Upload
phamdan
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
140
IS SDLC WATERFALL APPLICABLE FOR IT DEVELOPMENT IN
SME?
Kanya Ashri Bukhairina1 , Lily Sudhartio2
1Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, [email protected]
2Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, [email protected]
ABSTRAK Latifa Corp. adalah UKM yang bergerak di bidang jasa spa dengan salah satu lini bisnisnya adalah Latifa
Home Spa. Problem utama yang dihadapi oleh Latifa Home Spa adalah sistem booking yang masih
manual dan terdesentralisasi pada masing- masing business partnernya. Kurangnya kontrol dan sulitnya
manajemen pusat dalam memverifikasi laporan pemesanan yang dibuat oleh business partner setiap
bulannya berpotensi menciptakan risiko fraud. Untuk meminimalisir hal tersebut, Latifa Corp. membuat
sistem IT agar sistem booking menjadi tersentralisasi. Tesis ini merupakan hasil dari proses business
coaching yang bertujuan untuk menerapkan konsep System Development Life Cycle (SDLC) waterfall
pada pembuatan aplikasi ponsel dan website untuk sistem booking Latifa Home Spa. SDLC akan
dipaparkan mulai dari alur tahapan, analisis dan dokumen yang perlu dihasilkan untuk masing - masing
tahapan. Tujuan dari penerapan metode SDLC adalah untuk menghindari terjadinya risiko lainnya seperti
gangguan bisnis dan kegagalan sistem. Pengumpulan data untuk penulisan ini dilakukan melalui teknik
wawancara semi terstruktur, observasi dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis Proses
Operasional, Asesmen Risiko fraud, SWOT, Kanvas Bisnis Model, Pareto, dan GAP.
Kata Kunci: Business coaching, Fraud, Risiko, SDLC, Waterfall.
ABSTRACT Latifa Corp. is a SME in spa service field with one of its business line is Latifa Home Spa. The main
problem faced by Latifa Home Spa is its booking system still manual and decentralized to each of its
business partner. The lack of control and the headquarters difficult to verify the booking summary report
that made by the business partner every end of the month, are potentially to create fraud risk. To
minimize it, Latifa Corp. is eager to develop information technology (IT) system to centralize the booking
system. This paper is the result of business coaching process in order to apply the concept of System
Development Life Cycle (SDLC) waterfall on the development of mobile application and website for
Latifa Home Spa booking system. The SDLC will be exposed starting from the stages flow, analysis to the
documentation that need to be deliver for each of the stage. The purpose of applying the SDLC method is
to avoid another risk such as business disruption and system failure. The data in this paper is collected by
using semi-structured interview technique, observation and analyzed by using Operational Process,
Fraud Risk Assessment, SWOT, Business Canvas Model, Pareto and GAP analysis method.
Keywords: Business coaching, Fraud, Risk, SDLC, Waterfall.
PENDAHULUAN
Latifa Home Spa merupakan salah satu cabang usaha dari Latifa Corp. yang
bergerak di bidang penyedia jasa home spa untuk ibu dan anak. Latifa Home Spa
memiliki total 24 business partner (cabang) dan 32 talent (terapis) yang tersebar di
Pulau Jawa dan Sumatra. Partnership yang diterapkan oleh Latifa Corp. menggunakan
sistem franchise dengan biaya sebesar 20 juta yang dibayarkan di muka dan bagi hasil
dengan persentase 15 persen untuk masing-masing Latifa Corp. dan business partner,
65 persen untuk talent dan 5 persen untuk zakat. Persentase ini diambil dari nominal
order yang diterima oleh business partner setiap bulannya.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
141
Industri yang bergerak dibidang jasa seperti, perhotelan dan spa sangat bergantung
kepada penerimaan order sebagai faktor penentu utama dari pendapatan yang diperoleh.
Setiap penyedia jasa harus mempertimbangkan secara matang sistem booking seperti
apa yang ingin diterapkan (Lee, 2018).
