14
11 Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu ) IDENTIFIKASI TOPONIMI DESA DI KECAMATAN CILONGOK KABUPATEN BANYUMAS DALAM PERSPEKTIF KERUANGAN Tommy Langgeng Abimanyu Pendidikan Geografi FKIP, UNS Surakarta Jalan Insinyur Sutami No. 36A Kentingan Jebres Surakarta Email: [email protected] Naskah masuk: 29 - 03 - 2018 Revisi akhir: 25 - 05 - 2018 Disetujui terbit: 4 - 06 - 2018 IDENTIFICATION OF VILLAGE TOPONYMY OF CILONGOK SUB-DISTRICT UNDER BANYUMAS REGENCY Abstract The location of Cilongok subdistrict, which is under Banyumas Regency, is quite far from the area of the spread of Sunda ethnic group. However, in Cilongok subdistrict there are names of villages that originated fromSundanese name, such as Cikidang, Cilongok, and Cipete. “Ci”, which means water or river, is a Sundanese generic name that becomes the characteristic of toponym. In addition, there are facts that indicate there were ethnic migrations. In a number of areasin West Java there are places that have the same names with that of in Banten.The purpose of this research is to describecharacteristics of village toponyms in Sub Cilongok and to find out the factors that influence the characteristics.Using spatial approach, this qualitativeresearch studied 20 villages located in Cilongok sub-district. The data were collected from library research, observations, interviews, and related documents.The data were examined using spatial pattern analysis.The results of this study indicate that the village toponyms in Cilongok sub-district were influenced by physico-natural, physico-artificial, and non physico-artificial phenomena. The village toponyms in Cilongok sub-district is the result of assimilation of Sundanese and Javanese cultures. Keywords : toponyms, ethnic migration, Cilongok, Banyumas Abstrak Letak Kecamatan Cilongok berada cukup jauh dari daerah sebaran etnik Sunda. Akan tetapi, di Kecamatan Cilongok terdapat nama-nama desa yang mengunakan istilah Sunda (Cikidang, Cilongok dan Cipete). “Ci”merupakan nama generik toponim ciri khas Sunda yang artinya air atau sungai. Selain itu, terdapat fakta-fakta yang mendukung adanya migrasi etnik, yaitu dengan ditemukannya nama tempat yang sama di daerah Jawa Barat dan Banten. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan keruangan. Objek penelitian meliputi 20 desa yang terdapat di Kecamatan Cilongok. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Analisis data menggunakan analisis pola keruangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa toponimi desa di Kecamatan Cilongok dipengaruhi olehgejala fisikal alami,gejala fisikal budayawi dan gejala non-fisikal budayawi. Adapun istilah pada toponimi di Kecamatan Cilongok adalah hasil dari asimilasi yang disebabkan oleh pembauran dua kebudayaan Jawa- Sunda. Kata kunci : toponimi, toponim, nama desa, migrasi etnik, Cilongok

identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

11

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten banyUMas dalaM PersPektif kerUangan

tommy langgeng abimanyu Pendidikan Geografi FKIP, UNS Surakarta

Jalan Insinyur Sutami No. 36A Kentingan Jebres SurakartaEmail: [email protected]

Naskah masuk: 29 - 03 - 2018Revisi akhir: 25 - 05 - 2018

Disetujui terbit: 4 - 06 - 2018

IDENTIFICATION OF VILLAGE TOPONYMY OF CILONGOK SUB-DISTRICT UNDER BANYUMAS REGENCY

Abstract

The location of Cilongok subdistrict, which is under Banyumas Regency, is quite far from the area of the spread of Sunda ethnic group. However, in Cilongok subdistrict there are names of villages that originated fromSundanese name, such as Cikidang, Cilongok, and Cipete. “Ci”, which means water or river, is a Sundanese generic name that becomes the characteristic of toponym. In addition, there are facts that indicate there were ethnic migrations. In a number of areasin West Java there are places that have the same names with that of in Banten.The purpose of this research is to describecharacteristics of village toponyms in Sub Cilongok and to find out the factors that influence the characteristics.Using spatial approach, this qualitativeresearch studied 20 villages located in Cilongok sub-district. The data were collected from library research, observations, interviews, and related documents.The data were examined using spatial pattern analysis.The results of this study indicate that the village toponyms in Cilongok sub-district were influenced by physico-natural, physico-artificial, and non physico-artificial phenomena. The village toponyms in Cilongok sub-district is the result of assimilation of Sundanese and Javanese cultures.

Keywords : toponyms, ethnic migration, Cilongok, Banyumas

Abstrak

Letak Kecamatan Cilongok berada cukup jauh dari daerah sebaran etnik Sunda. Akan tetapi, di Kecamatan Cilongok terdapat nama-nama desa yang mengunakan istilah Sunda (Cikidang, Cilongok dan Cipete). “Ci”merupakan nama generik toponim ciri khas Sunda yang artinya air atau sungai. Selain itu, terdapat fakta-fakta yang mendukung adanya migrasi etnik, yaitu dengan ditemukannya nama tempat yang sama di daerah Jawa Barat dan Banten. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan keruangan. Objek penelitian meliputi 20 desa yang terdapat di Kecamatan Cilongok. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Analisis data menggunakan analisis pola keruangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa toponimi desa di Kecamatan Cilongok dipengaruhi olehgejala fisikal alami,gejala fisikal budayawi dan gejala non-fisikal budayawi. Adapun istilah pada toponimi di Kecamatan Cilongok adalah hasil dari asimilasi yang disebabkan oleh pembauran dua kebudayaan Jawa-Sunda.

Kata kunci : toponimi, toponim, nama desa, migrasi etnik, Cilongok

Page 2: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

12

issn 1907 - 9605

i. PendaHUlUan

Ukiran sejarah telah melahirkan toponim sebagai identitas dan jati diri bangsa yang telah merepresentasikan nilai-nilai kedaerahan, yang sejatinya merupakan cikal bakal dari nilai-nilai kebangsaan. Toponimi adalah satu bidang ilmu yang mempelajari toponim serta totalitas dari toponim dalam suatu region.1 Toponim bukan sekedar rangkaian huruf yang menunjukkan nama obyek di permukaan bumi. Terdapat informasi penting tentang nilai kearifan masyarakat melalui ungkapan-ungkapan bahasanya, menceritakan sebuah perjalanan peradaban manusia yang pernah berkembang di suatu tempat, karena manusia selalu memberi nama unsur-unsur lingkungannya sejak manusia berbudaya dan menetap di suatu tempat.

