318
Prof. Ahmed Abou-El-Wafa Riyadh - 2009 (1430 H.) The Right to Asylum HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL (SUATU KAJIAN PERBANDINGAN) Produksi buku ini didanai oleh UNHCR Cyan Magenta Yellow Black

Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

  • Upload
    lynhi

  • View
    237

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

Prof. Ahmed Abou-El-Wafa

Riyadh - 2009 (1430 H.)

Produced and Printed by Printing Press ofNaif Arab University for Security Sciences

The Right to Asylumbetween Islamic Shari’ah and

International Refugee Law

A Comparative Study

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN

HUKUM INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Produksi buku ini didanai oleh UNHCR

Prof. Ahmed Abou-El-Wafa

Riyadh - 2009 (1430 H.)

Produced and Printed by Printing Press of

Naif Arab University for Security Sciences

The Right to Asylum

between Islamic Shari’ah and

International Refugee Law

A Comparative Study

Cyan Magenta Yellow

Black

Page 2: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

i

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’

Riyadh, 1430 H/2009 M

Page 3: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

ii

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Judul Asli: Haqq al-Lujû′ bain al-Syarî’ah al-Islâmiyyah

wa al-Qânûn al-Dauliy li al-Lâji’în, Dirâsah Muqâranah

Penulis: Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’

Konsultan:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M

Penerjemah: Dr. Asmawi, M.Ag

Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A Afwan Faizin, M.A

Pembaca Ahli:

Dr. H.Ahmad Mukri Aji, M.A Harry Alexander, S.H, L.LM

Editor dan Penyelaras Bahasa:

Dr. Asmawi, M.Ag

Sekretariat: Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H

Diterbitkan atas kerjasama:

Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Indonesia

Cetakan I, Oktober 2011 Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia

http://www.unhcr.or.id Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir.H.Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, Indonesia

http://www.fsh-uinjkt.net

Sekretariat:

Page 4: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

iii

Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H

Diterbitkan atas kerjasama: Kanto

Atas Nama Allah Yang Maha Besar dan Maha Pengampun

Page 5: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

iv

Allah SWT berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, yang hijrah dan yang jihad di jalan Allah, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.s. al-Anfâl/8:74)

“Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain untuk melindungi dirinya dari penganiayaan/penyiksaan.“ (Pasal 14 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). “Setiap orang berhak, dalam pandangan Syariat Islam, berpergian dan mengungsi ke negara lain... apabila menghadapi penganiayaan. Negara tujuan wajib memberikan suaka kepada orang tersebut sehingga ia memperoleh keamanan, terkecuali pelarian didorong oleh alasan dan tindakan yang dipandang oleh Syariat Islam sebagai kejahatan.” (Pasal 12 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Menurut Islam).

Page 6: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

v

United Nations High Commissioner for Refugees

Kantor Regional Republik Arab Mesir

Kantor Regional Negara-Negara Teluk

e-mail: [email protected] email: [email protected] Website Berbahasa Arab: www.unhcr.org.eg

Website Berbahasa Inggris: www.unhcr.org

Cetakan Pertama 2009

Buku ini ditulis atas nama UNHCR Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’, Ketua Jurusan Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir. Kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan opini penulis, bukan opini UNHCR. Pengutipan, perujukan dan penyalinan isi buku ini, baik untuk tujuan akademis, tujuan pendidikan, ataupun tujuan non-komersial lainnya dapat diperkenankan tanpa perlu ada izin formal dari UNHCR, dengan catatan menyebutkannya sebagai referensi. Buku ini tersedia dalam Bahasa Arab, yang dapat diunduh pada situs: www.unhcr.org.eg dan Bahasa Inggris pada: www.unhcr.org Penerjemahan kedalam bahasa Indonesia dilakukan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, 2011

Page 7: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

vi

DAFTAR ISI

Daftar Isi.............................................................................. vi

Sambutan Komisioner Tinggi UNHCR............................ x

Sambutan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam.....................................................................................

xvii

Sambutan Rektor Universitas Ilmu Keamanan Naif Arab.....................................................................................

xxiv

Sambutan Rektor Universitas Al-Azhar………………... xxvi

Persembahan……………………………………………... xxxvi

Pengantar Umum……………………………………….... 1

Bab I: Persyaratan pemberian suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional .....................................

18

A. Menurut Syariat Islam…………………………….... 18B. Menurut Hukum

Internasional…………………................................... 25

Bab II: Prinsip - prinsip hukum tentang suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional..........

27

A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur pemberian suaka…………………………………….

27

B. Prinsip - prinsip utama yang mengatur hak – hak suaka………………………………………………...

29

B.1. Prinsip Larangan Pemulangan (non-refoulement) 29B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara………

47

B.3. Asas non-diskriminasi............................................. 56 B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka......... 62

Bab III: Macam - Macam Suaka dalam Syariat Islam dan Hukum Internasional.................................................

65

1. Suaka Agama………………………………………... 65

Page 8: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

vii

2. Suaka Teritorial……………………………………... 793. Suaka Diplomatik………………………………….... 133

Bab IV: Status Hukum Pengungsi Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional......................................

147

1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi……... 1472. Penyatuan keluarga………………………………….. 1563. Harta kekayaaan pengungsi………………………..... 1664. Perlindungan diplomatik …………………………..... 1715. Hak – hak pengungsi anak…………………………... 1746. Hak atas harta kekayaan…………………………….. 1797. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim 1808. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa

pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati………. 180

9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang non-Muslim…………………………………....

181

10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non-Muslim………………………………………......

186

11. Perlindungan atas hidup non-Muslim……………... 18812. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan yang

adil……………………………………………........... 189

Bab V: Faktor yang Menghalangi Pencarian Suaka Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional.........

191

I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi.................................................................

191

II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka: perlindungan sementara………………………........

214

III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka….

219

III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solutions)…….. 219III.2. Berakhirnya suaka……………………………….. 239

Bab VI: Perbandingan antara Syariat Islam dan Hukum Internasional dalam Konteks Hak Suaka ........

250

Page 9: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

viii

A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka……..........

250

B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka…………………....

251

Penutup…………………………………………………… 271Rujukan…………………………………………………... 282

Page 10: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

ix

Page 11: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

x

SAMBUTAN

KOMISIONER TINGGI BADAN PERSERIKATAN

BANGSA – BANGSA UNTUK URUSAN

PENGUNGSI (UNHCR)

Tradisi dan budaya bangsa Arab merupakan fondasi yang

kokoh bagi upaya perlindungan manusia dan penghormatan

harkat-martabat mereka. Penggunaan beberapa istilah seperti al-

ijârah (perlindungan), al-istijârah (meminta perlindungan) dan

al-îwâ’ (perlindungan), tiada lain, menunjukkan gambaran yang

terang benderang tentang ide perlindungan kemanusiaan, yang

kemudian pada era sekarang ini menjadi tugas pokok UNHCR.

Syariat Islam hadir untuk mengukuhkan prinsip-prinsip

kemanusiaan, seperti persaudaraan, persamaan dan toleransi.

Pemberian bantuan, jaminan keamanan dan perlindungan kepada

orang yang membutuhkan, hingga kepada musuh sekalipun,

merupakan ajaran mulia Syariat Islam, yang nota bene hadir

mendahului kelahiran sejumlah instrumen hukum internasional

modern tentang hak asasi manusia dan pengungsi, yang mengatur,

antara lain, hak suaka dan larangan ekstradisi pengungsi. Itu

semua dalam rangka melindungi keselamatan jiwa orang

bersangkutan dan menghindarkannya dari penganiayaan atau

pembunuhan.

Page 12: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xi

Syariat Islam mengatur masalah suaka dengan jelas dan

rinci. Syariat Islam juga menjamin secara penuh perlindungan,

penghormatan, dan pemeliharaan bagi setiap pencari suaka. Ia

juga menggariskan aturan, bagi masyarakat Islam, yang wajib

dijalani dalam rangka memenuhi permintaan-permintaan suaka.

Oleh karena itu, tindakan menolak permintaan pencari suaka

adalah dilarang secara tegas. Yang kini dikenal dengan “asas

larangan pengusiran/pengembalian pencari suaka ke negara

asalnya (Prinsip non-refoulement)”, yang menjadi dasar dari

Hukum Pengungsi Intenasional, beranjak dari prinsip dalam

Syariat Islam tersebut.

Tradisi panjang pemberian perlindungan dalam sejarah

kemanusiaan menuntut adanya pemberian perlindungan bagi

pencari suaka, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Hal ini

ditegaskan oleh Q.s. al-Taubah/9:6, yakni: “ dan jika seorang

diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan

kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman

Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya;

yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak

mengetahui.” Makna terdalam “permintaan perlindungan”

(istijârah) tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung

perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan

harta kekayaannya, terutama yang terkait dengan “tempat-tempat

suci”, sebagaimana dinyatakan dalam Q.s. al-Baqarah/2:125,

Page 13: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xii

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (Q.s. al-Baqarah/2:125). Begitu pula dalam Hadis: Siapa saja yang masuk ke dalam Masjidilharam, ia dijamin aman; siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, ia dijamin aman; siapa saja yang melempar senjatanya, ia dijamin aman; dan siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia dijamin aman. (Diriwayatkan oleh Muslim)1

Sebagaimana ditegaskan sejumlah sarjana Islam, migrasi

(hijrah) dan pengungsian orang-orang Muslim ke Ethiopia

(Abessinia/ Habsy) dan migrasinya Nabi SAW ke Madinah untuk

menghindari penganiayaan kaum kafir Quraisy merupakan

perwujudan dari rasa kasih sayang. Hal tersebut juga merupakan

preseden penting bagi adanya hubungan yang erat antara pencari

suaka dan pemberi suaka yang membentuk ikatan hak bagi

pencari suaka dan kewajiban bagi pemberi suaka.

Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah

memberikan fondasi yuridis bagi hukum suaka kontemporer

dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan

sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Meskipun banyak dari

1 Muslim. Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Sahîh Muslim, tahqîq Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bâqi,

(Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1347 H/1954 M), Hadis No. 1780, Jilid III, h. 8-14; dan Ibn Abî Syaibah, Abû Bakr ‘Abdullah, Kitâb al-Magâziy, tahqîq ‘Abd al-Azîz Ibrahîm al-‘Umri, (Riyadh: Dâr Sibiliyâ, 1420 H/1999 M), h. 318-319.

Page 14: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xiii

nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa

Arab pra-Islam, tetapi realitas ini tidak selamanya diakui ,

termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu

mengapresiasi tradisi murah hati dan ramah tamah terhadap tamu

ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu

juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi

terbentuknya hukum modern.

Di dalam studi yang intensif ini, penulis mendeskripsikan

secara detil Syariat Islam dan tradisi bangsa Arab, termasuk

standar dan norma yang menjadi rujukan hukum, yang mendasari

aktivitas - aktivitas UNHCR.

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ menunjukkan betapa Islam

memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap pengungsi,

meskipun non-Muslim; juga menunjukkan betapa Islam melarang

tindakan pemaksaan perubahan agama mereka; dan juga

menunjukkan betapa Islam memerintahkan berbuat adil terhadap

mereka, tidak mengurangi hak-hak mereka, melindungi diri dan

harta kekayaan mereka, dan menyatukan mereka dengan keluarga

mereka. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ juga menghimpun teks-

teks ayat al-Qur’an dan syair bangsa Arab pra-Islam dan pasca-

Islam, yang disertai dengan penjelasan mendalam dan sumber-

sumber teks tersebut. Dari sisi inilah nampak jelas kelebihan dan

keutamaan karya ini dalam menyingkap nilai yang dikandung

tradisi Islam dan bangsa Arab, yang memandang bahwa siapa saja

Page 15: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xiv

yang memberi perlindungan kepada orang yang bermigrasi ke

lingkungannya, itulah orang Mukmin yang sejati; juga

memandang hak suaka sebagai salah satu hak asasi manusia yang

mendasar dan sakral, bahkan bagi pendatang non-Muslim.

Dewasa ini, mayoritas pengungsi di berbagai belahan dunia

adalah Muslim. Ini merupakan realitas yang sangat kentara pada

era di mana fanatisme dengan berbagai bentuknya, baik yang

bersifat etnik maupun keagamaan, tumbuh subur di belahan dunia

manapun, bahkan di kawasan negara-negara maju sekalipun. Kita

dapat melihat fenomena rasisme dan kebencian terhadap segala

sesuatu yang berbau asing (xenophobia), yang bertujuan

memprovokasi dan memanipulasi opini publik, dengan cara

mengaburkan pengertian antara pengungsi (pencari suaka),

imigran, dan bahkan teroris. Sikap dan perilaku ini berakibat

terhadap menjamurnya mispersepsi terhadap Islam; dan ini harus

dibayar mahal oleh para pengungsi Muslim. Marilah kita

klarifikasi bahwa pengungsi itu bukanlah teroris, mereka justru

menjadi korban pertama dan utama terorisme. Melalui buku ini

kita dapat memahami kewajiban kita untuk menghadapi,

menangani serta memberantas sikap dan perilaku tersebut.

Perlu diakui bahwa buku ini menawarkan kajian yang sangat

berharga, suatu kajian perbandingan antara Syariat Islam dan

hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan urusan

pengungsi dan suaka, serta migrasi dan perpindahan secara

Page 16: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xv

terpaksa. Buku ini lahir sebagai produk kerjasama yang erat dan

berkesinambungan antara UNHCR dan Organisasi Konferensi

Islam (OKI).

Hal yang penting sesungguhnya bukanlah semata

penyematan “pengungsi” kepada seseorang, melainkan upaya

pemberian perlindungan terhadap orang tersebut. Pemberian

perlindungan itu merupakan tradisi sekaligus praktik yang terus

dijalankan oleh negara-negara OKI. Hasil kerjasama antara

UNHCR dan OKI ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disahkan pada

tahun 1990 dalam Konferensi OKI di Kairo, Mesir, yang

menyatakan bahwa setiap orang yang dianiaya oleh

pemerintahnya berhak untuk meminta perlindungan/suaka kepada

negara lain; dan negara yang bersangkutan wajib memberikan

perlindungan/suaka hingga ia merasa aman.

Buku ini merupakan referensi yang sangat penting untuk

dipelajari dan dikaji, yang dilengkapi dengan contoh-contoh

historis-faktual dan teks-teks ayat al-Qur’an. Buku ini juga sangat

penting untuk dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan

terhadap isu - isu hak asasi manusia (HAM), urusan pengungsi

dan migrasi. Sebab, buku ini merupakan buah studi yang sangat

relevan dengan upaya sosialisasi dan promosi nilai-nilai luhur

ajaran Islam dan tradisi bangsa Arab, yang berperan penting

Page 17: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xvi

sebagai rujukan, baik secara langsung maupun tak langsung,

dalam pembentukan hukum dan perjanjian internasional.

Kerjasama strategis antara UNHCR dan Dunia Islam ini

merupakan hal yang sangat penting bagi kontinuitas komitmen

terhadap tradisi murah hati, penerimaan ramah tamah, dan

pemberian perlindungan tanpa diskriminasi yang telah ada sejak

14 abad yang lalu. Prinsip – prinsip ini, dan prinsip – prinsip

dasar hak asasi manusia dijelaskan secara rinci di dalam buku ini;

dan sekaligus juga dibuktikan betapa prinsip-prinsip tersebut

menjadi sumbu/poros bagi kehadiran hukum internasional yang

mengatur kerja-kerja kemanusiaan internasional. Kami akan

selalu mengingat prinsip Islam bahwa semua manusia adalah

setara dihadapan manusia lainnya.

António Guterres

Komisioner Tinggi UNHCR

Page 18: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xvii

SAMBUTAN

SEKRETARIS JENDERAL

ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)

Segala puji tertuju kepada Allah, Tuhan di alam dan

semesta. Salawat dan salam tertuju kepada Rasulullah yang mulia,

keluarganya yang diberkahi dan sahabat – sahabatnya yang baik.

Sungguh suatu kebahagian tersendiri bagi saya, dapat

menyampaikan kata pengantar bagi hasil kerja ilmiah yang besar

ini, dibawah arahan UNHCR - badan kemanusiaan internasional

yang memberikan penanganan dan perlindungan yang baik bagi

pengungsi di berbagai negara di dunia. Apa yang dilakukan

UNHCR merupakan kerja dan aktivitas yang patut dihargai dan

sungguh mendatangkan manfaat kemanusiaan. Saya juga patut

menyampaikan ucapan terima kasih kepada UNHCR atas

perhatian dan kepeduliannya terhadap isu pengungsi demi

tercapainya tujuan-tujuan kemanusiaan, lebih lagi karena

persentase terbesar pengungsi di berbagai kawasan dunia

merupakan orang-orang Muslim.

Adanya penugasan UNHCR terhadap Prof. Ahmad Abu al-

Wafâ’ untuk mengadakan riset/kajian tentang hak suaka dalam

pandangan Syariat Islam sungguh merupakan indikator gamblang

tentang obyektivitas Syariat Islam dan perhatiannya terhadap misi

Page 19: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xviii

kemanusiaan. Hal demikian dipertegas oleh pernyataan

Komisioner UNHCR, Mr. António Guterres, dalam kata

sambutannya atas hasil kerja ilmiah yang istimewa ini, yang

mengatakan: “Syariat Islam hadir dalam rangka mengukuhkan

prinsip-prinsip kemanusiaan: persaudaraan, persamaan dan

toleransi sesama manusia. Upaya memberikan bantuan,

perlindungan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan, bahkan

terhadap musuh sekalipun, sungguh merupakan ajaran Syariat

Islam yang integral dan hadir lebih awal berabad-abad,

mendahului kemunculan hukum dan konvensi internasional

tentang hak asasi manusia di era modern, termasuk hak suaka dan

larangan pemulangan pengungsi (prinsip non-refoulement), yang

dimaksudkan dalam rangka memelihara keselamatan jiwa

pengungsi dan memastikan mereka terhindar dari penganiayaan

dan pembunuhan.”

“Syariat Islam telah menggambarkan masalah suaka secara

jelas dan rinci, dan menjamin dengan penuh perlindungan,

kehormatan, dan pemeliharaan bagi para pencari suaka. Syariat

Islam juga menggariskan prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh

masyarakat Islam dalam rangka memenuhi berbagai permintaan

suaka. Tindakan pemulangan pencari suaka hukumnya tentu

haram berdasarkan Syariat Islam. Apa yang dikenal sekarang ini

sebagai larangan pemulangan pencari suaka (prinsip non-

Page 20: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xix

refoulement) yang menjadi fondasi hukum suaka internasional

sesungguhnya merupakan manifestasi dari prinsip tersebut.”

Beliau juga mengatakan: “Al-Qur’an dan Hadis merupakan

sumber hukum yang telah memberikan fondasi bagi hukum suaka

kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang

diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Nilai-nilai

hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab

pra-Islam, meskipun kenyataan ini belum diakui sepenuhnya,

termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu

mengapresiasi tradisi bermurah-hati dan beramah tamah terhadap

tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad.

Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut

bagi terbentuknya hukum internasional kontemporer. ”

Studi tentang hak suaka dalam perspektif Syariat Islam

merupakan hasil kerja genius yang diteliti secara mendalam oleh

Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’, Ketua Jurusan dan Guru Besar

Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo,

Mesir. Di dalam buku ini, penulis menyajikan bahasan sejumlah

isu, yakni pengertian “pengungsi”, suaka menurut hukum

internasional dan Syariat Islam, persyaratan pemberian suaka,

prinsip-prinsip yang mengatur hak suaka, dengan fokus pada

karakter kemanusiaan dari prinsip – prinsip tersebut. Penulis juga

menjelaskan secara terperinci klasifikasi suaka yang meliputi

suaka atas dasar isu keagamaan, teritorial, dan politik, di samping

Page 21: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xx

menjabarkan mengenai hak-hak pengungsi menurut Syariat Islam

dan hukum internasional.

Studi ini juga mempunyai bobot istimewa lantaran adanya

paparan prinsip-prinsip yang adil dan toleran yang dipratikkan

Syariat Islam terhadap para pengungsi serta adanya perhatian

terhadap kesejahteraan dan kepentingan pengungsi, dengan

menjunjung tinggi integritas manusia dan hak – hak manusia

untuk hidup dengan bebas dan layak. Penulis telah mencatat

sedemikian banyak bukti historis tentang keterdepanan Islam

dalam bidang ini dan keunggulan prinsip-prinsip dan hukum-

Syariat Islam terkait isu ini. Penulis menegaskan: “ Boleh jadi apa

yang kami ungkapkan memperjelas bukti keunggulan sistem

Islam atas sistem-sistem yang lain, yang menjadikan ras dan etnis

sebagai parameter dan dasar diskriminasi (sebagaimana muncul di

Amerika Serikat dan negara lain seperti Afrika Selatan) terhadap

umat manusia, padahal manusia sendiri tidak punya peran sama

sekali dalam menentukan ras dan etnis yang inheren dalam

dirinya. Hal ini diperkuat oleh pengakuan sejumlah pakar Barat

bahwa Islam hadir membawa ajaran pemberantasan diskriminasi

rasial. Bahkan, mereka (para pakar Barat) menganggap misi

pemberantasan diskriminasi rasial yang diserukan Islam inilah

yang merupakan faktor penyebab agama ini tersebar meluas di

segala penjuru dunia dan yang merupakan unsur/elemen penting

Page 22: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxi

bagi terbentuknya hubungan antarnegara (internasional), antara

umat Islam dan umat non-Islam.

Penulis juga memperkuat pembahasan dan uraiannya dengan

berbagai keputusan hasil sejumlah muktamar Organisasi

Konferensi Islam (OKI) tentang hak asasi manusia serta berupaya

memperkenalkannya kepada pembaca.

Studi ini ditandai dengan adanya perhatian yang intens

terhadap teks – teks sumber Syariat Islam, baik al-Qur’an maupun

Hadis, yang mendasari prinsip-prinsip dan garis-garis besar

pikiran terkait isu hak suaka. Tidak hanya itu, studi ini juga

menilik pandangan-pandangan yurisprudensial terkait isu hak

suaka dan aspek-aspek yang sehubungan dengannya. Ketertarikan

penulis tidak hanya terbatas pada aspek – aspek diatas, namun

juga mencakup kejadian–kejadian bersejarah yang berhubungan.

Pada level kontemporer, penulis memaparkan keberlakuan

berbagai resolusi dan perjanjian yang dibuat oleh OKI dan

organisasi internasional lainnya yang terkait, di mana sisi ini

menjadikan buku ini memiliki keunggulan teoritis dan perhatian

atas praktik kontemporer isu suaka. Karena itu, di bagian awal

bab kesimpulan, penulis menyatakan: “Syariat Islam telah benar-

benar menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan pokok terkait

hukum suaka, baik secara eksplisit maupun implisit; secara

tertulis maupun tersirat; dalam kata maupun perbuatan. Hal ini

Page 23: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxii

ditekankan oleh Syariat Islam itu sendiri, sehingga menjadi

kewajiban bagi setiap Muslim.”2

Penulis juga bersikap kredibel dan obyektif dalam studinya,

terutama cermat dalam mengutip dokumen dan pendapat para

pakar. Isu-isu terkait penyikapan Syariat Islam tentang topik ini

dibahas secara obyektif dan independen, dengan pendekatan

perbandingan hukum, tanpa memaksakan adanya kesamaan dan

keserupaan antara sistem Syariat Islam dan sistem hukum

internasional. Hal ini memberi nilai tambah ilmu pengetahuan

tersendiri bagi studi apabila dibandingkan dengan studi

komparatif lainnya, terutama karena studi ini berhasil

menunjukkan kontribusi Syariat Islam dalam perjalanan sejarah

kemanusiaan, terutama menyangkut hukum internasional pada

umumnya dan dalam perlindungan dan hak pengungsi pada

khususnya.

Saya memohon kepada Allah, semoga buku ini bermanfaat

besar dan semoga penulisnya dianugerahi Allah dengan lebih

banyak pencapaian kedepannya. Sekali lagi, saya menyampaikan

ucapan terima kasih dan apresiasi kepada UNHCR dan Yang

Mulia Komisioner Tinggi, atas keberhasilan ini, yang

memperkaya dinamisasi studi perbandingan hukum internasional.

2 Lihat halaman 56 dan 61 mengenai asas non-diskriminasi

Page 24: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxiii

Dengan penuh hormat dan kebanggaan, saya sampaikan

semua ini dengan tulus kepada penulis, Prof. Ahmad Abû al-

Wafâ’, semoga beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Prof. Akmal al-Dîn Ikhsan Ogouli

Sekretaris Jendral

Page 25: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxiv

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS NAIF ARAB UNTUK

ILMU KEAMANAN

Salah satu keistimewaaan Syariat Islam adalah adanya

prinsip-prinsip yang komprehensif, ketentuan - ketentuannya, dan

pendekatannya ke berbagai aspek yang mampu memberikan

keselamatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Syariat Islam hadir untuk memproteksi hak asasi manusia (HAM)

secara umum, termasuk diantaranya adalah hak atas keamanan,

dalam arti menyeluruh. Hak-hak suaka adalah salah satu hak

mendasar yang paling penting yang dijamin oleh Syariat Islam

dan diberikan olehnya perangkat untuk mendukung

implementasinya. Syariat Islam memberikan proteksi atas hak ini,

sejalan dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan peradaban bangsa

Arab yang baik.

Meskipun masyarakat internasional telah mengatur hak-hak

suaka melalui penerbitan dan pengesahan sejumlah deklarasi dan

perjanjian internasional, tetapi efektivitas aturan-aturan tersebut

menuntut adanya tanggung jawab moral para pihak yang

melaksanakan penerapannya. Dari sinilah muncul signifikansi

pengaturan hak-hak suaka oleh Syariat Islam, yang dibahas dalam

Page 26: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxv

studi ini, yaitu bahwa ajaran ini dicirikan dengan luasnya cakupan

perlindungan dan hakikat kemanusiaan dari hak suaka.

Tema yang diangkat dalam buku ini menjadi semakin

signifikan kehadirannya di tengah-tengah kondisi kian bertambah

pesatnya jumlah pengungsi di negara-negara Arab dan negara-

negara Islam pada beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat

berbagai peristiwa internasional dan regional yang terjadi. Hal

demikian tentu menuntut adanya kerjasama internasional dan

implementasi Hukum Shari’ah dan ketentuan hukum yang

berkaitan dengan hak suaka.

Pada kesempatan ini, saya ingin menggarisbawahi ikatan

kerjasama bilateral antara Universitas Naif Arab untuk Ilmu

Keamanan dan UNHCR. Ikatan ini diharapkan dapat mendorong

bertambahnya program-program dan kajian-kajian yang dapat

menekankan pentingnya isu ini dan menekankan pentingnya

peran dunia internasional yang beradab dalam menangani

masalah suaka dan pengungsi.

Hanya Allah yang berada di balik segala keinginan dan

tujuan ini.

Prof. Dr. ‘Abd al-‘Azîz Saqr al-Gâmidi

Rektor Universitas Naif Arab untuk

Ilmu Keamanan

Page 27: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxvi

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR-MESIR

Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha

Pengampun, Islam mungkin merupakan satu-satunya agama yang

bersikap terbuka terhadap agama-agama lain dan terbuka terhadap

sistem budaya dan nilai lain, baik menyangkut moral maupun

hukum. Islam mengambil semua nilai kebajikan itu dan

memasukkannya ke dalam sistemnya (Islam), baik dalam hal

intelektual maupun spiritual. Di dalam mengambil dan

memasukkan nilai tersebut, Islam menyeleksi dengan satu

parameter, yakni unsur yang diambil dan dimasukkan itu, selain

sejalan dengan norma - norma akhlak yang baik, juga mampu

mewujudkan kemaslahatan yang otentik, yang bersama-sama

dengan norma akhlak itu, menuju pada satu tujuan yang sama.

Dalam hal ini, kita merujuk kepada Hadis Nabi yang bersumber

dari Abu Hurairah:

Aku [Nabi Muhammad]diutus untuk menyempurnakan akhlak

yang baik.3

3 Hadis diriwayatkan oleh al-Hâkim, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah, dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Sahîhain, tahqîq Mustafa ‘Abd al-Qâdir ‘Atiyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), dan al-Hâkim berkata: “Hadis ini sahîh menurut persyaratan Imam Muslim.” Ini disetujui oleh Imam al-Dzahabiy dalam Kitab al-Talkhîs, Hadis No. 4221, Jilid II, h. 67. Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab al-Adab al-Mufrad, takhrîj Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), Hadis No. 273, h. 104; juga oleh al-Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn Husain, dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’b al-Îmân, tahqîq Mukhtâr Ahmad al-Nadwi, (Bombay, India: Dâr al-Salafiyyah, 1414 H/1993 M), Jilid XIV, Hadis No. 4608, h. 134. Pen-tahqîq berkata: “ Hadis ini sanadnya hasan.” Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Suyûti, Jalâl al-Dîn

Page 28: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxvii

Hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan

tujuan luhur pesan-pesan Islam dan bahwa akhlak mulia yang

merupakan nilai-nilai kebaikan kemanusiaan yang hampir punah

dan lenyap pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat

pra-Islam dibangkitkan lagi di dalam agama Islam. Bahkan lebih

lagi, melalui agama ini, dibangkitkanlah bersamanya khazanah

ilahiah yang hampir punah ditelan zaman sekiranya agama Islam

tidak tampil di muka bumi.

Orang yang merenungi kandungan isi al-Qur’an tidak akan

tergelincir ke dalam faham pluralisme agama atau diversifikasi

agama samawi karena al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa

agama ilahi itu hanya satu, yakni agama yang tampil pada

sepanjang zaman di pentas sejarah dunia, dimulai sejak Nabi

Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW melalui masa-masa

Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi ‘Isa a.s, dan

para nabi/rasul lainnya. Al-Qur’an juga mengindikasikan bahwa

agama ilahi tidak pernah putus hubungan dengan kehidupan

manusia sepanjang zaman dan bahwa cahaya hikmah yang

dikandung risalah para Nabi dan Rasul Allah tetap terus berkilau

memancarkan sinar panduan dan pedoman bagi kehidupan umat

manusia sepanjang zaman.

Abû Bakr, dalam kitab al-Jâmi’ al-Sagîr fi Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), Hadis No. 2584, h. 155. al-Suyûti berkata: “ Hadis ini sahîh.”

Page 29: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxviii

Dari sisi inilah risalah Islam dan risalah ilahi pra-Islam

secara bersama-sama membentuk satu “kesatuan entitas” yang

melahirkan persaudaraan sejati yang mengikat erat tali hubungan

antara Nabi Muhammad SAW dan para rasul sebelumnya tanpa

diskriminasi apapun. Diantara mutiara hikmah Nabi SAW yang

diwartakan melalui Abu Hurairah, ia berkata: “Saya mendengar

Rasulullah SAW bersabda:

Saya adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi ‘Isa a.s di dunia dan akhirat kelak. Para nabi itu saudara sebapak, ibu mereka berbeda tetapi agama mereka satu/sama.4

Demikian pula halnya, kita mengetahui hal senada dari

sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak

diakui sebagai orang Mukmin kecuali dia mengimani semua Nabi

dan Rasul seperti halnya dia mengimani Nabi Muhammad SAW.

Seperti halnya bahwa iman kepada al-Qur’an tidak dianggap sah

pada hati seorang Muslim kecuali jika dia mengimani kitab-kitab

Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Al-

Qur’an itu adalah saudara kandung Taurat yang diturunkan

kepada Nabi Musa a.s, saudara kandung Injil yang diturunkan

kepada Nabi ‘Isa a.s. Al-Qur’an menggambarkan kedua kitab

tersebut sebagai “petunjuk“ (hudan) dan “cahaya” (nûr). Penting

4 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab Sahîh

al-Bukhâriy, tahqîq Mustafa Dîb al-Bigâ, (Damaskus: Dâr Ibn Katsîr wa al-Yamâmah, 1414 H/1993 M), Hadis No. 3259, Jilid III, h. 1270. Ungkapan أوالت عالتmaksudnya “mereka yang saudara sebapak dari ibu yang berbeda.”

Page 30: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxix

diketahui pembaca, satu kesatuan entitas itu tidak hanya ditandai

oleh kesamaan dimensi persaudaraan kenabian dan persaudaraan

kitab suci saja, tetapi berarti kita memahami dengan sangat jelas

dalam kandungan ajaran Islam itu sendiri, legislasinya dan

hukum-hukumnya. Terkait ini, Q.s. al-Syûra/42:13 menyatakan:

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yakni tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.s. al-Syûra/42:13). Hal ini adalah kebalikan dari kaidah Syariat Islam:

Syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita juga, selama

tidak ada yang menggantikan5.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang

menjamin kontinuitas kebajikan dari generasi ke generasi; dan

bahwa ia merupakan agama yang membuka pintu terhadap siapa

saja, meskipun sang manusia itu datang dari zaman kebodohan

dan kegelapan. Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dari Rasulullah

5 Syariat umat sebelum kita tersebut diperoleh informasinya melalui sumber-sumber ajaran kita

(Islam) , yakni al-Qur’an dan Sunnah. Artinya, apabila diperoleh informasinya melalui sumber periwayatan ahl al-kitâb seperti Taurat dan Injil yang ada pada mereka, atau periwayatan yang ada di kalangan umat Islam yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah maka syariat umat sebelum kita tersebut tidak boleh digunakan sebaga hujah, dalil dan sumber hukum, lihat Atûr Syu’aib ‘Abd al-Salâm, Syar’u Man Qablana: Mahiyyatuhu wa Hujjiyyatuhu wa Nasy’atuhu wa Dawâbituhu wa Tatbîqatuhu, (Kuwait: Jâmi’at al-Kuwait, 2005), h. 383.

Page 31: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxx

SAW, ketika ditanya mengenai tokoh-tokoh bangsa Arab, Nabi

Muhammad SAW menjawab: “Yang terbaik di antara mereka

pada zaman Jahiliah adalah yang terbaik pula pada zaman Islam

bilamana mereka faham (agama).”6

Dari sini nampak jelas kedudukan penting masalah

“perlindungan” atau “suaka” yang menjadi fokus studi buku ini

dengan pendekatan komparatif antara Syariat Islam dan sejumlah

piagam/dokumen hukum internasional dan berbagai perjanjian

internasional. Studi buku ini mengeksplorasi pengertian

“perlindungan” atau “suaka”, dimensi moral dan etis menurut

Syariat Islam dan yang tidak terungkap atau hampir tidak terlihat

dalam hubungan internasional kontemporer. Studi buku ini juga

mengungkapkan kepioniran Islam dalam mengakui hak

perlindungan atau “suaka”. Meskipun demikian, saya berpendapat

bahwa semata-mata penjelasan mengenai kepioniran Islam

tersebut tidaklah cukup untuk menguraikan dimensi moral dan

etis yang merupakan pijakan dasar di balik legislasi hak asasi

manusia menurut pandangan filsafat Islam.

Studi buku ini menunjukkan asal muasal metodologi konsep

yang telah disebutkan penulis. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’

telah mengidentifikasi segi-segi perbedaan dan persamaan antara

pandangan filsafat Syariat Islam dan filsafat hukum internasional

6 al-Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Jilid XIII, h. 1224, Hadis No. 317;

dan Muslim, Sahîh Muslim, Jilid III, h. 1846, Hadis No. 2378.

Page 32: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxi

kontemporer tentang hak perlindungan/suaka. Seperti yang

diindikasikan penulis, konsep “perlindungan” atau “suaka

merupakan dasar fundamental hukum kontemporer, dan bahkan

telah dipraktikkan di kalangan masyarakat Arab pra-Islam.

Prinsip ini disebarkan melalui Syariat Islam, karena merupakan

bentuk tradisi dan budaya yang baik, yang mencakup perilaku dan

nilai etis yang luhur seperti sikap melindungi dan menolong

terhadap orang yang sangat membutuhkan dan yang tengah

dizalimi. Karena itu, Islam sangat menganjurkan dan menuntut

kaum Muslimin mempraktikkan ajaran tolong-menolong

(ta’âwun) ini dalam realitas kehidupan di segala tempat dan

waktu, oleh dan terhadap siapapun, laki-laki maupun perempuan,

orang dewasa maupun kanak-kanak 7 , orang merdeka maupun

hamba sahaya. Kita memahami berdasarkan sejarah bahwa Abû

Sufyân meminta sebelum ia memeluk Islam melalui Fatimah,

7 Anak pra-mumayyiz tidak sah perjanjian perlindungannya; berdasarkan konsensus ulama fikih .

Mengenai anak mumayyiz (para puber), para ulama fikih berbeda pendapat tentang keabsahan perjanjian perlindungannya. Kalangan ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz tidak sah secara hukum Islam karena ia terbebas dari taklîf (tuntutan hukum) dan perkataannya tidak mengikat secara hukum. Pandangan ini diikuti juga oleh kalangan ulama mazhab Hanbali menurut satu riwayat. Sedangkan Malik, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani dan satu riwayat dari kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz adalah sah secara hukum Islam karena didasarkan kepada keumuman makna sabda Nabi SAW: “perlindungan (dzimmah) orang-orang Muslim itu satu, dengannya berjalan orang yang lebih rendah dari

mereka.” ( ذمة المسلمين واحدة يسعى بھا أدناھم ). Pendapat yang terkuat ialah yang menyatakan ketidakabsahan perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz. Ibn Qudâmah berkata: “ Barangsiapa diantara kita memberikan janji perlindungan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya maka dibolehkan/dinilai sah janji perlindungannya; dan dinilai sah janji perlindungan dari orang Muslim yang dewasa, berakal sehat, dan tidak terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun hamba sahaya; dan dinilai tidak sah janji perlindungan dari anak kecil. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni, tahqîq ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halwa, (Kairo: Dâr Hajar, 1413 H/1992 M), Jilid XIII, h. 75. Lihat pula al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Jilid II, h. 155; dan Mugni al-Muhtâj, Jilid IV, h. 237; dan Kasysyâf al-Qinâ’, Jilid III, h. 104; dan Mawâhib al-Jalîl, Jilid III, h. 361; sebagaimana dikutip dari Sâlih ‘Abd al-Karîm al-Zaid, Ahkâm ‘Aqd al-Amân wa al-Musta’minîn fi al-Islâm, (Riyadh: al-Dâr al-Wataniyyah li al-Nasyr, 1406 H), h. 57, 25,77.

Page 33: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxii

puteri Nabi SAW, agar Nabi SAW memberikannya hak suaka di

tengah-tengah kehidupan masyarakat Madinah. Permintaan Abû

Sufyân ini tidak dipenuhi oleh Nabi SAW lantaran ia telah

melanggar perjanjian yang ditandatangani Nabi SAW dan kaum

musyrikin, yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.8

Pembaca Muslim patut berbangga dengan buah karya riset

ini yang telah mengemukakan bahwa Islam mencari segala cara

untuk memenuhi hak suaka kepada orang non-Muslim. Disini

kita mengetahui bahwa Nabi SAW telah memberikan hak suaka

kepada orang-orang musyrik, semata-mata dengan alasan

memberikan suaka bagi mereka yang mendekati Masjidil Haram

atau tindakan mereka memasuki rumahnya masing-masing atau

tindakan mereka memasuki rumah Abû Sufyân. Ketentuan hukum

ini berlaku dalam setiap situasi dan kondisi yang memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan. Penulis mengungkapkan

perkataan ‘Umar ibn al-Khattâb bahwa kata metras merupakan

kata bahasa Persia yang bermakna “perlindungan”; apabila

seorang Muslim mengatakannya kepada seorang non-Muslim

harbiy (Orang non-Muslim harbiy adalah orang non-Muslim yang

melakukan tindakan penyerangan/agresi secara fisik terhadap

orang Muslim) yang tidak memahami bahasa Arab maka ia harus

memberikan kepada orang tersebut jaminan perlindungan/suaka.

8 Abû ‘Ubaid al-Qâsim ibn Salâm, Kitâb al-Amwâl, tahqîq Abû Anas Sayyid Rajab, (Riyadh: Dâr al-

Fadîlah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 295.

Page 34: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxiii

Hal ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, seorang

non-Muslim harbiy yang berada dibawah perjanjian perlindungan

tidak boleh dibunuh dan harta kekayaannya akan diamankan.

Kalau ada seorang Muslim berkata kepada seorang non-Muslim

harbiy: “Berhenti dan letakkan senjatamu!” Ibn Qudâmah

mengemukakan bahwa ‘Umar ibn al-Khattâb pernah berkata

kepada Hormuzan: “Bicaralah dan jangan takut!”; ketika

Hormuzan telah berbicara, ‘Umar ibn al-Khattâb

menginstruksikan agar ia dibunuh. Lalu, Anas menyelak dan

langsung berkata kepada Umar: “Engkau tidak punya alasan

untuk hal demikian, sebab engkau telah menjanjikan perlindungan

terhadapnya.” ‘Umar ibn al-Khattâb menjawab: “Tidak sama

sekali.” Lalu, Zubair berkata: “ Sungguh engkau telah

mengatakan kepadanya: “ Bicaralah dan jangan takut!“. Lalu,

‘Umar menarik kembali instruksinya tersebut. Sejauh yang

penulis ketahui, ini semua tidak diperdebatkan lagi oleh para

ulama.9

Perlu waktu yang panjang apabila kita mau melakukan

perbandingan yang relevan tentang konsep suaka menurut Hukun

Syari’ah yang banyak sekali dijumpai buku ini. Akan tetapi, kita

cukup mengapresiasi artikulasi penyajian dan kedalaman

pembandingan yang ditunjukkan penulis, Prof. Dr. Ahmad Abû

al-Wafâ’. Beliau cukup berhasil dalam kajian ilmu pengetahuan

9 Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid XIII, h. 192-193.

Page 35: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxiv

ini, terutama karena atribusi konsep hak perlindungan/suaka

dalam perspektif Islam dengan landasan teori maslahah. Beliau

memang memiliki pengetahuan mendalam dan wawasan luas

tentang hal-ihwal teori ini dan dimensi-dimensi penerapannya

serta aturan fundamental yurisprudensi teori ini. Lebih dari itu,

beliau kaya akan pengetahuan yang mendalam tentang qawâ’id

usûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah sehingga mampu menyajikan

pembahasan dan pandangan yang kokoh di dalam karya riset

beliau yang istimewa ini, yang dengan mantap menginspirasi

pembaca bahwa Syariat Islam bukanlah teks-teks Tuhan yang

dibacakan atau peta hukum yang dihapal, tetapi ia merupakan

sistem kehidupan yang terus bergerak dinamis di dalam

kehidupan manusia di dunia.

Saya mengakhiri kata sambutan ini dengan mengutip

pernyataan Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ sendiri yang dijadikan

oleh beliau sebagai kalimat penutup pembahasan dan uraiannya,

suatu pernyataan yang sesungguhnya telah dikemukaan oleh Ibn

al-Nabulsi al-Hanafi, yakni: “ Adapun memaksa seseorang untuk

tinggal menetap di suatu tempat dan mewajibkan mereka dengan

hal demikian melalui cara pemaksaan dan otoriter merupakan

tindakan zalim dan melanggar hukum, yang wajib dihindari dan

dicegah oleh umat Islam.

Page 36: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxv

Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegah dan

menahan tindakan yang tidak adil ini.”

Prof. Dr. Ahmad At-Tayyib

Rektor Universitas Al-Azhar - Kairo

Page 37: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

xxxvi

PERSEMBAHAN

Kepada Almarhumah Ibuku Tercinta

Kepada Almarhum Ayahku Tercinta

Dariku dengan kesetiaan, rasa syukur dan dalam

kenanganku

Ahmad Abû al-Wafâ’

Page 38: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

1

PENGANTAR UMUM

Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan,

tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk

persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar

bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam

hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan

urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah

SWT :

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk

menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89).

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. al-Nahl/16:44).

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ).

Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan

(vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai

pengungsi manakala:

10 Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi

Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6. 11 Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1428 H/2008 M), h. 53-62.

Page 39: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

2

1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni

seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta

keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami

penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari

suaka.

2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan

akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau

lainnya, dimana ia menghadapi ancaman

penindasan/penyiksaan.

Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah

negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi

(migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut:

1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial

negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa

aman, dan suaka.

2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person),

tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi.

Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri,

terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah

negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus

diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang

berlaku.

Page 40: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

3

3. Migran ekonomi adalah orang yang meninggalkan

negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut

akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan

pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan

hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab

tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi

oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah

negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik

antara orang yang migrasi dan pengungsi yang masing-

masing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda.

Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan hukum internasional

Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka

menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut

pandangan hukum internasional.

Menurut Syariat Islam

Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu

arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti

“berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di

benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang

membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu.

Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau

obyek yang dijadikan untuk berlindung dari hal yang

Page 41: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

4

membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini

muncul pada Q.s. al-Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s. al-

Syûra[42]:47, yakni :12

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]:57).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118)

Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47).

Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih

dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah

mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti

12 Lihat Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah al-

Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1390 H/1970 M), Bab II, h. 564-565.

Page 42: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

5

menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu

fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13

Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan

dalam hal pencarian dan pemberian suaka atas dasar

pertimbangan bahwa sekiranya yang tampak itu makna

“melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna

“menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan

kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab

menggunakan kata “awaituhu” (saya memberikan suaka

kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah

memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan

perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka

menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi

perlindungan kepada seseorang).14

Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat

Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk

dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang

sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan

umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab menyebut-

nyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam

rangka mengabadikannya dan untuk memotivasi para

13 Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, (Kairo: Dâr al-

Fikr, 1382 H/1962 M), h. 257. 14 Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, h. 338.

Page 43: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

6

pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah

seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15

Kapan saja aku menyeru kaumku Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengah- tengah mereka Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan Maka, kami memegangnya dengan teguh

Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16

Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa takut Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim dingin Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan

Pemberian perlindungan/suaka dan penerimaan atas

permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian

tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka (al-

15 Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo:

Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46. 16 Abû al-‘Abbâs Tsaglab, Syarh Dîwân Zuhair ibn Abî Sulamiy, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1348

H/1964 M), h. 79-80.

Page 44: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

7

mustajirin). 17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan

permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa

bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair

mereka18, disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan

celaan dan ejekan.

Telah nyata bahwa pemberian suaka itu bertujuan

mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada

pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah

‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului

peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika

warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke

daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan

17 Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni: Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami

Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo:

Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98. Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya

mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah menggubah syairnya, yakni:

Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar, Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi

dengan melimpah Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni: Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn

‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122. 18 Muhammad al-Sudaisi, Ijâbat al-Dâ’iy wa Gauts al-Mustanjid ‘ind al-‘Arab hasb Taswîriha fi al-

Syi’r al-Qadîm, dalam Jurnal Universitas Islam al-Imâm Muhaamd ibn Su’ud, Edisi VI, 1413 H/1992 M, h. 441-446.

Page 45: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

8

memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga

melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian

membela isteri dan anak kalian.”19

Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini

memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn

Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh

perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia

menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang

telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain,

sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “

Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20

Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa

al-Qur’an, untuk menggunakan sejumlah kata untuk

mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai

hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (اإليواء

yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam Q.s.al-

19 Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik,

Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.”

20 Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8. 21 Diucapkan: أوى زيد , dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan

sebagai kata kerja intransitif (فعل الزم). Juga diucapkan: أوى زيد , dengan cara baca memanjangkan huruf hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif (فعل متعدي). al-Qur’an menggunakan kedua bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6. Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat al-Tibâ’ah al-Munîriyyah, t.th.), h. 16.

Para ahli bahasa Arab menghimpun antara (أويته وأويته وأويت إلى فالن) اإليواء dan ضفت ) التضيف Lihat Ibn Sayyidih, al-Mukhassas, al-Sifr al-Tsâni . اإليواء والتضيف pada satu judul, yakni (الرجل و تضيفته‘Asyr, (Beirut: t.np., t.th.), h. 312-313. Diantara penggunaan lafaz itu ialah lafaz yang muncul dalam wasiat Rasulullah SAW kepada orang-orang Ansâr, ketika beliau mengalami sakit parah, yakni bahwa “Mereka adalah keluargaku yang aku berlindung kepadanya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo; Matba’ah Mustafa al-Bâb al-Halabiy, 1375 H/1955 M), Jilid II, h. 650.

Page 46: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

9

Anfâl/8:26, Q.s.al-Anfâl/8:72, Q.s.al-Anfâl/8:74, dan Q.s. al-

Duha/93:6, yakni :

Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26).

Lafaz أووا muncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun (ضموا) dan berhenti (انتھوا),

lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289.

Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100, yang berbunyi:

يجد في األرض مراغما كثيرا وسعة ومن يخرج من بيته مھاجر و ومن يھاجر في سبيل هللا رسوله ثم يدركه الموت ا إلى هللا غفورا رحيما وكان هللا فقد وقع أجره على هللا

disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab. Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talab dunyâ dan talab dîn. Adapun hijrah talab dîn meliputi bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan.

Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn (keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr (pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl (perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd (pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs (pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224.

Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: تخفرت بفالن (saya menjadikan si fulan sebagai pembela diri saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr al-Alfiy, (Kuwait: Wizârat al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan” sebagaimana berikut ini:

“ Ini surat dari si fulan untuk si fulan. Sesungguhnya saya melindungimu atas darahmu, hamba sahayamu, dan pengikutmu. Bagimu dan mereka perlindungan Allah yang ditunaikan, peraduannya yang menenteramkan; lalu, perlindungan para nabi yang diutus membawa risalah-Nya, yang dimuliakan dengan wahyu-Nya; lalu, perlindungan orang-orang pilihan, dengan memelihara darahmu dan orang yang masuk namanya besertamu di dalam surat ini, dan keselamatan hartamu dan harta mereka, dan demikian seterusnya; maka, terimalah tawarannya, sambutlah perlindungannya, bergantunglah dengan tali perlindungannya, karena tidak ada lagi setelah itu tali pengikat bagi orang yang masuk dalam perlindungannya melainkan tali pengikat yang kamu ikat dengan sekuat-kuatnya dan kamu berlindung kepada seaman-amannya perlindungan dan keselamatan.” Lihat Ibn Qutaibah al-Dainûri, Kitâb ‘Uyûn al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1343 H/1925 M), h. 225

Page 47: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

10

Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.s.al-Anfâl [8]:72)

Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.al-Anfâl [8]:74).

Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi-Mu? (Q.s. al-Duha[3]:6).

Terkadang digunakan pula kata al-hijrah (الھجرة) untuk

menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam Q.s.al-

Hasyr [59]:9 :

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan

Page 48: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

11

kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.al-Hasyr [59]:9)

Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk

menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata al-

malja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah:

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. al-Taubah/9:56)

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57)

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula( terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118). Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh

Page 49: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

12

tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47).

Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab terdapat ungkapan hishni (pemeliharaanku), maljaî (perlindunganku), malâdzi, (perlindunganku), maw’ilî (perlindunganku), ma’qilî (pemeliharaanku), ma’âdzȋ (perlindunganku), wizrȋ (bebanku), kahfȋ (perlindunganku), maqsadȋ (tujuanku), mu’tamadȋ (sandaranku), mu’tadadȋ (sandaranku), hirdzȋ (pemeliharaanku), mu’tasamȋ (pemeliharaanku), manjaya (penyelamatanku), mahȋsȋ (perlindunganku), ma’alȋ (perlindunganku) ,kanafȋ (pemeliharaanku). 23 istajârahu (meminta perlindungan), istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu (meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya), jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang kepadanya).24

Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang

bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara,

menaungi. Secara spesifik kata اإلستعاذة muncul dalam Q.s. al-

Nahl/16:98 :

22 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki: al-

Maktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345. 23 Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah

Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35. 24 Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah

Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 79.

Page 50: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

13

Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. al-Nahl/16:98).

Menurut Hukum Internasional

Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut

akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap

dirinya lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau

keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu

atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi

kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh

perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau

setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar

negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu

atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke

negaranya. 25 Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam

Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26

a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-

Aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27

25 Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol

1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional.

26 Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130

27 Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika, yang disahkan pada 10 September 1969 dan mulai diberlakukan pada 20 Juni 1974.

Page 51: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

14

memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang

tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:

“Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang

yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari

suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya

lantaran adanya agresi asing, pendudukan asing,

penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu

kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah

negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan

Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi

apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia

tidak mengalami ketakutan terhadap

penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada

prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan

kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara

asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau

tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada

warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi

peperangan atau pendudukan militer.

b. Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi (1984) memberi

tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam

Konvensi 1951, yakni bahwa kata atau konsep

“pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang lari dari

Page 52: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

15

negaranya lantaran kehidupannya, keselamatannya atau

kebebasannya terancam oleh kekerasan yang meluas,

agresi asing, konflik di dalam negeri, pelanggaran hak

asasi manusia secara luas, atau situasi apapun yang

membahayakan ketertiban umum. Meskipun Deklarasi ini

tidak mengikat karena hanya deklarasi semata, bukan

perjanjian internasional yang mengikat, sehingga tidak

berlaku terhadapnya “pacta sunt servanda” (perjanjian

mengikat para pihak yang membuatnya) atau prinsip “ex

consensus advenit vinculum” (kesepakatan bersifat

mengikat); akan tetapi, prinsip ini diimplementasikan

dalam praktik hukum dan legislasi nasional di sebagian

negara-negara Amerika Tengah.

Lebih lagi, Pasal 14 Deklarasi Universal tentang Hak Asas

Manusia menyatakan bahwa :

(1) setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka untuk

memperoleh perlindungan dari negara pemberi suaka dan untuk

menghindari penyiksaan/penindasan;

(2) hak ini tidak dapat diperoleh apabila keadaan itu lahir atas

dasar tindak pidana/kejahatan non-politik atau lantaran perbuatan

yang melanggar tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.28

28 Ketentuan ini juga tercantum pada Pasal 1 Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diadopsi oleh

Majelis Umum PBB tahun 1967 dengan Resolusi No. 2312, yang menyatakan :

Page 53: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

16

Lebih jauh lagi, hak suaka diartikan diperolehnya

perlindungan yang diberikan oleh suatu negara, di wilayah negara

tersebut atau di wilayah lain yang tunduk kepada pemerintah

negara tersebut, kepada seseorang yang meminta

suaka/perlindungan.29

Komponen – komponen hak suaka

Hak suaka mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu:

1. Masuknya seseorang kedalam suatu teritori tertentu, dengan

asumsi ia mencari suaka (dalam bahasa hukum, ini disebut

1. Semua negara wajib menghormati suaka yang diberikan negara lain, dalam rangka melaksanakan

kedaulatannya, kepada setiap orang yang berhak untuk meminta diberlakukannya Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, termasuk orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme.

2. Hak mencari dan menikmati suaka boleh tidak diberikan kepada siapa saja diduga kuat melakukan tindak kejahatan terhadap perdamaian atau tindak kejahatan perang atau tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan yang diatur dalam instrumen hukum internasional.

3. Negara pemberi suaka berhak mengevaluasi alasan-alasan pemberian suaka. Perlu dikemukakan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi pengungsi dalam negeri (refugee sur

place in situ). Misalnya, pejabat diplomatik, utusan/delegasi negara, tawanan perang, mahasiswa, dan pekerja migrant; mereka adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka tanpa berkeinginan sama sekali mencari suaka; namun, akibat situasi dan kondisi yang terjadi, mereka merasa takut akan kemungkinan terjadinya penganiayaan terhadap mereka atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, afiliasi kepada kelompok sosial tertentu, atau pendapat/pandangan politik tertentu, atau kemarahan mereka atas peristiwa yang terjadi di negara mereka, atau keterkaitan mereka dengan tokoh-tokoh politik yang ada di luar negeri dan kelompok oposisi. Mereka ini, sesudah memenuhi persyaratan, dapat dikualifikasi sebagai pengungsi

Telah diketahui bahwa seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi lantaran keadaannya yang demikian; dan karena itu, pengakuan terhadapnya sebagai pengungsi oleh pihak negara pemberi suaka membawa efek deklaratif, bukan konstitutif. Terdapat perbedaan penting antara efek deklaratif dan efek konstitutif. Sebab, status “pengungsi” merupakan status yang empirik sifatnya manakala telah terpenuhi persyaratannya dan unsur-unsurnya tanpa tergantung kepada unsur-unsur eksternal. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat dianggap sebagai pengungsi hanya dengan pengakuan terhadap dirinya, tetapi pengakuan tersebut menjadi sempurna tatkala dia berstatus sebagai pengungsi. Lihat UNHCR, Handbook on Procedures and Criteria for Determining Refugee Status under the 1951 Convention and the 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees, (Genewa: UNHCR, 1992), h. 9.

29 Lihat Ann. IDI, 1950, Vol. 43, h. 157. Lihat pula P. Weiss, The present state of international law of territorial asylum, Ann. Suisse de DI, 1975, Vol. 31; Mubanga-Chipoya, The right to everyone to leave any country, including his own and to return to his country, E/C4/Sba. 2, 1988, h. 35, Juni 1988, h. 103-106. Lihat pula S.Agha Khan, Legal problems relating to refugees and displaced persons, RCADI, 1976. Lihat pula pengertian hak suaka dalam UNHCR, Madkhal ila al-Himâyah al-Dauliyah li al-Lâji’in, 2005, h.184 (dalam Bahasa Arab).

Page 54: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

17

îjâb), yang kemudian dijawab dengan persetujuan negara

tujuan (dalam bahasa hukum, disebut qabûl).

2. Pemberian izin kepada pencari suaka untuk menetap di wilayah

negara tujuan. Ini melahirkan 2 (dua) implikasi penting, yaitu

(1) pencari suaka tersebut tidak boleh dipulangkan ke

negaranya; dan (2) pencari suaka tersebut tidak boleh

diekstradisi ke suatu negara atau pihak lain yang memintanya,

apabila hal ini akan berakibat hukuman atau penganiayaan

bagi pencari suaka tersebut.

3. Pencari suaka itu tidak boleh dihukum lantaran memasuki

wilayah negara tersebut secara ilegal, Hal ini dibenarkan

menurut konsep alasan darurat yang mendorong pencari suaka

itu lari dari negaranya ke negara lain karena menghindari

penganiayaan yang akan dialami diri yang bersangkutan.

Page 55: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

18

BAB I

PERSYARATAN PEMBERIAN SUAKA

MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

Secara prinsipil, perlindungan terhadap pengungsi

berhubungan dengan mereka yang memenuhi persyaratan

kualifikasi pengungsi, atau yang dikenal dengan “pengungsi

beritikad baik” (bona fide refugees)30, sesuai dengan Paragraf 1/A

Tambahan No. 1 Statuta Organisasi Pengungsi Internasional

(1946).

A. Menurut Syariat Islam

1. Persyaratan memperoleh suaka

Agar dapat diberikan suaka sesuai dengan ketentuan Syariat

Islam maka harus dipenuhi persyaratan berikut ini.

a. Pertama, pencari suaka berada di negara Islam atau di

wilayah yang tunduk kepada negara Islam. Hal ini masuk

akal, sebab, untuk dapat diberikan suaka oleh suatu

negara Islam, pencari suaka harus berada di wilayah

negara Islam itu. Sebutan “negara Islam” mencakup

30 Lihat kembali tentang “pengungsi beritikad baik” (bona fide refugees), konklusi No. 15 yang

disetujui oleh Komite Eksekutif Program UNHCR tentang “Pengungsi tanpa Negara Pemberi Suaka”, yang terdapat dalam the UNHCR Conclusions on International Protection for Refugees yang disetujui oleh Komite Eksekutif versi Arab, Kairo 2004, h. 31.

Page 56: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

19

wilayah-wilayah di mana Syariat Islam diterapkan, dan

orang-orang yang menghuninya, baik Muslim, non-

Muslim (dzimmiy) maupun orang lainnya, berada di

bawah perlindungan Islam dan dilindungi atas dasar

ajaran Islam. Dalam kaitan ini, Abu Hanîfah

mengemukakan 3 (tiga) syarat mengenai apa yang

disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm). Pertama,

aturan - aturan yang ditegakkan bersumber dari Syariat

Islam. Kedua, negara itu bertetangga dengan negara-

negara Islam lainnya. Ketiga, penduduknya, baik Muslim

maupun non-Muslim, dilindungi atas dasar ajaran

Islam.31

Kalangan ulama mazhab Mâliki berpendapat bahwa yang

disebut sebagai negara Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara

yang memberlakukan aturan Muslim (Syariat Islam)

dalam sistem hukumnya. 32 Kalangan ulama mazhab

Syâfi’i berpandangan bahwa yang disebut sebagai negara

Islam (Dâr al-Islâm) ialah negara yang penduduknya

diberi ruang untuk menegakkan aturan-aturan Islam

(Syariat Islam). Sedangkan fikih mazhab Hanbali

31 “Tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (ulama-ulama Hanafi), bahwa dâr al-kufr (Negara

non-Muslim) dapat menjadi dâr al-Islâm (Negara Muslim) lantaran adanya pengakuan/penerapan Hukum Syari’ah di negara tersebut.” Lihat al-Kâsaniy, Abû Bakr Mas’ûd, Badâ’i al-Sanâ’i’ fi Tartîb al-Syarâ’i’, tahqîq Muhammad Yâsîn Darwîsy, (Beirut: Dâr Ihyâ’i al-Turâts al-Islâmiy, 1421 H/2000 M), Jilid VI, h. 12.

32 Ibn Rusyd, Abû al-Walîd, al-Muqaddamât al-Mumahhadât, tahqîq Muhammad Hajji, et.al., (Qatar: Dâr al-Turâts al-Islâmiy, 1408 H), Jilid II, h. 153; dan Zakriyyâ al-Ansâriy, Asna al-Matâlib Syarh Raud al-Tâlib, (t.t.p.: al-Matba’ah al-Maimaniyyah, 1313 H), Jilid IV, h. 204.

Page 57: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

20

mengaskan bahwa setiap negara di mana sistem

hukumnya didominasi oleh aturan Islam (Syariat Islam)

merupakan negara Islam (Dâr al-Islâm); dan sebaliknya,

setiap negara di mana sistem hukumnya didominasi

hukum non-Islam merupakan negara non-Islam(Dâr al-

Kufr); dan tidak ada negara selain kedua macam negara

tersebut.33

Begitu pula halnya, suaka/perlindungan dapat diberikan,

seperti akan kita bahas lebih lanjut, di wilayah-wilayah

yang tunduk kepada negara-negara Islam (seperti tempat-

tempat misi diplomatik atau kapal perang).34

Para ulama fikih juga mengakui suaka/perlindungan yang

diberikan negara-negara lain, dan ini sejalan dengan

penerapan asas yurisdiksi-teritorial dan asas yurisdiksi

non-perluasan teritorial negara Islam ke wilayah yang

bukan bagian dari negara Islam.

b. Kedua, terdapat motif untuk memperoleh suaka dan

dalam pandangan Islam, semua motif itu adalah setara.35

33 Ibn Muflih al-Hanbaliy, al-Âdâb al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, (Riyadh: Maktabah al-

Riyâd al-Hadîtsah, 1391 H/1971 M), Jilid I, h. 213. 34 Lihat halaman 133 mengenai suaka diplomatik. 35 Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan

oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan tetap ingin membunuhnya, maka kita harus membunuh orang yang ingin membunuh pencari suaka tersebut. Seandainya kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu kita wajib membantunya dan pahala diberikan terhadap tindakan membantu dirinya karena itulah hal yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm,

Page 58: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

21

Disyaratkan adanya motif memperoleh suaka. Namun,

tidak disyaratkan si pencari suaka itu hanya lari ke

negara Islam lantaran takut terhadap penganiayaan yang

akan menimpanya. Lebih dari itu, 36 suaka dapat

diberikan kepada setiap orang yang ingin tinggal di

negara Islam, baik dengan alasan ia telah memeluk

agama Islam ataupun alasan ia ingin tetap menjadi warga

negara dengan status ahl al-dzimmah (non-Muslim

dibawah perlindungan negara Islam). Dengan demikian,

tidak seperti ketentuan Konvensi 1951 dan Protokol 1967

yang mengatur status pengungsi, yang membatasi

pengertian “pengungsi” pada orang yang lari dari

negaranya lantaran takut akan penindasan/penyiksaan

yang menimpanya, Islam menerapkan pengertian

“pengungsi” yang lebih luas.

c. Ketiga, ketidakinginan atau ketidakmungkinan pencari

suaka memperoleh perlindungan dari negara asalnya.

Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, h. 95.

36 Diantara indikator yang menunjukkan penghormatan para ulama fikih terhadap permintaan bantuan oleh pengungsi ialah pernyataan yang dikemukakan ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm: “ Jikalau orang yang terkena hukuman mati melarikan dari diri dari negaranya, dan lalu pemerintah/penguasa negaranya menginstruksikan agar ia dikejar dan dibunuh, namun ia meminta bantuan kepada kita agar kita mencegah atas rencana tindak pembunuhan terhadapnya, maka permintaan bantuannya itu wajib diterima apabila kita tidak mengetahui fakta sebenarnya, bahkan jika orang yang berencana membunuhnya tidak mau berhenti melainkan dengan menaklukannya maka kita harus menaklukkannya. Seandainya kita mengetahui fakta yang sebenarnya, tentu kita membantu untuk hal demikian; dan pahala diberikan terhadap tindakan membantu dirinya karena itulah hal yang diwajibkan Allah kepada kita.” ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, tahqîq Taha ‘Abd al-Ra’uf Sa’d, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1411 H/1991 M), Jilid II, 95.

Page 59: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

22

Kedatangan si pencari suaka ke negara Islam dan

keinginannya tinggal di negara itu menunjukkan

ketidakinginan atau ketidakmungkinan tersebut. Telah

dikemukakan bahwa makna kata “istijârah”

menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, makna kata

“ijârah” yang terdapat di dalam al-Qur’an.

d. Keempat, ketiadaan pertentangan antara pemberian suaka

dengan prinsip-prinsip Syariat Islam.37

Sudah sewajarnya bahwa pemberian suaka, baik dari

segi substansinya, hasilnya maupun dampaknya, tidak

boleh melanggar atau bertentangan dengan prinsip-

prinsip dan ajaran Syariat Islam.

2. Prinsip-prinsip memperoleh suaka dalam al-Qur’an

Q.S.al-Hasyr/59:9 menetapkan 5 (lima) prinsip utama terkait

suaka dan tatacara penanganan/perlakuan terhadap pengungsi.

Allah berkalam:

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (ansâr) sebelum (kedatangan) mereka (muhâjirîn), mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah kepada mereka (muhâjirîn). Dan mereka (ansâr) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (muhâjirîn); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun

37 Karena itu, Abû Hanîfah berpendapat bahwa perjanjian perlindungan menjadi batal apabila pihak

orang non-Muslim dzimmiy melakukan perbuatan yang merugikan/membahayakan orang Islam, seperti menjadi mata-mata bagi kelompok orang kafir harbiy. Lihat Ibn Jamâ’ah, Tahrîr al-Ahkâm fi Tadbîr Ahl al-Islâm, tahqîq Fu’ad ‘Abd al-Mun’im Ahmad, (Doha: Dâr al-Tsaqafah, 1408 H/1988 M), h. 262.

Page 60: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

23

mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung. (Q.S.al-Hasyr/59:9).

Dari ayat ini terlihat jelas prinsip-prinsip di bawah ini:

a. Kaum Muslim sepantasnya bersikap senang dan gembira

menyambut kedatangan pengungsi (atau imigran dari

suatu wilayah ke wilayah lain) dan bergaul secara baik

dengan mereka. Ini terlihat jelas dari kalam Allah:

“…mereka (ansâr) mencintai orang yang hijrah kepada

mereka (muhâjirîn)…”. Oleh karena itu, para pencari

suaka tidak boleh diusir ke luar batas teritori negara

Islam atau ditolak kedatangannya.

b. Kaum Muslim sepantasnya memperlakukan mereka

dengan baik, dan memprioritaskan

kepentingan/kebutuhan hidup mereka. Ini terlihat jelas

dari kalam Allah: “…dan mereka mengutamakan (orang-

orang muhajirin), atas diri mereka sendiri…”. Yang

dimaksud dengan al-îtsâr ialah lebih mengutamakan

orang lain ketimbang dirinya sendiri perihal

kebutuhan/kepentingan duniawi lantaran lebih

menginginkan keuntungan ukhrawi. Sikap ini lahir dari

sikap percaya diri yang kokoh, kecintaan kepada Allah

yang mendalam, dan kesabaran terhadap

Page 61: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

24

kesulitan/kesukaran. 38 Seperti demikian halnya, karena

sikap lebih mengutamakan orang lain dalam urusan hidup

berada di atas sikap lebih mengutamakan orang lain

dalam urusan harta sekalipun kembalinya kepada urusan

hidup juga.39

c. Penerimaan simpatik terhadap pengungsi, baik yang kaya

maupun yang miskin. Ini terlihat jelas dari kalam Allah:

”Dan mereka (ansâr) tiada menaruh keinginan dalam

hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada

mereka (muhâjirîn)…”. Dengan demikian, apakah

pengungsi itu orang kaya atau miskin tidak punya

pengaruh apapun, karena masalah ini hanya berkaitan

dengan upaya perlindungan dan jaminan keamanan serta

kesejahteraan terhadap diri pengungsi di daerah/negara

tujuan.

d. Ketidakbolehan menolak imigran sekalipun penduduk

daerah/negara tujuan migrasi para imigran itu tengah

mengalami krisis, kemiskinan dan kebutuhan hidup yang

meningkat. Ini terlihat jelas dari kalam Allah: “Sekalipun

mereka dalam kesusahan…”, yakni kemiskinan

kebutuhan hidup yang mendesak atau sedikitnya harta

kekayaan.

