13
ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 40 Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia-Filipina Pristiwanto Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado Abstract Indonesia citizens, who are resident in the southern Philippines is estimated at 8,000 inhabitants. They are commonly known as Pisang, an abbreviation of the Philippines-Sangihe or residents who have “blood ties” with Sangihe (Indonesia) which then had settled in the Philippines. In fact, their Philippine area residence does not become a barrier for the Pisang to remain in a relationship of kinship with the Indonesian Sangihe, through cross-border activity. This reality makes the issue of mobility become important because they do activities on the territory of two nation-states. The Pisang do trade, family visits and political activities even activities that indicated as transnational crime in border area. Ironically, studies that literally uplift the phenomenon of Pisang has not been found. Based on field research, this article describes the dynamics and controversy of Pisang activities in Indonesia sea-border area, the Sangihe Archipelago Regency. Keywords: Indonesia, Philipine, Pisang, Border Area. Abstrak Warga negara Indonesia yang menjadi penduduk di Filipina Selatan diperkirakan berjumlah 8.000 jiwa. Mereka dikenal dengan sebutan pisang, singkatan dari Filipina-Sangihe atau warga yang memiliki “ikatan darah” Sangihe (Indonesia) yang kemudian telah menetap di Filipina. Namun pada kenyataanya, tempat pemukiman mereka yang menjadi daerah Filipina tidak menjadi penghalang bagi kelompok pisang untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan penduduk Sangihe yang ada di Indonesia, melalui aktivitas lintas batas. Realitas tersebut membuat isu mobilitas menjadi penting karena mereka melakukan aktivitas pada wilayah dua negara-bangsa. Kategori sosial ini melakukan kegiatan perdagangan, kunjungan keluarga dan politik bahkan kegiatan yang terindikasi kejahatan transnasional. Ironisnya, studi yang secara literal yang mengangkat fenomena pisang belumlah ditemui. Berdasarkan pada penelitian lapangan, artikel ini mendeskripsikan dinamika dan kontroversi aktivitas pisang di wilayah perbatasan laut Indonesia, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kata kunci: Indonesia, Filipina, Pisang, Daerah Perbatasan Pendahuluan Kajian mengenai aspek-aspek sosial di wilayah perbatasan Indonesia nampak meningkat drastis setelah kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik negara serumpun Malaysia. Sejak kejadian tersebut, berita, komentar, analisa, baik yang populer maupun ilmiah, juga reportase soal kawasan perbatasan seolah menjamuri berbagai karya ilmiah dan media berita. Sementara kajian-kajian mengenai wilayah perbatasan (darat) Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan bagian Utara ramai terbaca, sebaliknya dinamika warga wilayah perbatasan laut atau tepatnya pulau-pulau kecil antara Indonesia dan Filipina relatif kurang mendapat

Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201640

Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia-Filipina

PristiwantoPeneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado

Abstract

Indonesia citizens, who are resident in the southern Philippines is estimated at 8,000 inhabitants. They are commonly known as Pisang, an abbreviation of the Philippines-Sangihe or residents who have “blood ties” with Sangihe (Indonesia) which then had settled in the Philippines. In fact, their Philippine area residence does not become a barrier for the Pisang to remain in a relationship of kinship with the Indonesian Sangihe, through cross-border activity. This reality makes the issue of mobility become important because they do activities on the territory of two nation-states. The Pisang do trade, family visits and political activities even activities that indicated as transnational crime in border area. Ironically, studies that literally uplift the phenomenon of Pisang has not been found. Based on field research, this article describes the dynamics and controversy of Pisang activities in Indonesia sea-border area, the Sangihe Archipelago Regency.

Keywords: Indonesia, Philipine, Pisang, Border Area.

Abstrak

Warga negara Indonesia yang menjadi penduduk di Filipina Selatan diperkirakan berjumlah 8.000 jiwa. Mereka dikenal dengan sebutan pisang, singkatan dari Filipina-Sangihe atau warga yang memiliki “ikatan darah” Sangihe (Indonesia) yang kemudian telah menetap di Filipina. Namun pada kenyataanya, tempat pemukiman mereka yang menjadi daerah Filipina tidak menjadi penghalang bagi kelompok pisang untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan penduduk Sangihe yang ada di Indonesia, melalui aktivitas lintas batas. Realitas tersebut membuat isu mobilitas menjadi penting karena mereka melakukan aktivitas pada wilayah dua negara-bangsa. Kategori sosial ini melakukan kegiatan perdagangan, kunjungan keluarga dan politik bahkan kegiatan yang terindikasi kejahatan transnasional. Ironisnya, studi yang secara literal yang mengangkat fenomena pisang belumlah ditemui. Berdasarkan pada penelitian lapangan, artikel ini mendeskripsikan dinamika dan kontroversi aktivitas pisang di wilayah perbatasan laut Indonesia, tepatnya di Kabupaten Kepulauan Sangihe.

Kata kunci: Indonesia, Filipina, Pisang, Daerah Perbatasan

Pendahuluan

Kajian mengenai aspek-aspek sosial di wilayah perbatasan Indonesia nampak meningkat drastis setelah kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik negara serumpun Malaysia. Sejak kejadian tersebut, berita, komentar, analisa, baik yang populer maupun ilmiah, juga reportase soal kawasan perbatasan seolah menjamuri berbagai

karya ilmiah dan media berita.Sementara kajian-kajian mengenai wilayah

perbatasan (darat) Indonesia dengan Malaysia di Kalimantan bagian Utara ramai terbaca, sebaliknya dinamika warga wilayah perbatasan laut atau tepatnya pulau-pulau kecil antara Indonesia dan Filipina relatif kurang mendapat

Page 2: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 41

perhatian yang seimbang dar i kalangan akademisi. Padahal, sudah sejak lama warga Nusa Utara1 yang secara administratif menjadi Kabupaten Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro memiliki kedekatan ekonomi, kultural, kekerabatan bahkan genealogis dengan warga di Selatan Filipina. Hal ini bahkan secara empiris menimbulkan akronim pisang2 atau Filipina-Sangihe, mewakili entitas keturunanan Sangihe (Indonesia) namun penduduk Filipina yang gerak mobilitas ekonomi dan kekerabatannya terutama di wilayah Indonesia bagian Utara atau kepulauan Sangihe serta Filipina Selatan. Persoalan-persoalan serta posisi geografis ini membuat studi mengenai dinamika sosial Pisang di wilayah perbatasan utara Indonesia menjadi penting untuk melihat potret kehidupan mereka secara lebih akademis. Karena bagaimanapun, studi akademis yang secara literal mengangkat Pisang belumlah ditemukan.

