Upload
duongliem
View
230
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
1
EFEK TOKSISITAS KOMPONEN BIOAKTIF DAUN LOBAK (Raphanus
sativus Landra. var. hortensis Back.) DENGAN METODE BRINE SHRIMP
LETHALITY TEST SEBAGAI KANDIDAT ANTIKANKER DAN PROFIL
KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA
TOXICITY EFFECT BIOACTIVE COMPOUND OF LOBAK (Raphanus
sativus Landra. var. hortensis Back.) LEAVES WITH BRINE SHRIMP
LETHALITY TEST METHOD AS ANTICANCER CANDIDATE AND
THAT THIN LAYER CRHOMATOGRAPHY PROFILE
Yustin Nur Khoiriyah, Rita Rakhmawati, Endang Anggarwulan
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT
Cancer have a great rank position to cause of people death in developing
country (Indrayani et al., 2006). The synthetic drug of cancer to healing trade have
been give side effects and almost expensive relatively. This reason is push ahead
to discover a new source drug of cancer. Indonesia have a great potency in this
case. One of the plant which have potency to be a new source drug of anticancer
candidate is Lobak (Raphanus sativus L.). This vegetables as drug usefull have
various bioactive compound on this leaves and tuber, and it has been used
empirical for anticancer drugs. The new source drug as a candidate of anticancer
require to be proved scientifically.
In this research was conducted toxicity effect from bioactive compound of
Lobak (Raphanus sativus L.) leaves with BST method as pre screening to discover
an anticancer compound. The brine shrimp lethality test as toxicity test has been
done by including ten larva A. salina Leach into flacon contain test sampel. Death
percentage of A. salina Leach larva was counted 24 hours after giving of test
sampel rate series, then made equation of linear line to determine values of LC50-24
hours.
The result of toxicity test showed that methanol extract more toxic than
chloroform extract. The partition result of methanol extract showed that insoluble
fraction of ethyl acetate more toxic than soluble fraction of ethyl acetate. Insoluble
fraction of acetate ethyl as toxic fraction, then be partitionated with acetonitril.
The test result of partition with acetonitril by BST showed that insoluble fraction
acetonitril is more toxic than soluble fraction of acetonitril with values of LC50-24
hours = 90,54 �g/mL. TLC chromatogram with various specific reagent showed that
insoluble fraction of acetonitril found a phenolic compound.
Keyword : Raphanus sativus L. var hortensis Back, toxicity, BST, and anticancer
2
PENDAHULUAN
Kanker menempati peringkat tertinggi sebagai penyebab kematian di
negara berkembang (Indrayani et al., 2006). Usaha penyembuhan dengan obat
kanker sintetis umumnya masih relatif mahal dan memiliki efek samping yang
besar. Hal tersebut mendorong dilakukannya pencarian sumber obat baru yang
berasal dari alam sebagai salah satu kandidat yang berkhasiat antikanker.
Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai sumber obat baru untuk
kandidat antikanker adalah tanaman Lobak (Raphanus sativus L.). Tanaman sayur
berkhasiat obat ini, umbi dan daunnya mengandung berbagai kandungan kimia
seperti saponin, flavonoid dan polifenol, minyak atsiri, vitamin A dan C serta
bijinya mengandung 30-40% minyak lemak dan minyak atsiri. Zat-zat tersebut
mengandung antibiotik terhadap beberapa jenis bakteri dan antioksidan (Mursito,
2007; Kumalaningsih, 2008). Beberapa penelitian Lobak telah dilaporkan tentang
ekstrak metanol 95% akar Lobak segar, telah diisolasi satu senyawa penangkap
radikal DPPH dengan EC50 0,701 mg/mL yang diduga sebagai turunan
isotiosianat (Ervina et al., 2001). Senyawa isotiosianat sendiri diketahui sanggup
berperan memblok aktivasi pembentukan metabolit karsinogen dan meningkatkan
detosifikasi karsinogen (Yulianto, 2005), sehingga berkhasiat sebagai
hepatoprotektor dan mencegah kanker.
