25
Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (TIDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM Erlina Diamastuti [email protected] Universitas Internasional Semen Indonesia ABSRACT This study aims to interpretation the behavior of tax payers in carrying out his tax liability.x As we all know the tax system in Indonesia adheres to the self assessment system. In this system the government entrust all calculation, payment and reporting of tax payable on tax payers. As a result of various behaviors appear to express this practice of self assessment system The study used a non-positivistic with decriptive approche to observe phenomena that exist in the practice of taxation. The main source of data in this study are the words and actions derived from key informant as much as 5 of the 20 informants. The results of this study show that the first, self- assessment system led to the emergence of behavioral tax avoidance, tax evasion and tax arrearage. Second, self- assessment system requires an awareness not of necessity in creating a compliance and noncompliance WP led the government last act of hostage (Gijzeling) Key words: tax obligations, the self assessment system, tax payers compliance, gijzeling ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk mengintrepretasikan perilaku WP dalam menjalankan kewajiban pajaknya. Seperti diketahui sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment system. Dalam sistem ini pemerintah mempercayakan semua penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang terutang pada WP. Akibatnya berbagai perilaku muncul untuk mengekspresikan praktik self assesment system ini. Studi ini menggunakan non positivistik dengan pendekatan diskriptif untuk meneropong fenomena yang ada di dalam praktik perpajakan. Sumber data paling utama dalam studi ini adalah kata-kata dan tindakan yang diperoleh dari informan kunci sebanyak 5 orang dari 20 informan yang ada. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pertama, sistem self assessment menyebabkan munculnya perilaku tax avoidance, tax evasion dan tax arrearage. Kedua, self assessment system membutuhkan sebuah kesadaran bukan keterpaksaan dalam menciptakan sebuah kepatuhan dan ketidakpatuhan WP menyebabkan pemerintah melakukan tindakan penyanderaan (Gijzeling). Kata kunci: kewajiban pajak, self assesment system, kepatuhan wajib pajak, gijzeling PENDAHULUAN Dalam rangka meningkatkan penerima- an pajak, pada tahun 1984 pemerintah telah melakukan reformasi terhadap sistem per- pajakan Indonesia. Salah satunya, perubah- an sistem pelaksanaan pemungutan pajak, yakni diterapkannya self assesment system menggantikan official assesment system. Self assessment system adalah sistem di mana Wajib Pajak (selanjutnya disingkat dengan WP) diberi kepercayaan penuh oleh pe- merintah untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku (Hutagaol, 2007). Artinya, pemerintah sa- ngat percaya bahwa masyarakat sebagai WP bertindak jujur dalam melakukan peng- hitungan pajak terutangnya. Seluruh kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah kepada setiap WP semua- nya harus dilakukan sendiri dengan penuh kesadaran. Kewajiban sebagaimana dimak- sud undang-undang adalah kewajiban WP untuk mendaftarkan dirinya untuk mem- peroleh NPWP, mengambil sendiri formulir SPT, mengisi dengan lengkap jelas dan benar

KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012

280

KE (TIDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK:POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM

Erlina [email protected]

Universitas Internasional Semen Indonesia

ABSRACT

This study aims to interpretation the behavior of tax payers in carrying out his tax liability.x As we all know thetax system in Indonesia adheres to the self assessment system. In this system the government entrust allcalculation, payment and reporting of tax payable on tax payers. As a result of various behaviors appear to expressthis practice of self assessment system The study used a non-positivistic with decriptive approche to observephenomena that exist in the practice of taxation. The main source of data in this study are the words and actionsderived from key informant as much as 5 of the 20 informants. The results of this study show that the first, self-assessment system led to the emergence of behavioral tax avoidance, tax evasion and tax arrearage. Second, self-assessment system requires an awareness not of necessity in creating a compliance and noncompliance WP led thegovernment last act of hostage (Gijzeling)

Key words: tax obligations, the self assessment system, tax payers compliance, gijzeling

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengintrepretasikan perilaku WP dalam menjalankan kewajiban pajaknya.Seperti diketahui sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment system. Dalam sistem inipemerintah mempercayakan semua penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang terutangpada WP. Akibatnya berbagai perilaku muncul untuk mengekspresikan praktik self assesment system ini.Studi ini menggunakan non positivistik dengan pendekatan diskriptif untuk meneropong fenomenayang ada di dalam praktik perpajakan. Sumber data paling utama dalam studi ini adalah kata-kata dantindakan yang diperoleh dari informan kunci sebanyak 5 orang dari 20 informan yang ada. Hasil studiini menunjukkan bahwa pertama, sistem self assessment menyebabkan munculnya perilaku taxavoidance, tax evasion dan tax arrearage. Kedua, self assessment system membutuhkan sebuah kesadaranbukan keterpaksaan dalam menciptakan sebuah kepatuhan dan ketidakpatuhan WP menyebabkanpemerintah melakukan tindakan penyanderaan (Gijzeling).

Kata kunci: kewajiban pajak, self assesment system, kepatuhan wajib pajak, gijzeling

PENDAHULUANDalam rangka meningkatkan penerima-

an pajak, pada tahun 1984 pemerintah telahmelakukan reformasi terhadap sistem per-pajakan Indonesia. Salah satunya, perubah-an sistem pelaksanaan pemungutan pajak,yakni diterapkannya self assesment systemmenggantikan official assesment system. Selfassessment system adalah sistem di manaWajib Pajak (selanjutnya disingkat denganWP) diberi kepercayaan penuh oleh pe-merintah untuk menghitung, membayar,dan melaporkan sendiri pajak yang terutang

sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku(Hutagaol, 2007). Artinya, pemerintah sa-ngat percaya bahwa masyarakat sebagai WPbertindak jujur dalam melakukan peng-hitungan pajak terutangnya.

Seluruh kewajiban yang dibebankanoleh pemerintah kepada setiap WP semua-nya harus dilakukan sendiri dengan penuhkesadaran. Kewajiban sebagaimana dimak-sud undang-undang adalah kewajiban WPuntuk mendaftarkan dirinya untuk mem-peroleh NPWP, mengambil sendiri formulirSPT, mengisi dengan lengkap jelas dan benar

Page 2: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 281

SPT tersebut, menghitung sendiri pajakterutang dengan jujur, mengadakan pem-bukuan, memperlihatkan pembukuan dandata lainya serta membayar pajak tersebuttepat pada waktunya, sedangkan kewajibanpemerintah adalah melakukan pembinaan,penelitian dan pengawasan pelaksanaankewajiban perpajakan WP berdasarkan KUP

Penggunaan sistem self assessment systemmemang menuntut WP untuk aktif dalammelaksanakan kewajiban maupun hak per-pajakannya. Harahap (2004) menyatakanbahwa dianutnya self assessment systemmembawa misi dan konsekuensi perubahansikap (kesadaran) warga masyarakat untukmembayar pajak secara sukarela (voluntarycompliance). Kepatuhan memenuhi kewajib-an perpajakan secara sukarela merupakantulang punggung self assessment system(Choong dan Lai, 2009). Dengan kata lain,penetapan sistem self assessment diharap-kan mampu meningkatkan kepatuhanperpajakan.

Praktik self assessmet system dalambeberapa kajian ternyata mempunyai dam-pak terhadap pelaksanaan pemungutanpajak di Indonesia (Tarjo dan Kusumawati,2006; Trisnayanti dan Jati, 2015). MenurutTarjo dan Kusumawati (2006), self assessmentsystem memiliki banyak kekurangan yangberkaitan dengan pemberian kepercayaanpada wajib pajak untuk menghitung, mem-perhitungkan, membayar, dan melaporkansendiri pajak terutang, yang di dalampraktiknya sulit berjalan sesuai dengan yangdiharapkan, bahkan disalahgunakan (Tarjodan Indrawati, 2006), sedangkan Akbar,Atmanto dan Jauhari (2015) menyatakankeberhasilan self assessment system ini tidakdapat tercapai tanpa terwujudnya kesadarandan kejujuran dari masyarakat khususnyawajib pajak, untuk melaksanakan kewajibansesuai dengan ketentuan yang berlaku. Arti-nya, dari beberapa kajian tersebut mem-buktikan bahwa praktik sistem self assessmentyang dilakukan oleh pemerintah sampai saatini belum secara maksimal dapat terlaksanasesuai dengan target pajak yang ditentukan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwaantara aturan dengan tingkat kepatuhan WPmasih terdapat kesenjangan yang cukuptinggi. Fenomena ini dibuktikan dengan datadari DJP pada tahun 2014 yang menyatakanbahwa pada tahun 2014 hanya 10,8 juta WPyang melaporkan SPT, di mana seharusnya18,4 juta WP dan tidak lebih dari 900 ribu WPdengan status SPT kurang bayar. Dan padatahun 2015, kondisi ini tidak berubah, yangdibuktikan dengan target penerimaan pajakyang terealisasi hanya sekitar 81% (www.pajak.go.id). Hal ini tentu menjadi dilemabagi pemerintah, karena pajak merupakansumber dana untuk pembangunan di Ne-gara Indonesia. Pendapatan pajak yang sehatakan mendorong kemandirian pembiayaanpemerintahan dan pembangunan, yang pa-da gilirannya akan mampu menyehatkaniklim usaha karena penanggung pajak akanmembiayai fasilitas publik yang besar,sebesar manfaat yang telah diterima WP.

Kesenjangan antara tingkat kesadarandan kepatuhan WP dengan target pajak yangditetapkan oleh pemerintah guna mem-biayai pembangunan di Indonesia me-nyebabkan pemerintah harus memutar otak.Hal ini tentunya membuat pemerintah harusmengaitkan dengan kewajiban menghitungutang dengan pajak dan penegakan hukum.Upaya membangun penegakan hukumpajak yang konsisten merupakan salah satucara agar ketentuan hukum perpajakandapat ditaati dan dipatuhi oleh WP.

Pertanyaan PenelitianFenomena kesenjangan antara kewajib-

an WP dalam praktik self assessment systemdengan target pajak yang ditetapkan olehpemerintah menyebabkan sebuah gap yangcukup signifikan. Menyikapi fenomena inimaka pertanyaan dalam studi ini adalahBagaimana praktik self assessment systemyang dijalankan oleh WP di Surabaya.

JELAJAH PAJAKMeraih Asa bersama Pajak Indonesia

Keberhasilan suatu bangsa dalam pem-bangunan nasional sangat ditentukan oleh

Page 3: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

282 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

kemampuan bangsa untuk dapat memaju-kan kesejahteraan masyarakat. Salah satuusaha untuk mencapai keberhasilan adalahmelalui pajak. Pajak adalah sebagian hartakekayaan dari masyarakat yang berdasar-kan Undang-Undang 1945, wajib diberikanoleh rakyat kepada negara tanpa mendapatkontra prestasi secara individual dan lang-sung dari negara.

Beberapa ahli perpajakan menyatakanbahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kasnegara berdasarkan undang-undang (yangdapat dipaksakan) dengan tiada mendapatjasa timbal (kontraprestasi) yang langsungdapat ditunjukkan dan yang digunakan un-tuk membayar pengeluaran umum (Sumitrodalam Mardiasmo, 2008). Berdasarkan per-nyataan tersebut sangatlah jelas bahwa pajakadalah suatu aktivitas pembayaran yangdipaksakan oleh negara dan bersifat wajibbagi setiap warga negara yang telah mem-punyai kriteria sebagai WP. Tidak ada suatualasan atau pengingkaran yang dapat di-amini oleh negara dalam hal ketidaktaatandalam pembayaran pajaknya. Hal ini harusdilakukan karena pajak adalah roh bagikelangsungan hidup sebuah negara.

Sebagai roh yang memberi kehidupanbagi kelangsungan suatu negara, tentunyasektor pajak perlu mendapat perhatian yangistimewa dari pemerintah sebagai pe-nyelenggara negara. Slamet dan Jurdy (2005)menyatakan:

“Pajak telah berfungsi sebagai sumber danabagi pemerintah untuk membiayai penge-luaran-pengeluarannya. Salah satu pem-biayaan negara yang penting dalam hal iniadalah pembangunan sosial kemanusiaan,selain pembiayaan lainnya. Dalam teorinegara bahwa negara melakukan fungsinyauntuk melayani kebutuhan masyarakat, tidakuntuk kepentingan pribadi.”

Artinya pajak merupakan salah satucara untuk membiayai seluruh pembangun-an di Negara Indonesia yang digunakanuntuk kesejahteraan masyarakat. Dalamkaitannya dengan pembangunan dan ke-sejahteraan, pajak memiliki fungsi-fungsiyang dapat dipakai untuk menunjang ter-capainya suatu masyarakat adil dan makmur

secara merata. Fungsi–fungsi tersebut adalahbudgeter/finansial yang memberikan masuk-an uang sebanyak-banyaknya ke kas negaradan fungsi reguler/mengatur bahwa pajaksebagai alat untuk mengatur masyarakatbaik dalam bidang ekonomi maupun politik(Suandy, 2002).

