15
KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG PENGUATAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL Oleh: Bambang Suhada 1) , E. Gumbira Said 2) , LW. Rusastra 2) dan Sukardi 2) 1) Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Metro 2) Falcultas Tehologi Pertanian IPB ABSTRACT The tendency of the decline of national productivity of sugar cane industry needs to be examined in depth to avoid Indonesian sugar industry getting worse and the dependence of domestic consumption on imported sugar can be reduce gradually, as a result it will reserves our national foreign exchange T1re purpose of this study were: (I) Obtaining the position of the productivity of the jour sugar mills studied, (2) Obtaining a map of the condition of the sugar cane industry clusters nationwide and (3) Generating recommendations productivity improvements at the micro level (farm and factory) and at the macro level. The Data that are colleded in this study are the primary data through a survey of expert opinion (respondents) derived from the researcher of P3Gl Pasuruan (1 person), University (1 person), Ministry of Agriculture (1 person), Indonesian Sugar Council (l people) and the sugar mills (4 people). While the secondary data were collected through literature study, as well as journal published by the relevant institutions. 77te method of analysis in this study used the productivity mapping and the industry cluster approach. The results of study as follows : (1) the position of PG GM productivity is in a high category (Score efficiency 311,16 and effectiveness 149, 03), (2). The position of PG KA productivity is on the medium category (Score efficiency 259,9 and effectiveness 140,82), (3.) The position of PG PB productivity is on the medium category (Score efficiency 233,4 and effectiveness 125, 79), meanwhile (4). The position of PG BM productivity is on the low category (Score efficiency 225 and effectiveness 99,9). In order to view the position of each sugar mill in the context of industrial dusters, we use several parameters: cluster performance, supply chain integration, infrastructure support and business and economic environment, as a result the position of the PG GM has the best position in the context of cluster systems, Since most of the sub-system has a value that tends to be high. PG KA and PG PB are categorized as medium category in productivity and PG BM is categorized as a law category in productivity

KAJUN PENIINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM …repository.ummetro.ac.id/files/dosen/033db175e44a01bf140785ce...KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG PENGUATAN KLASTER INDUSTRI

  • Upload
    lamtram

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DALAM MENDUKUNG

PENGUATAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU NASIONAL

Oleh:

Bambang Suhada 1)

, E. Gumbira Sa’id 2)

, LW. Rusastra 2)

dan Sukardi 2)

1) Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah Metro

2) Falcultas Tehologi Pertanian IPB

ABSTRACT

The tendency of the decline of national productivity of sugar cane industry needs to be

examined in depth to avoid Indonesian sugar industry getting worse and the dependence of

domestic consumption on imported sugar can be reduce gradually, as a result it will reserves

our national foreign exchange T1re purpose of this study were: (I) Obtaining the position of

the productivity of the jour sugar mills studied, (2) Obtaining a map of the condition of the

sugar cane industry clusters nationwide and (3) Generating recommendations productivity

improvements at the micro level (farm and factory) and at the macro level. The Data that are

colleded in this study are the primary data through a survey of expert opinion (respondents)

derived from the researcher of P3Gl Pasuruan (1 person), University (1 person), Ministry of

Agriculture (1 person), Indonesian Sugar Council (l people) and the sugar mills (4 people).

While the secondary data were collected through literature study, as well as journal published

by the relevant institutions. 77te method of analysis in this study used the productivity

mapping and the industry cluster approach. The results of study as follows : (1) the position of

PG GM productivity is in a high category (Score efficiency 311,16 and effectiveness 149, 03),

(2). The position of PG KA productivity is on the medium category (Score efficiency 259,9

and effectiveness 140,82), (3.) The position of PG PB productivity is on the medium category

(Score efficiency 233,4 and effectiveness 125, 79), meanwhile (4). The position of PG BM

productivity is on the low category (Score efficiency 225 and effectiveness 99,9). In order to

view the position of each sugar mill in the context of industrial dusters, we use several

parameters: cluster performance, supply chain integration, infrastructure support and business

and economic environment, as a result the position of the PG GM has the best position in the

context of cluster systems, Since most of the sub-system has a value that tends to be high. PG

