11
CRITICAL REVIEW Monitoring morphological changes along the coast of Huelva (SW Spain) using soft-copy photogrammetry and GIS (Jurnal no. 57 - Coastal Conservation) Ojeda Zújar, J. ; Borgniet, L. ; Pérez Romero, A.M. & Loder, J.F. O L E H : HENDRI YANI SAPUTRA 3610100063 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER E V A L U A S I I P E R E N C A N A A N K A W A S A N P E S I S I R IV

Critical Review Evaluasi 1 PKP IV - PWK ITS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perencanaan Wilayah dan KotaFakultas Teknik Sipil dan PerencanaanInstitut Teknologi Sepuluh Nopember

Citation preview

CRITICAL REVIEW Monitoring morphological changes along the coast of

Huelva (SW Spain) using soft-copy photogrammetry and

GIS (Jurnal no. 57 - Coastal Conservation) Ojeda Zújar, J. ; Borgniet, L. ; Pérez Romero, A.M. & Loder, J.F.

O L E H :

HENDRI YANI SAPUTRA 3610100063

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

E V A L U A S I I

P E R E N C A N A A N K A W A S A N P E S I S I R IV

RINGKASAN JURNAL

“Pengamatan Perubahan Morfologi di Sepanjang Pesisir Pantai Huelva (SW Spain)

Menggunakan Fotogrametri dan GIS”

1. Gambaran umum Kawasan Studi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi yang terjadi pada pesisir

pantai Huelva, terutama perubahan fisik yang terjadi pada perbukitan gumuk pasir (sand

dunes) akibat aktivitas pada kawasan pesisir. Area pesisir yang akan diamati adalah

sepanjang 700 m pada kawasan perbukitan gumuk pasir antara permukiman Isla Cristina dan

La Antilla di sebelah barat provinsi Huelva (SW Spanyol), dekat dengan perbatasan Portugal.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, beberapa faktor penyebab perubahan morfologi pada

pesisir pantai Huelva diantaranya:

Kawasan pesisir ini umumnya memiliki pantai yang sangat dinamis akibat pengaruh

fenomena hidrodinamika dari Samudera Atlantik. Kondisi pantainya memiliki

ketinggian ombak dengan klasifikasi sedang, dimana 76% dari ombak memiliki tinggi

kurang dari 50 cm dengan rata-rata ketinggian 2,10 m. Namun kekuatan ombak ini

telah mampu mempengaruhi pergerakan

sedimen di sepanjang pantai, dimana sedimen

pada kawasan tersebut setiap saat terdorong

ke arah timur dengan kecepatan perpindahan

260.000 m3 setiap tahunnya.

Adanya gugusan perbukitan gumuk pasir

sekarang merupakan proses yang terbentuk

dari keberadaan dinamika atol atau barrier

island di sekitar wilayah perairannya sejak

abad ke 19. Saat itu pulau atol yang dulunya

terpisah dengan daratan utama telah menyatu

akibat proses pasang-surut dan sedimentasi

dari muara sungai (Sungai Guadiana, Piedras,

Carreras). Namun diantara muara sungai

terbentuk gumuk pasir dari hasil sedimentasi

yang pada akhirnya tersambung dengan pulau

atol mengurung air laut, sehingga

membentuk sebuah laguna (lagoon:

sekumpulan air asin yang terpisah dari laut

oleh penghalang yang berupa pasir, batu

karang atau semacamnya). Proses ini lebih

jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.

