merupakan masaakan-masakan yang mewakili Tongyeong.

Akan tetapi, mengapa budaya makanan Tongyeong begitu berkembang?

Bagaimanapun juga, mungkin hal tersebut dikarenakan oleh letak geografisnya dan cuacanya yang cerah dan bersih. Daratan pulau Geoje yang memblokir deras air laut selat Korea, pulau Yeonhwa yang seolah berdiri menghalangi angin, gunung Mireuk yang berperan sebagai ansan (gunung di bagian berlawanan dalam feng shui), dan dilindungi dengan pulau Hansan, seluruhnya ber-sama-sama membentuk pelabuhan Gangguan yang luar biasa. Berdiri di atas gunung Nammang dan menikmati pemandan-gan teluk Barat membuat siapa saja penuh akan inspirasi puitis. Berkah pemandangan tersebut melahirkan sebuah ruang indah yang mengandung emosi dan jiwa puitis yang mencampuri keleza-tan mendalam rasa masakan Tongyeong.

3

Page 30: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

28 KOREANA Musim Gugur 2015

Jongmyo Jeryeak akan dipentaskan di teater nasional chaillot selama dua hari pada tanggal 18 dan 19 september.

acara ini merupakan pembukaan event Pertukaran Bilateral Korea-Prancis tahun 2015-2016 untuk merayakan 130

tahun hubungan diplomatik kedua negara. Jongmyo Jeryeak sebagai suatu warisan Budaya tak Benda yang terdaftar

pada Unesco pada tahun 2001 merupakan upacara musik dan tari leluhur kerajaan yang rutin diselenggarakan pada

masa Dinasti Joseon untuk melaksanakan ‘bakti’ sebagai norma moral nasional.

Pergelaran Musik ritual leluhur kerajaan korea di Paris

foKUs

song Hey-jin Profesor Musik Tradisional, Sookmyung Women’s Universitysuh Heun-gang Fotografer

Page 31: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 29

Pada masa Dinasti Joseon, berbakti merupakan suatu ajaran penting bagi penganut aliran Konfusius yang di dalamnya mengatur kehidupan orang biasa, mengajarkan untuk mengurus orang tua den-gan sungguh-sungguh dalam hidup mereka, dan dengan penuh kasih mengingatkan mereka akan

kematian. Hal yang sama juga berlaku untuk keluarga kerajaan. Sebagai manifestasi nasional layaknya prinsip Konfusius yang berharga, ritual leluhur kerajaan merupakan salah satu ritual yang paling penting. Ritual diadakan beberapa kali sepanjang tahun seperti pada hari peringatan kematian raja dan ratu tera-khir, serta dalam acara-acara nasional penting lainnya untuk mengenang arwah leluhur mereka. Dihadiri oleh raja, putra mahkota, dan pejabat tinggi lainnya, ritual dilakukan sesuai dengan ritual upacara, pemba-karan dupa untuk mengumpulkan roh, menawarkan makanan dan minuman keras untuk menyenangkan mereka, dan akhirnya ritual perpisahan. Dalam upacara tersebut, musisi istana berbaris di tempat ritual, mereka memainkan instrumen dan menyanyikan lagu-lagu untuk membayar upeti atas kebajikan leluhur yang dihormati. Dengan alunan musik tersebut, para penari menampilkan tarian khusus yang disebut ilmu. Kombinasi musik ritual dan tarian ini disebut Jongmyo Jeryeak, yang telah dilestarikan dan dipertahankan sampai hari ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda Korea nomor 1 pada tahun 1964.

Penari menampilkan mumu, atau tarian militer, dengan lagu-lagu dari “Musik Keberanian Gemilang” sebagai ba-gian dari Jongmyo Jerye, ritus leluhur kerajaan Joseon. Seperti tentara, mereka memegang pedang atau tombak di tangan mereka untuk mengekspresikan kemegahan rasa keagungan militer.

Page 32: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

30 KOREANA Musim Gugur 2015

tradisi musik ritual Konfusius dan Jongmyo Jeryeak Di dalam upacara kematian Jongmyo, musik ritual merupakan akar panjang dalam tradisi Konfusian-

isme Asia Timur. Pada masa Cina kuno, ritual Konfusius menampilkan orkestra dengan berbagai instru-men, penyanyi menghormati kebaikan nenek moyang, dan sekelompok penari melakukan tarian diiringi musik orkestra.

Orkestra terdiri atas berbagai instrumen yang terbuat dari delapan bahan yang berbeda, yang disebut “delapan suara” yaitu logam, batu, tali, bambu, labu, tanah liat, kulit, dan kayu. Ansambel mereka melam-bangkan harmoni dari semua suara di alam. Dalam ritual leluhur Korea, dua orkestra ditempatkan pada lokasi yang berbeda di area ritual: Panggung Bulan Bawah (hawoldae) dan panggung Bulan Atas (sang-woldae), masing-masing mewakili langit dan bumi. Musik yang dimainkan secara bergantian oleh kedua orkestra diyakini untuk mengungkapkan yin dan yang secara harmonis. Orkestra yang digelar pada pang-gung Bulan Atas, terletak tinggi di teras aula istana utama, disebut Deungga yang berarti kelompok yang ditinggikan, dan orkestra pada panggung Bulan Bawah digelar di halaman bawah istana disebut Heongga yang berarti kelompok yang direndahkan. Di salah satu sudut halaman istana, antara kelompok atas dan bawah berbaris deretan penari, dan konfigurasi akan selesai dengan penggambaran penempatan manusia di antara langit dan bumi. Komposisi simbolis dari ritual musik dan tari berasal dari musik kerajaan Cina kuno, dan pertama kali diadopsi di Korea pada abad ke-12. Pada abad maharaja Sejong dilakukan perbai-kan komprehensif berdasarkan penelitian mendalam tentang musik tradisi Cina.

akar Jongmyo Jeryeak Bentuk musik ritual leluhur kerajaan saat

ini adalah versi baru yang disusun pada tahun 1449 selama pemerintahan Raja Sejong (1418-1450) dan kemudian direvisi pada masa pemerintahan anaknya, Raja Sejo (1455-1468). Gaya baru musik ritual yang memisahkan diri dari tradisi musik kerajaan Cina mulai digu-nakan dalam ritual leluhur yang diadakan di Kuil Jongmyo pada tahun 1464, dan ditetap-kan sebagai komponen musik standar dalam upacara kerajaan.

Raja Sejong - Raja yang menciptakan Hangeul - menerapkan sistem tulisan baru pada Yongbi eocheon-ga, atau Lagu Naga Terbang, buku puisi epik tentang berdirinya Dinasti Joseon. Kemudian, Raja mengatur proyek baru untuk mengadaptasikan sebuah lagu dengan tarian, melakukan percobaan untuk menggabungkan musik istana yang ada dengan tradisi musik adat. Tujuannya adalah untuk menciptakan sebuah “ritual musik istana gaya Joseon” yang serupa dalam ben-tuk asal musik kerajaan Cina kuno sebelum-nya tetapi berbeda dari segi konten. Konvensi gaya sebelumnya dipertahankan - seperti penempatan orkestra dan instrumen delapan suara, jumlah penari dan jenis alat peraga, genre yang terdiri atas lagu-lagu, tarian, dan iringan musik, dan metode untuk memulai dan mengakhiri upacara. Di sisi lain, instru-

1

Page 33: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 31

men baru (beberapa dari Dinasti Tang Cina dan lain-lain dari Joseon) ditambahkan ke dalam orkestra, dan repertoar ini dimodifikasi dengan potongan-potongan baru yang terdiri dari irama, melodi, dan lirik yang diadopsi dari Hyangak, bentuk musik tradisional kerajaan Korea. Hasilnya adalah musik kerajaan baru yang mengintegrasikan tradisi musik dari kedua negara. Raja Sejong menyebutnya “musik baru,” dengan harap-an agar digunakan secara luas dalam perjamuan kerajaan dan berbagai upacara kerajaan lainnya. Keingin-annya tersebut akhirnya terwujud dalam pemerintahan putranya, Raja Sejo.

Dua lagu yang senada disusun pada masa pemerintahan raja sebelumnya untuk memuji kesuksesan mereka - musik dari masa Pemerintahan yang Damai (Botaepyeong-jiak) dan eksploitasi yang brillian (Jeongdaeeop-jiak) - direvisi dalam periode ini untuk digunakan pada ritual leluhur kerajaan. Dianggap seba-gai warisan unik dari musik Korea, karya-karya penting dari musik kerajaan terus dilanjutkan tanpa terpu-tus oleh musisi istana pada masa dinasti dan kemudian oleh musisi tradisional dari zaman modern.

musik instrumental, Vokal musik, dan tari ritual leluhur KerajaanMusik ritual leluhur kerajaan meliputi instrumental, vokal, dan pertunjukan tari. Komponen instrumen

dilakukan oleh dua orkestra, masing-masing terletak di Deungga dan di Heongga. Selain dari instrumen yang digunakan sebagai bentuk awal musik kerajaan, dua orkestra mengan-

dung instrumen adat Korea termasuk yang berasal dari Dinasti Tang Cina. Sementara saat ini, perangkat oskestra terdiri atas 15 jenis instrumen - pyeonjong (seperangkat lonceng logam), pyeongyeong (seper-

1 Musisi bermain geomungo di Jongmyo Jerye, ritus leluhur disajikan di kuil kerajaan. Menampilkan 1.500 tahun se-jarah, kecapi terdiri atas papan paulownia panjang dan enam senar sutra merupakan salah satu instrumen string tradis-ional Korea yang paling terkenal bersama dengan gayageum, versi dua belas-string. Disebut “instrumen sarjana Konfusius,” geomungo memiliki suara khusyuk dan elegan.

2 Musisi memainkan daegeum, seruling bambu besar, selama Jongmyo Jerye. Dalam upacara leluhur kerajaan era Joseon, musisi istana memainkan musik upacara, yang terdiri atas 22 lagu pendek dikelompokkan ke dalam “Musik dari Peme-rintahan Damai” dan “Musik Keberanian Gemilang.”

2

Page 34: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

32 KOREANA Musim Gugur 2015

angkat batu berpadu), banghyang (seperangkat lempengan logam), chuk (gong kayu), eo (kayu berbentuk cakar harimau), bak (genta kayu berbentuk kipas), dangpiri (oboe silinder), daegeum (seruling bambu besar melintang), Haegeum (biola dua senar), ajaeng (sitar panjang tujuh senar), janggu (drum berbentuk jam pasir), jing (gong besar ), taepyeongso (oboe kerucut), jeolgo (seperangkat drum pada kotak kayu), dan jingo (gendang tong besar) - sekitar 20 instrumen tambahan termasuk di dalamnya kembali ke periode Joseon, termasuk gayageum (sitar 12 senar), geomungo (sitar enam senar), wolgeum (kecapi empat senar ber-bentuk bulan), dangbipa (kecapi empat senar berbentuk buah pir), hyangbipa (kecapi lima senar berbentuk

buah pir), junggeum (suling bambu mene-ngah melintang), dan sogeum (seruling bambu kecil melintang).

Bagian vokal dari musik ritual terdiri atas beberapa lagu dengan lirik yang menyatakan pentingnya ritual leluhur; memuji raja-raja Joseon atas pengabdian mereka untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pekerjaan mereka untuk melindungi per-damaian bangsa; dan berdoa untuk kemak-muran abadi bangsa dan keturunan mere-ka. Tema utama dari lagu-lagu ritual disa-jikan dalam lirik seperti: “keturunan kalian berharap untuk diberkati dengan nasib baik dengan melayani upacara leluhur dengan segenap hati mereka… Kami akan sangat berterima kasih atas berkat yang diberikan kepada kita oleh nenek moyang kita… Kami harap kalian mengawasi anak-anak kalian dan memberi mereka kesejahteraan… Ketu-runanmu yang setia kepada nenek moyang mereka, jadi uruslah mereka dan bantu me-reka menikmati hidup yang panjang dan kese-hatan yang baik.” Pada saat yang sama, lagu-lagu tersebut juga memuja dan memuliakan leluhur. Bentuk musik ritual saat ini terdiri dari 22 lagu pendek dengan judul yang berbe-da, dikelompokkan ke dalam Musik dari masa Pemerintahan yang Damai dan Musik dari masa eksploitasi yang brilian sesuai dengan tema pujian seperti kesuksesan penguasa sipil dan eksploitasi militer.

Ritual Konfusianisme ini berlangsung khidmat, musik yang lambat dan stagnan, suara alat musik eksotis, lirik lagu yang sulit dimengerti karena sebagian besar kosakata yang digunakan terdengar asing dan agak esoterik apalagi untuk penonton Korea modern. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa Jongmyo Jeryeak adalah karya yang unik dan berbeda dari warisan musik umat manusia lainnya.

1

Page 35: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 33

Di masa lalu, ritual leluhur kerajaan merupakan peristiwa nasional, yang mana mereka menyembah nenek moyang melalui ritual secara khidmat dengan menyajikan makanan dan anggur serta musik dan tari. Lagu-lagu yang dimainkan dalam ritual menunjukkan bahwa salah satu tujuan dari acara ini adalah untuk berdoa bagi kemakmuran tanpa batas bagi bangsa serta keluarga kerajaan. Selain itu, seperti yang disarankan dalam buku filsafat Konfusianisme terkenal Zhongyong, atau Ajaran Makna “Persembahan Ri-tual Leluhur di Kuil Kerajaan dan Ajaran untuk Keturunan“ juga dilakukan dengan tujuan membimbing generasi mendatang untuk mempraktikkan pemerintahan yang dermawan dengan mengikuti jejak kera-jaan nenek moyang mereka.

Sementara itu, tari dalam ritual leluhur kerajaan dilakukan oleh penari yang berbaris dan bergerak se-rempak. Pergelaran diklasifikasikan ke dalam tarian masyarakat sipil (Munmu) dan tarian militer (mumu) sesuai dengan gerakan khas mereka dan alat peraga yang digunakan. Setiap penari tarian militer me-ngenakan jubah merah dengan sabuk biru tua, sepasang sepatu bot kulit (Mokhwa), dan hiasan kepala dua tingkat (bokdu). Para penari sipil memegang instrumen tiup tertentu (yak) di tangan kiri mereka, dan tang-kai dengan bulu-bulu burung (Jeok) di tangan kanan mereka. Yak yaitu sebuah instrumen tiup yang hanya memiliki tiga lubang nada merupakan lambang harmoni dari semua suara dibuat dengan intervensi kecil. Jeok adalah tangkai berukuran 30 sentimeter dengan bulu-bulu burung dan rumbai, melambangkan per-damaian dan ketertiban.

Tarian sipil dilakukan dengan menggunakan dua alat peraga, memukulkan alat peraga tersebut satu

1 Disajikan untuk raja dan ratu Joseon masa lalu, Jongmyo Jerye berbeda dalam kualitas dan keragaman penyajian dibandingkan dengan upacara peringatan yang dijumpai dalam rumah tangga umum. Semua persembahan butir (beras, mil-let, sorgum) dan daging (babi, domba, sapi) disajikan secara mentah sebagai ekspresi kehendak untuk menyajikan makanan segar bagi para le-luhur.

2 Peserta ritual berdiri berjajar, bersiap melakukan ritual mem-bakar dupa untuk memanggil roh-roh (singwannye). Di Dinasti Joseon, sekitar 300 peserta ritual, termasuk raja, putra mahkota, dan pejabat tinggi, menghadiri upacara leluhur di kuil kerajaan.