Sejarah toponimi dikenal pada era Mesir kuno, bersamaan dengan dikenalnya peta. Wilayah nusantara atau yang dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki berbagai macam sumberdaya, budaya, suku bangsa, termasuk di dalamnya bahasa daerah. Kekayaan bahasa daerah di Indonesia merupakan warisan budaya yang tak ternilai dan perlu dipertahankan.

Kecamatan Cilongok terdiri atas 20 desa, di antaranya: Batuanten, Cikidang, Cilongok, Cipete, Gununglurah, Jatisaba, Kalisari, Karanglo, Karangtengah, Kasegeran, Langgongsari, Pageraji, Panembangan, Panusupan, Pejogol, Pernasidi, Rancamaya, Sambirata, Sokawera dan Sudimara.

Letak Kecamatan Cilongok berada cukup jauh dari daerah sebaran etnik Sunda. Akan tetapi, dari 20 desa di Kecamatan Cilongok terdapat toponim yang menggunakan istilah Sunda. “Ci” merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang artinya air atau sungai. Fakta-fakta menarik lainnya adalah ditemukannya persamaan nama desa-desa di Kecamatan Cilongok dengan nama-nama tempat yang terletak di Jawa Barat dan Banten, di

1

antaranya: “Rancamaya” terletak di daerah Bogor Selatan, Jawa Barat, merupakan salah satu nama kelurahan di Kecamatan Ciawi. “Cikidang” terletak di Kabupaten Bandung Barat dan Sukabumi, merupakan nama salah satu desa dan kecamatan di Jawa Barat. “Cipete” terletak di Kecamatan Pinang, Kota Tangerang dan Kecamatan Curug, Kota Serang, keduanya merupakan nama kelurahan di Provinsi Banten. “Cilongok”, nama salah satu kampung letaknya di Desa Sukamantri, Kecamatan Pasar Kemis, Kota Tangerang, Banten.2

Peristiwa masa lampau telah membentuk toponimi sebagai manifestasi ideologi masyarakat terdahulu. Maka dari itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang telah mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok. Dalam hal ini adalah eksistensi toponim desa-desa di Kecamatan Cilongok sebagai bentuk dari gejala fisik (tangible) atau gejala non-fisik (untangible). Berdasarkan perspektif keruangan, toponimi dapat dikaji melalui pola-pola keruangannya. Pendekatan keruangan merupakan suatu metode analisis yang menekankan pada eksistensi ruang sebagai wadah untuk mengakomodasikan kegiatan manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer.3 Pola keruangan merupakan salah tema yang di ambil di antara 9 tema analisis yang terdapat pada pendekatan keruangan. Tema analisis pola keruangan secara spesifik dibagi menjadi 4 macam penggolongan, yang dikenal dengan 4 istilah utama dalam ilmu geografi, yaitu:

1) Gejala fisik alami (physico natural phenomena)

2) Gejala fisik budayawi/artifisial (physico artificial phenomena)

3) Gejala non-fisikal budayawi (non-physico cultural phenomena)

4) Gejala non-fisikal alami (non-physico natural phenomena).4

2 3 4

1 Jacub Rais, dkk., Toponimi Indonesia (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008), hlm. 5.2 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth. Accesed 10-12-2017.3 S Hadi Yunus, Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 44. 4 Ibid.

Page 3: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

13

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Geografi adalah ilmu yang berusaha menemukan dan memahami persamaan-persamaan dan perbedaan yang ada dalam ruang muka bumi.5 Sebagai ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena yang ada dalam ruang muka bumi, perspektif geografi berupaya mengkaji dan memberikan kontribusi terkait fenomena di suatu wilayah di antaranya adalah fenomena toponimi di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan keruangan. Objek pada penelitian ini adalah 20 desa yang ada di Kecamatan Cilongok. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terdiri daripada beberapa informan atau narasumber yaitu Perangkat Desa, Budayawan, Praktisi akademisi, dengan berbagai latarbelakang pengetahuan, kompetensi disiplin keilmuannya seperti Geografi, Sejarah, Antropologi, Biologi, Linguistik.6

Data sekunder pada penelitian ini merupakan hasil dokumentasi dan studi pustaka terdiri dari beberapa sumber diantaranya Literasi Sejarah, Literasi Budaya, Peta RBI, Foto Udara/Citra Google Earth. Analisis data menggunakan analisis pola keruangan yang dikombinasikan dengan spatial tipologi toponim untuk analisis pada perspektif waktu.

ii. deskriPsi lokasi

A. KondisiGeografis

Kecamatan Cilongok merupakan salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis Kecamatan Cilongok terletak antara 7⁰26’27” LS sampai 7⁰48’25” LS dan antara 109⁰10’49”

5 6

BT sampai 109⁰19’00” BT.7 Secara administratif Kecamatan Cilongok terbagi dalam 20 desa, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

a) Sebelah utara adalah Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang.

b) Sebelah timur adalah Kecamatan Kedungbanteng dan Kecamatan Karanglewas.

c) Sebelah selatan adalah Kecamatan Purwojati, Kecamatan Rawalo dan Kecamatan Patikraja.

d) Sebelah barat adalah Kecamatan Pekuncen dan Kecamatan Ajibarang.8

Berdasarkan Peta RBI Digital Badan Informasi Geospasial Tahun 2017 dan data Citra Google Earth Tahun 2017, Kecamatan Cilongok memiliki luas wilayah 10.534 ha, yang terbagi menjadi beberapa penggunaan lahan. Kecamatan Cilongok merupakan

7 8

5 I Made Sandy, “GEOGRAFI Perkembangannya di Indonesia dan Pelajaran Geografi di Sekolah Lanjutan.” Pidato Pengukuhan Dalam Jabatan Guru Besar Luar Biasa Mata Pelajaran Geografi Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Jakarta. 30 Maret 1988.

6 BIG, “Peran Toponimi dalam Pelestarian Budaya Bangsa dan Pembangunan Nasional”, Seminar, Bandung, 2013. dari http: //bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/peran-toponimi-dalam-pelestarian- budaya-bangsa-dan-pembangunan. Accessed 27-9-2017.

7 Citra Google Earth Tahun 2017, accesed 10-12-2017.8 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth Tahun 2017. Accesed 10-12-2017.

Page 4: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

14

issn 1907 - 9605

kecamatan dengan wilayah terluas, mengisi 7,93 % dari wilayah Kabupaten Banyumas.

