51
DISKURSUS

Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

DISKURSUS

Page 2: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

63

Revitalisasi Pancasila di Tengah Dua Fundamentalisme

Yudi Latif

AbstractThis paper describes the importance of revitalizing Pancasila as a strategy to

struggle against the religious and market fundamentalism. Pancasila has strong roots in the history of Indonesia society, and particularly relevant to

be grounded as a solution to the problem of this plural society.

Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: 'Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan,

My nationalism is humanity'….Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka,

tetapi harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa…. Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …yang boleh saya namakan

'internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud

kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan….

(Soekarno, 1 Juni 1945)

Dengan berlalunya perang dingin, dua ekstrem fundamentalisme menebar ancaman baru bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan: fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama, bernama ”globalisme triumphalis”, yang berlomba menaklukkan setiap jengkal dunia hidup atas dasar hegemoni penunggalan agama dan pasar. Kedua jenis fundamentalisme

Keywords: Pancasila. ideology, revitalization of Pancasila

Page 3: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

64

ini membonceng arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Situasi demikian memungkinkan keduanya menjelma menjadi fenomena yang serba hadir (ubiquitous) yang dapat merusak tatanan perikemanusiaan dan perikebangsaan.

Dalam konteks Indonesia, dasar falsafah bernegara, Pancasila, sesungguhnya telah mengantisipasi dampak buruk dari globalisasi. Secara umum, sila kedua, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menekankan prinsip agar globalisasi (internasionalisme) yang dikembangkan hendaknya memuliakan nilai-nilai keadilan dan keberadaban. Secara khusus, sila pertama, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran, yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sedangkan sila kelima, ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menekankan prinsip yang menolak dominasi pasar dengan mengupayakan keseimbangan antara peran negara, komunitas (koperasi), dan pasar (swasta).

Untuk mencegah dampak buruk dari ancaman fundamentalisme agama dan pasar, tulisan ini menganjurkan perlunya melakukan revitalisasi Pancasila dalam memuliakan hak-hak asasi manusia dalam kerangka negara-bangsa, dengan memahami dan mengaktualkan ide-ide pokoknya.

Globalisasi dan Dampak IdeologisnyaGlobalisasi modern dan pasca-modern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, ”Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Soviet dan Amerika. Pada 31 Juli 1958, AS berhasil meluncurkan satelit pertamanya, ”Explorer 1”. Pada Juni 1961, Angkatan Udara Amerika menggunakan berbagai fasilitas dari Jaringan Mata Angkasa Amerika (the United States Space Surveillance Network) untuk mengkatalogkan sejumlah 115 satelit yang mengorbit bumi.

Page 4: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

65

Keberadaan satelit ini, yang kemudian disusul oleh penemuan fiber optic, serta aneka kecanggihan teknologi informasi dan telekomunikasi, menandai era baru dalam komunikasi antarmanusia yang melampaui hambatan-hambatan ruang dan waktu. Dengan berbagai penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informatika, dunia mengalami arus globalisasi yang makin luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Yang dimaksud dengan globalisasi dini, seperti kata Anthony Giddens (1990), ”adalah intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitupun sebaliknya” (Globalization is the intensivication of world-wide social relations Which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa).

Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa 'distansiasi ruang-waktu' (time-space distanciation) sekaligus 'pemadatan ruang-waktu' (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.

Berhembus pertama kali dari pusat-pusat adidaya, globalisasi pada akhirnya menerpa semua bagian dunia, tak terkecuali negara adikuasa sendiri, meskipun dengan konsekuensi yang tak merata. Dengan perluasan, pendalaman dan percepatan globalisasi ini, lingkungan strategik yang mempengaruhi perkembangan negara-bangsa merupakan resultante dari kesalingterkaitan antar berbagai elemen terpenting dalam lingkungan global, regional, nasional, dan lokal. Dampak yang ditimbulkannya bersifat mendua, yang dikenal dengan istilah 'global paradox': memberi peluang dan hambatan, positif dan negatif

Pada ranah negara-bangsa (nation-state) di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 5: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

66

negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Bahkan negara adikuasa seperti Uni Soviet menjadi korban globaliasi yang didorong temuan-temuan teknologinya sendiri. Kesulitan-kesulitan ekonomis yang ditimbulkan oleh mismanajemen yang bertaut dengan tekanan globalisasi memaksa Pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnost. Secara konstan, Uni Soviet kehilangan kekuatan dan kekuasaannya terhadap Eropa Timur dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1991. Meski dalam kadar dan implikasi yang tak sama, krisis perekonomian sebagai konsekuensi globalisasi juga melanda Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya pada awal milenium baru.

Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kultural. Dalam planet bumi yang dirasa kian ”mengecil”, jumlah negara bangsa justru kian bertambah. Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur

1(antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of International Football

2Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius.

Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide-ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang-peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Perdagangan dunia saat ini jauh lebih

1. Lihat, http://www.un.org/Overview/growth.htm diakses pada 21 Oktober 2009. 2. Lihat Alex MacGillivray (2006: 52-54).

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 6: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

67

luas cakupannya dan instan kecepatannya di banding periode mana pun dalam sejarah umat manusia. Yang paling menonjol adalah lonjakan dalam tingkat arus finansial dan kapital yang difasilitasi oleh perekonomian elektronik (economy electronic). Intensifikasi penguasaan ruang dan waktu lewat arus globalisasi berpengaruh besar bagi perilaku dunia usaha. Pergeseran modus produksi Fordisme (yang kaku dan kurang mobil) ke sistem akumulasi fleksibel (yang beroperasi dengan kelenturan dan layanan just-in-time) merupakan eksemplar bagaimana pengolalaan atas ruang dan waktu semakin signifikan dalam kapitalisme lanjut di era globalisasi ini.

Di sini lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).

Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Kecenderungan ini mengakibatkan pasar menjadi berkembang begitu bebas tanpa ada satu kekuatan pun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi, yang akan mempengaruhi kemandirian perekonomian nasional. Pasar bebas dunia pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan sistem-sistem kesejahteraan untuk melindungi jalan hidupnya (Hobsbawm, 2007: 4).

Globalisasi dan perdagangan bebas juga mengandung kemungkinan gejala ”penunggang bebasnya” (free-riders) tersendiri. Bahwa suatu organisme bisa melakukan tindakan di luar tujuan aslinya, bahkan melakukan sesuatu yang berkebalikan dari niat awalnya. Dalam

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 7: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

68

konteks kelembagaan antarbangsa, ada beberapa institusi yang semula didirikan dengan tujuan menolong, justru digunakan untuk tujuan sebaliknya. Hal inilah yang terjadi dengan IMF dan World Bank. Ketika didirikan, premis kebijakannya diletakkan pada pengandaian-pengandaian John Maynard Keynes. Tetapi kemudian IMF menjadi pintu bagi terjadinya globalisasi korporasi dan juga kegiatan spekulasi tingkat dunia, tanpa memperhatikan dampak tingkah lakunya.

Pemiskinan global mengalami percepatan terutama dengan rejim pemotongan pajak dan minimal state sejak tahun '80-an, yang kemudian mendorong korporasi-korporasi swasta (internasional) mengambil alih hampir semua kegiatan ekonomi, dan mengambil keuntungan dengan persentasi yang luar biasa besar. Pada saat yang sama, IMF dan World Bank tidak dapat dijangkau dengan alat kedaulatan hukum apapun, bahkan hukum internasional. Dengan kata lain, liberalisasi perdagangan diikuti oleh kecenderungan berkurangnya kebebasan pemerintahan nasional untuk menentukan kebijakannya, akibat dari adanya pengaruh kekuatan-kekuatan komersial (keuangan internasional dan multinasional) dan lembaga-lembaga supra-nasional (Bank Dunia, IMF, dll).

Implikasinya bagi IndonesiaBagi Indonesia sendiri, globalisasi modern membawa politik nasional ke pusaran gelombang demokratisasi ketiga di dunia, yang menurut Huntington bermula pada 1974 dan menerpa Indonesia melalui gerakan reformasi pada akhir 1990-an. Gelombang demokratisasi ini melanda Indonesia ketika otoritas negara mendapatkan tekanan yang serius dari penetrasi kekuatan-kekutan global, yang setelah perang dingin berakhir, terutama dari gerakan-gerakan trans-nasional keagamaan dan modal.

Padahal, usaha demokratisasi menghendaki penguatan kedaulatan negara guna merespon meluasnya tuntutan rakyat di dalam negeri. Tanpa kedaulatan negara, transisi menuju demokrasi, seperti yang berlangsung di Indonesia, kerapkali hanyalah membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Demokrasi memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 8: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

69

ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas negara.

Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakan kelembagaan negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.

Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri. Istilah ”reform” menurut Oxford Advanced Learner's Dictionary (1978) berarti ”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.” Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya. Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah ada, melainkan berusaha menyempurnakannya, dengan membuang yang buruk dan meningkatkan yang baik.

Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau berkata, ”I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as 'shock' therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).

Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan memunculkan ”negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.

Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 9: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

70

luas cakupannya, terlalu dalam penetrasinya, dan terlalu cepat pelaksanaannya; tanpa perhitungan yang matang mengenai dampak ikutan, prasyarat yang mesti dipenuhinya, serta kecocokan institusi-institusi baru bagi sistem sosial-budaya Indonesia. Secara kumulatif, hal ini memperlemah otoritas negara Indonesia dalam situasi ketika negara dihadapkan pada aneka rongrongan yang membonceng arus globalisasi dan lokalisasi.

Arus globalisasi yang bersanding dengan lokalisasi membawa paradoks global dalam kehidupan berbangsa. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan bangsa—mengalami gelombang pasang.

Karena setiap pencarian identitas memerlukan garis perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan suatu kemungkinan munculnya keyakinan atavistik bahwa identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).

Tantangan berat terhadap nasionalisme politikal datang dari persenyawaan antara pengekspresian politik identitas yang bersifat trans-nasional dengan revivalisme sentimen kedaerahan. Komitmen kebangsaan bisa dilampaui oleh komitmen etno-komunal yang mendapatkan sumber-sumber moralitas dan idealitasnya dari gerakan-gerakan kebudayaan dan keagamaan trans-nasional.

Persenyawaan keyakinan atavistik ini melahirkan tuntutan ke arah entitas politik mondial berbasis keagamaan (seperti gagasan kekhalifahan Islam), revivalisme ide negara Islam (NII), syariahisasi politik lokal (perda syariah), fatwa-fatwa keagamaan yang ekslusif (seperti banyak fatwa MUI). Lebih dari itu, tuntutan ini juga mengarah pada gejala kekerasan keagamaan: aksi terorisme, persekusi pengikut agama atau sekte

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 10: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

71

keagamaan tertentu. Dihadapkan pada ancaman pelanggaran hak asasi manusia

(HAM) seperti itu, Indonesia sebagai negara lemah justru seringkali mengeluarkan kebijakan politik yang melanggar prinsip-prinsip penegakan (HAM). Setidaknya ada dua jenis pelanggaran HAM yang sering dilakukan oleh negara. Pertama, pelanggaran terhadap hak dan keadilan sipil yang bersifat setara (equal) dan tak dapat dikurangi (non-derogable) . Bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar utama yang dijamin konstitusi, yang tanpa hal itu semua kebebasan lainnya tak bermakna.

