Upload
tranquynh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Dampak Sosial Kebijakan Angkutan Batubara
di Jalan Negara: Kasus di Kota Banjarbaru1
Oleh Muhammad Noor HS2
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT
Since 2000 in South Kalimantan coal mine exploitation activities occur,but the. activity was not followed by the observance of the rule of legisla-tion. (UU No. 11/ 1967). The regulation requires that the coal miningcompany to make its own. coal. haul roads. Regulation of the use of.public roads in South Kalimantan for the fleet of coal trucks shall befurther regulated. by SK No. 027, 1998. of Governor of South. Kalimantan.and then set again in the SK No. 119,. 2000 of Governor of SouthKalimantan. Focus of this study is to analyze the extent to which policyimpacts the use of a public road for coal transportation routes. The re-spondents. were people who lived along the streets where truck trans-port of coal, which is as many as 60. people, was chosen deliberately.The results showed that the public really feel the. negative impact causedthe truck transportation of coal to the stockpile at the port of. Banjarmasin.Banjarbaru citizen stend skeptical of regulations on trucking the coal isactually comforts of life even thoughthey disturbed.
A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang
Di Indonesia, deposit batubara diperkirakan sebesar 23.231,9 juta
ton, yang terdiri dari antrasit, bituminous dan lignit. Di Kalimantan,
terdapat 655.199.561 ton deposit batubara yang terukur, 357.333.646
ton yang diperkirakan, dan 641.843.918 ton yang ditentukan terdiri
1 Diringkas dari Tesis yang dibuat oleh Muhammad Noor HS di bawah bimbingan ProfProfProfProfProfDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.EdDr Suprijanto M.Ed dan Drs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSiDrs Mukhtar Sarman MSi.
2 Muhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HSMuhammad Noor HS adalah mahasiswa Program Magister Sains AdministrasiPembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP UNLAM) angkatan I, danstatus pekerjaannya ketika itu adalah staf administrasi di Rumah Sakit Umum DaerahKota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
2 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dari bituminous, sub bituminous dan lignit; sedangkan potensi batubara
di wilayah Kalimantan Selatan sendiri diperkirakan mencapai 3.629
juta ton (Ahmad dan Sartopo (1991) dan Amboyo (1993) dalam Sarman,
2007).
Sejak tahun 1994, batubara merupakan primadona komoditas
ekspor Kalimantan Selatan. Selama enam tahun sejak 1994 hingga 2000,
diperkirakan deposit batubara yang ditambang dari bumi Kalimantan
Selatan mencapai 40 juta ton; dan sejak tahun 2001 terus meningkat
pesat jumlahnya sesuai kebutuhan pasar dunia. Uniknya, di luar
eksploitasi batubara yang dilakukan oleh perusahaan besar batubara
pemegang hak PKP2B seperti PT Adaro dan PT Arutmin, produksi
tambang batubara yang dihasilkan dari wilayah Kalimantan Selatan
itu ternyata juga berasal dari sejumlah perusahaan tambang rakyat
pemegang KP (Kuasa Pertambangan) yang izinnya dikeluarkan oleh
Bupati setempat dan bahkan tidak sedikit yang berasal dari perusahaan-
perusahaan tambang yang termasuk dalam klasifikasi “ilegal”.
Menurut data ASPERA (Asosiasi Penambang Rakyat) Kalimantan
Selatan, produksi PETI itu mencapai 10 juta metrik ton per tahun (2004),
dan wilayah yang paling besar memberikan sumbangannya adalah
kawasan sekitar tanah Bumbu, Kotabaru dan Tanah Laut. Tetapi angka
itu masih diragukan sejumlah pihak karena diduga jumlah riilnya jauh
lebih besar. Sebagai perbandingan, pada tahun 2004 PT Arutmin di
Tambang Satui (Tanah Bumbu) sebagai salah satu perusahaan besar
tambang hanya mampu menghasilkan 9 ribu metrik ton per hari,
sedangkan jumlah produksi PETI diperkirakan mencapai 40 ribu ton
per hari. Perkiraan angka itu dihitung dari jumlah truk yang keluar
dari kawasan tambang rakyat yang boleh jadi sebagian besar berstatus
ilegal dan masuk ke pelabuhan khusus batubara (Banjarmasin Post,
11/6/2004). Dengan demikian, diasumsikan terjadi kerugian yang amat
besar dipandang dari sudut seharusnya ada sejumlah pendapatan
untuk daerah yang bisa digali dar kegiatan eksploitasi batubara tersebut.
Dampak lainnya dari kegiatan eksploitasi pertambangan rakyat
itu adalah debu (dust) yang dihasilkan dari truk-truk pengangkut
batubara yang melintas di jalan raya dekat pemukiman penduduk.
Fenomena itu menjadi kasus unik di Kalimantan Selatan; dan terutama
3FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
terjadi di wilayah pertambangan rakyat yang tersebar di tujuh
kabupaten (Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar,
Tanah Bumbu, dan Kotabaru). Keunikan tersebut menjadi fenomenal
karena jalur transportasi angkutan batubara yang berasal dari kawasan
tambang rakyat itu justru diperbolehkan menggunakan jalan negara
yang untuk kawasan selatan menuju pelabuhan Trisakti di Banjarmasin
antara lain juga melintas ke jalan negara di tengah kota (seperti halnya.
di Martapura, Banjarbaru, dan Banjarmasin); sedangkan untuk
kawasan tenggara menuju pelabuhan Batulicin terutama menggunakan
jalan negara di Kabupaten Tanah Bumbu.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pengelolaan dan Pengusahaan Batubara, sebenarnya telah diatur
kewajiban bagi pemilik Kuasa Pertambangan (KP) untuk membuat
jalan sendiri khusus untuk mengangkut hasil tambangnya selain syarat
prasyarat lainnya. Pada kasus di Provinsi Kalimantan Selatan, UU
Nomor 11 Tahun 1967 tersebut tampaknya tidak sepenuhnya
diindahkan ketika Gubernur atas nama Kepala Daerah menerbitkan
SK Gubernur Kdh Tingkat I Kalimantan Selatan Nomor 027 Tahun
1998 yang memberikan dispensasi kepada pengusaha tambang rakyat
untuk menggunakan jalan negara sebagai jalur transportasi angkutan
batubara menuju stockpile dipelabuhan. Substansi kebijakan Gubernur
kalsel Nomor 027/1998 itu adalah ingin mendukung pengembangan
ekonomi regional dari. potensi tambang yang dimiliki daerah. Kebijakan
tersebut sempat “dianulir” oleh Gubernur Hasan Aman ketika
mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai Kebijakan 1 Januari 2000.
Namun kemudian pada masa kepemimpinan Gubernur Sjachriel
Darham (2000-2005), “Kebijakan 1 Januari 2000” itu dianulir kembali
dengan dikeluarkannya SK Gubernur Nomor 119 Tahun 2000,
meskipun tetap mengacu pada SK Nomor 027 Tahun 1998; dan
kebijakan dispensasi tersebut ternyata terus dilanjutkan oleh Gubernur
Rudy Arifin (2005-2010) yang notabenenya merupakan “Gubernur
pilihan rakyat” karena dipilih melalui proses Pilkada Tahun 2005.
Kebijakan Gubernur yang memberikan izin armada angkutan
Batubara melintas di jalan umum Provinsi dan jalan Kabupaten atau
jalan Kota jelas bukan tanpa masalah. Sejak tahun 2005 telah menjadi
4 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
pemandangan rutin terjadinya kemacetan yang luar biasa di jalur jalan
negara sejak KM-71 di Kecamatan Simpang Empat (Kabupaten Banjar)
hingga memasuki kota Martapura karena menumpuknya armada truk
batubara yang melimpah masuk dari arah kabupaten Tapin dan
kabupaten Banjar sebelum masuk wilayah Kota Banjarbaru menuju
jalur jalan lingkar utara menuju pelabuhan Trisakti di Kota
Banjarmasin. Menurut pengamatan WALHI Kalimantan Selatan
(2006), kepadatan angkutan batubara dari wilayah Kabupaten Tapin
menuju pelabuhan Trisakti di Banjarmasin mencapai 1.473 unit per
hari. Pada tahun 2008 tampaknya terjadi peningkatan karena
diperkirakan ada 2000 lebih ritasi truk batubara setiap malamnya
melewati wilayah Kota Banjarbaru (Satlantas Banjarbaru)
Secara fisik, dampak langsung digunakannya jalan negara untuk
jalur transportasi angkutan batubara itu antara lain berupa kerusakan
badan jalan, kemacetan pada lokasi-lokasi tertentu dan dampak lainnya
berupa debu dan kebisingan yang luar biasa. Dilihat dari sisi pengguna
jalan lainnya keberadaan armada truk batubara ini juga dinilai sudah
sangat mengkhawatirkan. Penelitian Radam (2001) menemukan fakta
bahwa rasio perbandingan antara sepeda motor, mobil, bus, dan armada
truk batubara dalam penggunaan jalan negara adalah 1:1:0.06:1. Hal ini
menunjukkan bahwa angka kompetisi armada truk batubara dan jenis
kendaraan lain sebagai angkutan umum sangat tinggi dan dapat
mengakibatkan tersisihnya kepentingan pengguna jalan lain.