Menurut topografinya, ketinggian rata-rata Kecamatan Cilongok dari permukaan laut adalah 225 mdpl. Ketinggian tempat di Kecamatan Cilongok berdasarkan profil melintang dari selatan ke utara yaitu berkisar antara 99 mdpl hingga 2012 mdpl, lalu berdasarkan profil melintang dari barat ke timur, ketinggian tempat di Kecamatan Cilongok berkisar antara 197 mdpl hingga 244 mdpl.9

Seluruh bentuklahan yang ada dipermukaan bumi, dalam sejarah perkembangannya mengalami suatu siklus perkembangan tertentu yang disebut siklus geomorfik (geomorphyc cycle). Siklus geomorfik digolongkan menjadi dua ciri iklim yaitu, siklus geomorfik iklim basah dan siklus geomorfik iklim kering. Bentuklahan dan permukaan bumi di Kecamatan Cilongok dipengaruhi oleh siklus geomorfik iklim basah. Wilayah Kecamatan Cilongok merupakan daerah iklim basah, didominasi oleh hutan hujan tropis. Faktor yang mempengaruhinya adalah erosi yang sistematis dari aliran sungai-sungai yang berasal dari lereng G. Slamet dan curah hujan yang tinggi di daerah hutan hujan tropis. Mengukir wilayah Kecamatan Cilongok dalam saluran yang kompleks dengan lembah-lembah yang bervariasi kemiringan maupun kedalamannya dan proses ini berlangsung terus menerus.

Kecamatan Cilongok merupakan daerah struktur vulkanik dengan faktor proses yang bekerja pada struktur tersebut adalah aliran sungai yang terus menerus mengalir. Faktor curah hujan yang tinggi di Kecamatan Cilongok memperbesar debit air sungai, serta mempercepat arus sungai, sehingga mempertinggi proses penggerusan. Geomoforlogi puncak dari G. Slamet, Jawa Tengah, dan baranco mengarahkan aliran fluvio-vulkanik ke barat daya.10 Kecamatan Cilongok terdapat di sebelah barat daya dari Puncak G. Slamet, jarak tempuh kurang lebih 58,4 km dari G. Slamet. Maka, wilayah Kecamatan

9 10

Cilongok termasuk dalam klasifikasi bentuklahan asal proses vulkanik yang terdiri atas lereng bawah gunungapi, lereng kaki fluvial gunungapi, lembah gunungapi dan dataran fluvial gunungapi.

b. kondisi sosiokultural

Etnik yang berkembang di wilayah Kecamatan Cilongok adalah kebudayaan Banyumas atau sering disebut juga dengan budaya Banyumasan. Budaya dan bahasa Banyumasan lebih akrab dijumpai di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Cilongok. Menurut Ahmad Tohari, bahasa Banyumasan sejatinya merupakan bahasa yang paling mendekati dengan bahasa Jawa Kuno (Kawi), bukti dari tidak terpengaruhnya masyarakat Banyumas oleh feodalisme.11

Unsur-unsur kebudayaan Jawa lama (Jawa kuno) dipengaruhi kebudayaan India (Hindu-Buddha) yang sejak lama telah disebarkan oleh Aji Saka.12 Kebudayaan Jawa Kuno diyakini dipengaruhi oleh Kerajaan Galuh Purba, Kerajaan Mataram pada abad ke-8, dan Kerajaan Majapahit pada abad ke-12. Selanjutnya unsur-unsur Kebudayaan Jawa Pertengahan yang diyakini dipengaruhi oleh Kerajaan Demak (1500-1550), Kerajaan Pajang (1549-1582) dan Kerajaan Mataram Islam Kasunanan Surakarta (1558-1830). Karena politik kolonial Belanda dalam pembagian wilayah kekuasaan kerajaan, Kasultanan Yogyakarta memegang kekuasaan di Jawa Timur, sedangkan Kasunanan Surakarta memegang kekuasaan di Jawa Tengah, yakni Banyumas dan sekitarnya termasuk Kecamatan Cilongok.

Menurut Yusmanto, “perkembangan budaya Banyumasan tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di sebelah utara berbatasan dengan kebudayaan Pesisir Utara, di sebelah selatan mencapai Pesisir Kidul, di sisi timur berbatasan dengan kebudayaan Kedu, dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda. Sebagai turunan dari induk kebudayaan Jawa, masyarakat

11 .12

9 Citra Google Earth Tahun 2017. Accesed 10-12-201710 Herman Th. Verstappen, Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Terj. Sutikno (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hlm. 81.11 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016.12 S. Abimanyu, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm. 47.

Page 5: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

15

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Banyumas dan sekitarnya menjunjung tinggi tradisi Jawa. Budaya Banyumasan terbentuk dari perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Jawa lama dengan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam perjalanannya kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh etnik Jawa baru, etnik Sunda, etnik Islami dan etnik Barat”.13 Sesuai pernyataan Yusmanto yang mengutip simpulan Lysloff, penggunaan akhiran “an” pada kata “Banyumas” menunjukkan lokalitas atau kekhususan, seperti pada kata “Semarangan”, “Jawa Timuran”, “Surabayan”, “Magelangan”, dan lain-lain. Penggunaan akhiran “an” berkaitan dengan pandangan cenderung dimaksudkan untuk mengecilkan.14 Hal ini menunjukkan bahwa Budaya Banyumasan terdapat di dalam satu lingkup kebudayaan yang lebih besar, yakni budaya Jawa. Jauhnya wilayah Banyumas dari pusat kekuasaan kraton membuat corak kebudayaan tersendiri, kebudayaan pinggiran kalangan rakyat yang jauh dari hegemoni kehidupan kraton. Kebudayaan ini tumbuh berkembang di kampung-kampung/dusun-dusun, sebagai wujud tradisi dari kehidupan rakyat kecil.15

iii. toPoniMi desa kecaMatan cilongok

Nama tempat selalu berasosiasi atau diasosiasikan dengan berbagai bentuk fenomena alam yang hadir atau pernah hadir di tempat atau sekitar tempat yang menyebabkan setiap wilayah memiliki faktor yang berbeda-berbeda dalam penciptaan sebuah nama. Di Indonesia, sejarah asal-usul toponim banyak dijumpai melalui cerita rakyat atau legenda, baik itu secara lisan maupun tulisan. Pada dasarnya legenda merupakan cerita sejarah, namun lama-kelamaan bercampur dengan bumbu-bumbu tambahan yang bukan merupakan kejadian sebenarnya. Sehingga pada hakikatnya, semua legenda terdapat benang merahnya dengan sejarah.