2

Page 36: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

sama lain dan menimbulkan suara tepukan berirama. Tarian ini lambat dan tidak aktif, tanpa gerakan naik-turun atau berputar-putar. Sebagian besar tetap di tempat, para penari melakukan beberapa gerakan ber-ulang yaitu dengan menaikkan dan menurunkan tangan mereka, membungkuk ke depan dan kemudian tegak kembali, atau perlahan berputar ke kiri dan kemudian ke kanan. Gerakan sederhana, anggun, dan penuh hormat.

Dalam proses upacara yang terdiri atas delapan ritual yang berbeda, tarian sipil dilakukan dari upacara pertama hingga keempat - dari menyambut roh leluhur (Yeongsin-rye) hingga persembahan anggur per-tama (Choheon-rye). Hanya ritual meja ketiga yaitu ritual penataan meja (Jinchan-rye) yang menggunakan musik dari masa Kejayaan dan Kesejahteraan (Pungan-jiak) untuk mengiringi tarian, sedangkan sisa empat upacara menggunakan musik dari masa pemerintahan yang penuh kedamaian. Tarian militer dilakukan pada ritual kelima dan keenam, persembahan anggur kedua(Aheon-rye) dan persembahan anggur tera-khir (Jongheon-rye) -dengan penari empat baris pertama memegang pedang dan empat baris berikutnya memegang tombak. Mereka berdiri dengan tangan terkepal di depan sebelum musik dimulai, kemudian mengerakkannya ke kiri dan ke kanan, merentangkan lengan mereka, mengangkatnya di atas kepala dan kemudian diturunkan. Meskipun gerakannya sederhana dan berulang-ulang, tarian militer dilakukan untuk lagu-lagu yang menggunakan musik dari masa eksploitasi yang brilian dengan khidmat dan elegan. Ta-rian ritual ini diciptakan pada masa pemerintahan Raja Sejong berdasarkan jenis tarian Cina kuno, dengan mempertahankan bentuk eksternal dan menambahkan beberapa fitur asli.

Sementara ritual leluhur disajikan di dalam aula utama kuil kerajaan, penari menari berdasarkan musik yang dimainkan oleh orkestra di-tempatkan pada tingkat atas dan bawah panggung yang tertutup batu lebar di depan ruang utama. Musik dan tari membantu mengangkat sua-sana megah dan bermartabat dari acara ritual.

Page 37: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 35

Jongmyo Jeryeak sekarangJongmyo Jeryeak dapat digelar pada upacara ritual kerajaan yang telah diselenggarakan sejak perte-

ngahan tahun 1970-an pada hari Minggu pertama bulan Mei setiap tahun di kuil Jongmyo. Hal tersebut juga dilakukan pada beberapa teater, termasuk National Gugak Center, sebagai repertoar utama seni pertunjuk-an tradisional. Dengan meningkatnya minat masyarakat pada genre ini, berbagai cara pengarahan panggung telah dicoba untuk meningkatkan performanya, seperti musik dengan bentuk komentar atau panggung ritual.

Oleh karena skala yang sangat besar, sudah sangat jarang Jongmyo Jeryeak ditampilkan di luar negeri. Sejauh ini, hanya tiga kali muncul di panggung internasional yaitu di Konser Musik Gabungan Korea-Jepang dalam hubungannya dengan kerjasama mereka sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA 2002, di Festival Musik Klasik Torino Italia pada bulan September 2007, dan pada acara budaya di Jerman selama Pekan Asia-Pasifik.

Pada acara di Paris mendatang, repertoar akan dimainkan bersama dengan ritual itu sendiri selama 90 menit berbeda dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Jumlah penari terus bertambah dan akan ditempatkan di depan komponen lainnya. Ritual Konfusian berlangsung khidmat, musik yang lambat dan stagnan, suara alat musik eksotis, lirik lagu yang sulit dimengerti - sebagian besar asing dan agak esoterik bahkan untuk penonton Korea modern. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa Jongmyo Jeryeak adalah karya yang unik dan berbeda dari warisan musik umat manusia. Namun, bagaimanakah penonton Paris (Prancis) akan bisa menikmati pergelaran ini tanpa memiliki pengetahuan tentang Korea kuno.

Page 38: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

36 KOREANA Musim Gugur 2015

Pemenang penghargaan Silver Lion untuk seniman muda berbakat dalam International Exhibition All the World’s Futures adalah Im Heung-Soon dari Korea Selatan.” Pada

tanggal 9 Mei tahun ini, Im Heung-soon naik ke atas panggung di Hall of Venice Biennale Foundation yang terletak di belakang St. Marco Plaza di Venesia, Italia dan menyampaikan pidato kemenang-annya: “Saya sangat bahagia tapi merasa berat sekali melihat reali-tas pekerja yang digambarkan dalam film ini. Saya ingin berterima kasih kepada para pekerja perempuan yang hidup dan bekerja dengan penuh keyakinan pada dirinya.” Ia mendapat penghargaan Silver Lion Award untuk film dokumenternya sepanjang 95 menit berjudul Factory Complex dalam International Art Exhibition dalam Venice Biennale ke 56. Silver Lion Award adalah penghargaan ter-baik yang diberikan kepada seniman muda berbakat yang berparti-sipasi dalam Biennale. Penghargaan ini diberikan kepada seniman Korea sejak 1986, ketika Korea mulai berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

“menunggu adalah Bakat saya”Sebelum pindah ke Chang-dong di bagian utara Seoul dalam

bulan Januari tahun ini, Im tinggal selama empat tahun dari 2010 sampai 2014 di Guro Factory Complex. Ia tinggal di Geumcheon Art Factory, perumahan seniman di Guro Factory Complex, dan de-ngan dukungan pemda Kota Seoul, ia mengadakan “Geumcheon Mrs.” bersama para perempuan yang tinggal di wilayah itu. Mereka membuat film pendek yang menceritakan masa lalu dan masa kini

Guro Factory Complex, rumah mereka, dan kisah para perempuan dari generasi mereka. Film ini juga menampilkan suka duka yang dialami oleh perempuan pekerja yang sudah menikah pada masa “generasi tua.” Emosi-emosi ini muncul bersamaan dalam Factory Complex.

Factory Complex menyuguhkan adegan tentang mimpi dan harapan para perempuan itu dalam kisah fantasi yang diramu deng-an elemen dokumenter, melalui wawancara dan foto. Judul film ini (Comforting Factory Complex) menyuarakan keyakinan sutradara bahwa solidaritas perempuan akan membuat dunia ini lebih baik.

Bagi Im Heung-soon, momen ini adalah buah dari perjalanan panjang. Jauh sebelum itu, sebelum aktivasi program residensi – di mana pemerintah atau institusi publik menyediakan studio bagi para seniman – ia mengunjungi wilayah tertentu dan mengelola proyek seni bersama warga setempat: Seongnam Project, yang menggarap sisi gelap kota, dilakukannya bersama Kim Tae-heon, Bak Yong-seok, dan Bak Chan-gyeong dari tahun 1998 sampai 1999; Mixrice, yang dikelolanya bersama Jeon Yong-seok dan Jo Ji-eun, di mana ia bekerja dengan pekerja asing dari tahun 2002 sam-pai 2005; Seongnam Project lagi, dari tahun 2006 to 2007; dan Pub-lic Art Itda, dikelolanya di sebuah kompleks perumahan di Seong-san-dong dan Deungchon-dong. Aktivitasnya selama 10 tahun dalam proyek seni masyarakat membuahkan sesuatu. Di kompleks perumahan di Deungchon-dong, ia menginisiasi sebuah proyek memanfaatkan ruang yang terabaikan sebagai ruang kegiatan masyarakat, dan ia harus menunggu tiga bulan untuk mendapat-

wawancara

im Heung-soon (46), seniman dan sutradara film, sudah mengikuti gwangju Biennale sejak tahun 2002, dan diundang

ke Jeonju international film festival dan DmZ international Documentary film festival dengan film panjang

pertamanya yang dipresentasikan pada tahun 2012. selain kiprahnya ini, namanya kurang dikenal dalam dunia seni dan

komunitas film, setidaknya sampai bulan mei tahun ini ketika diumumkan dalam Venice Biennale sebagai pemenang

penghargaan silver lion. saat ini, im Heung-soon adalah “harapan kaum minoritas.”

“Menunggu adalah bakat saya, berempati adalah kekuatan saya.”

– im Heung-soon, Pemenang Penghargaan silver lion dalam Venice Biennale tahun 2015

Kwon Keun-youngWartawan, Rubrik Budaya, The Joong Ang Ilboahn Hong-beomFotografer

Page 39: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 37

kan persetujuan. Ia mengubah ruang kosong itu menjadi perpustakaan lokal, sebuah ruang bersama bagi masyara-kat dan sebuah kelas untuk proyek seni. Penduduk lokal bisa membuat film tentang kisah hidup mereka, merekam-nya dalam video dan berperan di dalam film mereka send-iri. Aktivitas ini tidak menghasilkan “karya seni” yang bisa dipamerkan atau dijual seperti lukisan atau patung. Hanya tulisan dan dokumen foto sebagai bukti perjuangan pan-jangnya.

Kwon Keun-young: Membantu seniman amatir mening-katkan kualitas karyanya terdengar mudah.

im Heung-soon: Benar. Segala sesuatu tidak terjadi seperti apa yang direncanakan. Saya ingin tahu apa yang bisa saya lakukan untuk masyarakat melalui seni. Melukis mural atau membuat patung sifatnya personal. Saya harus berpikir mengenai sesuatu yang bisa saya lakukan bersa-ma masyarakat dalam ruang kehidupannya, dan ternyata saya menemukan jalan dan kisah yang tak terbatas.

Kwon: Tidakkah Anda merasa sedih setelah memba-ngun seni di sebuah lingkungan baru dan memimpin pro-gram, lalu meninggalkannya setelah sekian waktu?

im: Bukankah itu sudah cukup? Jika sebuah ruang dan kegiatan seninya tutup setelah kita pergi, itu bukan kega-galan kita melainkan tanggung jawab mereka. Jika seni itu berkembang, itu juga pencapaian mereka.”

“Berempati adalah Kekuatan saya”Im Heung-soon lahir dan tumbuh di Seoul. Tempat ber-

mainnya adalah Dapsimni, sebuah kawasan miskin di per-bukitan yang dikenal dengan nama “desa bulan.” Keluar-ganya tidak mampu mengirimnya ke kelas ekstra setelah selesai sekolah reguler, jadi ia menghabiskan waktu de-ngan berolahraga dan berceloteh dengan teman-teman. Di desa bulan, kunang-kunang terbang menjelang dan setelah matahari terbenam. Ia sangat berbakat dalam bidang seni. Di Jeonnong Middle School, ia mengikuti kelas seni ber-dasarkan rekomendasi seorang guru. Ayahnya ingin ia segera mencari pekerjaan, sementara ibunya mendukung minatnya itu dengan mengatakan, “Lakukan apa yang ingin kamu lakukan.”

Kehidupan orang tuanya sangat dekat dengan seja-rah masyarakat miskin. Ayahnya, setelah mengalami kecelakaan yang menyebabkan kehilangan tangan di sebuah pabrik besi di Cheonggyecheon, bekerja serabutan. Ibunya, yang datang ke Seoul pada usia 18 tahun dari Gwae-san di Propinsi Chungcheong Utara, bekerja selama lebih dari 40 tahun sebagai asisten pekerja di pabrik pakaian. “Karena kami makin miskin, orang tua saya menjual rumah dan pindah ke desa di perbukitan itu. Ketika bagian bawah

Page 40: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

38 KOREANA Musim Gugur 2015

bukit itu dibangun, mereka pindah ke atas, tapi jika seluruh bagian bukit itu dibangun, mer-eka harus pindah ke bawah dan menyewa ruang bawah.” Perhatiannya pada keluarga dalam situasi seperti itu tercermin dalam karya audio-visualnya, The Way to Icheon (1998). Karya ini mendokumentasikan perjalanan orang tuanya mengunjungi rumahnya di Seongnam sebelum melakukan perjalanan lebih jauh ke rumah kakak laki-lakinya di Icheon. “Kisah personal orang tua saya menarik minat saya mengenai sejarah kaum miskin di perkotaan dan kelas pekerja, sementara kisah-kisah mereka mengenai kondisi kehidupan pada tahun 1960-an dan 1970-an membuat saya menjalankan proyek seni publik di kompleks perumahan. Kisah orang tua saya sama dengan kisah tetangga saya, dan bahkan juga kisah seluruh negeri. Kisah saya tak berbe-da dari kisah orang lain. Sangat menyentuh.”

Kwon: Anda lulus dari Departemen Seni di Kyungwon University (sekarang Gachon Universi-ty) dan memperoleh gelar master dari universitas yang sama. Dalam titik balik dari seni ke film, apakah orang tua Anda berperan di dalamnya?

im: Saya bekerja sebagai asiten selama saya menjadi mahasiswa master untuk membayar kuliah, dan mereka punya kamera. Saya menggunakannya untuk merekam perjalanan orang tua saya bepergian antara tempat saya dan tempat kakak laki-laki saya. Ketika saya menon-ton video itu, gambar-gambar yang tak tampak oleh mata telanjang terpampang di depan saya. Saya melihat ekspresi dan kerut wajah tetangga dan orang tua saya. Apa yang saya lihat sangat mempesona. Saya ingin menuangkannya ke dalam film, bukan lukisan. Saya bisa mengekspre-sikan apa yang ingin saya sampaikan dengan lebih baik melalui kamera dibanding dengan kuas.

Kwon: Factory Complex berkaitan dengan keluarga Anda, tapi film itu memperlihatkan de-ngan sempurna bagaimana tetap menjaga jarak dan mengembangkannya menjadi sebuah cerita universal.

im: Pengalaman ini seperti membuat keputusan sulit yang ekstrim. Proses ini mengubah kelemahan karakter saya, yaitu ketidakmampuan menyelami lebih dalam dan menjadikan-nya sebagai kekuatan. Berempati adalah kekuatan yang menggerakkan karya saya. Saya ingin melihat segala sesuatu dengan benar. Sama sekali bukan bermaksud menyombongkan diri. Intinya adalah bekerja sama.

Kwon: Apa yang membuat Anda sedih? Anda tidak berbuat salah atau melukai seseorang.im: Tidak dapat pekerjaan dan tidak sempat menikah. Saya membuat sedih orang tua saya

karena gagal melakukan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Tapi karena ini pilihan saya, saya harus bisa menghadapi kesulitan ini.

Jalan panjang itu kini membawanya ke posisi mitra pendiri studio film Bandal Doc. Bukan Ondal (bulan purnama) tapi Bandal (bulan sabit). Nama ini menandakan tujuan bekerja sama mengisi kekosongan. Direktur produksi Kim Min-kyung adalah mitra dan sekaligus pasangan hidupnya.

tak ada waktu terbuangIm tak pernah meraih sesuatu dalam sekali tempuh. Ia mulai kuliah di usia 25 tahun setelah

keluar dari Angkatan Laut. Sebenarnya, ia tidak menyelesaikan tugas militernya. “Karena saya lemah,” katanya, “saya sengaja melamar ke Angkatan Laut untuk membuat saya lebih kuat. Tapi saya salah. Saya keluar setelah saya tahu bahwa pekerjaan itu tidak cocok untuk saya. Melakukan hal-hal yang tidak saya sukai adalah sesuatu yang sangat tidak nyaman buat saya. Melakukan hal-hal yang menurunkan nilai Anda adalah sesuatu yang menyakitkan.”

