26
141 Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap Tumbuh Kembang di Kota Jambi Irawan Anasta Putra 1 , Ahmad Syauqy 2 1 Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKIK Universitas Jambi / RSUD. Raden Mattaher Jambi 2 Bagian Ilmu Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi Email : [email protected] ABSTRACT Background: Autism is developmental disorder that appears in children before the age of three and the cause is not known yet. Characteristics of autism are deficits in communication, social interaction, behavior and indigestion. Therapy for autism is not only behavioural therapy but also gluten free-casein free diet. The aim of this study is to describe the characteristics of the growth and development of children with autism at the age of 2-6 years and to see the possibility of the relationship between the pattern of microbe in tractus gastrointestinal and the growth level in children. Methods: Descriptive cross-sectional study, included 49 children with autism at the age of 2-6 years and their parents in special schools of Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH and three foundation of children with special needs in Jambi city. Result: 89,8% respondents aged 4-6 years; 87,9% dominated by boys; 87,8% autism is more common in pregnant women aged 21-35 years; 61,2% mothers had never experienced TORCH infection; 93,9% gave birth at >37-42 weeks gestation; 85,7% respondents had never experienced signs of severe breathing at birth; 89,8% had never experienced signs of meningitis or seizures; 33 parents have known about GFCF diet, but only 28 parents who apply the diet. From 28 parents; 21 replace cow’s milk to soy milk, 12 regular and discipline on the diet and 20 felts the positive effects of the diets. 49 respondents: 69,4% has normal nutritional status and 98% has suspect in development disorders. There are the relationships in statistic between the growth level of autism child with microbe Proteus mirabilis. Conclusion: The majority of children with autism at the age of 2-6 years in Jambi City have normal growth, yet fall into the category of suspect in developmental disorders. Proteus mirabilis is a microbe which has the relationships statistically with the growth level of autism children. Keywords: Autism, growth, development, pattern of microbe ABSTRAK Latar Belakang: Autisme adalah kelainan perkembangan yang terjadi pada anak yang tampak sebelum usia 3 tahun dan belum diketahui penyebab pastinya. Autisme meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku serta gangguan pencernaan. Dengan ini, peneliti ingin menggambarkan karakteristik tumbuh kembang anak penyandang autisme usia 2-6 tahun dan melihat apakah ada hubungan pola kuman saluran cerna penderita autism dengan tingkat pertumbuhan anak.

Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

141

Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

Tumbuh Kembang di Kota Jambi

Irawan Anasta Putra1, Ahmad Syauqy2

1Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKIK Universitas Jambi / RSUD. Raden Mattaher Jambi

2 Bagian Ilmu Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Email : [email protected]

ABSTRACT

Background: Autism is developmental disorder that appears in children before the age of three and the

cause is not known yet. Characteristics of autism are deficits in communication, social interaction, behavior

and indigestion. Therapy for autism is not only behavioural therapy but also gluten free-casein free diet.

The aim of this study is to describe the characteristics of the growth and development of children with

autism at the age of 2-6 years and to see the possibility of the relationship between the pattern of microbe

in tractus gastrointestinal and the growth level in children.

Methods: Descriptive cross-sectional study, included 49 children with autism at the age of 2-6 years and

their parents in special schools of Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH and three foundation of

children with special needs in Jambi city.

Result: 89,8% respondents aged 4-6 years; 87,9% dominated by boys; 87,8% autism is more common in

pregnant women aged 21-35 years; 61,2% mothers had never experienced TORCH infection; 93,9% gave

birth at >37-42 weeks gestation; 85,7% respondents had never experienced signs of severe breathing at

birth; 89,8% had never experienced signs of meningitis or seizures; 33 parents have known about GFCF

diet, but only 28 parents who apply the diet. From 28 parents; 21 replace cow’s milk to soy milk, 12 regular

and discipline on the diet and 20 felts the positive effects of the diets. 49 respondents: 69,4% has normal

nutritional status and 98% has suspect in development disorders. There are the relationships in statistic

between the growth level of autism child with microbe Proteus mirabilis.

Conclusion: The majority of children with autism at the age of 2-6 years in Jambi City have normal

growth, yet fall into the category of suspect in developmental disorders. Proteus mirabilis is a microbe

which has the relationships statistically with the growth level of autism children.

Keywords: Autism, growth, development, pattern of microbe

ABSTRAK

Latar Belakang: Autisme adalah kelainan perkembangan yang terjadi pada anak yang tampak sebelum

usia 3 tahun dan belum diketahui penyebab pastinya. Autisme meliputi gangguan komunikasi, interaksi

sosial, perilaku serta gangguan pencernaan. Dengan ini, peneliti ingin menggambarkan karakteristik

tumbuh kembang anak penyandang autisme usia 2-6 tahun dan melihat apakah ada hubungan pola

kuman saluran cerna penderita autism dengan tingkat pertumbuhan anak.

Page 2: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

142

Metode: Observasional Analitik yang melibatkan 57 anak penyandang autisme usia 2-10 tahun beserta

orangtua di SLB dan tiga yayasan pendidikan anak berkebutuhan khusus di kota Jambi.

Hasil: 77,2% responden berusia 4–6 tahun, 87,7% laki-laki mendominasi prevalensi autisme. 87,8%

autisme lebih sering terjadi pada ibu hamil usia 21–35 tahun, 61,2% ibu tidak pernah mengalami infeksi

TORCH, 93,9% melahirkan saat usia gestasi >37-42 minggu. 85,7% responden tanda–tanda gawat nafas

saat lahir, 89,8% tidak memiliki riwayat mengalami tanda-tanda meningitis maupun kejang. 33 orangtua

responden mengetahui tentang terapi diet GFCF, namun hanya 28 orangtua yang menerapkan terapi diet

GFCF. Dari 28 orangtua; 21 mengganti susu sapi dengan susu soya, 12 teratur dan disiplin menerapkan

terapi diet GFCF dan 20 merasakan dampak positif dari terapi diet GFCF. Dari 49 responden; 69.4%

status gizi normal dan 98% responden suspect gangguan perkembangan. Didapatkan hubungan yang

bermakna secara statistik antara tingkat pertumbuhan anak autism dengan kuman jenis Proteus mirabilis.

Kesimpulan: Mayoritas anak penyandang autisme usia 2-6 tahun di Kota Jambi memiliki pertumbuhan

normal namun masuk dalam kategori suspect gangguan perkembangan. Proteus mirabilis merupakan

kuman yang memiliki hubungan secara statistik dengan tingkat pertumbuhan anak autism.

Kata Kunci: Autisme, terapi diet gluten free casein free, pertumbuhan, perkembangan, pola kuman.

PENDAHULUAN

Autisme merupakan gangguan

perkembangan fungsi otak yang mencakup

bidang sosial dan afek, komunikasi verbal

(bahasa) dan non-verbal, imajinasi,

fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi

dan atensi. Ini suatu kelainan dengan ciri

perkembangan yang terlambat atau yang

abnormal dari hubungan sosial dan bahasa.

Gangguan tersebut bisa sedang sampai

berat, dan umumnya muncul pada usia di

bawah 3 tahun.1,2,3

Beberapa tahun terakhir

ini terjadi peningkatan prevalensi autisme

diseluruh dunia. Pada tahun 1987 prevalensi

autisme hanya 1 per 5000 anak. Namun,

penelitian yang dilakukan pada tahun 2006

melaporkan terjadi peningkatan kejadian

menjadi 1 per 100 anak. Di Indonesia belum

ada data pasti mengenai angka kejadian

autisme, namun data yang dilakukan Biro

Sensus Amerika menemukan bahwa

terdapat 475.000 anak di Indonesia yang

mengalami autisme pada tahun 2004.

Angka inipun belum pasti karena masih

rendahnya kesadaran dan pengetahuan

orangtua tentang autisme sehingga

mengakibatkan anaknya terlambat

terdiagnosis autisme.4

Keadaan patologis yang sering terjadi pada

anak penyandang autisme adalah sistem

pencernaan mereka yang tidak sempurna

sehingga mempengaruhi proses

pencernaan beberapa jenis makanan. Hasil

pencernaan yang tidak sempurna tersebut

dapat merusak otak sehingga memperberat

gejala autisme. Dampak lainnya adalah

anak penyandang autisme dapat mengalami

kekurangan nutrisi penting untuk tumbuh

kembangnya.5.6.7.8,9,10

Akibat dari terjadinya gangguan pencernaan

dan alergi makanan pada anak penyandang

autisme, maka mereka perlu menerapkan

Page 3: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

143

terapi diet Gluten Free Casein Free (GFCF)

dengan mengeliminasi semua jenis

makanan yang mengandung gluten dan

kasein seperti yang terdapat dalam susu,

roti dan mie instan. Dari beberapa penelitian

yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa

terapi diet GFCF dapat memperbaiki

perkembangan serta efektif untuk

meminimalisir gangguan pencernaan pada

anak penyandang autisme.11,12,13

Hal inilah yang menyebabkan peneliti ingin

menilai faktor-faktor penyebab apa saja

yang dimiliki oleh anak penyandang autisme

di kota Jambi. Tidak hanya itu, peneliti juga

ingin mengetahui dampak dari eliminasi

jenis makanan tersebut terhadap

pertumbuhan yang tergambarkan dalam

status gizi anak penyandang autisme

khususnya pada usia pertumbuhan dan

perkembangan pesat anak, yaitu usia 2

sampai 6 tahun. Peneliti juga ingin menilai

sejauh mana tingkat abnormalitas

perkembangan anak penyandang autisme

dengan metode pemeriksaan Denver.

Secara khusus, peneliti berharap hasil

penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk

pengembangan program kesehatan dan

pendataan kejadian autisme di Provinsi

Jambi. Selain itu juga peneliti ingin melihat

apakah ada hubungan pola kuman saluran

cerna penderita autism dengan tingkat

pertumbuhan anak.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

obeservasional analitik untuk mengetahui

hubungan pola kuman saluran cerna

penderita autisme dengan tingkat

pertumbuhan anak. Instrumen pengumpulan

data yang digunakan untuk mengetahui

Gambaran Karakteristik Tumbuh Kembang

Anak dengan Autisme antara lain

Timbangan digital (electronic glass scale)

dengan presisi 0,1 Kg untuk menimbang

berat badan, Microtoise dengan presisi 0,1

cm untuk mengukur tinggi badan, The

Denver Developmental Screening Test

(DDST) digunakan untuk menilai

perkembangan personal sosial, motorik

kasar, motorik halus, dan bahasa anak,

Kuesioner berisi identitas dan karakteristik

responden seperti umur, jenis kelamin,

riwayat kehamilan ibu, riwayat kelahiran

anak penyandang autisme, serta terapi diet

GFCF, serta dilakukan kultur kuman dari

feses anak autisme di laboratorium

Kesehatan Daerah Jambi menggunakan alat

VITEX 2 untuk mengetahui jenis kuman

yang ditemukan pada feses di setiap anak

autisme.