13 14 15

Dalam kaitannya dengan toponimi, proses-proses terciptanya toponim desa-desa di Kecamatan Cilongok berasosiasi dengan dengan kenampakan fenomena geosfera yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Ruang sebagai pangkal pemikiran geografi, waktu sebagai pangkal pemikiran sejarah. Karena pada dasarnya, rancangan sejarah tidak akan mencapai tujuannya tanpa memperhatikan faktor geografis. Dalam perspektif keruangan, waktu digunakan sebagai dasar acuan kapan suatu fenomena dalam ruang muka bumi tercipta atau terbentuk. Dinamika ruang di pengaruhi oleh perubahan bentuk fisik bentang alam, secara geomorfologi yang disebabkan oleh tenaga endogen maupun eksogen.

a. toponimi desa kecamatan cilongok dalam Perspektif keruangan

Toponimi desa di Kecamatan Cilongok dalam pendekatan geografi yang dapat dikaji menurut pola-pola keruangan Yunus, yaitu pola-pola keruangan yang ditinjau dari segi ekspresi keruangannya. Geografi ialah ilmu dengan identitas spasialnya, substansi kajiannya meliputi aspek fisik dan non-fisik. Gejala fisik adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan penamaan toponimi yang eksistensinya menunjukan bentuk yang dapat disentuh secara fisik (tangible). Gejala non-fisik adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan penamaan toponim yang tidak dapat disentuh secara fisik (untangible). macam penggolongan, yang dikenal dengan 4 istilah utama dalam ilmu geografi, yaitu: (a) gejala fisik alami, meliputi: hidrologis (sungai), morfologis/ fisiografis, (pegunungan, perbukitan, lembah), biodiversitas (flora, fauna), (b) gejala fisik budayawi/artifisial, meliputi: fisik buatan (permukiman, gedung, jalan), (c) gejala non-fisikal budayawi, meliputi: antroposfer (sosial, politik, tradisi), (d) gejala non-fisikal alami, meliputi: suhu dan iklim.16

16

13 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016.14 Lysloff dalam Yusmanto, “Calung (Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas),” Tesis. (Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2006), hlm. 38.15 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016.16 Yunus, Hadi, S, Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 44.

Page 6: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

16

issn 1907 - 9605

Tabel 1. Faktor-faktor yang telah mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok.

No Gejala Unsur-unsur Nama Desa Makna Toponim

1. Fisikal alami Hidrologis (sungai), morfologis/ fisiografis, (pegunungan, perbukitan, lembah), biodiversitas (flora, fauna)

CikidangSungai dan Kidang/Kijang

CilongokMata air yang muncul

Gununglurah Pegunungan yang terdapat pusaka lurah

Karanglo Perkampungan yang sekitarnya banyak di tumbuhi Pohon Lo/Loa/Elo/Ara

Rancamaya RawaSambirata Pohon Kesambi di tempat yang

rataSokawera Bunga Soka yang tumbuh di

tanah yang indah, lebar dan rata2. Fisikal

budayawi/artifisial

Fisik buatan (permukiman, gedung, jalan), Karangtengah Perkampungan di tengah sawah

3. Non-fisikal budayawi

Antroposfer (sosial, politik, tradisi) Batuanten Mbantu BantenCipete Cupet/sempitJatisaba Pesabane Raden Jati AnomKalisari kalikidang dan KarangsariKasegeran Seger/segarLanggongsari Anggang-enggong ilang

trenggonge/mondar-mandir ditempat yang asri

Pageraji Ajian pengaman desaPanembangan Orang yang dipertuanPanusupan Tlasap-tlusup/ menyusup

masuk kedalam hutan/lewat secara sembunyi-sembunyi

Pejogol Gogol/tumbangPernasidi Kaki PernasidiSudimara Bersedia hadir

Sumber: hasil wawancara, dokumentasi, studi literatur/pustaka

a. gejala fisikal alami

1) Cikidang Nama “Cikidang” (ci; bahasa Sunda yang

artinya “air” atau “sungai”, kidang; bahasa Sunda dan Jawa yang artinya Kijang) dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terdapat sungai dan hewan (Kidang/Kijang).

2) Cilongok Nama “Cilongok” (ci; bahasa Sunda bahasa

Sunda yang artinya “air” atau “sungai”, longok; bahasa Sunda yang artinya nengok dan bahasa Jawa yang artinya muncul).

3) Gununglurah Nama “Gununglurah” (gunung; bahasa Jawa

yang artinya daerah pegunungan, lurah; bahasa

Jawa yang artinya kepala desa) dipengaruhi oleh daerah kawasan pegunungan yang terdapat pusaka keris yang terkenal dengan sebutan “Pusaka Lurah”.

4) Karanglo Nama “Karanglo” (karang; bahasa Jawa yang

berarti kampung, Lo; bahasa Jawa yang berarti pohon Loa/Elo/Ara) dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terdapat Pohon Loa/Elo/Ara.

5) Rancamaya Nama “Rancamaya” (ranca; bahasa Sunda

yang artinya rawa, maya; bahasa Sunda yang artinya bayangan dan Jawa yang artinya tidak nyata) dipengaruhi oleh kenampakan sebuah rawa. Wilayah Desa Rancamaya merupakan

Page 7: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

17

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

sebuah lembah yang di aliri sungai, sehingga menunjukan dahulunya pernah terdapat rawa belakang (backswamp).

6) Sambirata Nama “Sambirata” (sambi; bahasa Jawa yang

artinya pohon Kesambi, rata; bahasa Jawa yang artinya datar) yang artinya Pohon Kesambi di tempat yang rata.

7) Sokawera Nama “Sokawera” (soka; bahasa Jawa yang

artinya bunga Soka, wera; bahasa Jawa yang artinya kondisi lingkungan yang nyaman) dipengaruhi oleh keberadaan Bunga Soka yang terdapat di lahan yang indah, lebar dan rata.

b. GejalaFisikalBudayawi/Artifisial

1) Karangtengah Nama “Karangtengah” (karang; bahasa Jawa

yang artinya kampung, tengah; bahasa Jawa yang artinya ditengah sawah) dipengaruhi oleh kampung di tengah sawah atau permukiman yang mengelompok di tengah sawah.

c. gejala non-fisikal budayawi

1) Batuanten Sejatinya bernama Bantuanten, namun terjadi

perubahan dalam pengucapan sehingga berubah menjadi Batuanten. Nama “Batuanten” (mbantu; bahasa Jawa, artinya memberikan pertolongan, Banten; nama sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Jawa).

