25

Click here to load reader

JURNAL (Repaired)7

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal

Citation preview

Page 1: JURNAL (Repaired)7

ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN KABUPATEN DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN LAUT DI KABUPATEN MERAUKE

An Yuridical Analyses Of Regency Authority To Actualize The Sea Fishes Resources At Merauke Regency

Izaak Tahiya

1

adhydagreat, 2012-08-14,
Judul tdk pakai kata analisis studi dan gambaranJudul inggris ditulis kapital,gunakan bahasa inggris yg benar sesuai abstrak dari pusat bahasa
adhydagreat, 08/14/12,
Masukkan nama pembimbing 1, dan 2
Page 2: JURNAL (Repaired)7

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menjelaskan dan menganalisis kewenangan kabupaten dalam pengelolaan perikanan laut di Kabupaten Merauke, (2) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan kabupaten dalam pengelolaan perikanan laut, dan (3) menjelaskan kewenangan kabupaten yang proporsional dan ideal dalam pengelolaan perikanan laut. Tipe penelitian ini adalah Yuridis - Empiris. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dokumentasi. Analisis data dengan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Kabupaten bersumber dari kewenangan dalam bentuk atribusi dan delegasi, yang diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun masih lemah sistem hukumnya (substansi, struktur dan kultur hukum) dan tidak optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan Kabupaten terutama kebjakan hukum/ aturan, sistem hukum, kualitas SDM, integrasi antara peraturan perundang-undangan dengan hukum adat lokal, komitmen dan konsistensi pendelegasian kewenangan dari pusat ke kabupaten, komitmen dan motivasi pelaksanaan kewenangan, kesadaran hukum, rincian kewenangan, sinkronisasi sistem norma hukum - kewenangan, dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan Kabupaten yang proporsional dan ideal dalam pengelolaan wilayah laut dan perikanan adalah : perluasan kewenangan kabupaten atas wilayah laut dari 1/3 mil dari 12 mil kewenangan provinsi menjadi minimal 1/2 mil dari 12 mil kewenangan provinsi; perluasan kewenangan kabupaten atas hak penerbitan SIUP, SIPI dan SIPKI dari 5 -10 GT menjadi 30 – 60 GT, untuk memaksimalkan pengelolaan wilayah laut, potensi sumber daya laut dan perikanan serta peningkatan PAD di daerahnya, mengurangi porsi kewenangan provinsi dan pusat di kabupaten, realisasi dukungan pembiayaan serta sarana dan prasarana, penetapan rincian kewenangan secara jelas sesuai kondisi dan kebutuhan pengelolaan wilayah laut dan potensi sumber daya laut dan perikanan.

Kata kunci : Kewenangan, atribut, delegasi, kabupaten, laut, perikanan

ABSTRACTThis research aimed to (1) clarifying and analyses any regency authority to the sea fishes resources at

Merauke Regency, (2) clarifying any determinant of factors have been influent to actualize any regency authority to the sea fishes resources, and (3) clarifying a proportional and ideal of authority of regency to actualize the sea fishes resources. Juridical – empirical used as to type of this research. A Library and documentation study established to collecting data. A qualitative used to analyses data.

The result of this research indicated that an authority of regency came from attributive and delegate, those regulated at some rules but they have weakly legal system (legal substances, legal structures and legal cultures) and not be optimum applied it yet. There are determinant of factor influent them include legal policy or rules, human resources quality, integration any rule and local cultures, commitment and consistency to delegating any authority of regency from central government to local government, awareness, details of authorities, synchronize any legal system and norm system, dynamic change of local government. A proportional and ideal of authority of regency to actualize the sea fishes resources are increase or adding regency authority from 1/3 miles to 12 miles of total miles owned by province, increase any authority to license publication as like SIUP, SIPI, and SIPKI from 5 – 10 GT to be 30 – 60 GT in order to maximize any actualization the sea and fishing resources owned it and also improving local income (PAD), to minimize any authorities of province and central government, to improve any finance support realization include facilities and infrastructures need regency, to establish clearly authorities base on the condition and aid need to optimum any actualize the sea fishes resources in the Merauke Regency.

Keyword: Authority, regency, attribute, delegate, sea, fishing

PENDAHULUAN

Kewenangan pada esensinya menjadi salah satu aspek yang memainkan peran vital,

urgen dan strategis dalam memahami dimensi persoalan hukum penyelenggaraan

pemerintahan, sebab di dalam kewenangan, seperti dikemukakan Prajudi (1994,78),

terkandung unsur-unsur berupa wewenang dan kekuasaan terhadap sesuatu bidang

2

Page 3: JURNAL (Repaired)7

pemerintahan tertentu yang bulat, atau kekuasaan yang memiliki keabsahan ("legimate

power"), walaupun kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan, dan/ atau seperti

dikemukakan H.D. Stout (Ridwan HR, 2004 : 101) bahwa, kekuasan tidaklah selalu berupa

kewenangan.