Tidak ada konstitusi yang sempurna. Tapi, dalam persoalan perlindungan hak berkeyakinan, konstitusi kita, bahkan sebelum amandemen, tidak bersifat ambigu, melainkan mendasar dan jelas (unequivocal). Sejak awal, hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945, yang kemudian lebih diperjelas dalam konsitusi versi amandemen keempat, terutama pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pada pasal 28E, misalnya, disebutkan bahwa ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1); dan juga ”berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (ayat 2).

Pada tahun 2005, pemerintah meratifikasi kovenan PBB mengenai hak-hak sipil yang kemudian diratifikasi ke dalam UU No. 12 tahun 2005. Pada Bab III, Pasal 18 dari Kovenan ini disebutkan: 1. ”Everyone shall have the right of freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching; 2. ”No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.”

Baik konstitusi kita maupun kovenan ini secara nyata menjamin kebebasan berag ama sebag ai prinsip yang absah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi yang konkrit bahwa Negara dalam kondisi apapun, bahkan dalam tuntutan untuk menjaga ketertiban umum,

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 11: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

72

tak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik dari setiap orang.

Kedua, negara juga melakukan pelanggaran terhadap hak komunitarian (communitarian rights) karena kegagalannya melakukan proteksi terhadap hak untuk berbeda. Memang tidak semua perbedaan harus diakomodasi karena bisa melumpuhkan prinsip kesetaraan dari hak sipil itu sendiri. Tetapi ada perbedaan yang relevan (relevant difference), yang memerlukan pengakuan dan representasi, yang diakui keabsahannya bahkan oleh paham liberalisme. Yakni perbedaan yang ditimbulkan atau dikonstruksikan oleh diskriminasi dan marjinalisasi. Proteksi dan representasi khusus kelompok yang dimarjinalkan dan didiskriminasikan ini dibenarkan, karena tanpa pengakuan terhadap hak untuk berbeda diskriminasi bisa berlanjut yang berakibat pada pengabaian secara permanen hak-hak sipil dari anggota komunitas tersebut. Ambillah contoh kasus pemberian kuota khusus bagi representasi kaum perempuan. Dengan prinsip yang sama, Jamaah Ahmadiyah—yang sering mengalami persekusi—pun layak memperoleh jaminan hak untuk berbeda. Dalam hal ini, tugas negara adalah melakukan proteksi terhadap kelompok yang lemah dan didiskriminasikan, bukannya malah semakin menguatkan diskriminasi.

Jika fundamentalisme agama membawa ancaman terhadap hak sipil dan politik, ancaman terhadap hak ekonomi –cum hak sosial dan budaya—datang dari fundamentalisme pasar. Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun '80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang pondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan perluasan pasar tanpa kepedulian sosial, globalisasi pasar meningkatkan ketaksetaraan di dalam negara, dan jurang pemisah yang makin lebar antara negara maju dan berkembang.

Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negatif dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Studi penting telah dihasilkan dalam kerja Sub-Commission on Prevention of Discrimination and

3Protection of Minorities (disebut Sub-Komisi), Commission on Human

3. Pada 1998, lembaga ini dinamai kembali dengan 'Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights'.

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 12: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

73

Rights (disebut Komisi), UN High Commissioner for Human Rights (UNHCHR) atau oleh Secretariat of the United Nations (Sekretariat PBB). Studi pionir disiapkan oleh Danilo Türk (1992) untuk Sub-Komisi, menunjukan tidak adanya perhatian yang serius pada hak ekonomi dan sosial dan peran problematis dari lembaga Bretton Woods (Sub-Commission, 1992). Beberapa studi lanjutan yang disiapkan oleh Sub-Komisi, Special Rapporteur Jose Bengoa membuat penilaian atas meningkatnya perbedaan pendapatan yang timbul seiring dengan gelombang globalisasi korporasi, dan akibat negatifnya pada perlindungan

4hak asasi manusia (Sub-Commission, 1997).Tidak satupun studi ini yang menolak pentingnya kerjasama dan

perdagangan global, tetapi studi ini lebih mengarahkan perhatian pada ancaman terhadap kemanusiaan dan HAM yang ditimbulkan oleh globalisasi pasar yang berbasis ideologi neo-liberalisme. Studi-studi ini mengandung saran-saran yang bagus bagi reorientasi dan perbaikan arah globalisasi, dengan mengubah kebijakan neo-liberal di masa mendatang menuju pembangunan berbasis-hak (right-based development).

Dalam konteks Indonesia, ancaman neoliberalisme terhadap HAM bisa diurut mulai dari kasus kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional mapun nasional dalam penjarahan sumberdaya alam dan perusakan ekosistem, penetrasi kepentingan korporasi dalam penyusunan perundang-undangan, intervensi korporasi dalam pemilihan aparatur negara, hingga kekerasan dan pembunuhan warga di sekitar areal perusahaan.

Ancaman terhadap HAM yang datang dari fundamentalisme agama dan pasar itu mengisyaratkan betapa pemahaman warga dan aparatur negara tentang prinsip-prinsip demokrasi konstitusional masih sangat lemah. Hal ini memperkuat tuntutan agar Indonesia sebagai

4. Sepertiga dari studi besar mengenai konsekuensi keseluruhan dari proses globalisasi terkini bagi hak asasi manusia dikerjakan selama periode 5 tahun oleh Joe Oloka-Onyanga dan Deepika Udagama (lihat secara khusus: Sub-Commission 2000, 2001, dan 2003). Beberapa studi penting juga dikerjakan oleh UNHCHR atau Sekretariat PBB. Antara lain studi atas dampak hak milik intelektual (IPRs) atas hak asasi manusia dalam aspek-aspeknya yang berhubungan dengan perdagangan (UNHCHR, 2001), studi atas dampak liberalisasi perdagangan dalam jasa terhadap hak asasi manusia (UNHCHR, 2002a), serta studi tentang globalisasi dan dampaknya pada hak asasi manusia dengan fokus khusus pada perdagangan agrikultur (UNHCHR, 2002b). Di tahun 2003, UNHCHR menghadirkan sebuah studi pada hak asasi manusia, perdagangan, dan investasi (UNHCHR, 2003). Prinsip fundamental non-diskriminasi dalam konteks globalisasi merupakan subyek studi analisis dari UNHCHR di tahun 2004 (UNHCHR, 2004a)

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 13: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

74

republik harus berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan golongan dan kelas sosial.

Penegakan prinsip republikanisme terasa penting, terutama bagi masyarakat plural dengan tantangan globalisasi yang meluas dan dalam. Dengan intensifikasi hubungan sosial berskala global, bangsa-multikultural tak hanya menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, tetapi juga tekanan keragaman dari luar. Oleh karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu Republik.

Perlu Revitalisasi PancasilaApakah dengan tekanan globalisasi dan internasionalisme nasib negara-bangsa akan sekadar menjadi sebuah 'fiksi' sebagaimana dikatakan baik oleh Kenichi Ohmae? Lantas muncul pertanyaan pula bagaimana peran pemerintah di tengah arus globalisasi? Apakah pemerintah akan menjadi usang?

Tentu saja, tidak! ”They are not, but their shape is being altered,” ujar Giddens (1999: 32). Negara tidak akan usang, akan tetapi bentuknya sedang berubah. Seiring dengan itu, nasionalisme pun menemukan konteks baru (Hobsbawm, 2007: 2). Menurut Paul Kennedy (1994), negara-bangsa akan tetap bertahan asal para pemimpin dan warganya

5responsif terhadap globalisasi.Munculnya organisasi-organisasi supranasional dan perusahaan-

perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang semakin menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Akan tetapi, negara-bangsa akan tetap berperan sebagai locus utama bagi identitas para warganya, sejauh belum ada institusi lain yang secara adekuat dapat menggantikannya sebagai unit kunci dalam merespon

5. Paul Hirst & Graham Thompson, Globalization in Question (Cambridge: Polity Press, 1996).

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 14: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

75

perubahan global. Seperti dikemukakan oleh Paul Kennedy:”Barangkali memang ada erosi tertentu dari kekuasaan negara-

bangsa dalam dekade-dekade terakhir, namun negara-bangsa masih tetap sebagai locus utama identitas dari kebanyakan orang; tak peduli siapapun majikannya dan apapun yang mereka kerjakan untuk hidup; individu-individu membayar pajak pada negara, tunduk pada hukum-hukumnya, dan bertugas (jika dibutuhkan) dalam angkatan bersenjatanya, dan hanya dapat bepergian ke luar negeri dengan memiliki paspornya. Kesimpulannya, bahkan jika otonomi dan fungsi negara mengalami erosi oleh kecenderungan transnasional, belum ada penggantinya yang adekuat sebagai unit kunci dalam menjawab perubahan global. Bagaimanapun, kepemimpinan politik suatu bangsa dalam mempersiapkan rakyatnya untuk menghadapi abad ke-21 masih amat penting bahkan ketika instrumen-instrumen tradisional negara mulai memudar—itulah sebabnya mengapa sekarang perlu untuk mempertimbangkan prospek masing-masing negara dan kawasan berdasarkan kemampuannya merespon, atau gagal merespon, terhadap tantangan abad baru (Kennedy, 1994: 134).”

Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Menurut hukum hak asasi manusia

6sebagaimana dinyatakan dalam International Bill of Human Rights, pertanggungjawaban untuk perwujudan hak asasi manusia dalam hukum internasional berada di tangan negara. Pengertian kebebasan negatif yang dianut oleh liberalisme ekstrem–otonomi maksimum individu dari komunitas dan negara—adalah asing bagi UDHR. Untuk menghidupkan tanggungjawab itu, negara harus memikul 3 perangkat kewajiban: untuk menghormati (respect) kebebasan individu; untuk memenuhi (fulfill) hak tersebut baik melalui fasilitasi (facilitation) atau melalui penyediaan (providing) akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar

7seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

6. UDHR plus Kovenan Internasional yang diadopsi di tahun 1966; meliputi hak sipil dan politik, dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

7. Kerangka umum bagi kewajiban negara pertama kali diproporsi oleh Eide (1984) dan kemudian digunakan sebagai studi pertama bagi PBB dalam soal hak atas pangan melalui Sub-Komisi untuk Promosi dan Proteksi Hak Asasi Manusia (PBB, 1989), dan kemudian diadopsi oleh CESCR untuk beberapa General Comment (Komentar Umum), mulai pada General Comment No.12 dalam Hak atas Pangan di tahun 1999.