38 Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Jail, 1407 H/1987 M), Jilid II, h. 1777. 39 Ibid.

Page 62: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

25

e. Ayat ini juga membuktikan adanya suaka teritorial, hal

ini tercermin dalam ayat: : “Dan orang-orang yang

telah menempati kota Madinah dan telah beriman

(ansâr) sebelum (kedatangan) mereka (muhâjirîn)…”.

Maksudnya, mereka yang tinggal di negeri itu dan

menjadikannya sebagai tanah kediaman mereka. 40 Ini

menunjukkan bahwa penduduk daerah/wilayah tujuan

migrasi wajib menerima kedatangan imigran ke

daerah/negara mereka.

B. Menurut Hukum Internasional

Terlihat jelas dari pengertian yang tercantum pada Pasal 1

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 bahwa sebelum

memeperoleh status “pengungsi”, seseorang diharuskan

memenuhi persyaratan berikut ini:

1. Orang tersebut berada di luar negara yang menjadi

identitas kebangsaannya atau di luar negara yang biasa

didiaminya apabila ia berstatus tidak punya

kewarganegaraan.

2. Adanya kekhawatiran atas timbulnya faktor yang

membenarkannya untuk mengalami penganiayaan 41

40 Ibn al-Turkimâniy, Bahjat al-Arîb fi Bayân ma fi Kitâbillah al-‘Azîz min al-Garîb, (Kairo: al-Majlis

al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1422 H/2002 M), Jilid II, h. 157. 41 Karena itu, Belanda menolak pengakuan warganegara Kristen Turki atas terjadinya penganiayaan

terhadap mereka sebagai alasan memperoleh hak suaka, dengan mengatakan: “ Pemerintah memandang bahwa warga negara Kristen Turki tidak memiliki alasan yang patut akan adanya penganiayaan di tanah air mereka,

Page 63: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

26

lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau afiliasinya

kepada kelompok sosial tertentu, atau lantaran pandangan

politiknya.

3. Pengungsi itu tidak mampu atau tidak ingin berada dalam

perlindungan negara asalnya atau negara yang biasa

didiaminya atau apabila ia berstatus tidak punya

kewarganegaraan dari negara asalnya atau negara yang

biasa didiaminya.

seperti yang dimaksudkan Konvensi Pengungsi Genewa. Penerapan yang dilakukan oleh warga negara Kristen Turki untuk pemberian status “pengungsi”, karenanya, ditolak tanpa pengecualian.” Lihat NYIL, 1985, h. 345.

Page 64: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

27

BAB II

PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG SUAKA

MENURUT SYARIAT ISLAM DAN

HUKUM INTERNASIONAL

Jelas bahwa hak suaka telah diatur secara prinsipil, baik dalam

Syariat Islam maupun hukum internasional. Akan tetapi, sebelum

menjelaskan prinsip-prinsip hukum tentang suaka, perlu kita

tinjau faktor pembeda diantaranya dan tujuan dari pemberian

suaka itu sendiri.

A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur

pemberian suaka

Tujuan akhir dari pemberian suaka ialah adanya jaminan

keamanan dan perlindungan bagi pengungsi yang tinggal di

wilayah negara pemberi suaka.

Prinsip-prinsip hukum yang mengatur pemberian suaka

merupakan hal yang wajib diperhatikan dan ditaati agar tujuan

adanya suaka tersebut terwujud. Jadi, ia merupakan media atau

alat yang mengantarkan kita kepada tujuan akhir dari pemberian

suaka sehingga wajib diperhatikan. Sebab, tujuan akhir dari

pemberian suaka itu disyariatkan, dan karenanya disyariatkan

pula media yang menyampaikan kepadanya. Maka, di dalam

Page 65: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

28

konteks hak suaka, seperti halnya aturan hukum lainnya,

“tujuan” itu tidak menghalalkan “cara”.

Pembukaan Piagam Negara-negara Arab tentang Hak

Asasi Manusia (tahun 2004) mengisyaratkan pengakuan

“prinsip - prinsip yang abadi, yakni persaudaraan, persamaan

dan toleransi antar sesama manusia yang dibangun oleh Islam

dan agama-agama samawi lainnya”.

Pembukaan Konvensi Negara-negara Arab tentang Status

Pengungsi di Negara-negara Arab (tahun 1994) menyatakan

bahwa negara pihak Konvensi berpegang teguh kepada

“keyakinan dan prinsip-prinsip ajaran agama para pengungsi

yang mengakar secara mendalam dalam sejarah Arab dan

Islam, dan yang menjadikan manusia sebagai makhluk

berderajat agung dan bermartabat mulia, dengan berbagai

sistem hidup dan sistem hukum yang apabila dijalankan akan

mewujudkan kebahagiaan, kebebasan dan hak-hak mereka”.

Hal demikian diisyaratkan pula oleh Seminar Pertama

Cendekiawan Arab tentang Suaka dan Hukum Kepengungsian,

yang merujuk kepada “tradisi Arab Islam tentang suaka dan

kepengungsian” Kemudian, Seminar Keempat juga merujuk

kepada prinsip-prinsip kemanusiaan, terutama dalam hal

“prinsip-prinsip solidaritas sosial dan suaka serta prinsip-

prinsip kemanusiaan tentang suaka dalam sistem Syariat Islam

dan sistem nilai bangsa Arab”.

Page 66: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

29

Sementara itu, komunike final dari Simposium dan Seminar

Anggota Parlemen Dunia Arab tentang Hukum Pengungsi

Regional dan Internasional serta Masalah Migrasi, yang

diselenggarakan di Kota Sharm el-Syaikh (kota wisata di tepi

Laut Tengah, Mesir) pada bulan Oktober 2008, menyatakan

bahwa “tradisi, kebiasaan dan praktek – praktek dalam nilai -

nilai Arab dan Islam, berlaku sebagai poros yang kokoh bagi

perlindungan para pengungsi, dan penghormatan atas integritas

kemanusiaan mereka.

B. Prinsip – prinsip utama yang mengatur hak-hak suaka

Patut diketahui bahwa prinsip utama yang mengatur hak –

hak suaka terdiri dari 4 (empat) prinsip.

B.1 Prinsip larangan pemulangan (non-refoulement) A.Menurut Syariat Islam

Islam menolak keras tindakan pemulangan atau

pengembalian pengungsi ke suatu daerah/wilayah dimana ia

merasa takut kebebasan dan hak-hak dasar lain yang

dimilikinya terancam (seperti menjadi korban kekerasan,

penindasan/penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau

lainnya). Bahkan, dikatakan bahwa Islam ialah yang pertama

kali mengakui asas larangan pemulangan dan asas larangan

Page 67: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

30

ekstradisi bagi mereka yang melakukan kejahatan politik.42

Alasan yang mendasari hal tersebut dijabarkan sebagai

berikut:

1. Asas larangan pemulangan atau non-refoulement dianggap

sebagai asas yang bersumber dari hukum kebiasaan43 atau

‘urf (dalam tata pergaulan antar bangsa) dan telah jelas di

dalam qawâ’id fiqhiyyah (kaidah Syariat Islam) bahwa

sesuatu yang diakui oleh kebiasaan atau ‘urf adalah setara

dengan aturan atau sesuatu yang diperjanjikan (al-ma’rûf

‘urf-an ka al-masyrût syart-an) 44 ; bahwa sesuatu yang

dilandasi kebiasaan atau ‘urf adalah setara dengan sesuatu

yang tertuliskan dalam teks atau dilandasi teks syara’ (al-

tsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nass) 45 ; dan bahwa

kebiasaan atau ‘urf merujuk kepada pengadilan (al-‘âdah

muhakkamah)46, maksudnya kebiasaan atau ‘urf itu dapat

dijadikan rujukan dan fondasi hukum.

42 Lihat S mahmassani: The Principles of International Law in the Light of the Islamic Doctrine, RCADI Vol.117, 1966, h.256 43 Vide infra 44 Al-Farghani, Abu al-Mahasin Hasan, Fatawa Qadikhan (al-Fatawa al-Khaniyah), Jilid I, h. 385, (Hasyiyah al-Fatawa al-Hindiyyah).

45 al-Sarkhasiy, Syarh al-Sair al-Kabîr, h. 170 dan 290; dan al-Husairi, al-Qawâ’id al-Dâwâbit al-Mustakhlasah min Syarh al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq ‘Ali ibn Ahmad al-Nadwiy, (Kairo: Matba’ah al-Madaniy, 1411 H), h. 283-285.

46 Ibn al-Subki, Tâj al-Dîn ‘Abd al-Wahhâb, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir, tahqîq ‘Âdil ‘Abd al-Maujûd dan ‘Ali ‘Iwad, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1991 M), Jilid 1 , h. 50; Nâzir Zâdah Muhammad ibn Sulaimân, Tartîb al-La’âli fi Salak al-Amâliy (Kitâb fi al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah), tahqîq Khâlid ibn ‘Abd al-‘Azîz, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, t.th.), Jilid 2, h. 821.

Page 68: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

31

2. Asas ini telah diterapkan sejak periode awal negara Islam

Madinah di bawah kepemimpinan Nabi SAW dan yang

telah beliau akui legalitasnya, sehingga asas ini menjadi

berlaku bagi setiap pengungsi. Salah satu contoh, ketika

kaum Quraisy Mekkah meminta Abû Tâlib (paman Nabi

SAW) menyerahkan beliau kepada mereka, Abû Tâlib

menolaknya dan menggubah syair yang menyatakan bahwa

ia tidak akan menyerahkan diri Muhammad SAW kepada

kaum Quraisy Mekkah meskipun harus meregang nyawa

demi membela diri Muhammad SAW, yakni:47

Kalian berbohong, saya tidak akan menyerahkan Muhammad Dan kami akan berjuang mati-matian demi dirinya Kami tidak akan menyerahkannya Sebelum kami berguguran di sekeliling dirinya Dan diasingkan dari anak dan isteri kami Lalu, kaum yang lain akan bangkit Dengan gemerincing suara pedang yang menghantam kalian

3. Pemulangan atau pengusiran pengungsi atau pencari suaka

ke daerah dimana dikhawatirkan akan terjadi tindak

kekerasan atau penyiksaan terhadapnya bertentangan

dengan asas/prinsip Islam yang dikenal dengan “asas

larangan mencederai jaminan perlindungan” atau “asas

47 Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1418 H/1998 M), Jilid 3, h. 103-104.

Page 69: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

32

larangan mengkhianati janji perlindungan orang yang

meminta perlindungan”.

Umar ibn al-Khattab berkata: “Sesungguhnya kata mitras

(ungkapan bahasa Persia) memiliki arti keamanan. Apabila

kata tersebut kamu ucapkan kepada siapa saja yang tidak

paham bahasa itu, maka kamu telah menjamin

perlindungan terhadapnya.”48

Tak diragukan lagi, ungkapan ‘Umar ibn al-Khattab itu

mengandung maksud bahwa di dalam perjanjian jaminan

perlindungan, tidak ada syarat keharusan penggunaan

bahasa Arab, ia boleh menggunakan wadah bahasa apapun.

Ketika Negus, Raja Ethiopia (Abessinia/ Habsy), menolak

penyerahan orang Muslim Muhâjirîn kepada rombongan

utusan suku Quraisy (‘Amr ibn al-‘Âsh dan ‘Imârah ibn al-

Walîd), Ja’far ibn Abî Tâlib berkata: “Kini, kami benar –

benar berada di negeri yang paling baik dan di dalam

perlindungan yang paling berharga.”49

4. Pemulangan pengungsi ke negara dimana ia khawatir akan

terancam jiwanya atau terlanggar hak-hak asasinya dinilai

sebagai tindakan pengkhianatan dan menurut Syariat Islam,

pengkhianatan hukumnya haram. Hal demikian berlaku,

48 Ibn Qudâmah, al-Mugni, Jilid 3, h. 193. 49 Lihat Ibn Hadîdah al-Ansâri, al-Misbâh al-Mudî’ fi Kitâb al-Nabiy al-Ummiy wa Rusulih ilâ Mulûk

al-Ard min ‘Arabiy wa A’jamiy, (Beirut: Dâr al-Nadwah al-Jadîdah, 1406 H/1986 M), h. 231.

Page 70: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

33

baik pengungsi itu orang Muslim maupun orang yang

berpindah ke Islam. Sebab, dalam kondisi tersebut orang

tersebut sudah memperoleh semua hak yang dimiliki orang

Muslim, antara lain hak perlindungan terhadap jiwanya dan

keselamatan badannya, baik pengungsi itu orang non-

Muslim pencari perlindungan (musta’min) maupun orang

non-Muslim yang tinggal di teritori Islam (ahl al-

dzimmah). Sebab, dengan diberikannya perlindungan (al-

amân dan al-dzimmah), mereka memperoleh penghormatan

yang sama dengan yang diperoleh orang Muslim.

Bahkan, kalangan ulama fikih berpendapat bahwa negara

Islam tidak boleh mengekstradisi sandera atau orang non-

Muslim pencari perlindungan (musta’min) tanpa kerelaan

yang bersangkutan, ke negara asal mereka, meskipun

dalam konteks pertukaran sandera atau tawanan yang

Muslim, dan walaupun negara asal mereka menyampaikan

ancaman agresi jika tidak dilakukan ekstradisi.

Terkait hal ini, dikemukakan dalam kitab al-Siyâr al-Kabîr

:50

“Apabila seorang non-Muslim harbiy datang kepada

kita dengan meminta perlindungan (sehingga ia disebut

musta’min), lalu pimpinan negara orang itu meminta

50 Lihat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: Ma’had al-Makhtûtât bi

Jâmi’ah al-Duwal al-‘Arabiyyah, 1972), Jilid 4, h. 1612-1614. Lihat pula sumber yang sama dengan terbitan Haidarabad al-Dakan, Jilid 3, h. 300-301.

Page 71: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

34

pertukaran tawanan orang Muslim dengan orang non-

Muslim harbiy (yang sudah menjadi musta’min) itu, dan ia

menolak pertukaran itu dengan mengatakan bahwa jika

kalian serahkan diri saya kepada mereka maka pasti saya

akan dibunuh, maka kita tidak boleh menyerahkan orang

non-Muslim tersebut kepada pimpinan negaranya. Sebab,

ia berada dalam jaminan perlindungan kita sehingga ia

seperti orang non-Muslim dzimmiy ketika menolak

pertukaran. Di samping itu, kita menzaliminya bilamana

membuka ruang untuk terjadi pembunuhan terhadap diri

orang itu lantaran mengembalikan mereka ke negara

asalnya, sedang berbuat zalim haram hukumnya, baik

terhadap orang non-Muslim musta’min, orang non-Muslim

dzimmiy maupun orang Muslim yang mencari

perlindungan. Akan tetapi, kita mengatakan kepada

dirinya: “Kembalilah ke negaramu atau kemanapun yang

kamu inginkan jika orang-orang non-Muslim merelakan

hal ini.” Sebab, pemerintah memiliki kekuasaan yurisdiksi

terhadap orang non-Muslim bukan warganegara yang

mencari perlindungan (musta’min) meskipun tidak ada

kekhawatiran terbunuhnya tawanan yang Muslim.

Ketahuilah bahwa seandainya tawanan yang non-Muslim

itu tinggal menetap dalam waktu yang lama di negara kita

(Muslim) maka ia dapat diusir. Maka dari itu, ketika ada

Page 72: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

35

kekhawatiran terhadap terbunuhnya tawanan yang Muslim

atau ketika ada upaya pertukaran tawanan tersebut, maka

tawanan non-Muslim itu dapat diusir dengan syarat ia tidak

berkeberatan atau nyata-nyata ada kekuasaan (yurisdiksi).”

Begitu juga, negara Islam tidak boleh mengekstradisi

orang non-Muslim musta’min, walaupun dalam konteks

pertukaran tawanan yang Muslim. Sebab, menghindarkan

diri dari pengkhianatan atas perjanjian merupakan

perbuatan yang wajib hukumnya menurut ajaran Syariat

Islam dan mengekstradisi orang non-Muslim tersebut

merupakan bentuk pengkhianatan atas perjanjian.51

Bahkan, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani

berpendapat bahwa tidak boleh hukumnya mengekstradisi

orang non-Muslim musta’min yang berada di negara kita,

meskipun pemerintah negara asal mereka mengeluarkan

ancaman agresi militer dan deklarasi perang. Lebih rinci,

Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani mengatakan: “Jika

kaum non-Muslim berkata kepada kaum Muslim:

Serahkanlah ia kepada kami! Jika tidak, kami akan perangi

kalian! Padahal kaum Muslim tidak punya kekuatan militer

untuk melawan mereka, maka kaum Muslim tidak boleh

melakukan hal yang diminta tersebut”. Sebab, tindakan hal

demikian merupakan pengkhianatan kita atas janji jaminan

51 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, Jilid 4, h. 1612-1614.

Page 73: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

36

perlindungan terhadap dirinya dan itu tidak diperbolehkan.

Sama halnya, sekiranya mereka berkata: “Jika kalian

sependapat (dengan kami), itu baik; jika tidak, kami akan

serang kalian.” Akan tetapi, mereka mengatakan

kepadanya: “Keluarlah dari negara Islam, pergilah

kemanapun yang kamu inginkan.” Sekiranya mereka

berkata: “Keluarlah ke daerah/wilayah lain dalam jangka

waktu tertentu; jika tidak, kami akan ekstradisi kalian ke

negara asal kalian; lalu ia menjawab: “Ya, saya terima”,

namun ia tidak keluar. Jika ia merasa nyaman jiwanya

dengan ekstradisi itu, maka kita dapat mengekstradisi

dirinya. Namun jika ia menolak, kita tidak boleh

mengekstradisinya. Sebab, ia memperoleh jaminan

perlindungan di negara kita hingga ia kembali memperoleh

perlindungan di tempatnya yang semula. Dikatakan bahwa

apabila lama tinggal menetapnya orang tersebut di negara

kita melewati batas waktu menetapnya, hal itu merupakan

petunjuk bahwa ia rela diekstradisi ke negara asalnya.

Dengan demikian, kita harus menjadikan hal tersebut sama

dengan pernyataan rela yang tegas. Seperti halnya, seorang

kepala negara berkata kepada orang non-Muslim

musta’min : “Kecuali kau keluar dalam kurun waktu yang

diberikan, maka saya menjadikanmu sebagai dzimmiy.”

(non-Muslim yang tinggal di teritori Islam). Kemudian, ia

Page 74: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

37

tidak keluar maka jadilah ia sebagai orang non-Muslim

dzimmiy atas dasar adanya indikator kerelaan dirinya

terhadap cara demikian. Kami berpendapat, demikian pula

halnya jaminan perlindungan. Hal di atas merupakan

indikator (dalil) yang bersifat hipotetis sehingga tidak

boleh seseorang dihadapkan kepada risiko

kematian/pembunuhan, selama ia tidak menegaskan

kerelaannya terhadap tindakan ekstradisi ke negara

asalnya. Adapun perubahan statusnya sebagai orang non-

Muslim dzimmiy merupakan suatu ketetapan hukum yang

mengandung keraguan/ketidakpastian (syubhah); dan hal

ini diperbolehkan atas dasar indikator (dalil) yang bersifat

hipotetis.”52

Dari apa yang dipaparkan oleh Muhammad ibn al-Hasan

al-Syaibani di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

a. Dalam kondisi apapun, seorang non-Muslim musta’min

tidak boleh diekstradisi ke negara asalnya, meskipun

kejadian itu berada dalam konteks pertukaran tawanan

yang Muslim atau meskipun berimplikasi munculnya

ancaman agresi militer terhadap negara Islam. Sebab,

tindakan mengekstradisi orang tersebut dalam kondisi ini

52 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Haidarabad al-Dakan: t.np., t.tt.), Jilid III, h. 300-301. Lihat pula Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, al-Siyâr al-Kabîr, (Kairo: t.np., t.tt.), Jilid 4, h. 1612-1614.

Page 75: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

38

setara dengan bentuk pengkhianatan yang tidak

mengandung dispensasi apapun.

b. Kepala negara atau pemegang kekuasaan memiliki otoritas

memberikan pilihan kepada orang non-Muslim musta’min

untuk keluar dari teritori negara Islam ke negara lain yang

diinginkannya. Karena itu, pilihan yang dilaksanakan

adalah pilihan yang ditentukan sendiri oleh orang non-

Muslim musta’min tersebut.

c. Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, dengan

pandangannya itu, menjadi pionir terdepan sejak beberapa

abad yang lalu, dalam menjalankan ketentuan – ketentuan

yang diadopsi sejumlah piagam perjanjian internasional

modern tentang hak asasi manusia, hak – hak suaka,

prinsip larangan pemulangan pengungsi yang melewati

teritori negara atau ketentuan larangan ekspulsi

(pengusiran) pengungsi ke suatu negara di mana jiwa dan

kebebasannya terancam.

d. Pemenuhan jaminan perlindungan kepada pengungsi harus

diprioritaskan dibanding yang lainnya.

e. Tujuan adanya larangan mengekstradisi pengungsi negara

asalnya ialah memberikan jaminan keselamatan fisik bagi

pengungsi, dengan tidak mendatangkan kepadanya resiko

kekerasan, penyiksaan atau kehilangan nyawa; karena ini

Page 76: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

39

merupakan hal yang tidak boleh diremehkan dalam

pandagan ajaran Islam.

Beberapa contoh faktual terkait pelarangan ekstradisi

pengungsi dalam Islam, diantaranya ialah:

(i) Penolakan Raja Negus, Raja Ethiopia, atas ekstradisi

sejumlah orang Muslim Muhâjirîn, di mana penolakan

tersebut dilakukan terhadap delegasi suku Quraisy yang

meminta ekstradisi tersebut. Raja Negus justru

memberikan jaminan perlindungan bagi orang-orang

Muslim tersebut sehingga mereka tinggal menetap dalam

naungan jaminan perlindungan yang terbaik di negeri

yang terbaik; sebagaimana yang diwartakan oleh Ummu

Salamah r.a.53

(ii) Peristiwa yang terjadi negeri Yaman, terjadi upaya

penahanan Ibn Najib al-Daulah yang datang untuk

membantu Sayyidah Bint Ahmad dengan menyindir

masyarakat untuk mentaatinya dalam rangka melawan

sang penguasa, al-‘Ubaidi. Ketika hal itu telah diketahui

olehnya, al-‘Ubaidimengirim 100 orang tentara dibawah

kepemimpinan Ibn al-Khayyât untuk menangkapnya.

Ketika Ibn al-Khayyât menemui Sayyidah Bint Ahmad

dan meminta penyerahan Ibn Najib al-Daulah kepada

53 Ibn Ishâq, al-Sair wa al-Magâziy, h. 213-217, Sîrah Ibn Hisyâm, h. 289.

Page 77: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

40

dirinya, Sayyidah Bint Ahmad menolak terang-terangan,

seraya berkata: “Engkau itu utusan yang membawa surat;

ambillah surat jawaban kami dan pergilah atau tunggulah

karena kami akan mengirim surat kepada Khalîfah, dan

kemudian surat jawaban Khalîfah dikirim lagi kepada

kami.” Maka, pasukan itu menakut-nakuti dan

mengancam Sayyidah Bint Ahmad, hingga Sayyidah

Bint Ahmad bersumpah, demi kebaikan Ibn Najib al-

Daulah, dengan empat puluh kali sumpah kepada Ibn al-

Khayyât. Maka, Sayyidah Bint Ahmad mengirim surat

tentang masalah ini kepada sang penguasa, al-‘Ubaidi,

seraya memintakan maaf dan memohon pengampunan

bagi Ibn Najib al-Daulah, kemudian, ia menyerahkan Ibn

Najib al-Daulah kepada Ibn al-Khayyât. Kemudian,

ketika Ibn al-Khayyât bergerak meninggalkan daerah Dzi

Jabalah sejauh satu marhalah, ia melanggar perjanjian; ia

menempatkan piringan besi seberat 100 kati ke kaki Ibn

Najib al-Daulah, seraya mencelanya serta mencaci-

makinya, kemudian dibawanya ke Aden, lalu

dinaikkannya ke kapal air menuju Mesir.54

(iii) Ketika ‘Abdullah al-Qa’syariy diangkat sebagai penguasa

di Irak, penguasa Persia (Iran) memerintahkan agar

54 Lihat Yahya ibn al-Husain, Gâyat al-Amâniy fi Akhbâr al-Qatr al-Yamâniy, tahqîq Sa’îd ‘Âsyûr,

(Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968 M), h. 286-287.

Page 78: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

41

Mani, pemimpin sekte Maniwiah, agar dibunuh dan agar

para pengikutnya dikejar dan dihabisi sehingga tidak

tersisa seorang pun. Akan tetapi, mereka memperoleh

jaminan keamanan, perlindungan dan ketenteraman di

bawah naungan pemerintah Islam; dan Khalifah Khalid

banyak memberikan jaminan perlindungan kepada

mereka.55

(iv) Peristiwa dikalahkannya ‘Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’ dalam

suatu pertempuran di kawasan dekat Faz oleh tangan

kekuatan pasukan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al-Murîni

pada tahun 707 H/1309 M). Kemudian, ia lari ke

Andalucía, Granda lantaran takut akan keselamatan

jiwanya. Disana ia diangkat oleh Sultan Nasr Abû al-

Jiyûsy sebagai komandan/panglima pasukan Andalusia.

Ia berhasil memenangkan sebagian besar pertempuran.

Hal ini memperkukuh faktor yang mendorong mereka

menolak permintaan Sultan Sulaimân ibn al-Rabî’ al-

Murîni untuk mengekstradisi Utsmân ibn Abî al-‘Alâ’

meskipun pihak Sultan acapkali menyampaikan ancaman

keras, termasuk ancaman pemutusan bantuan negeri

Marokko ke Andalusia.56

55 Syibli al-Nu’mâni, Fadl al-Islâm ‘ala al-Hadârah al-Insâniyyah, tarjamah ‘Abd al-‘Azîz ‘Abd al-

Jalîl, (Kairo: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1401 H/1981 M), h. 18. 56 Lihat al-Wazîr Ibn al-Khatîb, Kinâsat al-Dukkân ba’da Intiqâl al-Sukkân, haul al-‘Alâqât al-

Siyâsiyyah bain Mamlakatai Garnâtah wa al-Magrib fi al-Qarn al-Tsâmin al-Hijriy, tahqîq Kamâl Syibânah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1386 H/1966 M), , h.22 - 24

Page 79: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

42

B. Menurut Hukum Internasional

Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)

mengandung makna bahwa pengungsi tidak boleh diusir atau

dipulangkan kembali dengan cara apapun ke perbatasan

wilayah di mana jiwa atau kebebasannya terancam, baik

lantaran ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada organisasi

sosial tertentu ataupun lantaran pandangan politiknya, terlepas

dari apakah ia telah secara resmi diakui sebagai pengungsi

ataupun belum (Pasal 33 ayat [1] Konvensi 1951).57 Hal ini

berlaku juga bagi siapa saja yang memiliki alasan yang valid

bahwa mereka akan mengalami tindakan penyiksaan/kekerasan.

Dalam hal ini, Pasal 3 Konvensi tentang Penentangan

Penyiksaan dan Kekejaman lain, Penghukuman atas Perlakuan

yang Merendahkan atau Tidak Manusiawi, 1984 menyatakan:

"Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir, memulangkan kembali atau mengekstradisi seseorang ke negara lain di mana ada alasan kuat untuk mempercayai bahwa ia akan mengalami bahaya penyiksaan."58

Demikian juga Pasal 16 Konvensi Internasional tentang

Perlindungan semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara

Paksa (2006) menyatakan:

57 Lihat juga Pasal 3 ayat (1) Deklarasi tentang SuakaTeritorial, Tahun 1967. 58 Yang dimaksud dengan “negara lain” ialah negara yang kepadanya seseorang akan dikeluarkan,

dikembalikan atau diekstradisi. Lihat Komentar Umum No. (1) yang disetujui oleh Komite Penentang Penyiksaan, 1997, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of concern to UNHCR, Volume 1, h. 587.

Page 80: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

43

" Tidak ada satu pun negara yang boleh mengusir, mengembalikan memulangkan kembali, menyerahkan atau mengekstradisi seseorang ke negara lain, di mana terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa ia akan mengalami bahaya dihilangkan secara paksa."59

Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)

diatur oleh 5 (lima) aturan dasar dalam hukum internasional

kontemporer:

a. Tidak boleh ada reservasi atau pengecualian dalam satu

atau beberapa teks peraturan perundang-undangan yang

mengakuinya, 60 ditinjau dari segi dampak bahaya yang

dapat ditimbulkannya.61

b. Dalam keadaan apapun, asas larangan pemulangan

kembali (non-refoulement) tidak boleh dikesampingkan.62

c. Prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement)

dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan

internasional, dan karenanya setiap negara harus terikat

59Lihat Resolusi Majelis Umum PBB No. 61/177, 20 Desember 2006 dan Resolusi Dewan Hak Asasi

Manusia No. 1/1, 29 Juni 2006. 60Lihat, misalnya, Pasal 42 Konvensi 1951 yang menegaskan ketidakbolehan membuat pengecualian

(reservasi) atas Pasal 33. 61 Salah satu ketentuan yang terbaik dalam masalah ini ialah Rekomendasi Umum No. 30 (Diskriminasi

terhadap non-Warganegara) yang disetujui oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial pada awal Oktober 2004, yang menyatakan bahwa non-warga negara tidak boleh dipulangkan ke negara atau wilayah di mana mereka berada dalam ancaman bahaya pelanggaran HAM, termasuk penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat kemanusiaan.

62 Karena itu, ditekankan pentingnya ketaatan yang mendasar terhadap prinsip larangan pemulangan kembali, baik di perbatasan maupun di dalam wilayah suatu negara-orang yang mungkin mengalami penganiayaan jika kembali ke negara asal mereka, terlepas dari apakah mereka telah secara resmi diakui sebagai pengungsi. Lihat Konklusi tentang Perlindungan Pengungsi Internasional yang disetujui oleh Komite Eksekutif Program UNHCR, Jenewa, 1996, h. 14, No. 6 (28). Demikian juga ditegaskan bahwa prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) tidak dapat dikesampingkan. Lihat dalam the UNHCR Conclusions on International Protection for Refugees approved by the Executive Committee, Jenewa, 1996, h. 214, No. 79 (47).

Page 81: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

44

dengan prinsip ini, terlepas dari keterikatannya dengan

teks perjanjian apapun.63

d. Karena prinsip larangan pemulangan kembali (non-

refoulement) bersifat jus cogens64 maka tidak boleh ada

kesepakatan untuk mengesampingkannya, dan

kesepakatan seperti itu menjadi batal dengan sendirinya.65

e. Asas ini berfungsi sebagai salah satu alasan mendasar

untuk menolak ekstradisi.66

Mengenai pengusiran pengungsi, secara khusus Pasal 32

Konvensi 1951 menetapkan:

1. Negara pihak tidak akan mengusir pengungsi legal di

wilayah mereka kecuali dengan alasan keamanan nasional

atau ketertiban umum.

2. Pengusiran pengungsi demikian hanya dapat dilakukan

berdasarkan keputusan yang dicapai sesuai dengan proses

hukum yang adil, yang ditetapkan undang-undang.

Kecuali terdapat alasan keamanan nasional, pengungsi

63 Deklarasi Negara-negara Pihak dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi,

(yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 Konvensi 1951) menyatakan bahwa penerapan prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) telah menjadi bagian hukum internasional yang umum" (Alinea Keempat Pembukaan). Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 51. 64 Pembukaan Deklarasi Meksiko dan Rencana Aksi Penguatan Perlindungan Pengungsi Internasional di Amerika Latin (2004) menegaskan bahwa prinsip larangan pemulangan kembali (non-refoulement) bersifat jus cogens, Vol. 3, h. 1221 65 Pasal 53 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969. 66 . Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang. Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F).

Page 82: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

45

berhak mengajukan bukti-bukti untuk mengklarifikasi

dirinya;67 dan ia berhak mengajukan protes/banding, dan

berhak pula menunjuk wakil yang akan melaksanakan hal

ini (protes/banding) di hadapan otoritas kekuasaan yang

berwenang atau pejabat yang secara khusus ditunjuk oleh

otoritas kekuasaan yang kompeten.

3. Negara pihak memberikan kepada pengungsi, jangka

waktu yang wajar untuk memperoleh penerimaan dirinya

secara legal di negara lain. Negara pihak berwenang

melakukan pengawasan internal dalam jangka waktu

tersebut apabila dipandang perlu.

Pelanggaran asas larangan pemulangan kembali (non-

refoulement) dapat tercermin dalam beberapa contoh kejadian,

termasuk yang berikut ini:

1. Menolak pencari suaka di wilayah perbatasan, padahal

mereka dapat mencarinya di wilayah lain.

2. Mengusir atau memulangkan kembali pengungsi ke

wilayah dimana ia berpotensi mengalami penganiayaan,

apakah itu adalah negara asalnya atau negara lain.

3. Tidak memberikan kesempatan kepada pengungsi untuk

mencari tempat/wilayah lain yang aman dengan tidak 67 Tidak boleh memulangkan kembali seseorang dalam kasus di mana ia memiliki ketakutan karena menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan kejam, hukuman keras, atau tidak manusiawi atau merendahkan seseorang. Non-refoulement dapat dipandang sebagai dasar untuk menolak ekstradisi”: Protokol Komunitas Pengembangan Afrika Selatan tentang Ekstradisi (2002), Vol. 3, h. 1096 (pasal 4 / F).

Page 83: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

46

memberikan durasi waktu yang wajar untuk

melakukannya.

Pengecualian dari asas ini terbatas pada yang diatur dalam Pasal

33 ayat 2 Konvensi 1951, yaitu:

1. Jika pengungsi dianggap mengancam keamanan nasional

bagi negara yang didatanginya atau mengancam upaya

pengendalian penduduk seperti bermigrasinya sejumlah

besar orang, 68 atau jika Negara Pihak memutuskan

pengecualian-pengecualian terkait asas larangan

pemulangan kembali (non-refoulement), seperti yang

tertulis dalam paragraf 1 dalam pasal ini diberlakukan,

maka negara itu wajib memberikan kepada orang tersebut,

kesempatan suaka sementara atau kesempatan memperoleh

suaka di negara lain, menurut apa yang pantas dilakukan.69

2. Jikapun pengungsi telah divonis terlibat kejahatan yang

berat, dimana ia merupakan ancaman bahaya bagi

masyarakat negara itu. Namun, ia tidak boleh diusir ke

negara di mana ia mungkin menghadapi risiko penyiksaan,

perlakuan, hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau

68 Pasal 3 ayat (2) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967. Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka

Teritorial, 1967. Lihat juga Rekomendasi No. 22 (97), yang dikeluarkan oleh Dewan Menteri Uni Eropa, khususnya Panduan untuk Menerapkan Konsep Negara Ketiga yang Aman, lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. IV, h. 1403.

69Pasal 3 ayat (3) Deklarasi tentang Suaka Teritorial, 1967.

Page 84: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

47

yang merendahkan martabat kemanusiaan, atau hukuman

lainnya yang melanggar hak-hak asasinya.

B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk atau

hadir secara ilegal di wilayah suatu negara

A. Menurut Syariat Islam

Telah jelas bahwa negara-negara mengakui pentingnya

orang asing memperoleh izin masuk (visa) sebelum datang

ke wilayah suatu negara. Kalangan ulama fikih pun

berpendapat demikian. Kiranya cukuplah kami menyebutkan

pernyataan Ibn Qudâmah :" Tak satu pun dari mereka (non-

Muslim) boleh masuk ke wilayah kami tanpa izin, meskipun

ia adalah seorang utusan atau pedagang.”70

Kalangan ulama fikih mengecualikan sejumlah orang yang

dibebaskan dari keharusan memperoleh izin masuk (visa)

tersebut. Mereka itu ialah:

70 Ibn Qudâmah, al-Iqnâ' fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Bab II, (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, t.th.), h. 38. Lihat al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ' ‘an Matn al-Iqnâ', Bab III, h. 108. Imam al-Bagawî berkata: (tentang non-Muslim yang masuk ke negeri Muslim sebagai seorang pejuang), "Seorang non-Muslim yang memasuki tanah Muslim tanpa diberikan suaka boleh dibunuh." Lihat Imam al-Bagâwî, Syarh as-Sunnah, tahqîq: Syu’aib al-Arnaout dan Zuhair asy-Syâawisy, (Kairo: Dâr Badr, t.th), Hadis nomor 2709, Jilid XI, h.71. Lihat juga Majd al-Dîn Abû al-Barakât, al-Muharrar fî al-Fiqh 'alâ Mazhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Matba’ah as-Sunnah al-Muhammadiyyah, 1369 H/1950 M), Bab II, h 181; al-Murâdî: al-Insâf fî Ma'rifat al ar-Râjih min al-khilâf 'alâ Mazhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî, 1400 H/1980 M), Jilid IV, h. 208.

Page 85: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

48

1. Duta besar, utusan atau pedagang yang memiliki bukti

yang dapat menerangkan statusnya seperti berikut ini:.

Dalam hal ini, Ibn Muflih al-Hanbali berkata: “Haram

hukumnya seseorang yang memasuki wilayah negara kita

tanpa izin. Namun dibolehkan bagi utusan (delegasi) dan

pengusaha/pedagang secara khusus.” 71

Al-Baidâwi menyatakan: “Duta besar dan pendengar

bacaan al-Qur’an dijamin oleh Syariat Islam, yang berbeda

halnya dengan pedagang, yang tidak akan mendapat rasa

aman hingga ia menjadi seorang Mukmin yang

sesungguhnya”.72

2. Perlindungan yang diberikan kepada seseorang

berdasarkan hukum kebiasaan.

Dalam hal ini, salah satu pendapat yang terbaik,

tercantum dalam kitab Hâsyiyah Ibn ‘Âbidin: “Singkat kata,

menurut kebiasaan, seseorang yang tidak memiliki kekuatan

untuk melawan, ketika ia mencari perlindungan, maka dia

akan memperoleh perlindungan; dan kebiasaan itu dapat

menjadi hukum, selama tidak ada norma hukum eksplisit

yang berlawanan dengannya. Jika kita menemukan seorang

non-Muslim, di wilayah negara Muslim, berkata: “Saya

71 Ibn Muflih, Kitâb al-Furû` fî Fiqh al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Matba’ah. Al-Manâr, Kairo, 1354H., Bab III, h. 627; demikian juga karyanya, al-Mubdi’ fî Syarh al-Muqni’, Jilid III, h. 394.

72 al-Baidâwi, al-Gâyah al-Quswâ fi Dirâyat al-Fatwâ, tahqîq: Muhy al-Dîn Dâgi, (Kairo: Dâr al-Nasr li al-Tabâ’ah al-Islâmiyyah, 1982), Jilid II, h. 953.

Page 86: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

49

datang untuk memperoleh perlindungan”, ucapannya itu bisa

saja tidak kita terima. Demikian pula (tidak dapat

dibenarkan), jika dia mengatakan: “Saya adalah utusan Raja

yang diutus untuk menemui Khalifah”, kecuali jika dia dapat

menunjukkan bukti tertulis seperti surat, meskipun mungkin

saja surat itu hasil rekayasa. Sebab, seorang utusan dapat

memperoleh perlindungan sebagaimana praktik yang

berjalan, baik dalam tradisi Jahiliyyah (pra-Islam) maupun

dalam tradisi Islam, meskipun tidak ada dua orang Muslim di

wilayah orang tersebut yang menjadi saksi baginya.73

Al-Buhûti mengatakan: “Orang yang masuk (dari

kalangan mereka) ke negeri Muslim tanpa memperoleh

perlindungan dan mengklaim bahwa dia adalah seorang

utusan atau dia adalah pedagang dan dia memiliki barang

untuk dijual, maka klaimnya itu dapat diterima jika kebiasaan

setempat mengakuinya, seperti masuknya perniagaan non-

Muslim ke wilayah Muslim, dan sebagainya. Sebab,

klaimnya mungkin benar (benerfit of doubt) sehingga hal itu

menjadi alasan untuk mencegah tindakan pembunuhan

terhadap dirinya. Juga karena tidak mungkin pula diajukan

bukti atas hal itu dan juga karena kebiasaan dipandang

sebagai perjanjian/peraturan, maka terhadapnya tidak

73 Lihat Ibn ‘Âbidîn, Hâsyiyah Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî, 1387 H/1966M),

Bab IV, h. 135. Lihat juga: al-Sarakhsî, al-Mabsût, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Bab X, h. 92-93.

Page 87: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

50

dikenakan hukuman. Namun, jika tidak terdapat kebiasaan

itu maka status orang tersebut seperti sediakala, yakni rentan

dan tidak memperoleh perlindungan. Demikian juga, jika

tidak ada benda perniagaan yang menyertainya, ketika dia

mengklaim bahwa dirinya adalah musta’min (orang yang

mencari perlindungan), maka dia harus dipandang telah

bersikap tidak jujur. Dalam keadaan demikian, orang ini

dapat menjadi tawanan perang, di mana penguasa negara

dapat memutuskan dengan pilihan, yakni menjatuhkan

baginya hukuman mati, menjadikannya sebagai budak,

membebaskannya secara cuma-cuma, atau memulangkannya

dengan membayar tebusan.74

3. Klaim seseorang yang didukung oleh bukti prima facie/

kondisional

Dalam hal ini, Imam al-Syâfi’i berkata: “Jika seorang

non-Muslim ditemukan di jalan umum tanpa bersenjata dan

dia mengatakan: ‘Saya datang sebagai utusan’, maka

pernyataannya itu dapat diterima dan kita tidak boleh

mengabaikannya. Jika keadaannya mencurigakan atau

meragukan, maka dia dapat diminta untuk bersumpah. Jika

sudah bersumpah maka dia mesti dilepaskan. Demikian pula,

jika dia bersenjata dalam keadaan sendirian, tidak ikut dalam

74 al-Buhûti, Kasyf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Ibid, Bab III, h. 108.

Page 88: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

51

rombongan yang dilarang, maka, pernyataannya dapat

diterima dan tidak boleh ditolak. Sebab, kedua keadaan

tersebut sejalan dengan pengakuan keduanya. Dalam hal ini

terdapat semacam kaidah hukum, yaitu: siapapun yang

menyatakan sesuatu, dan terdapat fakta yang sesuai dengan

apa yang dikatakannya serta kebohongan tidak dapat

ditemukan, maka perkataannya dapat dipegang/dianggap

benar bila disertai dengan sumpah.75

Tak diragukan bahwa apa yang dikemukakan para ulama

fikih tentang penerimaan klaim pencari suaka yang didukung

oleh bukti kondisional (prima facie) sejalan dengan asas yang

berlaku dalam hukum internasional yang menetapkan

urgensinya pengambilan petunjuk dari keadaan yang

meragukan atau penafsiran keadaan meragukan untuk

kebaikan pencari suaka (benefit of doubt).76

4. Jika dia masuk ke wilayah negara Islam untuk

memperoleh perlindungan

Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail menerima pandangan ini. Dia

mempersyaratkan keharusan memperoleh izin bagi orang

yang memasuki wilayah negara Islam, dengan mengatakan:

“Non-Muslim harbiy tidak boleh memasuki ke wilayah

75 al-Syâfi’î, al-Umm, (Kairo: Dâr al-Sya’b, t.th), Bab III, h. 201. 76 Lihat ketentuan ini dalam Manual of Applicable Procedures and Standards in Refugee Status

Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol relating to Refugee Status, UNHCR, Genewa, 1992, h. 62

Page 89: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

52

negara Islam tanpa izin penguasa negara itu karena dia

mungkin termasuk sebagai mata-mata yang datang untuk

mencari informasi tentang kondisi masyarakat Muslim itu,

dan mungkin melakukan aktifitas penghancuran/perusakan di

wilayah negara Islam”. Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail

menambahkan: “Jika dia memasuki wilayah itu untuk

kepentingan misi kaum Muslimin atau untuk melakukan

aktivitas yang membawa manfaat/maslahat bagi mereka maka

dia dapat masuk tanpa hambatan apapun”.77

Lebih jauh, Abû al-Wafâ’ ibn ‘Uqail berkata: “Jika

mereka memasuki wilayah negara Islam itu tanpa izin atau

bukan untuk memperoleh suaka atau bukan untuk melakukan

perniagaan maka status hukum orang yang masuk dengan

sifat seperti ini serupa dengan status hukum tawanan perang,

di mana penguasa negara dapat memutuskan 4 (empat)

macam pilihan tindakan, yaitu hukuman mati, pembebasan

cuma-cuma, pemulangan dengan pembayaran uang tebusan,

atau penetapan sebagai budak.”78

77 Sâlih al-Rasyîd, Abû al-Wafâ` ibn ‘Uqail, Hayâtuhu wa Ikhtiyarâtuhu al-Fiqhiyyâh, Disertasi

Doktor, (Kairo: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas al-Azhar, t.th.), Bab III, h. 343-344. 78 Ibid, h. 444.

Page 90: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

53

5. Ringkasan argumen-argumen yang mendukung

perlindungan bagi pengungsi yang masuk tanpa izin

Dari uraian sebelumnya telah jelas bahwa sejalan dengan

pendapat kaum ulama fikih, siapapun yang mencari suaka

memasuki wilayah negara Islam tanpa izin akan diberi

perlindungan dan tidak dikenai hukuman. Hal ini didasarkan

pada argumentasi sebagai berikut:

1. Bahwa hal demikian merupakan kebiasaan yang terus

berlaku; dan inilah yang diberlakukan dalam hukum

internasional kontemporer, dan yang merupakan

kebiasaan serta perilaku mulia bangsa Arab dan umat

Islam yang memberikan perlindungan dan keamanan

kepada pengungsi karena statusnya sebagai pengungsi

atau pencari suaka.

2. Bahwa hal demikian didukung oleh fakta kondisional

(prima facie). Secara spesifik, ini tergambarkan ketika

pengungsi mengalami kepanikan dan rasa takut yang

berat lantaran ketakutan akan penganiayaan. Hal ini juga

dapat dianggap sebagai tindakan memberikan bantuan

kepada orang yang mengalami tekanan.

3. Bahwa dia (pengungsi) biasanya mencari perlindungan

dan keamanan. Dalam hal ini terlihat kekhasan yang

yang dimiliki Syariat Islam yang senantiasa memberikan

perlindungan kepada siapa saja yang memintanya,

Page 91: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

54

bahkan kepada orang biasa, sebagaimana yang akan kita

lihat nanti.

B. Menurut Hukum Internasional

Dalam paragraf pertama, pasal 31 Konvensi 1951 tentang

Status Pengungsi termakub: “Negara pihak tidak akan

menjatuhkan hukuman, atas alasan masuknya atau beradanya

pengungsi secara ilegal, kepada pengungsi yang datang secara

langsung dari wilayah di mana hidup atau kebebasan mereka

terancam, sesuai dengan Pasal 1 yang menyatakan bahwa

apabila mereka masuk atau berada di luar wilayah negara

mereka tanpa memiliki izin, asalkan mereka melaporkan

keberadaan diri mereka tanpa menundanya kepada pihak

berwenang dan menunjukkan alasan yang tepat bagi kedatangan

mereka yang ilegal”.

Hal demikian mengandung makna bahwa tidak

dijatuhkannya hukuman lantaran masuknya atau beradanya

pengungsi dalam suatu wilayah negara secara ilegal, diatur oleh

4 (empat) syarat:

a. Masuknya atau beradanya pengungsi secara ilegal itu

lantaran jiwa atau kemerdekaan mereka terancam, sesuai

dengan Pasal 1 (adanya rasa takut yang benar-benar

terjadi lantaran menghadapi penganiayaan dengan alasan

Page 92: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

55

ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok

sosial tertentu atau pandangan politik tertentu).

b. Mereka harus melaporkan diri tanpa menunda kepada

pihak berwenang.

c. Mereka harus menunjukkan alasan yang tepat atas

masuknya atau beradanya mereka secara ilegal.

d. Mereka harus datang langsung dari wilayah negara di

mana hidup atau kebebasan mereka terancam mengalami

penganiayaan. Ini berarti bahwa pencari suaka datang

langsung dari negara asalnya, atau dari negara lain yang

tidak memiliki jaminan perlindungan terhadapnya, atau

dari negara transit, tempat di mana keberadaan dirinya

hanya dalam waktu singkat tanpa permintaan memperoleh

suaka.79

Paragraf 2 dalam pasal yang sama menambahkan bahwa

negara pihak tidak boleh membatasi pergerakan pengungsi

kecuali pembatasan yang perlu dan pembatasan demikian

hanya akan diberlakukan sampai status mereka di negara itu

disahkan atau mereka mendapat izin masuk ke negara lain .

Negara pihak akan memberikan jangka waktu yang layak dan

79 Lihat A Guide to International Refugee Law, No. II, 2001, UNHCR & Inter-Parliamentary Union, h.

84.

Page 93: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

56

juga fasilitas yang perlu bagi para pengungsi untuk

mendapatkan izin masuk ke negara lain.80

B.3. Asas non-diskriminasi

A. Menurut Syariat Islam

Islam memberi suaka kepada siapa pun yang

memintanya, tanpa memandang agama, kebangsaan, ras,

ataupun status ekonominya.81 Hal demikian kembali kepada

prinsip bahwa Islam melindungi hak asasi setiap manusia

tanpa diskriminasi apapun.82

Oleh karena itu, Pasal 9 Deklarasi Universal tentang

Hak Asasi Manusia dalam Islam (1981) menyatakan: “Setiap

orang yang dianiaya atau dizalimi berhak meminta

perlindungan dan suaka. Hak ini harus dijaminkan bagi setiap

orang, tanpa memandang ras, agama, warna kulit, atau jenis

kelamin yang bersangkutan.”

Hak persamaan bagi setiap orang merupakan salah satu

hal yang paling esensial yang menjadi dasar Syariat Islam,

sebab tidak ada keunggulan/kelebihan di antara manusia,

yang didasarkan atas kebangsaan, ras, warna kulit, kekuasaan,

80 Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, UNHCR Regional Office, Egypt, Cairo, April 2006, h. 20. Lihat juga Pasal 5 the Convention on Territorial Asylum (Caracas, 1954).

81 Lihat Utsman bin Fudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘alâ al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat al-Jihâd, tahqiq: Fathî al-Misrî, (Khartoum: Dâr Jâmi’at al-Khartum, 1977), h. 124.

82 Islam telah melindungi hak-hak dari semua orang, Muslim ataupun non-Muslim, laki-laki ataupun perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa, di masa damai ataupun perang, dalam situasi normal ataupun luar biasa.” Lihat Zangi, R. Ben Achourm Giappichelli, (eds.), La Nouvelle Charte Arabe des Droits de l’Homme, Torino, 2004, dalam Ahmed Abou-el-Wafa, h. 609.

Page 94: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

57

ataupun kekayaan; yang ada ialah keunggulan/kelebihan atas

dasar ketakwaannya (kesalehannya).

Al-Qur’an telah menegaskan prinsip persamaan ini dalam

sejumlah ayat, diantaranya:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49:13).

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami mudahkan transportasi mereka di daratan dan di lautan, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.S. al-Isrâ’/17:70).

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka dengan berkalam: “ Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (Q.S. Ali Imran/3:195).

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S. al-Nisâ`[4]:1).

Page 95: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

58

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan dari padanya Dia menciptakan isterinya (Hawa) agar dia (Adam) merasa senang kepadanya. (Q.S. al-A’râf/7:189). Dia (Allah) menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya. (Q.S. al-Zumar/39:6)

Sunnah Nabi juga menegaskan kesetaraan manusia. Menurut

narasi Abu Dzarr r.a.:

“Sungguh saya pernah memaki seseorang dengan cara mencaci ibunya", maka Rasulullah SAW menegur saya: “Wahai Abu Dzarr, mengapa kau mencaci ibunya? Sungguh kau orang yang masih memiliki sifat Jahiliyyah (pra Islam). Hamba sahayamu adalah saudaramu, yang Allah telah tempatkan untukmu. Barangsiapa yang memiliki saudara (pelayan dan budak), maka dia harus memberinya makanan sebagaimana yang dia makan, dan memberinya pakaian sebagaimana yang dia pakai. Jangan kau bebani mereka dengan tugas yang di luar kemampuan dirinya, dan jika kamu memberi mereka tugas yang diluar kemampuannya, maka bantulah mereka (mengerjakannya)”.83

Demikian juga, ketika Abu Dzarr al-Ghiffari mencaci seseorang dengan mengatakan, “Hai anak kulit hitam”, 84 Rasulullah SAW bersabda: Mengapa kau caci ibunya? Sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyyah.85

83 Abû Dâud Sulaimân al-Asy’as, Sunan Abî Dâud, tahqîq ‘Izzat ‘Abd al-Da’as dan ‘Adil al-Sayyid,

(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1418H./ 1997M), Hadis No. 5121, Jilid V, h.215. 84 Mungkin Hadis ini yang menjadi acuan pandangan yang menyatakan bahwa Syariah banyak berisi

larangan terhadap rasisme, dan memberinya label sebagai jahiliyah (ketidakadilan). Lihat Human Rights Practices in the Arab States: the Modern Impact of Shari’a Values, the Georgia Journal of International and Comparative Law, Jilid. XII, 1982, h. 62-63.

85 al-Bukhârî, Abû ‘Abdillah bin Ismail, Sahîh al-Bukhârî, Kitab al-Imân, al-Ma’âsî min Amr al-Jâhiliyyah, No. 30, Bab I, h. 20; dan Muslim, Sahîh Muslim, Kitab al-Imân, Bâb It’âm al-Mamlûk mimmâ Ya`kul, No. 1661, Jilid III, h. 1661.

Page 96: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

59

Al-Qur’an menjelaskan bahwa alasan di balik

penghapusan diskriminasi atas dasar ras, warna kulit atau

fisik itu berdasarkan pada prinsip Islam yang menyatakan

bahwa fakta berbeda-bedanya hal tersebut bukanlah kuasa

manusia.86 Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan:

Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah ? Yang telah menciptakan kamu; lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh-mu seimbang; dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (Q.S. al-Infitâr/82:6-8)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berbeda-beda bahasa kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Q.S. al-Rûm/30:22). Tidakkah kamu melihat bahwa Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya, dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat, dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada

86 Dr. Abdel Aziz Kamil menekankan bahwa masalah diskriminasi ras dapat diselesaikan melalui dua

cara yang berbeda: sains dan agama. Karena Islam, sebagai agama, telah memberi perhatian besar untuk ilmu pengetahuan sejak ayat pertama diturunkan, yakni Iqra’ (bacalah). Sejak awal Islam telah mengetahui bagaimana mengatasi masalah diskriminasi ras. Lihat A. Kamil L'Islam et la Question Raciale, UNESCO, Paris, 1970, h. ii. Lebih jauh, (h. 30) dia berkata: “ Islam melihat manusia sebagai sebuah taman besar, dengan bunga beraneka warna, tapi warna yang satu tidak memiliki prioritas di atas warna yang lain”. Lihat juga Mahmud Syaltut, al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 452.

Page 97: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

60

Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fâtir/35:27-28).

Agaknya, teks-teks ayat yang telah kami kutipkan di

atas menunjukkan keunggulan Islam dibanding dengan

sistem hukum lainnya yang mengadopsi perlakuan

diskriminasi atas warna kulit atau kebangsaan (seperti yang

terjadi di Amerika Serikat dan Afrika Selatan) padahal

mereka tidak memiliki andil atas warna kulit dan kebangsaan

yang mereka miliki. Hal ini dikuatkan oleh pengakuan

banyak pemikir Barat terhadap citra Islam yang menjadi

terhormat karena ajarannya yang anti diskriminasi ras. 87

Bahkan, sebagian mereka berpendapat bahwa sikap Islam

yang anti-diskriminasi ras itu merupakan salah satu faktor

penyebab tersebarluasnya Islam dan terjalinnya hubungan

internasional antara pihak yang mendukung Islam dan pihak

yang tidak mendukungnya.88

87 Demikin juga, ketika melakukan perbandingan antara sikap Islam dan Amerika terhadap budak,

Dunnant berkata: “Terdapat perbedaan nyata antara perilaku kebanyakan orang Amerika dan pengikut al-Qur’an terhadap orang-orang kulit berwarna. Kalangan umat Islam percaya hukum-hukum dibuat untuk berpihak kepada budak, sedangkan di Amerika, didorong oleh keserakahan dan egoisme, mereka mengepung budak dari semua sisi, seperti sebuah penjara dengan dinding besi. Sementara dalam Islam, orang kulit hitam atau blasteran tidak hanya diperlakukan dengan lembut dan ramah, tapi dia dianggap oleh moral dan hukum sebagai sama dengan orang kulit putih, tidak ada penghinaan berat pada dirinya. Pendek kata, mereka adalah saudara”. H. Dunant, L’Esclavage Chez les Musulmans et aux Etats–Unis d’Amérique, Genève, imprimerie Jules–Guillaume Fick, 1863, h. 43-44.

88 Demikian juga, seorang penulis menegaskan bahwa tidak diragukan lagi, penerimaan agama Islam secara meluas disebabkan agama ini tidak melakukan diskiriminasi atas dasar ras atau warna kulit. Lihat Wormser, The Legal System of Islam, American Bar Association Journal, 1978, h. 1361.

Page 98: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

61

Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah mengeluarkan

resolusi tentang asas non-diskriminasi dalam masalah hak

asasi manusia, yaitu:

(i) Resolusi No. 37/20-S menegaskan: “Kesatuan nilai-nilai

Islam tentang hak asasi manusia dan perhatian besar yang

ditunjukkan Syariah Islam terhadap hak asasi dan

kebebasan dasar manusia adalah berlaku untuk setiap orang

tanpa diskriminasi apapun”. Resolusi ini juga menyatakan

diperlukannya upaya memfasilitasi perjuangan menegakkan

“nilai-nilai Islam di dalam masalah hak asasi manusia”.

(ii) Resolusi No. 6/6-S Konferensi Tingkat Menteri di Jeddah,

1975 M/1395 H tentang Apartheid dan Diskriminasi Rasial

di Afrika Selatan, Rhodesia, Namibia dan Palestina

menyatakan bahwa peserta Konferensi berkomitmen untuk

menegakkan prinsip Islam yang menolak diskriminasi

manusia atas dasar ras dan warna kulit.89

B. Menurut Hukum Internasional

Prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu prinsip

fundamental hukum internasional tentang hak asasi manusia

pada umumnya, 90 dan terkait hak suaka pada khususnya.

Pasal 3 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi

89 Resolusi No. 3/7-S Konferensi Tingkat Menteri, Istanbul, 1976, tentang isu yang sama menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, umat Islam harus melawan diskriminasi rasial dalam berbagai bentuknya. Pernyataan dan Resolusi Konferensi Tingkat Tinggi dan Pertemuan para Menteri Luar Negeri OKI, Tahun 1969-1981, (Jeddah: OKI, t.th.), h.182.

90 Ahmad ‘Abd al-Wafa`, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huquq al-Insân, h. 138-139.

Page 99: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

62

menyebutkan bahwa negara-negara Pihak akan menerapkan

ketentuan – ketentuan Konvensi ini terhadap pengungsi tanpa

diskriminasi atas dasar ras, agama atau negara asal.

B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka

Hak suaka melahirkan jaminan perlindungan terhadap

orang yang mengalami ancaman penganiayaan. Hak suaka

memiliki karakter manusiawi yang intrinsik dan tidak

mungkin tidak terlihat. Karakter tersebut terletak di dalam

sumber dan asal dari hak – hak tersebut.

A. Menurut Syariat Islam

Syariat Islam dan hukum internasional kontemporer

memiliki kesamaan pandangan, bahwa dalam hak – hak suaka

terdapat karakter manusiawi. Sebab, sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya, hak suaka ini ada untuk kepentingan

memenuhi permintaan bantuan orang yang sangat

membutuhkannya. Inilah sisi karakter manusiawi dari hak

tersebut. 91 Suaka sendirimerupakan percikan rasa kasih

sayang yang diberikan kepada orang yang dilanggar hak dan

kebebasan asasinya.

Oleh karena itu, kami setuju dengan pendapat yang

menyatakan bahwa pengaturan status pengungsi berada di

91 Demikian juga, pendapat yang mengatakan bahwa desain teori suaka merupakan sebuah konsep kemanusiaan Islam yang mempertimbangkan kesejahteraan individu, dan bukan kepentingan penguasa mereka. Cf. “ Suaka dan Pengungsi dalam Tradisi Islam ", dalam International law Association, Report of the Sixty-Ninth Conference, tahun 2000, h. 321.

Page 100: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

63

bawah lingkup masalah ”interaksi antar sesama manusia”

(muamalah), di mana aturan-aturannya didasarkan pada

hikmah/tujuan hukum yang bermuara pada realisasi

kemaslahatan dan negasi kemudaratan (tahqîq al-masâlih wa

dar’u al-mafâsid).92

Dapat ditambahkan bahwa karena pemberian suaka

berada di bawah lingkup masalah interaksi antar sesama

manusia (muamalah), maka ia juga tunduk pada dua prinsip

berikut:

a. Prinsip Tagayyur al-Ahkâm bi Tagayyur al-Zamân

(perubahan hukum karena perubahan waktu).93 Prinsip

ini didasarkan pada pandangan bahwa teks-teks al-

Qur’an dan Hadis terbatas jumlahnya, sedang peristiwa

hukum tidak terbatas kejadiannya. Sesuatu yang tidak

terbatas tidak dapat diatur oleh sesuatu yang terbatas.

Oleh karena itu, ijtihad harus dilakukan untuk

menemukan jawaban atas peristiwa hukum baru,

termasuk masalah hukum suaka, terutama karena

mempertimbangkan karakternya yang manusiawi.

b. Prinsip yang diambil dari Hadis Nabi Muhammad SAW:

92 Ahmad al-Khamlisyi Mada Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’at al-Duwaliyyah al-Khassah bi al-

Lâji`in. h. 38. Sebuah studi yang diterbitkan oleh ISESCO sebagai bagian dari rencana aksi organisasi pada tahun 2004-2006, h. 38.

93 Kaidah “lâ yunkar tagayyur al-ahkâm bi tagayyur al-azmân”, pasal 39 dari Majallah al-‘Adliyyah, Al-Zarqa, Mustafa, al-Madkhal al-Fiqhiyy al-‘Âmm, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1418 H/ 1998M), Jilid II, h. 941-942. .

Page 101: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

64

Kamu lebih tahu urusan duniamu.94

Demikian pula, Hadis yang mengharuskan penanganan

masalah pengungsi berlandaskan alasan dan pikiran

pertimbangan kemanusiaan.

B. Menurut Hukum Internasional

Sejumlah konvensi internasional menegaskan bahwa

terdapat karakter manusiawi dan damai di dalam hak suaka.

Akibatnya, hak tersebut tidak dapat dianggap tidak bersahabat

atau mengundang permusuhan.95

94 Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dari Tsabit, dari Anas ra. bahwa Nabi SAW melintas di sekelompok

orang yang sedang mengawinkan pohon kurma, lalu Beliau SAW bersabda: “Sekiranya tidak kamu lakukan, akan lebih baik”, katanya: “Kemudian panennya gagal, lalu Beliau SAW melintas lagi di situ pada kesempatan lain, dan bertanya: “Bagaimana keadaan kurma kamu?”, mereka menjawab: “Tetapi begini dan begini (gagal panen)”, maka Nabi SAW bersabda: “Anda lebih tahu tentang urusan duniamu”. Sahîh Muslim, Kitab al-Fada`il, Bâb: Wjib mematuhi sabda Beliau tentang syariat, bukan sabda Beliau SAW tentang kehidupan dunia yang berdasarkan nalar Beliau, nomor 2363, Jilid IV, 1836; Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Kitâb al-Rahûn, Bâb: talqîh al-nakhl (Mengawinkan pohon kurma), Hadis No. 2471, Jilid II, h. 825. .

95 Di antaranya ialah (a) Paragraf No. 5 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi; (b) Pembukaan Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1967 (Resolusi No. 2312); (c) Paragraf No. 2 Deklarasi Negara-negara Peserta Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, yang disetujui pada 12 Desember 2001, bertepatan dengan hari jadi ke-50 Konvensi 1951; (d) Resolusi No. 50\152 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB, 1995 (Paragraf No. 13); (e) Pasal 2\ 2 Konvensi tentang Aspek-aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika, 1969; (f) Pasal 6 Konvensi Dunia Arab tentang Status Pengungsi di Negara-negara Arab, 1994; (g) Pasal 3 Deklarasi tentang Suaka Teritorial (Dewan Eropa, 1977). Pasal 2 Deklarasi terakhir ini menetapkan bahwa suaka diberikan kepada setiap orang yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi. Demikian juga, suaka diberikan kepada orang yang layak dengan dasar alasan kemanusiaan.

Page 102: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

65

BAB III

MACAM - MACAM SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

Ada 3 (tiga) macam suaka, yaitu suaka agama, suaka

teritorial dan suaka diplomatik.

1. Suaka agama

A. Menurut Syariat Islam

Suaka agama dalam pandangan Syariat Islam diberikan

dalam 2 (dua) bentuk.

1. Suaka yang bertujuan untuk mendengarkan al-Qur’an

Allah SWT berkalam:

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrik (pagan) itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6)

Secara tekstual dan kontekstual, ayat ini menjelaskan 96

bahwa suaka diberikan jika:

96 al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat ism nakirah yang bersifat umum dalam

format kalimat bersyarat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî, t.th.), Edisi 2. Jilid II, h. 6. Hal demikian karena lafaz al-‘âmm (kata umum) itu mencakup semua makna yang sesuai dengan kandungannya secara tak terbatas. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyutî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, tahqîq Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, t.th.), Jilid III, h. 23-24.

Page 103: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

66

a. orang yang datang memintanya ialah orang non-Muslim

(alasan personal yang terkandung dalam penerapan

makna ayat tersebut);

b. dia datang untuk mendengar kalam Allah (alasan tujuan

keagamaan yang terkandung dalam penerapan makna ayat

tersebut);

c. dia sedang mencari/meminta perlindungan (obyek isi

yang terkandung dalam penerapan makna ayat tersebut);

d. sehingga dia harus diberi perlindungan (faktor

konsekuensi/efek hukum yang terkandung dalam

penerapan makna ayat tersebut), dan

e. dia harus dibawa ke tempat/lokasi perlindungan yang

aman (tujuan yang terkandung dalam penerapan makna

ayat tersebut).

2. Suaka ke Masjid al-Haram (tempat perlindungan yang

suci di Mekkah)

Pencarian suaka ke kawasan al-Haram juga dianggap

sebagai suaka teritorial, 97 jika pengungsi berasal dari luar

wilayah negara Islam. Allah SWT menetapkan, dalam rangka

menjaga kemuliaan dan kesucian kawasan al-Haram, bahwa

siapapun yang mengungsi ke kawasan al-Haram akan

97 Beberapa ahli fikih menganggap suaka ke al-Haram sebagai semacam “suaka agama dalam Hukum

Syari’ah”. Burhan Amrullah, al-Nazariyyah al-‘Âmmah li Haqq al-Malja` fi al-Qânun al-Duwaliy al-Mu’âsir, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h. 40-41.

Page 104: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

67

mendapat jaminan perlindungan. Hal ini berdasarkan kalam

Allah SWT:

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam (tempat berdiri) Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah) maka amanlah dia. (Q.S. Ali ‘Imrân/3:96-97).

dan kalam Allah SWT:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya rampok-merampok. (Q.S. al-‘Ankabût/29:67).

dan kalam Allah SWT :

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Q.S. Quraisy/106: 3-4).

Demikian juga kalam Allah SWT :

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.. (Q.S. al-Baqarah/2:125).98

98 Dalam penafsiran kata “tempat yang aman” pada frasa kalam Allah SWT (Kami jadikan Baitullah

tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman), dalam ayat di atas, Imam Abu al-Sa'ûd menjelaskan bahwa “tempat yang aman”, sebagaimana kalam Allah (kawasan al-Haram yang aman), dengan menggunakan kata dasar (al-masdar) menempati posisi ism fâ’il, dalam bentuk mubâlagah (penekanan yang kuat); atau dipandang sebagai gabungan kata yang bermakna “yang memiliki rasa aman”; atau dalam bentuk frasa majaz, yang mengandung makna “orang yang aman dari siksa Allah di akhirat karena melaksanakan ibadah haji”, mengingat bahwa ibadah haji menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya; atau mengandung makna, sebagaiamana pendapat Abu Hanifah, yakni pelaku kejahatan yang memasuki kawasan al-Haram, aman dari ancaman hukuman, sampai dia keluar dari kawasan itu. Kata “aman” dapat juga dipandang sebagai analogi terhadap keamanan yang mencakup semua hal, termasuk keamanan bagi orang yang masuk lebih dahulu. Lihat

Page 105: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

68

Nabi Muhammad SAW, pada peristiwa

pengambilalihan otoritas kota Mekkah, bersabda:

Siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka dia akan aman, barangsiapa yang masuk ke rumah Abû Sufyân, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang tetap berada di rumahnya, maka dia akan aman.99

Seorang ulama fikih terkenal, al-Kâsani berpendapat

bahwa ada 3 (tiga) dasar alasan yang melandasi larangan

tindakan pertumpahan darah di kawasan al-Haram (Mekkah

dan Medinah), yaitu keimanan, permintaan perlindungan, dan

pencarian suaka ke kawasan al-Haram.