Perbatasan dan Mobilitas Pisang di Sangihe: Catatan Pustaka, Sejarah, Hubungan Kebudayaan dan Kebijakan

Daerah perbatasan secara umum dipahami berkaitan dengan batas-batas yang memisahkan negara bangsa (Wadley 2002: 1-11). Hal tersebut sejalan dengan pandangan Tirtosudarmo (2002) yang mengatakan bahwa perbatasan sebuah negara atau state’s border muncul bersamaan dengan lahirnya suatu negara. Sementara, secara akademis wilayah perbatasan menjadi penting untuk dilihat karena merupakan titik strategis dan laboratorium perubahan sosial dan kebudayaan (Hotrsman 2002).

1 Kata Nusa Utara mengacu pada penyebutan pulau-pulau yang berada di wilayah administratif Sangihe-Talaud sebelum mengalami masa pemekaran di tahun 2000-an. Hal ini juga diperkuat dari tulisan Alex J. Ulaen dalam bukunya Nusa Utara: dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, 2003. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Di dalam buku tersebut Nusa Utara merujuk pada pulau-pulau kecil yang menghubungkan Sangihe dan Talaud serta Mindanao Selatan, Filipina, baik secara historis maupun kultural.

2 Sebutan bagi Warga Negara Indonesia mempunyai garis keturunan Sangihe penduduk Philipina di populerkan oleh Lutfi Dwi Puji Astuti, Roger Wenas dengan judul Intelijen Awasi WNA Filipina Ilegal di Sulut Tahun 2011 lalu ada 200-an imigran gelap asal Filipina menyusup masuk ke Indonesia.

Pentingnya kajian di masyarakat perbatasan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama daerah perbatasan adalah wilayah strategis yang menjadi batas teritorial sebuah negara, dalam hal ini Republik Indonesia, karena wilayah-wilayah tersebut menjadi pintu masuk bagi warga asing; kedua masyarakat di daerah perbatasan cenderung dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal; dan ketiga kajian mengenai masyarakat di wilayah perbatasan, terutama Indonesia-Filipina, yang menjadi bordersea utama masih minim. Ketiga faktor tersebut adalah realita lapangan yang sampai sekarang ini belum menjadi perhatian serius bagi pemerintah.

Studi-studi perbatasan digunakan untuk mempelaja r i mig rasi te r utama isu-isu transnasionalisme dan integrasi bangsa (Mata-Codesal 2007: 4). Sementara itu, diketahui bahwa daerah perbatasan laut mudah dimasuki senjata dan barang-barang eksplosif lainnya (Abuza, 2011: 96). Lebih lanjut dijelaskan, daerah perbatasan merupakan daerah pinggiran, jauh dari kontrol pemerintah pusat dan berdampak menjadi area kejahatan lintas negara (transnational crime), seperti: penyelundupan senjata, perdagangan obat-obat terlarang, dolar palsu, illegal fishing, trafficking hingga terorisme.

Pada lain pihak, pertimbangan teoritis, kebijakan administratif, pembangunan, politik dan bahkan pertahanan negara semacam ini bukanlah pertimbangan warga pisang untuk dipahami dalam melakukan mobilitas antar-negara, tentu jika ini didasarkan pada batas-batas teritorial yang terikat secara hukum. Mobilitas pisang dalam kegiatan lintas-batas berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Indonesia dan Filipina merdeka, sehingga warga kedua wilayah ini terikat secara historis dan genealogis. Ikatan kekerabatan dan aktivitas mata pencaharian hidup yang mentradisi diwarisi sejak dahulu melalui kegiatan kunjungan keluarga maupun perniagaan, pertukaran dan barter barang bawaan antar warga Mindanao Selatan dan Nusa Utara. Ini kemudian berkembang menjadi perdagangan tradisional lintas batas. Mobilitas tersebut justru menjadi polemik setelah Indonesia dan Filipina

Page 3: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201642

menjadi negara berdaulat dan Sangihe-Talaud Provinsi Sulawesi Utara beralih status menjadi daerah perbatasan dan aktivitas di area ini mulai terbatasi dengan hukum positif yang berlaku di wilayah negara masing-masing.

Aktivitas kunjungan keluarga dan perniagaan yang berjalan alamiah mulai bergeser menjadi aktivitas yang didasari Border Crossing Agreement (BCA), yang di dalamnya diatur soal perpajakan, alat pembayaran, besaran barang bawaan dan jangka waktu melintas batas. Melintasi garis perbatasan suatu negara berarti memasuki tempat berlaku undang-undang, peraturan perpajakan, alat pembayaran, serta sistem pos dan telekomunikasi berbeda. Lebih lagi perbedaan ini dinyatakan dalam simbol kenegaraan seperti bendera nasional, lagu kebangsaan, kepemimpinan negara serta sistem pemerintahannya (Lapian 2011: 41-43).

Secara historis, dibukanya perbatasan Fil ipina-Indonesia dapat d i l ihat untuk mengantisipasi besarnya permintaan tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor perikanan di Kota General Santos. Imigran pekerja dari Nusa Utara memenuhi kebutuhan kedua sektor ekonomi tersebut. Ini dimungkinkan karena Indonesia pada tahun 1950-an berada pada masa ketidakstabilan politik dan ekonomi karena beberapa kasus pemberontakan dan kerusuhan (Velasco 2010: 95-118). Posisi di perbatasan yang lebih dekat dengan Filipina yang lebih makmur dan secara politik lebih stabil, memiliki arti bahwa kepentingan mereka sebagian terletak di wilayah sebelah perbatasan, tempat mereka menemukan pekerjaan, kebutuhan sehari-hari, pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan sekaligus mitra berbisnis. Kondisi seperti ini meningkatkan arus pelintas batas ke Balut-Saranggani, Filipina.