Berlakunya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999,

sebagaimana direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU

No.25 Tahun 1999 sebagaimana direvisi menjadi UU No.33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah secara implisit dan eksplisit mengubah paradigma

penyelenggaraan kewenangan pada pemerintahan daerah, dengan penekanan utama kepada

desentralisasi kewenangan. Berlakunya UU tersebut juga disertai penetapan Peraturan

Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan

Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Implikasi dari berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan PP

No. 25 Tahun 2000 tersebut adalah terjadinya recidual power, yakni sisa kewenangan

Pemerintah Pusat dan Provinsi menjadi kewenangan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini

mengisyaratkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang sangat

banyak dan besar.

Menyimak lebih jauh, kewenangan yang menjadi kompetensi dari Pemerintah

Kabupaten/ Kota pada dasarnya tidak diatur secara spesifik di dalam PP No. 25 Tahun 2000,

kecuali hanya memberikan pola rumusan umum yang pada esensinya meletakkan semua

kewenangan pemerintahan pada kabupaten/ kota, kecuali yang ditentukan untuk pemerintah

pusat dan provinsi. Selain itu, kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota telah diletakkan

dalam UU Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Kewenangan pemerintahan pada

kabupaten/kota dimaksudkan sebagai upaya untuk membatasi kewenangan pemerintah dan

kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, karena pemerintah dan provinsi hanya

diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam Peraturan

Pemerintah tersebut.

Kewenangan yang menjadi kompetensi dari Pemerintah Kabupaten/ Kota diatur

pada Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999, yang menentukan bahwa daerah kabupaten

dan daerah kota harus melaksanakan 11 kewenangan wajib, yaitu : Pekerjaan Umum,

Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Pertanian, Perhubungan, Industri dan Perdagangan,

Penanaman Modal, Lingkungan Hidup, Pertanahan, Koperasi, dan Tenaga Kerja. Khusus

mengenai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya laut dan perikanan, Pasal 18 ayat (3)

UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 mengatur bahwa : kewenangan daerah

3

Page 4: JURNAL (Repaired)7

untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi: Eksplorasi, eksploitasi, konservasi,

dan pengelolaan kekayaan laut, Pengaturan administratif, Pengaturan tata ruang, Penegakan

hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan

kewenangannya oleh Pemerintah, Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan Ikut serta

dalam pertahanan kedaulatan negara.

Menindaklanjuti pembagian kewenangan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU

No. 32 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang disebutkan di atas,

Pemerintah Kabupaten Merauke menetapkan beberapa peraturan daerah. Permasalahannya

bahwa, Peraturan Daerah maupun Peraturan Bupati Merauke masih terbatas menyentuh

pengaturan administrasi terutama pengaturan retribusi izin usaha perikanan dan harga

pemasaran produk perikanan. Sebaliknya, belum menyentuh sepenuhnya atau hanya

sebagian kecil menyentuh kewenangan yang digariskan dalam Pasal 18 ayat (3) UU No.

32 Tahun 2004.

Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan dan menganalisis kewenangan kabupaten dalam pengelolaan

perikanan laut di Kabupaten Merauke.

2. Untuk menjelaskan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan

kabupaten dalam pengelolaan perikanan laut di Kabupaten Merauke.

3. Untuk menjelaskan kewenangan kabupaten yang proporsional dan ideal dalam

pengelolaan perikanan laut di Kabupaten Merauke

Manfaat Penelitian

1. Mantaat teoritis

a. Menambah referensi dan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum khususnya

pada PPS Universitas Muslim Indonesia Makassar.

b. Sebagai bahan masuk bagi akademisi atau calon penelitian lainnya dalam

melakukan kajian penelitian hukum serupa.

2. Mantaat praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan di bidang hukum dalam

menetapkan suatu ketentuan hukum dan semangat otonomi daerah terutama yang

berkaitan dengan penetapan kewenangan pemerintah kabupaten

4

Page 5: JURNAL (Repaired)7

b. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten dalam memahami dan

mengefektifkan pelaksanaan kewenangannya sesuai dengan semangat dan prinsip

otonomi daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di tingkat kabupaten.

LANDASAN TEORI

Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan ("legimate power"),

sedangkan arti dari kekuasaan tidak selalu memiliki keabsahan. (Prajudi

1994:78).Kewenangan pemerintah dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum

positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga

negara (F.P.C.L. Tonnaer (Ridwah HR, 2004 : 101-102). Kewenangan adalah kemampuan

untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum (P.

Nicolae (Ridwan HR, 2004 :. 101-102).