Sebagai seorang mahasiswa seni berbakat, dan karena keteguhannya dalam mengejar apa yang diinginkannya walaupun dari keluarga miskin, ia harus membayar biaya dengan mencari biaya kuliahnya sendiri. Ia tidak hanya bekerja mengirimkan hidangan China dan kol dari Garak Market tapi juga membersihkan lintasan pacuan kuda dalam ruang di Seongnam pada akhir

1

2

Page 41: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 39

pekan selama dua tahun. Tugas militer di Angkatan Laut dan pekerjaan di lintasan pacuan kuda dalam ruang sangat membantu. Untuk mengikuti Busan Biennale pada tahun 2004, ia membuat This War, sebuah proyek dokumentasi veteran Pe-rang Korea dan Vietnam. Pengalaman di Ang-katan Laut membantunya berkomunikasi lebih baik de-ngan para ve-teran yang kemudian membuka wawasannya makin luas. Sementara pekerjaan bersama para perem-puan Geumcheon mengilhami pembuatan Factory Com-plex, dan This War mengawali pembuatan film Reincarna-tion. Reincarnation ditampilkan dalam Sharjah Biennale di Uni Emirat Arab di MoMA PS1 di New York awal tahun ini. “Tidak hanya menggunakan cerita mereka sebagai inspira-si, saya juga mencoba memasukkan apa yang harus dilaku-kan mereka yang ditinggalkan,” katanya, menjelaskan tujuan pekerjaannya.

Kwon: Anda tampaknya sudah melenceng, tapi jika menengok ke belakang, saya bisa melihat bahwa Anda masih menuju ke arah yang sama.

im: Saya sudah menemui banyak kegagalan dan melakukan banyak kesalahan. Delapan puluh hingga sem-bilan puluh persen pekerjaan yang saya lakukan di usia 30-an sebenarnya sudah gagal. Masyarakat kita memberi-kan tanggapan positif hanya ketika seseorang membuk-tikan kemampuannya dengan meraih penghargaan, de-ngan hasil yang dapat dilihat, tapi saya hampir tidak pernah melakukannya. Tapi, saya menyadari bahwa kegagalan bukan sekadar kegagalan. Kegagalan juga sebuah proses.

Kwon: Menjadi sabar dan bijaksana sebagai seorang sutradara dan tidak lagi dogmatik membuat Anda melihat pekerjaan dari sudut yang berbeda.

im: Dalam kasus Jeju Prayer, saya melihat kembali adeg-an yang gagal dengan menghubungkan bagian-bagiannya. Ada adegan seorang perempuan tua mengunjungi makam, dan ketika adegan itu dibagi menjadi beberapa potongan, hasilnya menakjubkan dan menghadirkan kembali serpih-an kenangan yang terserak.

Kwon: Apakah Anda percaya bahwa seni memiliki kekuatan?

im: Dalam kasus saya, saya bisa sampai sejauh ini karena inilah yang saya bisa dan apa yang sangat ingin saya lakukan. Barangkali ini tidak bisa dilakukan semua orang, tapi saya berharap ada suatu masyarakat yang bisa melakukan apa yang mereka inginkan. Setiap orang punya kekuatan istimewa. Sayangnya, masyarakat Korea seka-rang belum mengembangkannya sehingga mereka belum menemukan kekuatan itu.

1 “Kompleks Pabrik” (2014), yang menampilkankan gaya yang unik dan hati yang hangat Direktur Im Heung-sun, selesai setelah tiga tahun dan perjalanan panjang 22.000 kilometer. Ini merupakan film dokumenter yang dianggap sebagai sebuah karya seni.

2 Direktur Im Heung-sun berpose dengan direktur produksi Kim Min-kyung, rekan-nya dalam hidup dan seni, setelah menerima “the Silver Lion” pada 2015 Venice Biennale tanggal 9 Mei.

3 “Reinkarnasi” film 24 menit karya Im ditampilkan di Sharjah Biennial di UAE dan di MoMA PS1di New York awal tahun ini. Im sedang mempersiapkan untuk membuat film panjang berdasarkan film itu.

3

©BANDAL doc

Factory Complex, film yang memenangkan penghargaan itu, menampilkan suka duka pekerja di Guro Industrial Complex pada tahun 1970an, pabrik pakaian di Vietnam dan Kamboja pada periode sesudahnya, sampai industri jasa dan teknologi dewasa ini.

Page 42: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

40 KOREANA Musim Gugur 2015

seni mengemas harta peninggalan budaya adalah pekerjaan yang tidak dikenali oleh kebanyakan orang. ada seorang

yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk profesi ini menjadi master sejati bidangnya. ia adalah Kim Hong-

sik, 70 tahun umurnya, mantan kurator di museum nasional Korea. tempat kerjanya adalah ruang bawah tanah

penyimpanan di museum banyak menyimpan kekayaan budaya negara. Hanya satu saja yang ada dalam kepala Kim,

yaitu keamanan harta peninggalan.

Pengemasan Harta Peninggalan Budaya

Kehidupan yang Dikhususkan untuk

chung Jae-sukPenulis Editorial dan Penulis Senior Budaya, The Joong Ang Ilboshim Byung-wooFotografer

PelinDUng Harta warisan

Page 43: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 41

Kim Hong-sik (atas kakan), mantan kurator senior di Museum Nasional Korea, memeriksa patung Buddha kuno - Batu Tegak Maitreya Bodhisattva (National Trea-sure No. 81) dan Batu Tegak Buddha Amitabha (National Treasure No. 82) dari Candi Gamsan - untuk mengatur keperluan pengemasan.

Kim Hong-sik (70) yang mengetahui benar seluk beluk harta nasional dijuluki sebagai ‘harta nasional berjalan’, ‘aset budaya berjalan.’ Orang yang mengenalnya mengatakan

bahwa tangannya bernilai lebih dari jutaan dolar. Selama hampir 40 tahun, tangan-tangan itu telah mengemas berkali-kali harta peninggalan yang tak dapat dinilai dengan uang. Tanpa dia, aset budaya di Museum Nasional Korea tidak mungkin bisa diang-kut sedikitpun. Seorang master yang dikhususkan untuk men-jaga khasanah budaya, berbicara dalam kesunyian dengan harta peninggalan di museum penyimpanan dan mempelajari cara-cara untuk menjaga kelestarian mereka. Setelah bertahun-tahun, wajahnya tampak bermiripan dengan harta peninggalan budaya yang dijaganya dengan penuh dedikasi.

Dari Perintis sehingga ProfesionalMengemas harta peninggalan budaya adalah profesi yang lang-

ka. Kim adalah pelopor dalam bidang di Korea. Sampai sekarang, masih banyak orang yang belum mengenal jenis pekerjaan ini, karena pekerjaan ini tidak dapat cepat terlihat oleh mata dan bah-kan terlihat seperti bidang yang hanya repot saja. Ia masuk di pro-fesi ini di pertengahan 1970-an dan telah menjalani satu jalan sejak saat itu. Ketika ia pensiun dari dinasnya pada 32 tahun di National Museum of Korea pada bulan Juni 2005, tidak ada satupun dalam koleksi museum yang tidak melewati tangannya. Selama karirnya, ia mengawasi tiga museum yang merotasi isinya setiap 10 tahun, menjadikannya sebagai master sejati dalam seni kemasan harta peninggalan budaya.

Saya bertemu dengan Kim di Museum Nasional Korea di Yong-san, Seoul. Sambil melihat setiap sudut dan keliling museum tempatnya bekerja dulu, ia tampak tenggelam dalam kenangan lama. Dia mengatakan jarang mengunjungi museum karena dia tidak ingin membuat staf museum merasa tidak nyaman, namun matanya bersinar seolah-olah dia telah bertemu kembali dengan seorang teman lama.

chung Jae-suk: Rasanya seperti pulang kampung, ya Pak? Belum-belum, kelihatannya Bapak sudah menemukan sesuatu?

Kim Hong-sik: Apakah Anda sudah melihat lukisan “Buddha di Kuil Cheongyrong” yang digantung di ruang lukisan Buddha? Harta No. 1257. Panjangnya saja 7 meter lebih. Belakangan ini tidak ada seorangpun yang dapat menggulung lukisan panjang seperti itu. Kelihatannya saja mudah menggulung dan menggelar lukisan gulung seperti itu. Tetapi orang profesional seperti kami dapat de-ngan mudah melihat kerusakan yang terjadi pada lukisan itu.

cJ: Rupanya walaupun kita memakai sarung tangan dan menanganinya sangat hati-hati seperti sedang menangani bayi, kerusakan itu tidak bisa dihindari, ya?

KH: Ya. Lihat saja “Stele untuk Guru Zen Wollang” di Kuil Wolg-wang. Itu adalah harta peninggalan pertama di Korea yang dileng-

kapi dengan isolator getaran untuk melindungi terhadap gempa bumi. Saat itu, tidak ada orang yang mengira bahwa gempa bumi bisa menghancurkan peninggalan budaya. Jadi kami mengadopsi teknologi dari Jepang dan menyesuaikannya sesuai dengan kondisi di Korea.

cJ: Menjadi yang pertama di sebuah bidang adalah hal yang tidak mudah. Bagaimana Bapak pertama kali masuk dalam bidang ini?

KH: Saya mendapat pekerjaan di Museum Nasional Korea yang ada di Istana Gyeongbok, di lokasi Musium Tradisional Korea bera-da. Tapi saya merasa tidak benar-benar cocok untuk jenis peker-jaan untuk orang yang disebut “berpendidikan” lulusan universitas lakukan. Jadi saya mulai mencari apa yang bisa saya lakukan di Departemen Manajemen Koleksi. Saya suka berada dengan harta peninggalan, menyentuhnya, merawatnya, agar mereka bisa ber-tahan dalam rupanya selama mungkin.

Sejak tahun 1973, saat ia mulai bekerja sebagai sementara, sampai tahun 2005, ketika ia pensiun sebagai kurator yang bertu-gas mengelola koleksi museum, Kim setia menjaga tempat penyim-panan bawah tanah museum. Melihat bagaimana ia mengenal dan menghafal puluhan ribu benda seni yang bertempat di museum, kita sudah bisa menerka betapa besar usahanya selama itu. Dia bekerja dari jam 07:00 sampai jam 22:00 hampir setiap hari, mem-pelajari rata-rata 100 harta peninggalan per hari. Dia berhenti merokok karena khawatir bisa menyebabkan kerusakan pada karya seni. Jika ada tugas yang menantang, maka ia merelakan diri bergadang malam itu. Mengemas kotak relik dari pagoda batu dari Kuil Bulguk Temple (Harta Nasional No. 126) adalah peker-jaan yang sangat sulit. Ornamen manik kecil di sudut-sudut kotak itu yang menjadi masalah. Dia memeras otak selama seminggu, menatap kotak itu selama berjam-jam sehari, sampai ia akhirnya menemukan solusi. Dia menggulung kertas hanji bebas asam tipis (kertas murbei Korea) untuk membuat tiang kertas untuk melindung ornamen, kemudian menempatkan kertas lain di anta-ranya untuk menahan tiang kertas itu di tempat. Pekerjaan teliti itu menghabiskan waktu dua hari penuh. Inilah contoh lain yang menunjukkan mengapa ia menyatakan “waktu adalah uang” seba-gai prinsip pertama dari pekerjaan mengemas harta peninggalan.

cJ: Jadi kertas merupakan bahan kemasan penting, ya?KH: Bisa dibilang begitu. Ketika saya pensiun, kertas hanji yang

tersisa sekitar 20.000 lembar. Banyak kertas sampel yang dikirim oleh produsen yang meminta saya untuk mencoba memakainya. Harga satuannya bervariasi tergantung pada jenisnya, tetapi saya

Page 44: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

42 KOREANA Musim Gugur 2015

1, 2 Artefak ini yang pen-ting aman di tempat maka dibalut dengan bahan bantalan bebas asam.

3 Bungkus kemasan terbuat dari kayu paulownia, dilengkapi dengan pintu yang dapat digeser terbuka secara vertikal.

4 Pada akhir pekerjaan, bungkus kemasan diikat kuat-kuat.

5 Kim Hong-sik (pada tingkat lantai) meng-awasi kemasan Iron Buddha Duduk dari Chungung-ri, Gwangju (Harta No. 332), yang memiliki tinggi 2,8 meter dan berat 6,2 ton. Sebuah papan kayu pinus ditempat-kan di lantai, ditu-tupi dengan lembaran karet 15 mm untuk meredam kejutan, dan kemudian ditutup lagi dengan selembar ker-tas atau kain sebelum patung tersebut akan dipindahkan ke atas-nya. Untuk mencegah perubahan warna dan perubahan lainnya, tubuh patung tersebut dibungkus dengan hanji bebas asam, ditutup dengan kapas lampin dan diikat seperti mumi. Sebuah kotak berbentuk kisi-kisi terbuat dari potongan kayu setebal 10 cm ini kemudian ditempatkan di sekitar kepala agar aman di tempat. Terakhir, bungkus kemasan kayu dirakit menutupi seluruh patung.

hanya menggunakan kertas 1 meter yang terbuat murbei saja. Karena kualitas yang sangat baik jadi walaupun harganya tinggi, saya tidak bisa beralih kepada yang lain. Saya sering takjub melihat betapa kokoh kertas itu. Tetapi saya dapat melihat bagaimana ker-tas itu terkikis.

cJ: Saya mendengar sangat sulit bertemu dengan Bapak. Seka-rang saya kira-kira mengerti mengapa demikian.

KH: Saya pernah menyaksikan sebuah vas celadon yang bernilai 1 miliar won jatuh harganya menjadi 100 juta won gara-gara salah mengemas sehingga mulut vas itu rusak. Orang yang mengemas-nya menelepon saya dan meminta tolong. Saya jawab, “Seharus-nya Anda panggil saya sebelum vas itu rusak.” Hanya dari cara se- seorang mengikat tali pengemas saya bisa tahu apakah dia itu orang yang tahu mengemas harta peninggalan atau tidak. Kalau ada kary-awan baru di Departemen Manajemen Koleksi, saya menyuruhnya untuk memotong kertas dulu. Jarang orang yang bisa memotong kertas dengan benar. Dari caranya memegang pisau saja, saya bisa menilai apakah ia mempunyai potensi atau tidak.

legendaris ‘mr. Kim’Korea telah mendapatkan reputasi global untuk keahlian yang

luar biasa dalam pengemasan harta peninggalan. Di pusat dari semua ini ada Kim Hong-sik. Ada banyak anekdot yang terkait den-gan sang legendaris “Mr. Kim.” Pada tahun 1998, sekitar 300 harta budaya Korea yang dikirim ke Amerika Serikat untuk ditampilkan di pameran khusus Pada pembukaan Galeri Korea di Metropoli-tan Museum of Art. Kurator museum, yang berada di Seoul untuk mengawasi proses pengemasan, mengawasi Kim dalam kerjanya dan menyatakan ingin merekrut dia saat itu juga. Ia mengatakan, “Cara pengemasannya sempurna. Saya kagum pada karya yang indahnya dan akan gembira jika bisa memiliki rekan seperti dia.”

cJ: Menurut Bapak, bagaimana Korea menjadi salah satu nega-ra terkemuka di dunia dalam teknik pengemasan harta peningga-lan budaya?

KH: Ada banyak situasi yang tak terduga selama mengemas, memindahkan, membongkar, dan memamerkan di Korea. Di negara-negara lain, jika tanda mengatakan “jangan menyentuh,” orang akan menaatinya. Tapi orang Korea sedikit berbeda. Mis-alnya saja ada secangkir air dan orang diberitahu untuk memir-ingkan cangkir itu karena airnya bisa tumpah, maka orang Korea harus mencobanya sendiri untuk melihat apakah benar airnya tumpah atau tidak, baru mereka merasa puas. Oleh karena itu, kita harus mengemasnya seteliti mungkin untuk mengantisi-pasi semua kemungkinan yang bisa terjadi supaya tidak ter-jadi kecelakaan. Apalagi melewati Perang Korea dan penjajahan Jepang, Korea tidak memiliki tradisi pengelolaan aset budaya yang panjang. Orang Korea lebih bersifat bertindak seadanya dan bersandar pada kelapangan dada. Kalau kita memikirkan hal itu, maka tak bisa lain, dalam bekerja kita harus lebih teliti dan keras.