HASIL

Penelitian ini dilakukan pada empat lokasi

terapi anak penyandang autisme di kota

Jambi. Satu lokasi merupakan Sekolah Luar

Biasa milik Pemerintah Provinsi Jambi,

sedangkan tiga lokasi lainnya adalah

yayasan pendidikan anak berkebutuhan

khusus yang dikelola secara mandiri.

Perincian lokasi penelitian adalah sebagai

berikut yaitu SLB Prof. Dr. Sri Soedewi

Masjchun Sofwan, SH dengan jumlah anak

penyandang autisme yang aktif saat ini

sebanyak 42 anak dari berbagai usia.

Yayasan Pendidikan Buah Hati (Sekolah

Autis Kiddy) Jumlah anak dengan

berkebutuhan khusus 38 orang, sekitar 29

anak diantaranya merupakan anak

Page 4: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

144

penyandang autisme dari berbagai umur.

Sekolah ini juga memiliki program inklusi

bagi anak penyandang autisme. Yayasan

Pendidikan Bunga Bangsa terdata memiliki

34 anak penyandang autisme berbagai usia

dan Yayasan Pendidikan Harapan Mulia

(Sekolah Autis Harapan Mulia) mendidik 32

anak autisme 7 diantaranya telah mengikuti

program inklusi (telah mengikuti pola

pendidikan formal) dibeberapa sekolah

negeri di Kota Jambi.

Berdasarkan dari hasil pengumpulan data

sekunder pada empat lokasi penelitian

didapatkan 69 anak penyandang autisme

yang dibina di yayasan/sekolah tersebut.

Jumlah responden yang memenuhi kriteria

inklusi dalam penelitian ini hanya 57

responden. Responden tersebut terdiri dari

anak penyandang autisme usia 2 – 6 tahun

yang telah didiagnosa sebelumnya sesuai

dengan kriteria DSM IV 2000 dan anak yang

berusia > 6 tahun.

I. Karakteristik Sampel

1. Karakteristik sampel menurut usia

Tabel 1 distribusi karakteristik sampel menurut

usia

Kategori Usia Jml (%)

2 – 3 Tahun 5 8,8

4 – 6 Tahun 44 77,2

> 6 Tahun 8 14

Total 57 100

Berdasarkan tabel didapatkan bahwa 44

anak penyandang autisme (77,2%) masuk

dalam kategori umur 4 – 6 tahun, 5 anak

(8,8%) masuk dalam kategori umur 2 – 3

tahun dan 8 anak (14%) masuk dalam

kategori umur >6 tahun. Mayoritas

responden dalam penelitian ini berumur 5

tahun (25 anak) dan hanya 1 responden

yang berumur 2 tahun.

2. Karakteristik berdasarkan Jenis

Kelamin

Tabel 2 distribusi responden berdasarkan Jenis

Kelamin

Jenis Kelamin Jml (%)

Laki – Laki 50 87,7

Perempuan 7 12,3

Total 57 100

tabel didapatkan bahwa bahwa 50 anak

penyandang autisme (87,7%) berjenis

kelamin laki – laki dan 6 anak penyandang

autisme (12,3%) berjenis kelamin

perempuan.

3. Karakteristik berdasarkan riwayat

kehamilan ibu

a. Riwayat Usia Ibu Saat Hamil

Tabel 3 Distribusi Riwayat Usia Ibu Saat Hamil

Usia Ibu

Saat Hamil

Jumlah

Persentase

(%)

21 – 35 Tahun 43 87,8

>35 Tahun 6 12,2

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat usia ibu saat hamil. Berdasarkan

tabel 4.3 didapatkan bahwa 43 ibu dari anak

penyandang autisme (87,8%) tergolong

berusia 21 -35 tahun saat hamil anak

Page 5: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

145

tersebut, sedangkan sisanya yaitu 6 ibu

(12,2%) tergolong berusia lebih dari 35

tahun saat hamil anak tersebut.

b. Riwayat Ibu Mengidap Infeksi TORCH.

Tabel 4 Distribusi Riwayat Ibu Mengidap Infeksi

TORCH.

Infeksi TORCH Jml (%)

Ya 1 2,0

Tidak 30 61,2

Tidak Tahu 18 36,7

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat ibu yang mengidap infeksi TORCH.

Berdasarkan tabel didapatkan bahwa 30 ibu

dari anak penyandang autisme (61,2%)

terdata tidak pernah terdiagnosa mengidap

infeksi TORCH saat mengandung anaknya

yang mengalami autisme. Ibu tersebut

pernah melakukan skrining TORCH saat

hamil, namun hasil tes menunjukkan negatif

TORCH. Hanya satu ibu (2,0%) yang

terdiagnosa secara laboratoris mengalami

infeksi TORCH saat hamil anaknya yang

mengalami autisme. Terdata 18 ibu tidak

pernah melakukan pemeriksaan TORCH

saat hamil (36,7%), sehingga 18 responden

tidak tahu apakah mereka mengidap infeksi

TORCH atau tidak. Hal ini dikarenakan

responden tidak merasa mengalami keluhan

dan merasa tidak memerlukan pemeriksaan

tersebut.

4. Karakteristik menurut Riwayat

Kelahiran Anak

a. Riwayat Usia Gestasi

Tabel 5 Distribusi Karakteristik Responden

Penelitian Berdasarkan Usia Gestasi Saat Anak

Tersebut Dilahirkan

Usia Gestasi Jumlah (%)

<37 minggu 3 6,1

>37 – 42 minggu 46 93,9

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat usia gestasi. Berdasarkan tabel

didapatkan bahwa 46 ibu melahirkan

anaknya yang mengalami autisme pada usia

kandungan > 37 – 42 minggu atau aterm

(93,9%). Sedangkan 3 ibu melahirkan

anaknya yang mengalami autisme pada usia

kandungan <37 minggu atau preterm

(6,1%).

b. Riwayat Mengalami Tanda - Tanda

Gawat Nafas Saat Anak Lahir.

Tabel 6 Distribusi Riwayat Mengalami Tanda -

Tanda Gawat Nafas Saat Anak Lahir

Tanda – Tanda

Gawat Nafas

Jumlah

Persentase

(%)

Ya 7 14,3

Tidak 42 85,7

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat mengalami tanda-tanda gawat nafas

saat anak lahir. Berdasarkan tabel 4.6

didapatkan dari laporan orangtua bahwa 42

anak tidak pernah mengalami tanda – tanda

gawat nafas setelah kelahirannya (85,7%).

Sedangkan hanya 7 anak yang pernah

Page 6: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

146

mengalami tanda – tanda gawat nafas saat

lahir (14,3%).

c. Riwayat Anak Mengalami Tanda-Tanda

Meningitis.

Tabel 7 Distribusi Riwayat Anak Mengalami

Tanda-Tanda Meningitis

Tanda – Tanda

Meningitis

Jumlah

(%)

Ya 5 10,2

Tidak 44 89,8

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat anak yang mengalami tanda-tanda

meningitis. Berdasarkan tabel didapatkan

dari laporan orangtua bahwa 44 anak

penyandang autisme usia 2 – 6 tahun tidak

pernah mengalami tanda – tanda meningitis

(89,9%). Sedangkan hanya terdapat 5 anak

penyandang autisme (10,2%) yang pernah

mengalami tanda – tanda meningitis.

d. Riwayat Anak Mengalami Tanda-Tanda

Kejang.

Tabel 8 Distribusi Riwayat Anak Mengalami

Tanda-Tanda Kejang

Tanda – Tanda

Kejang

Jumlah

Persentase

(%)

Ya 5 10,2

Tidak 44 89,8

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

riwayat anak yang mengalami tanda-tanda

kejang. Berdasarkan tabel menurut laporan

dari orangtua anak penyandang autisme

usia 2 – 6 tahun di Kota Jambi, bahwa

terdapat 44 anak penyandang autisme usia

2 – 6 tahun tidak pernah mengalami tanda –

tanda kejang (89,8%). Sedangkan hanya 5

anak penyandang autisme (10,2%)

dilaporkan pernah mengalami tanda – tanda

kejang.

5. Karakteristik Anak Penyandang

Autisme Usia 2 – 6 Tahun di Kota

Jambi Menurut Terapi Diet Gluten Free

Casein Free (GFCF).

a. Pengetahuan Orangtua Tentang Terapi

Diet GFCF.

Tabel 9 Distribusi Pengetahuan Orangtua

Tentang Terapi Diet GFCF

Pengetahuan

Diet GFCF

Jumlah

Persentase

(%)

Tahu 33 67,3

Tidak 16 32,7

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

Pengetahuan Orangtua Tentang Terapi Diet

GFCF. Berdasarkan tabel didapatkan bahwa

33 orangtua dari anak penyandang autisme

usia 2 – 6 tahun di kota Jambi (67,3%)

mengetahui tentang terapi diet Gluten Free

Casein Free (GFCF). Sedangkan 16 ibu

lainnya (32,7%) tidak mengetahui tentang

terapi diet Gluten Free Casein Free (GFCF).

b. Penerapan Metode Diet GFCF pada

Anak Autism.

Page 7: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

147

Tabel 10 Distribusi Penerapan Metode Diet

GFCF pada Anak Autism

Penerapan Diet

GFCF

Jumlah

Persentase

(%)

Ya 28 84,8

Tidak 5 15,2

Total 33 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 33 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

waktu awal penerapan metode diet GFCF

Berdasarkan tabel didapatkan dari 33

orangtua yang mengetahui terapi diet GFCF

hanya 28 orangtua dari anak penyandang

autisme usia 2 – 6 tahun di Kota Jambi yang

menerapkan metode diet GFCF pada anak

mereka (84,8%). Sedangkan ada 5 orangtua

yang mengetahui tentang terapi diet GFCF,

namun tidak menerapkan metode terapi diet

tersebut kepada anak mereka yang

mengalami autisme (15,2%).

c. Waktu Awal Penerapan Metode Diet

GFCF pada Anak Autism.

Tabel 11 Distribusi Penerapan Metode Diet

GFCF pada Anak Autism

Waktu Mulai Jumlah (%)

Sejak Terdiagnosa

Autisme 18 64,3

Tidak Langsung

Menerapkan 10 35,7

Total 28 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 28 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

Waktu Awal Penerapan Metode Diet GFCF.

Berdasarkan tabel didapatkan bahwa dari

28 ibu yang menerapkan metode diet GFCF

pada anaknya yang mengalami autisme,

terdata 18 ibu yang menerapkan metode

diet GFCF pada anaknya sejak anak

terdiagnosa autisme (64,3%), sedangkan

sisanya yaitu 10 ibu yang menerapkan

metode diet GFCF tidak langsung

menerapkan metode diet tersebut kepada

anak mereka (35,7%). Dengan alasan,

karena orangtua terlambat dalam

mengetahui informasi metode diet GFCF

untuk anak autisme.

d. Jenis Minuman Pengganti Susu Sapi

dalam Penerapan Metode Diet GFCF

pada Anak Autism.