Penerapan sistem booking yang berbeda akan menghasilkan risiko yang berbeda
pula. Seperti misalnya sistem booking yang diterapkan oleh Latifa Home Spa dimana
pelanggan yang ingin melakukan pemesanan hanya dapat menghubungi customer
service (CS) melalui SMS, whatsapp atau telepon. Apabila pelanggan sudah sering
memesan, dapat langsung menghubungi business partner terdekat. Untuk pembayaran,
pelanggan dapat melakukan transfer ke nomor rekening dari business partner. Pada
setiap akhir bulan, business partner akan melakukan rekonsiliasi, mengirimkan laporan
dan perolehan bagi hasil kepada Latifa Corp. Dari hasil wawancara dengan pemilik dari
Latifa Corp. Diperoleh informasi bahwa Latifa Corp. sangat menyadari bahwa sistem
booking pada Latifa Home Spa yang masih manual dapat menimbulkan potensi
terjadinya risiko yang diakibatkan oleh penyelewengan order dan pemasukan (fraud)
yang dilakukan oleh pihak internal. Fraud merupakan penggunaan pekerjaan seseorang
untuk pengkayaan pribadi melalui penyalahgunaan yang disengaja atau kesalahan
penerapan sumber daya atau aset organisasi (ACFE, 2002) dan internal fraud terjadi
ketika seorang karyawan melakukan kecurangan terhadap organisasinya (Phua et al.,
2005). Menurut survey yang dilakukan oleh KPMG (2016), sebanyak 42% fraud
dilakukan oleh pihak internal dan 61% fraud terjadi dikarenakan lemahnya internal
control.
Fraud yang terjadi pada Latifa Home Spa dapat berbentuk business partner yang
lupa mencatat atau dengan sengaja memanipulasi data dan tidak melaporkan order dari
pelanggan sesuai dengan yang seharusnya. Ditambah dengan Latifa Corp. yang tidak
dapat memverifikasi laporan yang diberikan, dapat semakin memunculkan peluang bagi
business partner untuk melakukan penggelapan. Tidak sesuainya jumlah penerimaan
order yang dilapokan akan berbanding lurus dengan ketidaksesuaian perolehan bagi
hasil. Dua hal tersebut akan berdampak langsung pada pemasukan Latifa Corp. Untuk
meminimalisir potensi terjadinya fraud dan seiring dengan semakin berkembangnya
usaha yang dijalankan oleh Latifa Corp., seperti misalnya Latifa Home Spa yang saat ini
sedang mempersiapkan konsep home spa untuk para ayah dan juga rencana untuk kerja
sama di beberapa negara, Latifa Corp. berencana untuk mengubah sistem manual
tersebut ke sistem Information Technology (IT) sehingga menjadi tersentralisasi dan
dapat lebih termonitor dan terverifikasi oleh Latifa Corp.
IT dirasakan sebagai pendorong utama untuk meningkatkan produktivitas (Lin and
Chuang, 2013). Selain itu, teknologi informasi dapat digunakan untuk otomatisasi
proses bisnis untuk meningkatkan efiesiensi dalam kegiatan operasional (Neirotte et al.,
2016). Menurut daily social.id dalam Start Up Report (2017), saat ini di Indonesia
terdapat 177.9 juta pengguna handphone dan 132.7 juta pengguna internet dengan rata –
rata penggunaan internet dari handphone sebesar 78.91% dan melalui komputer sebesar
4.80%. Menurut survey dari KPMG (2016) sebanyak 47% tidak menggunakan
teknologi IT dalam melakukan fraud.
Selama ini dalam pembuatan sistem IT yaitu aplikasi ponsel dan situs web yang
pernah dilakukan oleh Latifa Corp., semua diskusi dan kesepakatan hanya dilakukan
melalui lisan, sms, atau whatsapp, dan tidak ada dokumentasi tertulis antara Latifa
Corp. dan vendor IT. Hal ini mengakibatkan terjadinya dispute yang berujung pada
pemutusan hubungan kerja sepihak. Selain itu, tidak ada karyawan Latifa Corp. yang
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
142
memiliki latar belakang IT, sehingga tidak mengetahui bahwa dalam pembuatan sistem
IT terdapat metode System Development Life Cycle (SDLC).
SDLC adalah pendekatan bertahap untuk melakukan analisis dan membangun
rancangan sistem dengan menggunakan siklus yang spesifik terhadap kegiatan pengguna
(Kendall, 2006). SDLC terdiri dari 4 (empat) langkah kunci, yaitu, perencanaan dan
seleksi, analisis, desain, implementasi dan operasional (Valacich, George, & Hoffer,
2012). SDLC memiliki beberapa metodologi. Metodologi dari SDLC yang paling tua
dan banyak diketahui adalah waterfall. Waterfall terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu
Requirement Analysis, Design, Development, Testing, dan Maintenance (Pressman,
2015). Dimana setiap tahapan harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dapat berlanjut
ke tahapan selanjutnya. Masing – masing dari tahapan tersebut memiliki dokumen yang
harus dideliver baik oleh user maupun vendor. Dokumen ini akan menjadi kesepakatan
dan pedoman antara vendor dan Latifa Corp. dalam pembuatan aplikasi ponsel.