Realitas dari fungsi pajak sebagai bud-geter adalah wujud dari penerimaan padakas Negara. Berdasarkan catatan DJP hingga31 Juli 2015 (www.pajak.go.id), realisasipenerimaan pajak mencapai Rp 531,114triliun. Dari target penerimaan pajak yangditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp1.294,258 triliun, realisasi penerimaan pajakmencapai 41,04%. Jika dibandingkan denganperiode yang sama di tahun 2014, realisasipenerimaan pajak di tahun 2015 ini me-ngalami pertumbuhan yang cukup baik disektor tertentu, namun juga mengalami pe-nurunan pertumbuhan di sektor lainnya.Pertumbuhan signifikan dicatat dari PPhPasal 25/29 Orang Pribadi yakni 24,93%,atau sebesar Rp 3,853 triliun dibandingkanperiode yang sama di 2014 sebesar Rp 3,084triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh ting-ginya pelunasan SKP yang merupakan hasildari keberhasilan deterrent effect penegakanhukum khususnya pencegahan ke luarnegeri dan penyanderaan (gijzeling) WP.Berikut Pernyataan dari salah satu pejabatKPP di Surabaya berkaitan dengan hal ini:

“Hingga 26 Juni 2015, menurut data daripusat DJP telah memproses 329 usulan pen-cegahan dan 29 usulan penyanderaan ter-hadap penanggung pajak. Dari pelaksanaanpencegahan tersebut, DJP dapat mencairkanutang pajak sebesar Rp 15,75 miliar dari 17penanggung pajak, sedangkan dari pelaksana-an penagihan, DJP dapat mencairkan utangpajak sebesar Rp 11,52 miliar dari 13 pe-nanggung pajak yang sebelumnya disanderadan telah dilepaskan”

Berdasarkan pernyataan di atas, me-nunjukkan bahwa pajak adalah primadonabagi pendapatan Negara. Pendapatan pajakyang sehat mendorong kemandirian pem-biayaan pemerintahan dan pembangunan,yang pada gilirannya mampu menyehatkaniklim usaha karena penanggung pajak

Page 4: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 283

membiayai fasilitas-fasilitas publik yangbesar, sebesar manfaat yang telah diterimapenanggung pajak.

Untuk memenuhi realisasi penerimaanatau pendapatan pajak dibutuhkan sebuahkerjasama antara pemerintah dan masya-rakat. Tanpa kerjasama, maka tujuan ter-capainya kesejahteraan bagi masyarakathanya mimpi belaka. Untuk itu, dibutuhkanadanya kepatuhan terhadap aturan per-pajakan di Indonesia. Kepatuhan tersebutadalah tindak lanjut dari definisi pajaksebagai iuran yang dipaksakan dan diaturdalam undang-undang negara yang bersifattidak langsung dan dipergunakan untukkesejahteraan masyarakat.

Rendahnya tingkat kepatuhan pajak diIndonesia akan menghilangkan potensi pen-dapatan Negara. Di mana apabila tingkatkepatuhan pembayaran pajak oleh masya-rakat rendah maka pajak sebagai sumberpendapatan Negara akan mengalami pe-nurunan yang drastis. Penurunan pendapat-an Negara secara signifikan akan berakibatfatal bagi Indonesia sebagai Negara ber-kembang, di mana Negara yang beradadalam goncangan tidak dapat melaksanakanfungsi negaranya dengan baik. Saat di manaNegara tidak dapat menjalankan fungsinyadengan baik maka kesejahteraan masyarakatakan terancam. Untuk itu, dibutuhkan se-buah kepatuhan yang terlahir dari kesadarandiri dan bersifat sukarela.

Kepatuhan dari WP memang dapat di-gunakan sebagai salah satu indikator ke-berhasilan self assessment system. Asumsipelaksanaan self assessment system adalah WPsecara sadar dan sukarela mau untuk meng-hitung, melapor dan membayarkan pajakterutangnya secara mandiri. Dengan asumsiini maka dapat dikatakan bahwa Negarasangat percaya bahwa masyarakat sebagaiWP adalah masyarakat yang jujur dan taatdalam melaksanakan kewajiban perpajakan-nya, namun apakah benar, masyarakatIndonesia melakukan semuanya sesuai de-ngan harapan pemerintah saat ini.

Self Assessment System sebagai Pilar PajakIndonesia

Berdasarkan sekelumit deskripsi ten-tang pajak dalam studi ini yang men-justifikasi bahwa self assessment system me-rupakan sistem pemungutan yang mem-butuhkan sebuah kesadaran dan kepatuhanakan pentingnya pajak bagi kelangsunganNegara Indoneia. Seperti kita ketahui selfassessmet system adalah sistem pemungutanpajak yang lebih mengedepankan ke-percayaan yang diberikan kepada masya-rakat untuk menghitung pajaknya. Hal inidilakukan karena cara menghitung pajakterhutang sendiri memang menjadi salahsatu kendala dalam sistem pemungutanpajak di Indonesia.

Pada awal tahun 1984, sejak dimulainyatax reform, sistem perpajakan di Indonesiaberubah dari official assessment system men-jadi self assessment system.Tax reform perludilakukan pada saat itu karena tata cara danpenyelenggaraan perpajakan dianggap tidakdikelola dengan baik. Dalam official asses-sment system tanggung jawab pemungutanterletak sepenuhnya pada penguasa pe-merintah, sedangkan dalam self assessmentsystem, WP diberi kepercayaan penuh untukmenghitung, memperhitungkan, membayar/menyetor dan melaporkan besarnya pajakyang terhutang sesuai dengan jangka waktuyang telah ditentukan dalam peraturanperundang-undangan perpajakan sepertiyang tertuang dalam Surat Pemberitahuan(SPT), kemudian menyetor kewajiban per-pajakannya.

Menurut Tarjo dan Kusumawati (2006),jiwa dari self assessment system adalahpemerintah yang memberi kepercayaan ke-pada WP untuk menghitung dan me-netapkan sendiri besarnya kewajiban pajakyang harus dibayar WP. Untuk itu per-hitungan besarnya pajak ini harus diakuikebenarannya sebelum Dirjen Pajak dapatmembuktikan yang sebaliknya, karena didalam asas self assessment system ada unsurpendelegasian wewenang oleh Dirjen Pajak,maka sebagai konsekuensinya Dirjen Pajak

Page 5: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

284 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

harus menciptakan sistem kontrol secaramemadai, sebab pendelegasian wewenangtanpa kontrol akan mengakibatkan timbul-nya penyalahgunaan wewenang. Untuklebih jelasnya berikut ini penulis tampilkanperbedaan antara self assessment systemdengan official assessment system.

Tabel 1Perbedaan Official Assessment dan Self

Assessment System

Keterangan OfficialAssessment

System

SelfAssessment

SystemWewenangmenentukanpajakterutang

Besarnyapajakterutangditentukanoleh fiskus

Besarnyapajakterutangditentukanoleh WP

Peran WP WP bersifatpasif

WP bersifatpasif

Peran Fiskus Fiskusbertindakaktif

Fiskussebagaifasilitator

Timbulnyapajakterutang

Timbulkarenasuratketetapanpajak (SKP)

Timbulkarena UUdan karenaperbuatan

Sumber: Mardiasmo (2008)

Berdasarkan tabel 1 di atas, penulis men-coba melakukan pendeskripsian awal darianalisa yang telah dilakukan oleh Mardi-asmo (2008). Dari tabel 1 di atas nampakbahwa WP diberikan kepercayaan penuholeh pemerintah untuk menghitung sendirikewajiban perpajakannya. Keputusan initentunya harus dibarengi dengan perilakuWP itu sendiri. Perilaku tersebut adalahsebuah kesadaran dan kepatuhan untukmenjalankan kewajiban perpajakannya, se-hingga dapat ditarik benang merah semen-tara yaitu untuk menjalankan self assessmentsystem dengan baik sangat dituntut sebuahkepatuhan dari WP itu sendiri serta adanyapemahaman dari Undang-undang tersebut,namun, saat orientasi awal studi ini

dilakukan nampak bahwa belum semuapotensi pajak dapat digali. Sebab masihbanyak WP yang belum memiliki kesadaranakan betapa pentingnya pemenuhan ke-wajiban perpajakan baik bagi negara mau-pun bagi mereka sendiri sebagai warganegara yang baik.

Sistem self assessment system memangsangatlah mudah bagi pihak fiskus, karenafiskus tidak membutuhkan waktu yangpanjang untuk menghitung pajak terutangdari setiap WP. Di samping itu, sistem selfassessment system juga dapat meminimalisirkegiatan transaksional antara WP denganFiskus, namun dari sisi WP ternyata sistemini tetap mempunyai kelemahan. Alih-alihmereka menjadi patuh yang ada merekabahkan bisa memanipulasi pajak terutang-nya (tax evasion).

Berdasarkan tahap orientasi awal yangdilakukan dalam studi ini, penulis melihatbahwa masih banyak ketidakpatuhan yangdilakukan oleh WP karena sistem self asses-sment system ini, pertama, masih banyaknyaWP tidak mengetahui cara menghitungpajaknya sendiri meskipun mereka mem-punyai penghasilan yang lumayan tinggi.Mereka tahu bahwa ada kewajiban untukmembayar pajak tapi mereka pura-puratidak mau tau karena mereka bingung harusmenghitung dengan cara bagaimana. Infor-masi ini juga didukung dengan penelitiandari Damayanti (2012) yang menyatakanbahwa pada saat ini masih banyak dijumpaiWP yang belum paham akan kewajibanperpajakannya, seringkali mereka mengakuibahwa setelah mempunyai NPWP merekatidak mengetahui konsekuensi setelahnya,sehingga ketika keluar Surat Ketetapan Pajak(SKP) secara jabatan, Wajib Pajak tersebutmerasa keberatan karena merasa tidak adasosialisasi sebelumnya.

Kedua, dengan adanya self assessmentsystem, maka adanya tindakan tax evasionyang memang disengaja. Contohnya, marak-nya skandal pajak yang dilakukan WPdengan cara memanipulasi laporan ke-uangannya, merendahkan besaran pen-dapatan yang harus diterima ataupun mem-

Page 6: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 285

buat doubel pembukuan. Fenomena inidapat kita cermati pada kasus besar sepertiPT. KAI, pajak pihak ketiga sudah tiga tahuntidak pernah ditagih, tetapi dalam laporankeuangan itu dimasukkan sebagai pen-dapatan PT KAI selama tahun 2005. Ke-wajiban PT KAI untuk membayar suratketetapan pajak (SKP) sebesar Rp 95,2 Miliaryang diterbitkan oleh Direktorat JenderalPajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalamlaporan keuangan sebagai piutang atautagihan kepada beberapa pelanggan yangseharusnya menanggung beban pajak itu.

Kasus lain ditahun 2015, Dirjen PajakIndonesia menuding PT. Toyota MotorManufacturing Indonesia melakukan prak-tik transfer pricing pada saat melakukanpengiriman kendaraan ke luar negeri. Di-duga adanya pemindahan beban yang di-lakukan dengan memanipulasi harga secara

tidak wajar (https://investigasi. tempo.co/toyota). Artinya, Dari praktik ini tentu sajabesarnya pajak terutang yang dihitungsendiri oleh WP akan menjadi lebih sedikitatau dibuat sedikit. Hal ini dapat dilakukankarena besarnya pajak terutang dapat diutakatik oleh WP sehingga seolah-olah merekabisa menentukan sendiri berapa besaranpajak yang harus dibayarnya

Dari dua contoh tersebut, studi inimelihat bahwa self assessment system menjadisalah satu proposisi yang membuat WPmenjadi tidak patuh. Lebih lanjut, data dariDJP per tanggal 31 Desember 2014 juga me-nunjukkan bahwa kepatuhan penyampaianSPT antara tahun 2011 sampai dengan 2014masih sangat rendah, di mana self assesmentsystem merupakan salah satu cara pe-mungutan pajak yang diterapkan padatahun-tahun tersebut dan sampai saat ini.

Sumber: DJB per 31 Desember 2014Gambar 1

Grafik Kepatuhan Penyampaian SPT

Berdasarkan Gambar 1 di atas dan datadari DJP, nampak adanya gap yang cukuptinggi antara WP yang terdaftar wajib SPTdengan realisasi SPT. Artinya, masih banyakWP yang tidak melaporkan SPT walaupunsudah jelas bahwa WP tersebut adalah WPwajib setor SPT. Walaupun di tahun berikut-nya mengalami peningkatan, namun hal

tersebut tidak mengindikasikan suatu ke-patuhan pajak yang membaik. Selama tigatahun terakhir, rasio kepatuhan penyampai-an SPT PPh atau kepatuhan secara formalhanya berkisar 40-61% saja.

Dari gambar 1 di atas dapat dijelaskansebagai konsekuensi logis dari pilihan selfassessment system yang memberikan ke-

Page 7: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

286 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

percayaan sepenuhnya kepada WP untukmenghitung, menyetor dan melaporkankewajiban perpajakannya. Meskipun sudahdiberikan kebebasan untuk menghitungsendiri pajak terutangnya, namun masya-rakat yang merupakan WP masih me-mandang bahwa pajak adalah beban bagisebagian besar masyarakat. Hal ini di-tunjukkan potret aturan pajak yang masihmerupakan ketentuan-ketentuan dan per-aturan-peraturan yang bersifat memaksa.Para WP akhirnya mau tidak mau harusmembayar pajak. Dengan adanya sifat pe-maksaan tersebut membuat WP berusahauntuk meminimalisir pembayaran pajaknya,baik secara ketentuan maupun yang me-langgar ketentuan yang telah ditetapkanoleh Undang-undang.