Pada sisi lain, digunakannya jalan umum untuk armada truk
batubara diyakini juga memberikan mudarat berupa debu bagi
panduduk di sekitarnya. Pengaruh debu batubara juga pernah
dilaporkan dari hasil penelitian Tim Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan (ADKL) Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi
Kalimantan Selatan yang dilakukan pada bulan April tahun 1999 pada
pemukiman penduduk yang berada di sekitar jalur transportasi
batubara di Kota Banjarmasin. Hasil pengukuran menunjukkan rata-
rata konsentrasi debu total sebesar 656 µg/m3 di atas rata-rata yang
dipersyaratkan yaitu sebsar 230 µg/m3. Dari 208 contoh balita yang
didata, terbanyak berusia 12-22 bulan dan keluhan kesehatan yang
dirasakan adalah ISPA 19,23% dan tenggorokan terasa sakit bila menelan
5FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
2,88%. Warga masyarakat yang mengaku merasakan gangguan debu
batubara sebanyak 61,06%. Dibandingkan kasus tahun 1998 yang
mencatat kejadian ISPA sebanyak 1.207 kasus, ternyata pada tahun 1999
terjadi peningkatan hampir sebesar 3 kali lipat karena kejadiannya
menjadi 3.250 kasus (ADKL, 1999). Pada tahun 2002 penelitian serupa
juga dilakukan di jalur transportasi batubara di kawasan sekitar
kecamatan Matraman (Kabupaten Banjar). Hasil penelitian menunjukkan
bukti bahwa bayi dan balita yang tinggal di jalur transportasi di daerah
sekitar Matraman tersebut ternyata mengalami gangguan pernapasan
sebanyak 42,2%. Hal itu terjadi karena meningkatnya kadar debu PM10
ambien dan meningkatkan kontribusi terhadap kadar debu PM10
di dalam
rumah pada pemukiman di jalur transportasi batubara dengan kekuatan
hubungan sebesar 0.538. Meskipun tidak semua faktor rumah terbukti
berperan dalam peningkatan kadar PM10
rumah dan terjadinya gangguan
pernapasan pada bayi dan balita; namun berdasarkan hasil penelitian
itu disarankan untuk mengupayakan angkutan batubara beroperasinya
pada malam hari (ADKL, 2002).
Kota Banjarbaru sebagai salah satu wilayah yang harus
mengakomodir SK Gubernur Nomor 119 Tahun 2000 bukanlah
pengecualian. Dalam usaha untuk mengatasi permasalahan yang
berhubungan dengan armada truk batubara tersebut Pemerintah Kota
Banjarbaru memang telah membuat kebijakan pengalihan arus lalu
lintas angkutan barang (khususnya untuk truk batubara) dari jalan negara
A. Yani (pusat Kota Banjarbaru ) ke jalur Lingkar Selatan (jalan Trikora).
Namun kebijakan tersebut pada dasarnya tetap saja harus melewati dua
buah kelurahan yang padat pemukiman penduduk yakni Kelurahan
Sungai Besar dan Kelurahan Guntung Manggis; dan dampak negatifnya
tetap dikeluhkan oleh warga masyarakat, minimal dalam bentuk terpaan
debu (Radar Banjarmasin, 6 Mei 2009) . Oleh karena itu diduga kebijakan
pemberian izin penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara itu
tetap saja berpotensi merugikan komunitas warga masyarakat yang
tinggal di sekitar jalur jalan tersebut. Asumsi itu didasarkan pada
pemikiran Conyers (1984) bahwa setiap kebijakan yang berkaitan dengan
penggunaan fasilitas umum seperti jalan raya niscaya akan memberikan
dampak pada “kebaikan sosial” (social good) atau sebaliknya. Dengan
6 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
kata lain, apakah ada keuntungan sosial (social benefit) atau tidak dari
sebuah kebijakan; dan isu itu menjadi hal yang urgen manakala dikaitkan
dengan asumsi lain bahwa sesungguhnya setiap komunitas itu
seyogyanya. memiliki suatu hak sosial (social right) untuk mendapatkan
kehidupan sosial (socially entitled) yang lebih baik.
A. 2. Pokok Permasalahan
Dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan dampak
penggunaan jalan umum sebagai jalur transportasi armada batubara,
isu utama. yang dijadikan fokus perhatian untuk penelitian ini adalah
akibat-akibat buruk apa saja yang harus diterima oleh warga masyarakat
(komunitas tertentu) yang berkaitan dengan untung rugi ekonomi,
kenyamanan, kesehatan, dan rasa aman. Secara konsepsional, fokus
perhatian itulah disebut “dampak sosial”.
A. 3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pokok permasalahan dan dengan mengambil kasus
di kota Banjarbaru, maka perumusan masalah yang diajukan untuk
penelitian ini adalah: sampai sejauh mana dampak kebijakan
penggunaan jalan umum untuk jalur angkutan batubara dirasakan
merugikan dan mengganggu kenyamanan warga kota Banjarbaru.
A. 4. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
persepsi kelompok masyarakat tentang implikasi kebijakan Gubernur
Kalsel Nomor 119 tahun 2000. Secara khusus tujuan penelitian ini
adalah ingin mengetahui dampak sosial yang dirasakan oleh penduduk
sekitar jalur angkutan khusus truk batubara di kota Banjarbaru
B. METODOLOGIB. 1. Kerangka Konseptual.
Keputusan Gubernur Kalsel Nomor 027 Tahun 1998 (yang menjadi
dasar rujukan SK Nomor 119 Tahun 2000) adalah sebuah kebijakan
politik yang berorientasi pada upaya memfasilitasi pembangunan re-
gional didaerah. Menurut Anderson sebagaimana yang dikutip Islamy
7FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
(1992:19), kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.
Konsep. kebijakan tersebut membawa implikasi berupa serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan
oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan masalah
tertentu. Untuk keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan, semestinya
tidak saja kebijakan dirumuskan dengan baik akan tetapi juga
memerlukan cara dan teknik tertentu serta dukungan, baik dari pihak
perumus maupun para pelaksana kebijakan. Konsekuensinya para
pejabat administrasi tidak hanya harus membuat keputusan yang lebih
banyak, tetapi juga memecahkan masalah yang harus mereka atasi
atau diharapkan dapat mereka atasi,. yang dalam mempraktekan
kebijakan mereka juga harus banyak. mengalami kesulitan, bahkan
kadang-kadang begitu sulit (Nigro dan Nigro dalam Tjokroamidjojo,
1994:81).
Merujuk pada konsepsi Easton sebagaimana yang dikutip Islamy
(1992:19) kebijakan yang berkaitan kepentingan publik adalah
pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota
masyarakat. Konsepsi ini menunjukkan bahwa pemerintah sajalah yang
secara sah dapat berbuat sesuatu kepada masyarakat atas kekuasaan
dalam sistem politik. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa
meskipun dalam kenyataannya lebih banyak karena adanya tuntutan
umum, kebijakan tidak muncul begitu saja. Abdul Wahab menyebutkan
bahwa tuntutan-tuntutan itu dapat bervariasi, mulai dari desakan
umum agar pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan mengambil
tindakan konkrit tertentu terhadap sesuatu masalah yang terjadi
(Wahab, 1997).
