9
KEMAMPUAN BACA-TULIS SISWA DISLEKSIA Rifa Hidayah Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang Email: [email protected] Abstract The purposes of this research are (1) comprehending the reading and writing ability of child of dyslexia, (2) Reading and writing resistant factor, and (3). Study model for child of dyslexia. The result of the research shows; (1). Reading ability and writes ability of dyslexia are low, (2). The factor influencing the reading disability are (a). disfunction nerve system, (b). Slow development and lacking of nutrition, (c). Slow short term memory, (d). Lack of family support and supporting facilities for study, (e). less mature of physical, emotional and social. (3). Learning model. In general, Learning process for child of dyslexia in class is equal to other children, but there is special treatment for dyslexia that is they have special requirement, such as special teacher, method and private space and time especially. The treatment was specially given for the improvement of reading and writing ability of child of dyslexia. Keywords Reading Ability, Writing Ability, Learning Models, Dyslexia Pendahuluan Problem kesulitan belajar membaca paling banyak ditemui dengan suatu proporsi yang besar, di mana anak‐anak lebih dari 50% beresiko kesulitan belajar membaca, bahkan di estimasikan siswa yang mengalami kesulitan belajar membaca paling banyak frekuensinya mengalami problem akademik sebesar 90 % (Bender, 2004). Siswa yang mengalami kesulitan belajar membaca menduduki peringkat tinggi di antara kesulitan belajar yang lain, prosentasenya gangguan membaca meliputi 80% dari jumlah anak yang berkesulitan belajar (Pierson, 2002), bahkan ada yang berpendapat hampir 90% anak yang berkesulitan belajar mengalami kesulitan membaca (Lyon, 1995), Kejadian disleksia di dunia berkisar 5‐17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia. 5‐10 % anak‐anak dan orang dewasa terkena disleksia (Wolfensberger & Ruijssnaars, 1997). Di antara negara‐negara yang mengalami problem kesulitan belajar membaca, Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki problem kesulitan belajar membaca. Secara nasional berdasarkan data Dinas Pendidikan kemampuan membaca siswa SD di Indonesia masih rendah, indeksnya masih 3,5 jauh berada di bawah indeks Singapua 7,8 (Kompas, 2008). Sampel studi PISA (2001) di Indonesia meliputi 7.355 siswa usia 15 tahun dari 290 sekolah menengah, menunjukkan sekitar 75.6% siswa Indonesia usia 15 tahun memiliki kemampuan membaca yang termasuk tingkat terendah secara internasional. Menurut data Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), negara dengan kemampuan membaca tertinggi, saat diukur pada 2006‐2007, adalah Finlandia. Sedangkan negara yang mendapat skor terendah adalah Tunisia dengan 374,62, kemudian disusul Indonesia (381,59), Meksiko (399,72), Brazil (402,80), Serbia (411,74). Berdasarkan studi Progress In International Reading Literacy Study (PIRLS) Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang berkantor di Amsterdam, Belanda di ikuti 40 negara pada tahun 2007, Indonesia dengan sampel penelitian 4.950 siswa dari 170 SD/MI swasta dan negeri Indonesia termasuk memiliki tingkat kemampuan membaca rendah. Fenomena tersebut lebih ironis lagi bila dialami anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan belajar, seperti anak dengan gangguan disleksia, di mana menurut Gillis (Beacham, 2006) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa 50‐100% orang disleksia bukan hanya sulit membaca akan tetapi juga mempunyai kesulitan matematis. Berbagai studi menunjukkan bahwa kebanyakan anak yang mengalami disleksia mengalami kelemahan pada ketrampilan fonologi (Marshall, 2001) kelemahan menamai dengan cepat/speed naming (Wolf, 2000 dan Snowling, 2004) memiliki ingatan yang pendek yang sangat kurang sekali sehingga menyebabkan

diseksia dan kemampuan membaca

Embed Size (px)

DESCRIPTION

disleksia masalah membaca

Citation preview

Page 1: diseksia dan kemampuan membaca

KEMAMPUAN BACA-TULIS SISWA DISLEKSIA

Rifa Hidayah

Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN) Malang

Email: [email protected] Abstract

The purposes of this research are (1) comprehending the reading and writing ability of child of dyslexia, (2)  Reading  and writing  resistant  factor,  and  (3).  Study model  for  child  of  dyslexia.  The  result  of  the research shows; (1). Reading ability and writes ability of dyslexia are low, (2). The factor influencing the reading disability are (a). disfunction nerve system, (b). Slow development and lacking of nutrition, (c). Slow short term memory, (d). Lack of family support and supporting facilities for study, (e). less mature of physical, emotional and social. (3). Learning model.  In general, Learning process for child of dyslexia  in class  is  equal  to  other  children,  but  there  is  special  treatment  for  dyslexia  that  is  they  have  special requirement, such as special teacher, method and private space and time especially. The treatment was specially given for the improvement of reading and writing ability of child of dyslexia.