Akibat semakin pesatnya aktivitas manusia di

daerah aliran sungai, proses sedimentasi

muara sungai dan pembentukan laguna ini

Gambar 1. Ilustrasi proses sedimentasi dan

pembentukan laguna pada muara sungai

(Sumber: Ilustrasi, 2013)

terus berlanjut hingga air laut yang terperangkap pada kolam laguna mengalami

perubahan ekologi menjadi semacam rawa-rawa air asin. Pada awalnya kolam laguna

ini memiliki manfaat sebagai kawasan buffer yang melindungi kawasan daratan

bagian belakangnya dari laut lepas, serta sebagai drainase alami karena topografinya

yang relatif lebih rendah dari kawasan daratan dibelakangnya. Namun yang menjadi

masalah adalah beberapa dekade ini kolam laguna tersebut dimanfaatkan sebagai

lahan untuk kegiatan manusia dengan cara dikeringkan dan reklamasi. Hal ini tentu

dapat secara drastis berpengaruh pada dinamika dan morfologi pantai di sekitarnya.

Kawasan perbukitan gumuk pasir telah lama menjadi kawasan pinggiran yang

dianggap sebagai kawasan ekonomi marginal, terdapat sisa-sisa aktivitas seperti bekas

kawasan sentra pemancingan di Isla Cristina yang dibiarkan terlantar sejak tahun

1970-an. Sehingga diidentifikasi terdapat dua faktor utama penyebab perubahan

ekosistem secara perlahan akibat aktivitas manusia di kawasan ini, yaitu;

1. Peningkatan aktivitas pemancingan di Isla Cristina serta masalah tapak batas

negara dengan Portugal sebelum tahun 1970, hal ini menyebabkan kekacauan

pada implementasi rencana tata ruang kawasan dan berujung pada pembangunan

dermaga secara sepihak pada muara sungai Guadiana dan Carreras. Adanya

aktivitas dermaga ini akhirnya mengganggu proses perpindahan sedimen secara

alami pada pesisir pantai.

2. Pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti lapangan golf dan area

perkemahan sejak 1970 hingga 1990 di sekitar wilayah studi. Masalahnya yaitu

jalan terpendek menuju fasilitas tersebut adalah dengan melalui perbukitan gumuk

pasir yang terdapat di wilayah studi.

2. Kondisi perubahan morfologi pesisir terakhir (1979-1996)

Perubahan morfologi pesisir pada kawasan studi diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

1. Erosi Laut

Sejak pembangunan dermaga pada tahun 1970, keberadaannya telah mempengaruhi

proses perpindahan sedimen secara alami. Pada kawasan studi sendiri terjadi pengurangan

sedimen terutama di perbukitan gumuk pasir dalam jumlah besar dan telah dapat

diklasifikasikan sebagai erosi laut. Hasilnya adalah terjadi perubahan garis pantai secara lebih

drastis akibat keberadaan gumuk pasir sebagai tanggul alami yang semakin berkurang, Selain

itu perubahan topografi pesisir terjadi sangat drastis terutama saat terjadi badai akibat

sedimen pada perbukitan gumuk pasir yang sebagian besar terkena dampak erosi.

2. Proses Aeolian

Proses Aeolian adalah adalah aktivitas dan kemampuan angin untuk mengikis,

mengangkut, dan mengendapkan, bahan-bahan material di wilayah sedimen yang luas. Pada

kawasan studi, proses pembentukan gumuk pasir salah satunya adalah melalui proses

Aeolian, namun proses ini terganggu seiring dengan aktivitas pariwisata, terutama penurunan

jumlah vegetasi di kawasan studi. Terganggunya proses alami Aeolian ini mengakibatkan

perubahan srastis pada morfologi kawasan pesisir seperti perpindahan gumuk pasir akibat

arah dan kekuatan hembusan angin berubah, penurunan ketinggian gumuk pasir serta

semakin rapuhnya struktur gumuk pasir akibat semakin berkurangnya vegetasi hal ini

mengakibatkan gumuk pasir semakin mudah terkena erosi dari air laut.

3. Metode Penelitian

Untuk menyajikan hasil penelitian serta mengukur perubahan morfologi akibat proses

erosi laut dan Aeolian digunakan data dalam skala detail (1:1000). Perubahan morfologi

tersebut akan diukur dengan cara dan metode berikut:

1. Pemetaan gumuk pasir terluar sebagai referensi garis pantai pada lokasi studi.

2. Pengukuran perubahan permukaan atau topografi gumuk pasir terluar (akibat erosi)

dan bagian belakang (akibat perpindahan).