Lee et al., (2006) melaporkan hasil penelitiannya bahwa ekstrak metanol
kecambah Lobak mampu menginduksi Quinon Reductase (QR) yang berperan
penting untuk melindungi dari karsinogen dan xenobiotik lain. Zat aktif Indole-3-
carbinolnya, berkhasiat anti tumor, khemopreventif terhadap tumor payudara,
menghambat karsinogenesis terhadap cell line estrogen responsive,
imunomodulator dan mampu meningkatkan produksi TNF (Tumor Necrosis
Factor) sehingga sangat berguna dalam pencegahan terhadap tumor (Weng et al.,
2008). Serat di dalamnya dapat mencegah risiko kanker usus besar (kolon)
(Raharjo, 2004).
3
Berdasarkan hal tersebut, Lobak berpotensi sebagai sumber obat baru
kandidat antikanker, namun agar dapat dipertanggungjawabkan, diperlukan
penelitian ilmiah lebih lanjut tentang komponen bioaktif dari daun Lobak.
Uji toksisitas sebagai skrining awal senyawa bahan alam yang diduga
berkhasiat antikanker yaitu dengan menggunakan hewan uji Artemia salina
Leach. yang dikenal dengan Brine Srhimp Lethality Test (BST) (McLaughlin et
al., 1998). Senyawa toksik pada BST mempunyai korelasi terhadap uji sitotoksik,
mengingat sifat toksik terhadap sel (sitotoksik) harus dimiliki suatu senyawa
kandidat antikanker. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya efek
toksisitas dari komponen bioaktif daun Lobak dengan metode BST sebagai
skrining awal pencarian senyawa antikanker.
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator
(Heidolp vv 2000, Germany), Oven (Memert, Germany), lampu UV, syringe, pipa
kapiler, bejana pengembang, alat-alat gelas, mikropipet 10-1000 µL, mikropipet
20-250 µL, flakon, gelas ukur 50 mL, vortek, lampu 5 watt, neraca analitik,
spatula, pipet tetes, wadah penetasan dengan 2 tipe ruang (terang dan gelap),
aerator dan refraktometer.
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah daun Lobak (R.
sativus L.) yang diambil dari Tawangmangu, pelarut penyari metanol dan
kloroform berderajat pro analisis dari E. Merck, plat silica gel 60 GF254, etil
asetat, kloroform, asetonitril, aseton, telur A. salina Leach, air laut dengan kadar
garam 5%, suspensi ragi (Fermipan®), aquades, Serium (IV) sulfat, reagent
dragendorf, FeCl3, vanilin asam sulfat, lieberman-burchad, anisaldehid, uap
amonia dan uap iodium.
4
Cara Kerja
1. Persiapan sampel
Daun segar yang telah dibersihkan dari kontaminan bahan lain
dikeringkan menggunakan sinar matahari tidak langsung dengan cara ditutup
kain hitam, selanjutnya daun yang sudah kering diserbuk dengan
menggunakan blender.
2. Pemisahan komponen bioaktif
Pemisahan komponen bioaktif daun Lobak meliputi beberapa tahapan
yaitu ekstraksi dan partisi. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan
penyari metanol dan kloroform. Ekstrak teraktif dipartisi dengan etil asetat
untuk memperoleh dua fraksi, yaitu fraksi larut dan fraksi tidak larut etil
asetat. Fraksi teraktif dari hasil partisi dengan etil asetat selanjutnya dipartisi
kembali dengan asetonitril. Pada tiap tahap pemisahan dimonitoring dengan
KLT untuk mengetahui hasil pemisahan kandungan kimia dan BST sebagai
bioassay guided extraction and partition.
3. Uji toksisitas dengan Metode BST
Telur udang Artemia salina L. ditetaskan dalam wadah yang terdiri dua
ruang (gelap dan terang) dan berisi air laut. Telur A. salina dimasukkan dalam
air laut yang telah diaerasi dan diberi penerangan dengan cahaya lampu 5 watt.
Setelah 24 jam telur akan menetas dan siap dipindahkan dalam wadah baru
sampai umur 24 jam. Setelah 24 jam, didapatkan nauplius A. salina berumur
24 jam yang siap digunakan untuk uji toksisitas.
Larutan uji yang dibuat dengan berbagai konsentrasi (50, 75, 100, 500,
1000 µg/mL), dalam kloroform:metanol (1:1 v/v) kemudian dimasukkan
dalam flakon. Pembuatan kontrol uji dilakukan dengan memasukkan pelarut
kloroform:metanol (1:1 v/v) dalam flakon sebagai kontrol uji. Flakon tersebut
dan flakon kontrol uji diuapkan sampai tidak berbau pelarut, selanjutnya diisi
dengan 1 mL air laut dan dihomogenisasi dengan menggunakan vortek.