Tanpa analisis yang mendalam dan dokumentasi yang lengkap pembuatan aplikasi
ponsel dan situs web dapat berpotensi menimbulkan risiko terganggunya bisnis dan
kegagalan sistem. Risiko ini dapat terjadi akibat kegagalan sistem (perangkat keras atau
perangkat lunak) .Untuk meminimalkan risiko dalam pembuatan sistem IT, organisasi
dapat menggunakan proses yang terintegrasi dan menyeluruh dalam SDLC. Untuk
mencapai tujuan ini organisasi juga perlu mendapat dukungan luas dan partisipasi
manajer, anggota dan pejabat organisasi (Tohidi, 2011).
Permasalahan yang dihadapi oleh Latifa Corp adalah: bagaimana meminimalisir
potensi risiko fraud pada sistem booking di Latifa Home Spa dengan pembuatan aplikasi
ponsel dan situs web dengan metode SDLC waterfall?
Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pelaksanaan business coaching pada
Latifa Home Spa adalah: meminimalisir potensi risiko fraud pada sistem booking di
Latifa Home Spa dengan pembuatan aplikasi ponsel dan situs web dengan metode
SDLC waterfall.
TINJAUAN LITERATUR
SDLC adalah sebuah proses memahami bagaimana Sistem Informasi dapat
mendukung kebutuhan bisnis, merancang sistem, membangun sistem, dan
memberikannya kepada pengguna (Dennis, Wixom, & Tegarden, 2005).
Menurut Rosa dan Shalahudin (2014) model waterfall sangat cocok untuk pemula
yang baru pertama kali mengenal SDLC karena model yang memiliki nama lain “Linear
Sequential Model” ini, melalui tahap demi tahap secara berurutan dan harus menunggu
tahap sebelumnya selesai sebelum dapat lanjut ke tahap sesudahnya. Model waterfall
adalah model klasik yang bersifat sistematis dan berurutan dalam membangun software
(Pressman, 2015).
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
143
Gambar 1. Alur SDLC Waterfall
Sumber: Pressman, 2015.
Requirement Analysis
Tahapan ini berisikan aktifitas yang berkaitan dengan pengumpulan dan analisis
permintaan (requirement gathering) dari user. Fase requirement gathering merupakan
fase paling kritikal dari SDLC. Kesalahan atau kekurangan pada requirement dapat
menyebabkan produk yang tidak lengkap, meskipun fase berikutnya berjalan dengan
sangat baik (Alshazly et al., 2014).
Analisis yang dilakukan terhadap requirement dari user yaitu mendefinisikan
kebutuhan system, menentukan prioritas kebutuhan system, dan mereview rekomendasi
terhadap pihak manajemen. Dokumen yang dihasilkan (deliverables) berupa URD (User
Requirement Document).
Dokumen URD mendefinisikan kemampuan perangkat lunak yang diinginkan
(Morgan, 1999). Penulisan URD yang jelas dan mendetail sangat penting dan
menentukan kualitas dari sistem yang dihasilkan (Aurum et al., 2005). Karena itu, jika
analis atau programmer tidak memiliki pemahaman yang sama tentang requirement
tersebut, hasil dari sistem atau aplikasi yang dibangun tidak akan memuaskan kebutuhan
dan keinginan user (Thomas, 2005).
Design
Tahapan desain berisikan aktifitas: mendesain alur data, arsitektur dari sistem yang
akan dibangun dan user interface (UI).
UI merupakan sebuah antar muka yang berisikan kumpulan teknik dan mekanisme
untuk berinteraksi dengan sesuatu (Galitz, 2007). Shneiderman (1998) mengemukakan
8 (delapan) aturan yang disebut dengan Eight Golden Rules of Interface Design, yaitu:
konsistensi, memungkinkan pengguna untuk menggunakan shortcut, memberikan
umpan balik yang informatif, merancang dialog untuk menghasilkan suatu penutupan,
memberikan penanganan kesalahan yang sederhana, mudah kembali ke tindakan
sebelumnya, mendukung tempat pengendali internal (internal locus of control), dan
mengurangi beban ingatan jangka pendek
Tahapan ini dilakukan oleh programmer namun dalam mendesain UI akan
berkolaborasi dengan user. Apabila user setuju dengan desain yang diberikan oleh
programmer, maka akan berlanjut ke tahapan development.
