Upload
aissyiyahn
View
117
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efek asetaminofen rektal untuk mengurangi nyeri post operasi adenotonsilektomi
Citation preview
Jurnal Review
THE PROPHYLACTIC EFFECT OF RECTAL
ACETAMINOPHEN ON POSTOPERATIVE PAIN AND
OPIOID REQUIREMENTS AFTER
ADENOTONSILLECTOMY IN CHILDREN
Oleh :
Aissyiyah Nur An Nisa
0610710006
Pembimbing :
Dr. dr. Hari Bagianto, Sp.An
RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
THE PROPHYLACTIC EFFECT OF RECTAL ACETAMINOPHEN ON
POSTOPERATIVE PAIN AND OPIOID REQUIREMENTS AFTER
ADENOTONSILLECTOMY IN CHILDREN
Gholam Ali Dashti, Shahram Amini, dan Elham Zanguee
Latar Belakang
Adenotonsilektomi merupakan salah satu operasi Telinga, Hidung, dan
Tenggorokan yang paling sering pada anak dengan lebih dari 2 juta kasus di
Amerika Serikat dan 2,3/1000 untuk populasi usia di bawah 12 tahun di Inggris
setiap tahunnya. Nyeri post operasi dapat mempengaruhi kemampuan anak
untuk mentoleransi obat penghilang nyeri per oral dan pemasukan cairan yang
berakibat pada mual dan dehidrasi post operasi pada sejumlah anak. Operasi
berkaitan dengan nyeri pada 80% anak di hari pertama post operasi. Hal ini
dapat diasumsikan bahwa nyeri tidak diterapi dengan adekuat pada setengah
dari semua prosedur pembedahan.
Meskipun opioid digunakan secara luas pada manajemen nyeri post
operasi, namun efek sampingnya, khususnya depresi napas, bradikardi, mual,
dan muntah mengakibatkan menurunnya penggunaan analgesik ini, khususnya
pada anak.
Acetaminophen dan Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) telah
digunakan secara luas dengan hasil yang baik dalam mengurangi nyeri dan
kebutuhan opioid post operasi setelah adenotonsilektomi pada anak dan
dewasa. NSAID bekerja pada sintesis prostaglandin untuk mengurangi nyeri
dengan efek samping seperti perdarahan pada traktus gastrointestinal dan dari
tempat pembedahan serta potensi gangguan ginjal yang akhirnya
2
mengakibatkan perhatian pada penggunaannya yang banyak. Meskipun
beberapa peneliti telah menunjukkan pilihannya baik pada penggunaan tunggal
maupun pada kombinasi dengan acetaminophen, beberapa penelitian gagal
mendapatkan efek tersebut. Acetaminophen ialah analgesik yang paling sering
digunakan pada anak. Acetaminophen juga sering digunakan sebagai adjuvant
untuk manajemen nyeri post operasi pada pasien pediatri. Meskipun demikian
terdapat beberapa laporan gagal menunjukkan manfaat acetaminophen per
rektal terhadap pengurangan kebutuhan opioid post operasi pada bayi dan anak
yang dilakukan repair cleft palate elektif atau menunjukkan hanya
acetaminophen per rektal dosis tinggi (40-60mg/kg) yang efektif pada day care
surgery anak.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui efikasi acetaminophen
per rektal pada manajemen nyeri post operasi setelah adenotonsilektomi.
Metode Penelitian
Setelah disetujui Research Committee of Medical School dan orang tua
memberikan inform consent, 104 anak usia 7-15 tahun, ASA I atau II yang akan
menjalani adenotonsilektomi elektif pada rumah sakit pendidikan digunakan pada
penelitian ini. Kriteria eksklusi meliputi diketahui alergi acetaminophen, disfungsi
ginjal atau hati, penggunaan analgesik pada 24 jam terakhir, drug abuse (karena
tingginya prevalensi pada daerah penelitian), diketahui defisiensi G6PD, diare,
dehidrasi, dan gangguan perdarahan.
Tidak ada premedikasi yang digunakan. Setelah kanulasi intravena,
pasien mendapatkan kristaloid 5 ml/kg, midazolam 0,05 mg/kg, remifentanil 1
3
μg/kg. General anesthesia diinduksi dengan thiopental sodium 5 mg/kg.
Atracurium (0.6 mg/kg) digunakan untuk membantu intubasi endotrakeal.