3. Pengukuran volume gumuk pasir, struktur serta evaluasi ketersediaan sedimen.

4. Analisis spasial perubahan ukuran, lokasi dan sebagainya dari gumuk pasir melalui

diagram dan overlay.

Meskipun pemetaan dengan tingkat kedetailan 1:1000 sangat jarang dilakukan pada

kawasan non-perkotaan seperti pesisir, namun data kontur yang tersedia telah memiliki

interval 1 m yang yang telah memberikan dasar planimetrik dan geometrik untuk GIS

(proyeksi tersebut UTM, koordinat adalah mereka UTM zona 29). Berikut data-data yang

digunakan:

Data Sekunder

1. Peta Topografi 1:1000 dari Kementerian Pekerjaan Umum (Ministry of Public Works)

yang sebelumnya digunakan untuk regulasi pesisir tahun 1989. Peta ini dibuat

berdasarkan survei lapangan menggunakan instrumen klasik seperti theodolit optik,

waterpass sehingga benbentuk format analog (hard copy). Untuk analisis lebih lanjut,

peta ini telah di-digitasi dan di-integrasikan ke dalam GIS.

2. Peta Topografi 1:1000 dari Andalusian Cartographic Institute yang dihasilkan dari

pemotretan udara secara stereo-plotting dan berbentuk format digital.

Data Penginderaan Jauh

Data/citra fotogrametrik atau aerial surveying (teknik pemetaan melalui foto udara)

yang tersedia sebanyak empat eksemplar. Seluruh peta fotogrametrik diambil pada musim

dingin karena merupakan critical point dimana iklim pesisir pada kawasan ini sangat rentan.

Berikut waktu-waktu dan skala pengambilan citra:

Februari 1979 1:10.000

April 1989 1:5000

Desember 1994 1:3000

Februari 1996 1:3000

Untuk melakukan integrasi geometris secara konsisten dari citra/foto udara ke dalam

GIS diperlukan pengolahan digital awal dengan menggunakan perangkat scanner dan

Software Desktop Mapping System 4.0. Software ini membantu perbaikan tilt

(kemencengan), rektifikasi/georeference serta distorsi visual, kemudian melakukan

klasifikasi multispektral berdasarkan band dan menghasilkan output berupa vektor dan

mosaik raster Digital Elevation Model (DEM) atau Digital Terrain Model (DTM).

Data Primer/Lapangan

Survei lapangan dilakukan dengan bantuan instrumen seperti Laser Rangefinders

Leica TC600 dengan 5 inch akurasi vertikal dan horizontal, akurasi jarak 3 mm ± 3 ppm dan

jangkauan operasi antara 1.1 dan 1600 m. Alat ini digunakan untuk menentukan titik kontrol,

jarak serta keperluan rektifikasi/georeferencing foto udara. Selain itu juga digunakan

instrumen GPS.

4. Hasil dan Interpretasi

Tingkat kemunduran garis pantai

Beberapa peta time series hasil pengolahan sebelumnya di-overlay kemudian

dilakukan pengukuran pada 3 zona di kawasan studi (Barat, Tengah, Timur), hasilnya yaitu

pada masing-masing waktu dan zona menunjukkan perubahan yang signifikan. Dimana

terlihat semakin meningkat aktivitas manusia diatas kawasan, maka perubahan garis pantai

semakin drastis terutama pada overlay peta-peta yang memiliki waktu setelah tahun 1990.

