Upload
desi-phyki
View
8
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Digital_124452-158.2 UTA h - Hubungan Antara-Literatur
Citation preview
2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pola Kelekatan
2. 1. 1. Definisi Kelekatan (Attachment) dan Pola Kelekatan
Beberapa definisi mengenai kelekatan dari berbagai sumber:
Menurut pendapat umum:
... relationship between two individuals who feel strongly about each other and do number of things to continue the relationship.
Menurut pendapat ahli psikologi perkembangan:
... a relationship between particular social figures and a particular phenomenon that is thought to reflect unique characteristics of the relationship.
(Santrock, 2002, p. 186)
... an affectional tie that one person or animal forms between himself and another specific onea tie that binds them together in space and endures over time. (Mary Ainsworth dalam Berger & Thompson, 1998, p. 211)
... an enduring affective bond characterized by a tendency to seek and maintain proximity to a specific figure, particularly when under stress. (Bowlby & Ainsworth dalam Colin, 1996, p. 7)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka definisi kelekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: pengalaman seseorang dalam hubungan
antar pribadi yang terjadi secara berkesinambungan terhadap figur tertentu yang
membentuk suatu ikatan dan berperan terhadap kualitas dari hubungan tersebut.
Pada penelitian ini figur kelekatan yang dituju adalah Ayah, Ibu, dan pasangan
hidup.
Definisi pola kelekatan sendiri menurut Baron & Byrne (2004) adalah
derajat akan pengalaman rasa aman dalam hubungan antar pribadi. Sehingga
definisi pola kelekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pola yang
terbentuk dari pengalaman dalam hubungan antar pribadi terhadap figur tertentu
10 Universitas Indonesia Hubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
di suatu masa yang menunjukkan derajat kelekatan dari hubungan tersebut. Pada
penelitian ini figur kelekatan yang dituju adalah Ayah, Ibu, dan pasangan hidup.
Sedangkan masa yang dimaksud adalah masa kecil dan masa dewasa muda.
2. 1. 2. Kategori Pola Kelekatan
Pada awalnya konsep mengenai pola kelekatan dikemukan oleh Bowlby
(1969, 1973, dalam Baron & Byrne, 2004). Bowlby mengajukan bahwa dalam
interaksinya, anak mengembangkan kesadaran berdasarkan dua sikap yang
penting, yang ia sebut sebagai working model (Baron & Byrne, 2004). Sikap yang
pertama adalah evaluasi mengenai diri sendiri (self esteem), dan sikap yang kedua
adalah sikap diri sosial mengenai kepercayaan dan harapan terhadap orang lain
(interpersonal trust). Berdasarkan hal tersebut, Bowlby mengemukakan tiga
kategori pola kelekatan, yaitu: secure, insecure-avoidant, dan insecure-
ambivalent. Tiga kategori pola kelekatan ini juga ditemukan oleh Ainsworth dari
hasil observasinya terhadap interaksi antara anak dan ibunya dalam situasi
terkontrol yang dikenal dengan nama strange situation (Baron & Byrne, 2004;
Santrock, 2002a). Selanjutnya, Main & Solomon (dalam Papalia, et al, 2004)
mengemukakan kategori ke-empat pola kelekatan pada anak, yaitu pola kelekatan
disorganized-disoriented.
Pola kelekatan yang dikemukakan oleh Bowlby ternyata dapat diterapkan
pada setiap tahapan perkembangan manusia dari bayi sampai dewasa. Pola
kelekatan yang dimiliki seseorang dapat digunakan untuk melihat cara ia
membangun hubungan antar pribadi dengan orang lain dalam kehidupannya,
seperti pada orangtua, saudara, teman, pasangan, bahkan orang asing. Pola
kelekatan pada orang dewasa selanjutnya juga berkembang menjadi empat
kategori, dengan tambahan pola kelekatan dismissing. Hal ini dipelopori oleh
Griffin dan Bartholomew pada tahun 1994 dengan mengembangkan teori pola
kelekatan yang dikemukakan oleh Bowlby (Baron & Byrne, 2004). Empat
kategori tersebut dibuat berdasarkan kombinasi dari sikap positif dan negatif
mengenai diri sendiri (self-esteem yang berhubungan dengan anxiety), dan sikap
positif dan negatif mengenai orang lain (interpersonal trust yang berhubungan
dengan avoidance).
11
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
2. 1. 2. 1. Pola Kelekatan pada Masa Kecil
Tabel 2. 1. Tingkah laku anak dalam strange situation (Sigelman, 1999, p. 370)
Pola Kelekatam Tingkah Laku Anak Secure Avoidant Resistant Disorganized-Disoriented
Mengeksplorasi lingkungan
ketika pengasuh hadir sebagai secure base
Ya, dengan aktif
Ya, tapi tidak terlalu aktif
Tidak, ia melekat pada pengasuhnya
Tidak
Memberi respon positif
pada orang asing
Ya, merasa nyaman
jika pengasuh berada di dekatnya
Tidak, sering bersikap
tidak peduli, sama seperti sikapnya pd
pengasuh
Tidak, walaupun pengasuh beradadi dekatnya
Tidak, memberikan respon yang
membingungkan
Menunjukan protes saat
berpisah dgn pengasuh
Ya, setidaknya
sedikit terpengaruh
Tidak, terlihat
seperti tidak terpengaruh
Ya, sangat merasa
terpengaruh
Kadang-kadang, tidak dapat diprediksi
Memberi respon positif saat bertemu
kembali dengan pengasuhnya
Ya, merasa senang saat
bertemu kembali
Tidak, bahkan
mengabaikan atau
menghindari pengasuh
Ya dan tidak,
mencari kontak tetapi
marah karena
ditinggalkan (ambivalen)
Bingung, mungkin
mendekati atau menghindari
pengasuh, atau melakukan keduanya.