KA and PG PB are categorized as medium category in productivity and PG BM is categorized

as a law category in productivity

Keywords: productivity, cane sugar industry, industry cluster, yield sugar crystalline

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dikaji dari sisi

sumberdaya alam dan iklim, mengingat tebu merupakan tanaman tropis yang secara alamiah

telah tumbuh secara meluas di daerah tropis (Sawit et al,. 2003). Hal ini dapat dibuktikan dari

kenyataan bahwa Pada periode penjajahan Belanda khususnya pada periode 1930 - 1940,

Indonesia pernah mengalami masa kejayaan industri gula. Pada saat itu, produktivitas tebu

hampir mendekati 140 ton per hektar, rendemen 12 persen lebih dan produktivitas hablurnya

mendekati 18 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu,

rendemen dan hablur pada tahun 2005 berturut-turut sebesar 78 ton per hektar, rata-rata 7

persen dan 6 ton per hektar. Berbagai program peningkatan industri gula yang dijalankan

Pemerintah sejak tahun 1950 hingga saat ini - belum terintegrasi dan masih memperlihatkan

relatif rendahnya kinerja industri gula nasional. (Simatupang et al., 2005).

Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas

tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di

Indonesia selama kurun waktu 2003 sampai 2009, seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Dari

Gambar 1 tersebut terlihat bahwa tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran

angka 67,61 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya. Demikian juga dengan tingkat

rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas

hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya

(Kementrian Pertanian, 2010). Apabila dibandingkan antara pulau Jawa dan luar pulau 1awa,

perbedaan kinerja industri gulanya semakin terlihat. Rata-rata rendemen gula pada area tebu

luar pulau Jawa meningkat dari 8,32 persen pada tahun 2006, menjadi 8,44% pada tahun

2007. Sebaliknya, rendemen gula di pulau Jawa turun dari 7,31 persen menjadi 6,91%.

Namun, karena perbedaan rendemen yang signifikan di luar pulau Jawa belum diimbangi

dengan peningkatan produktivitas di tingkat kebun, maka secara rata-rata produktivitas gula

yang dihasilkan turun dari 5,88 ton/ha menjadi 5,66 ton/ha. Produktivitas tebu luar pulau Jawa

menurun dari 70,70 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 69,42 ton per hektar pada tahun

2007 (Dewan Gula Indonesia, 2008)

Gambar 1. Produksi dan Produktivitas Tebu dan Gula Indonesia Tahun 2003-2009

(Kementerian Pertanian, 2010)

Kebijakan pengembangan industri gula nasional seyogyanya dilakukan dengan

memperhitungkan seluruh aspek yang ada, mengingat nilai investasi pada industri gula relatif

mahal. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh P3GI (2009), untuk pendirian satu

pabrik gula dengan kapasitas produksi sebesar 8.733 ton gula per harinya dibutuhkan biaya

investasi sebesar Rp. 1,648 trilyun atau kurang lebih 165 juta US Dolar. Untuk itu, penurunan

produktivitas pada industri gula perlu dicermati secara mendalam agar industri gula Indonesia

tidak semakin terpuruk dan dapat diminimalisir ketergantungan konsumsi domestik pada gula

impor secara bertahap dapat berkurang, sehingga dapat menghemat cadangan devisa nasional.

Penelitian ini bertujuan (l) memperoleh posisi produktivitas masing-masing pabrik

gula yang diteliti, (2) mendapatkan peta kondisi Master industri gula tebu nasional dan (3)

menghasilkan rekomendasi peningkatan daya saing industri gula tebu nasional dalam

mendukung penguatan Master industri gula tebu nasional.