Selain itu juga ditemukan perbedaan tingkat erosi dari barat ke arah timur terutama diantara

tahun 1989 hingga 1994. Lebih jelasnya mengenai hasil analisis perubahan garis pantai dapat

dilihat pada tabel 1.1

No. Periode Zona Barat Zona Tengah Zona Timur

1 1979-1989 15 m (1.5 m/tahun) 10 m (1 m/tahun) 6 m (0.6 m/tahun)

2 1089-1994 20.5 m (4.5 m/tahun) 7.5 m (1.6 m/tahun) 3.5 m (0.7 m/tahun)

3 1994-1996 10 m (5.0 m/tahun) 12 m (6 m/tahun) 12 m (6 m/tahun)

Perubahan pada permukaan/lansekap

Hasil overlay dari peta topografi secara time series menunjukkan perubahan

permukaan/lansekap pesisir, dimana keberadaan perbukitan gumuk pasir serta vegetasi

menjadi obyek utama dalam perubahan bentuk lansekap kawasan studi. Hasil analisa ini di-

interpretasikan dalam 3 periode berikut ini.

1. Periode pertama (1979-1989) semua perubahan bentuk lansekap permukaan pesisir

diakibatkan oleh erosi laut, yaitu perubahan hanya terjadi pada bagian terluar gugusan

gumuk pasir yang membentuk garis pantai. Bagian belakang lansekap pesisir masih

tertutup vegetasi dengan baik dan tidak terjadi perubahan signifikan. Campur tangan

manusia masih sangat minim pada periode ini, hanya terdapat aktivitas pemancingan

di La Antilla dan Isla Cristina.

2. Periode kedua (1989-1994) perubahan lansekap pada bagian terluar gugusan gumuk

pasir semakin signifikan, namun perubahan ini terkonsentrasi pada zona sebelah barat

saja. Hal ini disebabkan karena periode ini adalah saat dimana fasilitas pariwisata

seperti area perkemahan pertama kali di buka, pengrusakan vegetasi mulai dilakukan,

sehingga fenomena perpindahan sedimen akiban proses alami Aeolian yang terganggu

mulai terjadi.

3. Periode ketiga (1994-1996) perubahan lansekap pada bagian terluar terjadi sangat

signifikan. Pada rentang periode ini perubahan terjadi 6x lebih cepat dibanding

periode pertama. Peubahan yang diakibatkan oleh erosi laut tidak terlalu berpengaruh

dan sama seperti periode sebelumnya, namun perubahan hanya terjadi akibat

perpindahan sedimen pada proses Aeolian.

No Periode Total area yang berkurang Total area yang bertambah

1 1979-1989 -6291 m2 (-629 m2/tahun) 0 m2 (0 m2/tahun)

2 1989-1994 -5574 m2 (-1238 m2/tahun) 1298 m2 (288 m2/tahun)

3 1994-1996 -2405 m2 (-2405 m2/tahun) 392 m2 (196 m2/tahun)

Kalkulasi volume dan ketersediaan gumuk pasir

Kalkulasi volume gumuk pasir dilakukan dengan menggunakan beberapa data topografi

dan fotogrametri sebelumnya yang kemudian diolah menjadi Digital Elevation Model

(DEM). Berikut representasi data DEM kawasan studi yang telah divisualisasikan dalam

bentuk 3D pada tahun 1989 dan 1994.

Gambar 2. Representasi DEM (Sumber: Jurnal)

Teknik interpolasi yang digunakan dalam membangun DEM tersebut adalah menggunakan

TIN (Triangular Irregular Network) yang dilakukan pada GIS, melalui kalkulasi volume

pada DEM tersebut didapat hasil sebagai berikut.

1. Tahun 1989 2686094 m3

2. Tahun 1994 2675713 m3

Hasil kalkulasi tersebut menunjukkan perubahan yang terjadi pada volume sedimen

gumuk pasir di daerah pesisir kawasan studi secara keseluruhan adalah -10381 m3 dari tahun

1989 hingga 1994, yang jika dirata-ratakan berarti terjadi pengurangan volume sedimen pada

gumuk pasir sebesar -2077 m3/tahun dan perubahan volume akibat erosi pada garis pantai

sebesar 2.6 m3/tahun.