Sumber kewenangan adalah : a. Attributie atau atribusi, yakni pemberian (kekuasaan)

dalam attfibutie van rechts artinya pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute

competentie, kompetensi mutlak), sebagai dari distributie van rechts macht, juga membagikan

sesuatu perkara kepada kekuasaan yudikatif atau kekuasaan eksekutif; b. .Delegatie atau

delegasi, yaitu penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih

rendah, penyerahan yang demikian dianggap tidak dapat dibenarkan selain dengan atau

berdasarkan kekuatan hukum; c. Mandat atau mandate, yaitu : pemberian kekuasaan

bersamaan dengan perintah oleh alat perlengkapan pemerintah yang memberi wewenang

kepada yang lainyang akan melaksanakapnya atas nama tanggung jawab alat perlengkapan

pemerintahan tersebut. Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan. Mandataris

berbuat atas nama yang diwakili.( Algra (Pipin Syarifin dan Dedah Jubaidah, 2005:40)

METODE PENELITIAN

Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan Yuridis – Empiris.

Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada tiga yakni : bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat (UUD NRI 1945, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut dan

perikanan yang berlaku. Bahan hukum sekunder yang dibutuhkan adalah berupa literatur

5

Page 6: JURNAL (Repaired)7

(buku ilmiah) tulisan-tulisan karya ilmiah, hasil-hasil penelitian para sarjana hukum, dan

jumal ilmiah di bidang hukum, khususnya yang berhubungan dengan bidang hukum tata

negara dan pemerintahan daerah. Bahan hukum tertier adalah untuk memperoleh kejelasan

dan arti dari suatu istilah tentang berbagai hal yang berkaitan dengan hukum tata negara dan

pemerintahan daerah. Bahan hukum ini diperoleh dari kamus, baik kamus umum maupun

kamus hukum dan yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data

Upaya memenuhi kebutuhan data dalam penelitian ini, dipergunakan teknik

pengumpulan data yaitu melalui kajian kepustakaan (Library Reseacrh).

Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif , dalam

mengkaji kewenangan kabupaten dalam pengelolaan perikanan laut di Kabupaten Merauke,

melalui interpretasi dan penarikan kesimpulan dengan metode deduktif – induktif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kewenangan Kabupaten dalam Pengelolaan Perikanan Laut di Kabupaten Merauke

Kewenangan kabupaten dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan

kekayaan laut

Sebagaimana Pasal 18 UU No.32 Tahun 2004 mengatur bahwa Daerah yang

memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut

(Ayat (1)); Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah

dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan (Ayat (2));

Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut diantaranya: eksplorasi,

eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut ((Ayat (3) huruf a).

Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua

belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/ atau ke arah perairan

kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk

kabupaten/kota (Ayat (4)); Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24

(dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi

sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi

tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan

provinsi dimaksud (Ayat (5)); Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)

6

Page 7: JURNAL (Repaired)7

tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil (Ayat (6)); Pelaksanaan

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih

lanjut dalam peraturan perundangundangan (Ayat (6)) (Pasal 18 UU No.32 Tahun 2004).

Wilayah laut di Kabupaten Merauke adalah ruang laut yang merupakan kesatuan

geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

aspek administratif dan/atau aspek fungsional yang diukur dari garis pantai ke arah laut

lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi paling jauh 12 (duabelas) mil laut

dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota termasuk

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Mencermati lebih jauh mengenai pengelolaan sumber daya laut dan perikanan

menurut batasan kewenangan tersebut, maka yang memperoleh keuntungan yang besar

adalah Pemerintah Provinsi dan Pusat, sebab potensi sumber daya laut dan perikanan

(khususnya perikanan tangkap) pada dasarnya jauh lebih besar pada jarak 5 mil ke atas,

sedangkan potensi sumber daya laut dan perikanan pada jarak 0 – 5 mil sangat kecil dan

terbatas. Hal ini berarti, kewenangan tersebut kurang efektif.

Kewenangan Kabupaten Merauke terkait pengelolaan wilayah laut dan perikanan

sejauh 1/3 mil dari 12 mil kewenangan provinsi, juga ditegaskan dalam UU No.27 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya Pasal 50 ayat

(3) yang mengatur bahwa : Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah

Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. Permasalahannya

bahwa, penetapan kewenangan kepada Bupati untuk memberikan izin HP-3 pada batas 4

mil wilayah psisir atau perairannya yang menjadi kewenangannya, justru akan

menimbulkan persoalan baru berupa konflik dan memarginalkan masyarakat pesisir atau

nelayan yang banyak bermukim di wilayah pesisir.