1

2

3

4

©K

im H

ong-sik

Page 45: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 43

cJ: Sekiranya ada, apa rahasia Bapak saat mengemas harta peninggalan Korea?

KH: Kita perlu menghafal mati semua sifat dari harta pening-galan. Dan saya menangani mereka dengan sepenuh hati. Dan dengan latihan ratusan kali saya berusaha mengurangi kesalahan. Saya benar-benar mencurahkan hati dan jiwa saya dalam peker-jaan saya. Proses kerja yang dilakukan secara otomatis di Barat dilakukan secara manual di Korea. Semua keahlian yang saya asah dan kuasai selama bertahun-tahun untuk pertama kalinya di- tampilkan secara umum saat Museum Nasional Korea dipindah-kan pada tahun 2004. Orang-orang diizinkan untuk mengambil foto. Saya melakukannya dengan harapan akan ada banyak orang muda akan mengambil minat dalam menjalankan pekerjaan saya, tapi sayangnya belum banyak yang berminat.

orang boleh saja celaka, tapi jangan harta peninggalanKim adalah saksi hidup sejarah museum di Korea. Ia turut serta

dalam tiga pemindahan utama: pada tahun 1986 dari Museum Nasional Korea yang sekarang berlokasi di Istana Gyeongbok ke Gedung Pemerintahan Jepang; pada tahun 1996 dari gerbang barat Istana Gyeongbok ke Museum Istana Nasional sekarang ini; dan yang terakhir pada tahun 2004 pemindahan ke gedung museum baru di Yongsan. Mentransfer lebih dari 100.000 buah kekayaan budaya, tentulah suatu pekerjaan yang luar biasa.

cJ: Bagaimana rasanya berpartisipasi dalam pemindahan besar-besaran tiga museum?

KH: Saya adalah orang yang memeriksan terakhir kali sebe-lum meninggalkan museum. Listrik dan air baru diputus setelah saya menyelesaikan pemeriksaan terakhir saya. Saya baru mera-sa nyaman kalau sudah memeriksa setiap sudut dan celah dari ruang penyimpanan dan kantor, bahkan sampai keranjang sam-pah. Walaupun sudah merasa seteliti mungkin memeriksa, kalau diperiksa lagi masih saja muncul bungkusan yang terletak tidak pada tempatnya. Bagi saya ini pekerjaan yang menegangkan. Kare-na saya mementingkan keamanan harta peninggalan selama di-pindahkan, orang boleh saja celaka, tapi jangan harta peninggalan budaya. Orang-orang mengatakan saya sulit dan keras kepala, tapi saya tidak terlalu peduli karena prioritas nomor satu saya adalah melindungi harta peninggalan.

cJ: Apakah Bapak tidak merasa kecewa karena pekerjaan ini kurang mendapat pengakuan di Korea dibandingkan dengan di negara lain?

KH: Di negara-negara Barat, pekerjaan ini dikategorikan seba-gai pekerjaan profesional yang menuntut pengalaman dan pe-ngetahuan di berbagai bidang, serta rasa tanggung jawab. Dengan adanya hubungan antar museum internasional dan saling memin-jam harta peninggalan, sebenarnya kita perlu lebih banyak orang muda yang di lapangan, investasi dari akademisi dan perspektif baru tentang pekerjaan ini.

5

Kim menyatakan “Hanya negara yang berinvestasi di budaya akan bertahan.” Kata-kata dari seorang yang telah mendedika-sikan hidupnya untuk merawat harta peninggalan yang tak lain adalah wujud dari nenek moyang Korea yang turun temurun sejak beribu tahun lalu itu terdengar sangat serius dan dalam. Dia telah menyerahkan hidupnya untuk dapat meneruskan semangat itu kepada generasi mendatang. “Tidak ada yang membuat saya lebih bahagia daripada melihat harta peninggalan yang telah melakukan perjalanan ke luar negeri kembali dengan aman tanpa cacat.” Den-gan melontarkan sepotong kata-kata yang sederhana ia mening-galkan rumah harta sangat dicintainya itu.

Page 46: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

44 KOREANA Musim Gugur 2015

Daeseong-dong, sebuah desa yang dijuluki “Desa Kebebasan” adalah satu-satunya daerah perumahan sipil di dalam

zona demiliterisasi, yakni daerah perbatasan di semenanjung Korea. secara administratif desa ini berlokasi di Josan-

ri di gunnae-myeon, Paju, Provinsi gyeonggi. tapi desa ini adalah sebuah desa kecil yang unik yang tidak ada duanya

di manapun di dunia ini. meskipun merupakan wilayah Korea selatan, pada kenyataannya desa ini berada di bawah

kendali Komando PBB. Hak pilih dan hak mendapat pendidikan dijamin oleh hukum Korea selatan, tetapi mereka

dibebaskan dari wajib militer dan wajib pajak. saat keluar atau masuk dari dan ke desa, warga harus mendapatkan

persetujuan dari PBB untuk perjalanan mereka. Dan setiap kali ketegangan militer meningkat antara kedua Korea,

pengawasan keluar masuk lebih diperketat. Penduduk desa, yang telah tinggal di “pulau yang tidak seperti pulau”

selama sekitar 60 tahun sejak gencatan senjata Korea, dipenuhi harapan baru oleh proyek renovasi desa mereka.

cerita tentang DUa Korea

Kisah Daeseong-Dong

‘DESA KEBEBASAN’

1

Kim Hak-soonProfesor Pengunjung, Sekolah Media & Komunikasi, Universitas Koreaahn Hong-beomFotografer

Page 47: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 45

1 Daeseong-dong, juga dikenal sebagai “Desa Kebebasan” ditunjuk sebagai satu-satunya daerah perumahan sipil di sisi selatan Zona Demiliterisasi setelah Perjanjian Gencatan Senjata Perang Korea ditan-datangani pada tahun 1953. Hanya terletak 1,8 kilometer dari militer Garis Demarkasi yang memisahkan kedua Korea.

2 Tiang bendera seti-nggi 99,8 meter ini merupakan tertinggi dari jenisnya di Korea Selatan, bandingkan dengan yang 160 meter tingginya di Kijong-dong. Itu merupakan hasil dari persaingan Perang Dingin yang puncaknya pada tahun 1950 dan 1960.

Pada tanggal 23 Juli, upacara perjanjian diadakan untuk meluncurkan sebuah proyek untuk membuat desa di Dae-

seong-dong menjadi “Proyek Daesong-dong, Desa Pertama Menyambut Unifikasi.” Pen-duduk desa, pejabat pemerintah, eksekutif bis-nis, anggota kelompok sipil, dan orang-orang biasa bergandeng tangan dalam upaya untuk merombak desa itu. Rumah-rumah di desa ini dibangun oleh pemerintah pada tahun 1970-an dan telah banyak yang rusak berat karena terlantar. Hal ini dikarenakan untuk semua hal, termasuk perbaikan rumah dan menghubung-kan internet memerlukan izin dari pemerintah, mengingat bahwa akses orang luar ke desa tersebut sangat dibatasi. Kim Dong-koo (47), kepala desa, berkata dengan penuh emosi, “Hari ini, kita akan menulis lembaran baru dalam sejarah desa kita. Saya merasa sangat senang karena keinginan lama warga desa akhi-rnya terwujud dan kami bisa menyediakan ling-

kungan hidup yang lebih baik bagi anak-anak kami.”Pada waktu Perang Korea terhenti ketika perjan-

jian gencatan senjata ditandatangani pada 27 Juli 1953, menurut ketentuan yang memungkinkan setiap sisi untuk mempertahankan sebuah desa di dalam wilayah DMZ di mana warga sipil dapat berada, Desa Dae-seong-dong bersama Desa Kijong-dong di sisi Korea Utara dibentuk pada 3 Agustus tahun itu. Kijong-dong, yang disebut “Desa Perdamaian,” terletak di utara garis demarkasi militer hanya 1,8 km jaraknya dari Daeseong-dong. Kedua desa ini adalah ‘desa tetangga’ satu sama lain sebelum mereka dipisahkan. Kijong-dong berada di bawah kendali militer Korea Utara, tapi tidak di bawah pengawasan PBB. Desa ini terletak hanya 4 km dari Kompleks Industri Kaesong, sebuah kompleks industri bersama Korea yang dibentuk seki-tar sepuluh tahun yang lalu. Jika dilihat melalui teles-kop dipasang di atap balai desa Daeseong-dong, maka dapat dengan jelas terlihat warga Korea Utara berakti-vitas dalam keseharian mereka.

Kedua desa telah lama saling bersaing siapa yang bisa menaikkan bendera nasional mereka lebih tinggi. Pada akhir 1954 setelah gencatan senjata, sebuah tiang bendera dengan ketinggian lebih dari 30 m didiri-kan di Kijong-dong. Di tiang itu dikibarkan bendera Korea Utara ukuran raksasa. Selain itu, suara lagu kebangsaan Korea Utara dari pengeras suara menjadi lebih keras setiap kali bendera mereka dinaikkan dan diturunkan setiap hari. Tidak mau kalah, Desa Dae-seong-dong mendirikan tiang bendera dengan keting-gian 48 m -18 m lebih tinggi- pada tahun berikutnya. Dua tahun kemudian, sebuah tiang bendera setinggi 80 m didirikan di Kijong-dong, dan kemudian tiang ben-dera setinggi 99,8 m, yang tertinggi dari jenisnya di Korea Selatan, didirikan di Daeseong-dong tiga tahun kemudian. Empat tahun kemudian, tiang bendera se-tinggi 160 m didirikan di Kijong-dong, yang dibanggakan oleh Korea Utara sebagai tiang bendera tertinggi di dunia. Tentu saja, ukuran bendera yang berkibar di tiang bendera ini adalah yang terbesar di dunia. Tapi sejak saat itu, tiang bendera di kedua desa tidak lagi ditinggikan. “Yang saya tahu, pihak kita menghentikan persaingan ini karena bersaing dengan tiang bendera tidak ada artinya” jelas Kim, kepala desa, berkata de-ngan tenang. Biaya pembuatan dan pemeliharaan tiang bendera dan bendera yang dipakai oleh kedua Korea menelan puluhan juta won setiap tahunnya. Dua tiang bendera masih berdiri berhadapan satu sama lain.

Sepanjang 62 tahun sejarah yang sedih, warga desa Daeseong-dong telah mengalami banyak suka dan

2

Page 48: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

46 KOREANA Musim Gugur 2015

duka. Pada Juli 2015, total 207 orang dari 49 rumah tangga mencari nafkah dengan melakukan pertanian. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang telah tinggal di sini sejak sebelum Perang Korea, atau keturunan mereka. Kebanyakan dari mereka adalah anggota dari marga Kim dari Gangneung. Hanya me-reka yang tinggal di desa selama lebih dari satu tahun delapan bulan dianggap memenuhi syarat untuk menjadi penduduk tetap. Karena tidak ada lembaga pendidikan selain TK dan sekolah dasar, para siswa harus bersekolah di sekolah menengah yang berada di daerah lain, dibebaskan dari regulasi ini. Pria bisa tetap tinggal di sini dengan istri mereka, jika mereka menikah perempuan dari daerah lain. Tapi perem-puan harus meninggalkan desa, jika mereka menikah dengan pria dari daerah lain. Ini adalah aturan yang ditetapkan oleh warga desa sendiri menurut keperca-yaan tradisional bahwa “seorang anak perempuan yang sudah menikah tidak lagi dianggap anggota keluarga sendiri.” Bahkan jika kejahatan terjadi di desa, polisi Korea Selatan tidak bisa masuk ke dalamnya untuk menangkap. Polisi harus menunggu sampai PBB mengusir tersangka dari desa, dan kemudian dapat menangkap dia di luar DMZ. Aturan rinci tentang hidup di desa didasarkan pada peraturan PBB yang menga-wasi DMZ, dan aturan yang ditetapkan bersama oleh PBB dan desa.

Ada banyak batasan yang dikenakan pada pen-duduk desa. Dari tengah malam hingga jam 5 subuh, tidak boleh keluar dari rumah. Tentara akan men-datangi setiap rumah untuk memeriksa jumlah ang-gota keluarga setiap rumah tangga sekitar jam 7 sam-pai 8 setiap malam. Sebuah perusahaan pemerintahan sipil bersenjata berat menjaga desa sepanjang waktu. Setiap petani harus melapor ke PBB dua atau tiga hari sebelumnya sebelum mereka pergi ke ladang atau sawah. Kalau mereka bertani di dekat garis perba-tasan, harus didampingi oleh tentara. Orang luar dapat mengunjungi desa ini setelah mengajukan permohon-an persetujuan untuk kunjungan seminggu sebelum tanggal yang diinginkan bila identitas mereka telah diperiksa.

Satu-satunya transportasi umum yakni layanan bus hanya berjalan tiga kali sehari. Karena mereka harus melakukan perjalanan panjang ke Munsan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, setiap rumah tang-ga sekarang memiliki mobil. Ini pun baru bisa setelah kondisi hidup mereka membaik. Pada awalnya, warga desa hanya bisa bepergian ke luar desa seminggu sekali. Untuk itu, truk PBB digunakan setiap minggu

untuk mendistribusikan bahan kebutuhan hidup. Layanan bus meningkat men-jadi tiga kali seminggu setelah Ibu Yuk Young-soo, ibu Presiden Park Geun-hye yang, menyumbangkan shuttle bus pada tahun 1972. Dari akhir 1970-an, lay-anan bus meningkat menjadi sekali sehari. Sekarang bus antara desa dan Ter-minal Bus Munsan ada tiga kali sehari. Semua penduduk desa pergi keluar dari desa untuk memberikan suara bersama-sama dalam setiap pemilihan umum. Oleh karena itu, jumlah pemilih yang turut serta dalam pemilihan umum dari desa ini hampir selalu berjumlah 100 persen. Itupun baru terjadi sejak tahun 1967 ketika mereka diberi hak untuk memilih. Selama 14 tahun sebelumnya, hak pilih mereka dibatasi.

Di desa ini bahkan yang sepele atau perubahan kecil di desa menjadi beri-ta. Wisuda upacara sekolah dasar desa selalu menjadi perhatian media. Pada tanggal 15 Mei lalu, ketika semua siswa dari SD Daeseong-dong mengunjungi Kompleks Pemerintah di Seoul atas undangan Menteri Administrasi Pemerin-tahan dan Negeri Chong Jong-sup, sebagian besar dari media memuat berita itu. Desa menjadi berita utama ketika menerima pipa pasokan air pertama kali pada Juni 2013; ketika desa akhirnya memiliki akses bebas internet pada tahun 2012; ketika bioskop dibuka di desa; dan ketika tujuh siswa SD Daeseong-dong mengunjungi tembok Berlin pada tahun 1991 setelah penyatuan Jerman, yang memberikan rasa haru bagi pembacanya.

Pada 2 Agustus 2013, pesta perayaan 60 tahun desa digelar di balai desa.

Park Pil-sun (82), warga tertua yang lahir di desa ini, bahkan tidak pernah bertemu kakak sulungnya selama lebih dari 60 tahun yang tinggal di Kijong-dong, yakni desa yang letaknya bersebelahan dengan desa tempat tinggalnya. “Karena saya tidak bisa melakukan perjalanan ke desa itu, saya tidak tahu apakah kakak saya itu masih hidup atau tidak,” kata Park.

1

Page 49: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

SENI & BUDAYA KOREA 47

1 Park Pil-sun, kiri, warga tertua di desa, dan Kim Kyung-lae yang hidup di desa Korea Utara Kijong-dong, di mana kakak Park dulu tinggal sampai Garis Demarkasi Militer ditetapkan.