Digital Elevation Model tersebut tidak hanya menunjukkan kuantifikasi pada jumlah

sedimen, namun juga dapat menunjukkan perubahan permukaan secara lebih detail melalui

visualisasi dan animasi/video secara 3D. Hasilnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Visualisasi 3D perubahan morfologi pada kawasan studi (Sumber: Jurnal)

Gambar 4. Animasi 3D perubahan morfologi pada kawasan studi (Sumber: Jurnal)

PEMBAHASAN

Ide Utama

Ide utama pada penelitian tersebut adalah melakukan pemodelan dinamika kawasan

pesisir pantai secara berkala untuk mengetahui dan memantau perubahan morfologi secara

fisik terutama pada kawasan studi yang tersusun oleh sedimen yang membentuk gugusan

gumuk pasir. Sehingga perubahan morfologi difokuskan untuk mengamati perubahan

lansekap, lokasi dan volume dari perbukitan gumuk pasir. Kemudian hasil pemodelan

tersebut di-interpretasikan untuk mengetahui penyebab perubahan fisik kawasan seperti

misalnya akibat aktivitas manusia dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi pada

periode-periode tertentu.

Analisa kekuatan dan kelemahan jurnal

Kekuatan dari pembahasan jurnal pada penelitian tersebut adalah penulis melakukan

penjabaran secara jelas metode penelitian dan jenis data serta cara memperolehnya, sehingga

reviewer dapat memahami alur dan tujuan penelitian cukup dengan membaca metode yang

dilakukan tanpa harus mengetahui tujuan dan sasaran penelitian secara detail. Selain itu

penulis juga menjabarkan proses pengolahan data sebelum melakukan analisa seperti proses

digitasi yang dilakukan pada data analog (hard copy) berupa Peta Topografi 1:1000 dari

Kementerian Pekerjaan Umum (Ministry of Public Works) hal ini menunjukkan bahwa

ketersediaan data untuk melakukan penelitian ini terutama data time series di masa lampau

cukup sulit didapat, namun penelitian ini berhasil melakukan komparasi data secara fair

meskipun jenis, sumber dan kualitas data masing-masing sangat berbeda. Seperti di Indonesia

sendiri, tantangan dalam melakukan penelitian berbasis time series yang utama adalah

ketersediaan data di masa lampau, dimana tantangan selanjutnya adalah melakukan

penyetaraan dengan data terkini.

Kelemahan dari jurnal tersebut adalah gambaran kawasan studi yang tidak terlalu

dijabarkan secara umum terutama dari segi aktivitas manusia dan perkotaan yang ada

disekitar kawasan tersebut. Seperti jarak dengan pusat kota terdekat, kondisi sarana dan

prasarana transportasi, kondisi penduduk setempat yang tidak dijelaskan diawal, sehingga

reviewer diawal menerka kondisi kawasan studi adalah kawasan terpencil yang jauh dari

aktivitas perkotaan, namun setelah disebutkan aktivitas yang pernah dilakukan seperti

pemancingan dan perkemahan hal ini menunjukkan bahwa kawasan studi telah memiliki

aksesibilitas yang baik. Kondisi penduduk setempat yang tidak dijelaskan juga menimbulkan

pertanyaan pada aktivitas pemancingan yang pernah dilakukan di lokasi studi, apakah

aktivitas tersebut juga dilakukan oleh nelayan setempat untuk menunjang ekonomi mereka

sebagai mata pencaharian, atau hanya sekedar aktivitas pariwisata.

Critical Review

Pada hasil pengamatan perubahan morfologi pesisir di lokasi studi, faktor yang

menyebabkan terjadinya perubahan morfologi secara garis besar adalah erosi laut dan proses

Aeolian, dimana kedua faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain terutama aktivitas

manusia. Namun dalam pembahasannya lebih menekankan pada perubahan secara fisik yang

sebenarnya sifatnya masih dependent oleh faktor lain.