Sebagai sebuah negara yang masih muda setelah Perang Dunia II berkecamuk, disadari bahwa keberadaan puluhan ribu orang Sangihe di Mindanao dan orang Mindanao di daerah Propinsi Sulawesi Utara menjadi masalah yang berpotensi mengganjal hubungan diplomatik kedua negara. Atas dasar itu maka tahun 1956

pemerintah kedua negara mengadakan pertemuan yang membahas masalah pelintas-batas untuk mengaturnya. Ini mendorong tercapainya kesepakatan Agreement on Immigration Between The Republic of Philippines and Republic of Indonesia di Jakarta yang ditanda-tangani pada tanggal 4 Juli 1956. Pihak Pemerintah Filipina diwakili oleh Jose Fuentebella dan pihak Pemerintah Indonesia diwakili oleh Duta Besar Soekardjo Wirjopranoto.

Selanjutnya kesepakatan ini diratifikasi oleh kedua negara. Pemerintah Filipina menjadikannya sebagai Senate Resolution nomor 94, 1957 (Resolution Expressing the Concurrence To and Approval of The Senate of Philippines of The Agreement Between the Repubic of The Philippines and the Republic of Indonesia on Immigration Signed at Jakarta on July 4, 1956). Pemerintah Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-undang Nomor 77 Tahun 1957 tentang Undang-undang Persetujuan Mengenai Warga Negara yang Berada Secara Tidak Sah Di Daerah Republik Indonesia dan Republik Filipina, disahkan di Jakarta tanggal 19 Desember 1957 ditandatangani Presiden Republik Indonesia Soekarno diundangkan tanggal 23 Desember 1957 ditandatangani Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan Menteri Luar Negeri Soebandrio, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 167. Dalam UU tersebut dijelaskan mengenai permasalahan kedua negara di daerah perbatasan, yaitu:

1.Sejumlah orang-orang Indonesia yang ber-diam tanpa izin di daerah Filipina;

2.Sejumlah orang-orang Filipina yang berdiam tanpa izin di daerah Indonesia;

3.Orang-orang Indonesia, penduduk daerah In-donesia di sebelah utara yang mondar-mandir mengunjungi Filipina tanpa izin;

4.Orang-orang Filipina, penduduk daerah Fili-pina di sebelah selatan yang mondar-mandir mengunjungi Filipina Indonesia tanpa izin;

5.Mondar-mandirnya warga negara-warga negara dari kedua belah pihak di daerah perbatasan itu telah berjalan sejak lama dan agaknya hal demikian itu telah menjadi adat kebiasaan mereka.

Page 4: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 43

Penjelasan di atas setidaknya memperlihatkan diskursus yang terbangun dalam perpektif politik kebijakan dari sisi negara dan warga kawasan ini. Negara, sebagaimana juga secara formal ditulis dalam UU ini memandang mobilitas warga di kawasan ini sebagai “permasalahan” sementara warga melihatnya justru secara terbalik dan lebih alamiah sebagai “adat kebiasaan”.

Sembilan tahun setelah kesepakatan tersebut di atas berjalan, pemerintah kedua belah pihak terutama pejabat yang diberi kewenangan untuk melaksanakan dan mengevaluasi kesepakatan ini merevisi perjanjian pertama. Tanggal 16 September 1965, dokumen Joint Directives and Guidelines on the Implementation of the Immigration Agreement on Repatriation and Border Crossing Arrangement Between Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines disepakati di Manila. Pihak Indonesia yang menandatangani diwakili Konselor Kedutaan Besar Indonesia Jusuf Ronodipuro dan pihak Filipina, Konsul Jenderal Leon T. Garcia. Perjanjian kali ini merupakan final dari tiga pertemuan pada tahun 1963 (Manado, Tarakan, Davao) dan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani di Jolo-Filipina, 30 Mei 1964. Dalam kesepakatan ini, masih mengatur dua hal yaitu tentang repatriasi dan tentang lintas-batas (Ulaen, dkk 2012: 112-114)

Untuk mengontrol pergerakan barang bawaan pelintas batas maka kedua negara terjadi kesepakatan menyangkut perundingan Perdagangan Daerah Perbatasan antara Indonesia dan Filipina. Perundingan antara delegasi Pemerintah Indonesia dan Filipina tanggal 29 Juli 1971 di Manila telah menandatangani Agreement on Border Trade between the Government of the Republic of Indonesia and the Governement of the Republic of the Philippines. Tahun berikutnya Pemerintah Indonesia menerbitkan Keppres RI Nomor 23 Tahun 1972 Tentang pengesahan perjanjian dimaksud yang ditetapkan di Jakarta tanggal 18 Maret 1972 dan ditandatangani Presiden Soeharto, diundangkan di Jakarta Tanggal 18

Maret 1972 oleh Wasesneg Sudharmono. Akan tetapi, hingga kini Keppres dimaksud tidak disertai atau ditindaklanjutri dengan petunjuk teknis dan penjabaran di lapangan (Pristiwanto, et al 2013: 75).

Kesepakatan perundingan tentang pelintas batas ditingkatkan pada pertemuan puncak antara Presiden Soeharto dan Presiden Marcos di Manado, 29-30 Mei 1974. Disepakati sebuah dokumen: Revised Agreement on Border Crossing Between Republic of Philippines and The Republic of Indonesia. Naskah ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1975. Persetujuan revisi ini isinya adalah merevisi aturan lintas batas sebelumnya. Revisi ini merinci pos pengurusan kartu keluar-masuk border-area di Filipina: Mabila, pulau Balut, Tanjung San Agustin, Bongao dan Tawi-Tawi. Sementara di Indonesia: pulau Marore, pulau Miangas, Tarakan. Dimana tujuan melintas batas yang diatur haruslah sebagai berikut:

1.Kunjungan keluarga - disebabkan banyaknya orang Indonesia dan Filipina memiliki kerabat yang tinggal di daerah perbatasan, sehingga kebiasaan saling kunjung mengunjungi.