Tabel 12 Distribusi Jenis Minuman Pengganti

Susu Sapi dalam Penerapan Metode Diet GFCF

Minuman

Pengganti

Jumlah

Persentase

(%)

Susu Soya 21 75,0

Air Putih 4 14,3

Sari Kacang

Hijau 2 7,1

Air Tajin 1 3,6

Total 28 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 28 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat jenis

minuman pengganti susu sapi dalam

penerapan Metode Diet GFCF. Berdasarkan

tabel dari 33 responden yang mengetahui

metode terapi diet GFCF, hanya 28 ibu yang

menerapkan metode diet GFCF pada

anaknya yang mengalami autisme. Terdata

dari 28 ibu tersebut, 21 anak diberikan susu

soya sebagai pengganti susu sapi (75%), 4

anak yang diberikan air putih sebagai

pengganti susu sapi (14,3%), 2 anak yang

Page 8: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

148

diberikan susu sari kacang hijau sebagai

pengganti susu sapi (7,1%) dan sisanya 1

anak yang diberikan air tajin sebagai

pengganti susu sapi (3,6%).

e. Keteraturan dan Kedisiplinan Orangtua

dalam Menerapkan Diet GCFC pada

Anak Autism.

Tabel 13 Distribusi Keteraturan dan Kedisiplinan

Orangtua dalam Menerapkan Diet GCFC

Keteraturan &

kedisiplinan

Orangtua

Jumlah

Persentase

(%)

Ya 12 42,9

Tidak 16 57,1

Total 28 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 28 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

keteraturan dan kedisiplinan orangtua dalam

menerapkan diet GCFC. Berdasarkan tabel

didapatkan bahwa dari 28 ibu yang

menerapkan metode diet GFCF pada

anaknya yang mengalami autisme, terdata

hanya 12 ibu yang disiplin menerapkan

metode diet GFCF dalam menu makanan

sehari – hari anaknya (42,9%), sedangkan

16 ibu tidak disiplin dan teratur dalam

menerapkan metode diet GFCF tersebut

pada anaknya yang mengalami autisme

(57,1%).

f. Pengaruh Positif Dari Metode Diet GFCF

pada Anak Autism.

Dari 57 sampel penelitian hanya 28 anak

yang datanya bisa diolah untuk melihat

pengaruh diet GFCF. Berdasarkan tabel

didapatkan bahwa dari 28 ibu yang

menerapkan metode diet GFCF pada

anaknya yang mengalami autisme, terdata

20 orangtua merasakan dampak positif dari

metode diet GFCF (71,4%), sedangkan

sisanya yaitu 8 orangtua tidak merasakan

manfaat positif dari penerapan metode diet

GFCF pada anaknya (28,6%). Dari 8

orangtua tersebut, 6 diantaranya tidak

teratur dan disiplin dalam menerapkan

metode diet GFCF. Sehingga kelompok

orangtua tersebut tidak merasakan

pengaruh positif dari penerapan diet GFCF

pada anaknya.

Tabel 14 Distribusi Pengaruh Positif Dari Metode

Diet GFCF

Pengaruh Positif

Diet GFCF

Jumlah

Persentase

(%)

Ada 20 71,4

Tidak 8 28,6

Total 28 100

II. Tumbuh Kembang Anak Autisme

1. Status Gizi Anak Autisme Berdasarkan

Indeks Massa Tubuh (IMT).

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk penentuan

IMT. Berdasarkan tabel diketahui bahwa 49

anak penyandang autisme di Kota Jambi,

terdapat sekitar 34 anak (69,4%) masuk

dalam kategori normal, 8 anak lainnya

(16,3%) masuk dalam kategori status gizi

gemuk, 3 anak (6,1%) masuk dalam kategori

kurus, 3 anak (6,1%) masuk dalam kategori

sangat kurus dan 1 anak (2,0%) masuk

dalam kategori obesitas.

Page 9: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

149

Tabel 15 Status Gizi Berdasarkan Indeks Massa

Tubuh (IMT)

(IMT) Jumlah (%)

Sangat Kurus 3 6,1

Kurus 3 6,1

Normal 34 69,4

Gemuk 8 16,3

Obesitas 1 2,0

Total 49 100

2. Perkembangan Anak Autisme

Tabel 16 Distribusi Perkembangan Anak

Autisme

Denver II Jumlah (%)

Normal 1 2,0

Suspect 48 98,0

Total 49 100

Dari 57 sampel penelitian hanya 49 anak

yang datanya bisa diolah untuk penentuan

Berdasarkan tabel diketahui bahwa 49 anak

penyandang autisme usia 2 – 6 tahun di

Kota Jambi, terdapat 48 anak (98,0%)

masuk dalam kategori suspect atau

kemungkinan mengalami gangguan

perkembangan. Sedangkan satu anak

(2,0%) terdeteksi memiliki perkembangan

normal.

III. Gambaran Pola Kuman Pada Saluran

cerna anak dengan autism

Dari 57 sampel penelitian, hanya 28 orang

anak yang bersedia mengumpulkan sampel

feses untuk selanjutnya dilakukan kultur di

laboratorium kesehatan daerah Jambi. Hasil

kultur tersebut menggambarkan jenis kuman

yang dapat diidentifikasi sebagai

representasi kuman yang ada pada saluran

cerna anak dengan autism. Hasil kultur yang

didapatkan tampak pada tabel di bawah ini.

Tabel 17 Distribusi jenis kuman pada feses anak

autism

Jenis kuman Jumlah (%)

Escherichia coli 25 89,3

Enterococcus faecalis 4 14,3

Klebsiella pneumoniae ssp 4 14,3

Enterobacter cloacae 1 3,6

Providencia stuartii 1 3,6

Proteus mirabilis 4 14,3

Pantoea spp 1 3,6

Enterococcus faecium 3 10,7

Aeromonas salmonicida 1 3,6

Enterococcus avium 1 3,6

Klebsiella rhinoscleromatis 1 3,6

Acinobacter baumanii 1 3,6

Escherichia fergusonii 1 3,6

Enterococcus durans 1 3,6

Sphingomonas

paucimobilis 1 3,6

Total anak yang diperiksa 28 100

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa

kuman yang terbanyak ditemukan adalah

jenis Escherichia coli yaitu ditemukan pada

25 orang anak (89,3%) dan yang sedikit

ditemukan adalah jenis Enterobacter

cloacae, Providencia stuartii, Pantoea spp,

Aeromonas salmonicida, Enterococcus

avium, Klebsiella rhinoscleromatis,

Acinobacter baumanii, Escherichia

fergusonii, Enterococcus durans, dan

Sphingomonas paucimobilis dengan

masing-masing hanya terdapat pada satu

orang anak (3,6%).

Page 10: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

150

Sebagai perbandingan, pada tabel berikut

ini ditampilkan daftar kuman yang secara

normal sering terdapat pada feses.39

Tabel 18 distribusi jenis kuman yang normal

terdapat pada feses

Daftar jenis kuman yang secara normal sering

terdapat pada feses

Propionibacterium Bacillus sp

Eubacterium Bacteroides

Fusobacterium Veillonella

Staphylococcus Ruminococcus

Peptococcus Coprococcus

Acidaminococcus

Catenabacterium

Peptostreptococcus

Jika dibandingkan antara kuman yang

ditemukan pada feses anak normal dengan

kuman yang terdapat pada feses anak

autism, maka dapat dilihat bahwa seluruh

kuman pada feses anak autisme bukan

merupakan kuman normal yang ada pada

feses.

IV. Hubungan Pola Kuman pada saluran

cerna anak autism dengan tingkat

pertumbuhan

Dari 28 sampel yang telah dikultur fesesnya

kemudian dilakukan uji statistik untuk

melihat hubungannya dengan tingkat

pertumbuhan yang direpresentasikan dalam

status gizi anak autism. Berdasarkan uji

normalitas data, didapatkan bahwa data

yang terkumpul telah terdistribusi secara

normal, Uji statistik yang digunakan untuk

melihat hubungannya tingkat pertumbuhan

dengan pola kuman pada saluran cerna

anak autisme adalah uji chi square (X)

dengan tingkat kepercayaan 95% (p = 0,05).

Kriteria pengambilan kesimpulan

berdasarkan tingkat signifikan (nilai p)

adalah:

1. Apabila nilai p < ( α = 0,05) maka Ho

ditolak, artinya terdapat hubungan yang

bermakna antara kedua variabel yang di

uji.

2. Apabila nilai p ≥ ( α = 0,05) maka Ho

diterima, artinya secara statistik tidak

terdapat hubungan yang bermakna

diantara variabel yang diuji.

Jenis kuman yang dilihat korelasinya

dengan tingkat pertumbuhan anak autism

adalah empat jenis kuman terbanyak yang

dijumpai pada feses sampel yang terdiri dari

Escherichia coli, Enterococcus faecalis,

Klebsiella pneumoniae ssp, dan Proteus

mirabilis.

Tabel 19. Hasil uji statistik kuman Escherichia coli

Kuman

E. coli

Tingkat Pertumbuhan p-value

Normal Gemuk Obese Total

Tidak ada 2 1 0 0

Ada 21 1 3 3 0,158

Total 23 2 3 3

Page 11: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

151

Tabel 20. Hasil uji statistik kuman Enterococcus faecalis

Kuman

E. faecalis

Tingkat Pertumbuhan p-value

Normal Gemuk Obese Total

Tidak ada

21 1 2 24

Ada 2 1 1 4 0,169

Total 23 2 3 28

Tabel 21. Hasil uji statistik kuman Klebsiella pneumoniae

Kuman

K. pneumoniae

ssp

Tingkat Pertumbuhan p-value

Normal Gemuk Obese Total

Tidak ada

19 2 3 24

Ada 4 0 0 4 0,602

Total 23 2 3 28

Tabel 22. Hasil uji statistik kuman Proteus mirabilis

Kuman

P. mirabilis

Tingkat Pertumbuhan p-value

Normal Gemuk Obese Total

Tidak ada

22 1 1 24

Ada 1 1 2 4 0,005

Total 23 2 3 28

Berdasarkan Tabel 19 di atas, diperoleh nilai

p-value = 0,158 (α > 0,05) sehingga dapat

disimpulkan tidak terdapat hubungan antara

tingkat pertumbuhan dengan kuman

Escherichia coli.

Berdasarkan Tabel 20 di atas, diperoleh nilai

p-value = 0,169 (α > 0,05) sehingga dapat

disimpulkan tidak terdapat hubungan antara

tingkat pertumbuhan dengan kuman

Enterococcus faecalis.

Berdasarkan Tabel 21 di atas, diperoleh nilai

p-value = 0,602 (α > 0,05) sehingga dapat

disimpulkan tidak terdapat hubungan antara

tingkat pertumbuhan dengan kuman

Klebsiella pneumoniae ssp.