METODE PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Data yang dianalisis menggunakan data primer yang diperoleh dari pendapat 8 (delapan)

orang pakar yang terdiri dari : Dewan Gula Indonesia (1 orang), Kementerian Pertanian (1

orang), P3GI Pasuruan (1 Orang), Perguruan Tinggi (1 orang) dan pabrik gula (4 orang). Alat

analisis yang digunakan dengan memberikan skor pada masing-masing pabrik gula

berdasarkan nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas

Gambar2.Kerangka Pemikiran Penelitian Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu

Nasional

Kerangka Pikir Penelitian

Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan produktivitas dan daya

saing industri gula tebu nasional adalah dengan cara menyusun strategi peningkatan

produktivitas yang komprehensif dengan mengintegrasikan aspek kebun dan aspek pabrik

gula (PG). Dari aspek kebun, fokus penyusunan strategi diarahkan dalam upaya meningkatkan

sistem budidaya, penggunaan bibit, pemupukan, pasca panen dan sistem bagi hasil yang

proporsional. Sementara dari aspek pabrik gula, penekanan lebih pada tinjauan mengenai

teknologi, manajemen dan sistem produksi. Kedua aspek tersebut merupakan masukan

penting dalam proses revitalisasi kebijakan dalam peningkatan keunggulan komparatif dan

kompetitif (aspek makro), penyempurnaan manajemen operasi, peningkatan mutu produksi

gula, penurunan harga pokok produksi, inovasi teknologi, redesain kebijakan nasional.

Perumusan strategi peningkatan produktivitas dalam mendukung penguatan Master industri

gula tebu nasional dapat dirumuskan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut (Gambar 2)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kajian Produktivitas

Kriteria Produktivitas dapat dibangun berdasarkan kaiegori efisiensi, efektivitas dan

inferensial (Nurdin dan Zabidi , 2005). Namun untuk penelitian ini, kriteria-kriteria yang

digunakan untuk mengkaji produktivitas keempat pabrik gula contoh adalah sebagai berikuti

1. Kriteria efisiensi, menunjukkan bagaimana penggunaan sumber daya perusahaan, seperti

tenaga kerja, energi, material serta modal yang sehemat mungkin (Kriteria 3,4,5,6,7, 8, 11

dan 12)

2. Kriteria efektivitas, menunjukkan bagaimana perusahaan mencapai hasil bila dilihat dari

sudut akurasi dan kualitasnya (Kriteria 1,2,9 dan 10)

Dalam melakukan analisis produktivitas di 4 (empat) pabrik gula contoh, beberapa kriteria

produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut

Tabel l Kriteria- Kriteria Produktivitas Pabrik Cula Contoh

Kriteria Kriteria-Kriteria Produktivitas

Kriteria 1 Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)

Kriteria 2 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton)

Kriteria 3 Jumlah Tebu Giling (Tony Produksi Energi Bagas (Kwh)

Kriteria 4 Jumlah Tebu Giling (Ton) 1 Kebutuhan Energi (Kwh)

Kriteria 5 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari)

Kriteria 6 Jumlah Ttbu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton)

Kriteria 7 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton)

Kriteria 8 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton)

Kriteria 9 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha)

Kriteria 10 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton)

Kriteria 11 Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction

Kriteria 12 Boiler House Recovery (BHR) / Nortna BHR

Posisi Produktivitas Pabrik Gula

Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas dari masing-masing pabrik gula yang diteliti,

maka nilai-nilai yang membentuk produktivitas tersebut di eloborasi lebih lanjut, dengan

menempatkan masing-masing pabrik gula dalam matriks produktivitas. Untuk mengetahui

posisi produktivitas pabrik gula dalam matriks produktivitas, digunakan penilaian dari

masing-masing kriteria produktivitas yang diperoleh dengan menggunakan skala likert dengan

nilai 1 sampai 5 dan kemudian dikalikan dengan bobotnya (Gambar 17)