Sumber data yang digunakan oleh penulis seperti peta topografi (analog) dari

Ministry of Public Works dan peta topografi (digital) dari Andalusian Cartographic Institute

sebagai data time series sangat membantu dalam proses analisa dimana skala yang digunakan

sangat detail, selain itu proses pengambilan data/survei juga dilakukan dengan metode yang

berbeda, dimana salah satu data didapat dengan cara pengukuran lapangan langsung

menggunakan instrumen klasik misalnya seperti theodolit optik karena data tersebut diambil

pada tahun 1989. Sedangkan data lainnya diambil dengan cara yang relatif modern

menggunakan pemotretan udara. Melalui kedua metode ini dapat dilakukan komparasi data

untuk meminimalisir kelemahan masing-masing metode. Namun data lainnya seperti citra

fotogrametrik tidak dijelaskan sumber dan metode survei yang dilakukan, hanya disebutkan

bahwa penulis telah memiliki 4 eksemplar citra fotogrametrik. Selain itu juga citra

fotogrametrik diambil pada musim dingin dikarenakan pada musim ini kondisi pesisir sangat

rentan, namun tidak dijabarkan lebih lanjut faktor apa saja yang membuat kondisi pesisir

menjadi rentan pada musim tersebut, misalnya kondisi angin, gelombang atau vegetasi yang

juga dapat dijadikan faktor dalam analisa perubahan morfologi apabila faktor perubahan

musim juga ternyata sangat mempengaruhi morfologi kawasan studi.

Proses kalkulasi dan tabulasi data sangat jelas, terutama pada perubahan garis pantai

dan permukaan/lansekap, dimana secara rinci dijabarkan besaran jarak dan luas yang berubah

secara periodik dan kuantitatif dalam bentuk tabel dan gambar. Selain itu representasi hasil

analisis menggunakan Digital Terrain Model (DTM) atau sekarang lebih populer disebut

Digital Elevation Model (DEM) telah sangat jelas hingga pembuatan animasi perubahan

morfologi secara periodik. Namun dalam proses pengolahan DTM tidak dijabarkan metode

yang digunakan seperti misalnya teknik interpolasi, dimana penulis hanya menyebutkan

menggunakan metode TIN (Triangular Irregular Network) padahal dalam pengolahan DEM

terutama pada skala detail metode interpolasi yang digunakan cukup berpengaruh pada hasil

dan kualitas DEM, ada cukup banyak metode interpolasi lain yang dapat digunakan

diantaranya sebagai berikut.

No Metode Interpolasi Keterangan

1 Inverse Distance

Weighted (IDW)

Mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat local

yang berkurang terhadap jarak. Metoda ini memberi bobot lebih tinggi pada sel

yang terdekat dengan titik data dibandingkan sel yang lebih jauh. Titik-titik pada

radius tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran untuk tiap lokasi.

2 Triangular Irregular

Network (TIN)

TIN adalah akronim dari Triangulated Irregular Network (Segitiga Tak Beraturan

yang Saling Berhubungan). TIN adalah sebuah metode interpolasi yang telah

banyak digunakan oleh komunitas pengguna GIS dari tahun ke tahun untuk

merepresentasikan morfologi permukaan dalam bentuk digital. TIN adalah

bentukan dari data yang berbasis vektor dan disambungkan oleh sebuah garis antar

titik – titiknya hingga tampaklah layaknya sebuah segitiga. Metode ini didasarkan

pada kriteria delauney triangle, yang mensyaratkan tidak adanya

ketumpangtindihan antara segitiga satu dengan segitiga yang lainnya.

