ILWI Buletin No 03-2009

  • Upload
    ilwi

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    1/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    uletin

    ILWI ( Indonesian Land

    reclamation & Water management

    Institute), adalah sebuah lembaga kajian

    dibidang reklamasi dan pengelolaan air.

    Lembaga ini berupaya untuk

    menyebarkan informasi dan

    pengetahuan di bidang reklamasi &

    pengelolaan air kepada masyarakat.

    Salah satunya dengan penerbitan

    buletin.

    Buletin ini kami kirimkan

    secara gratis. Tulisan, saran dan

    pemberitaan media menjadi bagian dari

    isi buletin ini.Alamat :

    Jl. Rajawali II No. 5A

    Manukan, Condong Catur

    Yogyakarta 55283

    atau

    P.O. Box 7277/JKSPM

    Jakarta Selatan 12072

    Email :[email protected]

    MENANTI UPAYA

    MENGURANGI RISIKOBENCANA DI JAKARTA

    No : 03-2009

    Juli 2009

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    2/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Pengantar Redaksi

    Pembaca yang budiman, tema besar yang diangkat dalam Buletin ILWI Nomor 3 ini, adalahmasalah Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction) di Jakarta. Melihat banyaknyaancaman bencana yang mungkin timbul dan masih minimnya upaya antisipasi yang dilakukan. Inibukan untuk menakut-nakuti, kita perlu lebih mengangkat persoalan ini untuk mengingatkan bahwakita perlu bersiap diri seandainya sewaktu-waktu terjadi bencana.

    Ini perlu, mengingat kecenderungan kota-kota besar di dunia yang juga sudah membuatrencana aksi untuk pengurangan risiko bencana di wilayahnya. Kita memang harus selalu siap,mengingat bencana yang tidak tahu kapan datangnya, sewaktu-waktu akan membalikkanpembangunan yang kita laksanakan hingga mundur jauh kebelakang. Belum lagi kerugian hartabenda dan nyawa yang ditimbulkannya.

    Melakukan tindakan pengurangan risiko bencana pada hakekatnya juga merupakan upaya

    mengurangi kisah pilu yang disebabkan bencana tersebut. Tentu saja pekerjaan ini bukan hanyatanggung jawab pemerintah tetapi juga seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali.

    Pembaca, mengikuti tema besar yang diambil, dibagian lain tentu kami juga punya bahasanmengenai reklamasi dan pengelolaan air yang dikaitkan dengan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan.Diantaranya bagaimana reklamasi pantai utara dipakai sebagai kesempatan untuk membanguninfrastruktur mitigasi bencana yang lebih lengkap. Disamping itu, kami juga mengangkatbagaimana seharusnya merawat situ-situ yang ada dan sudah berusia lanjut. Selamat menikmatibuletin ILWI kali ini.

    Redaksi ILWI

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    3/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Rawan Bencana Di Metropolitan

    Ditengah pembangunan yang terus dipacu, ancaman bencana ternyata juga mengintai ibukota.Pengembangan Jakarta kedepan harus dikaitkan dengan upaya pengurangan risiko bencana yangberkelanjutan. Penegakan aturan dan sosialisasi penanggulan bencana harus segera dilaksanakan.

    Foto : Doc BRR

    Pelajaran dari bencana di Aceh-Nias

    Kita tidak bisa membayangkan seandainya

    Jakarta Raya (Jabodetabek), kena goncangan gempaseperti yang terjadi Aceh 26 Desember 2004 atau di

    Yogyakarta 27 Mei 2006 silam. Warga pasti akan

    berlarian kocar-kacir tidak karu-karuan, mereka tak

    tahu mau ke mana menyalamatkan diri.

    Tetap di dalam rumah jelas risikonya cukup

    besar, mau lari ke luar melalui lorong-lorong di depan

    rumah risikonya sama saja, ancaman ambruknya

    dinding rumah tetangga lebih mengerikan lagi. Mau

    mencari lapangan luas untuk menyelamatkan diri, tentu

    bukan perkara gampang, mencari tanah sejangkal saja

    sulit dicari di kota metropolitan ini apalagi tanah

    terbuka dengan ukuran besar.

    Bisa dibayangkan berapa banyak korban yangakan berjatuhan dan berapa besar kerugian yang

    ditimbulkan, jika ibukota dihantam gempa seperti itu.

    Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, setidaknya sekitar

    270 ribu rumah ambruk rata dengan tanah, belum lagi

    rumah yang rusak sedang dan ringan. Korban nyawa

    yang ditimbulkannya bahkan melebihi enam ribu

    orang.

    Kisah pilu di Yogyakarta itu, tentu tak kita

    harapkan terjadi di Jakarta. Ini sekedar ilustrasi

    membayangkan jika ibukota mengalami hal yang sama.

    Pesan yang ingin disampaikan adalah, apakah Jakarta

    sudah siap seandainya terjadi bencana seperti ini ?