2 Seorang siswa kelas 5 dan seorang tentara PBB ditugas-kan untuk menjaga sekolah. SD Daeseong-dong sangat kecil, hanya 30 siswa. Dengan rasio 1-1 guru-siswa dan kurikulum bahasa Inggris-untuk- tujuan khusus, sangat populer di ka-langan mahasiswa dari daerah terdekat.

3 Penduduk Daeseong-dong mengerjakan pertanian mereka dengan dijaga oleh seorang ten-tara bersenjata yang ditugaskan untuk melindungi mereka. Para penduduk desa, yang sebagian besar adalah petani, harus mel-aporkan kepada Komando PBB dua sampai tiga hari ke depan jika mereka bekerja di lapan-gan. Mereka akan dikawal oleh tentara ketika mereka bekerja dekat Garis Demarkasi Militer.

nafas. Semua penduduk desa harus tinggal di dalam bunker untuk sementara pada Oktober 2012 ketika rezim Korea Utara mengancam akan melancarkan serangan di daerah Korea Selatan dengan alasan mer-eka menemukan sekelompok pembelot yang mener-bangkan balon propaganda ke Utara. Pada tahun 1997, seorang warga diculik oleh tentara Korea Utara ketika ia memungut kenari, tapi dibebaskan lima hari kemu-dian. Sebelumnya, pada tahun 1975, seorang petani diculik oleh dua tentara Korea Utara di dekat desa. Kim Kyung-lae (79), warga yang tinggal di desa sejak sebe-lum Perang Korea, mengatakan, “Pada tahun 1960, seorang penduduk desa ditembak mati oleh tentara Korea Utara. Saya merasa begitu ngeri sampai ingin pergi dari desa ini.”

Park Pil-sun (82), warga tertua yang lahir di desa ini, bahkan tidak pernah bertemu kakak sulungnya selama lebih dari 60 tahun yang tinggal di Kijong-dong, yakni desa yang letaknya bersebelahan dengan desa tempat tinggalnya. “Karena saya tidak bisa melakukan perjala-nan ke desa itu, saya tidak tahu apakah kakak saya itu masih hidup atau tidak,” kata Park. “Saya hanya selalu berpikir bahwa kakak saya tinggal di desa sebelah.” Matanya tampak sembab ketika ia berkata, “Keingi-nan terbesar saya adalah untuk melihat Korea bersatu, bahkan jika untuk itu saya harus meninggalkan desa dengan tangan kosong. Saya benar-benar ingin melihat bangsa Korea bersatu saat saya masih hidup.”

Para penduduk desa mengharapkan perdamaian dan penyatuan Semenanjung Korea lebih dari siapa-pun. Inilah sebabnya mengapa desa mereka dijuluki “Desa Pertama Untuk Menyambut Unifikasi,” selain nama “Desa Kebebasan.” Pada tanggal 15 Januari, hari perayaan tradisional pada kalender lunar, setiap tahun, penduduk desa Daeseong-dong menantikan saat untuk bisa mengundang warga Kijong-dong di Utara untuk mengadakan festival, termasuk bermain per-mainan tradisional seperti “permainan yut“ dan men-gadakan kontes menyanyi.

Pesta ini dihadiri oleh sekitar 300 orang, ter-masuk Gubernur Gyeonggi, seorang anggota parlemen, wali kota Paju, dan staf dari keduta-an dari lima negara yang berpartisipasi dalam Perang Korea, serta warga desa.

Karena jaraknya yang dekat dengan Pan-munjom, pejabat asing juga memberi per-hatian khusus pada desa ini setiap kali mer-eka mengunjungi daerah garis perbatasan. Pada bulan Maret tahun 1993, Kanselir Jer-man Helmut Kohl, yang menangani penyatuan Jerman, mengunjungi Panmunjom dan desa Daeseong-dong. Ketika mengunjungi Panmun-jom pada bulan Juli 2010, Menteri Pertahanan AS Robert Gates bertanya apakah dua Korea masih bersaing untuk menaikkan bendera mereka lebih tinggi, sambil menunjuk pada bendera terbang di Daeseong-dong dan Kijong-dong.

Setiap kali ketegangan meningkat antara kedua Korea, penduduk desa harus menahan

2

3

Page 50: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

48 Koreana Musim Gugur 2015

Budaya minum mampu mendekat-kan orang. Tapi, bisakah mendekat-kan dua budaya? Yukari Muraoka

percaya itu. Pakar kuliner yang pindah dari Kobe, Jepang, ke Seoul pada tahun 2010 ini adalah seorang pakar makgeolli (arak beras mentah) dan jenis arak tradisional Korea lain yang mumpuni, baik di Korea maupun di Jepang. Dia mendirikan aso-siasi penyuka makgeolli yang punya ang-gota sebanyak 1.200 orang di Jepang, dan di Korea ia mendapatkan penghargaan dari Menteri Agrikultur, Makanan and Pede-saan karena usahanya mempromosikan budaya minum Korea.

Pakar KulinerMinat Muraoka dalam hal makanan

dimulai sejak masa anak-anak. “Ibu saya seorang juru masak handal, jadi sejak kecil, saya sudah suka memasak,” katanya. “Ketika duduk di kelas satu, ibu saya mem-beri pisau untuk saya berlatih. Tapi, ia tidak mengajarkan bagaimana mengguna-kannya. Ia menyuruh saya berdiri di sebe-lahnya dan melihat, dan kemudian saya melakukannya sendiri.”

Ketika beranjak dewasa, minat Murao-ka akan makanan bercita rasa tinggi juga meningkat. Pada waktu yang sama, ia ting-gal di wilayah yang sangat dikenal dengan pembuatan sake. “Wilayah Kobe tempat saya tumbuh punya air yang sangat jernih. Air ini diberi nama dalam bahasa Jepang: ‘Miyamizu’ (secara harfiah artinya “air surga”). Sake yang dibuat dari Miyamizu adalah yang terbaik di Jepang, jadi saya sudah mengenal alkohol dan bagaimana minuman ini dibuat sejak saya masih san-gat kecil.”

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Muraoka terlibat dalam bisnis, dan meng-habiskan lima tahun di Kanada bekerja pada perusahaan kayu. Pada usia 30 tahun ia memutuskan mengejar mimpinya men-jadi pakar kuliner.

“Pada saat itu saya secara khusus tertarik pada kaitan antara alkohol dan makanan. Saya juga menyadari bahwa alkohol dari setiap negara akan terasa nikmat jika dipasangkan dengan hidang-an lokal. Kemudian saya mulai meng- adakan kelas memasak, dan hidangan yang saya ajarkan di Jepang adalah hidangan 1

Yukari Muraoka tahu benar cita

rasa Korea. Sebagai seorang

warga negara Jepang pertama

yang dianugrahi gelar Penyaji

Minuman Tradisional, ia belajar,

mencicipi, dan menikmati beragam

variasi makgeolli, soju, anggur

pengobatan, dan anggur dari buah

yang merupakan warisan minuman

beralkohol Korea. Dengan minatnya

pada makanan dan minuman,

dan kepercayaan yang kuat pada

pertukaran budaya, ia berusaha

keras memperkenalkan sensasi rasa

baru kepada orang-orang Korea dan

non-Korea.

TerpikaT CiTa rasa Budaya

Yukari MuraokaJATUH CINTA PADA KOREA

Darcy PaquetPenulis LepasShim Byung-wooFotografer

Page 51: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 49

1 Pada Sool Gallery di Insa-dong, Seoul, di mana sommelier (peracik dan penyaji minuman keras/ anggur) tradisional Korea Yukari Muraoka bekerja, minuman keras regional Korea yang terpenting terpajang. Searah jarum jam dari atas: Igangju, anggur beras halus yang mengandung pir dan jus jahe, dari Gyeongju; Anggur Apel Chusa dari Asan Provinsi Chungcheong Selatan; Soju Andong; dan minuman keras pakis dari Pulau Jeju.

2 Yukari Muraoka, yang dibe-sarkan di sebuah desa di Kobe yang dikenal sebagai tempat penyulingan, memiliki kecin-taan yang khusus terhadap minuman keras tradisional Korea. Dia datang ke Korea untuk belajar minuman keras dan makanan tradisional serta pada 2014 menerima sertifikasi sebagai sommelier minuman keras tradisional Korea. 2

Page 52: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

50 Koreana Musim Gugur 2015

pendamping untuk alkohol [anju],” kata-nya.

Pesona Minuman Tradisional KoreaSeperti halnya orang-orang di Asia dan

di dunia, Muraoka terpikat pada drama TV Korea “Dae Jang Geum” (“Permata di Ista-na”) ketika pertama kali ditayangkan pada tahun 2004. Drama ini berkisah tentang seorang perempuan muda yang menjadi juru masak di istana kerajaan, dan kemu-dian menjadi dokter perempuan pertama yang melayani raja. Ini adalah kaitan antara makanan dan pengobatan yang menarik perhatian Muraoka.

“Dalam bahasa Korea ada frasa ‘yaksik dongwon’ atau ‘uisik dongwon’ yang arti-nya makanan dan minuman yang tepat bisa menjadi obat dan mencegah sakit. Pola pikir ini direfleksikaan bukan hanya dalam kuliner Korea tapi juga dalam alkohol tradisional,” katanya. “Yang paling menge-sankan adalah dalam alkohol Korea ada bahan-bahan yang sehat buat Anda.”

Minat Muraoka pada Korea terus tum-buh. Sementara itu, makgeolli mulai berkembang di negara asalnya, seja-lan dengan melejitnya budaya pop Korea. “Banyak orang di Jepang makin menyu-kai makgeolli,” katanya. “Awalnya, mer-eka minum makgeolli yang diimpor, tapi setelah menikmatinya di Korea mereka pikir rasanya akan lebih enak jika dikon-sumsi dalam keadaan segar.”

Salah satu pesona makgeolli adalah rasanya berubah sejak saat dibuat, berkat proses fermentasi dan banyaknya bakteri asam di dalamnya. Secara umum minum-an ini memiliki rasa paling enak jika dikon-sumsi tiga hari setelah dibuat. “Ada penik-mat makgeolli di Jepang yang rela terbang ke Korea setiap bulan karena jarak kedua negara ini sangat dekat. Dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak orang yang mulai membuat makgeolli di Jepang — baik warga Korea maupun Jepang,” kata Muraoka.

Kehidupan Baru di KoreaPada tahun 2010, Muraoka memutus-

kan pindah ke Korea untuk mendalami minuman dan kuliner tradisional Korea. Karena menyadari pentingnya kemampuan berbahasa, ia mengikuti kursus bahasa Korea selama dua tahun di Sogang Univer-sity. Di waktu luangnya ia juga memperluas wawasan dalam minuman tradisional.

Bersamaan dengan waktu ia lulus pada tahun 2012, lonjakan minat akan makge-olli juga dikembangkan di wilayah Hong-dae di Seoul, dekat dengan universitasnya. “Biasanya, bar makgeolli dirancang dalam gaya tradisional. Tapi pada saat itu begitu muncul bar makgeolli dengan gaya baru, langsung populer di kalangan mahasiswa,” katanya. “Akan sangat bagus jika ledakan itu berlanjut, kini bir tradisional menjadi barang baru di antara kaum muda.” Hal ini justru menaikkan profil makgeolli di antara pelanggan muda.

Tahun-tahun berikutnya adalah tahun sibuk bagi Muraoka. Pada tahun 2013, ia meluncurkan Global U Co., Ltd., sebuah perusahaan konsultan bisnis yang menjadi sumber penghasilan utamanya. Ia terus

mengejar mimpinya dan pada tahun 2014 ia mengikuti kompetisi untuk meraih gelar Traditional Liquor Sommelier. Setelah mengikuti tes tertulis mengenai minuman tradisional Korea, kualitas ilmiah alkohol, dan beragam variasi berbeda, ia berhasil melaju ke tahap berikutnya.

“Beberapa warga asing, dan bah-kan warga Korea sendiri, berpikir bahwa makgeolli hanya nama lain dari minum-an tradisional Korea. Ada empat jenis minuman tradisional Korea: yakju [arak beras mentah atau arak khusus peng-obatan], soju, makgeolli , dan anggur yang dibuat dari buah,” jelasnya. “Ujian-nya meliputi semua tipe minuman tradisi-onal, dengan blind tasting dan menceri-takan kisah minuman itu, di mana Anda harus mendeskripsikan sejarah dan latar belakang minuman itu kepada para juri.”

Dengan kategori berbeda untuk warga Korea dan warga asing, ujian itu sangat berat. “Saya sangat gugup selama ujian, dan saya hampir tidak bisa mengingat-nya,” kata Muraoka. Tapi, ia berhasil men-jadi warga Jepang pertama yang mendapat gelar Traditional Liquor Sommelier.

Penghargaan ini menyebabkan makin banyak orang yang memperhatikan usaha Muraoka, termasuk Lee Dong-phil, men-teri Agrikultur, Makanan dan Pedesaan, yang memberikan Sertifikat Komendasi kepadanya pada bulan November 2014. Bulan Februari berikutnya ia direkrut oleh Sool Gallery (juga dikenal dengan Jeon-tongju Gallery) di Insa-dong untuk mem-bantu mengelola program pendidikan dan pusat bisnisnya.

“Warga Korea belajar mengenai minum-an tradisional dari orang asing yang bicara bahasa Korea dengan logat khususnya,” katanya saambil tersenyum. “Mungkin mereka merasa malu tidak tahu mengenai budaya minum mereka sendiri, jadi mer-eka belajar lebih keras.”

Minuman Tradisional Korea sebagai Sebuah Pengalaman

Terdapat lebih dari 1.000 jenis makge-olli di Korea, dan tak terhitung jenis yakju,

1 Bermacam-macam bulir seperti beras putih, beras ketan, barley, millet dan Job’s Tears digunakan untuk membuat minuman keras tradisional Korea. Bulir-bulir dikukus, dicampur dengan malt, dan fermentasi.

2 Mencicipi anggur di Sool Gallery.

1

Page 53: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 51

soju, dan anggur. Ketika ditanya apa minu-man favoritnya, Muraoka hanya tersenyum. “Mereka sering bertanya mengenai alko-hol tradisional Korea favorit saya, tapi jujur saya tidak punya. Alkohol memiliki rasa berbeda setiap kali Anda meminumnya.”

“Paling nikmat adalah minum alkohol di tempat produksinya, dan memasangkan-nya dengan makanan tradisional wilayah itu,” katanya. “Dengan begitu Anda menik-mati pengalaman minum sepenuhnya.” Ia mengatakan bahwa segala sesuatu ber-peran dalam dalam pengalaman kuliner, bahkan suasana hati, atau cuaca. “Jika air yang dipakai untuk membuat alkohol itu dipakai untuk menyiram tanaman sa-yuran dan tanaman pangan lain, Anda akan merasakan perbedaannya.”

Ia ingat satu pengalaman yang sangat berkesan: “Ada makgeolli tradisional yang dibuat oleh seorang laki-laki bernama Song Myeong-seop. Minuman ini dibuat dari beras dan barley tanpa aspartam atau pemanis sama sekali. Namanya ‘Makge-olli yang dibuat khusus oleh Song Myeong-

seop.’ Bahkan pengemasannya sangat sederhana dan langsung, sama seperti minuman itu sendiri.”