Sepuluh ekor A. salina yang bergerak aktif secara acak dimasukkan ke
dalam flakon-flakon yang telah diisi sampel dengan konsentrasi tertentu, air
5
laut ditambahkan hingga volume mencapai 5 mL. Makanan yang digunakan
adalah ragi Saccharomyces cerevisae dengan konsentrasi 3 mg/5 mL air laut,
sebanyak 1 tetes di masukkan ke dalam masing-masing flakon. Flakon-flakon
tersebut diletakkan di bawah lampu penerangan selama 24 jam dan kemudian
dihitung jumlah larva A. salina yang mati. Jumlah larva yang mati dihitung
setelah 24 jam waktu kontak. Larva dikategorikan mati bila sudah tidak
bergerak lagi. Setiap kadar uji dilakukan pengujian dengan lima kali
pengulangan untuk mendapatkan data yang valid. Meyer et al. (1982),
menyatakan bahwa suatu senyawa dikatakan toksik jika mempunyai nilai LC50
di bawah 1000 µg/ mL.
4. Penentuan Golongan Senyawa Fraksi Teraktif
Fraksi teraktif dianalisa kandungan senyawa kimianya dengan ditotolkan
pada lempeng KLT silica gel 60 GF254. Jarak pengembangan 7,5 cm dengan
fase gerak yang sesuai. Hasilnya dideteksi dengan sinar UV254 nm dan UV366
nm serta disemprot Serium (IV) sulfat untuk mendeteksi keberadaan senyawa
organik secara umum, dan deteksi spesifik Lieberman-burchad, reagent
Dragendorf, FeCl3, Vanilin asam sulfat, Serium (IV) sulfat, Anisaldehid, uap
amonia dan uap iodium.
Analisis data
Uji toksisitas dianalisis dengan menghitung jumlah A. salina yang mati
setelah 24 jam perlakuan dengan rumus:
% Kematian = jumlah larva A. salina mati x 100%
jumlah larva uji
Dari hasil tersebut dapat dihitung nilai LC50 dengan membuat persamaan
garis linier. Bila ada kematian pada kontrol dapat dikoreksi dengan rumus Abbot’s
yaitu:
% Kematian = jumlah larva A. salina (Mati-kontrol) x 100%
jumlah larva uji
6
Suatu senyawa atau ekstrak dikatakan toksik apabila menunjukkan LC50 <
1000µg/ml pada uji dengan BST (McLaughlin dan Ferrigni, 1983; Carballo et al.,
2002).
Penentuan golongan fraksi komponen kandidat antikanker dideteksi
dengan kromatografi lapis tipis dengan fase gerak dan fase diam yang sesuai serta
pereaksi semprot yang spesifik. Profil kromatografi lapis tipis hasil deteksi
semprot spesifik dianalisis secara kualitatif dengan analisis deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan Sampel
Daun Lobak segar yang diperoleh disortir untuk mengurangi jumlah
pengotor yang ikut terbawa dalam bahan utama. Debu dan mikroba yang melekat
pada bahan dihilangkan dengan pencucian. Pengeringan dilakukan dibawah sinar
matahari tidak langsung di tempat ternaung dengan tujuan untuk mencegah
kerusakan senyawa akibat proses oksidasi, atau reaksi enzimatis lain seperti
dekomposisi, perubahan pH yang akan menyebabkan hidrolisis senyawa iridoid
dan flavonoid glikosida (Cannell, 1998). Daun yang sudah kering diserbuk dengan
cara diblender. Pembuatan serbuk bertujuan untuk memperluas permukaan
partikel yang berinteraksi dengan pelarut (Cannell, 1998).
Pemisahan Komponen Bioaktif dan Uji Brine Shrimp Lethality Test (BST)
Serbuk diekstraksi menggunakan metode maserasi yang merupakan proses
penyarian yang sederhana baik cara pengerjaan maupun peralatan yang
digunakan. Maserasi dilakukan dengan merendam serbuk daun Lobak dalam
pelarut kloroform untuk menarik senyawa-senyawa yang bersifat non polar dan
sebagian senyawa semi polar yang terkandung dalam daun Lobak. Proses
maserasi dengan kloroform dilakukan selama 3 kali 24 jam disertai pengadukan
agar terjadi interaksi yang merata antara cairan penyari dengan seluruh permukaan
masing-masing serbuk. Selain itu menurut Cannell (1998), pengadukan pada
7
proses maserasi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi metode maserasi supaya
kejenuhan pelarut terjadi lebih cepat dan maserat yang diperoleh lebih homogen.