Selama induksi, secara acak berdasarkan 10 kelompok, 51 anak tidak
diberikan apa-apa (control group) dan 53 anak diberikan acetaminophen 40
mg/kg oleh perawat bedah yang tidak ikut serta dalam perawatan post operasi
anak. Keseluruhan pasien mendapat kristaloid 10 ml/kg intraoperatif.
Deksametaon 0,2 mg/kg intravena diberikan untuk mengurangi mual dan muntah
post operasi. Pemeliharaan anestesi dengan halothan 0,5-1% dan remifentanil
0,1-0,2 μg/kg/menit digunakan untuk menjaga denyut jantung dan tekanan darah
dalam batas 20% dari baseline. Pasien diventilasi dengan oksigen 40% dalam
nitrooksida. Pengawasan standar meliputi kecepatan pernapasan, denyut nadi,
tekanan darah non invasif, dan pulse oximetry. Pada akhir pembedahan, sisa
neuromuscular block dikembalikan dengan neostigmine 0,05 mg/kg intravena
dan atropine 0,2 mg/kg intravena. Semua operasi dilakukan oleh satu dokter
bedah. Pasien diekstubasi setelah sadar penuh dan dipindah ke Postanesthetic
Care Unit (PACU). Tidak ada pasien yang mendapatkan anestesi lokal pada
fossa tonsilar dan koagulasi dilakukan dengan elektrokauter. Pasien dipindah ke
ruangan bila pasien sadar dan kooperatif, dengan atau sedikit nyeri, tanpa
perdarahan, hemodinamik stabil, serta tanpa mual dan muntah. Pasien dirawat di
rumah sakit selama 24 jam post operasi.
Nyeri post operasi dinilai dengan VAS oleh perawat terlatih di ruangan
(berdasarkan skala 1-100) dengan 0 menandakan tidak ada nyeri dan 100
menandakan nyeri paling buruk dan tidak tertahankan yang pernah dirasakan.
Orang tua pasien juga tidak mengetahui pada penelitian ini. Nilai nyeri lebih dari
4
40 dianggap sebagai ketidaknyamanan dan diberikan pethidine 0,5 mg/kg
intravena (dengan interval minimum 4 jam).
Semua efek samping (mual, muntah, depresi napas, dan perdarahan)
dicatat selama pasien dirawat di rumah sakit.
Perbedaan antar kelompok dianalisis dengan Student’s t-test. Chi-square
test digunakan pada data non parametrik. SPSS versi 13 digunakan untuk
analisis statistik. P value kurang dari 0,05 dianggap signifikan.
Hasil
Tabel 1. Data Demografis
Tabel 2. Nilai Nyeri Post Operasi
5
Tabel 3. Kebutuhan Pethidine Post Operasi dan Jumlah Pasien yang
Membutuhkan Bantuan Analgesik
Pembahasan
Acetaminophen atau yang lebih dikenal dengan Parasetamol di Indonesia
merupakan derivat dari para amino fenol. Obat ini dipisahkan dari obat golongan
NSAID karena acetaminophen tidak memiliki efek anti inflamasi. Kemampuannya
dalam menghambat biosintesis PG sangat lemah efek iritasi, erosi, dan
pendarahan pada lambung tidak terlihat, demikian juga gangguan pada
pernafasan dan gangguan keseimbangan asam basa.
Acetaminophen oral diabsorbsi cepat pada saluran cerna, onset sekitar
30 menit dan durasinya 4 jam. Acetaminophen dapat menembus cairan
serebrospinal dan otak dimana dia menunjukkan efek analgesik utama.
Acetaminophen mengalami metabolisme di hati dan dieskresikan melalui ginjal.
Absorpsi per rektal bervariasi sangat tinggi dan sulit diprediksi, bioavaibilitasnya
berkisar antara 24-98%. Dosis pada anak 15 mg/kg setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimum 60 mg/kg per hari selama 48 jam. Namun di rumah sakit,
6
acetaminophen bisa diberikan hingga 90 mg/kg hari dengan pengawasan dan
penilaian setelah 48 jam, dan dosis tunggal 30 mg/kg untuk malam hari.
Meskipun mekanisme kerja acetaminophen masih belum jelas, diduga
bahwa acetaminophen menghambat sintesis prostaglandin pada hipotalamus
melalui inhibisi cyclo-oxygenase-3 (COX-3), varian dari COX-1 yang terutama
ditemukan pada otak dan spinal cord. Aksi sentral ini menghasilkan efek
analgesik dan antipiretik. Acetaminophen juga mengurangi hiperalgesia yang
dimediasi oleh substansi P dan mengurangi generasi nitrit oksida pada
hiperalgesia spinal yang dipicu oleh substansi P atau N-nitrosodimethylamine.