    Dengan kerapatan penduduk yang cukup tinggi, aksespenyelamatan yang minim, rumah-rumah yang tak

    memenuhi persyaratan tahan gempa, tentu kerugian

    dan korban yang ditimbulkan sudah tak terbayangkan

    lagi.

    Kemungkinan kejadian ini perlu diingatkan,

    tak hanya kepada pemerintah tapi juga seluruh

    masyarakat Jakarta.

    Semua pihak diingatkan untuk melakukan

    upaya Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk

    Reduction). Harus diakui, selama ini mitigasi dan

    kesiapsiagaan menghadapi bencana di DKI Jakarta

    masih sangat minim sekali.

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    4/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Foto : Doc TTN

    Kampus yang hancur akibat gempa di Yogyakarta

    Kota Paling Komplit Ancaman Bencananya

    Padahal Jakarta bisa jadi merupakan kota

    yang paling rawan terhadap terjadinya bencana di

    Indonesia. Beragam jenis bencana alam sangat

    mungkin terjadi di Jakarta gempa bumi, tsunami, dan

    banjir, adalah sebagian diantaranya. Belum lagi

    bencana yang sifatnya kerawanan perkotaan

    kebakaran, kegagalan teknis bangunan, runtuhnya

    bangunan-bangunan tua atau mungkin demonstrasi

    massa yang mengarah anarkisme.

    Seperti diketahui sebelah barat Pulau

    Sumatera dan sebelah Selatan Pulau Jawa adalah

    tempat pertemuan dua lempeng besar, yaitu Lempeng

    Eurasia dan Lempeng Indo Australia. Posisi ini

    menyebabkan daerah-daerah di pulau itu sangat rawan

    terhadap terjadinya bencana gempa bumi, karenakedua lempengan itu kerap bergeser dan bertumbukan.

    Bagi DKI Jakarta tentu kerawanan dari gempa bumi ini

    tidak bisa dipandang sepele.

    Sedangkan untuk ancaman dari bencana

    tsunami, beberapa studi memang mengindikasikan

    bahwa bahaya tsunami di Jakarta tidak separah yang

    terjadi Aceh. Pengangkatan dasar laut akibat pertemuan

    dua plat tektonik besar itu, mempunyai dampak yang

    tak begitu besar di Jakarta, karena letaknya yang cukup

    jauh.

    Ancaman adanya tsunami diprediksi juga bisa

    datang akibat kegiatan vulkanik. Terutama bahaya

    yang disebabkan oleh meletusnya anak krakatau.

    Meski demikian tsunami yang diakibatkan proses

    vulkanik ini, bagi kota Jakarta diyakini oleh beberapa

    pakar tidak lebih besar dari tsunami yang ditimbulkan

    oleh pergeseran lempeng tektonik.

    Dampak tsunami akibat meletusnya anak

    Krakatau ini lebih terasa pada dearah-daerah di ujung

    Sumatera, sebelah Selatan dan ujung Pulau Jawa

    sebelah Barat. Meski demikian ibukota, khususnya

    Jakarta Utara tetap harus mempersiapkan diri jika

    tsunami benar-benar datang. Kejadian di Aceh, juga

    akibat belum adanya prediksi bahwa gelombang sebesar

    itu akan sanggup menelan sekitar seribu kilometer

    garis pantai di daerah Serambi Mekkah ini. Harus

    diingat bahwa Tsunami setinggi dua meter saja akan

    mampu menelan ratusan jiwa.

    Saat ini, bencana alam yang paling kerap dan

    rutin mengganggu kota Jakarta adalah banjir. Hampir

    setiap tahun Jakarta digenangi air dalam jumlah besar.

    Beberapa kali bahkan sempat memakan korban jiwa.

    Tahun 2002 umpamanya, tak tanggung-tanggung 80 orang nyawa manusia harus melayang

    ditelan air. Kini setiap tahun warga Jakarta pasti

    menabung kerugian akibat selalu didatangi banjir.

    Foto : ILWI

    Banjir bencana alam yang kerap melanda ibukota

    Kerawanan Perkotaan

    Kerawanan perkotaan melengkapi ancaman

    bencana di tanah betawi ini. Di banyak wilayah di

    Indonesia bencana yang potensial mendatangkan

    banyak kerugian pastilah yang datangnya dari alam.

    Akan tetapi berbeda dengan kota sebesar Jakarta,

    dengan ketidakaturan yang sudah puluhan tahundijalankan, ancaman diluar bencana alam ternyata

    masih cukup mengerikan.

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    5/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Foto : ILWI

    Kerawanan perkotaan juga menjadi ancaman warga

    Jakarta

    Kegagalan teknis tanggul Situ Gintung

    membuktikan hal itu. Bertahun-tahun orang yang

    tinggal di mulut tanggul itu tak pernah merasa takut

    akan terjadinya malapetaka ini. Sampai akhirnya pintu

    air tanggul tersebut jebol tanpa diduga-duga, akibatnya

    warga yang minim pengetahuan dan minim persiapan,harus menahan pilu karena kehilangan harta bahkan

    juga sanak saudaranya.