2) Cipete Nama “Cipete” (cupet; bahasa Jawa yang

artinya sempit) dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Abdusshomad yang pada masa itu telah menyatakan ketidaksediaannya untuk bergabung dalam wilayah Kawedanan Ajibarang maupun Kawedanan Pasirluhur.

3) Jatisaba Nama “Jatisaba” (Jati; Raden Jati Anom, Saba;

bahasa Jawa yang artinya tempat/pesabane Raden Jati membuka lahan atau membabad hutan menjadi areal untuk bermukim).

4) Kalisari Nama “Kalisari” (kali; bahasa Jawa yang

diambil dari suku kata depan dari Desa kalikidang, sari; bahasa Jawa yang diambil dari suku kata belakang dari Desa Karangsari) dipengaruhi oleh penyatuan desa pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dengan menggabungkan kedua nama desa.

5) Kasegeran Nama “Kasegeran” (seger; bahasa Jawa yang

artinya segar) dipengaruhi oleh para pandita yang melakukan perjalanan dan kemudian singgah di suatu tempat. Siang hari yang panas terik, mereka disuguhi buah pepaya yang rasanya segar.

6) Langgongsari Nama “Langgongsari” (langgong; anggang-

enggong ilang trenggonge bahasa Jawa yang artinya mondar-mandir kebingungan, sari; bahasa Jawa yag artinya asri) dipengaruhi oleh para pandita yang melakukan perjalanan. Dalam perjalanannya, menjelang malam para pandita kehilangan arah dan mondar-mandir kebingungan di tempat yang asri.

7) Pageraji Nama Pageraji (pager; bahasa Jawa yang

artinya pengaman, aji; bahasa Jawa ajian). Nama Pageraji diciptakan pada saat masa pemerintahan Sultan Trenggono (Raja Demak) yang artinya ajian pengaman desa.

8) Panembangan Nama “Panembangan” (panembahan; bahasa

Jawa artinya yang dipertuan) dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Singadipa yang merupakan kerabat Kraton Surakarta Hadiningrat sebagai orang yang dipertuan.

9) Panusupan Nama “Panusupan” (tlasap-tlusup; bahasa Jawa

yang artinya menyusup masuk kedalam hutan/lewat secara sembunyi-sembunyi) dipengaruhi oleh kondisi wilayah pada masa lampau yang merupakan areal hutan yang lebat.

Page 8: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

18

issn 1907 - 9605

10) Pejogol Nama “Pejogol” (gogol; bahasa Jawa yang

artinya tumbang/kalah) dipengaruhi oleh di wilayah ini Raden Kamandaka kalah dan gugur dalam peperangan.

11) Pernasidi Nama “Pernasidi” (pernasidi; bahasa Jawa yang

merupakan nama seorang tokoh masyarakat) telah dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Kaki Pernasidi yang telah berjasa membantu proyek pembangunan jalan yang di pimpin oleh Daendels pada masa pemerintahan Kolonial (Hindia-Belanda).

12) Sudimara Nama “Sudimara” (sudi; bahasa Jawa yang

artinya bersedia, mara; bahasa Jawa yang artinya hadir) dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama Abdusshomad (tokoh Islam) yang atas bersedia hadir untuk menemui Sudirekso (tokoh Kejawen).

Spatial tipologi toponim akibat dari gejala fisikal alami dan fisikal budayawi secara umum telah dipengaruhi oleh letak geografis Kecamatan Cilongok yang berada di sebelah barat daya dari

puncak G. Slamet (3.428 mdpl). Aktivitas vulkanis pada masanya telah membentuk variasi kenampakan mukabumi wilayah Kecamatan Cilongok. Catatan letusan G. Slamet diketahui sejak abad ke-19, dan sebagaimana seperti gunungapi lainnya yang terdapat di Pulau Jawa, G. Slamet terbentuk akibat subduksi lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa.

G. Slamet merupakan gunungapi tipe strato dengan tipe letusan campuran. Letusan campuran merupakan tipe letusan yang terjadi karena tekanan gas magma yang terkadang lemah dan besar serta sumber magmanya yang dalam. Magmanya kental dan kadang-kadang cair, sehingga magma yang keluar akan menimbulkan ledakan dan bergantian dengan lelehan membentuk puncak yang kerucut.17 G. Slamet memiliki dua kerucut akibat dari pergeseran sedikit dari pusat aktivitasnya, sebagian kenampakan utama lainnya dari gunung api tipe strato adalah terdapat jurang pengikisan yang dalam (barancos) yang lebar, asal mulanya sering akibat sesar pada puncak yang diakibatkan oleh akitivitas vulkanik. Runtuhnya dinding kawah dan lereng akan membentuk lembah lebar yang kemudian menjadi arah aliran produk vulkanik. Geomoforlogi puncak dari G. Slamet, Jawa Tengah, dan baranco mengarahkan aliran fluvio-vulkanik ke barat daya.18

Kecamatan Cilongok terdapat di sebelah barat daya dari Puncak G. Slamet. Maka dari segi gatra morfogenesanya, Kecamatan Cilongok termasuk dalam klasifikasi bentuk lahan asal proses vulkanik yang terdiri atas lereng bawah gunungapi, lereng kaki fluvial gunungapi, lembah gunungapi dan dataran fluvial gunungapi. Pada bentuk lahan asal proses vulkanik meliputi lereng kaki fluvial gunungapi dan dataran fluvial gunungapi banyak terdapat aktivitas aliran sungai, yang terdiri dari dua pola aliran sungai yaitu radial dan dendritik. Pola aliran radial sentrifugal yang menyebar dari puncak G. Slamet terdapat di sekitar kerucut G. Slamet. Sedangkan pola aliran dendritik banyak

17 18

17 I Wayan Treman, Geomorfologi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 39.18 Herman Th. Verstappen, Op. Cit. hlm. 81.

Page 9: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

19

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

terdapat pada wilayah lereng kaki G. Slamet yang pada umumnya di dominasi oleh sungai-sungai kecil yang lebarnya berkisar antara 1 sampai 3 meter. Sungai dengan pola aliran dendritik memiliki ciri-ciri di antaranya, saluran sungai mengikuti kemiringan lereng, memiliki banyak anak cabang yang kemudian bergabung ke sungai induk.