Kebijakan publik mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan
aktor kebijakan. Hanya saja, karena dimensi politiknya, tujuan kebijakan
sering dibuat untuk mencapai maksud dan kepentingan yang berbeda
dengan yang dirumuskan. Jika sebuah kebijakan merupakan upaya
memenuhi tuntutan atau kebutuhan sekelompok aktor atau pelaku,
maka boleh jadi di pihak lain akan ada aktor yang tidak dapat dipenuhi
aspirasinya. Bahkan seringkali terjadi sekelompok aktor yang lain tersebut
akan menjadi korban dalam arti yang sesungguhnya, karena mereka
8 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
mengeluarkan sumberdaya tertentu untuk melaksanakan sebuah
kebijakan namun tidak mendapatkan manfaat apapun darinya.
Dalam upaya meraih tujuan, sebuah kebijakan biasanya
menghendaki adanya pengerahan sumberdaya. Untuk itu sebuah
kebijakan lalu juga mengatur perilaku para aktor yang mesti terlibat
dalam implementasinya. Hal yang terakhir sering memaksa pemerintah
untuk mengubah tata nilai para individu atau aktor kebijakan melalui
berbagai cara. Dengan demikian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
selalu menyentuh ketiga aspek ini. Jika suatu kebijakan baru. menyentuh
aspek perilaku, maka pemerintah pasti akan merumuskan kebijakan
lain guna mengatur pengerahan sumberdaya maupun menyiapkan tata
nilai guna mengatur pengerahan sumberdaya maupun menyiapkan
tata nilai yang memungkinkan pelaku yang diatur oleh kebijakan itu
mematuhi kebijaksanaan, dan sebaliknya.
Kebijakan yang mengatur perilaku masyarakat itu biasanya dikenal
sebagai regulasi atau peraturan yang sifatnya spesifik, seperti misalnya
regulasi yang berkaitan dengan tertib lalu lintas. Sebagai negara hukum,
sebuah peraturan atau kebijakan regulatif yang dibuat oleh seorang
Kepala daerah seyogyanya harus selalu mengacu pada Undang-
Undang di atasnya sebagai payung hukum. Untuk kasus pengangkutan
hasil tambang, khususnya tambang batubara, aturan perundangan
yang berlaku adalah UU nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan
Pokok Pertambangan (yang kemudian diubah dengan UU Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Undang-
Undang tersebut secara spesifik (les specialis) menegaskan kewajiban
kepada setiap penguasah pertambangan batubara untuk membangun
jalan khusus angkutan batubara apabila ingin mengeksploitasinya
sebagai kegiatan ekonomi. Manakala regulasi itu berkaitan dengan
penggunaan jalan umum, maka rujukannya adalah Undang-Undang
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU Nomor 14 Tahun 1992).
Guna menjalankan kebijakan regulatif, pemerintah tidak
mengerahkan sumberdaya tertentu selain pegawai negeri dan atau
mesin birokrasinya untuk menekan kelompok sasaran agar mematuhi
regulasi. Namun demikian, dalam praktiknya seringkali terjadi bahwa
sekalipun tindakan kebijakan dirancang sedemikian rupa untuk
mencapai tujuan-tujuannya, tidak selalu tindakan tersebut dapat
9FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
mewujudkan semua kehendak kebijakan. Kecuali disebabkan oleh
lemahnya daya-antisipasi para pembuat kebijakan maupun desain
program dan proyek, terganggunya implementasi yang menjadikan
tidak tercapainya tujuan kebijakan mungkin juga karena pengaruh
dari berbagai kondisi lingkungan yang tidak teramalkan sebelumnya.
Oleh karena itu pemerintah selaku pembuat kebijakan senantiasa
berupaya agar tujuan kebijakannya tercapai.
Masalahnya adalah, sebuah kebijakan yang dibuat oleh seorang
kepala daerah juga mesti memperhatikan sebesar-besarnya kepentingan
rakyat (lihat UU nomor 32 tahun 2004) sehingga secara teoritis
perumusan kebijakan seyogyanya memperhatikan apa yang disebut
Dunn (1996) sebagai “agenda setting”. Dalam analisis “agenda set-
ting” mestinya telah terlacak dan diakomodir segala hal yang urgen
sebagai faktor dominan sehingga sebuah kebijakan harus dibuat. Dari
perspektif paradigma administrasi pembangunan faktor dominan yang
bersifat urgen tidak boleh terlepas dari isu pokok bahwa ia harus untuk
kepentingan rakyat. Dengan kata lain, dalam kaitan kebijakan
penggunaan jalan umum untuk jalur armada truk batubara itu pihak
penguasa mestinya mempertimbangkan aspek dampak sosial (juga),
selain alasan ekonominya.
Dari perspektif analisis dampak sosial, aspek yang perlu dinilai
minimal harus menyangkut tiga hal, yaitu: (1) secara vertikal
memetakan jenis-jenis dampak yang mungkin terjadi, (2) secara hori-
zontal melihat maupun memprediksi kecenderungan reaksi yang
diberikan oleh subyek yang terkena dampak tersebut, dan (3) secara
komprehensif merumuskan penyesuaian kebijakan yang harus
dilakukan oleh policy maker. Sebelum mengerjakan ini semua, analisis
harus membatasi alternatif kebijakan yang akan dievaluasinya. Sebab,
suatu kebijakan bisa memiliki alternatif yang tidak terbatas, yang tidak
mungkin dianalisis semuanya. Oleh karena itu, dalam analisis dampak
sosial perlu secara konseptual ditentukan alternatif kebijakan yang pal-
ing potensial untuk diimplementasikan.
Dalam sebuah proses pembuatan kebijakan ada sebuah tahap yang
sangat penting, yakni peramalan atau forecasting. Karena kebijakan
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi tertentu di masa depan, dan
10 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
usaha penciptaan itu akan terkait erat dengan perkembangan
lingkungannya (baik sebagai sasaran perubahan kondisi maupun
sekaligus sebagai penyedia sumber daya), maka peramalan merupakan
tahapan yang cukup krusial. Peramalan atau forecasting tersebut dapat
kita pandang sebagai suatu bentuk evaluasi, yakni evaluasi yang
dilakukan sebelum kebijakan ditetapkan atau dijalankan. Istilah lain
dari evaluasi semacam ini adalah estimating, assessment, prediksi atau
prakiraan. Evaluasi pada tahap pra-kebijakan ini dapat berupa prediksi
tentang out put kebijakan maupun dampaknya. Analisis dampak sosial
sebagai kerja intelektual harus bersifat empiris, tidak bias, rasional,
handal dan sahih. Analisis dampak sosial haruslah dilakukan secara
logika – empiris (Effendi, 1989).
Analisis mestilah bersifat empirik dalam arti bahwa penilaian yang
kita lakukan tidak boleh hanya bersifat spekulatif-hipotetik atau asumtif-
teoritik, melainkan mesti diuji atau dikuatkan dengan data atau
setidaknya hasil penelitian yang pernah dilakukan. Karena sebuah
analisis itu dilakukan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia yang
hasilnya nanti adalah sejumlah pilihan alternatif yang paling tepat atau
baik, maka pengambil kebijakan dituntut harus bersikap untuk
memihak atau bias terhadap salah satu alternatif. Hal itu
dimungkinkan terjadi karena setiap orang yang berperan sebagai
pengambil keputusan hampir selalu tergoda untuk bersikap subyektif,
padahal sejatinya mereka tidak menentukan atau memilih alternatif
mana yang dianggap baik menurut dirinya sendiri saja.
Seringkali Analisis Dampak Sosial membawa konsekuensi pada
diubahnya kebijakan yang dianalisis, meskipun tidak tertutup
kemungkinan untuk menguatkannya. Di Indonesia Analisis Dampak
Sosial (ADS) belum banyak dilakukan secara terbuka sehingga diketahui
oleh publik. Dalam kasus kebijakan penggunaan jalan umum untuk
jalur transportasi batubara sangat boleh jadi tidak ada analisis dampak
sosialnya. Padahal cara termudah untuk mempersempit alternatif
kebijakan dalam konteks analisis dampak sosial adalah dengan
menjawab pertanyaan “Aspek apa dan yang mengenai kelompok sosial
mana yang perlu dikaji?”. Di pihak lain dampak yang perlu dikaji perlu
diseleksi. Hal itu perlu digaris bawahi karena sebagaimana alternatif
11FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
kebijakan jumlah dampak juga bisa tak terbatas terutama dampak sosial
yang tidak langsung. Oleh karena itu analisis perlu memilih beberapa
dampak saja yang penting bagi tindakan pemerintah. Namun demikian,
sebuah analisis yang komprehensif perlu mengetahui sebanyak mungkin
dampak yang dapat terjadi, karena di masa mendatang dampak yang
tidak dicermatinya mungkin akan muncul.
Beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk memilih dampak yang
dijadikan fokus analisis adalah sebagai berikut (Finster Busch and Motz,
1980:94):
(1)peluang terjadinya dampak.
(2)jumlah orang yang terkena dampak.
(3)untung rugi yang diderita subyek dampak.
(4)ketersediaan data untuk melakukan analisis.
(5)relevansi terhadap kebijakan.
(6)Perhatian publik terhadap dampak tersebut.
Dalam hal ini dilihat teknologi apa yang dipakai dalam kebijakan
atau program tersebut dan bagaimana langkah-langkah
implementasinya. Dengan demikian, kajian terhadap isi kebijakan
tersebut selain dilakukan terhadap aspek teknologinya juga terhadap
aspek manajemen programnya. Setelah itu baru kemudian dianalisis
apa dampak fisik ekonomi yang secara teoretik (normatif) dapat terjadi.
Selain dampak fisik dan ekonomi juga perlu dianalisis dampak
lingkungan pada umumnya.
Langkah kedua adalah pendeskripsian dampak sosial dari
kebijakan tersebut. Jika pada langkah pertama telah dianalisis dampak
fisik dan ekonomi secara agak umum, maka dalam langkah kedua ini
secara spesifik dan rinci dianalisis dampak sosialnya. Dalam hal ini
ada dua kategori yang harus dianalisis, yakni unit terdampak (dalam
arti unit sosial yang terkena dampak) dan jenis atau aspek dampak
(dalam arti bidang kehidupan yang terkena dampak). Unit dampak
bisa terdiri dari individu dan keluarga, masyarakat (seluas RT, RW,
desa, kecamatan atau kota), organisasi dan kelompok sosial, serta
lembaga dan sistem sosial pada umumnya. Sementara itu aspek dampak
meliputi ekonomi, politik, dan sosial (dalam pengertian lingkungan
kehidupan sebuah komunitas).
12 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Langkah ketiga adalah menentukan respon individu maupun
kelompok yang menjadi unit dampak. Sikap mereka terhadap program
atau kebijakan secara keseluruhan dianalisis pada tahap ketiga ini.
Selain sikap unit terdampak, perlu dikaji pula sikap dari kelompok
pengguna atau pemanfaat program pada umumnya, dan juga sikap
pegawai dan pejabat pemerintah. Hal yang terakhir itu perlu dilakukan
karena bagaimanapun juga sikap dan pandangan mereka sebagai
pelaksana kebijakan seringkali tidak homogen. Setelah melihat sikap
kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan, analisis perlu melihat
adaptasi mereka terhadap kebijakan dan usaha yang harus dilakukan.
Informasi dari ketiga langkah tersebut di atas kemudian
dimanfaatkan untuk merumuskan beberapa tindakan penyesuaian
kebijakan (policy adjusments) yang dipandang perlu. Penyesuaian
kebijakan juga dimaksudkan untuk lebih merinci kebijakan seperti
bantuan terhadap terdampak (korban), menyediakan saluran kontrol
sosial, dan menambah fasilitas lain. Dari langkah keempat. ini dapat
memberikan umpan balik dan diakhiri dengan langkah kelima, yakni
membuat kesimpulan dan rekomendasi. Disini diberikan penjelasan
tentang kelebihan dan kekurangan beberapa alternatif kebijakan,
setelah itu diajukan saran-saran tentang penyempurnaan kebijakan.
Akhirnya, penyesuaian kebijakan bisa mengambil tiga buah
bentuk. Pertama, modifikasi kebijakan. Dalam hal ini pemerintah
disarankan untuk mengubah isi kebijakannya, antara lain yang
menyangkut aspek-aspek kegiatan program, syarat pelaksanaan,
prosedur dan jadwal implementasi, kelompok sasaran maupun
beneficiares, cara penguatan (enforcement) dan pertanggungjawaban
program. Kedua, spesifikasi kebijakan, dalam arti menjelaskan secra
lebih rinci berbagai aspek tersebut. Bentuk penyesuian yang ketiga
adalah suplementasi atau penambahan. Pemerintah disarankan untuk
memberikan fasilitas dan pelayanan tambahan agar kebijakannya lebih
sempurna.
Oleh karena itu pengamatan terhadap dampak kebijakan selain
harus dilakukan dengan kerangka berpikir kausalitas yang kritis dan
wawasan yang komprehensif juga harus dilakukan secara cermat.
Ketiga keharusan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Secara
umum paling tidak harus diperhatikan empat dimensi dampak yang
13FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
tak boleh diabaikan, yaitu (1) waktu, (2) selisih antara dampak aktual
dan diharapkan, (3) tingkat agregasi dampak dan, (4) jenis dampak
(Wibawa, 1993:26).
Suatu kebijakan dapat menimbulkan dampak segera maupun
dampak jangka panjang. Seorang analis kebijakan atau evaluator harus
menyadari hal ini, terurama untuk analisis yang dilakukan setelah suatu
kebijakan berjalan. Studi dimensi dampak seharusnya tidak dilakukan
lama setelah dampak terjadi karena ada kemungkinan dampak yang
yang dikira akan muncul pada jangka panjang ternyata muncul segera
setelah program berjalan. Jika penelitian terlambat dilakukan, maka
peneliti dampak akan kesulitan mencari data dan menelisik pengaruh
program yang diamatinya. Oleh karena itu analisis dampak tidak saja
dianjurkan untuk melihat efektivitas program atau suatu kebijakan yang
berkaitan dengan kepentingan publik, melainkan juga perlu melihat
berbagai dampak yang tidak diinginkan, dampak yang hanya sebagian
saja yang diinginkan dan dampak yang sama sekali bertentangan
dengan dampak yang diinginkan. Dampak juga bersifat agregatif,
dalam arti dampak yang dirasakan secara individual boleh jadi akan
merembes pada perubahan penilaian warga masyarakat lainnya di suatu
tempat.
Selain dimensi umum tersebut, menurut Weiss (dalam Wibawa,
1993) setiap peneliti dampak sebuah kebijakan juga harus
memperhatikan tiga persoalan lain. PertamaPertamaPertamaPertamaPertama, wilayah (scope) pro-
gram: apakah program berlingkup nasional, propinsi, kota, kecamatan
atau desa. KeduaKeduaKeduaKeduaKedua, ukuran program: berapa jumlah individu yang
dilayani untuk setiap satuan wilayah program. KetigaKetigaKetigaKetigaKetiga, kebaruan pro-
gram: apakah dampak yang diharapkan oleh program itu dianggap.
baru. Program yang menghendaki perubahan radikal biasanya disebut
program yang baru. Ketiga hal ini dapat mempengaruhi penampilan
suatu kebijakan.
B. 2. Metode PenelitanSecara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini merujuk pada prinsip-prisip penelitian deskriptif analisis studi kasus,
akan tetapi dalam teknis pelaksanaannya penelitian ini di maksudkan
14 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
sebagai upaya untuk memahami sebuah gejala tanpa bermaksud untuk
membangun atau menguji sebuah teori. Dimaksud dengan gejala di
sini adalah indikasi-indikasi dari bentuk dampak sosial karena angkutan
truk batubara diizinkan menggunakan jalan umum yang kebetulan
berdekatan dengan lokasi mukim penduduk; dan secara khusus dalam
hal ini penduduk di wilayah Kota Banjarbaru yang terdampak.
Dari persepektif penelitian deskriptif, model analisisnya memang
dimaksudkan untuk menggambarkan adanya hubungan antar variabel
atau faktor-faktor yang dominan dapat mempengaruhi kebijakan,
dalam hal ini adalah dampak sosial yang diterima warga masyarakat
yang dirugikan atas kebijakan selama ini. Namun demikian deskripsi
penelitian ini tidak sampai pada taraf menguji kesahihan hubungan
antar variabel.
