40
buletin tata ruang & pertanahan 5 Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah? Ir. Muh. Marwan, M.Si Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan Tantangan Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki Pengendalian Pemanfaatan Ruang: Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013 edisi II tahun 2013

BULETIN PWK

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BKPRN

Citation preview

  • buletin tata ruang & pertanahan 5

    Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan

    Akan Dilakukan

    BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah?

    Ir. Muh. Marwan, M.SiDirektur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri

    Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Konstribusi dan TantanganProf. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki

    Pengendalian Pemanfaatan Ruang:

    Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif

    Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.ScDirektur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

    Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada

    Peningkatan Kiprah BKPRN

    Dr. Ir. Max H. Pohan, CESDeputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013

    edis

    i II t

    ahun 2

    013

  • buletin tata ruang & pertanahan6

    Harmonisasi peraturan yang disusun oleh berbagai lembaga

    pengguna ruang telah selesai dikupas dalam Buletin Tata Ruang &

    Pertanahan Edisi I/2013. Berbagai langkah maju telah dilaksanakan

    oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), salah

    satunya dengan menginisiasi berbagai pertemuan koordinasi

    antarsektor yang kegiatan maupun aturannya saling terkait. Sampai

    dengan saat ini BKPRN sebagai badan yang awalnya dibentuk untuk

    menyelesaikan berbagai konlik antarsektor masih berjalan cukup

    baik dalam mengkoordinasikan berbagai kepentingan sektoral dan

    daerah.

    Tidak terasa, sudah hampir 25 tahun BKPRN berkiprah di Indonesia.

    Awalnya dibentuk pada Tahun 1989 dengan nama Tim Tata Ruang,

    Tim ini kemudian bertransformasi menjadi BKTRN dan kemudian

    BKPRN. Sampai dengan saat ini, peran dan tujuan pembentukan

    Tim Tata Ruang tetap konsisten. Koordinasi dan resolusi konlik

    masih menjadi area utama Tim Tata Ruang di masa lalu dan BKPRN

    di masa kini. Namun, bagaimana dengan efektivitasnya? Meningkat

    ataukah justru berkurang?

    Selain BKPRN yang berkiprah di Pemerintah Pusat yang

    mengkoordinasikan berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah

    daerah dituntut pula membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang

    Daerah (BKPRD) untuk menjalankan fungsi yang sama di daerah.

    Bedanya adalah, BKPRD bertugas mengkoordinasikan Satuan Kerja

    Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyelesaikan masalah koordinasi

    lokal dan juga konlik antarsektor yang menjadi urusan pemerintah

    daerah. Baik BKPRN maupun BKPRD adalah badan pemerintah

    yang bersifat ad-hoc yang dibentuk berdasarkan keputusan

    pimpinan tertinggi pemerintahan. Bentuk yang bersifat ad-hoc serta

    jalur komunikasi yang tidak formal dan hirarkis antara BKPRN dan

    BKPRD dapat menjadi kekuatan maupun juga kekurangan kedua

    lembaga koordinasi ini. Bagaimana tanggapan para pelaku di masa

    lalu dan saat ini tentang kondisi tersebut?

    Menyambut 25 tahun BKPRN, Buletin Tata Ruang & Pertanahan

    mengangkat tema Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya

    Pengembangan yang Telah dan Perlu Dilakukan. Fokus diskusi

    utama adalah koordinasi penataan ruang di Indonesia sejak

    Tahun 1989 sampai dengan Tahun 2013 dengan narasumber

    Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Ir. Herry Darwanto dan Dr. Ir.

    Abdul Kamarzuki. Diskusi diantara ketiga narasumber tersebut

    menarik untuk disimak karena mewakili tiga periode yang berbeda

    dalam koordinasi penataan ruang nasional. Selanjutnya, untuk

    mewakili perdebatan hangat pembagian peran BKPRN dan BKPRD,

    wawancara kali ini menghadirkan Dr. Muh Marwan (Dirjen Bina

    Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri) dengan

    topik Sinergikah BKPRN dan BKPRD?. Selain itu, topik penting

    lainnya yang diangkat dalam edisi kali ini adalah Pengendalian

    Pemanfaatan Ruang yang menjadi langkah strategis berikutnya

    setelah penyusunan rencana tata ruang berhasil ditetapkan. Materi

    ini diulas secara komprehensif oleh Dr. Basoeki Hadimoeljono

    (Dirjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum).

    Seperti halnya pada edisi-edisi sebelumnya, keseimbangan

    isi antara Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan selalu

    dipertahankan. Untuk edisi kali ini, Rubrik Ringkas Buku, Koordinasi

    dan Kajian akan diisi oleh Bidang Pertanahan dengan materi Bank

    Tanah, Kegiatan Reforma Agraria Nasional, dan Arah Kebijakan

    Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019. Tidak lupa berbagai

    kegiatan penting yang telah dilakukan sejak pertengahan Tahun

    2013 sampai dengan akhir Tahun 2013 tetap kami hadirkan,

    termasuk juga perkenalan perdana dari Direktur Tata Ruang dan

    Pertanahan yang baru. Selamat datang Pak Oswar ke dalam

    Keluarga Besar Tata Ruang dan Pertanahan.

    Selamat membaca kepada seluruh penerima Buletin ini, saran

    untuk perbaikan tetap kami tunggu! [ma].

    susunan redaks

    i

    pelindung

    penanggung jawab

    pemimpin redaksi

    dewan redaksi

    editor

    redaksi

    desain & tata letak

    distribusi & administrasi

    Deputi Bidang Pengembangan

    Regional dan Otonomi Daerah

    Direktur Tata Ruang dan Pertanahan

    Mia Amalia

    Dwi Hariyawan S

    Uke M. Hussein

    Nana Apriyana

    Rinella Tambunan

    Khairul Rizal

    Hernydawati

    Santi Yulianti

    Aswicaksana

    Agung Dorodjatoen

    Rafli Noor

    Gina Puspitasari

    Indra Ade Saputra

    Idham Khalik

    Dodi Rahadian

    Sylvia Krisnawati

    Redha Soiya

    Cindie Ranotra

    Riani Nurjanah

    Octavia Rahma Mahdi

    Chandrawulan Padmasari

    Gita Nurrahmi

    Hadian Idhar Yasaditama

    Dea Chintantya

    alamat redaksi

    Direktorat Tata Ruang dan

    Pertanahan, Kementerian PPN/

    Bappenas

    Jl. Taman Suropati No. 2

    Gedung Madiun Lt. 3

    Jakarta 10310

    021 - 392 66 01

    [email protected]

    http://www.trp.or.id

    dari redaksi

  • buletin tata ruang & pertanahan 1

    edis

    i II t

    ahun 2

    013

    Membangun Kelembagaan Penataan Ruang: Upaya Pengembangan

    Kelembagaan Penataan Ruang yang Telah dan Akan Dilakukan

    BKPRN dan BKPRD: Sudah Sinergikah?

    Ir. Muh. Marwan, M.SiDirektur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri

    Menjelang 25 Tahun BKPRN (1989-2013): Kontribusi dan Tantangan

    Prof. Dr. Herman Haeruman, Dr. Herry Darwanto, Dr. Abdul Kamarzuki

    Pengendalian Pemanfaatan Ruang:

    Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Efektif

    Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc.Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

    Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada

    Peningkatan Kiprah BKPRN

    Dr. Ir. Max H. Pohan, CESDeputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013

    Sosialisasi Peraturan Pemerintah

    Permen PU No.1 Tahun 2013Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan Substansi dalam Penetapan Raperda tentang RTR Kab/Kota

    Inpres No.8 Tahun 2013Penyelesaian Penyusunan RTRWP & Kab/Kota

    daftar isi

    melihat dari dekat

    dalam berita

    ringkas buku

    kajian

    koordinasi trp

    1

    16

    18

    20

    22

    27

    2

    4

    12

    14

    25

    daftar isi

  • buletin tata ruang & pertanahan2

    Kelembagaan dalam penataan ruang menjadi elemen penting

    dalam penyelenggaraan penataan ruang. Koordinasi menjadi kata

    kunci penting untuk mengatasi berbagai kendala kelembagaan.