Berkaitan dengan kawasan al-Haram sebagai tempat

berlindung, al-Kasani menegaskan: mengenai berlindung ke

kawasan al-Haram, apabila orang non-Muslim harby

berlindung ke kawasan al-Haram, ia tidak boleh dibunuh,

tetapi ia tidak perlu diberikan makanan, minuman, tempat

penampungan, dan diambil sumpah setianya, hingga ia keluar

meninggalkan kawasan al-Haram. Sedangkan menurut al-

Syafi’i, orang itu boleh dibunuh di kawasan al-Haram.

Namun, ahli fikih (mazhab Hanafi) secara internal berbeda

pendapat; Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa

Abu Sa'ûd, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazâya al-Qur`an al-Karîm, Bab I, (Kairo: Dâr al-Mushaf), h. 157. Lihat juga Ibn al-'Arabi, Ahkâm al-Qur`an, Bab I, h. 37-39.

99 Hadis diriwayatkan oleh Muslim, Bab: Fath Mekkah dari Kitab al-Jihâd wa al-Siyar, Sahîh Muslim, Bab III, h. 1408, Hadis No.1780. Lihat juga Ibn Syaibah, Kitâb al-Magâzî, h. 318-319.

Page 106: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

69

orang itu tidak boleh dibunuh atau dikeluarkan dari kawasan

al-Haram, Abu Yusuf berpendapat bahwa orang itu tidak

boleh dibunuh, tetapi boleh dikeluarkan/diusir dari kawasan

al-Haram.”100

Para ulama fikih sepakat bahwa jika seseorang

melakukan kejahatan terhadap tubuh yang diancam dengan

hukuman qisas, lalu ia berlindung ke kawasan al-Haram

maka hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Demikian

juga, orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa atau

tubuh di kawasan al-Haram hukuman qisas diberlakukan

kepada dirinya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat

mengenai apakah orang yang melakukan kejahatan di luar

kawasan al-Haram, yang kemudian berlindung masuk ke

kawasan al-Haram dapat langsung dikenakan dengan

hukuman tersebut.

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang tersebut

tidak boleh langsung dikenakan hukumannya di kawasan al-

Haram, tetapi harus dipaksa keluar dari kawasan al-Haram,

dengan cara tidak diberikan makanan, minuman atau izin

berinteraksi. Jika orang itu keluar, barulah ia dieksekusi.

Pendapat ini berdasarkan makna umum ayat al-Qur’an:

100 al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, (Beirut:Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1402 H/ 1982

M), Bab VII, h.114.

Page 107: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

70

Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka ia akan aman. (Q.S. Âli ‘Imrân/3:97).

Dalam pada itu, mayoritas ulama fikih, termasuk al-

Syâfi'i dan Mâlik, berpendapat bahwa apabila orang yang

melakukan kejahatan terhadap nyawa secara sengaja di luar

kawasan al-Haram, kemudian berlindung masuk ke kawasan

al-Haram maka ia boleh langsung dikenakan hukumannya.

Mereka menganalogikan kasus tersebut dengan kasus orang

yang melakukan kejahatan di kawasan al-Haram, 101 yakni

apabila ia menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja

atau melakukan salah satu kejahatan hudûd (hukuman yang

telah ditentukan sanksinya oleh Syariat Islam) di kawasan al-

Haram maka ia akan dijatuhi hukuman yang sesuai.102

Terdapat perbedaaan pendapat para ulama perihal apakah

jika seorang non-Muslim harbiy masuk ke kawasan al-

Haram, maka hal itu tidak mencegah seorang Muslim dalam

memberikan perlindungan kepada orang non-Muslim itu.

Dalam hal ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika orang

Muslim memberikan perlindungan kepada orang non-

Muslim harbiy yang berada di kawasan al-Haram atau

101 Tafsîr al-Qurtubî, Bab IV, h. 140; Tafsîr al-Tabarî, Jilid VII, h. 29-34; Mustafa Sa’îd al-Khinn,

Atsar al-Ikhtilâf fî al-Qawâ’id al-Usuliyyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Disertasi Doktor, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar, t.th.), h. 165-166. Al-Qurtubî berkata: “Pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kebebasan pelaku dipersempit sampai ia keluar dari al-Haram atau mati, mengandung arti bahwa kita menghukumnya dengan pedang, sedang Abu Hanifah menghukumnya dengan kelaparan; maka, pembunuhan manakah yang lebih sadis dari ini? Lihat al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Jilis II, h. 111.

102 Ibn Qudâmah, al-Mugnî, Bab X, h. 236-238; al-Syafi’i, al-Umm, Jilid IV, h. 201-202.

Page 108: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

71

setelah orang itu keluar dari kawasan al-Haram, atau sebelum

ia ditangkap, maka ia ditolak permintaan suakanya.

Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-

Syaibânȋ menyatakan bahwa jaminan suakannya itu sah, dan

orang non-Muslim harbiy tersebut diberikan tempat yang

aman.103

Sementara itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa orang

yang jiwanya tidak dilindungi di luar kawasan al-Haram, dia

dapat memperoleh perlindungan jika masuk ke kawasan al-

Haram, dengan syarat orang tersebut meminta perlindungan

bukan karena alasan peperangan. Berbeda halnya apabila

orang tersebut masuk ke kawasan al-Haram karena alasan

peperangan, maka ia tidak mendapat jaminan perlindungan.

Lebih dari itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa meskipun

orang tersebut termasuk orang yang dibolehkan untuk

diperlakukan dibawah tekanan dan tidak perlu diberikan

perlakuan yang baik, tapi ia tidak boleh terhalang dalam

mendapatkan makanan, dan minuman lantaran ini semua

merupakan hak orang tersebut. Sebab, Rasulullah SAW telah

menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak kolektif atas

padang rumput, air, dan api (diasosiasikan dengan sumber

daya energi) berdasarkan dalil berikut:

103al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’,Ibid, Jilid VII, h. 117.

Page 109: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

72

Ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh dihalangi, yaitu air, lahan berumput dan api.104

Kami (penulis) berpendapat bahwa pada dasarnya,

apabila pengungsi yang datang dengan alasan melarikan diri

dari tindakan penganiayaan terhadap dirinya, maka ia dapat

menikmati jaminan perlindungan yang dianugerahkan Allah

kepada kawasan al-Haram, bahkan meskipun ia adalah

seorang petarung non-Muslim harbiy. Hal ini didukung oleh

Hakim Ibn al-‘Arabi yang menginformasikan: “Saya datang

ke kawasan Bait al-Maqdis (semoga Allah mensucikannya),

di Madrasah Abi ‘Uqbah al-Hanafi, di mana Hakim al-

Raihâni sedang memberikan materi pengajian pada hari

Jumat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki tampan mengenakan

pakaian gembala yang lusuh lalu ia mengucap salam kepada

kami dengan gaya salam ulama dan langsung mengambil

posisi di hadapan majelis pengajian. Lalu, al-Raihâni bertanya

kepadanya, “Siapakah Tuan ?” Ia menjawab: “Saya adalah

orang yang kemarin dilucuti oleh perampok, dan tujuan saya

adalah kawasan al-Haram yang suci ini. Saya adalah seorang

pencari ilmu pengetahuan dari Sâgân.” Lalu, al-Raihâni

segera berkata: “Tanyai dia! Sudah menjadi kebiasan mereka,

menghormati ulama dengan mengajukan pertanyaan

104 Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, tahqîqMuhammad Fuad ‘Abd al-Bâqî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.), Hadis No. 2473. Di dalam kitab al-Zawâ`id, beliau menyatakan bahwa sanad Hadis ini sahîh dan para periwayatnya dapat dipercaya, Bab II, h. 826.

.

Page 110: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

73

kepadanya. Banyak pertanyaan yang keluar melalui undian

(karena demikian banyaknya pertanyaan) ialah perihal orang

kafir yang mencari perlindungan di kawasan al-Haram;

mengenai apakah ia boleh diperangi (dibunuh) ataukah tidak.

Lalu, tokoh ulama Sâgân itu berpendapat bahwa orang itu

tidak boleh dibunuh. Lalu, sang tokoh ulama ini ditanya

tentang dalil/alasan pendapatnya maka ia menjawab dengan

Kalam Allah SWT :

Dan janganlah memerangi mereka di Masjid al-Haram sampai mereka memerangi kamu di situ. (Q.S. al-Baqarah/2:191)

“Ada yang membaca ayat ini dengan bunyi: jangan

membunuh mereka dan ada yang membacanya dengan bunyi:

jangan memerangi mereka. Jika dibaca Dan janganlah

memerangi mereka maka ini merupakan suatu pernyataan

yang tegas maknanya (nass). Akan tetapi, jika dibaca Dan

janganlah memerangi mereka, maka ini merupakan suatu

ungkapan bermakna peringatan karena larangan memerangi

yang merupakan awal penyebab terjadinya pembunuhan, itu

juga merupakan petunjuk yang gamblang akan adanya

larangan membunuh.”

Kemudian, Hakim al-Raihâni menyanggah pendapat sang

tokoh ini sekaligus mendukung pendapat al-Syâfi’i dan

Page 111: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

74

Mâlik, meskipun biasanya al-Raihâni tidak setuju dengan

pendapat kedua tokoh ulama pendiri mazhab ini. Lalu, al-

Raihâni berkata: “Ayat ini mansûkh (digantikan atau

diperbarui) oleh kalam Allah dalam Q.S.al-Taubah/9:5 (maka

bunuhlah orang-orang kafir di mana saja mereka berada).

Tokoh ulama al-Sâgânî itu kemudian berkata kepada al-

Raihâni: “(Sanggahan) ini tidak pantas diutarakan hanya

karena tingginya martabat dan intelektualitas seorang hakim.

Ayat yang Anda kemukakan untuk menyanggah pendapat

saya merupakan ayat yang bernada umum (‘âmm), berlaku

untuk semua tempat dan keadaan, sedang ayat yang saya

kemukakan merupakan ayat yang bernada spesifik (khâss).

Tidak seorangpun dibolehkan mengklaim ayat yang bernada

umum (‘âmm) membatalkan atau menggantikan atau

memperbarui ayat yang bernada spesifik (khâss). Seketika al-

Raihâni diam tertegun. Ini merupakan salah satu pernyataan

yang terbaik. 105 Oleh karena itu, kawasan al-Haram

senantiasa merupakan tempat berkumpul dan tempat

berlindung semua orang.106

Demikianlah, kaum ulama fikih membedakan 2 (dua)

macam perlindungan di kawasan al-Haram. Pertama,

memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi yang

105 Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân, Bab I, h. 106-107.

106 Bagi seluruh umat manusia

Page 112: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

75

masuk ke kawasan al-Haram untuk meminta perlindungan

dari penganiayaan dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, hal

ini sesuai dengan esensi konsep dan sistem suaka dalam

hukum internasional modern, yakni memberi jaminan

keamanan dan perlindungan bagi setiap pencari suaka.

Kedua, tidak memberikan jaminan perlindungan kepada

pengungsi apabila ia masuk ke kawasan al-Haram untuk

berperang atau menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi

demikian, pengungsi tersebut memang tidak mencari

keselamatan, tetapi mencari yang sebaliknya. Karena itu,

sangat logis jika tidak memberikan jaminan perlindungan

apapun kepada dirinya. Konsekuensinya, ia tidak mendapat

perlindungan dan keselamatan seperti yang termasuk dalam

hak suaka.

Nabi SAW menegaskan perlunya menghormati setiap

orang mengungsi ke kawasan al-Haram, melalui Hadis:

Sesungguhnya Mekkah telah dimuliakan oleh Allah, ketika orang belum memuliakannya; Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan darah di kawasan al-Haram. (H.R. al-Bukhâri).107

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa hal

demikian merupakan pengharaman dalam Syariat Islam yang

107 al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 4044, Jilid IV, h. 1563; Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No.

1354, Jilid II, h. 987.

Page 113: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

76

bersifat tetap. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah membedakan

antara pengungsi dan orang yang terlibat tindak pidana di al-

Haram, dengan mengatakan bahwa Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu; jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Q.S. al-Baqarah/2:191).

Perbedaan antara pengungsi dan pelaku kejahatan di

kawasan al-Haram dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,

pengungsi yang melakukan kejahatan di dalam kawasan al-

Haram berarti menistakan kemuliaan dan kesuciannya. Hal

ini berbeda dengan penjahat yang melakukan kejahatan di

luar kawasan al-Haram, lalu mencari perlindungan dengan

masuk ke kawasan al-Haram. Dengan meminta perlindungan,

berarti ia mengagungkan dan menghormati kemuliaan atau

kesucian kawasan al-Haram. Analogi salah satu dari kedua

tipe orang itu dengan tipe yang lain tentu merupakan analogi

yang tidak valid. Kedua, pelaku kejahatan di kawasan al-

Haram serupa dengan orang yang melakukan kejahatan di

istana raja. Sedangkan pelaku yang melakukan kejahatan di

luar kawasan al-Haram, lalu ia masuk ke dalam kawasan al-

Haram, adalah sama seperti seorang pelaku kejahatan di luar

istana raja, kemudian masuk ke istana raja untuk mencari

perlindungan. Ketiga, pelaku kejahatan di kawasan al-Haram

Page 114: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

77

telah menistakan kesucian Allah dan Masjid al-Haram yang

dimuliakan-Nya sehingga ia telah menistakan dua macam

kesucian; dan berbeda halnya pelaku kejahatan di luar

kawasan al-Haram. Keempat, jika hukuman hadd tidak

diberlakukan terhadap pelaku kejahatan di kawasan al-

Haram, tentu kerusakan, korupsi dan keburukan akan

merajalela di kawasan itu, padahal penduduk kawasan al-

Haram itu sama dengan penduduk di wilayah lainnya yang

nota bene membutuhkan perlindungan atas jiwa, harta dan

kehormatan mereka. Jika hukuman hadd tidak diberlakukan

kepada pelaku kejahatan di kawasan al-Haram maka hukum-

hukum Allah akan terabaikan sia-sia, dan kemudaratan akan

menimpa kawasan al-Haram dan penduduknya. Kelima,

orang yang berlindung masuk ke kawasan al-Haram serupa

dengan pelaku kejahatan yang bertaubat dan menyesal,

mengharapkan perlindungan ke rumah Allah SWT, sehingga

ia tidak boleh dilecehkan atas nama kemuliaan al-Haram,

berbeda halnya dengan orang yang menistakan kesuciannya.

Jadi, jelas sekali perbedaannya.

Ibn Qayyim menambahkan, dalam kehidupan bangsa

Arab masa Jahiliah, biasanya ketika seseorang melihat

pembunuh ayahnya atau anaknya di kawasan al-Haram,

maka ia tidak boleh melawannya. Kebiasaan itu dipraktikkan

Page 115: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

78

pada masa sebelum Islam dan kemudian agama Islam datang

dan mengukuhkannya.108

Oleh karena itu, menghormati orang yang

berlindung/mengungsi ke kawasan al-Haram, dalam batas-

batas yang tertentu seperti diatas, merupakan hal yang valid

dalam Syariat Islam.

B. Menurut Hukum Internasional109

Pemberian suaka agama dalam rangka menyediakan

perlindungan kepada siapa pun yang memasuki tempat-tempat

keagamaan atau sakral merupakan salah satu bentuk tertua

pencarian suaka. Sejak zaman dahulu, sebagian besar agama-

agama, bangsa dan masyarakat telah membenarkan tindakan

tersebut. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapat suaka

memiliki makna sakral, ketika pengungsi mencari suaka dari

tempat-tempat keagamaan atau suci menjadi tempat berlindung

(Sanctuaire).

108 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi),

Jilid II, h. 177. 109 Patut dicatat bahwa hukum internasional modern tidak menjadikan agama-agama sebagai dasar

landasan aturan dan sistemnya. Hal ini bertolak belakang dengan Hukum Syari’ah yang menjadikan Islam sebagai fokus perhatiannya, bahkan pada tingkat global dan dalam hubungan dengan negara-negara lain. Pernyataan ini, khususnya yang berkaitan dengan hukum internasional, didukung oleh kutipan berikut: “ Cuius region eius religio (wilayah hukum adalah wilayah agama) adalah formula substantif untuk perdamaian yang memuaskan semua pihak.“ Zartman dan Berman, The Practical Negotiator, (Yale University Press, 1982), h. 103. Pendapat lain mengatakan bahwa hukum positif internasional mengabaikan seluk-beluk seperti paralegal yang mengabaikan hukum agama dengan berpura-pura secara halus. R. Yakemtchouk, Les Frontieres Africaines, RGDIP, 1970, h. 58.

Page 116: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

79

2. Suaka Teritorial

A. Menurut Syariat Islam

Syariah Islam tidak mengabaikan suaka teritorial karena hal

ini pada dasarnya sudah dikenal sejak era pra-Islam. Memberi

perlindungan dan memuliakan pengungsi merupakan salah satu

sifat luar biasa dari bangsa Arab. Mereka menyebut jenis suaka

ini dengan istilah dikhalah (intervensi) atau najdah (menolong).

Konsep Islam telah mengadopsi pendekatan yang sama dengan

mengakui pemberian suaka kepada Muslim dan non-Muslim.”110

Ada beberapa bentuk suaka teritorial menurut

pandangan Syariah Islam. Dalam pandangan penulis, yang

paling penting adalah sebagai berikut:

1. Pemberian suaka teritorial oleh otoritas negara

Sebagaimana diketahui, para pemegang otoritas di setiap

negara, termasuk negara-negara Islam, memiliki wewenang

untuk memberi suaka di wilayah mereka sendiri. Dalam

sejarah negara-negara Islam, contoh seperti itu sangat banyak.

Salah satu contohnya ialah bahwa pada masa

pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, terjadi peristiwa

di mana Rauzabah ibn Barzag, orang Persia, meminta suaka

110 Lihat Muhammad Tal’at al-Gunaimi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fî Qânûn al-Umam, (Alexandria:

Mansya`at al-Ma'arif, 1970), h. 720. Al-Tahtawi mengatakan bahwa manusia bersikap sebagai warga negara secara alami dan akrab sesuai dengan lingkungan. Lihat Rifâ'ah Râfi' al-Tahtawi, al-Daulah al-Islâmiyyah Nizâmuhâ wa 'Amâlâtuhâ, yang merupakan buku suplemen atas buku Nihâyat al-`Îjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz, (Kairo: Maktabat al-Adab, 1410-1991), h. 47.

Page 117: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

80

kepada Sa’ad ibn Abi Waqqâs. 111 Menurut para penulis

biografinya, ia adalah seorang gubernur di suatu wilayah

Romawi yang diinstruksikan oleh Raja Persia untuk membawa

senjata ke wilayah itu. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi

kalangan bangsawan Persia sehingga Rauzabah merasa tidak

aman. Kemudian ia datang ke Kufah menemui Sa’ad.

Rauzabah membangun istana dan masjid agung untuk Sa’ad.

Sa’ad menulis surat kepada Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb

tentang status Rauzabah. Ketika Rauzabah memeluk Islam,

Khalifah ‘Umar memberinya uang dan mengirimkannya

melalui Sa’ad. Contoh lainnya ialah pembelotan ke negara

Islam, yang dilakukan oleh Ward pada masa pemerintahan

Khalifah ‘Adud al-Daulah. Raja Romawi meminta kepada

Khalifah ‘Adud al-Daulah untuk mengekstradisi Ward.112

111 Muhammad Hamidullah, Majmû’ah al-Watsâ`iq al-Siyâsiyyah li al- ‘Ahd al-Nabawî wa al-Khilâfah

al-Râsyidah, (Beirut: Dâr al-Nafâ`is, 1403 H/1983 M), h. 417. 112 Lihat Menteri Abu Suja’ (yang juga dikenal sebagai Zahr al-Dîn al-Rûzrâwi), Dzail Kitâb Tajârub

al-Umam, (Mesir: Maktabah al-Mutsanna, , 1334 H/1916 M), h 28-39 dan h. 111 dan sesudahnya. Contoh lain ialah, ketika Pangeran Don Sanchez memberontak kepada ayahnya, Alfonso X, untuk

menggulingkan kekuasaannya. Alfonso X kemudian meminta perlindungan kepada Sultan Abû- Yûsuf al-Mansûr. (Lihat ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, al-Târîkh al-Diblûmâsî li al-Magrib min Aqdam al-‘Usûr ila al-Yaum, (Matba’ah Fadâlah al-Muhamadiyyah, 1407H-1987M, Jilid VII, h. 63). Demikian juga, ketika Sultan Abû Yûsuf menyambut pengungsi politik Kastilia, di mana bersama mereka turut serta para pemimpin dan komandan militer (h. 65). Demikian juga dua pangeran Maroko membelot ke ke Portugal pada tahun 986 H/1578M ( 8, h.146). Contoh lainnya, pengungsian Ferdnande, asal Tergale dan saudara iparnya, Advonce, pada tahun 563 H, ke Seville, kemudian ke Marrakesh dan berlindung di sana selama lima bulan. Lihat Ibn Sahib al-Salah, al-Mann bi al-Imâmah, tahqîq ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 1987), h. 284-295.

Adisicia, seorang penulis kesohor, menerangkan bahwa toleransi yang diterima di tanah Muslim oleh para ilmuwan Yunani yang melarikan diri dari tanah air mereka untuk mengindari penganiayaan oleh gereja, telah mendorong lebih banyak orang untuk bermigrasi, di mana mereka bisa bekerja dengan damai. Sebaliknya, dewasa ini migrasi terbalik meningkat dari wilayah Muslim ke negara non-Muslim karena alasan politik, ekonomi, sosial, akademik, pendidikan atau lainnya. Lebih jauh, lihat Muhammad ‘Abd al-‘Alîm Mursî, Hijrat al-‘Ulamâ` min al-‘Âlam al-Islâmîy, (Riyadh: Markaz al-Buhûts Jâmi’at al-Imâm Muhammad Ibnu Sa'ûd al-Islâmiyyah, 1404 H/1984 H), h. 134-245.

Page 118: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

81

Contoh pemberian wilayah suaka oleh otoritas negara

ialah pesan yang dikirim oleh Sultan Barquq kepada Timur

Lenk tentang seorang pria yang meminta suaka, di mana

Sultan Barquq memberi perlindungan, sedang Timur Lenk

menuntut ekstradisi. Pesan itu berbunyi:

“Apakah Anda berpikir bahwa apa yang Anda lakukan

kepada hamba Ahmad yang dimaksud, sejauh ini masih belum

cukup, sehingga Anda meminta kami untuk

mengekstradisinya? Anda perlu mengetahui bahwa hamba

Ahmad yang dimaksud telah meminta perlindungan kami,

datang kepada kami dan menjadi tamu kami. Barangsiapa

yang meminta bantuan kepada kami, maka kami wajib

memberi haknya (untuk mendapat perlindungan)”. Allah SWT

telah berkalam kepada Pemimpin semua makhluk (Nabi

Muhammad SAW) tentang hak orang-orang kafir:

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta

perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia

sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia

ketempat yang aman baginya.(Q.S. al-Taubah/9:6)

Bagaimana jika kaum Muslimin mencari perlindungan

pada kaum Muslimin. Jika sebaliknya yang terjadi, apakah

boleh dalam tradisi ksatria, diberikan kemurahan hati dan

pemenuhan janji untuk mengekstradisi tamu kita atau yang

Page 119: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

82

meminta perlindungan kepada kita? Sudah menjadi adat,

tradisi dan perilaku bangsa kita untuk tidak menyerahkan tamu

kita atau orang yang dalam perlindungan kita kepada siapapun.

Jika Anda tidak mempercayai penjelasan ini, di wilayah

terdapat orang-orang dari kaum keluarga (bangsa) kita,

tanyalah mereka, maka mereka akan memberitahu Anda

tentang hal itu. Kita tidak akan memperlakukan satupun dari

tamu kita secara tidak adil, tetapi akan diperlakukan dengan

baik dan ramah.”113

Jelas bahwa pesan surat yang disebutkan di atas didasarkan pada ayat yang dikutip di atas, yaitu: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).114 Dan inilah yang melembagakan hak suaka dalam Islam.

113 al-Qalqasyandi, Subh al-'A'sâ, (Kairo: Dâr al-Kutub, t.th.), Bab 7, h 308-319.

114 Penafsiran lain menyatakan, ayat ini merupakan bukti hak suaka dalam Islam, dengan mengatakan: “Mungkin tidak ada aturan lain yang lebih liberal yang bisa dianjurkan untuk pengembangan masa depan hukum internasional, sehubungan dengan penghormatan terhadap permintaan suaka.” Lihat I. Shihata, Islamic Law and the World Community, the Harvard international Law Club Journal, Desember, 1962, h.108; Zakaria al-Birry mengikuti pandangan yang sama. Lihat Z. El-Berry, Immunity of Members of Diplomatic Missions in Islamic Law, R. Egyp. DI, 1985, h. 180. E. Stavraki berpendapat bahwa ayat ini mendukung hak yang tercantum di kalangan orang Arab dalam hal hak suaka. Lihat Emmanuel Stavraki, Konsep Kemanusiaan dalam Hukum Internasional Kemanusiaan, Tinjauan Internasional dari Palang Merah, Edisi 17, 1991, h. 38; Pendekatan yang sama diadopsi oleh Prof. Dr al-Ghunaimi. Ia mengatakan: "Adapun tentang suaka, al-Qur’an telah mengaturnya dengan jelas; Allah SWT berkalam: Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Yang demikian itu karena mereka tidak mengetahui. (Qs. Al-Taubah, 9: 6)”. Muhammad Tala’at al-Gunaimi, Nazrah al-‘Âmmah fî al-Qânûn al-Duali al-Insânî al-Islâmî, Simposium Mesir I Seputar Hukum Humaniter Internasional, Kairo, 1982, h. 36-37. Pendapat lain mengatakan: "Tidak ada negara ataupun hukum lain yang menunjukkan pertimbangan/ perhatian yang sama untuk pengungsi untuk menyampaikannya kembali ke tempatnya sendiri dan menjaganya dari bahaya dalam perjalanan”. Lihat S. Tabandah, A Muslim Commentary on the Universal Declaration of Human Rights, Goulding Comp, London, 1970), h. 34.

Page 120: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

83

2. Pemberian suaka teritorial oleh individu

Ada ulama yang mengatakan: "Semua Muslim adalah sama

dalam pemberian perlindungan pribadi dan jaminan keamanan,

tanpa perbedaan dalam hak ini antara Sultan, rakyat, wanita,

anak-anak, dan remaja. Jika salah satu dari mereka memberikan

hak perlindungan, maka semua pihak (termasuk Sultan) wajib

menghormatinya.115

Orang Arab kuno memiliki kebiasaan, jika pembesar

memberi perlindungan kepada seseorang, maka tidak ada orang

lain, terutama orang biasa, dapat memberinya perlindungan. Jika

tidak demikian, maka dianggap melanggar tradisi dan adat

istiadat yang berlaku dan wajib dipatuhi.

Adapun dalam Islam, seorang individu dapat memberikan

perlindungan. Hal ini didukung oleh 2 (dua) pertimbangan:

Pertama, Islam memberikan setiap orang hak untuk memberi

jaminan perlindungan berdasarkan Hadis Nabi Muhammad

SAW.

Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang lain. 116

115 Muhammad Tabliyyah al-Qutb, al-Islâm wa Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1396

H/1976 M), h. 369. 116 Abû Daud, Sunan Abî Daud, Kitâb al-Jihad, Bâb al-Sariyyah, No. 2751, Bab III, h. 126-127.

Page 121: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

84

Oleh karena itu, berdasarkan Hadis yang mulia ini, setiap

individu berhak untuk memberi jaminan perlindungan kepada

orang lain, yakni memberinya suaka.117

Kedua, konsep istijârah (pencarian suaka) dan ijârah (pemberian

suaka) dalam sistem hubungan antar-pribadi telah benar-benar

terlaksana dalam praktek dalam negara Islam, sejak zaman Nabi

Muhammad SAW dan zaman berikutnya. Contoh untuk hal itu

sangat banyak. Diantaranya sebagai berikut:

(i) Ibnu Abdul Barr berkata: “Adapun Nabi Muhammad SAW

menerima suaka dan perlindungan dari pamannya, Abu

Talib. 118 Ketika pamannya, pelindung dan pendukungnya,

meninggal dunia pada tahun 10 H, sifat antipati dan pelecehan

Quraisy semakin merajalela, sehingga ia berangkat menuju

Taif untuk mencari suaka dan perlindungan kepada suku

Tsaqif. Sepuluh hari kemudian, ia kembali dari Taif tanpa

hasil. Kemudian ia masuk kembali ke Mekkah di bawah

perlindungan al-Mut'am bin 'Adiy, yang memberinya

suaka.119

117 Hal ini dperkuat oleh sebagian ahli melalui pernyataan mereka:“Dewasa ini, menerima naturalisasi

orang merupakan hak istimewa, hak prerogatif milik pemerintah pusat. Akan tetapi, dalam konstitusi Negara Madinah, hak ini diberikan kepada setiap warga negara; bahkan, orang yang paling rendah derajatnya memiliki hak untuk memberi jaminan perlindungan kepada siapapun yang ia kehendaki. Orang yang menerima perlindungan akan diperlakukan sama sebagaimana perlakuan semua anggota suku lainnya. Lihat Muhammad Hamîdullah, La tolérance dans l’oeuvre du prophète à Médin, in L›Islam, (Paris: La Philosophie et les Sciences, les Presses de l’UNESCO, 1981), h. 23.

118 Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Maghazi wa al-Siyar, (Kairo: al-Majlis al-A’la li al-Syu`ûn al-Islamiyyah, 1415 H/1995 M), h. 43.

119 Lihat Amîn Sa’îd, Nasy`at al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kairo: Matba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-Halabî, 1353 H/1934 M), h. 8.

Page 122: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

85

(ii) Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum berada dalam

perlindungan al-Mut'am bin ‘Adiy, Nabi Muhammad

SAW telah pergi ke Hara` meminta perlindungan kepada

Al-Ahnaf bin Shuraiq. Tetapi Ahnaf menjawab, "Saya

sekutu dan sekutu tidak memberikan suaka". 120

Kemudian barulah Nabi Muhammad SAW pergi kepada

al-Mut'am bin 'Adiy yang memberi suaka kepada beliau.

(iii) Berkaitan dengan ucapan Nabi Muhammad SAW kepada

Ummu Hani’:

Kami memberi suaka kepada orang yang telah Anda beri suaka, wahai Umm Hani`.121

Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalâni, yang dimaksud

dengan kata al-jiwâr dan al-mujâwarah adalah

pemberian suaka/ perlindungan. Timbangan kata tersebut

ialah: jâwartu, ujâwiruhu, mujâwarat-an, jiwâr-an,

âjartuhu, ujîruhu dan jiwâr-an.122

(iv) Abu Bakar mendapat suaka dari Ibn al-Daginah, ketika ia

hendak bermigrasi ke Ethiopia (Abessinia/Habsy). Ibn al-

Daginah keluar untuk menemui para pembesar Quraisy,

dan berkata: “Orang seperti Abu Bakar tidak boleh keluar

atau diusir. Apakah Anda akan mengusir orang yang

120 Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Maktabah al-Babi al-Halabi, 1375H/ 1955M),

Jilid I, h.381. 121 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 350, Jilid I, h. 141. 122 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Sahîh al-Bukhârî, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1419 H/1999

M), Jilid VI, h. 209.

Page 123: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

86

menyediakan mata pencaharian untuk masyarakat

miskin, memelihara silaturrahim, membela kaum lemah,

bersikap ramah kepada tamu dan membantu menegakkan

kebenaran? “

Masyarakat Quraisy kemudian memberlakukan

perlindungan Ibn al-Daginah dan menjamin keselamatan

Abu Bakar, asalkan ia beribadah menyembah Tuhannya

di dalam rumahnya, bukan di tempat umum. Maka, Abû

Bakar membuat sebuah masjid di rumahnya. Orang-

orang Quraisy kemudian mengkhawatirkan anak-anak

dan isteri-isteri mereka terpengaruh, sehingga mereka

meminta Ibn al-Daginah untuk menghentikan Abu Bakar

dari melakukan hal itu. Ibn al-Daghinah berkata kepada

Abu Bakar: “Anda tahu isi perjanjian yang saya berikan

kepada Anda. Anda dapat tetap berkomitmen untuk itu

atau dapat juga mengembalikan suaka (jiwâr) saya,

karena saya tidak suka orang Arab mendengar bahwa

saya mengingkari perjanjian yang saya berikan kepada

seseorang.” Abu Bakar menjawab: “Saya kembalikan

suaka (jiwâr) kepada Anda, dan saya merasa cukup

dengan perlindungan Allah.”123

123 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Jilid III, h. 126-128; Ibn Katsir, al-Sîrah al-

Nabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1396H/ 1976M), Jilid II, h. 63- 64 dan 153; Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, op. Cit.,Jilid IV, h. 543-544.

Page 124: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

87

(v) Peristiwa yang terjadi pada seorang pria bernama Hujjiyah

ibn al-Madrib, yang isterinya memeluk Islam, pada masa

pemerintahan Khalifah 'Umar ibn al-Khattab. Sementara

ia sendiri adalah penganut Kristen. Ia datang ke Madinah,

menuntut agar isterinya dikembalikan kepadanya. Ia

menemui Zubair ibn al-'Awwâm (yang ketika itu menjadi

Gubernur Madinah) menceritakan kisahnya, sambil

berkata mengingatkan Zubair: “Hati-hatilah, jika ‘Umar

sampai tahu tentang masalah ini, Anda akan mendapat

hukuman darinya”. Cerita tersebut kemudian beredar di

Madinah, sehingga sampai kepada 'Umar. ‘Umar

kemudian berkata kepada Zubair: “Sungguh saya telah

mendengar tentang kisah tamu Anda. Sekiranya bukan

karena Anda telah melindunginya, sungguh saya sudah

berniat hendak menyerangnya”. Zubair kemudian kembali

menemui Hujjiyah dan menyampaikan ungkapan ‘Umar.

lalu ia kembali ke daerah asalnya.124

124Abû Faraj al-Asfahâni, Kitâb al-Agâni, (Kairo: al-Hai`ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kutub, t.th.),

Jilid XX, h 318-319. Salah satu bukti bahwa umat Islam menghormati hak suaka ialah peristiwa ketika kekhilafahan telah

diserahkan kepada Bani al-‘Abbâs, beberapa tokoh Bani Umayyah bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Salah satu dari mereka ialah Ibrâhîm ibn Sulaimân ibn ‘Abd al-Malik; ia mendatangi rumah seorang lelaki yang tampan. Lelaki itu bertanya kepadanya: "Siapa Anda?," Ibrahim menjawab: "Saya adalah orang yang bersembunyi karena takut dibunuh, saya mencari suaka di rumah Anda". Lelaki ini kemudian membolehkannya masuk ke rumahnya. Lelaki itu memberinya makanan dan minuman. Hanya saja lelaki itu terbiasa pergi keluar rumah sekali dalam sehari, sehingga Ibrahim bertanya kepadanya: "Saya perhatikan Anda gemar menunggang kuda, untuk apa?". Lelaki itu menjawab: "Ibrâhîm ibn Sulaimân menyandera ayahku hingga wafat; saya diberitahu bahwa dia bersembunyi; saya sedang mencarinya untuk melampiaskan balas dendam." Ibrahim berkata: "Saya Ibrâhîm ibn Sulaimân, pembunuh ayahmu." Lalu lelaki itu berkata: “Soal Anda, Anda akan bertemu ayahku (di akhirat) dan dia akan membalaskan dendamnya kepada Anda. Sedangkan saya, saya tidak akan mengingkari perjanjian saya untuk melindungi Anda. Keluarlah dari (rumah) saya, karena saya tidak dapat menjamin diri saya (bertindak salah) terhadap Anda”. Lalu, lelaki itu memberikan Ibrâhîm uang sebesar 1000 dinar; dan Ibrâhîm mengambilnya dan pergi meninggalkannya. Lihat al-Amir Usâmah ibn Munqidz, Lubâb al-

Page 125: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

88

(vi) Ibn Ishâq melaporkan cerita dari Ibn ‘Umar tentang

ayahnya (‘Umar bin Khatab). Ibn ‘Umar berkata: ”Mereka

melakukan tindakan penyerangan terhadap ayahku;

mereka terlibat dalam perang yang berkecamuk hingga

matahari terbit”. Kemudia Ibn ‘Umar melanjutkan

ceritanya: “Ketika ayahku lelah, ia pun duduk, dan mereka

berdiri di atas kepalanya. Lalu, ia berkata: “ Lakukanlah

apa yang kamu mau. Saya bersumpah demi Allah, jika

kami memiliki sebanyak 300 orang prajurit, kami akan

kehilangan mereka (karena kalah) melawan kamu, atau

kamu kehilangan mereka (karena kalah) melawan kami.”

Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seorang pembesar

Quraisy yang mengenakan pakaian berhias bordir datang

dan berdiri di dekatnya, sambil bertanya: “Apa yang

terjadi?”. Mereka menjawab, “Umar telah tersesat.”

Pembesar itu menukas: “Hentikan! Seorang lelaki memilih

sesuatu untuk dirinya! Apa yang kalian inginkan ? Apakah

kalian berpikir bahwa Bani ‘Adiy akan menyerahkan

orang ini kepada kalian? Lepaskan orang itu.” ‘Umar

menjelaskan: “Demi Allah, mereka pergi begitu cepat

seolah jubah dilucuti.” Ibn ‘Umar kemudian menjelaskan:

“Saya bertanya kepada ayah saya setelah dia bermigrasi ke

Adab, (Kairo: Maktabah al-Sunnah 1407 H/1987M), h. 128-129; dan al- Tanukhi, al-Mustajad min Fa'alat al-Ajwad, (Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustâniy, 1985), h. 22 - 23.

Page 126: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

89

Madinah: “Ayah, siapakah yang telah mengusir orang-

orang menjauh dari engkau di Mekkah pada hari engkau

memeluk Islam, padahal ketika itu mereka sedang

memerangi engkau?” ‘Umar menjawab: ”Itulah!”

(maksudnya Bani al-‘Ash ibn Wâ`il al-Sahmi). 125 Antara

al-‘Ash dan Bani 'Adiy (suku asli ‘Umar), terdapat aliansi.

Al-‘Ash berkata kepada 'Umar: “(Mereka) tidak bisa

menyentuh Anda, saya pelindung Anda.” Karena itu

‘Umar menjadi aman. Demikianlah al-‘Ash memberi

suaka kepada ‘Umar.126

(vii) Peristiwa yang terjadi ketika suku Quraisy mengejar

sekelompok orang Muslim, lalu mereka bertemu Sa’ad bin

‘Ubâdah di sebuah tempat yang disebut Azakhir, dan al-

Mundzir ibn ‘Amr, saudara Bani Sâ’idah ibn Ka’b ibn al-

Khazraj, dan keduanya adalah petinggi di kalangannya.

Mereka tidak bisa mengalahkan al-Mundzir, tetapi mereka

dapat menangkap Sa’ad bin ‘Ubâdah, lalu mengikat

tangannya ke lehernya dengan tali dari barang bawaannya.

Dan kemudian membawanya ke Mekkah sambil

memukulinya dan menjambaki rambutnya, di mana ia

memiliki rambut yang lebat. Sa’ad menjelaskan: “Demi

Allah, saat aku jatuh ke tangan mereka, tiba-tiba

125 Ibn Katsir, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo: Majlis al-A’lâ li al-Syu`ûn al-Islâmiyyah, 1422H/ 2002M), Jilid II, h. 22-23.

126 ‘Alî Ahmad al-Khatîb, Muqaddimah Qabla Hijrat al-Nabî SAW, h. 93.

Page 127: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

90

sekelompok orang dari Quraisy, di antara mereka ada

seorang pria tampan dengan wajah cerah, mencegatku.

Dalam hati saya: "Jika ada orang yang baik di antara

mereka, tentu dialah orang itu". Tetapi ketika dia

mendekati saya, dia mengangkat tangannya dan

memberiku pukulan yang kuat. Lalu, saya berkata dalam

hati: “Tidak! Demi Allah, tidak ada di kelompok mereka,

setelah kejadian ini, orang yang baik”. Demi Allah, ketika

saya masih dalam genggaman mereka, dan mereka

menyeret saya, salah satu dari mereka melindungiku,

sambil berkata: “Celakalah engkau!, apakah ada jiwar atau

perjanjian antara Anda dan salah satu orang dari Quraisy".

Saya berkata: “Ya, demi Allah, saya memberi suaka dan

perlindungan (aman) kepada Jubair bin Mut'im untuk para

pedagangnya, dan saya melindungi mereka dari orang-

orang yang berusaha menindas mereka di daerah saya.

Demikian juga untuk al-Harits ibn Harb ibn Umayyah ibn

Abd al-Syams. "Celakalah engkau, berbicaralah atas nama

kedua laki-laki itu, dan sebutkanlah tentang perjanjian

Anda dengan keduanya". Sa’ad melanjutkan ceritanya:

“Saya kemudian melakukan yang dikatakannya. Orang itu

kemudian pergi mencari keduanya (para pelindung), dan

menemukan mereka di masjid di sisi Ka'bah. Orang

tersebut berkata kepada keduanya: “Ada seorang pria dari

Page 128: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

91

suku al-Khazraj saat ini sedang dipukuli di sebuah tempat

bernama al-Abtah dan menyebut-nyebut nama Anda

berdua (sebagai pelindungnya). Keduanya bertanya:

“Siapa dia?” Ia menjawab: “Sa’ad bin ‘Ubadah”. Mereka

berkata: “Ia benar, demi Allah, dia memberi jaminan

keamanan kepada pedagang kami, dan melindungi mereka

terhadap orang-orang yang berusaha menindas mereka di

daerahnya". Kedua orang itu kemudian datang dan

melepaskan Sa’ad dari cengkeraman mereka. Sa’ad

kemudian pergi. Orang yang memukul Sa’ad sebelumnya

adalah Sa’ad bin Suhail bin ‘Amr. Ibn Hisyam

menjelaskan: Adapun orang yang melindungi Sa’ad adalah

Abu al-Bakhtari bin Hisyam.127

(viii) Perjanjian persaudaraan antara Umayyah ibn Khalaf ibn

Abi Sufyân-dari suku Quraisy-dan Sa'ad ibn Mu’az-dari

Madinah. Perjanjian tersebut sudah lama terjadi, bahkan

sebelum Sa'ad memeluk Islam. Perjanjian persaudaraan itu

mengikat masing-masing pihak apabila masing – masing

pihak memberikan perlindungan kepada yang lain. Setiap

kali Umayyah melakukan perjalanan ke utara dan

melintasi Madinah, ia mampir sebagai tamu ke kediaman

Sa'ad. Begitu juga dengan Sa'ad, ketika bepergian ke

selatan melintasi Mekkah, maka ia mampir ke kediaman

127 Ibn Katsîr, Safwat al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 107-108.

Page 129: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

92

Umayyah. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke

Madinah, Sa'ad berangkat menuju Mekkah untuk

melakukan 'umrah dan tinggal sebagai tamu Umayyah.

Karena mengetahui watak orang-orang Mekkah yang

pemarah dan sempit hati, Sa’ad tidak ingin menyusahkan

Umayyah, lalu ia berkata kepadanya: “Maukah Anda

memberi saya beberapa waktu untuk tawaf di sekitar

Ka'bah?”. Umayyah balik bertanya: “Maukah Anda

menunggu sampai tengah hari?“. Mereka kemudian pergi

ketika hampir tengah hari, dan Sa'ad mulai melaksanakan

tawaf. Tiba-tiba muncul Abu Jahal di depannya dan

bertanya pada Umayyah: “Wahai Abu Safwân, siapa yang

bersama Anda itu?”. “Ini adalah Sa'ad”, jawab Umayyah.

Abu Jahal kemudian berkata mengarahkan ucapannya

kepada Sa’ad “Saya melihat Anda bergerak dengan aman

di Mekkah, padahal Anda telah memberikan perlindungan

untuk orang-orang Sabean, dan mengklaim telah

mendukung dan membantu mereka. Demi Allah, sekiranya

Anda tidak bersama Abi Safwan, Anda tidak akan pernah

kembali dengan selamat ke rumahmu.128

(ix) Kisah yang terkait dengan Aslam, budak 'Umar bin al-

Khaththab, ketika ia bepergian untuk melakukan

perdagangan bersama orang-orang Quraisy. Ketika mereka

128 Lihat Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 3734, Jilid IV, h. 1453.

Page 130: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

93

sudah berangkat, 'Umar tertinggal di belakang untuk

sebagian urusan pribadinya. Ketika sampai di suatu

daerah, salah seorang komandan Romawi menangkap

lehernya dan menyerangnya. ‘Umar mencoba melawan,

tetapi dia tidak dapat mengalahkannya. Komandan

tersebut kemudian mendorongnya ke sebuah rumah yang

di dalamnya ada tanah, kapak, sekop dan keranjang korma.

Orang itu berkata: “Kamu hanya boleh berada di sekitar

sini, dari sini sampai sini”. Kemudian dia mengunci pintu

rumah itu dan pergi, sampai hampir tengah hari baru

kembali. 'Umar hanya duduk sambil terus berpikir, tanpa

melakukan apa-apa, yang diperintahkannya. Ketika dia

kembali ke rumah, dia bertanya kepadaku: “Mengapa kau

tidak melakukan apa-apa?”, sambil memukul kepala

‘Umar dengan tangannya. Kemudian 'Umar mengambil

kapak, menghantamkannya dan membunuhnya. Lalu ia

berusaha keluar sendiri dan melarikan diri, sampai

menemukan sebuah biara seorang rahib, ia pun berhenti di

samping biara itu sampai malam. “Rahib itu menunjukkan

sikap hormat pada saya dan mengajak saya masuk ke

biara, lalu memberi saya makan dan minum dengan sopan,

sambil mengamati apa yang sedang terjadi pada saya.

Kemudian ia bertanya tentang apa yang saya alami. “Saya

telah kehilangan jejak teman saya”, jawab ’Umar.

Page 131: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

94

Biarawan itu berkomentar: “Anda tampak sedang

ketakutan”, sambil berusaha menyelidiki saya. Dia

melanjutkan: “Penganut agama Kristen tahu bahwa saya

paling banyak mendalami tentang Kitab mereka. Sungguh

saya dapat meramalkan bahwa Anda adalah orang yang

akan mengusir kami dari negeri kami ini. Apakah Anda

mau menuliskan perjanjian tentang jaminan keamanan

bagi saya untuk biara saya ini?”. Saya menjawab: “Oh!

Anda mengalihkan pembicaraan kepada yang lain”.

Biarawan itu terus menekan saya sampai saya menuliskan

perjanjian yang berisi apa yang dimintanya kepada saya.

Ketika tiba saat untuk pergi, ia memberi saya keledai

betina, sambil berkata: "Tunggangilah itu, setelah Anda

bertemu rekan Anda, kirimkan kembali kepada saya

keledai itu sendirian, karena setiap kali ia melewati biara,

mereka akan menghormatinya”. Lalu ‘Umar melakukan

apa yang dikatakan kepadanya. Ketika Umar datang ke

Bait al-Maqdis (Yerusalem) sebagai seorang penakluk,

Rahib tersebut mendatanginya sambil menyerahkan

lembar perjanjian jaminan keamanan (yang ditulis ‘Umar).

‘Umar menerimanya dengan syarat bahwa Rahib tersebut

akan menyambut secara baik setiap umat Islam yang

melintas di sana dan memandu jalan mereka.129

129 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, op. cit.,h. 56-57.

Page 132: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

95

(x) Kasus yang terjadi pada Khalid bin 'Itab, ketika dia

menghina al-Hajjaj. Al-Hajjaj lalu menulis surat kepada

Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan tentang insiden

tersebut. Ketika Khalid datang ke Syam (Syria), dia

bertanya tentang siapa yang menjadi orang kepercayaan

‘Abdul Malik. Dia diberitahu bahwa orang tersebut adalah

Rauh bin Zinba’. Saat matahari terbit Khalid menemuinya,

sambil berkata: “Saya mendatangi Anda untuk memohon

suaka”. Rauh menjawab: "Saya akan memberimu suaka

kecuali jika Anda Khalid”. “Saya Khalid”, katanya. Tiba-

tiba suara Rauh berubah dan berkata: “Demi Allah, tolong

pergi dari saya. Aku tidak percaya ‘Abdul Malik”. Khalid

memohon kepadanya: “Beri saya waktu sampai matahari

terbenam”. Lalu Rauh melindunginya (menunggu

matahari terbenam), sampai Khalid pergi. Kemudian

Khalid pergi menemui Zufar bin al-Hârits al-Kilâbî, dan

berkata: “Saya datang menemui Anda untuk memohon

suaka. “Saya beri Anda suaka”, jawab Zufar. “Saya Khalid

bin ‘Itab”, kata Khalid. Zufar menegaskan: “Walaupun

Anda Khalid”. Di pagi hari, Zufar memanggil kedua

putranya, karena ia sudah tua, keduanya memapahnya,

menghadap Khalifah. Khalifah ‘Abdul Malik mengizinkan

rakyat masuk ke istananya. Ketika Khalifah melihat Zufar,

ia memerintahkan untuk membawa kursi untuknya, dan

Page 133: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

96

menempatkannya di dekat singgasananya. Setelah duduk,

Zufar berkata kepada khalifah: ”Wahai Khalifah

(pimpinan)! Saya memohonkan suaka kepada Anda untuk

seorang pria, mohon lindungilah dia”. Khalifah menjawab:

“Saya akan memberinya suaka, kecuali jika dia adalah

Khalid”. Zufar menukas: “Dia adalah Khalid”. “Tidak, dan

tidak ada pengecualian!”, tegas Khalifah. Kemudian Zufar

menoleh kepada kedua anaknya, sambil berkata: “Papah

saya”. Sambil keluar, ia berkata kepada Khalifah: “Wahai

Khalifah ‘Abdul Malik, demi Allah, seandainya Anda lihat

bahwa tangan saya mampu memikul panah dan

mengendalikan kuda, pasti Anda akan memberi suaka

kepada orang yang saya lindungi”. Khalifah kemudian

tertawa dan berkata: “Wahai Abu al-Huzail, kami

memutuskan memberinya suaka”.130

3. Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk

Islam atau menjadi non-Muslim dzimmiy

Sejak zaman dahulu, menawarkan suaka dalam bentuk

penuh kepada sandera (misalnya, sejumlah orang), telah

digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin pelaksanaan

perjanjian internasional. Toleransi Islam telah mencapai batas

yang sangat jauh, sampai memberi hak untuk tinggal kepada

130 Abû al-Faraj al-Asfahâni, Kitab al-Agâni, Jilid XVII, h. 10-11, h. 232-233. Pada tahun 633 H. al-Nâsir Daud pindah dari al-Kark ke Baghdad, untuk meminta suaka kepada Khalifah al-Mustansir, ketika dia merasa takut terhadap pamannya, al-Kamil. Muhammad Kurdi Ali, Khuttât al-Syâm, (Damaskus: Matba’ah al-Haditsah, 1343 H/1925 M), Jilid II, h. 96.

Page 134: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

97

sandera non-Muslim di wilayah Muslim, jika ia memeluk

Islam. Dalam pada itu, tidak boleh mengekstradisinya, karena

hal itu bertentangan dengan keinginannya. Sebab, dengan

memeluk Islam penghormatan terhadap darahnya menjadi

setara dengan penghormatan terhadap darah (jiwa) sandera

Muslim. Dalam hubungan ini, Imam Muhammad ibn al-Hasan

al-Syaibâni berkata:

“Jika sandera (non-Muslim) memeluk Islam, sedangkan

kelompok musyrikin (mengancam) dengan mengatakan:

“Apabila kalian tidak mengekstradisi orang-orang pelarian

kami, maka kami akan membunuh orang-orang Islam yang

menjadi sandera kami, atau kami akan memperbudak mereka”,

sedangkan para sandera non-Muslim tersebut itu tidak mau

diekstradisi, maka imam (pemimpin) tidak boleh

mengekstradisi mereka. Bahkan meskipun imam tahu bahwa

mereka akan membunuh kaum Muslim yang mereka sandera.

Sebab, kehormatan jiwa mereka sama seperti kehormatan jiwa

kaum Muslim yang mereka sandera.

Apabila sandera dari pihak mereka (kaum musyrik) yang

telah memeluk Islam berkata: “Kembalikanlah kami kepada

mereka, dan ambillah sandera Anda yang berada pada

mereka”, maka jika penguasa negara meyakini bahwa mereka

akan dibunuh (setelah dikembalikan), ia tidak boleh

mengembalikan sandera tersebut kepada mereka. Dalam hal

Page 135: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

98

memberikan izin yang melegitimasi pembunuhan seseorang

atau menjadikan seseorang terkena resiko untuk menjadi

terbunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat

menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut

dibunuh. Namun, dalam kasus di mana kita tidak tahu apa

yang akan menimpa diri mereka, maka tidak apa-apa jika kita

mengembalikan mereka. Karena mengembalikan mereka

dengan seizin mereka bukanlah merupakan tindakan

menzalimi. Lagi pula, mengembalikan mereka bukan

penyebab bagi kebinasaan mereka. Biasanya, dalam kasus

seperti itu, mereka (para pelarian) tidak akan mau kembali,

jika mereka merasa diri mereka tidak aman. 131

Berdasarkan uraian sebelumnya, jelaslah bahwa dalam

Islam, menjaga keselamatan dan keamanan pengungsi adalah

suatu kewajiban ditinjau dari dua segi:

131 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh a-Siyar al-Kabir, (Heiderabad: Matba’ah Haidarabad,

t.th.), Jilid IV, h. 43. Hal tersebut di atas berlaku juga untuk kasus di mana sandera telah memperoleh status sebagai “Ahl al-dzimmah" (status ini diberikan jika seseorang telah tinggal selama lebih dari satu tahun atau ia mengajukan permintaan).

Di dalam kitab al-Siyar al-Kabîr terdapat uraian: “Jika seorang penguasa memberi mereka (sandera non-Muslim) status zimmah (perjanjian aman) dan kemudian meminta pengembalian sandera Muslim, namun mereka (kaum musyrikin) menolak mengembalikannya kecuali setelah penguasa mengembalikan ahl al-zimmah itu, maka penguasa tidak boleh mengingkari perjanjiannya untuk tidak mengembalikan sandera non-Muslim yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebab, ketika mereka telah berada dalam jaminan kita, maka status penghormatan terhadap jiwa mereka sama dengan penghormatan terhadap jiwa orang Islam. Demikian juga, jika mereka (ahl al-dzimmah itu) memeluk Islam. Jika sandera non-Muslim merasa nyaman dan rela untuk dipulangkan, maka tidak ada keberatan untuk itu. Namun jika imam meyakini bahwa mereka akan dibunuh, maka imam tidak boleh memulangkan mereka, berdasarkan analogi kepada kasus yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu ketika sandera memeluk Islam. Hal ini mirip dengan kasus pertukaran sandera Islam dengan sandera dzimmiy. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, hal ini diperbolehkan, jika sandera non Muslim rela. Sebaliknya tidak boleh, jika sandera tersebut tidak rela”.Lihat al-Siyar al-Kabîr, h. 45-46. Berdasarkan uraian sebelumnya, menurut pendapat kami, ini berarti bahwa pemberian suaka dalam kasus-kasus tersebut merupakan sejenis "suaka teritorial paksa", ketika sandera yang telah mengkonversi agama mereka ke Islam atau yang telah menjadi dzimmiy ingin kembali ke negeri mereka, sedang mereka berpotensi untuk dibunuh di negerinya itu.

Page 136: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

99

Pertama, tidak boleh mengembalikan sandera kepada

otoritas negara lain, apabila mereka akan dibunuh di sana.

Bahkan sandera non-Muslim tidak boleh dikembalikan,

meskipun jika pihak negara lain tersebut mengancam akan

membunuh sandera Islam. Karena, seperti ungkapan Imam

Asy-Shibani: “Penghormatan atas jiwa sandera non Muslim

sama dengan penghormatan terhadap jiwa sandera Muslim”.

Kedua, tidak boleh memulangkan sandera, meskipun

mereka setuju dipulangkan, namun dengan kepulangan

mereka, kemungkinan besar mereka akan dibunuh. Hal ini

didasarkan pada premis Islam: “Dalam kasus di mana

seseorang akan dibunuh atau mengalami resiko dibunuh, tidak

boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan

untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh”.

4. Hijrah (migrasi) sebagai bentuk suaka teritorial

Al-Mawardi berpendapat bahwa hijrah (imigrasi) pada

masa Nabi Muhammad SAW adalah boleh (mubah) bagi orang

yang khawatir dirinya akan disakiti, atau keyakinan agamanya

terancam. Ayat al-Qur`an yang menerangkan hal itu, antara

lain:

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (Q.S. al-Nisâ`/4:75).

Page 137: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

100

Allah SWT menjawab permintaan mereka untuk hijrah, dengan kalam-Nya:

Barangsiapa berhijrah dari rumahnya di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisâ/4:100).132

Ketika Islam muncul ke permukaan dan orang Mukmin

mulai memperbincangkan agama mereka, suku Quraisy

menghadapi kaum Mukmin dengan cara “menyiksa dan

menyakiti kaum Mukmin”, dengan maksud untuk

mengacaukan keimanan mereka. Nabi Muhammad SAW

berkata kepada mereka: “Berpencarlah kalian di bumi”.

“Kemana kami akan pergi?”, tanya mereka. Beliau bersabda:

“Ke sana”, sambil menunjuk ke tanah Ethiopia

(Abessinia/Habsy). Lalu sejumlah orang dari mereka

bermigrasi ke sana; sebagian ada yang berhijrah secara sendiri-

sendiri, sedangkan yang lain bersama keluarganya. Dalam hal

ini Ibn ‘Abdul Barr berkata: “Ketika mereka sampai di

Ethiopia (Abessinia/Habsy), mereka merasa aman dengan

132 al-Mawardi berkata: “Di dalam ayat tersebut terdapat dua penafsiran. Salah satunya, yang dimaksud

dengan al-murâgam ialah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain; sedang al-sa’ah ialah harta. Penafsiran kedua, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah mencari penghidupan; sedang al-sa’ah berarti kehidupan yang baik. Lihat al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/ 1994M), Jilid XVIII, h. 110-111. Untuk membantah pemahaman yang berkembang dalam fikih Islam yang menyatakan, wajib hijrah dari dâr al-fisq (negeri yang penuh dosa) karena dianalogikan (di-qiyâs-kan) kepada dâr al-kufr (negeri kafir), al-Syaukani berkata: “ Sungguh analogi ini adalah paralogisme (analogi yang tidak tepat). Yang benar ialah tidak wajib hijrah dari dâr al-fisq, sebab pada hakikatnya, negeri itu adalah negeri Islam. Menyamakan dâr al-fisq dengan dâr al-kufr, semata-mata karena di dalamnya terdapat kemaksiatan secara nyata, tidak sesuai dengan ‘ilm al-riwâyah (pengetahuan yang didasarkan pada informasi Hadis) maupun dengan ‘ilm al-dirâyah (pengetahuan yang bersifat rasional teoritis tentang Hadis)”. Lihat al-Syaukani, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1403H/ 1983M, Jilid VIII, h. 27.

Page 138: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

101

keimanan mereka, dan tinggal di rumah terbaik dan menikmati

perlindungan terbaik."133

Dari hal pencarian hak suaka ke Ethiopia

(Abessinia/Habsy), terdapat 3 (tiga) aturan, yang membentuk

sebagian dari hukum internasional kontemporer tentang suaka,

yaitu:

a. Tujuan suaka: untuk memastikan keamanan bagi

pengungsi. Dalam hubungan ini, Ummu Salamah (salah

satu yang turut berhijrah) berkata: “Sungguh, di Ethiopia

kami aman mempertahankan keimanan kami”.134

b. Sebab bermigrasi: terjadinya penganiayaan terhadap

pengungsi mendorong mereka untuk berimigrasi. Inilah

sebenarnya yang terjadi; karena kaum Muslimin disakiti

oleh Quraisy, maka Nabi Muhammad SAW menyarankan

mereka untuk berimigrasi.

c. Tidak boleh mengekstradisi pengungsi jika tindakan

tersebut menimbulkan ancaman penganiayaan baginya di

negara yang meminta ekstradisinya. Suku Quraisy

mengirim hadiah dan benda berharga yang dibawa

‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin al-‘Ash, untuk

Negus, Kaisar Abyssinia, dengan tujuan memintanya

133 Sirah Ibn Hisyam, Jilid I, h. 334; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Magâzi wa al-Siyar, tahqîq Syauqi Daif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, edisi ke-3.), h. 36-37, 52. Perlu disebutkan bahwa hijrah ke Ethiopia (Abessinia/Habsy) merupakan hijrah pertama dalam sejarah Islam. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 321-322. Lihat juga Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhâriy, Jilid VII, h. 206-209.

134 Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 358; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 134.;

Page 139: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

102

menyerahkan imigran Muslim kepada keduanya. Sebagai

tanggapan, Negus berkata: “Tidak, demi Tuhan, saya tidak

akan menyerahkan mereka. Saya tidak akan pernah

membiarkan mereka disakiti, mereka yang telah meminta

perlindungan saya, datang ke negara saya dan memilih

saya, sampai saya memanggil mereka, kemudian saya

menanyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan orang

tentang mereka. Jika terbukti benar, saya akan

menyerahkan mereka kepada keduanya, dan

mengembalikan mereka ke masyarakat mereka. Akan

tetapi, jika tidak benar, saya akan membela dan melindungi

mereka dengan baik selama mereka berlindung pada

saya”.135

Setelah Negus mendengar dari kaum Muslimin dan

mengetahui kebenaran argumen mereka, Negus menolak

permintaan 2 (dua) orang utusan Quraisy tersebut. Negus

bahkan berkata kepada kedua utusan Quraisy tersebut:

“Bahkan jika Anda memberi saya segunung emas, saya

tidak akan menyerahkan mereka kepada Anda”. Negus

kemudian memerintahkan untuk mengembalikan hadiah

kepada keduanya, dan mereka pulang dengan kecewa.136

135 Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 359; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 137.;

136 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th.), Jilid II, h. 64.

Page 140: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

103

Di samping hijrahnya sebagian kaum Muslimin ke Ethiopia

(Abessinia/Habsy) 137 (dua kali) pada tahun 615 Masehi,

kami perlu juga menyebutkan hijrahnya Nabi Muhammad

SAW, bersama dengan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. dan

sejumlah kaum Muslim lainnya ke Madinah pada tahun 622

Masehi.138

Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk

hijrah, antara lain:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu untuk melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali bertentangan dengan kaum yang telah ada perjanjian

137 Nabi Muhammad SAW Pernah mengirimkan surat kepada Negus, yang berbunyi, antara lain: “Saya

mengirimkan kepada Anda saudara sepupuku, Ja’far dan sekelompok Muslim. Ketika mereka datang menemui Anda, biarkan mereka tenang dan tinggalkanlah pendekatan kekerasan. Beberapa komentar menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meminta perlakuan adil dari Negus dalam mengurus pengungsi yang terasing dari kaum Muslimin di negerinya sendiri. Lihat Muhammad Sît Khattab, Ja’far ibn Abî Tâlib, Awwal Safîr fi al-Islâm, (Majjalah al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Riyasah al-‘Ammah li`Idârat al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ`, al-Amânah al-‘Âmmah li Hai`at Kibâr al-‘Ulama`, Riyadh, 1410 H), h. 193-194. Sebagian ahli mengatakan, hijrahnya umat Islam ke Ethiopia, sebagai salah satu bentuk suaka politik. Kaum Muslim yang pertama hijrah ke Ethiopia, sebuah negara Kristen, yang memberi mereka “suaka politik”. Lihat Malik, The Concept of Human Rights in Islamic Jurisprudence, Human Rights Quarterly, The Johns Hopkins Univ. Press, nomor 3, 1981, h. 6. Sebagian orientalis melihat, bahwa hijrah ke Ethiopia dapat dirujukkan kepada salah satu dari lima sebab, yaitu melarikan diri dari penganiayaan, menjauhkan diri dari resiko pemurtadan, untuk melakukan aktivitas perdagangan, untuk meminta bantuan militer dari orang-orang Ethiopia, atau karena terjadinya perselisihan di antara kaum Muslimin, sehingga Nabi SAW menjauhkan salah satu kelompok ke Ethiopia sampai mereka dapat menyelesaikan pertentangan. Lihat rincian lebih lanjut dan bantahan atas argumen ini dalam Daufiq al-Râ’iy, Dirâsat fi Fahm al-Mustasyriqîn li al-Islâm, (Majallat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah al-Kuwait, 1412H/1992M), No. 18, h. 174-179.

138 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 480-485.

Page 141: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

104

dengan kamu. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Anfal, 8: 72)

Dan ingatlah (wahai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap.. (Q.S. al-Anfâl/8:26)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), dan yang meninggalkan rumah mereka dan mereka yang memberikan bantuan dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti nilai – nilai baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah (Q.S. al-Taubah/9:100) (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman mereka, dan dari harta benda mereka, (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan RasulNya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan (Q.S. al-Hasyr/59:8-9).

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (karena tidak berhijrah), (kepada mereka) Malaikat bertanya: "Penderiataan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang lemah dan

Page 142: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

105

tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S. al-Nisâ`/4:97).139

Ketika Nabi Muhammad SAW menunjuk komandan untuk

memimpin pasukan batalion, biasanya Beliau memberi

wasiat (amanat) kepada komandan untuk bertakwa kepada

Allah, dan bersikap baik kepada kaum Muslimin lainnya

yang turut dalam barisannya. Dalam salah satu kejadian,

Nabi Muhammad SAW bersabda:

Berperanglah dalam nama Allah, pada jalan Allah. Perangilah orang yang ingkar kepada Allah. Jika Anda bertemu dengan musuhmu dari kelompok musyrikin, serukanlah kepada mereka untuk menjalankan tiga hal. Yang manapun dari tiga hal tersebut yang mereka ikuti, maka terimalah dan hentikanlah seranganmu terhadap mereka. Mintalah mereka untuk memeluk Islam. Jika mereka mengabulkannya, maka terimalah dan tahanlah seranganmu terhadap mereka. Kemudian, ajaklah mereka untuk pindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin, dan jelaskan pada mereka bahwa jika mereka melakukannya, maka mereka memiliki hak yang sama dengan yang dimiliki kaum

139 Mahmûd Syaltût berpendapat bahwa ayat ini berlaku dalam beberapa kasus masa kini: Pertama,

individu-individu Muslim yang tinggal di negara yang penguasanya menganiaya kaum Muslimin. Mereka ini diwajibkan hijrah. Jika tidak, mereka pantas mendapat ancaman ayat ini. Kedua, Negara-negara Islam yang dijajah musuh, dimana mereka merampas kekuasaan dan pemerintahan dari penguasa yang sah, serta menghalangi mereka untuk melaksanakan ajaran agama dan menghilangkan kebebasan terhadap harta mereka. Mereka ini wajib hijrah secara moral dan fisik, berusaha menyatukan kekuatan dengan saudara-saudara sebangsa mereka untuk mengusir penjajah tersebut. Ketiga, Negara Islam yang terpecah-belah dalam beberapa faksi, dimana setiap faksi dikuasai oleh kelompok musuh kolonialis. Masing-masing faksi tunduk pada kolonialisnya, tanpa berusaha berhijrah. Serta mereka semua mengabadikan perpecahan bukannya bersatu, yang berarti mendukung musuh-musuh mereka. Dengan begitu, mereka semua adalah orang-orang zalim. Mahmûd Syaltût, al-Fatâwa, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 430-434. Lihat juga penafsiran yang mengagumkan terhadap ayat ini dalam Abû al-Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazaya al-Qur`an al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Mushaf, t.th.), Jlid II, h. 222-223.

Page 143: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

106

Muhajirin. Jika mereka menolak dan lebih memilih negeri mereka, maka beritahukan bahwa mereka sama dengan Arab Badui lainnya, dimana hukum Allah berlaku atas mereka sebagaimana berlaku terhadap kaum Mukmin. Mereka tidak mendapat harta rampasan perang sedikitpun, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum Muslim. Jika mereka masih menolak maka mintalah jizyah (pajak keamanan) kepada mereka. Bila mereka patuh maka terimalah kepatuhan mereka, dan tahanlah serangan terhadap mereka. Akan tetapi, bila mereka menolak, maka mohonlah bantuan Allah dan perangilah mereka.140

Terdapat kecenderungan yang kuat di kalangan para

ulama untuk berpendapat bahwa hijrah ke Dâr al-Islâm

(negara Islam) adalah wajib.141 Karena itu, Ibn Faudi pun

menegaskan bahwa hijrah adalah wajib berdasarkan

ketentuan al-Qur’an:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. al-Nisâ`/4:97)

Dan juga berdasarkan Hadis Nabi SAW:

Saya berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di bawah kekuasan orang-orang musyrik. Mereka (para Sahabat)

140 Muslim, Sahîh Muslim, Jilid al-Jihâd wa la-Siyâr No. 1731, Jilid III, h. 1356-1357. 141 Ulama, yang menegaskan bahwa hijrah merupakan kewajiban, secara khusus berargumen kepada

prinsip bahwa tidak ada kekuasaan bagi non-Muslim terhadap orang Muslim dalam keadaan bagaimanapun. Artinya tidak ada kewenangan dalam dua segi, yaitu bidang politik dan hukum. Lihat “Mauqif al-Malikiyyah” dalam Ridwan al-Said, Dâr al-Islâm wa Nizâm al-Daulah wa al-Ummah al-‘Arabiyyah Mustaqbal al-‘Âlam al-Islâmiy, Pusat Studi Dunia Islam, Malta, Edisi I, Musim Dingin 1991, h. 41- 42. Demikian juga pendapat Ibn al-Arabi yang mengatakan bahwa Anda (kaum Muslim) wajib berhijrah, dan tidak boleh berada di bawah kekuasaan kafir, karena hal itu menghinakan agama Islam dan meninggikan “panji-panji” kafir di atas “panji-panji” Allah. Waspadalah, sedapat mungkin jangan berdiri atau berada di bawah kekuasaan kafir. Ketahuilah, bahwa orang yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, padahal ia berpeluang untuk melepaskan diri dari kekuasaan mereka, tak ada tempatnya dalam Islam. Ibn al-‘Arabi, al-Wasâya, (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.th.), h. 41.