Keywords

Reading Ability, Writing Ability, Learning Models, Dyslexia 

Pendahuluan Problem kesulitan belajar membaca paling banyak ditemui dengan  suatu proporsi yang besar, di mana anak‐anak  lebih  dari  50%  beresiko  kesulitan  belajar  membaca,  bahkan  di  estimasikan  siswa  yang mengalami kesulitan belajar membaca paling banyak frekuensinya mengalami problem akademik sebesar 90 % (Bender, 2004). Siswa yang mengalami kesulitan belajar membaca menduduki peringkat tinggi di antara  kesulitan  belajar  yang  lain,  prosentasenya  gangguan membaca meliputi  80%  dari  jumlah  anak yang  berkesulitan  belajar  (Pierson,  2002),  bahkan  ada  yang  berpendapat  hampir  90%  anak  yang berkesulitan belajar mengalami kesulitan membaca (Lyon, 1995),  Kejadian  disleksia  di  dunia  berkisar  5‐17%  pada  anak  usia  sekolah.  Disleksia  adalah  gangguan  yang paling  sering  terjadi  pada  masalah  belajar.  Kurang  lebih  80%  penderita  gangguan  belajar  mengalami disleksia. 5‐10 % anak‐anak dan orang dewasa terkena disleksia (Wolfensberger & Ruijssnaars, 1997). Di antara negara‐negara yang mengalami problem kesulitan belajar membaca, Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki problem kesulitan belajar membaca. Secara nasional berdasarkan data Dinas Pendidikan kemampuan membaca siswa SD di Indonesia masih rendah, indeksnya masih 3,5 jauh berada di bawah indeks Singapua 7,8 (Kompas, 2008).  Sampel studi PISA (2001) di Indonesia meliputi 7.355 siswa usia 15 tahun dari 290 sekolah menengah, menunjukkan  sekitar  75.6%  siswa  Indonesia  usia  15  tahun  memiliki  kemampuan  membaca  yang termasuk tingkat terendah secara internasional. Menurut data Organization for Economic Cooperation and Development  (OECD),  negara  dengan  kemampuan  membaca  tertinggi,  saat  diukur  pada  2006‐2007, adalah  Finlandia.  Sedangkan  negara  yang  mendapat  skor  terendah  adalah  Tunisia  dengan  374,62, kemudian disusul  Indonesia  (381,59), Meksiko  (399,72), Brazil  (402,80),  Serbia  (411,74).  Berdasarkan studi  Progress  In  International  Reading  Literacy  Study  (PIRLS)  Internasional  Association  for  the Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang berkantor di Amsterdam, Belanda di ikuti 40 negara pada  tahun  2007,  Indonesia  dengan  sampel  penelitian  4.950  siswa  dari  170  SD/MI  swasta  dan  negeri Indonesia termasuk memiliki tingkat kemampuan membaca rendah.  Fenomena  tersebut  lebih  ironis  lagi  bila  dialami  anak berkebutuhan  khusus  yang mengalami  kesulitan belajar,  seperti  anak dengan gangguan disleksia,  di mana menurut Gillis  (Beacham, 2006) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa 50‐100% orang disleksia bukan hanya sulit membaca akan tetapi juga mempunyai kesulitan matematis. Berbagai studi menunjukkan bahwa kebanyakan anak yang mengalami disleksia mengalami kelemahan pada ketrampilan fonologi (Marshall, 2001) kelemahan menamai dengan cepat/speed naming (Wolf, 2000 dan  Snowling,  2004) memiliki  ingatan  yang  pendek  yang  sangat  kurang  sekali  sehingga menyebabkan 

Page 2: diseksia dan kemampuan membaca

sulit  mengingat  apa  yang  diucapkan  (Wadlington,  2000),  padahal  kesadaran  fonologi  merupakan prediktor terhadap kemampuan baca anak (Studi metaanalisis terhadap 1.180 subjek yang dilakukan Bus, 999).  Penelitian  Sofie  (2002)  menunjukkan  bahwa  ketrampilan  fonologi  memiliki  hubungan  dengan kesulitan  membaca.  Begitu  pula  bagi  anak  yang  mengalami  kemampuan  menulis  yang  rendah  akan menghambat  proses  belajar  anak  di  sekolah.  Kemampuan menulis merupakan  salah  satu  ketrampilan berbahasa yang sangat dibutuhkan manusia dan karenanya harus dikuasai anak. Tidak sedikit anak usia sekolah  dasar  yang  mengalami  kesulitan  membaca  terutama  dari  anak  yang  berkebutuhan  khusus, padahal kesulitan menulis akan menghambat prestasi akademik karena akan mengalami kesulitan dalam menuangkan ide secara tertulis.. Penguasaan berbahasa bagi anak disleksia perlu dikembangkan dan  ini merupakan salah satu hal yang terpenting dalam pengembangan bahasa anak disleksia. Untuk itu diperlukan latihan dan bimbingan yang lebih intensif bagi siswa yang berkesulitan membaca‐menulis Penanganan  kesulitan membaca dan menulis  sangat  diharapkan,  karena  aktivitas  belajar  pada  anak di mulai dari bagaimana individu membaca, dan proses membaca buku akan sangat di pentingkan bagi anak untuk kehidupan mendatang. Bagi anak yang tidak mampu membaca akan ketinggalan banyak informasi. Kemampuan membaca merupakan kemampuan dasar pada jenjang pendidikan dasar dan SD merupakan satuan pendidikan  yang memberikan  kemampuan dasar  tersebut  sebagaimana  yang  dinyatakan dalam Bab  II  pasal  3  PP  No.  28/1990  tentang  Pendidikan  Dasar.  Selain  itu  sekolah  dasar  sebagai  lembaga pendidikan  formal  perlu  mengembangkan  berbagai  model  pembelajaran  untuk  meningkatkan ketrampilan berbahasa termasuk kemampuan baca‐tulis.  Riset  tentang teknik‐teknik treatmen khusus untuk disleksia masih kurang dan belum ada satu metode yang  cocok  untuk  semua  anak  disleksia  (Carl  &  Uhry,  1995;  Putnam,  1996:  Spafford &  Grosser,  1996, dalam Wadlington,  2000).  Bagi  Indonesia membaca dianggap  sebagai  aktivitas  individual,  atau  dengan kata lain, membaca dikategorikan sebagai aktivitas yang “antisosial” (Pudyarjo, 1997). Karena itu langkah awal  adalah  dengan memahami  siapa  sebenarnya  anak  di  disleksia,  serta  ketrampilan  berbahasa  yang dimiliki  anak  disleksia  dengan  berbagai  pendekatan.  Termasuk  bagaimana  menerapkan  pembelajaran sejak  awal  dan  intervensi  bagi  anak  yang mengalami  disleksia  sangat  penting. Misalnya  anak disleksia bisa dibantu dengan cara penambahan jam pelajaran pra sekolah (Hindson, 2000).  Menyadari betapa pentingnya kemampuan bahasa yang dimiliki anak termasuk penderita disleksia maka penting sekali untuk melakukan penelitian kemampuan membaca‐menulis bagi penderita disleksia pada usia sekolah dasar.  Bertitik  tolak  permasalahan  fenomena  disleksia  maka  penelitian  ini  bertujuan;  pertama,  melakukan identifikasi  kemampuan  membaca  dan  menulis  penderita  disleksia  pada  usia  sekolah  dasar;  kedua, menemukan  faktor  penghambat  kemampuan membaca  anak  disleksia;  ketiga,  mendapatkan  informasi model pembelajaran berbahasa bagi anak berkesulitan membaca di sekolah dasar. Metode Penelitian Penelitian  ini  merupakan  penelitian  kualitatif  dengan  menggunakan  analisa  data  secara  kualitatif. Penelitian  ini  berbasis  paradigma  post  positivisme  phenomenologic­interpretatif  dengan  memakai pendekatan  teori  mendasar/grounded  theory  (Faisal,  1990).  Penjelasan  ini  lebih  menekankan  pada penjelasan interpretatif dan pemaknaan terhadap gejala yang relevan, tidak sekedar melakukan kategori benar‐salah (truth or false), tetapi lebih luas dari itu juga mencakup aspek norma dan moral yang selalu melekat  dari  hubungan  antara  peneliti  dengan  yang  diteliti.  Penelitian  ini  memfokuskan  pada kemampuan membaca siswa sekolah dasar yang memiliki kecenderungan menderita disleksia.  Subyek Penelitian Subjek adalah orang yang terlibat dalam bahasan penelitian  terutama dalam identifikasi disleksia, yang terdiri  atas:  siswa  sekolah dasar yang  cenderung mengalami disleksia dan  guru bahasa  Indonesia atau guru  kelas  atau  orangtua  yang  memahami  kemampuan  membaca  siswa  yang  cenderung  mengalami disleksia.  Pada  awalnya  peneliti  melakukan  observasi  terhadap  anak  yang  berkebutuhan  khusus  di  SD.  Setelah dilakukan penelitian mendalam peneliti menetapkan 5  subjek  sebagai  responden penelitian mengingat kelima  subjek  sesuai  dengan  kriteria  penelitian  yaitu:  siswa  berkebutuhan  khusus  yang  mengalami kesulitan membaca atau berkesulitan menulis. Metode Pengumpulan Data