Penetapan kewenangan terbatas kepada kabupaten (Kabupaten Merauke) untuk

pemberian izin HP-3 berdasarkan Pasal 50 ayat (3) UU No.27 Tahun 2007 cenderung

ambigu, overlapping serta kontradiksi dengan amanat Pasal 3 dan 4 UU No.27 Tahun 2007

mengenai asas dan tujuan. Penetapan kewenangan bupati (Bupati Merauke) untuk

pemberian izin HP-3 adalah inkonsisten dengan tujuan pembangunan kelautan dan

pengelolaan wilayah pesisir dan laut serta perikanan, mengabaikan asas keterpaduan

dengan pelestarian lingkungan – nilai sosial dan budaya nelayan dan masyarakat pesisir

terutama eksistensi Sasi atau Petuanan di kalangan masyarakat Papua dalam pengelolaan

sumber daya alam.

7

Page 8: JURNAL (Repaired)7

Belum ditemukan satu pun Peraturan Daerah (PERDA) maupun Perarturan Bupati

(Perbup) Merauke yang memberikan kewenangan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Merauke untuk mengambil keputusan dalam kegiatan eksplorasi, eksploitasi

dan konservasi pengelolaan sumber daya laut dan perikanan serta HP-3. Hal ini bersifat

ambigu karena Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke lebih banyak

menjalankan tugas-tugas dan fungsi dari Pemerintah Pusat/Kementerian Kelautan dan

Perikanan dan Pemerintah Provinsi Papua Barat.

Ada kontradiksi atas eksistensi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke

yang disatu sisi sengaja dibentuk untuk mengabdi kepada tugas-tugas dan fungsi yang

diemban oleh Bupati Merauke, namun disisi lain kurang diberikan kewenangan oleh

Bupati, sehingga Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke lebih banyak

terdoktrinasi untuk menjalankan tugas-tugas pelayanan masyarakat, kegiatan eksplorasi,

eksploitasi dan konservasi pengelolaan sumber daya laut dan perikanan serta HP-3 di

wilayahnya berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat/ Kementerian Kelautan dan

Perikanan dan Pemerintah Provinsi Papua.

Kewenangan Kabupaten Merauke dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi

dan pengelolaan kekayaan sumber laut dan perikanannya yang diatur pada beberapa

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disebutkan di atas, yang lebih dominan

bersifat pendelegasian dari kewenangan Pemerintah Pusat, tidak jelas substansi dan bentuk

pendelegasian kewenangannya, tidak jelas pengaturan spesifikasi batas-batas dan jenis

kewenangan dalam hal eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan

sumber laut dan perikanan. Hal tersebut berimplikasi pada kurang atau tidak optimalnya

pelaksanaan kewenangan Kabupaten Merauke dalam melakukan eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan kekayaan sumber laut dan perikanan di wilayah laut yang

menjadi kewenangannya. Kaburnya kewenangan dalam hal eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan kekayaan sumber laut dan perikanan tersebut, menimbulkan

kebingungan, sikap ambiguitas dan multitafsir terhadap substansi hukumnya.

Implikasi luas dari lemahnya substansi dan pengaturan kewenangan tersebut

adalah, potensi kekayaan laut dan perikanan tidak terkelola dengan baik, kesejahteraan

masyarakat tidak meningkat, aktivitas eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

kekayaan sumber laut dan perikanan dikuasai dan dinikmati oleh investor bermodal besar.

Adanya kewenangan untuk mengelola wilayah laut dan perikanan terutama

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pada kenyataannya

8

Page 9: JURNAL (Repaired)7

belum dimanfaatkan secara luas dan konsisten oleh Pemerintah Kabupaten Merauke untuk

mengoptimalkan pengelolaan wilayah laut dan perikanan melalui eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Selain itu, juga masih cenderung mengabaikan

konsepsi sustainability development. Pelaksanaan kewenangan tersebut adalah : belum

termobilisasinya kegiatan-kegiatan berbagai sektor yang mempunyai lokasi di wilayah laut

dan pesisir, seperti kegiatan pariwisata bahari (seperti selancar, resort dan diving), industri

maritim (seperti perkapalan, perikanan budidaya maupun tangkap, kawasan konservasi laut

sebagai habitat ekosistem mangrove, terumbu karang) dan perhubungan laut (seperti

pelabuhan dan alur pelayaran). Selain itu, ego sektoral masih lebih dominan dalam

pelaksanaan kewenangan pengelolaan wilayah laut dan perikanan.

Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa, kebijakan pemberian kewenangan yang

diatur pada ayat (4) dan (5) Pasal 18 UU No.32 Tahun 2004 belum sepenuhnya

mencerminkan semangat desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah terutama

pembagian hasil yang diatur dalam UU No.33 Tahun 2004, malahan sebaliknya

cenderung memasung hak-hak daerah atau kabupaten khususnya Kabupaten Merauke

untuk memperoleh kewenangan yang luas dan nyata serta bertanggung jawab dalam

mengurus rumah tangga daerahnya dan mengelola potensi kekayaan daerahnya.