Acetaminophen juga secara tidak langsung mengaktivasi reseptor cannabinoid-1.
Acetaminophen oral akan menghasilkan konsentrasi plasma yang sulit
diprediksi atau malah tidak dapat diterima oleh anak, sementara pemberian
setelah pembedahan terbatas karena adanya postoperative nausea and
vomiting (PONV) dan ketiakmampuan untuk menelan. Dengan demikian
acetaminophen per rektal dipilih untuk digunakan sebagai analgesik. Efek
analgesik yang adekuat tersebut diharapkan dapat mengurangi kebutuhan
opioid.
Nyeri sendiri adalah suatu perasaan tidak nyaman sebagai respon
terhadap adanya kerusakan akut pada jaringan yang menginduksi pelepasan
beberapa substansi nyeri nyeri sperti histamin, serotonin, dan substansi lainnya.
Pengukuran terhadap nyeri sangat sulit mengingat nyeri bersifat subjektif dan
kualitatif dimana kedua hal tersebut sangat multifaktorial. Pada penelitian ini
digunakan metode VAS (Visual Analogue Scale). VAS merupakan instrumen
pengukuran yang mencoba mengukur karakteristik atau sikap yang dianggap
sebagai nilai variasi berkelanjutan dan tidak mudah diukur secara langsung. VAS
7
diukur dengan garis horizontal dengan panjang 100 mm yang diikuti deskripsi
kata detiap ujungnya. VAS ini bisa dilakukan pada anak usia lebih dari 7 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa acetaminophen per rektal dapat
mengurangi intensitas nyeri dan kebutuhan analgesik post operasi
adenotonsilektomi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan
acetaminophen. Hal ini nampak jelas pada saat di ruangan, 2, 4, dan 6 jam post
operasi, kelompok dengan acetaminophen memiliki nilai nyeri yang lebih sedikit
dengan p value < 0,05 (0,001 dan < 0,001). Jumlah pasien yang membutuhkan
analgesik lebih tinggi pada kelompok kontrol (p < 0,001). Demikian juga dengan
kebutuhan opioid yang lebih rendah pada kelompo yang mendapat
acetaminophen per rektal (p < 0,001).
Berlawanan dengan penelitian ini, beberapa studi sebelumnya (Anderson
et al, 1996; Gaudreault et al, 1988; Viitanen et al, 2003) menemukan bahwa
acetaminophen per rektal menghasilkan analgesia yang tidak menentu dan tidak
konsisten. Namun variasi ini dapat dijelaskan dengan perbedaan kebutuhan
analgesik dengan teknik pembedahan yang berbeda, perbeadaan dosis
acetaminophen, dan penggunaan analgesik golongan lain.
Dari studi yang dilakukan oleh Patrick et al pada tahun 2001 disarankan
bahwa acetaminophen per rektal sebaiknya diberikan dengan dosis inisial 40
mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis 20 mg/kg setiap 6 jam untuk mengatasi
nyeri post operasi. Sedangkan penggunaan single dose saja tidak disarankan
(Romsing et al, 1999; Varela, 2004). Berdasarkan penelitian Capici et al pada
tahun 2008 didapatkan bahwa pemberian acetaminophen per rektal 40 mg/kg
menghasilkan efek analgesia yang lebih lama daripada acetaminophen intravena
15 mg/kg. Acetaminophen lebih efektif bila dikombinasikan dengan NSAID pada
8
manajemen nyeri post operasi (Hiller et al, 2004; Issioui et al, 2002; Pickering et
al, 2002). Acetaminophen dikombinasi dengan kodein juga diketahui lebih efektif
dalam mengatasi nyeri post tonsilektomi bila dibandingkan pemberian
acetaminophen saja (Shahin et al, 2011).
Kesimpulan
Pemberian acetaminophen per rektal dengan dosis 40 mg/kg efektif
dalam mengurangi intensitas nyeri dan kebutuhan analgesik setelah
adenotonsilektomi pada anak. Pemberian acetaminophen per rektal profilaksis
direkomendasikan untuk mengurangi ketidaknyamanan post operasi pada anak
dan nyeri setelah adenotonsilektomi.
9