8
4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013 Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah Noviandy, M. Hum Dosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh Jl. Sisingamangaraja. No. 99. Gampong Gampa. Johan Pahlawan. Meulaboh Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini mengkaji masalah etika dalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, yang dalam ranah politik- pragmatis acap kali diabaikan oleh para pemangku kuasa (eksekutif) dan legislator. Dalam proses perumusan Qanun Jinayah, etika merupakan salah satu bagian penting yang harus diperhatikan dengan seksama karena erat kaitannya dengan hak- hak dasar warga negara yang sudah terpatenkan dalam HAM. Sebuah hukum ditegakan demi terciptanya keadilan, dan keadilan tidak bisa dari lepas dari konteks HAM, karena penegakan HAM itu sendiri merupakan prasyarat terciptanya keadilan. Atas dasar ini, maka penelaahan akan pentingnya aplikasi nilai-nilai etis dalam proses politisasi Qanun Jinayah menjadi penting sekaligus bisa menjadi kritik konstruktif untuk perbaikan Qanun Jinayah Aceh Kata Kunci: Syariat Islam, Qanun Jinayah, Etika, dan HAM. I. PENDAHULUAN Syari’at Islam merupakan pilihan masyarakat Aceh untuk menata kehidupan yang lebih baik pasca konflik. Syari'at Islam yang diformulasikan menjadi Qanun Jinayah kini sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh, suatu ciri khas daerah yang membedakannya dari provinsi-provinsi lain di belahan nusantara. Sebagai idiologi, Syari'at Islam mampu meredam dendam bangsa Aceh dan menyatukannya ke dalam satu visi, yaitu, mengembalikan kejayaan bangsa Aceh sebagai negeri Serambi Mekah dengan Islam yang kaffah. Bagi penduduk Aceh, visi tersebut bukan lagi utopia atau absurd, karena telah ditunjang oleh undang-undang otonomi daerah, sekalipun dalam prakteknya bukan perkara mudah. Memformulasikan Qanun Jinayah adalah bagian dari usaha mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah. Dalam konteks ini, Qanun Jinayah merupakan sistem sosial kemasyarakatan yang sengaja dibentuk untuk mengatur kehidupan praktis masyarakat Aceh dengan berlandasan kepada Syari'at Islam. Pada titik tertentu, Qanun Jinayah juga bisa dikatakan sebagai bentuk positivisasi Syari'at Islam. Suatu proses kodifikasi Syari'at Islam menjadi hukum positif. Dalam proses kodifikasi tersebut para legislator sering kali menemukan benturan, terutama dengan political interest kaum elitis dan kaum mayoritas yang pragmatis-konservatif. Fenomena ini dapat kita saksikan dalam proses tarik ulur perumusan Qanun Jinayat di Aceh yang menimbulkan banyak kontroversi. Walaupun Islam menjadi agama mayoritas dan sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosial- kultural masyarakat Aceh, namun pengejawantahan Syari'at Islam dalam bentuk Qanun Jinayah tidak melulu berjalan indah. Dalam prakteknya, identitas mayoritas tersebut seringkali dijadikan sebagai justifikasi etis perumusan Qanun Jinayah untuk menekan, dan bahkan menafikan identitas-identitas lain di luar mainstream. Terlebih ketika para pemuka agama -yang gagap dan kurang sensitif atas berbagai dinamika kehidupan sosial- bertindak sebagai garda politis-religius yang mengkerdilkan Syari'at Islam menjadi eksklusivisme madhab. Pada titik ini, semangat humanisme yang merupakan tujuan dari Qanun Jinayah sudah terkamuflasekan oleh vandalisme yang memicu konflik hingga pada level wong cilik (grassroot). Kemunculan dua kubu bersebrangan, radikalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara literalis- konservatif) dan liberalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara kontekstualis-liberal) yang mengendalikan eksekutif dan legislatif, merupakan salah satu indikator hilangnya nilai-nilai etis dalam proses perumusan rancangan Qanun Jinayah. Keduanya terjebak dalam politik transaksional, dan tidak jarang dengan mengatasnamakan Tuhan dan Syari'at Islam, saling cakar berebut benar. Mirisnya, masyarakat digiring untuk memposisikan diri pada dua pilihan kubu tersebut. Dan bahkan, seperti diungkapkan Hefner Smith, konflik sengit kedua kelompok tersebut lebih menonjol dan menjadi wacana dominan dalam proses perumusan Qanun Jinayat, mengalahkan tema utama, yaitu problematika kehidupan umat. [1] Kehadiran kaum moderat -digawangi masyarakat dayah yang melingkupi komunitas pesantren, akademisi, sebagian birokrat, dan para penggiat LSM- yang menengahi kedua kubu di atas mampu menyedot animo masyarakat karena menawarkan konsep Islam yang lebih transformatif, anti-kekerasan dan terorisme, serta corak pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara pandang tekstualis dan kontektualis. [2] Namun, dalam perjalanannya kaum ini sering diidentikan dengan kaum liberalis karena dalam realitas praktis mereka sering terjebak pada pergulatan pemikiran kontemporer yang sangat teoritis, kurang mengedepankan prinsip-prinsip etika universal (common good) yang sebenarnya dapat menjadi kendali sistem sosial masyarakat Aceh. [1] Hefner Smith, Islam dan Tantangan Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Ahmad Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 210. [2] Ahmad Najib Burhani, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Februari 2008.

Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Etika PolitikDalam Perumusan Qanun Jinayah

Noviandy, M. HumDosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh

Jl. Sisingamangaraja. No. 99. Gampong Gampa. Johan Pahlawan. MeulabohEmail: [email protected]

AbstrakTulisan ini mengkaji masalah etika dalam proses perumusan

Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, yang dalam ranah politik-pragmatis acap kali diabaikan oleh para pemangku kuasa(eksekutif) dan legislator. Dalam proses perumusan QanunJinayah, etika merupakan salah satu bagian penting yang harusdiperhatikan dengan seksama karena erat kaitannya dengan hak-hak dasar warga negara yang sudah terpatenkan dalam HAM.Sebuah hukum ditegakan demi terciptanya keadilan, dankeadilan tidak bisa dari lepas dari konteks HAM, karenapenegakan HAM itu sendiri merupakan prasyarat terciptanyakeadilan. Atas dasar ini, maka penelaahan akan pentingnyaaplikasi nilai-nilai etis dalam proses politisasi Qanun Jinayahmenjadi penting sekaligus bisa menjadi kritik konstruktif untukperbaikan Qanun Jinayah AcehKata Kunci: Syariat Islam, Qanun Jinayah, Etika, danHAM.

I. PENDAHULUAN

Syari’at Islam merupakan pilihan masyarakat Acehuntuk menata kehidupan yang lebih baik pasca konflik.Syari'at Islam yang diformulasikan menjadi QanunJinayah kini sudah menjadi identitas politik-religius danidentitas sosial-kultural masyarakat Aceh, suatu ciri khasdaerah yang membedakannya dari provinsi-provinsi laindi belahan nusantara. Sebagai idiologi, Syari'at Islammampu meredam dendam bangsa Aceh danmenyatukannya ke dalam satu visi, yaitu, mengembalikankejayaan bangsa Aceh sebagai negeri Serambi Mekahdengan Islam yang kaffah. Bagi penduduk Aceh, visitersebut bukan lagi utopia atau absurd, karena telahditunjang oleh undang-undang otonomi daerah, sekalipundalam prakteknya bukan perkara mudah.