Dokumen yang dihasilkan adalah FSD (Functional Spesification Document) yaitu
dokumen yang berisi tentang spesifikasi fungsional sistem biasanya berupa desain dari
screen, keterangan mengenai field yang terdapat pada screen (panjang dari field, tipe
data dari field, dan beberapa tersebut dan alur dari screen tersebut.
Development
Tahap development merupakan tahapan mengkonversi alur logic menjadi source
code, pembuatan algoritma, dan membuat sistem yang sebenarnya. Tahapan ini
dilakukan oleh programmer. Adapun dokumen yang dihasilkan (Deliverables)
berupa source code. Source code merupakan suatu kode yang bersifat statis, tekstual,
mudah dibaca manusia, dan penuh akan deskripsi program komputer yang dapat
dijalankan dan dijadikan bentuk yang dapat dieksekusi secara otomatis (Binkley, 2017).
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
144
Testing
Tahap testing merupakan tahap pengujian sistem perangkat lunak yang telah
dibangun. Pengujian perangkat lunak merupakan pengeksekusian program terhadap
skenario tes yang telah disusun dengan maksud untuk mengungkapkan kesalahan.
Sebuah kesalahan adalah jika program tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
atau jika itu melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan (Myers et al., 2011).
Pengujian perangkat lunak merupakan kegiatan penting dalam penjaminan mutu
sebagian besar produk perangkat lunak (Deak et al., 2016).
Pengujian yang dilakukan paling sedikit ada 2 yaitu: SIT (System Integration Test)
test yang dilakukan oleh pembuat sistem tersebut untuk memastikan bahwa antar sistem
sudah terintegrasi dengan baik dan UAT (User Acceptance Test) test yang dilakukan
oleh user untuk memastikan bahwa sistem yang dibuat sudah sesuai dengan keinginan
user.
Dokumen yang disampaikan (deliverables) berupa Test Case yaitu dokumen yang
terdiri dari satu set input dan output yang diharapkan untuk sebuah program (Myers et
al., 2011) dan Test Result (hasil dari pengujian yang dilakukan berupa print screen dari
layar sesuai dengan alur skenario yang dijalankan).
Maintenance
Tahapan maintenance biasa juga disebut deployment. Deployment merupakan
tahapan implementasi software ke customer, pemeliharaan software secara berkala,
perbaikan software, evaluasi software dan pengembangan software berdasarkan umpan
balik yang diberikan agar sistem dapat tetap berjalan dan berkembang sesuai dengan
fungsinya (Pressman, 2015).
METODE PENELITIAN
Pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian business coaching ini dilakukan
dengan metode kualitatif. Penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif antara
lain bertujuan untuk dapat mengembangkan konsep penelitian dengan lebih jelas,
menetapkan prioritas, mengembangkan definisi operasi, dan memperbaiki desain akhir
penelitian (Cooper & Schindler, 2006).
Menurut Cooper & Schindler (2006), terdapat beberapa pendekatan dalam
mengerjakan penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif. Beberapa pendekatan
tersebut antara lain: wawancara secara mendalam pada individu, melakukan observasi
secara langsung, analisis dokumen untuk melakukan evaluasi.
Wawancara adalah alat penelitian yang hebat dan sarana pengumpulan data yang
sangat baik. Tetapi penuh dengan kesulitan seperti: kurangnya kepercayaan, kurangnya
waktu, perbedaan kedudukan, ambiguitas penggunaan kata, dan wawancara bisa
berjalan tidak lancar (Myers et al., 2011).
Ada berbagai jenis wawancara yaitu wawancara terstruktur, wawancara tanpa
terstruktur atau semi terstruktur, dan wawancara kelompok (Fontana & Frey, 2000).
Wawancara yang akan dilakukan dengan menggunakan semi-terstruktur, yakni
wawancara yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan tertentu yang telah disiapkan
sebelum dilakukan wawancara, yang nantinya akan diikuti dengan pemikiran dari
peserta wawancara (Cooper & Schindler, 2006). Pewawancara harus selalu
menggunakan naskah yang tidak lengkap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
145
wawancara membutuhkan keterbukaan, fleksibilitas dan improvisasi (Myers &
Newman, 2007).