Gambar.3 Matriks Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional

Untuk menentukan posisi tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang

diteliti, digunakan parameter yang mengkombinasikan ukuran dari kriteria efisiensi dan

efektivitas. Penjelasan tentang ukuran yang menentukan tingkat produktivitas tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas diatas rataan totalnya, maka tingkat

produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas tinggi (Berada pada kuadran 1)

2. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas mendekati nilai rataan total, maka tingkat

produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas sedang (Berada pada kuadran II

dan Kuadran IV) 3. Jika nilai total efisiensi dan nilai total efektivitas dibawah rataan

totalnya, maka tingkat produktivitas pabrik gula tersebut disebut produktivitas rendah

(Berada pada kuadran III)

Untuk mengetahui posisi tingkat produktivitas digunakan skala likert (1 sampai 5)

untuk masing-masing rasio produktivitas yang diperoleh keseluruhan (kebun dan pabrik),

selanjutnya dilakukan perkalian antara nilai dengan bobot masing-masing kriteria (Tabel 2) :

Tabel. 2. Perhitungan skor Produktivitas Pabrik Gula

Kriteria Ratio Produktivitas PG

Gunung Madu

PG Bunga mayang

PG Kebon Agung

PG Pesantren

Baru

EFISIENSI Nilai x bobot

Nilai x bobot

Nilai x bobot

Nilai x bobot

3 Jumlah Tebu Giling (Tony Produksi Energi Bagas (Kwh) 43,7 35,08 35,32 34,44

4 Jumlah Tebu Giling (Ton) 1 Kebutuhan Energi (Kwh) 46,1 25,56 25,7 25,83

5 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Hari Berhenti Giling (Hari) 41,25 25,56 33,32 22,95

6 Jumlah Ttbu Giling (Ton) / Jumlah Kotoran Tebu (Trash) (Ton) 43,7 31,04 31,28 32,52

7 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Kapur (Ton) 33 24,06 31,28 22,95

8 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Jumlah Pemakaian Belerang (Ton) 31,08 25,56 35,32 25,83

11 Mill Extraction (ME) / Norma Mill Extraction 41,25 34,08 34,32 34,44

12 Boiler House Recovery (BHR) / Nortna BHR 31,08 24,06 33,32 34,44

Total Hasil Efisiensi 3111,16 225 259,9 233,4

EFEKTIVITAS

1 Produksi Tebu (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 43,7 26,31 42,9 43,05

2 Jumlah Tebu Giling (Ton) / Kapasitas Pabrik (Ton) 41,25 24,81 30,28 25,83

9 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Luas Areal Panen (Ha) 33 24,81 34,32 34,39

10 Jumlah Produksi Gula (Ton) / Jumlah Tebu Giling (Ton) 31,08 24,06 33,32 32,52

Total Hasil Efektivitas 149,03 99,99 140,82 125,79

Dari hasil perkalian antara nilai dan bobot dari masing-masing kriteria (efisiensi dan

efektivitas), diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut

(Gambar 4) :

1. Posisi Produktivitas Pabrik Gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi

311,16 dan nilai efektivitas 149,03)

2. Posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9

dan nilai efektivitas 140,82)

3. Posisi Produktivitas Pabrik PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4

dan nilai efektivitas 125,79)

4. Posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai efisiensi 225

dan nilai efektivitas 99,9)

TINGKAT PRODUKTIVITAS PABRIK GULA

Gambar 4. Posisi Tingkat Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti

Evaluasi Master Industri Gula Tebu

Pembahasan Master industri gula tebu nasional dalam penelitian ini menggunakan

kerangka pemikiran Porter (1998), yang memberikan definisi Master sebagai konsentrasi

geografis perusahaan-perusahaan yang saling terhubung, para pemasok khusus dan penyedia

jasa, perusahaan-perusahaan dalam industri terkait, serta lembaga-lembaga yang terasosiasi

(misalnya universitas, agen dan asosiasi perdagangan) dalam bidang-bidang tertentu.

Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu nasional, digunakan metode yang

dikembangkan oleh Porter (Monslead, 2010 dalam Pahan, 2011). Dalam melakukan evaluasi

klaster industri gula tebu, sumber informasi diperoleh dari delapan orang pakar, masing-

masing dari Peneliti P3GI Pasuruan, Dewan Gula Indonesia (DGI), Kementerian Pertanian,

Perguruan Tinggi dan empat orang dari pabrik gula. Dengan menggunakan empat sistem

dengan sub sistemnya masing-masing, hasil evaluasi Master industri gula tebu disajikan pada

Tabel 54 berikut :

Tabel 3. Komponen Evaluasi Master Industri Gula Tebu

Komponen Evaluasi Klaster PG PB PG

KA

PG

BM PG GM

Kinerja Klaster Industri

1.1 Biaya Transaksional 3,4 3,4 3,2 4

1.2 Pengaruh Jejaring Kerja 3,4 3,6 2,8 3,6

Integrasi Rantai Pasokan

2.1 Pemasok 3 3,2 3,4 3,6

2.2 Perkebunan 3,8 3,4 3,6 4,8

2.3 Pengolah 3,8 4,2 3,6 5

2.4 Pemasar 3,25 3,75 3,25 3,8

Infrastruktur Pendukung

3.1 Universitas / Litbang 3,8 4 3,2 3,2

3.2 Lembaga Keuangan 3,8 4,2 3,6 3,6

3.3 Ketersediaan Bakat (SDM) 3,6 4,2 3,25 4

3.4 Lembaga Techno-Prenuer 3,6 3,4 3,4 3,4

3.5 Infrastruktur Fisik 3,8 4,4 2,2 3,8

Lingkungan Ekonomi dan Bisnis

4.1 Efisiensi Pemerintahan 3,6 3,8 3,2 3,2

4.2 Efisiensi Bisnis 3,2 3,6 3,2 4

4.3 Kinerja Ekonomi 3,6 4,4 3,2 3,2

4.4 Efisiensi Infrastruktur 42 3,8 3 3

Skala Penilaian

1 = Sangat Buruk, 2 = Buruk, 3 = Sedang, 4 = Baik, 5 = Sangat Baik

Dari hasil analisis dengan menggunakan empat sistem yang mempengaruhi kinerja Master

industri gula tebu nasional tersebut, jika distrukturkan maka posisi dari masing-masing pabrik

gula dalam kerangka Master industri tersebut dapat diringkas seperti terlihat pada Gambar 5

sebagai berikut :

Gambar 5. Posisi Master Dari Pabrik Cula Yang Diteliti

1. Pabrik Gula Gunung Madu

Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem Master,

mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub

sistem pendukung Master yang memiliki niiai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja. 2)

Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas 1 Litbang 6) Sumberdaya Manusia

(SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.

Saat ini dapat dikatakan bahwa PG Gunung Madu telah menjadi referensi utama (best

practises) dari pabrik gula swasta maupun dibawah afiliasi BUMN di Indonesia dalam

manajemen perkebunan maupun pengolahan gula. Hubungan yang terjalin dengan para

pemangku kepentingan (stakeholders) relatif intensif.

Pabrik gula Gunung Madu memiliki efisiensi iinggi dalam hal penyediaan pasokan

bahan baku mengingat 90 persen lebih kebutuhan proses produksinya di pasok dari kebun

sendiri (TS) sehingga mutu tebu dapat dikatakan memiliki tingkat rendemen yang relatif

seragam dan tinggi.

2. Pabrik Gula Bungamayang

Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula

Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang terburuk dalam konteks sistem Master,

mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang

cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi hanyalah

pengolah.

3. Pabrik Gula Kebon Agung

Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem

Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.

Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring

kerja 2) Pengolah 3) Infrastruktur fisik 4) Efisiensi bisnis 5) EFsiensi bisnis 6) Kinerja

ekonomi dan 7) Efisiensi infrastruktur.

4. Pabrik Gula Pesantren Baru

Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem

Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.

Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring

kerja 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya

Manusia (SDM) 7) lnfrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.

Dari hasil kajian terhadap elemen-elemen sistem Master tersebut, terlihat bahwa PG

GM, PG KA dan PG PB merupakan representasi dari sistem Master yang telah berkembang

dengan baik. Namun demikian, agar Master industri gula tebu nantinya bertambah baik dan

memberikan dampak pengganda yang besar, elemen-elemen yang masih perlu ditingkatkan

perannya adalah biaya transaksional, ketersediaan bakat (SDM), lembaga fechno-preneur,

efisiensi bisnis dan kinerja ekonomi. Dari hasil evaluasi kondisi Master dari keempat pabrik

gula yang diteliti tersebut, maka dapat distrukturkan skema tentang perwujudan dari kondisi

eksisting model Master industri gula tebu nasional, seperti yang terlihat pada Gambar 6

sebagai berikut :

Gambar.6- Struktur Master Industri Gula Tebu

(Diadaptasi Dari Pahan, E.Gumbira-Sa’id, Tambunan, Asmono dan Suroso, 2011)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Dari hasil perkalian antara nilai dan bobot dari masing-masing kriteria (efisiensi dan

efektivitas), diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut : 1)

Posisi Produktivitas Pabrik Gula GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi

311,16 dan nilai efektivitas 149,03), 2) Posisi Produktivitas Pabrik KA masuk kategori

produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82), 3) Posisi Produktivitas

Pabrik PB masuk kategori -produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas

125,79) dan 4) Posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai

efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9)

Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem Master,

mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung 6nggi. Sub-sub

sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring kerja. 2)

Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya Manusia (SDM)

7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis. Berbeda dengan PG Gunung Madu yang

memiliki posisi terbaik, pabrik gula Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang

terburuk dalam konteks sistem Master, mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub

sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki

nilai tinggi hanyalah pengolah.

Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem

Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.

Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring

kerja 2) Pengolah 3) Infrastruktur fisik 4) Efisiensi bisnis 5) Efisiensi bisnis 6) Kinerja

ekonomi dan 7) Efisiensi infrastruktur.

Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem

Master, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi.

Sub-sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi adalah : 1) Pengaruh jejaring

kerja 2) Pemasok 3) Perkebunan 4) Pengolah 5) Universitas / Litbang 6) Sumberdaya

Manusia (SDM) 7) Infrastruktur fisik dan 8) Efisiensi bisnis.

Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula

Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang terburuk dalam konteks sistem Master,

mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang

cenderung tinggi. Sub sistem pendukung Master yang memiliki nilai tinggi hanyalah

pengolah.

SARAN / REKOMENDASI

Dalam rangka meningkatkan daya saing industri gula nasional, diperlukan

rekomendasi baik untuk tingkat kebun, tingkat pabrik maupun tingkat makro. Saran-saran

yang diperlukan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Tingkat Kebun. Strategi intensifikasi

budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), dengan

implikasi manajerial sebagai berikut : . 1) Pemerintah Daerah selaku pembina perlu secara

intensif melakukan pembinaan kepada petani tebu di wilayahnya dengan menyusun standard

operating procedure (SOP) mulai dari pemilihan bibit, pemeliharaan sampai dengan

penanganan pasca panen tebu rakyat (TR). 2) Pemerintah perlu melakukan kerjasama yang

sinergis dengan perguruan tinggi setempat untuk menemukan varietas tebu unggul yang

sesuai dengan kondisi agroklimatnya (rendemen tinggi dan tahan serangan hama), 3)

Pemerintah perlu melakukan pembinaan teknis yang intensif kepada para petani penangkar

bibit tebu yang cukup berkembang di sekitar lokasi pabrik gula, agar tebu yang dihasilkan

petani mampu ditingkatkan produktivitasnya, 4) Mengingat pupuk anorganik seringkali

digunakan over dosis oleh petani tebu, sebaiknya perlu dipertimbangkan penggunaan pupuk

organik secara berimbang agar kesuburan tanah dapat dipertahankan secara berkelanjutan. (2).