Memformulasikan Qanun Jinayah adalah bagian dariusaha mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah. Dalamkonteks ini, Qanun Jinayah merupakan sistem sosialkemasyarakatan yang sengaja dibentuk untuk mengaturkehidupan praktis masyarakat Aceh dengan berlandasankepada Syari'at Islam. Pada titik tertentu, Qanun Jinayahjuga bisa dikatakan sebagai bentuk positivisasi Syari'atIslam. Suatu proses kodifikasi Syari'at Islam menjadihukum positif. Dalam proses kodifikasi tersebut paralegislator sering kali menemukan benturan, terutamadengan political interest kaum elitis dan kaum mayoritasyang pragmatis-konservatif. Fenomena ini dapat kitasaksikan dalam proses tarik ulur perumusan Qanun Jinayatdi Aceh yang menimbulkan banyak kontroversi.

Walaupun Islam menjadi agama mayoritas dan sudahmenjadi identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh, namun pengejawantahan

Syari'at Islam dalam bentuk Qanun Jinayah tidak meluluberjalan indah. Dalam prakteknya, identitas mayoritastersebut seringkali dijadikan sebagai justifikasi etisperumusan Qanun Jinayah untuk menekan, dan bahkanmenafikan identitas-identitas lain di luar mainstream.Terlebih ketika para pemuka agama -yang gagap dankurang sensitif atas berbagai dinamika kehidupan sosial-bertindak sebagai garda politis-religius yangmengkerdilkan Syari'at Islam menjadi eksklusivismemadhab. Pada titik ini, semangat humanisme yangmerupakan tujuan dari Qanun Jinayah sudahterkamuflasekan oleh vandalisme yang memicu konflikhingga pada level wong cilik (grassroot).

Kemunculan dua kubu bersebrangan, radikalis (merekayang memahami Syari'at Islam secara literalis-konservatif) dan liberalis (mereka yang memahamiSyari'at Islam secara kontekstualis-liberal) yangmengendalikan eksekutif dan legislatif, merupakan salahsatu indikator hilangnya nilai-nilai etis dalam prosesperumusan rancangan Qanun Jinayah. Keduanya terjebakdalam politik transaksional, dan tidak jarang denganmengatasnamakan Tuhan dan Syari'at Islam, saling cakarberebut benar. Mirisnya, masyarakat digiring untukmemposisikan diri pada dua pilihan kubu tersebut. Danbahkan, seperti diungkapkan Hefner Smith, konflik sengitkedua kelompok tersebut lebih menonjol dan menjadiwacana dominan dalam proses perumusan Qanun Jinayat,mengalahkan tema utama, yaitu problematika kehidupanumat.[1]

Kehadiran kaum moderat -digawangi masyarakatdayah yang melingkupi komunitas pesantren, akademisi,sebagian birokrat, dan para penggiat LSM- yangmenengahi kedua kubu di atas mampu menyedot animomasyarakat karena menawarkan konsep Islam yang lebihtransformatif, anti-kekerasan dan terorisme, serta corakpemikiran keagaman yang mengkombinasikan carapandang tekstualis dan kontektualis.[2] Namun, dalamperjalanannya kaum ini sering diidentikan dengan kaumliberalis karena dalam realitas praktis mereka seringterjebak pada pergulatan pemikiran kontemporer yangsangat teoritis, kurang mengedepankan prinsip-prinsipetika universal (common good) yang sebenarnya dapatmenjadi kendali sistem sosial masyarakat Aceh.

[1] Hefner Smith, Islam dan Tantangan Dunia Modern.Diterjemahkan oleh Ahmad Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005), hal. 210.

[2] Ahmad Najib Burhani, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks.Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Februari 2008.

Page 2: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Tidak bisa dinafikan bahwa dalam proses kodifikasiQanun Jinayah, ketiga kelompok di atas saling tarik ulurkepentingan, terlebih jika terjadi konflik horisontal antarmasyarakat dan adanya gonjang ganjing politik di tingkatnasional. Idealnya, dan demi terciptanya keadilan,masyarakat Aceh harus berperan aktif untuk menghindaridan mempersempit ruang-ruang konflik politik denganmengedepankan prinsip-prinsip etik, dan mengedepankanproblema utama yang sedang dihadapinya, yaitubagaimana proses perumusan Rancangan Qanun Jinayahyang dilakukan oleh legislatif bersama eksekutif dapatmensejahterakan rakyat sesuai dengan visi suci Syari'atIslam, serta mengakomodir kepentingan seluruh golongan.Alasan inilah yang menjadi titik tolak kenapa kita perlumenelaah kembali peran etika politik dalam prosesperumusan Rancangan Qanun Jinayah di Aceh.

A. Formulasi Qanun Jinayah Dalam Hukum PositifSyariat Islam merupakan risalah propetis akhir yang

diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi MuhammadSAW dengan membawa dua visi suci, Tauhid danHumanisme. Tauhid di sini bukan hanya berarti syahadahtiada tuhan selain Allah dan Muhammad rosulNya, tetapijuga syahadah bahwa semua makhluk terikat dalam satukesatuan organisasional yang bersifat simbiosismutualisme demi terwujudnya totalitas penghambaankepada Allah SAW. Adapun humanisme berartimemanusiakan manusia. Adanya Syari'at Islam tiada lainuntuk mewujudkan kedua visi suci dimaksud. Karena duavisi ini pula kenapa Islam menjadi agama Rahmatanlil’alamin.

Tauhid dan humanisme pada dasarnya adalah landasanteologis-filosofis para Fuqaha dalam merumuskanMaqashid al-Syariah yang terdiri dari: Hifd al-Din(memelihara agama), Hifd al-Nafs (memelihara jiwa),Hifd ‘Aql (memelihara akal), Hifd al-Nasl (memeliharaketurunan), Hifd al-Mal (memelihara harta) dan Hifd al-Biah (memelihara ekologi). Setiap orang yang menyalahiatau melanggar Maqashid al-Syariah dianggap sebagaitindakan kriminal (jarimah) yang harus diberi sanksi(‘uqubat) sesuai dengan porsinya, baik berupa hudūd,qishash ataupun ta’zir.3 Ini karena Maqashid al-Syariahberperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat yangmenjadi titik tolak penegakan keadilan. Di samping itu,dalam konteks Syari’at Islam, Maqashid al-Syariah jugaberperan sebagai prinsip etis yang mutlak dipatuhi olehpara legislator dalam menjabarkan Hukum Pidana Islam.

Pun dalam konteks Aceh, Maqashid al-Syariah yangberperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat dan prinsipdasar etis, idealnya menjadi pijakan dasar para legislatif-eksekutif dalam proses perumusan Rancangan QanunJinayah. Hal ini dikarenakan, sebagai hukum positif Islam,Qanun Jinayah merupakan tatanan hukum komunal untukmengatur hak dan kewajiban tiap individu di ranah sosial.

Ada pertanyaan yang terus menghantui kita di dalamproses pengaplikasian Syari’at Islam, yaitu, kenapa dalamproses formulasi Qanun Jinayah di Aceh acap kali

[3] ‘uqubah di sini harus dimaknai sebagai balasan yang ditetapkandemi kemaslahatan masyarakat dan demi tegaknya Syari’at. AhmadWardi Muslih, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Garafika, 2005), hal.x

menimbulkan resistensi dan konflik, baik di level grassroot, akademisi, ataupun legislator-eksekutif? Jawabannyasangat dilematis dan kompleks. Kendati demikian menuruthemat penulis, fenomena ini setidaknya disebabkan olehdua faktor, yaitu: Pertama, kurang responsifnyamasyarakat dan otoritas agama terhadap dinamika zamanyang menuntut reinterpretasi teks-teks teologis. Kedua,para pemangku kuasa terjebak pada politik transaksional,alias menafikan politik etis.