Selain wawancara, dalam penelitian business coaching ini juga dilakukan observasi
secara langsung terhadap Latifa Corp.. Observasi secara langsung ini dilakukan untuk
mengetahui dan merasakan secara langsung apa yang dialami oleh obyek penelitian
dalam situasi yang sebenarnya (Cooper & Schindler, 2006). Hasil pengambilan data dari
observasi secara langsung ini akan menghasilkan data primer. Menurut Sugiyono
(2008), pada dasarnya kegiatan observasi dibagi menjadi dua jenis yang berbeda, yaitu
observasi yang terstruktur dan tidak terstruktur. Observasi terstruktur adalah observasi
yang telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan
dimana tempatnya, lebih sempit dan terarah. Sedangkan observasi tidak terstruktur
adalah observasi yang tidak disiapkan secara sistematis tentang apa yang akan
diobservasi.
Selain data primer yang didapatkan dari wawancara dan observasi langsung
business coaching ini juga mengumpulkan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh
dilakukan dengan studi literatur, antara lain melalui artikel ilmiah, buku, dan internet.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Dalam
melakukan analisis data secara kualitatif, digunakan alat bantu yaitu Asesmen risiko
fraud. Menurut Sadgrove (2015), kerentanan suatu perusahaan terhadap risiko fraud
dapat dianalisis melalui Risk Assessment. Risk Assesment berisikan sekumpulan
pertanyaan yang disusun untuk mengetahui kerentanan perusahaan terhadap suatu
risiko. Pertanyaan ini disusun berdasarkan topik yang ingin diamati. Jumlah dan jenis
pertanyaan serta bobot poin dapat disesuaikan dengan kondisi perusahaan
Tabel 1. Risk Assesment Fraud Latifa Home Spa
Topik Pertanyaan Y/N Point
Aset
1. Apakah perusahaan memiliki Asset berharga untuk dicuri? Y 1
2. Apakah ada rahasia komersil dari perusahaan anda yang diinginkan
oleh kompetitor? Y 1
Karyawan
3. Apakah ada karyawan tertentu yang bertanggung jawab untuk financial
yang tidak diawasi? Y 1
4. Apakah ada karyawan yang memiliki tanggung jawab financial yang
berat? Y 1
5. Apakah ada karyawan yang memiliki hubungan dekat dengan supplier
atau pelanggan? N 0
6. Apakah ada karyawan yang memamerkan kekayaan lebih dari
pendapatan yang dihasilkan? N 0
7. Apakan karyawan tidak mengambil liburan? Y 1
Sistem
8. Apakah pencatatan record perusahaan buruk? Y 1
9. Apakah ada kekurangan dalam sistem atau prosedur yang
memungkinkan terjadinya fraud? Y 1
10. Apakah manajemen tidak ada mekanisme pemeriksaan secara
menyeluruh dan berkala? Y 1
11 Apakah organisasi tidak pernah mengadakan audit untuk fraud? Y 1
Total : 9
Sumber: Olahan Penulis, 2017.
Dari total 11 pertanyaan assessment risiko untuk Latifa Home Spa diatas, dilakukan
pembagian bobot poin sebagai berikut: 0-4 poin : Low Risk, 5-8 poin : Moderate Risk,
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
146
dan 9-11 Poin : High Risk. Dari hasil tabel di atas diperoleh total 9 poin yang
menunjukkan bahwa Latifa Home Spa sangat rentan terhadap risiko fraud.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk meminimalisir potensi risiko fraud pada sistem booking Latifa Home Spa
yang masih menggunakan sms, telepon atau whatsapp dan terdesentralisasi ke masing –
masing business partner, serta tidak dapat terverifikasinya laporan penerimaan order
dan bagi hasil dilakukan perubahan sistem order menjadi tersentralisasi di Latifa Corp.
Untuk dapat mengakomodir perubahan yang diinginkan pada sistem booking dilakukan
pembuatan sebuah aplikasi ponsel yang terintegrasi dengan situs web.
Untuk menghindari dispute yang dapat terjadi dengan Vendor IT dalam
pembuatan suatu aplikasi ponsel dan situs web, diperlukan adanya transparansi dan
dokumentasi yang terstuktur dengan menerapkan SDLC waterfall.
