7
Menuju Model Klinis Perilaku Bunuh Diri pada Pasien Psikiatri Abstrak TUJUAN: Faktor risiko mengenai percobaan bunuh diri jarang dipelajari secara komprehensif dalam lebih dari satu gangguan kejiwaan, mencegah estimasi relatif pentingnya dan generalisasi faktor risiko yang diduga berbeda di diagnosis psikiatri. Para penulis melakukan penelitian percobaan bunuh diri pada pasien dengan gangguan mood, psikosis, dan diagnosis lain. Tujuan mereka adalah untuk menentukan generalisasi dan relatif pentingnya faktor risiko tindakan bunuh diri melintasi batas-batas diagnostik dan mengembangkan model hipotetis, jelas, dan prediksi perilaku bunuh diri yang kemudian dapat diuji dalam studi prospektif . METODE:. Setelah memasuki universitas rumah sakit jiwa, 347 pasien yang berusia 14-72 tahun (51% adalah laki-laki dan 68% adalah Caucasian ) direkrut untuk penelitian. Wawancara klinis terstruktur menghasilkan sumbu I dan sumbu II diagnosis. Tindakan bunuh diri semasa hidu , sifat agresi dan impulsif, obyektif dan keparahan subjektif dari psikopatologi akut, sejarah perkembangan dan keluarga, dan penyalahgunaan zat lalu atau alkoholisme juga dinilai. HASIL:. Tingkat keparahan depresi saat ini atau psikosis tidak membedakan 184 pasien yang telah mencoba bunuh diri dari orang-orang yang belum pernah mencoba bunuh diri. Namun, skor yang lebih tinggi pada depresi subjektif, skor yang lebih tinggi pada keinginan bunuh diri, dan lebih sedikit alasan untuk hidup dilaporkan oleh pasien yang mencoba bunuh diri . Tingkat agresi sesama hidup dan impulsif juga lebih besar pada pasien yang mencoba bunuh dri. Gangguan kepribadia n ambang , merokok, gangguan penggunaan zat terlarang di masa lalu atau alkohol, riwayat keluarga yang melakukan tindakan bunuh diri, 1

Jurnal Reading

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal reading

Citation preview

Menuju Model Klinis Perilaku Bunuh Diri pada Pasien Psikiatri

Abstrak

TUJUAN:Faktor risiko mengenai percobaan bunuh diri jarang dipelajari secara komprehensif dalam lebih dari satu gangguan kejiwaan, mencegah estimasi relatif pentingnya dan generalisasi faktor risiko yang diduga berbeda di diagnosis psikiatri.Para penulis melakukan penelitian percobaan bunuh diri pada pasien dengan gangguan mood, psikosis, dan diagnosis lain.Tujuan mereka adalah untuk menentukan generalisasi dan relatif pentingnya faktor risiko tindakan bunuh diri melintasi batas-batas diagnostik dan mengembangkan model hipotetis, jelas, dan prediksi perilaku bunuh diri yang kemudian dapat diuji dalam studi prospektif.

METODE:.Setelah memasuki universitas rumah sakit jiwa, 347 pasien yang berusia 14-72 tahun (51% adalah laki-laki dan 68% adalah Caucasian) direkrut untuk penelitian.Wawancara klinis terstruktur menghasilkan sumbu I dan sumbu II diagnosis.Tindakan bunuh diri semasa hidu, sifat agresi dan impulsif, obyektif dan keparahan subjektif dari psikopatologi akut, sejarah perkembangan dan keluarga, dan penyalahgunaan zat lalu atau alkoholisme juga dinilai.

HASIL:.Tingkat keparahan depresi saat ini atau psikosis tidak membedakan 184 pasien yang telah mencoba bunuh diri dari orang-orang yang belum pernah mencoba bunuh diri.Namun, skor yang lebih tinggi pada depresi subjektif, skor yang lebih tinggi pada keinginan bunuh diri, dan lebih sedikit alasan untuk hidup dilaporkan oleh pasien yang mencoba bunuh diri. Tingkat agresi sesama hidup dan impulsif juga lebih besar pada pasien yang mencoba bunuh dri.Gangguan kepribadian ambang, merokok, gangguan penggunaan zat terlarang di masa lalu atau alkohol, riwayat keluarga yang melakukan tindakan bunuh diri, cedera kepala, dan kekerasan pada masa kanak kanak lebih sering pada pasien yang mencoba bunuh diri.