Tingkat Pabrik. Strategi peningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good

Manufacturing Practises (GM) , dengan implikasi manajerial sebagai berikut : . 1) Pemerintah

perlu menyusun kebijakan pengurangan bea impor atas mesin-mesin produksi yang

diperlukan oleh pabrik gula untuk mengganti mesin-mesin produksinya yang sudah usang

agar efisiensi pabrik gula meningkat. 2) Pabrik gula dalam rangka meningkatkan

produktivitasnya dan meminilasir penurunan rendemen perlu menggunakan Standar

Operating Procedure (SOP). 3) Pabrik gula hendaknya menerapkan konsep produksi bersih

sehingga produksi buangannya termanfaatkan semua baik untuk kepentingan internal maupun

masyarakat sekitar. 4) Untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atas hasil produksi

gulanya, pabrik gula perlu untuk melakukan sertifikasi proses produksi (ISO) maupun

keamanan pangan (HACCP) dari lembaga internasional, 5) Mengingat konsumen terbesar

gula adalah masyarakat yang beragama Islam, maka sebaiknya pabrik gula memperoleh

sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). (3). Tingkat Makro. Strategi

sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu

nasional, dengan implikasi kebijakan sebagai berikut : l) Pemerintah melalui Badan Pusat

Statisik perlu menyusun satu neraca (Produksi dan konsumsi Gula Domestik) gula yang

standar dan menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pergulaan

nasional, 2) Agar kebijakan impor gula (GKP) tidak terus dilakukan dan menghemat devisa

negara, maka perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk menyusun kebijakan yang

memperbolehkan industri gula rafinasi untuk memproduksi gula kristal putih (GKP) untuk

keperluan konsumsi masyarakat. 3) Pemerintah perlu memberikan insentif, kemudahan

pelayanan perizinan dan membuka peluang bagi investor (PMDN maupun PMA) untuk

mendirikan pabrik gula baru di luar pulau Jawa agar swasembada gula dapat tercapai pada

iahun 2014, 4) Pemerintah perlu menyusun kebijakan pergulaan yang lebih komprehensif dan

melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk berkontribusi dengan arah pengembangan

industri gula yang terstruktur dan sistematis atas target-target yang ingin dicapai, 5) Untuk

mengurangi aktivitas pencarian rente ekonomi (rent seeking behavior) secara bertahap yang

berdampak terhadap munculnya biaya transaksi yang tinggi dan mengurangi daya saing gula

nasional, maka diperlukan tata kelola pergulaan nasional yang baik (good governance dan

good corporate governance)

DAFTAR PUSTAKA

Dewan Gula Indonesia (1999). Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi

Reformasi Gula Indonesia., Jakarta

Davies (2000). Partner Risk : Managing The Downside of Strategic Alliances. Purdue

University Press.

Ditjen Bina Pproduksi Perkebunan (2002). Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas

Gula Nasional : 2002 - 2007, (buku 1). Ditjen BPP Deptan, Jakarta

E. Gumbira - Sa’id dan Rahayu (2006). Pengembangan Disian dan Teknologi Untuk

Peningkatan Daya Saing Potensi Unggulan Daerah. Makalah Pada Pertemuan Pusat

dan Daerah tentang “Strategi Penggalian dan Pengembangan Potensi Ekonomi

Daerah”, Jakarta 17-19 Juli 2006.

Mardianto, S., P. Simatupang, P.U. Hadi, H. Malian dan A Susmiadi. (2005). Peta Jalan

(Road Map) dan Kebyakan Pengembangan Industri Gula Nasional. Forum Penelitian

Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1 Juli 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

Ekonomi Pertanian.

Malian dan Saptana (2004). Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.