2.Ibadah - banyak orang Indonesia dan Filipina mengunjungi kuburan kerabat yang terletak di daerah perbatasan dan merayakan hari libur keagamaan: seperti Natal dan Ramadan.

3.Kesenangan–bertamasya adalah untuk tujuan melihat-lihat daerah baru. Jumlah serta nilai barang masih sama dan yang direvisi adalah wilayahnya.

Dalam revisi ini pulau Karakelang, Salibabu dan Kabaruan di Talaud serta pulau Sangihe Besar, Beeng Darat, Beeng Laut dan Mahumu di pulau Sangihe dihapuskan dari wilayah lintas batas. Maka yang tercantum dalam wilayah lintas batas setelah direvisi adalah: Pulau Balut, Pulau Olanivan, Pulau Sarangani, Tanjung San Agustin dan pulau Tawi-Tawi di Filipina. Di Indonesia, Kepulauan Nanusa mencakup pulau Miangas, pulau Garat, pulau Karatung, pulau Manupung, pulau Kakorotan, pulau Malo dan pulau Marampit; Kepulauan Kawio mencakup pulau Marore, pulau Kamboleng, pulau Kawaluso, pulau Mamanuk, pulau Matutuang dan pulau Dumarehe; Pulau Bukide

Page 5: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201644

mencakup pulau Bukide, pulau Liang, pulau Salehe, pulau Meliang, pulau Mekurang, pulau Malentok dan pulau Lipang; serta sub-distrik Tarakan.

Pada masa kini, mobilitas warga kawasan perbatasan tetap berlangsung sekalipun dibatasi aturan perundang-undangan dan harus melewati pos-pos kantor untuk urusan administrasi keimigrasian. Ini misalnya terlihat dari catatan keimigrasian di check point Marore yang pada tahun 2014 terinci dari Januari sampai September tercatat 804 pelintas batas menggunakan sarana transportasi 170 perahu terdiri WNI 215 pelintas masuk ke wilayah Indonesia dan 240 keluar ke wilayah Filipina. WNI penduduk Filipina

(WNIPP) berjumlah 43 pelintas masuk wilayah Indonesia dan 58 pelintas keluar wilayah Filipina. Sementara warga negara Filipina (WNP) berjumlah 133 melintas masuk wilayah Indonesia dan 115 keluar ke wilayah Filipina. Pada bulan Januari pelintas yang masuk relatif sedikit dengan jumlah 8 pelintas menggunakan 2 perahu sementara pelintas keluar berjumlah 15 dengan menggunakan 3 buah perahu. Menurut keterangan petugas BCA ini disebabkan karena bulan Januari warga baru saja menghabiskan waktu Natal dan Tahun Baru. Rincian pelintas batas penduduk di border area dari bulan Januari sampai September 2014 terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Data penduduk Pelintas Batas Melalui Check Point Marore dari bulan Januari s/d September 2014

Bulan

PELINTAS BATAS MARORE TAHUN 2014

Pelintas Masuk

WNI WNIPP WNPTot

L P Jml L P Jml L P Jml

Januari 5 2 7 1 - 1 - - - 8Februari 5 4 9 5 1 6 13 1 14 29Maret 6 1 7 5 - 5 - - - 12April 11 2 13 3 2 5 8 1 9 27Mei 24 15 39 1 3 4 7 - 7 50Juni 59 37 96 3 1 4 28 8 36 136Juli 9 5 14 4 4 8 16 - 16 38Agustus 2 4 6 3 2 5 11 1 12 23September 12 12 24 4 1 5 37 - 37 66Total 133 82 215 29 14 43 120 11 133 391

Pelintas Keluar Perahu

WNI WNIPP WNPTot Msk Klr

L P Jml L P Jml L P Jml

6 5 11 - - - 3 1 4 15 2 36 1 7 2 - 2 3 - 3 12 5 36 2 8 12 1 13 4 - 4 25 4 614 3 17 3 2 5 1 1 2 24 5 520 9 29 6 1 7 6 - 6 42 10 1079 35 114 1 7 8 52 6 58 180 26 3817 6 23 5 3 8 6 1 7 38 8 101 1 2 2 3 5 9 - 9 16 5 419 10 29 6 4 10 19 3 22 61 15 11168 72 240 37 21 58 103 12 115 413 80 90

Sumber : Dokumen Lintas Batas Kecamatan Kepulauan Marore, 2014

Page 6: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 45

Mobilitas tertinggi pelintas batas terlihat pada bulan Juni, yaitu 136 pelintas masuk menggunakan 26 perahu dan 180 pelintas keluar 38 perahu. Momen yang membuat lonjakan mobilitas keluar Filipina secara signifikan pada bulan ini adalah bertepatan dengan hari kemerdekaan Filipina tanggal 12 Juni. Pemerintah daerah Balut-Saranggani mengundang masyarakat Marore untuk menghadiri perayaan hari kemerdekaan Filipina. Ikatan kultural dan genealogis disambut warga Marore dengan menghadiri pengibaran bendera Filipina di Balut Saranggani. Tepat tanggal 12 Juni hubungan bilateral kedua negara diperingati berdasarkan kesamaan kebudayaan Sangihe dengan dilaksanakan upacara pengibaran bendera bersama dan dirangkaikan pertandingan persahabatan olahraga Volly.