a) Pola kelekatan secure
Pola dimana anak menangis atau menunjukkan protes ketika pengasuh
meninggalkannya, dan secara aktif menghampiri dan memberi respon positif
ketika pengasuhnya itu kembali. Anak menggunakan orangtua (pengasuhnya)
sebagai secure base, dimana anak merasa aman untuk menjauh dari
pengasuhnya untuk mengeksplorasi lingkungan, dan menghampiri kembali
untuk meminta dukungan. Anak tahu bahwa orangtua (pengasuhnya) adalah
tempat yang aman dan sumber dukungan emosional bagi mereka. Anak yang
termasuk pola ini biasanya kooperatif dan relatif bebas dari rasa marah
(Papalia, et al, 2004). Selain itu, anak juga terlihat nyaman di dalam situasi
baru, selama pengasuhnya berada di dekatnya (Hoffman, Paris, & Hall, 1994).
12
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
Pengasuh dari anak dengan pola kelekatan ini sensitif pada kebutuhan
anak dan secara konsisten meresponnya. Pengasuh sering memberikan
kesempatan pada anak untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan
interaksi diantara mereka (Santrock, 2002a). Sensitivitas pengasuh pada sinyal
yang diberikan anak meningkatkan pola kelekatan secure (Santrock, 2002a).
b) Pola kelekatan insecure-avoidant
Pola dimana anak memiliki sedikit interaksi dengan pengasuhnya.
Anak jarang menangis ketika berpisah dari pengasuhnya, dan menghindari
kontak ketika pengasuhnya itu kembali. Anak yang termasuk pola ini
cenderung pemarah dan tidak mencari bantuan saat mereka butuh (Papalia, et
al, 2004). Anak menunjukkan perasaan tidak amannya dengan cara
menghindari pengasuhnya (Santrock, 2002b). Perilaku menghindar yang
ditunjukkan anak memberi kesan bahwa ia terlalu independen dan seakan-
akan tidak membutuhkan kehadiran pengasuh (Hoffman, et al, 2004). Ibu dari
anak dengan pola kelekatan ini biasanya tidak menyukai kontak fisik atau
cenderung bersikap acuh serta menghindar dari anaknya (Dacey & Travers,
2002; Santrock, 2002b).
c) Pola kelekatan insecure-resistant (ambivalent)
Pola dimana anak menjadi gelisah bahkan sebelum pengasuhnya pergi,
dan menjadi lebih kecewa (marah) saat pengasuhnya tersebut pergi. Ketika
pengasuhnya kembali, anak akan menunjukkan perilaku yang bertentangan
dengan mencari kontak dengan pengasuhnya tersebut sekaligus menolaknya
dengan cara menendang atau mendorong (Papalia, et al, 2004; Santrock,
2002a). Anak menunjukkan kecemasan saat harus berhadapan dengan orang
asing, dan mereka tidak suka mengeksplorasi lingkungan sekitarnya
(Santrock, 2002a). Pengasuh dari anak dengan pola ini menunjukkan
inkonsistensi pada kebutuhan anak, dan terlihat tidak terlalu menyayangi
anaknya (Santrock, 2002b).
d) Pola kelekatan disorganized-disoriented
Pola dimana anak sering menunjukkan perilaku yang kontradiktif dan
tidak konsisten. Anak menyambut pengasuhnya dengan senang dan antusias,
tapi kemudian berpaling atau mendekati tanpa melihat ke arahnya. Hal ini
13
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
membuat anak terlihat bingung dan takut (Papalia, et al, 2004). Anak terlihat
bingung saat pengasuhnya pergi dan kembali, seolah mereka tidak memahami
apa yang terjadi (Kail & Cavanaugh, 2000). Untuk dapat digolongkan ke
dalam pola ini, maka anak harus menunjukkan perilaku menghindar dan
melawan yang sangat jelas, seperti menunjukan ketakutan yang ekstrim
selama berada di dekat pengasuhnya (Santrock, 2002a, 2002b).
Pola ini diasumsikan sebagai pola kelekatan yang paling buruk
dibandingkan pola kelekatan yang lainnya (Papalia et al, 2004). Pola ini
kebanyakan tampil pada bayi yang ibunya tidak sensitif, mengganggu, dan
kasar (Carlson dalam Papalia, et al, 2004), serta mengabaikan atau melakukan
tindak kekerasan. (Santrock, 2002a). Pada beberapa kasus, pengasuh juga
menunjukan perasaan depresi (Field & Levy dalam Santrock, 2002b).
2. 1. 2. 2. Pola Kelekatan pada Dewasa Muda
Bagan 2. 1. Pola kelekatan pada orang dewasa menurut Bartholomew & Horowitz
(diadaptasi dari Brennnan, Clark, & Shaver, 1998, p. 25; serta Weiten & Lloyd, 2000, p. 233)
14
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
a) Pola kelekatan secure
Pola kelekatan ini ditandai oleh model self dan others yang positif.