Berbagai upaya dilakukan oleh WPuntuk tidak melakukan pelaporan dan pem-bayaran pajak karena mereka merasakankeberatan untuk membayar pajak (No Bodywant to pay tax). Upaya tersebut timbuldisebabkan masih rendahnya tingkat ke-percayaan masyarakat selaku WP kepadapemerintah dan masih rendahnya pulakesadaran dan kepatuhan WP. Salah satuupaya yang dilakukan WP dalam me-minimalisir pajaknya adalah dengan me-lakukan penggelapan pajak (tax evasion).

Penggelapan pajak atau tax evasionsangat banyak caranya, yang pada intinyaadalah bagaimana menghindari pembayaranpajak dengan perencanaan pajak sehinggamemungkinkan melakukan transaksi yangtidak akan terkena pajak. Tax evasion mem-punyai akibat bagi negara adalah ber-kurangnya penyetoran dana pajak ke kasnegara, atau bahkan tidak ada dana pajakyang masuk ke kas negara.

Terdapat beberapa alasan menurutRichardson (2006) yang menyebabkan WPmelakukan tax evasion adalah: (1) WP ber-persepsi tentang: (a) Tarif pajak terlalu ting-gi; (b) Sistem keadilan dan kejujuran dalamperpajakan yang kurang; (c) Bagaimanakebijakan pemerintah dalam membelanja-kan uang dari pembayaran pajak oleh WP;(2) Kecenderungan individu yang kurang

memahami aturan dan hukum yang berlaku;(3) Perilaku individu yang dipengaruhi olehkelompok sehingga mempengaruhi individutersebut melakukan tax evasion; (4) Tax audit,pelaporan informasi dan potongan dalampajak; (5) Administrasi pajak yang kurangdimengerti oleh tax payers; (6) Praktisi pajak;(7) Kemungkinan ketahuan dan penegakanhukum yang kurang dari pemerintah,sedangkan Gie (2007) menyatakan dalamperpajakan, sudah menjadi rahasia umumbahwa tidak sedikit orang yang manipulasipajak dengan cara meminimalkan pen-dapatan pajaknya bahkan ada juga yangtidak membayar pajak sama sekali. Padahalmereka sadar bahwa hal itu melanggarnorma-norma agama sekaligus melanggaraturan dalam negara. Mereka melakukan haltersebut dengan berbagai alasan.

Walaupun sudah tersedia ancamanhukuman administratif maupun ancamanhukuman pidana bagi WP yang tidak me-menuhi kewajiban perpajakannya, akantetapi kenyataannya masih banyak WP yangtidak atau belum sepenuhnya memenuhikewajibannya. Hal ini terkait dengan ikhwalkepatuhan perpajakan atau tax compliance.

Ketidakpatuhan Wajib Pajak: Pintu MasukRealitas

Tidak sedikit ahli berpendapat bahwapada umumnya manusia tidak suka mem-bayar pajak (Nobody Wants To Pay Taxes)sebagai tindakan risk aversion. Dikatakanbahwa hanya sekelompok kecil orang yangmerasakan pajak tidak memberatkan me-reka. Mereka merasa membayar pajak terlalusedikit jika dibandingkan dengan jumlahyang seharusnya dia bayar. Pada tahun 1987,majalah tempo pernah melakukan penelitiantentang sikap membayar pajak. Dari 991responden yang diwawancarai, 8,89% di-antaranya menyatakan bahwa mereka,membayar pajak dalam jumlah yang kecil.Berdasarkan pernyataan beberapa ahli ter-sebut menunjukkan bahwa masyarakatIndonesia merasa enggan untuk membayarpajak (www.pajak.go.id).

Page 8: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 287

Masalah kepatuhan WP merupakanmasalah yang banyak dijumpai di berbagainegara. Simon James dan Clinton (2002)dalam Supriyati (2011) menyatakan bahwapengertian kepatuhan pajak (tax compliance)adalah WP mempunyai kesediaan untukmemenuhi kewajiban pajaknya sesuai de-ngan aturan yang berlaku tanpa perludiadakannya pemeriksaan, investigasi sek-sama, peringatan, ataupun ancaman danpenerapan sanksi baik hukum maupunadministrasi, sedangkan menurut Gunadi(2005) kepatuhan adalah kesediaan WPuntuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuaidengan aturan-aturan yang berlaku tanpaperlu diadakan pemeriksaan, investigasiseksama, peringatan ataupun ancaman danpenerapan sanksi baik hukuman maupunadministrasi. Artinya, kepatuhan dapat di-definisikan sebagai perilaku WP dalam me-menuhi kewajiban perpajakannya sesuaidengan peraturan yang berlaku. Untuk itu,Choiruman (2004) berargumentasi yaitu ber-hubung penerimaan pajak dibutuhkan un-tuk membiayai penyelenggaraan peme-rintahan maupun pembangunan, maka pe-merintah akan terus berupaya menggalipotensi pajak (tax coverage) seoptimal mung-kin dan juga meningkatkan kepatuhan wajibpajak (taxpayers compliance).

Dari informasi di atas, nampak bahwakepatuhan adalah sebuah sikap taat yangtidak perlu dipaksakan dengan segala aturanataupun reward tertentu. Artinya terdapatdua kondisi yaitu dipaksakan dengan ada-nya aturan dan melakukan sendiri ke-wajiban perpajakannya. Dalam hal ini ter-dapat kontradiksi antara sebuah kepatuhandan keterpaksaan yaitu patuh karena ter-paksa bukan patuh karena kesadaran.

Seperti yang telah diutarakan dalampenjelasan di atas, bahwa sistem self asses-sment system membutuhkan sebuah ke-patuhan yang tidak dapat ditawar lagi. Studimengenai kepatuhan WP telah dilakukanoleh peneliti dalam tataran positivistik, salahsatunya adalah James dan Alley (1999) yangmengemukakan kepatuhan WP menyangkutsejauh mana WP memenuhi kewajiban per-

pajakannya sesuai dengan aturan perpajak-an yang berlaku. Dengan demikian tingkatkepatuhan WP dapat di ukur dengan TaxGap yaitu perbedaan antara apa yang ter-surat dalam peraturan perpajakan denganapa yang dilaksanakan oleh WP. Tax gapdapat pula diartikan sebagai perbedaanantara seberapa besar pajak yang dapatdikumpulkan dengan besar pajak yang se-harusnya terkumpul (James dan Alley, 1999).

Berikutnya Internal Revenue Service(Brown dan Mazur, 2003) mengelompokkankepatuhan WP terdiri dari 3 tipe kepatuhan:(1) kepatuhan penyerahan SPT (filing com-pliance), (2) kepatuhan pembayaran (paymentcompliance), dan (3) kepatuhan pelaporan(reporting compliance). Ketiga tipe kepatuhantersebut bila di ukur secara bersama akanmemberikan gambaran yang komperhensiftentang kepatuhan WP.

Dari dua peneliti tersebut, terdapatbeberapa karakteristik yang harus ada padasaat kita akan menjustifikasi apakah WPtersebut dikatakan tidak patuh. Artinyasemua berdasarkan justifikasi sebuah peri-laku WP. Perilaku tersebut kemudian diukurdan dibuat sebuah indikator untuk menilaiapakah WP tersebut patuh ataukah tidak,namun satu hal yang belum dapat diukuradalah bagaimana kesadaran dari WP untukmenjalankan kewajiban perpajakannya. Pe-nulis melihat bahwa kedua pernyataantersebut hanya mengkaitan antara adanyaaturan dan bagaimana menjalankan aturantersebut sehingga tidak menyiratkan bagai-mana seorang warga negara yang harusnyapaham bahwa mereka adalah bagian ke-berhasilan dan berkembangnya sebuahnegara.

Lebih lanjut beberapa peneliti yangmelakukan studi kepatuhan pajak antaralain, Jackson, Miliron dan Troy melaluitinjauan terhadap literatur kepatuhan meng-identifikasi adanya 14 faktor kunci yang di-gunakan peneliti dalam meneliti kepatuhanpajak yang secara garis besar dikelompok-kan dalam empat kelompok (Jackson et al.,1986) yaitu demografic (age, gender and edu-cation), non compliance opportunity (income

Page 9: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

288 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

level, income source, and occupation),attitudinal and perceptions (fairness of the lawsystem and peer influence) dan tax system/structural (complexity of the tax system, proba-bility of detection and penalties and tax rates).Enaharo dan Jayeola (2012) menyatakankepatuhan pajak juga dapat di lihat dari segikeuangan publik (public finance), penegakanhukum (law enforcement), struktur organisasi(orgazational structure), tenaga kerja (employ-ees), etika (code of conduct).

Teori tentang tax compliance pertama kalidikemukakan oleh Allingham and Sandmo(1972). Teori ini mengasumsikan ketidakpatuhan sering disebabkan karena sisiekonomi. Teori ini berkeyakinan tidak adaindividu bersedia membayar pajak secarasukarela (voluntary compliance). Oleh sebabitu WP akan selalu menentang untuk mem-bayar pajak (risk aversion). Menurut teori ini,faktor utama yang mempengaruhi ke-patuhan pajak antara lain: pendapatan tetap(I), tarif pajak (t), probabilitas dilakukanaudit (p), dan besarnya sanksi yang mungkindikenakan (f). Individu diasumsikan me-miliki endowment pendapatan yang tetap danharus dilaporkan ke pemerintah.

Kepatuhan yang dikaitkan dengan tarifpajak juga ditemukan oleh Alm, Bahl,Murray (1990). Ketiga peneliti tersebutmenemukan bahwa kepatuhan para pem-bayar pajak menemukan bahwa hanya 8%wajib pajak di Jamaika yang menghitungdan membayar pajak penghasilan denganbenar, dan 26% melakukan lebih bayar (taxrefunds), sedang sisanya sebesar 66% kurangbayar (unpaid tax). Artinya, wajib pajak akanlebih patuh (lebih menentang) terhadapsistem pajak bila tarif pajaknya semakinrendah (tinggi), namun untuk meningkat-kan kepatuhan wajib pajak, diperlukan per-ubahan komprehensif (comprehensive change)yang meliputi perubahan tarif pajak (taxrate), dasar pengenaan pajak (tax base), danperbaikan administrasi perpajakan (taxadministrative reform).

Selanjutnya adalah penemuan yang di-lakukan oleh Ajzen (2002) dengan Theory ofPlanned Behavior. Beberapa peneliti kepatuh-

an pajak menggunakan teori ini untuk me-nguji perilaku kepatuhan pajak WP. Ber-dasarkan teori ini, perilaku individu menjaditidak atau patuh terhadap ketentuan per-pajakan dipengaruhi oleh niat untuk ber-perilaku. Niat berperilaku tidak atau patuhdipengaruhi yang oleh tiga faktor yaitu: 1)behavioral belief yaitu keyakinan akan hasildari suatu perilaku (outcome belief) yangmembentuk variabel sikap (attitude), 2)normative belief yaitu keyakinan individuterhadap harapan normatif yang menjadirujukannya yang membentuk variabel nor-ma sujektif (subjective norm) dan 3) controlbelief yaitu keyakinan/persepsi individu ten-tang keberadaan hal-hal yang mempe-ngaruhi (mendukung atau menghambat)perilaku yang membentuk variabel kontrolperilaku yang dipersepsikan (perceived beha-vioral control). Niat berperilaku merupakanvariabel perantara dalam membentuk peri-laku (Ajzen, 2002). Ini berarti pada umum-nya manusia bertindak sesuai dengan niatatau tendensinya.

Berdasarkan beberapa studi terdahulu,walaupun dari tataran positivistik, namuntemuan tersebut merupakan pintu masukyang perlu untuk dipertimbangkan padasaat penulis melakukan tahapan untuk me-neropong informan yaitu WP di Surabaya.Menurut penulis jika semua hasil temuantersebut disatukan maka akan terdapat se-buah kesempurnaan adalah konsep bagai-mana sebuah kepatuhan dijalankan baikdalam sisi aturan, perilaku maupun ke-sadaran, namun kembali lagi bahwa realitastidak dapat dipaksakan sebuah temuanadalah apa yang ada bukan apa yang di-adakan.

TEROPONG REALITASPendekatan Nonpositivistik-Deskriptifdalam Mendekati Realitas

Studi ini menggunakan pendekatannon-positivistik dengan metode deskriptif.Penulis mempunyai keyakinan dalam pe-nelitian non-positivistik lebih mampu untukmenghadapi ketidakleluasaan dunia sosialdalam kehidupan sehari-hari, sedangkan

Page 10: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 289

metode lebih lanjut, metode deskriptif ada-lah pencarian fakta dengan interpretasi yangtepat (Moloeng, 2007). Penelitian deskriptifmempelajari masalah dalam masyarakat ser-ta tatacara yang berlaku dalam masyarakatserta situasi tertentu, termasuk tentanghubungan, kegiatan-kegiatan, sikap, panda-ngan, serta proses yang sedang berlangsungdan pengaruh dari suatu fenomena. Dalammetode deskriptif, peneliti bisa saja mem-bandingkan fenomena tertentu sehinggamerupakan suatu studi komparatif .