    Sebagai Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian

    Dalam Negeri, Dr. Muh. Marwan, M.Sc. menjelaskan kepada

    Redaksi Buletin TRP bagaimana upaya sinergis Badan Koordinasi

    Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Badan Koordinasi Penataan

    Ruang Daerah (BKPRD) dalam penyelenggaraan penataan ruang,

    termasuk tantangan dan kendala yang dihadapi. Berikut hasil

    wawancara Redaksi:

    Koordinasi antar lembaga menjadi sangat penting dalam

    pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor.

    Sebenarnya, apa urgensi dibentuknya BKPRN dan BKPRD?

    Penataan ruang merupakan kegiatan strategis dan bersifat

    multidimensional, multifungsional dan multisektoral sehingga

    dalam penyelenggaraannya harus ditangani secara terpadu oleh

    berbagai instansi di pusat maupun di daerah yang memiliki tugas

    dan fungsi koordinatif. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mendesentralisasikan 26

    urusan wajib yang salah satu diantaranya adalah Urusan Penataan

    Ruang, dan delapan urusan pilihan kepada daerah. Sesuai UU No.

    26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah berwenang

    dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, pemerintah

    provinsi berwenang dalam penyelenggaraan penataan ruang

    provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam

    penyelenggaraan penataan ruang kabupaten/kota.

    Dalam implementasi kebijakan penataan ruang, peran antar

    pemerintahan yang dilakukan secara bersama dengan prinsip

    kongruen diperlukan untuk mewujudkan keterpaduan dan

    keserasian penyelenggaraan penataan ruang nasional dan

    daerah. Atas dasar tersebut, Pemerintah telah membentuk BKPRN

    melalui Keppres No. 4/2009 tentang BKPRN. Di daerah dibentuk

    BKPRD sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri

    (Permendagri) No. 50/2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan

    Ruang Daerah, seperti terlihat pada Gambar1.

    Dengan dibentuknya BKPRD, Menteri Dalam Negeri bertugas

    untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan penataan

    ruang berkaitan dengan peningkatan kapasitas kelembagaan

    penataan ruang dan penyelenggaraan penataan ruang di tingkat

    provinsi maupun kabupaten/kota. BKPRD ini sangat penting, karena

    mempunyai peran strategis untuk mengawal proses penyusunan

    hingga penetapan Perda RTRW serta mengawal implementasi

    pelaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang pasca

    penetapan Perda RTRW.

    Perda RTRW adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan

    kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan yang harus ditaati

    dan dilaksanakan oleh berbagai sektor secara konsisten. Setiap

    pelanggaran akan dikenakan sanksi, baik sanksi administrasi

    maupun sanksi pidana. BKPRN maupun BKPRD mempunyai tugas

    dan peran yang sangat penting dalam mengawal dan memberikan

    rekomendasi alternatif penyelesaian apabila ada permasalahan

    pemanfaatan ruang yang timbul di lapangan, baik di tingkat

    nasional maupun di tingkat daerah.

    Dengan perannya yang cukup strategis, sejauh ini bagaimana

    efektivitas kinerja BKPRN dan BKPRD?

    Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian

    Dalam Negeri (Kemendagri) sampai awal November 2013, seluruh

    provinsi pada prinsipnya sudah membentuk BKPRD. Dari 33

    provinsi, 30 provinsi sudah merevitalisasi BKPRD sesuai dengan

    amanat Permendagri No. 50/2009, dan tiga provinsi yang belum

    merevitalisasi BKPRD-nya yaitu Sulawesi Barat, NTT, dan Papua

    Barat.

    Walaupun sudah hampir seluruh provinsi membentuk BKPRD,

    BKPRD belum berhasil mendorong penetapan Perda RTRW Provinsi

    dan RTRW Kab/Kota tepat pada waktunya. Sampai awal Bulan

    November 2013, dari 33 Provinsi di Indonesia, baru 18 Provinsi

    yang telah menetapkan perdanya, dan dari 491 kabupaten/kota

    di seluruh Indonesia, 322 kabupaten/kota yang telah menetapkan

    perdanya. Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang telah

    waw

    ancara

    BKPRN dan BKPRD:

    Sudah Sinergikah?

    Ir. Muh. Marwan, M.SiDirektur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri

    Saat ini, upaya penguatan kelembagaan penataan ruang, baik di nasional maupun di daerah terus dilakukan

    untuk menjamin keberlanjutan implementasi produk-produk penataan ruang. Kelembagaan penataan ruang

    yang kuat dipercaya untuk mendukung penyelenggaraan penataan ruang yang baik, dengan didukung

    kuantitas dan kualitas aparat yang kompeten. Peningkatan kapasitas kelembagaan penataan ruang perlu

    dilakukan secara terus menerus mengingat dinamika perubahan sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan

    bernegara dan bermasyarakat yang sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan penataan

    ruang.

    BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG

    Implikasi dan Pemendagri tersebut adalah penetapan

    Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD)

    Provinsi dan Kabupaten/Kota di masing-masing daerah

    BKPRN

    BKPRD

    PUSAT

    DAERAH

    Keputusan Presiden No. 4

    Tahun 20009 tentang Badan

    Koordinasi Penataan Ruang

    Nasional.

    Pemendagri Nomor 50

    Tahun 2009 tentang Badan

    Koordinasi Penataan Ruang

    Daerah.

    Gambar 1 Dasar Pembentukan BKPRN dan BKPRD

  • buletin tata ruang & pertanahan 3

    dilakukan oleh Ditjen Bina Pembangunan Daerah, keterlambatan

    penyusunan dan penetapan Raperda RTRW Provinsi dan

    Kabupaten/Kota disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

    1. Lamanya proses penetapan usulan perubahan peruntukan dan

    fungsi kawasan hutan;

    2. Masih terbatasnya sumberdaya manusia pemerintah daerah

    yang kompeten dalam penyusunan RTRW Provinsi dan

    Kabupaten/Kota;

    3. Kurang optimalnya peran BKPRD dalam proses penyusunan

    RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan

    4. Lamanya pembahasan dengan DPRD yang sering memakan

    waktu cukup lama.

    BKPRN dan BKPRD, keduanya merupakan badan ad-hoc yang

    memiliki fungsi koordinasi, tapi dalam pelaksanaan fungsinya

    BKPRN jauh lebih aktif dibandingkan BKPRD. Bagaimana

    sebenarnya pola hubungan kelembagaan, baik secara

    struktural maupun fungsional antara BKPRN dan BKPRD?

    Dalam rangka menggali isu strategis di Bidang Penataan Ruang,

    secara hirarkis dijaring melalui pendekatan bottom-up yaitu

    dimulai dari forum pertemuan yang diselenggarakan oleh BKPRD

    Kabupaten/Kota yang dilaporkan ke BKPRD Provinsi untuk

    selanjutnya dibahas dalam forum Rakernas BKPRD.

    Beberapa isu strategis yang telah diformulasikan dalam Rakernas

    BKPRD kemudian dipertajam dalam Raker Regional yang dibagi

    menjadi Raker Regional Barat dan Raker Regional Timur. Hasil

    pelaksanaan Raker ini akan menjadi isu strategis yang harus dicari

    solusi penyelesaiannya dalam Rakernas BKPRN untuk kemudian

    menjadi agenda dan program kerja kementerian terkait BKPRN.