Page 12: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

152

Berdasarkan Tabel 22 di atas, diperoleh nilai

p-value = 0,005 (α < 0,05) sehingga dapat

disimpulkan terdapat hubungan antara

tingkat pertumbuhan dengan kuman Proteus

mirabilis.

PEMBAHASAN

I. Karakteristik sampel

Masa anak – anak merupakan suatu masa

yang pesat bagi pertumbuhan dan

perkembangan tiap anak. Kategori umur

anak dalam hal ini digunakan untuk menilai

sebaran usia anak penyandang autisme 2-6

tahun di kota Jambi. Dalam penelitian ini,

peneliti membagi kelompok umur anak

menjadi 2 yaitu, 2 – 3 tahun dan 4 - 6 tahun,

karena sebaran usia responden tidak

merata untuk tiap usia. Mayoritas responden

pada penelitian ini masuk dalam kategori

umur 4 - 6 tahun (89,8%) dari 49 total

responden. Sedangkan 10,5% responden

yang masuk dalam kategori umur 2 – 3

tahun merupakan anak penyandang autisme

yang baru/awal menjalani terapi di

sekolah/yayasan ABK. Tingginya kelompok

usia 4 – 6 tahun dikarenakan banyaknya

orangtua yang tidak terlalu peka dengan

tanda-tanda autisme. Orangtua hanya

mengetahui sifat mengamuk yang

ditunjukkan oleh anaknya sebagai

kenakalan anak pada umumnya.

Jenis kelamin dibagi dua, yaitu laki – laki

dan perempuan. Didapatkan dari hasil

penelitian ini, anak penyandang autisme

usia 2 – 6 tahun mayoritas berjenis kelamin

laki – laki (87,8%) dari 43 anak penyandang

autisme di Kota Jambi. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian case-control yang

dilakukan oleh Heidi Jeanet mengenai faktor

risiko autisme perinatal, riwayat psikologis

keluarga, dan status sosial ekonomi

keluarga di Denmark menyatakan bahwa

prevalensi autisme pada anak laki – laki

lebih banyak daripada anak perempuan.

Penelitian ini mengikutsertakan 698 anak

penyandang autisme di Denmark yang

terdata dari tahun 1972 sampai 1999. Dalam

penelitian tersebut, terdata 531 anak laki –

laki penyandang autisme dan 167 anak

perempuan penyandang autisme.14

Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian

yang dilakukan di Indonesia oleh Sri

Ramadayanti mengenai Perilaku Pemilihan

Makanan dan Diet Bebas Gluten Bebas

Kasein pada Anak Autis di SLB Negeri

Semarang tahun 2012, hasil dari penelitian

tersebut menyebutkan bahwa 80% dari 15

responden penelitian berjenis kelamin laki-

laki.15

Hideo Matsuzaki dalam penelitiannya

yang memaparkan etiologi autisme dengan

berjudul Trigger for Autism: Genetic and

Enviromental Factor, menyatakan bahwa

kejadian autisme yang lebih banyak terjadi

pada anak laki-laki dianggap karena adanya

kelainan kromosom sex yaitu kromosom X.

Hal ini dipertegas dari penelitian yang

dilakukan oleh Skuse pada kelompok anak

dengan Turner syndrome yang juga memiliki

gangguan perilaku, kognitif, hiperaktifitas,

serta instabilitas emosional. Kelompok anak

tersebut memiliki gen khusus yaitu EFHC2

pada kromosom Xp11 yang diduga memicu

gangguan-gangguan tersebut. Namun,

sampai saat ini belum ada teori pasti yang

menyatakan mengapa autisme lebih banyak

terjadi pada anak laki – laki.16

Page 13: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

153

Riwayat kehamilan Ibu Saat Hamil Anak

Tersebut. Usia ibu dibagi menjadi tiga

kategori, kurang dari atau sama dengan 20

tahun, 21 – 35 tahun dan 35 tahun keatas.

Pembagian tersebut berdasarkan risiko yang

dimiliki ibu hamil dalam kaitannya dengan

kejadian autisme pada anaknya. Dalam

penelitian ini, mayoritas ibu saat hamil anak

mereka yang mengalami autisme, tergolong

berusia 20 - 35 tahun (87,8%) sedangkan

ibu yang hamil saat berusia lebih dari 35

tahun hanya sekitar 12,2% dari total 49

responden. walaupun jumlah usia ibu yang

tergolong lebih dari 35 tahun tidak terlalu

banyak, namun hal ini perlu menjadi

perhatian karena usia ibu yang terlalu tua

saat hamil memiliki hubungan dengan

keadaan patologis saat anak lahir, seperti

risiko terjadinya BBLR, ataupun asfiksia

yang juga berhubungan dengan kejadian

autisme.14

Penelitian yang dilaporkan dalam

British Journal of Psychiatry, menyebutkan

bahwa usia calon ibu saat hamil memiliki

kaitan dengan kejadian autisme pada

anaknya. Hal ini atas dasar usia calon ibu

yang terlalu tua dapat meningkatkan risiko

bayi berat lahir rendah, asfiksia, dan juga

adanya dugaan abnormalitas kromosom

pada sel telur wanita paruh baya. Faktor –

faktor tersebut diduga memiliki hubungan

dengan kejadian autisme dan kejadian

autisme diprediksi meningkat sejalan

dengan bertambahnya usia ibu saat hamil.17

Hal inipun sejalan dengan penelitian

Advanced Parental Age and the Risk of

Autism Spectrum Disorder yang dilakukan

oleh Maureen S. Durkin pada tahun 2004

didapatkan bahwa usia maternal yang

berisiko pada 1.251 anak penyandang

autisme di US paling tinggi terdapat pada

kelompok ibu hamil usia 25 - 29 tahun

(29,3%) daripada kelompok ibu hamil usia ≥

35 tahun (14,2%). Kategori usia ibu dalam

penelitian ini juga tidak menunjukkan

sebaran yang merata. Namun, yang juga

perlu diketahui pula, Maureen menegaskan

bahwa tiap 10 tahun peningkatan usia ibu

saat hamil, juga terjadi 20% kenaikan risiko

terjadinya ASD pada anak mereka.18

Penelitian lain yang menunjukkan hasil

berbeda adalah penelitian yang dilakukan

oleh Hannah Gardener dengan judul

Prenatal Risk Factor for Autism:

Comprehensive Meta-analysis, didapatkan

terjadi peningkatan sekitar 27% kejadian

autisme pada ibu yang mengandung pada

usia lebih dari 30 tahun dan setiap 5 tahun

bertambahnya usia ibu, maka terjadi pula

peningkatan risiko autisme sekitar 7%.17

Perbedaan hasil dalam penelitian yang

peneliti lakukan dengan penelitian lainnya

mungkin disebabkan populasi autisme di

kota Jambi yang belum terdata secara pasti

sehingga peneliti hanya mengambil sampel

penelitian di empat lokasi sekolah/yayasan

anak berkebutuhan khusus di kota Jambi,

sedangkan anak penyandang autisme yang

tidak menjalani terapi di empat lokasi

penelitian tersebut tidak terdata dan tidak

menjadi responden penelitian.

Riwayat Ibu Mengidap Infeksi TORCH.

Berdasarkan hasil penelitian, 30 ibu dari

anak penyandang autisme (61,2%) tidak

pernah terdiagnosa mengidap infeksi

TORCH secara laboratoris. Hanya 1 ibu

yang secara laboratoris mengalami infeksi

TORCH (2,0%). Namun terdapat 18 ibu

yang saat hamil tidak pernah memeriksakan

Page 14: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

154

diri secara laboratoris untuk mengidentifikasi

TORCH (36,7%). Pada penelitian ini,

mayoritas responden secara laboratoris

negatif mengalami infeksi maternal, seperti

Rubella dan Cytomegalovirus (CMV) yang

tergolong dalam infeksi TORCH. Namun,

masih banyak pula responden yang tidak

mengetahui apakah selama hamil pernah

mengalami infeksi TORCH karena tidak

pernah melakukan pemeriksaan laboratoris.

Hal ini pun diperkuat karena infeksi CMV

dan Rubella sering tidak diketahui dan tidak

menimbulkan gejala. Sehingga

kemungkinan 18 responden yang tidak

melakukan pemeriksaan laboratoris bisa

saja mengalami infeksi maternal seperti

CMV dan Rubella yang memiliki kaitan

dengan kejadian autisme pada anak

mereka.18

Robert S. Fujinami menjelaskan

hasil publikasinya yang berjudul Autistic

Disorder and Viral Infections bahwa

beberapa infeksi virus selama masa

kehamilan berkaitan dengan kejadian

autisme pada anak yang dilahirkannya.

Dilaporkan oleh Robert, dari 10.000 anak

yang memiliki riwayat infeksi rubella

kongenital, 741 diantaranya mengalami

autisme. Terdapat pula beberapa kasus

infeksi maternal CMV yang mengalami

perubahan perilaku anak yang tampak pada

usia 2 tahun, hal ini dikaitkan dengan

kejadian autisme.19

Riwayat Usia Gestasi Saat Anak Tersebut

Dilahirkan. Berdasarkan hasil penelitian,

mayoritas ibu melahirkan anaknya yang

mengalami autisme pada usia gestasi >37 –

42 minggu (93,9%). Usia gestasi tersebut

masuk dalam tipe aterm atau kehamilan

cukup bulan. Hanya 3 ibu (6,1%) dari total

49 responden yang melahirkan dalam usia

gestasi < 37 minggu atau kurang bulan

(preterm). Tidak ada responden dalam

penelitian ini yang memiliki riwayat

melahirkan anaknya dalam usia gestasi > 42

minggu (postterm). Dari hasil penelitian ini,

mayoritas responden memiliki riwayat

persalinan aterm atau full term. Dimana usia

kandungan tersebut bukan merupakan salah

satu faktor risiko terjadi autisme pada anak.

Namun, kejadian autisme pada anak tidak

hanya terdiri dari satu faktor penyebab. Dan

sampai saat ini pun belum diketahuinya

penyebab pasti autisme.20-26

Dalam jurnal

ilmiah The American College of

Obstetricians and Gynecologists

menerangkan tentang definisi waktu

persalinan terbaru. Terdapat 4 kategori baru

yaitu early term yaitu usia gestasi 37 sampai

38 minggu, full term yaitu usia gestasi 39

sampai 40 minggu, late term yaitu usia

gestasi 41 minggu dan postterm yaitu usia

gestasi mencapai ≥ 42 minggu. Usia gestasi

39 – 40 minggu atau 9 – 10 bulan (full term)

lebih rendah risiko mengalami keadaan

patologis saat persalinan pada ibu dan juga

pada neonatus.27

Hasil penelitian ini belum

sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Heidi Jaenet yang menemukan risiko

tinggi autisme terjadi pada ibu yang

melahirkan dalam usia gestasi yang masih

muda (< 37 minggu), hal ini dikaitkan

dengan risiko gawat nafas pada neonatus,

ataupun keadaannya berat bayi lahir rendah

(BBLR) yang dapat terjadi pada bayi

preterm. Risiko tersebut memiliki hubungan

dengan kejadian autisme pada anak.