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 15: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

76

Peran negara pun masih penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, seperti tercermin dari kegagalan ideologi dan proyek neo-liberalisme yang membawa krisis Amerika Serikat dan dunia pada awal milenium baru. Tendensi neoliberalisme untuk mengecilkan peran negara membuat pasar bebas melenggang tanpa aturan maupun pengawasan, yang memunculkan aneka kebobrokan pelaku pasar (moral hazard), yang berujung pada krisis perekonomian. Lebih dari itu, Naomi Klein (2007) mendokumentasikan bagaimana kebijakan neoliberalisme menyumbang pada tumbuhnya otoritarianisme, eksploitasi,

8ketidaksetaraan, dan pengrusakan lingkungan. Bahkan sekalipun neoliberalisme sering mengabaikan peran negara, dalam praktiknya, seperti ditunjukkan Robert Kuttner (2007), neoliberalisme Amerika Serikat acapkali menggunakan kekuatan negara untuk menderegulasikan

9industri keuangan. Akhirnya ada perkembangan yang bersifat paradoks. Di satu sisi,

globalisasi mengurangi otoritas negara-bangsa. Di sini lain, negara yang mampu mengambil keuntungan dari globalisasi justru negara yang kuat, seperti ditunjukkan oleh China. Akan tetapi perlu dicatat, pengertian kuat di sini tidaklah sebangun dengan otoritarianisme, melainkan merujuk pada kapasitas negara untuk mempertahankan otoritasnya melalui regulasi dan penegakan hukum (law enforcement).

Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Pada titik ini, antisipasi sila kedua Pancasila seperti dikemukakan oleh Soekarno sudah tepat. ”Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme.”

Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Keluar,

8. Naomi Klein, 2007, The Shock Doctrrine: The Rise of Disaster Capitalism, New York: Henry Holt and Company9. Robert Kuttner, 2007, The Squandering of America: How our Politics Undermines Our Prosperity, New York: Knopf.

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 16: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

77

bangsa kita harus menggunakan segenap daya dan khazanah yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif 'ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial', sebagaimana tertera pada (aline 4) Pembukaan UUD 1945. Kedalam, bangsa kita harus menerima, apa yang disebut Muhammad Yamin, 'benda ruhani berupa pengakuan dan pemuliaan hak-azasi kemanusiaan' (Yamin, 1956: 186-187).

Menyadari relevansi dan aktualitas visi Pancasila dalam mengantisipasi ancaman globalisasi terhadap HAM, terasa perlu melakukan revitalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai kerangka konsepsional penegakan HAM dalam konteks negara bangsa. Dalam kaitan ini, perlu disadari bahwa sila-sila Pancasila secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri tidaklah bertentangan, bahkan mendukung prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Pancasila dapat dikatakan sebagai prinsip kontekstualisasi HAM dalam kenyataan Indonesia sebagai bangsa multikultural dengan kesenjangan sosial-ekonomi yang tajam. Dihadapkan pada realitas seperti itu, negara ingin memenuhi HAM dengan mengembangkan dua prinsip pokok: negara kekeluargaan dan negara keadilan (kesejahteraan).

Negara kekeluargaan adalah negara yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam ungkapan Soekarno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara 'semua buat semua', 'satu buat semua, semua buat satu'.”

Negara keadilan (kesejahteraan) mengandung arti bahwa peran negara bukan hanya sebagai 'penjaga malam', melainkan memainkan peran aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial, melalui penguasaan, regulasi, fasilitasi, dan penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu dilukiskan dalam pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ungkapan:

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 17: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

78

”Negara”—begitu bunyinya—yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dengan basis konsepsi kenegaraan seperti itu, Pancasila mampu mengantisipsi berbagai tantangan global dalam perlindungan HAM. Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya 'egoisme-agama'…Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”

Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip ”sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.

Dalam prinsip ”sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri atas prinsip semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang mengarah pada persaudaraan, keadilan dan keadaban dunia. Dikatakan Bung Karno, ”Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”.

Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip ”sosio-demokrasi” yang tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif. Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial,

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 18: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

79

dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.

Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai menengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.

Penutup: Pembumian PancasilaDiperlukan penyegaran pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila untuk menangkal berjangkitnya beragam ancaman ekstremisme. Dengan menguatkan nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan, kebangsaan yang berprikemanusiaan, serta demokrasi permusyawaratan yang berorientasi keadilan sosial, Indonesia akan mampu menghadapi perkembangan baru dengan suatu visi global yang berkearifan lokal.

Tinggal masalahnya, bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, yang

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 19: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

80

diperlukan adalah apa yang disebut Kuntowijoyo (2001) dengan proses ”radikalisasi Pancasila”. ”Radikalisasi” dalam arti ini adalah pengakaran ideologi, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk

10bagaimana negara ini ditata-kelola dengan benar. Radikalisasi Pancasila yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu, (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan; sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Pemikiran-pemikiran lain yang bersifat abstraksi-filosofis juga bukan tanpa makna. Tetapi pemikiran yang bersifat abstraksi-filosofis menjadi lebih bermakna sejauh diberi kaki operasionalisasinya agar bisa menyejarah dan memiliki makna bagi kehidupan kemanusian dalam konteks negara-bangsa Indonesia.

10. Kuntowijoyo (2001) mengutip pendapat seorang koleganya, Damardjati Supadjar dari UGM, yang pernah mengusulkan untuk mengefektifkan Pancasila. Caranya ialah menjadikan perumusan sila-sila yang berupa kata benda abstrak sebagai kata kerja aktif. Jadi, bukan saja Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi "Mengesakan Tuhan". Bukan hanya Kemanusian yang adil dan beradab, tapi "Membangun kemanusiaan yang adil dan beradab". Bukan saja Persatuan Indonesia, tapi "Mempersatukan Indonesia". Bukan saja Kerakyatan, tapi "Melaksanakan kerakyatan". Bukan hanya Keadilan Sosial, tapi "Mengusahakan Keadilan Sosial".

Revitalisasi Pancasila DISKURSUS

Page 20: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Daftar Pustaka

Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2011.

http://www.un.org/Overview/growth.htm, diakses pada 21 Oktober 2009.

Paul Hirst & Graham Thompson, Globalization in Question (Cambridge: Polity Press, 1996).

Naomi Klein, 2007, The Shock Doctrrine: The Rise of Disaster Capitalism, New York: Henry Holt and Company

Robert Kuttner, 2007, The Squandering of America: How our Politics Undermines Our Prosperity, New York: Knopf.

81

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 21: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1
Page 22: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

83

Hak Asasi Manusia Solusi Menghadang Fundamentalisme

Roichatul Aswidah

Abstract Human rights is relevant to be discussed in the struggle against the religious and market fundamentalism. In the idea of ??human rights, we see that the

clearly basic concepts of human rights is very important to be the basis of resistance to fundamentalism. This paper describes the basic concepts of chaos and shows the location of vulnerable fundamentalism affair with

power.

Keywords: human rights, autonomy, equality

”religious fundamentalisms are an idea whose time has come and we won't be seeing the end of its influence by focusing on some individuals; fundamentalism is something whose seeds have been planted and which needs a long, sustained effort

at de-seeding”Victor Hugo-parahrased by Vijay Nagari

Menyelami FundamentalismeFundamentalisme pasar dan agama seringkali digambarkan mengepung atau mencengkeram sebegitu kuatnya hingga Indonesia sebagai sebuah negara tak bisa bergerak merdeka. Kedua jenis fundamentalisme itu telah menggerogoti tubuh bangsa hingga menciptakan keganjilan dalam rasa-merasa kita sebagai bangsa: ”Aku pertama-tama adalah orang beragama”, atau ”Aku pertama-tama adalah konsumen”. Kewargaan kita terkoyak

1fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Kegelisahan banyak orang mengenai fundamentalisme agama di

Indonesia—terutama paska reformasi—merujuk pada maraknya aksi kekerasan yang terjadi atas nama agama. Kekerasan yang terjadi kian

1. B. Herry Priyono, “Mendidik Ulang Kewargaan”, Kompas, 23 Mei 2011

Page 23: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

84

mencemaskan. Mulai dari aksi teror, penyerangan terhadap pemeluk agama lain, persekusi, bahkan pembantaian dengan dalih ajaran yang menyesatkan.

Wujud lain dari fundamentalisme agama dapat dilihat dari munculnya berbagai peraturan yang populer disebut Perda Syariah. Studi yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menemukan antara 1999-2009 tercatat adanya 154 peraturan daerah bernuansa agama dan moralitas yang diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Kebijakan tersebut diterbitkan di 69 kabupaten/kota di

221 propinsi. Perda-perda bernuansa Syariat Agama ini menerapkan praktik agama yang lebih ketat, misalnya, mengharuskan semua pegawai pemerintahan maupun siswa sekolah untuk mengenakan pakaian muslim,

3hingga membatasi kegiatan perempuan di waktu malam hari.Singkatnya, bagi sebagian masyarakat muslim, era ini bak sebuah

momentum bagi 'kebangkitan' Islam di Indonesia. Identitas Islam menjadi tidak lagi tunggal seperti masa Soeharto. Kebebasan sipil di masa reformasi sekarang memungkinkan aneka macam aliran Islam muncul ke permukaan. Ada akibat lain dari kebebasan ini yaitu munculnya organisasi-organisasi massa Islam, simbol dan label-label Islam, termasuk

4media-media Islam baru. Golongan eksklusif menjadi salah satu corak organisasi

keagamaan yang muncul di era reformasi. Golongan ini cenderung berhaluan ”keras”, yang tak segan dalam aksinya melakukan kekerasan. Musdah Mulia mencontohkan: Laskar Jihad (yang sekarang bubar), Front Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jundullah, Gerakan Pemuda Islam (GPI), dan Forum Pemuda Islam Surakarta. Pada tataran ideologi sebagian kelompok ”garis keras” berjuang untuk menjadikan Islam sebagai

5ideologi negara. Sedangkan perbincangan mengenai fundamentalisme pasar di

2. Lihat ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Komnas Perempuan, 2010

3. Lihat Musdah Mulia, ”Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional Komnas HAM ”Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008

4. Ibid 5. Selain golongan eksklusif, Musdah Mulia menyatakan adanya dua golongan lain yaitu moderat (NU dan Muhamadiyah)

serta kelompok progresif (Wahid Institut, ICRD, Interfidei dsb), ibid

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 24: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

85

Indonesia seringkali merujuk pada mulai menjauhnya negara dari kontrol dan tanggung jawab atas kebijakan sektor-sektor dasar publik. Pada agraria cengkeraman pasar dapat ditarik jauh sekali pada kebijakan yang berkaitan dengan perkebunan, pertambangan maupun kehutanan yang membuka kemungkinan perusahaan kapitalis negara-negara penjajah di Eropa

6memiliki akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam. Sejarah mencatat terjeratnya Indonesia pada program program

penyesuaian struktural IMF mengharuskan negara ini melakukan pengurangan subsidi. Negara menjauh dan melepaskan tanggung jawabnya pada berbagai sektor, lalu menyerahkannya kepada pasar. Kepungan pasar saat ini semakin menyusup pada sektor-sektor dasar publik: 75 persen pertambangan, 50,6 persen perbankan, 70 persen jaringan telekomunikasi, dan 65 persen agroindustri di Indonesia, sudah dikuasai asing. Selain itu, 100 persen teh dan makanan ringan merk tertentu juga dimiliki Inggris, kemudian 74 persen minuman ringan dikuasai Prancis. Pasar juga ditengarai masuk dalam proses regulasi dengan kompensasi utang dan bantuan teknis kepada Indonesia, di antaranya UU Minyak dan Gas, UU Telekomunikasi, UU Listrik, UU Sumberdaya Air, dan sebagainya. Dinyatakan bahwa 49 persen pemain asing sudah diizinkan masuk pendidikan, dan juga swastanisasi rumah

7sakit.Kekuatan fundamentalisme pasar adalah ia menggerogoti

kemudian melumpuhkan kuasa lalu menggantikan peran negara dalam mengurusi kepentingan publik. Negara secara pelan dan sayup-sayup menghilang (dissapearing) kalaupun tak mau dikatakan semakin “tak ada” dalam pengurusan kesejahteraan publik. Pertanyaannya kemudian adalah adakah gagasan yang dapat menjadi basis untuk membendung laju fundamentalisme, baik agama maupun pasar? Mampukah ia memaksa negara kembali pada kontrol dan tanggung jawabnya atas kepentingan publik?