Dianggap sebagai pola kelekatan yang paling sukses dan diinginkan. Individu
yang termasuk pola ini mencari kedekatan antar pribadi dan merasa nyaman
dalam suatu hubungan. Mereka mengekspresikan rasa percaya pada pasangan,
dapat bekerja sama dalam menyelesaikan masalah, tidak mudah marah, serta
mengharapkan konflik dapat memberikan hasil yang positif dan membangun.
Individu yang termasuk pola ini paling baik dalam membentuk hubungan yang
berkomitmen, tahan lama, dan menyenangkan (Baron & Byrne, 2000).
Mereka tidak takut untuk membentuk hubungan yang intim, dan tidak
khawatir akan ditelantarkan oleh orang lain (Sigelman, 1999).
b) Pola kelekatan dismissing
Pola kelekatan ini ditandai oleh model self yang positif dan model
others yang negatif. Seperti pola kelekatan avoidant pada masa kecil, individu
dengan pola ini akan mempertahankan dirinya dari perasaan disakiti dengan
cara tidak mengekspresikan kebutuhan mereka akan cinta atau rasa takut
ditelantarkan (Sigelman, 1999). Individu yang memiliki pola kelekatan ini
merasa dirinya cukup baik untuk memiliki hubungan dekat dengan orang lain,
tetapi ia tidak memiliki kepercayaan pada orang lain. Hal ini membuatnya
cenderung untuk menolak hubungan dengan orang lain dalam rangka untuk
menghindari penolakan terhadap dirinya. Orang lain melihat individu yang
memiliki pola kelekatan ini sebagai individu yang tidak ramah dan
kemampuan sosialnya terbatas. Masalah utama pada individu dengan pola
kelekatan ini adalah cenderung memandang orang lain negatif, sehingga
mereka menjadi takut untuk menjalin kedekatan yang serius (Baron & Byrne,
2000).
c) Pola kelekatan preoccupied
Pola kelekatan ini ditandai oleh model self yang negatif dan model
others yang positif. Individu yang memiliki pola kelekatan preoccupied sangat
membutuhkan kedekatan dengan orang lain sebagai upaya untuk memvalidasi
harga dirinya, sangat takut ditelantarkan, dan cenderung terlalu bergantung
pada pasangannya (Sigelman, 1999). Biasanya individu dengan pola kelekatan
15
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
ini memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki hubungan yang dekat
dengan orang lain, tetapi mereka juga mengalami kecemasan dan perasaan
malu karena merasa dirinya tidak berharga untuk dicintai. Perasaan khawatir
untuk ditolak oleh orang lain menjadi sangat ekstrim pada individu dalam pola
ini. Adanya kebutuhan akan cinta dan penerimaan dari orang lain, serta
kebiasaan mengkritik diri sendiri menyebabkan perasaan depresi ketika
hubungan yang dijalani berjalan buruk (Baron & Byrne, 2000).
d) Pola kelekatan fearful
Pola kelekatan ini ditandai oleh model self dan others yang negatif.
Seperti pola kelekatan disorganized-disoriented pada masa kecil, individu
dengan pola ini menunjukkan perpaduan yang tidak jelas antara perasaan
butuh namun takut akan kedekatan (Sigelman, 1999). Pola ini adalah bentuk
kelekatan yang paling tidak aman dan sulit beradaptasi dengan orang lain.
Individu yang termasuk pola ini membatasi dan menghindari hubungan dekat
dengan orang lain, tujuannya adalah untuk melindungi dirinya dari perasaan
sakit dan penolakan. Tanpa sadar mereka juga dapat memiliki sifat
bermusuhan, perasaan marah, serta mengalami perasaan yang kurang intim
dan kurang menyenangkan ketika berinteraksi dengan pasangannya. Pola
kelekatan ini biasanya diasosiasikan dengan hubungan antar pribadi yang
negatif, memiliki perasaan cemburu, dan untuk mengurangi kecemasannya
terhadap situasi sosial maka mereka cenderung mengkonsumsi alkohol (Baron
& Byrne, 2000).
2. 1. 3. Perkembangan Pola Kelekatan dari Bayi sampai Dewasa
Satu tahun pertama dalam kehidupan bayi adalah kunci utama dari
perkembangan pola kelekatan (Erikson & Bowlby dalam Santrock, 2002a).
Kelekatan memiliki nilai adaptif bagi bayi, dimana mereka memastikan bahwa
kebutuhan fisik dan psikososialnya akan dipenuhi oleh pengasuhnya (orangtua)
(Papalia, et al, 2004). Masa ini merupakan representasi dari tahap perkembangan
trust versus mistrust. Untuk dapat mencapai trust dibutuhkan perasaan akan
kenyamanan fisik, dan tidak terlalu khawatir mengenai masa depannya. Trust
yang terbentuk saat bayi memberikan harapan bahwa dunia akan menjadi tempat
16
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
yang aman, baik, dan menyenangkan untuk ditinggali. Orangtua yang responsif
dan sensitif berkontribusi terhadap perkembangan trust bayi (Erikson & Bowlby
dalam Santrock, 2002a).