    Tindak lanjut dari BKPRN akan menjadi embrio program dan

    agenda kerja kegiatan dua tahun kedepan yang akan dilaksanakan

    oleh pemerintah daerah baik oleh Pemerintah Provinsi dan/atau

    Kabupaten/Kota. Mekanisme konsolidasi isu-isu strategis penataan

    ruang dapat dilihat pada Gambar 2.

    Dalam perjalanannya, tantangan krusial yang masih dihadapi

    BKPRN dan BKPRD, antara lain adalah kurang sinerginya langkah

    kerja antar kementerian/lembaga anggota BKPRN dan SKPD

    anggota BKPRD. Penyebab utamanya adalah belum ditetapkannya

    mekanisme dan tata kerja internal BKPRN serta hubungan kerja

    antara BKPRN dengan BKPRD, sehinggapenyelenggaraan penataan

    ruang belum dapat terselenggara secara optimal.

    Dalam hal penyelenggaraan penataan ruang daerah, hasil

    pemantauan dan evaluasi yang dilakukan Ditjen Bina Pembangunan

    Daerah menunjukkan bahwa kinerja BKPRD sebagai badan ad-hoc

    yang berfungsi membantu pelaksanaan tugas Gubernur dan Bupati/

    Walikota dalam koordinasi penataan ruang di daerah belum optimal.

    Penyebab utama BKPRD belum optimal adalah:

    1. Masih tumpang tindihnya peraturan perundangan dan fungsi

    antar institusi;

    2. Belum rincinya pedoman dan tata kerja organisasi,

    3. Belum ada dukungan pendanaan yang signiikan,

    4. Masih banyaknya pihak yang tidak memandang penting BKPRD;

    5. Belum adanya mekanisme reward and punishment sehingga

    daerah tidak terpacu untuk mengefektifkan peran BKPRD; dan

    6. Masih rendahnya kapasitas sumberdaya manusia daerah

    khususnya terkait dengan penguasaan materi Bidang Penataan

    Ruang.

    Bagaimana upaya perbaikan yang perlu dilakukan, khususnya

    untuk meningkatkan kapasitas BKPRD?

    Dalam konteks hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD, perlu

    disusun mekanisme hubungan kerja antara BKPRN dan BKPRD

    dalam upaya mensinergikan program kerja kedua lembaga

    tersebut agar peran dan fungsinya optimal dalam melakukan

    koordinasi penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah

    khususnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan penataan

    ruang lintas sektor, lintas daerah dan lintas wilayah.

    Dalam penyelesaian konlik permasalahan pemanfaatan ruang yang

    memerlukan rekomendasi dari BKPRD, diperlukan peningkatan

    peran BKPRD agar BKPRD dapat melaksanakan tugasnya secara

    lebih efektif. Upaya ini dilakukan agar setiap konlik pemanfaatan

    ruang yang terjadi di daerah tidak harus dibawa sampai pada

    tingkat BKPRN karena penyelesaian permasalahan pemanfaatan

    ruang dilaksanakan sesuai dengan kewenangannya.

    Dalam rangka mengoptimalkan peran BKPRD untuk percepatan

    penyelesaian Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota dan

    penyelesaian permasalahan penyelenggaraan penataan ruang, telah

    dilakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya memantapkan

    kelembagaan penataan ruang daerah. Beberapa diantaranya adalah

    menyusun mekanisme dan tata kerja (SOP) BKPRD, pengembangan

    data dan informasi, peningkatan kualitas aparatur pemerintah

    daerah, dan pemberian reward and punishment di Bidang Penataan

    Ruang. Saat ini, Kemdagri melalui Ditjen Bina Pembangunan Daerah

    sedang menyusun Pedoman Tata Kerja BKPRD tersebut.

    Selain itu, dilakukan upaya revitalisasi dan pembentukan

    BKPRD sesuai amanat Permendagri No. 50/2009 serta

    memberdayakan BKPRD yang diarahkan tidak hanya untuk

    keperluan pemecahan berbagai Masalah Penataan Ruang tetapi

    juga untuk pengembangan kelembagaan penataan ruang yang

    lebih utuh di daerah, dan yang mempunyai agenda kerja yang baik.

    Kelembagaan yang telah dibentuk, perlu didukung dengan upaya

    peningkatan kapasitas sumberdaya manusia daerah khususnya di

    Bidang Penataan Ruang, dan penyediaan sarana, prasarana, serta

    data dan informasi penataan ruang secara komprehensif.

    Hal krusial untuk menjamin efektivitas BKPRD adalah komitmen

    Kepala Daerah untuk mengalokasikan anggaran APBD-nya

    masing-masing untuk operasionalisasi pelaksanaan tugas BKPRD.

    Dalam hal ini Sekretariat BKPRD mempunyai peran penting untuk

    menyusun program kerja BKPRD dan kebutuhan anggarannya

    untuk selanjutnya diintegrasikan dengan rencana pembangunan

    daerah baik untuk rencana pembangunan jangka pendek (tahunan)

    maupun rencana pembangunan jangka menengah.

    Gambar 2 Mekanisme Konsolidasi Isu-Isu Strategis Penataan Ruang

    MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS

    PENATAAN RUANG

    MEKANISME KONSOLIDASI ISU-ISU STRATEGIS

    PENATAAN RUANG

    BUPATI /

    WALIKOTA

    12 3

    4a

    4b

    5

    6

    RekomendasiR ekomendasi

    Input/masukan

    Input/masukan

    GUBERNUR

    AgendaBKPRNProvinsi

    RakerBKPRN

    IsuStrategis

    ProgramKerja

    RakerRegionalBKPRN

    RakernasBKPRN

    Tindak LanjutKementerian/

    Lembaga

    AgendaBKPRN

    Kab/Kota

    RakerRegionalBKPRN

  • buletin tata ruang & pertanahan4

    Lembaga

    Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan

    forum koordinasi penataan ruang yang dibentuk melalui Keputusan

    Presiden No. 2/2009 sebagai pengembangan dari forum

    sebelumnya yang bernama Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang

    Nasional yang dikenal dengan sebutan Tim Tata Ruang pada

    Tahun 19891 yang kemudian diubah menjadi Badan Koordinasi

    Tata Ruang Nasional (BKTRN) pada Tahun 19932 yang kemudian

    diubah keanggotaannya pada Tahun 20003. Komposisi keanggotaan

    BKPRN ini bertahan sampai dengan Tahun 20094 (Abdul Kamarzuki

    (AK)).

    Tujuan utama Tim Tata Ruang, BKTRN dan BKPRN adalah untuk

    melaksanakan pembangunan nasional secara terkoordinasi

    dan menangani masalah pemanfaatan ruang bagi keperluan

    pembangunan. Dampak akhir yang diharapkan adalah sinerginya

    penggunaan ruang oleh berbagai sektor (Herry Darwanto (HD)).

    Pada saat yang sama, di pusat, BKTRN berfungsi untuk koordinasi

    lintas sektor dalam penggunaan ruang, di daerah, BKPRD

    melaksanakan fungsi yang sama untuk mengkoordinasikan

    pemanfaatan ruang lintas SKPD (Herman Haeruman (HH)).

    Anggota

    Tim Tata Ruang,yang ditetapkan pada Tahun 1989, beranggotakan

    Menteri PPN/Ketua Bappenas, Menteri/Sekretaris Negara, Menteri

    Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan Menteri Dalam

    Negeri/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Seluruh anggota Tim

    Tata Ruang memiliki akses untuk merencanakan penggunaan

    ruang, namun tidak secara langsung menggunakan ruang. Resolusi

    konlik diantara pengguna ruang dapat dilakukan dengan mudah

    karena independensi Tim Tata Ruang ini sehingga penyelesaiannya

    adil dan tidak memihak. Pada saat itu pembangunan wilayah

    dilaksanakan antarsektor berdasarkan fungsi ruang (HH).