Sehingga dari hasil penelitian tersebut,

terdapat kaitan antara usia gestasi saat ibu

Page 15: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

155

melahirkan dengan kejadian autisme pada

anaknya.14

Hasil penelitian lainnya yaitu

beberapa penelitian yang dikumpulkan dan

dipublikasikan oleh Hannah Gardener

dengan judul Perinatal and Neonatal Risk

Factor for Autism: A Comprehensive Meta-

analysis, juga menyatakan bahwa kejadian

autisme meningkat sekitar 76% pada anak

dengan riwayat kelahiran preterm.28

Riwayat

Mengalami Tanda - Tanda Gawat Nafas

Saat Anak Lahir. Berdasarkan hasil

penelitian, mayoritas anak penyandang

autisme pada penelitian ini yang tidak

memiliki riwayat tanda – tanda gawat nafas

(85,7%) dibandingkan anak penyandang

autisme yang pernah mengalami tanda –

tanda gawat nafas saat lahir (14,3%). Dalam

penelitian ini, sebenarnya tidak terlalu

spesifik menggambarkan faktor gawat nafas

yang terjadi. Ini dikarenakan orangtua dari

anak penyandang autisme tidak mengetahui

dengan pasti apakah anak mereka pernah

mengalami gawat nafas sesaat setelah lahir.

Hasil dari pengumpulan data tersebut

didapatkan mayoritas orangtua menyatakan

bahwa anak mereka tidak pernah diberikan

intervensi seperti yang telah disampaikan

diatas atau tidak pernah mengalami tanda –

tanda gawat nafas sesaat setelah lahir.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Heidi

Jaenet untuk mencari hubungan antara

autisme dengan faktor perinatal yang salah

satunya adalah nilai APGAR dibawah 7

dalam 5 menit pertama setelah kelahiran

anak – anak yang mengalami autisme,

didapatkan hasil yang sama bahwa hanya

sekitar 18 anak dari 698 anak penyandang

yang memiliki nilai APGAR kurang dari 7

saat 5 menit pertama setelah lahir dan

membutuhkan resusitasi segera. Didalam

penelitian tersebut disimpulkan bahwa

tanda–tanda gawat nafas tidak dapat

dihubungkan dengan kejadian autisme pada

keseluruhan anak yang mengalami autisme.

Kemungkinan anak penyandang autisme

pada penelitian tersebut memiliki faktor lain

yang mengganggu perkembangannya

selama masa kehamilan.29

Penelitian yang

dilakukan oleh Hannah Gardener dengan

judul Perinatal and Neonatal Risk Factor for

Autism: A Comprehensive Meta-analysis,

menyatakan bahwa neonatus dengan

riwayat tangisan lemah, tidak menangis,

adanya tanda gawat nafas lainnya serta

membutuhkan oksigen dan resusitasi secara

signifikan meningkatkan kejadian autisme

pada anak tersebut.30

Riwayat Anak Mengalami Tanda-Tanda

Meningitis. Berdasarkan hasil penelitian,

mayoritas responden anak tidak pernah

mengalami tanda – tanda meningitis seperti

demam, pusing, lesu dan kaku/tegang pada

leher sampai kehilangan kesadaran

(89,9%), hanya 10,2% anak penyandang

autisme yang dilaporkan pernah mengalami

tanda – tanda meningitis dan dibawa ke

rumah sakit. Dalam penelitian ini, walaupun

mayoritas anak penyandang autisme

dilaporkan tidak pernah mengalami tanda –

tanda meningitis, namun sekitar 10,2 % dari

keseluruhan anak penyandang autisme

pernah mengalami tanda – tanda meningitis

yang mungkin termasuk dalam salah satu

faktor risiko terjadinya autisme bagi

responden tersebut. Penelitian epidemiologi

yang dilakukan oleh Robert S. Fujinami yang

dikumpulkan dari beberapa penelitian dunia

untuk mencari hubungan antara kejadian

Page 16: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

156

autisme dengan infeksi virus, didapatkan

hasil penelitian yang dilakukan di Israel

bahwa ada hubungan kejadian autisme

dengan anak yang mengalami infeksi

meningitis. Infeksi meningitis tersebut diduga

dapat mengganggu pertumbuhan dan

perkembangan otak anak sehingga menjadi

salah satu pencetus terjadinya autisme.31

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh

Hideo Matsuzaki yang berjudul Trigger for

Autism: Genetic and Enviromental Factor,

menyatakan bahwa anak dengan riwayat

mengalami infeksi pada otak akibat

beberapa jenis virus seperti rubella,

cytomegalovirus ataupun influenza ataupun

mikroorganisme lainnya memiliki kaitan

dengan kejadian autisme pada anak

tersebut. Namun, sampai sekarang belum

ada bukti pasti yang dapat membantu

menegaskan hubungan tersebut.32

Riwayat Anak Mengalami Tanda-Tanda

Kejang. Berdasarkan hasil penelitian,

mayoritas responden anak penyandang

autisme pada penelitian ini tidak pernah

mengalami keadaan kejang (89,8%) dan

hanya 10,2% anak penyandang autisme

yang pernah mengalami keadaan kejang,

sekali ataupun berulang. Hanya 5 anak

penyandang autisme yang dilaporkan oleh

orangtuanya pernah mengalami keadaan

kejang selama kehidupannya dengan atau

tanpa demam, dan 5 anak tersebut hanya

pernah mengalami kejang satu kali dalam

hidupnya. Hasil ini sama dengan jumlah

anak penyandang autisme yang pernah

mengalami tanda – tanda meningitis. Namun

hanya 2 dari 5 anak tersebut yang pernah

mengalami tanda – tanda meningitis dan

kejang yang mungkin merupakan salah satu

faktor risiko terjadinya autisme pada anak

tersebut. Dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Elisabeth S. Herini di RS.

Sardjito, Yogyakarta tahun 2010, didapatkan

riwayat 3 dari 4 anak yang mengalami

kejang juga mengalami autisme. Kejang

yang terjadi pada anak tersebut disertai

dengan demam, kejang yang berulang tipe

tonik-klonik dan mioklonik. Setelah kejadian

kejang tersebut, orangtua anak melaporkan

bahwa anak tersebut tidak dapat

berkomunikasi dengan baik seperti biasa,

tidak ada kontak mata, tidak berespon saat

dipanggil, serta gerakan motoriknya juga

terganggu seperti timbulnya tanda hand

flapping.33

Pengetahuan Orangtua Tentang Terapi Diet

GFCF. Berdasarkan hasil penelitian,

mayoritas orangtua dari anak penyandang

autisme mengetahui tentang terapi diet

gluten free casein free (GFCF) (67,3%).

Orangtua tersebut mengetahui apa dan

tujuan dari diet GFCF untuk anak mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya

orangtua dari anak penyandang autisme di

Kota Jambi yang mengetahui tentang diet

GFCF yang bermanfaat untuk membantu

penanganan autisme. Namun masih cukup

tinggi pula orangtua yang tidak mengetahui

dan mengenal terapi diet GFCF yaitu sekitar

32,7% orangtua. Orangtua dalam kelompok

ini hanya mengetahui terapi autisme

sebatas terapi perilaku saja. Mayoritas

orangtua yang mengetahui tentang terapi

diet GFCF mendapat informasi tersebut dari

dokter spesialis anak yang mendiagnosa

anak mereka, internet, tukar pikiran dengan

orangtua yang juga memiliki anak

penyandang autisme, dan buku. Hanya

Page 17: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

157

beberapa yayasan/sekolah terapi autisme di

kota Jambi yang memberikan pengetahuan

tentang terapi diet GFCF pada orangtua

yang anaknya diterapi di yayasan/sekolah

tersebut. Terdata 12 dari 22 orangtua di

yayasan/sekolah Autis Kiddy yang

menyatakan tidak pernah mengenal atau

mengetahui tentang terapi diet GFCF untuk

anak penyandang autisme. Sedangkan 3

lokasi penelitian lainnya menunjukkan

mayoritas orangtua mengetahui terapi diet

GFCF daripada orangtua yang tidak

mengetahui terapi diet GFCF. Penelitian

yang sama dilakukan oleh Asmika pada 20

orangtua dari anak penyandang autisme

yang diterapi di Pusat Terapi A-Plus Dharma

Wanita PUNM Kota Malang tahun 2003,

didapatkan bahwa semua orangtua

mengetahui tentang diet GFCF sebagai

salah satu terapi yang harus diterapkan

untuk anak penyandang autisme.31

Penelitian lainnya dilakukan oleh Dwi Murni

Mujiyanti di Yayasan Keluarga Istimewa

Indonesia dan SDN Perwira Bogor 2011,

Didapatkan cukup banyaknya ibu yang tidak

mengenal terapi diet GFCF (35%), dilihat

dari masih tingginya presentasi ibu yang

tidak mengetahui susu sapi dan tepung

terigu merupakan makanan yang harus

dihindari untuk anak penyandang autisme.32

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

hasil penelitian yang peneliti lakukan untuk

menggambarkan pengetahuan orangtua dari

anak penyandang autisme di Kota Jambi

mengenai terapi diet GFCF. Dalam

penelitian ini, masih cukup tinggi pula

presentase orangtua dari tiap

yayasan/sekolah ABK di kota Jambi yang

tidak mengetahui terapi diet GFCF yang

juga bermanfaat untuk perbaikan perilaku

autisme (32,7%).

Penerapan Metode Diet GFCF pada Anak

Tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dari

orangtua yang mengetahui tentang terapi

diet GFCF, hanya 84,8% yang menerapkan

metode diet GFCF pada anak mereka.

Sedangkan 15,2% dari orangtua yang

mengetahui tentang terapi diet GFCF dan

paham akan maksud dan tujuan dari diet

tersebut, namun tidak menerapkan metode

diet tersebut pada anak mereka. Mayoritas

orangtua beralasan anak mereka tidak mau

makan makanan diet GFCF tersebut karena

rasanya tidak mereka suka, anak menjadi

susah makan bahkan mengamuk jika

makanan yang mereka suka tidak ada

dalam menu sehari-hari, merasa kasihan

jika melihat anak menangis akibat tidak

diperbolehkan membeli ice cream.