Page 144: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

107

bertanya: “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sebab, kamu tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya.”142 (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, al-Nasâ`i dan al-Tirmidzi).

Kewajiban hijrah juga didasarkan atas konsensus semua

ulama. 143

Uraian yang sama juga terdapat dalam kitab Kasysyaf

al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, yakni:

Bahwa melaksanakan hijrah wajib bagi orang Muslim yang

tidak mampu menampakkan agamanya di dar al-harb, yaitu

wilayah yang hukum kafir berlaku di sana. Hal ini

berdasarkan kalam Allah SWT :

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. al-Nisâ`/4:97).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW:

Saya berlepas diri dari setiap Muslim yangtinggal menetap di lingkungan musyrikin; Anda tidak tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya. (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, al-Nasâ`i dan al-Tirmidzi).

142 Abû Dâwud, Sunan Abi Daud, Hadis No. 2645, Jilid III, h. 73-74; al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzyi,

Hadis No. 1604, Jilid IV, h. 132-133. 143 Ibn Faudi mengecualikan kewajiban hijrah bagi semua kaum Muslimin yang termasuk orang-orang

yang lemah di antara mereka, berdasarkan kalam Allah SWT : “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Q.S. an-Nisa`, 4: 98). Seperti dalam Hadis Nabi SAW: “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah”. Ibn Faudi sependapat dengan penafsiran salah satu mazhab fikih yang menyatakan, bahwa maksud Hadis tersebut:”Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah”, maksudnya, setelah Mekkah menjadi Dâr al-Islâm. Jadi, hukum hijrah tetap berlaku dan merupakan suatu kewajiban (di wilayah kafir lainnya). Jika kafir harbiy memeluk Islam, tetapi mereka tidak melaksanakan hijrah, maka mereka dianggap maksiat (durhaka, tidak patuh) kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, status keislamannya tetap sah. Lihat ‘Utsman ibn Faudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘ala al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat al-Jihâd, h. 12-13 dan 16-20.

Page 145: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

108

Artinya, seorang Muslim tidak boleh tinggal dimana

perbedaan api (keimanan) mereka yang Muslim dan non-

Muslim tidak terlihat (perbedaanya) Karena menegakkan

ajaran agama adalah wajib, maka hijrah merupakan

kewajiban yang sangat mendasar. Adalah sesuatu yang dapat

dipahami bilamana suatu persyaratan yang muncul karena

suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka persyaratan

tersebut menjadi kewajiban.144

Sementara itu, aliran fikih lain berpendapat sebaliknya,

dengan menegaskan bahwa hijrah tidak wajib. Pendapat ini

didasarkan atas Hadis Nabi SAW :

Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah, tetapi jihad

dan niat.145

144 Lihat al-Bahuti, Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 43-44. 145Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 2631, Jilid III, h. 1025. Salah satu

argumen terbaik, yang mengkompromikan Hadis ini dan wasiat Rasulullah kepada komandan pasukan, dikemukakan oleh Imam Al-Hazimi: Pada awal Islam, hijrah adalah wajib, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Hadis. Kemudian berubah menjadi Sunnah/mandûb; tidak wajib. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT: “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (Q.S. an-Nisa`, 4: 100). Ayat ini turun ketika kaum Muslimin mengalami penderitaan berat karena penganiyaan kaum Musyrikin, yaitu ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Beliau memerintahkan kaum Muslimin pindah untuk dapat bersama-sama dengan Beliau, saling menolong, saling menegakkan agama dan agar mereka mendalami dan memahami ajaran agama dari Beliau, meskipun keadaan sangat sulit. Kekhawatiran terbesar yang mereka hadapi ketika itu berasal dari suku Quraisy yang notabene penduduk Mekkah. Tetapi, ketika Mekkah telah ditaklukkan dan berubah menjadi taat, resiko ancaman dan kewajiban untuk hijrah pun menjadi sirna. Ketentuan hukum kembali kepada mandub/mustahab (bersifat anjuran). Jadi, wajib dan mandub, keduanya hukum melaksanakan hijrah. Yang terhenti adalah hukum wajibnya, sedang yang masih berlaku adalah hukum mandub melaksanakan hijrah. Inilah cara menggabungkan kedua makna Hadis tersebut. Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hazimi al-Hamazani, al-I’tibar fi al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsar, tahqiq ‘Abd al-Mu’ti Qal’aji, (Halab: Dâr al-Wa’yi, 1403 H/1982 M), h. 308-309. Lihat juga, untuk pemikiran yang sama, Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî Daud, Jilid II, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401H./1981M), h. 234-235. Pendapat ini didukung oleh Yazid bin Abi Ziyad: “Tidak ada kewajiban hijrah dari suatu negeri yang penduduknya telah memeluk Islam”. Demikian juga penegasan Salam bin al-Akwa’, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Anda adalah Muhajirin? dimanapun Anda berada”, lihat Abû Sulaimân Ahmad ibn Muhammad al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan Syarh Sunan Abî Daud, h. 310-312. Oleh karena itu, al-Nawawi berkata: “Seorang Muslim yang lemah yang tinggal di

Page 146: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

109

Pada kenyataannya, sebaiknya perlu dibedakan antara

kedua masalah hukum yang bersifat hipotetis tersebut:

Hipotesis pertama, jika seorang Muslim mampu

menunjukkan agamanya di negara non-Muslim, ia tidak

memiliki kewajiban untuk mengungsi ke Dar al-Islam,

karena tidak ada alasan hukum (‘illah) untuk itu. Karena,

dalam keadaan seperti ini, tidak ada resiko penganiayaan

terhadap keberagamaannya.

Hipotesis kedua, jika seorang Muslim tidak mampu

menampakkan agamanya atau melaksanakan kewajiban

agamanya di negara non-Muslim, maka wajib baginya untuk

hijrah, berdasarkan kalam Allah SWT :

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : "Penderitaan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang

negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keyakinan agamanya, haram baginya tetap tinggal di sana, dan dia wajib berhijrah ke Dâr al-Islâm (negeri Islam). Jika dia tidak mampu melakukannya, dia dimaafkan sampai ia mampu melaksanakannya. Jika negeri tersebut telah ditaklukkan oleh negara Islam sebelum dia berhijrah, maka gugur kewajiban hijrah baginya. Jika dia mampu menampakkan keyakinan agamanya di negeri tersebut, karena dia menjadi panutan, atau karena memiliki keluarga yang melindungi dirinya, dan dia tidak khawatir keimanannya akan tergoncang, maka dia tidak wajib berhijrah, melainkan mustahabb/mandûb (anjuran), agar ia tidak menambah jumlah mereka, agar ia tidak terpengaruh pada mereka, dan agar mereka tidak memperdayanya. Ada informasi yang mengatakan bahwa al-Nawawi berpendapat hukumnya wajib. Akan tetapi, yang berlaku ialah pendapat yang pertama (mustahabb). Lihat al-Nawawi, Raudat al-Tâlibin, Jilid X, h 82. Penulis kitab al-Hâwi al-Kabîr mengatakan: “Jika seorang Muslim memiliki harapan melihat Islam muncul di wilayah tempat tinggalnya, maka sebaiknya dia tetap tinggal di sana. Jika seorang Muslim mampu untuk tetap dilindungi dan terpencil di tanah non-Muslim, ia harus tetap tinggal, karena lokasinya adalah Dâr al-Islâm (negeri Islam), yang jika dia meninggalkannya akan menjadi Dâr al-Harb (negeri non-Muslim). Oleh karena itu, ia dilarang pergi meninggalkannya. Jika ia mampu melawan orang kafir dan mengajak mereka untuk memeluk Islam, maka ia boleh tinggal, Akan tetapi, jika tidak demikian, maka ia harus pergi.” Lihat al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid XVIII, h. 111. Lihat juga Ibn Hazm, al-Muhalla, Jilid XI, h. 100-199 (masalah no.2198); dan al-Mawardi, al-Insâf fi Ma'rifat al-Râjih min al-Khilâf 'ala Madzhab al-Imâm Ahmad bin Hanbal, Jilid IV, h. 121; al-Mâziri, Kitab al-Mu’allim bi Fawâ’id Muslim, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1416 H./1996 M), Jilid II, h. 166; dan al-Syaukâni, al-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq 'ala Hada`iq al-Azhâr, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1415 H/1994 M), Jilid IV, h. 576.

Page 147: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

110

yang lemah dan tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (Q.S. al-Nisâ`/4:97)

Sebagai pengecualian, kewajiban hijrah tersebut

dihilangkan apabila terdapat alasan kuat untuk tidak

melaksanakannya, seperti: sakit, terpaksa dan lain-lain. Hal

ini berdasarkan kalam Allah SWT:

Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berusaha dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, semoga Allah memaafkan mereka, dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S. al-Nisâ`/4:98-99).146

5. Hak konvensional / kontraktual suaka teritorial dalam

Islam

Berbagai pengaturan yang mengatur suaka seseorang dari

sebuah Negara ke teritori Negara lain dapat dibuat dibawah

perjanjian internasional yang mengatur persyaratan-

146 Adalah hal yang wajar, jika seorang Muslim yang hijrah ke negeri Islam akan menikmati hak-hak yang sama dengan warga pribumi. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh pendapat hukum internasional sebagai berikut: Merupakan suatu kebutuhan bagi seorang Muslim untuk bermigrasi ke negara Islam agar ia mendapat hak-hak kewarganegaraannya. Hak ini tersedia baginya segera setelah ia memasuki wilayah Islam, baik untuk menetap secara permanen atau untuk berkunjung. Keadaan ini persis sama dengan kasus kewarganegaraan umum di Persemakmuran Inggris. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Dasar hukum hak-hak kewarganegaraan adalah satu kesatuan ideologi. Karena itu, semata-mata masuk ke pintu wilayah itu, seharusnya sudah cukup untuk mencapai hak-hak tersebut. Lihat R. Kemal, Concept of Constitutional Law in Islam, (India: Fase Brothers, 1955), h. 95-96).

Ulama fikih lainnya berpendapat, bahwa dewasa ini tidak tepat untuk menggeneralisasi pertimbangan tinggal menetap di negara non-Muslim sebagai negatif atau positif. Ada tinggal menetap yang wajib dan diperlukan (misalnya: para da’i yang datang untuk tujuan dakwah), dan ada pula tinggal menetap yang terlarang dan haram (misalnya, orang yang tinggal secara sukarela di negara non-Muslim). Akan tetapi, ada juga yang tinggal menetap yang hukumnya boleh dan sah (yakni orang-orang terpaksa tinggal selama ada alasan tertentu, seperti mahasiswa). Lihat Muhammad Abû al-Fath al-Bayânuni, al-Usûl al-Syar’iyyah li al-‘Alâqât bain al-Muslimîn wa Gairihim fi al-Mujtama’ât gair al-Muslimah, Majallat Jâmi’at al-Imâm Muhammad ibn Su’ûd, 1413H/1993 M), Edisi 6, h. 164-167.

Page 148: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

111

persyaratan suaka, dan bagaimana seorang pengungsi

diperlakukan dan diekstradisi.

Tidak terkecuali Islam, yang juga mengatur hak suaka

sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang

telah ditetapkan bersama Negara-negara non-Islam.

Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah perjanjian

yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan komunitas

masyarakat Jarba’ dan Adzrah sebagai berikut:

Ini adalah surat dari Muhammad seorang Nabi kepada

komunitas masyarakat Adzrah, sesunguhnya mereka selamat

dan aman dalam perlindungan Allah dan Muhammad,

selanjutnya mereka wajib memberikan jizyah sebesar seratus

dinar pada setiap bulan Rajab dan harus dipenuhi secara baik.

Allah menjamin keamanan mereka dengan memberikan

nasehat dan kebaikan bagi kaum Muslimin. Orang-orang

yang meminta perlindungan kepada masyarakat Adzrah dari

gangguan orang-orang Islam bila terdapat rasa takut dan

adanya sanksi hukum, maka mereka aman, sampai Nabi

Muhammad menetapkan kebijakan baru sebelum Beliau

keluar dari komunitas masyarakat Adzrah ini.147

147Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubra, (Beirut: Dâr Bairût, 1400 H/1980 M), h. 290, Ibn Katsir, al-Sîrah

al-Nabawiyyah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah,1395/1976), Jilid IV, h. 30. Terdapat sebuah perjanjian seorang penguasa di Yabras dan al-Istibtar sebagai berikut: “Jika terdapat seseorang yang lari meninggalkan tempat dan menuju ke tempat lain dengan membawa barang dan harta tertentu, maka harta yang ia bawa akan dikembalikan ke tempat semula. Sedangkan orang yang besangkutan disuruh memilih antara tinggal di tempat yang dituju atau kembali ke tempat semula. Jika orang yang lari itu hamba sahaya, yang mengabaikan agamanya, maka, uang seharga hamba sahaya akan dikembalikan. Tetapi jika ia mengikuti kepercayaannya, maka ia akan dikembalikan.” Lihat al-Qalqasyandi, Subh al-A’syâ, Jilid 14, h 38.

Page 149: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

112

. Terdapat sebuah contoh lain yang terkait tata aturan

suaka territorial ini, yaitu dalam kasus perjanjian

Hudaybiyyah dan berbagai hal yang akan kami bahas

kemudian.148

Kemudian hal penting yang bisa dikemukakan adalah

hak-hak suaka diplomatik, bukan hak-hak yang besifat

territorial dalam arti yang teknis, yang telah disepakati

perjanjian internasional dan tidak bertolak belakang dengan

prinsip-prinsip mendasar dalam Syariat Islam.

6. Suaka sebagai taktik untuk mewujudkan tujuan militer

atau lainnya

Model suaka jenis ini membentuk pelanggaran atas

tujuan dari hak suaka, yang memperjuangkan kondisi

kemanusiaan seseorang yang terancam penganiayaan dengan

cara pemberian perlindungan baginya.

Seorang pengamat hubungan antara Negara Islam dan

Negara – negara lainnya mencatat bahwa hak suaka dalam

beberapa kasus memang melangkahi tujuan ini. Dalam hal

ini, kita tidak menilik kasus suaka dalam arti katanya, namun

lebih sebagai suatu tindakan memata-matai atau bersiasat

dalam perang149 atau tindakan lainnya yang dilarang untuk

148 Lihat halaman 203 – 208 mengenai ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional 149 Di antara data pendukung dalam masalah ini ada sebuah pendapat yang dikemukakan dalam sebuah

referensi bahwa pada saat Abu Ja’far memperoleh kabar kasus al-Isbahbadz, dan apa yang diperbuatnya atas

Page 150: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

113

pengungsi, namun dapat dilakukan oleh tentara pada saat

perang.150

7. Suaka seorang Muslim ke negara non-Muslim

Kini parameter telah mengalami perubahan secara

mendasar. Sebagian umat Muslim berada dibawah

kungkungan para penguasa diktator atau tiran, sehingga

kaum Muslim pada saat itu, Abû Ja’far kemudian mengutus Khâzim ibn Huzaimah, Rûh ibn Hâtim, dan juga Marzûq Abû al-Khasîb, anak angkat Abû Ja’far untuk mengepung benteng pertahanan al-Isbahbadz sang penguasa Dailam. Pasukan ini menyerang benteng pertahanannya selama beberapa waktu. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb mengatur siasat peperangan dengan mengeluarkan instruksi kepada pasukan yang dipimpinnya: “Pukuli aku, gunduli rambut dan janggutku ini!“ Maka anak buah Marzûq Abû al-Khasîb melakukan apa yang diminta oleh sang pemimpin perangnya itu, untuk kemudian akan ditunjukkan kepada al-Isbahbadz, sang musuh besarnya, yang menguasai benteng pertahanan. Pada saat itu Marzûq Abû al-Khasîb berkata kepada al-Isbahbadz: “Sunguh aku telah mendapat masalah besar, aku telah dipukuli dan rambut dan jenggotku digunduli oleh anak buahku. Mereka melakukan itu karena menuduhku telah bersekongkol dengan Anda”. Lalu Marzuq menyatakan kepada al-Isbahbadz bahwa ia berada dalam pihak al-Isbahbadz serta menunjukkan kelemahan pasukannya. Maka Marzûq Abû al-Khasîb pun disambut dan diterima dengan baik oleh al-Isbahbadz, bahkan dijadikan sebagai orang terdekatnya. Pada saat itu, pintu kota (Dailam) berada di bawah tanggungjawab sekelompok pasukan penjaga. Al-Isbahbadz telah menunjuk Marzûq Abû al-Khasîb sebagai wakilnya atas pasukan penjaga pintu kota. Lalu ia mempertanyakan mengapa ia tidak dipercayakan untuk menjaga pintu kota itu sendirian. Kemudian mereka menyatakan, “Mengapa Anda berpikir demikian?” Kemudian Marzûq Abû al-Khasîb bekata: “Begini saya mau minta bantuan kalian, bukankah kalian sudah menganggap aku sebagai saudara yang berpihak kepada kalian? Bukankah kalian sudah percaya sebagaimana kepercayaan al-Isbahbadz kepadaku? Oleh sebab itu, kalian tidak perlu memperlakukan aku seperti ini, kalian tidak lagi perlu membatasi gerak-gerikku, biarkan aku bebas keluar masuk di istana raja Dailam ini.” Maka, setelah mereka yakin bahwa Marzûq Abû al-Khasîb sudah tidak akan mungkin membangkang, akhirnya ia dibebaskan keluar masuk istana raja itu, tanpa ada hambatan sedikitpun dan diserahkan tanggung jawab atas pintu tersebut. Hingga akhirnya Marzûq Abû al-Khasîb menulis surat kepada Rûh ibn Hâtim dan Khâzim ibn Huzaimah, agar dipersiapkan pasukan khusus para penembak jitu agar pada malam tertentu datang dan serangan mendadak. Mereka pun bersiap-siap menghabisi seluruh musuh yang ada dalam istana al-Isbahbadz. Akhirnya, siasat Marzûq Abû al-Khasîb ini benar-benar berhasil tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dari pihak al-Isbahbadz dan pasukannya berhasil masuk ke dalam istana. Dengan cara strategi seperti ini Marzûq Abû al-Khasîb ternyata berhasil menghancurkan pertahanan musuh, bahkan menahan tawanan perang dari kalangan musuh itu. Lebih lanjut lihat al-Tabari, Târîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, t.th), Jilid VII, h. 512-513.

150 Di antaranya, apa yang disebutkan pada salinan naskah pelantikan penguasa Sisse sebagai berikut: “Allah telah memberikan anugerah kekuasaan yang luas kepada kami dan telah menundukkan hati para penguasa di penjuru wilayah secara damai. Karena itu kami berjanji kepada Allah untuk tidak mengusir mereka, kami tidak menghalang-halangi jalan kemuliaan mereka, kami akan menghormati mereka, serta kami akan selalu memberikan perlindungan mereka. Hal ini kami lakukan karena bersyukur atas kekuasaan yang telah Allah berikan kepada kami seperti yang selama ini kami harapkan. Juga karena didadasarkan pada keyakinan bahwa sesungguhnya kekuasaan kami berada di genggaman-Nya kapan saja kami inginkan. Namun demikian, jika sekiranya ada seorang pengungsi yang masih menyimpan rasa dendam dan bahkan selalu bersikap memusuhi Islam, maka pengungsi tersebutlah yang berkewajiban untuk memelihara dirinya sendiri. Sebab seorang penjahat akan menanggung resiko atas kejahatan yang disembunyikannya dan orang yang melampaui batas akan menuai balasannya pada hari itu atau hari esoknya tergantung pada sikap permusuhannya pada masa lalunya”. Lihat al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, op.cit., Jilid XIII, h. 267. Lihat pula, al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, Jilid XIII, h. 534-535, yakni permintaan suaka Araghon dari Andalusia ke negeri para Khalifah Islam mengupayakan jaminan perlindungan di kawasan wilayahnya karena merasa tidak nyaman atas sikap dendam penduduk di bawah kekuasaannya.

Page 151: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

114

terpaksa mencari suaka ke negara non-Muslim agar terhindar

dari kemungkinan penganiayaan yang dapat menimpa

mereka. Hal ini terjadi meskipun pada dasarnya ajaran Islam

tidak diskriminatif dan dapat menampung, menerima dan

melindungi hak pengungsi, serta memberikan rasa aman

walau hanya berupa isyarat-isyarat atau ungkapan-ungkapan

yang tidak difahami. Tidak diragukan lagi, hal mendasar

itulah yang terabaikan atas para pengungsi Muslim tersebut

sehingga mereka menempuh jalan itu. Akibatnya saat ini,

sebagian negara-negara Islam yakni negara yang mayoritas

penduduknya beragama Islam, menjadi negara yang berlaku

sebaliknya. Sebagian warga negara Muslim pergi

meninggalkan tanah airnya untuk memperoleh perlindungan

di negara lain atau untuk mencari penghidupan. Dengan

modus seperti ini, timbullah jenis pengungsi yang lain

daripada yang sudah ada sebelumnya, yang mana Muslim

mencari kewarganegaraan di negara lain tempat mereka

mengungsi. Apakah hal seperti ini diperbolehkan menurut

Syariat Islam? Hal ini akan dikemukakan pembahasannya

pada uraian berikutnya.151

151 Lihat uraian selanjutnya mengenai integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim, halaman

232.

Page 152: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

115

8. Mengungsi dengan cara diam-diam atau tanpa izin secara

eksplisit

Para ahli ulama fikih mengemukakan suatu kajian terkait

suaka secara diam-diam, atau suaka individu-individu tanpa

izin. Mereka mengungsi secara sembunyi-sembunyi tanpa

izin dari negara Islam atau wilayah yang mengikuti negara

Islam untuk memasuki wilayahnya.

Dalam hal ini para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki

mengemukakan pendapat bahwa sekiranya para calon pencari

suaka politik ini bersedia diperlakukan seperti warga negara

yang berstatus dzimmiy, maka mereka akan diperbolehkan.

Akan tetapi, jika mereka enggan untuk menjadi warganegara

yang berstatus dzimmiy, maka seorang kepala negara Islam

bisa mengirim mereka ke negara yang aman. 152 Dapat

152 Menurut Ibn Rushd, dalam kitab al-Bayân wa al-Tahsîl terdapat informasi sebagai berikut: Yahya

berkata: ”Saya bertanya kepada Ibnu al-Qasim apabila ada orang – orang yang mencurigakan dari kalangan musuh yang keluar dari negaranya menuju ke kawasan negara Islam dengan tanpa izin, maka tatkala mereka tertangkap di negara Islam atau di daerah perbatasan antara orang-orang Islam dan musuh, ketika mereka sedang menuju ke Negara Islam, mereka hendak pindah ke negara Islam bukan dalam suasana perang atau dalam rangka mencari kesempatan untuk menangkap, mengambil yang diinginkannya, sementara mereka hanya berkeinginan untuk tinggal di kawasan negeri Islam, secara bebas, tanpa kewajiban membayar jizyah, dengan demikian apakah mereka dapat diperlakukan sebagai orang bebas atau akan dikenakan jizyah? Apakah bila mereka diterima, kepala negara akan menetapkan jizyah kepada mereka, dan jika mereka ditolak, maka mereka akan dikembalikan ke wilayah aman dan tidak boleh diganggu kehormatannya?. Ibn al-Qâsim berkata “Jika pada saat mereka keluar dari negaranya dan masuk ke negara Islam mereka telah diperintahkan untuk membayar jizyah, maka kepala negara Islam wajib menerima mereka dengan ketentuan mereka membayar jizyah. Kepala negara tidak boleh menjual mereka sebagai budak atau mengirim ke tempat lain. Lebih lanjut Ibn al-Qâsim berkata, seorang kepala negara Islam bisa saja menetapkan hukum berdasarkan wewenangnya terhadap kasus seseorang dari negeri musuh yang masuk tanpa izin sesuai dengan pertimbangan nalar sehatnya. Jika sekelompok orang yang kapalnya rusak dan terdampar di tertangkap lalu mereka ditangkap oleh orang Muslim, lalu mereka menyatakan bahwa mereka tidak sengaja masuk ke negeri Muslim, maka imam atau kepala negara dapat menjual mereka sebagai budak, atau menempatkan mereka dalam posisi-posisi tertentu untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, Yahya bertanya kembali apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh saja? Ibn al-Qâsim menjawab: “Tidak, saya tidak setuju dengan pendapat yang membolehkan untuk membunuhnya, dan saya juga pernah bertanya kepada Imam Malik apakah tawanan seperti ini boleh dibunuh. Beliau menjawab tidak boleh, kecuali ada kekhawatiran bahwa mereka akan menimbulkan bahaya besar. Jika ada indikasi akan menimbulkan bahaya besar, maka mereka boleh dibunuh. Jika ada di antara sejumlah tawanan perang ini

Page 153: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

116

dikatakan bahwa sesungguhnya melalui pendekatan ini,

Syariat Islam berbeda dengan praktek dan ketentuan umum,

yang saat ini diikuiti sebagian Negara, yang memberlakukan

hukuman keras bagi warganegara asing yang masuk ke

sebuah negaranya tanpa dilengkapi dokumen resmi.

9. Suaka tidak dengan sukarela/ kemauan sendiri

Bisa saja terjadi kasus suaka yang tidak dikehendaki atau

bukan kemauan sendiri, misalnya dalam kasus terdamparnya

perahu lantaran badai laut yang ganas hingga singgah di

pantai sebuah negara yang tidak direncanakan. Hal ini

menyebabkan orang tersesat dalam perjalanan hingga

memasuki batas negara lain. Bagaimanakah pandangan

Syariat Islam dalam masalah seperti ini. Para ahli Syariat

Islam mengemukakan beberapa pendapat mereka dalam

kasus seperti ini.

Di antaranya pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ibnu

Qudamah, “Barang siapa yang tersesat dan kehilangan jejak

dalam medan pertempuran, hingga ia masuk ke wilayah

negeri Muslim, atau orang tersebut terbawa angin hingga

masuk dalam wilayah kita, atau dibawa oleh binatang

seseorang yang berbahaya seperti seorang pembunuh atau sadis atau yang sejenisnya, maka Imam Malik berpendapat orang itu boleh saja dibunuh. Lihat Ibn al-Rusyd, al- Bayân wa al-Tahsîl wa al-Syarh wa al-Taujîh wa al-Ta’lil fî Masâ`il al-Mustakhrajah, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmîy, 1408 H/1988 M), Jilid III, h. 20-21. Dari uraian ini tampak jelas perbedaan mendasar antara pengungsi di satu sisi dan tawanan perang di sisi lain yang tidak memiliki status pengungsi, tentu saja akan diperlakukan berbeda.

Page 154: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

117

kendaraannya hingga akhirnya masuk dalam wilayah kita,

maka menurut Abu al-Khattâb terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa orang itu masuk dalam

kategori fa’i (rampasan perang), sebab ia jelas merupakan

harta orang musyrik yang masuk dalam wilayah kita tanpa

adanya peperangan, hal ini sama persis dengan harta

rampasan perang yang ditinggal lari oleh musuh karena

kepanikan. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa harta

yang tiba-tiba datang ke wilayah negeri Muslim ini menjadi

milik siapa saja yang menemukannya, sebab harta itu datang

dengan sendirinya tanpa ada usaha perebutan dari pihak yang

mendapatkannya, maka ia berhak memilikinya sebagaimana

berbagai hal lain yang dibolehkan yang terjadi di negeri

Muslim.153

Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat kasus seperti

ini termasuk suaka yang tidak dikehendaki oleh pengungsi

yang bersangkutan, dan konteks suaka hanya sebatas nama

saja, tapi tidak dilihat dari arti katanya secara hakiki.

Alasannya karena hal itu terjadi dalam suasana perang, oleh

karena itu kaidah yang berlaku juga harus didasarkan atas

aturan-aturan peperangan, sehingga orang-orang yang terlibat

153 Ibn Qudâmah al-Maqdisiy, al-Kâfi fi al-Fiqh ‘ala Madzhab al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn

Hanbal, (Kairo: Dâr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1993), Jilid IV, h 219.

Page 155: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

118

didalamnya diperlakukan sebagai peserta perang dan bukan

sebagai pengungsi.154

10. Suaka lantaran adanya aktvitas peperangan atau militer

Dalam masalah ini, pembahasan akan dibagi menjadi 4

(empat) hal.

a. Konflik bersenjata yang mengakibatkan berbagai situasi

pengungsian.155

Dalam al-Qur’an terdapat sederetan dalil yang jelas

tentang problematika pengungsi, khususnya mereka yang

dipaksa oleh pihak musuh untuk meninggalkan negerinya

sendiri dan lari ke berbagai tempat lain. Dalam hal ini

Allah SWT berkalam:

Mengapa Kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya Kami telah diusir dari kampung halaman kami dan anak-anak kami? (Maksudnya:

154 Di antara contoh lain tentang kasus pengungsi yang tidak dikehendaki ini adalah apa yang

dikemukakan oleh Abu Yusuf. Menurutnya, jika ada sejumlah penumpang kapal dalam suasana perang terdampar dibawa angin dengan harta bawaannya, hingga akhirnya masuk ke sebuah pantai negeri Muslim, maka kaum Muslimin boleh saja menangkap penumpang kapal tersebut dan mengambil barang bawaannya. Apabila seorang gubernur menangkap mereka, seyogyanya ia mengirim mereka beserta harta bawaan mereka kepada kepala negera Islam. Kemudian, kepala negara mempunyai pilihan untuk mengizinkan mereka tetap tinggal atau dieksekusi. Penguasa Negara dalam kasus ini sangat diberikan wewenang yang luas. Jika sendainya orang-orang yang terdampar tadi mengaku sebagai pedangang, maka pengakuan mereka ini tidak bisa diterima, bahkan harta bawaannya itu bisa dianggap sebagai fa’i yang pengelolaannya diserahkan kepada kepentingan kaum Muslimin. Pengakuan mereka sebagai pedagang tidak bisa diterima begitu saja. Abû Yûsuf, Kitâb al-Kharaj, (Kairo: al-Matba’ah al-Salafiyyah, 1397 H), h 205.

155 Lihat pula secara khusus tentang orang yang melarikan diri dari tugas pelayanan pusat atau menolak kerjasama dalam urusan peperangan dan sejauh mana hak-hak mereka akan suaka. Lihat Manual of Applicable Procedure and Criteria in Refugee Status Determination under the 1951 Convention and 1967 Protocol on Refugee Status, UNHCR, Geneva, 1992, h. 52-55.

Page 156: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

119

mereka diusir dan anak-anak mereka ditawan). (QS al-Baqarah/2:246).

Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS : an-Nisâ’/4:66) Maka orang-orang yang berhijrah dan yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku. (Q.S. Ali ‘Imrân/3:195). Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. ( ◌Q.S. al-Mumtahanah/60:9). Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka. (Qs al-Hasyr/59: 3)

b. Ketidakbolehan memberikan suaka kepada orang yang

ikut berperang

Secara mendasar hak-hak suaka memiliki karakter

“perdamaian sipil dan kemanusiaan.”156 Oleh sebab itu

tidak bisa dibenarkan jika tentara dalam sebuah

156 Lihat The 1967 Declaration on Territorial Asylum adopted by the Umited Nations General

Assembly. Lihat juga Introduction to International Protection of Refugees, August 2005, UNHCR, Geneva, h. 71

Page 157: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

120

peperangan melakukan pencarian suaka157 sampai ketika

pihak yang berwenang telah yakin, dalam periode

tertentu, bahwa mereka telah benar-benar dinonaktifkan

dari aktifitas ketenteraan. Dengan adanya jaminan

kenonaktifan yang bersangkutan dari kegiatan

ketentaraan, maka langkah-langkah spesifik akan diambil

untuk menentukan status pengungsi dengan basis kasus

per kasus dalam rangka memastikan bahwa pemohon

suaka memenuhi kriteria yang diperlukan untuk

memperoleh status pengungsi.158

Pengungsi adalah bagian dari masyarakat sipil. Oleh

sebab itu seseorang yang tergabung dalam unsur

ketentaraan tidak memungkinkan untuk menjadi pencari

suaka atau menjadi pengungsi. 159 Demikian halnya

seseorang yang bekerja di sebuah markas militer dalam

rangka membela negaranya dan, ia juga tidak dapat

memperoleh status sebagai pengungsi.

Ajaran Islam tampaknya sepakat dengan apa yang

dikemukakan di atas. Sebab selama seseorang bekerja

dalam urusan peperangan, maka orang tersebut pasti akan

157 Lihat rekomendasi Conclusions on International Protection of Refugees adopted by UNHCR

Executive Committee, Cairo, 2004, h. 265 No. 94(53). 158 Ibid h. 268. 159 Pasal 44 Konferensi Genewa Keempat tahun 1949 tentang Perlindungan bagi Warga Sipil dalam

Masa Perang menyatakan bahwa dalam hal pemakaian langkah-langkah pemantauan, negara pemberi suaka tidak boleh melindungi pencari suaka yang nyata-nyata tidak memanfaatkan perlindungan berbagai negara sebagaimana pihak-pihak musuh yang hanya karena mengikuti tata aturan bagi negara yang sedang bermusuhan itu.

Page 158: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

121

bertentangan dengan ‘keamanan’, yang mana adalah dasar

dari pemberian suaka (istijarah dan ijarah) dalam Syariat

Islam.

c. Perpindahan tawanan perang

Pandangan kaum ulama fikih menyatakan bahwa

sesungguhnya seorang tawanan perang harus meminta

perlindungan suakanya di negara Islam. Demikian halnya

menurut al-Mawardi bahwa seorang tawanan perang

wajib apabila memungkinkan, walaupun ia telah diambil

sumpahnya agar tetap tinggal di tempat dan tidak

melakukan hijrah. Hal ini mesti dilakukan, sebab sumpah

dalam kondisi seperti ini adalah dipaksakan dan terjadi

pada saat mereka sedang dalam keadaan tertekan.160

d. Pemberian suaka teritorial kepada tawanan perang

Problem ini secara mendasar muncul akibat terjadi

peperangan antara Korea Utara dan Korena Selatan

(sekitar tahun 1950-1953). Sejumlah besar tawanan

perang ditahan di beberapa negara yang terlibat

peperangan dengan Korea Utara. Mereka menolak untuk

kembali ke negara asalnya dan aliansi negara-negara

160 al-Mâwardi berkata: “Seorang tawanan perang adalah pihak yang lemah dan wajib berhijrah jika mampu untuk melakukannya. Bahkan ia diperbolehkan untuk melakukan pembunuhan dan merampas harta pihak yang menjadikan tawanan perang. Jika pada saat berusaha lari ia tertangkap, ia boleh menyerang mereka, jika akhirnya tertangkap lagi dan diambil sumpah agar ia tidak melarikan diri dan agar tetap harus bersama mereka menjadi budak, tetapi pada akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk keluar meninggalkan mereka, maka ia wajib melakukanya, sekalipun ia pernah bersumpah untuk tidak akan lari lagi. Hal ini didasarkan atas sabda Nabi yang menyatakan bahwa barang siapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu, tetapi ternyata hal yang terjadi merupakan kebalikannya, maka laksanakan hal terbaik dan bayarlah kafarat atas sumpah yang dilakukannya.” al-Mâwardi, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid XVIII, h. 312-313.

Page 159: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

122

Barat memberikan hak suaka kepada mereka. Kejadian ini

memunculkan beberapa penafsiran berbeda tentang

ketentuan dalam Konvensi Genewa tentang Perlakuan

terhadap tawanan Perang tahun 1949, khususnya pasal

118/1 yang menyebutkan bahwa “Tawanan perang harus

dilepaskan secara bebas dan dipulangkan ke negeri asal

mereka tanpa penundaan, segera setelah aktivitas militer

siakhiri.” Dan Pasal 7 menyatakan bahwa “Tawanan

perang tidak boleh, dalam keadaan apapun, tidak boleh

meninggalkan sebagian atau keseluruhan hak-hak yang

dijaminkan kepadanya oleh Konvensi ini. 161

Dengan adanya ketentuan pasal ini, ada sebagian ahli

hukum yang berpendapat bahwa pemberian suaka kepada

tawanan perang tidak diperbolehkan, sementara sebagian

lainnya berpendapat lain, yakni tetap saja suaka

diperbolehkan kepada tawanan perang. Sebab suaka

adalah hak asasi manusia, dan berlaku bagi tawanan

perang sekalipun.162

Sepelik apapun sebuah masalah, bagaimana pandangan

Islam dalam masalah ini?

161 Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Nazariyyât al-‘Âmmah li Qanûn al-Duwal al-Insâniy, (Kairo: Dâr al-

Nahdah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 71. 162 Lebih lanjut tentang perbedaan pendangan ulama dalam masalah ini bisa dilihat dalam Abdul Wahid

al-Far, Asrâr al-Harb, Dirâsah Fiqhiyyah Tatbîqiyyah fi Nitâq al-Qanûn al-Duwaliy al-‘Âmm wa al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1975), h 390-397. Lihat pula Burhân Amrullah, al-Nazariyyah al-’Âmmah li Haqq al-Malja’ fi al-Qânûn al-Duwali al-Mu’âsir, Disertasi (Kairo: Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h 239-255.

Page 160: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

123

Menurut pandangan kami, untuk menyelesaikan kasus ini,

sangat memungkinkan jika pengungsi yang ada dalam

kawasan peperangan ini dianalogikan seperti barang yang

disandera atau gadai, dalam arti bahwa tawanan perang

tidak boleh dikembalikan, dan harus tetap diberikan

perlindungan suaka teritorial, jika mereka masuk agama

Islam atau berstatus sebagai dzimmiy atau bilamana ada

ketakutan akan keselamatan nyawa mereka apabila

dipulangkan.

11. Penghormatan suaka oleh pihak ketiga kepada negara

yang memiliki perjanjian dengan Muslim

Terkait masalah ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Nisâ’/4:88-

90:

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (Q.S. al-Nisâ’/4:88)

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan

Page 161: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

124

bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,.. (Q.S. al-Nisâ’/4:89).

… kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.(Q.S. al-Nisâ’/4:90).

Hal mendasar yang kami perhatikan dalam kajian ini ialah

kalam Allah yang berbunyi …kecuali orang-orang yang

meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara

kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).(Q.S.al-

Nisâ’/4:90)

Dalam hal ini, Al-Farrâ’ mengatakan: Jika Nabi SAW membuat perjanjian dengan beberapa orang yang tidak memerangi atau membantu yang lain untuk memerangi Beliau, dan mereka membuat kesepakatan damai maka dilarang untuk melawan orang-orang tersebut atau orang-orang yang menyertai mereka. Maka pendapat beliau dalam masalah memerangi Rasulullah SAW sama dengan pendapat mereka, sehingga sepakat tidak boleh memerangi

Page 162: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

125

Rasulullah SAW, itulah maksud dari kalam Allah “يصلون”,

menghubungkan, artinya adalah “ م يتصلون ”, orang-orang

yang meminta perlindungan kepada suatu kaum.163

Kami berpendapat bahwa pengecualian yang terdapat dalam

ayat yang berbunyi:

Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai). (Q.S. al-Nisâ’/4:90).

benar-benar mengandung prinsip dan kaidah-kaidah hukum

Internasional yang wajib diikuti. Ayat tersebut bahkan

melahirkan tiga aturan dasar yakni 1. adanya perluasan

dampak perjanjian terhadap pengungsi yang terhubung

dengan pihak ketiga, 2. penghormatan atas hak suaka, dan 3.

tidak melakukan intervensi dan tidak ikut serta dalam

tindakan permusuhan terhadap pengungsi. Hal ini bisa

dijelaskan dengan uraian di bawah ini :

a. Memperluas pengaruh atau dampak perjanjian internasional

terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga.

Ayat-ayat suci al-Qur’an di atas menyebutkan bahwa

sesungguhnya terdapat pengecualian dari pernyataan dalam

ayat sebelumnya mengenai “penawanan dan pembunuhan”,

163 Abû Zakariyâ Yahya bin Ziyâd al-Farrâ’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub,1980), Jilid

I, h 281-282 . Ibn al-‘Arabi menyatakan, Q.S. al-Nisâ’/4:90 mengandung arti bahwa siapa saja yang bergabung dengan suatu kelompok yang memiliki perjanjian dengan Muslim maka Muslim tidak boleh menangkap orang itu karena dia telah terikat perjanjian tersebut. Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, op.cit., jilid I, h. 469-470.

Page 163: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

126

dan ayat–ayat tersebut berlaku bagi kaum yang memiliki

perjanjian damai dengan Muslim. Dalam uraian ayat-ayat ini

terdapat batas-batas pengecualian yang sangat jelas.

Pengecualian berlaku walaupun tidak secara tegas disepakati

dalam sebuah perjanjian, dan dapat berlaku hanya dengan

bergabung dengan suatu kaum yang telah memiliki perjanjian

damai dengan kaum Muslimin. Dengan kata lain, berlaku

secara de facto. Sebab kalau telah ada perjanjian dengan

kaum yang telah ada kesepakatan damai dengan kaum

Muslimin, berarti mereka sudah tidak berpaling, sehingga

tidak perlu lagi ditawan dan diperangi. Hal ini juga berlaku

bahkan ketika seseorang tidak menunjukkan keinginan atau

persetujuan terhadap perjanjian macam itu (seperti yang

tertuang dalam konvensi Vienna tahun 1969, khususnya

tentang adanya pengaruh perjanjian terhadap pihak lain).

Tentu saja jika nyata-nyata terdapat unsur permusuhan yang

membahayakan kekuasan pemerintahan Islam atau ada suatu

gejala yang mengganggu keamanan pemerintah, maka tidak

berlaku ketentuan mendasar sebagaimana disebutkan dalam

ayat di atas. Sebab dalan konteks ini tidak diragukan lagi

bahwa ada unsur permusuhan atas kedaulatan Islam dan

bukannya ada unsur hubungan sehat dan damai dengan kaum

Islam.

Page 164: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

127

b. Penghormatan atas hak suaka teritorial: Beberapa ayat di atas

mengisyaratakan tentang adanya perlindungan bagi pencari

suaka teritorial, terutama dalam menunjuk orang-orang yang

bergabung dan meminta perlindungan kepada sesuatu kaum

yang memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim, maka

orang tersebut dapat menikmati keuntungan dari perjanian

tersebut dan kepadanya hak suaka harus ditepati.164 Dengan

demikian, perjanjian ini bisa disebut sebagai semacam sebuah

kontrak pemberian rasa aman yang memang wajib

diprioritaskan oleh orang-orang Islam,165 dari pihak dan arah

manapun para pencari suaka ini berasal, baik mereka itu ada

hubungan kekerabatan dengan pihak pemberi suaka maupun

tidak166 dan bahkan jika orang tersebut tidak menjadi bagian

dari perjanjian dengan kaum Muslim, namun mereka hanya

berada dalam kedaulatan negara yang telah memiliki

kesepakatan damai dengan kaum Muslimin. Menurut

pendapat kami, perluasan dampak hukum terhadap pihak

164 Al-Khâzin mengatakan bahwa makna “yasilûn” dalam ayat ini ialah dimiliki oleh, atau terhubung

atau memasuki perjanjian untuk perlindungan. Ibn ‘Abbâs mengatakan bahwa seseorang yang mencari perlindungan kepada kaum yang telah terlebih dahulu mempunyai perjanjian damai dengan Islam adalah sama saja seperti telah terikat dengan perjanjian yang sama. Lihat al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1370 H/1955 M), Jilid I, h. 571

165Artinya, menurut sebagian ulama fikih, dilarang membunuh orang yang punya hubungan dengan sekelompok pihak ketiga yang menjalin perjanjian damai dengan Muslim karena “bagi mereka hak-hak perlindungan berlaku sebagaimana hak-hak yang melekat pada pihak ketiga”, bahkan baginya berlaku hak-hak dzimmiy. (Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 19).

166 al-Tabari mengkritik pembatasan dalam ayat ini yang hanya membahas sebatas orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Lihat Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 20. Lihat pula al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1392 H/1972 M), Jilid I tahqîq Muhammad al-Sâdiq Qamhawi, h. 551; al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, al-Nâsyir Mahfuz al-‘Ali, (Beirut:), Jilid I, h. 495-496; dan al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, h. 220.

Page 165: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

128

ketiga bergantung juga pada batasan fisik dan ruang, yakni

kehadiran dan kedudukan pengungsi dalam teritori negara

yang bersangkutan.

Dengan demikian, jika mereka tidak berada di atau

telah meninggalkan teritori, secara langsung mereka tidak

dapat menikmati perlindungan sebagai perluasan perjanjian

tersebut, kecuali terdapat perjanjian atau kesepakatan dalam

bentuk lain.

c. Tidak adanya intervensi dan ketidakikutsertaan dalam

perlawanan, serta pada saat yang sama menciptakan

perdamaian. Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya

pengecualian dalam ayat Q.S. al-Nisâ’/4:90 konsekuensi yang

muncul adalah tidak boleh adanya kekerasan atau perlawanan

terhadap kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan

dengan kaum Muslimin, karena mereka telah dianggap

sebagai pengungsi bagi kaum Muslim.

12. Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam

Para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki berpendapat

bahwa berpindah dari kawasan yang dikuasai pihak musuh

dan berupaya untuk tidak berlama-lama berada di satu tempat

dengan para musuh merupakan suatu keharusan. Masalah ini

dapat dijelaskan sebagai berikut, dengan adanya suatu

pertanyaan.

Page 166: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

129

Bagaimana bila terdapat sebuah negara Islam yang

dikuasai, dijajah bahkan ditindas oleh pihak musuh non-

Muslim? Warga Muslim dan negara Islam yang dijajah dan

dikuasai pihak musuh ini hidup dalam keadaan terkekang,

dikuasai bahkan dieksploitasi. Dipinggiran daerah negara

tersebut, terdapatlah gunung yang tidak dapat dimasuki

musuh karena dijaga oleh penduduk setempat. Sebagian

diantara warga negara yang dijajah itu berpindah dengan

seluruh anggota keluarga, anak dan harta bendanya ke

gunung tersebut. Ada juga warga Muslim yang tetap bertahan

di tempatnya masing-masing dan berada di bawah kekuasaan

hukum orang kafir, dan mereka diwajibkan untuk membayar

pajak seperti jizyah. Diantara orang-orang ini, baik yang telah

berpindah maupun yang masih menetap, terdapat para ulama.

Dengan kata lain, ulama terbagi menjadi dua golongan.

Ulama yang telah menyingkir dari kawasan penguasa zalim

menuju ke pinggiran kota bahkan di gunung-gunung bersama

beberapa warga Muslim lain berpendapat bahwa bermigrasi

atau menyingkir dari penguasa zalim hukumnya adalah wajib.

Mereka bahkan memberikan fatwa yang mengharamkan

hidup, kekayaan, keluarga dan budak wanita dari para

Muslim tersebut, yang tetap tinggal bersama para penguasa

zalim, padahal sebetulnya mereka mampu untuk menyingkir.

Bahkan keluarga, anak dan cucu-cucunya bisa dianggap

Page 167: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

130

sebagai tawanan perang. Fatwa ini didasarkan atas pendapat

yang mengatakan bahwa siapapun yang tetap bertahan tinggal

bersama dengan penguasa zalim, padahal mampu untuk

hijrah ke tempat lain, berarti sama saja ia membantu pihak

musuh untuk memerangi kaum Muslimin, bahkan sama saja

ia telah merampas harta kaum Muslimin dan sama halnya

telah membantu kemengangan pihak musuh. Argumentasi

atau dalil lain tentu saja masih ada. Sedangkan ulama yang

tetap bertahan bersama beberapa orang pihak musuh yang

non Muslim dan berada pada hukum penguasa kafir ini

berpendapat bahwa hijrah, eksodus atau menyingkir dari

kawasan tersebut hukumnya tidak wajib. Dasar

argumentasinya merujuk kepada sejumlah dalil hukum, antara

lain kalam Allah:

…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S. Ali ‘Imrân/3:28).

dan Hadis Nabi:

Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Mekkah, tetapi jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berperang, maka berangkatlah. (Hadis Muttafaq ‘alaih).167 dan juga dalil-dalil yang lain.168

167 Lihat halaman 108. 168 Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyasy, Fath al-‘Aliy al-Mâlik fi al-Fatwâ ‘ala

Madzhab al-Imam Mâlik, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1378 H/1958 M), h. 375-385.

Page 168: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

131

Pertanyaan di atas dijawab dengan uraian sebagai berikut:

Sesungguhnya hijrah dari negara kafir menuju negara Islam

hukumnya wajib hingga kelak hari kiamat, demikian halnya

hijrah dari kawasan yang haram, zalim dan penuh dosa atau

godaan. Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat akan terjadi

anggapan bahwa harta seorang Muslim yang paling baik adalah

sekedar seekor kambing yang akan terus diikuti oleh

pemiliknya hingga ke bukit-bukit dan tempat-tempat turunnya

hujan, ia lari dengan agamanya karena takut terjadi malapetaka

menimpa”. 169 Diriwayatkan pula oleh Asyhab dari Mâlik,

bahwa hendaknya tidak ada orang yang menetap di suatu

tempat dimana berlaku aturan dan perbuatan yang tidak baik.

Apabila tidak ada negara yang lebih baik (semua negara sama

buruknya) maka orang tersebut harus memilih di antara dua

tempat yang paling sedikit resiko keburukannya. Negara

dimana kejahatan dan ketidakadilan berada, tetap lebih baik

daripada negara yang kafir. Negara yang didalamnya terdapat

kejahatan atau ketidakadilan namun halal, tetap lebih baik

daripada negara yang adil namun penuh keharaman. Negara

dimana terdapat kemaksiatan terkait hak-hak Allah SWT, tetap

lebih baik dari negara dimana terdapat kemaksiatan-

169 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, Hadis No. 19, Jilid 1, h. 15.

Page 169: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

132

kemaksiatan yang berakibat kepada perlakuan zalim terhadap

warga masyarakat.

Fatwa di atas sampailah pada pernyataan bahwa “Jika

orang-orang Islam yang tinggal di negara kafir menyerang kita

beserta para pemimpin mereka, maka nyawa mereka halal

untuk diambil dan apabila mereka membantu memerangi kita

dengan menggunakan harta mereka, maka harta itu halal untuk

dirampas.

Fatwa di atas ditutup dengan kesimpulan bahwa jika hal-hal

yang telah disebut di atas terjadi, maka tidak ada seseorang

tidak boleh kembali ke negara tersebut atau menahan diri dari

kegiatan bermigrasi, namun wajib meninggalkan negara yang

dikuasai oleh kaum musyrik dan kaum yang merugi menuju ke

sebuah negara yang aman dan penuh dengan keimanan. Oleh

sebab itu kepada mereka yang tidak bermigrasi, Allah SWT

berkalam:

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.s al-Nisâ’/4:97).170

Dari uraian fatwa di atas, bisa kami simpulkan sebagai

berikut. Pertama, dari sisi redaksional, yakni pelarian dari

negara yang dikuasai oleh pihak musuh menjadi sesuatu yang

wajib dilakukan oleh setiap warganegara Muslim yang mampu

170 Lihat kembali Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyisy, Ibid, h. 375-385;.Lihat juga h. 385-387

Page 170: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

133

melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat

dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan

substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila

seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam

melaksanakan ajaran agamanya dan terhalangi

mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal

buruk ini tidak ada (penganiayaan dan pelanggaran kebebasan

beragama), maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan

negeri tersebut.

B. Menurut Hukum Internasional

Suaka teritorial diartikan sebagai ketika seseorang

berpindah dari suatu tempat (asalnya) yang tidak nyaman bagi

dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara

yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan

suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam

teritori itu (yang didatangi).171

3. Suaka Diplomatik

A. Menurut Syariat Islam

Pembahasan tentang suaka diplomatik akan kami ulas sesuai

arti katanya. Demikian pula terdapat pembahasan terkait

171 Lihat pula I’lân al-Umam al-Muttahidah haul al-Lujû’ al-Iqlîmiy, Tahun 1967; Konvensi Tahun

1954 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Amerika); dan Konvensi Tahun 1977 tentang Kepengungsian Teritorial (di lingkungan Negara-negara Benua Eropa), dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and other of Concern to UNHCR, op. Cit.,Vol. I h. 49, Vol. III, h. 1207, Vol. IV, h. 1397.

Page 171: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

134

problematika suaka teritorial yang berkaitan erat dengan para

diplomat atau mereka yang bertugas dalam urusan Islam.

A.1. Pemberian suaka diplomatik dalam Islam

Karena hubungan diplomasi yang ada antar negara

terjadi ditengah-tengah kemunculan Islam dilakukan atas

dasar ad hoc, maka jenis suaka ini tidak banyak ditemukan

penerapannya dalam ajaran Islam. Sebab, suaka diplomasi

kerap kali diasosiasikan dengan diplomasi tetap, seperti

yang terepresentasikan dengan pembentukan kedutaan besar

dan pemberian tempat timggal dan kantor permanen kepada

utusan diplomatik di negara tempat mereka ditugaskan.

Sedangkan representasi diplomatik pada awal masa sejarah

Islam merupakan representasi diplomatik yang bersifat

sementara atau ad hoc.

Pertanyaannya adalah apakah pemberian suaka

diplomasi pada saat ini, dimana terdapat utusan diplomatik

tetap, berlawanan dengan ajaan Islam?

Kami berpendapat bahwa memang dimungkinkan untuk

memberikan suaka diplomatik dalam Islam dengan alasan-

alasan sebagai berikut:

1) Keadaan dan kebiasaan telah berubah. Dengan demikian,

suaka diplomatik memungkinkan atas dasar aturan: “Ketika

keadaan berubah, aturan dan ketentuan juga harus berubah.”

Page 172: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

135

2) Pada saat suatu negara Islam terikat dalam perjanjian

internasional yang menyangkut kewajiban pemberian suaka

diplomatik, maka kesepakatan dan perjanjian tersebut harus

ditepati, sebab dalam ajaran Islam terdapat prinsip dasar

untuk menepati janji dan memenuhi akad-akad, sebagaimana

kalam Allah:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (QS al-Mâ’idah/5:1)

3) Duta Besar Muslim dari negara-negara Islam mungkin

memberikan suaka diplomatik dengan mempertimbangkan

Hadis Nabi:

Orang-orang Muslim itu sepadan darah mereka (dalam masalah qisâs dan diat, orang yang paling jauh dapat memberikan suaka, mereka dapat saling tolong menolong, dan orang paling dekat dari mereka dapat mengupayakan jaminan.172

Meskipun dengan beberapa alasan diatas penguasa

negara Islam dapat melakukan pemberian suaka diplomatik,

namun bukan berarti mereka berada dibawah kewajiban

untuk memberikan suaka diplomatik dalam semua kondisi

dan situasi. Melainkan perlu dilakukan peninjauan dari segi

kemaslahatan yang akan muncul dengan adanya pemberian

perlindungan kepada pencari suaka diplomasi ini. Bahkan

172 Takhrîj Hadis ini telah dikemukakan sebelumnya dalam buku ini halaman 83.

Page 173: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

136

dapat disimpulkan bahwa pemberian suaka diplomatik

jumlahnya sangat terbatas, dibandingkan pemberian suaka

teritorial. 173

Namun kiranya perlu diingat bahwa bentuk suaka

diplomatik oleh orang Muslim, dapat termanifestasi dalam

bentuk lain seperti pemberian perlindungan dan keamanan

dalam camp tentara.

Dalam hal ini, Abu Yusuf mengatakan: “Saya bertanya

kepada Khalifah, tentang seseorang non-Muslim yang keluar

dari negaranya dalam suasana perang untuk menuju masuk

ke negara Islam. Orang tersebut lari bersama-sama

rombongan tentara kaum Muslimin, baik melalui jalan raya

atau jalan belakang. Lalu orang tersebut tertangkap oleh

pasukan Muslim dan diinterogasi. Orang non-Muslim itu

menjawab bahwa ia keluar untuk menuju negara Islam

dalam rangka mencari perlindungan dan keamanan atas

173 Di antara beberapa kasus yang populer tentang masalah ini adalah pada saat penguasa Yaman mengirim utusan kepada pembesar Ethiopia (Abessinia/Habsy), ketika itu ada salah seorang wanita yang beragama Islam, yang mana wanita Muslimah ini menikah dengan laki-laki setempat. Mereka berasal dari Musawwa’. Wanita tersebut keluar dari agama Islam dan memeluk agama Nasrani di di ibu kota Ethiopia. Ia memiliki dua orang anak perempuan. Agar kemurtadan ibu dua anak ini tidak berpengaruh terhadap kedua putrinya, maka bibi dari kedua anak perempuan ini membawa lari kedua anak perempuan ini kepada sang pemimpin utusan dari Yaman yang berada di Ethiopia dan memohon agar keduanya dilindungi. Kemudian sang pemipin utusan Yaman ini membawa keduanya untuk tinggal bersama salah seorang anggota utusan Yaman. Pada saat ibu kandung dari kedua anak perempuan ini mengetahui hal tersebut, maka keesokan harinya, ia ditemani 12 pengawal yang terdiri dari para pembesar agama Nasrani dan para tokohnya, menjemput paksa kedua putrinya. Namun para utusan Yaman tadi menolak keras apa yang diinginkan oleh ibu kandung dan rombongannya. Di mata para utusan Yaman kasus ini dianggap sebagai sebuah kasus serius, sebab pasti menyinggung para pemeluk agama Nasrani, sehingga mereka menunggu dengan sungguh – sungguh keputusan Sang Maharaja Ethiopia. Tetapi ternyata Sang Maharaja, ataupun para menterinya tidak mengambil tindakan apa-apa. Hingga akhirnya pemimpin utusan Yaman, setelah melihat ada sebuah kesempatan yang baik, ia mengirikmkan kedua putri yang dititipkan ini kembali kepada ayahnya di Musawwa’. Lihat Abdullah ibn Hâmid al-Hayyid, Safârat al-Imâm al-Mutawakkil ‘alaallah Ismâ’îl ibn al-Qâsim ila al-Balât al-Milkiy fi ‘Âsimah Jûndar, ‘Âm 1057 H/1647 M , Majallah Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah Umm al-Qurâ, Makah al-Mukarramah, Vol. 3 1397-1398H, h. 34-35.

Page 174: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

137

nyawa saya, nyawa istri dan nyawa anak-anak saya, atau ia

juga bisa mengaku bahwa dirinya adalah seorang utusan.

Apakah kita harus mempercayainya?”.

Selanjutnya Abu Yusuf menegaskan bahwa jika orang

non-Muslim yang lari tersebut termasuk sebagai anggota

tentara yang pada saat ia berjalan terlihat kuat dan

bersenjata, maka ucapannya tidak bisa diterima dan tidak

boleh dipercaya. Namun jira tidak demikian, maka

pengakuannya dapat diterima dan ia bisa dipercaya.174

Dari uraian di atas, menurut pendapat kami, jika dari

tanda-tanda alamiah seseorang yang akan mencari suaka itu

memang tampak (dan tidak dibuat – buat) dan ada indikasi

bahwa ia memang perlu dilindungi, maka ia berhak

mendapatkan perlindungan, sekalipun ia merupakan anggota

tentara.

Lain halnya jika indikasi yang ada menunjukkan

sebaliknya, dalam arti misalnya ia bersenjata dan bersama

rombongan yang bertampang seperti tentara seperti ia

sendiri, maka ia tidak bisa begitu saja langsung dilindungi.

Sebab orang seperti itu terkategori sebagai tentara. Kaidah

mendasar sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah

bahwa perlindungan hanya berlaku bagi warga sipil yang

memang sangat membutuhkan perlindungan suaka dari

174 Abû Yûsuf, Kitab al-Kharâj, h 203-205.

Page 175: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

138

negara tempat mereka terdampar atau singgah sementara.

Tetapi bukan untuk anggota tentara dalam suasana perang.

A.2. Suaka teritoral bagi anggota misi diplomatik

Terkadang terjadi pimpinan atau anggota misi

diplomatik yang sedang bertugas meminta suaka teritorial ke

negara Islam. Masalahnya, apakah hal ini diperbolehkan?

Memang terkadang, Islam bisa saja tidak menerima

permintaan suaka dari seorang duta besar atau utusan, sebab

duta atau utusan teresbut memiliki misi menyampaikan

pesan yang harus dijawab dan disampaikan dahulu kepada

sumber/ pengirim pesan, melalui dirinya (utusan yang

bersangkutan). Landasan hal ini adalah kejadian yang terjadi

pada Abu Râfi’, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah

SAW; ia (Abu Râfi’)berkata: “Orang-orang Quraisy

mengutus aku untuk menemui Nabi SAW. Tetapi begitu

saya bertemu Nabi, dalam benak saya justru terbersit sebuah

semangat untuk masuk dan memeluk agama Islam. Maka

pada saat itu saya langsung berkata kepada Rasulullah SAW,

‘Wahai Rasulullah, saya tidak akan kembali lagi kepada

mereka (kaum Quraisy).’ Tapi Rasulullah bersabda, saya

tidak akan berbuat curang dan membatalkan janji, saya tidak

akan menahan seorang utusan atau duta. Kembalilah dulu

kepada mereka, jika apa yang terbersit dalam hati kamu saat

Page 176: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

139

ini nanti masih ada juga dalam hati kamu ketika kau sudah

dirumah, maka kembalilah ke sini! “175.

Dari Hadis ini bisa diketahui bahwa Rasulullah SAW

memerintahkan kepada utusan kaum Quraisy itu agar

kembali terlebih dahulu kepada masyarakat yang

mengutusnya (kaum Quraisy), untuk menyampaikan

jawaban dari pesan yang dikirimkan. Baru setelah ia

melakukan hal tersebut, jika memang niatannya untuk

masuk Islam itu masih kokoh dan mantap seperti semula,

seperti pada saat ia bertemu Nabi, maka segeralah datang

kembali untuk membuktikan keseriusan niat masuk Islam

ini.

Terkait dengan Hadis ini, secara khusus al-Khattâbi

mengatakan, Hadis yang berbunyi: “Saya tidak akan

menahan utusan.”, mengandung makna bahwa suatu misi

(yang dibawa oleh utusan) pasti menuntut jawaban, dan

jawaban harus disampaikan oleh utusan yang sama tersebut.

Jadi pada hakekatnya seorang utusan adalah seseorang yang

memiliki janji prasetia kepada pihak yang mengutus, sejak ia

pergi menunaikan tugasnya hingga ia kembali.176

175 Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Hadis No. 2758, Jilid III, h. 129 , Ahmad ibn Hanbal, Musnad

Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 23857, Jilid XXXIX, h. 282; dan al-Nasâ’i, al-Sunan al-Kubrâ, , Hadis No. 8621, Jilid VIII, h 52.

176 al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan, yakni Syarh Sunan al-Imâm Abî Dâwûd, Jilid 2 al-Maktabah al-’Ilmiyyah, Beirut 1401 H/1981 M), h 317. Al-San’ânî mengatakan, dalam Hadis ini terdapat dalil tentang kewajiban memelihara janji dan memenuhi janji, walaupun terkait dengan orang kafir. Melalui Hadis ini pula diketahui bahwa seorang utusan tidak boleh ditahan, melainkan harus dilepas untuk menyampaikan berita yang ia peroleh dan sangat ditunggu-tunggu oleh pihak yang mengutusnya.( Al-San’ânî, Subul al-Salâm Jâmia’h al-

Page 177: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

140

Demikian, kalimat Rasulullah SAW kepada Abu Râfi’

dalam Hadis yang berbunyi “وال أحبس البرد”, kata al-burud

yang berarti utusan adalah bentuk jamak dari kata al-barid,

yakni utusan harus kembali kepada pihak yang

mengutusnya, tidak boleh ditahan, sebab seorang utusan

memiliki dua misi, pertama untuk menyampaikan pesan,

kedua untuk menyampaikan jawaban atas pesan yang ia

bawa. Apabila sang utusan tidak mengindahi salah satu

bagian dari misinya tersebut (misalnya tidak kembali ke

pengutus) maka berarti ia telah mengkhianati misi dan

tugasnya, dan hal ini adalah statu sifat yang tidak dapat

diterima oleh Nabi SAW.177

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam

contoh di atas, praktek tersebut diberlakukan dalam kondisi

diplomatik yang berlaku secara ad hoc/sementara, bukan

karena adanya misi diplomatik permanen. Oleh sebab itu

bisa ditegaskan bahwa hukum dan ketentuan dalam kasus di

atas sebagai sebuah pengecualian (sebab pada dasarnya tidak

diperbolehkan mengembalikan seorang utusan yang telah

menyatakan diri masuk Islam kepada komunitasnya yang

Imâm ibnu Su’ud al-Islâmiyyah, Riyâd, 1408H/, Jilid 4, h 133, Ahmad Hasan al-Dahlâwî : Hâsyiyah al-Dahlawi, ‘alâ Bulûg al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmî, 1392 H/1972 M), Jilid II, h 292-293; ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Hanbali al-Najdi, Ahkâm Syarh Usûl al-Ahkâm, (Damaskus: Matba’ah al-Tarqî, 1375 H/1957 M), Jilid II, h. 403.

177 Lihat Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâni berikut syarah-nya Bulûg al-Amâni min Asrâr al-Fath al-Rabbâniy, (Kairo: Dâr al-Syihâb, Jilid XIV, h 118.

Page 178: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

141

masih kafir). Jadi, menurut hemat kami, contoh ini

tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diterapkan bagi

anggota misi diplomatik permanen yang ditempatkan di

negara Islam. Kasus dalam Hadis di atas hanya bisa

dijadikan dasar hukum bagi pengiriman delegasi atau duta

sementara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan

suatu hal penting yang sifatnya khusus dan wajib membawa

kembali hasilnya.178

Di samping argumen yang telah dikemukakan diatas

(yaitu bahwa kasus ini terbatas pada masalah misi diplomasi

yang bersifat khusus dan terbatas/sementara), kami perlu

menegaskan sebuah pendapat lain yang membenarkan

bahwa Hadis di atas tidak terlalu sesuai untuk dijadikan

pegangan dalam misi diplomatik yang bersifat permanen.

Alasan lain yang dimaksud tersebut adalah penuturan kaum

ulama fikih modern yang menyatakan bahwa Hadis tersebut

menekankan pentingnya penyampaian jawaban kembali

kepada pihak yang bertanya atau mengirim. Dengan

demikian, tidak diragukan lagi, di masa modern ini misi

178 Abû Dâwud mengatakan bahwa hal ini terjadi di masa lalu, sedang untuk kondisi saat ini sudah

tidak sesuai. Atas dasar ini, jika ada seorang utusan orang kafir yang mendatangi seorang pemimpin kaum Muslimin dan ia menyatakan diri ingin masuk Islam dan ia tidak berkeinginan untuk kembali lagi kepada pihak kafir yang mengutusnya, maka seorang pemimpin pasukan Islam tidak boleh mengembalikan utusan itu kepada kaumnya. Adapun tindakan Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan untuk kembali terhadap Abû Râfi’, dinilai sebagai sesuatu yang berlaku khusus. Yakni beliau ingin meyakinkan dahulu apakah dia benar-benar ingin masuk Islam atau tidak serius. Dalam kejadian, apabila pada masa itu Rasulullah tetap menahan sang utusan, maka permasalahan akan muncul, karena akan terdengar reputasi Beliau sebagai yang menahan utusan dan menghalangi tersampaikannya pesan dan terselesaikannya sebuah misi, yang bukanlah sesuatu yang baik dalam konteks menyebarkan Islam. Dalam masa penerus Nabi, praktek ini sudah tidak dijalankan lagi. Lihat al-Sahâranfûrî, Badzl al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Jilid XII, h. 379-380.

Page 179: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

142

tersebut dapat dilakukan tanpa harus mengirim kembali

utusan yang membawa pesannya, karena jawaban atas pesan

tersebut dapat dikirimkan melalui media komunikasi modern

seperti telepon, telex, fax, radio, email dan sebagainya.