Fakta menunjukan bahwa hingga saat ini sebagainbesar masyarakat dan otoritas agama di Aceh kurangapresif terhadap isu-isu kontemporer, khususnya masalahHAM, multikulturalisme, Gender, LGBT, dan pluralismeagama. Padahal isu ini acap kali menjebak masyarakat danototitas agama di Aceh untuk memposisikan diri pada duapilihan yang sama sekali tidak produktif, yaitufundamentalisme atau liberalisme. Denganfundamentalisme masyarakat terkungkung oleheklusivisme madhabiyah dan sikap antipati terhadapdinamika realitas dan pemikiran-pemikiran baru di luarmainsteam. Dan dengan liberalisme umat sering kalikeblabasan keluar dari Syari’at.

Di lain pihak dinamika perpolitikan Aceh berjalankurang sehat. Permasalahan umat yang esensial -terlebihperumusan Qanun Jinayah- selalu dikooptasi olehkepentingan politik pragmatik yang bersifat transaksionaldan temporal. Kita tidak menafikan akan urgensi politikdalam pemerintahan, karena basis dan tujuan politikadalah kepentingan publik. Yang kita kritisi adalahpenafian nilai-nilai etis dalam kancah politik praktis yangmengebiri proses perumusan Qanun Jinayah, danmempertaruhkannya untuk kepentingan golongan tertentu.

Penafian etika politik di komunitas politikus Acehsetidaknya tampak jelas dalam dua hal berikut:1. Privatisasi Rancangan Qanun Jinayah

Masyarakat Aceh merupakan komunitas yangbudayanya dibangun di atas pondasi Syari’at Islam.Artepak yang menunjukan keintiman Syari’at Islamdengan masyarakat Aceh termaktub dalam pepatahleluhur bangsa Aceh, “Hukum ngon adat lage zatngon sifeut” (Hubungan syari‘at dengan adat ibarathubungan suatu zat dengan sifatnya, melekat tidakdapat dipisahkan). Atas dasar inilah kenapamasyarakat Aceh menyambut baik tawaranpemerintah untuk menerapkan Syari’at Islam sebagaisolusi terbaik pasca konflik.

Syari’at Islam bisa dikatakan sebagai bentukperlakuan istimewa pemerintah nasional kepadapemerintah daerah Aceh. Istimewa, karena memangpemerintah daerah Aceh diberi keleluasaan olehUndang-Undang No. 44 tahun 1999 untuk mengaturwilayahnya --tentunya dengan monitoring pemerintahpusat- secara otonom dalam tiga bidang Agama,Pendidikan dan Peradatan sesuai dengan Syari’atIslam. Bahkan pemerintah Aceh-pun meresonUndang-Undang tersebut dengan menjabarkanSyari’at Islam ke dalam wujud Hukum Pidana Islam(Hukum Jinayat) yang di atur oleh Qanun.

Keistimewaan Aceh semakin jelas ketika tahun2001 pemerintah pusat kembali mengesahkanUndang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang OtonomiKhusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai

Page 3: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam otonomiini, Aceh diberikan kuasa untuk membentukPeradilan Syari‘at Islam yang dijalankan olehMahkamah Syar‘iyah. Undang-undang ini kemudiandirespon positif oleh pemerintah daerah Aceh denganmembentuk Makamah Syari’ah yang kewenangannyadi atur dalam Qanun Provinsi NAD No. 10 tahun2002.[4]

Pada bulan Maret 2003 Mahkamah Syar‘iyahAceh diresmikan oleh Menteri Kehakiman, danketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Adapunpada tingkat Nasional, diperkuat oleh Undang-undangNo. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,yang dalam pasal 15 disebutkan bahwa peradilanSyari‘at Islam di Aceh adalah Peradilan Khususdalam lingkungan Peradilan Agama dan PengadilanKhusus dalam lingkungan Peradilan Umum.

Adapun mengenai pembahasan RancanganQanun Jinayah di DPR Aceh dimulai sejakdikeluarkannya Surat Keputusan oleh DPR Acehtentang pembetukan Tim Pansus XII pada bulanseptember 2008 yang dimotori oleh Barom Moh.Rasyid, dan kemudian dikukuhkan oleh SuratKeputusan (SK) tentang Penetapan Tenaga AhliPansus XII DPR Aceh,[5] dan dimonitoring olehPemerintah Aceh yang diwakili timnya[6] Daripembahasan Pansus XII dihasilkan Rancangan QanunJinayah yang pada tanggal 14 September 2009disahkan oleh DPR Aceh. Sayangnya, RancanganQanun Jinayah tersebut hanya berkisar masalahhukuman lima tindak pidana yang sangat privatif,yaitu: Khalwat (Mesum), Maisir (Perjudian), Khamar(Minuman Keras) serta Aqidah dan Ibadah.

Tentu saja Rancangan Qanun Jinayah di atasmenuai banyak kritik, selain karena penuh dengan

[4] Kewenangan Makamah Syari’ah dalam bidang jinayahberkenaan dengan (1) Hudūd, meliputi Zina, menuduh zina (qadaf),mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, danpemberontakan atau Bughah (2) Qishas/Diyat, meliputi pembunuhan danpenganiayaan (3) Ta‘zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orangyang melanggar syari’at selain Hudūd dan Qishas seperti; maisir(perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhudan puasa ramadhan (4) Zakat. Semuanya kewenangan ini termaktubdalam Qanun Provinsi NAD No 11 tahun 2002, Qanun Provinsi NADNo 12 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 13 dan 14 tahun 2003, danQanun Provinsi NAD No 7 tahun 2004.

[5] Berdasarkan SK Sekretaris DPR Aceh Nomor: 161/5.258/2008tertanggal 27 Oktober 2008, Tenaga Ahli Pansus XII yang terdiri dari: H.Effendi Gayo, S.H, M.H. (Pengadilan Tinggi), Drs. Jufroi Ghalib, S.H.,M.H (Mahkamah Syar‘iyah), Drs. H. Armia Ibrahim, S.H. (MahkamahSyar‘iyah), Budiono (Polda), Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad, S.H.(IAIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, M.A. (IAIN Ar-Raniry), Mawardi Ismail, S.H., M.Hum, Darwis, S.H (Advokat) danMuhammad Rum, Lc., M.A (Tim Ahli DPR Aceh).

[6] Tim yang ditunjuk mewakili pemerintah Aceh berdasarkan SuratGubernur Nomor: 188/41970 tertanggal 6 november 2008 dalah sebagaiberikut: Asisten Pemerintahan Sekda Prov NAD, kepala biropemerintahan setda prov NAD (Koordinator), kepala Biro Keistimewaandan Kesra prov. NAD (Ketua TIM), kepala Biro Hukum dan HumasSekda Provinsi NAD (Wakil Ketua TIM), kepala BPM Prov. NAD(Anggota), Drs. Ziauddin (kepala Dinas Syari’at Islam), Prof. Dr.Muslim Ibrahim (Ketua MPU), Drs. Mukhtar Yusuf, S.H. (Hakim TinggiMAkamah Syar‘iyah), Drs. H. Rizwan Ibrahim (hakim Tinggi), Prof. Dr.Al Yasa‘ Abu Bakar (Dosen IAIN), Khairani Arifin, S.H., M.H. (DosenFakultas Hukum), Ria Fitri, S.H., M.H. (Dosen Fak. HUkum Unsyiah),Syamsiar, S.H. (narasumber), Prof. Dr. Tgk. Daniel Djuned (DosenIAIN), dan M. Din, S.H., M.H.

aroma eklusivisme madhabiyah, isi Rancangan QanunJiyanah malah menjadi beban baru masyarakat yangsudah lama terhimpit oleh beban ekonomi danketidakadilan hukum. Sebagaimana diungkapkandirektur Koalisi NGO HAM Aceh, Evi Narti Zain,qanun-qanun yang dihasilkan sangat tidak logis danhanya mengurus masalah privasi, tidak melangkah kedimensi sosial-ekonomi yang sudah carut marut. Evimenegaskan, seharusnya Rancangan Qanun Jinayahmenyangkut permasalahan kesejahteraan rakyat,pembukaan lapangan kerja, subsidi pendidikan,subsidi kesehatan, pemberantasan korupsi, ataupermasalahan sosial-ekonomi yang real lainnya.Karena persoalan hukum yang privasi akan mudahditegakan jika stabilitas sosial-ekonomi telahterpenuhi.