Page 3: diseksia dan kemampuan membaca

Metode penelitian lapangan yang digunakan adalah wawancara, observasi, tes kemampuan bahasa, laporan prestasi akademik siswa Analisis data Metode  analisis  yang  digunakan  adalah  analisis  deskriptif  kualitatif  untuk menganalisis  data  kualitatif. Analisis induktif digunakan sebagai landasan utama untuk mengkaji berbagai data yang telah diperoleh, tehnik analisis data dilakukan melalui  tiga  tahapan,  yaitu:  tahap open coding, axial coding dan  selective coding. Diskusi dan Temuan Kemampuan baca dan tulis siswa disleksia  Dari hasil tes kemampuan bahasa terhadap 5 siswa berkebutuhan khusus diketahui bahwa kemampuan baca‐tulis siswa disleksia rendah. Hasil kemampuan baca responden 1 (w). 

Tabel 1: Skor kemampuan membaca responden 1

Responden Aspek‐aspek yang dinilai Jumlah 

Skor PenjelasanRekognisi kata Semantik Sintaktis Use of 

conteksW (9 than) 4 18 ‐ ‐ 22 Kurang

Responden 1  (W) berusia 9  tahun mengalami kesulitan membaca  terutama dalam mengekpresikan  ide dalam  bahasa  lisan.  (skor  sintaktis  dan  use  of  konteks  sangat  rendah).  Saat  membaca,  subjek  juga mengalami  mengalami  banyak  kelemahan  dalam  vocal  maupun  konsonan.  Subjek  hanya  mampu menghafal 5 abjad, yaitu a‐f,  itupun memerlukan waktu yang lama. Subjek memiliki ingatan yang lemah dan cepat melupakan apa yang  telah di baca. Saat membaca memerlukan waktu yang cukup  lama,  satu kalimat pendek rata‐rata membutuhkan waktu 5‐10 menit dengan banyak kesalahan. Prestasi akademik subjek  rendah,  untuk  kemampuan  berbahasa  rata‐rata  persemester  nilai  3‐5,  sehingga  subjek  2  tahun duduk di kelas 1. Hasil kemampuan baca responden 2 (KK). 

Tabel 2: Skor kemampuan membaca responden 2

Responden Aspek‐aspek yang dinilai Jumlah 

Skor PenjelasanRekognisi kata Semantik Sintaktis Use of 

conteksK (13 thn) 17 13 3 1 34 Kurang

Responden  2  (KK,  13  tahun).  Kemampuan  berbahasa  subjek;  membaca  dan  menulis  rendah.  Subjek termasuk anak yang mengalami kesulitan membaca dan menulis (disleksia). Kesulitan berbahasa subjek telah nampak pada saat memasuki taman kanak‐kanak yang sulit berkomunikasi, membaca dan menulis. Tulisan  subjek  sulit  terbaca orang  lain.  Subyek pernah  tinggal  kelas di  SD  sebanyak 2 kali pada waktu mau naik kelas III dan pada waktu naik kekelas V. Nilai bahasa rata‐rata 4‐6. Kesulitan lain yang dialami subjek saat menulis, tangan subjek tremor (gemetar ) sehingga membuat tulisan subjek tidak fokus. Subyek 3 (D, 10 tahun) mengalami gangguan menulis. Tulisan subyek sulit terbaca dan tidak rapi. Pada saat menulis, subyek menulis dengan lambat dan cepat lelah, sehingga dalam menyelesaikan tugas belajar di sekolah sering lambat dan sering tidak mampu menyelesaikan semua (hasil wawancara dengan guru). Subjek  mampu  meniru/menjiplak  tulisan  akan  tetapi  bila  didikte,  subjek  kesulitan.  Cara  subyek memegang pensil, pensil yang dipegang hampir menempel pada kertas karena cara subjek memegangnya dengan disangga oleh jari kelingking, tidak seperti biasanya. Hasil kemampuan baca responden 4 (M). 