Sumber dan jenis dataMenurut Moloeng (2007), sumber data

paling utama dari penelitian dengan pen-dekatan non-positivistik adalah kata-katadan tindakan. Selebihnya adalah tambahanseperti dokumen dan lain-lain. Sumber danjenis data dalam penelitian ini diperoleh dariKey Person (informasi kunci),yaitu WP baikpribadi maupun badan di Surabaya. Dalamhal ini pengambilan sampel bersifat snowballsampling artinya penarikan sampel dalampenelitian dengan pendekatan kualitatif inidimaksudkan untuk memilih informan yangbenar-benar relevan dan kompeten denganmasalah yang akan diteliti dan dilakukansecara berulang-ulang. Pengambilan sampelberdasarkan penelusuran sampel sebelum-nya. Beberapa sampel atau informan studiini diambil dari penelitian yang dilakukanoleh Diamastuti dan Prastiwi (2015) yangmenguji perilaku UMKM dalam menang-gapi berlakunya PP 46 tahun 2013. Kemudi-an dari beberapa informan tersebut penulismulai melanjutkan pengamatannya untukstudi ini. Artinya, ada beberapa informanyang tetap digunakan dalam studi inisebagai pintu masuk untuk mendapatkaninforman lainnya khususnya yang berasaldari pelaku UMKM, sehingga Informandalam studi ini yang awalnya hanya 5 orangmenjadi 20 orang atau WP yang berdomisilidi Surabaya, namun untuk key person pe-nulis tetap menggunakan 5 informan yangsudah ada sejak awal studi ini.

Untuk informan lainnya digunakan se-bagai triangulasi untuk menentukan vali-

ditas data. Lima informan tersebut tidakditampilkan dalam nama yang sesungguh-nya. Untuk itu penulis menggunakan pseu-donym, artinya penulis tidak akan meng-gunakan nama asli informan, melainkannama samaran atau inisial. Hal ini di-maksudkan untuk menjaga kerahasiaanidentitas informan.

Tabel 2Key Informan

Nama UsahaIbu NW

Bapak BDBapak AWIbu DPBapak FB

Pengusaha Warnetdi SurabayaPemilik BengkelSepeda MotorSuplier ATKPemilik Gerai BatikExportir

Sumber: Penulis

Dari kelima informan tersebut di atas,penulis mendapatkan berbagai informasi,namun tidak semua informasi dimasukkansebagai data dalam studi ini. Untuk itu adabeberapa informasi yang harus direduksioleh penulis.

Pisau AnalisisPenulis menggunakan analisa interaktif

dari Miles dan Huberman (Sutopo, 2006).Dalam analisis ini dibagi menjadi 4 kompo-nen pokok yaitu (1) pengumpulan data,merupakan proses awal dalam studi ini, (2)Reduksi data, merupakan proses seleksi,memfokuskan pada realitas praktik, pe-nyederhanaan dan abstraksi data yang adadalam files note. Proses ini berlangsung terusmenerus selama penelitian berlangsung, (3)sajian data, merupakan rakitan organisasiinformasi yang memungkinkan kesimpulandeskripsi berbentuk narasi yang me-mungkinkan simpulan dilakukan, (4) pe-narikan simpulan.

Teknik Pengumpulan DataPenulis datang ke tempat di mana

subyek yang hendak diteliti, mengamati dan

Page 11: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

290 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

berinteraksi dengan aktor sosial dalam wak-tu yang relatif panjang. Setelah memperoleh

data yang cukup penulis kemudian secarasistematik menganalisis dengan metode

Sumber: Sutopo (2006)Gambar 2

Tahapan Analisis Data

yang tepat, kemudian menginterpretasi-kannya. Setelah penulis melakukan semualangkah tersebut, kemudian melaporkannyasesuai dengan data atau fenomena yangdiperoleh di lapangan. Penulis mengguna-kan beberapa teknik yang relevan denganjenis penelitian ini. Melalui wawancara akanditambahkan teknik lain yang mendukung,antara lain:

Teknik ObservasiTeknik ini dilakukan dengan cara

observasi atau pengamatan guna melihatkegiatan keseharian dengan menggunakanpanca indera sebagai alat bantunya. Maksuddengan panca indera adalah penulis datangke sejumlah KPP hanya untuk mengamatikegiatan yang dilakukan oleh beberapainforman. Hal ini perlu untuk dilakukanuntuk melakukan pendekatan agar bersediadijadikan informan kunci. Selanjutnya, pe-nulis dapat langsung melakukan pengamat-an ke objek yang menfokuskan pada pe-nelitian ini. Pendekatan ini dilakukan de-ngan maksud agar penulis dapat denganmudah menggali informasi tanpa adanyapemaksaan.

Pada tahapan ini, penulis melakukanpengamatan langsung pada beberapa WPyang sedang melakukan proses pemenuhanhak dan kewajiban perpajakannya di se-

jumlah KPP di Surabaya. Tahapan observasiini tidak dilakukan hanya sekali, penulismelakukan tahapan observasi 12 sd 17 kali(mulai Januari sd April 2015) pada WP yangsedang melakukan kewajiban perpajakan-nya di sejumlah KPP Surabaya. Selain itupenulis juga melakukan observasi secaralangsung pada beberapa usaha di Surabayabaik usaha mikro (UMKM) maupun bebe-rapa perusahaan. Berdasarkan hasil pen-dekatan dengan beberapa WP tersebut, danrekomendasi dari petugas KPP di Gubengdan Wonocolo, akhirnya penulis dapat me-nentukan siapa yang nantinya akan diguna-kan sebagai key informan dalam studi ini,selain informan yang telah penulis dapatkanpada studi sebelumnya.

Teknik WawancaraPada proses pengumpulan data berikut-

nya dilakukan dengan teknik wawancara.Kegiatan wawancara pada informan dilaku-kan untuk mendapatkan informasi secaralangsung dengan mengungkapkan per-tanyaan pada para informan (Subagyo,2004). Pada tahapan ini, penulis setelahmelakukan pengamatan pada sejumlah WPdi beberapa KPP, kemudian memilih bebe-rapa informan untuk melakukan wawan-cara. Wawancara dilakukan tidak terstrukturnamun mendalam. Artinya, penulis meng-

Pengumpulan data

ReduksiData

SajianData

Penarikansimpulan

Page 12: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 291

giring informan menjawab pertanyaan tanpaterbebani sehingga semua pernyataannyameluncur dengan baik tanpa sebuah tekan-an. Penulis menggiring informan dengancara mengajak bicara santai terlebih dahulukemudian penulis mulai menggiring infor-man tanpa mereka sadari seolah-olah tidaksedang melakukan wawancara. Selain itupenulis juga melakukan wawancara padaWP dengan datang langsung pada kantoratau tempat usahanya. Dari 5 informankunci yang telah ditentukan, sesuai denganpisau analisisnya, maka studi ini melakukantahapan untuk mereduksi hasil wawancarayang tidak sesuai dan fenomena yang adadan melakukan tahapan penyeleksian untukmemotret realitas yang ada sebagai gambar-an yang utuh.

Teknik DokumentasiTeknik dokumentasi dilakukan dengan

mencari data dan berupa catatan, transkrip,buku, majalah, prasasti, notulen rapat,agenda, dan lain sebagainya (Arikunto,2004). Pada tahapan ini, penulis melakukanpencarian dalam beberapa literatur yangberkaitan dengan topik studi ini, kemudianpeneliti juga melakukan pendokumentasianuntuk menunjukkan bahwa penulis telahmelakukan beberapa tahapan baik pengama-tan maupun wawancara

NAPAK TILAS MENUJU REALITASCorak dan Perilaku Wajib Pajak (WP) DiSurabaya

Menurut Bohari (2003), embrio sistemself assessment system ini pada dasarnyasudah diterapkan di Indonesia sejak tahun1976 melalui Undang-Undang No. 8 tahun1967, Jo, PP II tahun 1967 tentang tata carapemungutan pajak atas Pajak Pendapatan,Pajak Perseroan dan Pajak Kekayaan, yanglebih dikenal dengan sistem MenghitungPajak sendiri/menghitung Pajak Orang(MPS/MPO), namun dalam praktiknyaternyata sistem ini tidak sesuai dengan hasilyang diharapkan.

Penerimaan dari sektor pajak pada saatitu justru mengalami penurunan. Atau dapat

dikatakan bahwa pemungutan pajak dengansistem (MPO/MPS) dinyatakan tidak ber-hasil, Hal ini terjadi karena tidak didukungdengan sikap jujur dari WP serta pe-ngawasan yang kurang intensif dari pihakpemerintah/fiskus.

Perkembangan selanjutnya, kegagalandari system MPS/MPO tidak menyurutkanoptimisme aparat pajak untuk membangunsystem perpajakan modern dan menjadikanpemerintah dan berbagai kalangan men-dukung reformasi perpajakan pada tahun1983. Reformasi tersebut mengubah konseppemungutan official assessment system men-jadi konsep self assessment system. Sampaisaat ini Indonesia masih menggunakan selfassessment system.

Menurut Hutomo (2009), sistem selfassessment system sebagai mekanisme pe-mungutan PPh berdasarkan peraturan per-undang-undangan perpajakan yang berlakusaat ini telah mengisyaratkan tujuan pe-merintah: (1) memberikan kemudahan bagiWP PPh dalam melaksanakan kewajibanperpajakannya; (2) mencari sistem pe-mungutan PPh yang tepat bagi daerah yangmemiliki latar belakang geografis wilayahkepulauan; (3) mewujudkan suatu keseraga-man secara nasional dalam hal pemungutanPPh.

Seperti kita ketahui definisi Wajib Pajak(WP) adalah setiap orang pribadi yangmemiliki penghasilan di atas pendapatantidak kena pajak (PTKP) (Mardiasmo, 2008).Dalam praktiknya, beberapa WP merasakanbahwa beban perpajakannya sangat sulituntuk dilakukan meskipun dalam kenyata-annya WP tersebut mempunyai penghasilandi atas PTKP. Hal ini dikarenakan banyak-nya WP yang mengalami kendala misalnyamasih buta huruf dan tidak mengetahuibahwa mereka mempunyai kewajiban per-pajakan. Hal ini terungkap saat melakukanwawancara dengan Bapak BD pemilik beng-kel sepeda motor yang pempunyai peng-hasilan lebih dari Rp. 3000.000 setiap bulan-nya.

“Kulo mboten nate bayar pajak. Kulo mbotensaget ngitunge Buk (pen: saya tidak bisa

Page 13: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

292 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

menghitungnya Bu). Lha wong kulo ngehmboten saget moco tulis (Saya juga tidak bisabaca tulis)”

Sedangkan menurut Ibu SY (seorang IbuRumah Tangga yang membuka cateringuntuk beberapa sekolah Full Day di Sura-baya dengan penghasilan lebih dari Rp.8.000.000 setiap bulannya).

“Saya memang tidak punya NPWP dan sayajuga tidak tau apakah saya harus bayar pajakatau tidak. Hidup sekarang untuk makan ajasusah apalagi kalo harus disuruh bayar pajakjuga”

Pernyataan di atas menunjukkan bahwakesadaran untuk memenuhi kewajiban per-pajakan masih belum maksimal. Meskipunberdasarkan klasifikasinya kedua informantersebut masuk dalam katagori WP Pribadi.Artinya secara klasifiaksi mereka adalah WPmeskipun belum mempunyai NPWP, karenapenghasilannya lebih dari PTKP. Bahkanmenurut penulis, mereka terlihat sangatacuh terhadap kebijakan perpajakan yangditerapkan pemerintah Indonesia karena ke-tidaktahuannya atau bahkan mungkin ke-tidakmauan untuk menjadi WP.

Selain ketidak tahuan dari WP, penulisjuga menemukan bahwa WP merasakaankeengganan untuk membayar pajak karenaberbagai hal. Bapak RD, seorang WP yangberdomisili di Kawasan Darmo Surabayamenyatakan:

“Saya paham bahwa pajak adalah sumberpendapatan Negara. Tapi saya jadi engganuntuk bayar pajak, karena saya tau pasti uangsaya di korupsi oleh beberapa oknum. Sakitrasanya kalo dengar tentang itu. Kita susahpayah cari uang kemudian kita sudah dipaksauntuk menyisihkan uang kita buat Negara…eh ndak taunya diambil oknum. Jadi ya sayaisi formulir pajaknya “sak karepku dewe”,benar atau salah saya tidak ambil pusing”

Namun adapula WP yang sudah rutinmembayar pajak antara lain yang diungkap-kan oleh Ibu MZ sebagai ibu rumah tanggadan pemilik salon dan spa di daerah Bratang.

“Saya dan perusahaan saya sudah rutin untukmembayar pajak, karena saya tahu itu me-rupakan kewajiban saya sebagai wargaNegara. Meskipun berat, saya anggap samaseperti jika saya harus membayar zakat”

Demikian pula dengan Bapak AWsebagai suplier ATK di beberapa perusahaandi Surabaya yang menyatakan pendapatnyasebagai berikut:

“Saya biasanya minta bantuan teman untukmembuatkan pajak saya. Saya tidak tau darimana perhitungannya. Tugas saya hanyamembayar, pusing kalo disuruh menghitung,terlalu rumit”

Sedangkan menurut Bapak FB, seorangpengusaha yang bergerak dibidang eksporimpor menyatakan:

“Tanpa pajak, maka Negara ini akan menjadiNegara terbelakang. Sekarang mau dapatuang darimana Negara jika tidak dari pajak.Jalan, trotoar dan sarana umum lainnya di-biayai dari pajak. Menurut saya, kita sebagaiwarga Negara yang baik haruslah taat pajak,seperti slogan ”orang bijak taat pajak”.