Suatu yang niscaya jika ada sebagian masyarakatAceh yang galau dengan pengebirian Qanun Jinayahke ranah privasi,[7] terlebih mereka yang dari awaltidak setuju dengan penerapan Syari’at Islam diAceh.8 Karena pengebirian Qanun Jinayah ke ranahprivasi, seperti pada lima tindak pidana di atas, bisajadi merupakan keberhasilan intrik politik pemerintahnasional dalam membius masyarakat rakyat Acehyang ektase dengan romantisisme penegakan Syari’atIslam di era kejayaan Sultan Iskandar Muda. Atau,bisa jadi pula fenomena ini sebagai fakta nyatakecacatan para politisi lokal yang menggunakanQanun Jinayah sebagai legitimasi religius ataskekuasaannya, dan proyek akal-akalan demimemenuhi self interest. Karena faktanya, sekianjumlah APBD hanya dihabiskan untuk menyelesaikanperkara-perkara yang tidak korelatif denganpeningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi Aceh yangberdasarkan Syari’at Islam kini telah dinobatkansebagai provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta.

Lebih mengerikan lagi, Rancangan QanunJinayah yang penuh dengan aroma eklusivismemadhabiyah seringkali menjadi tameng untukmenggilas entitas keagamaan di luar pemahamannya.Sehingga tidak jarang kita menyaksikan konflik sosialdi level grass root. Sebut saja kafir-mengkafirkankarena perbedaan cara ibadah, atau menghukumi danmemarginalkan kaum minoritas yang distigmakannegatif. Anehnya, tidak sedikit dari otoritas agamayang menganggap fenomena ini sebagai perkara yanglumrah, bahkan dianggap sebagai bagian dari jihad lii’lai kalimatillah.

Sepenuhnya kita meyakini akan pentingnya

[7] Meskipun galau umumnya masyarakat Aceh takut untukmengungkapkannya. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu:Pertama, takut memperbincangkan hal-hal yang bersentuhan denganagama dengan alasan wilayah teologis yang tidak sepantasnyadiperdebatkan. Kedua, tidak mau berkonflik dengan banyak pihak danmemilih mengikuti apa yang menjadi keputusan politik.

[8] Sebagian masyarakat Aceh menolak penerapan Syari’at Islam diAceh. Penolakan ini didasarkan pada asumsi bahwa Syari’at Islamadalah manuver politik pemerintah pusat agar Aceh tidak lepas dariNKRI. Bagi mereka, yang dibutuhkan masyarakat Aceh bukan Syari’atIslam, tapi kesejahteraan dan keadilan. Sehat Ihsan Sadiqin, Islam dalamMasyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untukMasyarakat Modern?, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke10, (Banjarmasin, 1-4 November 2010).

Page 4: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Syari’at Islam ditegakan di Aceh, begitu pula denganurgensi Rancangan Qanun Jinayah. Namun, QanunJinayah harus terarah kepada jaminan hak-hak dasarumat yang lebih luas, utamanya untuk kesejahteraanekonomi dan penegakan HAM, karena keduanyamenjadi hak umat dan prasyarat terciptanya keadilan.Bukan hanya bergelut di wilayah hukuman limatindak yang privatif. Tidak elok jika Qanun Jinayahterus diarahkan untuk mengurus masalah rok, caraduduk wanita di jok, atau menghukum wanita binaldan pria nakal dengan cambuk. Akan menjadi indahjika Rancangan Qanun Jinayah diorientasikan untukpemerataan dan kestabilan ekonomi, pertahanan dankeamanan sosial, peningkatan pendidikan sertapemberantasan tindak korupsi.

2. Rajam: Tapal Batas Logika Politik Elitis

Ada apa di balik rajam sehingga eksekutif danlegislatif adu garang untuk menang? Bagi penulis,munculnya pertanyaan ini sangat wajar karena dalamproses legislasi Rancangan Qanun Jinayah di Aceh,masalah rajam menjadi isu yang sangat vital danmenyita perhatian bukan hanya warga lokal, tetapijuga nasional dan internasional. Kontroversi hukumanrajam pertama kali mencuat setelah ada penolakandari fraksi Demokrat yang disampaikan dalam sidangke IV DPR Aceh tahun 2009. Sidang yang membahasdraft akhir Rancangan Qonun Jinayah.[9]

Penolakan hukuman rajam oleh fraksi Demokratdi ranah legislatif diikuti oleh para pemangku kuasadi ranah eksekutif. Dalam hal ini, Gubernur selakukepala pemerintahan daerah Aceh tidak sependapatdengan dimasukannya poin rajam ke dalam QanunJinayah. Karena sejak awal pembahasan hukumanrajam bagi pelaku zina yang berstatus muḩṣan tidakdiusulkan dan tidak dimasukkan dalam materiRancangan Qanun Jinayah. Mengenai hal ini Edrianmengungkapkan:

…bahwa pada awal penyusunannya, dalam draf awalyang disampaikan ke DPR Aceh, tidak ada persoalanrajam, yang ada hanya cambuk. Hal ini dilakukan dalamrangka pembinaan, bukan berarti pemerintah Aceh inginmenyimpangi dari al-Quran dan Hadis. Tetapi inidilakukan secara step by step, jangan langsung begitu.Lalu kalaulah persoalan zina dan persoalan ini sudahmerajalela, maka baru di tingkatkan menjadi rajam.[10]

Penolakan tersebut berimplikasi kepada

[9] Menurut M. Arqom Pamulutan, dari Daftar Infentaris Masalah(DIM) pendapat akhir fraksi di DPR Aceh, fraksi-fraksi yang menyetujuihukuman rajam adalah: Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN,Fraksi PKS, Fraksi PBB, Fraksi PBR, Fraksi Partai Umat Islam, danFraksi Perjuangan Umat. Hanya Fraksi Partai Demokrat menolakhukuman rajam, fraksi ini mengusulkan agar uqubat zina diubah menjadi10 kali cambuk dan denda 100 gram emas murni atau penjara maksimal10 bulan. Usulan lainnya adalah agar setiap uqubat bagi semua jarimahdikurangi hingga menjadi 10% dari uqubat yang dirumuskan dalamRancangan Qanun Jinayah. M. Arqom Pamulutan, Menakar UqubatRajam, hal. 125-126. Lihat pula Pemandangan Umum Anggota DPRAceh terhadap Rancangan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayahtanggal 10 Desember 2009, dan Pendapat Akhir Fraksi DPR Acehterhadap Rancangan Qanun Hukum jinayah dan Hukum Acara Jinayahtanggal 14 september 2009.