Berbagai teknologi ini, tanpa diragukan lagi, telah diterima

dan dipergunakan oleh para ahli dan kaum ulama fikih

modern. 179

A.3.Intervensi utusan diplomatik untuk menyelesaikan

problem terkait suaka teritorial yang diberikan kepada

individu di negara lain

Dalam kasus tertentu, terkadang dapat terjadi kasus

dimana sebuah negara mengirim dutanya kepada sebuah

negara lain, untuk suatu misi terkait suaka seorang individu

di negara lain tersebut. Dalam hal ini, negara pengirim duta

memiliki kepentingan agar individu yang meminta suaka

tersebut ditolak permintaan suakanya (oleh negara lain yang

didatanginya) dan meminta agar individu yang bersangkutan

diekstradisi atau dikembalikan ke negara pengirim duta

tersebut. Hal ini tidak bisa diragukan lagi berkorelasi erat

179 Ini didukung oleh Resolusi No. 54/3/6 Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy dalam Muktamar OKI di Jeddah

pada tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H/14-20 Maret 1990, di mana disepakati bahwa pelaksanaan berbagai perjanjian bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi masa kini seperti telepon, faksimili, komputer dan internet. Lihat keputusan ini di dalam Majallat al-Buhûts al-Fiqhiyyah al-Mu’âsirah, Edisi V, Tahun 1410 H, h. 200-201.

Page 180: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

143

dengan masalah politik. Beberapa contoh kejadian serupa

dapat ditemukan dalam praktek – praktek negara Islam.

Salah satu contohnya adalah pada tahun 360 H (967

M), setelah kaum pemberontak Byzantium (Romawi Timur)

dibawah kepemimpinan seseorang yang bernama Ward

(yang sangat menginginkan kekuasaan) berhasil dikalahkan

oleh tentara Byzantin, Ward mendatangi pemerintahan Bani

Abbasiah dan meminta perlindungan. Pada masa itu berkali

– kali berlangsung proses tukar menukar duta, terutama dari

sisi kelompok Byzantin untuk mengurus masalah suaka

tersebut. Pada akhirnya pihak penguasa Abbasiah bersedia

memenuhi permintaan pihak Byzantium untuk

mengembalikan Ward dan para pemberontak, setelah

terlebih dahulu dibuat kesepakatan-kesepakatan dengan

kompensasi-kompensasi antara lain dalam bentuk kerja

sama dan muamalah secara baik antara pihak tertawan dan

pihak penguasa (terutama dalam hal penyediaan keamanan,

perlakuan baik bagi pihak tertawan). Pada saat itu tercatat

bahwa Ward berada di tangan orang-orang Abbasiah selama

lima tahun dan selama itu ia diperlakukan dalam muamalah

yang baik.180

180 Lihat kembali uraian dalam Sulaiman Dafîda’al-Rahili, al-Safârat al-Islâmiyyah ila al-Daulah al-

Bizantiyyah, Disertasi Doktor, (Riyadh: Kulliyat al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Jâmi’at al-Imâm Ibn Su’ud al-Islâmiyyah, 1406 H/1986 M), h. 63-75. Perhatikan tentang adanya prinsip bahwa sesungguhnya suatu hal seperti ini bisa saja terjadi dalam hal penyerahan seorang diplomat ke negara lain. Salah satu contoh paling populer dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan kasus al-Ma’az ibn Bâdis yang pernah menjabat sebagai gubernur

Page 181: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

144

A.4.Larangan menyerahkan duta besar yang datang untuk

mendiskusikan permasalahan pengungsi

Negus, Raja Ethiopia (Abessinia/Habsy), adalah

pencetus prinsip ini. Ketika orang Islam bermigrasi ke

negerinya, pada saat itu, sang Raja sedang menerima dalam

kerajaannya ‘Amr bin Umayyah al-Damirî, yang diutus oleh

Rasulullah SAW untuk menangani masalah Ja’far dan

kawan-kawannya yang telah bermigrasi ke Ethiopia

(Abessinia/Habsy). Kemudian, pada waktu yang berdekatan

‘Amr ibn al-‘Âsh (duta dari suku Quraisy) yang juga ada

disana mengatakan bahwa ia melihat ‘Amr bin Umayyah al-

Damiri masuk menghadap Raja Negus, tak lama kemudian ia

keluar meninggalkannya. Lalu, ‘Amr ibn al-‘Âsh berkata

kepada teman-temannya: “Ini adalah ‘Amr bin Umayyah al-

Damiri. Andaikan saya dapat mendatangi Raja Negus dan

saya meminta kepada beliau untuk menyerahkan al-Damiri

dan beliau kabulkan, maka akan saya tebas leher ‘Amr bin

Umayyah al-Damiri. Apabila saya melakukan hal demikian,

di Afrika, dari dinasti Fathimiyyah. Pada tahun 433 H, ia merasa keberatan bila dikuasai oleh Dinasti Fathimiyyah dan memproklamirkan kesetiaan kepada Dinasti Abbasiah. Kemudian sang Khalifah Dinasti Abbasiah mengutus Abû Gâlib al-Syairâzi agar memberikan piagam ketundukkan kepada ibn Bâdis. Dalam rangka penyampaian tersebut, utusan tersebut terpaksa singgah di kawasan Byzantium untuk mengarungi samudera menuju Afrika. Akan tetapi, ternyata di Byzantium, utusan sang Khalifah ini bertemu dan berseteru dengan utusan Khalifah Dinasti Fatimiyyah yang juga telah mempunyai hubungan diplomatik baik dengan Byzantium, sehingga Maharaja Byzantium menyerahkan utusan dinasti Abbasiah ini kepada utusan Fatimiyyah dan akhirnya ia dibawa ke Kairo, Mesir dengan penghinaan yang sangat dahsyat dan diarak diatas unta di sudut-sudut jalan Kairo. Namun Khalifah al-Fatimiyyah mengetahui hal ini, dan meminta agar utusan Abbasiah itu dikembalikan secara terhormat ke Baghdad. Dan akhirnya ia pun dikembalikan. Lihat pula Sâbir Muhammad Dayyâb, Siyâsat al-Duwal al-Islamiyyah fi Haud al-Bahr al-Mutawassit min Awâ’il al-Qarn al-Tsâni al-Hijriy hatta Nihâyat al-‘Asr al-Fâtimiy, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1973 M), h. 225-226.

Page 182: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

145

orang-orang Quraisy akan melihat bahwa saya telah berjasa

kepada mereka karena saya membunuh utusan Muhammad

SAW.” Ia berkata lagi: “Lalu, saya mendatanginya dan

kemudian bersujud kepadanya seperti yang pernah saya

lakukan.”

‘Amr ibn al-‘Âsh kemudian melanjutkan ceritanya,

bahwa Negus berkata: “Selamat datang, kawanku. Apakah

kamu ingin menghadiahi aku dengan sesuatu dari negerimu?”

Saya menjawab: “Betul, wahai Raja. Saya persembahkan

kepada engkau makanan yang banyak.” Lalu hadiah tersebut

saya dekatkan kepada beliau dan tampak beliau tertarik dan

berkeinginan menyantapnya. Lalu, aku berkata kepada Negus

lagi: “Wahai Raja, kami tadi melihat seseorang yang belum

lama ini keluar dari istana Anda; dan orang tersebut adalah

utusan musuh kami (Rasulullah SAW). Maka dari itu, mohon

serahkan ia kepada kami untuk kami bunuh! Sebab ia benar-

benar telah melecehkan tokoh dan elit sosial masyarakat

kami.” Namun Amr bin Umayyah al-Damiri melaporkan

bahwa Raja Negus sangat marah dan menolak permintaan itu

dengan tegas.”181

181 Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 17776, Jilid XXIX, h. 313-314. Lihat pula Ibn Hisyâm,

Sirâh al-Nabawiyyah, Jilid II, h. 227.

Page 183: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

146

B. Menurut Hukum Internasional

Suaka Diplomatik182 adalah suaka yang diberikan oleh suatu

negara di luar batas wilayah negara tersebut di tempat-tempat

atau dalam keadaan dimana negara tersebut memberlakukan

otoritas dan yurisdiksi-nya, dalam bentuk kedutaan besar,

konsulat jenderal, kapal air dan pesawat militer/perang atau

pemukiman militer selama pendudukan/agresi militer terhadap

wilayah suatu negara atau sebagai dampak dari kehadiran

kekuatan militer di suatu teritori atas dasar kesepakatan kedua

belah pihak.

182 Sebagai contoh, lihat Convention on Diplomatic Asylum (Caracas, 1954). Yang menyebutkan: Negara dari teritori wajib memberikan suaka dalam kapal-kapal perang atau di pusat-pusat pertahanan atau pada pihak kedutaan (Pasal 1). Negara memiliki hak untuk memberikan perlindungan kepada pengungsi, akan tetapi hal ini bukan merupakan kewajiban, tapi tidak boleh menampakkan alasan-alasan penolakan terhadap pengungsi (Pasal 2). Suaka tidak boleh diberikan kepada para penjahat (Pasal 3), Suaka hanya diberikan dalam keadaan-keadaan mendesak dan pada waktu yang diizinkan untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pengungsi sesuai dengan tata aturan resmi di sebuah negara tertentu (Pasal 5). Pada saat proses evakuasi (dari jalan-jalan raya), maka negara bersangkutan harus mengawal dan melindunginya (Pasal 15). Negara tempat singgah harus melindungi hak-hak pengungsi meski telah putus hubungan diplomatik (Pasal 19). Lihat pula Ahmad Abû al-Wafâ’, Qanûn al-‘Alâqât al-Diblumâsiyyah wa al-Qansuliyyah, (Kairo:Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 2003 M). h. 139-144. Lihat pula F. Morgenstern, Extra-Territorial Asylum, BYIL, 1948, h. 236; E. Young, The Development of the Law of Diplomatic Relations, BYIL, 1964, h. 146.

Page 184: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

147

BAB IV

STATUS HUKUM PENGUNGSI

MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

Hal mendasar yang perlu diingat di sini adalah bahwa istilah

“status hukum”, mengandung makna yang batasannya tidak

konkret. Yang kami maksud dengan “status hukum” ialah hak-

hak dan kewajiban-kewajiban dari pengungsi selama berada di

negara yang memberinya suaka.

1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi

A. Menurut Syariat Islam

Dalam Islam, pengungsi mendapatkan status hukum, yang tidak

kurang dari yang ditetapkan dalam hukum internasional.

Bahkan, Islam tidak memperbolehkan pelanggaran hak-hak

pengungsi atau pencari suaka lantaran alasan perbedaan agama.

Ini sesuai dengan kalam Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk

Page 185: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

148

mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Mumtahanah/60:8-9)

Hak-hak terpenting pengungsi menurut Syariat Islam

tergambarkan sebagai berikut. Pertama adalah pemenuhan

kebutuhan pokok yang bersifat fisik dan materiil bagi

pengungsi. Beberapa kebutuhan pokok yang termasuk

diantaranya adalah makanan, minuman dan pakaian. Hal ini

sesuai dengan ayat berikut:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Q.S. al-Insân/76:8-9)

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) Melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (Q.S. al-Balad/90:11-16)

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW: “Hal apakah

yang paling baik dilakukan menurut agama Islam?” Beliau

menjawab: “Kamu memberikan bantuan makanan, dan

memberikan salam (menebarkan ajaran kasih sayang) kepada

orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu

Page 186: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

149

kenal.”183 Dalam Hadis lain, Nabi SAW bersabda: “Sembahlah

Allah yang Maha Pengasih, berikanlah makanan, sebarkan

perdamaian, pasti kamu akan masuk surga dengan penuh

kedamaian.”184

Kaum Muslimin telah melakukan penerapan yang

cemerlang terhadap ayat berikut:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS: al-Insan/76:8).185

Mereka tidak hanya membatasi bantuan dalam hal

makanan saja, melainkan meliputi berbagai kebutuhan pokok

lain bagi para pengungsi atau tawanan perang, yang sangat

dibutuhkan untuk menjaga fisik dan kesehatan serta menjaga

keamanan moral dan integritas mereka. Jika ayat itu bisa

diamalkan untuk menyantuni para tawanan perang, maka

anjuran untuk menyantuni para pengungsi jauh lebih

diutamakan, sebab pengungsi tidak menjalankan peperangan

terhadap orang-orang Islam.

Contoh untuk masalah yang seperti ini sangat banyak.

Diantaranya pada saat terjadi penawanan atas kaum kafir pada

perang Badar, Rasulullah SAW membagi mereka dan

183 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 12, Jilid I, h. 13; Muslim, Sâhîh Muslim, No. 39, Jilid I, h.65.

184 al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Hadis No. 1855, Jilid IV, h. 253; dan al-Tirmidzi mengatakan bahwa Hadis ini sahîh.

185 Muttafaq ‘alaih, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, HNo. 12; Muslim, Sâhîh Muslim, No. 39; al-Nasâ`i, Sunan al-Nasâ`i, Hadis No. 12, dan Abû Dâwud, Hadis No. 5194.

Page 187: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

150

menyerahkan mereka kepada sahabatnya seraya berpesan agar

para sahabat memperlakukan para tawanan perang itu dengan

baik. Abu Aziz, salah seorang tawanan yang dibawa dari Badar

oleh rombongan kaum Ansar (penduduk asli Madinah)

bercerita: “Para sahabat Nabi, setiap kali menghidangkan

makanan baik untuk makan siang maupun makan malam,

mereka selalu membiarkan aku memakan roti, padahal mereka

hanya memakan kurma.” Hal ini, menurut Abu Aziz, dilakukan

karena wasiat Rasulullah SAW. “Sekalipun sepotong roti jatuh

ke tangan mereka, mereka akan mengembalikannya kepada

kami. Hingga saya merasa malu, ingin mengembalikannya lagi

kepada mereka, tetapi mereka mendorong tanganku kembali

tanpa menyentuh roti itu.”186

Kedua adalah perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi

(musafir yang kehabisan biaya atau Ibn al-Sabîl). Diantara jenis

– jenis pengungsi, terdapat diantaranya yang tergolong sebagai

ibn al-sabîl 187 yaitu orang yang menjadi pengungsi karena

kehabisan biaya ditengah perjalanannya. Dan jumlahnya pun

186 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 645; dan al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahâbah, Jilid II,

h. 337. Lihat contoh lain dalam Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ`îd al-Qânûn al-Duwaliy wa al-‘Alâqât al-Duwaliyyah fî Syarî’at al-Islâm, Jilid X, h. 208-210.

187 Pengertian ibn al-sabîl adalah seorang musafir yang kehabisan bekal sehingga tidak bisa sampai ke tempat tujuan. Lihat Mu’jam Alfâz al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, 1409 H/1989 M), Jilid I, h . 553. Pengertian ibn al-sabîl juga didefinisikan sebagai seorang musafir yang jauh dari rumah, dinisbatkan kepada kata jalan karena ia sedang mencari jejak atau jalan itu sendiri. Lihat al-Râgib al-Isfahâni, al-Mufradât fi Garîb al-Qur`ân, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, t.th.), h 223.

Page 188: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

151

banyak. Beberapa kaidah mendasar tentang ibn al-sabîl terdapat

dalam al-Qur’an:

a. Bantuan materiil kepada ibn al-sabîl harus secara rela dan

lapang hati diberikan sesuai dengan kalam Allah :

…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan). ( ◌Q.S.al-Baqarah/2:177).

b. Infaq yang paling utama adalah yang diberikan antara lain

untuk ibn al-sabîl sesuai dengan kalam Allah:

. Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. (Q.S.al-Baqarah/2:215).

Ibn al-sabîl adalah pihak yang selalu memiliki hak atas harta kaum Muslimin, baik berupa rampasan perang, fa’i maupun zakat, sesuai dengan ayat berikut:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabîl. (Q.S. al-Anfâl/8:41).

Allah juga berkalam:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai

Page 189: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

152

suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: al-Taubah/9:60).188

Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Q.S.al-Hasyr/59:7).

Dengan demikian, mencukupi kebutuhan ibn al-sabîl

hukumnya menjadi wajib sesuai dengan kalam Allah berikut:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Q.S. al-Rûm/30:38).

188 Seorang ahli berpendapat bahwa atas dasar ketentuan ayat ini, mestinya persoalan para pengungsi ini tidak akan menjadi problem. Menurutnya, sesungguhnya di bawah perlindungan aturan ajaran Islam, masalah rumit dalam hal pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan seharusnya tidak ada sebab mereka itu bisa dianggap sebagai kaum dzimmiy, yaitu komunitas orang tidak memiliki wilayah selain Negara Islam. Mereka bisa hidup cukup dengan hak – hak yang dijaminkan kepada mereka sesuai dengan al-Qur’an surat ke-9 ayat 60 selama status mereka belum memiliki wilayah atau wewenang kongkrit yang menjamin hak – hak mereka bisa dipenuhi, maka mereka mendapat perlindungan dalam Negara Islam. Tata aturan pensiun dan asuransi bisa dinikmati oleh semua orang baik orang Muslim maupun orang dzimmiy yang lemah dan tidak bermatapencaharian, sebab kekuasaan Negara Islam tidak dijalankan atas kepentingan golongan, agama atau bangsa tertentu, melainkan dijalankan atas pertimbangan kemanusiaan secara menyeluruh Ibn al-sabîl adalah mereka yang terhalang dan tidak mungkin untuk bisa kembali lagi kepada keluarga besarnya atau rumahnya. Dalam hal ini, negara-negara Islam wajib melindungi mereka, sesuai dengan prinsip mendasar syariat agama Islam, bahkan secara tekstual ibnu sabil ibn al-sabîl disebutkan dalam QS9 ayat 60 sebagai pihak yang berhak menerima jatah dari zakat. Ibn al-sabîl mencakup pengungsi, orang-orang yang eksodus dari satu tempat ke tempat lain, dan pengembara yang tidak memiliki tempat kembali, kehilangan tempat tinggal, rumah bahkan sanak saudara mereka karena berbagai persoalan yang menimpa mereka, siapapun mereka, apapun suku dan agama mereka. Ayat al-Qur’an di atas bersifat umum tidak membeda-bedakan. Lihat Muhammad Kâmil Yâqût, al-Syakhsiyyah al-Dauliyyah fî al-Qânûn al-Duwalî al-‘Âm, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmiah al-Qâhirah, t.th.), h. 441. Terdapat sebuah pendapat lain bahwa salah satu sebab kekacauan di negera-negara Islam adalah karena keberadaan para pengungsi. Karena dengan adanya mereka, menjadi ada upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lihat Ibrahim Ali Tharkhan, al-Nuzum al-Iqtâ’iyyah fi al-Syarq al-Ausat fi al-‘Usûr al-Wusta, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968M, h. 6.

Page 190: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

153

Dalam ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa konteks membantu

ibn al-sabîl dapat dilihat sebagai hak yang tidak boleh dihalangi

atau kewajiban, yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan, tidak

ada kewenangan dalam negara Islam yang dapat melanggar

ketentuan tersebut.189

Yûsuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa Allah SWT

menetapkan bagi ibn al-sabîl hak menerima harta zakat, hak

menerima fa’i (harta rampasan perang) yang merupakan

penghasilan negara, serta hak menerima harta dari kewajiban

lain di luar zakat. 190

Berdekatan dengan hal tersebut ialah konsep “keramah-

tamahan” atau “penghormatan” terhadap tamu.191

Dalam sebuah Hadis sahîh, Abu Syuraih al-Ka’bi menyatakan

bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman

kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menerima dan

menjamu tamunya. Para sahabat bertanya: “Berapa lamakah ia

harus menjamu tamunya?” Beliau menjawab: “Sehari semalam.

189 Oleh sebab itu ditegaskan dalam sebuah pendapat bahwa kemanusiaan adalah salah satu prinsip yang

sangat fundamental dalam ajaran agama Islam (menurut J. Krafess). Tindakan memberikan sumbangan uang atau menolong seseorang yang sedang mengalami kesusahan hidup tidak bisa dikesampingkan, melainkan harus dipandang sebagai kewajiban layaknya berdoa. Dinyatakan pula bahwa memberikan bantuan kepada pengungsi adalah wajib sesuai ayat: …dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). J. Krafess, the Influence of Muslim Religion in Humanitarian Aid, IRRC, vol 87, Juni 2005, h. 327 dan 334.

190 Yusuf al-Qardhawi, Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam fi Dhau`I al-Nushus wa al-Maqasid al-Syar’iyyah, al-Hilal al-Ahmar al-Qathri, 1428 H/2007 M, h. 35.

191 Tamu adalah seorang asing yang berada di sebuah tempat, dimana ia tidak memiliki keluarga dan juga tidak mempunyai rumah. Oleh sebab itu ajaran Islam sangat menekankan agar memuliakan dan menjamunya, baik hukumnya wajib atau sekedar anjuran, terlebih lagi bila sang tamu tidak memiliki tempat berteduh, seperti yang sering terjadi pada zaman dahulu di berbagai pelosok kampung dan di beberapa daerah. Dan apabila sang tamu tersebut memiliki tempat untuk singgah sementara seperti di wisma atau hotel, tetapi tidak memiliki bekal yang cukup untuk membayarnya, maka jangan biarkan ia terlantar tanpa tempat berteduh. ibid, h. 44.

Page 191: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

154

Waktu maksimal bertamu itu adalah tiga hari, bila lebih dari tiga

hari, maka itu akan terhitung sebagai sedekah.” 192 Adanya

perintah untuk memuliakan tamu menunjukkan bahwa hal itu

hukumnya wajib, terlebih lagi jamuan terhadap tamu ini

dikaitkan dengan masalah iman dan keyakinan dan dimaktubkan

bahwa waktu jamuan yang lebih lama diangap sebagai

sedekah.193

Hal yang demikian dikuatkan juga oleh sebuah Hadis

Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr: “Sesunguhnya pada

jasad kamu ada hak yang wajib kamu berikan, ada hak yang

wajib kau berikan pada mata kamu, pada para tamumu, dan pada

istrimu.”194

B. Menurut Hukum Internasional

Tentang kewajiban dan hak pengungsi ini disebutkan dalam

Konvensi 1951 sebagai berikut:

1. Kewajiban pengungsi. Secara khusus seorang pengungsi

harus mentaati peraturan perundang-undangan. Demikian

halnya mengenai berbagai prosedur yang ditetapkan untuk

memelihara kepentingan umum di negara tempat

keberadaan pengungsi/pencari suaka. (Pasal 2).

192 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 5673, Jilid V, h. 2240; dan

Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 48, Jilid I, h. 69. 193 Yûsuf al-Qaradâwi, Usûl al-‘Amal al-Khairiy fi al-Islâm, h. 44. 194 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 1874, Jilid II, h. 697; dan Muslim,

Sahîh Muslim, Hadis No. 1159, Jilid II, h. 813.

Page 192: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

155

2. Hak – hak pengungsi meliputi hak untuk tidak diperlakukan

secara diskriminatif (Pasal 3), hak akan kebebasan

beragama/berkeyakinan (Pasal 4), hak akan pembebasan

dari resiprositas (Pasal 7), hak akan pembebasan dari

tindakan luar biasa (Pasal 8), hak atas status pribadi (Pasal

12), hak atas karya seni perindustrian (Pasal 14), hak untuk

berserikat (Pasal 15), hak atas akses ke pengadilan (Pasal

16), hak atas pekerjaan yang menghasilkan upah (Pasal

17), hak atas swakarya (Pasal 18), hak untuk menjalankan

profesinya (Pasal 19), hak atas pengaturan distribusi

produk-produk yang kurang persediaannya (Pasal 20), hak

memperoleh tempat tinggal (Pasal 21), hak memperoleh

pendidikan umum (Pasal 22), hak memperoleh bantuan

publik (Pasal 23), hak akan peraturan perundang-undangan

ketenagakerjaan dan jaminan sosial (Pasal 24), hak atas

bantuan administratif (Pasal 25), hak akan kebebasan

berpindah tempat (Pasal 26), hak atas surat identitas (Pasal

27), hak atas dokumen-dokumen perjalanan (Pasal 28), hak

atas pembebasan dari pungutan fiskal (Pasal 29), hak atas

pemindahan aset atau harta kekayaan (Pasal 30), hak akan

pembebasan dari sanksi hukum bagi pengungsi yang masuk

dengan cara yang illegal (Pasal 31), hak untuk tidak diusir

(Pasal 32), dan hak untuk tidak dipulangkan (Pasal 33).195

195 Pasal 9 Konvensi 1951 menyatakan bahwa tiada suatu ketentuan pun dalam Konvensi ini yang

Page 193: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

156

2. Penyatuan keluarga

A. Menurut Syariat Islam

Memelihara dan menjaga hak – hak kekerabatan dan anjuran

untuk menyatukan keluarga dalam satu tempat sangat

ditekankan dalam ajaran Sunnah Nabi SAW dan dalam praktek

– praktek dalam Negara Islam. Beberapa contoh dalam hal ini

adalah:

Abu Ayyub berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memisah – misahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi).196

Imam al-San’ani mengatakan bahwa Hadis ini merupakan

dalil tegas yang mengharamkan tindakan mencerai-beraikan

antara seorang ibu dengan anak kandungnya; dan larangan ini

diperluas, dengan analogi, yang juga berlaku dalam konteks

kehidupan keluarga/ karib kerabat berdasarkan hubungan

persaudaraan.197

mencegah suatu Negara Pihak, dalam waktu perang atau keadaan – keadaan gawat atau luar biasa lainnya, untuk mengambil tindakan-tindakan sementara yang dianggapnya esensial bagi keamanan nasional dalam kasus seseorang tertentu, sementara menunggu penentuan oleh Negara Pihak itu bahwa orang tersebut sebenarnya adalah seorang pengungsi dan bahwa kelanjutan tindakan – tindakan demikian adalah perlu dalam kasus orang tersebut demi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers, (Geneva: International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, 2001), h. 34.

196 al-Tirmidizi, Sunan al-Tirmidzi, tahqîq Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Hadis No. 1238, Jilid III, h. 580. Menurut al-Tirmidzi, Hadis ini merupakan Hadis hasan garîb. Lihat pula Musnad al-Imâm Ahmad, tahqîq Syuaib al-Arnote, Hadis No. 23499, Jilid 38, h. 485-486.

197 al-San’âni, Subul al-Salâm, ibid., Jilid II, h. 494-495, Jilid tentang Persyaratan Jual-Beli dan Jual-Beli yang Dilarang, Hadis No. 30.

Page 194: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

157

Ali bin Abi Thalib ra. berkata,

“Rasulullah SAW memerintahkan aku agar menjual dua budak yang bersaudara, maka aku membeli keduanya, lalu aku memisahkannya.” “Kemudian aku bercerita kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, dapatkan lagi kedua budak itu, kembalikan agar keduanya bersatu dan jangan sampai kamu jual lagi kecuali keduanya bersatu.198 (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dianggap sahih oleh Ibnu Huzaimah ).199

Abu Musa berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang

memisahkan antara seorang ibu dan anak kandungnya dan antara

dua saudara kandung. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan al-

Dâruqutni).200

Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW pernah bahwa

beliau disodorkan beberapa tawanan perang. Beliau berdiri dan

melihat seorang wanita di antara mereka yang sedang menangis,

maka beliau bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia

menjawab, “Puteraku dijual kepada suku Bani Abbas.”

Kemudian Rasulullah bersabda kepada sahabatnya yang menjual

anak laki-laki wanita tersebut: “Kamu benar telah memisahkan

antara keduanya? Maka kembalikan dan datangkan anak laki-

198 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 760, Jilid II, h. 551. 199 al-San’âni berkata: “Hadis itu menunjukkan batalnya jual-beli tersebut dan menunjukkan keharaman

memisahkan seorang ibu dengan anaknya sebagaimana ditunjukkan oleh Hadis yang disebut pertama. Sementara Hadis yang disebut pertama menunjukkan keharaman tindakan memisahkan seorang ibu dengan anaknya dengan cara apapun, Hadis yang terakhir ini menegaskan keharaman tindakan pemisahan tersebut dengan cara menjual-belikan sang anak. Mereka (para ulama fikih) menganalogikan, dengan kasus ini, keharaman tindakan memisahkan tersebut dengan cara perbuatan hukum yang lain, seperti hibah dan nadzar; dan hal demikian dilakukan dengan kemauan orang yang melakukan tindakan memisahkan. Adapun tindakan pemisahan dengan cara melakukan pembagian melalui pewarisan, orang yang memisahkan tersebut tidak memiliki pilihan karena kepemilikan itu bersifat “memaksa”. Lihat al-San’âni, Subul al-Salâm, Jilid 4, h. 486, Hadis No. 31.

200 Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2250, Jilid II, h. 756.

Page 195: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

158

lakinya agar tetap bisa bersamanya!” Maka sahabat tersebut

melakukannya.

Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau menulis sebuah surat

yang berisi agar jangan sampai ada seseorang yang memisahkan

antara dua saudara kandung, antara seorang ibu dengan anaknya,

baik jika keduanya masih kecil, maupun jika salah satunya

masih kecil dan yang lainnya sudah besar.201

Dikemukakan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi SAW

melihat seorang budak yang terpisah dari anaknya, di antara

sekian banyak jenis harta rampasan perang. Beliau bertanya,

“Apa yang terjadi pada budak wanita itu?” Ketika itu dijawab

oleh seseorang bahwa budak wanita itu menangis karena

anaknya dijual, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu pisahkan

seorang ibu dengan anak kandungnya!”202

Dari uraian di atas, bisa dikemukakan beberapa hal penting

sebagai berikut:

1. Beberapa tradisi Nabi yang sahih di atas secara tegas melarang

untuk memisahkan antara seorang ibu dangan anak kandungnya,

juga antara sanak kerabat yang masih kecil-kecil. Keberlakuan

tradisi ini dalam Muslim, mencakup konteks yang lebih luas

lagi. Menurut Imam al-Sayibani apabila pemindahan seorang ibu

dengan anaknya atau seorang budak dengan saudara kandungnya

201 al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibânî, Jilid V, h. 2073. 202 Ibid. Jilid III, h.1040.

Page 196: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

159

tidak dapat dihindarkan, maka pilihan yang ada adalah antara

meninggalkan mereka bersama atau memindahkannya bersama. 203

2. Dampak dari pelanggaran atas larangan memisahkan antara

kedua ibu dan anaknya atau antara dua saudara yang masih kecil

ini terlihat sangat jelas dalam tradisi Nabi Muhammad SAW,

dan pentingnya menyatukan mereka terlihat jelas didalamnya.

3. Pelarangan untuk memisahkan antara dua saudara kandung yang

masih kecil sebagaimana dinyatakan dalam Hadis, tampaknya

tidak banyak terbatas pada anak kecil saja. Menurut kami

pemisahan anggota keluarga yang sudah dewasa sekalipun tetap

akan membawa pengaruh buruk. Hal ini bisa dilihat dalam 2

(dua) kejadian dalam masa kehidupan Nabi:

(i) Apa yang terjadi pada saat terjadi pengiriman pasukan Zaid

bin Haritsah, ketika itu ditangkaplah seorang wanita bernama

Halimah, yang memberikan petunjuk kepada seluruh pasukan

tentang dimana Bani Sulaim tinggal. Maka mereka mendapat

kemenangan dan mengambil rampasan perang seperti ternak,

203 Demikian pula disebutkan di dalam kitab Syarh al-Siyar al-Kabîr: Jika mereka mampu membawa

kedua budak bersaudara itu, maka saya tidak suka mereka meninggalkan salah seorang dari keduanya karena hal itu berarti tidak mendatangkan kemaslahatan kepada orang-orang Muslim padahal mampu berbuat demikian. Dalam hal tindakan pemisahan antara ibu dengan anak kandungnya, ini tidak diperbolehkan. Sebab hal tersebut merugikan untuk keduanya sehingga tidak boleh dilakukan kecuali tidak ada kemungkinan untuk memindahkan keduanya. Berbeda halnya, jika mereka mendapati ibu dan anaknya itu sudah berada di suatu tempat maka mereka boleh mengambil salah seorang dari keduanya, apabila mereka menyetujuinya. Hal ini adalah pemisahan yang diperbolehkan. Dalam hal terjadi pemisahan dan seorang anak diambil atau dipindahkan, dan orang yang mengambilnya yakin bahwa ia dapat menghidupi anak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila tidak seperti demikian, pemisahan tidak diperbolehkan sehingga pilihan yang ada adalah, mengambil ibu dan anaknya itu jika mereka mampu, atau meninggalkan keduanya. Sebab, tindakan mengambil anaknya saja merupakan tindakan pemisahan antara ibu dan anaknya, yang tidak membawa manfaat apapun. Lihat al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibâni, Jilid IV, h. 1559.

Page 197: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

160

dan salah satu di antaranya suami dari wanita tersebut. Ibnu

al-Atsir mengatakan bahwa ketika Rasulullah SAW

mengetahuinya, Beliau memerintahkan agar wanita penunjuk

jalan itu dilepaskan dan diberi kesempatan untuk pergi

bersama suaminya.204

(ii) Demikian ceritanya, di masa jahiliah, sebelum masa

kemunculan Islam, Zubair bin Bata al-Quradzi pernah

memberikan perlakuan baik kepada tawanannya, Tsabit bin

Syammas dengan melepaskannya. Pada saat perang Khaibar,

Tsabit menemui Zubair, kemudian Zubair bertanya kepada

Tsabit: “Kenalkah Anda dengan saya?”. Tsabit menjawab,

“Mungkinkah orang sepertiku lupa dengan kamu?” “Saat ini

aku ingin membalas kebaikanmu”, kata Tsabit. Zubair

menimpali, “Orang yang murah hati, akan membalas orang

yang murah hati pula.” Maka waktu itu Tsabit sebagai pihak

yang akan membalas kebaikan Zubair datang kepada

Rasulullah SAW dan bercerita singkat kepada Beliau. Kata

Tsabit, saya mempunyai hutang budi kepada Zubair wahai

Nabi, berikanlah ia (Zubair) kepadaku agar aku bisa

melepaskannya (membalas budinya). Nabi SAW

menyetujuinya, lalu Tsabit mendatangi Zubair dan berkata:

”Sesungguhnya Nabi telah memberikan dirimu kepadaku,

204 Ibn Sa’ad, al-Tabaqat al-Kubra, Jilid II, h. 85; dan Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah al-

Nabawiyyah, tahqîq Basysyâr ‘Awwâd, (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 1422 H/2001 M), Jilid II, h. 21.

Page 198: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

161

maka engkau kubebaskan.” Zubair mengatakan: “Namun aku

adalah orang tua renta yang tidak memiliki saudara dan anak

(karena saudara dan anaknya itu masih berstatus tawanan

perang). Maka Tsabit mendatangi Nabi SAW dan

memintakan pembebasan atas saudara dan anak Zubair.

Kemudian Rasulullah mengabulkan permintaannya. Lalu

Zubair kembali berkata, bahwa keluarganya di Hijaz tidak

memiliki harta sama sekali. Maka Tsabit kembali mendatangi

Rasulullah SAW dan memintakan harta dari Rasulullah

SAW. Maka Rasulullah sekali lagi mengabulkan

permintaannya sehingga Zubair mendapatkan semuanya.205

4. Alasan mengapa tidak boleh memisahkan antara anak dengan

ibu kandungnya dan antara keluarga dekat ini sangat jelas, yakni

untuk pemenuhan kebutuhan moral dan psikologis yang harus

dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, Imam Ahmad pernah

mengatakan: “Janganlah kalian memisahkan antara seorang ibu

dengan anak kandungnya, sekalipun sang ibu menyetujuinya.

Penyebab dari tidak diperbolehkannya hal itu, Wallahu a’lam.

Sebab bisa jadi hal ini merugikan anak tersebut dan suatu hari

sang ibu mungkin menyesalinya dan berharap dapat merubah

keputusannya.206

205 Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh, (Beirut: Dâr Sâdir, 1399 H), h. 148. 206 Ibn Qudâmah, al-Mugnî wa al-Syarh al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1403 H/1983 M),

Jilid X, h. 468-471; al-Buhûtî, Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 57-58. Adapun jika kedua budak itu masih kecil, maka dalam buku al-Siyar al-Kabîr maka salah satunya pasti akan sangat merasa kehilangan dan sedih akibat berpisah dengan saudaranya, dan hal ini sungguh akan sangat berat untuk dirasakan.

Page 199: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

162

5. Hadis dan tradisi Nabi yang berkaitan dengan pelarangan untuk

memisahkan seorang budak dengan ibu kandungnya atau

saudara kandungnya yang masih kecil, jelas selangkah lebih

tegas dibandingkan dengan hukum internasional modern.

Dimana dalam Islam larangan pemisahan menjadi kewajiban

bagi orang Muslim, dalam hukum internasional hanya

diusahakan sebisa mungkin sebuah keluarga untuk tetap

disatukan. Hal ini dapat menjadi celah yang memberikan

kesempatan munculnya tindakan sewenang-wenang oleh negara

atau individu tertentu.

6. Hal lain yang penting dalam ajaran Syariat Islam adalah adanya

pertimbangan simpatik atau “kasih sayang” atas diri seorang

anak kecil. Hal ini sangatlah normal mengingat sifat dasar

seorang anak yang cenderung lemah dan tidak memiliki kuasa,

yang selalu diperhatikan dalam ajaran Syariat Islam di berbagai

kawasan Negara Islam. Berikut adalah beberapa contoh-

contohnya:

(i) Terdapat sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah dari Abu Ja’far,

bahwa salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Usaid

datang kepada Nabi dengan membawa tawanan perang yang

berasal dari Bahrain. Pada saat itu Rasulullah SAW melihat

salah seorang wanita di antara para tawanan itu sedang

Bahkan, bisa jadi keduanya bisa mengalami sakit dan bahkan meninggal. Hal-hal semacam ini tidak akan terjadi bila keduanya telah dewasa. Lihat Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Syaibânî, Jilid V, h. 2071.

Page 200: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

163

menangis tersedu-sedu, lalu Beliau bertanya mengapa kamu

menangis? Wanita itu menjawab: “Anakku dijual orang itu.”

Maka Nabi bertanya kepada Abu Usaid: “Benarkah kamu

menjual anak wanita tersebut?” Ia membenarkan. Nabi

bertanya lagi, “Kepada siapa kamu menjualnya?” Abu Usaid

menjawab: “Saya jual kepada Bani Isa. Lalu Nabi berkata,

“Segeralah kamu datang ke sana dan bawa anak itu kepada

ibunya!”207

(ii) Di antara sekian banyak kasus mengenai hal ini, terdapat

sebuah contoh lain yang terjadi pada saat pengepungan

kampung ‘Uka. Pada saat itu orang-orang Islam banyak

memiliki kelompok orang yang berprofesi sebagai pencuri.

Mereka masuk di tenda-tenda orang-orang Perancis untuk

mencuri harta benda mereka. Suatu saat ada juga yang dicuri

adalah seorang anak laki – laki yang baru berusia tiga bulan.

Maka sang ibu dari anak bayi itu menangis sejadi – jadinya

dan mengadukan halnya kepada rajanya. Maka para

pembesar pihak musuh itu mengatakan kepada wanita itu

bahwa para pemimpin pasukan Muslim adalah orang yang

sangat santun dan pengasih. Ia memerintahkannya: “Maka

keluarlah kamu wahai sang ibu, cari anakmu yang dicuri para

pencuri Muslim itu!” Pada saat sang ibu yang sedih ini

bertemu dengan pembesar pasukan Muslim, sang pembesar

207 al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahabah, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Jilid II, h. 79.

Page 201: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

164

Muslim sangat sedih dan menyayangkan kejadian ini.

Kemudian ia perintahkan agar bayi itu bisa diketemukan.

Maka setelah ditelusuri, ternyata bayi itu sudah dijual di

sebuah pasar. Kemudian ia mengeluarkan perintah untuk

mengambil bayi itu dan membelinya kembali dari

pembelinya. Setelah bayi itu kembali, diserahkannya kepada

sang ibu. Setelah itu sang ibu langsung menerima dan

menyusui bayi tersebut sambil menangis karena kebahagiaan

yang tiada tara. Lalu pergilah sang ibu sambil membawa

bayinya kembali ke tendanya dengan kuda yang dihias.

Terhadap kasus ini Ibnu Syidad berkomentar: “Lihat dan

cermatilah kejadian ini, betapa besar kasih sayang Islam

bagi umat manusia.” 208

B. Menurut Hukum Internasional

Ditinjau dari karakter kemanusiannya, penyatuan keluarga

pengungsi yang tercerai – berai merupakan salah satu persoalan

mendasar yang penting dalam hal hak suaka.209

208 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, 1977 M), Jilid XII, h. 342.

Lihat pula Ibn Syidâd, al-Nawadir al-Sultâniyyah wa al-Mahâsin al-Yusûfiyyah au Sirah Salâhudîn, al-Ayyûbî, (Kairo: Dâr al-Misriyyah, li al-Ta’lîf wa al-Turjumah, 1964 M), h. 159.

209 Inilah yang sangat ditekankan dalam konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi oleh Executive Committee UNHCR Programme, Genewa, 1996), h. 19 No. 9 (28); h. 55-56, No. 24 (32). Lihat juga konklusi International Protection of Refugees yang diadopsi oleh Executive Committee UNHCR Programme, Kairo, 2003, h. 245-246, No. 88. Prinsip “Penyatuan Keluarga” juga ditegaskan dalam Lampiran B instrumen final Konferensi PBB tentang Status Pengungsi dan Orang tanpa Kewarganegaraan, lihat kembali Collection of the International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op. cit, Vol I, h. 30.

Page 202: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

165

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dinyatakan

bahwa keluarga adalah sebuah kelompok fundamental dalam

masyarakat yang berhak mendapatkan perlindungan dari

masyarakat dan Negara. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam

hukum humaniter internasional:

1. Pada pasal 26 Konvensi Genewa tahun 1949, dalam ketentuan

Perlindungan terhadap Penduduk Sipil dalam Keadaaan

Perang, dinyatakan bahwa “Setiap pihak dalam konflik harus

memfasilitasi permintaan dari anggota – anggota keluarga yang

terpisah karena perang, untuk berhubungan satu dengan yang

lainnya, atau untuk bertemu, apabila memungkinkan.

2. Pada Pasal 74 Protokol Pertama tahun 1977 atas Konvensi

Genewa 1949, juga dinyatakan bahwa Negara Pihak Konvensi

dan Protokol tersebut dan negara yang terlibat konflik

selayaknya memfasilitasi, sedapat mungkin, penyatuan

keluarga yang terpisah karena konflik bersenjata.

Dengan demikian, apa yang dianut dalam tradisi/ Hadis

Nabi, menunjukkan adanya perlindungan yang lebih besar

daripada yang terdapat dalam hukum internasional modern yang

hanya meliputi dua hal :

1. Sekedar diberikannya kesempatan untuk saling berkomunikasi

dan bertemu antar anggota keluarga.

2. Memfasilitasi, sebisa mungkin, upaya untuk menyatukan

keluarga yang terpisah akibat konflik bersenjata.

Page 203: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

166

Sementara itu, dalam sejarah hidup Nabi, terdapat suatu

praktek yang mengharuskan kaum Muslim untuk tidak memisah-

misahkan anggota keluarga seseorang.

Dalam konteks hak suaka, agaknya telah dipahami bahwa,

kebersatuan keluarga adalah sesuatu yang diberikan, misalnya

dalam kasus “status derivatif”, dalam mana apabila status

pengungsi diberikan kepada seseorang yang memenuhi

persyaratan pengungsi, status tersebut diperluas juga

pemberlakuannya bagi anggota keluarga lainnya yang berada

dibawah asuhannya atau mengikutinya yang disebut sebagai

tanggungan (yaitu pasangan dan anak – anak dibawah 18 tahun).

Perlu dicatat, bahwa tanggungan yang memenuhi syarat sebagai

pengungsi dapat diberikan status sendiri, selain melalui status

derivatif.210

3. Harta kekayaan pengungsi

A. Menurut Syariat Islam

Dalam Syariat Islam, harta kekayaan pengungsi dijamin

keamanannya dan tidak boleh diganggu atau direbut diluar

keinginan pemiliknya atau dipergunakan secara sembarangan.

Terkait dengan status seorang musta`min (orang non Muslim

210 Lihat informasi pencari suaka dan pengungsi di Mesir, UNHCR Kantor Perwakilan Regional Mesir,

November 2005, h. 38. Lihat pula Direktif No. 86/2003 M, diterbitkan oleh Uni Eropa, tentang Penyatuan Keluarga, dalam Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, op. cit, Vol. IV, h.1682-1690. Lihat pula Collection of International Instrument and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Rekomendasi 23 (99) oleh Dewan Menteri Eropa, h.1409.

Page 204: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

167

yang tinggal di kawasan Negara Islam), Imam al-Nawawi

mengatakan: ”Jika ada seorang kafir memasuki Negara Islam

dengan aman atau dengan jaminan keamanan, maka harta,

anak-anaknya dan keluarga yang bersamanya dijamin

keamanannya. Tetapi tidak harta, anak – anak dan keluarganya

yang ia tinggalkan di negara non-Muslim.” Dalam kondisi itu,

harta milik orang kafir bisa dianggap sebagai harta rampasan

perang dan anak keturunannya bisa ditahan sebagai tawanan

perang. Penulis kitab al-Hawi (al-Mawardi) mengemukakan,

jika seorang kafir diberikan ‘aman’ secara umum, maka dirinya,

hartanya dan saudaranya akan menerima perlindungan, namun

jika ia hanya diberikan ‘aman’ secara khusus, maka hanya

dirinya yang menerima perlindungan, tapi tidak harta dan

saudaranya.Mayoritas kaum ulama fikih berpendapat bahwa

terkadang perlu dibedakan antara perlindungan yang diberikan

kepada pemilik dan perlindungan terhadap harta yang

dimilikinya. Oleh sebab itu jika ada seorang Muslim memasuki

wilayah non-Muslim dengan aman (perlindungan), lalu ada

seorang kafir harbiy (non-Muslim) yang memberikan sejumlah

uang kepada yang Muslim tersebut untuk membeli berbagai

keperluan, maka uang atau harta yang diberikan itu harus tetap

dijamin aman (tidak digunakan) hingga uang tersebut

dikembalikan kepada sang pemilik uang tersebut (kafir harbiy)

meskipun sang pemilik tidak memiliki perlindungan. Demikian

Page 205: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

168

halnya jika harta itu diberikan kepada seorang kafir dzimmiy

yang memasuki wilayah non-Muslim dalam kondisi memiliki

perlindungan. Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendapat

lain mengemukakan bahwa harta yang diberikan itu tidak

mendapatkan perlindungan. Karena perlindungan kafir dzimmiy

tersebut batal secara hukum. Pendapat yang pertama adalah

pendapat yang lebih kuat dan populer karena seorang kafir

harbiy telah meyakini kebenaran perlindungan tersebut

sehingga harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya

(kafir harbiy).211

Seorang hakim Agung, al-Baidhawi mengemukakan bahwa

jaminan keamanan bagi warga non-Muslim itu meliputi apa

yang ada bersamanya berupa keluarga dan hartanya, meskipun

aman tersebut diberikan secara umum, sebab orang tersebut

telah meninggalkan segala kepunyaannya yang pastinya dapat

211 al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 289. Di kalangan mazhab Maliki dikemukakan bahwa jika

di antara kami ada seorang non-Muslim (kafir harbiy) yang berhasil masuk ke wilayah kami dengan aman, lalu ternyata ia meninggal dan meninggalkan sejumlah harta, maka harta tersebut tidak boleh dianggap sebagai fa`i atau rampasan perang, melainkan harus dikembalikan kepada ahli warisnya. Bahkan Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang mengenai seorang kafir harbiy yang berhasil memasuki kawasan negara Islam secara aman, lalu dibunuh oleh seorang Muslim, beliau menjawab bahwa diat (ganti rugi) orang yang dibunuh itu harus dibayar oleh si pembunuh kepada ahli warisnya yang ada di negara non-Muslim. Dalam hal ini Ibn al-Qasim berkomentar bahwa hal ini menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang kafir harbiy itu menjadi hak milik ahli warisnya. Ibn al-Qasim berkomentar bahwa sejauh yang diketahuinya, ia tidak mengetahui adanya pendapat Imam Malik yang lain, kecuali pendapat yang mengatakan bahwa si pembunuh dalam kasus ini juga harus memerdekakan budak dan menyerahkan hartanya dan ganti ruginya kepada pemerintah dari kalangan kafir harbiy tersebut, seperti layaknya jika ia dibunuh di negaranya sendiri. Lihat Syahnûn al-Tanûkhî, al-Mudawwanah al-Kubrâ fî Fiqh al-Imâm Mâlik, (Beirut: Dâru Sadir, Mesir: Matba’ah al-Sa’âdah, 1323 H), Jilid II, h. 24. Demikian halnya dikemukakan bahwa seorang Muslim tidak berhak mengambil harta orang non-Muslim, jika ia mati, ia juga tidak berhak mengambil diatnya jika ia terbunuh, melainkan seluruh hartanya harus dikembalikan kepada ahli warisnya di negaranya. Lihat al-Khattâb, Mawâhib al-Jalîl bi Syarh Mukhtasar Khalîl, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1398 H/ 1978 M, Jilid III, h. 363.

Page 206: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

169

membahayakan dirinya, karena hal – hal tersebut adalah pokok

dan penting untuk kehidupannya. 212

Sejalan dengan ketentuan yang telah disebutkan di atas,

jelas bahwa kekebalan atau imunitas tidak berlaku bagi

berbagai macam harta benda yang tidak dibawa oleh seorang

pengungsi baik itu berupa benda, harta atau anggota keluarga.

Demikian halnya seluruh harta benda dan anggota keluarga

yang ditinggalkan di negara non-Muslim, kecuali jika mereka

masuk ke sebuah negara Islam. Oleh sebab itu hal ini sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh al-Imam al-Qurtubi bahwa

”Barang siapa (non-Muslim) yang keluar dari kawasan konflik

dan menuju kepada kami (kawasan Muslim) dengan tujuan

meminta suaka, maka kami tidak bisa memberikan

perlindungan sedikitpun kepada harta, benda dan sanak saudara

atau anak dari yang bersangkutan, yang ditinggalkannya di

negara non-Muslim asalnya.”213

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa kekebalan/imunitas

terhadap harta kekayaan seorang pengungsi mencakup 3 (tiga)

aspek penting berikut:

Aspek positif: yaitu harta kekayaan pengungsi yang

dibawanya akan dijaminkan keamanan sebagaimana adat

kebiasaan yang berlaku dan juga seperti apa yang dikemukakan

212 al-Baidâwî, al-Gâyah al-Quswâ fî Dirâyah al-Fatwâ, tahqîq ‘Alî Muhyiddîn Dâghî, (Kairo: Dâr al-Nasr li al-Tibâ’ah al-Islâmiyyah), 1982, Jilid II, h. 953.

213 Abû ‘Amr bin ‘Abdul Barr al-Namri al-Qurtubî, Kitâb al-Kâfî fî Fiqh Madzâhib al- Madînah al-Mâliki, (Riyadh: Maktabah Riyâd al-Hadîtsah, 1400 H/1980 M), Jilid 1.

Page 207: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

170

oleh al-Baidhawi bahwa kekayaan tersebut dianggap sebagai

kebutuhan yang sifatnya pokok.

Aspek negatif: yaitu jaminan keamanan tidak berlaku bagi

harta benda dan berbagai macam kekayaan yang ditinggalkan

oleh seorang pengungsi di negaranya, mengingat peraturan

perundang – undangan yang berlaku terikat teritori dan tentu

saja karena batas kewenangan negara Islam tidak bisa

menjangkau batas wilayah negara lain.

Aspek praktis: jaminan perlindungan berlaku bagi anggota

keluarga seorang pengungsi yang datang bersama mereka.

Sebab mereka dianggap sebagai para pengikut atau tanggungan

(termasuk juga dalam hal ini ada jaminan keamanan bagi harta

benda pengungsi), tetapi tidak bagi anggota keluarga yang

masih tinggal di kawasan non-Muslim yang ditinggalkannya.

B. Menurut Hukum Internasional

Pada pasal 30 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi,

dinyatakan bahwa Negara Pihak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, harus mengijinkan dan menjamin para

pengungsi agar dapat memindahkan harta benda yang dibawa

oleh para pengungsi dari negara asalnya ke negara lain (negara

ketiga) yang menjadi tujuan mereka (negara resettlement) yang

telah menyatakan menerima mereka. Negara Pihak wajib

memberikan pertimbangan simpatik untuk mengijinkan

Page 208: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

171

perpindahan aset mereka kemanapun mereka akan pergi, karena

aset tersebut akan sangat berguna bagi kehidupan baru mereka

di negara ketiga yang menerima mereka.

4. Perlindungan diplomatik

A. Menurut Syariat Islam

Sebuah negara Islam dimungkinkan untuk memberikan

perlindungan diplomatik bagi para pengungsi yang berada di

dalam wilayahnya. Hal ini didasarkan kepada dalil Qiyas

(interpretasi analogis), yakni berupa teori penyelamatan

(istinqadz) yang didukung oleh para ahli Syariat Islam. Dalam

Syariat Islam, teori penyelamatan diakui sebagai media untuk

memberikan perlindungan kepada orang Muslim yang dianiaya

atas dasar keyakinan agama mereka, atau orang yang ditawan,

dalam rangka menghilangkan tindakan penganiayaan terhadap

mereka dan membebaskan mereka. Hal ini dapat dianggap

semakna dengan teori intervensi kemanusiaan dalam

yurisprudensi Barat. Teori ini dilandasi oleh kalam Allah:

Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (QS: an-Nisa/3:75).

Page 209: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

172

Para kaum ulama fikih memperluas cakupan teori terhadap

kaum dzimmiy dan kafir-musta’min. Dalam buku al-Siyar al-

Kabîr dikemukakan sebagai berikut: “Wajib bagi kita untuk

memberikan pertolongan kepada kafir dzimmiy jika mereka

dalam kondisi terdesak dan pada saat kita mampu menolong

mereka. Namun kita tidak wajib memberikan bantuan

pertolongan kepada para kafir musta’min jika mereka telah

memasuki kawasan peperangan atau kawasan non-Muslim.

Sebab perlu ditegaskan di sini bahwa status al-Dzimmah dapat

dianggap setara dengan orang Islam jika mereka berada atau

berdomisili di kawasan negara kita (Islam).”214

Ditambahkan pula bahwa “Pada aslinya, seorang pemimpin

negara Islam wajib memberikan penyelamatan dan keadilan

kepada para musta’min, selama mereka berada di negara kita

dan seorang kepala negara Islam juga harus memberikan

perlindungan kepada kaum dzimmiy, sebab selama mereka

berada di bawah wilayah kekuasaan negara Islam tersebut,

artinya mereka berada dibawah yurisdiksi Islam, sehingga

musta’min harus diperlakukan setara dengan ahlu al-

dzimmah.215

Sehubungan dengan hal tersebut, negara Islam juga wajib

menyelamatkan para pengungsi, baik dari kalangan ahlu al-

214 al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, op. Cit., Jilid II, h. 688. 215 al-Sarkhasi, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibâni, Jilid 5, h. 1853.

Page 210: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

173

Dzimmah maupun musta`min dari tangan musuh walaupun

upaya penyelamatan ini membutuhkan penggunaan senjata dan

wajib melaksanakan perlindungan diplomatik untuk

menyelamatkan mereka dari berbagai tindakan ketidakadilan.

B. Menurut Hukum Internasional

Menurut hukum internasional, perlindungan diplomatik

merupakan sebuah sistem dimana sebuah negara turun tangan

dalam perlindungan warga negaranya, yang berada di luar

negeri dan hak – haknya terlanggar. Perlindungan diplomatik

juga dapat menjadi sebuah sarana bagi sebuah negara agar bisa

melindungi seseorang yang menjadi korban, dalam rangka

menghormati hukum internasional, dengan cara menjamin

pemenuhan hak orang yang terkait.216

Sebuah negara memiliki kewenangan untuk mengatur

hubungan diplomatik terkait masalah pengungsi, sebagaimana

ditetapkan dalam pasal 8 paragraf 2 Rancangan Pasal tentang

Perlindungan Diplomatik yang diadopsi oleh Komisi Hukum

Internasional pada tahun 2006, dimana dinyatakan bahwa:

Sebuah negara dimungkinkan untuk memberikan

perlindungan diplomatik sesuai dengan ketetapan mendasar

yang sah, terhadap seseorang yang berstatus pengungsi, yang

pada saat kemalangan terjadi atau pada saat permintaan

216 Ahmad Abu al-Wafa’, al-Wasit fi al-Qanun al-Duwali al-‘Amm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1428 H/ 2007 M, h. 641.

Page 211: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

174

perlindungan diajukan, secara hukum dan sebagaimana

dibenarkan sebelumnya tinggal menetap di negara tersebut.217

Meskipun demikian, pasal 8 paragraf 3 menambahkan

bahwa hal tersebut tidak berlaku dalam hal adanya aktivitas

yang secara internasional dinilai salah, yang dilakukan oleh

negara asal pengungsi tersebut.

5. Hak – hak pengungsi anak

A. Menurut Syariat Islam

Tidak diragukan lagi bahwa dalam ajaran Islam, hal – hal

terkait hak anak harus dimuliakan dan diperhatikan, baik anak

itu pengungsi maupun bukan pengungsi. Dalam Islam terdapat

perjanjian khusus terkait dengan hak - hak anak (tahun 2005)

yang telah diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI)

tentang hak-hak anak yang memberikan hak – hak seperti hak

persamaan, hak memperoleh kohesi keluarga, hak memperoleh

kemerdekaan secara individu, hak dibesarkan, hak mendapatkan

pendidikan, hak akan kebudayaan, hak memperoleh waktu

cukup untuk istirahat dan bermain, hak atas kesehatan,

perlindungan, keadilan dan seterusnya. Dalam perjanjian itu

juga ditetapkan mengenai pengungsi anak-anak bahwa “Negara

Pihak perjanjian ini akan memastikan, semaksimal mungkin,

pengungsi anak atau anak – anak yang secara hukum disamakan

217 Lihat pula Resolusi Majelis Umum PBB No. A/61/10/2006 M.

Page 212: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

175

dengan status tersebut, dapat menikmati hak – hak dalam

perjanjian dalam legislasi nasional mereka.” (pasal 21).218

Dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun 1989 M,

ditetapkan sebuah peraturan tentang anak – anak yang terlantar

secara sementara atau permanen, yang didasarkan pada sistem

kafala (pemeliharaan) dari Syariat Islam. Dalam pasal 20

paragraf 3 disebutkan bahwa “Perawatan mencakup,

diantaranya, penempatan dirumah orang tua asuh, kafalah

(pemeliharaan) berdasarkan Syariat Islam, adopsi, atau jika

dibutuhkan, penempatan di institusi anak yang sesuai untuk

perawatan anak.” Demikianlah dalam ketetapan Konvensi ini

ditekankan adanya suatu sistem kafalah (pemeliharaan) yang

merupakan sebuah sistem yang telah lama dijalankan menurut

Syariat Islam.

Hadis Nabi telah menggariskan sejumlah hal terkait anak.219

Diantaranya ialah anjuran menikahi perempuan yang sehat

reproduktif untuk memperbanyak populasi penduduk Muslim,

anjuran memilih isteri yang baik, anjuran merayakan kelahiran

218 Lihat dokumen No.OIC/9 - IGGE/HRI/2004/Rep.Final . 219 Lihat pula Muhammad ‘Abd al-Jawwâd Muhammad, Himâyat al-Tufûlah fi al-Syarî’ah al-

Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Duwaliy al-‘Âmm, wa al-Sûdaniy wa al-Su’ûdiy, (Iskandaria: Mansya’at al-Ma’ârif, h. 29-80. Sebagian ahli Syariat Islam membagi hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya menjadi hak-hak yang bersifat materiil (hak akan garis keturunan, hak untuk disusui, hak untuk diasuh,, hak akan perwalian, hak untuk memperoleh nafkah) dan hak yang bersifat moriil dan hak – hak moral (hak untuk dibesarkan dengan baik, perlindungan moral, hak atas nama yang terbaik, hak atas perlakuan yang adil dan setara diantara anak – anak lainnya. Sementara hak – hak orang tua mencakup: hak menerima bakti anaknya, hak untuk memperolah bantuan nafkah pada saat mereka telah memasuki usia dewasa, dan hak untuk diperlakukan dengan hormat ketika masih hidup atau sudah wafat. Lihat ‘Abdullah Muhammad Sa’îd, al-Huquq al-Mutabâdilah bain al-Âbâ` wa al-Abnâ` fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Syarî’ah wa al-Qânûn, 1402 H/1982 M), h. 466.

Page 213: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

176

anak (aqiqah), hak anak untuk memperoleh nama yang baik,

hak akan pernasaban atau garis keturunan (berdasarkan

hubungan perkawinan, bukti-bukti, atau pengakuan), hak anak

untuk memperoleh pengasuhan, hak anak untuk bermain,

perlindungan terhadap perempuan dan anak pada kondisi

perang, perlakuan khusus terhadap ibu dan anak dalam hukum

pidana Islam, hak untuk memperoleh pengajaran dan

pendidikan, dan hak anak yang lahir dari budak untuk

dibebaskan dari status budak. Hak-hak anak lainnya telah

ditetapkan pula melalui ijtihad (pemberian pendapat hukum)

oleh ahli Syariat Islam, diantaranya ialah hak anak untuk

memperoleh nafkah, hak anak untuk memperoleh pengarahan

atau perwalian atas diri dan harta kekayaannya, hak anak hilang

yang telah ditemukan kembali, hak bagi anak yang baru lahir

untuk memperoleh bantuan finansial dari Bait al-Mâl (kantor

perbendaharaan negara), dan hak akan wasiat wajibah (hak

wasiat yang ditetapkan bagi anak dari harta warisan orang

tuanya). Bahkan Syariat Islam juga mengatur hak-hak janin. 220

Adanya indikasi perhatian Syariat Islam dalam hal anak,

terlihat dalam kisah yang cukup dikenal dari Khalifah Umar bin

al-Khattab. Suatu ketika, datang serombongan pedagang, dan

kemudian singgah di suatu tempat shalat. Waktu itu, Umar

220 Terkait hak janin antara lain hak al-Ahliyyah wa al-Dzimmah, hak untuk diakui sebagai anak kandungnya, hak mendapatkan jatah waris, hak mendapat wasiat, wakaf, dan hak untuk tidak diaborsi dan lain-lain, lihat Muhammad Sallâm Madkûr, al-Janîn wa al-Ahkâm al-Muta’alliqah bihi fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1389 H/1979 M), h. 271-328.

Page 214: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

177

mengajak Abdurrahman bin Auf, untuk bergabung dengannya

mengawasi keamanan di malam hari untuk menghindari

pencurian. Maka kedua tokoh ini berjaga untuk melakukan

ronda malam itu sambil tetap menjalankan shalat. Malam itu,

Umar mendengar sebuah tangisan bayi, lalu ia bergegas menuju

ke arah bunyi anak kecil menangis itu dan berkata kepada sang

ibu: “Bertakwalah kamu kepada Allah dan rawatlah anak kamu

dengan baik.” Setelah itu Umar kembali ke tempat berjaganya

semula, namun tidak selang lama beliau mendengar lagi

tangisan anak yang sama. Sehingga ia kembali menghampiri

ibu sang anak hingga tiga kali. Maka kemudian sang ibu itu

menuturkan bahwa si bayi itu ternyata baru saja disapih padahal

belum waktunya disapih. Hal tersebut dilakukan sang ibu

karena seorang anak akan memperoleh bantuan dana apabila

telah disapih. Pada saat itulah Umar meminta petugas untuk

mengumumkan dengan mengatakan: “Janganlah kalian

menyapih anak kalian sebelum waktunya, sebab mulai saat ini

bantuan dana akan kami berikan bagi setiap anak yang

dilahirkan dalam keadaan Islam. Hal ini juga ia sampaikan ke

seluruh pelosok di negara Islam. Demikian praktek ini

seterusnya dilanjutkan oleh Khalifah Ustman dan Ali bahkan

hingga zaman Umar bin Abdul Aziz.221

221 Lihat Ibn Sallâm, Kitab al-Amwâl, (Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1388 H/1976 M),

h. 337-341.

Page 215: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

178

B. Menurut Hukum Internasional

Ditetapkan dalam Konvensi tentang Hak Anak tahun

1989M menetapkan bahwa seorang anak harus mendapatkan

berbagai fasilitas hak yang antara lain meliputi hak untuk turut

dipertimbangkan dalam pengambilan sebuah keputusan (best

interest determination) yang akan mempengaruhi keadaan anak

tersebut, hak untuk hidup, hak untuk memperoleh nama dan

kebangsaan, serta pendidikan yang penting. Lebih lagi,

hukuman mati wajib dihindarkan bagi anak pelaku yang belum

mencapai usia 18 tahun. Anak dibawah 15 tahun tidak boleh

dilibatkan dalam konflik bersenjata. Demikian pula dinyatakan

dalam Konvensi pentingnya pemenuhan kebutuhan bagi

pengungsi anak dan jaminan bagi mereka untuk dapat

menikmati hak – hak yang diberlakukan. (Pasal 22), dan

seterusnya.222

Pasal 5 paragraph dari 4 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk

Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama dan

Keyakinan (G.A. Res.36/55, 25 November, 1981), menyatakan

222 Lihat Declaration of the Rights of the Child (1959); Convention on the Rights of the Child (1989);

African Charter on the Right and Welfare of the Child (1990); Convention concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (ILO No. 182) (1999); Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflicts (2000); Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (2000); General Comment No. 5 by the Child Rights Committee on Unaccompanied Children Outside their Country of Origin (2005); UN Security Council Resolution No. 1612 on Children in Armed Conflicts (2005); dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. I, h. 469, 405, 465, 419, 423, 594, 474; Vol. III, h. 1058. Lihat pula Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, h. 54-56. Keberlanjutan pengaturan hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers, International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, Geneva, 2001, h. 34.

Page 216: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

179

bahwa: “Bilamana seorang anak tidak mendapatkan

perlindungan baik dari kedua orang tuanya atau walinya secara

hukum maka yang dijadikan acuan untuk memenuhi

kepentingan ajaran agama yang dianutnya ialah prinsip

memperhatikan kemaslahatan terbaik bagi si anak.”223

6. Hak atas harta kekayaan

Ajaran agama Islam menekankan pentingnya pemeliharaan

atas harta orang-orang non-Muslim, baik harta itu benda tetap,

maupun benda bergerak, baik pada saat yang berhak memiliki

harta itu masih hidup ataupun sudah meninggal. Toleransi

macam in terlihat dalam suatu ketentuan mengenai waris oleh

Khalifah al-Muqtadir, pada tahun 310 H/923 M, dimana

dinyatakan bahwa jika seorang dzimmiy, (yaitu warga negara

non-Muslim di negara Islam) meninggal dunia, dan ia tidak

meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta warisannya

bisa dikembalikan kepada seluruh keluarga yang seagama

dengan yang bersangkutan. Sementara jika pihak yang

meninggal itu beragama Islam dan ia tidak meninggalkan ahli

waris seorangpun, maka harta peninggalannya dikembalikan ke

Bait al-Mâl.224

Praktek ini didasarkan pada aturan yang menyebutkan

bahwa tidak ada orang Islam yang boleh menerima warisan dari

223 Lihat Resolusi No. 36/55 Majelis Umum PBB, 25 November 1981. 224 Adam Maitaz, al-Hadârah al-Islâmiyyah fi al-Qarn al-Râbi’ al-Hijriy au ‘Asr al-Nahdah fî al-

Islâm, alih bahasa Muhammad Abû Raidah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ârabî, 1387 H/1967 M), Jilid I, h. 77.

Page 217: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

180

non-Muslim, dan bahwa perbedaan agama adalah faktor yang

menghalangi pewarisan 225 dan bahwa menurut Hadis Nabi,

hanya pengikut atau kerabat yang sama agamanya, yang dapat

mewariskan harta kekayaan seseorang jika ia tidak memiliki

ahli waris dari golongan dzaw al-arhâm.226

7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim

Islam memerintahkan orang Muslim untuk menjalin

perdamaian dengan orang non-Muslim, mengunjungi mereka

ketika mereka sakit, menghadiri pemakaman mereka,

menyampaikan belasungkawa atau ucapan selamat atau bentuk

lain interaksi.227

8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi,

meskipun non-Muslim, dihormati 228

Aturan ini didasarkan pada fakta bahwa Allah SWT

memperlakukan sama semua manusia dalam asal-usul

penciptaannya, ketika menjadikan mereka, lahir dari satu ayah

dan satu ibu sebagaimana dijelaskan kalam Allah SWT:

225 al-Fatâwa al-Islâmiyyah min Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah,

(Kairo: 1409 H/1989 M), Jilid XVI, h. 6064-6070. 226 Ahmad Amîn, Zuhr al- Islâm, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1962), h. 81-82.

227 Ibn Qayyim al-Jauziyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, h. 191-206. 228 Ibn `Âbidîn, Hâsyiyat Radd al-Muhtâr, (Kairo: Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1386 H./1966 M), Jilid V,

h. 58.

Page 218: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

181

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Q.s al-Isrâ '/17:70). Istilah "anak-anak (keturunan) Adam" bersifat umum dan

bukan istilah khusus untuk umat manusia, mencakup Muslim

dan non-Muslim, tanpa membedakan ras, bangsa atau agama,

terlepas dari apakah mereka pengungsi atau bukan.

9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang

non-Muslim

Hal ini didasari oleh kalam Allah:

Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dengan kesesatan. (Q.S. al-Baqarah/2:256).

Di dalam kitab tafsirnya, setelah menyebutkan bahwa Allah

telah mengemukakan dalil-dalil ajaran tauhid atau monoteisme

secara jelas dan mematahkan alasan yang menyanggah dalil-

dalil tersebut, al-Razi menyatakan “Maka sesungguhnya tidak

ada lagi alasan bagi orang kafir untuk mempertahankan

kekafirannya”; tidak ada pilihan lain kecuali orang kafir itu

mengaku beriman atau ia dipaksa untuk itu. Namun pemaksaan

itu tentu tidak boleh dilakukan di dunia ini, karena kehidupan di

dunia ini adalah tempat ujian. Sementara memaksa seseorang

Page 219: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

182

untuk memeluk suatu agama berarti menafikan makna ujian

tersebut. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah:

“…barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Q.S. al-Kahfi/18:29).