Setelah sekian tahun, Muraoka sudah mengunjungi banyak tempat pembuatan dan penyulingan alkohol. “Dalam hal minum-an tradisional Korea, saya pikir teknik dan peralatan kurang begitu penting. Me-reka yang memiliki minat terbesar terha-dap detil minuman tahu minuman dengan kualitas terbaik. Anda dapat merasakan-nya dalam antusiasme mereka ketika bicara tentang alkohol dan makanan, dan cara mereka berbincang dengan Anda dan meminta Anda mencoba minuman yang berbeda. Setelah mendengarkan kisah mereka mengenai alkohol yang mereka buat, Anda akan lebih menghargai rasa-nya.”

Ia mencatat dengan optimis bahwa bukan hanya generasi tua yang tertarik dalam hal pembuatan minuman tradisio-nal. “Ada beberapa kaum muda yang sa-ngat berbakat, yang meneruskan tradisi ini. Ini sesuatu yang positif.”

Jembatan AntarbudayaAlkohol kadang-kadang digambar-

kan sebagai sesuatu yang mendekatkan hubungan antarmanusia. Muraoka me-ngatakan, “Seorang pembuat minuman tradisional pernah mengatakan kepada saya ‘Ketika Anda sedih, alkohol adalah teman yang akan menemani Anda duduk dalam sunyi dan berbagi kesedihan Anda. Dan ketika Anda bahagia, ia akan me-nemani dan ikut merayakan kebahagiaan itu.’”

Namun bukan hanya kecintaan ter-hadap alkohol yang menggerakkan hati Muraoka. “Ketika saya masih muda, saya punya mimpi berperan sebagai jembatan antar-budaya,” katanya. “Dalam hubung-an antara Korea dan Jepang ada banyak masa sulit, dan saya tentu tak bisa menye-lesaikannya sendiri. Jika saya bisa berper-an dalam mendekatkan mereka melalui kecintaan pada minuman tradisional, saya merasa telah berkontribusi secara posi-tif.”

2

Page 54: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

52 Koreana Musim Gugur 2015

Novel Hwang Sok-yong terkuat “Putri Bari” (2007) dipersembahkan untuk pembaca dalam bahasa Inggris tahun ini, membawa mitos klasik ke dunia modern. Protagonis, Bari, berbagi banyak kesamaan dengan mitos sejenisnya. Dia juga dilahirkan sebagai putri ketu-juh untuk seorang ayah yang ingin seorang putra, dan ditinggalkan dan dibiarkan mati. Seperti putri, dia melakukan perjalanan yang melelahkan. Perjalanan pahlawan modern kita, meskipun, melihat dirinya lari dari tanah airnya yang dipenuhi kelaparan Korea Utara, menyeberangi Sungai Tumen ke China, dan kemudian melintasi lautan, lalu dia diselun-dupkan ke Inggris, di mana ia berharap untuk menciptakan kehidupan baru bagi dirinya sendiri dalam tanah baru.

Namun selama perjalanannya, Bari tidak pernah benar-benar sendirian, dan kita meli-hat bahwa dia hanya merupakan salah satu dari banyak orang yang menderita. Sebagai salah seorang yang memiliki “talenta” perdukunan untuk melihat dan berkomunikasi de-ngan roh-roh orang mati, beban Bari tumbuh lebih berat saat ia bepergian. Orang mati di sekitarnya tersiksa dan sakit, mereka bertanya: Mengapa kami harus menderita? Tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan ini, tentu saja, sebab orang menderita dapat kare-na berbagai alasan yang berbeda: perang, eksploitasi, kemiskinan, fanatisme agama. Tapi pencarian Bari untuk menemukan jawaban merupakan bagian integral dari perjalanannya maju ke depan untuk berdamai dengan pengalamannya sendiri.

Untuk mencapai tujuan itu, Bari berjalan melalui neraka, baik secara kiasan dan harfi-ah. Perjalanannya di kapal penyelundup meruapakan neraka dalam arti kiasan, sementara perjalanan spiritnya sebagai dukun ia harus menyeberangi neraka itu sendiri. Apakah ne-raka ini adalah kiasan atau literal, pesan dari buku ini sangatlah jelas: Neraka itu kita buat sendiri, dan dengan demikian hanya kita yang dapat membawa perdamaian jiwa yang ter-siksa dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk hidup.

“Putri Bari,” meskipun tidak berada pada jejak waktu dekat, terletak tegas di beberapa dekade terakhir dari sejarah modern. Kelaparan yang menyerang Korea Utara di masa Bari merupakan “Maret Kelabu” sejak pertengahan hingga akhir tahun 90-an. Dan cerita berakhir dengan insiden yang masih segar di benak masyarakat ketika buku ini diterbitkan - pemboman London 7 Juli 2005. Ini memang sebuah karya fiksi, dan episode perdukunan tentu saja fantasi, tapi novel mengungkapkan gambaran mencolok realitas secara akurat.

Meskipun sekarang sudah delapan tahun sejak buku ini pertama kali diterbitkan, cerita ini masih relevan dengan keadaan sekarang dan akan datang. Dalam buku tersebut, kita melihat perjuangan pengungsi ekonomi mencari kehidupan yang lebih baik di Inggris; hari ini, krisis migran di Eropa lebih buruk dari sebelumnya. Bari menceritakan kepada pemba-ca bagaimana migran mempertaruhkan hidup mereka dengan menumpang kereta melaju melalui Terowongan Channel; pada saat penulisan, berita ribu migran menyerbu terowo-ngan di Perancis untuk mencapai Inggris menjadi berita utama.

Bari tidak menyertakan kembali jawaban, tetapi pembaca tidak mungkin puas de-ngan tanpa kata akhir pada persoalan. Tidak ada kesimpulan jelas untuk kisah itu, dan dengan demikian pembaca mendapat kesan bahwa novel ini bukan cerita linear tetapi kisah siklus - cerita yang melampaui Bari dan menjadi pengalaman yang dibagi kepada banyak orang. Dengan mencampur mitos dan realitas dalam kisah seorang gadis muda yang menyak-sikan begitu banyak penderitaan dan perjuangan untuk mengalami itu semua, Hwang memegang cermin dan meminta kita untuk melihat ke dalam diri kita sendiri. Ketika cerita Bari menjadi milik kita, tidak mungkin tanpa perubahan dengan semua yang telah terjadi.

BUKU &

Lainn

ya

Charles La ShureProfesor, Jurusan B

ahasa dan Sastra K

orea, Seoul N

ational University

Lee Woo-young

Wartaw

an, The Korea H

erald

sebuah Kisah Hantu Paduan Mitos dan realitas“Putri Bari” Oleh Hwang Sok-yong, Diterjemahkan oleh Sora Kim-Russell, 304 halaman, £ 9,99, UK: Periscope Books (2015)

Page 55: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 53

Salah satu novel yang merepresentasikan karya penulis Yi Mun-gu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 2013 sebagai bagian dari proyek untuk penerbitan edisi bahasa Inggris dari sastra modern Korea. Buku tersebut, aslinya diterbitkan pada tahun 1991, merupakan salah satu novel klasik modern yang harus dibaca di Korea, terdaftar pada daftar bacaan sekolah tinggi.

Novel ini mengambil memakai pendekatan sarkastik, menertawakan kesombongan dan keegoisan orang yang disajikan dalam narasi modernisasi. Cerita ini memakai narasi orang-pertama protagonis yang bernama Yuja, yang bekerja sebagai sopir pribadi seorang ketua sebuah kelompok besar.

Novel ini melukiskan hubungan yang menarik antara ketua dan Yuja di atas kawanan ikan mas yang indah. Ketua membawa sekelompok ikan mas berwarna-warni ikan mas dan meminta stafnya membuat kolam semen buatan di halaman di rumahnya. Tidak lama setelah ikan memperoleh rumah baru mereka, mereka mati karena racun yang berasal dari semen.

Suki Kim wartawan berdarah Korea-Amerika, seorang nov-elis pemeroleh penghargaan, berwisata ke Korea Utara pada tahun 2011 dan tinggal sedikit lebih lama dibandingkan den-gan kebiasaan turis Barat - ia mengunjungi negara yang pal-ing tertutup di dunia untuk mengajar Bahasa Inggris di univer-sitas.

“Tanpa Anda, Kami pun Tiada” katanya. waktunya dihabis-kan untuk mengajar siswa di Universitas Sains dan Teknologi Pyongyang, yang dijalan-kan oleh para pewarta injil misionaris Kristen.

Dengan menyamar sebagai seorang misionaris Kristen, Kim menghabiskan dua semester mengajar anak-anak elit di Korea Utara. Pada saat yang bersamaan, dia terus menulis catatan harian dan jurnal dan menyimpannya dalam sebuah file USB, yang ia dilakukan kapanpun dan dimanapun dia pergi. Berdasarkan catatan, dia menu-lis memoar yang mengungkapkan sekilas hidup yang asing di Korea Utara sekembalin-ya ke AS

Dia membagikan aspek baik dan buruk ketika hidup dan mengajar mahasiswa di Pyongyang. Dia mengembangkan kasih sayang terhadap murid-muridnya melalui ber-bagai kegiatan sekolah dengan cara mengamati kemurnian mereka yang tidak dijumpai pada siapa pun pada usia yang sama di AS Tapi dia juga berjuang untuk hidup di bawah pengawasan ketat para pengawal Korea Utara dan beberapa muridnya.

Arsip Film Korea merupakan per-pustakaan film yang menyimpan materi yang terkait dengan mulai dari film, ske-nario, poster, foto dan referensi serta DVD. Orang yang mencari informasi tentang film Korea yang dirilis di masa lalu pertama-tama dapat mengunjungi website. Pengun-jung dapat mencari informasi mengenai 3.500 film dan menonton lebih dari 300 film klasik Korea.

“Kami mengumpulkan segala sesuatu dalam kategori bahan gambar bergerak, termasuk film, bahan video, bahan gambar dan skenario,” tulis situs tersebut.

Arsip tersebut berfungsi sebagai one-stop point untuk mahasiswa film, sutrada-ra, peneliti dan organisasi media dan memiliki informasi banyak sesuai dengan yang mereka butuhkan mengenai film Korea, aktor dan aktris serta sejarahnya.

Website ini merupakan arsip film yang lengkap. Beberapa film klasik utama yang tersedia dapat dilihat secara gratis, ter-masuk “Chunhyang” karya sutradara Im Kwon-taek. Pecinta film Korea juga dapat mencari sinopsis dan informasi pemeran pada setiap film Korea dalam data base yang terletak pada setiap kategori genre film yang berbeda dan tahun dirilis.

Website ini juga menjadi panduan yang berguna untuk para penggemar sinema Korea. Menyajikan daftar top 100 film Korea dan 50 film indie, dan jawaban ter-hadap pertanyaan terkait film tersebut.

Harta Karun dari Film Korea

Penggambaran Lucu dan sarkastik Modernisasi Korea“Sebuah Biografi Singkat Yuja” oleh Yi Mun-gu, diterjemahkan oleh Jamie Chang, 172 halaman, Seoul: Asia Publishers

http://www.kmdb.or.kr/eng/

“ Tanpa Anda, Kami Pun tiada: Hari-hariku Bersama Anak Lelaki Elite Korea Utara”

oleh Suki Kim, 304 halaman, $15, UK: Penguin Random House

sekilas Hidup nan asing di Korea utara

Page 56: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

54 Koreana Musim Gugur 2015

Perkembangan dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Korea Selatan adalah salah satu contoh negara yang telah berhasil memanfaatkan IPTEK untuk mense-

jahterakan rakyatnya. Salah satu indikatornya terlihat dari pendapatan per kapita (GDP) Korea yang mencapai US$ 35.000 atau sekitar sepuluh kali lipat GDP Indonesia.

Banyak perusahan-perusahaan raksasa dunia berasal dari Korea. Sebut saja Sam-sung, yang memiliki ratusan lini usaha mulai dari elektronik hingga asuransi, Hyundai dengan produk mobilnya dan LG dengan andalan berbagai produk perabot rumah tangga-nya. Semua perusahan ini mengandalkan inovasi sebagai jantung kemajuan perusahaan sehingga bisa bersaing di era globalisasi dewasa ini.

Sebuah pepatah bijak mengatakan, tidak akan ada inovasi tanpa dimulai dengan sebuah riset. Paul D. Leedy dalam bukunya Practical Research: Planning and Design mendefinisi-kan riset sebagai sebuah proses yang tersusun secara sistematis meliputi pengumpulan data dan analisis data/informasi dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan menge-nai fenomena yang menjadi perhatian atau yang sedang diamati.

Ada banyak faktor yang menunjang keberhasilan riset pada suatu negara, diantaranya mencakup infrastruktur, aspek regulasi, legalitas, finansial dan budaya. Kelimanya penting dan saling berhubungan. Namun pada tulisan ini, saya ingin membahas pada hal yang pal-ing mendasar, yaitu aspek budaya.

Semangat budaya meneliti masyarakat Korea bahkan sudah ditanamkan sejak usia dini. Paling tidak, saya bisa melihatnya dari program ekstrakurikuler putra saya yang saat ini sekolah di tingkat SD kelas 1. Misalnya, ada program ekstrakulikuler robotik, komputer, dan percobaan ilmiah (science). Pada semester pertama, anak saya memilih robotik seba-gai ekstrakulirkulernya. Setiap siswa yang mengikuti program ini diberikan seperangkat robot yang bisa dibongkar-pasang. Ada mur, baut, roda, baterai, kabel, konektor dan buku panduan yang berisi langkah-langkah pembuatan robot dari level mudah hingga tersulit.

Belajar MeMBangun Budaya riset sejak dini di korea selatanChairul HudayaKandidat Ph.D di Korea Institute of Science and Technology (KIST) dan Dosen di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

ESAI

Page 57: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 55

Dengan berbekal material dan buku panduan serta bimbingan guru pendamping, setiap siswa dituntut untuk terus belajar mencoba (experiment), mencari tahu sebab sebuah per-masalahan dan mendapatkan solusinya. Itulah inti dari sebuah riset untuk lingkup anak-anak.

Meskipun program ekstrakurikuler ini bersifat pilihan dan memerlukan biaya untuk mengikutinya, namun saya memperkirakan hampir seluruh orang tua mendaftarkan anaknya untuk mengikuti salah satu kegiatan yang diminati. Jadi, dukungan orang tua untuk kemajuan anak juga berperan penting disini. Kegiatan ekstrakurikuler dikemas de-ngan cara menyenangkan sehingga menarik dan tidak membosankan bagi anak-anak.

Jika pada tataran SD saja sudah diajarkan budaya meneliti demikian hebatnya, bisa dibayangkan bagaimana pada level yang lebih tinggi seperti SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Maka tak heran menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), Korea Selatan menduduki peringkat pertama penghasil paten per GDP terbesar pada tahun 2013, disusul oleh Jepang, China dan Jerman.

Karena menyadari betul bahwa IPTEK akan membawa kemajuan bagi bangsanya, Korea Selatan telah banyak mengeluarkan dana untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development, R&D). Laporan yang dirilis oleh Morgan Stanley Research menyebutkan bahwa pada tahun 2013 Korea menginvestasikan KRW 60 triliun atau setara dengan Rp 720 triliun (1 KRW = 12 IDR) untuk keperluan R&D. Nilai ini kurang lebih sama dengan sepertiga APBN 2015 Indonesia. Sementara investasi Indonesia untuk R&D hanya bernilai US$ 0.72 milyar atau setara Rp 10.1 triliun.

Kekurangan anggaran atau pendanaan dan insfrastruktur sering menjadi alasan klasik dari tidak berkembangnya sebuah riset di Indonesia. Namun menurut pandangan saya hal itu bukan segalanya. Jika riset sudah menjadi suatu budaya, mengakar, mendarah-daging dan tertanam sejak usia dini, saya percaya bahwa Indonesia kedepan akan menjadi negara maju secara ekonomi yang didukung oleh penguasaan IPTEK.