KESIMPULAN:.Penulis mengusulkan sebuah model stres-diatesis dimana risiko bunuh diri tindakan ditentukan bukan hanya oleh penyakit jiwa (stressor), tetapi juga oleh diatesis.Diatesis ini dapat tercermin dalam kecenderungan untuk memiliki pikiran mengenai bunuh diri dan lebih menjadi lebih impulsif, oleh karena itu, lebih mungkin untuk bertindak atas keinginan bunuh diri mereka.Studi prospektif diusulkan untuk menguji model ini.

Ada lebih dari 30.000 korban bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat. Lebih dari 90% dari korban bunuh diri memiliki gangguan kejiwaan pada saat melakukan bunuh diri. Namun, kebanyakan pasien dengan gangguan jiwa tidak melakukan percobaan bunuh diri. Oleh karena itu, gangguan kejiwaan umumnya merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk mencetuskan tindakan bunuh diri. Untuk mengidentifikasi faktor risiko bunuh diri, perlu untuk melihat lebih dari sekedar jenis penyakit utama mereka.

Kesulitan dalam hal ini adalah bahwa banyak penelitian telah mengabaikan diagnosis mereka yang melakukan bunuh diri atau mempelajari hanya satu kelompok diagnostik, seperti mereka yang depresi berat, schizophrenia, gangguan kepribadian ambang, mania, gangguan panik, atau kecanduan alkohol. Desain seperti itu tidak dapat menentukan apakah faktor-faktor resiko tersebut mengacu khusus untuk diagnosis tunggal atau dapat mengeneralisasi melintasi batas-batas diagnostik. Perbedaan ini sangat penting dalam upaya untuk membangun sebuah model umum perilaku bunuh diri.

Penelitian ini melibatkan 347 pasien dengan gangguan afektif besar, psikosis (skizofrenia, gangguan schizoaffective, atau schizophreniform psikosis), atau gangguan kepribadian. Tujuan peneliti adalah untuk menentukan generalisasi dan relatif pentingnya faktor risiko tindakan bunuh diri melintasi batas-batas diagnostik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan hipotesis, jelas, dan model prediktif perilaku bunuh diri yang kemudian dapat diuji dalam studi prospektif.

Metode

Total 347 pasien berturut-turut telah direkrut oleh peneliti. Pasien-pasien ini berusia 14-72 tahun, 51% adalah laki-laki, 68% Caucasian, dan mereka semua memiliki IQ lebih besar dari 80. Semua pasien sudah memberikan informed consent tertulis untuk protokol yang disetujui oleh kelembagaan dewan review peneliti.

Penilaian Klinis dan Diagnosis Psikiatri

DSM-III-R (Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorder) sumbu I gangguan kejiwaan didiagnosis dengan menggunakan Wawancara Terstruktur klinis untuk DSM-III-R (SCID). Diagnosis Axis II diperoleh dengan menggunakan Pemeriksaan Gangguan Kepribadian Terstruktur. Gejala psikiatri dinilai dengan Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS), Skala untuk Assessment Gejala Positif (SAPS), Skala Pengkajian Gejala Negatif (SANS), 24-item Hamilton Depression Rating Scale, Beck Depression Inventory, dan Beck Depression Inventory. Lifetime agresi dan sejarah impulsif yang dinilai dengan Agresi Inventarisasi Brown-Goodwin, Buss-Durkee Permusuhan Inventarisasi, dan Barratt Impulsif Skala. Peristiwa kehidupan dinilai dengan St Paul Ramsey-Skala, dan faktor pelindung potensial dinilai dengan Reasons for Living Inventory.

Upaya bunuh diri didefinisikan sebagai tindakan merusak diri sendiri yang cukup serius untuk memerlukan evaluasi medis dan dilakukan dengan maksud untuk mengakhiri hidup seseorang. Skala untuk pencetus ide bunuh diri diukur selama seminggu sebelum pasien masuk rumah sakit, dan niat bunuh diri dinilai dengan Suicide Intent Scale.