Penerapan metode terapi diet GFCF

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal

berasal dari dalam diri anak penyandang

autisme serta dari ibu mereka, sedangkan

faktor eksternal berasal dari lingkungan

termasuk orang-orang sekitar,

sekolah/yayasan dan keluarga dekat yang

konsisten membantu dan mendukung

penerapan diet GFCF. Dua faktor ini saling

terkait agar penerapan metode diet GFCF

dapat berjalan dengan baik.15

Hasil

penelitian ini sama dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sri Ramadayanti yang

dilakukan di SLB Negeri Semarang tahun

2012, didapatkan 6 dari 15 orangtua anak

penyandang autisme tidak menerapkan

metode diet GFCF kepada anaknya. Serta

penelitian yang dilakukan oleh Amilia

Page 18: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

158

Destiani Sofia di SLBN Cileunyi dan

Yayasan Pelita Hafizh Bandung tahun 2012

Hanya sebagian kecil ibu dari anak

penyandang autisme di lokasi penelitian

tersebut yang menerapkan metode diet

GFCF pada anaknya (15%).15

Waktu Awal

Penerapan Metode Diet GFCF pada Anak

Tersebut. Berdasarkan hasil penelitian

terhadap 28 orangtua yang menerapkan

metode diet GFCF pada anaknya yang

mengalami autisme, mayoritas orangtua

(64,3%) menerapkan diet GFCF sejak dini

saat anak mereka terdiagnosa autisme.

Pada umumnya, orangtua mengetahui dan

mendapatkan edukasi mengenai terapi diet

GFCF dari dokter anak yang telah

mendiagnosa autisme pada anak mereka.

Edukasi tersebut tidak hanya tentang

makanan apa yang harus dieliminasi namun

juga kapan waktu yang tepat untuk

menerapkan diet GFCF pada anak.

Modifikasi diet dan terapi perilaku anak

penyandang autisme harus diterapkan sejak

dini, bahkan saat anak tersebut masih

menunjukkan gejala ringan autisme. Terapi

perilaku dan modifikasi diet yang dilakukan

segera tersebut dapat membantu

mengurangi gejala autisme dan pada

akhirnya memperbaiki perilaku anak

penyandang autisme. Namun, yang perlu

diketahui oleh tiap orang terutama orangtua

adalah apapun metode terapi untuk

penyandang autisme tidak akan

memberikan hasil positif dalam waktu yang

cepat. Perlu waktu secara bertahap dan

tentunya kesabaran serta komitmen

orangtua dan lingkungan sekitar untuk dapat

menerapkan terapi autisme sejak dini dan

terus menerapkannya untuk anak mereka.33

Namun, masih terdapat sekitar 35,7%

orangtua yang tidak langsung menerapkan

metode diet GFCF sejak anak mereka

terdiagnosa autisme. Orangtua tersebut

beralasan bahwa mereka terlambat dalam

mendapatkan informasi seputar terapi diet

GFCF untuk autisme, baik dari dokter yang

mendiagnosa anak mereka maupun dari

pihak yayasan/sekolah dimana anak mereka

mendapatkan terapi.

Jenis Minuman Pengganti Susu Sapi dalam

Penerapan Metode Diet GFCF pada Anak

Tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dari

total 49 orangtua hanya 28 orangtua yang

menerapkan metode diet GFCF pada anak

mereka yang mengalami autisme.

Didapatkan dari 28 orangtua tersebut,

mayoritas orangtua dalam menerapkan

metode diet GFCF mengganti susu sapi

dengan susu kedelai untuk anak mereka

yang mengalami autisme (75%). Orangtua

dapat mengganti susu sapi yang

mengandung casein yang berbahaya untuk

anak penyandang autisme dengan jenis

minuman lainnya yang juga memiliki tingkat

gizi yang cukup, dalam hal ini kalsium. Ibu

dapat memberikan anak susu soya, susu

beras atau susu yang berasal dari kentang.

Namun karena kandungan kalsium terbatas

dalam sediaan tersebut, ibu dapat

menfortifikasi kalsium kedalam susu soya,

susu beras dan susu kentang tersebut, atau

pun ibu dapat memberikan jus jeruk yang

difortifikasi dengan kalsium.34

Masih tinggi

pula ibu yang memberikan anak mereka

hanya air putih dalam penelitian ini (14,3%),

selain itu orangtua juga terdata memberikan

minuman sari kacang hijau (7,1%) serta air

tajin (3,6%) kepada anak mereka yang

Page 19: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

159

mengalami autisme. Hal ini dapat

menyebabkan kebutuhan kalsium dalam

minuman anak tersebut dapat terbatas jika

tidak diimbangi dengan makanan yang

mengandung kalsium yang cukup. Alasan

orangtua tidak memberikan susu soya

kepada anak mereka dikarenakan anak

mereka tidak menyukai segala jenis susu

dan anak dengan sendirinya akan memilih

air putih untuk minuman sehari-harinya.

Orangtua dalam hal ini ibu dapat mengganti

kalsium yang tidak tercukupi tersebut

dengan memberikan makanan selingan

seperti jeruk yang juga mengandung

kalsium walaupun tidak terlalu tinggi.30

Keteraturan dan Kedisiplinan Orangtua

dalam Menerapkan Diet GCFC pada Anak

Tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dari

28 orangtua yang menerapkan metode diet

GFCF pada anaknya, hanya berkisar 42,9%

orangtua yang menerapkan metode diet

GFCF tersebut dengan teratur dan disiplin.

Jumlah ini lebih kecil daripada orangtua

yang tidak disiplin dan teratur dalam

menerapkan metode diet GFCF untuk anak

mereka (57,1%). Masih tingginya orangtua

yang tidak dapat menerapkan diet GFCF

tersebut secara teratur dan disiplin bukan

hanya dikarenakan dari faktor internal

orangtua saja, namun lebih karena perilaku

anak mereka yang mudah mengamuk

bahkan dapat mengamuk di tempat umum

jika tidak diberikan makanan yang anak

suka, seperti mie dan es krim. Karena

perilaku anak mereka tersebut, orangtua

lebih mudah untuk menuruti permintaan

anak mereka. Walaupun mayoritas orangtua

mengakui terapi perilaku dan pengaturan

diet GFCF dapat mengontrol perilaku autistik

pada anak mereka, namun mereka tidak

tega jika melihat anak mereka mengamuk.

Dan juga orangtua berasumsi bahwa

beberapa jenis makanan yang dilarang

dalam diet GFCF, seperti susu masih sangat

dibutuhkan oleh anak usia 2 – 6 tahun untuk

pertumbuhan dan perkembangannya,

sehingga orangtua merasa khawatir jika

anak mereka nantinya akan pula mengalami

gangguan pertumbuhan jika harus

mengeliminasi susu dari diet sehari-hari.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sri

Ramadayanti yang dilakukan di SLB Negeri

Semarang tahun 2012 yang menunjukkan

bahwa semua responden dalam penelitian

tersebut tidak ada yang secara konsisten

menerapkan pengaturan diet GFCF pada

anak mereka yang mengalami autisme.

Orangtua beralasan bahwa anak mereka

menolak makanan yang diberikan sesuai

dengan metode diet GFCF.14

Dari penelitian

yang dilakukan oleh Amilia Destiani Sofia di

SLBN Cileunyi dan Yayasan Pelita Hafizh

Bandung tahun 2012 menunjukkan hasil

85% orangtua dari 40 responden tidak

disiplin dan patuh dalam menerapkan diet

GFCF pada anak mereka yang mengalami

autisme. Hal ini juga dikarenakan anak

menolak pengaturan diet GFCF dan akan

mengamuk jika makanan kesukaan mereka

tidak diberikan oleh orangtuanya.37

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Dwi

Murni Mujiyanti di Yayasan Keluarga

Istimewa Indonesia dan SDN Perwira Bogor

2011, didapatkan hasil bahwa sebagian

besar ibu (83,3%) tidak menerapkan

pengaturan diet GFCF kepada anak secara

ketat dan teratur.32

Terapi untuk anak

penyandang autisme harus dilakukan

Page 20: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

160

secara teratur agar memperbaiki perilaku

anak secara dini. Terutama terapi diet GFCF

juga harus teratur diterapkan dengan secara

bertahap mengeliminasi makanan yang

mengandung kasein dan gluten dari menu

makanan sehari-hari anak, agar dapat

membantu peran terapi lainnya seperti terapi

perilaku dalam mengurangi atau bahkan

menghilangkan perilaku autisme pada

anak.35

Pengaruh Positif Dari Metode Diet GFCF

pada Anak Tersebut. Berdasarkan hasil

penelitian didapatkan 71,4% dari 28

orangtua yang menerapkan terapi diet

GFCF pada anaknya yang mengalami

autisme, merasakan dampak positif dari

metode diet GFCF yang diterapkan kepada

anak mereka. Dampak positif tersebut

terlihat dari perilaku autisme seperti

hiperaktifitas yang mulai berkurang pada

anak mereka akibat dari eliminasi makanan,

terutama yang mengandung susu dan

coklat. Pada penelitian yang dilakukan oleh

Rifmie Afririana Pratiwi di Pusat Terapi

Pendidikan Ananda Bekasi 2013

menunjukkan hasil yang sama, dimana dari

30 responden, terdapat 26,7% responden

yang menunjukkan perbaikan perilaku

autistik seperti berkurangnya intensitas

hiperaktif responden dan kemampuan

responden yang dapat melakukan instruksi

dan perintah yang diberikan oleh terapis.35

Penelitian serupa dilakukan oleh Yesi Putri

Ari Hartiningrum di Sekolah Inklusi Cahaya

Bangsa Khatulistiwa Pontianak 2011 juga

menunjukkan hasil yang sama, dimana

pengaruh positif dari penerapan diet GFCF

tersebut diuraikan berdasarkan kemampuan

komunikasi, interaksi, sensoris dan kognitif,

serta kesehatan, fisik dan kebiasaan.

Terdapat 16 dari 18 anak yang mengalami

perbaikan dalam berkomunikasi (88,9%).

Dalam aspek interaksi sosial, anak lebih

menunjukkan perbaikan dalam hal

menyambut/menyapa orangtua (77,8%).

Dalam aspek sensoris dan kognitif, anak

lebih banyak menunjukkan perbaikan dalam

hal mengerti sesuatu penjelasan yang

diberikan kepadanya (88,9%). Sedangkan

pada aspek kesehatan, fisik dan kebiasaan,

anak lebih banyak menunjukkan perbaikan

dalam hal penurunan tingkah hiperaktifitas

(83,3%).16

Perilaku autis digolongkan

menjadi dua jenis yaitu perilaku yang eksesif

(berlebihan) dan perilaku yang defisit

(berkekurangan). Perilaku yang eksesif

adalah perilaku tantrum (mengamuk) dan

hiperaktif seperti menjerit, mengigit,

mencakar, memukul dan termasuk menyakiti

dirinya sendiri (self abuse). Perilaku defisit

adalah perilaku yang menimbulkan

gangguan bicara atau kurangnya perilaku

sosial seperti tertawa atau menangis tanpa

sebab atau melamun.16

Perilaku tersebut

dapat ditangani dengan beberapa cara

diantaranya secara medikamentosa, terapi

perilaku, dan pengaturan diet untuk anak

penyandang autisme. Terapi perilaku tanpa

disertai dengan pengaturan diet dengan

metode diet GFCF umumnya tidak

mempermudah pencapaian perbaikan

perilaku anak penyandang autisme.16

Gambaran Karakteristik Tumbuh Kemabang

Anak Penyandang Autisme Menurut Status

Gizi Anak Berdasarkan Indeks Massa Tubuh

(IMT). Berdasarkan hasil penelitian,

didapatkan mayoritas status gizi anak

penyandang autisme berkategori normal

Page 21: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

161

(69,4%) dari jumlah keseluruhan responden

yaitu 49 anak penyandang autisme usia 2 –

6 tahun di kota Jambi. Namun, masih

dijumpai anak yang berstatus gizi kurus

(6,1%) dan sangat kurus (6,1%). Sedangkan

jumlah yang lebih mencolok dari

permasalahan status gizi adalah kategori

status gizi gemuk (16,3%). Dalam penelitian

ini, dijumpai pula anak yang masuk dalam

kategori obesitas (2,0%). Hasil penelitian ini

sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rifmie Afririana Pratiwi di Pusat Terapi

Pendidikan Ananda Bekasi 2013

menunjukkan hasil mayoritas anak

penyandang autisme memiliki status gizi

normal (46,7%) dari 30 total responden.