Selain itu, dengan kawasan lereng atas yang merupakan kawasan hutan hujan tropis yang masih terjaga, G. Slamet memiliki keanekaragaman dari segi flora dan fauna. Kawasan lereng G. Slamet memiliki memiliki sumber daya air yang melimpah, sehingga pemanfaatan untuk pertanian lahan basah (sawah) lebih dominan daripada pertanian lahan kering. Akibat dari pengaruh bentang alam tersebut, telah membentuk nama-nama desa di antaranya seperti Rancamaya (rawa belakang), Cilongok (mata air), Cikidang (sungai dan fauna), Gununglurah (pegunungan), Sambirata (flora), Karanglo (flora), Sokawera (flora) pada gejala fisikal alami dan Karangtengah (perkampungan/permukiman di tengah sawah) pada gejala fisikal budayawi.

Pada gejala non-fisikal budayawi pada toponimi desa di Kecamatan Cilongok telah dipengaruhi oleh kondisi sosiokultural masyarakat desa di Kecamatan Cilongok pada masa lampau, mulai dari era Klasik (Kerajaan Hindu-Buddha), era Islam (Kerajaan Islam) hingga era Kolonial (Hindia-Belanda).

Jawa Tengah memiliki riwayat kerajaan-kerajaan berbeda kepemimpinan yang telah menimbulkan legitimasi kekuasaan pada masanya, pada era Klasik (Hindu-Buddha), di antaranya adalah Kerajaan Galuh Purba (sekitar abad ke-1 sampai ke-5), Kerajaan Kalingga (abad ke-6),19 Kerajaan Mataram (abad ke-8 hingga abad ke-10), Kerajaan Sunda/Pajajaran (932-1579), dan Kerajaan Majapahit (1293-1518). Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, muncul kerajaan-kerajaan Islam pada Era Islam di antaranya adalah Kerajaan Demak (1500-1550), Kerajaan Mataram Islam/Kesultanan Yogyakarta

19

dan Kasunanan Surakarta (1558-1830). Tahun 1830 sampai akhir Perang Diponegoro, seluruh daerah Mancanegara Yogyakarta dan Surakarta dikuasai oleh Belanda. Peristiwa tersebut sebagai awal mula Era Kolonial (Hinda-Belanda) di Nusa Jawa.20 Peristiwa bersejarah pada masa-masa tersebut telah menciptakan nama-nama desa di Kecamatan Cilongok di antaranya seperti Batuanten, Cipete, Jatisaba, Pageraji, Panusupan, Panembangan, Pejogol, Pernasidi, Kalisari, Langgongsari, Kasegeran dan Sudimara..

a. era klasik (Hindu-buddha)

Pada era ini merupakan eksistensi dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, maupun masa berkembangnya Kebudayaan Jawa Kuno dan Sunda. Berikut ini situs-situs bersejarah peninggalan pada era Klasik (Hindu-Buddha):

1) Watu Lumpang Watu Lumpang atau Situs Sambirata atau Situs

Cilongok merupakan peninggalan purbakala yang terdapat di desa Sambirata.

2) Watu Janji Situs Watu Janji pada zaman dahulu menjadi

tempat bermunajat kepada Yang Maha Pencipta. Watu Janji sejatinya merupakan Arca Ganesha yang belum jadi. Situs Watu Janji terletak di Desa Gununglurah.

b. era islam (kerajaan islam)

Pada era ini merupakan eksistensi dari kerajaan-kerajaan Islam, maupun masa berkembangnya Kebudayaan Jawa Pertengahan dan Jawa Baru. Kecamatan Cilongok pernah menjadi teritorial dari Kerajaan Demak dan Kerajaan Mataram Islam/Kasunanan Surakarta. Berikut ini merupakan makam para penyebar Islam pada era Islam:

1) Makam Syaikh Abdusshomad Makam Syaikh Abdusshomad terdapat di Desa

Cipete. Syaikh Abdusshomad berasal dari

20

19 Van Der Meulen dalam Daldjoeni, N., Geografi Kesejarahan II (Bandung: Alumni Bandung, 1992), hlm. 60.20 S. Abimanyu, Op. Cit., hlm. 58-352.

Page 10: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

20

issn 1907 - 9605

Cirebon, menetap di dusun Jombor, Cipete dan mendirikan pesantren.

2) Makam Syaikh Abdussalam Makam Syaikh Abdussalam terdapat di Desa

Gununglurah. Syaikh Abdussalam merupakan seorang kerabat Mataram.

c. era kolonial (Hindia-belanda)

Pada era ini merupakan masa pemerintahan Hindia-Belanda, setelah kekalahan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 M sehingga melemahnya perlawanan terhadap kolonialisasi. Pada era ini sistem pemerintahan dirubah menjadi modern yang mengkiblat dari Eropa. Bukti dari era Kolonial adalah Monumen Poejadi Djaring Bandajoeda yang terletak di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok. Dibangun pada tahun 1977 untuk mengenang peristiwa pertempuran antara Belanda dengan para pejuang Republik Indonesia pada tahun 1949. Monumen/Tugu Poejadi Djaring Bandajoeda diambil dari nama pejuang pergerakan di wilayah Kabupaten Banyumas yaitu Kol. Inf. Poedjadi Djaring Bandajoeda (1971-1978) yang merupakan Bupati Ke-26 Kabupaten Banyumas.

iV. asiMilasi kebUdayaan

Kecamatan Cilongok terletak pada bentang budaya Jawa, karena budaya Banyumasan merupakan salah satu sub dari budaya Jawa. Bentang budaya Jawa tersebar di sebagian kecil wilayah Jawa Barat (wilayah pesisir utara seperti, Indramayu, Cirebon), seluruh wilayah Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur (kecuali Pulau Madura dan wilayah pesisir paling timur Pulau Jawa).21

Menurut Lombard, zaman dahulu wilayah Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto dan Banyumas merupakan tempat berkembangnya

21

beberapa pusat kegiatan kecil yang sibuk yang dikenal dengan nama Pasir. Pada abad ke-16 dan ke-17 daerah yang disebut Pasir ini berfungsi sebagai persinggahan Islam antara Demak dan bagian timur Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari barat, daerah ini merupakan serambi dunia Jawa.22 Kecamatan Cilongok merupakan salah satu bagian di dalamnya, karena termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Banyumas.