Riwayat masa kanak-kanak mengenai pelecehan fisik atau seksual atau cedera kepala dengan kehilangan kesadaran dicatat sebagai ada atau tidak ada. Asesmen masa lalu mengenai alkoholisme atau penyalahgunaan zat didasarkan pada SCID. Perokok didefinisikan dengan menanyakan apakah pasien pernah merokok secara teratur.

Metode Statistik

Perbedaan antara yang mencoba bunuh diri dan yang tidak mencoba bunuh diri diuji dengan uji t dua sampel atau uji Wilcoxon untuk variabel kuantitatif.

Hasil

1. Pasien yang mencoba bunuh diri tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal umur dibandingkan dengan yang tidak mencoba bunuh diri.

2. Pasien yang mencoba bunuh diri memiliki masa edukasi atau masa sekolah yang lebih pendek.

3. Pasien yang mencoba bunuh diri memiliki pemasukan 25% lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mencoba bunuh diri.

4. Tabel 1 menunjukkan bahwa yang mencoba bunuh diri dan yang tidak mencoba bunuh diri tidak berbeda secara signifikan pada tingkat keparahan psikopatologi akut, seperti depresi utama (skala depresi Hamilton), psikosis (SAPS dan SANS), dan psikopatologi umum (BPRS).

5. Pasien yang mencoba bunuh diri memiliki rasa kehilangan harapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak mencoba bunuh diri.

6. Pasien yang mencoba bunuh diri lebih sering mengalami episode depresi atau psikosis semasa hidupnya.

7. Pasien yang mencoba bunuh diri mngakui bahwa mereka memiliki alas an untuk hidup yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mencoba bunuh diri.

8. Tabel 2 menunjukan bahwa pasien yang mencoba bunuh diri memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek agresi dan impulsivitas, komorbiditas cluster B personality disorder, komorbiditas penggunaan alkohol di masa lampau atau penyalahgunaan narkoba atau kecanduan narkoba, merokok, trauma kepala, dan keluarga yang pernah mencoba bunuh diri.

Diskusi

Pasien dengan riwayat percobaan bunuh diri menunjukan tingkat agresi dan impusivitas yang lebih besar semasa hidupnya dibandingkan dengan pasien yang tidak mencoba bunuh diri dalam jenis penyakit psikiatri yang sama. Pasien dengan diagnosis gangguan kepribadian ambang memiliki skor yang lebih tinggi dalam aspek agresi dan impulsivitasnya dibandingkan dengan pasien yang tidak mencoba bunuh diri. Hal ini menunjukan bahwa impulsivitas memiliki peran penting dalam mencetuskan keinginan bunuh diri pada pasien. Selain itu, penelitian ini juga menunjukan bahwa tingkat keparahan dari penyakit tidak jauh berbeda pada kedua jenis pasien tersebut. Pasien yang memiliki depresi yang rekuren atau schizophrenia yang pernah mencoba bunuh diri, cenderung mencoba bunuh diri lagi dalam jangka waktu yang lebih singkat. Rasa kehilangan harapan dapat menjadi prediksi yang kuat untuk pasien yang mencoba bunuh diri. Agresi, Impulsivitas, dan gangguan kepribadian ambang dapat diperoleh dari faktor genetik maupun kejadian semasa hidupnya. Resiko bunuh diri juga berhubungan dengan trauma kepala yang terjadi di masa lampau dan kekerasan pada masa kecil. Kedua aspek tersebut menyebabkan pasien memiliki tingkat agresi yang lebih tinggi. Penggunaan alcohol juga meningkatkan probabilitas terjadinya trauma kepala. Selain itu aktifitas serotonergik dapat menjadi dasar dari agresi, pembentukan efek mental bunuh diri, dan alkoholisme. Perilaku merokok juga lebih sering terjadi pada pasien yang mencoba bunuh diri.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa klinisi harus lebih berhati-hati dalam menentukan keparahan tingkat keinginan bunuh diri dan agresi impulsivitas semasa hidup pasien. Hal ini demi mencapai keberhasilan dalam menentukan estimasi resiko terjadinya percobaan bunuh diri di masa depan.

1