Kewenangan Kabupaten Merauke atas wilayah laut dan perikanan di wilayahnya

berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, seharusnya mampu dimanfaatkan secara optimal bagi

sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat khususnya nelayan kecil dan masyarakat pesisir

di daerahnya, namun kenyataannya, kebijakan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi

sumberdaya laut dan pesisir tersebut justeru cenderung memperdalam kesenjangan (gap)

antara golongan pelaku usaha, khususnya antara perikanan rakyat dan modern di daerah

kabupaten tersebut.

Kewenangan kabupaten dalam pengaturan administratif

Kewenangan kabupaten dalam pengaturan administratif pada dasarnya dapat

ditelusuri pada sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU No.32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat (4) mengatur bahwa, Pemerintahan daerah

dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan

dengan pemerintahan daerah lainnya. Pasal 2 ayat (7) mengatur bahwa, hubungan

wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan

pemerintahan.

9

Page 10: JURNAL (Repaired)7

Kewenangan Kabupaten (khususnya Kabupaten Merauke) dalam hal pengaturan

administratif pengelolaan sumber daya di wilayah laut dan perikanan, ditetapkan dalam

Pasal 18 ayat (3) huruf b UU No.32 Tahun 2004. Ketentuan tersebut kemudian dilanjutkan

dengan ayat (4) yang mengatur bahwa, kewenangan untuk mengelola sumber daya di

wilayah laut paling jauh 1/3 (sepertiga) dari 12 mil wilayah kewenangan provinsi untuk

kabupaten/kota. Permasalahannya, kewenangan kabupaten (Kabupaten Merauke) dalam

penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI hanya untuk kapal perikanan dengan ukuran 5 - 10 GT

(Gross ton). Hal ini berbeda dengan kewenangan provinsi (Papua) yakni berwenang untuk

menerbitkan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran 10 - 30 GT, dan > 30

GT untuk pemerintah pusat.

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat memperoleh untung dari kewenangannya

menerbitkan SIUP, SIPI dan SIPKI untuk kapal > 10 GT, > 30 GT, >60 GT yang beroperasi

di wilayah laut Kabupaten Merauke, namun Pemerintah Kabupaten Merauke yang

memperoleh limbah dan dampak negatifnya, sehingga melanggar asas keadilan dan

akuntabilitas. Praktik kebijakan pembagian kewenangan dan pelaksanaannya yang demikian,

cenderung bertentangan dengan Asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang diatur dalam

Pasal 20 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 bahwa, penyelenggaraan pemerintahan

berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. asas kepastian

hukum; b. asas tertib penyelenggara negara; c. asas kepentingan umum; d. asas

keterbukaan; e. asas proporsionalitas; f. asas profesionalitas; g. asas akuntabilitas; h. asas

efisiensi; dan i. asas efektivitas.

Kewenangan kabupaten pengaturan tata ruang

Pasal 14 ayat (1) huruf b UU No.32 Tahun 2004 jo UU No.12 Tahun 2008

mengatur bahwa, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/ kota, diantaranya adalah

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Pasal 7 ayat (5) UU No.27 Tahun

2007 mengatur bahwa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana Zonasi

rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya.

Pasal 11 UU No.27 Tahun 2007 mengatur bahwa : Ayat (1), RZWP-3-K

Kabupaten/ Kota berisi arahan tentang: a. alokasi ruang dalam Rencana Kawasan

Pemanfaatan Umum, rencana Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional

Tertentu, dan rencana alur; b. keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dalam suatu Bioekoregion. Ayat (2) : Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan

10

Page 11: JURNAL (Repaired)7

Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) diwajibkan mengikuti dan memadukan rencana

Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur

Laut yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa, kewenangan kabupaten (Kabupaten

Merauke) dalam pengaturan tata ruang wilayah laut di daerahnya mencakup perencanaan,

pemanfaatan, dan pengawasan. Dalam hal perencanaan, Kabupaten Merauke berwenang

menyusun Rencana Zonasi (RZ) rinci di setiap zona kawasan pesisir (ZKP) tertentu dalam

wilayahnya. Kewenangan tersebut sangat jelas dan penting bagi Pemerintah Kabupaten

Merauke (khususnya Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Merauke)

untuk menetapkan:

1. Alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum2. Mendesain rencana Kawasan Konservasi3. Mendesain rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu4. Mendesain rencana alur5. Desain keterkaitan antar ekosistem pesisir dalam suatu bioekoregion