    Bisa dipastikan bahwa ancaman-ancaman

    bencana akibat kelalaian manusia seperti ini akan tetap

    ada mewarnai perkembangan kota Jakarta. Bahaya

    runtuhnya bangunan, kebakaran, dan kerawanan akibat

    kelalaian manusia lainnya, akan selalu mengusik

    ketenangan warga kota Jakarta.

    Upaya Pengurangan Risiko Bencana

    Meski tidak diharapkan, cepat atau lambat

    ancaman-ancaman itu pasti ada yang datang, warga

    Jakarta harus siap menghadapinya. Pernahkah Anda

    membayangkan jika salah satu jalan layang di Jakartaruntuh ? Ada berapa rumah liar yang berada

    dibawahnya hancur dan berapa pula korban jiwa yang

    ditimbulkannya. Meski bahayanya seperti itu,

    masyarakat tetap saja tanpa ada rasa takut terus

    membangun rumah di kolong-kolong jalan layang.

    Pembuatan sumur dan pembakaran sampah di bawah

    kolong jembatan memberikan kontribusi bagi

    peningkatan risiko terjadinya bencana.

    Memang hal itu belum pernah terjadi tapi

    kemungkinannya tetap ada, dan yang namanya bencana

    selalu datang tiba-tiba. Karena itu sekecil apapun

    ancaman bencana itu harus sudah diusahakan untuk

    bisa diatasi sejak sekarang. Pilihannya adalah segera

    melakukan upaya pengurangan risiko bencana

    sesegera mungkin.

    Kebakaran merupakan potensi kerawanan terutama di

    daerah padat

    Masyarakat dunia sendiri sudah memberi

    perhatian yang besar terhadap upaya pengurangan

    risiko bencana. Ini sudah didengungkan sejak

    pelaksanaan Konferensi Pengurangan Risiko Bencana

    Sedunia , Januari tahun 2005, lalu. Pertemuan itu

    menghasilkan Deklarasi Hyogo Framework for Action

    ( Kerangka Kerja Aksi Hyogo ) 2005 2015. Dalam

    deklarasi itu ditekankan bagi seluruh negara di dunia

    untuk menyusun mekanisme terpadu pengurangan

    risiko bencana yang didukung kelembagaan dan

    kapasitas sumberdaya yang memadai.

    Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana

    Karena itu Jakarta sebagai salah satu kota besar

    dunia memang harus segera mengambil sikap terhadap

    usaha-usaha penanggulangan bencana. Pembangunan

    yang terus digeber harus memperhatikan kesiapan

    institusi dan kemampuan sumber daya manusia dalam

    menghadapi bencana yang berpotensi untuk muncul.

    Hal ini bukan saja untuk menyelamatkan jiwa

    manusia dan lingkungan yang rusak, lebih dari itu juga

    agar pembangunan yang sudah dirancang dan

    dijalankan tidak harus mundur terlalu jauh akibat

    bencana. Bagaimanapun visi pembangunan ke depan

    tak bisa dilepaskan dari upaya antisipasi terhadapbencana.

    Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2007,

    tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi dan

    kesiapsiagaan adalah bagian dari fase prabencana.

    Keselamatan dan kerugian yang timbul akibat bencana

    sangat tergantung pada tahap ini. Untuk itu

    perencanaan kota secara keseluruhan perlu segera

    dikaitkan dengan mempertimbangkan potensi bencana

    yang mungkin terjadi.

    Pertama yang harus dilakukan adalah

    identifikasi sumber bahaya dan ancaman bencana.

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    6/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Salah satu cara efektif dalam merencanakan

    penanggulangan bencana adalah identifikasi ancaman

    bencana. Disamping itu, menentukan potensi bencana

    di satu daerah juga akan membuat masyarakat setempat

    fokus terhadap apa yang harus dilakukan.

    Perlu dibuat zonasi pada daearah-daerah mana

    yang mungkin terjadi bencana. Sekaligus ditentukan

    daerah yang dipastikan susah menanganinya jika terjadi

    satu jenis bencana. Sebagai contoh kebakaran, zona-zona mana saja yang rawan terjadinya kebakaran. Serta

    jika terjadi kebakaran sulit ditembus kendaraan

    pemadam kebakaran.

    Kedua adalah memperkuat peraturan soal

    mitigasi bencana. Undang-undang dan peraturan yang

    sudah ada di tingkat pusat perlu dilengkapi dengan

    aturan daerah bermuatan lokal agar fleksibel

    pelaksanaannnya. Peraturan yang berasal dari pusat,

    perlu dilengkapi karena aparat di pemerintahan lokal

    dianggap lebih tahu keadaan daerahnya.