Tabel 3: Skor kemampuan membaca responden 4;

Responden Aspek‐aspek yang dinilai

Jumlah Skor PenjelasanRekognisi 

kata Semantik Sintaktis Use of conteks

M (9 th) 28 17 2 3 50 Cukup

Subjek 4  (M) 9  tahun. Hasil wawancara menunjukkan bahwa  subjek mengalami  kesulitan menulis  dan kurang  mampu membaca.  Tulisan  kurang  bisa  terbaca  dan  cara membaca  subjek  dengan mengeja.  Ia memerlukan waktu cukup lama untuk menyelesaikan suatu bacaan. Kesulitan lain subjek menulis kalimat ny, ng/diftong dan penyelipan kata. Subjek juga belum bisa menulis namanya sendiri secara benar. Beban 

Page 4: diseksia dan kemampuan membaca

psikologis subjek menjadi tinggi manakala dari  teman‐temannya mengolok‐ngolok dengan mengatakan, ”Eh,  sudah besar kok  tidak bisa dan masih mengeja”. Kemampuan berbahasa  subyek,  amat  rendah.  Itu terlihat dari nilai  raport  subjek,  terutama kemampuan mendengar dan mengapresiasi  sastra yaitu nilai 50.  Dalam  cacatan  yang  diberikan  guru  wali  kelas  memberi  cataan  untuk  lebih  giat  dalam  belajar membaca. Kesulitan membaca subjek pada bagian memahami sistim semantik dan kemampuan bercerita (nilai tes semantik dan use of conteks rendah).  Subjek 5 (DS) 10 tahun. Subjek pada awalnya menurut informasi guru dan orangtua termasuk anak yang sulit baca‐tulis. Pada usia 10 tahun ini baru bisa baca‐tulis, itupun bila subjek tidak belajar tiap hari dan mengulangnya, ia akan lupa. Saat dilakukan tes kemampuan membaca, subjek lancar membaca, hanya ada beberapa kesulitan membaca‐tulis, terutama membunyikan huruf berurutan vokal konsonan masih sulit. Membaca  kata  ”ekspresikan”,  terbaca  ”epresikan”.  Kata  ”menyambung”  terbaca  ”meyabung”,  ”aku” terbaca ”anaku”. Tulisan ”sosis” tertulis ”sosi”, ”rumah” tertulis ”ruma”.

Faktor­faktor kesulitan baca tulis siswa disleksia Berdasarkan  penelitan  terhadap  5  sampel  penelitian  dapat  disimpulkan  faktor  kesulitan  membaca menulis sangat komplek, antara lain:  1.Disfungsi  sistem  saraf  (subjek  3),  Subyek memiliki  kelainan  pada  sistem  syaraf  tubuh  sebelah  kanan 

setelah  subyek mengalami kejang‐kejang pada saat  subyek berumur 3 bulan. Hal  ini menyebabkan subyek mengalami gangguan pada system motoriknya terutama pada mata dan tangannya

2.Lambat perkembangan dan kekurangan gizi, kurang nutrisi (subjek 1, 2). Pada Responden T mengalami kelambatan perkembangan dalam bicara dan pada usia 3 tahun baru bisa bicara.

3.Lemahnya  kemampuan mengingat, memori  jangka  pendek  lambat  (subjek  5)  dan  intelegensi  terbatas(subjek 1, intelegensi subjek di bawah rata‐rata, subjek W), 

4.Pengaruh lingkungan keluarga. Keluarga tidak harmonis dan sarana pembelajaran yang kurang (subjek 1),  Dukungan  keluarga  yang  sedikit  terhadap  kegiatan  belajar  subyek  terutama  kegiatan  untuk melatih kemampuan menulisnya.

5.Kurang matang fisik, sosial dan emosional, contoh subjek ingin menang sendiri dan mengamuk (subjek 2).  Subyek  terlihat  sering  terdiam  seperti  melamun  disela‐sela  menulis  soal  mata  pelajaran. Meskipun  begitu,  subyek  merupakan  anak  yang  cepat  tanggap  dengan  perintah‐perintah  yang diberikan guru kepadanya. Subyek merupakan anak dengan pemahaman yang bagus dalam sebuah bacaan  meskipun  memiliki  kesulitan  menulis.  Hal  ini  ditunjukkan  dengan  kemampuan  subyek membaca  dengan  lancar,  bersemangat  dan  dengan  suara  yang  lantang.  Subyek  merupakan  siswa yang  supel dan  ramah dengan orang  lain meskipun  itu orang asing. Pada  saat melakukan aktivitas dengan  teman‐teman  sebayanya di  sekolah,  subyek  terlihat  sering diam atau menyendiri menjauhi teman‐temannya.  Pada  saat  di  dalam  kelas,  subyek  sering menjadi  bahan  ejekan  teman‐temannya terutama pada saat subyek mendapat giliran untuk menjawab soal  yang ada di papan tulis. Subyek merasa minder karena ejekan teman‐teman sebayanya di sekolah

ondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai atau mendukung kegiatan belajar subyek. Model pembelajaran siswa dialeksia  Model pembelajaran bahasa bagi anak disleksia di sekolah dasar secara umum sama dengan anak normal yang  tidak  mengalami  disleksia.  Siswa  disleksia  tetap  diberi  kesempatan  untuk  belajar  di  sekolah bersama anak‐anak normal lainnya. Sekolah tersebut dikenal dengan istilah sekolah dasar inklusi dengan menerapkan pakem. Siswa disleksia mendapatkan keistimewaan pembelajaran khususnya pembelajaran bahasa yang dilakukan melalui kelompok atau secara individu di luar jam pelajaran sekolah yang reguler. Pembelajaran  khusus  diberikan  bagi  anak  disleksia  dengan  guru  khusus  dan  ruangan  khusus  yang dilakukan di sore hari atau sela‐sela istirahat siswa. Pembahasan  Bahasa  bagi  seseorang  memiliki  fungsi  sangat  penting,  yaitu:  (1)  aspek  ekspresi  untuk  menyatakan kehendak dan pengalaman jiwa, (2) aspek sosial untuk mengadakan komunikasi dengan orang  lain, (3) aspek  internasional  berfungsi  untuk  menunjukkan  atau  membanggakan  sesuatu  (Torgessen,  1992). Melihat  betapa  pentingnya  bahasa  bagi  kehidupan  manusia,  maka  kemampuan  berbahasa  harus dikembangkan termasuk kemampuan membaca, sebab membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan, meskipun untuk anak berkebutuhan khusus, seperti siswa disleksia. Berdasarkan hasil penelitian di atas, 

Page 5: diseksia dan kemampuan membaca

walaupun siswa disleksia memiliki kemampuan baca tulis rendah, justru hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri  dalam  dunia  pendidikan,  psikologi  dan  ahli  bahasa  untuk  terus  menerus  mengembangkan penelitian mengenai model pembelajaran bahasa yang tepat bagi siswa disleksia.  Anak disleksia lemah dalam ingatan jangka pendek yang mengakibatkan kesulitan mengulang kata yang diucapkan  dan  lemah  dalam  mengurutkan  huruf  atau  angka,  padahal  kemampuan  tersebut  sangat diperlukan  dalam  proses  membaca  (Marshal,  2001).  Mengingat  kompleknya  permasalahan  siswa disleksia,  deteksi  dini  terhadap  tumbuh  kembang  anak  sangat  diperlukan,  terutama  sebagai  usaha pencegahan, seperti gangguan penglihatan, pendengaran dan motorik anak.  Usaha intervensi dan terapi bagi anak yang mengalami kesulitan membaca dapat dilakukan dengan cara bekerja sama dengan para ahli medis, seperti pediatri (ilmu kedokteran anak) optamologi (spesialis mata) dan  neurologi  (spesialis  neurologis),  otologi  (spesialis  pendengaran),  maupun  psikiatri  (ahli  jiwa), psikolog dan guru khusus untuk memahami sejauh mana kemampuan membaca pada disleksia dan faktor penghambat kemampuan membaca. Dengan cara kerjasama ini, maka perkiraan bantuan dan intervensi bagi  disleksia  akan  lebih  mudah  terealisasi,  dan  pemberian  bantuan  yang  tepat  terutama  model pembelajaran,  akan  sangat  membantu  anak  disleksia  sebab  penguasaan  bahasa  yang  baik  dan  benar menurut Bukhori (1996) dapat meningkatkan daya analisa yang logis, kecerdasan, percaya diri, harga diri (self esteem) serta fulfilment. Bagi pendidik,  ia  harus memahami  bahwa proses membaca‐menulis membutuhkan pembelajaran yang lebih  komplek.  Pendidik  dapat  ikut  terlibat  meningkatkan  kemampuan  membaca  pada  anak  yang mengalami  kesulitan  membaca  melalui:  (1)  praktek  dan  kebijakan  pendidikan  di  sekolah  yang  harus berusaha  lebih  keras  lagi  dalam  menyediakan  intervensi  bagi  anak  berkesulitan  membaca.  (2)  harus menemukan  cara  untuk  melakukan  intervensi  pada  anak  yang  memiliki  gangguan  membaca  yang seharusnya lebih diperhatikan secara intensif. (Torgessen, 1992). Selain itu, pendidik perlu keterampilan khusus  dalam  pemberian  instruksi  kepada  anak  yang  mengalami  kesulitan  membaca,  yaitu:  1) memberikan  kesempatan  untuk  mempraktekkan  membaca  dengan  keterampilan  baru,  2).  pemberian instruksi  yang  cukup  intensif,  isyarat  yang  sistematik dengan  strategi  yang  tepat dalam membaca kata ataupun  teks  (sebuah  paragraf),  3).  instruksi  yang  cukup  tegas  dalam  strategi  pengkodean  fonemik (Wolfgang, 2000).  Proses membaca memerlukan pencapaian kemampuan kognitif tertentu untuk dapat mempersepsi huruf dan kata hingga me‐recall­nya,  karena  stimulus  suara  lebih mudah dipersepsi  anak dan  akan bertahan lebih lama dalam memori jangka pendeknya. Penelitian Ransby (2003) terhadap orang dewasa disleksia menunjukkan  bahwa  orang  disleksia memiliki  skor  rendah  pada  proses  fonologi,  kecepatan menamai, pengetahuan  secara  umum,  dan  kosakata.  Umumnya  pada  usia  dewasa mereka mengalami  kelemahan dalam berapa hal tersebut bila dibandingkan dengan usia sebenarnya. Intervensi  bagi  peningkatan  kemampuan  berbahasa  bagi  anak  disleksia  dapat  dimulai  dari  lingkungan bahasa anak, termasuk metode pembelajaran, antara lain; (a) Metode multisensoris dengan menggunakan VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile). Metode ini menggunakan materi bacaan yang dipilih dari kata‐kata  yang  diucapkan  oleh  anak,  dan  setiap  kata  diajarkan  secara  utuh.  Metode  ini  menggunakan empat tahapan melalui visual, auditory, kinesthetic, and tactile. Metode ini cocok terutama bagi anak yang mengalami  gangguan motorik.  (b). Metode  analisis  glass,  yaitu metode  pengajaran  dengan  pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Melalui metode  ini anak dibimbing untuk mengenal kelompok huruf sambil melihat  kata  secara  keseluruhan. Metode  ini  lebih mengembangkan metode  visual  dan  auditori yang terpusat pada kata yang sedang dipelajari. Cara penerapan di  Indonesia adalah dengan berbentuk suku kata. Misalnya kata ibu terdiri atas dua kelompok huruf “i” dan “bu”. Cara mengajar melalui metode glass  menurut  Lerner  (1988)  adalah:  (1)  mengidentifikasikan  keseluruhan  kata,  huruf,  dan  bunyi kelompok‐kelompk  huruf.(2).  mengucapkan  bunyi‐bunyi  kelompok  huruf  dan  huruf  (3).  menyajikan kepada anak, huruf atau kelompok huruf dan meminta untuk mengucapkannya. (3). menyajikan kepada anak, huruf, atau kelompok huruf dan meminyta mengucapkannya serta (4). guru mengambil beberapa huruf pada kata dan anak diminta mengucapkan kelompok huruf yang masih tersisa. Model  pembelajaran  lain  bagi  disleksian  yaitu;  pelatihan  ketrampilan  phonologi  efektif  untuk meningkatakan kemampuan membaca. Dari beberapa pelatihan fonologi untuk membantu anak disleksia yang mengalami kesulitan belajar telah dilaporkan berhasil, antara lain: No Peneliti Tahun Hasil1 Jimenez 2000 Kesadaran  fonologi  efektif  meningkatkan 