Ampas sisa maserasi dengan kloroform yang tidak berbau pelarut,
kemudian dimaserasi dengan metanol dengan langkah sama seperti di atas dan
didapatkan ekstrak metanol kental dengan berat sebesar 49 gram.
Profil kandungan senyawa-senyawa yang terdapat dalam masing-masing
ekstrak dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kromatogram hasil KLT ekstrak kloroform dan ekstrak metanol
daun Lobak (A) Visibel (Sinar tampak) (B) dengan deteksi UV254,
(C) UV366, (D) Serium (IV) sulfat.
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : CHCl3 : EtOAc 3:1 (v/v)
Keterangan : 1. Ekstrak CHCl3
2. Ekstrak MeOH
Hasil KLT menunjukkan bahwa ekstraksi yang dilakukan menunjukkan
profil yang berbeda pada sistem fase gerak CHCl3 : EtOAc (3:1 (v/v)). Terlihat
dengan tidak adanya tumpang tindih (overlapping) senyawa-senyawa pada kedua
ekstrak. Hal ini berarti bahwa proses ekstraksi dengan kloroform berhasil menarik
2 2 2 2 1 1 1 1
B A C
1,00
0,25
0
0,5
0,75
D
Rf
8
senyawa-senyawa yang bersifat semi polar dan non polar, sedangkan ekstraksi
dengan metanol berhasil menarik senyawa-senyawa yang bersifat lebih polar.
Bioassay guided extraction dilakukan untuk menentukan ekstrak mana
yang lebih aktif. BST merupakan metode uji hayati yang sederhana, cepat, mudah
dan reproducible yang secara tidak langsung dapat mencerminkan toksisitas suatu
senyawa atau bahan (Astuti et al., 2002).
Hasil uji BST menunjukkan bahwa ekstrak metanol memberikan
persentase kematian yang lebih besar terhadap larva A. salina, dengan persentase
kematian sebesar 80% dibandingkan ekstrak kloroform dengan persentase
kematian 6% pada konsentrasi larutan uji 1000 �g/mL. Sehingga tahap partisi
selanjutnya dilakukan terhadap ekstrak metanol.
Hasil uji BST ekstrak kloroform dan ekstrak metanol daun Lobak dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji BST ekstrak kloroform dan ekstrak metanol daun Lobak
Sampel uji Konsentrasi
(µµµµg/mL) (% kematian)
Ekstrak metanol 1000 80
500 64
100 10
Ekstrak kloroform 1000 6
500 10
100 12
Kontrol 0
Penelitian Lee et al., (2006) melaporkan bahwa ekstrak metanol kecambah
Lobak ternyata mampu menginduksi Quinon reductase yang berperan penting
dalam perlindungan terhadap penyebab kanker kimia yaitu pada sel mutan
Hepa1c1c7 dan xenobiotik lain.
Ekstrak metanol dipartisi dengan menggunakan pelarut etil asetat sehingga
dihasilkan dua fraksi, yaitu fraksi terlarut dan fraksi tidak larut etil asetat. Partisi
ini dimaksudkan untuk menyari senyawa-senyawa yang lebih polar agar masuk
dalam fraksi larut etil asetat (indeks kepolaran 4,4). Etil asetat sebagai pelarut
9
partisi diperoleh dari partisi pendahuluan dengan berbagai pelarut yang
sebelumnya dipilih berdasar indeks kepolaran.
Profil KLT hasil partisi dengan etil asetat dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kromatogram hasil KLT (1) fraksi larut etil asetat dan (2) fraksi tidak
larut etil asetat dengan deteksi Serium (IV) sulfat.
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : CHCl3 : EtOAc 3:1 (v/v)
Berdasarkan bioassay guided partition menggunakan Brine Shrimp
Lethality Test (BST), fraksi tidak larut etil asetat memberikan persentase kematian
yang lebih besar dari fraksi larut etil asetat (Tabel 2). Hal ini berarti senyawa
teraktif berdasarkan metode BST berada pada fraksi tidak larut etil asetat yang
selanjutnya akan dipartisi lebih lanjut dengan asetonitril.