Requirement Analysis
Proses requirement gathering dan analisis dengan Latifa Corp. meliputi temu muka
dan diskusi antara coach, CEO dan GM dari Latifa Corp.. Proses diskusi dilakukan
dengan menampung semua requirement mengenai aplikasi dan situs web yang ingin
dibangun. Setelah ditampung, dilakukan analisis dan seleksi guna menentukan prioritas
mana yang perlu dibangun saat ini, atau yang dapat digantikan dengan cara lain. Sebelum
melakukan seleksi, harus dilakukan penilaian mulai dari kegunaan hingga biaya. Seperti
misalnya yang terjadi Latifa Corp., dimana pada awalnya ingin menggunakan payment
gateway agar memiliki e-wallet (seperti gopay pada gojek) agar memudahkan pelanggan
dan talent dalam melakukan dan menerima pembayaran. Namun setelah dilakukan
pendalaman diperoleh bahwa jika menggunakan payment gateway akan menambah cost
pada operasional yang belum berbanding lurus dengan pendapatan yang dihasilkan.
Selain itu Latifa Corp. ingin aplikasinya dapat diakses di Negara lain (seperti misalnya
grab bike) namun dengan pertimbangan bahwa Latifa Home Spa belum beroperasi di
Negara lain, sehingga requirement tersebut dibatalkan.
Requirement yang dihasilkan dari proses diskusi tersebut kemudian dituangkan
dalam User Requirement Document (URD). URD kemudian dikirimkan kepada vendor
dan vendor akan mengirimkan Vendor’s Quotation. Berdasarkan hasil presentasi dan isi
dari vendor’s quotation akan dilakukan penilaian guna memilih dan menentukan vendor
yang akan melakukan pembuatan aplikasi. URD akan kembali didiskusikan dengan
vendor terpilih.
Diskusi dilakukan untuk mementukan solusi terbaik atau alternative lain dari yang
sudah ditawarkan oleh vendor. Selama diskusi berlangsung, tidak menutup kemungkinan
URD akan berubah, berkurang atau bertambah. Hal ini akan berkaitan dan berbanding
lurus dengan harga yang harus dibayar. Perubahan yang terjadi pada URD Latifa Home
Spa adalah pada sistem One Time Password (OTP). Pada awalnya yang diinginkan
adalah OTP ke nomor ponsel pelanggan / talent namun dengan adanya penawaran dari
vendor untuk pengiriman OTP ke alamat email dengan free of charge, maka dilakukan
perubahan.
Setelah URD difinalisasi akan dilakukan penandatanganan yang menandakan bahwa
requirement sudah dikunci dan disepakati oleh Latifa Corp. dan Vendor. Vendor
melakukan development dan desain aplikasi berdasarkan URD tersebut. Adapun
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
147
perubahan yang terjadi setelahnya dapat dikenai biaya tambahan sesuai kesepakatan
kedua belah pihak.
Design
Untuk desain, Latifa Corp. tidak memiliki permintaan khusus dalam arti
membebaskan vendor dalam melakukan desain. Latifa Corp. tidak ingin membatasi
vendor dalam berkreasi selama semua tombol, layar, dan fungsional yang disebutkan
dalam URD sudah terpenuhi.
Proses desain akan dilakukan setelah Surat Perintah Kerja (SPK) ditandatangani dan
pembayaran tahap pertama dilakukan. Vendor akan mengirimkan dokumen FSD dan
Latifa Corp. akan melakukan analisis dan verifikasi dari desain yang diberikan vendor.
Apabila masih belum sesuai, maka Latifa Corp. dapat menuliskan pertanyaan ataupun
perbaikan yang perlu dilakukan oleh vendor pada Review Feedback Form (RFF). Vendor
akan menuliskan tindak lanjut yang dilakukan pada dokumen tersebut dan melakukan
perbaikan pada desain.
Development
Pada proses ini, vendor yang ditunjuk oleh Latifa Corp. yang akan mengerjakan
proses pembuatan aplikasi ponsel dan situs web, Latifa Corp. hanya akan menyediakan
Logo, template report, dan dokumen standar lainnya yang diperlukan oleh vendor.
Testing
Adapun kegiatan yang dilakukan Latifa Corp. dalam tahap ini, antara lain: membuat
skenario pengujian, melakukan pengujian sistem (UAT), dan mendokumentasikan hasil
dari UAT. Apabila terdapat defect (kesalahan atau ketidaksesuaian) perlu dilaporkan
kepada vendor IT agar segera diperbaiki dan dilakukan pengujian ulang.