Dari berbagai pernyataan tersebut pe-nulis dapat menggambarkan berbagai ke-ragaman perilaku yang ditunjukkan olehbeberapa informan tersebut. Menurut Noto-atmodjo (2003), perilaku merupakan semuakegiatan atau aktivitas manusia, baik yangdiamati langsung, maupun yang tidak dapatdiamati oleh pihak luar.

Dalam praktiknya berbagai perilakutersebut menunjukkan beberapa WP belummerasakan manfaat dari pajak. Menurutbeberapa WP, pajak itu menyulitkan (lihatpernyataan Bapak BD, Ibu SY dan BapakAW) dan pasti ada kebocoran atau korupsidi dalamnya (pernyataan Bapak RD), namunbeberapa informan sudah menyadari bahwatanpa pajak maka infrastruktur tidak mung-kin terwujud dan masyarakat tidak merasa-kan dampak dari kemajuan Negara ini(Lihat pernyataan Bapak FB dan Ibu MZ).

Kita tidak dapat memungkiri bahwapajak mempunyai dampak yang sangatbesar pada negara ini. Hal ini dapat kita lihatdari potensi perpajakan di Indonesia yangbesar, namun sayang belum tergarap opti-mal. Dari sekitar 250 jutaan penduduk Indo-nesia, hingga Januari 2015 baru tercatat se-kitar 26,8 Juta WP orang pribadi. Padahalpemilik pekerjaan potensial mencapai 44,8juta orang. Belum lagi penduduk usia 15

Page 14: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 293

tahun yang dianggap produktif bisa men-capai 206,6 juta orang (Media Akuntansi,2015). Artinya, potensi yang besar belummendorong beberapa WP untuk mempunyaikesadaran membayar pajak.

Bisa kita pahami, pajak bisa menjadipenggerak bagi pertumbuhan perekonomi-an di negara Indonesia, tapi juga bisa kitapahami bahwa tidak ada satu orangpunyang menghendaki membayar pajak. Walau-pun berbagai macam slogan misalnya“orang bijak taat pajak” digelorakan, namuntetap saja para WP diam seribu bahasa(Diamastuti dan Prastiwi, 2015). Hal ini da-pat dibuktikan dengan peningkatan targetpajak sekitar 6% yang dikarenakan rendah-nya tax ratio yaitu 12-13% sebagai akibatrendahnya tingkat kepatuhan WP dan ter-batasnya kapasitas administrasi perpajakan.Menurut Bapak Mardiasmo selaku wakilmenteri keuangan RI (Media Akuntansi,2015).

“Harusnya pembayar pajak tidak hanya ter-paku pada mandatory participation. Tapiharus dibangun kesadaran kolektif bahwapembayar pajak wajib hukumnya untuk me-nopang pembangunan nasional”.

Pernyataan Bapak Mardiasmo di atasmenunjukkan bahwa masih kurangnya ting-kat kesadaran para WP dalam membayarpajaknya yang ditunjukkan sebagai manda-tory participant. Mandatory participant adalahpartisipasi yang tidak berasal dari sebuahkesadaran. Kepatuhannya hanya lantaranadanya punishment bila WP tidak membayarpajak, sehingga jika tidak ada punishmentmaka semua masyarakat tidak akan mauuntuk membayar pajak. Hal ini dapat kitalihat di negara manapun jika pajak tidakdipaksakan maka tidak ada satu orangpunyang mau membayar pajak (nobody wants topay taxes).

Penulis sebagai salah satu WP di Indo-nesia menyadari bahwa pajak adalah sumberbagi pembangunan nasional, namun dalampraktiknya hal ini sulit dilakukan. Dalam halini penulis tidak dapat menyalahkan be-berapa WP yang melakukan tindakan peng-ingkaran tersebut. Banyaknya kecurangan

yang dilakukan oleh staf pajak berupapenggelapan dan korupsi menyebabkan WPmerasa malas untuk menunaikan kewajiban-nya. Selain itu seringnya berganti-ganti ke-bijakan menyebabkan WP juga merasa bi-ngung. Berikut ini penjelasan dari beberapainforman berkaitan dengan pernyataan diatas.

Pernyataan Ibu DP pemilik usaha kon-veksi di Surabaya:

“Kalo bisa ya tidak bayar pajak... tapinyatanya tidak bisa kan?”

Pernyataan Bapak HW yang bekerjapada provider jasa telekomunikasi:

“Saya setiap tahun bayar pajak buktinya sayapunya NPWP...kalo tidak punya NPWP makasaya tidak bisa ikut tender di pemerintahan”

Pernyataan Bapak SS seorang aka-demisi:

“Jangan ragukan kepatuhan saya membayarpajak, gini-gini NPWP saya sudah sejaktahun 1984”

Berkaitan dengan ketiga pernyataaninforman di atas, menggambarkan terjadikeberagaman tanggapan dan perilaku ten-tang kewajiban untuk membayar pajak. Padainforman pertama mencerminkan seorangyang belum menyadari akan penting pajakbagi kesejahteraan dirinya khususnya danmasyarakat pada umumnya, sedangkaninforman kedua dan ketiga, mencerminkanseorang yang sudah menyadari akan ke-wajibannya sebagai warga negara yang baik.Berdasarkan informasi ketiganya, dapat pe-nulis jabarkan bahwa masih terjadi ke-timpangan kesadaran dalam memenuhi ke-wajiban pajaknya.

Selain itu ketimpangan kesadaran da-lam memenuhi kewajiban perpajakan jugadisebabkan tingkat kesulitan dalam meng-hitung utang pajaknya, mengingat peng-hitungan pajak di Indonesia menggunakansistem self assessment system. Berikut per-nyataan Ibu DP sebagai pemilik salah satugerai Batik terkenal di Surabaya:

“Butuh keahlian khusus untuk menghitungbesarnya pajak kita. Meskipun sudah ada bukupetunjuk tapi tetap saja saya tidak bisamengerjakan, akhirnya saya minta bantuantenaga ahli, saya harus keluar dua kali

Page 15: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

294 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

ongkos...satu bayar pajak satu bayar tenagaahlinya...sangat menyulitkan kalo menurutsaya”

Informasi dari Bapak GR:“Memang agak sulit untuk menerapkanmenjadi langsung benar pada saat meng-hitung pajak, namun lambat laun saya bisatahu bagaimana cara menghitungnya”

Menurut seorang mahasiswa PTN diSurabaya yang mempunyai usaha EventOrganizer:

“Sebenernya susah Bu, apalagi kalo aturan-nya sering berganti-ganti. Masih baru bisamenghitung…eh aturan untuk menghitung-nya sudah berubah”

Berdasarkan pernyatan ke dua informandi atas menjelaskan bahwa aktivitas mem-bayar pajak sangat menyulitkan bagi me-reka. Bahkan salah satu informan menyebut-kan bahwa aktivitas membayar pajak men-jadi high cost, karena harus ada dana tambah-an untuk membantu menghitung utangpajaknya. Berkaitan dengan pernyataan iniakan memungkinkan WP menjadi tidak per-duli terhadap kewajibannya. Seperti per-nyataan Bapak RH seorang pengusaha per-cetakan di daerah Kapasan:

“Kalo ndak ketauan kan ndak apa-apa to Bu...nanti kalo ketauan ya tinggal bayar denda...Mana ada bu orang yang mau bayar pajak”

Sedangkan Menurut Ibu NW seorangpengusaha warnet:

“Tak awur Bu...penjualan saya tak karang...ben kethoke cilik. Meskipun tarifnya 1% tetapsaja besar buat kami pengusaha mikro in”

Berdasarkan uraian pada uraian di atas,nampak bahwa informan mempunyai se-buah statemen bahwa kalo tidak dipaksamaka tidak ada satu orangpun yang maudisuruh membayar pajak. Artinya, tidak adasatu orangpun yang mau bayar pajak (nobodywants to pay taxes). Beberapa informan jugamelakukan tahapan untuk penghitunganperpajakan terkadang tidak sesuai denganaturan yang diterapkan oleh pemerintah.Hal ini tentunya didorong oleh beberapamotivasi antara lain untuk mengurangibesarnya pajak yang terutang. Lebih lanjut,jika ditilik dari pernyataan Bapak RH danIbu NW bukan saja tidak perduli, namun

mereka juga melakukan tindakan peng-hindaran pajak secara illegal (tax evasion),dan penunggakan pajak (tax arrearage).Aktivitas yang dilakukan oleh WP ini tentu-nya melawan aturan perpajakan dan hukumperpajakan.

Adapun sanksi yang bisa dijatuhkanpada WP bisa berupa sanksi administrasimaupun pidana sebagaimana telah diaturdalam Kitab Undang–Undang HukumPidana, Undang–Undang No.31 Tahun 2001Jo.Undang–Undang No.31 Tahun 1999 Ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Korup-si dan Undang–Undang No.6 Tahun 1983Jo. Undang–Undang No.10 Tahun 1997 Jo.Undang–Undang No.16 Tahun 2000 tentangKetentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Seperti kita ketahui, upaya penghindar-an pembayaran pajak dapat dikategorikandalam tiga tipe. Tipe pertama adalah peng-hindaran pajak dengan legal (tax avoidance).Dalam tipe ini, WP berusaha untuk me-ngurangi jumlah pajak yang harus dibayardengan mencari kelemahan peraturan per-pajakan (loopholes). Upaya yang dilakukanuntuk mengurangi jumlah pajak yang di-bayar adalah legal dan tidak menyalahi per-aturan yang ada. Tipe kedua adalah peng-hindaran pajak secara illegal (tax evasion).Dalam tipe ini, WP dengan sengaja tidakmelaporkan secara utuh kekayaan dan peng-hasilannya yang mestinya kena pajak.Tindakan demikian ini dapat dikenaihukuman. Tipe ketiga adalah penunggakanpembayaran pajak (tax arrearage). Penung-gakan pajak (karena memang tidak maumembayar pajak) adalah tipe dari ketidak-mauan membayar pajak. Sama halnya dengan ‘tax evasion’, menunggak pembayaranpajak dapat dikenakan hukuman.

Meskipun terdapat perbedaan dalamsubstansi antara perbuatan tax avoidance, taxevasion, dan tax arrearage, namun ketiganyamerefleksikan ketidakgairahan masyarakatdalam membayar pajak. Pada kasus taxavoidance, motivasi untuk membayar jauhlebih baik daripada kasus tax evasion. Orang-orang yang melakukan tax avoidance tidaksemata-mata karena rendahnya kegairahan

Page 16: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 295

untuk membayar pajak, tetapi juga di-karenakan motivasi untuk memperoleh ke-untungan finansial yang sebesar-besarnya.Para pelaku tax avoidance menganggapperilakunya halal dan tidak melanggarhukum, sedangkan untuk tax evasion dan taxarrearage jelas melanggar hukum, karena WPmemang berniat untuk menghindari danmenggelapkan pajak.

Menindaklanjuti ketidakgairahan pem-bayar pajak dalam memenuhi kewajibannya,maka DJP selaku yang punya ‘Gawe” ataupihak pemerintah yang mengelola danmengawasi pajak masyarakat telah melaku-kan berbagai macam aktivitas mulai darisosialisasi, memberikan award bagi WP yangtaat, membuat lomba berkaitan dengankepatuhan dan sebagainya, namun hal ter-sebut masih dirasakan kurang mengena olehDJP. Seperti yang diungkapkan oleh tigainforman staf KPP Gubeng dan Wonocolo:

“Memang sih kalo saya lihat ada peningkatanrealisasi penerimaan pajak di KPP Gubengdibandingkan dengan tahun keamrin. Tapisepertinya rata-rata mereka membayar pajakkarena ada rasa takut bukan karena ke-sadaran” (keterangan Ibu RS).“Terkadang sosialisasi yang dilakukan olehbeberapa KPP di Surabaya ini untuk me-ningkatkan kesadaran membayar pajak sepertitidak digubris. Mereka yang datang hanyasegelintir saja” (keterangan Bapak SL).“Beberapa terobosan mulai dibuat oleh DJPsupaya mereka mau membayar pajak, antaralain tindak pidana bagi WP yang nakal danmengaktifkan kembali lembaga menyanderaan(Gijzeling)”. (Keterangan Bapak ZD).

Berdasarkan pernyataan dari pihakpegawai pajak yang mengkolektif pajakmasyarakat Nampak bahwa masyarakatbelum memanfaatkan kepercayaan peme-rintah untuk menghitung pajak terutangsendiri. Anggapan bahwa masyarakat Indo-nesia adalah masyarakat yang patuh dan taatpada aturan masih ditampilkaan oleh se-gelintir orang saja, belum seluruh WP.Mereka terkadang mempunyai NPWP na-mun kewajiban untuk melapor dan mem-bayar pajak tidak pernah dilakukannya. Halini nampak pada pernyataan Menteri Ke-

uangan Agus Martowardjojo di era PresidenSBY dalam salah satu even pada bulanAgustus 2011 di Gedung Bank Indonesia,Jakarta Pusat sebagai berikut:

"Selain banyaknya pengusaha nasional yangmangkir dari kewajiban membayar pajak, ke-sadaran masyarakat Indonesia untuk mem-bayar pajak juga masih minim. Dari 238 jutajumlah penduduk Indonesia, hanya 7 juta sajayang taat pajak.Kalau seandainya terdapat 22juta badan usaha, hanya 500.000 yangmembayar pajak.