Penelitian dilakukan dengan mengambil kasus di wilayah Kota
Banjarbaru yang menjadi jalur angkutan truk batubara di jalan umum,
yaitu sepanjang Jalan A. Yani sejak Batas Kota Banjarbaru sampai
Bundaran Simpang Empat, sepanjang Jalan Mistar Cokrokusumo hingga
pertigaan Jalan Trikora, dan sepanjang Jalan Trikora hingga Liang
Anggang; yang total jaraknya mencapai sekitar 15 km. Pengamatan
lapangan secara intensif dilakukan sejak awal tahun 2009, sedangkan
untuk pelaksanaan survai dan wawancara kepada kelompok
terdampak dilakukan pada bulan Juni-Juli 2009.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
terhadap kondisi jalan negara yang dilintasi armada truk batubara dan
kondisi pemukiman penduduk di sekitar lokasi jalan dimaksud.
Sedangkan wawancara dilakukan terhadap sejumlah penduduk sekitar
jalan yang diposisikan sebagai responden dalam penelitian ini.
Pemilihan responden dilakukan secara purposive melibatkan 68 warga
yang dengan kriteria rumah tinggalnya paling jauh 50 meter dari jalan
negara yang dilewati truk batubara. Meskipun secara teknis oknum
responden dipilih secara acak, namun karena pola acuannya kepada
sampel puposive, sebaran respondennya pun cenderung agak merata
mengikuti representasi jumlah rumah yang ada di pinggir jalan raya.
Meskipun responden yang dijadikan subyek penelitian adalah
individu, namun sebagai unit analisis ditetapkan bahwa yang
15FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
bersangkutan adalah harus kepala rumah tangga dan atau oknum
anggota rumah tangga yang patut dinilai layak mewakilinya. Itulah
sebabnya, dalam penelitian ini profil responden dikaitkan dengan sta-
tus maritalnya, meskipun kemudian diperoleh data bahwa sebanyak
22% responden justru belum menikah karena yang bersangkutan
merupakan anak tertua yang mewakili orangtuanya. Sedangkan
informasi yang berkaitan dengan pemilikan anak, mayoritas responden
memiliki anak usia balita dan bahkan 12 orang (17,6%) di antaranya
mengaku memiliki anak lebih dari dua orang. Pertanyaan yang
berkaitan dengan pemilikan anak itu dianggap penting karena
diasumsikan salah satu dampak truk angkutan batubara adalah
paparan debu yang berkaitan dengan penyakit ISPA yang biasanya
rentan diderita anak-anak dan balita.
Karena penelitian ini berkaitan dengan pendapat personal yang
didasarkan pada persepsi untuk menilai sebuah kebijakan, maka
dianggap penting latar belakang pendidikan formal dari responden
yang bersangkutan. Pada penelitian ini kemudian diperoleh data bahwa
latar pendidikan responden umumnya cukup memadai untuk dapat
menilai sebuah kebijakan karena mayoritas responden pendidikannya
minimal SLTA (57%). Bahkan 35% di antaranya mengaku lulusan
Perguruan Tinggi. Hal itu tampaknya relevan dengan informasi tentang
latar pekerjaan responden yang mayoritas bekerja di sektor formal.
Secara teknis wawancara dilakukan dengan merujuk pada daftar
pertanyaan (kuesioneri yang ditafsirkan) yang telah dibuat sebelumnya.
Dalam rangka memahami aspek sosial ekonomi yang lebih komprehensif
dari kebijakan digunakannya akses jalan umum sebagai jalur transfortasi
batubara itu, juga dilakukan wawancara secara terbatas kepada pengusaha
dan sopir truk batubara yang berkepentingan atas kebijakan tersebut;
dan kepada sejumlah pelaku ekonomi rakyat yang mengambil peluang
manfaat dari aktivitas sopir truk batubara.
Secara logika, Keputusan Gubernur Kalsel Nomor 119 Tahun 2000
diasumsikan sebagai titik mula munculnya dampak. Masalah tersebut
secara fisik bisa berupa kondisi lingkungan pemukiman penduduk yang
terimbas secara tidak langsung dari kasus lalu lalang armada truk
batubara; dan juga bisa berupa kondisi badan jalan yang menerima
16 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dampak langsung dari besarnya beban yang diberikan oleh ribuan truk
batubara yang melintas di atasnya. Perubahan lingkungan fisik itu bisa
diamati, misalnya berupa kerusakan badan jalan dan berapa kali
setahun pihak Pemerintah terpaksa harus memperbaiki badan jalan
yang rusak tersebut. Namun bagaimana tanggapan pihak terdampak
dan para pedampak sendiri hanya bisa dilakukan dengan wawancara;
dan items pertanyaan dalam kuesioner dianggap cukup memadai untuk
mengungkap fakta lapangan.
Dalam rangka mendeskripsikan secara cukup baik temuan
informasi di lapangan, data hasil penelitian yang berkaitan dengan
persepsi dan pendapat responden dianalisis secara kualitatif. Tetapi
ketika informasinya berkaitan dengan data kuantitatif, terutama untuk
variabel-variabel tertentu yang dianggap penting diketahui korelasinya,
maka deskripsinya merujuk pada hasil perhitungan statistik metode
tabulasi silang Chi-Kuadrat (X2) dalam bentuk Tabel Kontingensi untuk
mengetahui hubungan independensinya. Pilihan atas uji independensi
dengan metode Chi-Kuadrat ini didasarkan pada asumsi bahwa data
lapangan yang diperoleh cenderung berskala nominal dan frekuensinya
patut dikelompokkan dalam kategori yang diskrit (Siegel, 1986 dan
Dajan, 1986).
Sesuai dengan model studi kasus, deskripsi dari hasil pengamatan
menjadi dasar bahan wawancara kepada subyek tertentu, khususnya
pedampak, dan hasil wawancara itu dikonfirmasikan lebih lanjut
dengan data sekunder yang relevan. Untuk kelompok pedampak, dalam
penelitian ini yang diwawancarai adalah mereka yang bekerja sebagai
pengusaha yang bergerak dalam kegiatan eksploitasi tambang batubara
dan pengusaha truk angkutan batubara.
C. HASIL PENELITIANC. 1. Dampak Umum Angkutan Batubara
Secara umum, dampak negatif truk batubara yang melintas di jalan
umum di wilayah Kota Banjarbaru tidak berbeda dengan kasus di
daerah lain. Tetapi dalam hal dampak langsung yang menyebabkan
kerugian material dan jiwa manusia, secara khusus Kota Banjarbaru
cukup mengkhawatirkan. Seperti terlukis pada Tabel 1, data Kepolisian
17FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Resort Kota Banjarbaru menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas
selama tahun 2008 saja mencapai 24 kasus dengan jumlah korban
meninggal dunia 27 orang, luka berat 2 orang, luka ringan 32 orang
dan kerugian material Rp. 210.000.000. Sedangkan pada tahun 2009,
hingga bulan Juli 2009 jumlah kecelakaan lalu lintas sudah mencapai
19 kasus, dengan jumlah korban meninggal dunia 20 orang, luka ringan
ringan 11 orang dan kerugian materi sekitar Rp 28 juta.
Tabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubaraTabel 1. Kasus kecelakaan lalu lintas karena truk batubara
di Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbarudi Kota Banjarbaru
Sumber: Polresta Banjarbaru, 2009.
Rendahnya nilai kerugian material itu karena datanya berdasarkan
aturan normatif denda yang dikenakan oleh pihak kepolisian. Kerugian
material dimaksud tidak termasuk kasus “jalan damai” yang ditempuh
antara korban dengan pelaku yang lumrah dilakukan dalam kultur
masyarakat di Kalimantan Selatan.
Dari hasil pengamatan di lapangan dan dikonfirmasikan dengan
petugas kepolisian Kota Banjarbaru, rata-rata terjadi 2,3 kasus
kecelakaan di wilayah hukum kepolisian Kota Banjarbaru per bulan
yang terjadi karena berbagai sebab seperti misalnya pecah ban, truk
terbalik, truk tabrakan antar truk dan jenis mobil lainnya, atau karena
truk batubara menabrak pengendara sepeda motor. Namun demikian,
18 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
responden yang terlibat dalam penelitian ini ternyata tidak pernah
mengalami kasus sampai menjadi korban dari sejumlah kecelakaan
lalu lintas yang disebabkan armada truk batubara.