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S.Yûnus/10:99).

Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. Jika Kami kehendaki niscaya Kami menurunkan kepada mereka mukjizat dari langit, maka senantiasa kuduk-kuduk mereka tunduk kepadanya. (Q.S. al-Syu’arâ’/26:3-4).

Al-Qâsimi menyebutkan bahwa Allah SWT tidak

memberlakukan perintah iman dengan cara paksaan dan

tekanan, tetapi Dia memerintahkannya melalui pemberian

kapasitas (akal) dan pemberian pilihan.229 Di dalam kitab al-

Siyar al-Kabîr dijelaskan bahwa kekafiran, meskipun termasuk

tindak dosa yang paling besar, tetapi merupakan urusan antara

hamba dan Tuhannya. Balasan terhadap dosa ini ditunda sampai

datangnya Hari Kiamat nanti. Sementara, adanya peperangan

antara agama di dunia saat ini terjadi atas dasar kepentingan

229 Lihat Tafsîr al-Imâm al-Râzi, Jilid II, h. 319; dan Alkiyâ al-Harrâsi, Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo:

Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1974), Jilid I, h. 339.

Page 220: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

183

manusia 230 Artinya, sebenarnya tidak ada paksaan dalam

memeluk agama, namun perang terjadi karena keinginan untuk

memperoleh kemanusiaan atau kekuasaan oleh manusia itu

sendiri, dan hal – hal tersebut muncul sebagai agresi dan

tindakan penganiayaan yang dikaitkan dengan masalah agama.

Al-Qur’an itu sendiri menekankan bahwa banyak manusia

berpegang kepada agamanya namun akan dihakimi nanti pada

Hari Kiamat, sebagaimana kalam Allah:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. al-Hajj/22:17).

Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Tagâbun/64:2).

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. (Q.S.al-Baqarah/2:253).

Prinsip-prinsip tersebut berlaku pula terhadap pengungsi.

Disini kita menyebutkan 3 (tiga) contoh:

230 Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh Kitab Siyar al-Kabîr, (Heiderabad al-Dakan: t.np.,

t.th.), Jilid III, h. 182.

Page 221: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

184

Pertama: Contohnya Musa bin Maimun, seorang pemeluk

Yahudi yang tinggal di Andalusia (Spanyol), dan pernah

dipaksa untuk masuk Islam, sehingga ia hidup sebagai Muslim,

tapi dalam hati tetap berpegang pada agama Yahudi. Kemudian

ia lari ke Mesir dan tinggal di kota Fustat dengan kelompok

orang yang sama keyakinannya dan ia menampakkan

agamanya. Tatkala Abul Arab, seorang ahli hukum Andalusia,

singgah di Mesir, ia menginterogasi Musa bin Maimun perkara

kepindahan agamanya ke Islam, bahkan ia memiliki tujuan

untuk menyakitinya. Namun Qadhi al-Fadhil mencegahnya

seraya berkata kepadanya: “Seseorang yang dipaksa tidak sah

ke-Islamannya menurut Syariat Islam.”231

Kedua: Dalam surat Khalifah al-Ma’mun kepada

Constantin, Kaisar Byzantium (Romawi Timur), ia meyatakan:

“Demi Allah, seandainya orang-orang sebelum kamu, yakni

231 Ibn al-Ibry, Tarîkh Mukhtasar al-Duwal, (Beirut: Dâr al-Musayyarah, t.th.), h. 239. Oleh karena itu,

dikatakan bahwa seseorang yang tidak boleh dipaksa masuk Islam (seperti orang non-muslim dzimmiy dan orang non-muslim musta’min); jika dipaksa masuk Islam, maka keislaman mereka tidak sah kecuali ada pertanda bahwa mereka dengan rela hati memeluk Islam, misalnya dia secara rela hati menyatakan masuk Islam usai berlalunya pemaksaan itu; sehingga, apabila dia wafat sebelum pernyataan masuk Islamnya dengan rela hati itu terjadi maka dia dihukum sebagai orang yang wafat dalam keadaan kafir.

Ibn Qudâmah pun berpendapat bahwa tindakan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dipaksakan, yakni berpindah agama menjadi Islam, maka secara hukum, keislamannya itu tidak diakui, sama saja seperti seorang Muslim yang dipaksa untuk keluar dari agama Islam. Dalil dilarangnya pemaksaan ini ialah kalam Allah: “Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam”. Para ulama telah bersepakat bahwa orang non-Muslim dzimmiy dan orang non-Muslim musta’min yang telah menepati perjanjian, maka tidak boleh dibatalkan perjanjiannya itu dan tidak boleh pula memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak mengikatnya, karena pemaksaan demikian merupakan pemaksaan atas sesuatu yang dilarang untuk dipaksa sehingga secara hukum, tidak berlaku kepadanya apa yang dipaksakan itu. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni dan al-Syarh al-Kabîr, Jilid X, h. 104-105.

Demikian juga, William al-Sûriy berpendapat bahwa umat Islam, ketika memerintah Jerusalem, mempersilahkan penduduk Jerusalem untuk membangun kembali gereja-gereja mereka yang rusak dan melaksanakan perayaan-perayaan agama mereka sebagaimana telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya, serta mengizinkan para Uskup untuk tinggal dan memeluk agama Kristen tanpa pembatasan sedikitpun. Lihat William al-Sûriy, al-Hurûb al-Salîbiyyah, alih bahasa Hasan Habasy, (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyyah al-Âmmah li al-Kitâb, 1991), Jilid I, h. 65-66.

Page 222: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

185

orang-orang fakir miskin, para petani, orang lemah, dan para

pekerja mengetahui apa yang menjadi hak-hak mereka dari

Khalifah, maka pasti mereka mendatangi Khalifah untuk

menuntut hak akan tempat tinggal, hak atas lahan tanah yang

memadai, hak memperoleh air, hak akan perlakuan yang adil

semaksimal mungkin. Khalifah akan memperlakukan mereka

dengan kasih sayang, kepedulian dan berbuat baik kepada

mereka serta memberikan kebebasan pribadi dan beragama

mereka, tidak memaksa mereka berpindah ke agama yang tidak

mereka inginkan. Demi Allah, apabila mereka mengetahuinya,

pasti mereka mendekat kepada Khalifah dan berlindung

kepadanya (Khalifah al-Ma’mun), bukannya kepadamu (Raja

Romawi).232

Ketiga: al-Qarafy pernah berkata mengenai kaum non-

Muslim dzimmiy: “Barangsiapa bersikap memusuhi atau

membantu permusuhan terhadap kaum non-Muslim dzimmiy,

walau hanya sekedar dengan kata-kata buruk atas

kehormatannya atau melakukan bentuk tindakan lain yang

menyakitinya, maka sungguh telah ia sia-siakan jaminan

keselamatan dari Allah, Rasul-Nya dan dari agama Islam.”233

232 Ahmad Farid Rifâ’i, ‘Asr al-Ma’mûn, (Kairo: Maktabah Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1346 H/1928

M), h. 235-236. 233 al-Qarafî, al-Furûq, (Beirut: `Âlam al-Kutub, t.th), Jilid III, al-Farq 119 h. 14. Lihat pula perihal

kewajiban berbuat baik, dan membantu pemenuhan kebutuhan mereka, dan sebagainya. (h. 15). Termasuk dosa besar adalah tindakan menyakiti tetangga meskipun ia seorang non-Muslim dzimmiy dan juga tindakan penzaliman oleh, penguasa, hakim, dan yang serupa dengan mereka terhadap orang Muslim atau orang non-Muslim dzimmiy, dengan cara seperti pengambilan harta mereka, pemukulan, penghinaan, dan sebagainya. (h. 522). Lihat Ibn Hajar al-Haitamî, al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir, (Kairo: Dâr al-Syuab, 1400 H/1980 M), h.

Page 223: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

186

10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non-

Muslim

Standar keadilan yang diberlakukan adalah satu untuk

semuanya, tanpa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.

Aturan ini tidak berubah, meskipun terhadap pengungsi

sekalipun.

Ibn ‘Abd al-Hakam telah meriwayatkan bahwa Khalifah

‘Umar ibn Khattâb pernah berkata: “Sungguh aku telah

mengirim para gubernurku untuk mengajari kalian tentang

agama kalian dan Sunah Nabi kalian. Aku tidak mengutus

mereka untuk menghukum kalian atau mengambil harta kalian.

Maka barangsiapa diantara kalian mengalami hal itu, maka

adukanlah masalahnya kepadaku. Demi Allah, yang menguasai

jiwaku, saya akan memberikan balasan yang setimpal.” Lalu

Amr bin Al-Ash bediri seraya berkata: “Wahai Khalifah,

bagaimana bila salah seorang gubernurmu menyakiti seorang

rakyatnya dalam rangka mendidiknya, apakah gubernur tersebut

akan mendapatkan hukuman yang setimpal juga? Akan kamu

balas dengan hukuman setimpal?” Umar berkata: “Ya, aku akan

memberikan hukuman yang setimpal karena aku telah melihat

Rasulllah juga melakukan hal yang sama. Ingatlah, jangan

sekali-kali kalian mumukul orang-orang Islam sehingga kalian

346., Di antaranya juga, tindakan membunuh, baik secara sengaja maupun semi-sengaja, terhadap orang Muslim atau orang non-Muslim dzimmiy yang dilindungi. (h. 482); demikian pula, tindakan pemukulan orang Islam atau orang non-Muslim dzimmiy tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syariat Islam. (h. 495).

Page 224: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

187

menghinakan mereka. Jangan kau halangi hak-hak mereka

sehingga engkau mengingkari mereka. Jangan melempar

tuduhan terhadap mereka sehingga kalian memfitnah mereka.

Janganlah kalian tempatkan mereka di hutan sehingga kalian

menyia-nyiakan mereka.”

Kemudian seorang laki-laki dari Mesir mendatangi Umar

seraya bertanya: “Wahai Khalifah, aku berlindung kepadamu

dari kezaliman.” Umar berkata: “Aku berikan perlindungan

kepadamu.” Orang itu berkata kembali: “Aku telah mendahului

anak Amr bin al-Ash dalam sebuah perlombaan, namun ia terus

memukulku dengan cambuk sambil ia berkata: “Aku anak

orang terhormat””. Kemudian Umar menulis surat kepada Amr

bin al-Ash di Mesir dan memerintahnya untuk menghadapnya.

Amr pun menghadap bersama anaknya. Umar berkata: “Mana

orang Mesir tadi? Ambilah cambuk, dan cambuklah anak orang

yang terhormat ini (anak Amr ibn al-Ash).” Kemudian orang

Mesir tadi memukul anak Amr. Anas (periwayat Hadis)

berkata: “Demi Allah sungguh ia benar-benar memukul anak

Amr sampai kami puas, tanpa henti hingga kami berharap ia

berhenti memukulnya.” Kemudian Umar berkata kepada orang

Mesir tadi: “Letakkan cambuk itu di atas kepala Amr”. Orang

Mesir tadi berkata: “Wahai Khalifah, sesungguhnya anaknya

yang telah memukulku, dan aku sekarang sudah selesai

(memukulnya)”. Kemudian Umar berkata kepada Amr bin Ash:

Page 225: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

188

“Kenapa kamu perlakukan manusia merdeka seperti budak,

padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan

merdeka?” Amr berkata: “Aku tidak tahu dan belum ada yang

memberitahuku, wahai Khalifah.”

11. Perlindungan atas hidup non-Muslim

Syariat Islam melindungi hak hidup non-Muslim yang tidak

memerangi kaum Muslimin, bahkan tidak boleh bersandar

kepada alasan darurat untuk merampas hak hidup mereka. Al-

Syaibani berkata: “Bila di dalam sebuah kapal orang-orang

Islam bersama kaum dzimmiy atau musta’min (non-Muslim

yang dilindungi negara Muslim), maka status hukum mereka

setara dengan orang-orang Islam. Orang-orang Islam tidak

boleh melempar mereka ke laut, meski mereka khawatir akan

keselamatan jiwa mereka. Hal ini disebabkan karena mereka

adalah orang-orang yang dijaminkan perlindungan oleh

perjanjian (perjanjian dzimmah atau perjanjian aman). Sama

seperti orang Muslim yang dilindungi karena keimanannya.”234

Dengan demikian, hak hidup manusia, Muslim atau non-

Muslim, dan meskipun berstatus pengungsi 235 harus dilindungi

menurut Syariat Islam.

234 al-Syaibâni, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, Jilid IV, h. 1562-1563. 235 Dikatakan: “Sesungguhnya hak hidup dan hak mencari rezeki adalah satu kesatuan, karena berkaitan

dengan penghidupan (hak – hak ini dipandang sebagai hak untuk kepentingan pribadi). Sementara memberikan kepedulian kepada orang lain yang membutuhkan, adalah lebih baik daripada mementingkan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, hukumnya menjadi wajib untuk menolong orang yang membutuhkan meskipun kepada orang-orang non-Muslim.” Lihat Muhammad al-Syahhât al-Jundî, Qawâid al-Tanmiyah al-Iqtisâdiyyah fi al-Qânûn al-Duwaliy wa al-Fiqh al-Islâmîy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1985), h. 62.

Page 226: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

189

12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan adil

Dijelaskan dalam kitab al-Siyar al-Kabîr bahwa sebenarnya

wajib hukumnya atas kepala negara Islam untuk menolong

musta’min (orang bukan warga negara Islam yang mendapat

perlindungan di negara Islam) selama ia berada di negara kita,

membelanya dari orang-orang yang menzalimi mereka,

sebagimana kewajiban kepala negara Muslim terhadap

dzimmiy.

Imam al-Syarkhasyi memberikan argumen atas hal ini

dengan penjelasan berikut: “Karena mereka (musta’min) berada

di negara Islam, mereka berada dibawah yurisdiksi kepala

negara Muslim, maka status hukumnya sama dengan

dzimmyi.”236

Dengan demikian, adalah wajib untuk memberlakukan

keadilan bagi non-Muslim yang berada dalam perlindungan,

sekalipun mereka adalah pengungsi 237 . Sikap adil tersebut

mecakup dua hal:

236 al-Syaibânî, Syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, 1972 h. 1853. 237 Bahkan di dalam al-Qur’an terdapat 396 ayat yang mengisyaratkan secara khusus terhadap masalah

perlindungan dan mendahulukan bantuan terhadap mereka. 170 ayat di antaranya khusus berbicara tentang orang-orang yang berada di tempat yang berbahaya atau terancam, 20 ayat berkaitan dengan hijrah dan keamanan, 12 ayat tentang suaka, 68 ayat berkaitan dengan zakat dan berbuat baik. Demikian pula terdapat sekitar 850 Hadis Nabi yang berkaitan dengan perlindungan dan keamanan. Berdasarkan hal itu Kirsten Zaar berkata: “Hak seluruh umat manusia untuk menikmati perlindungan dan bantuan, dan kewajiban untuk melindungi dan membantu mereka yang membutuhkan, termasuk mereka yang dipaksa pindah, adalah salah satu kelebihan lembaga-lembaga Syariat Islam yang dapat disimpulkan baik melalui interpretasi harafiah dari teks-teks Syariat dan dengan qiyas (analogi)". Dia menambahkan, (h. 9-11) "Syariat Islam menetapkan kewajiban untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada orang yang membutuhkan" Lihat: Kirsten Zaar: Perlindungan Migran Paksa dalam Syariat Islam, Masalah Baru dalam Penelitian Pengungsi, Kertas Penelitian No. 146, UNHCR, Desember 2007, h. 6, Rujukan 30; h. 7-8 Rujukan 32.

..

Page 227: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

190

Pertama: Bersikap adil terhadap orang yang terzalimi di negara

Islam.

Kedua: Bersikap adil terhadap mereka yang teraniaya oleh non-

Muslim (dari segala bentuk penganiayaan militer; atau

melakuakan perlindungan diplomatik untuk mempertahankan

hak-hak mereka). Pendapat ini dikuatkan oleh kalam Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S..al-Mumtahanah/60:8).

Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini berlaku kepada pengungsi

karena menurut definisinya, para pengungsi termasuk orang-

orang sipil biasa (bukan tentara perang) dan tidak terkait dengan

tindakan pengusiran kaum Muslim dari negerinya.

Page 228: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

191

BAB V

FAKTOR YANG MENGHALANGI HAK

PENCARIAN SUAKA

MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

Yang dimaksudkan sebagai ”faktor yang menghalangi”

seperti tersebut diatas adalah hal-hal yang dapat mempengaruhi

hak untuk mendapat suaka, baik pada saat kemunculan,

keberlangsungan maupun keberakhirannya, misalnya hal-hal

yang sedari awal menghalangi pemberian suaka (golongan

individu yang tidak berhak mendapat status pengungsi), hal-hal

yang mengakibatkan pembatasan jangka waktu suaka yang

diberikan (perlindungan sementara), atau hal-hal yang berujung

pada adanya solusi permanen dan berakhirnya suaka (solusi

jangka panjang dan penghentian suaka).

I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka:

orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi

Terdapat sejumlah golongan orang yang tidak berhak

mendapatkan suaka karena mereka memang tidak layak

untuk itu.

Page 229: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

192

A. Menurut Syariat Islam

Jelaslah bahwa ketentuan ketiga yang disebutkan dalam

Pasal 1 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi belum

dikenal pada masa awal sejarah Islam karena PBB baru

didirikan pada tahun 1945, yakni 14 abad setelah

kemunculan Islam. Akan tetapi, karena negara-negara Islam

adalah juga anggota PBB dan oleh karenanya mereka secara

otomatis menjadi negara pihak dari Piagam yang

melahirkan organisasi dunia itu, ketentuan ini berlaku pula

bagi negara-negara Islam dan wajib diterapkan oleh mereka.

Sedangkan dua ketentuan lainnya yang menyangkut

tindak pidana berat, baik dilakukan dengan satu cara

ataupun cara lainnya, akan dipaparkan dalam penjelasan

berikut ini :

A.1. Larangan memberikan suaka kepada pelaku tindak

kejahatan non-politik

Terdapat larangan memberikan suaka kepada

pengungsi yang merupakan pelaku tindak kejahatan,

terutama tindak kejahatan yang diancam dengan sanksi

pidana hadd (sanksi hukum yang telah baku dalam al-

Qur’an dan Hadis), seperti pembunuhan dengan sengaja

tanpa alasan yang dibenarkan. Ini merupakan ajaran otentik

Syariat Islam.

Page 230: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

193

Faktor penyebab ini dipegang teguh umat Islam dan mereka

terapkan di dalam kehidupan sosial mereka sejak dekade

awal sejarah negara Islam dan masa-masa sesudahnya.

Dalam kaitan ini, penulis mengemukakan 2 (dua) indikator

penting.

(a) Tidak memberikan suaka kepada pelaku tindak

kejahatan, sesuai dengan perjanjian internasional

Apabila terdapat perjanjian yang melarang negara Islam

memberikan hak suaka kepada golongan individu

tertentu, dan perjanjian itu tidak bertentangan dengan

sumber dan dalil Syariat Islam maka negara Islam wajib

mematuhi perjanjian tersebut karena prinsip kesucian

perjanjian dan kewajiban penunaian perjanjian

merupakan prinsip yang sangat sulit dilepaskan dari

Syariat Islam.

Sebagai contoh, perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad

SAW untuk mengikat kaum Muhâjirîn dan Ansâr, yang

mengikutsertakan Yahudi: :

“ Sesungguhnya bagi orang yang telah menyepakati perjanjian dan beriman kepada Allah serta Hari Kiamat tidak boleh menolong orang yang bersalah dan memberi perlindungan kepadanya. Siapa saja yang menolongnya atau memberikannya perlindungan maka ia terkena

Page 231: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

194

laknat dan murka Allah pada Hari Kiamat kelak, tidak dipalingkan darinya sedikitpun.”238

Contoh lainnya, surat ‘Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn

Nasîr kepada Raja Tadmîr, raja Oreolah, Andalusia

(Spanyol) Utara:

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini surat Abd al-‘Azîz ibn Mûsa ibn Nasîr kepada Raja Tadmîr, bahwa ia siap berdamai dan ia punya perjanjian dengan Allah dan jaminan Nabi SAW; ia tidak boleh melindungi budak yang kabur, tidak boleh melindungi musuh, tidak boleh menakut-nakuti orang yang terlindungi, dan tidak boleh menyembunyikan informasi tentang musuh yang ia ketahui.”239

Contoh lainnya juga, surat Khalifah ‘Umar ibn al-

Khattâb kepada Raja Romawi, yakni pada saat Iyâd bin

Nizzâr berangkat ke negeri Romawi di tengah-tengah

momen penaklukan Jazirah Arabia:

“Telah sampai (informasi) kepadaku bahwa seorang

tokoh terkemuka bangsa Arab telah meninggalkan negeri

238 Lihat Majmû‘ah al-Watsâiq al-Siyâsiyyah, Bab Nomor 22, al-‘Umarî, Akram Dhiya’, al-Sîrah al-

Nabawiyyah al-Sahihah (Muhawalah li Tatbîq Qawâid al-Muhaddisin fi Naqd Riwâyât Sîrah), Jilid 1, h. 283; dan Ibrahim ‘Ali, Sahih al-Sirah al-Nabawiyah (Jordan: Dâr al-Nafâis, t.th), cet. ke-6, 1423 H/2002) h. 205, al-Sîrah al-Nabawiyah karya Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 301. Di antara contohnya adalah peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar bin al-Khattab ketika ia mengutus Suwaid bin Maqran ke Tabaristan (terletak di selatan Laut Kaspia dan masuk wilayah Republik Islam Iran sekarang), lalu ia menulis surat kepada penduduk Tabaristan yang berbunyi: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah tulisan Suwaid bin Maqran kepada Farkhan Ashbadz Khurasan yang berkuasa atas Tabaristan… . Sesungguhnya engkau aman dengan perlindungan Allah untuk mempertahankan atas tanahmu dengan suaramu dan penduduk sekitarnya, maka para pemberontak tidak akan kami lindungi.”, Muhammad al-Khudari, Itmâm al-Wafâ’ fi Sîrah al-Khulafâ’, h. 88-89.

239 Lihat Muhammad Hammadah, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al-Andalus wa Syimâl Afriqiyya, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1400 H/1980), h. 120.

Page 232: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

195

kami dan mendatangi negerimu. Demi Allah keluarkan

mereka dari negerimu atau masukkan mereka ke

komunitas Nasrani, kemudian kami akan usir mereka ke

negerimu.” Maka, Raja Romawi mengeluarkan mereka

dari negeri Romawi.”240

Alhasil, pemberian suaka kepada seseorang

terkadang terkait dengan perjanjian yang dibuat terhadap

orang tersebut. Tatkala perjanjian telah disetujui maka

perjanjian menjadi wajib ditaati dengan syarat-syarat

yang ada dalam kesepakatan itu karena terkadang

perjanjian dalam beberapa kondisi tidak dapat diikuti,

dan bahkan dapat menimbulkan adanya pengaruh-

pengaruh lain. Di dalam beberapa pergaulan kaum

Muslimin ada hal – hal yang menunjukkan kondisi itu.

Tatkala Secularus berlindung kepada Kerajaan

Romawi setelah perang dengan musuhnya, ia meminta

perlindungan ke negera Muslim lalu membuat perjanjian

dengan Simsam al-Daulah termasuk perjanjian berikut:

“Kamu butuh perlindungan dengan mediasi saudara kami

dan panglima perang kami, Abi Harb Rabar ibn

Sarahrakoub. Pikirkan keadaanmu sendiri dalam masa

tinggal dan kebebasanmu yang panjang untuk kembali ke

240 Lihat Ahmad Zakiy Safwât, Jamharat Rasâ’il al-‘Arab, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.),

Jilid I, h. 234.

Page 233: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

196

negerimu. Karena itu, ketika kamu telah mendapat jalan

dan mendapat peluang kembali ke negerimu untuk

memegang kekuasaan kembali, maka pelindung kami

harus menjadi pelindungmu dan musuh kami menjadi

musuhmu, berdamai ketika kami berdamai, dan

berperang ketika kami berperang. Kamu harus ikut

mempertahankan kota-kota pelabuhan kami dari

serangan musuh dan wilayah lain di bawah kekuasaan

kami dan orang-orang yang masuk dan tunduk kepada

kekusaan kami. Jangan pernah kamu mengirim pasukan

untuk menyerang mereka, jangan pernah menginvasi

mereka, jangan pernah mengumumkan perselisihan atau

konflik terhadap mereka, dan jangan pernah melakukan

tipu daya secara terang-terangan atau sembunyi-

sembunyi. Jangan pernah menyakiti atau melukai mereka

secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.”241

Demikian pula dalam menerima para pengungsi,

sebaiknya suatu negara mengikuti ketentuan yang

mengikuti perjanjian internasional yang telah disepakati

oleh negara asal pengungsi tersebut.242

241 Disebutkan dalam Muhammad Mâhir Hammâdi, al-Wasâiq al-Siyâsiyyah wa al-Idâriyyah fi al-

Andalus wa Syimâl Afriqiyya, (Beirut 1400 H/1980M) h. 321 242 Misalnya, Raja Lyon yang dikucilkan dari gereja karena dituduh sebagai pengkhianat oleh Paus,

dan Paus meminta kepada Raja Portugal untuk memeranginya. Raja Lyon pun menuju Seville, untuk mencari suaka kepada Khalifah al-Mansur dan meminta bantuan tentara dan uang. Meskipun Khalifah memberikan sambutan yang baik kepadanya karena Islam melarang perbuatan semena-mena kepada seorang raja, tapi dia tidak mengabulkan permintaan suaka, karena adanya perjanjian gencatan senjata dan perjanjian damai antara

Page 234: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

197

(b) Tidak boleh memberikan suaka kepada pengungsi

yang terlibat tindakan kejahatan serius yang

dilakukan di negara asalnya.

Tujuan utama dari pemberian suaka ialah

melindungi seseorang dari penganiayaan yang mungkin

menimpanya bila ia harus tinggal di negara asalnya atau

di tempat lain. Oleh karena itu, seharusnya seorang

pengungsi tidak boleh terlibat tindakan kejahatan serius,

lalu ia ingin mencari suaka untuk bebas dari hukuman

(yakni menikmati impunitas). Dalam hal ini, al-Haitami

menganggap tindakan melindungi mereka dari upaya

orang-orang yang berusaha menebus hak dari mereka

sebagai dosa besar. Yang dimaksud mereka di sini adalah

orang yang melakukan suatu pelanggaran pidana menurut

Syariat Islam. Hal ini diperkuat oleh Hadis yang

diriwayatkan dari 'Ali ibn Abi Tâlib: "Allah melaknat

orang yang menyembelih dengan selain nama Allah.

Allah melaknat orang yang mengutuk orang tuanya.

Dinasti al-Muwahhidin dan Raja Castile. Lihat Dr Abdul Hadi al-Tazi, al-Tarîkh al-Diblûmasiy fi al-Magrîb min Aqdam al-'Usûr ila al-Yaum, (t.t.p: Matâbi’ al-Fadalah al-Muhammadiyyah, 1407 H/1987 M), Jilid VI, h.66.

Bila tidak ada perjanjian internasional yang melarang pemberian suaka, maka aturan yang berlaku bahwa semua tindakan pada dasarnya diperbolehkan (mubâhât), yaitu apa yang tidak tegas dilarang, diperbolehkan. Oleh karena itu, suaka dapat diberikan dalam kasus tersebut. Jadi, Abû Syâmah mengatakan bahwa penguasa Tripoli (Libya) pernah minta suaka kepada Sultan Dinasti al-Ayyubi, Salahuddin (Saladin), lalu ia masuk Islam dan Sultan Salahuddn mendukungnya. Lihat Abu Syamah ‘Uyun ar-Raudatain fi Akhbâr al-Daulatain al-Nuriyyah wa al-Salahiyyah, (Damaskus: Wizârat al-Tsaqâfah, 1992), Jilid II, h 131.

Page 235: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

198

Allah melaknat orang yang memindahkan patok tanah.243

Karena Islam tidak mengizinkan kezaliman dalam bentuk

apapun, maka Islam tidak menyetujui pemberian suaka

kepada orang-orang semacam ini, 244 khususnya bila

pengungsi tersebut seorang kepala negara atau pengambil

keputusan atau para pelaku kriminal berbahaya.

Dalam nada yang sama, Ibn Taimiyah

mengatakan:245

"Hal yang biasa terjadi ialah banyak kepala suku dari

desa atau perkotaan yang dimintai suaka oleh seseorang

yang mengalami kesulitan; atau orang yang memiliki

hubungan keluarga atau pertemanan. Didorong oleh

tradisi Jahiliah atau arogansi kelompok, dan mengejar

popularitas, mereka membantunya, meski ia adalah

seorang penindas batil, dengan memperlakukannya

sebagai korban yang dizalimi, terutama jika pimpinan

243 Lihat Sahih Muslim, Hadis No.1978, Jilid 3 h. 1567; dan Musnad Iman Ahmad, musnad Ali ibn Abi

Thalib, Hadis No. 855, Jilid 2 h. 212. 244 Dalam interpretasi Hadis Nabi Muhammad SAW:

Setiap Muslim adalah sama di dalam darah; terendah-peringkat di antara mereka dapat memberikan keamanan dan zimma (jaminan) satu dengan lainnya. Tidak akan pernah seorang muslim dibunuh karena membunuh orang kafir dan tidaklah orang di bawah perjanjian damai dapat dibunuh selama ia mematuhi perjanjian. Orang yang melakukan pelanggaran akan bertanggung jawab untuk itu. Mereka yang melakukan pelanggaran atau melindungi pelaku akan mendapat kutukan Allah, malaikat dan semua orang.

Imam al-Khattabî menyatakan: Perkataan Nabi SAW “Orang yang memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan akan mendapat kutukan Allah” mengandung makna bahwa orang yang memberikan perlindungan kepada pelaku kriminal, atau memberikan perlindungan diri pelaku kriminal dari seterunya atau menghalanginya dari hukuman qisâs, maka ia akan mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua orang. Imam al-Khattabî, Ma'âlim al-Sunan, Jilid 4, h. 16-19.

Untuk arti ungkapan siapa memberikan perlindungan kepada pelaku dosa, Lihat Ibn Hajar al-Asqalânî Fath al-Bâri bi Syarh Sahih al-Bukhârî, Jilid 13, h. 239-240.

245 Ibn Taimiyah, Majmû’ah Fatâwa Ibn Taimiyah, Ibn Qâsim al-Najdî (ed.), (Riyadh: Matâbi’ al-Hukûmah, 1381 H), Jilid 28, h. 326-327.

Page 236: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

199

orang-orang tadi dianggap sebagai musuh mereka. Dalam

hal ini mereka berpikir bahwa menyerahkan pencari

suaka kepada musuh akan menjadi tanda kehinaan dan

kelemahan. Ini merupakan sikap Jahiliah, salah satu

bahaya terbesar untuk agama dan dunia ini. Telah

diriwayatkan bahwa inilah yang sering menjdi sebab

pemicu perang sipil antar suku Arab dalam masa pra-

Islam, seperti perang Basus, perang antara Bani Bakar

dan Taghlib, dan sebagainya. Faktor ini pula penyebab

intervensi orang-orang Turki dan Mongol ke wilayah

Islam dan penguasaan wilayah Mesopotamia dan

Khurasan.

Ibnu Taimiyah menambahkan, untuk menguatkan

pendapat terdahulu:

" Ini adalah tugas setiap orang untuk memberikan bantuan

dan perlindungan bagi orang yang mencari perlindungan,

jika ia terbukti benar-benar terzalimi. Seorang pria tidak

akan dinilai sebagai terzalimi hanya berdasarkan klaim

mereka sendiri. Sering terjadi orang mengadu, meskipun

mungkin dirinya sendiri adalah orang zalim. Seharusnya

ia diverifikasi dahulu kepada lawannya atau sumber

lainnya. Bila ia terbukti menjadi orang zalim, maka ia

akan ditolak dengan cara halus dan jika memungkinkan

Page 237: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

200

dengan perdamaian atau penilaian yang adil, atau bila

tidak memungkinkan baru dengan tindakan keras."246

A.2. Diperbolehkannya ektradisi pengungsi

Menurut Syariat Islam247 pengungsi dapat diekstradisi dalam dua

kasus:

246 Cerita berikut menunjukkan di mana pencari suaka dengan secara terpaksa meminta perlindungan

setelah melakukan tindakan kejahatan di negara asalnya ketika mereka memiliki kekuasaan. Contohnya, ketika Bani Marwan (Dinasti Umayyah) melarikan diri ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy), ketika Abbasiyyah mengambil alih kekuasaan. Kaisar Ethiopia bertanya, “Apa yang membawa Anda ke sini?”. “Penguasa baru telah mengubah nasib kami, maka kami mencari suaka kepada Anda.” jawabnya. Lalu Kaisar berkata, “Anda mengklaim Nabi Anda melarang minum arak, tapi mengapa Anda meminumnya”. Ia berkata: ‘Yang melakukan hanyalah orang-orang tak bermoral diantara kami”. Kaisar berkata lagi “Anda mengatakan bahwa dilarang berpakaian sutra, mengapa Anda memakainya?. Bani Marwan berkata: “Hanya beberapa pengikut kami saja yang melakukan”. Kaisar berkata: “ Dan ketika Anda berangkat untuk berburu burung gereja, Anda mengepung desa-desa, merebut harta milik mereka, dan merusak perkebunan mereka.” Jawab mereka: “Hanya orang bodoh yang melakukannya”. Kaisar berkata: “Tidak, demi Allah. Akibat kesalahan-kesalahan itu, Anda telah melakukan dosa terhadap Tuhan, sehingga Ia lucuti kekuasaan Anda“. Lihat Ibn al-Jauzi, al-Syifâ’ fi Mawa’iz al-Muluk wal-Khulafâ ', tahqîq Fu'ad ‘Abd al-Mun'im, (Iskandariyah: Mu'assasat Syabâb al-Jâmi'ah, 1398 H/1978 M), h. 60.

Dalam hal ini kami juga mengutip pendapat Ibn Syâhin bahwa seorang raja "tidak boleh bersikap penuh kedekatan kepada setiap buronan dari seorang raja rekan, atau mengungkapkan rahasia raja rekan kepadanya, tetapi harus menghormati dan menjauhi sikap demikian. Bila ia melarikan diri dari raja musuh, dia harus berhati-hati karena bisa jadi buronan tadi mungkin bertindak tidak terpuji kepada tuannya; atau ia membuat intrik untuk mendapatkan informasi tentang keadaan di negara suaka dan kemudian melaporkan kepada rajanya. Atau buron mungkin dapat berdampak kepada demoralisasi pada prajurit. Jika buronan melarikan diri dari seorang raja, maka bersikap diam dan tidak terlalu dekat kepadanya adalah upaya menghindari bahaya. Mengenai seorang buronan yang dijatuhi hukuman mati, berusaha berlindung pada raja negara suaka, kami telah jelaskan sebelumnya terkait perkataan Amirul Mukminin, “Engkau jangan sekali-kali mengabaikan hukuman yang telah ditentukan Allah. Jika buronan memiliki dosa dan kemudian bertobat, upaya-upaya harus dilakukan untuk meminta permaafan sehingga ia bisa kembali ke tuannya.". Lihat Gars al-Dîn ibn Syâhin al-Zâhirî, Kitab Kasyf al-Zubdât Mamâlik Bayân wa al-Turuq wa al-Masâlik, tashîh Bolos Rawis, (Kairo: Dâr al-‘Arab al-Bustânî, 1988-1989), h. 60-61.

Ini berarti bahwa Ibn Syâhin menetapkan tiga aturan khusus untuk pengungsi: 1. Perlu kehati-hatian penuh, karena seorang buron yang datang ke negara Islam mungkin telah dikirim untuk

tujuan lain; misalnya untuk mengumpulkan informasi. Dengan demikian, Ibn Syahin telah meramalkan praktek yang digunakan oleh badan intelijen modern dalam menyebarkan orang kepada negara-negara lain secara rahasia dalam penyamaran sebagai pengungsi politik, pembangkang, atau terdakwa yang dicari untuk diadili atas kejahatan yang dilakukan.

2. Jika buron telah melakukan suatu kejahatan yang diancam hadd, maka raja harus memulangkannya, mengingat dia diperlukan agar tidak mengganggu penegakan hukuman yang ditentukan Ilahi (hudûd). (Rupanya Ibn Syâhin membatasi ketentuan ini dalam hubungan antar negara Islam yang mengadopsi konsep hudûd.)

3. Jika pelakunya bertobat dari tindakan yang telah dilakukan (misalnya, dengan tidak menyerang rezim di negara asalnya dan mundur dari ajakan untuk menggulingkan pemerintah), maka negara Islam mungkin ikut campur dan meminta amnesti bagi dia atau memulangkan dia asalkan ada jaminan bahwa ia tidak akan dihukum dalam kasus ini. Lihat Dr Ahmed Abu al-Wafa, Kitab al-I’lâm bi al-Qânûn Qawâîd al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, Jilid XIV, h. 555-556.

Page 238: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

201

(a) Ektradisi pengungsi pelaku kriminal: Sejauh mana

ekstradisi pelaku kriminal diperbolehkan dalam

Islam

Idealnya, seorang tersangka pelaku tindak kriminal,

diadili dalam persidangan di negara tempat ia berbuat

tindakan tersebut. Sebab dengan demikian, proses lainnya

akan lebih mudah dilaksanakan, seperti pengadaan barang

bukti, pendengaran pernyataan para saksi, inspeksi ke

Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan penelitian terhadap

kondisi – kondisi lainnya. Namun kenyataannya, banyak

negara di dunia ini tidak mau menyerahkan atau tidak

memprioritaskan penyerahan warga negaranya ke negara

lain untuk diproses di pengadilan sesuai dengan undang-

undang yang berlaku. Bagaimana pandangan Syariat Islam

dalam hal ini ?

Ada 2 (dua) aspek pokok dalam Syariat Islam khususnya

terkait dalam kasus bila pelaku kriminal tersebut seorang

Muslim yang melakukan kejahatan di dar al-harb (negara

yang sedang berkonflik dengan Negara Islam) kemudian ia

lari ke negara Islam.

i. Aspek yang pertama: “Aspek Personalitas”:

Dimungkinkan penetapan hukuman dalam kondisi ini,

247 Lihat juga “Extradition Problems Affecting Refugees ” dalam Conclusions on the International

Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Cairo, 2004, 39, No. 17 (XXXI)

Page 239: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

202

karena setiap Muslim wajib tunduk kepada Syariat Islam

dimanapun ia berada. Mayoritas ulama berpendapat

demikian.

ii. Aspek kedua: ”Aspek Teritorial”: Dapat dilihat bahwa

hukuman terhadap tindak pidana menjadi tergantung

pada eksistensi yurisdiksi Islam pada saat terjadinya

tindak pidana itu. Bila yurisdiksi ini tidak ada di wilayah

dar al-harb, maka seorang Muslim tidak dapat dihukum

karena tindakan yang dilakukannya (di luar negara

Islam). Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi.

Akan tetapi apakah boleh, terkait dengan kewajiban ini,

menyerahkan seorang Muslim atau dzimmiy ke dar al-harb

untuk diadili karena kejahatan yang dilakukannya disana

walaupun dalam rangka penerapan perjanjian internasional?248

248 Mantan Mufti Republik Arab Mesir, Prof. Dr. Nasr Farîd Wâsil mendukung ekstradisi Osama bin

Laden dengan alasan-alasan berikut: "Perang melawan Afghanistan menjadikan orang sipil tak berdosa dan lemah sebagai sasaran. Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini tidak ada keberatan dari perspektif Syariat Islam, Osama bin Laden menyerahkan diri karena oleh Amerika Serikat karena dianggap sebagai terdakwa utama tindakan terorisme di New York dan Washington, agar diadili dalam rangka menjaga perdamaian dunia dan keselamatan orang Afghan. Sebagai alternatif, rezim Taliban yang memberinya tempat berlindung, dapat menyerahkannya ke pengadilan di bawah Organisasi Islam Internasional atau badan yang netral di bawah pengawasan internasional untuk memastikan bahwa ia akan diadili secara adil, dengan menyelamatkan warga sipil Afghanistan yang lemah dan telah menjadi korban untuk penindasan dan agresi. Jadi, jika penghentian perang melawan Afghanistan dan pemulihan perdamaian internasional memerlukan ekstradisi Osama bin Laden, ia harus menyerahkan diri kepada suatu badan internasional di mana keadilan dapat ditegakkan oleh pengadilan yang adil, sebagaimana diabadikan oleh hukum universal yang diakui syariat-syariat agama Samawi dan kesepakatan hukum internasional. Yang penting bahwa pengadilan yang adil harus dipastikan dan Osama bin Laden harus memiliki kesempatan untuk membela diri dan menyerahkan bukti-bukti untuk membantah tuduhan terhadap dirinya. Akan tetapi apabila ada kebutuhan mendesak yang berarti bahwa kebenaran tidak dapat diungkap atau keadilan dapat ditegakkan kecuali bila sidang dilakukan oleh seorang hakim Muslim, dalam hal ini Osama bin Laden harus diadili di depan pengadilan Islam ... "Lihat Nasr Farîd Wâsil, “ Mufâja’ah Yufajjiuraha Mufti al-Jumhûriyyah: Taslîm Bin Laden li-Amrika Wâjib bi Syurût’ “, Jarîdah Saut al-Azhar, 23 Sya'ban, 1422 H/November 9, 2001, h. 3.

Page 240: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

203

Dalam hal ini, Syekh Muhammad Abu Zahrah berpendapat

bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai

berikut:

i. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang

Muslim tidak boleh diadili oleh hakim non-Muslim.

ii. Kesepakatan para ahli Syariat Islam bahwa seorang

Muslim tidak boleh diadili dengan hukum yang tidak

berdasar al-Qur’an dan Sunnah Nabi.249

(b) Ekstradisi sebagai penerapan perjanjian internasional

Jika sebuah negara Islam terikat dengan perjanjian

internasional yang memungkinkan untuk mengekstradisi

seseorang, maka tidak diragukan lagi negara tersebut harus

menghormati kewajibannya, mengingat bahwa pemenuhan janji

adalah aturan dasar Syariat Islam.250

249 Syekh Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabî,t.th.), h. 382-383. Hal

senada dijelaskan pula oleh Mahmûd Ibrâhim Dik, al-Mu’âhadât fi al-Syarî’ah al-Islamiyyah wa al-Qanûn al-Duwalî al-‘Âmm, (Dubai: al-Bayân al-Tijâriyah, h. 352-354.

Seorang ahli menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengatur tentang ekstradisi para pelaku kriminal berdasarkan kalam Allah:

“Barang siapa membunuh sebuah jiwa tanpa alasan yang benar atau membuat kerusakan di atas bumi, maka seolah-olah ia membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memberikan kehidupan kepada seorang manusia maka seolah-olah ia memberikan kehidupan kepada seluruh manusia”. (Q.S. al-Mâ’idah/5: 32). Ini berarti bahwa keadilan harus merata, dan penjahat harus dihukum.

Dia menambahkan: “L'islam pose, le premier, le Principe de l'ekstradisi, en indiquant de la Facon la rationnelle et la, la sur

laquelle dasar Noelle fondée est. En effet, il est dit dans le Quran (SV ay. 32): «Celui qui aura un homme tue sera regardé meurtrier du genre humain», n'est - ce pas la de l'indivisibilité justice de la et de la nécéssité de punir les coupables, nonobstant les politiques et les Frontières teori basées sur la theories de la souveraineté des Etats et la territorialité, des lois pénales “. Lihat A. Rechid, L'Islam et le droit des gens, RCADI, 1937, II, h. 434.

Menurut Hamidullah:”Jika orang dari negara Muslim melakukan kejahatan di negara luar, meskipun tindakan kejahatan tersebut dilakukan untuk melawan non-Muslim, maka kasus mereka tidak dapat diadili dalam pengadilan Muslim, meskipun mereka mungkin akan diekstradisi jika ada perjanjian yang efektif. Hamidullah, Muslim Conduct State, Sh. M. Ashraf, (Lahore:tp. 1945), h. 178.

250 Lihat juga al-Mâwardî, al-Hâwi al-Kabîr, Jilid 18, h. 412, 426.

Page 241: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

204

Hal ini dapat disimpulkan dari insiden yang terjadi setelah

Perjanjian Hudaybiyyah, ketika Abu Basir datang kepada Nabi

Muhammad SAW, lalu suku Quraisy mengirim dua orang

untuk meminta ekstradisi. Nabi Muhammad SAW berkata

kepada Abu-Basir, "Wahai Abu-Basir, kami telah memberikan

orang-orang ini apa yang anda tahu (perjanjian)251 dan dalam

agama kami, pengkhianatan tidak pantas bagi kami. Allah Yang

Maha Kuasa akan memberikan anda dan orang-orang yang

lemah jalan keluar dan melepaskan dari penderitaan. Jadi

kembalilah kepada kaummu". Abu Basir berkata: "Wahai

Rasulullah, apakah engkau akan mengembalikan saya kepada

orang-orang kafir untuk membujuk saya keluar dari iman? Nabi

Muhammad SAW menegaskan: “Wahai Abu-Basir, pulanglah

kepada kaummu, karena Allah akan memberikan kamu dan

orang-orang yang lemah jalan keluar dan melepaskan diri dari

penderitaan”. Maka Abu-Basir kembali ke kaumnya. Kemudian

orang-orang Islam mulai tidak membiarkan orang mengunjungi

suku Quraisy. Akibatnya orang Quraisy menderita kerugian

akibat apa yang mereka dilakukan. Lalu suku Quraisy menulis

surat kepada Nabi Muhammad SAW meminta untuk membawa

mereka ke Madinah. Kemudian ayat al-Qur'an turun

menggantikan kata ketentuan dalam hal pemulangan wanita-

251 Perjanjian yang disepakati kedua pihak adalah: ”Apabila salah seorang dari kami, bahkan yang

seagama denganmu (Islam), datang kepadamu, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami.”

Page 242: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

205

wanita Mukmin,252 Nabi Muhammad pun membuat ketentuan

yang melarang ekstradisi wanita-wanita Mukmin.

Namun, dapatkah dikatakan bahwa ada pertentangan antara

prinsip yang disebutkan sebelumnya mengenai tidak

memperbolehkan ekstradisi pengungsi dan peristiwa yang

terjadi selama perjanjian Hudaybiyyah?. Yakni ketika umat

Islam memulangkan pengungsi dari Mekkah, meski mereka

Muslim. Sementara itu orang Quraisy tidak akan mengizinkan

Muslim masuk ke tanah mereka?

Realitasnya, apabila ditinjau dari pengamatan yang

sederhana pertentangan itu memang ada. Namun bila ditinjau

secara mendalam, pertentangan itu tidak ada, didasari dengan

dua alasan berikut:

(1) Menurut Syariat Islam, pemenuhan janji merupakan suatu

prasyarat yang wajib.

252 Ketentuan itu berdasarkan ayat “ujian” di dalam suarat al-Mumtahanah ayat 10. Ayat itu berbunyi

sebagai berikut: Hai orang-orang beriman! Ketika ada datang kepada kamu pengungsi wanita yang beriman, ujilah

mereka: Allah tahu yang terbaik untuk iman mereka: jika kamu memastikan bahwa mereka beriman, janganlah mengirimkan mereka kembali kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal (sebagai istri) untuk orang-orang kafir, atau orang kafir tidak halal (suami) untuk mereka. bayarlah kepada orang-orang kafir apa yang mereka telah menghabiskan (pada mahar mereka). Dan tidak akan ada atas kamu jika kamu menikahi mereka. (Q.S. al-Mumtahanah/60:10).

Mengomentari hal itu Ibn Hisyâm berkata: “Seandainya tidak ada ketentuan Allah tentang hal itu, Nabi Muhammad SAW akan memulangkan wanita-wanita Quraisy seperti yang dilakukannya dengan pria. Dan kalau bukan karena gencatan senjata dan perjanjian damai dengan Quraisy di Hudaybiyya, beliau akan tetap menahan wanita-wanita itu dan menjadikannya tebusan. Ini adalah sikap Nabi SAW terhadap wanita-wanita muslim sebelum adanya perjanjian. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid 2, h. 326-327.

al-Hâzimî mengatakan tentang tidak dapat diterimanya pemulangan wanita: “Ada sebuah dalil bahwa jika kepala negara membuat syarat dalam perjanjian yang tidak boleh dilakasanakan karena bertentangan dengan agama, maka syarat itu dianggap batal. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW: “Setiap ketentuan yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka ketentuan itu batal.” Lihat Muhammad ibn Mûsa al-Hâzimî, al-I'tibâr fi Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Âtsâr, op cit, h. 332.

Page 243: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

206

(2) Namun, ini tidak boleh bertentangan dengan prinsip dasar

Islam. Hal yang harus dipenuhi adalah musta’min dijamin

keselamatannya serta keamanan hidup dan harta miliknya.

Hal ini membawa kita untuk mengatakan bahwa ekstradisi

dapat diterima dalam Islam setelah adanya perjanjian antara

negaranya dengan negera Islam. Bila tidak ada perjanjian,

maka orang tersebut tidak dapat diekstradisi, karena bila

tetap diekstradisi, maka hal itu akan dianggap sebagai

pengkhianatan dan pelanggaran hak aman yang sudah ada

sebelumnya, mengingat bahwa tinggal terus-menerus tanpa

perjanjian adalah tanda kerelaannya untuk tunduk kepada

hukum-hukum yang berlaku di negara Islam.

Menurut pendapat kami, kepala negara Islam harus

menetapkan untuk musta'min, waktu untuk kembali ke negara

asalnya atau tempat lain pilihannya, demikian untuk

mempertahankan “aman” yang diberikan kepadanya, dalam

penerapan prinsip tidak boleh ektradisi ke tempat di mana ada

kekhawatiran akan dianiaya253 dan dalam rangka pencegahan

pengkhianatan dalam bentuk apapun.

253 Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa ekstradisi oleh negara atas warga negara dari sebuah

negara asing untuk dipulangkan ke negara mereka, tidak bertentangan dengan perjanjian “aman” atau Syariat Islam, karena “aman” yang diberikan kepada musta'min, apabila ada perjanjian ekstradisi, telah memenuhi syarat dengan kondisi implisit (dimnî) yakni memulangkannya ke negaranya, jika ada permintaan dan syarat-syarat untuk ekstradisi terpenuhi. Lihat Dr `Abd al-Karîm Zaydân, Ahkâm al-Dzimmiyyîn wa al-Musta’minîn fî Dâr al-Islâm, (Baghdad; Maktabah al-Quds, Beirut: Mu'assasât al-Risâlah1402 H/1982 M), h.121

Bahkan kita percaya bahwa ini dapat terjadi hanya jika perjanjian ekstradisi disepakati sebelum pemberian hak “aman”. Dalam hal demikian, ekstradisi akan berlaku di bawah syarat yang jelas dan didasarkan pada pengetahuan sebelumnya oleh musta'min tersebut. Di sisi lain, jika perjanjian ekstradisi itu disepakati setelah pemberian hak aman, maka musta’min tidak dapat diekstradisi, tetapi ia akan ditawarkan pilihan untuk

Page 244: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

207

Preseden perjanjian Hudaybiyyah menunjukkan dua

pertimbangan:

Pertama: Negara Islam boleh mengektradisi Muslim jika terikat

dalam perjanjian internasional, asalkan ia telah memasuki

wilayah Islam setelah ratifikasi perjanjian.

Kedua: Dia yang masuk negara Islam sebelum ratifikasi

perjanjian internasional, tidak dikenakan ketentuan ekstradisi

karena tidak adanya kesepakatan yang tersedia terkait hal itu.254

Selain Perjanjian Hudaybiyyah, terdapat pula sebagai contoh

dari sebuah perjanjian internasional yang ditandatangani oleh

negara Islam untuk mengekstradisi orang tertentu. Banyak

contoh yang dapat ditelusuri dalam praktek negara-negara

Islam.255

diantar ke tempat di mana ia merasa aman. Dalam kasus ini, tidak bisa dikatakan bahwa adanya “syarat dimnî" dibenarkan untuk ekstradisi. Dalam pandangan kami, ini adalah pandangan asumtif yang tidak sesuai dengan kenyataan.

al-Syaukânî mengatakan, "Ketahuilah bahwa kembalinya orang-orang kafir yang melarikan diri ke tanah Muslim, yang ingin memeluk Islam, jelas bertentangan dengan ketentuan Syariat dan persyaratan kehormatan Islam. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika penguasa cenderung untuk percaya bahwa jika hal ini tidak dilakukan, akan terdapat kerugian jauh lebih besar oleh orang-orang kafir terhadap kekuasaan Islam. Lihat al-Syaukânî, al-Sail al-Jarrâr al-Mutadaffiq 'alâ Hadâi'q al-Azhâr. h. 537.

254 Pada saat perang Hudaybiyyah, dua orang budak datang kepada Nabi Muhammad SAW sebelum perjanjian perdamaian ditandatangani. Tuan-tuan mereka menulis kepada Nabi dan berkata, “Wahai Muhammad, mereka datang kepada anda bukan karena mencintai agama anda, tetapi dalam rangka lari dari perbudakan”. Beberapa sahabat Nabi berkata: “Mereka benar, wahai Rasulullah”. Nabi menjawab, “Anda kaum Quraisy, aku lihat kalian tidak akan dihalangi sampai Allah mengirimkan kepada kalian beberapa orang untuk memotong leher kalian untuk ini”. Dia menolak untuk mengembalikan mereka ke perbudakan, Nabi mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang dimerdekakan Allah” Lihat al-Khattabî, Ma‘âlim al-Sunan, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1401 H /1981 M), Jilid. 2, h. 295.

255 Salah satu contoh adalah perjanjian antara Muslim dan dengan bangsa Nubia yang menyatakan: “Kami dengan ini melakukan kontrak dan perjanjian agar kalian memberikan kepada kami tiga ratus kepala (sapi) setiap tahun; dan kalian boleh masuk ke negeri kami untuk transit bukan untuk tujuan tinggal. Demikian pula kami dapat memasuki negara kalian dengan ketentuan yang sama. Namun, jika Anda membunuh seorang Muslim, maka perjanjian ini akan dibatalkan; dan jika Anda memberikan suaka bagi budak yang dimiliki oleh umat Islam, maka kalian harus memulangkan budak Muslim yang lari atau dzimmî yang meminta suaka kepada

Page 245: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

208

Jika tidak ada perjanjian sejenis yang disepakati maka

urusannya dikembalikan kepada kebijaksanaan penguasa

dimana pengungsi berada di sana.256

kalian. Lihat Ibn ‘Abd al-Hakam, Futûh Misr wa al-Maghrîb, diedit oleh ‘Abd al-Mun'im Âmir, (Kairo: Lajnah al-Bayân al-‘Arabî, Bagian Sejarah), h. 254.

Contoh lain adalah perjanjian antara Sultan Mamluk dan Gubernur Acca yang berbunyi :"Setiap kali ada seorang yang secara sukarela lari dari wilayah di bawah kekuasaan Sultan dan putranya ke Acca, maka segala harta benda, pakaian dan barang – barang yang dibawanya, harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan (ke negara Sultan) dan orang tersebut ditinggalkan seadanya. Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Kristen, dia akan kembali ke pintu-pintu (negeri asalnya) beserta semua harta benda dengan pertolongan orang-orang yang dapat dipercaya setelah diberikan hak aman. Demikian juga, jika salah satu orang dari Acca atau kota-kota pesisir yang termasuk dalam perjanjian ini, datang dengan niat memeluk Islam lalu memeluk Islam dengan keinginannya sendiri, maka semua harta bendanya harus ditanggalkan daripadanya dan dikembalikan ke tempat asalnya, dan ia dibiarkan/ ditinggalkan seadanya (atas pilihannya). Jika ia tidak memiliki niat untuk masuk Islam dan ia benar-benar tidak mengubah agamanya, dia akan dikembalikan bersama dengan semua harta bendanya kepada pemerintah Acca dan diberikan bantuan setelah diberikan hak “aman” "Lihat al-Qalqasyandî, Subh al-A’syâ, Jilid 14, h.56-57.

Terdapat pula contoh perjanjian yang diratifikasi antara Raja Levon dari Cisse dan Sultan Qalawun yang berbunyi:

"Setiap kali ada orang melarikan diri dari negeri Sultan Qalawun, Raja Levon dan wakilnya harus menahan dan memulangkannya ke negeri Sultan ...Jika salah seorang rakyat, budak, atau tentara Raja Levon melarikan diri dan tetap mematuhi agamanya, maka wakil Sultan berjanji untuk memulangkannya. Tetapi jika ia memeluk Islam, maka harta benda yang dibawanya harus dikembalikan. Lihat Muhyi al-Dîn bin Abd al-Zâhir, Tasyrîf al-Ayyâm wa al-‘Usûr fî Sirah al-Malik al-Mansûr, diedit oleh Murâd Kâmil, (Kairo: Wizârah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Qaumî, 1961), h.100. Lihat juga h. 101: “Setiap kali sesuatu diambil atau seseorang dari salah satu pihak tewas, pelaku harus diekstradisi untuk dikisas”.

Contoh lebih lanjut dapat dilihat pada perjanjian antara al-Mansur Qalawun dan Rodrigon dari Barcelona dan saudaranya penguasa Sisilia, yang menyatakan :”Setiap kali seseorang dari negara-negara di bawah Sultan Qalawun yang terikat dengan perjanjian damai ini, melarikan diri ke wilayah Raja Rodrigon dan saudara-saudaranya atau membawa barang kepada pihak lain dan berada di negara-negara tersebut, Rodrigon akan mengembalikannya beserta harta yang dibawanya ke wilayah Sultan, selama dia tetap seorang Muslim. Jika ia pindah agama ke Kristen, maka harta benda yang dibawanya, baik yang miliknya sendiri atau yang ia peroleh dari kerajaan Rodrigon dan saudaranya, harus dikembalikan. Termasuk juga mereka yang lari dari negaranya memasuki teritori dibawah kekuasaan Sultan.. Lihat teks dalam Dr Muhammad Mâhir Hammadah, al-Watsâiq al-Siyâsiyah wa al-Idâriyah li al-‘Asr al-Mamlûkî, (Beirut: Muassasât al-Risâlah, 1403 H /1983 M), h. 490.

256 ` Ibn Tabâtiba menjelaskan tentang Dubays bin Shadaqah, penguasa Hillah dengan cara menceritakan kisah pemberian suaka Pangeran Abû al-Hasan, saudara Khalifah al-Mustarsyid: “Dubays adalah tuan rumah, pelindung, tempat perlindungan dan benteng. Di bawah kekuasaannya, Hillah adalah pusat wisatawan, tempat perlindungan bagi musafir, benteng untuk orang terusir, dan pegangan bagi orang-orang ketakutan”. Lalu Khalifah memintanya untuk mengucapkan sumpah kesetiaan kepada Khalifah dan mengekstradisi saudaranya. Dia setuju untuk mengucapakan sumpah kesetiaan, tetapi menolak untuk mengekstradisi saudara Khalifah. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkannya kepada anda dan ia akan tetap menjadi tamuku bahkan jika saya harus tewas dalam membelanya.”Lihat Ibn Tabâtiba, al-Fakhr fi al-Adab al-Sultâniyyah wa Duwal al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr Sadir, t.th), h. 302.

Penyair ‘Adîl bin al-Farkh pernah menulis sebuah puisi yang menyebabkan kemarahan al-Hajjaj (salah seorang gubernur pada masa Dinasti Abbasiyyah), dan menginginkan ia ditangkap. Tapi ‘Adîl berhasil melarikan diri ke wilayah Romawi. Al-Hajjâj pun menulis surat kepada Kaisar Romawi, "Demi Allah, jika anda tidak mengirimnya kembali ke saya, saya akan mengirimkan tentara perang kepada anda, yang dimulai padamu dan berakhir padaku!" Kemudian ‘Adîl dipanggil dan dipulangkan ke al-Hajjâj (tapi al-Hajjâj kemudian melepaskannya setelah penyair tadi menulis sebuah puisi yang memujinya.) Lihat al-Raqqâm al-Basrî, Kitâb al-'Afw wa al-I'tidzâr, (Riyâd: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Sa‘ûd al-Islamiyyah, 1401 H/1981), Jilid 2, h. 353-

Page 246: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

209

Hal tersebut di atas tidak bertentangan dengan Syariat Islam.

A.3.Sejauh mana ekstradisi dapat diterapkan bagi

pengungsi tawanan perang

Menurut Syariat Islam, disebutkan sebelumnya bahwa

dibolehkan memberikan suaka teritorial bagi tawanan perang

yang berasal dari negara non-Islam, jika mereka memeluk

Islam atau menjadi dzimmiy. Akan tetapi, apakah boleh

mengekstradisi tawanan perang yang beragama Islam yang lari

dari kawasan musuh untuk menyelamatkan diri dari musuh?

Dapat disimpulkkan bahwa para ahli Syariat Islam hampir

sepakat bahwa tawanan Muslim tidak boleh dikembalikan

kepada musuh dalam kondisi seperti ini, meskipun ada

perjanjian internasional yang membolehkan adanya ekstradisi,

karena perjanjian tersebut dipandang tidak sesuai dengan

kondisi atau dianggap batal. Dan hal itu menjadi sesuatu yang

tidak boleh dilakukan.257

Menurut Ibn Hazm, "Jika seorang tawanan Muslim berada di

tangan orang-orang kafir kemudian mereka membuat

perjanjian dengan meminta tebusan untuk pembebasannya,

356. Diantara contoh suaka adalah suaka Ibn al-Asy'âts ke Kabul, Afghanistan, dan selama masa pemerintahan al-Hajjâj, di mana ia telah diberikan suaka oleh Shah Kabul, h. 368.

257 Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Azis, ia mengatakan, “Jika seorang tawanan perang muslim lari untuk mempertahankan hidupnya, ia akan ditebus oleh Muslim lain dan tidak akan dikembalikan kepada non-Muslim, sebagaimana Allah SWT berkalam:

"Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, dan tidak halal bagi anda untuk mengusir mereka." Ini ada di dalam bahasa Arabnya” (Q.S. al-Baqarah/2:85). Lihat Imam Hamîd bin Zanjawaih. Kitâb al-Amwâl, (Riyâd: Markaz Mâlik Faisal li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1406 H/1986 M), Jilid I, h. 323.

Page 247: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

210

jika akhirnya ia benar-benar dibebaskan, maka ia tidak boleh

kembali kepada mereka atau memberikan apapun kepada

mereka, dan pemimpin Islam tidak boleh memaksanya untuk

memberikan tebusan apapun kepada mereka."258

Hal ini berlaku jika tawanan tersebut adalah Muslim.

Namun bila tawanan tersebut non-Muslim, dan ia berada di

dalam kekuasaan Muslim, maka kita tidak boleh pula

menyerahkan mereka, dan wajib memberikan hak aman dan

suaka kepadanya dalam kondisi tertentu jika ia ingin

mendengar kalam Allah. Ini adalah penerapan kalam Allah:

Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka kepadamu maka berikanlanh suaka hingga mereka mendengar kalam Allah kemudian sampaikan kepadanya perlindungan (diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6)

Dengan kata lain, bila ia memeluk Islam, maka sudah

menjadi kewajiban yang tidak dapat dipungkiri bagi negara

Islam untuk memberikan suaka kepadanya.

Dari pernyataan diatas, terlihat jelas bahwa Islam telah

melampaui praktek – prakter internasional. Contohnya, dalam

US Army Field Manual 1956 tentang penahanan pengungsi

dalam perang, menyatakan bahwa suatu kekuasaan untuk

menahan, mungkin sah untuk, dengan kebijakannya sendiri,

258 Ibn Hazm, al-Muhallâ, Jilid. 7, h. 308-309. Lihat juga al-Syâfi'î, al-Umm, Jilid 5, h. 194, al-Nawawi, Raudat al-Tâlibîn, Jilid X, h. 283.

Page 248: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

211

memberikan suaka bagi tawanan perang yang tidak ingin

dipulangkan. 259

B. Menurut Hukum Internasional

Dalam hukum internasional, Pasal 1-F Konvensi 1951 (dan

juga Pasal 1-5 Konvensi 1969 Organisasi Dunia Afrika

tentang Aspek-Aspek Khusus Masalah Pengungsi di Afrika

serta Pasal 2 Konvensi Arab 1994), mengacu kepada orang-

orang yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh

perlindungan internasional260 dan akibatnya dikecualikan dari

ruang lingkup penerapan aturan-aturan tersebut. Mereka

adalah orang-orang yang "dengan alasan serius” dianggap:

(i) Telah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan

perdamaian atau kejahatan perang, atau kejahatan melawan

kemanusiaan.261

259 Dalam hukum tersebut dinyatakan bahwa, ”Sebuah kekuatan untuk menahan mungkin sah untuk,

dalam kebijaksanaannya sendiri, memberikan suaka kepada tawanan perang yang tidak ingin dipulangkan.” Lihat: Whiteman, Digest of IL, Vol. 10, hal 260.

Pada tanggal 27 Juli 1953, Menteri Luar Negeri AS membuat pernyataan mengenai pemberian suaka untuk tahanan perang Korea dan Cina sebagai berikut:

"Prinsip kedua yang sangat penting dan telah mapan adalah prinsip suaka politik yang tidak pernah diterapkan sebelumnya kepada para tahanan perang. Banyak tawanan perang komunis dari Korea Utara dan China yang menyerah, tidak ingin dikembalikan ke penampungan, tetapi mereka ingin tinggal di tanah kebebasan” tambahnya. Dia memaparkan bahwa bahwa pihak komunis bersikeras mengajukan permintaan agar mereka dikembalikan secara paksa sebagai para tahanan perang. Tapi Amerika Serikat menolak keras permintaan ini, dan mereka pun menyerah“. Lihat Whiteman, Digest of IL, vol. 10, h. 262-263. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslim telah membahas masalah ini berabad-abad yang lalu.

260 Selain itu, dua kategori orang yang dikecualikan: a. Mereka yang menikmati perlindungan dari Badan atau Perwakilan PBB yang tidak diserahi tugas

oleh PBB dalam urusan pengungsi (Pasal 1D) b. Mereka yang menikmati hak-hak mereka dan mereka memiliki kewajiban yang terkait dengan

kepemilikan kewarganegaraan di negara tempat ia tinggal. 261 Lihat-terkait pidana ini-Ahmad Abû al-Wafâ’, Criminal International Law, (Cairo:Dar al-Nahda al-

Arabia, 2007), h. 167-189. Lihat pula rekomendasi Lajnah al-Wuzara fi Majlis Uroba (Dewan Menteri Majelis Eropa) kepada negara-negara anggotanya,tentang tafsir dan penerapan teks tersebut (Rekomendasi No. 6 Tahun

Page 249: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

212

(ii) Telah melakukan kejahatan (selain politik) yang sangat

berbahaya di luar negara tempat mengungsi sebelum ia

diterima di negara tersebut sebagai pengungsi.

(iii) Telah dinyatakan bersalah karena telah melakukan perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-

prinsip dasar PBB. 262

Sudah jelas bahwa tujuan dari hal tersebut adalah

mencegah pelaku pelanggaran hak-hak asasi manusia untuk

mendapatkan hak suaka, menikmati kekebalan, serta terhindar

dari jeratan sanksi hukum.263

Hal ini perlu dicatat pula, disamping orang-orang yang

disebutkan di atas yang tidak memenuhi syarat untuk

memperoleh status pengungsi, ada pula orang-orang yang tidak

membutuhkan perlindungan dari Komisi Tinggi PBB untuk

Pengungsi (UNHCR), yakni orang – orang yang sudah 2005), dalam Collection of International Instrument and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern of UNHCR, Vol. IV, h.1419-1420.

262 Mengenai tujuan dan dan prinsip-prinsip dasar PBB, lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Wasît fî al-Qanûn al-Munazzamât al-Dauliyyah, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-Arabiyah, 1427 H/2007 M, cet. ke-7, h. 307-327.

263 Hal ini ditekankan dalam beberapa instrumen PBB: Pasal 14 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak untuk mencari suaka dan untuk menikmati perlindungan dari penganiayaan di negara lain tidak diperbolehkan dalam kasus-kasus kejahatan non-politik atau dari tindak pidana lain yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Deklarasi tentang Suaka Teritorial (yang diadopsi oleh Majelis Umum di bawah Resolusi Nomor 2312 Tahun 1967) menyatakan bahwa, "hak suaka mungkin tidak dibolehkan bagi setiap orang yang telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.."(Pasal 1-2)

Resolusi No. 3074 yang dikeluarkan pada tahun 1973 oleh Majelis Umum khususnya tentang prinsip-prinsip kerjasama internasional dalam ekstradisi, pelacakan, dan hukuman pelaku kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan, menyatakan bahwa "Amerika Serikat mungkin tidak memberikan suaka bagi orang-orang tertentu dengan alasan serius karena dianggap telah melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan" (Pasal 7).