Pernyataan diatas, memverifikasi per-nyataan sebelumnya, artinya pemerintahmerasakan keprihatinan terhadap masya-rakat yang sampai saat ini belum menyadaribahwa pajak untuk kepentingan bersama.Kalaupun terdapat kebocoran terhadaprealisasi penerimaan pajak, itu dilakukanoleh oknum dan tidak semua fiskus me-lakukan kecerobohan korupsi.

Siluet Pertama: self assessment systemmenyebabkan munculnya perilaku taxavoidance, tax evasion dan tax arrearage

Kesadaran: Jejak Sebuah KepatuhanPada sistem self assessment system yang

telah diterapkan pemerintah mempunyaisuatu konsekuensi yaitu WP diwajibkanuntuk mendaftarkan diri, menghitung, me-laporkan dan menyetorkan pajaknya. Arti-nya, pemerintah mempunyai mindset bahwaWP atau masyarakat Indonesia adalahmasyarakat yang patuh. Hal ini sesuaidengan pernyataan dari Chong dan Lai(2009) yang menyatakan bahwa kepatuhanmemenuhi kewajiban perpajakan secarasukarela merupakan tulang punggung selfassesment system. Kepatuhan pajak yang ti-dak meningkat mengancam upaya peme-rintah untuk meningkatkan kesejahteraanmasyarakat (Chau, 2009). Hal ini dikarena-kan tingkat kepatuhan pajak secara tidaklangsung mempengaruhi ketersediaan pen-dapatan untuk belanja (Jung, 1999).

Menurut James et al. (2004), pengertiankepatuhan pajak (tax compliance) adalah WPmempunyai kesediaan untuk memenuhikewajiban pajaknya sesuai dengan aturan

Page 17: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

296 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

yang berlaku tanpa perlu diadakan pe-meriksaan, investigasi seksama, peringatan,ancaman dan penerapan sanksi baik hukummaupun administrasi. Artinya, WP melaku-kan berbagai kewajiban perpajakannya tidakmerasakan terpaksa dan dengan sadar ataskemauannya sendiri. Hal ini sesuai denganpernyataan sebelumnya dari Bapak Mardi-asmo selaku wakil menteri keuangan yangmenyatakan “...harus dibangun kesadarankolektif dalam membayar”. Artinya, kesadar-an kolektif harus diperjuangkan, di manamunculnya kesadaran kolektif pasti berasaldari kesadaran diri yang direfleksikan dalamsebuah lingkungan.

Kesadaran kolektif yang dimaksud diatas merupakan sikap sukarela dari WP,namun hal ini sangat sulit diwujudkan. Satuhal yang menyebabkan kesulitan tersebutadalah adanya definisi pajak dengan frase“yang dapat dipaksakan” dan “yang bersifatmemaksa.” Bertitik tolak dari frase ini me-nunjukkan membayar pajak bukan semata-mata perbuatan sukarela atau karena suatukesadaran. Frase ini memberikan pemaha-man dan pengertian bahwa masyarakatdituntut untuk melaksanakan kewajibankenegaraan dengan membayar pajak secarasukarela dan penuh kesadaran sebagaiaktualisasi semangat gotong-royong atausolidaritas nasional untuk membangunperekonomian nasional.

Frase tersebut muncul dalam realitaspraktik yang ditampilkan oleh sebagianinforman (lihat pernyataan RH, NW, MZ).Frase ini menunjukkan bahwa WP merasaterpaksa melakukan penghitungan, pelapor-an dan pembayaran pajak. Tidak ada sebuahkesadaran dalam diri sebagai bentuk ke-patuhan pada aturan negara. Meskipundalam realitas praktik lainnya menampilkanbeberapa WP sudah mempunyai kesadaranyang cukup bagus (lihat pernyataan FB, SS,HW, GR).

Hal ini menunjukkan bahwa perilakumereka muncul karena ada kesadaran dalamdirinya sebagai bentuk refleksi dari ke-patuhan. Menurut Giddens (2004) refleksimerupakan bentuk dari pengungkapan ke-

sadaran, di mana ia dapat memberikan ataubertahan dalam situasi dan kondisi tertentudalam lingkungan, sedangkan al-Banjari(2008) menyatakan bahwa kesadaran di-klasifikasikan dalam dua katagori yaitu (1)ekstropeksi yaitu kesadaran yang diarahkanke luar proses untuk memahami yang ada didunia luar dan introspeksi; (2) kesadaraninstropeksi yaitu kesadaran yang diarahkanke dalam proses untuk memahami kegiatanpsikologi sendiri dengan memperhatikandunia luar.

Untuk itu kesadaran dalam kaitannyakepatuhan, menurut penulis termasuk da-lam katagori kesadaran ekstropeksi. Hal inidapat dijelaskan karena setiap individuadalah makhluk sosial yang selalu ter-hubung dengan lingkungannya. Dalam halini, kesadaran yang ditunjukkan oleh be-berapa WP timbul karena adanya interaksidengan dunia luar yaitu adanya sebuahaturan dan kewajiban yang mengharuskanmereka untuk membayar pajak.

Siluet kedua: Self assessment systemmembutuhkan sebuah kesadaran bukanketerpaksaan dalam menciptakan sebuahkepatuhan

Bencana KetidakpatuhanKepatuhan dan ketidakpatuhan dalam

membayar pajak bukan hanya menjadi topiksaat ini saja. Pada jaman penjajahan, masya-rakat umum beranggapan bahwa membayarpajak hanya dijadikan sapi perahan olehpenguasa. Sampai sekarang kepatuhanmasyarakat membayar pajak masih belummencapai tingkat sebagaimana yang di-harapkan. Umumnya masyarakat masihsinis dan kurang percaya terhadap keberada-an pajak karena masih merasa sama denganupeti, memberatkan, pembayarannya seringmengalami kesulitan, ketidak mengertianmasyarakat apa dan bagaimana pajak danribet menghitung dan melaporkannya. Olehsebab itu, tidaklah mudah menyadarkansemua WP untuk memenuhi persyaratansistem perpajakan (James, 1996). Ketidakpatuhan dalam membayar pajak akan me-

Page 18: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 297

ngancam upaya pemerintah untuk me-ningkatkan kesejahteraan masyarakat. Halini dikarenakan tingkat kepatuhan pajaksecara tidak langsung mempengaruhi ke-tersediaan pendapatan untuk belanja(Jung, 1999).

Ketidakpatuhan WP dapat berkembangapabila tidak adanya ketegasan dari instansiperpajakan, hal ini dapat mencapai suatutitik dimana lumpuhnya sistem perpajakan(Ratna et al., 2012). Untuk itu, WP agarberada dalam koridor peraturan perpajakan,maka perlu dilakukan upaya intensifikasi,pemeriksaan terhadap WP yang memenuhikriteria untuk diperiksa. Tujuan pemeriksa-an pajak adalah untuk meningkatkan ke-patuhan (tax compliance) seorang WP dan di-harapkan memiliki pengaruh bagi pe-ningkatan penerimaan pajak. Menurut Salipdan Wato (2006) penerimaan pajak di kantorPelayanan Pajak akan meningkat seiringdengan timbulnya kepatuhan WP sebagaiakibat dari praktik pemeriksaan pajak yangmenggunakan sistem self assesment.

Hal Ini terbukti dalam praktiknya,masih banyak WP yang tidak melakukankewajiban perpajakannya sehingga me-nyebabkan timbulnya tunggakan pajak yangmengakibatkan berkurangnya penerimaanpajak. Untuk itu, pemerintah merasa perluuntuk menggiatkan penagihan pajak yangmerupakan serangkaian tindakan agar WPmelunasi utang pajak dan biaya penagihanpajak dengan cara menegur atau mem-peringatkan, melaksanakan penagihan se-ketika dan sekaligus, memberitahukan suratpaksa, mengusulkan pencegahan, melaksana-kan penyitaan, melaksanakan penyanderaan(gijzeling), dan melelang barang yang telahdisita (Suandy, 2011).

Landasan hukum penagihan pajak di-atur dalam Undang-undang Nomor 19Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak denganSurat Paksa sebagaimana telah diubahdengan Undang-undang Nomor 19 Tahun2000. Proses penagihan pada dasarnya me-rupakan upaya hukum memaksa WP agarmembayar utang pajaknya, sedangkan Lem-baga penyanderaan (gijzeling) merupakan

bagian dari upaya penagihan pajak dengansurat paksa.

Lembaga penyanderaan pada dasarnyasudah dikenal dalam lapangan hukum per-data sebagai upaya paksa agar pihak yangberutang melaksanakan kewajibannya ke-pada pihak yang berpiutang, sedangkandalam hukum pajak lembaga sandera di-kenakan terhadap WP yang memliki utangpajak dalam jumlah tertentu yang tidak atautidak mempunyai itikad baik untuk meluna-si utang pajaknya. Lembaga penyanderaanmerupakan bentuk penegakan hukum (lawenforcement) dibidang perpajakan yang di-harapkan dapat berjalan efektif dan ber-dampak pada pencairan tunggakan pajak.

Seperti dilansir oleh Jawa Pos (10 Okto-ber 2015) bahwa Kanwil Jatim II telah me-ngambil tindakan preventif untuk menertib-kan WP yang menunggak yaitu dengan me-nyandera (gijzeling) terhadap tiga WP yangberasal dari Jawa Timur. Informan Jawa Posyaitu Bapak Nader Sitorus menyatakan bah-wa pihaknya sengaja mengambil tindakantersebut karena sebelumnya sudah mem-berikan teguran dan peringatan namun tidakpernah direspon oleh ketiga perusahaanpenunggak pajak tersebut. Nader jugamenginformasikan:

“Selama tahun 2015, kami telah menyaderalima penunggak pajak kurang lebih 6 bulan”

Pengapnya ruang tahanan diharapkanmembuat WP menjadi tidak kerasan, se-hingga akan berpikir ulang untuk melanjut-kan tindakan pengelapan pajak. SelanjutnyaWP akan merenungkan tindakannya danberpikir kembali untuk melunasi kewajibanpajaknya.

Tindakan memaksa yang dilakukanoleh DJP tentunya didasarkan banyaknyatindakan penggelapan pajak (Tax Evasion)dan tindakan penghindaran pajak (Taxarrearage) yang dilakukan oleh beberapa WPnakal. Contohnya, kasus penggelapan pajakyang dilakukan oleh pegawai pajak GayusTambunan dan Dhana Widyatmika. Tidakhanya penggelapan pajak yang dilakukanoleh dua pegawai pajak tersebut, tetapi jugasuap pajak.

Page 19: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

298 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

Selain itu, kasus penggelapan pajak olehperusahaan Asian Agri.

Asian Agri diduga melakukan peng-gelapan pajak sejak tahun 2004 sampai 2005sebesar Rp 1,4 miliar. Modus yang diguna-kan dalam kasus ini yaitu dengan mereka-yasa jumlah pengeluaran perusahaan. Aki-bat kasus ini negara menderita kerugianyang cukup besar. Berkaitan dengan banyak-nya kasus yang berkaitan dengan peng-gelapan pajak, maka saat ini (pada tahun2015) pemerintah mulai menggalakkan lem-baga penyanderaan (gijzeling) untuk meng-antisipasi para penunggak pajak yang nakal

Lembaga sandera (gijzeling) dalamhukum pajak diberlakukan sebagai tindakanterakhir Direktorat Jenderal Pajak (DJB)dalam melakukan penagihan utang pajakterhadap WP bandel yang tidak melunasiutang pajaknya dan dinilai tidak kooperatifdalam menyelesaikan kewajibannya. Me-nurut Brotodihardjo (1989), gijzeling ataupenyanderaan ialah penyitaan atas badanorang yang berutang pajak. Tindakan inijuga suatu penyitaan, tetapi bukan langsungatas kekayaan, melainkan secara tidak lang-sung, yaitu diri orang yang berutang pajak,sedangkan tujuan dilakukannya gijzelingadalah untuk mendorong kesadaran, pe-mahaman, dan penghayatan masyarakatbahwa pajak adalah sumber utama pem-biayaan negara dan pembangunan nasional,serta merupakan salah satu kewajiban ke-negaraan, sehingga dengan penagihan pajakmelalui surat paksa tersebut setiap anggotamasyarakat wajib berperan aktif dalm me-laksanakan sendiri kewajiban perpajakan-nya. Upaya gijzeling dilaksanakan setelahupaya penagihan oleh DJB melalui se-rangkaian upaya administratif teratur be-rupa pemberian Surat Teguran (ST), SuratPaksa (SP), Surat Perintah Melakukan Pe-nyitaan Aset (SPMP) dan Pelelangan tidakmendatangkan hasil. Dari sudut hukumpidana langkah hukum yang ditempuh olehDirjen Pajak melalui gijzeling ini dapat di-katakan sebagai bagian dari law enforcementdengan pengertian penegakan hukum ber-kaitan dengan pengurangan hak asasi

manusia atau kebebasan bagi WP. Meskipungijzeling sudah mulai digalakkan oleh pe -merintah namun dalam praktiknya gijzelingmerupakan aktivitas yang penuh denganpertimbangan. Hal ini dapat berdasarkanpernyataan beberapa staf pajak di DJPWonocolo:

“Intinya proses Gijzeling merupakan prosespenagihan pajak akhir setelah semua tindakanpenagihan pajak persuasif lainnya dari mun-cul surat teguran, surat paksa dan lain-laintelah dilakukan secara maksimal, sehinggakarena merupakan tindakan akhir butuhadanya persiapan yang teliti terhada prosesGijzeling dan yang paling krusial adalahmemperhitungkan kemampuan membayarWP. Sehingga sebelum pelaksanaan Gijzeling,Jurusita pajak telah memantau apakah WPtersebut mampu membayar atau tidak. Jikatidak memiliki kemampuan bayar kemudiandimasukkan ke penjara tentu membebani kita.Sehinga saya yakin yang saya lakukan dapatmembuat penunggak pajak langsung mem-bayar pajaknya”“Kalau dari sisi kemanusiaan kan memangGijzeling upaya paksa. Berarti kan ada pihakyang berkenan terus dipaksa. Tapi karena initelah sesuai dengan Undang-Undang dan WPtidak melaksanakan kewajibannnya ya sayarasa sudah adil. Justru dengan melaksanakanGijzeling dan tindakan paksa lainnya sayarasa telah berlaku adil pada masyarakat karenatelah menegakkan peraturan yang berlaku”.