3 Metode Spline

Adalah metoda interpolasi yang biasa digunakan untuk mendapatkan nilai melalui

kurva minimum antara nilai-nilai input. Metoda ini baik digunakan dalam

membuat permukaan seperti ketinggian permukaan bumi, ketinggian muka air

tanah, ataupun konsentrasi polusi udara. Kurang bagus untuk siatuasi dimana

terdapat perbedaan nilai yang signifikan pada jarak yang sangat dekat. Jika dipilih

metoda Spline maka ada pilihan tipe Regularized dan Tension. Regularized

membuat permukaan halus sedangkan Tension mempertegas bentuk permukaan

sesuai dengan fenomena model.

4 Topo ke Raster

Topo to raster adalah metode interpolasi yang dibuat secara spesifik untuk

membuat DEM dalam kajian hidrologi. Metode interpolasi ini berbasis pada

program ANUDEM, sebuah program yang dibuat oleh seorang bernama Michael

Hutchinson pada tahun 1988 hingga 1989. Metode ini sangat cocok untuk

digunakan dalam proses analisis yang berkaitan dengan aspek hidrologi.

Sumber: Modul GIS

Dalam menggunakan metode TIN, penulis tidak menjabarkan alasan serta kelebihan

dan kekurangannya dibanding metode lain dalam penelitian tersebut. Menurut reviewer

sendiri metode Topo to Raster dapat digunakan dalam penelitian ini, terutama metode ini

lebih akurat dalam pemodelan yang melibatkan aspek hidrologi seperti pada dinamika

kawasan pesisir.

PENUTUP

Kesimpulan

Beberapa point yang dapat disimpulkan dalam pembahasan critical review ini

diantaranya.

1. Ide utama pada penelitian tersebut adalah melakukan pemodelan dinamika kawasan

pesisir pantai secara berkala untuk mengetahui dan memantau perubahan morfologi

secara fisik.

2. Kekuatan dari pembahasan jurnal pada penelitian tersebut adalah penulis melakukan

penjabaran secara jelas metode penelitian dan jenis data serta cara memperolehnya.

3. Kelemahan dari jurnal tersebut adalah gambaran kawasan studi yang tidak terlalu

dijabarkan secara umum terutama dari segi aktivitas manusia dan perkotaan yang ada

disekitar kawasan tersebut.

4. Pembahasan pada artikel tersebut lebih menekankan pada perubahan secara fisik yang

sebenarnya sifatnya masih dependent oleh faktor lain

5. Pada data citra fotogrametrik tidak dijelaskan sumber dan metode survei yang

dilakukan, serta faktor pengambilan citra yang dilakukan hanya pada musim dingin.

6. Dalam proses pengolahan DEM tidak dijabarkan metode yang digunakan seperti

misalnya teknik interpolasi, dimana penulis hanya menyebutkan menggunakan

metode TIN (Triangular Irregular Network)

Saran dan rekomendasi

Penelitian yang dilakukan untuk memantau perubahan morfologi pesisir ini sangatlah

bermanfaat terutama untuk kegiatan perencanaan kawasan pesisir, dimana tugas planner

selanjutnya adalah menganalisis lebih lanjut penyebab perubahan morfologi tersebut,

terutama dari segi aspek aktivitas manusia dan penggunaan lahan disekitarnya agar dapat

ditemukan solusi penataan ruang kawasan pesisir yang lebih baik.

Di Indonesia sendiri penelitian pengamatan morfologi pesisir secara detail seperti ini

masih jarang dilakukan, padahal Indonesia memiliki karakter pesisir yang lebih beragam.

Misalnya pantai Parangtritis di Yogyakarta yang terkenal memiliki keragaman gumuk pasir

terbanyak di dunia, yang sebenarnya memiliki karakter yang sama dengan lokasi studi pada

penelitian ini. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengatahui dampak dari aktivitas

manusia di sekitar kawasan pesisir secara berkala, sehingga resiko bencana maupun

kerusakan lingkungan dapat diantisipasi lebih dini.