Aktivitas “Pisang” (Filipina-Sangihe): Dinamika dan Kontroversi

Hingga saat ini berdasar data resmi tercatat sekitar 7.000 s/d 8.000 WNI yang menetap di wilayah Filipina. Mereka dikategorikan sebagai Undocumented Citizens karena tidak memiliki dokumen keimigrasian yang membuktikan kewarganegaraan mereka. Mereka yang mengaku sebagai warga keturunan Indonesia dicatat di KJRI Kota Davao dan tidak berhak memiliki semacam KTP Filipina, hanya kartu identitas (kartu lintas batas). Data mengenai jumlah pisang secara resmi dapat dilihat di tabel 2.

Posisi ini membuat warga kategori ini atau yang disebut pisang rentan dalam kebijakan politik dan kependudukan karena posisi stateless mereka. Sehingga ini memungkinkan untuk dimanfaatkan secara politik ataupun ekonomi. Keberadaan dan permasalahan ini sudah menjadi agenda dalam Joint Bilateral Commission Indonesia-Filipina, namum proses penyelesaiannya memerlukan waktu panjang. Biro Imigrasi Filipina dan KJRI Davao pernah mengadakan survey mengetahui keinginan masyarakat terhadap tiga kemungkinan pilihan, yaitu:

1.Naturalisasi: memilih menjadi Warga Negara Filipina

2.Repatriasi : relokasi ke wilayah Republik Indonesia

3.Legalisasi : menjadi Warga Negara Indonesia yang tinggal di Filipina

Tabel 2. WNI yang menetap di Filipina dan tidak mempunyai KTP

NO DAERAH JUMLAH1 Davao City dan sekitarnya 3782 Sta Maria, Davao del Sur 1313 General Santos City 6944 Kiamba, Sarangani 4315 Isulan, Sultan Kudarat 7886 Cabacan North Cotabato 1877 Glan 6498 Kapla, Glan 1.0139 Tikang, Glan 62410 Pulau Saranggani 1.05411 Pulau Balut 1.037Jumlah 7.694

Sumber :Survey KJRI Davao tahun 2003 dalam Komando Armada RI Kawasan Timur

Pangkalan Utama Angkatan Laut VI

Masyarakat tidak mudah menentukan pilihan tiga opsi yang ditawarkan mengingat kedua pemerintah belum mampu memberikan kepastian tentang langkah atau kemudahan birokratis apa yang dapat diberikan bagi setiap pilihan. Hal ini ditemukan dalam tiap wawancara dengan warga pisang.

Perjanjian lintas batas 1956 ini mengenai warga negara yang berada secara tidak sah di wilayah Indonesia dan Filipina memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur dua kegiatan yaitu legalisasi dan repatriasi. Dalam hal legalisasi pemerintah Filipina menyatakan bahwa 200 orang WNP berada di perbatasan wilayah Indonesia, sedangkan pemerintah Indonesia menyatakan kurang lebih 6.000 WNI berada di perbatasan wilayah Filipina. Dalam hal repatriasi Pemerintah Indonesia hanya dapat mengembalikan warga negaranya sebanyak 3.216 orang yang dilakukan dalam 3 tahap mulai tahun 1963 s/d 1965, sebagian mereka diperkirakan kembali lagi ke Filipina Selatan. Sedangkan Pemerintah Filipina tidak melaksanakan repatriasi karena 200 orang WNP yang ada di perbatasan wilayah Indonesia diperkirakan telah kembali secara sendiri-sendiri.

Page 7: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201646

Keberadaan WNI yang menjadi penduduk Filipina Selatan dianggap oleh otoritas sebagai warga negara illegal in trans (tidak jelas status kewarganegaraannya), sehingga dipersoalkan Pemerintah Filipina meskipun belum diekspos secara terbuka. Keadaan ini sering dikhawatirkan dapat mempengaruhi hubungan baik kedua negara. Hingga kini persoalan ini terus berlangsung, karena secara ekonomi warga WNI-PP sering dimanfaatkan tenaga kerja dan secara politik sering dimanfaatkan suaranya dalam pemilihan umum baik lokal dan nasional di Filipina termasuk dalam Pemilu legislatif dan Presiden dari Dapil luar negeri untuk Indonesia.

Secara formal, aktivitas lintas batas dapat diketahui melalui Pos Imigrasi yang ditentukan di masing-masing negara. Pos imigrasi mempunyai tugas mengawasi setiap warga yang keluar-masuk melalui check point BCA Marore dan check point BCA Miangas memberikan pelayanan kepada masyarakat pelintas-batas melalui pembuatan pas lintas batas/kartu khusus lintas batas.

Pada pihak Filipina, kartu lintas awak kapal yang dikeluarkan oleh Batuganding Border Crossing Station berlaku hanya satu kali masuk dan menerangkan batas waktu melintas. Kartu lintas awak kapal berwarna kuning hanya berlaku bagi WNP, pada point keempat menerangkan nama pelintas batas, pekerjaan, kebangsaan, tempat tanggal lahir, alamat di Filipina, maksud perjalanan, alamat di Indonesia, tanda-tanda pemegang, pada point enam menampilkan foto disertai tandatangan dan cap ibu jari yang kesemua point tersebut disahkan dan ditanda tangani oleh Imigrasi Batuganding Border Crossing Station.

Sementara pada pihak Indonesia, WNI yang bertempat tinggal di Filipina menggunakan kartu berwarna hijau dalam aktivitasnya melintas ke wilayah Indonesia. Dalam kartu khusus lalu lintas perbatasan menerangkan, dalam 59 hari hanya berlaku satu kali masuk di border area Marore setelah izin ditandatangani di Batuganding Border Crossing Station.

Bagi WNI yang tinggal di wilayah sendiri menggunakan kartu berwarna merah dalam

aktivitas melintas ke border area Filipina. Dalam halaman tiga kartu ini menerangkan jenis, kode negara, nama pelintas, kewarganegaraan, tanggal lahir, tempat lahir, tanggal pengeluaran kartu, tanggal habis berlaku kartu, kantor yang mengeluarkan. Pada halaman empat disahkan oleh Kepala Pos Imigrasi Marore dengan menggunakan stempel Kantor Imigrasi kelas II Tahuna, halaman selanjutnya pengesahan-pengesahan sewaktu melintas batas di pos Imigrasi Marore maupun Border Crossing Station Batuganding. Perubahan waktu tinggal 59 hari sudah direvisi menjadi 1 (satu) tahun dengan memakai Pas Lintas Batas warna merah yang sebelumnya warna hijau tua.