Berdasarkan kedua pernyataan stafpegawai pajak sebagai juru sita meng-gambarkan bahwa gijzeling dilakukan jikasemua yang peringatan, teguran dan paksa-an sudah dilakukan namun tidak ada itikatbaik dari para WP yang nakal tersebut.Untuk melakukan proses tersebut butuhbanyak energi dan waktu karena semuabukti-bukti harus terkumpul lebih dahulusebelum dilakukan tindakan gijzeling

Siluet ketiga: ketidakpatuhan WP me-nyebabkan pemerintah melakukan tindak-an penyanderaan (Gijzeling).

MERANGKAI KEPINGAN SILUET DA-LAM SEBUAH CERITA PENDEK

Perilaku WP terhadap kewajiban pajak-nya selalu menjadi bahan perbincangan

Page 20: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 299

yang cukup serius tidak hanya di Indomesiasaja namun juga di berbagai Negara. Dariberbagai fenomena yang nampak menunjuk-kan bahwa WP di Indonesia dalam me-nyikapi kewajiban pajaknya diterjemahkandengan perilaku yang beragam. Adanyayang merasa “aware” ada yang bersikappesimis bahkan apatis. Semua perilaku itumencerminkan bahwa WP menerjemahkankepatuhan dan kesadaran berpajak masihberwarna atau masih belum seragam. Ke-beragaman ini disebabkan karena WP me-nerjemahkan self assessment system denganperilaku yang beragam pula. Untuk itu,perilaku WP dalam menjalankan kewajibanpajaknya dapat dirangkum dalam sebuahcerita yang didasarkan dari beberapa kepingfenomena sebagai sebuah temuan.

Bagi Calon WP, sistem self assessmentsystem dianggap tidak menguntungkan, se-hingga sebagian besar mereka enggan untukmendaftarkan dirinya bahkan menghindardari kewajiban ber-NPWP. Data-data ten-tang dirinya selalu diupayakan untuk di-tutupi sehingga tidak tersentuh oleh DJP.Ada berbagai faktor yang menyebabkan halini, namun yang paling menyolok dalamtemuan studi ini adalah, adanya tingkatkesulitan yang cukup tinggi dalam meng-hitung pajak sehingga mereka enggan untukbersentuhan dengan pajak. Seperti kita ke-tahui masyarakat Indonesia masih banyakmengalami buta aksara dan masih berada dibawah garis kemiskinan. Atau bisa dikata-kan bahwa masyarakat Indonesia masihkurang mengerti pengetahuan pajaknya.Kondisi ini menyebabkan banyak WP harusmeminta orang lain menghitungkan besarhutang pajaknya. Artinya, self assessmentsystem masih belum berjalan sesuai denganyang diharapkan oleh pemerintah. Selain itu,masih sedikitnya informasi yang semestinyadisebarkan dan dapat diterima masyarakatmengenai peranan pajak sebagai sumberpenerimaan negara dan segi-segi positiflainnya.

Berdasarkan informasi yang berhasildikumpulkan oleh penulis, nampak semakinjelas bahwa tingginya faktor kesulitan yang

dialami oleh WP pada saat melakukan pe-ngisian sendiri (self assessment system) untukmenghitung berapa besar hutang pajaknya.Sehingga membuat mereka tidak gairahdalam menjalankan kewajiban perpajakan-nya. Dari berbagai ketidakgairahan tersebutmuncul berbagai perilaku yang tidak di-sarankan untuk dilakukan yaitu perilakutidak melaporkan pajak sampai denganpenggelapan pajak. Untuk itu, studi me-maknai bahwa ketidakgairahan dalam mem-bayar pajak menyebabkan munculnya peri-laku tax avoidance, tax evasion dan taxarrearage.

Sulitnya untuk menghitung sendiri ke-wajiban pajak menyebabkan beberapa WPberusaha menghindari kewajibannya. Semen-tara, susahnya mencari kehidupan yanglayak membuat mereka merasa sayanguntuk menyisihkan penghasilan atau ke-untungannya bagi negara. Selain itu ketidakpercayaan kepada pemerintah menyebabkanmereka berpikir dengan pajak hanya akanmemperkaya pemerintah atau aparat pajak.Para WP mengharapkan agar uang yangdiserahkan kepada negara digunakan de-ngan sebaik-baiknya oleh pemerintah.Orang, masyarakat atau WP ingin melihatdengan jelas apa yang telah dilakukan ter-hadap uang pajak yang telah mereka bayar.Apakah ada perbaikan di dalam pelayananterhadap mereka sebagai warganegara?Apakah urusan dalam berbagai hal yangsemula kurang lancar kini berubah menjadilancar?. Jika pertanyaan ini tidak dapatdijawab dengan maka akan timbul per-nyataan, “pajak kita dikemanakan oleh pe-merintah”

Prasangka negatif kepada aparat pajakatau pemerintah menyebabkan para WPbersikap defensif dan tertutup. Mereka akancenderung menahan informasi dan tidakkooperatif. Mereka akan berusaha mem-perkecil nilai pajak yang dikenakan padamereka dengan memberikan informasi se-sedikit mungkin. Untuk itu perlu usahakeras dari lembaga perpajakan dan mediamassa untuk membantu menghilangkanprasangka negatif tersebut.

Page 21: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

300 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

Alan Lewis (1982) dalam Agustina(2012) beranggapan bahwa sikap masyarakatterhadap pemerintah menentukan kegairah-an membayar pajak. Pemerintah yang me-nimbulkan perasaan takut pada rakyatdisebut dengan pemerintah yang bersifatkoersif, rakyat merasa tidak mempunyaijalur untuk menyampaikan kata hatinya(impotence), dan rakyat merasa terasing(alienation) dari pemerintah dalam beberapahal, khususnya dalam penyusunan kebijak-an perpajakan. Hal ini akan membuatrakyatnya menghindari pembayaran pajakyang memunculkan tax evasion dan taxarrearage

Menurut James dan Wallschutzky (1995)beberapa alasan mengapa WP melakukantax evasion adalah: (1) WP berpersepsi ten-tang: (a) Tarif pajak terlalu tinggi; (b) Sistemkeadilan dan kejujuran dalam perpajakanyang kurang; (c) Bagaimana kebijakan pe-merintah membelanjakan uang dari pem-bayaran pajak oleh WP; (2) Kecenderunganindividu yang kurang memahami aturandan hukum yang berlaku; (3) Perilakuindividu yang dipengaruhi oleh kelompoksehingga mempengaruhi individu tersebutmelakukan tax evasion; (4) Tax audit, pe-laporan informasi dan potongan dalampajak; (5) Administrasi pajak yang kurangdimengerti oleh tax payer; (6) Praktisi pajak;(7) Kemungkinan ketahuan dan penegakanhukum yang kurang dari pemerintah; dan(8) Servis dari WP yang kurang dinikmati.

Pendapat dari James dan Wallschutzky(1995) juga ditemukan pada studi ini ter-utama dalam pernyataan nomer 2 yaitukecenderungan individu yang kurang me-mahami aturan dan hukum yang berlaku,sehingga mereka merasa bahwa pajak hanyaakan menghabiskan harta kekayaannya, pa-jak hanya akan mempersulit dirinya karenaketidaktahuan dalam menghitung pajak.Akibatnya tax evasion tidak dapat dihindar-kan. Tax evasion dalam studi ini dapat di-maknai sebagai sebuah tindakan peng-ingkaran yang dilakukan oleh WP dalammenjalankan kewajiban pajaknya

Fenomena pengingkaran terhadap ke-wajiban perpajakan yang dilakukan olehbeberapa WP yang nampak pada studi inimenunjukkan bahwa tingkat kepatuhan ter-hadap perpajakan masih perlu dipertanya-kan. Salah satu indikator yang dapat di-gunakan untuk mengukur kepatuhan WPadalah Pelaporan SPT Tahunan.

Beberapa informan menunjukkan bah-wa mereka tidak patuh karena mempunyaibeberapa motif antara lain adanya motifbisnis tertentu yang dimiliki WP yang inginmendapatkan NPWP, seperti agar dapatmengikuti tender pemerintah dan juga men-jadi rekan pemerintah ataupun untuk ke-pentingan bisnis lainnya, sehingga ketikatidak lolos tender, WP tersebut tidak men-jalankan kewajiban perpajakannya sepertiSPT Tahunan atau menyetorkan utang pajak.Bagi WP yang lolospun atau menjadi rekanpemerintah, hanya menjalankan kewajibanperpajakanya pada saat kontrak berjalan danapabila sudah selesai kepentingan bisnisnyamaka WP tersebut tidak lagi men- jalankankewajiban perpajakannya.

Berdasarkan hal tersebut dapat kitasimpulkan kepatuhan yang dilaksanakanoleh WP masih dalam tataran keterpaksaanbukan karena adanya kesadaran dari yangbersangkut. Pengetahuan tentang perpajak-an yang dimiliki ternyata hanya digunakansebagai dasar untuk melakukan tindakantertentu bukan sebuah kepatuhan yang se-benarnya. Untuk itu akan sangat susah jikapengetahuan pajaknya tidak digunakan se-bagaimana mestinya. Padahal pengetahuantentang pajak ternyata mempengaruhi ke-sediaan orang untuk melaporkan pe-nyimpangan yang dilakukan oleh orang lain,khususnya untuk penyimpangan dalamjumlah yang besar. Keadaan demikian inidikenal dengan istilah normative constraint,namun hal ini tidak dipergunakan.

Menurut Izza et al (2008), kecurangan inidapat dikurangi bila pelaku tax evasionmerasa bahwa perbuatannya diketahui olehpetugas dan dihukum. Untuk menjembatanihal ini, maka DJP selalu berupaya mem-bangun kesadaran dan kepedulian serta

Page 22: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 301

sukarela WP, karena kegiatan ini sangat ber-korelasi secara signifikan dengan pencapai-an target penerimaan pajak, namun demi-kian, dukungan seluruh lapisan masya-rakat sangat dibutuhkan. Bahkan DJP me-nyatakan bahwa meningkatkan kesadaranmasyarakat adalah tantangan utama. Se-belum menentukan langkah alternatif untukmembangun kesadaran dan kepeduliansukarela WP, perlu melandasi pemikirankita bahwa kesadaran membayar pajakharus datang dari diri sendiri dan dipupuksejak masa kanak-kanak.

Berdasarkan uraian di atas, studi inidapat mendeskripsikan bahwa self assessmentsystem membutuhkan sebuah kesadaranbukan keterpaksaan dalam menciptakan se-buah kepatuhan. Rahmany (2012) telahmelakukan sebuah kajian dan menyatakanbahwa pada kenyataannya kepatuhan per-pajakan di Indonesia belum baik, yangmenyebutkan bahwa tingkat kepatuhan WPmasih rendah, dari 55 juta WP pribadi hanya9 juta yang taat, dan dari 12 juta WP badan,baru 500 ribu yang taat membayar pajak.Demikian pula menurut Petrus Tambunan(2012) yang menyatakan bahwa WP yangterdaftar di Ditjen Pajak Per 30 April 2012mencapai 14.101.933 orang, namun SPT yangditerima baru 7.733.271.

Realisasi yang berhasil dikumpulkanoleh penulis berkaitan dengan target pajakyang juga mengindikasi mengenai ke-patuhan yaitu catatan DJP hingga 31 Juli2015 (www.pajak.go.id), realisasi penerima-an pajak mencapai Rp 531,114 triliun. Daritarget penerimaan pajak yang ditetapkansesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai41,04%. Jika dibandingkan dengan periodeyang sama di tahun 2014, realisasi pe-nerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalamipertumbuhan yang cukup baik di sektortertentu, namun juga mengalami penurunanpertumbuhan di sektor lainnya, sedangkanArmia (2002) menyatakan bahwa terdapatdua macam kepatuhan yaitu kepatuhanmaterial dan kepatuhan formal. Kepatuhan

material adalah suatu keadaan dimana WPsecara substantif/hakekat memenuhi semuaketentuan material perpajakan, yakni sesuaiisi dan jiwa undang-undang perpajakan,sedangkan yang dimaksud kepatuhan for-mal adalah suatu keadaan dimana WPmemenuhi kewajiban perpajakan secaraformal sesuai dengan ketentuan dalamundang-undang perpajakan.