6. Noer Fauzi Rahman, ”Menyegarkan kembali Ingatan atas Kapitalisme”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, (ELSAM) , Jakarta, 2 Nopember 2011

7. Pancasila Dikepung Ideologi Fundamentalisme Pasar dan Agama, http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/32673/Warta/Pancasila_Dikepung_Ideologi_Fundamentalisme_Pasar_dan_Agama.html, diakses pada 20 Desember 2011

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 25: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

86

Selain itu, menyangkut agama dan netralisme negara, bagaimana memposisikan agama dalam konteks negara yang plural? Bagaimana

8merumuskan negara yang netral agama? Bagaimana memisahkan ruang privat dan ruang publik? Bagaimana memisahkan posisi warga negara dan umat beragama.

Di sinilah letak relevansi membicarakan hak asasi manusia guna mendudukkan negara kembali dalam kapasitasnya. Sebagai gagasan, hak asasi manusia penting untuk coba ditawarkan sebagai solusi menghadang fundamentalisme karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang otonom.

Konsep Dasar Hak Asasi ManusiaSebelum membahas lebih jauh mengenai hak asasi manusia, berikut adalah konsep dasar mengenai apa itu hak asasi manusia. Konsep ini merupakan unsur yang menjadi pembentuk gagasan hak asasi manusia yang sifatnya mutlak dan tak bisa ditawar lagi.

a. Semata karena Manusia 9Dalam memperbincangkan konsep hak asasi manusia, seringkali

dinyatakan oleh para ahli bahwa hak asasi manusia dimiliki oleh manusia 10semata-mata karena dirinya manusia. Hak asasi manusia dimiliki oleh

manusia untuk mempertahankan martabatnya sebagai manusia, dimana hak asasi manusia dibutuhkan oleh manusia bukan hanya untuk hidup,

11 tetapi hidup lebih bermartabat.Konsep hak asasi manusia kemudian didefinisikan secara lebih

rinci oleh hal-hal yang menjadi ancaman-ancaman besar pada martabat manusia. Muatan hak sipil dan politik didefinisikan oleh kemungkinan absolut dan kesewenang-wenangan kekuasaan negara modern. Sementara itu dapat pula dinyatakan bahwa muatan hak ekonomi dan sosial didefinisikan oleh ancaman yang muncul dari tak terkendalikannya

12 kekuatan pasar, juga urbanisasi, serta industrialisasi.

8. Musdah Mulia, ”Agama dan Perdamaian (Membaca Konteks Keindonesiaan)”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, (ELSAM), Jakarta, 2 Nopember 2011

9. Peter Jones, Rights, Issues in Political Theory, Palgrave, New York, 1994, hal. 410. Ibid, hal. 411. Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003 hal.1412. David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam David Beetham (ed.), Politics and Human Rights,

Blackwell Publishers, 1995, hlm. 44-46

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 26: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

87

Oleh karena itu, pada dasarnya gagasan hak asasi manusia menjadi 13basis pertahanan melawan excess power. Jadi gagasan dasar hak asasi

manusia memiliki muatan inti: pertama, dimiliki semata karena dirinya manusia; kedua, hak ini dimiliki oleh manusia untuk hidup bermartabat. Ada pula ahli yang membangun argumen dan menyatakan bahwa hak asasi manusia ada untuk melindungi manusia agar dapat melakukan

14tindakan moral. Dalam hal ini gagasan hak asasi manusia adalah untuk melindungi human agency di mana manusia kemudian setidaknya memiliki “kebebasan” dan derajat tertentu atas kesejahteraan dirinya (well

15being) sehingga mampu dan otonom untuk menentukan tindakannya.

b. Negara Sang Pemangku KewajibanKonsep ”hak” pada hak asasi manusia menerbitkan konsep kewajiban. Seseorang dinyatakan memiliki hak dan ini menerbitkan kewajiban di pihak lain. Konsep hak asasi manusia modern menempatkan manusia sebagai pemegang hak (rights holder), sementara negara pemegang kewajiban (duty bearer) di mana hal ini berakar kuat pada teori kontrak

16sosial.Konsep hak asasi manusia modern kemudian menempatkan

negara pada posisi yang sangat sentral sebagai pihak yang memegang kewajiban untuk perwujudan efektif hak-hak kodrati (natural rights). Konsep ini diadopsi oleh hukum hak asasi manusia internasional modern di mana negaralah yang memangku kewajiban dalam bidang hak asasi

17 manusia.Konsep yang menempatkan negara sebagai pemangku kewajiban

telah pula diatur dalam konstitusi kita di mana pasal 28 I ayat (4) konstitusi Indonesia menyatakan kewajiban dalam bidang hak asasi manusia terletak pada negara dengan menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia tanggung jawab negara,

18terutama pemerintah.”

13. Slavoj Zizek, Against Human Rights, New Left Review 34, July-August 200514. Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach, Polity, Cambridge, hal. 7515. Ammy Guttman ”Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politics and Idolatry, Princeton University Press,

Princeton and Oxford, 2001, hal. vii-xxviii. Lihat juga ibid 16. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 417. Jack Donnelly, op.cit catatan kaki 11, hal. 34-3518. UUD 1945 Pasal 4 ayat (1).

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 27: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

88

Sebagai pemangku kewajiban, negara memiliki baik kewajiban yang bersifat positif maupun negatif. Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) yang lebih memiliki karakter negatif yang pada intinya membebankan kewajiban agar negara menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah

19 (legitimate).Kedua, negara memiliki kewajiban untuk melindungi (obligation

to protect) hak asasi manusia baik terhadap pelanggaran yang dilakukan aparat negara maupun pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh

20entitas atau pihak lain non negara. Kewajiban ini memuat kewajiban negara untuk mengambil tindakan termasuk untuk mengkriminalkan sebuah perbuatan apabila tindakan lain dianggap tidak memadai untuk melindungi hak. Dengan demikian, kewajiban ini memiliki karakter

21 positif.Selain itu negara juga memiliki kewajiban untuk memenuhi

(obligation to fulfill) hak asasi manusia warganya. Dalam hal ini, negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis untuk menjamin pemenuhan itu dimana negara kemudian wajib

22memfasilitasi dan juga menyediakan agar hak-hak warga terpenuhi.

c. Nilai Kesetaraan dan OtonomiKonsep bahwa hak asasi manusia semata dimiliki oleh manusia memiliki konsekuensi moral penting yaitu semua hak asasi manusia memiliki

23 kesetaraan yang melintasi perbedaan kelas, kasta, ras maupun agama.Inilah konsep yang kemudian menjadi jantung dari nilai hak asasi manusia yaitu kesetaraan dengan menempatkan manusia sebagai semata manusia terlepas dari ras, agama, kasta, jenis kelamin, etnis atau apapun.

Gagasan hak asasi manusia memiliki nilai sangat penting lainnya yang memberikan hak paling dasar yaitu kebebasan untuk menentukan

nd19. Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2 revised edition, N.P. Engel, Publishers, 2005, hal , XX-XXI

20. Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers 2003, hal. 48-51. Lihat juga E/C.12/1999/5, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum No. 12: tentang Hak atas Pangan yang Layak, paragraf 15

21. Manfred Nowak, op.cit catatan kaki 20, hal. 50 22. Ibid, hal. 49 lihat juga Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, op.cit catatan kaki 2323. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal. 424. Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 28: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

89

24pilihan (freedom of choice). Manusia di sini ditempatkan sebagai 25makhluk otonom yang memiliki hak untuk memutuskan dan bertindak.

Dalam kebebasan untuk memilih dan individu sebagai makhluk otonom inilah pada intinya terletak titik kewajiban negara untuk menghormati (obligation to respect). Konsep ini dapat merujuk pada konsep Kantian mengenai otonomi yang seringkali dihubungkan dengan liberalisme ”netralis/neutralist” yang memiliki pandangan bahwa negara harus tetap netral pada apa yang menjadi tujuan hidup di mana warga negaranya akan

26 mencurahkan seluruh hidupnya.

Hak Asasi Manusia sebagai Solusi Fundamentalisme Agama dan Tantangannya Gagasan hak asasi manusia berfungsi melawan fundamentalisme agama pada titik di mana hak asasi manusia menaturalisasi kembali karakter

27 esensial yang terbentuk secara historis. Maksudnya, dalam hak asasi

manusia, ”manusia” akan diakui bukan sebagai umat Islam, Kristen, Budha, Hindu dan seterusnya, tapi sebagai manusia yang sederajat dengan manusia lain. Manusia yang otonom tanpa label tertentu. Dalam konteks negara-bangsa yang menjadi locus perwujudan hak asasi manusia, kumpulan umat tersebut idealnya menjadi ”warga negara” yang memiliki hak yang setara.

Hak asasi manusia sendiri memandang keyakinan terbagi dalam dua bagian. Pertama, ranah keyakinan yang disebut sebagai forum internum, arena keyakinan mengenai pilihan personal dan tidak harus dimanifestasikan di hadapan publik. Negara tidak boleh mengurangi atau

28melakukan pembatasan. Justru negara wajib untuk menghormati (to respect) kebebasan internal individu dalam memilih dan memeluk agama.

Dalam hal sebuah agama dan keyakinan dimanifestasikan di 29hadapan publik, maka ia menjadi subyek untuk dibatasi. Inilah wilayah

25. Peter Jones, op. cit catatan kaki 9, hal 122-129 26. Ibid, hal 132-13327. Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13 28. UN Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994, Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum No. 22 tentang Pasal 18,

paragraf 329. Lihat Slavoj Zizek, op. cit catatan kaki 13. Lihat juga Manfred`Nowak, op. cit catatan kaki 19, hal 410-411

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 29: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

90

yang sering disebut sebagai forum eksternum. Di sini masuk kewajiban negara untuk melindungi (to protect) di mana negara bisa membatasi manifestasi sebuah pilihan atas agama dan keyakinan dengan alasan keamanan, ketertiban, kesehatan dan moral publik, atau kebebasan dasar

30 dan hak asasi orang lain.Vijay Nagaraj menggambarkan bahwa konsep dasar hak asasi

manusia ini sungguh berbeda dengan klaim para fundamentalis agama. Bagi para fundamentalis, kemanusiaan disematkan di atas dasar klaim keagamaan tertentu yang harus dilegitimasi oleh otoritas tertentu yang pada akhirnya menyebabkan ditetapkannya seperangkat kewajiban, lalu

31hubungan diri dan orang lain pun tunduk pada rejim tertentu itu. Lebih jauh fundamentalisme agama juga berada dalam sebuah pencarian untuk secara fundamental mentransformasikan dan membentuk karakter yang esensial tentang hubungan kita dengan diri kita sendiri-antar individu, dalam keluarga, dalam hubungan yang intim dalam kelembagaan, dalam komunitas dan pada akhirnya dengan negara itu sendiri. Di sini bukan hanya soal gagasan. Cara kaum fundamentalis mentransformasikan agency dan gagasan yang fundamentalisme agama perjuangkan itu yang membuat

32mereka berbahaya. Ketika menghadapi fundamentalisme agama, kita sedang berurusan dengan sebuah penataan kembali hubungan ”diri” dan ”liyan” juga tantangan pada otonomi kita untuk mendefiniskan kembali kita sebagai ”manusia/being” dan cara kita berhubungan. Hal ini bersifat sangat mendasar yang menuntut pula etika universal ataupun plural pada tataran yang sama mendasarnya.