Walaupun juga masih dijumpai

permasalahan gizi pada anak penyandang

autisme, seperti gizi lebih dan gizi kurang.31

Namun penelitian yang dilakukan oleh Dwi

Murni Mujiyanti di Yayasan Keluarga

Istimewa Indonesia dan SDN Perwira Bogor

2011, menunjukkan bahwa status gizi anak

penyandang autisme pada lokasi penelitian

tersebut lebih banyak masuk dalam kategori

obesitas (40%) daripada kategori normal

(30%). Hal inipun dikarenakan orangtua

belum melaksanakan pemberian gizi

seimbang untuk anak mereka.32

Gambaran

pemasalahan status gizi berdasarkan

keteraturan penerapan diet GFCF dalam

penelitian yang dilakukan oleh peneliti,

antara lain gambaran 8 anak dengan

kategori gemuk terdapat 4 diantaranya yang

terdata teratur dalam menerapkan

pengaturan diet GFCF dan masing-masing 2

anak yang tidak teratur dan tidak

menerapkan pengaturan diet GFCF.

Gambaran status gizi 3 anak dengan

kategori kurus terdapat masing-masing 1

anak yang tidak menerapkan diet GFCF, 1

anak yang tidak teratur dalam menerapkan

diet GFCF dan 1 anak yang teratur dalam

menerapkan diet GFCF. Gambaran status 3

anak dengan kategori sangat kurus terdata

2 anak yang tidak teratur dalam

menerapkan metode diet GFCF dan 1 anak

yang tidak menerapkan diet GFCF.

Sedangkan gambaran status gizi 1 anak

dengan kategori obesitas terdata bahwa

anak tersebut teratur dalam menerapkan

metode diet GFCF. Dari hasil penelitian ini,

orangtua yang memiliki anak dengan

kategori gemuk dan obesitas berasumsi

sama dengan orangtua yang memiliki anak

dengan kategori kurus, yaitu eliminasi jenis

makanan dalam pengaturan diet GFCF akan

mengurangi pasokan gizi untuk anak

mereka. Bahkan orangtua yang tergolong

tidak teratur menerapkan metode diet GFCF

kepada anaknya, tidak ragu untuk

memberikan mie instan jika anak mereka

memintanya. Sebenarnya orangtua tidak

perlu khawatir akan kecukupan kebutuhan

gizi anak jika menerapkan pengaturan diet

GFCF. Diet GFCF memang bertujuan

menghilangkan jenis-jenis makanan yang

memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku

autisme pada anak, dan beberapa jenis

makanan yang dihilangkan tersebut

merupakan makanan yang memiliki

kandungan gizi yang baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak.35

Anak dengan kategori usia 2 – 6 tahun

digolongkan dalam anak usia prasekolah.

Selama usia ini, pertumbuhan tetap terjadi

walaupun tidak secepat pertumbuhan pada

masa bayi.

Sehingga anak harus

Page 22: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

162

mendapatkan makanan yang bergizi untuk

menunjang proses tumbuh kembangnya.36

Pada penelitian ini, beberapa orangtua yang

tidak menerapkan pengaturan diet GFCF

pada anaknya beralasan tidak hanya karena

anak menolak pengaturan diet GFCF tapi

juga berlandaskan kekhawatiran orangtua

tentang pasokan gizi anak yang akan

berkurang jika diterapkannya pengaturan

diet GFCF pada anak mereka. Hal ini juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Sri Ramadayanti yang dilakukan di SLB

Negeri Semarang tahun 2012 didapatkan

13,3% orangtua sengaja tidak menerapkan

metode diet ataupun pelanggaran pada

jenis-jenis makanan tertentu untuk

penyandang autisme akan menurunkan

kebutuhan gizi anak mereka.15

Namun,

orangtua dan juga terapis seharusnya

mengetahui jenis makanan yang dihilangkan

tersebut dapat diganti dengan makanan

lainnya yang juga memiliki kandungan gizi

cukup dan boleh dikonsumsi oleh anak

penyandang autisme. Dalam hal ini seperti

mengganti susu sapi (casein) dengan susu

soya, sari kacang hijau, ataupun sari

almond. Serta mengganti makanan yang

mengandung terigu (gluten) dengan tepung

beras merah, tepung kentang, tepung dari

umbi-umbian, dan tepung kedelai.30

Gambaran Karakteristik Anak Autisme

Menurut Perkembangan Anak Tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, hampir seluruh

anak penyandang autisme usia 2 -6 tahun di

kota Jambi masuk dalam kategori suspect

atau kemungkinan mengalami gangguan

perkembangan (98%). Sejalan dengan hasil

ini, autisme memang merupakan gangguan

perkembangan pervasif yang ditandai

dengan gangguan interaksi sosial,

komunikasi, perilaku yang terbatas dan

berulang, dapat terdiagnosa secara dini

pada anak usia kurang dari tiga tahun.22,24,25

Mayoritas anak penyandang autisme

tersebut masih tampak memiliki gangguan

komunikasi seperti gangguan bicara,

daripada gangguan autisme lainnya.

Namun, bukan berarti gangguan perilaku

dan gangguan motorik sudah menghilang,

sebagian besar anak malah tidak dapat

melakukan gerakan motorik secara mandiri

tanpa bantuan terapis seperti mengangkat

satu kaki dan menahannya untuk beberapa

detik, tidak dapat berjalan dengan tumit kaki

yang menyentuh ibu jari kaki lainnya. Alasan

mendasar yang disampaikan oleh para

terapis sekolah/yayasan anak berkebutuhan

khusus (ABK) di kota Jambi mengenai

keterlambatan perkembangan terutama

bahasa dan motorik anak dikarenakan

materi tentang pengenalan bahasa dan

gerakan motorik yang ada dalam tes Denver

belum diajarkan oleh anak – anak tersebut,

mengingat terapi autisme diberikan secara

bertahap dan dimulai dengan terapi

kepatuhan diri anak. Jika anak belum patuh,

maka materi berikutnya belum dapat

diberikan karena kepatuhan anak

penyandang autisme membantu anak untuk

dapat fokus memahami materi lainnya yang

diberikan oleh terapis. Namun, gangguan

perkembangan yang mulai dapat terkontrol

dan berkurang pada anak penyandang

autisme ditiap sekolah/yayasan ABK di kota

Jambi adalah perilaku tantrum dan

gangguan interaksi sosial seperti terpaku

pada benda yang bergerak berulang. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian yang

Page 23: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

163

dilakukan oleh Rifmie Afririana Pratiwi pada

30 anak penyandang autisme di Pusat

Terapi Pendidikan Ananda Bekasi 2013,

hanya 26,7% anak yang perilaku autistiknya

berkurang seperti intensitas hiperaktif dan

meningkatnya kemampuan menerima

arahan dari terapis setelah diterapkan terapi

perilaku dan pengaturan diet GFCF.37

Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan

oleh Yesi Putri Ari Hartiningrum di Sekolah

Inklusi Cahaya Bangsa Khatulistiwa

Pontianak 2011 didapatkan masih

rendahnya kemampuan komunikasi anak

penyandang autisme sesuai usianya

(33,3%).38

Dalam penelitian ini, peneliti

menemukan satu anak penyandang autisme

yang memiliki tingkat perkembangan normal

setelah dilakukan dua kali pemeriksaan

perkembangan menggunakan tes Denver II.

Satu anak tersebut dapat melakukan

beberapa tes sesuai garis umur pada lembar

tes Denver II dan didapatkan interpretasi

normal setelah dianalisa hasil dari tes yang

dilakukan oleh anak tersebut. Sesuai teori,

anak penyandang autisme memiliki tingkat

perkembangan abnormal. Mereka tidak

mampu berkomunikasi dengan baik, bahkan

gerakan motorik juga dapat terganggu.

Peneliti menduga adanya dua kemungkinan

terkait tingkat perkembangan normal yang

didapatkan oleh satu anak penyandang

autisme tersebut, yaitu anak tersebut

mengalami kesalahan diagnosis autisme,

hal ini terlihat dari anak tersebut dapat

melakukan tes perkembangan sesuai

umurnya dan menurut analisa peneliti anak

tersebut memiliki kontak mata yang baik,

dapat memberikan senyuman, memiliki

tingkat bahasa yang baik, namun anak

tersebut cenderung diam dan kurang

berinteraksi dengan teman lainnya.

Kemungkinan kedua adalah anak tersebut

menunjukkan tingkat kemajuan terapi

sehingga dapat melakukan beberapa tes

perkembangan dengan baik. Hal ini

dikuatkan dengan pernyataan terapis bahwa

anak tersebut telah dua tahun menjalani

terapi di yayasan tersebut

Berdasarkan hasil kultur feses dari 28

sampel penelitian, tampak bahwa kuman

yang terdapat pada feses anak autism

bukan merupakan kuman yang umum

ditemukan pada feses normal. Hal ini dapat

diduga sebagai penyebab gangguan

gastrointestinal yang sering terjadi pada

anak autism. Kuman yang paling banyak

ditemukan pada feses anak autism adalah

Escherichia coli dimana kuman ini

merupakan salah satu kuman yang sering

menyebabkan terjadinya diare pada anak.39

Berdasarkan hasil uji statistik antara tingkat

pertumbuhan dengan empat jenis kuman

terbanyak yang ditemukan pada feses anak

autism didapatkan hanya satu kuman yang

memiliki korelasi dengan tingkat

pertumbuhan anak autism yaitu kuman

Proteus mirabilis. Kuman ini termasuk

bakteri gram negatif yang bersifat fakultatif

anaerob yang berbentuk batang. Kuman ini

pada umunya sering menyebabkan

terjadinya infeksi pada saluran kencing.39

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis univariat dapat

disimpulkan bahwa kejadian autisme lebih

banyak pada kelompok usia 4-6 tahun, lebih

sering terjadi pada anak laki-laki. Autisme

juga lebih sering terjadi pada ibu yang hamil

Page 24: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

164

saat berusia 21-35 tahun dan tidak

mengalami TORCH, mayoritas anak terdata

dilahirkan saat usia gestasi preterm, anak

tidak pernah mengalami riwayat gawat nafas

saat lahir, kejang dan meningitis.