Kewenangan tersebut sangat baik bagi Kabupaten Merauke dalam menata ruang

wilayah laut dan pesisir, menetapkan zona atau jalur penangkapan ikan menurut kelas

kapal penangkapan ikan atau penggunaan teknologi penangkapan ikan, mengakomodasi

hak-hak ulayat masyarakat lokal di wilayahnya, mengatur pengelolaan dan pemanfaatan

wilayah laut dan pesisir, mengatur kegiatan monitoring dan menetapkan pos-pos

pengawasan, menetapkan kebijakan aturan (seperti Peraturan Daerah, Peraturan Bupati,

Peraturan Distrik, Peraturan Kampung) dan sanksi, termasuk menetapkan mekanisme

pengenaan biaya atau tarif atas kegiatan penangkapan ikan dan budidaya perikanan.

Akibat ketiadaan pengaturan kewenangan, berimplikasi pada seringnya timbul

konflik antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang atau nelayang asing. Pada satu sisi

nelayan lokal mengklaim bahwa pada batas wilayah laut tertentu adalah hak ulayatnya

yang tidak boleh ada pihak luar tanpa izin dan tanpa membayar iuran yang diminta; disisi

lain, nelayan pendatang seperti dari Makassar, Ambon, Buton, dan lainnya juga

mengajukan klaim bahwa laut adalah milik bersama, dan tidak ada satu pihak pun yang

berhak atas penguasaan laut kecuali negara dan pemerintah (interpretasi dari hasil

wawancara dengan sejumlah nelayan local dan nelayan pendatang di Kabupaten Merauke,

Februari 2012).

Kewenangan Pemerintah Kabupaten Merauke dalam pengawasan terhadap

pemanfaatan ruang wilayah laut belum jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan.

11

Page 12: JURNAL (Repaired)7

Disisi lain, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan yang melaksanakan monitoring dan patroli

di wilayah laut bahkan melakukan pembentukan Pokmaswas, juga masih mengacu kepada

Peraturan Menteri Kelautan. Selain itu, setiap kasus pelanggaran izin atas pemanfaatan

ruang laut dan pesisir oleh kapal penangkap ikan tertentu masih lebih dominan ditangani

oleh Angkatan Laut dan Kepolisian.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah disebutkan di

atas, walaupun mengatur pembagian kewenangan (atau dengan menggunakan kata

“urusan”) kepada kabupaten (Merauke) terkait tata ruang wilayah laut namun pembagian

kewenangan tersebut belum jelas rinciannya, belum jelas batas-batasnya, belum jelas jenis

dan bentuknya, multitafsir, ambigu dan overlapping, sehingga legal substance atau

substansi hukumnya lemah. Demikian halnya dalam aspek legal structure, di mana

keberadaan DKP atau lembaga terkait lainnya di Kabupaten Merauke belum memiliki

kewenangan yang jelas dalam hal perencanaan zonasi, pemanfaatan dan pengawasan.

Kelemahan dari segi legal culture-nya terutama karena masih rendahnya kesadaran hukum

masyarakat dalam pemanfaatan ruang laut dan sumber daya laut di wilayahnya.

Kewenangan kabupaten dalam penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan

oleh daerah

Secara umum, ada beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Kabupaten Merauke terkait pengelolaan perikanan, antara lain :

1. Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Merauke No.3 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Kewenangan Pemerintah Kabupaten Merauke Sebagai Daerah Otonom

2. Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Merauke No.14 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Merauke No.4 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan

3. PERDA Kabupaten Merauke No.9 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Merauke No.23 Tahun 1998 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah

4. PERDA Kabupaten Merauke No.7 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten Merauke No.29 Tahun 1998 tentang Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah

5. PERDA Kabupaten Merauke No.12 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu

6. PERDA Kabupaten Merauke No.11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha.7. Peraturan Bupati Merauke No.6 Tahun 2011 tentang Produktivitas Kapal, Harga

Patokan Ikan dan Klasifikasi Skala Perusahaan di Kabupaten Merauke.

Keberadaan beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten

Merauke terkait pengelolaan perikanan tersebut, masih lebih dominan kepada pengaturan

12

Page 13: JURNAL (Repaired)7

jasa pelayanan izin usaha perikanan tangkap, penetapan tarif bagi operasi kapal penangkap

ikan menurut ukuran tertentu, termasuk beberapa larangan. Secara keseluruhan,

kewenangan kabupaten (Kabupaten Merauke) dalam penegakan hukum terhadap peraturan

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Merauke masih lemah substansi hukumnya,

termasuk masih lemah struktur hukum dan kultur hukumnya.