Kita harus menyadari betul bahwa gagasan hak asasi manusia adalah sebuah gagasan yang sangat revolusiner yang menantang kekuasaan–dalam hal ini negara—namun juga dalam pelaksanaannya memerlukan adanya tranformasi sistem apa yang selama ini menjadi sesuatu yang secara fundamental dipercaya masyarakat (the fundamental

33belief system).

30. Lihat Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966 31. Human Rights, Fundamentalism, Power and Prejudice, wawancara Cassandra Balchin, Inclusive democracy dengan Vijay

Na g a r a j , t h e E x e c u t i v e D i r e c t o r o f t h e I n t e r n a t i o n a l C o u n c i l o n H u m a n R i g h t s Po l i c y , http://www.opendemocracy.net/5050/vijay-nagaraj/human-rights-fundamentalism-power-and-prejudice, diakses pada 13 Desember 2011

32. Ibid33. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politris and Idolatry, Princeton

University Press, Princeton and Oxford, 2001, hal.154-157

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 30: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

91

Oleh karena itu, menangani fundamentalisme agama mensyaratkan sebuah refleksi yang lebih tulus dan rinci serta memahami dengan sepenuhnya tentang bagaimana otonomi individu serta hubungan sosial dikonstruksikan di hari-hari ini. Mereka yang bekerja di bidang hak asasi manusia haruslah berjuang keras untuk memahami nuansa politik, realitas sosial yang membentuk interaksi antara individu dalam keluarga, dalam komunitas, masyarakat dan bahkan di dalam bangsa dan negara. Hal ini adalah soal melakukan sebuah refleksi mendalam tentang sebuah kekuatan apa dalam konteks sosial yang berbeda-beda yang membentuk

34individu dan hubungan sosial. Hukum hak asasi manusia sendiri belum menjadi basis yang memadai untuk mengkritik fundamentalisme secara politik oleh karena

35 seringkali perumusannya justru merupakan hasil kompromi politik.Rumusan kewajiban negara di atas di mana negara harus menjamin kebebasan internal setiap individu untuk memilih dan menganut agama dan negara dibebani kewajiban untuk melindungi dengan menjamin tidak ada pelanggaran yang dilakukan baik oleh aparat negara maupun pihak ketiga, dianggap tidak cukup.

Lebih dari itu, hukum hak asasi manusia juga hanya mendudukkan masalah fundamentalisme agama sebagai soal intoleransi yang berkutat pada soal prasangka (prejudice). Melampaui itu, fundamentalisme agama adalah soal kekuasaan (power) yang tidak cukup ditangkal dengan penanaman toleransi. Mendudukkan ini sebagai problem toleransi tidak memadai untuk menangkap spektrum politik dari cakupan fundamentalisme agama oleh karena fundamentalisme agama mencerminkan sebuah proyek politik yang sangat sadar. Untuk itu sangat penting untuk memahami bahwa fundamentalisme adalah juga tentang

36 kekuasaan dan bukan semata-mata tentang prasangka (prejudice).Yang menjadi fokus kemudian adalah ancaman nyata

fundamentalisme agama yang justru datang dari tujuan politis atau proyek politik yang merupakan jantung dari fundamentalisme yang secara esensial adalah untuk mentransformasikan bagaimana identitas diakui

37 dan dinegosiasikan. Para aktor hak asasi manusia tidak cukup hanya

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

34. Vijay Nagaraj, op. cit catatan kaki 3135. Ibid36. Ibid37. Ibid

Page 31: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

92

melihat pada standar yang seringkali dipakai untuk menilai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, tapi harus pula menyelami kedalaman kerangka hak asasi manusia serta mengambil kembali nilai-nilai prinsip yang membentuk etika universal yaitu jantungnya proyek besar hak asasi manusia. Seluruh reformasi dan perubahan kelembagaan hukum bahkan perilaku memanglah penting. Akan tetapi, tiga tataran itu tetap harus mengikutsertakan pertanyaan etis itu oleh karena jantung masalah fundamentalisme agama adalah proyek besar untuk mendefinisikan kembali human agency dengan cara profound di mana bahkan tingkatan politik saja tidaklah memadai untuk menanganinya. Mendapatkan kembali kedirian kita serta individu dan juga hubungan sosial dari ruang penuh ketakutan dan juga dari etos totalitarian fundamentalisme

38merupakan tantangan etika ini.Pada titik soal pendefinisian kembali human agency itu, hak asasi

manusia dapat menjadi solusi bagi fundamentalisme agama oleh karena hak asasi manusia dapat menjadi counter-narrative (dan bukan anti narrative) bagi fundamentalisme agama di mana hak asasi manusia dapat menjadi dasar untuk reclaiming agency. Hak asasi manusia bisa berfokus pada individu dan agenda–agendanya dan justru memfokuskan bukan pada bagaimana mendelegitimasi 'tindakan mereka', tetapi bagaimana

39melegitimasi dan memberdayakan gagasan-gagasan mereka. Dengan demikian, persis hak asasi manusia dapat menjadi dasar bagi reclaiming agency itu. Hanya pekerjaan rumahnya adalah bagaimana counter narrative itu dilaksanakan dengan turun ke bumi dan menghirup seluruh konteks sosial budaya dan agama dimana fundamentalisme tumbuh untuk kemudian melakukan counter atas fundamentalisme agama. Pada intinya kemudian pekerjaan menghadapi fundamentalisme merupakan bagian

40dari kerangka besar perubahan sosial. Hak asasi manusia kemudian tidak bisa ditempatkan dalam sebuah ruang yang seolah-olah vakum dari sosial dan budaya serta agama manusia yang memilikinya. Pelaksanaannya harus ditempatkan dalam lintas budaya, agama dan sosial manusianya.

Para pejuang hak asasi manusia harus secara serius melibatkan

38. Ibid 39. Ibid 40. International Center for Human Rights and Democratic Development, Fundamentalisms and Human Rights , Report of the

Meeting (Summary Version), Montreal 12-14 May 2005, hal 29

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 32: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

93

agama daripada mengeluarkannya dalam proses lintas budaya pembentukan dan penafsiran hak asasi manusia. Gagasan bahwa hak asasi manusia bersifat religious tidak mensyaratkan adanya komitmen dengan agama tertentu. Hanya, sebuah proses pelibatan agama yang sejati membutuhkan adanya komitmen para pegiat hak asasi manusia pada pluralisme. Hal ini akan memperkaya dialog lintas budaya yang kemudian dapat berjalan sebagai sebuah pengecekan atas absolutisme. Persisnya, kerja ini merupakan proses penanaman hak asasi manusia pada kebhinekaan sistem kepercayaan, tradisi atau pun budaya. Dengan demikian, mengutip Michael Ignaitieff, hak asasi manusia tak mungkin dapat benar-benar mengglobal tanpa masuk secara mendalam pada

41lokalitas. Oleh karena itu organisasi hak asasi manusia harus turun ke ”bumi” dengan bekerja bersama organisasi atau pun masyarakat lokal dan dengan demikian dapat memahami baik akar maupun titik awal

42munculnya fundamentalisme.

Hak Asasi Manusia sebagai Solusi Fundamentalisme Pasar dan Tantangannya Apakah hak asasi manusia dapat menjadi solusi bagi fundamentalisme pasar? Kesadaran dasar yang salah kaprah atas pasar adalah ia tak mungkin dibebani kewajiban pada hak asasi manusia, seperti kita membebankan kepada negara. Kita harus berhenti mendewakan pasar. Pasar memang dapat melakukan banyak hal baik, dan memanglah haruslah ditumbuhkan untuk melakukan banyak hal tanpa hambatan. Akan tetapi mengharapkan pasar untuk melakukan pilihan etis bagi masyarakat adalah sebuah hal tak

43masuk akal. Di sini pilihannya adalah hak asasi manusia atau pasar. Hak asasi manusia memiliki segenap kelengkapan untuk

menantang pasar dan menyatakannya tak layak untuk diberi beban kewajiban untuk menanggung kepentingan publik karena memang bukan begitu dasar rancangan pasar. Di sini sungguh hak asasi manusia tidak dapat berekonsiliasi dengan pasar.

Lukes menggarisbawahi bahwa pasar, by design, bekerja atas dasar nilai tambah. Semakin besar yang bisa diberikan sebagai nilai tambah oleh

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

40. Dianne F. Orentlicher, ”Relativism and Religion”, op. cit catatan kaki 33, hal.154-15741. International Center for Human Rights and Democratic Development , op. cit catatan kaki 40, hal 28-29usan 42. George, ”Globalizing Rights” dalam Globalizing Rights, the Oxford Amnesty Lecturers 1999, Matthew J. Gibney (ed),

Oxford University Press, New York, 2003, hal. 30-32

Page 33: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

94

seseorang, semakin besar yang didapatkannya. Mereka yang miskin akan mendapat paling sedikit oleh karena mereka tidak memiliki keterampilan

44yang bisa diberikan sebagai nilai tambah. Keadilan pembagian diukur 45semata-mata dari efisiensi, nilai tambah yang diberikan. Hak yang

merupakan ”entitlements” tak dapat subur karena hak itu melekat pada semua orang secara setara tanpa diskriminasi. Mereka yang miskin dan tak beruntung memiliki hak yang sama dengan mereka yang kaya. Hak mereka yang terpinggirkan menuntut adanya langkah afirmatif dari negara sehingga mereka menikmati hak yang setara. Pemenuhan kesehatan ataupun pendidikan bagi si miskin bukanlah atas dasar belas kasih tetapi

46hak. Konsep hak menjadi sangat sentral bagi dasar pembuatan kebijakan sosial karena ”substantive entitlements” menjadi alasan bagi adanya kebijakan tersebut.

Selain itu, konsep hak memberi dasar bagi adanya klaim atas 47kesejahteraan kepada negara sebagai penanggung kewajiban. Negara

harus menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan bagi kesejahteraan manusia dan tidak melepaskan penyediaan tersebut pada mekanisme

48entitas lain termasuk pasar. Persis di situlah hak asasi manusia akan dapat menantang pasar dengan menuntut negara untuk mewujudkan kesejahteraan warganya melalui pembuatan kebijakan-kebijakan serta mengontrol dan memiliki kuasa atas pasar. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi permintaan akan kesejahteraan bagi mereka yang tak dihitung oleh pasar.