kemampuan  membaca  bagi  anak  yang 

Page 6: diseksia dan kemampuan membaca

mengalami kesulitan membaca

2 Ricard L Sparks

2004 Kesadaran  fonologi  meningkatkan kemampuan  membaca  bagi  pemula pembelajaran bahasa Inggris

3 Sofie,.et,al 2002 Ketrampilan  fonologi  memiliki  hubungan dengan kesulitan membaca.

4 Schneider, dkk 

2000 ketrampilan  fonologis  yang  berisi  segmentasi dan  analisis  kata  lebih  tepat  untuk mengatasi problem  disleksia  dibandingkan  pelatihan pengenalan hubungan huruf dan bunyi.

6 Kleeck 1998 Penelitian  dilakukan  terhadap  16  anak‐anak prasekolah  yang mengalami  kesulitan  bahasa. Setelah  dilakukan  pelatihan  kesadaran fonologi  (termasuk  kesadaran  rhyming  dan fonem)  dalam  waktu  9  bulan  anak‐anak  pra sekolah  mengalami  perkembangan kemampuan membaca. 

7 Murray 1998 Pelatihan  identifikasi  fonem  lebih  baik  dalam mempengaruhi  alphabetical  insight  anak prasekolah.

8 Wolfgang 2000 Efektifitas  pelatihan  ketrampilan  fonologi terhadap 138 disleksia.

9 Murray 1998 Pelatihan  identifikasi  fonem  lebih  baik  dalam mempengaruhi  alphabetical  insight  anak prasekolah.

Aktifitas‐aktifitas  kesadaran  fonologi  dalam  upaya  meningkatkan  ketrampilan  fonologi  salah  satunya adalah untuk membantu anak‐anak belajar memahami suara di awal atau akhir dari kata (Kleeck, 1998). Contoh  metode  belajar  yang  dapat  digunakan  melalui  pengembangan  ketrampilan  fonologi  adalah melalui  pelatihan  aktivitas  sajak  (rhyming).  Motode  lain  yang  diperlukan  untuk  pengembangan ketrampilan  fonologi  adalah:  (a) Metode  fonik,  metode  ini menekankan  pada  pengenalan  kata melalui proses  mendengarkan  bunyi  huruf.  Bila  melihat  prosesnya  metode  ini  lebih  sintesis  dari  pada analitis.model  pembelajaran  yang  dikembangkan  adalah  dengan  mengenalkan  bunyi  huruf‐huruf kemudian  mensintesiskan  huruf‐huruf  tersebut  dalam  suku  kata,  (b)  Metode  analisis,  metode  ini didasarkan  pada  psikologi  Gestal  dan  lebih  condong  pada metode  yang menekankan  penguasaan  kata yang  perlu  didahului  oleh  penguasan  kesatuan  (Smith &  Johnson,  1980). Model  pelatihan  ketrampilan fonologi dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi anak disleksia.  Pembelajaran  bahasa  bagi  anak  berkesulitan membaca  dapat  dilakukan  dengan melakukan  kombinasi antara ketrampilan  fonologi dan model membaca cepat. Dalam penelitian neuro science, ada bukti yang kuat bahwa banyak pembaca yang lemah dalam kecepatan menamai, yaitu kelemahan dalam proses yang mendasari  kecepatan mengenali  stimuli  bahasa  yang  ditampilkan  secara  visual  (Ackerman & Dykman, 1993 et al. dalam Wing, 2005). Walhasil dengan pengetahuan yang terbaik dan model pembelajaran yang tepat diharapkan dapat membantu mengatasi kesulitan membaca dan menulis bagi siswa disleksia yang membutuhkan. Penutup  Perhatian khusus bagi anak disleksia terutama unsur psikologi sangat diperlukan. Pengembangan model pembelajaran kombinansi seperti pakem, kombinasi fonologi akan efektif dilakukan di Indonesia, melalui pendidikan  inklusi  yang  ditawarkan  pemerintah melalui  Direktorat  Pendidikan  Luar  Biasa,  Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,  sesuai amanat UUSPN No. 2/1989 agar  setiap warga negara memiliki  hak yang  sama untuk memperoleh pendidikan. Karena  itulah pelaksanaan pendidikan  inklusi bagi anak berkesulitan belajar secara terencana dan terprogram sebaik mungkin akan dapat membantu meningkatkan kualitas kemampuan membaca anak. Selain itu perlu pula dikembangkan metode belajar yang menyenangkan dan kesempatan belajar bagi anak disleksia seluas‐luasnya dan disesuaikan dengan kondisi  anak  disleksia,  seperti  pelatihan  metode  fonologi  yang  dikombinasikan  dengan  pelatihan multisensoris misalnya melalui VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile), maupun metode analisis glass. Penerapan model pembelajaran di sekolah, diperlukan pula bimbingan orangtua misalkan melalui bimbingan  untuk  fasih  berbahasa  dengan  cara mengulang  kata  atau membaca  secara  lesan,  dan  dapat dilakukan dengan alat bantu, seperti papan, laptop, musik atau komputer (Vance, 2004). 