Maintenance
Tahap ini dimulai pada saat aplikasi selesai dibangun dan siap untuk diluncurkan
(go live). Sebelum diluncurkan kepada pelanggan atau talent harus dilakukan
sosialiasasi dengan cara mengirimkan pemberitahuan kepada business partner, talent
dan pelanggan. Pengiriman dapat melalui email, sms, whatsapp ataupun di media sosial.
Untuk business partner dan talent dapat disertakan pula user manual penggunaan
aplikasi. Jika sosialisasi dan user manual dinilai belum cukup, dapat pula dilakukan
training.
Dengan adanya aplikasi ponsel untuk sistem booking pada Latifa Home Spa,
terdapat perubahan pada proses operasional dari Latifa Corp. dan juga Canvas Business
Model. Selain perubahan tersebut, Latifa Corp. juga akan memiliki ilmu baru mengenai
SDLC (System Development Life Cycle) waterfall, bagaimana analisis dan dokumen
yang dihasilkan pada setiap tahapannya
Proses operasional pada Latifa Home Spa berubah menjadi lebih efektif, efisien dan
tersentralisasi dimana proses booking dari pelanggan dan penerimaan order oleh talent
dilakukan melalui aplikasi ponsel. Sebelum dapat menerima order, talent harus terlebih
dahulu mengisi saldo (e-wallet). Setiap kali talent menerima order, saldo terapis akan
dipotong oleh sistem sebanyak 35% dari total yang harus dibayar oleh pelanggan.
Setelah jasa selesai diberikan pelanggan dapat memberikan rating dengan bintang dan
komentar untuk mereview hasil kerja dari talent.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
148
Setiap order yang diterima dan berhasil diselesaikan oleh talent akan dicatat oleh
sistem dan dikirimkan ke dalam server. Server akan mengolah catatan booking tersebut
menjadi suatu laporan harian dan bulanan yang dapat dilihat pada situs web. Pada awal
bulan, Latifa Corp. akan melakukan proses pembayaran bagi hasil ke business partner
berdasarkan perhitungan pada laporan bagi hasil yang sudah diolah secara otomatis oleh
sistem. Dengan berubahnya proses operasional ini, maka potensi terjadinya risiko fraud
menjadi semakin minim.
Canvas Business Model Latifa Home Spa ditunjukan pada gambar dibawah ini:
Gambar 2. Perubahan Canvas Business Model Pada Latifa Home Spa
Sumber: Olahan Penulis, 2017.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Untuk meminimalisir risiko fraud yang terjadi pada sistem booking Latifa Home
Spa, Latifa Corp. membangun aplikasi ponsel dan situs web. Sistem booking Latifa
Home Spa akan mengalami perubahan menjadi tersentralisasi sehingga penerimaan
order dan bagi hasil dapat dikontrol dan diverifikasi oleh Latifa Corp.
Dalam pembuatan sistem IT diperlukan adanya kerja sama, transparansi dan
dokumentasi yang terstuktur. Semua permintaan, perubahan, atau penambahan yang
terjadi tercatat dengan detail, disepakati, dan dipahami bersama guna menghindari
terjadinya dispute dan pemutusan kerja sepihak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
menerapkan metode SDLC waterfall dimulai dari tahapan requirement analysis hingga
maintenance. Menjalankan setiap tahapan secara terstruktur dan dokumentasi yang
tertata rapi untuk setiap tahapan yang dilalui, akan memudahkan dalam melakukan trace
back apabila terjadi defect pada saat aplikasi digunakan oleh customer nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Arum, A., & Wohlin, C. (2005). Engineering and Managing Software Requirements.
USA: Springer-Verlag New York, Inc.
Alshazly, A. A., Elfatatry, A. M., & Abougabal, M. S. (2014). Detecting defects in
software requirements specification. Alexandria Engineering Journal, 53(3), 513-
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
149
527. Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1110016814000568
Association of Certified Fraud Examiners. (2002). Report to The Nations on
Occupational Fraud and Abuse. Tersedia di: http://www.acfe.com/rttn-2012.aspx
Binkley, D. (2007). Source code analysis: a road map. In: Proceedings of the workshop
on the future of software engineering collocated with the international conference
on software engineering. Minneapolis, MN, USA, 104–119. Tersedia di:
https://ieeexplore.ieee.org/document/4221615/
Biro Pusat Statistik. (2015). Statistik Solus Per Aqua (SPA). Jakarta: CV Marshadito
Intan Prima.