Kar tu l intas batas awak kapal yang diperuntukkan kru atau nahkoda perahu pumpboat, fuso ataupun pamo lain dengan warna hijau muda dan bentuknya kartu selembar bolak balik. Kartu lintas batas awak kapal menerangkan nomer kartu lintas batas awak kapal, nama pemegang, pekerjaan, alamat, tujuan, nama kapal, berat kapal dalam ton, terdaftar sebagai anak buah kapal (kru), tempat dan tanggal pengeluaran dan disahkan oleh Pos Imigrasi Marore dengan stempel kantor Imigrasi kelas II Tahuna. Kartu lintas batas awak kapal ini berlaku 15 (lima belas) hari terhitung dari tanggal tiba di tempat tujuan, hanya berlaku untuk satu kali perjalanan. Lembar balik dari kartu lintas batas awak kapal ini berupa pengesahan-pengesahan sewaktu melintas batas di pos Imigrasi Marore maupun Border Crossing Station Batuganding. Kartu lintas batas awak kapal tergambar sebagai berikut:

Kemudian dokumen emergency list berlaku untuk orang sakit, dokumennya dibuat oleh imigrasi mengetahui Republik Filipina Team. Sifat kartu ini digunakan dalam keadaan darurat untuk melintas batas. Sementara kartu awak kapal untuk lalu lintas perbatasan (Pas Khusus) terlihat berikut ini:

Kartu-kartu tersebut digunakan dalam kegiatan lintas-batas, terutama berhubungan dengan aktivitas ekonomi yang secara bersamaan sering dipadankan dengan kunjungan keluarga.

Page 8: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 47

Salah satu kisah pisang (Filipina-Sangihe) yang melakukan aktivitas pelintas batas menggunakan jalur resmi adalah Sumarni Subu Budiman, perempuan pelaut yang dua kali dalam sebulan

melintas batas untuk membeli ikan dari nelayan Sangihe. Sumarni lahir di Pakeluasu Pulau Balut Filipina, 39 tahun lalu dan terikat dalam sukubangsa Sangihe yang ditandai dengan nama

Page 9: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201648

marga Budiman, berkewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di Filipina. Ayahnya lebih dulu melakukan kegiatan melintas batas dengan membeli ikan nelayan di wilayah Pulau Marore. Pengalaman ayahnya menginisiasi Sumarni menjadi pelaut dan menggeluti bisnis mengepul ikan. Dalam sebulan Sumarni tiga kali melakukan aktivitasnya. Barang yang dibawa dari Filipina biasanya pesanan nelayan di Pulau Mamanuk untuk ditukar dengan ikan. Menurutnya itu lebih bermanfaat dan cepat karena prinsipnya semua bisa menghasilkan uang. Barang tersebut seperti plywood, cat, alat pembuatan pumpboat dan alat pancing serta sayur-sayuran. Cuaca tidak bersahabat ketika angin kencang atau angin barat membuat harga ikan menjadi mahal di Filipina sehingga waktu tersebut cocok untuk melakukan aktivitas melintas agar mendapat keuntungan yang memuaskan.

Pilihan Sumarni menjadi pengepul ikan di pulau Mamanuk karena harga ikan di pulau tersebut lebih murah dibandingkan di Marore, disamping itu tidak terlalu jauh untuk membawanya ke Filipina. Ini sebagaimana terekam dalam wawancara berikut:

Saya melintas membeli ikan sebulan dua kali di Pulau Mamanuk, karena ikan di Marore Rp.15.000 sementara Mamanuk bisa Rp. 10.000. Setelah coldbox penuh, saya bisa membawa sekitar 300 kg ikan. Ketergantungan pengepul hasil nelayan Pulau Mamanuk menjadi hal utama, dengan mempertimbangkan coldbox berisi es yang mudah mencair. Apabila banyak ikan maka cepat juga saya kembali ke Filipina. Sekitar 3-5 hari saya di Pulau Mamanuk. (Wawancara Oktober 2014)

Sebelum melakoni aktivitasnya sebagai pengepul ikan, dulunya Sumarni bekerja di Bitung. Kini dia sudah bersuamikan warga Filipina, memiliki satu anak perempuan dan bertempat tinggal di Pulau Balut. Dahulu, penanda identitas yang dibawa setiap saat yaitu buku pengenal diri/identity book. Setelah bersuamikan warga Filipina, Sumarni tidak memperpanjang lagi buku dimaksud. Identity book diterbitkan Konjen RI di Davao merupakan identitas yang dimiliki Sumarni sebagai WNI. Masa waktunya memiliki batas dan harus diperpanjang.

Buku identitas tersebut mencantumkan peringatan bagi Warga Negara Indonesia yang berada di Filipina, terutama masa berlaku yang relatif singkat yakni dua tahun. Akan tetapi, selain itu buku ini menjadi satu penanda potensi politis warga dalam Pemilu baik di Filipina maupun Indonesia. Buku ini tidak berlaku di luar Filipina yang berarti tidak diperuntukkan untuk melintas batas. Meskipun demikian, hal terpenting yang harus dikaji adalah dicantumkannya ACR (Alien Certificate of Registration) yang membuat WNI di Filipina terbebani iuran kependudukan karena apabila tidak mampu membayar ACR, mereka kena sanksi denda yang terakumulasi apabila berkunjung ke Indonesia. Apabila sudah melunasinya maka kegiatan melintas sudah diperbolehkan seperti kutipan wawancara berikut:

Page 10: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 49

Ini tanda buku orang Indonesia di sana yang banyak orang miskin. Saya masih kecil di sana dan di foto itu saya masih gadis. Semua orang Indonesia pakai buku ini dan di Davao ada semua foto orang Indonesia. Waktu pemilihan presiden mereka memilih, katanya ada bantuan tetapi cuma di telinga saja. Di Davao semua orang Indonesia memilih Jokowi sebagai presiden. Di sana bayar satu orang 160 peso setahun, kalau tidak ada buku ACR kami tidak boleh datang ke sini (Indonesia). Menurut saya bisa mencapai 17.000 jiwa penduduk Indonesia yang ada di sana. (Wawancara Oktober 2014)

Kutipan wawancara di atas memperlihatkan setiap WNI di perbatasan Indonesia-Filipina harus membayar ACR sebesar 160 peso setahun. Menurut Sumarni masyarakat Indonesia di Filipina sebagian besar miskin dan tidak mampu membayar ACR, sebagai WNI tidak dibantu di Filipina, padahal suara mereka diperhitungkan dalam pemilihan presiden sebagai pemilih luar negeri.