    Aturan-aturan tersebut harus diterapkan di

    lapangan dan mempunyai ketetapan hukum, seperti

    melalui Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah

    (RTRW). Masyarakat harus tahu bagaimana

    persyaratan pembangunan rumah, dimana boleh

    membangun dan dimana yang tidak, bagaimana lebar

    jalan lingkungan, agar dalam keadaan darurat

    kendaraan penolong tetap bisa masuk dan lain-lain.

    Foto : Doc Depsos DIY

    Simulasi Menghadapi Bencana

    Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya

    adalah melakukan perencanaan penanggulangan

    bencana. Ini meliputi persiapan aparatur dan lembaga,

    persiapan sistem kerja , serta persiapan masyarakat.

    Jika mengacu kepadan UU 24 tahun 2007, maka untuk

    daerah lembaga yang mengurusi masalah bencana

    adalah Badan Penanggulangan Bencana daerah

    (BPBD). Tapi, di Indonesia kelihatannya baru Jawa

    Tengah saja yang memilik badan ini.Masih banyak daerah yang belum memiliki

    badan semacam ini. Daerah-daerah ini, masih

    mengandalkan mekanisme Satkorlak dan Saklak dalam

    menanggulangi bencana. Apapun bentuknya yang

    terpenting adalah adanya institusi di pemerintahan

    daerah yang mengurusi masalah penanggulangan

    bencana ini. Siapa melakukan apa dan bagaimana

    sistem kerjanya harus jelas sehingga saat bencana

    datang tak lagi ada yang tumpang tindih pekerjaan.

    Disamping itu perlu ada sosialisasi potensi

    bencana yang mungkin terjadi sekaligus bagaimana

    cara menghadapinya. Pelatihan dan simulasi perlu

    dilakukan agar masyarakat tanggap apa yang harus

    dilakukan ketika bencana datang. Simulasi tak harus

    dilakukan ditingkat provinsi, lebih baik lagi kalau

    dilaksanakan dilevel kawasan, karena bisa disesuaikan

    dengan potensi bencana paling besar di tempat itu.Sawariyanto, Bagian Mitigasi dan Kesiapsiagaan

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    7/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Aspek Mitigasi Dalam Reklamasi

    Reklamasi sulit dielakan dalam pengembangan kota Jakarta. Kesempatan menata kawasan baru takhanya harus memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, aspek mitigasi bencana bagipenghuninya harus pula diperhatikan.

    Sumber BP Pantura

    Rencana Reklamasi Pantura

    Setiap kali ada upaya untuk melakukanpengembangan dan pembangunan di Jakarta,

    perdebatan masalah sosial dan lingkungan langsung

    mengemuka. Bagaimana perlakuan terhadap warga

    yang sudah lebih dahulu ada ditempat itu, perubahan

    sisitem sosial yang pasti akan terjadi, masalah

    lingkungan akibat adanya program pembangunan baru

    dan sebagainya.

    Perdebatan semacam itu sering menimbulkan

    saling ngotot antara pemerintah, pengembang, lembaga

    swadaya masyarakat dan warga sekitar. Meski

    pembangunan yang dilakukan menyebabkan perbaikan

    pada lingkungan hidup, tetap saja program tak bisa

    berjalan mulus. Tak jarang tenaga, pikiran dan dana

    habis untuk urusan-urusan non teknis semacam ini.

    Beberapa negara di dunia seperti Cina, Rusia

    dan beberapa negara di Timur Tengah melakukan

    pengembangan dengan mereklamasi sebagian

    pantainya. Hasilnya memang cukup baik, kawasan

    yang dibangun menjadi lebih mudah menatanya, seperti

    akses jalan,informasi, sistem drainasi, listrik, dan

    keamanan.

    Bahkan untuk aspek lingkungan hidup

    kawasan baru ini bisa juga jauh lebih baik kalau ditata

    sejak awal. Seperti penghijauan, pengelohan limbah,

    pengelolaan air bersih, bahkan sistem penanggulangan

    banjir yang dibuatpun ramah lingkungan dengan

    membuat rasio badan air yang memadai..Memang untuk memulai program reklamasi

    tetap ada saja masalah sosial yang perlu dipersiapakan

    solusinya. Penyelesaian secara win-win solution juga

    bisa diambil untuk mengakomodasi permintaan

    beberapa pihak. Ini menyebabkan efek negatif yang

    mungkin terjadi bisa dieleminir.

    Kini yang harus diperhatikan justru perlunya

    menata wilayah yang lebih memahami perilaku

    bencana.

    Sebagai kawasan baru, tentu mempunyai

    kesempatan untuk menata daerah tersebut menjadi

    lebih siap mengahadapi bencana. Merencanakan

    semua pembangunan di tempat itu dengan

    mempertimbangkan aspek mitigasi dan kesiapsiagaan.