Tabel 2. Hasil uji BST fraksi larut etil asetat dan fraksi tidak larut etil asetat
daun Lobak.
Konsentrasi Larutan Uji
(µµµµg/mL)
Persentase kematian (%)
Fraksi larut
etil asetat
Fraksi tidak larut
etil asetat
100 10 84
Kontrol (Metanol 10µL/mL) 0
0
0,25
0,50
0,75
1,00
2 1
Rf
10
Berdasarkan indeks kepolaran dari asetonitril (5,8) (Cannell, 1998) maka
senyawa yang terlarut dalam fraksi larut asetonitril merupakan senyawa semi
polar, dan fraksi tidak larut asetonitril berupa senyawa yang lebih non polar. Profil
kandungan senyawa fraksi larut asetonitril dan tidak larut asetonitril terlihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Kromatogram hasil KLT (1) fraksi larut asetonitril, (2) tidak larut
asetonitril (A) Visibel (Sinar tampak) (B) dengan deteksi UV254, (C)
UV366, (D) Serium (IV) sulfat.
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : EtOAc:Etanol:H2O (9:1:12 (v/v))
Profil kandungan senyawa kimia pada fraksi larut dan tidak larut
asetonitril berdasarkan deteksi UV254, UV366 dan Serium (IV) sulfat tidak
menunjukkan adanya kesamaan bercak (overlapping) pada kedua hasil partisi,
sehingga uji toksisitas dengan BST dapat dilakukan pada kedua fraksi.
Hasil uji BST menunjukkan bahwa fraksi tidak larut asetonitril
memberikan persentase kematian yang lebih besar dari fraksi terlarut asetonitril
(Tabel 3). Melihat ketoksikan fraksi tidak larut asetonitril dibandingkan fraksi
larut asetonitril, konsentrasi 100µg/mL menyebabkan kematian A. salina sebesar
2 1
0
0,25
0,50
0,75
1,00
Rf
2 1 2 1 1 2
A D C B
11
56%, sedangkan pada fraksi larut asetonitril tidak menyebabkan kematian dari
konsentrasi 10-100µg/mL. Maka disimpulkan bahwa fraksi tidak larut asetonitril
merupakan kandidat antikanker yang perlu diteliti lebih lanjut.
Tabel 3. Hasil uji BST fraksi larut asetonitril dan fraksi tidak larut
asetonitril daun Lobak.
Konsentrasi Larutan Uji
(µµµµg/mL)
Persentase kematian (%)
Fraksi larut
asetonitril
Fraksi tidak larut
asetonitril
100 0 56
75 0 40
50 0 28
20 0 8
10 0 2
Kontrol (Metanol 10µL/mL) 0
Berdasarkan persentase kematian fraksi tidak larut asetonitril dapat
dihitung nilai LC50 dengan membuat persamaan garis linier y = bx + a.
Persamaan garis linier diperoleh dari kurva hubungan antara konsentrasi
dan persen kematian larva A. salina dapat dilihat pada Gambar 4.
��������������� �
�����������
�
��
��
��
�
��
��
� �� � �� �� ��� ���
� ��� ������ �� ��
����������
Gambar 4. Grafik hubungan persentase kematian dan konsentrasi larutan uji fraksi
tidak larut asetonitril
Nilai LC50 ditentukan dengan persamaan garis lurus di atas (y=0,5759x-
2,1434) dengan memasukkan nilai y=50 ke dalam persamaan persamaan garis
lurus, dan diperoleh konsentrasi yang menyebabkan 50% kematian yaitu sebesar
12
90,54 µg/mL. LC50 menunjukkan konsentrasi yang menyebabkan kematian pada
50% hewan uji. Nilai LC50 yang diperoleh mencerminkan toksisitas senyawa
terhadap hewan uji. Semakin kecil nilai LC50 suatu senyawa maka semakin tinggi
toksisitasnya, dan sebaliknya semakin besar nilai LC50 suatu senyawa maka
semakin rendah tingkat toksisitasnya. Meyer et al., (1982) menyatakan bahwa
suatu senyawa dikatakan toksik jika mempunyai nilai LC50 di bawah 1000 µg/mL.