Para peneliti menemukan bahwa pada beberapa orang pola kelekatan pada
masa anak-anak menjadi tanda bagi perkembangan pola kelekatan di masa
selanjutnya. Terlihat bahwa ada hubungan yang penting antara pola kelekatan
anak dengan orangtuanya di masa kecil dan pola kelekatan yang ia bangun pada
saat dewasa ketika menjalin hubungan dengan orang lain, termasuk dengan
pasangan hidupnya. (Santrock, 2002a).
Berger & Thompson (1998) menyebutkan bahwa lima tahun pertama
dalam kehidupan menyediakan struktur dasar bagi perkembangan kepribadian
seseorang di masa selanjutnya. Santrock (2002a) menekankan bahwa 20 tahun
pertama kehidupan memiliki kontribusi pada kepribadian seseorang. Jadi, jika
ingin memahami kepribadian seseorang pada masa dewasanya harus merujuk
pada perkembangan kepribadian di masa sebelumnya.
Sebaliknya, Lewis (dalam Santrock, 2002a) menyatakan bahwa pola
kelekatan pada masa kecil tidak dapat memprediksikan pola kelekatan seseorang
pada usia 18 tahun. Beberapa orang tidak menunjukan kelanjutan pola kelekatan
dari masa kecil ke masa dewasa (Thompson dalam Santrock, 2002a). Tidak semua
individu memiliki pola kelekatan yang menetap, dan bagaimanapun pola
kelekatan bukanlah suatu hal yang pasti (Lewis, Feiring, & Rosenthal, dalam
Santrock, 2002a).
Hubungan antara pola kelekatan pada masa kecil dan masa dewasa akan
semakin kecil karena adanya pengalaman hidup yang menekan dan mengganggu,
seperti kematian orangtua atau ketidakstabilan pada cara pengasuhan. Sebuah
studi juga mengindikasikan bahwa sampel dengan resiko tinggi (anak dengan
orangtua bercerai, pernah ditelantarkan, korban kekerasan, dan memiliki ibu yang
mengalami deperesi) menunjukkan perkembangan pola kelekatan yang tidak
stabil dari masa kecil sampai dewasa (Dacey & Travers, 2002). Oleh karena itu,
tidak tepat jika hanya melihat perkembangan 5 sampai 10 tahun pertama dalam
kehidupan, untuk menjelaskan masalah hubungan antar pribadi seseorang pada
masa dewasa (Santrock, 2002a).
17
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
Walaupun seseorang memiliki masa kecil yang berat dan sulit, seseorang
seharusnya memiliki kemampuan untuk merubah kehidupannya, karena semakin
bertambah dewasa, seseorang memiliki kesempatan dan tanggung jawab untuk
memperbaiki diri dan kehidupannya (Dacey & Travers, 2002). Baldwin & Fehr
(dalam Santrock, 2002a) menyatakan bahwa seseorang dapat memperbaiki pola
kelekatannya di masa kecil saat menjalani kehidupan di masa dewasanya.
Pernyataan ini didukung oleh data yang ditemukan Kirkpatrick & Hazan (dalam
Santrock, 2002a) bahwa ada sekitar 30 persen orang yang mengubah pola
kelekatan mereka menjadi lebih baik ketika masa dewasanya. Sayangnya,
bagaimana cara mereka mengubah pola kelekatannya menjadi lebih baik tidak
dijelaskan lebih lanjut dalam sumber tersebut.
2. 1. 4. Pola Kelekatan pada Ayah dan Ibu
Parke & Brott (dalam Dacey & Travers, 2002) menyatakan bahwa Ayah
dapat menjadi pengasuh yang baik bagi anaknya, karena Ayah mampu menguasai
semua hal yang dapat dilakukan Ibu pada anaknya kecuali hamil, melahirkan, dan
menyusui (Poussaint dalam Berger & Thompson, 1998). Kehadiran Ayah pada
pengasuhan anak akan lebih meningkatkan perkembangan anak tersebut (Berger
& Thompson, 1998; Dacey & Travers, 2002).
Biasanya Ayah melakukan beberapa pengasuhan dasar di waktu malam
hari dan akhir pekan. Namun begitu Ibu tetap melakukan bagian yang lebih besar
dalam usaha pengasuhan anak (Berger & Thompson, 1998), karena pada dasarnya
tingkah laku ibu sifatnya nurturance (Dacey & Travers, 2002). Waktu yang Ibu
habiskan dengan anaknya juga lebih banyak dibandingkan waktu yang dihabiskan
Ayah dengan anaknya. Anak akan lebih menghampiri Ibunya jika sedang dalam
keadaan lapar atau sakit (Dacey & Travers, 2002). Perilaku Ibu cenderung lebih
menggunakan bahasa lisan, mereka sering menawarkan anak dengan alat
permainan, dan bermain dengan cara yang lebih konvensional, seperti cilukba atau
menghitung (Dacey & Travers, 2002); bernyanyi (Berger & Thompson, 1998);
atau bermain saat sedang melakukan kegiatan pengasuhan seperti pada saat mandi
atau mengganti popok (Berger & Thompson, 1998).