Page 7: diseksia dan kemampuan membaca

Pelaksananan  pembelajaran model  kombinasi  penemaan  secara  cepat  dan  ketrampilan  fonologi  harus pula  disesuaikan  dengan  kondisi  anak  dengan  dan  guru  yang  ahli  dengan  pemberian  pelayanan  yang terbaik.  Yang  terpenting  bagi  anak  berkebutuhan  khusus  pembelajaran  inklusi  sebaiknya  dibarengi dengan  pemotivasian  siswa  yang  berkebutuhan  khusus  dan  pemahaman  pada  siswa  lain  yang  normal secara lebih baik. Sehingga anak yang berkeutuhan khusus tidak menjadi rendah diri. 

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta Bender, W. N., Rosenkrans, C. B., & Crane,M. K. 1999. Stress, depression, and sui‐cide among students with 

learning disabili‐ties:Assessing the risk. Learning Disability Quarterly, 22, 143–156 Beacham, Nigel A. & James L. Alty 2006. An investigation into the effects that digital media can have on the 

learning outcomes of individuals who have dyslexia. Computers & Education 47 74–93 Byrne Brian; Cara Delaland; Ruth Fielding‐Barnsley; Peter Quain; et al. 2002. Longitudinal twin study of 

early reading development in three countries: Preliminary result. Annals of Dyslexia; 52, ProQuest Medical Library. pg. 49

Colledge,  Essi,  et.al.  2002.  The  structure  of  language  ability  at  4  years:  A  Twin  Studi.  Development psychology. Vol 38.no.5, 749‐757.

Carrol. M, Julia. 2003. The development of phonological awareness in pre school children. Developmental psychology. Vol 39.no 5. 913‐923

Cossu, Giuseppe, Maria Gugliotta and John C. Marshall. 1996. Transposition Errors In Visual Matching Of Orthographic  Stimuli:  A  Study  Of  Normal  Children  With  Aplications  For  Orton’s  Theory  Of Developmental Dyslexia. Neurolinguistics, Vol. 9, No. 4, Pp. 289‐295.

Erskine, M.  Jane.  2005.  Proximal  Analysisi  of  Developmenl Dyslexia  in  Adulthood:  The  Cognitif Mosaic Model. Journal of educational Psychology. Vol. 97. No.3,406‐424

Fisher,  Simon  E.  and  John  C.DeFries.2002.  Developmental  Dyslexia:  Genetic  Dissection  Of  A  Complex Cognitive Trait.. vol 3. Nature Publishing Group.767‐780.

Faisal. Sanapiah. 1990. Penelitian kualitatif; Dasar­dasar dan Aplikasi. Malang: YA3; 19 Goswami,  Usha.  2002.  Annals  of  Dyslexia;  Phonology,  reading  development,  and  dyslexia:  A  cross‐

linguistic perspective. 52, ProQuest Medical Library. pg. 141. John W Santrock. 1995. Live­Span Development (terjemahan). Penerbit Erlangga. Kame'enui,  Edward  J;  Deborah  C  Simmons;  Michael  D  Coyne.  2000.  Schools  as  hosts  environments: 

Toward  a  schoolwide  reading  improvement  model.  Annals  of  Dyslexia;  50,  ProQuest  Medical Library pg. 33

Kleeck, Anne van; Ronald B Gillam; Teresa U McFadden. 1998. A study of classroom‐based phonological awareness  training  for  preschoolers.  American  Journal  of  Speech  ­  Language  Pathology;  7,  3; ProQuest Medical Library. pg. 65‐76

Kidd,  Jaanna  C.  2006.  Development  Of  Auditory  Saltation  And  Its  Relationship  To  Reading  And Phonological Processing. Journal Of Speech, Language, And Hearing Research; Aug 2001; 42, 2;352. Proquest Medical Library. Pg. 925

Kompas, 2008. Kemampuan baca siswa Indonesia. Lyytinen, Paula. 2005. Language development and literacy skills in late talking toddlers with and without 

familial risk for dyslexia. Annals of dyslexia. Vol.55.no.2.166‐192. Lyon,  G.R.,  Fletcher,  J.M.,  Shaywitz,  S.E.,  Shaywitz,  B.A.,  Torgesen,  J.K., Wood,  F.B.,  Schulte,  A.,  Olson,  R. 