Pasal 15 dari Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang terhadap Penghilangan Paksa (1992) menyatakan bahwa "Dalam mengambil keputusan untuk memberikan atau menolak suatu suaka seseorang, Negara pihak berwenang yang terkait harus mempertimbangkan apakah ada alasan untuk percaya bahwa orang yang terlibat berpartisipasi dalam tindakan penghilangan paksa..

Page 250: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

213

menikmati perlindungan atau bantuan dari organisasi atau

lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa lain (misalnya, orang-

orang Palestina yang berada dibawah mandat United Nations

Relief and Work Agency for Palestine Refugees in the Near

East atau Badan Pengungsi Palestina di Timur Dekat

(UNRWA)). Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1-D Konvensi 1951

yang menetapkan bahwa “Konvensi ini tidak berlaku bagi orang

yang saat ini menerima perlindungan atau bantuan dari

organisasi atau lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa selain

UNHCR”.

Ketika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk

alasan apapun tanpa status definitif, sesuai dengan resolusi-

resolusi yang relevan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB,

maka orang-orang ini, berhak atas manfaat dari Konvensi ini

karena dinilai penting (ipso facto).

Ini berarti bahwa penerapan ketentuan tersebut diatur oleh

2 (dua) aturan:

1) Seseorang tidak akan menikmati manfaat Konvensi ini, jika

ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari organisasi

atau badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa selain UNHCR.

2) Orang yang menikmati manfaat dari Konvensi ini, harus

memenuhi 2 (dua) syarat:

(i) Jika perlindungan atau bantuan telah berhenti untuk alasan

apapun;

Page 251: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

214

(ii) Jika status akhir orang tersebut belum diselesaikan

secara definitif.

Di sisi lain, ada lagi kategori orang-orang yang dianggap

tidak membutuhkan perlindungan internasional. Hal ini berlaku

untuk orang-orang yang mungkin memenuhi syarat untuk status

pengungsi, tapi telah diterima di suatu negara di mana mereka

telah diberikan sebagian besar hak-hak yang biasa dinikmati

oleh warga negara tetapi tidak diberikan kewarganegaraan

resmi (Mereka ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional").

Negara yang menerima mereka, umumnya adalah negara yang

penduduknya beretnis sama dengan pengungsi yang

diterimanya.264

II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka:

perlindungan sementara

A. Menurut Syariat Islam

Sistem perlindungan sementara diakui dalam Islam

dengan pemberian hak “aman”, di mana pengungsi diakui

sebagai musta'min (orang yang berada di bawah perlindungan

sementara) untuk jangka waktu sampai dengan satu tahun.265

264 Pasal 1 E dari Konvensi 1951 menetapkan bahwa "Konvensi ini tidak berlaku bagi orang, yang

sebagaimana diakui oleh pejabat yang berwenang dari negara di mana ia telah tinggal, yang dianggap telah memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada kepemilikan kewarganegaraan di negara itu." Lihat, UNHCR Handbook tentang Prosedur dan Kriteria Penentuan Status Pengungsi di bawah Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai Status Pengungsi, Genewa: UNHCR, 1992, h. 45.

265 Dikatakan bahwa untuk para ahli hukum Islam, seorang musta'min "adalah orang yang masuk ke negeri Islam di bawah perjanjian sementara “aman” yang diberikan oleh penguasa atau individu Muslim.

Page 252: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

215

Jika dia ingin tinggal lebih lama, ia akan diakui sebagai

dzimmiy (non-Muslim yang tinggal permanen di wilayah

Muslim). Aturan “perlindungan” itu didasarkan pada kalam

Allah:

Jika salah seorang dari orang-orang musyrik meminta suaka kepadamu maka berikanlah suaka hingga mereka mendengar kalam Allah kemudian sampaikan kepada kepadanya perlindungan (diri)-nya. Hal demikian lantaran mereka sebagai kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9:6) Dan Hadis Nabi SAW:

Kaum Muslimin setara dalam darah. Orang yang terendah di antara mereka dapat memberi jaminan keamanan (aman), dan mereka memberi suaka, dan mereka bersatu melawan orang lain.266

Perbedaan antara dzimmiyy dan musta'min adalah bahwa perlindungan yang permanenlah (atau kekal) yang diberikan kepada yang pertama, dan perlidungan yang sementara kepada yang kedua. Aturan dalam Islam adalah bahwa non-Muslim yang tidak diakui sebagai dzimmiy tidak akan diberikan tempat tinggal permanen di tanah Muslim, tetapi akan diberikan perlindungan jangka pendek untuk tinggal di bawah aman sementara. Ada konsensus di antara mayoritas ahli hukum Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali bahwa mereka yang tinggal sebagai musta'min di tanah Muslim harus kurang dari satu tahun. Jika ia menyelesaikan satu tahun penuh atau lebih, dia akan diminta untuk membayar jizyah dan kemudian diakui sebagai dzimmiy. Panjang tinggal oleh seorang non-Muslim adalah bukti penerimaannya untuk tinggal permanen serta kondisi yang dikenakan pada dzimmiy.

Sebagian besar ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat bahwa kecuali seorang non-Muslim diberi jangka waktu tertentu, maka ia harus diakui sebagai dzimmiy dengan ketentuan masa tinggal selama satu tahun. Jika seorang musta'min melewati batas waktu izin tinggal dengan waktu yang lama dan bahkan melebihi satu tahun setelah diperintahkan untuk pergi, ia akan diminta untuk membayar jizyah. Periode satu tahun dihitung dari tanggal peringatan oleh penguasa untuk pergi. Jika ia melewati batas waktu izin tinggal selama bertahun-tahun tanpa diperintahkan oleh penguasa untuk pergi, ia dapat kembali ke wilayah non-Muslim, dan karena itu, tidak akan diakui sebagai dzimmiy. Lihat al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-‘Âmmah, (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah,) h. 1288.

Diakui secara luas bahwa seorang musta'min adalah orang yang mencari aman atau masuk ke lahan lainnya, jadi dia seorang Muslim atau non-Muslim. Lihat Muhammad 'Ala al-Dîn al-Haskafî, Syarh al-Durr al-Mukhtâr, Mesir: al-Wa'îz, Jilid. 2), h. 98. Musta'min adalah orang asing untuk tanah Muslim, lihat ‘Abd al-Karîm Zaidân, Ahkâm al-dzimmiyîn wa al-Musta'minîn fi Dâr al-Islâm, op cit, h. 66-67.

266 Penelusurannya telah dijelaskan sebelumnya pada halaman 83.

Page 253: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

216

Ini berarti bahwa seorang individu: pria, wanita atau bahkan

seorang budak dapat memberikan perlindungan/ aman.267

Setelah “aman” diberikan, maka musta’min harus

dihormati, mengingat bahwa pemenuhan perjanjian adalah

kewajiban dalam Islam. Akibatnya, seorang musta'min harus

dijamin hak hidup, begitu pula harta dan kerabatnya, jika

mereka berada dalam lindungan sistem “aman”.268

Dalam kaitan ini, al-Nawâwi mengatakan: "Setelah

“aman” diberikan (kepada musta'min), maka ia tidak akan

dibunuh dan harta miliknya tidak akan dijarah. Bagaimana jika

dia terbunuh? al-Nawâwi mengatakan bahwa musta'min

dijamin keamanannya seperti dzimmiy. “Aman” adalah

kewajiban terhadap umat Muslim dan hal ini tidak boleh

dihalangi oleh penguasa. Jika dirasa musta'min berkhianat,

baru penguasa boleh mencabutnya, karena dalam kasus ini, hal

itu diperbolehkan untuk menolak gencatan senjata. Begitu

pula, perlindungan yang diberikan oleh individu, dapat dicabut

oleh seorang non-Muslim, kapanpun ia ingin. Perlindungan

267 I. Shehata mengomentari pemberian hak “aman” oleh individu: “Membiarkan orang asing untuk

memasuki negara dan mendapat perlindungan Negara Islam hanya berdasarkan undangan dari warga Muslim negara ini, adalah sebuah sistem unik dan salah satu yang tidak ada persamaannya di dalam hukum internasional sekarang.” Lihat I. Shehata, Islamic Law and the World Community, h.108.

268 Aturan dalam Syariat Islam adalah merupakan pelanggaran hukum menjadikan musta’min sebagai budak, bahkan ketika dia melanggar perjanjian. Jika ia melakukan perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran “aman”, maka ia akan diantar ke tempat di mana dia merasa aman, setelah menyelesaikan seluruh kewajibannya. Lihat Mausû’ât al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo:, 1391 H, h. 24-25. Ada pula yang berpendapat bahwa orang asing (non-warga negara) di negara Islam, termasuk turis, pedagang atau pengungsi dianggap sebagai musta'min yang menikmati perlindungan di tanah Muslim. Lihat M. Abdel Rahim, Asylum and Sanctuary in Islam, Khartoum Séminaire de Khartoum sur les Refugiés, 11-14 September 1982, (Khartoum: Khartoum University Press, 1984), h. 5.

Page 254: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

217

tidak berlaku bagi keluarga dan kekayaan musta’min yang

tidak dibawa/ ditinggal di negara non-Muslim. Sedangkan,

bagi harta dan keluarga yang menyertai musta’min¸ kondisi

spesifik perlindungan dapat berlaku. Jika tidak, “aman” tidak

berlaku, mengingat sifat khusus dari teks perjanjian.”269

Ini berarti bahwa musta'min akan aman dan tidak bisa

diganggu di tanah Muslim dan tidak boleh diserang atau

dihina. Dalam hal ini, Ibn Yahya al-Murtada mengatakan:

"Barang siapa yang bebas atau mendapat hak “aman” sebelum

larangan penguasa, dengan catatan ia beragama Islam yang

mukallaf (dewasa), maka adalah dilarang untuk

mengganggunya dan membunuhnya sebelum masa satu tahun,

atau lebih. Jika musta'min melanggar perjanjian aman, ia harus

diantar ke mana ia merasa aman, tapi ia tetap tidak boleh

diserang, karena ini akan dianggap sebagai pengkhianatan."270

269 al-Nawâwî, Raudat al-Tâlibîn, Jilid l. 10, h. 281. 270 Ahmad ibn Yahya al-Murtadâ, Kitâb al-Azhâr fi al-Fiqh al-A'immah al-Athar, (San'a: Muassasât

Ghamdhan), h. 320-321. Imam al-Nawâwî mengatakan, "Tujuan utama mengantar orang non-Muslim ke tempat di mana dia merasa aman adalah untuk melindungi dirinya dari Muslim dan musta'min lain, dengan menempatkan di tanah non-Muslim. Menurut Ibn Kajj, dipandang sudah cukup mengantarnya hingga perbatasan tanah non-Muslim. Ia juga berpedapat bahwa orang tersebut tidak harus diantar hingga kota atau desa asalnya, kecuali bila negara Islam itu berada diantara negara non Muslim dan negara asalnya sehingga ia harus transit melalui wilayah Muslim. Menurut pendapat lain, jika ia memiliki pilihan dua tempat di mana ia bisa merasa aman, ia harus dibawa ke salah satu dua negara tersebut. Pilihan penempatan tersebut harus berdasar kebijaksanaan penguasa negara Islam. Lihat al-Nawâwi, Raudat al-Tâlibîn, ibid, Jilid 10, h. 338-339.

Page 255: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

218

B. Menurut Hukum Internasional

Sistem perlindungan sementara271 (temporary protection)

mengacu pada perlindungan yang diberikan oleh negara,

terutama ketika dihadapkan pada kejadian masuknya massa

dalam skala besar (large-scale mass influx) secara tiba-tiba,

sehingga negara memberikan suaka untuk orang-orang

tersebut. Oleh karenanya, pemberian suaka itu merupakan

respon jangka pendek dan instan, ketika sejumlah penduduk

melarikan diri dari konflik bersenjata, pelanggaran hak asasi

manusia atau bentuk lain penganiayaan. Perlindungan

sementara ini tidak akan berlangsung untuk jangka waktu yang

lama, bahkan dalam kondisi yang tidak menunjukkan adanya

perbaikan, karena orang tidak boleh dibiarkan hidup

selamanya di bawah tingkat perlindungan minimum tanpa

akhir. Negara-negara di dunia harus menerapkan prosedur

normal terhadap mereka untuk mendapat suaka atau

memberikan hak tinggal secara legal.272

271 Perlindungan sementara didefinisikan sebagai “suatu pengaturan atau mekanisme yang

diperkenalkan oleh negara untuk memberikan perlindungan sementara untuk orang-orang tertentu secara massal dari konflik atau situasi konflik, sebelum proses penentuan status pengungsi diselesaikan bagi masing-masing individu.” Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, op cit h.133.

272 Lihat Handbook on International Law for Refugees, No. 2, 2001, h. 53. Sementara Rekomendasi No. 9 (2001) Dewan Menteri Majelis Eropa (Council of Europe Ministerial Committee) menyatakan bahwa orang-orang yang diberikan perlindungan sementara harus diberikan sedikitnya mata pencaharian yang memadai, termasuk perumahan, perawatan kesehatan yang tepat, pendidikan untuk anak-anak dan pekerjaan sesuai standar undang-undang nasional. Lihat juga Rekomendasi Tahun 2001 yang diberlakukan di lingkungan masyarakat Eropa, dalam Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op.cit,Vol. IV, h. 1410, 1620 – 1632.

Patut dicatat bahwa Rekomendasi No. 18 (2001) Dewan yang sama mengadopsi konsep “perlindungan kehati-hatian atau pengganti” (subsidairy protection) untuk diterapkan kepada orang-orang yang tidak memenuhi kriteria status pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967, tetapi karena risiko penganiayaan atau dipaksa untuk meninggalkan negara asal, mereka membutuhkan perlindungan internasional.

Page 256: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

219

III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka

panjang dan penyebab berakhirnya suaka

III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solution)

Telah disepakati bahwa dalam kaitan masalah pengungsi,

seperti dalam semua hal lainnya, pencegahan lebih baik

daripada mengobati. Oleh karena itu, tujuan akhir dari

perlindungan internasional adalah untuk mencapai solusi jangka

panjang untuk masalah pengungsi.

Ada 3 (tiga) macam solusi jangka panjang untuk pengungsi:273

1. Pemulangan sukarela ke negara asalnya, sebuah keputusan

yang harus diambil oleh pengungsi atas pilihan sendiri,

berdasarkan informasi yang tersedia baginya tentang kondisi

saat ini di negara asalnya;

2. Integrasi lokal di negara suaka; dan

3. Penempatan di negara ketiga selain negara asalnya dan

selain negara suaka pertama.

Selain itu, ada alasan lain yang dapat menyebabkan

penghentian suaka dalam Islam.

Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. IV, h. 1412.

The Executive Committee of The UNHCR Programme dalam Kesimpulan No. 19 (XXXI) menekankan karakter yang luar biasa dari perlindungan sementara dan kebutuhan yang penting bagi orang-orang tertentu yang telah mendapatkan perlindungan sementara untuk menikmati standar dasar kemanusiaan. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme, op.cit, h. 41. Kesimpulan Komite Nomor 22 (XXXII) yang menetapkan hak-hak minimum yang harus dinikmati oleh pengungsi yang telah menerima perlindungan sementara. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, Executive Committee of the UNHCR Programme, h. 50-51.

273 Pasal 1-4 Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) and Pasal 4 al-Ittifaqiyyah al-‘Arabiyyah (1994).

Page 257: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

220

1.1. Pemulangan sukarela

A. Menurut Syariat Islam

Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam

tahun 1990 menetapkan bahwa “Setiap orang, jika mengalami

penganiayaan, maka ia memiliki hak untuk mencari suaka di

negara lain. Negara tersebut harus menjamin perlindungan

hingga ia sampai di tempat aman, kecuali suaka itu dimotivasi

oleh suatu tindakan kejahatan menurut Syari'ah." (Pasal 12).

Ada banyak contoh pemulangan sukarela yang dilakukan

para pengungsi di antaranya:

(i) Ibn Hisyâm menceritakan bahwa setelah mendengar bahwa

orang Mekkah telah memeluk Islam, para pengungsi Muslim

di Abessinia (Ethiopia) memutuskan untuk kembali ke

Mekkah. Tapi ketika mereka mendekati Mekkah, mereka

mendapat berita tentang konversi orang Mekkah itu tidak

benar. Maka tidak satupun dari mereka memasuki kota

kecuali ada perjanjian perlindungan (jiwar) atau di bawah

penyamaran (mustakhfiyan).274

(ii) Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Amr bin Umayyah

ad-Dhimari kepada Raja Negus untuk memintanya mengirim

kembali Muslim yang berlindung dengan dia. Kemudian ia

membawa mereka dengan dua perahu yang berisi enam

274 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 463.

Page 258: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

221

belas orang, termasuk Ja'far ibn Abi Tâlib, dan dibawa

kepada Nabi SAW di Khaibar. Ini terjadi setelah Perjanjian

Hudaybiyyah.275

(iii) Dalam konteks yang hampir sama, Huwaitib ibn ‘Abd al-

‘Izzi berkata: "Ketika Nabi Muhammad SAW memasuki

Mekkah dalam masa penaklukan Mekkah, saya sangat takut.

Aku keluar rumah untuk menempatkan anak-anak saya ke

berbagai tempat di mana mereka merasa aman. Lalu kaki

saya membawa saya ke rumah 'Auf, tiba-tiba saya

menemukan diri berhadapan dengan Abi-Zar al-Ghiffari,

yang sebelumnya adalah temanku. Saat aku melihat dia, aku

lari. Tapi dia memanggilku dan menanyakan apa yang

terjadi dengan saya. Kukatakan padanya aku takut. Ia

berkata, "Jangan takut, kau aman di bawah lindungan Allah.

Aku pun kembali dan berjabat tangan dengan dia dan dia

memintaku untuk pulang "Pulanglah ke rumahmu!”,

katanya. Aku bertanya ”Apakah aku punya jalan untuk

pulang?" Demi Tuhan aku tidak melihat ada kemungkinan

aku sampai di rumah dalam keadaan hidup karena aku akan

ditemukan dan dibunuh, atau mungkin diserang dan dibunuh

di sana! Anak-anakku tersebar di beberapa tempat",

tambahku. Dia mengatakan kepada saya untuk

275 Abû Abdillah Muhammad Ibn Ishâq, al-Siyar al-Kabîr, Jilid II, h. 359. Lihat ‘Ali ibn Sa’ûd al-

Khuza’î, Takhrîj al-Dalalat al-Sami’yyah, tahqîq Ihsân ‘Abbâs (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmiy, 1416 H/1999 M), h. 210.

Page 259: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

222

mengumpulkan anak-anakku dan ia akan mengawal saya ke

rumah saya. Dalam perjalanan kami, ia terus berteriak

bahwa Huwaytib aman dan tidak harus diserang. Lalu Abi-

Zar pergi ke Nabi Muhammad SAW dan mengatakan

kepadanya tentang kejadian itu. Nabi bersabda, "Bukankah

semua orang telah aman sekarang, kecuali yang

diperintahkan untuk dibunuh?" Huwaytib berkata, "Saya

merasa aman dan mengambil anak-anakku untuk pulang."276

(iv) Ketika putri Hatim at-Tha'ie ditangkap dalam sebuah

pertempuran, ia mengajukan petisi kepada Nabi Muhammad

SAW untuk melepaskan dan membiarkannya kembali ke

rumahnya. "Jangan terburu-buru untuk pulang sampai

beberapa kerabat terpercayamu datang dan membawamu

pulang." kata Nabi. Ketika sekelompok temannya datang, ia

pun menghadap Nabi Muhammad SAW dan

memberitahukannya. Rasul SAW pun memberikannya

pakaian, transportasi dan uang. Akhirnya, mereka dapat

pulang ke Syam.277

B. Menurut Hukum Internasional

Pemulangan sukarela, apabila memungkinkan, adalah solusi

ideal untuk masalah pengungsi, karena itu berarti pengungsi

kembali ke negara asalnya dengan aman dan bermartabat. Hal

276 al-Kandahlawî, Hayât al-Sahabah, Jilid. I, h. 136-137. 277 Al-Tabarî, Tarîkh al-Rusul wa al-Muluk, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, t.th), Jilid III, h. 309-310. Lihat

pula Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op.cit, Jilid II, h. 579-581.

Page 260: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

223

ini juga membantu dia kembali berintegrasi dengan cepat

dengan orang lain. Prinsip pemulangan sukarela (asas sukarela)

menyiratkan bahwa orang yang bersangkutan menyatakan

pilihannya sendiri untuk kembali ke rumah dengan bebas.278

1.2. Integrasi Lokal

A. Menurut Syariat Islam

Masalah ini akan dibahas dari 2 (dua) perspektif:

a. Integrasi lokal non-Muslim di tanah Muslim (perjanjian

al-zimmah)

Kami percaya bahwa bila pengungsi non-Muslim mengambil

status " dzimmiy", itu adalah setara dengan "integrasi lokal"

dalam hukum internasional kontemporer. 279 Seorang

pengungsi di bawah perjanjian dzimmah, harus diberikan

kewarganegaraan oleh negara Islam, dan harus diberikan hak

278 Pemulangan sukarela berarti menghormati keinginan pengungsi, pengungsi tidak dapat dipulangkan

kecuali atas kehendak sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal 5-1 Convention Governing the Aspect of Refugee Problems in Africa (Konvensi yang mengatur aspek-aspek khusus masalah pengungsi di Afrika tahun 1969). Menurut prinsip Housing and Property Restitution of Refugees and Displaced Persons (pengembalian perumahan dan hak milik pengungsi dan orang yang berpindah) tahun 2005, paragraf 10, dinyatakan bahwa semua pengungsi dan orang yang berpindah berhak untuk kembali secara sukarela ke rumah mereka, tanah asal, atau tempat tinggalnya dengan aman dan bermartabat. Pemulangan sukarela yang aman dan bermartabat ini harus didasarkan pada pilihan bebas secara individual dan terinformasikan dengan baik. Negara harus memberikan ijin kepada para pengungsi dan orang – orang yang berpindah yang ingin kembali secara sukarela ke tanah, rumah, atau tempat tinggalnya. Pengungsi dan orang – orang tersebut tidak akan dipaksa, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk kembali ke tanah, rumah, atau tempat tinggal asalnya. Negara harus, bila perlu, meminta bantuan keuangan dan/atau teknis yang diperlukan dari negara lain atau organisasi internasional untuk memfasilitasi pemulangan sukarela yang efektif, dengan aman dan bermartabat, bagi pengungsi dan orang-orang yang berpindah tersebut. Lihat Collection on International and Legal Text Concerning Refugees and Others of Concern of UNHCR, Vol. I, h. 568.

279 Ada sebuah kecenderungan di dalam fikih yang melihat perjanjian dzimmah sebagai suaka yang diberikan kepada orang non-Muslim. Oleh karena itu ada pendapat yang percaya bahwa perlindungan yang diberikan di bawah perjanjian dzimmah atau perjanjian sementara (aman) membuat tanah Muslim menjadi "tanah suaka" untuk orang asing.

Gh. Arnaout, Asylum in the Arab Tradition, UNHCR, Genewa, 1987, hal 23. L. Gardet, La Cité musulmane, vie et Sociale Politique, Librairie philosophique, Vrin, Paris, 1954,

h. 78.

Page 261: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

224

dan kewajiban yang sama seperti Muslim. Jadi, ia sepenuhnya

diintegrasikan ke dalam negeri Muslim dan hampir sama

diperlakukan seperti Muslim.

Untuk memperjelas hal ini, kami menekankan bahwa

bilamana perjanjian dzimmah telah diberlakukan maka hal

tersebut berimplikasi terhadap berbagai masalah-masalah

berikut:

(i) Hak hidup kaum dzimmiy tidak dapat diganggu gugat.

(ii) Harta benda milik kaum dzimmiy tidak dapat diganggu

gugat. Ini menjadi konsekuensi dari yang disebutkan di atas,

karena tak dapat diganggugugatnya harta benda bergantung

pada dijaminnya hak hidup. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib

diriwayatkan telah berkata, "Adanya perjanjian dzimmah,

adalah agar harta benda mereka (sama amannya) seperti harta

benda kita dan hidup mereka (sama amannya) seperti hidup

kita.”

Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa perjanjian

dzimmah

bagi umat Islam adalah untuk memastikan kita tidak menyentuh

mereka dan memastikan bahwa kehidupan dan harta benda

mereka tidak diganggu gugat.280

280 al-Ghazâlî, al-Wajîz fi al-Fiqh Madzhab Imam al-Syâfi'î, Jilid. 2, h. 21; Ibnu Jawzî, Qawânîn al-

Ahkâm al-Syar’iyyah, (Kairo: 'Âlam al-Fikr,1415H/1986 M), h. 151.

Page 262: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

225

(iii) Apakah orang non-Muslim dzimmiy dapat memperoleh

kewarganegaraan di negara Islam?

Menurut ajaran Syariat Islam, kewarganegaraan wilayah Islam

tidak dapat diberikan kepada orang non-Muslim dzimmiy,

sebagaimana penerapan kalam Allah:

Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama (Islam), kebenaran telah jelas dari kesalahan. (Q.S. al-Baqarah/2:256).

Seorang non-Muslim dapat memperoleh kewarganegaraan,

baik karena ia berpindah agama ke Islam atau dengan perjanjian

dzimmah secara eksplisit atau implisit (misalnya dengan tinggal

di tanah Muslim). Terkait dengan perjanjian dzimmah, beberapa

ulama berpendapat bahwa perjanjian dzimmah tidak

memberikan status kewarganegaraan Islam kepada orang non-

Muslim dzimmiy, karena mereka tidak menikmati hak yang

sama (seperti hak-hak politik) maupun kewajiban yang sama

sebagai Muslim (misalnya, sementara orang non-Muslim

dzimmiy harus membayar jizyah, Muslim harus membayar

zakat/ pajak yang diwajibkan untuk orang Muslim).281

Akan tetapi, beberapa ahli Syariat Islam lainnya mengadopsi

pendapat yang berlawanan, dengan alasan bahwa karena orang

non-Muslim dzimmiy membayar jizyah, itu berarti bahwa

mereka akan memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti

281 Muhammad al-Lâfî, Fî Ahkâm Nazarât al-Harb wa al-Silm: Dirâsah Muqâranah,(Tripoli-Libya:

Dar Iqra), h. 342.

Page 263: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

226

orang Muslim. Menurut Ibn Abidin, jika mereka menerima

untuk membayar jizyah, maka mereka akan memiliki hak dan

kewajiban yang sama dengan orang Muslim, termasuk hak

mendapat perlakuan adil (insâf) dan hak mencari keadilan

(intisâf).282 Ahli Syariat Islam yang berpendapat seperti diatas

memiliki pemahaman yang beragam mengenai dasar bagi non-

Muslim dzimmiy dapat memperoleh kewarganegaraan dari

negara Islam. Sebagian ahli Syariat Islam berpendapat bahwa

pengakuan sebagai warga negara didasarkan kepada kepatuhan

mereka dengan ajaran Islam;283 sementara ahli Syariat Islam

yang lain menghubungkan hal ini dengan ketiadaan jangka

waktu tinggal di wilayah Muslim. 284 Pendapat ketiga

menyatakan bahwa hal itu kembali pada orang yang masuk

dalam perjanjian dzimmah dengan cara membuat perjanjian

yang eksplisit, sebagaimana dikatakan al-Sarkhasi bahwa

dengan mengikat perjanjian dzimmah, seorang non-Muslim

harus dianggap sebagai “penduduk wilayah Muslim". Namun,

dalam hal tidak adanya perjanjian yang menjadi dasar

kewarganegaraan wilayah Islam bagi orang non-Muslim

dzimmiy, hal tersebut dikembalikan kepada kebijakan negara

Islam. Ini terjadi dalam kasus di mana orang dzimmiy

282 Ibn ‘Âbidîn, Radd al-Muhtâr ala Durr al-Mukhtâr, op.cit, Jilid. III, h. 307. 283 Abd al-Qadîr ‘Audah, al-Tasyrî’ al-Jinâ'î al-Islâmî, (Kairo: Nâdi al-Qudah, 1984), Jilid. I, h. 307;

Muhammad 'Âtif al-Banna, al-Wasît fi Nizâm al-Siyâsiyyah, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1414 H/1994 M), h. 30.

284 Ahmad Musllam, al-Qanûn al-Duwali al-Khass, (Kairo: tp., 1956), Jilid. II, h. 326.

Page 264: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

227

memperoleh kewarganegaraan di wilayah Islam atas dasar

indikator-indikator yang menunjukkan penerimaannya, atau

subordinasinya kepada pihak ketiga, atau sebagai akibat

penaklukan sebuah wilayah. Dalam kasus tersebut, negara

Islam memberikan dzimmah status kewarganegaraan atas dasar

kehendak orang itu sendiri dan kebijakan negara.285

Menurut kami, orang dzimmiy dapat menikmati

“kewarganegaraan dari sebuah Negara Islam” tapi bukan berarti

“kewarganegaraan Islam” karena kewarganegaraan dalam Islam

didasarkan pada adanya "ikatan pribadi", yakni penerimaan

terhadap agama Islam daripada "ikatan fisik", yakni keberadaan

pada wilayah tertentu. Seorang Muslim menikmati

kewarganegaraan Islam, di manapun ia berada, di wilayah

Muslim ataupun wilayah non-Muslim. Namun, non-Muslim,

karena tidak adanya ikatan diatas, adalah warga negara di

sebuah negara Islam dimana berlaku diatasnya Syariat Islam,

yang mengatur hak dan kewajiban yang sama untuk orang

Muslim dan orang non-Muslim, termasuk hak-hak yang timbul

sebagai konsekuensi darinya, seperti hak untuk mendapatkan

paspor, akses tanpa hambatan ke dan tinggal di wilayah negara

Islam, dan akses terhadap semua hak, kecuali yang dikecualikan

oleh aturan dan prinsip-prinsip Syariat Islam.

285 ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Ghani, ‘Atsâr al-Istikhlâf al-Duwali fî al-Qanûn al-Duwali al-‘Âmm wa al-

Syarî'ah al-Islâmiyyah’, Disertasi, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar, 1400 H/1980 M), h. 357.

Page 265: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

228

Ini berarti bahwa mereka lebih menikmati

“kewarganegaraan negara Islam” ketimbang “kewarganegaraan

Islam”.286 Dengan kata lain, ini lebih merupakan "kebangsaan

negara" ketimbang "kebangsaan agama".

(iv) Syariat Islam meletakkan dasar konstitusi untuk memperlakukan

orang dzimmiy, yang dapat disimpulkan dalam sebuah surat

Imam Abû Yûsuf kepada Khalifah Harun al-Rasyid:

"Wahai Amîr al-Mu’minîn, anda mungkin harus

menunjukkan kelonggaran untuk orang dzimmiy, yang

menikmati perlindungan (dzimmah) Nabimu dan sepupumu

Muhammad SAW dan bahwa mereka tidak tertindas, terluka,

diberikan beban di luar kapasitas mereka, atau diambil harta

mereka kecuali yang kewajiban mereka. Diriwayatkan bahwa

Nabi Muhammad SAW telah bersabda:

Barangsiapa menzalimi orang non-Muslim dzimmiy yang mau membayar jizyah, yang mengakui bahwa ia lemah, maka aku sebagai musuhnya pada Hari Kiamat.

Di tempat tidur, menjelang kematiannya, Khalifah 'Umar ibn al-

Khattâb berwasiat: “Aku berwasiat kepada penerusku, antara

lain, untuk mengurus orang dzimmiy di bawah perlindungan

Nabi Muhammad SAW serta menghormati perjanjian “aman”

286 Pendapat lain mengatakan: “Bahwasannya dzimmî itu berhubungan dengan negara Islam bukan sebagai bangsa (umat) Islam. Islam sebagai keyakinan menganggap semua Muslim sebagai saudara dalam agama, tetapi dalam kewarganegaraan, Islam memandang baik Muslim dan dzimmiy sebagai saudara senegara (sesama warga negara). Lihat Muhammad Sallâm Madkûr, Ma'âlim al-Daulah al-Islâmiyyah, (Kuwait: Maktabat al-Falâh, 1403 H/1983 M), h. 106-107.

Page 266: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

229

yang diberikan kepada mereka, ikut berperang untuk membela

mereka dan tidak memberikan beban tugas di luar kemampuan

mereka.287

(v) Islam menghormati dan memerintahkan berbuat baik kepada

orang dzimmiy, sebagai bentuk penerapan kalam Allah SWT:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama, serta tidak mengusir kalian dari rumah kalian, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 8).

Sikap melanggar kewajiban untuk berbuat adil kepada mereka

dilarang Nabi SAW dalam Hadis:

Ketahuilah, barangsiapa berbuat zalim kepada orang dalam hal perjanjian, mengurangi hak, memberi beban tugas di luar kemampuan, atau mengambil sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku sebagai musuhnya pada Hari Kiamat.288

Dalam Hadis lain, Nabi bersabda:

Jika seseorang memberikan perlindungan dan kemudian membunuhnya, maka aku terbebas dari urusan pembunuh tersebut (memusuhi pembunuh itu), walaupun korbannya adalah seorang non-Muslim.

Bahkan, Ibn Hazm berpendapat dalam kitab Marâtib al-

Ijmâ’, "Jika seorang dzimmiy diserang oleh musuh di wilayah

kita, maka orang Muslim harus membela mereka sampai mati.”

287 Abû Yûsuf, al-Kharâj, op. cit, h. 125 288 Abû Dâwûd, al-Sunan, Kitâb al-Kharâj wa al-Imârah wa al-Fay', Hadis No. 3052, Jilid. III, h. 288.

Page 267: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

230

Ini merupakan kewajiban untuk menjaga orang dzimmiy di

bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya, karena

menyerahkan orang dzimmiy kepada musuh adalah sebuah

pelanggaran perjanjian.289

(vi) Aturan umum menyangkut orang dzimmiy adalah bahwa

“mereka memiliki hak seperti yang kita miliki, dan dapat

berhutang seperti kita berhutang”, ini karena mereka telah

menerima perjanjian zimmah sehingga “harta benda mereka

harus dipelihara seperti harta kita dan darah mereka harus

dipelihara pula seperti darah kita”290 atau mereka menerima

perjanjian zimmah sehingga harta benda dan hak-hak mereka

dilindungi dan aman seperti kita.291

Namun, ada beberapa perbedaan antara orang dzimmiy

dan orang Muslim terkait karena adanya perbedaan agama.

Seorang dzimmiy harus membayar jizyah, sementara seorang

Muslim membayar zakat. Seorang Muslim diwajibkan untuk

melawan dalam membela wilayah Islam, sementara orang

dzimmiy tidak memiliki kewajiban seperti itu. Seorang dzimmiy

dilarang menduduki posisi tertentu seperti kepala negara atau

panglima tentara karena posisi itu hanya diperuntukkan bagi

orang Muslim.

289 Ibn al-Azrâq al-Andalusî, Badâ'i al-Sulûk fi Tabâ'i al-Mulk, dikoreksi oleh Muhammad ibn ‘Abd al-

Karîm, (Tunisia-Libya: Dâr al-‘Arabiyyah li al- Kitâb, 1980), Jilid. II, h. 688. 290 al-Kasâni, Badâ'i al-Sanâ'i,op.cit , Jilid. 7, h. 111. 291 al-Syaibâni, Syarh al-Siyar al-Kabîr, Jilid III, Edisi Hyderabad, op. cit, , h. 250.

Page 268: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

231

Banyak sarjana non-Muslim telah memberikan penghargaan

untuk sistem dzimmah.

Sebagian sarjana Barat mengatakan bahwa Islam sebelum

hidup berdampingan dengan agama-agama lain, sejak lama

sistemnya telah sempurna dalam konteks politik internasional.292

Sementara L. Massignon menyatakan Islam telah mendahului

Kristen dengan mengakui kepribadian manusia secara penuh

untuk orang dzimmiy dengan dasar prinsip persamaan.293

Boisard berpendapat bahwa perlindungan non-Muslim di tanah

Muslim terbukti menjadi saluran hukum yang asli pada saat Barat

mulai keluar dari Abad Pertengahan dan menyadari perlunya

menetapkan aturan yang mengatur hubungan dengan orang

asing.294

292 Dalam hubungan ini, B.F. Gohnson, penasihat hukum di Kementerian Luar Negeri Swedia pernah

mengatakan, “Koeksistensi adalah mungkin. Seseorang dapat di sini, menyebutkan prinsip-prinsip Islam dalam mengatur posisi dzimmiy, pemeluk agama lain, dalam dunia Islam. Agama lain diterima dalam Islam. Sesuatu yang telah dilupakan dalam politik dunia akhir-akhir ini. Lihat BF Gohnson, Change in the Norms Guiding the International Legal System, R. Egyp DI, 1980, h, 7.

293 Massignon mengatakan: “Et, les deux categories d.exclus, les barbares Etrangers (les dhimmi) et les esclaves barbares, l.Islam,

quoi pense en qu.on ordinairement en Occident, e precede la chrétienneté (qui lui était antérieure) dans un effort juridique destine a Leur restituer la personalité humaine.

C’est que l’Islam ne pas le séparant spirituel du temporel, est tenu de se faire une Philosophy originale des «fondements du droit» (ushul al - fiqh), du Droit des gens, dont il n’existe pas d’analog dans le droit canon Chrétien ... Des l'epoque du Prophete, Muhammad, pada avait à tendu accorder la pleine aux Dhimmiyûn personnalité humaine, à Egalite. “ Lihat L. Massignon, Le Respect de la Personne Humaine en Islam et la Droit du d'Priorité Asile sur le Droit de la Guerre Juste, RICR, 1952, h 353-354.

294 Boisard mengatakan: “La protection des non-musulmans en terre d Islam mérite une analyze, car Noelle comme une s.est affirmé voie originale, ou même au saat l.Occident allait sortir du Moyen Age et de la prendre conscience nécéssité de fixer des règles régissant les rapports avec les Etrangers”.

Dia menambahkan: “La respect dans la difference fut la plus la belle expression de la tolerance musulmane. Il serait faux et injuste de dénoncer le fanatisme de l.Islam en certains des considérant peu nombreux qui Abus ont Marque, intermittance nominal, l histoire de l Etat musulman.” Lihat M. Biosard, L et la moral Islam Internationale, Droz, Genève, 1980, h. 176, 188.

Page 269: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

232

Turtone menyatakan bahwa perlindungan orang dzimmiy kadang

menyiratkan bahwa mereka benar-benar menikmati hak yang

sama seperti orang Muslim.295

Terakhir, sebagian sarjana Barat mempertahankan pendapat

bahwa secara umum, sistem dzimmah serupa dengan sistem jiwâr,

yang diterapkan di antara suku-suku Arab pra-Islam, di mana satu

individu atau sekelompok orang ditempatkan di bawah

perlindungan dari suku tertentu.296

b. Integrasi lokal orang Muslim di wilayah non-Muslim

Ahli Syariat Islam telah membahas masalah ini, terutama

aspek legalitas dalam perspektif Islam tentang seorang Muslim

yang memperoleh kewarganegaraan dari negara non-Muslim.

Dalam hubungan ini, sejumlah pertanyaan telah diajukan oleh

Institut Pemikiran Islam Dunia (Washington) kepada Dewan

Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam. Satu dari pertanyaan ini

295 Lihat Turtone, Ahl al-Dzimmah fi al-Islâm, alih bahasa Hasan Habasyi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-

‘Arabiy), h. 153. Seorang mantan konsul Inggris di Tunisia mengatakan:“Diketahui bahwa dzimmiy memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti Muslim, jika tujuan nasional mereka terbukti sesuai dengan umat Islam, dan jika mereka, seperti juga Muslim, dalam kewajiban mengutamakan kepentingan tanah air dan kesejahteraan umum.” Dia menambahkan bahwa banyak sekte Kristen tetap aman dan makmur di bawah kekuasaan Islam dan kadang-kadang status sosial mereka bahkan lebih tinggi dari masyarakat lokal Muslim. Lihat Sir Richard Wood, al-Islâm wa al-Islâh, Majallat al-Azhar, Mei 1986 (Sya’ban 1406 H), h. 21, 32.

Stavraki mengatakan Muslim diharamkan untuk memaksa orang lain masuk Islam. Selain itu, perang untuk mengubah keyakinan juga dilarang.” Lihat Emmanuel Stavraki, (The Humanitarian Concept in Humanitarian International Law, International Review of the Red Cross) al-Mafhûm al-Insâniy fi al-Qânûn al-Dauliy al-Insâniy, al-Majallah al-Dauliyyah li al-Salîb al-Ahmar, No. 17, 1991, h. 36.

296 R. Caspar, Entre les Declarations Universelles des droits de l home et le statute de la Dimma un: Essai de F. Huwaidi, dalam the Third Islamic-Christian Colloquoum Human Rights, Tunisian University, Center for Economic and Social Studies and Research, Official Tunisian Government Printing Press, 1985, h. 210-211. Pendapat lain mengatakan bahwa "Islam mengakui agama-agama lain dan mentolerir koeksistensi mereka dengan orang Islam".

Reisman, Islamic Fundamentalism and its Influence on Internasional Law and Politics, in “The influence of Religion on the Development of International Law”, M. W. Janis, M. Nijhoff, Dordrecht, (eds.), 1991, h. 123.

Page 270: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

233

adalah bagaimana penilaian terhadap penerimaan seorang Muslim

menjadi warga negara asing baik di Amerika atau Eropa,

mengingat sebagian dari mereka telah memperoleh atau berniat

untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut, dimana mereka

melakukannya hanya karena mengalami penyiksaan,

penganiayaan di negara asal mereka berupa hukuman penjara,

ancaman, penyitaan properti, dan lain lain.

Beberapa ahli Syariat Islam menyatakan bahwa sepanjang

Syariat Islam dan hudud (hukuman yang ditentukan dalam Islam)

ditangguhkan di negara asal mereka, hal itu tidak ada bedanya

bagi orang tersebut, baik ia berkewarganegaraan negara asal

dimana ia dianiaya atau ia warga negara dari negara yang ia pilih

untuk menetap. Dalam kedua kasus tersebut, Syariat Islam tidak

diberlakukan dan hudud tidak diterapkan. Di negara suaka, hak-

hak pribadinya, kehidupan, harta, dan kehormatannya dijamin,

dan ia tidak mungkin dipenjarakan atau diancam kecuali jika ia

melakukan perbuatan yang menyebabkan sanksi hukum.297

Sebagian anggota Dewan menjawab pertanyaan tersebut di

atas. Dan kami cukup menyebutkan sebagian diantaranya saja.

297 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h.

1095. Ahmad ibn Hamd al-Khalîliy menjawab: “Masalah kewarganegaraan Muslim di negara non-Muslim tergantung pada berbagai aspek yang terkait dengan kasusnya. Naturalisasi berarti perlakuan yang sama dalam hak-hak kewarganegaraan dan kewajiban dengan warga asli dari negara pemberi kewarganegaraan. Jika negara tersebut mewajibkan warganya untuk melakukan perlawanan terhadap negara Islam, maka bagi Muslim ini akan berada di bawah kewajibannya untuk terlibat dalam tindakan ini. Oleh karena itu kami percaya bahwa kewarganegaraan Muslim dari negara non-Muslim mungkin dibolehkan dalam suatu kondisi terpaksa, hanya dalam kasus-kasus kebutuhan, seperti di mana seorang Muslim beresiko dikejar-kejar atau tidak aman hidupnya, kehormatan dari anak-anaknya terancam, dan sebagainya, dan di mana ia tidak memiliki akses suaka ke negara Islam lain.“ Lihat Jilid II, h. 1119.

Page 271: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

234

Haji Abdullah Bah menyatakan, "Dipilihnya kewarganegaraan

asing oleh seorang Muslim, baik Amerika atau Eropa, mungkin

diizinkan jika hal itu didorong oleh kebutuhan, bukan oleh

keinginan untuk meniru orang non-Muslim dalam gaya hidup,

nama, atau karakteristik, dan asalkan naturalisasi tersebut tidak

akan menyebabkan gangguan atau fitnah dari kewajiban

agamanya atau menjadikannya berkolaborasi dengan musuh-

musuh Allah. Pendapat ini didukung oleh kalam Allah Yang

Maha Kuasa: "Siapapun yang ingkar setelah menerima iman

kepada Allah, kecuali di bawah paksaan, sedang hati mereka

tetap dalam iman. Akan tetapi barangsiapa membuka dada

mereka untuk kekafiran, maka bagi mereka adalah murka dari

Allah, dan bagi mereka azab yang besar.” (Q.S. al-Nahl: 106).298

Sheikh Mohammad Taqiyuddin berkata, "Hukum atas

penerimaan kewarganegaraan oleh seorang Muslim dari negara

non-Muslim, mungkin bervariasi menurut keadaan, kasus, atau

tujuan dari naturalisasi itu. Jika seorang Muslim terpaksa, karena

disakiti atau dianiaya di negara asalnya, melalui ancaman penjara

atau penyitaan properti; bukan karena melakukan kejahatan dan

atau memiliki kesalahan, sedang ia tidak menemukan

perlindungan lain selain di negara tersebut, maka seorang Muslim

boleh berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan jika dia

298 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h.

1095.

Page 272: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

235

menginginkannya, asalkan dia akan mengakui pada dirinya

sendiri untuk mempertahankan iman selama karirnya (hidupnya)

dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang telah umum ada

di negara itu.

Dalil yang menguatkan pendapat ini, adalah bahwa para

sahabat Nabi telah hijrah ke Ethiopia (Abessinia/ Habsy) setelah

dianiaya oleh orang Mekkah. Meskipun Abessinia pada waktu itu

didominasi oleh orang-orang non-Muslim, sahabat Nabi tinggal di

daerah itu, dan bahkan beberapa dari mereka tetap tinggal setelah

hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Abû Mûsa al-Asy'ari,

kembali dari Abessinia hanya ketika perang Khaibar berlangsung

pada tahun 7 Hijriyah.

Ini adalah kewajiban setiap Muslim untuk melindungi

hidupnya sendiri terhadap semua bentuk kezaliman. Jadi jika

seseorang tidak menemukan tempat yang aman kecuali di tanah

non-Muslim, maka tidak ada larangan baginya untuk hijrah ke

sana, asalkan ia mematuhi kewajiban agama dan menjaga diri dari

kemaksiatan yang dilarang.

Jika seorang Muslim memperoleh kewarganegaraan tersebut

dengan tujuan dakwah kepada Islam, tindakan ini selain diijinkan,

juga akan dianjurkan. Begitu banyak para sahabat dan tabiin yang

menetap di tanah non-Muslim untuk tujuan terpuji ini. Tindakan

Page 273: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

236

ini direkam dalam biografi mereka dan cerita sifat-sifat mulia

mereka.299

Maka dapat disimpulkan bahwa suaka oleh seorang Muslim

ke negara non-Muslim dan integrasi ke dalam masyarakat

setempat diatur oleh dua kaidah:

Kaidah Pertama: Perlindungan dapat dicari hanya dalam keadaan

darurat dan dalam suatu keadaan bahaya serta keadaan yang

mengancam keselamatan fisik, kehidupan, keluarga atau properti

seseorang.

Kaidah Kedua: Suaka tidak seharusnya berujung pada

pelanggaran aturan Islam, seperti keterlibatan dalam perang,

intrik, atau rencana untuk melawan negara Islam.

Dalam kaitan ini, peristiwa berikut dapat menjadi contoh

yang tepat yakni ketika tentara Khalifah al-Mansur dikalahkan, ia

berpikir untuk mengungsi ke wilayah Kekaisaran Romawi. Salah

satu anak buahnya berkata kepadanya, "Maukah anda pergi

bersama anak-anak anda dan keluarga anda, mencari

perlindungan kepada orang non-Muslim yang telah membentuk

kerajaan aman dan stabil? Mungkin keadaan kerajaannya menarik

bagi anak-anak anda, atau mungkin menggoda mereka untuk

masuk ke dalam Kristen. Jika anda pergi jauh sampai anda masuk

299 Organisasi Konferensi Islam, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi No. 3, 1408 H 1987M, h. 1129-1130. Lihat juga jawaban serupa dari Muhammad Mukhtâr al-Salâmi, h.1156. Lihat juga Muhammad ibn Sabîl dalam “al-Tajannus bi Jinsiyyah Daulah ghair Islâmiyyah”, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islâmiy, Edisi 4, 1410 H (1989 M) h. 165-166. Lihat pula pendapat al-Lajnah al-Dâ’imah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’, dalam Majallat al-Buhûts al-Islâmiyyah, (Riyadh: al-Ri’âsah al-‘Âmmah li Idârat al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah wa al-Irsyâd, 1412 dan 1414 H), Edisi 32, h. 98 dan 101-103.

Page 274: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

237

ke Mesir, anda akan menemukan para laki-laki, kuda, senjata dan

uang. Jika kamu memilih, maka kamu bisa memilikinya. Maka,

al-Mansur mengubah tujuannya dan menuju Mesir.300

B. Menurut Hukum Internasional

Pasal 1-F Konvensi 1951 menyatakan bahwa "orang-orang

yang tidak membutuhkan perlindungan internasional"

dikecualikan dari penerapan Konvensi. Hal ini mengacu pada

“setiap orang yang diakui oleh pejabat berwenang dari suatu

negara di mana ia telah tinggal, sebagai orang yang memiliki hak

dan kewajiban yang melekat pada hak kewarganegaraan negara

itu."301

Ini berarti bahwa orang yang bersangkutan seharusnya telah

terintegrasi dan telah memperoleh status yang sama seperti warga

negara dari negara pemberi suaka. Ini artinya bahwa kepada

seseorang itu tidak diberlakukan Konvensi 1951, jika ia telah

terasimilasi (is assimilated). Oleh karena itu ia dapat menikmati

status seperti warga negara dari negara pemberi suaka. Orang-

300 Lihat Ibn ad-Dayah, Kitâb al-Mukâfa'ah wa Husn al-'Uqbâ, (Mekkah: Dâr al-Bâz, t.th.), h. 85. Contoh lain ialah surat oleh Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Jarba dan Azrah (yang memberitahukan kepada mereka bahwa) Allah memberikan jaminan kepada mereka dalam memberikan nasihat dan berbuat baik kepada Muslim (hidup dengan mereka) dan mereka yang berlindung karena takut akan bahaya atau hukuman. Lihat Ali ibn Husain Ali al-Ahmadi, Makâtib al-Rasûl, Beirut: Dâr Sa’b, Jilid II, h. 294-295.

301 Program Aksi Cotunou (tahun 2004) menyatakan bahwa manakala pengungsi telah mengembangkan ikatan kekeluargaan, hubungan sosial dan ekonomi yang kuat dengan masyarakat tuan rumah, maka mungkin akan menguntungkan bagi negara tuan rumah untuk bisa memfasilitasi proses integrasi lokal para pengungsi tersebut melalui pemberian tempat tinggal permanen dan akhirnya naturalisasi. Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op.cit, Jilid. III, h. 1027.

Harus ditekankan bahwa sistem zimmah dalam Islam lebih baik karena: 1- Pemberian suaka semata-mata didasarkan permintaan suaka tanpa perlu menunggu; 2- Implikasinya orang tersebut tetap membawa kewarganegaraan negara Islam.

Page 275: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

238

orang ini sering disebut sebagai "pengungsi nasional" (national

refugees), karena mereka secara lokal telah terintegrasi (locally

integrated) dengan penduduk negara pemberi suaka.

1.3. Penempatan di negara ketiga

A. Menurut Syariat Islam

Dalam Islam tidak ada hal yang menghalangi penempatan di

negara ketiga bagi pengungsi jika ia sangat menginginkannya. Ini

adalah bagian dari kebebasan individu untuk berpindah dan

tinggal di tempat pilihannya, sebagaimana dikuatkan oleh kalam

Allah:

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15).

Dan kalam Allah:

Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10).

B. Menurut Hukum Internasional

Penempatan di negara ketiga adalah solusi jangka panjang

yang dapat diharapkan. Haruslah dipahami bahwa penempatan di

negara ketiga bukanlah sebuah hak atau perkara yang sifatnya

otomatis, tetapi tergantung pada keputusan yang akan diambil

Page 276: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

239

oleh otoritas negara penerima. Dalam hal ini, ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi:

- Orang yang bersangkutan harus menjadi pengungsi di negara

yang ditinggali saat ini;

- Dia menghadapi hambatan secara fisik atau hukum yang tidak

bisa diselesaikan secara lokal atau dengan cara lain; atau

- Dia memiliki anggota keluarga dekat yang tinggal di negara

tujuan penempatan secara sah.302

III.2. Berakhirnya suaka

Status pengungsi dapat berakhir lantaran sejumlah faktor

sebagaimana dijelaskan berikut ini.

A. Menurut Syariat Islam

1. Perpindahan agama ke Islam

Ini adalah alasan yang hanya berlaku dalam Islam. Kami

memandang bahwa perpindahan agama pengungsi menjadi

pemeluk agama Islam merupakan alasan yang baik untuk

mengakhiri statusnya sebagai pengungsi berdasarkan argumentasi

berikut ini. Pertama, kesatuan wilayah dunia Islam, meskipun

beragam dan berbeda-beda kebangsaannya. Kedua, jaminan

kesetaraan dan persamaan antar sesama Muslim dapat terjamin.

Tentu tidaklah adil kalau seorang pencari suaka (mustajîr) yang

telah memeluk Islam tetap menjadi pengungsi dengan hak-haknya

302 Lihat Information for asylum-seekers and refugees in Egypt, op cit, h. 58, 76.

Page 277: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

240

sebagai pengungsi, sementara saudara-saudara Muslimnya yang

lain di negara Islam merupakan warganegara yang memiliki hak-

hak kewarganegaraan secara utuh.

Hal ini telah menjadi ketentuan dalam ajaran Islam, sebagaimana

sabda Rasulullah SAW:

Seorang Muslim merupakan saudara bagi Muslim yang lain; dan karena itu, tidak boleh menghina atau mengkhianatinya. Siapa saja yang membantu kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan membantu kebutuhannya. (Diriwayatkan oleh Muslim).303

Oleh karena itu, tindakan tetap memperlakukan pencari

suaka yang telah memeluk agama Islam sebagai seorang

pengungsi merupakan suatu bentuk penelantaran dan kezaliman.

Dalam hal ini diberlakukan asas hukum bahwa agama Islam

menghapus semua dosa yang diperbuat sebelumnya.304 Artinya,

seseorang yang telah memeluk agama Islam tidak dimintai

pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah

dilakukannya sebelum memeluk agama Islam. Hal ini didasarkan

kepada dalil hukum berikut ini. Pertama, Q.S. al-Anfâl/8:38 :

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) Sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu".. (Q.S.al-Anfâl/8:38).

303 Sahîh Muslim, Kitâb al-Birr wa al-Silâh, Bab Tahrîm al-Zulm, No. 2580, Jilid. 4, h. 1996. 304 Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Musnad ‘Amr ibn al-Ash, Hadis No. 17775. Jilid. 29, h. 315.

Page 278: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

241

Kedua, Hadis :

Sesungguhnya agama Islam itu menghapus semua dosa yang telah diperbuat sebelumnya. (Diriwayatkan oleh Ahmad). Ketiga, Hadis, yakni perkataan Nabi SAW kepada ‘Amr ibn al-

‘Âs :

Tahukah engkau bahwa sesungguhnya Islam meniadakan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya dan hijrah (migrasi) menghapuskan perbuatan sebelumnya. (Diriwayatkan oleh Muslim).305

2. Aktivitas membahayakan yang dilakukan pengungsi

A. Menurut Syariat Islam

Jika seorang non-Muslim melakukan tindakan-tindakan yang

membahayakan stabilitas keamanan negara Islam, maka suaka

harus dihentikan. Dalam kaitan ini, Allah SWT berkalam:

kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Q.S. al-Taubah/9:4)

Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. (Q.S. al-Taubah/9:12).

305 Sahîh Muslim, Hadis No. 121. Jilid. I, h. 112.

Page 279: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

242

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. al-Anfâl/8:58)

Ayat terakhir mengandung arti, dalam konteks hak suaka,

bahwa apabila terdapat kekhawatiran akan terjadi pengkhianatan

oleh seorang pengungsi, kepada dia harus diberitahukan tentang

pembatalan dan penghentian suakanya, agar perlakuan

terhadapnya menjadi seimbang dengan Muslim lainnya.

Konsekuensinya ialah (1) suaka tidak boleh dihentikan secara

mendadak tanpa pemberitahuan alasan atau faktor penyebabnya;

dan (2) pengungsi tersebut mesti diberi waktu secukupnya untuk

mengatur perpindahannya ke wilayah aman yang lain.

B. Menurut Hukum Internasional

Pasal 3 Convention Governing the Specific Aspects of

Refugee Problem in Africa (Konvensi Organisasi Uni Afrika

tentang Aspek-aspek Khusus Problematika Pengungsi di Afrika)

Tahun 1969, menyatakan bahwa:

1) Perilaku setiap pengungsi harus sejalan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di negara yang

ditempatinya; demikian pula dengan semua regulasi yang

menyangkut pemeliharaan ketertiban umum. Pengungsi

menghindari segala aktivitas yang membahayakan (subversif)

bagi setiap negara anggota Organisasi Uni Afrika.

Page 280: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

243

2) Negara Pihak menghindari dan melarang pengungsi dalam

melakukan segala aktivitas yang menyebabkan meningginya

ketegangan di antara negara-negara anggota, terutama melalui

penggunaan senjata militer, media massa atau radio.

3. Penolakan (repudiasi) atas suaka

A. Menurut Syariat Islam

Pencari suaka (mustajîr) dapat menolak perjanjian suaka

(jiwâr) dari sang pemberi suaka (mujîr) sehingga dia tidak lagi

memperoleh perlindungan atas dirinya. Ada 2 (dua) contoh yang

dapat dikemukakan:

Pertama, ketika Abû Bakr al-Siddîq mengadakan perjanjian suaka

(jiwâr) dengan Ibn al-Daginah, kaum Quraisy khawatir bahwa

anak-anak dan kaum perempuan mereka akan tersihir dengan

pembacaan ayat suci al-Qur’an. Maka, Ibn al-Daginah menemui

Abû Bakr seraya berujar: ”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku

tidak memberikan suaka (jiwâr) kepadamu untuk mencelakai

kaummu; mereka merasa muak dengan apa yang engkau lakukan,

dan juga merasa mengalami celaka lantaran tindakanmu. Maka,

masuklah ke dalam rumahmu dan lakukan apa yang ingin engkau

lakukan.” Abû Bakr menjawab: ”Haruskah aku membatalkan

suaka (jiwâr) darimu dan akan berpuas diri dengan suaka (jiwâr)

Allah?. “Aku batalkan suaka dariku”, kata laki-laki itu. “Aku

terima”, kata Abû Bakr. Kemudian Ibn al-Daginah berseru,

Page 281: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

244

“Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya anak dari Abî Quhâfah

(Abû Bakr) telah membatalkan suakaku; maka, terserah pada

kalian untuk memperlakukan kawan kalian”.306

Kedua, pembatalan oleh ‘Utsmân ibn Maz’ûn atas suaka (jiwâr)

al-Walîd ibn al-Mugîrah.307

B. Menurut Hukum Internasional

Perspektif hukum internasional perihal penghentian/pembatalan

suaka adalah tidak berbeda dengan masalah pemulangan secara

sukarela.

4. Hilangnya faktor penyebab munculnya suaka (melalui

amnesti/ pengampunan atau permintaan maaf oleh

pengungsi)

A. Menurut Syariat Islam

Apabila faktor penyebab adanya sesuatu (dalam hal ini hak

suaka) itu hilang, maka hilang pula sesuatu yang disebabkannya.

Karena itu, suaka bisa saja hilang atau terhenti lantaran faktor

yang menjadi penyebabnya juga hilang atau berakhir dengan

306 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 373-374. 307 Ibn Hisyâm mengisahkan, ketika ‘Utsmân sedang berada di bawah suaka al-Walîd ibn al-Mugîrah,

dia merasa malu karena bernasib baik berada di bawah perlindungan seorang kafir. Sementara teman-teman dan saudara-saudaranya sesama Muslim mengalami penyiksaan dan kesengsaraan yang tidak dialaminya. Jadi, dia menemui al-Walîd ibn al-Mugîrah, dan menyapanya, “Wahai Abâ-‘Abd Shams, suaka anda sudah berakhir, dan dengan ini aku menyatakan mencabutnya.” “Untuk apa keponakanku?”, al-Walîd ibn al-Mugîrah bertanya dengan heran, ”Mungkin orang-orangku telah berbuat salah padamu?” “Tidak, hanya saja aku merasa cukup dengan suaka Allah, dan aku tidak akan mencari perlindungan kecuali dari-Nya.” ‘Utsmân menjawab, ”Kalau begitu pergilah ke masjid dan umumkan penghentian ini di depan umum seperti aku memberikannya padamu dulu.” Kemudian keduanya berjalan ke masjid, dan al-Walîd berkata, “Ini ‘Utsmân, dan dia mencabut suaka dariku.” ‘Utsmân berkata, “Dia benar. Dia merupakan seorang pelindung yang baik dan bisa dipercaya; namun, aku ingin mencari perlindungan secara eksklusif dari Allah. Itulah sebabnya sekarang aku mencabut suaka darinya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, op cit, Jilid. I, h. 370.

Page 282: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

245

sendirinya. Hal ini dapat terjadi melalui pengampunan dari

penguasa negara atas segala perbuatan yang dilakukan oleh

pengungsi, atau melalui permintaan maaf pengungsi yang

diterima oleh penguasa negara. Sebagai contoh, peristiwa yang

dialami Ka’ab ibn Zuhair, yang pernah mengolok-olok Rasulullah

SAW melalui sya’irnya, lalu ia melarikan diri. Tak lama waktu

berselang, akhirnya dia datang menemui Rasulullah SAW dengan

maksud bertaubat. Diceritakan bahwa dalam pelariannya, dia

merasa seakan-akan bumi tempat berpijaknya sangat sempit, dia

merasa amat bersalah dan gelisah. Lalu, dia menemui Abû Bakr,

dan kemudian usai shalat Subuh, Abû Bakr membawa Ka’ab ibn

Zuhair, dalam keadaan mukanya tertutup sorban, menemui

Rasulullah SAW. Abû Bakr berkata: “Wahai Rasulullah, orang

ini ingin mengangkat janji setia kepada engkau atas dasar agama

Islam.” Lalu, Rasulullah mengangkat tangannya. Ka’ab ibn

Zuhair menyingkirkan sorban dari mukanya, dan berkata, ”Wahai

Rasulullah, demi ayahku, engkau dan ibuku, engkaulah tempat

berlindung aku, Ka’ab ibn Zuhair.” Kaum Anshar marah dan

berkata secara kasar kepada Ka’ab atas pernyataannya itu kepada

Rasulullah SAW. Kaum Quraisy bersimpati kepadanya dan

menginginkannya agar memeluk Islam. Kemudian, Rasulullah

SAW memberikannya perlindungan. Tak lama kemudian, Ka’ab

membacakan eulogi sebagai pujian kepada Rasulullah SAW,

Page 283: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

246

dengan pembukaan sebagai berikut:308

Hari ini, saat Su’âd pergi, hatiku merindu dendam

Terpesona dan terbelenggu cinta, tak terobati

dan sebagai penutup, dia berkata:

Kemudian para sahabat yang kupercaya berkata,

“Sudahlah, saya sedang sibuk.”

“Pergilah kau anak yatim,” aku berkata.

“Apapun Yang Maha Pengasih (Allah) inginkan akan

terjadi.”

Seberapa lamapun dia berada dalam keadaan aman,

setiap anak dari seorang wanita suatu hari pasti akan berada

dalam peti mati

Aku diberitahu bahwa pesuruh Allah telah mengancamku,

namun maaf dari pesuruh Allah merupakan suatu yang

diidam-idamkan

Al-Raqqâm al-Basri dalam bab tentang “Pengampunan dan

Repatriasi para Pelarian dan Orang Buangan melalui Pemberian

Kasih Sayang dan Pemaafan kepada Mereka”, menceritakan

bahwa istri ‘Ikrimah ibn Abî Jahl, yang telah melarikan diri ke

Yaman, telah memeluk Islam. Sang perempuan itu mendatangi

Rasulullah SAW, memohonkan perlindungan untuk ‘Ikrimah,

308 Lihat al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid. II, h. 447-451. Lihat contoh yang lain pada

h. 455-461.

Page 284: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

247

suaminya. Kemudian, sang perempuan itu pergi menemui

suaminya di Yaman, lalu dia mengajaknya menemui Rasulullah

SAW, dan kemudian beliau mengesahkan perkawinannya yang

pertama.309

B. Menurut Hukum Internasional

Perspektif hukum internasional perihal penghentian suaka

lantaran faktor ini tidak berbeda dengan perihal penghentian

suaka lantaran faktor yang disebut pada Pasal 1 C, klausa 1 dan 4,

Konvensi 1951.

5. Melakukan negosiasi dengan negara asal untuk menjamin

pemulangan pengungsi secara aman

A. Menurut Syariat Islam

Dalam pandangan Syariat Islam, suaka dapat berakhir

lantaran pengungsi memperoleh jaminan perlindungan dari

otoritas negara asal yang ditinggalkannya, dan pengungsi tersebut

dijamin bahwa dia tidak akan dianiaya atau diadili. Terdapat

contoh populer tentang hal ini, yakni terjadi suatu peristiwa

negosiasi antara ‘Adid al-Daulah dan Raja Romawi (372 H).

Penyebab peristiwa negosiasi ini ialah tindakan mengungsi yang

dilakukan oleh salah seorang warganegara Romawi, yang

bernama Ward, ke negara Islam. Di tengah-tengah negosiasi, Raja

309 al-Raqqâm al-Basriy, al-‘Afw wa al-I’tizâr, Jilid 1, h. 290-291 Lihat contoh-contoh lainnya pada h. 292 dan sesudahnya, Sunan Ibn Mâjah, Hadis No. 2008, Jilid. I, h. 647. Dari ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs dilaporkan bahwa Rasulullah mengembalikan anak perempuannya kepada Amr ibn al-‘Âsh ibn al-Rabî’, dua tahun setelah pernikahannya.

Page 285: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

248

Romawi meminta penyerahan orang tersebut; lalu ditolak oleh

negosiator muslim (yang bernama Ibn Syahrâm) dengan

mengatakan: “Saya tidak mendengar peristiwa ini dan tidak pula

menghadirinya; maka saya menolak menyetujui permintaan itu.”

Pada akhirnya, negosiasi itu dapat diselesaikan dengan sukses

oleh kedua negara. Agar jaminan perlindungan yang diberikan

kepada pengungsi seperti yang tersebut dalam perjanjian tidak

dilanggar, masyarakat Muslim mengirim surat kepada Raja

Romawi agar ia memberikan jaminan keamanan dan perlakuan

yang baik bagi orang Muslim dan saudaranya, dan

mengembalikan kedua orang itu pada kedudukannya yang

terdahulu dan keadaannya yang tepat. Demikian pula, Ward

terikat dengan perjanjian yang menyatakan bahwa ia tidak

dibolehkan mengancam stabilitas keamanan Kekaisaran

Romawi.310

B. Menurut Hukum Internasional

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan suaka di suatu

negara dapat berakhir, seperti pengembalian kewarganegaraan

apabila seseorang telah memperoleh suaka di negara lain. Lebih

dari itu, Pasal 1C Konvensi 1951 menegaskan sejumlah keadaan

310 Lihat Ibn Miskawaih, Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at al-

Syirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1333 H/ 1915 M), Jilid II, h. 396-397; Perdana Menteri Abû Sujâ’, digelari Zahîr al-Dîn al-Ruwadzrâwiy, Dzail Kitâb Tajârub al-Umam, (Baghdad: Maktabah al-Matsnâ, Mesir: Matba’at al-Syirkah al-Tamaddun al-Sanâ’iyyah, 1334 H/ 1916 M), h. 28-39, h. 111 dan seterusnya. Lihat juga notulen dan hasil negosiasi tersebut dalam Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa al-Ilâqât al-Duwaliyyah fi Syarî’ah al-Islâm, Vol. IX, h. 478-499.

Page 286: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

249

yang mengakibatkan berakhirnya masa pemanfaatan suaka oleh

pengungsi atau biasa dikenal sebagai “cessation clauses”, yaitu

:311

1. apabila dia secara sukarela mengambil kembali perlindungan

negara asalnya; atau

2. apabila dia secara sukarela memperoleh kembali

kewarganegaraannya setelah dia kehilangan kewarganegaraan;

atau

3. apabila dia telah memperoleh kewarganegaraan baru dan

menikmati perlindungan dari negara barunya itu; atau

4. apabila dia kembali secara sukarela ke negara yang dia

tinggalkan atau tetap di luar negara itu lantaran takut akan

penganiayaan; atau

5. apabila dia tidak mampu lagi (karena hilangnya faktor keadaan

yang melahirkan pengakuan akan dirinya dalam kapasitasnya

sebagai pengungsi) untuk terus menolak perlindungan dari

negara asalnya; atau

6. Meski dia tidak memiliki kewarganegaraan, dia (karena

hilangnya faktor keadaan yang melahirkan pengakuan akan

dirinya dalam kapasitasnya sebagai pengungsi) dapat pulang

kembali ke negara yang didiaminya terdahulu.312

311 Lihat juga kasus-kasus lain yang disebutkan dalam Pasal 1-4 Convention Governing the Specific

Aspects of Refugee Problems in Africa, 1969. 312 Lihat dalam Conclusion No. 69 on Cessation of Refugee Status, Komite Eksekutif menekankan

bahwa dalam pengambilan semua kesimpulan terhadap permohonan klausa penghentian yang didasarkan pada “keadaan terhenti” (ceased circumstances), negara harus secara hati-hati menilai karakter dasar mengenai

Page 287: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

250

BAB VI

PERBANDINGAN ANTARA

SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

DALAM KONTEKS HAK SUAKA

Pada bagian ini, kami akan memaparkan persamaan antara

pandangan Syariat Islam dan hukum internasional tentang hak

suaka, dan kemudian dilanjutkan dengan paparan mengenai

perbedaan antara pandangan Syariat Islam dan hukum

internasional tentang isu yang sama.