18
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
Kebalikan dari Ibu, Ayah cenderung menghindari pekerjaan seperti
memberi makan dan mengganti popok. Tingkah laku Ayah bersifat playful (Dacey
& Travers, 2002), Ayah senang memberikan stimulasi yang sifatnya tidak bisa
diprediksi, tidak berirama, dan lebih menarik bagi anak. Anak belajar
mengharapkan perilaku tersebut dari Ayahnya dan menikmati bermain
bersamanya. Permainan yang ditawarkan Ayah juga lebih bersifat fisik dan aktif,
sehingga anak lebih merespon kontak fisik Ayah secara lebih positif dibandingkan
dengan Ibu. Anak-anak menikmati saat bermain bersama Ayahnya, dan lebih
memilih bermain dengan Ayah dibandingkan dengan Ibu (Dacey & Travers,
2002).
Bermain adalah kesempatan langsung untuk menciptakan hubungan yang
akrab, sebab bermain bersama bayi membutuhkan keterlibatan timbal balik yang
bisa membentuk pola kelekatan secure. Bermain bersama Ayah dapat
berkontribusi pada perkembangan kemampuan sosial anak. Kehadiran Ayah
membuat anak lebih banyak tersenyum dan bermain bersama orang asing
dibandingkan jika anak sedang bersama Ibunya, hal ini lebih jelas terlihat pada
anak laki-laki. Tetapi semakin anak tumbuh dewasa, waktu Ayah kepada anaknya
akan semakin sedikit, sehingga dapat mempengaruhi hubungan diantara keduanya
(Berger & Thompson, 1998).
Pada kebanyakan anak, hubungan mereka dengan Ibu pada awalnya
merupakan hubungan yang paling signifikan. Interaksi anak dengan Ibunya
bersifat sering, intens, mengandung pelajaran, dan menjadi dasar bagi semua
hubungan anak di kehidupan mereka selanjutnya (Dacey & Travers, 2002). Ayah,
seperti juga Ibu, memegang peranan penting pada proses perkembangan anak.
Jika kedua orangtua hadir, maka keduanya dapat memainkan peran yang saling
melengkapi, sehingga anak bisa membangun pola kelekatan yang sama antara
Ayah dan Ibu.
Bowlby (dalam Dacey & Travers, 2002) menyatakan bahwa pola
kelekatan yang dibangun Ayah dan anak sama dengan pola kelekatan yang
dibangun Ibu dan anaknya. Pada saat anak berusia 7 atau 8 bulan, ketika perilaku
kelekatan (yang didefinisikan Bowlby dan Ainsworth) biasanya muncul, anak
akan lekat pada kedua orangtuanya dan lebih memilih bersama Ayah atau Ibunya
19
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
dibandingkan dengan orang asing. Bukti ini menunjukan bahwa Ayah dapat
membangun hubungan yang dekat dan bermakna dengan anaknya dengan segera
sejak anaknya tersebut lahir. Namun Bowlby juga menemukan bahwa tidak ada
hubungan antara pola kelekatan pada Ayah atau Ibu, sehingga anak mungkin
memiliki pola kelekatan yang secure dengan Ibunya tetapi tidak dengan Ayahnya,
ataupun sebaliknya
Sampai saat ini penelitian mengenai hubungan Ayah dan anak masih
sangat sedikit dibandingkan penelitian mengenai hubungan antara Ibu dan anak.
Lewis (dalam Dacey & Travers, 2002) bahkan memperkirakan bahwa sudah ada
sekitar ribuan studi yang dilakukan mengenai hubungan Ibu dan anak,
sedangkan hanya ada sekitar 17 studi yang diketahui membandingkan pola
kelekatan Ayah dengan anaknya. Dari semua penelitian yang ada mengenai
hubungan Ayah dan anak, didapatkan hasil yang hampir sama bahwa Ayah yang
ikut serta dalam merawat anak diasumsikan lebih dapat meningkatkan
perkembangan anak.
2. 1. 5. Signifikasi Pola Kelekatan pada Masa Dewasa
Pada masa dewasa muda seseorang akan berhadapan dengan tugas
perkembangan psikososial yaitu membangun hubungan intim dengan orang lain.
Bagi kebanyakan orang, memiliki hubungan yang intim dengan pasangan
merupakan tujuan yang lebih penting dalam masa kehidupan dewasanya (Berger
& Thompson, 1998). Oleh karena itu, pola kelekatan pada dewasa muda paling
tampak dalam hubungan yang dibangun dengan pasangannya.
Hubungan seseorang dengan pasangannya, berbeda dari hubungan dengan
orangtua, dalam hal seksualitas dan perhatian timbal balik, namun pasangan dapat
memenuhi beberapa kebutuhan yang sama seperti yang dilakukan oleh orangtua
terhadap anaknya. Pasangan dapat menjadi secure base, tempat seseorang kembali
dan mendapatkan kenyamanan serta keamanan terutama dalam situasi penuh
tekanan (Santrock, 2002). Dalam hubungan dengan pasangannya, orang dewasa
akan mengalami afeksi yang kuat, ingin selalu dekat, mendapatkan kenyamanan
dari ikatan itu, dan kecewa bila mengalami perpisahan (Sigelman, 1999).