Dalam konteks politik, hal ini membutuhkan pembentukan sebuah sistem yang berdasar pada hak (rights based system) dan bukan pasar dan kompetisi bebas bagi semua tanpa ada pengaturan (unregulated market free for all). Hal ini membutuhkan juga pembentukan sistem yang

49berdasar pada solidaritas dan bukan karitas. Pengalaman banyak negara memberi pelajaran tentang pembentukan konsep negara kesejahteraan untuk melakukannya dan mengoreksi pemberian pemenuhan

50kesejahteraan kepada pasar.

44. Steven Lukes, ”Five Fables about Human Rights” dalam Stephen Shute and Susan Hurley, On Human Rights, the Oxford Amnesty Lectures 1993, BasicBooks, New York, hal. 31-33

45. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-20246. Steven Lukes, op. cit. (catatan kaki 44), hal. 31-3347. Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education Limited, 2002, hal.3-448. Ibid, hal. 1349. Susan George, op.cit (catatan kaki 43), hal. 27-28 50. Donnelly, op.cit (catatan kaki 11), hal, 200-202

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 34: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

95

Banyak insiatif telah dilakukan berkaitan dengan pasar dan hak asasi manusia. Di tingkat global PBB mengeluarkan the UN Global Compact pada 2000 yang terus direview sampai kini. Inisitiaf ini terdiri atas sepuluh prinsip yang meliputi bukan hanya hak asasi manusia namun juga soal buruh, lingkungan dan antikorupsi, dan dimaksudkan untuk mengarusutamakan sepuluh prinsip tersebut dalam kegiatan bisnis di seluruh dunia. Selain itu the Global Compact juga bertujuan untuk mengkatalisir aksi untuk mendukung tujuan-tujuan PBB termasuk dalam

51hal ini MDGs. Pada 2004, Sub-Komisi dan kemudian Komisi Hak Asasi

Manusia PBB mengeluarkan serangkaian ”Draft Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with Regard to Human Rights”. Rancangan norma ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membebankan sebuah kewajiban yang bersifat mengikat pada perusahaan di bawah hukum internasional hak asasi manusia pada tingkat yang sama dengan negara. Kewajiban itu meliputi baik kewajiban menghormati, melindungi maupun menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Perbedaan kewajiban perusahaan dengan negara hanyalah bahwa bagi negara itu merupakan kewajiban utama karena terkait dengan mandat politik, sementara kewajiban pada perusahaan bersifat sekunder di mana kewajiban itu hanya akan diminta

52dilaksanakan dalam kondisi tertentu. Akan tetapi, rancangan norma ini ditentang keras kalangan bisnis. Komisi HAM PBB akhirnya tidak mengadopsinya dan merekomendasikan PBB untuk menunjuk Special Representatives dengan tugas untuk salah satunya mengklarifikasi peran perusahaan dan aktor sosial dalam hak asasi manusia.

Pada 2005 Prof. John Ruggie ditunjuk mengisi pos tersebut dan pada pada Juni 2008, Prof. Ruggie memaparkan kerangka ”Protect, Respect and Remedy” yang bersandar pada tiga pilar yaitu kewajiban negara untuk melindungi atas pelanggaran yang dilakukan pihak ketiga termasuk kelompok bisnis, tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

51. L ihat Cor porate Sustainabilit y in the World Economy, the United Nations Global Comnpact , http://www.unglobalcompact.org/docs/news_events/8.1/GC_brochure_FINAL.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

52. The UN "Protect, Respect and Remedy" Framework for Business and Human Rights, http://198.170.85.29/Ruggie-protect-respect-remedy-framework.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

Page 35: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

96

asasi manusia dan akses yang lebih besar bagi para korban hak asasi manusia pada pemulihan efektif baik yang bersifat yudisial maupun non

53yudisial.Inisiatif ini tak sepenuhnya berhasil membendung pasar untuk

menggerogoti negara. Kritik yang paling tajam terhadap upaya terutama yang dibuat oleh PBB adalah semua upaya itu disandarkan pada ”kerelaan” pasar, bukan sebuah kewajiban hukum. Padahal pasar bisa dimanfaatkan untuk tujuan kebaikan publik hanya jika pasar ”dipaksa” oleh negara dengan pembebanan hukum. Negara yang mengendalikan, bukan pasar. Dibutuhkan adanya hukum keras (hard law) di tingkat global, bukan

54 hukum lunak (soft law).Negara harus dapat mengontrol dan memiliki kuasa atas pasar dan

justru yang diharapkan adalah negara dapat memanfaatkannya bagi kebaikan publik. Di sini letak titik tantangan kedua: pemanfaatan pasar untuk kebaikan publik menuntut adanya pemerintahan yang demokratis. Seluruh konstruksi pemanfaatan pasar hanya bisa terjadi dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan demikian, pemerintah tidak menjadi agen pasar, namun agen bagi rakyatnya sendiri. Dalam etos demokratis yang sebenar-benarnya, tanggung jawab pemerintah adalah untuk menjadikan pasar tunduk pada kesejahteraan masyarakat. Demokrasi yang senyatanya menjadi elemen penting yang sangat sentral yang menjadi syarat untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Inilah yang menjadi tantangan Indonesia.

Kualitas demokrasi Indonesia belum menjamin pemerintah menjadi agen rakyatnya. Para aktor prodemokrasi juga belum dapat secara maksimal dapat masuk dalam pembuatan kebijakan dan memastikan bahwa semua kebijakan pemerintah haruslah kebijakan berbasis hak asasi manusia (rights based policy). Dengan demikian, kita belum bisa mengembalikan negara pada alasan adanya (the sole raison d'être) negara. Seturut dengan itu, pasar harusnya dipaksa untuk dibebani akuntabilitas

53. Ibid54. Álvaro J. de Regil, ”Introduction” dalam Upholding the Market's Social Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's

Report: ”Protect, Respect and Remedy: a Framework for Business and Human Rights, Human Rights and Sustainable Human Development October 2008

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 36: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

97

yang memberi jaminan bahwa pasar hanyalah sebuah instrumen bagi pemenuhan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Kepentingan privat pada diri pasar hanya diperbolehkan oleh negara jika

55dan hanya jika tidak melanggar hak asasi manusia siapa pun. Kembali 56 lagi, hanya bisa ”dipaksa” dan bukan dengan sebuah kerelaan.

Penutup Hak asasi manusia dapat menjadi solusi baik bagi fundamentalisme pasar atau pun agama. Pada fundamentalisme agama, hak asasi manusia dapat menjadi solusi, namun dengan catatan untuk sepenuh-penuhnya melakukan refleksi yang sangat mendalam. Masalahnya haruslah didudukkan pada masalah yang melampaui hukum. Bagaimana hak asasi manusia ditempatkan pada keseharian manusia dan lokalitasnya. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah dan tantangan bagi seluruh pegiat hak asasi manusia.

Sementara itu pada pasar, pesannya demikian benderang, bahwa aktor hak asasi manusia harus menegaskan kembali ”kuasa negara” atas kepentingan publik dan tidak memberikannya pada tangan tak kelihatan pasar. Semua upaya untuk memasukkan pasar pada tanggung jawab atas hak asasi manusia tidak dalam upaya untuk menggantikan negara. Upaya itu harus dilakukan dengan membentuk instrumen pemaksa dan tidak membiarkannya menjadi kerelaan pasar. Dengan demikian, pasar dapat dimanfaatkan bagi kebaikan publik di bawah kuasa negara. Namun, upaya ini mensyaratkan adanya sebuah pemerintahan demokratis yang menjamin pemerintah tetap sebagai agen bagi rakyatnya dan bukan agen pasar.

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

55. Ini merupakan kesimpulan penelitian Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, DEMOS tentang kondisi perwujudan hak ekonomi, sosial dan budaya di enam daerah (Musi Banyuasin, Sanggau, Purbalingga, Jakara, Mimika dan Manado). Laporan penelitian ini belum diterbitkan.

56. Álvaro J. de Regil, op. cit, catatan kaki 54

Page 37: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

98

DAFTAR PUSTAKA

Buku/ArtikelÁlvaro J. de Regil, “Introduction” dalam Upholding the Market's Social

Darwinism An assessment of Mr. John Ruggie's Report: “Protect, Respect and Remedy:a Framework for Business and Human Rights, Human Rights and Sustainable Human Development, October 2008

Ammy Guttman “Introduction” dalam Michael Ignatieff, Human Rights as Politics and Idolatry, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2001

B. Herry Priyono, “Mendidik Ulang Kewargaan”, Kompas, 23 Mei 2011David Beetham, “What Future Economic and Social Rights”, dalam

David Beetham (ed.), Politics and Human Rights, Blackwell Publishers, 1995

Dianne F. Orentlicher, “Relativism and Religion”, dalam Michael Ignatieff, Human rights as Politris and Idolatry, Princeton University Press, Princeton and Oxford, 2001

Freeman, “Is Political Science of Human Rights Possible?” dalam Netherland Quarterly of Human Rights, Vol 19/2, hal. 123-139, 2001

Hartley Dean, Welfare Rights and Social Policy, Pearson Education Limited, 2002

Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University Press, 2003

Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR ndCommentary, 2 revised edition, N.P. Engel, Publishers, 2005

Manfred Nowak, Introduction to Human Rights Regime , Martinus Nijhoff Publishers 2003

Michael Freeman, Human Rights, An Interdisciplinary Approach, Polity, Cambridge

Musdah Mulia, “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Di Era Reformasi”, makalah pada Lokakarya Nasional Komnas

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 38: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

99

HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008

Musdah Mulia, ”Agama dan Perdamaian (Membaca Konteks Keindonesiaan), tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM, Jakarta, 2 Nopember 2011

Noer Fauzi Rahman, ”Menyegarkan kembali Ingatan atas Kapitalisme”, tulisan untuk Pra Rapat Kerja Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM , Jakarta, 2 Nopember 2011

Peter Jones, Rights, Issues in Political Theory, Palgrave, New York, 1994Slavoj Zizek, Against Human Rights, New Left Review 34, July-August

2005Steven Lukes, “Five Fables about Human Rights” dalam Stephen Shute

and Susan Hurley, On Human Rights, the Oxford Amnesty Lectures 1993, BasicBooks, New York

Susan George, ”Globalizing Rights” dalam Globalizing Rights, the Oxford Amnesty Lecturers 1999, Matthew J. Gibney (ed), Oxford University Press, New York, 2003

Peraturan perundang-undangan/dokumen PBBUUD 1945Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik , 1966 E/C.12/1999/5, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

Komentar Umum No. 12: tentang Hak atas Pangan yang Layak, U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994, Komite Hak Asasi Manusia,

Komentar Umum No. 22 tentang Pasal 18Corporate Sustainability in the World Economy, the United Nations

Global Comnpact, http://www.unglobalcompact.org/docs/news_events/8.1/GC_brochure_FINAL.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

The UN "Protect, Respect and Remedy" Framework for Business and Human Rights, http://198.170.85.29/Ruggie-protect-respect-remedy-framework.pdf, diakses pada 23 Januari 2012

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 39: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Laporan Lembaga Negara/Lembaga Nasional ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam

Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Komnas Perempuan, 2010

Laporan Lembaga Non NegaraInternational Center for Human Rights and Democratic Development,

Fundamentalisms and Human Rights , Report of the Meeting (Summary Version), Montreal 12-14 May 2005, hal 28-29

Laporan Penelitian Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, DEMOS tentang kondisi perwujudan hak ekonomi, sosiaol dan budaya di enam daerah (Musi Banyuasin, Sanggau, Purbalingga, Jakara, Mimika dan Manado). Laporan penelitian ini beluk diterbitkan.