[10] Wawancara, Edrian, S.H., M.Hum. (Kepala Bagian Perundang-Undangan Pada Bagian Hukum Secretariat Daerah Aceh), 7 juli 2010

penolakan Gubernur untuk menandatangani QanunJinayah yang sudah disahkan oleh DPR Aceh. Dalamsuratnya yang dilayangkan kepada DRP Aceh,Gubernur hanya menyatakan “Belum DapatMemberikan Persetujuan”.[11] Bahkan surat iniditembuskan kepada ketua Makamah Agung, MenteriDalam Negeri, dan Menteri Hukum dan HAM. Danpastinya surat ini memicu berbagai reasi. Suasanabertambah pelik ketika Gubernur Aceh melaporkansikap para anggota DPR Aceh kepada Menteri DalamNegeri c/q Direktur Otonomi Daerah dengan tuduhanpenyalahgunaan wewenang karena memasukanpersoalan rajam dalam draf Rancangan QanunJinayah secara sepihak.[12]

Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar,menegaskan bahwa penolakan eksekutif terhadappenerapan hukum rajam di Aceh adalah pilihan final.Menurutnya, penolakan eksekutif bukan berartimenolak hukum Tuhan, akan tetapi yang kita lakukanadalah mengurangi hududnya, bukan menghilangkansubtansi hukumnya, dan ini dilakukan untukmenyesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh yangbelum stabil. Pemerintah Aceh menginginkanpenerapan hukuman pada Qanun Hukum AcaraJinayat lebih terarah kepada denda atau secara adat,bukan fisik.[13]

Berbeda dengan Gubernur dan wakilnya, anggotaPansus XII dari DPR Aceh punya alasan lain kenapamasalah rajam dimasukan dalam draf RancanganQanun Jinayah. Bagi anggota Pansus XII dari DPRAceh, rajam merupakan konsekuensi yuridis darimasuknya delik zina dalam Rancangan Qanun Jinayatyang diusulkan oleh pemerintah Aceh. Alasan lainyang dikemukakan oleh anggota Pansus XII adalah:1. Karena pemerintah Aceh telah mengusulkan delik zina dan

sanksi sebagai materi rancangan qanun, maka sanksi yangdiberikan tidak cukup hanya dengan cambuk 100 kali. Karenaketentuan seperti itu dalam hukum Islam berlaku bagi yangbelum menikah, maka bagi yang sudah menikah ada hukumanlain, yaitu rajam.

2. Jika hukuman rajam tidak dimasukkan, berarti kitamenyembunyikan hukum Allah.[14]

3. Pada masa lalu sultan Iskandar Muda juga pernahmelaksanakan eksekusi rajam terhadap anaknya, MeurahPupok, karena berzina.[15]

4. Aceh sudah diberikan peluang untuk menerapkan Syari’atIslam, dan ini momentum penting untuk memasukanhukuman rajam ke dalam materi Rancangan Qanun Jinayah.Momentum yang bagi anggota DPR Aceh tidak akan terulangdi masa yang akan datang. Selain itu, penetepan hukum inidianggap sebagai bentuk tanggung jawab anggota DPR Acehkepada agama dan tugasnya di DPR Aceh[16]

[11] Surat Nomor: 188.342/58391 tertanggal 25 September 2009perihal “Belum Dapat Memberikan Persetujuan”.

[12] Surat Nomor: 188/62308 tertanggal 14 oktober 2009 perihal“Penyampaian Rancangan Qanun Aceh”. Surat ini ditembuskan kepadaketua DPRA, ketua Komisi A dan Ketua Komisi C DPR Aceh.

[13] The Global Jurnal, Pro Kontra Pengesahan Qanun Jinayah danHukum Acara Jinayah, Rabu, 11 November 2009. http.tgj.com

[14] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh danAnggota Tim Pansus XII), Aceh Besar, 14 September 2011.

[15] Wawancara, Bustanul Arifin (Sekretaris Pansus XII DPRAceh), Aceh Besar, 22 Agustus 2011.

[16] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh danAnggota Tim Pansus XII), Aceh Besar, 14 September 2011 dan BahromRasyid, wawancara via telphon, 18 September 2011

Page 5: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Secara hukum Rancangan Qanun Jinayahmemang sudah sah dan wajib diundang-undangkandalam peraturan Daerah, walaupun mengundangbanyak polemik. Hal ini didasarkan kepada Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang PembentukanPerundang-undangan pasal 38 (2), dan juga dalamQanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata CaraPembentukan Qanun pasal 37 (2), yang menyatakanbahwa dalam hal Rancangan Qanun Jinayahsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidakditandatangani oleh Gubernur/ Bupati/ Wali Kotadalam waktu paling lama 30 hari sejak RancanganQanun Jinayah disetujui bersama, maka rancanganQanun tersebut sah menjadi Qanun dan wajibdiundangkan.

Lain halnya dengan Gubernur Lemhanas,Muladi. Dalam seminar uji publik Qanun Jinayah diJakarta ia mengungkapkan bahwa Rancangan QanunJinayah yang disahkan DPRA periode 2004-2009telah menyimpang dari ketentuan hukum diIndonesia. Menurutnya, hukum Indonesia tidakmengenal hukuman badan, oleh karena itu ketentuanhukum di Aceh harus menyesuaikan dengan hukumyang berlaku secara nasional. Walaupun pada titiktertentu Perda Syari’ah boleh menyimpang, namuntidak untuk hukuman badan. Menurut Muladi,Menteri Dalam Negeri harus bertindak tegas terkaitdengan pengesahan Rancangan Qanun Jinayah diNangroe Aceh Darusalam.

Yang tragis dari pro-kontra penerapan hukumanrajam ini adalah munculnya tuduhan-tuduhan baruyang dilayangkan kepada mereka yang menolakpengesahan Rancangan Qanun Jinayah. Koordinatoraksi Forum Komunikasi Untuk Syariah (Fokus),Muadz Munawar, misalnya, dalam orasinya di depangedung DPR Aceh, menuduh pihak-pihak yang tidakmendukung terhadap pengesahan qanun tersebutsebagai agen-agen asing alias antek-antek liberal yangberusaha untuk menggagalkan pengesahan qanunyang ujung-ujungnya tidak setuju dengan penerapanSyari’at Islam di Aceh.[17]

Tuduhan Muazd diamini oleh anggota Tim AhliPansus XII dari DPR Aceh, Muhammad Rum.Alasannya, pasca pengesahan Qanun Jinayah Aceholeh DPR Aceh, perwakilan Keduataan BesarAmerika Serikat sempat mendatangi SekretariatDewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS di BandaAceh. Secara gamlang mereka menyatakanketidaksukaannya dengan sikap PKS, danmenuduhnya sebagai kelompok fundamentalis yangberada di balik pengesahan Qanun Jinayah.[18]

Tuduhan serupa datang dari politisi PKS, BustanulArifin, menurutnya eksekutif menolakmenandatangani karena tim eksistensi Gubernurdibiayai oleh pihak asing, dan bahkan beberapa

[17] The Global Jurnal, Agen Asing Tolak Qanun Jinayah, diaksespada tanggal 14 September 2009 darihttp://theglobejournal.com/hukum/agen-asing-tolak-qanun-jinayah/index.php,

[18] Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli Perumusan QanunJinayah Pansus XII DPR Aceh), Aceh Besar 14 September 2011.

anggota timnya orang Amerika.[19]

Dalam hemat penulis, tidak adanya titik temuantara eksekutif dan legislatif dalam permasalahanhukuman rajam merupakan tapal batas dan bentukpemiskinan etika politik di Aceh. Dalam kancahperpolitikan lokal, kedua lembaga tersebut terjebak kedalam logika menang-kalah (binary opposition logic),Logika yang menuntut adu belati untuk meraihsimpati. Logika yang menyulut api dendam dankonflik sosial. Efeknya, masyarakat Aceh digiringuntuk memasuki medan pertarungan yang sama sekaliabsurd.

Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuankebijakan publik para politisi harus bersandar padalogika komunikatif partisifatif etis. Logika yangmengedepankan proses komunikasi dan partisipasipublik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis.Semua yang menyangkut dengan kepentingan publikyang dituangkan dalam Rancangan Qanun Jinayahsemestinya dikomunikasikan, disosialisasikan, dankemudian dirumuskan dengan melibatkan partisipasimasyarakat serta diuji kelayakan dan prioritasnyaagar tidak keluar dari nilai-nilai etik masyarakatAceh. Tampaknya, logika inilah yang sulit ditemukandi benak para pemangku kuasa.