Kisah pisang berikutnya adalah Jumar yang mengaku orang Visaya-Filipina berketurunan Sangihe sebagai kapten kapal yang memiliki empat anak buah kapal dan semuanya warga Filipina. Jumar dan teman temannya dipekerjakan pemilik modal bernama Imin yang tinggal di kampung Tidore, Tahuna. Fuso yang dinahkodai Jumar tujuan memancing ikan tuna dari perairan Siau, Biaro hingga Bitung untuk menjual tangkapannya. Jumar tidak kuatir keberadaan fuso miliknya, surat-suratnya lengkap karena

pak Imin punya modal besar di Kampung Tidore dan selalu memperbaiki surat-surat perizinan. Fusonya biasanya berlabuh di pantai Tidore untuk memenuhi kebutuhan BBM dan kebutuhan melaut lain seperti beras, gula, rokok dan air. Jumar lancar berbahasa Indonesia, memiliki empat orang anak, semuanya tinggal di Filipina dan setiap bulan mengirim gaji lewat kantor pos di Tahuna. Menurutnya jumlah pendapatan tergantung kemujuran setiap turun melaut, pendapatan anak buahnya bisa mencapai tiga juta/bulan. Dalam pembagian hasil dengan pemilik perahu/modal dengan ABK, pembagiannya dua berbanding satu, karena pemilik modal bertanggung jawab untuk semua perizinan hingga perbekalan untuk melaut. Dipilihnya nelayan pisang sebagai anak buah kapal, karena mereka tahan di laut bebas dan pandai memancing, seperti terlihat dalam kutipan berikut:

Menggunakan batu sebagai pemberat dengan melilitkannya bersama umpan berupa cumi-cumi dan senar nilon dikaitkan dengan mata kail, hal tersebut kelihaian nelayan Filipina. Bila musim ikan tuna, setelah diluncurkan kail tersebut ditarik sedikit maka umpan seperti cumi yang masih hidup pasti dimakan karena itu kesukaan ikan tuna. Musim ikan tuna pada awal bulan tidak tergantung bulan gelap atau terang, ini tergantung ikannya (Wawancara Juli 2014)

Hasil wawancara dengan Jumar dan tampilan foto menunjukkan perairan Laut Sulawesi

Page 11: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201650

kaya sumberdaya perikanan dan dibutuhkan transfer kemampuan antara nelayan pisang dengan nelayan lokal (Sangihe). Jalur ilegal yang digunakan pelintas batas selama ini masih aman dan relatif belum menjadi isu menarik untuk kasus illegal fishing, kecuali setelah menteri Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan pelarangan trans shiping. Sementara pada perspektif lain, bagi warga, jalur ilegal yang digunakan nelayan pisang melakukan aktivitasnya merupakan peluang bagi mereka mentransfer teknologi baru kepada nelayan lokal. Fenomena nelayan pisang di Kabupaten Kepulauan Sangihe cukup dilematis, sementara dikategorikan ilegal, mereka justru membawa informasi dan teknologi baru yang bagi warga lokal dan bukan hambatan melakukan aktivitas lintas batas karena mereka menganggap sedarah, sesama orang Sangihe.

Kontoversi lain yang membangun diskursus warga, terutama yang bukan orang Sangihe mengenai jalur ilegal dan pisang adalah pemberitaan mengenai trafficking. Koran lokal di Sulut, Manado Post pernah membuat ini menjadi topik utama mengenai 14 Perempuan Filipina yang diselundupkan ke Sangihe lewat jalur gelap dan berlabuh di Pantai Lepe Kampung Petta Timur Kecamatan Tabukan Utara (Manado Post 4 Juni 2014: 1). Pada hari yang sama juga diberitakan dampak lain jalur ilegal ini yakni 2 bocah menjadi korban pencabulan nelayan pisang hingga salah satunya meninggal dunia (Manado Post/Komentar/ Metro/Sasahara 4 Juni 2014).

Pada sisi lain, nampak juga adanya sentimen perebutan sumberdaya ekonomi antara pisang dengan warga lokal. Tahuna sebagai ibukota kabupaten ramai dengan persoalan tidak tertatanya permasalahan pelintas-batas terutama nelayan Filipina yang bebas berkeliaran di Sangihe. Warga mengganggap perlu pendataan tentang berapa banyak pumpboat, fuso, pamo yang beroperasi di perairan Sangihe dan berapa banyak ABK yang sementara beroperasi. Berapa banyak pumpboat, fuso, pamo kepemilikan Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Filipina. Dimana data dimaksud berguna menjadi bahan kajian dan bahan pendeteksian kasus legal

dan ilegal. Kontroversi lain yang ditemui di jalur ilegal

juga karena wilayah ini memungkinkan pisang, dalam kontak dengan berbagai macam orang, untuk ikut serta, baik sadar ataupun tidak sadar dalam kejahatan transnasional. Penyelundupan senjata merupakan kegiatan yang marak terjadi pada puncak konflik Maluku, Maluku Utara dan Poso (2000-2001). Perdagangan obat-obat terlarang berasal dari jaringan Filipina Selatan dibongkar polisi dengan penangkapan pengedar narkoba di Manado, Dollar palsu terjadi tahun 2003-2004. Bahkan terorisme dimana Fathur Al-Ghozy, salah satu gembong terorisme Asia Tenggara asal Indonesia yang tertembak di Filipina, tercatat pernah masuk Filipina lewat jalur area lintas batas Filipina-Indonesia, tepatnya lewat Tinakareng (Salindeho dan Sombawadile 2008: 232-234).