Meskipun uji toksisitas dengan BST tidak dapat secara langsung menggambarkan
kemampuan toksiknya terhadap sel kanker tertentu, namun metode ini sudah
banyak dilaporkan bermanfaat untuk uji skrining senyawa aktif antikanker (Astuti
et al., 2002). Mc Laughlin et al., (1998) menemukan adanya korelasi positif antara
BST dgn uji sitotoksik 9KB (karsinoma nasofaring manusia), ditunjukkan dengan
hasil uji sitotoksik yang memberi nilai ED50 9KB sama dengan 1/10 dari nilai
LC50 hasil uji BST.
Penentuan Golongan Senyawa Fraksi Teraktif
Penentuan golongan senyawa fraksi tidak larut asetonitril digunakan
berbagai pereaksi semprot antara lain Lieberman-burchad, reagen Dragendorf,
FeCl3, Vanilin asam sulfat, Serium (IV) sulfat, Anisaldehid, dan uap amonia
(Tabel 4).
Tabel 4. Hasil deteksi dengan berbagai deteksi semprot fraksi teraktif tidak
larut asetonitril
Warna
bercak
Deteksi Perkiraan senyawa
UV
254
UV
366
AD DD VA FeCl3 LB SS A
- - - merah - coklat Kuning Fenolik (Rf 0,07)
biru - - - - - coklat - Ikatan rangkap
terkonjugasi (Rf 0,4)
Keterangan :
1. AD = Anisaldehid
2. DD = Dragendorf
3. VA = Vanilin
4. LB = Lieberman-burchard
5. SS = Serium (IV) sulfat
6. A = Amonia
13
Kandungan kimia fraksi tidak larut asetonitril dengan berbagai deteksi
senyawa spesifik terlihat pada kromatogram (Gambar 5).
Gambar 5. Kromatogram fraksi tidak larut asetonitril
Fase diam : silika gel GF254
Fase gerak : CHCl3:aseton 1:1 (v/v)
Deteksi : A. Visibel (Sinar tampak)
B. Amonia
C. UV254
D. UV366
E. Anisaldehid
F. Dragendorf
G. Serium (IV) sulfat
H. Lieberman burchad
I. FeCl3
J. Vanillin asam sulfat
Hasil positif pada deteksi senyawa amonia ditandai dengan berubahnya
warna bercak menjadi warna kuning (Gambar 5.B), yang menunjukkan bahwa
kandungan senyawa dalam fraksi tersebut terdapat golongan senyawa fenolik.
Hasil positif terjadi pula pada pereaksi semprot FeCl3 yang merupakan deteksi
senyawa fenol. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna totolan sampel fraksi
(A) (C) (B) (D) (F) (E) (G) (H) (I)
0
0,25
0,50
0,75
1,00
Rf
(J)
14
tidak larut asetonitril menjadi merah. Pereaksi semprot FeCl3 merupakan cara
klasik deteksi senyawa fenol sederhana yang menimbulkan warna hijau, merah,
ungu, biru atau hitam yang kuat, tetapi kebanyakan fenol (terutama flavonoid)
dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warnanya atau flouresensinya di
bawah lampu UV, warnanya diperkuat atau berubah bila diuapi amonia. Senyawa
fenol berupa senyawa aromatik sehingga semua menunjukkan serapan kuat di
daerah spektrum UV (Harborne, 1987). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5,
dimana pada spektrum UV366 tampak bercak biru. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa di dalam fraksi tidak larut asetonitril terdapat senyawa golongan fenolik.
Senyawa fenolik yang berhasil dideteksi pada penelitian ini dapat dikatakan
sebagai salah satu golongan senyawa yang ikut bertanggung jawab terhadap
kematian A. salina. Namun tidak menutup kemungkinan ada golongan senyawa
lain yang ikut bertanggung jawab terhadap efek toksik A. salina yang belum
terdeteksi.
Senyawa fenolik dilaporkan mempunyai sejumlah aktifitas biologis
termasuk antioksidan. Menurut Duthie et al., (2007) terdapat hubungan antara
proses terjadinya kanker (karsinogenesis) dengan senyawa antioksidan yang erat
kaitannya dengan kerusakan oksidatif DNA. Dengan menekan reaksi oksidatif
radikal bebas, kerusakan mitokondria sebagai organel penyedia energi dalam sel
dapat dicegah. Antioksidan dapat melindungi disfungsi mitokondria dan gangguan
lain yang dapat menyebabkan penyakit lain (Poon et al., 2004).