B. Legislasi Etis Menuju Politik EtisMenurut Frans Magniz-Suseno legislasi hukum yang

berkaitan dengan hajat hidup rakyat setidaknya harusmemenuhi tiga prinsip umum, prinsip legalitas, prinsiplegitimasi demokratis dan prinsip legitimasi moral.Dengan prinsip legalitas para legislator dihadapkandengan pertanyaan apakah proses legislasi hukum telahsesuai dengan hukum yang berlaku. Melalui prinsiplegitimasi demokratis para legislator dituntut untukmembuktikan apakah proses legislasi hukum dilakukansecara transparan, dialogis-kritis serta diputuskan secarademokratis. Dan dengan prinsip legalitas moral paralegislator dibrondong oleh pertanyaan apakah legislasihukum tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarmoral.[20]

Dalam sistem pemerintahan, ketiga prinsip di atasmerupakan basis etis yang bertindak sebagai legitimasietis rakyat yang membatasi hak para penguasa, sekaligusmenjadi kepanjangan tangan rakyat untuk menolak setiaplegislasi hukum yang bertentangan dengan hak-hak dasarrakyat. Tidak hanya itu, ketiga prinsip ini juga menjadiacuan rakyat untuk memonitor apakah proses legislasihukum dilakukan secara dialogis, dialektis, kritis dandemokratis.

Dalam konteks Aceh, ketiga prinsip yang telahdisebutkan di atas bisa dijadikan acuan dalam menilaiproses legislasi Rancangan Qanun Jinayah yang dilakukanoleh para legislator. Pertama, Apakah isi RancanganQanun Jinayah tidak bertentangan dengan hukum yangberlaku, baik ditingkat lokal dan nasional (Prinsip

[19] Wawancara, Butanul Arifin (Sekretaris Pansus XII DPR Aceh),Aceh Besar, 22 Agustus 2011

[20] Frans Magniz-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip MoralDasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2003), hal. 67-69

Page 6: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Legalitas). Tegasnya, apakah isi Rancangan QanunJinayah yang diterapkan di Aceh tidak akan menimbulkanpolemik hukum ketika hukum yang berlaku di tingkatlokal dibenturkan dengan hukum yang berlaku di tingkatnasional. Hal ini sangat rentan, karena jika terjadi polemikhokum, maka Qanun Jinayah hanya mampu menghukummasyarakat kelas bawah yang terbelit ekonomi, dan akanmenjadi mainan kaum elitis yang bengal. Mereka yangberduit akan mudah bebas dari hukuman hanya denganmembayar advokat untuk mengajukan kasasi di tingkatnasional.

Kedua, Apakah Rancangan Qanun Jinayah disahkansecara dialogis-demokratis (Legitimasi Demokrastis).Seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif danmemastikan apakah Rancangan Qanun Jinayah merupakanhasil konvensi yang dialogis, kritis dan demokratis, ataudidominasi oleh kepentingan otoritas agama tertentu yangmemaksakan eklusivisme keberagamaannya dengan caramenunggangi para legislator.

Ketiga, Apakah Rancangan Qanun Jinayah tidakbertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral(Legitimasi Moral). Sebagai warga negara kita punyatanggung jawab moral untuk memastikan apakahRancangan Qanun Jinayah sesuai dengan prinsip-prinsipmoral yang tujuannya untuk menegakan HAM, atau hanyamenjadi sampan yang membawa visi dan misi sempitkelompok tertentu.

Dengan ketiga prinsip di atas kita bukan diarahkanuntuk menjadi Shu’udhonolog alias berpikiran ngawur,tetapi agar kita lebih kritis dalam menyikapi fenomenayang ada. Karena ketiga prinsip di atas tujuannya hanyasatu, yaitu untuk mengarahkan agar kualitas Qanun yangdihasilkan benar-benar untuk kesejakteraan dan keadilanrakyat, bukan untuk menambah beban rakyat.

Apakah proses legislasi Qanun Jinayah searah denganketiga prinsip di atas? Harapannya seperti itu, namunrealitas berkata lain. Perseteruan tanpa ujung antaralegislatif dan eksekutif -yang ditunggangi olehkepentingan golongan dan otoritas agama tertentu,terkhusus masalah Rajam- dalam proses legislasi QanunJinayah menjadi indikator penafian ketiga prinsip di atas.

JMSPS[21] (Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah)menilai bahwa Rancangan Qanun Jinayah terlalumenitikberatkan pada semangat untuk menghukum secarakejam, bukan untuk menciptakan kesejahteraan danmenegakan keadilan. Dengan tegas JMSPSmengungkapkan bahwa Rancangan Qanun Jinayah saat inibukan jawaban solutif bagi kebutuhan masyarakat Aceh.Bahkan sebaliknya, berpotensi menciptakan konflikhorizontal yang mengganggu proses perdamaian yangsedang berlangsung. Dengan dalih ini pula JMSPS secaraterang-terangan menyatakan penolakannya ataspengesahan qanun jinayah, terlebih hukuman rajam.Mereka menuntut untuk merumuskan ulang QanunJinayah sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan HakAsasi Manusia, memastikan harmonisasi dengan berbagai

21 Anggota JMSPS terdiri dari Koalisi NGO HAM, Kontras Aceh,RPuK, LBH APIK Aceh, KPI, Flower Aceh, Tikar Pandan, ACSTF,AJMI, KKP, SelA, GWG, SP Aceh, Radio Suara Perempuan, VioletGrey, Sikma, Pusham Unsyiah, dan Yayasan Sri Ratu Safiatuddin.

peraturan perundang-undangan, serta melibatkanpartisipasi berbagai elemen masyarakat.

Tuntutan JMSPS sangat wajar karena tidak sedikit darielemen masyarakat yang mempertanyakan kembaliefektifitas dan kualitas Rancangan Qanun Jinayah.Pasalnya, proses pembahasan Rancangan Qanun Jinayah –yang dilakukan oleh Pansus XII DPR Aceh, Tim AhliPansus XII dan Tim Ahli Pemerintah Aceh- hanyamemakan waktu sembilan bulan. Itupun belum dikurangidengan dua bulan masa reses anggota DPR Aceh padabulan juni dan juli. Dengan waktu yang singkat ini tampaksekali jika Rancangan Qanun Jinayah masih abal-abal.Jauh dari harapan masyarakat yang menginginkanRancangan Qanun Jinayah dapat mengcover semua isujinayah yang akan diterapkan di Aceh. Memang sangatdilematis, terlebih dengan singkatnya waktu sosialisasiRancangan Draft Qanun Jinayah kepada masyarakat.

Kebuntuan komunikasi antara legislatif dan eksekutifdalam proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah adalahwujud dari apa yang diidentifikasi oleh Haryatmokosebagai upaya “Pemisikinan Poltik” di ruang publik.[22]

Modus operandi pemiskinan politik ini berjalan melaluitiga modus, yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi,diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas.Dengan waktu yang relatif singkat, sulit bagi kita untukmengatakan bahwa Rancangan Qanun Jinayah telahdigodog melalui dialektika idiologis, yang nilai-nilainyatelah ditempa dalam diskusi-diskusi kritis. Apalagi jikakita berbicara skala prioritas, materi Rancangan QanunJinayah jauh dari substansi yang diinginkan rakyat Acehyang gandrung akan kesejahteraan dan keadilan.