    Untuk pantai utara Jakarta ada beberapa

    tindakan mitigasi yang perlu diperhatikan. Untuk

    bencana alam adalah tsunami, gempa dan banjir. Untuk

    menghadapi tsunami disamping perlu ada sistem

    peringatan dini, juga diperlukan pembuatan bukit-bukit

    yang berguna untuk menyelamatkan diri. Sehingga

    sewaktu-waktu ada peringatan bahaya tsunami warga

    bisa langsung berlari ke arah bukit tersebut.

    Agar sehari-hari bisa digunakan, bukit-bukit itu

    bisa dijadaikan taman bermain atau tempat kegiatan

    olahraga. Mempermudah warga untuk menyelamatkan

    diri perlu pula dibuat rambu-rambu yang menunjukan

    daerah rawan tsunami dan rambu ke mana mereka

    harus menyelamatkan jika gelombang air itu datang.

    Untuk penyelamatan diri dari bahaya gempa,

    sejak awal yang perlu diperhatikan adalah persyaratan

    rumah tahan gempa yang harus diikutin oleh warga

    setempat. Akses jalan untuk menyelamatkan diri juga

    perlu menjadi pertimbangan, tentu saja dalam satu

    lokasi tertentu harus disediakan lapangan luas untukmenghindari diri dari runtuhnya bangunan.

    Sedangkan untuk sistem pengendalian banjir

    mengimplementasikan tanggul laut dan rasio badan air

    yang memadai. Karena itu kawasan ini harus bisa

    menahan serbuan air dari laut dan air hujan yang turun

    di lingkungan mereka.

    Untuk kerawanan perkotaan, kemungkinan

    yang paling kelihatan adalah bahaya kebakaran. Untuk

    itu perlu diperhatikan jalur-jalur mobil kebakaran yang

    memungkinkan untuk menjangkau lokasi kebakaran

    tersebut. Pengalaman menunjukan bahwa seringkali

    kebakaran berdampak besar karena akses jalan untuk

    melakukan pemadaman sangat minim.

    Secara sederhana inilah aspek-aspek mitigasi

    yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan

    reklamasi. Tentunya, masih perlu analaisa yang lebih

    cermat lagi untuk mengetahui apa potensi bencana

    yang mungkin terjadi dan bagaimana usaha-usaha

    pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan.

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    8/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Bersama Merawat Tanggul Tua

    Bagi warga Jabotabek, musim hujan kali ini nyaris dilalui dengan aman tanpa ada banjir besar, sepertiyang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Tapi, dipengujung musim hujan ini, malapetaka akibat ulah airternyata datang juga. Kali ini, sama sekali diluar dugaan masyarakat awam. Situ yang seharusnya menjadiharapan masyarakat untuk mengurangi bahaya banjir, justru memakan korban.

    Situ Gintung yang berusia hampir delapan

    puluh tahun itu, tak disangka-sangka jebol. Waduk

    yang terletak di Desa Cirendeu, Kecamatan Ciputat,

    Tanggerang, ini menyapu harta benda dan manusia.

    Setidaknya seratus orang meninggal dunia terbawa arus

    deras air yang datang tiba-tiba.

    Banyak orang terperanjat dan bertanya

    bagaimana dengan tanggul-tanggul lain yang usianya

    bahkan ada yang jauh lebih tua dari Situ Gintung.

    Menteri PU sendiri mengakui bahwa banyak tanggul

    lain yang seusia dan kondisinya kurang lebih sama

    dengan Situ Gintung. Ini tentu harus menjadi perhatian.Bagaimana seharusnya kita merawat situ yang

    sebagian besar adalah peninggalan Belanda.

    Situ sama saja dengan manusia atau kendaraan,

    semakin lanjut usianya semakin butuh perawatan.

    Pertanyaannya memang apakah kita sudah memberikan

    perhatian yang optimal terhadap situ-situ yang berusia

    lanjut itu ? Apakah tubuh kolam yang terbuat dari

    tanah itu, masih cukup kuat untuk menahan tekanan

    air yang jumlahnya makin banyak ?

    Pelajaran dari jebolnya Tanggul Situ Gintung

    Apalagi kapasitas situ tersebut semakinberkurang akibat sedimentasi yang meningkat.

    Akibatnya permukaan air tentu semakin meninggi dan

    ini justru menambah masalah . Belum lagi perubahan

    struktur yang diakibatkan permukaan tanah cenderung

    menurun, karena semakin lama kandung air di tanah

    cenderung semakin menurun. Ini semua butuh

    perawatan.

    Sama dengan bangunan lama lainnya di

    Indonesia, karena dibuat dijaman penjajahan maka

    kebanyakan Situ di Indonesia mengadopsi gaya (style)

    yang sama dengan tanggul di Belanda. Baik dalam segi

    bentuk maupun strukturnya. Untuk itu untuk

    memahami karakter dari tanggul-tanggul tersebut ada

    baiknya kita melihat pengalaman negeri Kincir Anggin

    tersebut dalam memperlakukan tanggul yang mereka

    miliki.