C. 2. Dampak Sosial Menurut Responden
Dampak sosial yang ingin dilacak dalam penelitian ini terutama
yang berkaitan dengan definisi operasional yang digunakan, yakni
ketidaknyamanan yang diterima oleh warga masyarakat (komunitas
tertentu) yang berkaitan dengan untung rugi ekonomi, kenyamanan,
kesehatan, dan rasa aman. Untuk aspek untung rugi ukurannya tidak
bisa dispesifikasikan karena tergantung pada tafsir yang digunakan
oleh subyek; seperti misalnya ketika yang bersangkutan merasa
dirugikan karena pernah melakukan perbaikan dinding rumahnya yang
retak karena diduga sebagai imbas getaran truk-truk batubara dan nilai
yang disampaikannya tentu saja tidak bisa dijadikan ukuran standar
untuk orang lainnya. Penilaian subyektif semacam itu juga diduga
dipengaruhi oleh bagaimana kondisi sosial lokasi mukim responden,
seperti tergambar pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim RespondenTabel 2. Lokasi Mukim Responden
Sumber : Data Survai. Penelitian
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden
dalam penelitian ini berada di rumah mandiri pinggir jalan. Responden
yang berada di rumah mandiri pinggir jalan yang menjadi jumlah
terbanyak dalam penelitian ini berada di sepanjang jalan Trikora.
Sedangkan responden yang bermukim di komplek perumahan antara
lain terdapat di Komplek Ratu Elok Banjarbaru. Adapun responden
yang bermukim di perkampungan tradisonal berada di kawasan
Kemuning Seberang, Guntung Manggis. Gambaran tentang lokasi
mukim responden tersebut memberikan prakondisi dari dampak sosial
19FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
yang dikeluhkannya, karena semakin dekat dengan jalan raya semakin
banyak keluhannya.
Bahkan untuk keluhan yang berkaitan dengan kerusakan
bangunan rumah akibat getaran armada truk batubara juga agak masuk
akal. Seperti terlukis pada Tabel 3, kelompok terbesar responden
bangunan rumahnya memang berupa tembok. Meskipun tak bisa diuji
kebenarannya, dugaan kerusakan tembok bangunan (retak) karena
getaran truk batubara yang bertonase besar dan jumlahnya ribuan yang
lalu lalang setiap hari selama sekian tahun sangat boleh jadi ada
benarnya juga.
Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.Tabel 3. Jenis Rumah Tinggal Responden.
Sumber: Data Survai Penelitian
Jarak bangunan rumah tinggal responden dari bahu jalan raya
yang jadi perlintasan truk batubara juga merupakan faktor penting
yang mempengaruhi keluhan responden. Data pada Tabel 4
menunjukkan bahwa jarak antara bangunan rumah tinggal responden
dari jalan raya perlintasan truk batu bara sebagian besar berada di
bawah jarak 50 meter dan karena itu sangat logis apabila merasakan
betul dampak keberadaan armada. truk batu bara.
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel 44444. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya. Jarak Rumah Tinggal Responden dari Jalan Raya
Sumber : Data Survai Penelitian
20 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Apakah jarak bangunan rumah responden dengan badan jalan
tempat perlintasan truk batubara menentukan dampak yang dirasakan
oleh warga masyarakat penghuni rumah pinggir jalan? Jawabannya
nyaris sama, YA. Tetapi untuk diketahui, tidak semua jalur jalan
memberikan dampak langsung berkaitan dengan kualitas badan jalan,
apakah seluruhnya beraspal atau sebagian masih berupa jalan tanah.
Di wilayah Kota Banjarbaru, jalan umum yang cukup lebar dan
lumayan baik kualitas badan jalannya adalah sepanjang Jalan A. Yani
(Batas Kota) dan Jalan Mistar Cokrokusumo; sehingga secara obyektif
responden pun tidak mengeluhkan paparan debu batubara, tetapi lebih
mengeluhkan kesulitan menyeberang karena arus lalu lintas menjadi
sangat padat. Sementara untuk penduduk sekitar Trikora dan Kemuning
amat merasakan dampak debu tersebut karena sebagian badan jalan
memang masih berupa tanah. Bagaimana korelasi antara lokasi
pemukiman dengan dampak langsung yang dirasakan dapat
digambarkan sebagaimana terlukis pada Tabel 5, dan dari perhitungan
analisis Chi-kuadrat diperoleh nilai korelasi Pearson sebesar 17,735 dan
pada tingkat kepercayaan 5% diperkirakan 91,4% frekuensi observasi
memiliki hubungan independensi.
Tabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan respondenTabel 5. Posisi mukim dan dampak yang dirasakan responden
Chi-Square Test:
Pearson Chi-Square: 17,735. Df=24, Signifikansi = 0,816.
21FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh informasi
yang berkaitan dengan keluhan yang sifatnya kualitatif bahwa
keberadaan armada truk batubara itu terutama menyebabkan rumah
mereka terpapar debu (91,7%) dan sisanya menduga paparan debu
batubara itu juga menjadi sebab penyakit ISPA yang pernah diderita
anggota keluarganya. Di luar kasus yang berkaitan dengan
ketidaknyamanan tersebut, keluhan umum dan nyaris sama adalah
adanya ketidaknyamanan dalam hal menyeberang jalan dikala armada
truk batubara sudah dalam formasi konvoi. Hal itu menjadi keluhan
berat karena acapkali mereka terkendala untuk mengantar anaknya
ke sekolah. Itulah sebabnya, rata-rata responden sangat setuju dengan
perberlakuan jam masuk kota untuk truk batubara hanya boleh mulai
pukul 17.00 WITA. Dan karena alasan seperti itu pula rata-rata
responden setuju apabila armada truk batubara itu dilarang saja
melewati jalan umum.
Apakah pendapat atau penilaian responden itu berkaitan dengan
latar belakang tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang
dimilikinya? Hasil analisis Chi-kuadrat memberikan gambaran bahwa
hubungan antara penilaian atas dampak langsung dari armada truk
batubara dengan tingkat pendidikan ternyata tidak signfikan (0,326) dan
hanya bernilai 13,621 dengan peluang independensi 75%. Memang
betul responden menilai buruknya dampak yang diterima oleh warga
masyarakat dari diberlakukannya regulasi untuk mengijinkan armada
truk batubara menggunakan jalan umum, namun tidak ada perbedaan
yang signifikan antara responden yang berpendidikan tinggi dengan
responden yang berpendidikan rendah. Demikian pula halnya dengan
analisis Chi-kuadrat untuk faktor latar belakang pekerjaan dengan
penilaian atas dampak negatif armada truk batubara, latar belakang
pekerjaan juga tidak signifikan (0,438) dan hanya bernilai 24,416 dengan
peluang independensi 85,7%.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa tingkat ketidakpedulian
warga masyarakat yang diwakili oleh responden tampaknya cukup
rendah dalam memperjuangkan aspirasi yang berkaitan dengan isu
pentingnya mengkritisi kebijakan pemberian ijin bagi armada truk
batubara untuk menggunakan jalan umum (dan bukan jalan khusus
sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang). Hal itu dibuktikan
22 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dari minimnya keterlibatan responden dalam memberikan masukan
kepada Pemerintah Daerah dan atau aparaturnya. Hanya 20%
responden yang pernah berinisiatif melakukan hal itu, selebihnya tidak.
Sedangkan alasan mengapa tidak melakukan inisiatif untuk
memberikan kritik atau saran itu beragam, sebagaimana terlukis pada
Tabel 6. Apapun alasannya, sesungguhnya memang tidak bisa
dipaksanakan munculnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pengawasan kebijakan publik. Bahkan ketika warga masyarakat
tersebut misalnya tidak merasakan dampak negatif dari sebuah
kebijakan; dan dalam kasus ini ada responden yang merasa bukan
masalah apabila kebetulan ada ban truk batubara meledak pecah karena
kelebihan beban (over loaded).
Tabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan SaranTabel 6. Alasan Responden tidak memberikan Kritik dan Saran
Sumber: Data Survai Penelitian
Masalahnya, bagi mereka yang telah melakukan inisiasi untuk
memberikan kritik dan saran itu ternyata hanya 15% di antaranya yang
merasa sarannya ditanggapi, dan itupun tanggapan informal dari
aparatur yang kebetulan telah dikenalnya. Sedangkan kritik dan sa-
ran yang disampaikan melalui media massa (surat kabar) tidak jelas
efektivitasnya. Bahkan ketika saran atau kritik itu disampaikan secara
lisan kepada anggota DPRD juga serupa. Sementara itu pengharapan
bahwa LSM bisa berperan aktif ternyata juga agak diragukan oleh
mayoritas responden, karena LSM di Kalimantan Selatan, dan
khususnya di Kota Banjarbaru, tidak terbukti kuat peranannya untuk
memberi pressure kepada Pemerintah Daerah yang memiliki otoritas
mengatur ijin penggunaan jalan umum untuk apa saja.
23FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
C. 3. Dampak Ekonomi dari Implementasi Kebijakan
Selain dampak negatif dari dipergunakannya jalan umum di Kota
Banjarbaru, juga berdampak positif bagi masyarakat. Dari pengamatan
di lapangan, penelitian ini juga menyasar beberapa indikator dampak
positif dari truk batubara tersebut; yang antara lain meliputi
terkondisinya kesibukan lalu lintas di jalur transportasi batubara dan
hal itu justru memberikan tambahan remunerasi (penghasilan) bagi
warga yang membuka warung pinggir jalan atau usaha jasa lainnya
seperti tambal ban dan perbengkelan,. terutama di jalan Trikora yang
menjadi jalan poros utama angkutan batubara di wilayah Kota
Banjarbaru. Sebagaimana tergambar pada Tabel 7, jumlah mereka yang
“ikut mengenyam” manfaat keberadaan armada truk batubara
melewati jalan umum cukup besar dan distribusinya menumpuk pada
pelaku ekonomi dengan status membuka usaha warung minum; yang
ketika diberlakukan pelarangan armada truk batubara menggunakan
jalan umum (sebagai implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2008)
akhirnya terpaksa tutup karena kehilangan pelanggan.
Tabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir trukTabel 7. Pelaku Ekonomi yang tergantung pada sopir truk
batubarabatubarabatubarabatubarabatubara
Sumber: Hasil Survai Penelitian
Catatan: A = warung minum
B = kios rokok serba ada
C = tambal ban
D = bengkel
E = kios ganti olie
Namun demikian, sebagian besar (75%) dari respoden yang tinggal
di sepanjang jalur jalan perlintasan truk batubara cukup yakin ketika
memberikan pendapat bahwa mereka tidak setuju, apabila dampak
24 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
positif dari angkutan batubara di jalan umum itu menguntungkan.
Memang benar bahwa keberadaan angkutan armada truk batubara di
jalan umum tersebut membuat suasana menjadi ramai oleh deru mesin
truk batubara, namun di sisi lain hal itu justru berakibat pada
menurunnya kenyamanan bagi warga untuk beristirahat. Itulah
sebabnya responden yang menyatakan setuju dengan indikator dampak
positif tersebut cukup kecil jumlahnya (19,00%); sedangkan yang
menyatakan tidak tahu sebanyak 17,00%
Diijinkannya armada truk batubara menggunakan jalan umum
memang memungkinkan dapat dipungutnya retribusi yang menjadi
sumber pendapatan asli daerah. Dalam skema itu, retirubusi dimaksud
dimasukkan dalam kelompok sumbangan pihak ketiga karena telah
menggunakan jalan umum yang dibangun pihak swasta; dan untuk Kota
Banjarbaru “jalan swasta” dimaksud dikelola oleh PT Sama Sentral
Swasembada yang berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemko
Banjarbaru dengan PT Sama Sentral Swasembada bernomor 05/XII/
KUM/2006 tentang pembangunan dan pemeliharaan Jalan Trikora
diberi otoritas untuk mengambil keuntungan dari pembangunan jalur
jalan Trikora sepanjang 6,800 kilometer dan pemeliharaan jalan
sepanjang 10,500 kilometer yang sudah hingga Landasan Ulin. Namun
hingga bulan juni 2009, Pemerintah Kota Banjarbaru ternyata tidak
menerima dana kontribusi truk angkutan batubara yang melewati jalan
Trikora itu selama empat tahun (sejak tahun 2004), yang diperkirakan
mencapai Rp 17.003.337.500. Rupanya sesuai perjanjian kerja sama
(yang berlaku Januari 2007-2013) antara Pemko Banjarbaru dengan
PT Sama Sentral Swasembada bernomor 05/XII/KUM/2006 pasal 1
ayat (4), PT Sama Sentral Swassembada selaku pihak investor diberi
kewenangan untuk memungut retribusi sebesar Rp 12.500,- per truk
angkutan batubara namun retribusi dimaksud dikompensasikan
menjadi kepemilikan jalur jalan yang dibangun oleh pihak investor
tersebut untuk akhirnya nanti menjadi milik Pemerintah Daerah.
Dampak negatif masuknya armada truk batubara ke dalam Kota
Banjarbaru praktis dirasakan semua orang dan pihak Pemda pun
berupaya mengakomodir aspirasi masyarakat. Salah satu kebijakan yang
kemudian dibuat oleh Pemerintah Kota Banjarbaru adalah dengan
25FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
dikeluarkan Surat Edaran dari Kepala Dinas Perhubungan Kota
Banjarbaru selaku Ketua Tim Penertiban Angkutan Khusus Batubara
pada tanggal 31 Januari 2003 yang ditujukan kepada pengusaha
Batubara, Semua Pemilik Angkutan Kendaraan bermotor Truck dan
Semua Pengemudi/Sopir Angkutan Khusus Batu bara adalah hasil
koordinasi antara Tim Penertiban Angkutan Barang/Batubara dengan
para pengusaha penambang batubara, yaitu PT. Baramulti Sugih
Sentosa,. PT. Sumber kurnia Buana, PT. Antang Gunung Meratus, PT
Bangkit Adhi Sentosa, PT Kadya Caraka Mulya, PT Dasa Eka Pratama,
serta perusahaan kontraktor Jl. Lingkar Selatan PT. SSS, maka terhitung
mulai tanggal 6 Pebruari 2003 truk angkutan khusus batubara dilarang
melintasi Kota Banjarbaru lewat jalan A.Yani ( dalam kota ) dan sebagai
alternatif solusinya lintasan angkutan truk batubara dialihkan ke Jalan
Soekarno-Hatta tembus samping kanan kantor harian Radar Banjarmasin.
Adapun regulasi yang berkaitan dengan syarat-syarat melintasi
jalan Soekarno-Hatta (jalan Trikora) terlebih dahulu yang harus
diperhatikan adalah:
1. Jenis angkutan berupa dum truk standar.
2. Batas tonase angkutan maksimal 5 ton dan tertutup terpal, diikat
kuat tidak sobek/bocor.
3. Iring-iringan (konvoi) dibatasai paling banyak 5 kendaraan dan
interval iringan minimal 5 menit.
4. Kecepatan maksimum adalam keadaan berisi 40 km/jam,
kecapatan maksimum dalam keadaan kosong 60 km/jam
5. Masa uji kendaraan yang dioperasikan masih berlaku
6. Jam pemberlakuan operasional adalah dari jam 16.00 wita sampai
06.00 wita pagi.
7. Tempat parkir kendaraan truk batubara sepanjang jalan
Soekarno-Hatta sampai batas akhir di pertigaan Jl. RO. Ulin,
sedangkan pemberangkatan dimulai pukul 18.00 wita menuju
jalan A.Yani ( samping kanan kantor harian Radar Banjarmasin).
Tetapi dari hasil pengamatan di lapangan ternyata syarat-syarat
yang diatur dalam regulasi tersebut di atas acapkali diabaikan oleh
para sopir truk batubara tanpa ada sanksi yang jelas dari pihak aparat
yang bertugas menegakkan aturan. Itulah sebabnya, sebagian besar
26 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
responden (75%) agak pesimis ketika ditanyakan bagaimana
pendapatnya berkaitan dengan efektivitas diberlakukannya PERDA
N0 3 tahun 2008 yang substansinya melarang penggunaan jalan umum
untuk armada truk batubara.
Walaupun masyarakat berpendapat bahwa rencana Gubernur
memberlakukan PERDA No 3 tahun 2008 terbilang sudah terlambat,
namun warga masyarakat umum justru menunjukkan persepsi positif
bahwa Perda No 3 Tahun 2008 Provinsi Kalimantan Selatan akan efektif
untuk mengatasi dampak negatif akibat penggunaan jalan raya untuk
angkutan truk batu bara (Tabloid URBANA, Nomor VIII edisi 03-10
Agustus 2009). Contohnya adalah pendapat anggota DPRD Kalsel,
Anang Rosadi, “Tidak ada alasan untuk tidak memberlakukan Perda
Kalsel 3/2008 yang memuat larangan bagi angkutan hasil tambang,
termasuk tambang batu bara, menggunakan jalan umum kecuali harus
lewat jalan khusus” (Banjarmasin Post, 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). 28 Februari 2009). Menurut
Wakil Rakyat yang dikenal sebagai pecinta lingkungan hidup itu, Perda.