KESIMPULAN
1. Fraksi tidak larut asetonitril dari ekstrak metanol dari fraksi tidak larut etil
asetat mempunyai efek toksisitas tertinggi terhadap A. salina dengan nilai
LC50-24 jam sebesar 90,54 µg/mL.
2. Senyawa toksik yang terdapat dalam fraksi tidak larut asetonitril daun Lobak
yang diduga ikut bertanggungjawab menyebabkan kematian larva Artemia
salina Leach. adalah golongan senyawa fenolik.
15
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada PHK A-2 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
tahun 2008 atas dukungan dana penelitiannya dan segenap tim pengurusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, P., Alam, G., Hartati, M.S., Sari, D. dan Wahyuono, S. 2005. Uji
Sitotoksik Senyawa Alkaloid dari Spons Petrosia sp.: Potensial
Pengembangan Sebagai Antikanker. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (1):
58-62
Cannel R.J.P. 1998. Natural Products Isolation. New Jersey: Humana Press
Carballo, J.L., Inda, Z.L.H., Perez, P, Gravalos, M.D.G. 2002. A comparison
between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine
natural products. BMC Biotechnology 2 (17) : 1-5
Duthie, G.G, S.J. Duthie, and J.A.M. Kyle. 2000. Plant polyphenol in cancer and
heart disease; implications as nutritional antioxidant. Nutrition Research
Rreview 13: 79-106
Ervina, M., Soediro, I.S., Kusmardiyani, S. 2001. Telaah Fitokimia Akar Lobak
(Raphanus sativus L. var, Hortensis Back.) sebagai Penangkap Radikal
Bebas. Laporan Penelitian. Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Terbitan Kedua. Penerjemah:
Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: Penerbit ITB
Indrayani, L.; Soetjipto, H., dan Sihasale, L. 2006. Skrining Fitokimia dan Uji
Toksisitas Ekstrak Daun Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis L. Vahl)
Terhadap Larva Udang Artemia salina Leach. Berk. Penel. Hayati 12 : 57–
61.
Kumalaningsih, S. 2008. Super Oksida Dismutase (SOD).
http://antioxidantcentre.com/index.php?option=com_rss&feed=RSS2.0&no
_html=1. [13 Agustus 2008]
Lee, S.O. and Lee, I.S. 2006. Induction of Quinone Reductase, The Phase 2
Anticarcinogenic Marker Enzyme, in Hepa1c1c7 Cells by Radish Sprouts,
Raphanus sativus L. Journal of Food Science 71 (2) : S144-S148.
16
Mc Laughlin, J.L., and Ferrigni, N.R. 1983. Potato dises and brine shrimp: Two
Simple bioassays for antitumor prescreening and fractionating monitoring.
Proceeding of symposium on discovery and development of naturally
occurring antitumor agents, National Cancer Institute, Frederick, Maryland
: 9-12
Mc Laughlin, J.L, Rogers, L.L, Anderson, J.E. 1998. The Use of Biological
Assays to Evaluate Botanicals. Drug Information Journal 32 : 513-524
Meyer, B.N., Ferrigni, N.R., Putnam, J.E., Jacobsen, L.B., Nichols D.E,
McLaughlin, J.L. 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for
Active Plant Constituents. Plant Medica 45 : 31-34.
Mursito, D dan Kajawi. 2007. Pengaruh Kerapatan Tanaman dan Kedalaman Olah
Tanah Terhadap Hasil Umbi LobakI. Laporan Penelitian. Fakultas
Pertanian UNS, Surakarta.
Poon, H.F., Calabrese, V., Butterfield, D.A. 2004. Free radicals and brain aging.
Clinical Geriatri Medical 20;329-359
Raharjo, S. 2004. Era Baru Ilmu Pangan dan Gizi. http://[email protected].
[29 Juli 2008]
Weng, J., Tsai, C., Kulp S.K., Chen, C. 2008. Indole-3-carbinol as a
chemopreventive and anti-cancer agent. Cancer Letters 262:2, 153-163
Yulianto, W. A. 2005. Kubis sebagai Kemopreventif Kanker.
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2005/0304/kes1.html. [29
Juli 2008]