    Pada Tahun 1993, keanggotaan Tim Tata Ruang ditambah oleh

    Menteri Pertahanan dan Menteri Pekerjaan Umum. Namanya diubah

    menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Pada

    masa 1993-1997, penataan ruang dimulai dengan pembangunan

    infrastruktur sampai dengan selesainya PP No. 47/1997 tentang

    RTRWN. Setelah itu, penataan ruang kembali menjadi acuan utama

    pengembangan wilayah (HH).

    Pada Tahun 2000, BKTRN dipimpin oleh Menteri Koordinator

    Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri. Anggota BKTRN pada

    saat itu adalah Menteri Permukiman dan Pengembangan Wilayah,

    Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian,

    Menteri Negara Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan

    Hidup, Menteri Negara Otonomi Daerah, Kepala Badan Pertanahan

    Nasional dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

    selaku Sekretaris BKTRN. Pada masa tersebut penataan ruang dan

    pembangunan infrastruktur kembali bergabung pelaksanaannya

    di Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah.

    Namun demikian perizinan dan pembangunan di lapangan harus

    dikoordinasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena

    hanya BPN yang memiliki hubungan langsung dengan pelaksana

    kegiatan. Pada saat itu, dana yang cukup besar untuk penataan

    ruang dialokasikan ke BPN untuk penyusunan peta dasar, kemudian

    pada Bakosurtanal (saat ini BIG) berperan dalam pembuatan

    informasi spasial (peta). Kedua badan ini, BPN dan Bakosurtanal,

    yang menjadi motor informasi dalam penyelenggaraan tata ruang

    (HH).

    Pada Tahun 2007, UU No. 26/2007 ditetapkan untuk mengganti

    UU No. 24/1992. Seiring dengan perubahan UUPR, BKTRN berubah

    menjadi BKPRN5 dan menambah anggotanya dengan menteri

    pengguna ruang: Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri

    Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri

    Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan (AK).

    Peran

    Peran penting yang dilaksanakan oleh BKPRN adalah menetapkan

    strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu

    art

    ike

    l

    Menjelang 25 tahun BKPRN (1989-2013):

    kontribusi dan tantanganProf. Dr. Herman Haeruman, pernah menjabat Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Kementerian PPN/Bappenas

    Dr. Herry Darwanto, pernah menjabat Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan Ruang, Kementerian PPN/

    Bappenas

    Dr. Abdul Kamarzuki, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

    Perjalanan BKPRN selama 25 tahun ini telah menemui berbagai tantangan dan kendala. Banyak permasalahan

    yang berhasil ditangani, banyak pula pihak yang tidak dapat menerima penyelesaian masalah yang

    direkomendasikan.

    Untuk mendapatkan gambaran peran optimal BKPRN, kami melakukan wawancara dengan tiga tokoh

    penting yang selama ini berperan aktif di BKPRN, baik di era sentralisasi, dalam peralihan dari sentralisasi

    ke desentralisasi dan di masa otonomi daerah sudah berjalan. Ketiga tokoh tersebut adalah Prof Dr Herman

    Haeruman (pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Regional dan Sumberdaya Alam, Bappenas/Sekretaris

    BKTRN), Dr Ir Herry Darwanto, MSc (pernah menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Bappenas Bidang Penataan

    Ruang, Direktur Penataan Ruang, Pertanahan dan Lingkungan Hidup, Bappenas) dan Dr Ir Abdul Kamarzuki,

    MPM (sekarang menjabat sebagai Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wilayah dan Daerah Tertinggal,

    Menko Perekonomian/Sekretaris Pokja 4 BKPRN).

    1 Keppres 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.2 Keppres 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional.3 Keppres 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional.4 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional.5 Keppres 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional

  • buletin tata ruang & pertanahan 5

    dengan pendekatan kewilayahan. Selain itu, BKPRN berperan

    penting untuk untuk koordinasi perumusan kebijakan dan

    pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola ruang serta

    untuk melaksanakan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang

    (HD).

    Di awal pembentukannya, Tim Tata Ruang berperan penting untuk

    membatasi penggunaan kawasan lindung. Kawasan lindung adalah

    kawasan yang memiliki fungsi perlindungan daerah diluarnya, se-

    perti hulu sungai, sempadan sungai, sempadan danau dan pantai.

    Kawasan ini tidak harus dijadikan milik negara, tapi dibutuhkan

    etika membangun. Kawasan lindung yang di dalamnya terdapat

    kampung adat seharusnya memiliki perlindungan terhadap lereng

    gunung. Masyarakat yang hidup di dalamnya menjadi bagian

    penting pengelolaan kawasan lindung. Kebijakan tersebut dipegang

    teguh oleh pemerintah pusat dan diacu oleh pemerintah daerah

    (HH). Perubahan fungsi kawasan lindung menjadi tanggung jawab

    pemerintah pusat.

    Pendekatan yang berbeda dilakukan untuk pengembangan kawasan

    budidaya. Kawasan budidaya adalah kawasan yang menguntungkan

    banyak orang secara ekonomi. Namun demikian, pengguaan dan

    manfaat langsungnya tidak boleh dipertandingkan dengan kawasan

    lindung. Target penting yang harus dihasilkan dari kawasan ini

    adalah output regionalnya. Perubahan fungsi kawasan budidaya

    boleh dilakukan, tapi dilakukan pengawasan oleh daerah (HH).

    BKTRN dulu begitu kuatnya, seperti contoh kasus di Sumatera

    Barat. Gubernur mengajukan pembangunan jalan dari pantai

    menuju gunung menembus taman nasional dengan tujuan untuk

    membuka akses bagi masyarakat pengunungan. Namun setelah

    dikaji, biayanya terlalu besar, kemudian BKTRN dan daerah

    berdiskusi, akhirnya diputuskan bahwa jika ingin tetap membangun,

    jalan dibuat melingkar dan agar tidak terlihat jauh orang dibuat

    berkeliling tempat-tempat yang berkembang disepanjang jalan

    tersebut, bisa tempat makan, wisata, dan lainnya sehingga

    memunculkan regional outputnya. Hal yang sama terjadi juga untuk

    pembangunan Jalan Ladiagalaska yang direncanakan melintas TN

    Leuser (HH).

    Perbedaan signiikan atas peran BKPRN sangat terasa setelah

    perubahan UUPR dari UU No. 24/1992 menjadi UU No. 26/2007.

    Beberapa contoh diantaranya seperti menurunnya konsep

    perlindungan kawasan lindung dan konsep dana kompensasi

    kawasan lindung. Daerah dengan kawasan lindung mendapatkan

    dana kompensasi sehingga tidak perlu mencari pendapatan dengan

    mengkonversi kawasan hutannya. Seperti kasus di kabupaten

    sebelah barat Aceh yang memiliki 60 persen lebih kawasan

    lindung, artinya daerah mendapat dana kompensasi untuk perannya

    memelihara kawasan hutan tersebut (HH).

    Kinerja

    Kesepakatan dalam forum BKTRN bermuara pada penetapan

    peraturan perundangan. Dengan mengandalkan Tim Pelaksana,

    BKPRN telah menyelesaikan PP dan Perpres yang diamanatkan

    oleh UU No. 26/2007 kecuali RPP tentang Penataan Ruang

    Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Selain itu, BKPRN, melalui

    Tim Pelaksana, telah mengkoordinasikan berbagai kementerian/

    lembaga anggotanya, untuk mempercepat proses pembahasan

    Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berikut mendorong

    penetapannya oleh pemerintah daerah.