Nomor 3 tahun 2008 tidak bertentangan dengan isi UU Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Untuk itu, larangan
angkutan hasil tambang harus tetap diberlakukan mulai Juli 2009,
sebagaimana dimaksud Perda 3/2008.
Pada kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pertambangan dan
Energi Kalsel, mewakili sikap Pemerintah Provinsi, berkeyakinan bahwa
Perda Nomor 3 Tahun 2008 tidak akan dibatalkan Pemerintah Pusat.
Perda tersebut adalah merupakan lex specialis (aturan yang bersifat
khusus) sehingga dapat mengesampingkan aturan yang bersifat umum
atau lex generalis. “Yang diizinkan oleh UU Minerba adalah jika angkutan
tambang yang melewati jalan umum itu sesuai standarnya dari segi
muatan,” ujarnya (Barito Post, edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). edisi Sabtu, 28 Februari 2009). Sedangkan
jalan di Kalsel masih berstandar kelas III sehingga hanya muatan
maksimal 8 ton saja yang diperbolehkan. Sedangkan angkutan hasil
tambang dan perkebunan yang melewati jalan di Kalsel umumnya
membawa muatan lebih dari 8 ton.
Pada Perda No.3/2008 pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa, setiap
angkutan hasil tambang dan perkebunan dilarang melewati jalan
umum. Sedangkan pada ayat (2) dinyatakan bahwa, setiap hasil
tambang dan hasil perkebunan harus diangkut melalui jalan khusus.
27FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Pada pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa, setiap orang yang
mengangkut hasil tambang dan perkebunan menggunakan jalan umum
diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp 50.000.000. Namun demikian perlu dicatat bahwa
mereka yang menolak pemberlakuan larangan ini boleh jadi akan
mencari berbagai pembenaran yang diantaranya adalah perlindungan
dibalik pasal 91 UU Minerba (UU No 4 Tahun 2009) yang berbunyi
“Pemegang IUP (Ijinkan Usaha Pertambangan) dan IUPK (Ijinkan
Usaha Pertambangan Khusus) dapat memanfaatkan prasarana dan
sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan” dan beberapa argumen
terkait dengan kemungkinan hilangnya berbagai kesempatan kerja yang
tercipta dari pengangkutan batubara lewat jalan umum.
D. KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Dengan diizinkannya penggunaan Jalan Umum sebagai jalur
transportasi armada truk batubara (berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kalsel No. 119/2000) secara sosial terbukti berdampak
negatif bagi warga masyarakat yang tinggal bermukim di sekitar
jalan umum tersebut; dan patut dinilai sebagai sebuah kebijakan
yang “merugikan sekali” bagi kenyamanan hidup warga
masyarakat. Hal yang paling dirasakan secara langsung oleh
warga masyarakat adalah ketidaknyamanan berlalulintas di jalan
umum karena cenderung dikuasai oleh truk batubara dengan
segala dampaknya, seperti: terpapar debu (debu jalanan dan debu
batubara), risiko terserempet, dan kesulitan mengakses jalan
(terutama ketika harus menyeberang jalan). Padahal tidak ada
kompensasi apapun yang diterima oleh mereka yang terdampak,
baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun pihak pengusaha
batubara (sebagai bentuk Corporate Social Responsibility
misalnya).
2. Kerugian sosial yang diderita oleh penduduk sekitar jalur truk
batubara, terutama warga masyarakat penghuni rumah yang
28 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
sangat dekat dengan jalan raya (kurang dari 25 meter) adalah
kebisingan dan kadangkala ada kasus pecah ban mobil truk yang
bisa membuat stres, ketidaknyamanan karena teras rumah
mereka terpapar debu jalan, dan kendati tidak terbukti signifikan
dalam penelitian ditengarai menjadi salah satu sebab sejumlah
penyakit ISPA yang dirasakan oleh responden.
3. Untuk dampak sosial yang secara ekonomi merugikan, dalam
penelitian ini tidak ada informasi yang cukup akurat. disampaikan
oleh warga masyarakat yang kebetulan terlibat sebagai responden
penelitian; namun dalam beberapa kasus terbatas ada warga
masyarakat yang mengaku dinding beton rumahnya cenderung
cepat retak dan diduga sebagai imbas dari getaran mobil truk
bertonase besar yang lalu lalang di depan rumahnya.
4. Kebijakan pemberian izin penggunaan jalan umum untuk jalur
transportasi batubara terbukti menguntungkan dalam pengertian
memberikan imbas yang amat signifikan terhadap dinamika
perekonomian rakyat di sepanjang jalur jalan angkutan batubara,
namun hal itu praktis hanya diakui oleh sopir truk batubara dan
sejumlah warga yang memanfaatkan situasi untuk membuka
usaha ekonomi berupa warung minum, jasa perbengkelan dan
jasa tambal ban.
5. Dengan dasar penilaian empirik atas dampak negatif armada
truk batubara di jalan umum, seratus persen warga masyarakat
yang jadi responden mendukung diberlakukannya Perda Kalsel
Nomor 3 Tahun 2008 (yang melarang penggunaan jalan umum
sebagai jalour angkutan truk batubara). Meskipun agak terlambat,
penerapan Perda nomor 3 tahun 2008 per tanggal 23 Juli 2009
oleh mayoritas respoden patut dinilai sebagai solusi atas
munculnya dampak negatif dari penggunaan jalan umum untuk
jalur transportasi truk batubara.
6. Pihak lain yang cenderung menolak diberlakukannya Perda
Nomor 3 Tahun 2008 adalah mereka yang merasa dirugikan
secara ekonomi, yakni: para pengusaha batubara, sopir truk, dan
pelaku ekonomi rakyat di sepanjang jalur jalan umum yang
digunakan untuk jalur angkutan.
29FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
DAFTAR. RUJUKAN
Ahmad, Ismet, 2008. Ekonomi Regional: Sebuah Pengantar. Program
Magister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.
__________, 2008. Politik Pembangunan Ekonomi: Konsepsi, Evolusi
dan Pengalaman Indonesia. Program Magister Sains
Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.
Budimanta, Arief dkk, 2008. Corporate Social Responsibility: Alternatif
Bagi Pembangunan Indonesia. ISCD, Jakarta.
Conyers, Diana, 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu
Pengantar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Dajan, Anto, 1986. Pengantar Metode Statistik (Jilid II). LP3ES, Jakarta.
Dye, R. Thomas, 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs,
Prentice Hall. New Jersey.
Hadi, Sudharta P., 1997. Aspek Sosial Amdal. Gadjah Mada Univer-
sity Press, Yogyakarta.
Islamy, M. Irfan, 1994. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara.
Bumi Aksara, Jakarta
Mansour Fakih, 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pamudji, 1995. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. PT Bumi
Aksara, Jakarta.
Von Benda-Beckmann, et.al. (ed), 2001. Sumberdaya Alam dan Jaminan
Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Riyadi, Soeprapto, 2000. Evaluasi Kebijakan Publik: Suatu Pendekatan.....
Universitas Negeri Malang, Malang,
Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.
Pustaka Fisip Unlam, Banjarmasin.
______________, 2007. Pemetaan Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat
Sekitar Tambang Batubara di Kalimantan Selatan.
Balitbangkessos, Banjarmasin.
30 FOCUS Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2011
Selingson, M.A & JT Passe-Smith, 1993. Development and Underde-
velopment: The Political Economy of Inequality. Lynne Rienner
Publishers, London.
Siegel, Sidney, 1986. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Solihin, Ismail, 2008. Corporate Social Responsibility: from Charity to
Sustainability. Penerbit Empat Salemba, Jakarta.
Suharto, Edi, 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta,
Bandung.
Wahab, Abdul Solichin, 1990. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi
ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. PT Bumi Aksara,
Jakarta.
Wibawa, Samodra, dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. PT Raja
Grafindo, Jakarta.
Winarno, Budi 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media
Pressindo, Yogyakarta.