Leluhur Banyumas merupakan percampuran antara Majapahit dan Pajajaran. Raden Baribin, salah seorang adik dari Brawijaya IV telah menikah dengan putri Pajajaran. Keduanya menikah kemudian dikaruniai keturunan bernama Raden Joko Kahiman yang menjadi Adipati Banyumas pertama bergelar Adipati Warga Utama II atau Adipat Mrapat. Kenyataan demikian menggambarkan bahwa dari sisi historis sekalipun dapat dilihat kuatnya percampuran Jawa-Sunda dalam ranah kebudayaan Banyumas.23 Pada berbagai aspek sosiokultural dapat dilihat dengan jelas lekatnya percampuran kedua kutub etnik tersebut, khususnya dalam kaidah-kaidah Budaya Banyumasan. Menurut Ahmad Tohari, “wujud kesenian tokoh pewayangan Bagong; Jawa dan Cepot; Sunda memiliki kemiripan dari segi karakternya yang cablaka (apa adanya). Masyarakat Banyumas menyebutnya dengan nama Bawor (salah satu tokoh Punakawan yang pada umumnya dikenal dengan sebutan Bagong). Penamaan Bawor dalam pewayangan adalah salah satu contoh dari bentuk percampuran dua kebudayaan Jawa dan Sunda yang mencerminkan identitas budaya Banyumasan”.24

Secara historis bahasa Jawa Banyumasan merupakan bahasa yang paling dekat dengan bahasa Jawa Kuno.25 Sejarah kependudukan Kecamatan Cilongok tidak terlepas dari sejarah kependudukan Banyumas yang diyakini berasal dari migrasi penduduk pada abad ke-3 SM yang dilakukan oleh

22 23 24 25

21 N. Daldjoeni, Op. Cit., hlm. 61.22 D. Lombard, NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas Batas Pembaratan. Terj. Arifin W, P, dkk. (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 33.23 Sugeng Priyadi dalam Yusmanto, Lysloff dalam Yusmanto, “Calung (Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas).” Tesis, (Surakarta: Institut

Seni Indonesia, 2006), hlm. 46.24 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016.25 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016.

Page 11: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

21

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

kelompok imigran dari Kerajaan Kutai Kertanegara (sekarang Kalimantan). Berdasarkan catatan Van Der Muelen, nenek moyang orang Jawa berasal dari Kutai Kalimantan. Pada abad ke-3 SM kelompok imigran dari Kerajaan Kutai telah bermigrasi ke Pulau Jawa dan mendarat di Pantai Cirebon. Sebagian kelompok imigran menetap di sekitar G. Ceremai dengan cara mengelilingi sebelah barat G. Cermei. Adapun sisanya meneruskan ekspansinya masuk ke Jawa Tengah, dengan cara mengelilingi lereng sisi selatan G. Ceremei mengkuti aliran Ci Tanduy, yang selanjutnya menduduki lereng-lereng G. Slamet dan lembah Ci Sarayu (sekarang Sungai Serayu) di dekatnya.26 Lokasi Kecamatan Cilongok berada di sisi selatan G. Slamet, dan berada di sebelah barat Sungai Serayu.

Menurut Yusmanto, “pada era Klasik (Hindhu-Buddha), sebelah barat Lo Gawa (DAS Serayu) pada waktu itu menjadi batas teritorial dari dua Kerajaan, yaitu batas teritorial dari Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit (dikarenakan sekitar abad ke-10 Mataram runtuh, dan pada abad ke-12 dikuasai oleh Kerajaan Majapahit).

Kerajaan Pajajaran pada masanya telah menguasai sebagian besar wilayah Pulau Jawa. Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang berjajar, mulai dari kerajaan-kerajaan yang menguasai ujung barat Pulau Jawa sampai dengan bagian tengah Pulau Jawa. Eksistensi toponimi awalan “ci” di Pulau Jawa adalah sebagai salah satu bukti tanda wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran pada masanya.27

Sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-15 wilayah Kecamatan Cilongok termasuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Alhasil, sekarang melahirkan dua sub-dialek, yaitu sub-dialek wetan

26 27

kali (sisi timur sungai) dan sub-dialek kulon kali (sisi barat sungai). Sub-dialek wetan kali cenderung dekat dengan bahasa Jawa standar yang dikembangkan di wilayah negarigung. Sedangkan sub-dialek kulon kali cenderung dekat dengan bahasa Sunda. Faktanya, nama-nama desa di bagian barat Sungai Serayu banyak yang menggunakan istilah “ci”.” 28

“Sungai” dalam bahasa Indonesia, di daerah Lampung disebut dengan istilah “wai” seperti Wai Seputih. “Wai” untuk suku Maori dan Hawaii artinya air, di Tahiti menjadi “ai”, di Jawa Barat menjadi “ci”, seperti Ci Tarum dan konon kabarnya berasal dari bahasa Cina “chi” yang berarti juga air atau sungai (Rais, 2006).29 Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa asal-usul penduduk Jawa berasal dari perpindahan penduduk dari Melayu yang berasal dari Cina Selatan, yang dimulai sejak tahun 3000 SM (sesuai pendapat yang dikatakan oleh J. H. Kerm dalam buku Linguistic Materials for the determination of the Century of Origin of Malay People).30 Menurut Pires, tulisnya kira-kira pada tahun 1515, konon orang Jawa sudah lama ada kecocokan dengan orang Cina. Sebab, pernah diberitakannya kisah tentang penguasa Cina yang mengirim seorang anak perempuannya kepada vasal Jawa untuk dinikahi, diiringi dengan sejumlah besar pengikut dan sebuah kapal penuh kepeng (uang) Cina. Selain itu, karena orang Cina sudah berdagang dengan Jawa jauh sebelum ada Malaka.31

28 29 30 31

26 N. Daldjoeni, Op. Cit., hlm. 61.27 Wawancara dengan Miftahudin, pada tanggal 27-11-2016.28 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016.29 Jacub Rais, “Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria dan Peranan PBB dalam Toponimi”. Kasus Nama-Nama Pulau di

Indonesia, Jakarta 21 April 2005. hlm.2. http://geogesy.itb.gd.itb.ac.id/wedyanto/wbcontent/uploads/2006/12/arti-penting-penamaan-unsur-geografi. Accessed 27-9-2017.

30 S. Abimanyu, Op. Cit, hlm. 47.31 D. Lombard, NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terj. Winarsih P, A,

dkk. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 46.