Efek signifikan dari penafian dialektika ideologi,diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritasdalam proses perumusan Rancangan Qanun Jinayahmemunculkan modus yang Kedua, yaitu pereduksianruang publik menjadi pasar. Dalam konteks ini, proseslegislasi Rancangan Qanun Jinayah yang merupakanruang dialektika publik sudah berubah fungsi menjadipasar modal, tempat transaksi para politikus yang berjubelkepentingan. Atas dasar ini tidak salah jika banyak yangmenganggap bahwa Rancangan Qanun Jinayahmerupakan produk transaksional para politikus yangdikendalikan oleh pihak-pihak tertentu.

Yang lebih parah, dengan pereduksian ruang publikmenjadi pasar, maka lahirlah modus yang Ketiga, yaitupemiskinan etika politik. Dalam proses pembahasanRancangan Qanun Jinayah common good semestinyamenjadi dasar etika politik. Etika politik harus menjadipanglima yang mengendalikan para politikus. Karenadengan menjadikan etika sebagai panglima setiappolitikus akan terdorong untuk terus mencari makna dannilai-nilai untuk kemudian dirumuskan dalam RancanganQanun Jinayah, bukan menjadikan moral sebagai basismodal politis, yang pada akhirnya mengaburkan maknadan nilai-nilai.

Terlepas dari berbagai polemik, bagaimanapun jugamasyarakat Aceh harus menyadari bahwa upayapemiskinan politik hanya bisa dicegah dengan partisipasidan peran aktif masyarakat untuk menguji kelayakan dan

22 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. KompasMedia Nusantara, 2003), hal. 22

Page 7: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

skala prioritas setiap kebijakan yang diputuskan oleh parapemangku kuasa.

II. KESIMPULANSyari’at Islam bagi masyarakat Aceh adalah pilihan

final, dan Rancangan Qanun Jinayah adalah kebutuhanurgen untuk menjalankan roda pemerintahan. Maka dariitu, Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuankebijakan publik para politisi harus bersandar pada logikakomunikatif partisifatif etis. Logika yang mengedepankanproses komunikasi dan partisipasi publik dengan tetapmengacu kepada nilai-nilai etis. Karena Rancangan QanunJinayah terkait dengan hajat hidup masyarakat, makadalam proses perumusannya wajib dikomunikasikan,disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan denganmelibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakandan prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik danharapan masyarakat Aceh.

Pengaplikasian logika komunikatif partisifatif etisditujukan agar proses legislasi Rancangan Qanun Jiyahtidak berdampak pada upaya “Pemisikinan Poltik” diruang publik. Proses pemiskinan yang modus operandinyaberjalan melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, Penafiandialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatantentang skala prioritas. Kedua, Pereduksian ruang publikmenjadi pasar. Ketiga, Pemiskinan etika politik.

Di atas semua itu, hanya rakyat Aceh-lah yang mampumemperjuangkan dan menjadikan Aceh sebagai baldatuntoyyibah.

III. REFERENCE

[1] Abubakar, Al-Yasa, Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinassyari'at Islam, 2008).[2] Ahmad Wardi Muslihc, Hukum Pidana Islam, Jakarta: SinarGarafika, 2005.[3] Alfian, Teuku Sofyan Ibrahim, Demokrasi dalam Perspektif BudayaAceh dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed.Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996).[4] Amal, Taufik Adnan & Samsu Rizal Panggabean, Syariat Islam diAceh dalam Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: AksaraNusantara Sembrani, 2003).[5] An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Al-Qur`an, Syari’ah, dan HAM: Kinidan di Masa Depan. Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember 1993.[6] _______________, Islam dan Negera Sekuler: Menegosiasikan MasaDepan dengan Syariah (Bandung: Mizan, 2007)[7] Arfiansyah, The Politicization of Shari’ah: Behind theImplementation of Shari’ah in Aceh-Indonesia (Tesis Institute of IslamicStudies, McGill University, 2009)[8] Arkound Muhammed, Nalar Islam dan Nalar Modern.Diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994).[9] Aspinal, Edward, Partisipasi Publik dalam Qanun Syariat Islam(Laporan Penelitian Aceh Institute & Australy National University(ANU), 2008),[10] Awwas, Irfan S, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia‘Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkianatan Kaum Nasionalis-Sekuler’ (Yogyakarta: Uswah, 2009, cet. II)Binder, Leonar, Islamic Libralisme (Chicago: Chicago University Press,1998).Burhani, Ahmad Najib, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. JurnalMa’arif, Vol. 3, No.1, Feb 2008.Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia PustakaUtama 2008).Devayan, Ampuh, Murizal Hamzah, Polemik Penerapan Syariat Islam diAceh (Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani & Patnership)El Fadhl, Khaled Abou, The Ugly Modern and The Modern Ugly:Reclaiming the Beautiful in Islam dalam Progresif Muslims: On Justice.Ed. Omit Safi

El Ibrahimy, M. Nur, Tengku Muhammad Daud Bereueh: PeranannyaDalam Pergolakan di Aceh (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986).Facruddin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi: PengalamanMuhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006).Fatwa, A. M., Demokrasi Teistik: Upaya Merangkai Integrasi Politikdan Agama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dalam Islam: Ketegangan Visi danTradisi. Jurnal Islamika, No. 2 Oktober-Desember 1993.Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyakat Jawa(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1983)Gunsteren, Herman R. van, A Theory Of Citizenship: OrganizingPlurality in Contemporary Democracies (United States of America:Wesbiew Press, 1998)Habibie Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik Menentukan Jalan PanjangMenuju Demokrasi (Jakarta: THC Mandiri, 2006).Hadi, Amirul, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi, (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2010)Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jamaah: DalamPersepsi dan Tradisi NU (Jakarta: Lantabora Press, 2005).Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas MediaNusantara, 2003).Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES,cet II. 1999).Husda, Husaini, Sejarah Pemberlakuan Syari'at Islam di ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam dalam Syariat Islam di Nanggroe AcehDarussalam. Ed. M. Zain Banda (Aceh: Dinas Syariat IslamProvinsi Aceh Darussalam, 2007)Ichwan, Moch. Nur, The Politics of Shari'atization; CentralGovernmental and Regional Discourses of Shari'a Implementation inAceh dalam Islamic Law in Modern Indonesia: Ideas and Institution.Ed. Michael Feener and Mark Cammack (Harvard: Harvard UniversityPress, 2007).Iqbal, Muhammad, Prinsip Pergerakan dalam Struktur Islam dalamWacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-IsuGlobal. Ed. Charles Kurzman. Diterjemahkan oleh Bahrul Ulum danHeri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001).Kaelan, MS, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta:Paradigma, Tahun 2005).Kawilarang, Harry, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (BandaAceh: Bandar Publishing, 2008).Kelsay, John & Summer B Twiss, Agama dan Hak Asasi Manusia.Diterjemahkan oleh Ahmad Suedy dan Elga Sarapung (Yogyakarta:Institut Dian/Interfidei, 2007).Kuntowijoyo, Islam Tanpa Mesjid: Esai-Esai Agama, Budaya, danPolitik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung; Mizan,2001).Kurzman, Charles, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isuGlobal. Diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta:Paramadina, 2001).Kylicka, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian-kajianKhusus atas Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Agus Wahyudi(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).Madjid, Nurcholish, Kebebasan Nurani (Freedom Of Conscience) danKemanusiaan Universal Sebagai Pangkal Demokrasi, Hak AsasiManusia dan Keadilan dalam Demokratisasi Politik, Budaya danEkonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Ed. Elza Peldi Taher(Jakarta: Paramadina, 1994).MD, Moh. Mahfud, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta:Gama Media, 1999)._______________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia(Yogyakarta: Gama Media, 1999).Moleong, Lexy. J., Metodelogi Penelitian Kualitatif: PerumusanMasalah Analisis (Bandung: PT. Rosda Mulia, 1990)Malian, Sobirin dan Suparman, Marzuki (Peny), PendidikanKewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: UII Press,2002).Mosa, Ebrahim, Islam Progresif: Refleksi Dilematis tentang HAM,Modernitas dan Hak-hak Perempuan dalam Hukum Islam.Diterjemahkan oleh Yasrul Huda (Jakarta: ICIP, 2005).Mughni, Syafiq A. (Peny), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi,HAM, Civil Society, dan Multiculturalisme (Malang: Pusat Studi Agama,Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM), 2007).Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problema,solusi dan implementasi menuju pelaksanaan Hukum Islam di NanggroeAceh Darussalam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu & IAIN Ar-Raniry,2003).