Artinya, informan dalam studi ini ham-pir rata-rata masih memenuhi kewajibanperpajakannya secara formal. Masih merasa-kan sebuah keterpaksaan belum sampaipada tingkatan hakekat atau sebuah ke-sadaran. Artinya, dapat dikatakan bahwaWP belum menjalankan kewajiban pajaknyasecara sukarela. Deskripsi ini diperkuatdengan pendapat Sulthoni (2013) yang me-nyatakan bahwa kepatuhan atas dasar suka-rela dibangun diatas kepercayaan dan siner-gi. Transparansi dalam pemenuhan kewajib-an pajak memerlukan rasa sukarela sebagaitulang punggung pada self assesment systemdimana WP bertanggung jawab menetapkansendiri kewajiban pajaknya dan tepat waktumembayar dan melaporkan pajak ataspenghasilan. Sedangkan WP yang dikatakanpatuh bila memenuhi persyaratan sebagaiberikut (sesuai Keputusan Menteri Keua-ngan No. 544/KMK.04/2000): (1) Tepat wak-tu dalam menyampaikan surat pemberi-tahuan untuk semua jenis pajak dalam 2(tahun) terakhir, (2) Tidak mempunyai tung-gakan pajak untuk semua jenis pajak, kecualitelah memperoleh ijin mengangsur ataupenundaan bayar pajak, (3) Tidak pernahdijatuhi hukuman

Dari pernyataan di atas nampak jelasbahwa kepatuhan harusnya dilandasi se-buah kesadaran bukan sebuah keterpaksaan.Jika dilandasi dengan keterpaksaan makahasilnya seperti yang terjadi pada saat inibaik di Surabaya maupun di Indonesia.Mereka melaporkan dan membayar pajakhanya karena takut jika didenda, takut jikadiperkarakan di meja hijau. Akibatnya, WPakan selalu mencari celah bagaimana tidakmembayar pajak namun tidak diketahui olehpemerintah. Berbagai cara mereka lakukan

Page 23: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

302 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

hanya untuk tidak membayar pajak ataupunmengurangi pajak terutangnya (tax evasion).

Fenomena tax evasion sebagai dampakdari self assessment system membuat pe-merintah perlu untuk mengantisipasi apa-bila ketidakpatuhan lebih menarik di-bandingkan dengan kepatuhan. Untuk itupemerintah mengambil sikap tegas denganmelakukan penyanderaan (gijzeling) jika WPtetap membandel meskipun telah diberikanperingatan.

Gijzeling adalah langkah terakhir yangdilakukan oleh pemerintah jika mendapat-kan WP yang membandel (Muliari, 2009).Dalam menjalankan gijzeling, syarat yangharus dipenuhi adalah utang pajak se-kurang-kurangnya sebesar seratus jutarupiah dan penanggung pajak diragukanitikad baiknya dalam melunasi pajak. Untukmenjaga prinsip kehati-hatian, pelaksanaangijzeling hanya dilakukan setelah ada SuratPerintah Penyanderaan atas izin MenteriKeuangan atau Gubernur dan diterima olehpenanggung pajak. Waktu penyanderaanmaksimal 6 bulan sejak penanggung pajakdimasukkan tempat penyanderaan dan da-pat diperpanjang. Meskipun telah dilakukanpenyanderaan, hal tersebut tidak meng-akibatkan hapusnya utang pajak dan ter-hentinya pelaksanaan penagihan.

Menurut beberapa informan dari KPP diSurabaya, jika kebijakan gijzeling dilaksana-kan dengan tepat, tindakan law enforcementtersebut akan mendorong WP untuk patuhmembayar pajak. Menurut Herbert Kelman(1966) dalam Compliance, Identification, andInternalization: Three Process of AttitudeChange Problem, gijzeling dapat dijadikansalah satu motif membayar pajak karenadidorong oleh ketakutan akan mendapatkanhukuman bila tidak membayar kewajibanperpajakannya (Klepper and Nagin, 1989).

Mengingat Indonesia menerapkan sis-tem self assessment, pada tahap akhir, pe-nerapan gijzeling akan menciptakan tingkatkesadaran yang tinggi untuk membayarpajak secara sukarela dan membangun ke-percayaan masyarakat dalam membayarkewajiban perpajakan. Untuk itu, satu hal

yang perlu digarisbawahi adalah gijzelingmerupakan salah satu upaya dalam rangkapenegakan hukum (law enforcement). Tindak-an tersebut dapat menambah penerimaannegara, namun demikian, perlu ditekankankepada masyarakat bahwa tindakan gijzelingbukan hanya untuk mencapai target dalamanggaran negara. Dengan dikekang ke-bebasannya sementara waktu, WP diharap-kan dapat melunasi utang pajaknya. Artinya,penerapan gijzeling dilakukan untuk men-ciptakan efek jera sehingga slogan nobodywants to pay taxes sudah terhapus dan di-gantikan dengan orang bijak taat pajak.Penulis yakin semua masyarakat ingindisebut sebagai orang bijak, supaya menjadiorang bijak maka membayar pajak bukanlagi sebuah keterpaksaan namun menjadisebuah kesadaran.

DAFTAR PUSTAKAAgustina, R. 2012. Penerapan Self assessment

system Dan Pemeriksaan Pajak TerhadapTingkat Kepatuhan WP Bandung. JurnalUnikom

Alm, J., B. Roy., dan M. N. Murray. 1990. TaxStructure and Tax Compliance. TheReview of Economics and Statistics 72(4):603-613.

Ajzen, I, 2002. Constructing a TPB Question-naire: Conceptual and MethodologicalConsiderations. September (RevisedJanuary, 2006).

Akbar, I. N., D. Atmanto dan A. Jauhari,2015. Pengaruh Persepsi Wajib PajakOrang Pribadi terhadap PelaksanaanSelf Assesment System. Jurnal Perpajakan(JEJAK) 7(1).

Allingham, M. G. and A. Sandmo. 1972.Income Tax Evasion: A Theoritical Ana-lysis. Journal of Public Economics 1.

Al-Banjari, R. R. 2008. Prophetic leadership.Penerbit Diva press. Yogyakarta

Armia, C. 2002. Pengaruh Budaya terhadapEfektivitas Organisasi: Dimensi BudayaHofstede. JAAI 6(1): Juni 2002. Diaksestanggal 30 April 2010 dari http://google.co.id/

Page 24: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

Ke (Tidak) Patuhan Wajib Pajak... –Diamastuti 303

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatupendekatan praktik. PT. Rineka Cipta.Jakarta.

Bohari. 2003. Penerapan Self AssesmentSystem dalam Sistem Perpajakan Nasi-onal. Majalah Ilmiah Hukum AmannaGappa No.13/Tahun XI/ Januari-Maret2003.

Brotodiharjo, R. S. 1991. Pengantar IlmuHukum Pajak. Edisi Pertama. Buku Per-tama. Cetakan Pertama. PT. Eresco.Bandung.

Choiruman, A. 2004. Pemeriksaan PajakMasa Depan, http://www.indodigest.com/Indonesia-specialthoughts-106.html

Choong, K. F. dan M. L Lai. 2009. SelfAsesment Taxs Sistem and CompliianceComplexity: Tax Practitioner Perspectif.Oxford Buisiness and Economics Con-ference Program.

Chung, K. 2002. Does Fairness Matter in TaxReporting Behavior?. Journal of EconomicPsychology 23.

Damayanti, D. 2012. Pegawai DirektoratJenderal Pajak: http://www.pajak.go.id/article/indikator-dibalik-naiknya-permohonan-keberatan-dan-banding, Senin, 25 Juni2015.

Diamastuti, E. dan D. Prastiwi. 2015. Peri-laku Mitra Binaan dalam MenyikapiPenerapan Peraturan Pemerintah No-mor 46 Tahun 2013 (Studi pada MitraBinaan PT. SEMEN INDONESIA (Per-sero) Tbk). Prosiding Seminar Nasionaldan The 2nd Call For Syariah Paper(SANCALL 2015).

Enahoro, J. A. and Olabisi Jayeola. 2012. “TaxAdministration and Revenue Genera-tion of Lagos State Government, Nige-ria”. Research Journal of Finance andAccounting. ISSN 2222-1697 (Paper) ISSN2222-2847 (Online) 3(5).

Giddens, A, D. Bell dan M. Forse. 2004. LaSociologie. Histoire et Ideas. Terj. SosiolohiSejarah Pemikiran. Kreasi wacana.Yogyakarta.

Gie, K, K. 2007. Moralitas Aparat Pajak.http://google.co.id/. Di akses tanggal 13Januari 2015.

Gunadi. 2005. Fungsi Pemeriksaan TerhadapPeningkatan Kepatuhan pajak (TaxComplience). Jurnal Perpajakan Indonesia4(5).

Hutagaol, J. 2007. Perpajakan: Isu-isu Kontem-porer. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Izza, N, I. Alfi dan A. Hamzah. 2008. EtikaPenggelapan Pajak Perspektif Agama:Sebuah Studi Interpretatif. SimposiumNasional Akuntansi XII. IAI

James, S dan C. Nobes. 1996. The Economic ofTaxation: Principles, Policy and Practice.1996/1997 Edition, Europe: PrenticeHall.

James, S dan C. Alley. 2004.Tax Compliance,Self-Assesment and Tax Administration.Journal of Financial and Management inPublic Services 2(2).

James, S., dan I. Wallschutzky. 1995. Con-siderations Concerning the Design of anAppropriate System of Tax Rulings.Revenue Law Journal 175.

Jackson, B., Millirion dan D. Toy. 1986. Taxcompliance research, finding, problemsand prospects. Journal of AccountingLiterature: 125-166.

Jung, W.O. 1999. Tax paper Diclousure andPenalties Law. Seul National Univercity.October: 151: 742.

Kelman, H. 1966. Compliance, Identification,And Internalization: ThreeProcess of Atti-tude Change”, dalam Problems in SosialPsychology, McGrawhill. New York.

Klepper, S and D. Nagin, 1989. Tax Compli-ance and Perceptions of the Risks ofDetection and Criminal Prosecution.Law and Society Review 23(2).

Mardiasmo. 2008. Perpajakan. Yogyakarta:Andi Offset.

Media Akuntansi. 2015Moloeng, L. J. 2007. Metodologi Penelitian

Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosda-karya. Bandung.

Muliari, S. 2009. Pengaruh Persepsi TentangSanksi Perpajakan dan Kesadaran WajibPajak Pada Kepatuhan Pelaporan Wajibdi Kantor Pelayanan Pajak PratamaDenpasar Timur. Jurnal Akuntansi danBisnis 6(1).

Page 25: KE (T IDAK) PATUHAN WAJIB PAJAK: POTRET SELF ASSESSMENT SYSTEM · 2019. 10. 30. · Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan ISSN 1411 - 0393 Akreditasi No. 80/DIKTI/Kep/2012 280 KE (T

304 Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan – Volume 20, Nomor 3, September 2016 : 280 – 304

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan Dan Peri-laku Kesehatan. Rineka. Cipta. Jakarta.

Ratna, S, Maria M dan N N. Afriyanti 2012.Pengaruh Kepatuhan WP dan Pe-meriksan Pajak pada Peneriman PPhpasal 25/29 WP Badan di KPP PratamaDenpasar Timur. Jurnal Audit, Akuntansidan Bisnis 7.

Rima, N. P. 2013. Hubungan Jumlah danKepatuhan WP Badan dengan Pe-nerimaan PPh KPP Pratama. JurnalEMBA 1(3): 730-740.

Richardson, G. 2006. The Impact of TaxFairness Dimensions on Tax ComplianceBehavior in an Asian Jurisdiction: TheCase of Hong Kong. International TaxJournal

Salip dan T. Wato. 2006. Pengaruh Pe-meriksan Pajak Terhadap PenerimanPajak (Studi Kasus: Di KPP JakaartaKebon Jeruk). Jurnal Keuangan Publik4(2).

Slamet, E dan S. Jurdi. 2005. Politik Per-pajakan, Membangun demokrasi Negara. UIPress. Jakarta.

Suandy, E. 2002. Hukum Pajak. SalembaEmpat.

Supriyati. 2011. Pengaruh PengetahuanPajak Dan Persepsi Wajib Pajak Ter-hadap Kepatuhan Wajib Pajak. JurnalAkuntansi: The Indonesian AccountingReview 1(1): 27-36.

Sulistyo. 2015. Blogku. www.pajak.go.id di-akses tanggal 21 Oktober 2015.

Sultoni. 2013. PMK 16/PMK.03/2013 MakinMeneguhkan DJP. Diakses dari www.pajak.go.id diakses tanggal 14 agustus2015.

Tarjo dan I. Kusumawati. 2006. AnallisisPrilaku WP Orang Pribadi terhadap Pe-laksanan Self Assessment System: SatuStudi di Bangkalan. JAAI. 10(1): 101-120.

Trisnayanti, I. A .I dan I. K Jati. 2015.Pengaruh Self Assessment System, Pe-meriksaan Pajak dan Penagihan Pajakpada penerimaan PPN. E-Jurnal Akun-tansi Universitas Udayana 13(1): 292-310.

Hutomo, Y. B. 2009. Pajak Penghasilan, Konsepdan Aplikasi Berdasarkan Undang-UndangNo. 36 Tahun 2008 Beserta Peraturanpelaksana. Universitas Atma Jaya.Yogyakarta.