Page 58: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

56 Koreana Musim Gugur 2015

Jeoneo

Jeoneo, kelezatan musim gugur, bisa sangat lezat jika dipanggang. Ketika suhu musim gugur jatuh dengan angin dingin di pagi dan sore hari, jeoneo mengandung lebih banyak lemak dan rasa yang lebih baik, lebih penuh rasa, dan lebih gurih.

KENIKMATAN GOURMET

MENINGKAT RASA GURIHNYA KETIKA PADI SIAP PANEN

Park Chan-ilKoki dan Kolomnis MakananAhn Hong-beomFotografer

Page 59: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 57

Kehadiran musim gugur di Korea menandai musim untuk menikmati jeoneo, atau gizzard shad (sejenis ikan kecil), menciptakan banyak harapan. Media massa juga berkontribusi terhadap histeria ini karena mereka memuji-muji jeoneo sebagai “rasa musim.” Di Korea, di mana orang bisa menikmati ikan sepanjang setiap

musim, jarang terjadi histeria massa seperti terjadi terhadap ikan tertentu. Sejak zaman dulu orang di seluruh semenanjung Korea sangat menggemari makan ikan-ikan seperti yellow croaker, makarel, saury, herring, pollack, dan cumi-cumi. Kegilaan terhadap jeoneo tampaknya sebagian dipengaruhi oleh publikasi media. Setiap musim gugur, para wisatawan dan keluarganya hanyut dalam perasaan mengalami suasana pedesaan berbondong-bon-dong keluar dari kota untuk memenuhi festival jeoneo di pantai selatan dan barat, untuk menikmati musim ikan dari sumbernya.

Rahasia Keranjingan Seluruh NegeriMeskipun Korea adalah semenanjung, yang dikelilingi oleh laut di tiga sisi, pasokan ikan musiman dari dae-

rah pesisir ke daerah pedalaman merupakan tantangan besar. Misalnya, ikan kod dan brown croaker merupakan makanan lezat musiman musim panas, tapi ikan ini tidak tersedia di daerah pedalaman, termasuk Seoul, di masa lalu. Sebaliknya, popularitas jeoneo telah menyebar di seluruh negeri, termasuk kota-kota besar, meskipun ikan tersebut hanya ditemukan terutama hanya pada musim gugur. Hal itu disebabkan karena harga ikan itu murah dan cara masaknya pun mudah. Terutama, ikan itu sangat cocok dengan selera makan orang Korea yang menggemari makan ikan dengan mentah, dan juga memiliki rasa gurih dan lezat jika dipanggang. Selain itu, sorotan media akhir-akhir ini telah meningkatkan histeria masyarakat terhadap ikan tersebut.

Jeoneo, kebanyakannya lebih kecil daripada telapak tangan orang dewasa, kadang-kadang ada yang jauh lebih kecil atau agak lebih besar daripadanya. Pada awal musim gugur ikan itu menjadi bertambah enak dan banyak ditangkap. Pada saat padi menguning di sawah, sebuah masa yang bernama ‘masa jeoneo’ datang. Ikan itu akan segera mati setelah ditangkap, maka sangat sulit untuk dimakan dengan mentah di kota-kota pada zaman dulu. Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan pengangkutan ikan yang masih hidup dan keberhasilan industri budaya maritim pada tahun 2000-an yang meningkatkan penyediaannya, sekarang orang-orang dapat menikmati jeoneo mentah di mana-mana. Juga, penduduk kota dari daerah pesisir selatan, yang dibesarkan dengan makan ikan, membantu menyebarkan popularitasnya di seluruh negeri.

Sekarang ini, jeoneo yang dijual di pasar merupakan hasil budidaya untuk memenuhi kenaikan konsumsi. Panjang jeoneo yang ditangkap di laut lepas adalah sekitar 15 sentimeter dengan punggung berwarna emas, sedangkan jeo-neo hasil peternakan adalah sedikit lebih kecil dan memiliki punggung berwarna kebiruan. Namun, sulit membeda-kan mereka dari soal rasa. Jeoneo sebagian besar ditangkap dari perairan lepas pantai yang berlumpur. Hari-hari ini, karena perubahan suhu air, mereka juga tertangkap di Laut Timur, tetapi kebanyakan ikan itu ditemukan di sepan-jang daerah di mana Laut Barat dan Selatan bertemu.

Jeoneo dikenal sebagai “ikan musim gugur” di antara masyarakat Korea, tetapi muncul di pasar pada akhir musim panas dan tersedia sepanjang musim gugur. Pada awal November, ketika tulangnya yang kecil menjadi lebih

Jeoneo, yang terkenal dengan rasa gurih dan lezat, merupakan ikan yang dapat dinikmati baik secara mentah maupun

secara dipanggang. Menurut Seo Yu-gu (1764-1845), seorang sarjana Silhak selama zaman kerajaan Joseon, ikan

tersebut diberi nama jeoneo yang berarti money fish atau ‘ikan uang’ karena digemari seluruh lapisan sosial dan dibeli

orang tanpa mempersoalkan harga. Oleh karena ikan itu cepat mati setelah ditangkap, maka pada zaman dulu sangat

sulit mendistribusikan jeoneo ke seluruh negara. Namun dengan perkembangan transportasi dan industri budaya

maritim, pada zaman sekarang ikan itu dapat menarik selera makan orang Korea bahkan menimbulkan demam jeoneo

ketika musim gugur tiba.

MENINGKAT RASA GURIHNYA KETIKA PADI SIAP PANEN

Page 60: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

58 Koreana Musim Gugur 2015

keras, permintaan jeoneo akan merosot. Hal itu tergantung pada daerah produksi sebab puncak musim bervariasi. Jeoneo dari daerah pesisir tenggara sangat sempurna dimakan mentah dari pertengahan Agustus hingga awal Sep-tember, sementara jeoneo dari pantai barat sangat cocok untuk dipanggang pada bulan Oktober.

Resep FavoritJeoneo yang ditangkap pada akhir musim panas dan awal musim gugur sangat ideal untuk dimakan mentah. Hal

ini karena air laut masih hangat sehingga kandungan lemak lebih rendah. Pada saat itu, rasa jeoneo segar ringan, sedangkan tulang sangat lembut untuk dimakan mentah, termasuk tulang punggung. Jeoneo mentah yang dimakan setelah dicelup ke dalam saus kedelai, bersama-sama dengan daun perilla, cabai hijau, bawang putih, dan sayuran lainnya, atau dapat dicampur dengan berbagai sayuran dan sambal lada dengan cuka, disebut sekkosi. Di sebelah barat daya provinsi Jeolla, ditambahkan wiji wijen agar terasa lebih gurih. Ketika angin dingin mulai bertiup di pagi dan sore hari, Jeoneo dewasa, lebih cocok untuk dipanggang, berkelimpahan ditangkap.

Jeoneo mengandung asam lemak tak jenuh dan sebagian besar memiliki EPA (eicosapentaenoic acid) tingkat tinggi, yang membantu untuk mencegah penyakit yang berkaitan dengan usia. Pada musim gugur, kandungan asam lemak meningkat tiga kali lipat, yang meningkatkan pula rasa gurihnya. Jeoneo yang cocok untuk dipanggang disebut ddeokjeoneo, secara harfiah “roti gizzard shad.” Jenis jeoneo, yang tertangkap terutama di laut lepas Busan dan Jin-hae, lebih besar dan datar daripada kebanyakan yang dikenal.

“Kepala jeoneo sama berharganya dengan sekeranjang biji wijen.” “Menantu perempuan yang meninggalkan rumah mertua kembali jika dia mencium aroma jeoneo yang sedang dipanggang.” Ini ucapan Korea kuno untuk menunjukkan betapa luar biasanya rasa ikan itu. Pepatah lain yang populer, “Jeoneo akan sembunyi-sembunyi dimakan ketika menantu perempuan pergi untuk mengunjungi orang tuanya,” mencerminkan sejauh mana ikan telah banyak dicintai oleh orang-orang biasa. Itu ungkapan kuno yang menegaskan aroma luar biasa jeoneo yang dimasak di atas panggangan serta rasa tak terlupakan dari kelezatan musim gugur ini.

Rasa jeoneo yang mentah bertambah enak jika semakin banyak dikunyah. Terutama, jeoneo yang kecil, yang ditangkap pada awal musim gugur memiliki tekstur garing jika dimakan dengan digunyah bersama tulangnya. Para nelayan di pesisir selatan makan jeoneo kecil yang mentah (biasanya dipanggil sebagai tongmari) dengan taucho atau kimchi di perahu setelah organnya dibuang saat mereka merasa lapar selama berlayar untuk menangkap jeoneo. Jika ikan itu dimakan dengan mentah, bukan hanya rasa tetapi juga teksturnya penting dalam hal menikmatinya.

Adapun cara lain yang menikmati jeoneo membuatnya sebagai jeotgal, masakan laut asin. Jeoneo asin yang dibuat dengan organ di dalamnya merupakan kunci yang memperkaya rasa masakan di daerah selatan di Korea. Seo Yu-gu juga pernah menyebut jeoneo di dalam bukunya yang berjudul Imwon Gyeongjeji (Encyclopedia of an Agricultural Economy), dia menulis bahwa para pedadang membawa jeoneo asin ke Seoul untuk menjualnya. Jeoneo yang berlembak banyak merupakan bahan yang sangat bagus untuk membuat jeotgal, masakan asin. Semoga kita dapat menikmati rasa yang dalam dari jeoneo asin kembali di Seoul!

1

Page 61: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 59

Jeoneo yang ditangkap pada akhir musim panas dan awal musim gugur sangat ideal untuk dimakan dengan mentah, karena air laut masih hangat dan kandungan lemaknya masih rendah. Jeoneo pada periode tersebut mengandung rasa yang segar ringan dan tulangnya pun cukup lembut untuk dimakan dengan mentah bersama tulang belakangnya. sementara itu, jika angin dingin mulai bertiup pada pagi dan sore hari, jeoneo dewasa, berkelimpahan ditangkap, sangat cocok untuk dipanggang.

1 Ikan mentah biasanya dimakan tanpa tulang. Tapi jeoneo merupakan ikan yang dapat dimakan seluruh tulang-nya, termasuk tulang punggung, yang masih lembut di awal musim gugur. Rasa gurih yang terbaik terasa berpadu pasta cabai yang dicampur dengan saus.

2 Ada berbagai cara untuk makan jeoneo. Salah satu yang paling po-puler adalah untuk menggoyangkan bersama-sama potongan-potongan kecil jeoneo segar, berbagai irisan sayuran, termasuk daun wijen, dan saus pasta cabai dan cuka. Rasa asam manis, rasa gurih dari jeoneo, dan tekstur renyah ikan mentah dan sayuran memberikan hidangan yang benar-benar indah.

2

Page 62: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

60 Koreana Musim Gugur 2015

©C

J E&M

©Show

box

©W

arnerbros Korea

Di Korea, 10.275.484 orang menonton film Interstellar yang digarap oleh Christopher Nolan ini. Jumlah ini adalah ter-banyak ke-13. Di Amerika Serikat saja, film ini mendapatkan

keuntungan dengan pendapatan sebesar 180 juta dollar, sedikit melampaui biaya produksi sebesar 160 juta dollar. Film ini tidak mendatangkan keuntungan di luar Amerika, kecuali di Korea. Con-toh lain adalah film animasi Disney yang berjudul Frozen dengan 10.296.101 penonton, yang merupakan film animasi terbesar yang ditayangkan di Korea. Merchandise yang dijual yaitu baju, main-an dan lagu sound track aslinya terjual sangat laris. Kedua anak perempuan saya bahkan masih suka menyanyikan lagu Let It Go setiap hari Minggu pagi.

Selera Penonton Film KoreaFilm-film laris Hollywood sudah lama dikenal sebagai makanan

cepat saji yang enak tapi tidak bergizi oleh para penontonnya. Kalau hamburger McDonald memang dibuat untuk memuaskan penikmat di seluruh dunia, sulit dijelas-kan mengapa makanan ini secara khusus terke-nal di Korea. Dulu, penonton Korea lebih memi-lih film dengan lokalitas kental terlepas dari kewarganegaraan mereka. Misalnya, banyak

film laris Korea berisi elemen yang sangat lokal dan tidak mudah dipahami di negara lain. Silmido dan Taegukgi: The Brotherhood of War adalah film laris pertama yang berhasil menarik lebih dari 10 juta penonton, dan ketika mereka mendirikan gedung bios-kop pada tahun 2004, tagline yang dipakai adalah “Film laris ala Korea” terdengar sedikit berlebihan untuk film yang menelan ang-garan sebesar 10 juta dolar Amerika. Film ini berhasil dan banyak penonton memberikan sambutan positif. Faktor kunci kesuksesan itu adalah karena warga Korea sangat mencintai negerinya. Latar melodrama Taegukgi di mana dua kakak beradik laki-laki saling menodongkan senjata dalam sebuah negara yang terbagi adalah manifestasi emosi warga Korea. Sama halnya, pasti sangat berat bagi penonton asing memahami mengapa agen rahasia dalam Silmido yang diabaikan oleh pemerintah menumpahkan emosi ketika kehilangan ibunya dengan mengabdi kepada negara.

Sampai dengan paruh akhir tahun 2000, film-film Korea lebih populer di mata penonton Korea dibanding film-film Ameri-

ka. Untuk beberapa lama, film laris Hollywood menghindari kompetisi langsung dengan film-film Korea selama musim

liburan seperti libur musim panas dan hari Natal. Popu-laritas bintang-bintang film Korea Gelombang Korea

(Hallyu) dengan cepat merambah ke Jepang dan

Interstellar dan Frozen adalah dua film Hollywood yang secara khusus diterima di Korea. Film pertama terkait

pendidikan dengan konten ilmiah dan yang kedua sejalan dengan pemikiran penonton Korea karena mengangkat

nilai keluarga mengenai dua kakak beradik yatim piatu. Nilai keluarga dan minat terhadap pendidikan sangat

mempengaruhi pilihan film yang mereka tonton.

Film-film Favorit di Korea

Kim Young-jinKrikus Film dan Profesor, Myongji University

HIBURAN

Page 63: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 61

©2013 D

isney

China yang pada saat itu juga karena pesatnya pertumbuhan indus-tri film Korea. Namun, karena konglomerat yang menciptakan oligo/monopoli dalam industri perfilman mengambil alih investasi, distribusi dan penayangan di gedung bioskop, film-film itu men-jadi lebih terbatas sementara biaya produksi meningkat. Hanya sedikit film Korea yang tersisa, dan film-film Hollywood mendapat-kan tempat lagi. Selama lima tahun terakhir, film Korea tidak mendapatkan kesempatan bersanding dengan film Hollywood dalam musim liburan. Oleh karena itu, sangat menarik melihat apa yang spesial dalam Interstellar dan Frozen yang membuatnya ber-hasil menarik lebih banyak penonton di Korea dibanding di negara-negara lain.

Film Hollywood yang Disukai oleh Penonton KoreaSebagian orang berkelakar mengenai bagaimana Interstellar

menjadi film laris di Korea karena hasrat mereka akan pendidik-an. Latar film adalah tata surya yang terhubung dengan galaksi melalui lubang hitam (wormholes), dan hal ini sangat baru bagi penonton Korea yang tidaak memiliki pengetahuan ilmiah yang luas. Strategi pemasaran yang dilakukan distributor dan siaran pers mereka menciptakan demam terhadap konten ilmiah film ini. Orang tua yang tidak bisa menjawab pertanyaan anak-anak mereka yang bertubi-tubi memilih menonton bersama anak-anak mereka dan berbincang seperti ketika mereka di planetarium. Lubang hitam digambarkan dengan sangat menarik dalam film ini. Luar angkasa ditampilkan dengan sangat memukau diban- ding yang biasa kita lihat dalam film-film dokumenter. Ketika musik sedih yang mengalun sebagai latar belakang adegan itu ber-henti tiba-tiba, kamera menangkap alam semesta dalam extreme-ly long shot, dan ini adalah momen kemenangan bagi canggihnya teknologi film Hollywood.