    Kelembagaan

    Sampai dengan saat ini, BKPRN adalah lembaga ad-hoc. Seluruh

    rekomendasi dan persetujuan teknis yang dihasilkan BKPRN

    bersifat saran ataupun arahan bagi pemangku kepentingan dalam

    pemanfaatan ruang. Saran atau arahan tersebut akan memiliki

    legitimasi jika telah diakomodir dalam bentuk produk hukum (PP,

    Perpres, dan Perda) (AK).

    Beberapa pendapat menyatakan bahwa, bentuk ad-hoc ini tidak

    efektif untuk melaksanakan penataan ruang dan dibutuhkan

    kementerian/lembaga khusus yang dapat mengkoordinasikan

    seluruh proses penataan ruang yang dilakukan oleh berbagai sektor

    dan pemerintahan pada saat yang sama. Pendapat ini menjadi

    salah satu pemikiran yang mendorong forum BKPRN menjadi

    lembaga yang lebih permanen. Kekurangan yang sangat menonjol

    adalah lembaga permanen ini kemungkinan besar tidak dapat

    menangani konlik pemanfaatan ruang apabila berdiri sebagai

    bagian yang terpisah sama sekali dari kementerian atau lembaga

    pengguna ruang lainnya, menjadi sektor tata ruang, menghilangkan

    sifat koordinasi. Hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah

    upaya reformasi birokasi,yang sedang dijalankan saa ini, mengarah

    pada perampingan dan eisiensi birokrasi, sehingga pembentukan

    badan baru menjadi langkah yang tidak strategis (AK).

    Tim Pelaksana BKPRN diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum.

    Secara teknis, melalui Tim Pelaksana, forum BKTRN berfungsi untuk

    memberikan pendapat (rekomendasi) yang merupakan kesepakatan

    serta persetujuan teknis bagi dalam proses penyiapan produk-

    produk tata ruang baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP),

    Peraturan Presiden (Perpres), maupun Peraturan Daerah (Perda

    Kab/Kota) (AK). Rekomendasi dari forum BKPRN ini merupakan

    acuan atau terjemahan lebih detail dari substansi Peraturan

    Perundang-undangan yang ada agar dapat mendukung kebijakan

    pemanfaatan ruang.

    Sejak BKPRN memiliki Tim Pelaksana6, rapat koordinasi tingkat

    menteri tidak sepenuhnya efektif digunakan untuk pengambilan

    keputusan dan resolusi konlik antarsektor. Padahal, konlik-

    konlik utama muncul karena kewenangan beberapa kementerian

    yang sangat tinggi untuk mengatur penggunaan ruang nasional.

    Konlik tersebut hanya dapat diselesaikan melalui Sidang BKPRN,

    mekanisme pengambilan keputusan tertinggi yang berada di tangan

    para menteri.

    Konsep

    Konsep penataan ruang yang pertama kali disusun saat Tim

    Tata Ruang dibentuk adalah, rencana tata ruang (RTR) secara

    makro harus melalui persetujuan BKTRN dan sektoral/daerah

    boleh mengajukan usulan, tapi perlu dilengkapi dengan kajian

    khusus dampak lingkungannya. Setelah disetujui BKTRN, daerah

    hanya melakukan pengawasan. Kewenangan BKTRN sangat kuat,

    terlihat dari kemampuan BKTRN menghentikan pembangunan

    yang dilakukan oleh pejabat daerah di berbagai kawasan penting.

    Kewenangan ini diperkuat karena masa pemerintahan masih

    bersifat sentral sehingga Bupati tunduk pada aturan. Kewenangan

    ini menjadi penting karena memudahkan pemanfaatan ruang yang

    sesuai dengan rencana tata ruang (HH). Peran Pemerintah yang

    6 Keppres No 4 Tahun 2009 tentang BKPRN Pasal 6 menyebutkan bahwa: (1) dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Tim Pelaksana dapat dibentuk Kelompok Kerja

    untuk menangani tugas-tugas yang bersifat khusus; (2) Pembentukan, tugas, susunan keanggotaan, dan tata kerja Kelompok Kerja diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPRN.

  • buletin tata ruang & pertanahan6

    kuat saat itu, Bupati wajib melaporkan segala bentuk perizinan ke

    BKTRN sehingga BKTRN memiliki informasi aktual dari daerah.

    Pada saat yang sama, koordinasi bukan masalah besar dalam

    penyelenggaraan penataan ruang karena sejak awal, pengalokasian

    fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan

    Sistem Informasi Geospasial. Namun memang yang menjadi

    kendala adalah skala peta yang digunakan masih terlalu kecil.

    Untuk mengatasinya, Kementerian Kehutanan dibawah koordinasi

    BKTRN memiliki badan planologi kehutanan (UPT) antar kabupaten.

    Mereka melakukan koordinasi dengan BPN, BPN berperan

    memetakan tata guna tanah. BPN dan kehutanan bekerja sama

    ketika sebagian kawasan hutan akan diubah untuk mengakomodasi

    pembangunan, hutan dilepas dan BPN mengambil alih proses tata

    guna lahan.

    Saat itu BKTRN fokus pada menjaga fungsi utama ruang: kawasan

    lindung dan kawasan budidaya. Selain itu, secara desain, fokus

    antara RTRWN, RTRWP dan RTRWK dibuat berbeda. RTRWN yang

    bersifat makro bertujuan untuk mempertahankan fungsi kawasan

    agar tidak berubah dalam jangka waktu 25 tahun. Sementara itu,

    RTRWK yang bersifat lebih dinamis dengan skala peta yang lebih

    besar berfungsi dalam proses pemberian izin penggunaan ruang.

    Karena itu, jangka waktu RTRWK didesain lebih pendek, hanya 10

    tahun untuk mengatasi dinamika penggunaan ruang di lapangan.

    Logika yang sama digunakan dalam penyusunan RPJPN dan

    RPJMN. RPJMN menjabarkan RPJPN namun juga harus dapat

    mengatasi dinamika tahunan. Dengan menggunakan logika yang

    sama, RTRWN pada saat itu berupa visi yang dijabarkan dalam

    progam dan kegiatan di dalam RTRWK. Saat ini, perlu didorong

    agar RTRW didesain untuk memberikan masukan kebijakan spasial

    bagi rencana pembangunan yang bersifat deskriptif. Apabila

    dipergunakan, maka RTRW dapat memberikan kepastian lokasi

    berjangka panjang bagi para pelaku pembangunan. Kepastian ini

    dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    Fungsi RTRW yang tetap harus dipertahankan adalah perlindungan

    kepada fungsi ekosistem dan memberikan kesempatan kepada

    pertumbuhan ekonomi regional dan nasional yang bersifat jangka

    panjang serta melindungi tujuan pembangunan nasional dari

    kepentingan jangka pendek sektoral dan daerah. RTRW harus dapat

    cukup leksibel memberi kesempatan pada perkembangan teknologi

    modern untuk pemanfaatan fungsi ruang untuk mengakomodasi

    pembangunan yang tidak terbatas.

    Dalam konsep ini, daerah boleh melakukan perencanaan, tapi

    hanya di kawasan budidaya, sedangkan kawasan lindung bersifat

    given karena ada di RTRWN. Indonesia harus belajar dari Amerika,

    dimana mereka memiliki daerah khusus yang dipertahankan

    kawasan lindungnya yang juga memberikan pendapatan daerah

    terbesar (HH). Setelah konsep ecoregion diperkenalkan untuk

    menghubungan konsep penataan ruang dengan pelestarian fungsi

    dan daya dukung lingkungan, Pemda dituntut lebih cakap untuk

    mengenali karakter wilayahnya (ekologi & ekonomi). Setelah seluruh

    isunya ditemukenali, Pemda menyusun interaksi antara kawasan

    dan melakukan KLHS untuk rencana yang sedang disusun (HH).