    Tahun 1953,di Belanda pernah mengalami

    bencana akibat jebolnya tanggul. Korbannya jauh lebih

    besar, ribuan nyawa manusia melayang. Jika SituGintung jebol akibat jumlah hujan yang berlebihan,

    maka jebolnya tanggul di Belanda disebabkan oleh

    badai Laut Utara.

    Bagi Belanda , kejadian ini menjadi

    pengalaman berharga. Mulai saat itu pemerintah

    setempat berinisiatif untuk melakukan perbaikan pada

    keseluruhan sistim pengelolaan air dan pertahanan

    lautnya (sea defence). Proyek Delta Werken, demikian

    nama yang mereka berikan untuk proyek prestisius itu.

    Mulai saat itu pula mereka melakukan pengawasan dan

    perawatan yang ketat terhadap tanggul-tanggul milik

    mereka.

    Menyadari semakin banyaknya situ buatan

    Belanda yang berusia tua maka kita perlu melakukanpengawasan dan perawatan tanggul milik kita, agar

    tragedi Situ Gintung tak terulang kembali. Secara

    teknis situ yang berusia tua harus dilakukan

    pengecekan secara visual setiap satu atau dua tahun

    sekali. Pengecekan harus dilakukan oleh pengawas

    tanggul (dike inspector), yang sudah mendapatkan

    pelatihan.

    Dalam inspeksi visual semacam ini yang perlu

    perhatian khusus adalah tinggi muka air - apakah air

    sering melimpas- , kondisi tanggul serta bangunan

    yang ada pada tanggul terutama saluran pelimpah (spill

    way). Hubungan antara spill way dan tanggul tanah

    perlu diperhatikan, karena air sering menyelinepdiantara spill way dan tanggul tanah. Karena hal ini

    bisa menjadi pemicu runtuhnya tanggul.

    Permukaan tanggul juga harus menjadi

    perhatian. Sebaiknya rumput hijau ditanam di

    permukaan lereng tanggul untuk mencegah erosi. Akan

    tetapi, perlu juga diperhatikan adalah pepohonan yang

    berakar dalam harus disingkirkan dari tanggul, karena

    risiko tumbang dan tercabutnya akar akan mengurangi

    kekompakan tanggul. Disamping itu akar pohon yang

    membusuk memberikan ruang untuk dilalui air,

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    9/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    akibatnya jika ruangan itu semakin besar maka akan

    lebih banyak air yang bisa melewatinya dan ini sangat

    berbahaya.

    Situ Pedongkelan dengan tanggul yang cukup curam

    Perhatian juga diberikan kepada area di sekitar

    tanggul. Di sekitar tanggul tidak boleh ada rumah dan

    bangunan, maka ketika dilakukan inspeksi dicatat juga

    perubahan penggunaan tanah disekitar tanggul atau

    yang menempel di tanggu. Selanjutnya dibuat

    rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk

    membersihkan wilayah itu. Hasil inspeksi ini, perlu

    disosialisasikan kepada masyarakat terutama yang

    berada di sekitar tanggul, agar mereka tahu apa yang

    harus diperbuat.

    Selain pengawasan tahunan seperti yang

    disebutkan di atas, perlu juga dilakukan general check

    up, setiap lima tahun sekali. Ini dilakukan untukmeneliti ulang secara detail, kekuatan komponen-

    komponen tanggul. Berapa besar perubahan faktor luar

    terhadap kekuatan tanggul perlu dihitung kembali.

    Untuk hal ini tak cukup dilakukan oleh pengawas

    tanggul tapi harus dilakukan oleh orang-orang yang

    memang ahli dibidang ini. Jika tanggul sudah terlanjur

    dalam keadaan kritis, tak ada pilihan lain kecuali

    melakukan rehabilitasi atau bahkan rekonstruksi

    tanggul.

    Bagaimanapun juga situ tak hanya menjadi

    tanggung jawab pemerintah. Masyarakat dan pemangku

    kepenting lain juga harus memberikan perhatian, untuk

    itu mari sama-sama merawat situ. Jangan sampai

    kejadian yang menimpa Situ Gintung Terulang kembali.

    Sekilas Berita Dalam Gambar

    Diskusi mengenai Tata Kelola Air pada pertemuan REI DKI 30 April 2009 yang menghadirkan pembicara

    Kepala Dinas PU DKI Budi Widiantoro, Kepala BPLHD, diwakili Rusman serta praktisi Sawarendro dengan

    moderator Adrianto P Adhi dari REI/PT Summarecon

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    10/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Floating Bullozer besar

    Floating Bullozer kecil

    excavator di

    pinggir saluran

    excavator di atas jembatan

    proses memuatsedimen

    kedalam truk

    proses menumpahkankan sedimen

    dari truk dilokasi pembuangan

    Drum separator untuk

    memisahkan sedimen

    dengan sampah

    tempat keluar sedimen

    setelah proses penyaringan

    Jakarta Pilot Dredging Project

    Untuk pertama kali Jakarta mengeruk sungai-sungainya dengan menggunakan Buldozer Terapung.Teknologi ini memudahkan melakukan pengerukan sungai-sungai di Jakarta. Efektif untuk saluran-saluranyang berada di kawasan padat penduduk..