20
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
Shaver dan Hazan (dalam Bird & Melville, 1994) menyatakan bahwa pola
kelekatan berperan besar terhadap kelangsungan suatu hubungan cinta. Pada
studinya terhadap 620 pria dan wanita, Shaver & Hazan (dalam Bird & Melville,
1994) menemukan bahwa hubungan dari pasangan yang memiliki pola kelekatan
secure cenderung bertahan paling lama (10 tahun) dibandingkan dengan mereka
yang memiliki pola kelekatan avoidant (6 tahun) atau anxious/ambivalent (5
tahun). Dalam penelitian tersebut, pasangan yang memiliki pola kelekatan secure
mendeskripsikan diri mereka sebagai orang yang bahagia, percaya, ramah, serta
dapat menerima dan mendukung pasangannya meskipun pasangannya tersebut
memiliki beberapa kekurangan atau kesalahan. Pasangan yang memiliki pola
kelekatan avoidant mengalami perasaan cemburu, takut akan keintiman, dan
suasana hati yang berubah-ubah secara ekstrim. Subjek yang memiliki pola
kelekatan anxious/ambivalent mendeskripsikan hubungannya diwarnai oleh obsesi
terhadap pasangan, kecemburuan, emosi yang sangat mudah berubah, memiliki
ketertarikan yang tinggi terhadap faktor seksual, dan menginginkan pasangannya
memiliki perasaan yang sama dengan yang mereka rasakan.
Simpson dan rekan (dalam Dacey & Travers, 2002) juga menemukan
bahwa pola kelekatan antara pasangan suami dan istri berkontribusi terhadap
kepuasan perkawinan. Suami-istri yang memiliki pola kelekatan secure
menganggap satu sama lain sebagai sumber kenyamanan dan keamanan ketika
menghadapi stres atau ketika mereka sedang merasa kecewa. Pasangan yang
kurang secure dan cenderung ambivalent mengalami kecemasan lebih tinggi dan
mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan pasangan.
Dalam Santrock (2002a) dijelaskan bahwa sekitar 50-60 persen orang
dewasa dari sampel non-klinis diidentifikasi memiliki pola kelekatan secure.
Mereka memiliki deskripsi yang realistik dan koheren mengenai masa kecilnya
dan mencoba memahami bagaimana pengalaman masa lalu mempengaruhi
kehidupan mereka sebagai orang dewasa. Sekitar 25-30% orang dewasa lainnya
memiliki pola kelekatan insecure-dismissing. Mereka tidak ingin mendiskusikan
hubungan mereka dengan orangtuanya. Ingatan mereka terfokus pada pengalaman
negatif, seperti ditolak atau diabaikan oleh orangtuanya. Sekitar 15% dari subjek
yang diteliti memiliki pola kelekatan insecure-preoccupied, mereka dengan
21
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
mudah menceritakan hubungannya dengan orangtua, tetapi terlihat tidak koheren
dan tidak beraturan. Mereka terlihat tidak dapat meninggalkan masalah masa
kecilnya dengan orangtua sehingga sering mengekspresikan kemarahan pada
orangtuanya atau selalu berusaha untuk menyenangkan orangtuanya.
2. 2. Masa Dewasa Muda
2. 2. 1. Ciri-Ciri Dewasa Muda
Kriteria untuk menetapkan bahwa seseorang telah meninggalkan masa
remaja dan memasuki masa dewasa muda sulit untuk ditentukan (Santrock,
2002a). Secara umum, hal yang paling sering dijadikan ukuran bahwa seseorang
telah mencapai masa dewasa adalah ketika ia telah memiliki pekerjaan, karena
kemandirian secara ekonomi menjadi salah satu patokan untuk mengatakan bahwa
seseorang telah mencapai masa dewasa (Santrock, 2002a). Menurut Papalia, et al
(2004) disebutkan bahwa masa dewasa muda mencakup rentang usia antara 20
sampai 40 tahun.
Pada masa dewasa muda keadaan fisik, kekuatan, energi, dan ketahanan
seseorang mencapai puncaknya bila dibandingkan dengan masa perkembangan
lainnya. Secara kognitif, daya nalar, dan penilaian moral mereka menjadi lebih
kompleks. Gaya dan tipe kepribadian juga menjadi lebih stabil. Individu pada
masa dewasa muda akan membuat pilihan-pilihan yang berhubungan dengan
pendidikan, karir, gaya hidup, dan hubungan intim (Papalia, et al, 2004).
2. 2. 2. Tugas Perkembangan Psikososial Dewasa Muda.
Erikson mengembangkan delapan tahap model perkembangan psikososial
(Papalia, et al, 2004). Seseorang akan mengalami krisis pada perkembangannya
sesuai dengan delapan tahapan psikososial tersebut. Setiap krisis dilihat sebagai
sebuah tantangan yang harus diselesaikan oleh individu agar dapat melangkah ke
tahapan selanjutnya.
Masa dewasa muda tergolong ke dalam tahapan perkembangan psikososial
yang keenam, yaitu intimacy versus isolation (Erikson dalam Papalia, et al, 2004).
Tugas perkembangan yang utama bagi dewasa muda adalah menjalin hubungan
22
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
antar pribadi yang intim dan membuat komitmen dengan orang lain (Papalia, et al,
2004). Dalam suatu hubungan antar pribadi yang intim dibutuhkan pengorbanan
dan kompromi. Dewasa muda yang telah membangun identitas diri yang kuat
selama masa remaja akan siap untuk berhubungan dan melebur identitas dengan
orang lain. Jika pada masa dewasa muda seseorang dapat membangun hubungan
pertemanan dan hubungan intim yang sehat dengan orang lain, maka intimacy
dapat dicapai (Santrock, 2002a). Sebaliknya, jika hal itu tidak terpenuhi maka
seseorang akan mengalami perasaan terisolasi. Walaupun begitu, seseorang tetap
membutuhkan suatu masa isolasi untuk merefleksikan kehidupannya (Papalia, et
al, 2004).