Page 8: Etika Politik Dalam Perumusan Qanun Jinayah - noviandy.comnoviandy.com/wp-content/uploads/2013/11/ICAIOS-4.pdf · pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara ... harus berperan

4th Biannual International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) Kampus UNIMAL, Lhokseumawe, 8-10 June 2013

Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tatanan Dunia Baru:Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: Mizan, 1995).Pamulutan, M. Arqom, Menakar ‘Uqubat Rajam/Hukuman Mati diAceh: Subtansi, Operasionalisasi dan Dampaknya Terhadap HAM(Tesis: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2010)Vallely, Paul, ed., Cita Masyarakat Abad 21 (Yogyakarta: Kanisius,2007)Sadikin, Sehat Ihsan, Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: RelevankahSyariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?, Annual Conference onIslamic Studies (ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November 2010Sanapiah, Faisal, Format-format Penelitian Sosial: Format-format danAplikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1989).Smith, Hefner, Islam dan Tantangan Dunia Modern. Diterjemahkan olehAhmad Hambal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).Suseno, Frans Magniz, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral DasarKenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).Syamsuddin, Nazaruddin, Masyarakat Aceh dan Demokrasi dalamDemokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad Najib(Yogyakarta: LKPSM, 1996).Tim Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kajian Akademik: PolaPenyelesaian Pelanggaran Syariat Islam (Banda Aceh: PemerintahNanggroe Aceh Darussalam, 2008)

Perundang-undangan

Daftar Inventaris Masalah (DIM) Qanun Jinayah, Jaringan MasyarakatSipil Aceh Peduli Syariah (JMSPS), Sumber: Arabiyani (KoordinatorJMSPS)Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang“Peningkatan Langkah-langkah Komprehenshif Dalam RangkaPenyelesaian Masalah Aceh”.Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 tentang“Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka PenyelesaianMasalah Aceh”.Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2001 tentangLangkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian MasalahAcehKeputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tentang“Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan DaruratMiliter Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.Konvensi Hak Anak PBB (Children on The Right) dan Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak”Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002tentang “Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’arIslam”.Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang“Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh”.Undang-undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang“Pemerintahan Aceh”Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang“Kewarganegaraan Republik Indonesia”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 tentang“Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam”Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang“Hak Asasi Manusia”Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang“Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atauPenghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau merendahkanMartabat Manusia (Convention Againt Torture and Other Cruel, inHuman or Degrading Treatment or Punishment)”Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang“Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala BentukDiskriminasi terhadap Wanita (Convention on Ilimination of all Form ofDiscrimination Against Women)”Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 22 Tahun 1999 tentang“Pemerintah Daerah”Undang-undang Republik Indonesia.Nomor25 Tahun 1999 tentang“Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah”.

Wawancara.Wawancara, Al-Yasa’ Abu Bakar, (Direktur Pascasarjana dan TimPerumus Qanun Jinayah Aceh), Banda Aceh,12 September 2011

Wawancara, Bahrom Rasyid(Ketua Pansus XII DPR Aceh),Banda Aceh,30 September 2011Wawancara, Basri M.Nur (Ketua Umum KAMMI Periode 2009-2010),Banda Aceh, September 2011Wawancara, Bustanul Arifin (Sekretaris Pansus XII), Banda Aceh, 22Agustus 2011Wawancara, Evi Narti Zein (Direktur Koalisi NGO HAM), Banda Aceh,8 september 2011Wawancara, Faisal (Direktur Violet Greey), Banda Aceh, 27 February2014Wawancara, Fuad Mardhatillah (Pegiat HAM dan Dosen IAIN Ar-Raniry),Banda Aceh, 24 Agustus 2011Wawancara, Hasanuddin Yusuf Adan (Ketua Umum DDII Aceh), BandaAceh,23 Agustus 2001Wawancara, Muhammad Rum, (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota TimPansus XII), Banda Aceh,14 september 2011Wawancara, Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Perwakilan Ulama Aceh &Anggota Tim Pemerintahan Aceh dalam Pembahasan Rancangan QanunJinayah di DPR Aceh), BandaAceh,14 September 2011Wawancara, Rusydi Ali Muhammad, (Kepala Dinas Syariat Islam Acehdan Tim Perumus Qanun Jinayah Aceh), Banda Aceh, 12 September2011

Situs/webThe Global Journal, Muladi Jangan Asbun Tentang Rajam, Jumat, 30Oktober 2009. http://theglobejournal.com/hukum/muladi-jangan-asbun-tentang-rajam/index.php,The Global Jurnal, Agen Asing Tolak Qanun Jinayah, 14 Sptember 2009.http://theglobejournal.com/hukum/agen-asing-tolak-qanun-jinayah/index.php,The Global Journal, Pro Kontra Pengesahan Qanun Jinayah dan HukumAcara Jinayah, 11 November 2009. http://www.tgj.co.id/detil-berita.php?id=3640,Hasanuddin Yusuf Adan, Mengantisipasi Pendangkalan Aqidan danAliran Sesat, 30 April 2011.http://ddii.acehprov.go.id/index.php?option=com-content&view=article&id=135:mengantisipasi-pendangkalan-dan-aliran-sesat&catid=48:artikel-aqidah&Itemid=59,Tempo.com, SMS Warga Serang Pasantren di Aceh. Diakses 25 Juni2012.http://www.tempo.co/read/news/2010/11/27/179294975/Terprovokasi-SMS-Warga-Serang-Pesantren-di-AcehMedia Indonesia .com, 14 Aliran Sesat Dilarang Berkembang di Aceh.Diakses pada tanggal 4 April 2011.http://www.mediaindonesia.com/rea-d/2011/04/04/216955/126/101/-14-Aliran-Sesat-Dilarang-Berkembang-di-AcehThe Aceh Traffic, Angka Kemiskinan di Aceh Meningkat 0,14%(730.890 orang). 3 January 2012.http://www.acehtraffic.com/2012/01/angka-kemiskinan-aceh-meningkat-014.html, diakses pada 27 Juni 2012Waspada Online, Aceh Peringkat Top 5 Daerah Terkorup. 9 Desember2011,http://Waspada.Co.Id/Index.Php?Option=Com_Content&View=Article-&Id=226457:Aceh-Pernigkat-Top-5-Daerah-Terkorup. Diakses pada 27Juni 2012The Atjeh Post, Korupsi Aceh Meningkat, Potensi Kerugian Negara Rp.17 Triliun, 11 january 2011.http://Atjehpost.Com/Read/2012/01/11/551/5/5/ Diakses pada 27 juni2012Yusril Izza Mahendra, Keadilan Substantif dan Keadilan Proseduraldalam Konteks Negara, 5 April 2012.http://news.detik.com/read/2012/04/05 , diakses pada 8 Juli 2012Harian Aceh.com, Pengadilan Jalanan,12 maret 2011, http://harian-aceh.com/2011/03/24/pengadilan-jalanan, di akses pada 26 Juni 2012.