Kewenangan kabupaten dalam penegakan hukum terhadap peraturan yang

dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah

Sejumlah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh

Pemerintah dan dilimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Kabupaten Merauke

terkait pengelolaan perikanan, antara lain :

1. Pasal 64 – 75 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

2. UU No.31 Tahun 2004 jo UU No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

Per.14/MEN/2011 Tentang Usaha Perikanan Tangkap jo Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.49/Men/2011

Kenyataannya, kewenangan kabupaten (Kabupaten Merauke) dalam penegakan

hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah masih lemah substansi

hukumnya, termasuk masih lemah struktur hukum dan kultur hukumnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kewenangan Kabupaten dalam Pengelolaan Perikanan Laut di Kabupaten Merauke

Faktor –faktor yang mendukung kewenangan kabupaten dalam pengelolaan wilayah

laut perikanan adalah kebjakan hukum/ aturan, potensi wilayah laut dan pesisir, dan

kelembagaan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Dinas Tata Ruang, Dinas

Perdagangan dan Industri, Dinas Perekonomian, Lembaga Penegak Hukum, serta

ketersediaan pembiayaan dan sarana dan prasarana perikanan. Sedangkan factor yang

menghambat adalah : lemahnya substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum pada

kebijakan hukum atau aturan yang mengatur kewenangan kabupaten dalam potensi wilayah

dan sumber daya laut dan perikanan, kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM), belum

terintegrasinya antara peraturan perundang-undangan dengan hukum adat local, komitmen

dan konsistensi pendelegasian kewenangan dari pusat ke kabupaten masih setengah hati,

komitmen dan motivasi pelaksanaan kewenangan masih rendah, rendahnya kesadaran

kabupaten mengenai semangat berotonomi, dan tidak terincinya kewenangan kabupaten.

13

Page 14: JURNAL (Repaired)7

Faktor pendukung dan penghambat lainnta yang mempengaruhi kewenangan

kabupaten. Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakikatnya selalu ada determinan faktor yang

mempengaruhi, yang dapat diidentifikasi adalah : faktor sinkronisasi sistem norma hokum,

faktor sinkronisasi norma kewenangan, dinamika penyelenggaraan pemerintahan daerah,

pertimbangan kemampuan sumber daya manusia, dan faktor pertimbangan politik.

Kewenangan yang ideal bag Kabupaten (khususnya Kabupaten Merauke) dalam

pengelolaan wilayah laut dan perikanannya adalah : Pertama, kedudukan Kabupaten

(khususnya Kabupaten Merauke) yang memiliki daerah operasional beberapa kecamatan dan

kelurahan dan/atau desa mengharuskan pemerintah kabupaten untuk dapat lebih menfokuskan

tugas-tugasnya pada penyediaan pelayanan dan jasa dengan prinsip mendekati konsumen,

yaitu masyarakat. Kedua, tugas dan wewenang kebupaten (Bupati) yang meliputi seluruh

urusan pemerintahan, urusan yang bersifat sosial maupun urusan daerah, dalam batasan ruang

lingkup wilayah kerjanya. Semua tugas-tugas tersebut harus mempunyai sasaran yaitu

meningkatkan taraf hidup masyarakat untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera,

sehingga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Bupati harus dinamis, kreatif dan

bekerja sesuai dengan prinsip manajemen pemerintahan yang terarah dengan baik.

Idealnya dapat dikatakan bahwa kapanpun dan dimanapun Bupati selaku kepala

pemerintahan daerah bekerja ia harus dapat mengoptimalkan pengelolaan wilayah laut dan

perikanannya serta meningkatkan tarat hidup masyarakatnya, terutama dalam

penyelenggaraan otonomi daerah yang bermaksud memberdayakan masyarakat sehingga akan

selalu terdapat hal-hal berupa kewilayahan dan kemasyarakatan yang harus ditingkatkan.

Kegiatan dan usaha tersebutlah yang akan menjadi ukuran tentang sukses atau tidaknya

kabupaten dalam melaksanakan kewenangannya. Selain sebagai pelaksana kebijakan, Bupati

melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan, sehingga rincian kewenangan yang

didelegasikan tidak harus seragam, tetapi lebih fokus kepada kekhasan yang dimiliki masing-

masing Kabupaten, agar pemerintah Kabupaten dapat meningkatkan potensi kewilayahannya

khususnya wilayah laut dan perikanannya bagi kesejahteraan masyarakat.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan Kabupaten berdasarkan prinsip

otonomi, terutama bersumber dari kewenangan dalam bentuk atribusi dan delegasi dalam

pengelolaan wilayah laut dan perikanan di Kabupaten Merauke terutama dalam aspek

14

Page 15: JURNAL (Repaired)7

eksplorasi, eksploitasi dan konservasi, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, dan

aspek penegakan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah.