Page 12: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018

22

issn 1907 - 9605

Sekarang, “ci” merupakan nama generik dari toponim etnik Sunda. Migrasi etnik oleh kelompok imigran Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran telah mempengaruhi terbentuknya karakteristik etnik sunda pada toponimi di Kabupaten Banyumas. Letak geografis Banyumas yang berada di sisi timur perbatasan sebaran etnik Sunda telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap toponim desa awalan “ci” di Kapubaten Banyumas. Terdapat 16 nama tempat berawalan “ci” di Kabupaten Banyumas: Cikidang, Cilongok dan Cipete (Kecamatan Cilongok), Ciberung (Kecamatan Ajibarang), Cihonje dan Cilangkap (Kecamatan Gumelar), Cidora, Cingebul dan Cirahab (Kecamatan Lumbir), Cibangkong, Cikawung dan Cikembulan (Kecamatan Pekuncen), Cikakak (Kecamatan Wangon), Ciberem (Kecamatan Sumbang), dan Cindaga (Kecamatan Kebasen). Di sebelah timur perbatasan hanya terdapat 2 nama desa berawalan “ci” yaitu, di Kecamatan Sumbang dan Kecamatan Kebasen.32

V. PenUtUP

Toponim merupakan ungkapan bahasa yang direka dengan tujuan khusus untuk logika simbolis dari suatu rupabumi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang berartikulasi, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.33

Toponimi desa di Kecamatan Cilongok telah dipengaruhi oleh gejala fisikal alami, gejala fisikal budayawi, dan gejala non-fisikal budayawi. Pada gejala fisikal alami, nama-nama desa berasal dari beberapa ciri atau karakteristik lingkungannya yang meliputi kenampakan hidrologis, morfologis/fisiografis dan biodiversitas. Pada gejala fisikal budayawi, toponimi desa di Kecamatan Cilongok

32 33

telah dipengaruhi oleh nama yang berasal dari beberapa ciri atau karakteristik lingkungannya yaitu kenampakan fisik buatan, dan yang terakhir pada gejala non-fisikal budayawi, toponimi desa di Kecamatan Cilongok dipengaruhi oleh kenampakan antroposfer, di antaranya: nama yang berasal dari nama orang lokal, orang lokal yang terkait dengan tempat tersebut, serta peristiwa bersejarah yang pengaruhi oleh peristiwa non-lokal dan lokal mulai dari era Klasik (Hindhu-Buddha), Era Islam, hingga era Kolonial (Hindia-Belanda).

Berdasarkan hasil wawancara dan studi bahasa, toponimi desa di Kecamatan Cilongok terdiri dari 16 nama desa yang menggunakan istilah dalam bahasa Jawa dan 4 nama desa yang menggunakan istilah dalam bahasa Sunda. Rancamaya, Cikidang, Cilongok dan Cipete merupakan nama-nama desa yang menggunakan istilah Sunda. Rancamaya, “ranca” yang artinya rawa. “Ci” yang artinya air atau sungai (Cilongok, Cikidang). Penamaan tempat pada wilayah tersebut telah dipengaruhi oleh gejala fisikal alami yang berasal dari beberapa ciri atau karakteristik lingkungannya, kecuali Cipete yang berasal dari kata “cupet” dalam bahasa Jawa yang artinya “sempit”. Maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan toponimi desa istilah Sunda di Kecamatan Cilongok bukan diambil dari nama tempat di Jawa Barat dan Banten.

Toponimi desa istilah Sunda di Kecamatan Cilongok merupakan hasil dari asimilasi, yang disebabkan oleh pembauran dua kebudayaan Sunda-Jawa yang disertai dengan menghilangnya ciri khas kebudayaan asli para pendatang/kelompok imigran Sunda yang telah menetap dan menamakan tempat tinggalnya pada masa Kerajaan Pajajaran.

Istilah “Ci” merupakan nama generik Sunda yang artinya “air” atau “sungai”. Tetapi, pada kenyataannya, ”ci” telah menjadi nama tempat yang umum dijumpai di beberapa wilayah Kabupaten Banyumas, khususnya wilayah Kabupaten

32 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth Tahun 2017, accesed 12-11-201733 Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 137.

Page 13: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten

23

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Banyumas bagian barat (sebelah barat Sungai Serayu), termasuk di dalamnya adalah Kecamatan Cilongok. Letak Kecamatan Cilongok yang dekat dengan G. Slamet dengan sumber daya air yang melimpah, dan pengaruh dari peristiwa pada masa era Klasik (Hindu-Buddha), era Islam hingga era Kolonial (Hindia-Belanda) telah mendatangkan

para kelompok imigran dengan corak kebudayaan berbeda sehingga menghasilkan akulturasi. Karena berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama, terciptalah kebudayaan baru (akulturasi → asimilasi), yakni budaya Banyumasan sebagai wujud dari asimilasi kebudayaan.

daftar PUstaka

Abimanyu, S., (2014). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.

BIG. (2013). Peran Toponimi dalam Pelestarian Budaya Bangsa dan Pembangunan Nasional. Seminar, Bandung. Dari http: //bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/peran-toponimi-dalam-pelestarian-budaya-bangsa-dan-pembangunan. Accessed 27-9-2017.

Daldjoeni, N., (1992). Geografi Kesejarahan II. Bandung: Alumni Bandung.

Kamus Bahasa Indonesia, (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Lombard, D., (2000). NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas Batas Pembaratan. Terj. Arifin W.P dkk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lombard, D., (2000). NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terj. Winarsih P.A dkk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rais, Jacub., (2005). Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria dan Peranan PBB dalam Toponimi. Dari http://geogesy.itb.gd.itb.ac.id/wedyanto/wbcontent/uploads/2006/12/arti-penting-penamaan-unsur-geografi. Accessed 22-9-2017.

Rais, Jacub, dkk., (2008). Toponimi Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Sandy, I Made., 1988. GEOGRAFI Perkembangannya di Indonesia dan Pelajaran Geografi di Sekolah Lanjutan. Pidato Pengukuhan Dalam Jabatan Guru Besar Luar Biasa Mata Pelajaran Geografi Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Jakarta. 30 Maret 1988.

Treman, I Wayan., (2014). Geomorfologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Vestappen, Herman. Th., (2014). Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Terj. Sutikno. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Yunus, Hadi. S., (2010). Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yusmanto., (2006). Calung (Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas. Tesis. Surakarta: Institut Seni Indonesia.

Page 14: identifikasi toPoniMi desa di kecaMatan cilongok kabUPaten