Hasil penelitian mengenai terapi diet GFCF

didapatkan bahwa mayoritas orangtua dari

anak penyandang autisme mengetahui dan

menerapkan terapi diet GFCF kepada

anaknya dan mayoritas orangtua terdata

menerapkan terapi diet GFCF tersebut saat

anak mereka terdiagnosa autism. Dari

penelitian juga didapatkan orangtua lebih

suka memberikan susu soya sebagai

pengganti susu sapi dalam penerapan diet

GFCF kepada anaknya, akan tetapi masih

banyak pula orangtua yang tidak teratur dan

disiplin dalam menerapkan terapi diet GFCF

tersebut. Namun, mayoritas orangtua

mengakui adanya perubahan perilaku

autistik akibat kombinasi terapi perilaku dan

terapi diet GFCF yang diterapkan kepada

anak mereka.

Selain itu juga didapatkan bahwa mayoritas

anak penyandang autisme di kota Jambi

memiliki status gizi yang normal serta masuk

dalam tingkat perkembangan suspect sesuai

hasil dari tes perkembangan Denver II.

Penelitian ini juga memperlihatkan adanya

hubungan yang bermakna secara statistik

antara tingkat pertumbuhan anak autism

dengan kuman jenis Proteus mirabilis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tanuwidjaya S. Konsep umum tumbuh kembang. Dalam: Narandra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih,

Suyitno H, Ranuh GNG. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi pertama. Ikatan Dokter Anak

Indonesia, Jakarta: Sagung Seto, 2002;2-11

2. Scheffer R. Gangguan perkembangan pervasif dan gangguan psikotik. Dalam: Wiguna T, editor.

Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Ed.6. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Saunders;2013.h.85-

87

3. Simms MD, Schum RL. Language development and communication disorders. Dalam: Kleigman

RM, Behrman, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18.

Philadelphia: Saunders Elsevier;2007.h.152-61

4. Minshew NJ. Cognition, intervention and outcome of autism. AAN 2001, 6PC001 1-65

5. Wiznitzer M. Autistic spectrum disorders. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management in

child neurology. Edisi ke-4. Shelton: People’s Medical Publishing House; 2009.h.390-5

6. Amstrong C. AAP releases guidelines on identification of children with autism spectrum disorders.

Am Far Physician. 2008;78;1301-5

7. Suenardi T, Soetardjo S. Makanan sehat anak autisme, edisi pertama, Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama, 2002;5-14

8. Filipek PA. Diagnosis and work-up of autism spectrum disorder : Screening and diagnosic

instruments; medical tests; practice parameters. AAN 2000. 6PC 004-27.

9. Mangunatmadja I. Diagnosis banding keterlambatan bicara : Pendekatan etiologi pada praktik

sehari – hari. Dalam: Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, penyunting. A journey to

child neurodevelopment : Application in daily prabtice. UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak

Indonesia, Jakarta: Penerbit IDAI,2010;61-62

Page 25: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

165

10. Mangunatmadja I. Keterlambatan bicara : Autisme. Dalam:Pusponegoro HD, Handryastuti S,

Kurniati N, penyunting. Pediatric Neurology and Neuroemergency in daily practice. Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI,200 Dhamayanti M, Herlina M.

Skrining gangguan kognitif dan bahasa dengan menggunakan Capute Scales (Cognitive adaptive

test/ Clinical linguistic and auditory milestone scale-cat / clams. Sari pediatri vol. 11 No. 3. 2009,

Jakarta: Penerbit IDAI; 189-1946;113-117

11. Dhamayanti M, Herlina M. Skrining gangguan kognitif dan bahasa dengan menggunakan Capute

Scales (Cognitive adaptive test/ Clinical linguistic and auditory milestone scale-cat / clams. Sari

pediatri vol. 11 No. 3. 2009, Jakarta: Penerbit IDAI; 189-194

12. Lumbantobing S.M. Autisme. Dalam: Anak dengan mental terbelakang, edisi pertama, Jakarta:

Balai Penerbit FKUI,2006;82-87

13. Ginting SA, Ariani A, Sembiring T. Terapi Diet pada Autisme. Sari Pediatri vol. 6 No.1, 2004,

Jakarta: Penerbit IDAI; 47-51

14. Larsson HJ, Eaton WW, Madsen KM, Vestergaard M, Olessen AV, et al. Risk factor of autism:

perinatal factors, parental psychiatric history, and socioeconomic status. American Journal of

Epidemiology (serial online) 2005 (diakses 23 Maret 2014); 2005; 161: 916-925. Diunduh dari:

URL: http://aje.oxfordjournals.org/

15. Ramadayanti S. Perilaku pemilihan makanan dan diet bebas gluten bebas kasein pada anak autis

(Skripsi). Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2012.

16. Hartiningrum YPA. Gambaran pola perilaku anak penyandang autisme dengan penerapan diet

gluten free-casein free (GFCF) di sekolah inklusi cahaya bangsa khatulistiwa Pontianak (Skripsi).

Pontianak: Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura; 2012.

17. Gardener H, Spiegelman D, Buka SL. Prenatal risk factors for autism: a comprehensive meta-

analysis. The British Journal of Psychiatry (serial online) 2009 (diakses 7 Mei 2014); 2009; 195: 7-

14. Diunduh dari: URL:

18. Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu kebidanan edisi IV. Jakarta: PT Bina Pustaka; 2012.

19. Libbey JE, Sweeten TL, McMahon WM, Fujinami RS. Autistic disorder and viral infections. Journal

of NeuroVirology (serial online) 2005 (diakses 28 Januari 2014); 11: 1–10. Diunduh dari: URL:

http://www.jneurovirol.com/o_pdf/11(1)/001-010.pdf

20. Lumbantobing SM. Anak dengan mental terbelakang. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2006.

21. Veague HB. Psychological disorder: Autism. United State of America: Chelsea House; 2010.

22. Yatim F. Autisme suatu gangguan jiwa pada anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor; 2009.

23. Ismael S, Soetomenggolo TS, Pusponegoro HD, Passat J, Widodo DP, Mangunatmadja I, et al.

Pediatric neurology and neuroemergency in daily practice. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;

2006.

24. Winarno FG. Autisme dan peran pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2013.

25. Hasdianah. Autis pada anak pencegahan, perawatan dan pengobatan. Yogyakarta: Nuha Medika;

2013.

26. Priyatna, A. Amazing Autism (memahami, mengasuh dan mendidik anak autis). Jakarta: PT. Elek

Media Komputindo; 2010.

27. Definition of term pregnancy. The American College of Obstetricians and Gynecologists (serial

online) 2013 (diakses 24 Maret 2014); 2013; 579. Diunduh dari:

Page 26: Hubungan Pola Kuman Saluran Cerna Anak Autis terhadap

JMJ, Volume 2, Nomor 2, November 2014, Hal: 141 - 166 Irawan dkk, Hubungan Pola Kuman ...

166

URL:http://www.acog.org/~/media/Committee%20Opinions/Committee%20on%20Obstetric%20Pra

ctice/co579.pdf?dmc=1&ts=20140507T1936217313

28. Gardener H, Spiegelman D, Buka SL. Perinatal and neonatal risk factors for autism: a

comprehensive meta-analysis. The British Journal of Psychiatry (serial online) 2011 (diakses 7 Mei

2014); 2011; 128: 344-355. Diunduh dari: URL:

http://pediatrics.aappublications.org/content/128/2/344.full.pdf

29. Matsuzaki H, Iwata K, Manabe T, Mori N. Triggers for autism: genetic and environmental factors.

Journal of Central Nervous System Disease (serial online) 2012 (diakses 7 Mei 2014); 2012; 4: 27-

36. Diunduh dari: URL: http://www.la-press.com/redirect_file.php?fileId=4147&filename=3066-

JCNSD-Triggers-for-Autism:-Genetic-and-Environmental-Factors.pdf&fileType=pdf

30. Herini ES, Patria SY, Gunadi, Yusoff S, Harahap ISK, Sunartini, et al. Sodium channels of SCN1A

gene mutations in generalized epilepsy with febrile seizure plus (GEFS+) spectrum related to

autism. Sari Periatri (serial online) 2010. (diakses 28 Januari 2014); 2010;50:125-32. Diundur dari:

URL: http://www.paediatricaindonesiana.org/pdffile/50-3-1.pdf

31. Asmika, Andarini S, Rahayu RP. Hubungan motivasi orangtua untuk mencapai kesembuhan anak

dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan anak penyandang autisme dan spektrumnya.

Jurnal Kedokteran Brawijaya (serial online) 2006 (diakses 16 April 2014); 2006; 22. Diunduh dari:

URL: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/230/222

32. Mujiyanti DM. Tingkat pengetahuan ibu dan pola konsumsi pada anak autis di kota bogor (Skripsi).

Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor; 2011.

33. Sofia AD, Ropi H, Mardhiyah A. Kepatuhan orangtua dalam menerapkan terapi diet gluten free

casein free pada anak penyandang autisme di yayasan pelita hafizh dan SLBN cileunyi bandung

(Skripsi). Bandung: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran; 2012.

34. Gluten-free, casein-free, diet for autism spectrum disorder. Children’s Hospitals and Clinics of

Minnesota (serial online) 2008 (diakses 26 April 2014); 2008; 3. Diunduh dari: URL:

http://www.childrensmn.org/manuals/pfs/nutr/126098.pdf

35. Pratiwi RA. Hubungan skor frekuensi diet bebas gluten bebas casein dengan skor perilaku autis

(Skripsi). Semarang: Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2013.

36. Durkin MS, Maenner MJ, Newschaffer CJ, Lee LC, Cunniff CM, et al. Advanced parenteal age and

the risk of autism spectrum disorder. American Journal of Epidemiology (serial online) 2008

(diakses 23 Maret 2014); 2008; 168: 1268 – 1276. Diunduh dari: URL:

http://aje.oxfordjournals.org/content/161/10/916.full.pdf+html

37. Gardener H, Spiegelman D, Buka SL. Perinatal and neonatal risk factors for autism: a

comprehensive meta-analysis. The British Journal of Psychiatry (serial online) 2011 (diakses 7 Mei

2014); 2011; 128: 344-355. Diunduh dari: URL:

http://pediatrics.aappublications.org/content/128/2/344.full.pdf

38. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Surat keputusan menteri kesehatan

nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi anak.

Kemenkes RI. 2011 (diakses 26 Oktober 2013). Diunduh dari: URL:

http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/buku-sk-antropometri-2010.pdf

39. Ouwehand AC, Vaughan E. Gastrointestinal microbiology. New York. Taylor and Francis Group;

2006.