2001.  Rethinking  Learning  Disabilities.  Thomas  B.  Fordham  Foundation.  (Online).  Sumber: http://www.edexcellence.net/library/special_ed/special_ed_ch,12.pdf

Lyon,  G,R  .  1996.  Learning  disabilities.  In  E.J. Mash & RA Barkey  (Eds),  Child  psychopathology.pp.390‐35.New York; the Guilford Press.

Page 8: diseksia dan kemampuan membaca

Meyler,  Ann  and  Zvia  Breznitz.  2005.  Impaired  Phonological  and  Orthographic Word  Representations Among Adult Dyslexia.. The Journal of Genetic Psychology; 166, 2; ProQuest Medical Library pg. 215

Lerner,  J.  2003.  Learning  Disabilities:  Theories,  Diagnosis,  and  Teaching  Strategies.  Boston:  Houghton Mifflin Company

Marshall,  Catherine  M;  Margaret  J  Snowling;  Peter  J  Bailey.  2001.  Rapid  auditory  processing  and phonological  ability  in  normal  readers  and  reading.  Journal  of  Speech,  Language,  and  Hearing Research; 44, 4; ProQuest Medical Library. pg. 925.

Ransby, Marilyn J; H Lee Swanson. 2003. Reading Comprehension Skills Of Young Adults With Childhood Diagnoses Of Dyslexia. Journal Of Learning Disabilities; Nov/Dec; 36, 6; Roquest Medical Library. Pg. 538.

Ramus, Franck. 2001. Talk of two theories. Macmillan Magazines Ltd. Nature.|Vol 412 | 26 July 2001. Sanapiah Faisal. (1990) Penelitian kualitatif; Dasar­dasar dan Aplikasi. Malang :YA3; 19 Singer, Elly. 2005. The Strategies Adopted by Dutch Children with Dyslexia to Maintain Their Self . Journal 

of Learning Disabilities; Sep/Oct 38, 5; ProQuest Medical Library pg. 411 Senechal, MoniQue,  and  Jo‐Anne LeFevre.  2002.  Parental  involvement  in  tehe development  of  childre’s 

reading skiill: A five‐Year longitudinal Study. Child Development; volume 73. No.2.Pages 445‐460. Samuelsson, Stefen. 2003. The Impact of environmental  factors on components of reading and dyslexia. 

Annals of dyslexia. 53. 201‐217 Marshall  ,  Catherine,  Margaret,  snowling,  and  Pater,  Bailey.  2004.  Rapid  auditory  processing  and 

phonological ability in normal readers and readers with dyslexia. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; Dec 2004; 47, 6; ProQuest Medical Library. pg. 1301.

Miller‐Shaul,  Shelley,;  Zvia  Breznitz.  2004.  Electrocortical  Measures  During  a  Lexical  Decision  Task:  A Comparison Between The Journal of Genetic Psychology; Dec; 165, 4; ProQuest Medical Library. pg. 399

Schneider,  Wolfgang.  2000.  Traning  phonological  skills.  Dyslexia  in  Chinese:  Clues  from  Cognitive Neuropsychology. Vol.92.no2.284‐295.

Sofie Cecilia A; Cynthia A Riccio. 2002. A comparison of multiple methods for the identification of children with reading. Journal of Learning Disabilities; 35, 3; ProQuest Medical Library.pg. 234

Smith, Allan B.Jenny Robert, Susan Lambrecht Smith. 2006. Reduced speaking rate as an early predictor of reading  disability.  Journal  of  Speech,  Language,  and  Hearing  Research;15:3.;  ProQuest  Medical Library. pg. 289.

Serniclaes  Willy;  Liliane  Sprenger‐Charolles;  Rene  Carre;  Jean‐Francois  Demonet.  2001.Perceptual discrimination  of  speech  sounds  in  developmental  dyslexia.  Journal  of  Speech,  Language,  and Hearing Research; Apr; 44, 2; ProQuest Medical Library/ pg. 384

Torgessen,  JK. Morgan,  ST, Davis,  C.  1992.  Effect  of Two Types  of  Phonological Awareness Training  on Word Learning in Kindergarten Children. Journal of Educational Psychology. 84 . 364‐370.

Vance,  Kate  O'Brien.  2004.  Adapting  Music  Instruction  for  Students  with  Dyslexia.  Music  Educators Journal; May; 90, 5; Academic Research Library. pg. 27

Wadlington,  Elizabeth.  2000.  Effective  language  arts  instruction  for  students with  dyslexia.  Preventing School Failure; 44, 2; Academic Research Library. pg. 61.

Wolfgang  Schneider.  2000.  Traning  phonological  skills.  Dyslexia  in  Chinese:  Clues  from  Cognitive Neuropsychology. Vol.92.no2.284‐295.

Wing,  Bonnie.  2005.  Phonological  processing  skills  and  early  reading  abilities  in  Hongkong  Chinese kindergarteners  learning  to  read English as a.second  language.  Journal of educational Psychology. Vol. 97. No.1,81‐87.

Widyastono.  1998.  Siswa  SD  yang  berkesulitan  Belajar  Umum  dan  Penanganan  Kesulitan  Belajar Membaca. Kajian Dikbud no. 013 tahun IV Juni 1998., hal 20‐27.

Widyana,  R.  1999.  Efektivitas  Pelatihan  Kesadaran  Fonemik  dalam  Meningkatkan  Kemampuan  Pra‐

Page 9: diseksia dan kemampuan membaca

Membaca Anak‐anak Prasekolah. Tesis. Yogyakarta. Program Pascasarjana UGM. Weggelaar, Cornelis. 2006. Kinesthetic Feedback And Dyslexic Students Learning To Read And Write. Et 

Cetera;; 63, 2; Academic Research Library. Pg. 144 Wolf,  Maryanne.  1999.  The  Doble  Hipotesis  For  Develompmental  Dyslexia.  Journal  of  educational 

Psychology. Vol.91.No 3.415‐438.