A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan

Hukum Internasional tentang hak suaka

Indikator terpenting persamaan antara pandangan Syariat

Islam dan hukum internasional tentang hak suaka tergambarkan

sebagai berikut:

1. Larangan pemulangan kembali pengungsi ke negara di

mana dia menghadapi risiko penganiayaan;

2. Larangan penjatuhan hukuman terhadap pengungsi yang

masuk atau berada di dalam wilayah suatu negara secara

ilegal;

perubahan yang terjadi dalam negara asal, termasuk situasi hak asasi nasionalnya secara umum, dan begitu juga penyebab khusus dari adanya ketakutan akan penindasan, untuk memastikan cara yang obyektif dan dapat diverifikasi yang membenarkan pemberian status pengungsi untuk diakhiri. Juga ditekankan bahwa “keadaan terhenti” dari klausa pengakhiran tidak dapat diterapkan kepada pengungsi yang masih takut akan penindasan. Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, Geneva, 1996, Conclusion No. 69 (IVIII) h. 170 -171.

Page 288: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

251

3. Prinsip non-diskriminasi;

4. Prinsip kemanusiaan hak suaka;

5. Larangan pemberian suaka kepada pengungsi yang

merupakan prajurit perang;

6. Kemungkinan pemberian suaka kepada tawanan perang;

7. Keharusan penyediaan kebutuhan primer pengungsi;

8. Prasyarat reunifikasi atau penyatuan anggota keluarga

pengungsi;

9. Perlindungan terhadap harta kekayaan dan properti milik

pengungsi;

10. Pemberian hak dan kebebasan dasar kepada pengungsi

sebagai manusia dan subyek hukum;

11. Larangan pemberian suaka kepada para pelaku kejahatan

(non-politik);

12. Kemungkinan bagi para pencari suaka untuk memperoleh

perlindungan sementara; dan

13. Penghentian suaka lantaran hilangnya faktor penyebab

kemunculan suaka.

B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum

Internasional tentang hak suaka

Jika suaka, menurut hukum internasional modern, berarti

perlindungan yang diberikan oleh suatu negara dalam

hubungannya dengan negara lain, yang didapatkan oleh seseorang

Page 289: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

252

atau sekelompok orang (yang disebut sebagai pengungsi), maka

Syariat Islam berbeda pandangan dengan hukum internasional

dalam sejumlah hal. Yang paling pokok antara lain perihal siapa

yang memberikan suaka, siapa yang berhak memperoleh suaka,

tempat diberikannya suaka, sifat hak suaka, bentuk suaka non-

sukarela (involuntary asylum), ekstradisi pengungsi dan tata

perlakuan terhadapnya, suaka yang diperoleh melalui cara

penipuan, pemberian status kewarganegaraan pengungsi dengan

identitas kewarganegaraan negara pemberi suaka, dan perihal

klasifikasi suaka.

1. Pihak pemberi suaka

Menurut Syariat Islam, suaka dapat diberikan, baik oleh

institusi negara maupun oleh individu biasa.313 Hal ini didasarkan

pada Hadis:

Orang Mukmin (Muslim) itu sederajat. Yang paling rendah di antara mereka dapat bergerak dengan jaminan perlindungan; dan mereka adalah tangan (yang melindungi) atas orang-orang selain mereka. (Diriwayatkan oleh Ahmad).314

Juga berdasarkan konsep jiwâr (pemberian perlindungan)

yang diterapkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menerima

jiwâr yang diberikan oleh al-Mut’im ibn ‘Adiy dan praktik ini

diikuti oleh umat Islam pasca beliau wafat. Sementara itu, dalam

313 Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm al-Jawziyyah: Ahkâm Ahl al-Dzimmah, tahqîq Subhi al-

Sâlih (Beirutt: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1983, , Jilid. 2, h. 858. 314 Telah dikemukakan takhrij-nya pada halaman 83.

Page 290: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

253

hukum internasional modern, yang berhak memberikan suaka

hanyalah institusi negara sehingga pengungsi berada di bawah

kekuasaan dan perlindungan negara saja. Nabi SAW bersabda:

Jika seseorang meminta perlindungan akan jiwanya kepadamu maka janganlah kamu bunuh dia. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah) 315

Abû Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah SAW pernah

bersabda:

Keimanan adalah pengaman dari tindakan pembunuhan/penganiayaan. Seseorang yang memiliki keimanan tidak boleh dibunuh/dianiaya. (Diriwayatkan oleh Abû Dâwud).316

Aturan dalam Islam, sebagaimana halnya aturan di negara-

negara lain, adalah negaralah yang memiliki hak eksklusif dalam

mengatur urusan luar negeri negara tersebut, hal ini dinyatakan

dalam Hadis:

Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. (Diriwayatkan oleh al-Bukhâri).317

Dengan demikian, hanya pihak pemimpin negara yang

memiliki hak untuk mengatur urusan dalam dan luar negeri

315 Ibn Majah, Sunan Ibn Mâjah, Pembahasan tentang diyat, bab tentang orang yang dimintai perlindungan atas jiwa orang lain, tetapi kemudian orang itu membiarkannya terbunuh, hadis No. 2689, Jilid. II, h. 869

316Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwûd, Pembahasan tentang Jihad, bab tentang musuh yang tertangkap dalam keadaan sekarat, hadis No. 2769. Jilid.3 h. 145.

317 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Pembahasan tentang shalat Jum’at, bab tentang shalat Jum’at di kawasan desa dan kota, hadis No. 857, Jilid. 1, h. 304..

Page 291: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

254

negaranya; dan individu orang Muslim tidak boleh melakukan hal

demikian apabila pemimpin negara tidak mendelegasikan

kewenangannya atau tidak memberikan izin kepada orang itu

untuk melakukan tugas tersebut.318 Tetapi, hak suaka merupakan

pengecualian dari prinsip ini, karena individu biasa dapat

memberikan suaka.

2. Perihal penerima manfaat suaka

Orang Muslim, orang non-Muslim dzimmiy dan orang non-

Muslim harbiy dapat menerima/memanfaatkan suaka. Tidak ada

satupun kelompok orang yang dikecualikan dari hak ini. 319

Sedangkan menurut hukum internasional, sejumlah negara dapat

membatasi subyek sasaran pemberian suaka, terutama pada masa-

masa sekarang ini.320

Lebih jauh, dalam pandangan hukum internasional, sebutan

“pengungsi”, sesuai dengan Pasal 1A Konvensi 1951, mengacu

pada setiap orang yang memiliki ketakutan yang beralasan karena

adanya penganiayaan atas alasan ras, agama, kewarganegaraan,

318 Lihat Ahmad Abû al-Wafâ, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Duwaliy wa al-‘Alâqât al-

Duwaliyyah fî Syarî’ah al-Islâm, Jilid. IV, h. 61. 319 Roger C. Glase mengakui bahwa hak suaka diberikan bahkan kepada musuh negara Islam. Satu

prinsip esensial dari hukum internasional Islam ialah penghormatan atas hak-hak non-Muslim. Dia menambahkan bahwa penghormatan ini sangat jelas. Hak atas suaka diberikan kepada orang asing, bahkan orang asing yang merupakan musuh. Lihat, Roger C. Glase, Protection of Civilian Lives in Warfare–A Comparison between Islamic Law and Modern International Law concerning the Conduct of Hostilities. Revue de droit penal militaire et de droit de la guerre, 1977, h. 249.

320 Untuk membatasi calon pengungsi (pencari suaka), negara-negara Eropa mengumumkan penerapan sejumlah pembatasan, seperti memberlakukan hukuman (denda) terhadap maskapai penerbangan yang membawa penumpang yang tidak memiliki dokumen yang sah, memberlakukan pembatasan izin masuk pengungsi dengan mengidentifikasi kasus penolakan untuk masuk, dan menciptakan badan penentuan status pengungsi. Lihat, sebagai contoh, situasi di Belgia dalam Johnson, Refugee Law Reform in Europe–the Belgian Example, Col. J. Of Trans. L., Jilid. XXVII, 1989, h. 589-613.

Page 292: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

255

keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau pandangan

politik tertentu. Dalam pandangan Syariat Islam, di samping yang

telah disebutkan, yang juga dapat menerima/memanfaatkan suaka

ialah orang yang ingin mendengarkan kalam Allah (dikenal

dengan suaka keagamaan) atau seseorang yang datang, dengan

faktor penyebab apapun, untuk memperoleh status penerima

perlindungan sementara (musta’min), atau warganegara non-

Muslim (ahl al-dzimmah).

3. Perihal aspek eksteritorial pemberian suaka

Pemberian suaka di wilayah teritorial Islam membawa

implikasi bahwa pengungsi dapat menikmati hak ini di setiap

wilayah negara Islam karena bahwa (a) sistem hukum (negara

Islam) itu satu; dan (b) wilayah negara Islam itu satu 321 ,

meskipun keadaan tersebarnya umat Islam di sejumlah negara di

dunia kini menghalangi aplikasi hukum ini. Sedangkan dalam

hukum internasional modern, negara di dunia dibagi menjadi

entitas politik independen yang terpisah, yang masing-masing

hidup dengan batasan geografis yang jelas. Karena itu, hukum

internasional memandang bahwa pemberian suaka dibatasi pada

negara yang memberikannya, dan dipastikan tidak akan beralih ke

321 Menurut Dâr al-Iftâ’ al-Misriyyah: “ Semua negara Islam dianggap sebagai tempat tinggal bagi setiap Muslim.”Lihat al-Fatâwâ al-Islâmiyyah min Dâr al-Ifta al-Islâmiyyah, al-Majlis al-A’la li Syu’ûn al-Islâmiyyah, Kairo 1402 H (1989). Jilid. VII, h. 2645. Prinsip Islam tersebut sekarang diberlakukan di wilayah Uni Eropa. Dalam kenyataannya, Protocol No. 29 concerning Right to Asylum for Citizens of the European Union (1997) menetapkan bahwa perjanjian-perjanjian masyarakat Eropa membuat ruang (une espace) tanpa batas-batas internal dan memberikan semua penduduk di dalam perserikatan hak untuk pindah secara bebas dan tinggal di wilayah negara anggota. Lihat, L. Dubois et C. Gueydan, Les Grands Textes du Droit de l’Union Europeene, (Dalloz, Paris, 2002, t.th.), h. 195.

Page 293: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

256

negara-negara lain.

Patut dicatat bahwa Komite Eksekutif Program UNHCR,

melalui Konklusi No.12 tentang Pengaruh yang Bersifat Teritorial

untuk Menentukan Status Pengungsi, mengatakan bahwa

sejumlah ketentuan aturan dalam Konvensi 1951 memungkinkan

seorang pengungsi yang tinggal di dalam suatu negara pihak,

untuk menggunakan hak-hak tertentu sebagai seorang pengungsi

di negara pihak yang lain; dan bahwa penggunaan hak ini tidak

mengharuskan dilakukannya kembali proses penentuan status

pengungsi.322

Seperti yang dijelaskan diatas, terlihat bahwa pengungsi

hanya bisa menikmati hak-hak tertentu. sementara di negara

Islam, pengungsi dapat melaksanakan semua haknya.

4. Sifat dasar dari hak suaka

Penting dicatat bahwa perbedaan pendapat di kalangan

ulama fikih bermuara pada pertanyaan apakah suaka itu

merupakan hak negara ataukah hak individu. Dengan kata lain,

apakah seorang individu memiliki hak, berhadapan dengan

negara, untuk menikmati suaka, meskipun dalam jangka waktu

yang singkat, yang dengan demikian menafikkan kemungkinan

pemulangan kembali / penolakan di perbatasan negara,

pengusiran, atau ekstradisi (penyerahan) ke negara asalnya?

322 Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees adopted by the Executive Committee

of the UNHCR Programme, h. 27.

Page 294: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

257

Dalam Syariat Islam, suaka dapat dikatakan sebagai suatu hak

yang valid bagi setiap individu dari dua sudut pandang, yaitu

sudut pandang pemberiannya dan sudut pandang pemerolehan

dan penggunaannya.

Pasal 9 Deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi

Manusia, yang ditetapkan oleh Islamic Council, London, tahun

1981, 323 menyatakan, “ Setiap orang yang teraniaya dan

tertindas berhak mencari suaka. Hak ini harus dijamin bagi

setiap manusia, tanpa memandang ras, agama, warna kulit,

ataupun jenis kelamin.”

Demikian pula, Pasal 13 Piagam Hak Asasi Manusia dalam

Islam (OKI, Dhaka, 1983) menyatakan:

“Setiap orang memiliki hak untuk berpindah tempat secara bebas dan memilih tempat tinggalnya, baik di dalam maupun di luar negaranya. Jika dia menghadapi penganiayaan, dia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan di suatu negara di luar negara asalnya. Negara yang ditujunya untuk meminta suaka harus melindunginya dan memberinya suaka politik, kecuali suaka politik yang diminta atas dasar alasan yang bertentangan dengan Syariat Islam.”324

323 Dikatakan bahwa hak atas suaka benar-benar merupakan hak asasi manusia yang sejati. Lihat Asylum and Refugees in Islamic Tradition/ L asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, International Law Association, Report of the Sixty-ninth Conference, op cit, h. 308.

324 Sebagian ahli hukum berketatapan bahwa syariat Islam menganggap suaka sebagai suatu hak bagi pengungsi dan sebagai suatu kewajiban bagi suatu negara Islam. Suaka bisa diberikan baik kepada Muslim atau non-Muslim, tanpa perkecualian, berdasarkan prinsip umum yang mengakui hal itu. Sebelum terjadi bencana dunia, seluruh Muslim dan non-Muslim itu sederajat. Namun demikian, bisa terjadi penolakan untuk memberikan hak suaka sebagaimana dalam kasus dari perjanjian perdamaian Hudaybiyyah, yang mengakui bahwa para pengungsi yang datang dari kaum Quraisy ke masyarakat Muslim akan dipulangkan, sementara jika datang dari sebaliknya tidak demikian. Lihat. Muhammad Tal’at al-Gunaymi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fi Qânûn al-Umam, h. 720; Hamdi al-Gunaimi, al-Malja‘ fi al-Qânûn al-Duwaliy, (Kairo: Kulliyat al-Huqûq, Jâmi’ah al-Iskandariyah, 1976), h. 132.

Page 295: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

258

Sementara itu, Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia (tahun 1948) menegaskan bahwa setiap orang memiliki

hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain.

Permintaan akan hak ini tidak selalu dapat dikabulkan. Begitu

juga Konvensi 1951 tidak memberikan perlindungan otomatis

atau permanen kepada orang yang meminta suaka. Begitu pula,

Pasal 1-2 Konvensi Uni Afrika tentang Aspek-Aspek

Problematika Pengungsi di Afrika (tahun 1969) menegaskan

bahwa setiap negara harus mengerahkan kemampuan optimalnya

untuk menerima para pengungsi dan menjamin pemukiman

mereka.

5. Suaka non-sukarela atau suaka wajib

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pengungsi

tidak boleh dipulangkan ke negaranya, meskipun dia berstatus

non-Muslim dzimmiy, baru menganut Islam atau berstatus

musta’min. Apabila pengungsi setuju untuk pulang kembali ke

negaranya maka tidak boleh dilakukan pemulangan bila ternyata

terdapat alasan kuat bahwa hidup pengungsi tersebut akan

terancam karena tidak ada dispensasi (rukhsah) dalam hal ini.

Jika tidak demikian, negara Islam akan dianggap bekerjasama

dalam melanggar hak asasi manusia yang esensial ini. Tidak

diragukan lagi, hal tersebut tidak diimplementasikan dalam

hukum internasional modern, kecuali pengungsi sendiri menolak

Page 296: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

259

dipulangkan lantaran ketakutan atas keselamatan jiwanya.325

Terdapat ciri lain dari pola suaka wajib, yakni keharusan

negara Islam memberikan suaka kepada orang yang meminta

diperdengarkan ayat suci al-Qur’an, berdasarkan kalam Allah:

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah supaya ia sempat mendengar Kalamullah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. (Q.S. al-Taubah/9:6).326

Kewajiban menghormati suaka sebagai suatu hak asasi

manusia telah ditetapkan dalam agama Islam, sebab hal tersebut

merupakan unsur integral dari akidah dan Syariat Islam. Dalam

hal ini, Piagam Perjanjian tentang Hak Anak dalam Islam, yang

diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), pada tahun

325 Bandingkan, terkait perlindungan atas hak hidup dalam hukum internasional modern, artikel kami

yang berjudul, Le Devoir de Respecter le Droit a la Vie en Droit International Public, R. Egypt. DI, 1984, h. 9-70.

326 Terkait frase dalam ayat “Berikan perlindungan kepadanya, sehingga dia dapat mendengar kalam Allah”, Ibn al-‘Arabiy mengatakan bahwa hal itu berarti jika seseorang mencari suaka atau perlindungan (jiwar, amân maupun dzimmah) darimu, berikanlah sehingga dia bisa mendengar al-Qur’an. Ayat ini berhubungan dengan mereka yang ingin mendengar al-Qur’an dan tertarik untuk memahami Islam. Namun demikian, suaka (ijarah) untuk tujuan-tujuan yang lain dapat diberikan sesuai kepentingan dan untuk kemaslahatan umat Muslim. Oleh sebab itu, suaka bisa diberikan baik oleh Amir (penguasa) atau masyarakat. Otoritas penguasa dalam memberikan suaka merupakan hal yang relatif karena kekuasaan datang dari amanat seluruh masyarakat untuk menjamin kepentingan masyarakat dan menghindarkan mereka dari kerugian (untuk kemaslahatan). Berkenaan dengan otoritas seseorang untuk memberikan suaka, Hadis Nabi menyebutkan, “Muslim sama derajatnya; yang terendah di antara mereka bisa memberi rasa aman dan yang tertinggi di antara mereka dapat menolak aman yang diberikan pada mereka.” Lihat, Ibn al-‘Arabiy, Ahkâm al-Qur’an, op. cit., Jilid. 2. h. 891; al-Qurtubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Jilid. 8, h. 76. Dalam pikiran yang serupa, Ibn Qudâmah berkata, “Jika seseorang mencari suaka supaya dapat mendengar kalam Allah dan mengerti tentang syariah, dia harus diberikan suaka dan diantarkan ke tempat di mana dia dapat merasa aman.” Lihat, Ibn Qudâmah al-Maqdisi, al-Kâfi fî Fiqh al-Imâm al-Mubajjal Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: al-Maktab al-Islâmiy, 1399 H/1979 M), Jilid. 4, h. 332. Sebaliknya, ahli lain berkata, “Frasa dalam ayat, “Berikanlah itu (suaka)” mengindikasikan suatu perintah yang wajib yang terbatas hanya pada tujuan ini saja, tujuan yang dimaksud adalah yang tidak berkaitan dengan aman yang dikenal dalam Syariat Islam. Aman adalah suaka yang diberikan atas dasar kebijaksanaan dan kehendak sendiri dari seorang Muslim. Namun jika seseorang mencari suaka dengan tujuan supaya bisa mendengar kalam Allah, dia harus mendapatkannya dan keselamatannya harus terjamin, sesegera mungkin setelah dia mengajukan permohonannya, tanpa melihat apakah suaka diberikan atau tidak”. Lihat ‘Imâd al-Dîn ibn Muhammad al-Tabariy, Ahkâm al-Qur’ân, tahqîq Mûsâ Muhammad dan ‘Izzat ‘Athiyyah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, t.th.), Jilid. 4, h. 26.

Page 297: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

260

2005, menegaskan bahwa: “…hak dasar dan kebebasan publik,

menurut Syariat Islam, merupakan ajaran integral (tidak dapat

dipisah – pisah). Tak seorangpun memiliki hak untuk

menghentikan, merusak, atau mengabaikannya.’’327 Syariat Islam

merupakan suatu entitas yang memiliki totalitas, yang tidak dapat

dipisah-pisahkan. 328 Menurut hukum internasional modern,

gagalnya suatu negara memenuhi kewajibannya untuk

memberikan suaka disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama,

negaralah yang berhak menentukan dasar alasan pemberian suaka.

Dalam hal ini, Pasal 1 paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka (1967)

menyatakan bahwa pihak negara pemberi suaka berhak

menentukan dasar alasan pemberian suaka. Kedua, hak setiap

orang untuk meminta dan memperoleh suaka di negara lain

adalah sejalan dengan peraturan perundang-undangan negara dan

konvensi internasional (Pasal 12 paragraf 3 Piagam Afrika

tentang Hak Asasi Manusia dan Bangsa-bangsa, 1981).

Sementara itu, dalam agama Islam, seperti telah dijelaskan

sebelumnya, pemberian suaka itu bersifat wajib, dan dalam

sejumlah keadaan, tidak ada pilihan lain.

6. Perlakuan terhadap pengungsi

Dalam masalah ini, sejarah Islam memberikan contoh yang

327 Lihat teks dalam: Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and

others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid. 3, h. 1171 (Paragraf 6). 328 Lihat Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Nazariyyah al-Islâm wa Hadyih fî al-Siyâsah wa al-Qânûn wa al-

Dustûr, (Beirût: Mu’assasat al-Risâlah), 1400 H/ 1980 M, h. 159.

Page 298: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

261

paling baik. Sejarah Islam memperlihatkan bahwa pengungsi,

baik Muslim maupun non-Muslim, harus diberikan perlakuan

yang tidak kurang dari, jika tidak bisa dikatakan melebihi, yang

ditetapkan bagi penduduk negara asal mereka. Perlakuan

demikian dapat dibenarkan, terutama atas dasar pertimbangan

kemanusiaan dan ketenangan jiwa pengungsi yang berada dalam

lingkungan situasi yang mengancam keselamatan jiwanya.329

Sementara itu, Resolusi Majelis Umum PBB (United

Nations General Assembly Resolutions) No. 50/152 menyatakan

bahwa dalam banyak situasi, perlindungan pengungsi dapat

menghadapi resiko lantaran penolakan, pengusiran, dan

penangkapan mereka secara tidak sah serta bentuk-bentuk

ancaman yang ditujukan terhadap keselamatan fisik, martabat dan

kehormatan diri, kesejahteraan, serta eksistensi hak dan

kebebasan dasar mereka.330 Pendek kata, dapat dikatakan bahwa

perlindungan internasional terhadap pengungsi pada saat ini

tengah menghadapi ancaman.331

329 Dikatakan bahwa para pengungsi di Marokko, Muslim, atau Kristiani, Arab maupun non Arab, tidak

terlihat berbeda dengan penduduk lainnya. Orang-orang asing yang datang ke Marokko heran melihat tidak adanya perbedaan antara para pengungsi dengan penduduk asli. Lihat ‘Abd al-Hâdi al-Tâzi, al-Târîkh al-Diblûmâsi li al-Maghrib min Aqdam al-‘Ushûr ila al-Yaum, Jilid 2, h. 80-82.

330 Lihat, Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and others of Concern to UNHCR, Jilid 1, h. 102.

331 Buku pegangan mengenai Hukum Internasional untuk Pengungsi (Handbook of International Law for Refugees), UNHCR-IPU, No. 2-2001, h. 6. Perlu dicatat bahwa jika keadaan memaksa dan tidak dapat dielakkan lagi, seorang pengungsi bisa ditahan atas dasar empat alasan: ketika butuh untuk memverifikasi identitas si pencari suaka; ketika butuh untuk memutuskan alasan untuk mencari suaka; ketika butuh untuk mencari tahu dimana pencari suaka memusnahkan dokumen perjalanan mereka atau menggunakan dokumen palsu, dan di mana dibutuhkan untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, ibid, h. 82.

Page 299: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

262

7. Berlakunya jaminan perlindungan bagi pengungsi di

negara Islam, meskipun diperoleh dengan cara – cara

curang/ penipuan

Terkait dengan isu ini, suatu peristiwa yang populer dalam

sejarah Islam yang dialami Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb dan

Raja Hormozan al-Ahwaz dapat menjadi contoh yang sangat

jelas. Setelah jatuh ke dalam tahanan, Raja Hormozan dibawa ke

hadapan ‘Umar. “Apa yang menyebabkan anda beberapa kali

melanggar perjanjian anda?”, Umar bertanya padanya. “Saya

takut anda akan membunuh saya sebelum saya mengatakannya

pada anda”, jawab Hormozan. “Jangan takut,” ‘Umar berusaha

meyakinkan dia. Kemudian Hormozan meminta air minum dan

ketika dibawakan air itu padanya, dia berkata, “Saya takut anda

akan membunuh saya sebelum saya meminumnya.”

Setelah sekali lagi diyakinkan oleh ‘Umar, Hormozan

menumpahkan air tadi dan berkata, “Saya tidak butuh air. Saya

hanya ingin mencari perlindungan dengannya”. “Aku akan

membunuhmu”, kata ‘Umar. “Tapi tadi anda sudah berjanji,” kata

Hormozan. Hadir di tempat itu, Anas bin Malik yang berusaha

ikut campur untuk menolong Hormozan dengan berkata kepada

‘Umar, “Anda telah berjanji kepadanya dengan berkata, “Anda

tidak perlu khawatir sampai anda minum.” Kemudian ‘Umar

berpaling ke Hormozan sambil berkata, “Kau membohongiku!

Demi Allah, aku tidak ingin ditipu kecuali oleh seorang Muslim!”

Page 300: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

263

Jadi Hormozan memeluk Islam, dan atas hal itu ‘Umar

memberinya 1000 dirham dan sebuah rumah di Madinah.

Dari gambaran di atas, jelas bahwa Khalifah ‘Umar

menghargai perjanjian perlindungan meskipun hal itu

(perlindungan) didapatkannya dengan cara yang curang.332

Sementara itu menurut hukum internasional, pembatalan

status pengungsi dapat terjadi pada 2 (dua) situasi:

a. Ketika diketahui bahwa individu telah secara sengaja

memalsukan atau menyembunyikan fakta-fakta material dalam

upaya memperoleh status pengungsi; dan

b. Ketika bukti baru yang muncul membuka kenyataan bahwa

individu tidak semestinya berhak atas status pengungsi, sebagai

contoh, karena dia bisa dikecualikan.333

8. Pemberian status kewarganegaraan dari negara pemberi

suaka kepada pengungsi

Menurut Pasal 34 Konvensi 1951, negara-negara yang ikut

perjanjian sedapat mungkin harus memfasilitasi asimilasi dan

naturalisasi pengungsi. Mereka secara khusus sebaiknya berupaya

untuk melancarkan proses naturalisasi dan untuk mengurangi

332 Lihat Ibn al-Jauziy, Sîrah wa al-Manâqib Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththâb, tahqîq Hamzah al-Nasart,dalam bahasa Inggris ada kalimat “diverifikasi oleh Dr. Hamza an Nasharti” (Kairo: al-Maktabah al-Qayyimah, t.th), , h. 150.

333 Lihat A Guide to International Refugee Law: A Handbook for Parliamentarians No. 2 -2001, op cit, h. 60. Lihat juga Concluding Instrument of the Amended Bangkok Principles on Refugee Status and Treatment, New Delhi, 2001, yang menyatakan bahwa seorang pengungsi dapat kehilangan status pengungsinya jika dia mendapatkan statusnya itu atas dasar informasi yang salah, bukti-bukti yang tidak benar, atau dengan tindakan yang curang, sehingga mempengaruhi keputusan dari otoritas pemberi suaka suatu negara. Lihat Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, op cit, Jilid 3, h. 1182.

Page 301: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

264

sebanyak mungkin biaya dari proses ini.

Oleh karena itu, menurut hukum internasional kontemporer,

negara-negara memiliki kebebasan yang besar (discretionary

power) untuk memutuskan ada tidaknya naturalisasi pengungsi.

Sementara dalam Islam, diakuisisinya status dzimmiy oleh

seseorang secara otomatis berarti orang tersebut memperoleh

kewarganegaraan sebuah negara Islam. Dalam kasus ini negara

tidak memiliki discretionary power. Lebih jauh lagi, menurut

Pasal 34 Konvensi 1951, suatu negara memiliki kebebasan penuh

untuk menaturalisasi atau tidak menaturalisasi pengungsi. Hal ini

jelas terlihat dari penulisan kata ”sejauh mungkin” dalam teks

berbahasa Inggris (teks bahasa Perancis menggunakan ungkapan

“dans toute la measure du possible”, yang artinya dengan segala

cara).

Patut dicatat bahwa Deklarasi Cotunou tahun 2004

menunjukkan kemungkinan adanya kemaslahatan bagi negara

tuan rumah dalam memfasilitasi integrasi lokal pengungsi melalui

pemberian status permanent residence (ijin tinggal tetap) dan

naturalisasi sepenuhnya.334

Bila dalam Islam dzimmiy diberikan perjanjian dzimmah, dia

memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana seorang

Muslim. Ini berarti bahwa dia diberi lebih banyak hak daripada

334 Collection of International Instruments and Legal Texts concerning Refugees and Others of

Concern to UNHCR, Jilid. III, h. 1027

Page 302: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

265

penduduk tetap atau keringanan proses naturalisasi.

9. Penyatuan keluarga

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, reunifikasi atau

penyatuan anggota keluarga pengungsi diatur dalam Syariat Islam

dan hukum internasional. Meskipun demikian, ada perbedaan

pandangan antara dua sistem hukum tersebut.

Dalam hukum internasional, suatu negara harus

memfasilitasi penyatuan kembali anggota keluarga pengungsi

dengan segala cara (Pasal 74 Protokol Tambahan Pertama 1977

atas Konvensi Genewa 1949).

Menurut Syariat Islam, haram hukumnya memisahkan

anggota keluarga, maka implikasinya adalah adanya kewajiban

untuk menghindari hal itu. Ketika mengomentari Hadis yang

menyatakan:

Siapa saja yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, niscaya Allah akan memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya pada hari kiamat kelak. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi)

Seorang ulama Hadis terkenal, al-San’ani, mengatakan

bahwa Hadis ini secara jelas melarang pemisahan antara ibu dan

anaknya, tetapi larangan ini diperluas dengan analogi kepada

semua sanak saudara lainnya berdasarkan hubungan pertalian

saudara.335

335 al-San’âni, Subul al-Salâm, op. cit, Jilid. 2 h. 494-495.

Page 303: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

266

10. Klasifikasi suaka

Menurut Syariat Islam dan hukum internasional, suaka

teritorial dan suaka diplomatik diakui dan bisa diberikan kepada

yang membutuhkan. Akan tetapi, Islam menetapkan kemungkinan

pemberian suaka keagamaan (misalnya untuk mendengar kalam

Allah atau masuk ke kawasan al-Haram). Sedangkan hukum

internasional, sebagaimana didiskusikan sebelumnya, 336 tidak

menjadikan agama sebagai landasan aturn-aturannya.

11. Pengaruh “Kedaulatan Negara” terhadap pemberian

suaka

Konsep “kedaulatan” merupakan konsep politik yang

mendasari hukum internasional kontemporer, dengan melihat

masalah – masalah fundamental yang terkait. Kedaulatan

termanifestasikan dalam 2 (dua) hal. Pertama, kedaulatan

tertinggi terhadap orang-orang dan rakyat/penduduk di atas

wilayah negara (unsur kedaulatan yang ditujukan kepada

personal/ imperium ). Kedua, kedaultan negara atas segala sesuatu

yang ada di wilayahnya (unsur kedaulatan yang bersifat teritorial,

dominium). Dengan demikian, semua orang dan segala sesuatu

yang berada di atas wilayah negara tunduk kepada kedaulatan dan

kekuasaan negara itu,337 sesuai dengan asas hukum qui quid est in

336 Vide supra, h. 75-76 337 Kedaulatan termanifestasi dalam dua aspek. Aspek positif yaitu penggunaan semua tanda-tanda

kedaulatan oleh suatu negara di seluruh wilayah teritorial darat, air, dan udaranya. Aspek negatif yaitu keengganan oleh negara-negara lain untuk melawan kedaulatannya. Lihat detilnya dalam komentar kami

Page 304: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

267

territorio est etiam de territorio.

Pada kenyataannya, eksistensi suatu negara dalam kerangka

masyarakat internasional mengharuskan, dengan satu cara

ataupun lebih, adanya batasan – batasan terhadap kedaulatan

negara tersebut. Ini bukanlah hal yang tidak lazim karena realitas

kehidupan internasional menunjukkan hal demikian. Keberadaan

individu dalam suatu komunitas yang terorganisir (negara)

mengakibatkan adanya pembatasan terhadap kebebasannya dalam

bertindak, bahkan kebebasan ini terbelenggu pada sejumlah hal,

(dahulu, seorang individu boleh menggunakan haknya dengan

tangan (kekuatan)-nya sendiri; demikian pula suku-suku

berperang satu sama lain dalam upaya mereka untuk

menyelesaikan perselisihan di antara mereka; dan semua itu telah

usai pada era sekarang ini seiring dengan mantapnya kedaulatan

dan kekuasaan negara atas wilayahnya). Demikian pula halnya

dengan negara, di mana eksistensinya dalam masyarakat

internasional (masyarakat internasional modern) atau dalam mengenai kasus aktivitas militer dan para militer di dan terhadap Nikaragua, Revue Egyptienne de Droit International, 1986, h. 364. Mahkamah Internasional telah bersidang sejak tahun 1949 mengenai kasus Corvu Channel (h. 35) bahwa penghormatan terhadap kedaulatan teritorial di antara negara-negara merdeka merupakan dasar yang esensial dalam hubungan internasional. Lihat juga mengenai konsep kedaulatan, Ahmad Abû al-Wafâ, Arbitration and Adjudication of International Land Boundary Disputes, Mesir. DI, 1986, h. 145-147;

Descamps, Le Droit International Nouveeau, RCADI, 1930, h. 439; Van Kleffens Sovereignty in International Law , RCADI , 1953 , 1 , h. 8; L’etat souverain à l’aube du Xxe siècle : SFDI, colloque de Nancy, Pedone, Paris, 1994, h.318. Instrumen-instrumen pokok dari organisasi-organisasi internasional secara umum menekankan prinsip-

prinsip kedaulatan ini. Piagam PBB (Pasal 2-1) menegaskan bahwa PBB didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan negara – negara anggotanya. The Charter of Organization of inter-American States (pasal 5-B) menegaskan bahwa “ketertiban internasional pada dasarnya dibangun atas penghargaan terhadap sifat, kedaulatan, dan kemerdekaan negara.” Piagam Organisasi Persatuan Afrika (OAU) (Pasal 2-1) menegaskan bahwa “salah satu fungsi dari organisasi ini adalah untuk mempertahankan kedaulatan, integritas teritorial, dan kemerdekaan negara-negara Afrika.” Demikian halnya Mahkamah Hukum Internasional (Laporan tahun 1986, paragraf 258, 263) merujuk kepada “prinsip dasar dari kedaulatan yang menjadi dasar semua hukum internasional.”

Page 305: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

268

masyarakat terorganisir (organisasi-organisasi internasional)

mengimplikasikan adanya pembatasan kedaulatan negara itu.338

Indikasi pembatasan kedaulatan negara itu terlihat jelas

manakala dikaitkan dengan isu suaka yaitu pada keharusan

mentaati setiap negara terhadap prinsip-prinsip dasar suaka,

terutama prinsip larangan pemulangan kembali (non-

refoulement).339

Demikian pula, hal yang mutlak harus dipatuhi ialah

keharusan negara melakukan pengaturan tata kelola urusan

pencari suaka yang ditolak suakanya secara bertanggungjawab

dan responsif.f340

Namun demikian, sebagian negara terbukti, pada prakteknya,

tidak melaksanakan prinsip aturan tersebut sebagaimana

mestinya, seperti telah dibicarakan sebelumnya. Hal ini terbukti

dari adanya sebagian negara yang membuat batasan-batasan

untuk diterimanya pencari suaka/pengungsi, dan bahkan ada

sejumlah negara yang memulangkan pencari suaka/pengungsi di

daerah perbatasan.341

338 Ahmad Abû al-Wafâ, al-Wasît fî al-Qûnûn al-Dauliy, op cit, h. 414. 339 Oleh sebab itu ditegaskan bahwa, perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya merupakan

tanggung jawab negara. Negara-negara penandatangan Konvensi tahun 1951 memiliki kewajiban hukum di bawah syarat-syarat Konvensi ini dan harus mengaplikasikan syarat-syarat tersebut tanpa diskriminasi atas dasar ras, agama, atau negara asal dan menghormati prinsip-prinsip perlindungan, seperti non-refoulment (larangan pemulangan kembali) dan non-expulsion (larangan pengusiran) yang juga diawasi oleh negara-negara yang tidak menandatanganinya. Lihat Refugee Protection: A field Guide for NGOs, (Kairo: UNHCR dan mitra LSM, 2000), h. 22.

340 Lihat Conclusions on the International Protection of Refugees, adopted by the Executive Committee of the UNHCR Programme, No. 62, h. 151.

341 Sebagian negara tersebut menerbitkan peraturan perundang-undangan dan peraturan administrasi untuk membatasi masuknya pengungsi ke negara yang bersangkutan. Peraturan administrasi ini dijadikan landasan dalam pemberian kewenangan yang luas kepada para penjaga perbatasan untuk mencegah masuknya

Page 306: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

269

Menurut Syariat Islam, seperti telah dikemukakan terdahulu,

kedaulatan negara Islam dibatasi dengan sejumlah hal, terutama

perihal penerimaan pencari suaka/pengungsi dan tata perlakuan

terhadapnya. Diantara hal tersebut ialah:

a. Keharusan memberikan suaka kepada setiap orang yang

membutuhkan bantuan atau yang menghadapi risiko

penganiayaan atau penyiksaan;

b. Keharusan menerima pencari suaka/pengungsi yang datang

untuk tujuan mendengar kalam Allah;

c. Keharusan mengantarkan pengungsi ketempat yang aman

apabila hak atas suakanya hilang (atas alasan – alasan yang

disebut diatas) dan seiring dengan itu, larangan pemulangan

para pencari suaka. Demikian pula, adanya pengenaan denda yang berjumlah besar kepada perusahaan penerbangan dan perusahaan lainnya yang terlibat dalam kerja pengangkutan para pencari suaka yang tidak membawa dokumen-dokumen penting yang otentik, mengakibatkan mereka terhalang memasuki negara yang dituju. Lihat M.Fullerton, Restricitng the Flow of Asylum Seekers in Belgium, Denmark, the Federal Republic of Germany and Netherlands: New Challenges to the Geneva Convention relating to the Status of Refugees and the European Convention on Human Rights, (Virginia: Journal of International Law, 1988) Vol. 29, 1988, h. 33-114. Ph. De Bruycker, La Comptabilite de Legislation Belge Avec le Droit International, RBDI, 1989, h. 201-225. Symposium, Refusing Refugees, Political legal Barriers to Asylum, (Cornell ILJ, 1993), Vol.26, h. 495-770 Symposium, Refugee Law and Policy, (Virginia JIL, 1993), Vol. 33, h. 473-526. Patut menjadi catatan, Asosiasi Hukum Internasional (International Law Association), setelah mengadopsi, pada tahun 1986, Deklarasi tentang Pengusiran Massal (Putaran 62 Seoul) juga mengadopsi, pada tahun 1992 di Kairo, Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional terkait Pemberian Kompensasi kepada Pengungsi. Di dalam deklarasi ini dinyatakan bahwa negara yang memaksa seseorang untuk berpindah ke status pengungsi, berarti melakukan perbuatan melawan hukum menurut hukum internasional; dan bahwa yang demikian itu dapat dianggap sebagai pemusnahan ras apabila hal itu dilakukan dengan maksud pemusnahan massal atau pemusnahan sekelompok bangsa, ras atau agama tertentu; dan negara tersebut harus bertanggung jawab atas pengusiran pengungsi dengan: (i) menghentikan perbuatan tersebut; (ii) pengembalian status seperti semula sebelum terjadinya tindakan itu; (iii) memberikan kompensasi ketika pengembalian status tersebut mustahil untuk dilakukan; (iv) memberikan jaminan agar tidak terulang lagi tindakan tersebut; dan (v) menerapkan prosedur persangkaan/penuduhan sesuai yang diatur dalam perundang-undangan nasional (lihat teks deklarasi pada h. 157-159, AJIL, 1953). Patut dikemukakan bahwa PBB menyetujui, dalam Resolusi No. 41/70 (1986) hak pengungsi untuk dikembalikan dengan jaminan kebebasan dan perlindungan ke negaranya; demikian pula, hak mereka untuk memperoleh kompensasi yang wajar manakala mereka tidak mau dipulangkan ke negaranya. Ada juga pendapat ahli yang menyatakan bahwa sebagian pengungsi tidak saling mengenal sehingga mereka tidak disukai. Lihat A. Harper, Iraq`s Refugees, Ignored and Unwanted, IRRC, Vol. 90, No. 869, 2008.

Page 307: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

270

pencari suaka/pengungsi ke daerah dimana dikhawatirkan

mereka akan mengalami penyiksaan;342 dan

d. Penghormatan penguasa di negara-negara Islam terhadap

suaka yang diberikan individu atau orang biasa.343

342 Ada suatu pendapat yang membedakan antara ijârah (perlindungan yang diberikan terhadap “risiko

penyerangan yang ditakuti pencari suaka di tempat ia tinggal, baik secara permanen ataupun sementara”) dan al-lujû`(perlindungan dari rasa takut terhadap penganiayaaan di negara asal yang telah ditinggalkannya). Sementara tempat dimana dia tinggal sekarang aman dan oleh sebab itu dia memilihnya sebagai tempat suaka dan tempat tinggal sementara. Lihat Ahmad al-Khamlisyi , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, op cit, h. 12. Pendapat yang sama juga menetapkan bahwa tidak boleh menjadikan ayat al-Qur’an (Q.S. al-Taubah/9:6) sebagai landasan hak suaka dalam Syariat Islam. Pendapat tadi berargumen bahwa jika seorang kafir mencari perlindungan dari adanya bahaya di negara yang kebetulan didatanginya yaitu wilayah pemberi suaka, sementara di domisili aslinya (bukan negara Islam) dia merasa aman. Konsep ini ditegaskan oleh ayat ini dengan memerintahkan orang kafir tersebut diantarkan ke tempat dimana dia merasa aman (asal domisilinya). Jadi jika seorang pengungsi berada dalam bahaya di negaranya sendiri, dia memperoleh perlindungan di negara pemberi suaka. Ayat ini juga memberlakukan “pemberian perlindungan” dan bukan “pemberian suaka” sebagaimana berlaku dalam terminologi masa kini.” Lihat Ahmad al-Khamlisyi, , Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, h. 12-13. Sebenarnya kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, ayat ini mengandung kata yang umum, tidak secara khusus diperuntukan bagi perpindahan seseorang dari suatu tempat di mana dia merasa tidak aman ke tempat lain di mana dia merasa aman.. Point pertama ini dapat didasarkan kepada dua proposisi. Imam al-Zarkasyi berpendapat bahwa di dalam ayat ini terdapat isim nakirah (kata benda tak tertentu) dalam kalimat bersyarat, Lihat al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Kairo: al-Bâb al-Halabiy), Edisi II. Jilid. 2 h. 6. Aturan umumnya adalah “klausul umum meliputi semua yang ada di bawahnya tanpa pembatasan”. Lihat, al-Suyûtiy, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqîq Muhammad Abû al-Fadl Ibrâhîm, al-Turast House, Kairo, Jilid. 3, h. 22-23. Kedua, penyampaian jaminan perlindungan dikemukakan secara umum, di mana mencakup tempat asal pengungsi atau tempat lain di mana saja ia dapat memperoleh perlindungan.. Ketiga, , penyampaian jaminan perlindungan dalam ayat, mengandung arti bahwa jika seorang pengungsi ingin pulang kembali, dia harus diantarkan ke tempat aman. Jika dia ingin tinggal di negara Islam, dia harus diterima dan tidak boleh dipaksa pulang kembali. Sama juga bila dia ingin pergi ke suatu tempat selain negara asalnya, dia harus diantarkan ke tempat aman. Keempat, para ahli Syariat Islam menggunakan istilah “istijârah” dalam pengertian umum, tidak membatasinya pada satu syarat atau satu tempat saja. Dalam hal ini al-Imam al-al-Baidawi berkata, “Merupakan kebiasaan dari seorang pencari suaka (mostajer), untuk memegangi ekor atau kerah baju dari para pemberi suaka sebagai suatu tanda kebutuhan yang berlebih terhadap perlindungan.” Lihat, al-Ahâdits al-Qudsiyyah, (Kairo: Majelis Umum untuk Urusan Islam, 1402 H/1981), Jilid. 1-2, h. 117.

343 Ada satu opini yang berpendapat bahwa ada perbedaan yang jelas a di masa lalu dan masa kini tentang kelayakan pemberian suaka. Tidak lagi dapat diterima, baik di dalam maupun di luar fikih Islam, bahwa hak suaka dapat diberikan oleh individu, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mengatur masyarakat politik. Ahmad al-Khamlisyi, Mâ dzâ Tawâfuq al-Syarî’ah ma’a al-Tasyrî’ât al-Dauliyyah al-Khassah bi al-Lâji’în, ibid, h..23.

Kami tidak setuju dengan pendapat ini dengan alasan, sebagai berikut. Pertama, dari sisi muatan isinya, opini ini bertentangan dengan Hadis Nabi, “ Muslim itu sederajat; yang terendah dari mereka bisa memberikan perlindungan dan menjalankan dzimmah (perlindungan) yang diberikan oleh orang Muslim yang lain dan mereka bersatu melawan musuh.” Ini berarti bahwa setiap orang Muslim bahkan dari kalangan bawah berhak untuk memberi suaka. Kedua, dari segi rasionalisasinya, kami tidak setuju dengan alasan yang dipergunakan untuk membenarkan aturan tersebut, yakni bahwa praktik semacam itu “bertentangan dengan prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik”, ini adalah alasan yang tidak dapat diterima karena sejak kemunculan negara Islam, sepanjang hidup Rasulullah SAW dan sesudahnya, sudah ada suaka yang diberikan oleh individu atau individu berhak untuk memberi suaka meskipun ada prinsip-prinsip yang membentuk masyarakat politik. Seiring dengan itu, kami berpendapat bahwa penguasa negara Islam bisa mengatur masalah ini menurut pola

Page 308: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

271

PENUTUP

A. Catatan Penutup

Syariat Islam telah menetapkan aturan - aturan dan dasar -

dasar yang aplikatif dan dapat diterima dalam perihal hak suaka,

baik itu dalam tataran normatif maupun substantif dalam bentuk

surat, kata, dalam pengalaman dan perbuatan. Apa yang

ditetapkan Syariat Islam tersebut perlu mendapat perhatian dan

penekanan dan menjadi kewajiban bagi kaum Muslim.344

Arti penting dari hak suaka jelas terlihat dan tidak diragukan

oleh siapapun. Sebab, pemenuhan hak suaka, melalui pemberian

suaka, adalah unsur yang akan melengkapi hak asasi manusia

secara keseluruhan, begitupun jika tidak dilaksanakan dalam

situasi dan kondisi tertentu akan mengabaikan pelaksanaan hak

asasi manusia secara menyeluruh.345

Al-Qur’an secara eksplist menetapkan bahwa siapa saja

yang memberikan tempat perlindungan kepada orang yang

bermigrasi (yang mencari perlindungan) di tempat ia tinggal,

maka ia adalah Mukmin sejati. Mengenai hal ini, al-Qur’an

menyatakan:

yang sesuai dengan kemaslahatan negara Islam. Hal ini masuk dalam kerangka kekuasaan penguasa dalam mengatur perkara yang dibolehkan (mubâh) dan tugasnya dalam mewujudkan kemaslahatan negara Islam.

344 Dikatakan: “Dans l Islam, l asile est un devoir tout d abord du persecute, qui est oblige de fuir dans le cas ou il ne peut resister a l oppression, puis ensuite, une obligation pour tous les musulmans de proteger la personne qui cherche asile.” Lihat dalam L Asile et les Refugies dans la Tradition Musulmane, op cit, h. 322.

345 Dalam kaitan ini, Deklarasi Cotonou, Benin (2004) menyatakan bahwa tidak ada satu negara pun yang terhindar dari risiko menghasilkan atau menerima sejumlah aliran pengungsi; dan karena itu upaya melindungi pengungsi merupakan tugas bersama semua negara dan merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang bersifat mendasar. Lihat dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to UNHCR, Vol. 3, op cit, h. 102.

Page 309: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

272

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. (Q.S. al-Anfâl/8:72). Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. (Q.S. al-Anfâl/8:74).

Migrasi (hijrah) dalam terminologi hukum internasional

kontemporer sama dengan suaka teritorial, yakni relokasi dari

suatu daerah ke daerah lain, dari daerah dimana seseorang merasa

khawatir atas keselamatan jiwa, keluarga, dan harta kekayaannya

ke daerah di mana dia memperoleh jaminan keamanan dan

perlindungan. Seorang Muslim yang memberikan perlindungan

kepada pengungsi atau migran dianggap sebagai orang Mukmin

sejati karena ia telah mengamalkan aturan-aturan dan prinsip-

prinsip dalam Syariat Islam. Kata hâjara dalam bahasa Arab

berarti meninggalkan negara atau tanah airnya, seperti halnya kata

tuhâjirû fîhâ, yang berarti pindah dari dâr al-fitnah (wilayah

dimana terjadi pelanggaran) menuju dâr al-amân (wilayah yang

menjamin perlindungan). 346 Hal ini dinyatakan dalam ayat al-

Qur’an berikut:

Para Malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas sehingga

346 Lihat dalam Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, Jilid. 2, h. 1141.

Page 310: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

273

kamu dapat hijrah di bumi itu?". (Q.S. al-Nisâ’/4:97) Dan dalam al-Anfâl/8:74. B. Pandangan ahli hukum non-Muslim

Para ahli hukum non-Muslim menyadari kemuliaan dan

menghargai Syariat Islam, terkait aturan didalamnya yang

mengenai hak suaka sebagai hak asasi manusia.

Khazanah pemikiran hukum Barat seringkali mengaitkan

asal muasal diakunya hak suaka dalam Syariat Islam, dengan

tradisi keramahtamahan dalam Islam (ajaran “penghormatan

terhadap tamu”) dan juga dikaitkan dengan ajaran Islam yang

menganggap hak suaka seorang pengungsi adalah suci.

Massignon, salah satunya, berpendapat bahwa meski Islam

membolehkan mengangkat senjata terhadap orang-orang yang

tidak mengakui hak Allah atas masyarakat, hal demikian

diimbangi dan diperingan dengan adanya pemberian hak suaka

kepada siapa saja yang mencarinya.347

Ahli hukum yang sama merasa khawatir bahwa tradisi Barat

yang muncul setelah runtuhnya Imperium Turki Utsmani

347 L Islam estime qu’il est juste de tirer l epee contre ceux qui ne reconnaissent pas le droit de Dieu sur

la Societe humaine. Mais il tempere cette (guerre sainte) par le Droit d’asile, l’hospitalite. Ce n’est pas seulement en temps de paix, … que les Dhimmiyun ont ete traites a egalite par l’Etat musulman…, C’est en temps de guerre que l’Etat musulman fait combattre pour proteger la vie et les biens de Dhimiyun comme ceux des Musulmans: leurs prisonniers aussi, le Bayt al-Mal musulmans doit payer equivalement la rancon des Dhimmiyun et celle des Musulmans… Il y a plus: Si un etranger resident en temps de paix en territoire islamique devient un ennemi du fait d’une de claration de guerre contre son pays d’origine, ses droits acquis persistent en temps de guerre: cet etranger ennemi peut continuer paisiblement son sejour jusqu’ a la date prevue dans le visa. L. Massignon: Le respect de la personne humaine en Islam et la priorite du droit d’asile sur le devoir de juste guerre, Rev. Inter. De la croix Rouge, 1952, p. 458-9, 460, 467.

Page 311: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

274

mengakibatkan adanya penolakan dari negara-negara Islam

terhadap pemberian hak suaka. 348 Akademisi Barat lainnya, Hoy

Eduardo mengakui bahwa pemberian hak suaka paling luas dapat

ditemukan dalam tradisi kehidupan bangsa Arab Islam.349

Kristen Zaat mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk

mengambil inspirasi, dari Syariat Islam, tentang sejumlah ide dan

konsep yang relevan dengan upaya perlindungan dan pemberian

bantuan kepada orang yang bermigrasi lantaran adanya

keterpaksaan. Di samping itu, diakui pula olehnya keharusan

mengakhiri opini yang memandang bahwa Syariat Islam

merupakan faktor penyebab penyalahgunaan pemenuhan hak-hak

dan pemberian fasiltas hidup bagi orang-orang migran.350 Bahkan,

S. Akram mengisyaratkan keharusan menengok kembali tradisi

budaya Timur ketika memperbincangkan hak suaka.351

Salah satu bentuk dari tradisi ini ialah penghargaan terhadap

348 La liquidation de cet Empire par l’Europe en 1923, ou le traite de Lausanne, aboutit a une regression

du droit international en consacrant le principe raciste (assyrien) des transferts massifs de population, d’ echanges, pour (incompatibilite d’humeur avec leurs voisins), des personnes d’ placees: echange entre les Musulmans turcs de Macedoine et les Chretiens grecs.. cet echange qui a determine, des deux cotes, une situation miserable… a servi de type et de modele a d’autres echanges diplomatiques, a commencer par certains replis raciaux hitleriens… pour aboutir a l’ expulsion massive, par l’Etat d’arabes musulmans des Juifs… Nous avons ainsi amene les Musulmans a nous imiter en expulsant les minorites… Et l’on peut se demander si les Etats musulmans, pour nous combattre avec nos armes, ne vont pas renier comme nous le Droit d’asile, qui est, pourtant, dans leur tradition et leur droit international fondamental.

349 Secara lugas, ia mengatakan: “Mungkin suaka yang paling genuine ialah yang dipraktekan dalam tradisi masyarakat Islam Arab” Lihat Hoy Eduardo, Convention Refugee Definition in the West: Disharmony of Interpretation and Application, International Journal of Refugee Law, 5, 1993, h. 69.

350 Zaat mengatakan bahwa: “Para pihak yang menaruh perhatian terhadap nasib kaum pengungsi dan IDPs (Internally Displaced People) di dalam kehidupan masyarakat dunia seharusnya mendekati Syariat Islam dengan niat baik dan semangat ingin tahu, yang berupaya menemukan, dari tradisi Arab Islam klasik, pola yang tepat secara budaya, asli dan terpuji tentang perlindungan dan bantuan bagi kaum yang bermigrasi lantaran keterpaksaan. Masa – masa kelam yang hanya mempersalahkan Syariat Islam sebagai penyebab penyalahgunaan hak-hak dan fasilitas kehidupan kaum migran memang harus diakhiri.” Lihat Kirsten Zaat: The Protection of Forced Migrants in Islamic Law, h. 35 .

351 S. Akram, Orientalism Revisited in Asylum and Refugee Claims, International Journal of Refugee Law, 12 (I), 2000, op cit, h. 7-40.

Page 312: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

275

jiwâr (suaka). Oleh karena itu, seorang penyair Arab tidak segan-

segan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap mereka yang

tidak menghargai hak suaka dengan cara mengintimidasi dan

mempermalukan pencari suaka (mustajîr). Dalam kaitan ini,

seorang penyair Arab, al-Burj ibn Mushar al-Tâ’iy, bersyair:

Betapa hebatnya orang-orang Kalb, Namun, di bawah jiwâr mereka, kami melihat kekurangan, Betapa hebatnya orang-orang Kalb, Tetapi kami menderita lantaran anak-anak kami, Pengkhianatan terjadi pada siang dan malam, Di dataran rendah maupun dataran tinggi, Sejak perang satu tahun, kami tinggalkan rakyat kami, Betapa mengerikan, rakyat kami tercerai-berai, Kami keluarkan perempuan-perempuan tua dari benteng, Tempat mereka berdiam dalam damai dan kestabilan, Suatu hari kami harus kembali ke dua gunung, Kami akan selalu hidup dalam kedamaian hingga mati menjemput.352

Berkomentar atas Hadis Nabi Muhammad SAW:353 “Pada

dasarnya, aku diutus dengan pesan untuk menyuruh (kalian)

berbuat baik.”, penulis (Marzuq ibn Tinbâk) berpendapat bahwa

di antara perilaku mulia dalam tradisi bangsa Arab adalah yang

disebut sebagai perilaku atau sifat bermurah hati, berani,

memelihara harga diri, melindungi tetangga, dan menyayangi

orang lain yang tidak dikenal.354

352 Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, (Kuwait: Hauliyyât

Kulliyah al-Âdâb, 1410-11 H/ 1989/90 M), h. 93 353 Lihat sebelumnya, Sambutan Rektor Universitas al-Azhar, halaman xxvi. 354 Marzuq ibn Tinbâk, al-Jiwâr fî al-Syi’r al-‘Arabiy hattâ al-‘Asr al-Umawiy, h. 11

Page 313: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

276

C. Pandangan Pribadi Penulis

Penting untuk disampaikan bahwa pemberian hak suaka sejalan

dengan 3 (tiga) prinsip dalam Syariat Islam sebagai berikut:355

1. Kewajiban melindungi dan membantu orang yang mengalami

penganiayaan atau penyiksaan. 356 Pemberian suaka

merupakan bentuk minimal dari upaya pemberian

perlindungan dan bantuan bagi orang tersebut. Hal ini

disokong oleh ayat al-Qur’an:

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S. al-Hasyr/59:8)

2. Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk memiliki “sikap

bergerak” dan “sikap tidak terikat dengan daerah tertentu”

apabila terdapat alasan-alasan mengharuskan “bergerak atau

berpindah tempat”. Ini sesuai dengan pesan ayat-ayat al-

Qur’an berikut:357

Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini)

355 Seorang ahli hukum berpendapat bahwa, “Dans le monde musulman d aujourd hui, les pratiques et

les legislations relatives a l asile et aux refugies sont loin d etre musulmanes. Elles s alignent tres souvent sur la pratique internationale moderne, tres souvent restrictive et assez peu genereuse.” See: L’asile et les refugies dans la tradition musulmane, , h. 333 dan 337.

356 Ada yang berpandangan bahwa “jiwar” saat ini telah menjadi ranah kebijakan luar negeri dalam Islam yang mengombinasi kombinasi berbagai sifat mulia, yang mana bermakna perlindungan terhadap kehidupan, keluarga, kekayaan, dan penghargaan terhadap individu maupun kelompok”. Lihat Ali Ahmad al-Khatîb, Muqaddimah fî Hijrat al-Rasûl, Final Volume, (Jiwar), op cit, h. 164.

357 Hal ini juga dikukuhkan oleh hukum internasional. Lihat C. Mubanga-Chipoya, The Right to Everyone to Leave any Country, Including his Own and to Return to his Country, UN doc.E/C4/Sba.2 1988/35, June 1988, Final Report.

Page 314: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

277

kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (Q.S. al-A’râf/7:128)

Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.S. al-Anbiyâ’/21:105)

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Q.S. al-Mulk/67:15)

Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S. al-Zukhruf/43:10).

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. al-Jumu’ah/62:10)

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah,.. (Q.S. al-Muzzammil/73:20)

3. Tindakan melanggar dan membatalkan perjanjian suaka yang

diberikan kepada pengungsi merupakan hal yang ditentang

Islam selamanya.358 Hal demikian terbukti dari faham bahwa

358 Hal demikian terbukti dari norma Syariat Islam yang menyatakan bahwa setiap pelanggaran, oleh

orang Muslim, terhadap ketentuan dan persyaratan perlindungan, akan dihukum menurut Syariat Islam. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash? (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1427 H/ 2006 M), h. 79. Di dalam buku ini, penulis juga (Ahmad Abû al-Wafâ’) mengatakan bahwa asal-usul suaka

Page 315: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

278

penghormatan terhadap orang yang bermigrasi dan mereka

yang mencari suaka merupakan salah satu noktah penting

ajaran akidah Islam.

Hak suaka merupakan hak Arab yang genuine, di mana

banyak orang telah meminta untuk menghidupkannya

kembali, bahkan dalam khazanah sya’ir Arab.359 Dalam hal

ini, Pasal 12 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia

dalam Islam (the Cairo Declaration on Human Rights in

Islam), yang disahkan dalam Konferensi Menteri Luar Negeri

dari Negara-Negara OKI ke-19 di Kairo tahun 1411 H/1990

M, menyatakan:

“ Setiap orang berhak, menurut Syariat Islam, untuk bebas bergerak dan memilih tempat tinggal, baik di dalam maupun

berakar kuat dalam tradisi Islam dan Arab. Lihat Ahmad Abû al-Wafâ’, Islam and the West: Co-Existence or Clash?, h. 194.

359 Sebagai contoh, ketika Hind bint Nu’mân meminta suaka kepada Safiyyah bint Tsa’lab al-Syaibâniyyah maka Safiyyah memberikannya suaka, dan dia mendatangi kaumnya mengumumkan perihal suaka itu terkait tindakan Raja Kisra Persia dan bala tentaranya, dengan mengatakan:

Wahai Bani Syaibân, hidupkan suaka (jiwâr) Yang telah dimatikan oleh semua suku bangsa Arab Apa alasannya? Pakaianku dilipat oleh seorang perempuan merdeka Ditanam dalam kumpulan mutiara dan berlian Menghadapi para Kaisar, aku beri suaka kepada seorang perempuan merdeka Dengan bantuan kaum tua dan kaum muda kaum saya Syaiban adalah suku saya, apakah ada suku lain yang seperti mereka Pada saat perlawanan dan berkecamuknya pasukan berkuda Suatu kaum yang melindungi orang yang dikejar musuh Dan hidupku terpelihara dari perubahan masa

Kemudian Bani Syaibân memberikan suaka dan melawan serangan pasukan tentara asing (Persia) hingga pasukan itu takluk. Safiyah berkata:

Katakan kepada Kisra, kami memberikan suaka kepada seorang perempuan pencari suaka Maka ia menempati tempat kemuliaan, wahai Kisra Kami adalah orang-orang yang apabila tinggal di tempat berbahaya Kami tidak pernah menyesal Kami lindungi pencari suaka itu dari semua bahaya Kami berikan kepadanya karunia yang menyenangkan, Lihat Muhammad ‘Anâni, al-Mukhtâr min Asy’âr al-Mar’ah al-‘Arabiyyah fî al-Jâhiliyyah wa al-

Islâm, (Kairo: General Book Organization, 1997), h. 27-42.

Page 316: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

279

di luar negaranya. Setiap orang juga berhak-apabila disiksa/dianiaya, mencari suaka ke negara lain dan negara yang dimintai suaka olehnya wajib memberikan perlindungan kepadanya hingga dia benar-benar terlindungi, sejauh penyebab yang membuat dirinya mencari suaka itu bukan merupakan suatu tindak kejahatan menurut Syariat Islam.”360

4. Sebuah fatwa penting dikemukakan oleh Ibn al-Nâbulsi al-

Hanafi. Pada bagian akhir ini, patut kiranya kami mengutip

pandangan progresif Ibn al-Nâbulsi al-Hanafi mengenai hak

untuk bebas bergerak, memilih tempat tinggal, dan

memperoleh suaka. Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Hak

Setiap Orang untuk Memilih Tempat Tinggal di suatu

Negara” (Takhyîr al-‘Ibâd fi Suknâ al-Bilâd), Ibn al-Nâbulsi

al-Hanafi berkata:

“Memaksa seseorang untuk tinggal menetap di suatu tempat

360 ‘Abd al-Qâdir ‘Audah berpandangan bahwa pengusiran seorang Muslim dari wilayah Muslim bisa menjadikan dirinya beresiko untuk jatuh pada godaan dan mendorongnya pada kebinasaan dan menghalanginya untuk melakukan ibadah agamanya di ranah publik. Dia menambahkan, tidak ada negara Islam yang berhak menolak akses ke wilayahnya bagi warga negara-negara Islam lain, karena setiap negara memiliki langkah-langkah keamanan dan ketentuan syariah yang dapat memenuhi setiap kebutuhan. Jika semua ini tersedia dan berlaku di negara itu, maka aturan syariah tidak akan terganggu. Dalam kasus ini, negara tidak boleh menyimpang dari hak ini dengan dalih perlunya mendukung tindakan yang akan mengganggu aturan penting syariah. Pendapat ini sejalan dengan maksud dan tujuan syariah untuk menyatukan tanah Muslim dan mengubahnya menjadi wilayah yang aman dan damai bagi setiap Muslim dan dzimmy. Di sisi lain, pandangan yang bertentangan dengan semangat di atas, hal mana mengusung ketimpangan serta bias nasionalisme dan rasisme, jelas tidak sejalan dengan Islam. ‘Abd al-Qâdir ‘Audah, al-Tasyrî’ 'al-Jinâ'i al-Islâmiy, op cit, h. 304-305.

Mencermati pesan dari khalifah al-Mansûr berkenaan dengan beberapa orang Muslim yang berlindung di Turki dan kemudian mereka dihukum berat dan dibunuh oleh mereka, Syeikh bin Saudah berpandangan, tidak diragukan lagi bahwa para pelaku yang membunuh dan menghukum berat beberapa Muslim yang mencari perlindungan karena Allah dan bersekutu dengan kelompok mujahidin (pejuang untuk tujuan yang suci) tidak dapat dianggap sebagai saudara dalam agama. Tindakan mereka menunjukkan keimanan yang tipis dan kurangnya kesetiakawanan. Dengan demikian mereka harus dihukum dengan terbuka dan dipermalukan di depan publik dan kemudian dibunuh. Ini akan menjadi hukuman yang setimpal(Qaishâsh) untuk tindakan mereka yang keji. Allah mengetahui yang terbaik dari niat dan tujuan mereka, jika ia membunuh para mujahidin dengan maksud untuk mendukung musuh-musuh Allah atau karena cinta dan semangat untuk mendukung agama mereka, maka mereka akan dikeluarkan dari agama Islam dan akan diperlakukan sebagai kafir. 'Abd al-Hâdiy al-Tâziy, al-Târîkh al-Diblûmâsiy li al-Maghrib min Aqdam al-'Ushûr ila al-Yawm, (t.tp: Mathâbi' Fudhâlah, al-Muhammadiyyah, 1407 H / 1987 M.), op cit, Jilid 1, h. 139.

Page 317: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

280

dan mewajibkannya dengan jalan pemaksaan merupakan

suatu tindakan zalim dan melanggar hukum. Tindakan

semacam ini harus dijauhkan dari diri setiap Muslim.

Diwajibkan pula setiap Muslim, terutama penguasa Muslim

dan orang yang kompeten, untuk mencegah, melawan, dan

memberantas pelaku tindakan semacam ini dengan berbagai

cara seoptimal mungkin, seperti dengan cara menasehati dan

memperingatkan secara keras dengan lisan, dan bentuk

pencegahan dan pemberantasan kemunkaran lainnya.” Dia

menambahkan:

“ Oleh karena itu, terdapat atsar (ungkapan bijak ulama) yang

menyatakan bahwa cinta tanah air itu merupakan bagian dari

keimanan. Jadi, seseorang tidak boleh meninggalkan

negaranya atau melepaskan ikatan kewarganegaraan dengan

negaranya kecuali dengan dasar alasan kesulitan/kesusahan

berat yang menimpa dirinya, seperti kelaliman penguasa,

tindakan fitnah, tindakan penganiayaan, dan alasan lain yang

memungkinkan dirinya meninggalkan negaranya,

keluarganya dan tempat tinggalnya. Mengenai hal ini, Allah

SWT berkalam dalam al-Qur’an:

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. (Q.S. al-Nisâ’/4:66)

Page 318: Hak - Hak Pencarian Suaka Dalam Syariat Islam dan Hukum

281

Jadi, Allah menjadikan tindakan meninggalkan negara

seperti tindakan membunuh diri dan Allah mempersamakan

dua tindakan itu dari segi kesukaran/kesusahan yang

ditimpakan kepada manusia.” Dia menambahkan pula:

“Tindakan sekelompok penduduk Muslim meninggalkan

daerah, tempat tinggal dan harta kekayaan mereka lantaran

kezaliman dan kesewang-wenangan pihak lain, yang di luar

kesanggupan mereka menghadapinya, sehingga mereka tidak

bisa menjalankan aktivitas ibadah dan keyakinan akan

perkara halal dan perkara haram maka tindakan sekelompok

penduduk Muslim itu merupakan tindakan mulia yang diberi

ganjaran pahala. Hal ini didasarkan kepada kalam Allah

SWT:

Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. (Q.S. al-‘Ankabût/29:56).” Ketika memahami kandungan makna ayat ini, al-Nasafi berkata: “Apabila orang Muslim merasa tidak mudah beribadah di negerinya atau ia tidak dapat menjalankan ajaran agamanya maka dia harus bermigrasi ke negeri lain yang lebih menjamin kehidupan beragamanya.” 361

361 Institute Francais de Damas, Bulletin d Etudes Orientales, Tome XXXIX-XL, Annes 1987-1988, h.

28-37.