Kewenangan tersebut diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, namun masih

lemah sisten hukumnya (substansi, struktur dan kultur hukum), tumpah tindih, kabur,

multitafsir, ambigu, serta belum sepenuhnya sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan

pemerintahan yang baik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kewenangan Kabupaten dalam pengelolaan wilayah

laut dan perikanan di Kabupaten Merauke adalah : kebjakan hukum/ aturan, potensi wilayah

laut dan pesisir, kelembagaan, Ketersediaan pembiayaan dan sarana dan prasarana perikanan,

sistem hukum, kualitas sumber daya manusia (SDM), integrasi antara peraturan perundang-

undangan dengan hukum adat lokal, komitmen dan konsistensi pendelegasian kewenangan

dari pusat ke kabupaten masih setengah hati, komitmen dan motivasi pelaksanaan

kewenangan masih rendah, kesadaran hukum dan semangat berotonomi, rincian kewenangan,

sinkronisasi sistem norma hukum - norma kewenangan, dinamika penyelenggaraan

pemerintahan daerah, pertimbangan politik.

Kewenangan Kabupaten yang proporsional dan ideal dalam pengelolaan wilayah laut

dan perikanan di Kabupaten Merauke adalah : perluasan kewenangan kabupaten atas wilayah

laut dari 1/3 mil dari 12 mil kewenangan provinsi menjadi minimal 1/2 mil dari 12 mil

kewenangan provinsi; perluasan kewenangan kabupaten atas hak penerbitan SIUP, SIPI dan

SIPKI dari 5 -10 GT menjadi 30 – 60 GT, untuk memaksimalkan pengelolaan wilayah laut,

potensi sumber daya laut dan perikanan serta peningkatan PAD di daerahnya, mengurangi

porsi kewenangan provinsi dan pusat di kabupaten, realisasi dukungan pembiayaan serta

sarana dan prasarana, penetapan rincian kewenangan secara jelas sesuai kondisi dan

kebutuhan pengelolaan wilayah laut dan potensi sumber daya laut dan perikanan.

Daftar Pustaka

Buku-Buku :

Ateng Syarifuddin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Tarsito, Bandung, 1976.Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsumya, UI Press, Jakarta, 1995.Abdul Latief, Hukum dan Peraturan kebijaksanaan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah, UII Press,

Yogyakarta, 2005.Budiman Sagala, Tugas dan Wewenang MPR Di Indonesia, Ghalia, Jakarta, 1981Bayu Surianingrat, Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Rineka Cipta, Jakarta, 1981.Buchari Zainun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia menurut UUD 1945 dan

Perubahannya, PT. Mardi Mulyo, Jakarta, 2000.Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.Bagir Manan, Menyonsong Tajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, 2001.

15

Page 16: JURNAL (Repaired)7

Hans Kelsen, Teori Hukum Mumi (General Theory Ot Law and State) Alih Bahasa oleh Drs. Somardi, Rimdi Press, 1995.

Ermay Suradinata, Organisasi dan Manajemen Pemerintahan, Ramadhan, Bandung, 1996.Hanit Nurcholis, Toeri dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, 2005.Joset Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, PT. Raja Gratindo, Jakarta, 1997.J.H.A. Logemann, Tentang Teori Suatu Hukum tata Negara Positit, ahli bahasa, Makkatutu dan J.C.

Pangkerego, Ichtiar Baru-Von Hoeve, Jakarta, 1975.J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.Koemiatmanto Soetoprawiro, Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal-Usul dan Perkembangannya), PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.Makalah / JurnalAteng Syarifuddin, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 , Makalah

dalam Prosiding Seminar Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah Kabupaten, Citra Pindo, Bandung, 2002.

Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Taman Otonomi Daerah (Kumpulan Ceramah), Makalah pada Semiloka Peran Legislatif Daerah Serta Membangun Kemitraan Antara Eksekutif dan Legislatif Dalam menyongsong Otonomi Daerrah, Makassar, 2000.

La Ode Husen, Demokrasi dan Pemisahan Kekuasaan, Makalah Disampaikan Dalam Kuliah Magister Ilmu Hukum PPS UMI, Makassar, 2005.

Sadu Wasistiono, Model Pembagian kewenangan Dalam Rangka Desentralisasi, Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis STPDN, Jatinangor, 2001.

Tri Widodo Utomo, Tinjauan Kritis tentang Pemerintahan dan kewenangan Pemerintah Menurut Hukum Administrasi Negara, Dalam Jumal Unisia No. 55/XXVIII/I/205, UII Yogyakarta, 2005.

Media Massa dan KamusJimly Asshiddiqie, Negara Kesatuan atau Negara Persatuan, Republika (Jakarta) 2 Desember 1999.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002Lorens Bagus, Kamus Tilsatat, Gramedia Utama, Jakarta, 1966

Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan DaerahUndang-undang Nomor 0 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Peraturan Pemerinah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

16