    Jakarta Pilot Dredging Project merupakan salah

    satu bantuan teknis dari pemerintah Belanda kepada

    Pemerintah Indonesia, khususnya untuk PemerintahDaerah (Pemda) DKI Jakarta, dalam penanganan

    masalah banjir di ibu kota. Dalam proyek ini

    pemerintah Belanda memberikan bantuan berupa dua

    buah floating bulldozerdan 1 buah drum sieve

    separator.

    Disamping itu juga diberikan pelatihan bagi

    operator untuk pengoperasian alat, serta pelatihan

    dalam perencanaan dan pengawasan suatu perkerjaan

    pengerukan (dredging work). Pelatihan dilakukan

    secara langsung di lapangan maupun pelatihan teknis

    di kantor.

    Proyek yang merupakan proyek percontohan

    (Pilot Project) ini, dikerjakan mulai September 2008

    sampai dengan Maret 2009. Mengambil lokasi di

    Saluran Kali Mati dan Kali Pademangan di Kel.

    Pademangan Barat, Kec. Pademangan-Jakarta Utara.

    Setelah proyek ini selesai Pemda DKI akan melakukan

    pengerukan dengan metoda yang sama di saluran-

    saluran lain di Jakarta.

    Sistem pengerukan ini merupakan yang

    pertama kali dilakukan di Indonesia, walaupun di negeri

    asalnya Belanda telah mulai dilakukan sekitar 20 tahun

    yang lalu. Sesuai dengan namanya Floating Bulldozer

    (FB) yang berarti buldoser terapung, alat ini digunakan

    untuk mendorong material sedimen dari dasar saluran

    kearah lokasi di saluran yang terjangkau oleh

    excavator.FB bergerak maju dan mundur dengan

    menggunakan tali baja dan penggulungnya. Dengan

    mengendorkan penggulung tali belakang dan

    menggulung tali depan maka alat ini bergerak

    mendorong lumpur kedepan, dan setelah itu alat ini

    akan mundur dengan cara yang sebaliknya. Kedua tali

    baja tersebut dihubungkan ke pohon, patok beton atau

    alat lain yang cukup kuat di pinggir saluran. Dengan

    plat (blade) didepan FB bisa memotong lapisan sedimen

    didasar saluran dan mendorongnya dengan jarak efektif

    sekitar 250m.

    Tali depan berukuran lebih besar karena

    berfungsi untuk mendorong lumpur/sedimen,

    sedangkan tali belakang lebih kecil karena hanya

    berfungsi untuk menarik FB dalam keadaan kosong.

    Dibagian belakang dilengkapi dengan pengeruk

    berukuran kecil yang berguna sebagai kemudi untuk

    mengatur arah pergerakan perahu serta dapat juga

    digunakan untuk mengeruk material yang agak keras.

    Selain itu alat ini dilengkapi dengan baling-baling

    seperti layaknya perahu, yang biasa digunakan untuk

    membantu pergerakan seperti memutar balik atau

    merapatkan perahu ke pinggir saluran.

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    11/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Alat ini terbukti bekerja cukup efektif,

    terutama untuk saluran di lokasi-lokasi yang padat

    penduduk dimana sedimen tidak bisa diambil dengan

    alat secara langsung dari pinggir saluran. Dengan

    sistem ini pengerukan dapat dilakukan tanpa merusak

    tanaman atau pohon yang ada disepanjang saluran,

    karena proses bongkar muat sedimen dilakukan disuatu

    lokasi kosong atau diatas jembatan yang telah dipilih

    dan disurvey sebelumnya. Pengerukan dibawah jembatanpun dapat dilakukan , asal jembatan tersebut

    masih mempunyai ruang bebas sekitar 50cm diatas air,

    sehingga FB dan operatornya dapat bergerak

    dibawahnya.

    Proses pengerukan adalah sebagai berikut

    seperti yang dapat dilihat pada gambar.

    - FB bertugas untuk mendorong lumpur disaluran

    sampai ke lokasi excavator. Lokasi dapat

    dilakukan diarea kosong dipinggir saluran atau

    diatas jembatan yang memungkinkan excavator

    dapat bekerja. FB yang besar bekerja efektif

    untuk saluran dengan lebar sekitar 8 atau 10m,

    sedangkan FB kecil bekerja di saluran dengan

    lebar sekitar 2m.

    - Excavator mengabil sedimen yang telah

    dikumpulkan untuk kemudian dimuat ke dalam

    truk

    - Truk-truk tersebut akan mengangkut material ke

    suatu tempat pembuangan yang telah ditentukan.

    Truk-truk ini telah dimodifikasi sedemikian rupa

    sehingga kedap air, sehingga lumpur yang

    tercampur dengan air tidak akan menetes atau

    tumpah dalam perjalanan.