Dari sekian persoalan tercatat, yang ramai hingga kini di media lokal adalah kasus Illegal fishing sehingga kejadian penangkapan pumpboat dan fuso berbendera Filipina sering terjadi di perairan Sangihe. Pemaparan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti salah satu kerugian negara adalah akibat pencurian ikan oleh nelayan asing di perairan utara Pulau Sulawesi mendorong adanya kebijakan menenggelamkan kapal yang mencuri ikan di perairan Indonesia setelah menyelamatkan ABK merupakan salah satu cara menciptakan efek jera bagi nelayan asing yang selama ini merugikan Indonesia. Sekalipun bagi masyarakat Sangihe, laut dianggap milik bersama karena terikat jalinan kekerabatan antara Filipina dan Indonesia yang sebelumnya tidak memiliki pembatas hukum wilayah.

Catatan Penutup

Keberadaan pisang yang beraktivitas di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, khususnya Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak hanya menunjukkan gerak mobilitas yang bertautan dengan kegiatan mata pencaharian hidup dan hubungan kekeluargaan semata yang telah terjalin sebelum Indonesia dan Filipina

Page 12: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 2016 51

merdeka. Ini justru semakin bergerak menjadi isu dan potensi politik, ekonomi bahkan yang terkait isu kejahatan transnasional. Apalagi jika menyandingkan data resmi jumlah pisang yang kebanyakan WNIPP mencapai kurang lebih 8.000 jiwa.

Hal ini sesuai dengan argumen yang diperlihatkan Mata-Codesal (2007) yang menganggap isu migrasi terkait dengan integrasi bangsa dan transnasionalisme. Sementara mengenai posisi perbatasan laut, pendapat Abuza (2011) mengenai wilayah laut yang rentan kejahatan antar negara memiliki kebenaran jika disandingkan dengan realita empiris. Ini membuat posisi pisang tidak hanya berpotensi melakukan kejahatan bahkan tanpa mereka sadari, tetapi secara politik-kependudukan, pisang relatif lemah karena kebanyakan tidak memiliki dokumen kependudukan yang

melegalisasi aktivitasnya. Dalam perspektif ini, mereka mudah menjadi korban kebijakan politik dan dieksploitasi berlebihan secara ekonomi serta tanpa perlindungan hukum memadai.

Sementara itu, pandangan pandangan Wadley (2002: 1-11) yang secara umum melihat sebagai perbatasan batas-batas yang memisahkan negara bangsa patut untuk diperluas. Karena bagi pisang dan bahkan warga lokal Sangihe, laut Sulawesi yang dimiliki oleh dua negara-bangsa Indonesia dan Filipina merupakan milik bersama serta mengintegrasi hubungan dalam jaringan kekeluargaan dan tradisional yang kuat dan lebih tua dari keberadaan Indonesia dan Filipina sebagai negara, hal mana sesuai dengan pandangan Lapian (2011) yang melihat area ini tidak memisahkan tetapi justru mempersatukan warga yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya.

Daftar Pustaka

Abuza, Zachary.

2011 “Borderlands, Terrorism, and Insurgency in Southeast Asia” dalam James Clad, Sean M. McDonald, and Bruce Vaughn (Eds.). The Borderlands of Southeast Asia: Geopolitics, Terrorism, and Globalization. Washington: National Defense University Press.

Horstmann, Alexander.

2002 Incorporation and Resistance: Border-Crossings and Social Transformation in Southeast Asia. Jurnal Antropologi Indonesia Vol. XXVI, No. 67, January-April 2002

Lapian, Adrian B.

2011 Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.

Mata-Codesal, Diana.

2007 “Where we can meet: From borderlands to contact-zones”. Final Paper. Brighton.United Kingdom.

Pristiwanto, Steven Sumolang, Agung Triwibowo, Alex J. Ulaen.

2013 Legal di Marore Ilegal di Tahuna (Kajian Atas Peredaran Barang di Wilayah Lintas Batas di Kabupaten Kepulauan Sangihe). Yogyakarta: Kepel Press

Pristiwanto

2014 Pelintas Batas Indonesia-Philipina di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Yogyakarta: Kepel Press

Page 13: Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) Di Perbatasan Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA No. 1 201652

Salindeho, Winsulangi & Pitres Sombowadile.

2008 Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro:Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan. Yogyakarta: Fuspad

Tirtosudarmo, Riwanto.

2002 Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan: Sebuah Pengantar dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. XXVI. No. 67, January-April

Ulaen, Alex John

2003 Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Ulaen, Alex John, Paulina Nugrahini, Christian Setiwan, Asrullah Dukalang, Alinabur.

2012 Studi Tentang Sosial Budaya Masyarakat Daerah Perbatasan Studi Kasus Masyarakat Pulau Marore. Yogyakarta: Kepel Press

Velasco, Djorina.

2010 Navigating the Indonesian-Philippine Border: The Challenges of Life in the Borderzone dalam Kasarinlan Philippine Journal of Third World Studies. 2010 25 (1-2). hlm. 95-118

Wadley. Reed L.

2002 Border Studies Beyond Indonesia: A Comparative Perspective. dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. XXVI, No. 67. January-April.

Internet

Lutfi Dwi Puji Astuti, Roger Wenas. Intelijen Awasi WNA Filipina Ilegal di Sulut Tahun 2011 lalu ada 200-an imigran gelap asal Filipina menyusup masuk ke Indonesia. Viva Co. Id Sabtu, 3 Maret 2012 | 08:43 WIB. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/293056-intelijen-awasi-wna-filipina-ilegal-di-sulut