Penonton Korea juga dekat dengan sentimentalisme film-film keluarga yang menjadi ruh film Interstellar. Seperti halnya Silmido dan Taegukgi, film mega-hit seperti Miracle in Cell No. 7, The Attorney, dan Ode to My Father juga mengangkat emosi yang sama. Warga Korea cepat bereaksi pada orang tua yang berkorban

demi anak-anaknya dan khususnya isak tangis seorang ibu. Dalam Interstellar, Murphy (anak perempuan) yang duduk di sekolah dasar pada saat Cooper (ayah) meninggalkan bumi bertemu de-ngannya pada saat ia menjelang ajal dan terlihat jauh lebih tua dari ayahnya, dan adegan itu membuat penonton Korea menitikkan air mata. Ini adalah momen yang menyentuh hati bahwa teori relativi-tas bahwa waktu berjalan lebih lambat di tempat dengan gravitasi lebih kuat dan hal ini terlihat pada kematian manusia dan meng-ingatkan penonton akan cinta keluarga dan sedihnya kehilangan orang yang dicintai.

Respon fanatik terhadap Frozen dapat ditemukan dalam hal serupa. Film berubah kerangkanya dari putri-putrian menjadi klise dalam film animasi Disney. Awal film seperti dalam Sleeping Beauty, tapi tidak hanya mengenai putri dan pangeran melainkan tentang dua orang putri kakak beradik yang saling mempenga-ruhi satu sama lain, dan belajar menerima dan saling memahami. Gadis-gadis Korea yang duduk di sekolah dasar merasa seolah Elsa adalah adik mereka. Ia menciptakan istana es dan menikmati tinggal sendiri. Mula-mula ia takut kekuatannya membekukan sega-la sesuatu tapi akhirnya bisa menerima dengan catatan possitif dan hal ini menjadi mungkin bukan karena ciuman pangeran tapi karena kasih sayang adiknya Anna. Elsa dan Anna mendapatkan tumbuh setelah orangtua mereka meninggal. Mereka beruntung tak ada pangeran yang menyelamatkan mereka sehingga mereka menjaddi pemilik kehidupannya sendiri.

Film ini mencerminkan keinginan perempuan Korea akan peran gender dalam masyarakat konservatif, kurang menekankan pada hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan tapi lebih kepada kasih sayang antara dua kakak beradik, dan ini mengena di hati warga Korea karena mereka menyukai pendekatan emosi film yang didasarkan pada nilai keluarga. Orang tua pergi ke bios-kop bergandengan tangan dengan anak-anak mereka, dan mereka sangat terhanyut dengan tema film yang berbeda fari cerita peri yang konvensional. Film ini dengan cara cerdas memuaskan fan-tasi orang tua mengenai bagaimana mereka menginginkan anak-anak perempuan mereka menjalani hidup.

Adegan dalam film, dari kiri ke kanan: “Silmido,” “Taegukgi: Persaudaraan dalam Perang,” “Antarbintang,” dan “Beku.”

Page 64: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

62 Koreana Musim Gugur 2015

Banyak orang Korea memulai pagi mereka dengan minum kopi. Banyak yang

berbekal kopi ke tempat kerja dan mendatangi kedai kopi atau menikmati kopi

instan ssetelah makan siang. Di tempat kerja atau di rumah, mereka minum

kopi sekitar pukul 3 atau 4 sore hari. Mereka juga menikmati kopi bersama

teman. Bahkan, mereka biasanya memulai pertemanan dari kedai kopi.

Obsesi Warga Korea dalam Kopi

Kim Yong-subDirektur, Keen-edged Imagination Institute for Trend Insight & Business CreativityShim Byung-wooFotografer

GAYA HIDUP

Page 65: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 63

Menurut survei kesehatan dan gizi yang dilakukan oleh Pusat Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit pada tahun

2013, kopi merupakan minuman unggulan bagi orang-orang dewasa di Korea yang dinikmati setiap minggu. Ternyata, mereka minum kopi sekitar 12,3 kali setiap minggunya, sementara mereka makan nasi tujuh kali dan kimchi 11,8 kali dalam seming-gu. Orang Korea mengonsumsi kopi lebih sering dibanding nasi, makanan pokok mereka, atau kim-chi, makanan tradisional mereka. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa makanan utama orang Korea bukan lagi nasi dan kimchi, melainkan kopi, jika statistik adalah satu-satunya tolok ukur. Apa yang membuat mereka menjadi terobsesi dengan kopi?

Sejarah Budaya Minum Kopi di KoreaSekitar tahun 1890 kopi pertama kali diperke-

nalkan di negara ini. Pada saat itu, mereka menye-butnya “gabi” atau “gabae.” Sebagian menyebut-nya “yangtangguk” (minuman herbal dari Barat) karena rasanya yang pahit. Pada mulanya, kopi merupakan minuman favorit kalangan kerajaan. Menurut catatan sejarah, Raja Gojong (bertakhta tahun 1863-1907) pertama kali mencicipi kopi pada jamuan bersama pejabat Rusia pada tahun 1896. Barista pertama di Korea adalah Antoinette Sontag (1854-1925), seorang perempuan Prancis warga negara Jerman yang menyajikan kopi untuk Raja Gojong. Ia tinggal di Seoul karena ia adalah saudara Menteri Rusia untuk Korea, Karl I. Weber.

Ia mendirikan Sontag Hotel, hotel bergaya Barat pertama di Korea pada tahun 1902 berkat keper-cayaan dan dukungan sang raja. Hotel ini terletak di Jeong-dong, pusat wilayah diplomatik di kota, dan menjadi pusat kegiatan politik dan diplomasi. San-gat mungkin hotel ini kemudian menyajikan kopi. Hotel ini awalnya dipakai sebagai asrama sekolah wanita Ewha Hakdang, dan kemudian dipugar. Kini di tempat itu terdapat sebuah kafe, yaitu di dalam degung Ewha 100th Centenary Hall, yang dekat dengan lokasi hotel sebelumnya. Saya kadang-kadang minum kopi di sana, dan membayangkan seseorang minum kopi di tempat itu sekitar 110 tahun lalu.

“Dabang” pertama di Korea adalah “Kissaten”

(kata dalam bahasa Jepang yang artinya kedai teh) di Stasiun Kereta Namdaemun (sekarang Stasiun Seoul) yang berdiri pada tahun 1909. Pada saat itu, terdapat banyak “dabang” di wilayah itu, karena wilayah itu merupakan tempat tinggal orang-orang Jepang yang terlibat dalam pembangunan jalur kereta Seoul-Sinuiju.

“Dabang” pertama yang didirikan oleh orang Korea adalah “Cacadew,” milik sutradara film Lee Kyung-son (1905-1977) di Gwanhun-dong, Jongno, Seoul, yang mulai dibuka pada tahun 1927. Kedai kopi ini dibuka setelah tahun 1920-an, yaitu setelah kopi menjadi minuman populer di Korea. Kedai kopi makin banyak dibuka di pusat kota, terma-suk Myeong-dong, Chungmuro, dan Jongno. Dan, mulailah mereka banyak mengonsumsi kopi.

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, kaum intele-ktual dan seniman juga membuka “dabang.” “Dabang” lalu menjadi tempat mereka meneri-ma budaya baru dan saling bertemu. Novelis Yi Sang (1910-1937) membuka “Swallow,” sebuah “dabang,” di pintu masuk Cheongjin-dong, Jongno pada tahun 1933 dengan bantuan seorang gisaeng dan teman perempuannya Geumhong. Penulis naskah drama Yu Chi-jin (1905-1974) mendirikan “Platana” di Sogong-dong, dan aktris Bok Hye-sook (1904-1982) memperkenalkan “Venus” di Insa-dong. Kopi yang berawal sebagai minuman favorit kalangan kerajaan, kini mengakar sebagai budaya para intelektual dan seniman. Kopi sebagai sebuah budaya turun dari kalangan atas, dan berubah dari minuman mewah menjadi minuman populer. Dulu, minuman ini sangat mahal. Saat ini banyak orang Korea masih memakainya untuk menjamu tamu di rumah dan kantor.

Kopi Apa yang Anda Minum?Tren kopi di Korea adalah kopi “dabang” pada

tahun 1960-an, kopi instan pada tahun 1970-an, kopi campuran pada tahun 1980-an, kopi kafe pada tahun 1990-an, dan kopi franchise di tahun 2000-an. Sejak awal tahun 2000-an, pola konsumsi kopi menjadi jauh lebih beragam berkat makin ban-yaknya penggunaan mesin kopi drip, espresso, dan kapsul. Sebagian orang menyangrai biji kopi atau membuat drip menggunakan biji kopi yang sudah

Page 66: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

64 Koreana Musim Gugur 2015

disangrai untuk menghasilkan kopi yang lebih nik-mat. Sebagian membeli mesin espresso, dan seba-gian lagi mendalami ilmu kopi dan ingin mendapat-kan izin sebagai barista. Tapi, masih ada juga mer-eka yang tetap menyukai kopi instan. Mesin kopi swalayan masih bisa dijumpai, dan kedai kopi fran-chise multinasional juga masih banyak.

Saat ini, terdapat sekitar 30.000 kedai kopi di seluruh negeri. Kedai kopi ini menarik karena selain kopi, pelanggan bisa menikmati suasana dan tempat yang nyaman. Banyak kedai kopi menye-diakan layanan Wi-Fi gratis. Dengan harga secang-kir kopi, Anda bisa menggunakan kedai kopi se-bagai tempat atau kantor selama beberapa jam. Ini

melahirkan istilah baru dari kalangan mereka yang bekerja di kedai kopi, yaitu “coffice.”

Selain kopi sebagai minuman bercita rasa tinggi, masih ada 40.000 mesin kopi yang tersebar di selu-ruh negeri. Pada tahun 1990-an, kopi dari mesin kopi swalayan ini harganya hanya 100 won saja, sehingga bisa dinikmati kopi hanya dengan uang koin. Mesin kopi masih diminati, meski kini jumlah itu hanya tinggal separuhnya.

Kopi warung, kopi instan, dan kopi kalengan punya pasar lebih besar dibanding kopi yang dijual di kedai kopi. Menurut survei pasar baru-baru ini, pasar kopi instan dan kopi warung bernilai hampir 2,2 triliun won pada tahun 2012, dan kopi di kedai

Kopi bukan minuman biasa bagi banyak orang Korea. Tempat mereka minum kopi juga sangat penting. sejak budaya barat diadopsi di awal abad 20, “dabang” (secara harfiah berarti “kedai teh” atau “kedai kopi”) merupakan tempat bertemu yang sangat nyaman. di seoul saja, terdapat 214 “dabang” setelah gencatan senjata tahun 1953 dan meningkat menjadi 1.041 pada tahun 1960. Mengingat “dabang” tak hanya menyajikan kopi, tapi juga the tradisional seperti “ssanghwatang” (teh herbal), tampaknya banyak orang yang memakai “dabang” sebagai tempat pertemuan dan tempat aktivitas budaya, sambil menikmati minuman baru – kopi.

1 Di sebuah kafe di daerah Hongdae kelas atas di Seoul, aroma pemanggangan kopi naik dari mesin pemanggang. (Hongdae mengacu pada Universitas Hongik). Kafe ini menggunakan mesin tua, memakai metode pemanggangan tradisional. Hal ini mencerminkan keinginan pemilik kafe untuk berbagi aroma kopi. Ia melayani para pelanggan sehingga mereka akan tahu lebih banyak tentang kopi yang mereka minum.

2 Pelanggan berlama-lama minum kopi dan bercakap-cakap di kafe lantai kedua, mengubah fungsi pabrik sepatu yang terbengkelai.

1

Page 67: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

seni & budaya Korea 65

kopi bernilai 1,58 triliun won. Ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang menikmati kopi instan murah setiap hari. Karena kualitasnya, kopi instan Korea juga diminati mereka dari manca ne-gara.

Apa Arti Kopi bagi Orang Korea?Sebagian ahli berpendapat, orang Korea menik-

mati kopi karena efek kafeinnya. Kopi bekerja seba-gai tonik yang membangunkan dan memberi ener-gi bagi orang Korea, yang sering kali bekerja lem-bur, kurang tidur, dan belajar.

Kopi bukan minuman biasa bagi banyak orang Korea. Dan tempat mereka minum kopi juga sa-ngat penting. Sejak budaya Barat diadopsi di awal abad 20, “dabang” (secara harfiah berarti “kedai teh” atau “kedai kopi”) merupakan tempat bertemu yang sangat nyaman. Di Seoul saja, terdapat 214 “dabang” setelah gencatan senjata tahun 1953 dan meningkat menjadi 1.041 pada tahun 1960. Meng-ingat “dabang” tak hanya menyajikan kopi, tapi juga the tradisional seperti “ssanghwatang” (teh herbal), tampaknya banyak orang yang memakai “dabang” sebagai tempat pertemuan dan tempat aktivitas budaya, sambil menikmati minuman baru – kopi.

Menurut catatan sejarah, patriot An Jung-geun (1879-1910) menunggu di sebuah “dabang” di Sta-

siun Kereta Harbin di bagian utara China sebe-lum ia membunuh gubernur jenderal Ito Hirobumi (1841-1909) pada tahun 1909. “Dabang” sering kali disebut sebagai tempat yang berhubungan de-ngan peristiwa politik besar, termasuk gerakan pro-demokrasi, dalam sejarah Korea modern. Ada banyak “dabang” di sekitar universitas-universi-tas pada tahun 1980-an dan 1990-an. Mahasiswa duduk sambil berdiskusi mengenai politik dan cinta dalam asap tebal dan aroma rokok.

Kopi bukan lagi minuman biasa bagi kita. Minum-an ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari yang memberi kita jeda dan waktu untuk romansa dan meditasi. Selama beberapa tahun terakhir, kaum muda tergila-gila pada hidangan penutup yang mahal seperti macaron, coklat, kue dan es krim – bersamaan dengan konsumsi kopi yang makin meningkat. Hidangan penutup yang manis sangat cocok dipadukan dengan kopi.

Sekitar 728 cangkir kopi dikonsumsi oleh orang Korea setiap detik, yang berarti sekitar 22,9 milyar cangkir setahun. Saat ini, orang Korea membuat mesin drip, menikmati kopi, atau berbincang ten-tang kopi. Tren kehidupan orang-orang Korea terobsesi dengan kopi, dan ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang.

2

Page 68: Koreana Autumn 2015 (Indonesian)

84 Koreana Musim Gugur 2015

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke [email protected]

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke [email protected].

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim”. Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea 1 tahun 25,000 won 6,000 won

2 tahun 50,000 won

3 tahun 75,000 won

Asia Timur 1 1 tahun US$45 US$9

2 tahun US$81

3 tahun US$108

Asia Tenggara dsb 2 1 tahun US$50

2 tahun US$90

3 tahun US$120

Eropa dsb 3 1 tahun US$55

2 tahun US$99

3 tahun US$132

Afrika dsb 4 1 tahun US$60

2 tahun US$108

3 tahun US$144

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim.1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan)2 Mongolia dan Asia Tenggara(Kamboja, Laos, Myanmar,Thailand,Vietnam, Filipina,Malaysia, Timor Leste,Indonesia,Brunei,

dan Singapura)3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan,

Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka)4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)

Cara Berlangganan

Biaya Berlanqganan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Tanggapan Pembaca

Informasi Berlanqganan