    - Ditempat pembuangan akan dioperasikan satu

    excavator untuk menaruh lumpur kedalam drum

    separator.

    - Dengan drum separator akan dipisahkan antara

    sampah dengan material material sedimennya.

    Hal penting yang harus diperhatikan dalam

    pekerjaan ini adalah perencanaan dari perencana kerja

    (work planner). Work planner harus melakukaninventarisasi terlebih dahulu tentang halangan-halangan

    yang mungkin mungkin akan menghambat pekerjaan

    dan menyiapkan semua fasilitas untuk menunjang

    pekerjaan. Mereka harus terlebih dahulu menyiapkan

    dan memilih lokasi untuk bongkar muat, tempat untuk

    menambatkan angkor, mengatur lalu lintar yang

    mungkin terganggu ataupun koordinasi dengan instansi

    lain seperti PLN, Telkom ataupun PDAM yang banyak

    mempunyai fasilitas di atas saluran yang akan

    mengganggu pekerjaan. Sebelum suatu ruas saluran

    selesai dibersihkan, Work Planner harus telah

    menyiapkan semua prasarana untuk pengerukan di ruas

    berikutnya.

    Pelatihan operator Floating Buldozer telah

    diikuti oleh sekitar 8 operator dari DKI yang berasal

    dari PU propinsi dan wilayah yang dilatih oleh dua

    operator dari Belanda. Operaor-operator tersebut

    diharapkan dapat mengoperasikan alat ini untuk

    pekerjaan pengerukan dilokasi lain setelah proyek ini

    selesai.

    Dedi Waryono, bekerja di salah satu konsultan asing ,

    anggota tim Pilot Dredging

  • 8/3/2019 ILWI Buletin No 03-2009

    12/12

    ILWI Buletin No 03-2009

    Upaya Strategis Mengelola Lingkungan

    Untuk mengembangkan Pantai Utara Jakarta, Pemda DKI harus serius memperhatikan dampak lingkunganyang ditimbulkannya. Pengalaman menunjukan masalah lingkungan jarang menjadi pertimbangan utamadalam setiap upaya pengembangan kota.

    Jakarta sekarang jauh berubah dibandingkan

    tiga puluhan tahun yang lalu, pembangunan fisik dan

    pengembangan kota merebak hingga ke sudut-sudut

    wilayah. Saat awal menggenjot pembangunan di tahun-

    tahun pertama orde baru, pembangunan yang dilakukan

    belum terlihat dampaknya terhadap lingkungan.

    Belakangan, semakin lama masyarakat semakin

    khawatir akan daya dukung alam sebagai akibat proses

    pembangunan yang terus dipacu.

    Permasalahan semakin banyak, laju urbanisasidan ekonomi yang tinggi ternyata memberi efek

    langsung pada lingkungan. Aksi-aksi kelompok dan

    perorangan terus dilakukan untuk mengelola setiap

    jengkal tanah di ibukota. Meski ada yang mengerti,

    tapi tak sedikit pula warga yang sadar bahwa

    pengembangan yang mereka lakukan memberi

    sumbangan kepada kerusakan lingkungan.

    Koridor hukum dan perencanaan kota yang

    ada, kalah cepat dengan irama pembangunan yang

    dilakukan penduduk. Warga tak mampu menggukur

    gerakannya agar selaras dengan kebutuhan lingkungan.

    Di Indonesia Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta

    adalah kota yang paling sulit untuk mengatasikerusakan dampak lingkungan akibat cepatnya

    pembangunan.

    Selama ini memang ada keharusan melakukan

    Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),

    sebelum pelaksanaan proyek yang dianggap

    berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tapi

    dalam kenyataanyataan pengaruh AMDAL ini hanya

    bersifat parsial dan terbatas pada proyek dan

    lingkungan disekitarnya saja. Akibat yang ditimbulkan

    dalam skala yang lebih luas sering lolos begitu saja,

    efeknya akan terakumulasi seiring dengan pertambahan

    waktu.Pengembangan Jakarta ke segala penjuru,

    memang mengharuskan semua para pemangku

    kepentingan untuk memberi perhatian pada dampak

    yang diakibatkannya. Termasuk pengambangan yang

    akan dilakukan di daerah pantai utara. Pesatnya

    pembangunan DKI Jakarta ke arah utara, membuat

    Pemda DKI perlu memperhatikan secara khusus

    dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya.

    Pertengahan April 2009 lalu, bertempat di

    Gedung Balaikota, telah diadakan Seminar Awal

    Kajian Lingkungan hidup Strategis (KLHS) Pantura

    Teluk Jakarta. KLHS merupakan hal baru dan

    dilakukan untuk menjawab kebutuhan yang tidak bisadicakup oleh AMDAL. Kajian semacam ini

    cakupannya lebih luas hingga mencapai level

    kebijakan.