Sewaktu dewasa muda berusaha meyelesaikan berbagai tuntutan dalam hal
keintiman, competitiveness, dan hubungan dengan orang lain, mereka
mengembangkan suatu ethical sense, yang ditekankan Erikson sebagai tanda
seseorang menjadi dewasa (Papalia, et al, 2004). Ethical sense berkaitan dengan
etika seseorang dalam bersikap, bertindak, termasuk dalam membina hubungan
dengan pasangan.
Erikson (dalam Dacey & Travers, 2002) menegaskan bahwa hubungan
seksual bukan aspek intimacy yang paling utama, sebab ada makna lain yang lebih
penting dari intimacy yaitu berbagi nilai, kebutuhan, dan rahasia pada orang lain.
Resolusi dari tahapan intimacy versus isolation ini akan menghasilkan cinta, yaitu
kesetiaan antara pasangan yang telah memilih untuk berbagi hidup, memiliki
anak, dan membantu anak-anak mereka mencapai perkembangan yang sehat
(Papalia, et al, 2004).
2. 2. 3. Pernikahan pada Dewasa Muda
Flavell (dalam Peterson, 2004) mengatakan bahwa perubahan paling
signifikan dan abadi dalam kehidupan orang dewasa adalah menikah, pernikahan
merupakan puncak dari hubungan intim yang dijalin antar individu (Sarwono,
2002). Menurut sosiolog William Stephens (dalam Bird & Melville, 1994),
pernikahan merupakan suatu ikatan antara dua individu yang diketahui secara
sosial, disahkan melalui suatu upacara, dengan maksud untuk dapat bertahan
selamanya. Pergertian yang hampir sama juga diungkapkan oleh Weiten & Lloyd
23
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
(2000) yang menyatakan bahwa pernikahan adalah perjanjian untuk bersatu secara
legal dan sosial dalam hubungan intim orang dewasa.
Dalam pernikahan dan berkeluarga, intimacy dan cinta tampil bersama-
sama (Santrock, 2002a), dan di dalamnya terdapat ketergantungan ekonomi,
kesetiaan seksual, dan pembagian tanggung jawab terhadap anak-anak yang akan
dilahirkan kelak (Weiten & Lloyd, 2000). Baik pria maupun wanita merasa
penting untuk memilih pasangan hidup yang memiliki kesamaan dengan mereka
dalam hal usia, nilai, dan pendidikan. Wanita lebih menekankan pentingnya
pekerjaan, nilai agama, dan keinginan untuk memiliki anak; sedangkan pria lebih
dipengaruhi oleh ketertarikan fisik pada pasangannya (Knox dan rekan dalam
Dacey & Travers, 2002). Saat ini banyak orang yang menunda pernikahan sampai
mereka berada di akhir usia 20. Pengunduran ini dilakukan untuk lebih
mempersiapkan diri baik secara ekonomi maupun personal (Santrock, 2002a).
Bird & Melville (1994) menjelaskan bahwa pada awal pernikahan
pasangan akan dihadapkan pada perubahan persepsi terhadap pasangannya
berkenaan dengan hubungan mereka. Mereka mulai membuat pandangan yang
ideal mengenai pasangan dan kehidupan pernikahannya, kemudian menjadi
kecewa ketika dalam kenyataannya harapan mereka tidak sesuai dengan yang
mereka bayangkan. Pasangan akhirnya menyadari bahwa kesuksesan pernikahan
tergantung bagaimana cara mereka menyesuaikan harapan terhadap kehidupan
pernikahan mereka yang sebenarnya.
Pasangan pengantin baru yang sukses akan mampu mengatasi perbedaan
diantara mereka dan akhirnya dapat beradaptasi dengan kehidupan pernikahannya.
Mereka belajar untuk mentolerir ketidaksempurnaan pasangannya dan membuat
komitmen untuk tetap mempertahankan pernikahannya, serta berusaha
menghadapi masalah mereka sebagai pasangan. Oleh karena itu, usaha untuk
memahami pasangan secara lebih mendalam, berkomunikasi, dan berbagi peran
secara adil menjadi taktik penting dalam pernikahan (Bird & Melville, 1994).
Walaupun demikian, akhir-akhir ini angka peceraian terus meningkat.
Data menyatakan bahwa perceraian banyak terjadi pada tahun-tahun awal
pernikahan (Bird & Melville, 1994), dan mencapai puncaknya pada usia 5-10
tahun pernikahan (Santrock 2002a). Hal senada juga diungkapkan oleh Kitson, et
24
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
al (dalam Sigelman, 1999) bahwa pasangan yang paling berisiko mengalami
perceraian adalah mereka yang sudah menikah rata-rata selama tujuh tahun.
Pasangan ini biasanya akan menemui masalah pada tahun-tahun awal
pernikahannya, namun mereka akan mencoba dan berusaha untuk mengatasi
masalah tersebut. Jika setelah beberapa tahun usaha tersebut tampak tidak
berhasil, maka mereka akan memutuskan untuk bercerai.