Artikel Media Massa/ Berita Media Massa ”Indonesia dalam Ancaman Dua Fundamentalisme” di Human rights, fundamentalism, power and prejudice, wawancara

Cassandra Balchin, Inclusive democracy dengan Vijay Nagaraj, the Executive Director of the International Council on Human Rights Policy, http://www.opendemocracy.net/5050/vijay-nagaraj/human-rights-fundamentalism-power-and-prejudice, diakses pada 13 Desember 2011

Lingkar Muda Indonesia, Kompas, Senin 22 Mei 2006 Pancasila Dikepung Ideologi Fundamentalisme Pasar dan Agama, ,

diakses pada 20 Desember 2011“Pasar Bebas Jerumuskan Indonesia” di

http://www.lintasberita.com/Nasional/Bisnis/Konsep_Pasar_Bebas_Jerumuskan_Indonesia,

100

hAM Solusi Menghadang Fundamentalisme DISKURSUS

Page 40: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Politisasi Demokrasi: Memperluas Partisipasi Politik dan

Memperbaiki Representasi

Willy Purna Samadhi

Abstract After passing through a decade of reformation and democratization era,

democracy in Indonesia arguably almost perfect in the procedure. However, the democratic political processes, both to formulate and implement the

public interest, has dominated by market economic-oriented activities, that undermined the public rights to participate and be represented. Democracy

needs to be returned to the political arena.

Keywords: representation, political participation

”The concept of representation … is a continuing tension between ideal and achievement. This tension should lead us neither to abandon the ideal, … nor to abandon its institutionalization and withdraw from political reality. Rather, it should present a continuing but not hopeless challenge: to construct institutions

and train individuals in such a way that they engage in the pursuit of the public interest, the genuine representation of the public; and at the same time, to remain

critical of those institutions and that training, so that they are always open to further interpretation and reform.”

1Hanna Fenichel Pitkin

PendahuluanPada 2007, hampir sepuluh tahun setelah reformasi dimulai, sebuah lembaga kajian demokrasi dan HAM di Jakarta, Demos, melakukan survei mengenai situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia. Kesimpulan terpenting dari survei itu adalah bahwa demokrasi Indonesia berdiri di atas

101

1. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967), hal 240.

Page 41: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

pasir. Maksudnya, bangunan demokrasi tidak ditopang oleh fondasi terpentingnya, yaitu representasi. Sementara perbaikan institusi-institusi operasional demokrasi, seperti pengakuan atas hak-hak sipil dan kebebasan politik, serta pemerintahan yang baik dan antikorupsi mengalami perbaikan, institusi representasi tergolong paling buruk kinerjanya.

Meskipun prosedur teknis pelaksanaan pemilu mengalami perbaikan dari satu pemilu ke pemilu lainnya, kendati ada kebebasan mendirikan partai politik, dan bahkan meskipun hak-hak warga negara untuk berpartisipasi di dalam pemilihan umum melalui jalur non-partai juga dijamin, demokratisasi seperti itu pun ternyata tidak menjamin terwakilinya kepentingan rakyat di dalam proses-proses politik yang demokratis. Akibatnya, di tengah-tengah proses demokratisasi, tak sedikit yang mempertanyakan manfaat demokrasi bagi rakyat. Demokrasi, secara paradoks, seolah-olah justru menjauhkan kebijakan-kebijakan publik dari kepentingan rakyat. Ada demokrasi, namun tidak ada keterwakilan

2publik.Sementara itu, proses demokratisasi selama satu-dua dekade

terakhir di seluruh dunia berlangsung di bawah bayang-bayang globalisasi. Kecenderungan global itu sangat mempengaruhi proses-proses politik di seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi bukan saja ditandai oleh ketergantungan antarnegara dan terintegrasinya sistem-sistem ekonomi dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat liberalisasi pasar dan

3terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan

politik secara mendasar, yaitu dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat

102

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS

2. Untuk hasil lengkap survei, lihat Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009). 3. Harriss, Stokke, Törnquist, ”The New Local Politics of Democratisation”, dalam Harriss, Stokke, Törnquist (eds.), Politicising

Democracy: The New Local Politics of Democratisation (New York: Palgrave Macmillan, 2004), hal 2.

Page 42: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

dipengaruhi oleh kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.

Dalam konteks Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 4 52003/2004 dan 2007, serta paparan Vedi Hadiz dan Robison, misalnya,

memperlihatkan demokratisasi yang cenderung oligarkis. Kendati banyak pula kajian lain yang memandang lebih positif demokratisasi di Indonesia, penilaian-penilaian itu jika dicermati lebih banyak mendasarkan diri atas praktik-praktik prosedural. Instrumen-instrumen demokratis di bidang pemilihan umum, penegakan hukum, pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, boleh jadi memang menampakkan kinerja yang semakin baik. Bagaimanapun, hal itu harus pula dilihat sebagai kemajuan dan memunculkan optimisme terhadap demokrasi. Akan tetapi, pada saat bersamaan para pegiat demokrasi di Indonesia harus waspada terhadap potensi kemunduran demokrasi jika perluasan partisipasi publik dan perbaikan representasi tidak segera dilakukan.

Tulisan ini ingin melihat bagaimana situasi representasi dan partisipasi popular dalam demokratisasi di Indonesia, upaya-upaya yang sudah dilakukan, dan apa yang masih perlu dilakukan untuk memperbaiki kedua pilar demokrasi itu.

Partisipasi, Representasi, dan DemokrasiMeskipun demokrasi memiliki beragam pengertian, sebuah definisi yang paling umum dan mencakup berbagai pengertian yang ada adalah sebuah sistem yang memungkinkan berlangsungnya ”kontrol publik terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara”. Pengertian mendasar demokrasi seperti itu secara jelas memperlihatkan tiga unsur pokok demokrasi, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi

103

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

4. Demos melakukan survei atas situasi dan kondisi demokrasi di Indonesia pada 2003/2004 dan 2007. Untuk hasil dari kedua survei itu, lihat Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.), Making Democracy Meaningful: Problems and Options in Indonesia ( Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD Press, 2007) dan Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009).

5. Hadiz, Vedi R and Richard Robison, Reorganising Power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets (London: Routledge Curzon, 2004).

Page 43: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?.

Ketiga pertanyaan di atas sangat erat kaitannya dengan persoalan representasi dan partisipasi. Representasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas kebijakan-kebijakan publik. Institusi representasi dan partisipasi yang demokratis harus menjamin hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial.

Partisipasi dan representasi merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan

6representasi lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan representasi berkaitan dengan pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi, karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan (representative democracy).

Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun representasi kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin

104

6. Selengkapnya, lihat Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.), Encyclopedia of Democratic Thought (London: Routledge, 2001), khususnya entry ”participation” dan ”representation”.

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS

Page 44: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

substantif pada pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur.

Institusi-institusi demokrasi yang lain, seperti rule of law, supremasi dan penegakan hukum, kesetaraan di depan hukum, pemerintahan yang bersih dan antikorupsi, pemilihan umum yang bebas, adil, dan terbuka, merupakan instrumen-instrumen operasional yang hanya bisa bekerja baik jika ditopang oleh keterbukaan bagi partisipasi publik yang luas dan keterwakilan publik yang akuntabel. Tanpa ditopang partisipasi publik yang luas dan representasi yang transparan dan akuntabel, operasionalisasi instrumen-instrumen dapat tergelincir ke arah praktik-praktik yang elitis dan eksklusif.

Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar. Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan menguntungkan sebagian anggota masyarakat. Dengan kata lain, kelompok-kelompok masyarakat yang tidak terwakili kepentingannya akan terasing dari proses-proses politik.

Bagaimanapun, prosedur-prosedur demokratis tentu saja bukan hal yang tak penting. Atas nama demokrasi, pemenuhan kepentingan-kepentingan publik tetap harus dijalankan melalui cara-cara dan mekanisme yang demokratis. Meskipun begitu, ketika demokrasi mengalami stagnasi, ketika banyak orang merasakan demokrasi justru menjauhkan mereka dari proses-proses perumusan kepentingan publik (karena pengelolaan pemerintahan yang teknokratis) dan tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan yang demokratis (karena urusan publik diserap menjadi mekanisme pasar dan hanya menguntungkan segelintir pemilik modal), dan ketika konflik demi konflik komunal mengisi hari-hari pelaksanaan demokrasi (karena ada begitu banyak pengkotak-kotakan demos di tengah-tengah menguatnya

105

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

Page 45: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

gejala komunalisme), hal paling utama yang harus diwaspadai adalah datangnya godaan-godaan baru untuk meninggalkan demokrasi dan menyerah pada pilihan-pilihan politik lain yang bisa saja berupa otoritarianisme.

Survei Demos 2007 antara lain juga menengarai indikasi adanya upaya-upaya menciptakan ”politik keteraturan” untuk mengatasi kekacauan-kekacauan sosial-politik yang terjadi di dalam proses

7demokratisasi di Indonesia. Sebagai sebuah tema kajian, representasi sudah banyak menyedot

perhatian para akademisi. Salah satu yang paling dikenal adalah karya 8Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of Representation.

Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap representasi, yaitu ”to make present again.” On this definition, political representation is the activity of making citizens' voices, opinions, and perspectives ”present” in the public policy making processes. Ulasan Pitkin mengenai representasi itu dirangkum oleh Tornquist dan Warouw:

”... bahwa representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika representasi terutama menyangkut dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. Apa yang direpresentasikan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik. Representasi substantif adalah ketika wakil 'bertindak untuk' (acts for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh. Representasi deskriptif adalah ketika wakil 'berdiri untuk' (stands for) orang-orang yang secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah representasi simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, 'berdiri untuk' (stands for) mereka, tetapi

106

7. Lihat Subono, Nur Iman dan Willy Purna Samadhi, ”Politik Dominasi dan Konsolidasi Elit-dominan” dalam Samadhi dan Warouw, op. cit., hal 95-116.

8. Pitkin, H. F., The Concept of Representation (Berkeley: University of California Press, 1967).

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS

Page 46: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Namun demikian representasi simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983), sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang

9wakil.”Berangkat dari kategorisasi representasi Pitkin itu, Törnquist

menawarkan sebuah pendekatan baru untuk memahami representasi. Representasi harus mencakup pula model-model partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok

10kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Lihat Gambar 1.Gambar 1.

Kerangka terintegrasi bagi studi representasi popular demokratis

(Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11).

107

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

9. Dikutip dari Törnquist dan Warouw, “Memahami Demokrasi: Beberapa Catatan Pendahuluan tentang Konsep dan Metode” dalam Samadhi dan Warouw (eds.), Demokrasi di Atas Pasir (Yogyakarta: PCD Press, 2009), hal 36. Keterangan mengenai buku-buku yang dirujuk Törnquist dan Warouw ada di dalam tulisan mereka.