Mardianto, et al., (2005). Peta jalan (Road map) dan Kebijakan Pengembangan Industri Gala

Nasional. FAE, Vol 23, No.l. 1 luli 2005. Pulitbangsosek Departemen Pertanian

Monke dan Person (1989). The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell

University Press, Ithaca (USA) and London.

Malian, A.H., M. Ariani, K.S. Indraningsih, A.K. Zakaria, A. Askin dan J. Hestina. (2004).

Revitalisasi Sistem dan Usaha Agribisnis Gula; Laporan Akhir. Puslitbang Sosial

Ekonomi Pertanian, Bogor.

Munir R (2007) Peranan Master Industri Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Produk

Unggulan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Produk Unggulan

Daerah, Departemen Dalam Negeri, 2007.

Nurdin dan Zabidi (2005). Pengukuran dan Analisis Produktivitas Lini Produksi PT. XYZ

Dengan Menggunakan Metode Objective Matrix. Jurusan Teknik Industri, STTA.

Jogjakarta.

P3G1, (2008). Konsep Peningkatan Rendemen Untuk Mendukung Program Akselerasi

Industri Gula Nasional. P3G( Pasuruan.

Pahan, E. Gumbira-Sa’id, Tambunan, Asmono, Suroso (2011). The future palm oil industrial

cluster of Riau Region - Indonesia, Europena Journal of Social Science, volume 24,

Number 3 (2011)

Pakpahan (2009). Transformasi Industri Nasional Berbasis Tebu. Makalah pada Simposium

Pergulaan. KADIN, Jakarta

Pakisama Inc (2010). 2010 - 2015 : Threat Of Extinction Or Opportunity For Liberation.

Pakisama Policy Paper

Rusastra LW, Suprihatini R, dan Iqba M (1999). The Anticipative Sugar Development

Strategy Facing Economics Crisis And Competitive market. Centre For International

Economics Studies. University Of Adelaide.

Rusastra. et al., (1998). Keunggulan Komparatif. Struktur - Proteksi dan Perdagangan

Internasional. Dalam Buku Ekonomi Gula Di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor.

Rigss. J.L. (1988). Production Systems : Planning, Analysis and Control. Fourth Edition.

John Willey and Sons, New York.

Susmiadi, Toharisman dan Bakrie (2005). Swasembada Gula : Mungkinkah Tercapai ?.

Majalah Gula Indonesia Vo. XXIV No.l Febriari 1005.

Sumanth. D.1 (1984). Productivity Engineering And Management, International Student

Edition. McGnv-Hill Book Company, New York

Sudana, Simatupang, Friyatno, Muslim dan Sulstyo (2000). Dampak Deregulasi Industri

Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan dan pendapatan petani.

Laporan Penelitian, Pusat penelitian sosial Ekonomi Pertanian , Bogor

Susila dan Susmiadi. (2000). Analisa Dampak pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan

Bebas Terhadap industri Gula. Laporan Penelitian, Asosiasi Penelitian Perkebunan

Indonesia, Bogor

Susila (2005). Pengembangan Industri Gula Indonesia ; Analisis Kelayakan Dan

Keterpaduan Sistem Produksi. Disertasi S3 Institut pertanian Bogor. Tidak

Dipublikasikan.

Susila W.R dan Sinaga. (2005). Analisis Kelayakan Industri Gula Nasional. Jurnal Agro

Ekonomi Vol. 23 No. I Mei 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial

Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian..

Soentoro, N. Indiarto, dan A.M.S. Ali. (1999). (Usahatani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di

Jawa. Dalam Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Sawit, Erwidodo, Kuntohartono dan Siregar (2003). Penyehatan dan Penyelamatan Industri

Gula Nasional. Jornal Analisa Kebijakan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Social Ekonomi Pertanian. Vol 1 No. 3 September 2003. Bogor

Stainer, A (1997). Capital Input And Total Productivity Management. MCB University Press.

Midllesex University. London

Toharisman, A. (2007). Kinerja Industri Gula Indonesia 2007. P3GI Pasuruan