    Hubungan antara berbagai bidang ilmu harus benar-benar terjaga

    dalam penataan ruang karena pada dasarnya penataan ruang

    adalah bagian dari landscape architecture yang mengkombinasikan

    tiga keilmuan, yakni lingkungan (ecogeograi), planologi, dan design

    engineering, yang membentuk keterpaduan wilayah. Saat ini,

    ketidakpaduan terletak pada masalah pemahaman dan ego sektoral

    yang kuat sehingga aturan yang ditetapkan setelah era desentraliasi

    berbeda-beda. Tata ruang ini seharusnya berperan membangun

    sektor-sektor yang lebih luas sehingga peningkatan perekonomian

    wilayah dapat terwujud (HH).

    Permasalahan

    Cukup banyak permasalahan yang dihadapi BKPRN di masa

    desentralisasi ini, masalah utama yang diangkat para narasumber

    adalah: (1) kurangnya koordinasi yang berakibat pada perbedaan

    persepsi antara pemangku kepentingan, banyaknya aturan sektoral

    yang tidak serasi, selain itu, SOP koordinasi di dalam BKPRN belum

    dideinisikan dengan baik; (2) rendahnya kualitas rencana yang

    salah satunya disebabkan oleh belum memadainya sistem informasi

    spasial yang memadai; dan (3) pemanfaatan ruang yang belum

    optimal (HH, HD, AK).

    Koordinasi

    Kelemahan koordinasi antar sektor dimulai dengan perbedaan

    pemahanan atas sektor lain yang bermuara pada tidak serasinya

    peraturan sektoral. Dalam peraturan sektoral, kepentingan setiap

    sektor dituangkan ke dalam berbagai peraturan dalam berbagai

    bentuk, UU, PP, Perpres dan Keppres (AK). Perbedaan pemahaman

    antarpemangku kepentingan semakin memperlemah koordinasi

    yang belum tercipta dengan baik. Baik koordinasi antarsektor dan

    antarlevel pemerintahan (AK). Selain itu, prosedur harmonisasi

    peraturan dan koordinasi pelaksanaan penataan ruang belum

    dilakukan dengan baik (AK), BKPRN tidak dapat memaksa instansi

    terkait untuk mengimplementasikan tata ruang (HD).Koordinasi

    antar sektor menyebabkan beberapa RTRW Provinsi/Kabupaten/

    Kota yang telah selesai disusun tidak dapat segera ditetapkan.

    Prosedur resolusi konlik yang ada di dalam BKPRN tidak mampu

    mengubah keputusan salah satu sektor yang menjadi anggota

    BKPRN (HH).

    Lemahnya koordinasi ini berakibat cukup besar dalam pemanfaatan

    dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kecenderungan yang

    muncul adalah terlalu banyak kewenangan di satu daerah atau

    tidak ada yang berwenang sama sekali di daerah lainnya. Kondisi

    tersebut menimbulkan konlik antarpelaku pembangunan.

    Contohnya adalah kurangnya informasi di lapangan bahwa suatu

    kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung. Masyarakat yang

    seumur hidupnya berada di kawasan tersebut akhirnya membangun

    rumah, atau mendirikan bangunan sesuai dengan keperluannya.

    Contoh lainnya adalah informasi tersedia yang menunjukkan

    bahwa suatu kawasan tidak boleh ada pembangunan karena

    statusnya sebagai kawasan lindung, namun tidak ada upaya yang

    serius untuk menegakkan peraturan itu. Pengendalian yang tidak

    efektif karena tidak ada yang merasa berwenang menyebabkan

    tumbuhnya permukiman di sepanjang sempadan sungai di kota-

    kota besar (HD).

    Kualitas rencana

    Rendahnya kualitas rencana tata ruang sebagian besar disebabkan

    oleh informasi geospasial yang tersedia belum memadai untuk

    menyusun rencana yang paripurna. Sejak awal, pengalokasian

    fungsi ruang sudah tergambar dalam peta dengan menggunakan

    GIS. Namun skala peta yang digunakan masih terlalu kecil. Saat itu

    teknologi satelit belum ada sehingga untuk peta skala besar sangat

    mahal, tapi sekarang sudah ada teknologinya jadi seharusnya

    tata ruang dilengkapi peta skala 1:10.000, bukan hanya untuk

    implementasi rencana, tapi juga pengendalian. Rencana yang baik

    hanya bisa terwujud apabila kita mampu mengejar ketertinggalan

    dalam penyediaan informasi geospasial ini (HH).

    Belum lagi pengertian rencana hirarkis yang belum cukup baik

  • buletin tata ruang & pertanahan 7

    dimengerti sehingga pemerintah daerah cenderung mencontoh

    RTR yang dibuat pemerintah lebih tinggi. Pemerintah daerah

    gamang untuk membuat RTR yang berbeda, karena khawatir

    tidak mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat.

    Permasalahan yang timbul di kemudian hari adalah kemiripan

    rencana tata ruang yang disahkan oleh berbagai daerah (HD).

    Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang

    Setelah rencana selesai disusun, langkah berikutnya yang perlu

    dilakukan adalah pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan

    ruang. Masalah yang paling banyak timbul adalah pemanfaatan

    kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang di kawasan

    lindung dan terutama daerah resapan air yang akan berpengaruh

    pada kawasan di bawahnya perlu dikendalikan dengan baik

    karena dampaknya sangat luas. Namun demikian, pengendalian

    pemanfaatan ruang tidak dilaksanakan dengan baik. Contohnya

    adalah pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan puncak yang

    terlihat tidak serius dan tidak berhasil secara signiikan. Perpres

    tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur telah ditetapkan

    begitu pula Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang berada di

    Jabodetabekjur, namun outcome dari peraturan itu tidak terlihat,

    dengan kata yang lugas, tidak ada pengaruhnya apa-apa (HD).

    Di tingkat nasional dan daerah, sudah cukup banyak kegiatan

    yang dilakukan dan telah didukung alokasi dana yang cukup besar

    seperti: undang-undang dan peraturan pelaksanaannya; lembaga

    BKPRN dan BKPRD yang mengkoordinasikan kebijakan dan

    pelaksanaan penataan ruang; rencana tata ruang mulai dari skala

    nasional, pulau, provinsi hingga kabupaten/kota. Namun, berbagai

    permasalahan muncul justru setelah rencana ditetapkan, semakin

    terlihat bahwa pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang

    harus dilakukan dengan konsisten (HH).

    Alternatif penyelesaian masalah

    Koordinasi

    Untuk mengatasi ketiga permasalahan di atas, alternatif

    penyelesaian masalah yang dapat dilakukan untuk mengatasi

    masalah kurangnya koordinasi adalah penyamaan persepsi di

    dalam forum BKPRN sebelum menyelesaian masalah koordinasi

    di daerah (AK). Prakondisi yang dibutuhkan adalah menyepakati

    prinsip penataan ruang di dalam BKPRN, caranya adalah dengan

    membangun idealisme dari masing-masing bidang keilmuan

    yang membentuk BKPRN dan konsensus yang telah dibangun,

    dengan tetap memperhatikan kondisi saat ini (HH). Harapan di

    masa yang akan datang, keteraturan, kepastian penggunaan ruang

    perlu menjadi prioritas utama yang dikoordinasikan oleh BKPRN

    dengan pertimbangan bahwa jumlah ruang tetap sementara jumlah

    penduduk akan terus bertambah (HH).