Hubungan pernikahan dapat berjalan langgeng jika pasangan memiliki
kesamaan dalam tingkat pendidikan, usia, ketertarikan fisik, dan kecerdasan (Hill,
Peplau, & Ruben dalam Bird & Melville, 1994); serta sering menghabiskan waktu
bersama, berbagi tugas, aktivitas, dan membuat keputusan harian bersama
(Berscheid, Snyder, & Omoto dalam Bird & Melville, 1994). Selain itu, cara
pasangan bertengkar dan menilai kesalahan yang terjadi, juga berpengaruh
terhadap keberhasilan hubungan pernikahan mereka. Pasangan dapat tidak setuju
dan mendebatkan berbagai hal tanpa merusak hubungannya, jika mereka dapat
mengekspresikan perasaannya dengan cara yang tidak mengancam (Gottman &
Krokoff dalam Bird & Melville, 1994). Pasangan yang langgeng dan berhasil ini
lebih baik dalam menilai motivasi dari pasangannya. Mereka sering
menghubungkan perilaku negatif pasangannya sebagai suatu situasi yang tidak
terkendali, dan melihat perilaku positif sebagai tindakan akan rasa cinta dan
dukungan (Bird & Melville, 1994).
Banyak pasangan yang menyembunyikan kemarahan dan ketidakpuasan
akan hubungan mereka, serta menarik diri atau menolak membicarakan hal yang
mengancam sisi emosionalnya tersebut. Perasaan yang tersembunyi ini tidak akan
hilang, tetapi akan mengendap di dalam diri dan terus tumbuh menjadi kemarahan
yang lebih dalam. Pasangan yang paling puas akan hubungannya, dapat saling
membuka diri, menunjukkan perilaku yang dianggap adil, pantas, wajar, serta
mempunyai komitmen untuk tetap bersama dalam jangka waktu yang lama (Bird
& Melville, 1994). Mereka juga mendengarkan masalah pasangannya, bersimpati,
menghibur, dan memberikan dukungan selama masa-masa yang sulit (Davis &
Oathout dalam Bird & Melville, 1994).
25
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
2. 3. Dinamika
Bagan 2. 2. Dinamika hubungan variabel-variabel penelitian
Pola kelekatan tumbuh sejak pertama kali seorang anak lahir. Anak akan
mengembangkan kelekatan dengan orang yang mengasuhnya (orangtua). Pola
kelekatan dengan orangtua dapat dibedakan antara pola kelekatan dengan Ayah
dan pola kelekatan dengan Ibu. Hal ini perlu dibedakan karena walaupun Ayah
dan Ibu sama-sama memiliki peran dalam kehidupan seorang anak, namun
terdapat perbedaan dalam cara mereka berinteraksi dengan anaknya. Seperti yang
telah diuraikan sebelumnya, tingkah laku Ibu sifatnya lebih nurturance,
sedangkan Ayah lebih playful.
Pola kelekatan dengan
pasangan hidup pada
dewasa muda
Pola kelekatan dengan Ayah di
masa kecil
Hal-hal yang mempengaruhi perkembangan pola kelekatan
Faktor yg berperan terhadap hubungan
antara pasangan menikah.
- Usia - Persamaan etnis,
pendidikan, agama, dll. - Pembagian peran dlm RT - Cara menangani konflik
Pola kelekatan
dengan Ibu di masa
kecil
26
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007
Pola kelekatan ini akan terus ada dalam kehidupan seseorang yang akan
mempengaruhi cara ia berhubungan dengan orang lain sepanjang hidupnya.
Perkembangan pola kelekatan akan terus berlanjut sejak masa kecil hingga akhir
kehidupan, ada yang berlangsung dengan stabil, namun ada juga yang berubah
seiring berjalannya waktu. Perubahan dalam perkembangan pola kelekatan dari
kecil sampai dewasa dapat terjadi karena berbagai hal, baik ekternal maupun
internal. Pengaruh eksternal diantaranya adalah perceraian orangtua, pola
pengasuhan yang diterima, kematian orangtua, pernah ditelantarkan, korban
kekerasan, memiliki Ibu yang mengalami depresi, dan pola kelekatan yang ia
bangun dengan orang-orang lain di dalam kehidupannya. Sedangkan pengaruh
internal mencakup kesadaran seseorang untuk mengubah pola kelekatan yang ia
miliki ke arah yang lebih baik. Dalam penelitian ini pengaruh yang akan diteliti
lebih lanjut hanya perceraian dan kematian orangtua saja.
Pola kelekatan memiliki peran yang cukup penting dalam hubungan
pernikahan seseorang karena mempengaruhi bagaimana cara mereka berinteraksi
dengan pasangannya. Pola kelekatan yang terbangun dengan baik dengan
pasangan hidup terbukti pada penelitian sebelumnya dapat menghasilkan
pernikahan yang sukses dan langgeng. Selain pola kelekatan, hal-hal lain yang
mempengaruhi hubungan pernikahan antara lain usia; lama waktu ia mengenal
pasangannya; persamaan etnis, agama, dan pendidikan; pembagian peran dalam
rumah tangga; serta cara pasangan menangani konflik. Dalam penelitian ini yang
akan diteliti lebih lanjut hanya usia pernikahan, usia pacaran serius sebelum
menikah, dan cara menangani konflik dalam hubungan pernikahan.
27
Universitas IndonesiaHubungan antara..., Rizki Utami, F.PSI UI, 2007