10. Ibid., hal 36-43. Untuk uraian yang lebih lengkap, lihat Tornquist, ”The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), op. cit.: 1-23.

Page 47: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Kerangka yang ditawarkan Törnquist ini memungkinkan kita untuk memahami gejala buruknya representasi bukan saja dari kacamata politik formal, akan tetapi juga memperhatikan model-model partisipasi alternatif yang bekerja atas dasar kesepakatan-kesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok lobi, dan LSM. Kerangka komprehensif ini pula yang senantiasa mengingatkan kita akan pentingnya arti dan posisi demos sebelum membicarakan lebih jauh mengenai jalur-jalur representasi. Bekerjanya jalur-jalur perwakilan informal yang bisa saja berdasarkan etnisitas atau keagamaan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengamatan dan pemahaman kita mengenai siapa sebenarnya demos, serta kepentingan-kepentingan apa saja yang kemudian disepakati menjadi urusan publik.

Politisasi demokrasi untuk perbaikan representasiRapuhnya representasi dan partisipasi di dalam sistem yang demokratis bukanlah gejala unik Indonesia. Törnquist mengungkapkan bahwa di banyak negara post-colonial, termasuk Indonesia, demokrasi mengalami kemandegan karena kepentingan-kepentingan publik mengalami depolitisasi. Kepentingan publik dianggap semata-mata sebagai urusan pemerintahan teknokratis atau mengalami privatisasi di dalam mekanisme pasar, jika tidak diserap oleh komunalisme dan patronase. Itulah yang

11menjadi akar persoalan representasi yang buruk. Dengan kata lain, operasionalisasi prosedur-prosedur politik demokratis tidak disangga oleh satu pilar terpentingnya, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan publik dan terbukanya akses partisipasi popular.

Potensi Indonesia untuk mencapai situasi demokrasi yang baik sesungguhnya ikut ditopang oleh desentralisasi yang menjadi warna baru hubungan pusat-daerah sejak reformasi dimulai. Pada kenyataannya, ada hubungan problematis antara desentralisasi dan demokratisasi di Indonesia. Liberalisasi politik, hingga ke tingkat lokal, menimbulkan

108

11. Törnquist, “The Problem Is Representation! Towards an Analytical Framework” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 1. Mengenai kasus lain yang menunjukkan demokrasi tanpa representasi, lihat misalnya Shadlen, Kenneth C., Democratization without Representation: The politics of small industry in Mexico (Pennsylvania State University Press, 2004).

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS

Page 48: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keterwakilan dan akses. Alih-alih menghasilkan demokrasi dan keterwakilan di tingkat lokal, desentralisasi justru menjadi arena baru bagi para oligark dan sekutu-sekutunya. Para oligark ini membajak dan memanipulasi kebijakan desentralisasi dan prosedur-prosedur demokrasi sehingga menghambat pencapaian demokrasi yang lebih substantif, kesejahteraan rakyat, dan

12 termasuk membatasi partisipasi publik yang lebih luas.Yang juga penting untuk dicermati adalah bahwa buruknya

kondisi institusi representasi dan partisipasi itu terjadi justru di tengah-tengah gejala menjamurnya gerakan politik yang dimotori kalangan masyarakat sipil. Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil yang selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebagian dari mereka masuk ke dalam partai politik, sebagian ada yang mendirikan partai politik, sebagian ada pula yang menggerakkan partisipasi langsung melalui inisiasi penganggaran dan perencanaan partisipatoris meniru pola serupa yang sukses di Brasil dan Kerala.

Upaya-upaya untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan publik dan menerobos akses partisipasi popular bukannya tidak

13dilakukan. Sebuah studi yang dilakukan Priyono dkk pada 2007-2008 mengungkap data-data menarik mengenai terobosan-terobosan aksi-aksi politik yang dilakuan berbagai gerakan sosial di Indonesia. Ada dua temuan penting yang diperoleh melalui studi itu. Temuan pertama mengungkapkan pola-pola perluasan gerakan politik yang dilakukan organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan dimensi isu, dimensi kepentingan dan dimensi geografis sebagai indikator perluasan gerakan,

109

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

12. Pratikno and Nanang Indra K., ”Struggle to Gain Representation: Mixed Politics in Democratising Indonesia”, dalam PCD Journal, Vol. II No. 1, 2010, hal 124.

13. Pada 2007-2008 Demos melakukan riset berjudul Kajian tentang Aksi Sipil dan Gerakan Sosial menjadi Tindakan Politik, atau disebut sebagai Link Project Research. Riset itu dipimpin oleh A.E. Priyono dan mendapat supervisi dari Olle Tornquist, yang saat itu juga tengah menjalankan riset dengan tema serupa. Dokumen hasil lengkap Link Project Research itu tidak dibukukan namun dikemas dalam bentuk monograf penelitian, lihat Priyono, A.E. dkk, Re-Politisasi Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial ( Jakarta: Demos, 2009).

Page 49: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

Priyono dkk mengidentifikasi tiga pola perluasan gerakan, yaitu (1) rekoneksi intra-lokal, (2) rekoneksi lokal-supralokal, dan (3) rekoneksi nasional-lokal. Pola pertama dan kedua bersifat memperluas gerakan melalui perluasan isu dan kepentingan, misalnya dengan membangun koalisi atau aliansi lintas-sektoral namun terbatas pada lingkup geografis tertentu. Pola ketiga, sebaliknya, mencoba meleburkan batas-batas geografis namun dengan pembatasan pada isu-isu atau kepentingan spesifik atau berbasis sektoral, misalnya pembentukan Partai Perserikatan

14Rakyat (PPR) yang besifat nasional berbasis organisasi tani.Temuan kedua dari studi yang sama adalah identifikasi atas

pilihan-pilihan strategi yang digunakan organisasi masyarakat sipil untuk menerobos masuk ke dalam sistem politik. Ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai

15alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan.Pada kurun waktu yang bersamaan, sebuah studi lain yang

16dilakukan Törnquist juga berhasil mengidentifikasi jalur-jalur politisasi yang sudah dan sedang ditempuh berbagai gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Jalur-jalur politisasi itu adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas kaum tertindas (dissident community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan melakukan (6) front dari dalam, (7) membangun partai serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai nasional berbasis

17 ideologi, dan (10) partai politik lokal.Namun, kendati ada harapan, baik Priyono dkk maupun

Törnquist tiba pada kesimpulan bahwa upaya-upaya untuk go politics itu

110

14. Ibid., hal 71-72.15. Ibid., hal 83-95.16. Lihat Törnquist, Tharakan, Quimpo, ”Popular Politics of Representation” dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), op. cit.,

hal 197-222.17. Törnquist, O., ”Dari Aksi Menuju Politik Demokratis”, bab pengantar dalam laporan riset Priyono dkk, Re-Politisasi

Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial ( Jakarta: Demos, 2009, tidak dipublikasikan), hal 13-19.

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS

Page 50: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

tampaknya tidak terlalu berhasil menciptakan situasi representasi yang baik. Tanpa mengatakan berbagai pola-pola perluasan gerakan dan pilihan strategi go politics itu ada yang lebih baik dibanding yang lainnya, kenyataan bahwa ada begitu banyak polarisasi gerakan sosial justru membuat fragmentasi di kalangan gerakan masyarakat sipil menjadi semakin parah. Dalam beberapa kasus yang dipelajari lewat kedua studi itu, bahkan, ada indikasi terjadinya kompetisi dan konflik horisontal di antara sesama gerakan sosial. Kedua studi itu mempertegas hasil survei Demos (2007) yang mengindikasikan buruknya situasi institusi representasi dan partisipasi. Mengenai hal ini, tampaknya benar apa yang ditulis Chandokhe bahwa kebangkitan masyarakat sipil ”…tidak ada kaitannya dengan kesadaran (anxiety) mengenai representasi dan

18partisipasi”.

KesimpulanRepresentasi merupakan bagian intrinsik demokrasi yang membuat sistem demokrasi dapat dipercaya sebagai satu-satunya cara untuk menjamin keterwakilan publik. Tetapi di banyak kasus, termasuk di Indonesia hingga kini, pelaksanaan sistem demokrasi justru kehilangan ”jiwa” representatif-nya. Dengan pengutamaan pada aspek-aspek prosedural, demokrasi menjadi sebuah mekanisme statis mengenai bagaimana orang-orang dipilih untuk menentukan kebijakan publik dan menjalankan pemerintahan. Proseduralisme itu sangat rentan terhadap manipulasi dan pembajakan demokrasi. Kekuatan modal (ekonomi) akan dengan mudah memenuhi, dan kemudian menguasai, aturan permainan demokrasi. Suara dan kepentingan publik terabaikan begitu saja. Akses partisipasi pun tertutup karena kekuatan-kekuatan modal mendominasi proses-proses politik demokrasi.

Akhirnya, pada tataran tertentu, kita bisa saja mempertentangkan representasi di satu sisi dan partisipasi di sisi lain. Dengan representasi yang baik, keterbatasan partisipasi popular boleh jadi tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, ketika akses bagi partisipasi popular terbuka lebar dan merata bagi setiap warga negara, masalah-masalah yang berkaitan

111

Volume VII No. 2 Tahun 2011dignitas

18. Chandhoke, Neera, ”What Is the Relation Between Particapation and Representation?”, dalam Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Op. cit.: 37.

Page 51: Jurnal DIGNITAS edisi 2 alt1

dengan representasi bukan menjadi hal yang utama. Akan tetapi, sebagaimana kerangka analisis representasi yang ditawarkan oleh Tornquist, dalam konteks demokrasi dan demokratisasi Indonesia saat ini, kedua aspek itu tampaknya sama-sama harus diperbaiki.

Memang tidak mungkin membayangkan perluasan partisipasi popular untuk demokrasi berskala nasional dengan keluasan wilayah dan jumlah penduduk yang sedemikian besar. Karena itu, upaya-upaya memperbaiki representasi melalui perluasan partisipasi popular barangkali lebih tepat jika dilakukan pada level lokal, baik provinsi maupun terutama di kabupaten/kota. Pengelolaan partisipasi popular di tingkat lokal seperti itu bukan saja lebih memungkinkan secara teknis, tetapi sekaligus dapat lebih memperjelas siapa demos dan apa saja kepentingan-kepentingan publik. Langkah itu sekaligus untuk merespon fenomena kebangkitan politik lokal sebagai akibat globalisasi. Sedangkan untuk level nasional, perbaikan demokrasi terutama memang diletakkan pada aspek representasi, yaitu melalui sebuah sistem kepartaian nasional yang mampu melakukan kontrol terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan publik yang dilakukan oleh berbagai pemerintahan di tingkat lokal. Pekerjaan mempromosikan representasi di tingkat nasional itu sekaligus bisa memperkuat kerangka kerja politik nasional demi mengantisipasi tergerusnya otoritas nasional akibat globalisasi. Pekerjaan-pekerjaan di kedua konteks level itu harus dilakukan secara bersama dan sinergis demi mengembalikan demokrasi ke pengertian dasarnya, yaitu terselenggaranya kontrol publik terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara. Sejatinya, itulah yang dimaksud dengan politisasi demokrasi.

112

Politisasi Demokrasi: Memperluas PartisipasiDISKURSUS