    Untuk koordinasi di daerah, Bappeda perlu menjadi ujung tombak

    penggerak BKPRD. Koordinasi tidak dapat diserahkan kepada

    sektor karena pengambilan keputusan terutama untuk penyelesaian

    konlik tidak akan berimbang (HH). Catatan penting untuk kondisi

    lembaga saat ini adalah bentuk BKTRN/D yang menyatukan

    kelompok independen yg tak terikat dengan pembangunan ruang

    dengan kelompok pemakai ruang, maka kesepakatan ad-hoc itu

    banyak masalah perbedaan kepentingan, maka diperlukan suatu

    independen group di luar BKTRN/D untuk membantu mencapai

    keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan

    daerah, antara kepentingan sektoral dengan kepentingan nasional/

    regional, dan kepentingan pemeliharaan cadangan ruang yang

    harus dipelihara untuk masa depan ketika iptek dan social

    perception mampu menanggapi berbagai konlik (HH).

    Perencanaan

    Untuk mengatasi masalah perencanaan, pemerintah pusat perlu

    mengubah paradigma dari menyusun rencana tata ruang dari skala

    nasional hingga skala rinci tingkat lokal secara hirarkis, menjadi

    mengamankan kawasan strategis untuk kepentingan nasional

    saat ini dan untuk pembangunan berkelanjutan, dan mendukung,

    persisnya memberikan bantuan dana kepada daerah, untuk

    mengerjakan penataan ruang sesuai konsep yang disusun daerah.

    Pemerintah daerah perlu mewujudkan tata ruang yang nyaman,

    memberi penekanan pada pembuatan taman-taman dan RTH,

    pembuangan sampah, perbaikan gorong-gorong, pembenahan

    kampung padat, pembuatan paving,penyediaan air bersih.Orientasi

    penataan ruang yang semula menekankan konsep atau rencana

    dan berskala makro, diubah menjadi bersifat konkrit dan mikro,

    tentu dengan perspektif jangka panjang(HD) sesuai dengan yang

    telah tercantum secara makro di dalam RTRWN (HH).

    Pembagian peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

    dalam penataan ruang perlu dikaji lebih detail lagi. Contoh kawasan

    yang perlu diatur pusat adalah kawasan cagar budaya, hutan

    lindung, suaka margasatwa; kemudian kawasan untuk keperluan

    pertahanan negara, seperti kawasan peluncuran roket, kawasan

    latihan perang. Kawasan-kawasan ini harus ditetapkan batas-

    batasnya dan kemudian dikelola oleh lembaga pusat tertentu.

    Dengan mengingat tragedy of the commons, yaitu kalau suatu

    kawasan menjadi milik bersama atau tidak jelas siapa yang

    memilikinya, maka setiap orang akan mengeksploitasi kawasan

    itu sehabis-habisnya. Pemda menata kawasan di luar kawasan-

    kawasan strategis nasional ini. Kemudian beri kepercayaan kepada

    daerah untuk mengatur sendiri penggunaan ruang wilayah itu.

    Daerah-daerah pada mulanya mungkin kesulitan membuat rencana

    tata ruangnya, namun lama kelamaan akan mampu membuat

    RTR sendiri. Banyak contoh dari dalam dan luar negeri mengenai

    rencana tata ruang yang baik dan dapat dicontoh.Tidak perlu ada

    pedoman penyusunan RTR yang harus ditaati secara ketat oleh

    daerah (HD).

    Perencanaan tetap perlu, tetapi jangan menunggu harus

    semua selesai. Misalnya jangan menunggu sampai rencana

    rinci ditetapkan DPRD dan disahkan Provinsi, baru kemudian

    melakukan implementasinya. Itu akan memakan waktu lama.

    Kerjakan saja dulu yang dapat dilakukan dan jelas bermanfaat.

    Masyarakat sudah menunggu hasil konkrit, hulu penundaan

    biasanya adalah pemikiran birokratis dan penyusunan konsep

    rencana yang sulit diimplementasikan. Misalnya, untuk bisa

    menghasilkan rencana detil tata ruang diperlukan peta dasar

    yang berskala besar. Menghasikan peta ini untuk seluruh wilayah

    kota bisa memakan waktu bebeberapa tahun. Jadi gunakan saja

    informasi yang ada untuk membuat kebijakan, mana daerah yang

    tidak boleh digunakan sebagai kawasan permukiman, dan mana

    yang boleh. Jadi rencana penataan ruang tetap perlu ada, namun

    jangan terganggu oleh prosedur yang birokratis.Bila masyarakat

    melihat hasil yang nyata, pasti akan diapresiasi dan di-bela jika

    dimejahijaukan karena menabrak peraturan perundangan. Di

    sini diperlukan kebijakan seorang kepala daerah. Juga jangan

    kuatir kebijakan itu akan diubah oleh kepala daerah berikutnya.

    Masyarakat akan mengawasi dan mencegah kebijakan yang tidak

    didasarkan pada pertimbangan yang benar (HD).

    Kemudian dari sisi substansi, RTR yang dibutuhkan untuk

    pengendalian ruang kabupaten/kota adalah rencana tata ruang

    yang rinci, dengan skala peta yang besar.Jika belum ada peta

    dasarnya, perlu dibuat ketentuan yang jelas, sehingga tidak

  • buletin tata ruang & pertanahan8

    disalahtafsirkan. Ingat, bangsa kita punya kemampuan menyusun

    rencana tata kota sejak berabad-abad yang lalu dengan bukti

    adanya candi Borobudur, kota Trowulan yang menjadi ibukota

    kerajaan Majapahit. Kalau saat ini kita belum melihat banyak RTR

    yang kualitasnya baik, penyebab utamanya adalah belum ada

    kesungguhan untuk mengusahakannya (HD).

    Pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang

    Untuk pemanfaatan ruang, BKPRN perlu mengubah orientasinya

    dari perencanaan menjadi pelaksanaan, dari merencanakan

    menjadi mewujudkan. BKPRN perlu menggunakan kapasitas yang

    dimilikinya untuk membantu pemerintah kabupaten/kota untuk

    mewujudkan tata ruang yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

    Kementerian Kehutanan dapat mencontoh Jarum Foundation

    menanam pohon trembesi di sepanjang jalan Pantura, misalnya

    dengan melakukan hal sama di jalur Jawa Selatan serta di pulau-

    pulau lain. Kementerian Pekerjaan Umum membantu pemerintah

    kota membangun RTH. Kementerian Lingkungan Hidup membantu

    pemda mendaur ulang sampah. Kementerian Perumahan Rakyat

    membantu pemerintah kabupaten/kota membangun prasarana

    lingkungan permukiman. Begitu pula halnya dengan kementerian/

    lembaga lainnya terutama anggota BKPRN, melakukan hal yang

    sama sesuai kewenangan masing-masing, tetapi dengan tujuan

    yang jelas dan sesuai kebutuhan daerah. Daerah jangan lagi

    didorong untuk menyelesaikan perda RTRWnya saja, tetapi dibantu

    langsung untuk mewujudkan tata ruang seperti yang diharapkan

    oleh masyarakat. BKPRN juga perlu melibatkan swasta untuk

    mengerjakan hal yang sama secara terkoordinasi. Lembaga-

    lembaga internasional pasti akan bersedia jika diajak menata kota

    secara konkrit, karena dampak ekonomi dan sosialnya yang besar

    (HD).

    Apabila kemudian muncul pertanyaan tentang masalah

    kewenangan yang dilangkahi karena skema tersebut di atas,

    jawabannya adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada membuat

    pemda tidak mempunyai cukup anggaran untuk melakukan

    semua urusan yang menjadi tanggungjawabnya secara memadai.