Budijanto & Didik Djunaedi9, Penerjemah. Jakarta: Media Global Edukasi.
Carr, N. G. (2003). IT doesn’t matter. USA: Harvard Business Review (May 2003 ed.).
Educ. Rev. 38, 24–38.
Cooper, D.R., & Schindler, P.S. (2006). Metode Riset Bisnis (Edisi ke-9).
Dailysocial.id. (2017). Startup Report Presentation Slide. Indonesia. Tersedia di:
https://dailysocial.id/report/post/startup-report-2017
Deak, A., Stålhane, T., & Sindre, G. (2016). Challenges and strategies for motivating
software testing personnel. Information and software Technology, 73, 1-15.
Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0950584916000045
Dennis, A., Wixom, B. H., & Tegarden, D. (2005). Systems Analysis And Design with
UML Vesion 2.0 (2nd ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc.
Fontana, A., & Frey, J. H. (2000). The interview: from structured questions to
negotiated text. Handbook of qualitative research (2nd ed.). Thousand Oaks: Sage.
Galitz, W. O. (2007). The Essential Guide to UI Design (3rd ed.). USA: Addison-
Wesley.
Lee, M. (2018). Modeling and forecasting hotel room demand based on advance
booking information. Tourism Management, 66, 62-71. Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0261517717302431
Lin, W. T., & Chuang, C. H. (2013). Investigating and comparing the dynamic patterns
of the business value of information technology over time. Eur. J. Oper. Res. 228,
249–261. Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0377221713000532
Morgan-Thomas, A. (2016). Rethinking technology in the SME context: Affordances,
practices and ICTs. International Small Business Journal, 34(8), 1122-1136. Tersedia di: http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0266242615613839
Myers, M. D., & Newman, M. (2007). The qualitative interview in IS research:
Examining the craft. Information and organization, 17(1), 2-26. Myers, G.J., Sandler, C., & Badgett, T. (2011). The Art of Software Testing (3rd ed.).
USA: Wiley Publishing.
Neirotti, P., & Ragueso, E. (2016). On the contingent value of IT-based capabilities for
the competitive advantage of SMEs: Mechanisms and empirical evidence.
Information & Management, 54, 139–153. Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0378720616300519
Shneiderman, B. (1998). Designing the User Interface – Strategies for Effective Human-
Computer Interaction (3rd ed.). USA: Addison-Wesley.
Conference on Management and Behavioral Studies Universitas Tarumanagara, Jakarta, 25 Oktober 2018
ISSN NO: 2541-3406 e-ISSN NO: 2541-285X
150
Tohidi, H. (2011).The Role of Risk Management in IT systems of organizations.
Procedia Computer Science, 3, 881–887. Tersedia di:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877050910005193
Osterwalder, A., & Pigneur, Y. (2010). Business Model Generation Terjemahan
Indonesia. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Phua, C., Lee, V., Smith, K., & Gayler, R. (2010). A comprehensive survey of data
mining-based fraud detection research. arXiv preprint arXiv:1009.6119.
Pressman, R. S. (2015). Software Engineering: A Practitioner’s Approach (8th ed.).
USA: McGraw-Hill Education.
Rosa A. S., & Shalahuddin, M. (2013). Rekayasa Perangkat Lunak. Bandung:
Informatika.
Sadgrove, K. (2005). The complete guide to business risk management (2nd ed.). United
Kingdom: Publisher Gower.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Valacich, G., & Hoffer. (2012). Essentials of Systems Analysis and Design (5th ed.).
New Jersey, USA: Prentice Hall.
BIODATA
Kanya Ashri Bukhairina, Pendidikan S2 diselesaikan di Magister Manajemen
Universitas Indonesia dengan peminatan Manajemen Risiko. Pendidikan S1
diselesaikan di Universitas Gunadarma dengan jurusan Teknik Informatika. Dan
saat ini bekerja sebagai IT Business Analyst di PT Bank Central Asia, tbk
Lily Sudhartio, Pendidikan S3 diselesaikan di Universitas Indonesia. Pendidikan S2
diselesaikan di TMI ITB Pendidikan S1 diselesaikan di Universitas Indonesia. Saat
ini menjabat sebagai komisaris utama di PT. Sequis Life.