    Jadi pemerintah pusat perlu ikut terjun membantu pemda. Lebih

    baik lagi bila kenaikan penerimaan pemerintah pusat setiap

    tahun ditransfer kepada pemda melalui mekanisme DAK untuk

    mengisi tata ruang yang direncanakan pemda. Namun, langkah ini

    memerlukan persetujuan DPR yang mungkin sulit diwujudkan dalam

    waktu dekat.Yang dapat dilakukan saat ini adalah kerjasama antara

    kementerian/lembaga anggota BKPRN menggunakan anggaran

    yang ada untuk membantu kota-kota besar dan kecil mewujudkan

    tata ruang yang lebih berkualitas (HD).

    Contoh-contoh pelaksanaan dapat diambil dari yang telah

    dikerjakan oleh pemerintah daerah yang visioner dan telah

    terbukti berhasil dalam penataan ruang. Salah satunya adalah

    Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya telah

    berhasil menghadirkan tata ruang yang nyaman, indah, bersih,

    lancar, teratur dan inklusif, serta atribut lain yang seperti itu, yang

    saya yakin juga sama dengan yang diamanatkan oleh UU No

    26/2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang yang efektif di

    Kota Surabaya dapat dinikmati oleh masyarakat warga kota dan

    diapresiasi oleh pengunjung dari luar. Yang ditata di Kota Surabaya

    bukan hanya kawasan di pusat kota seperti umumnya di banyak

    kota lain, namun hingga ke kampung-kampung. Terasa ada tangan-

    tangan pemerintah kota yang mengatur lingkungan permukiman

    penduduk, termasuk sarana MCK, saluran pembuangan, sarana

    pedestrian dan taman lingkungan. Hasil akhir yang bisa dinikmati

    oleh warga dan pengunjung adalah kebersihan, keindahan dan

    kelancaran lalulintas di pusat Kota Surabaya tidak kalah dengan

    kota-kota lain di negara maju. Ini adalah wujud penataan ruang

    yang kita harapkan ada di kota-kota seluruh Indonesia. Sekali

    lagi kinerja upaya penataan ruang tidak dilihat dari peraturan dan

    rencana tata ruang yang dihasilkan, namun dari wujud tata ruang

    yang dapat dinikmati oleh penduduk (HD) [ma/gp].

    Status Penyelesaian Peraturan Daerah RTRW Provinsi

    1

    No.AD E

    B

    B1 B2

    C

    C1 C2

    Provinsi

    Status Penyelesaian RTRW yang Belum Perda

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    9

    10

    11

    12

    13

    14

    15

    NAD

    Sumatera Utara

    Riau

    Sumatera Selatan

    Kep. Riau

    Kep. Bangka Belitung

    Kalimantan Barat

    Kalimantan Tengah

    Kalimantan Selatan

    Kalimantan Timur

    Sulawesi Utara

    Papua

    Jumlah

    Sulawesi Tengah

    Sulawesi Tenggara

    Sulawesi Barat

    1515 15 15 13 13 5

    Proses Revisi

    Proses Persetujuan Substansi

    B1 : Proses Persetujuan Substansi Teknis PU

    B2 : Proses Persetujuan Substansi Kehutanan

    Memperoleh Persetujuan Substansi

    C1 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri PU

    C2 : Memperoleh Persetujuan Substansi Menteri Kehutanan

    Pembahasan DPRD

    Evaluasi di Kementerian Dalam Negeri

    A

    B

    C

    D

    E

    DA

  • buletin tata ruang & pertanahan 9

    Proil Direktur TRP

    Oswar Mungkasa

    pro

    fil

    Sudah lebih dari 20 tahun beliau berkecimpung di dunia

    pemerintahan menjadi pegawai negeri sipil. Karirnya dimulai pada

    1992 sebagai staf perencana di Biro Pengembangan Regional I,

    Bappenas. Dan sejak 2002, selama delapan tahun, beliau menjadi

    Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman dan Perumahan,

    Bappenas. Pengalaman dan lamanya karir yang digeluti di Bidang

    Perumahan dan Permukiman mengantarkan beliau sebagai Kepala

    Biro Perencanaan dan Anggaran Kementerian Perumahan Rakyat.

    Selama menjadi Kepala Sub Direktorat di Direktorat Permukiman

    dan Perumahan, beliau juga menjadi pelaksana harian dari

    Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja

    AMPL) yang merupakan wadah koordinasi instansi pemerintah

    yang terkait dengan pembangunan AMPL (Bappenas, Kemenkeu,

    KemenPU, Kemenkes, Kemendagri, Kemendiknas, KemenLH), dan

    LSM Internasional yaitu Plan Internasional Indonesia. Beberapa

    proyek yang juga sukses beliau pimpin, adalah Water Supply and

    Sanitation Policy Formulation and Action Planning (WASPOLA)

    yang merupakan proyek kerjasama pemerintah dengan Australia

    (AusAID) dalam pembenahan kebijakan air minum dan penyehatan

    lingkungan berbasis masyarakat di Indonesia, dan Water and

    Environmental Sanitation (WES) Unicef yang merupakan kerjasama

    pemerintah dan Unicef dalam penyediaan air minum dan sanitasi di

    Indonesia Timur pada 31 kabupaten/kota yang dananya berasal dari

    hibah Belanda dan Swedia.

    Saat ini, selain menjadi Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, beliau

    juga aktif sebagai anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Penyehatan

    Lingkungan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) periode

    2010-2014. Hobi menulis, beliau realisasikan melalui tulisan-

    tulisan yang dibuat di berbagai media, seperti majalah, koran, dan

    lainnya. Sudah banyak media tulisan yang beliau ciptakan, seperti

    Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan untuk Anak

    Percik Yunior dan Majalah Perumahan dan Kawasan Permukiman

    Inforum. Hingga saat ini, beliau masih menjadi Pemimpin Redaksi

    Majalah Perumahan, Infrastruktur, dan Perkotaan HUDmagz- LP

    P3I; Anggota Tim Editor Bidang Perumahan dan Permukiman Jurnal

    Lingkungan Binaan Indonesia-IPLBI dan Media Informasi Air Minum

    dan Penyehatan Lingkungan Percik; dan Anggota Dewan Redaksi

    Majalah Perencanaan Pembangunan-Bappenas [gp].

    Senin, 16 September 2013, Bapak Oswar Mungkasa yang sering disapa Pak Os dilantik oleh Menteri PPN/

    Bappenas, sebagai Direktur Tata Ruang dan Pertanahan-Kementerian PPN/Bappenas menggantikan Bapak

    Deddy Koespramoedyo (Alm). Lahir di Makassar, 26 Juli 1963, dengan nama Oswar Muadzin Mungkasa

    adalah doktor lulusan ekonomi publik (Universitas Indonesia); master perencanaan wilayah dan kota

    (Univesitas Pittsburgh); serta insinyur (Institut Teknologi Bandung. Ayah dari Fachriey Fadhlullah Mungkasa ini,

    dikenal sebagai pribadi yang cerdas, energik, dan supel.

    Gambar 1 Dr. Oswar Mungkasa, MURP (kanan) bersama Dr. Ir. Max Pohan,

    CES, MA Deputi Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah (kiri)

    ww

    w.f

    aceb

    oo

    k.c

    om

    /trp

    .bap

    penas

    tah

    uk

    ah

    an

    da

    Knowledge Management (Pengelolaan

    Pengetahuan) adalah:

    Suatu disiplin ilmu yang mempromosikan suatu pendekatan terintegrasi untuk

    identiikasi, pengelolaan dan distribusi aset

    informasi yang dimiliki suatu organisasi.

    Salah satu metode peningkatan produktivitas dalam suatu organisasi

    yang bertujuan untuk memanfaatkan

    sumber daya manusia yang ada di dalam

    organisasi secara optimal serta menggali

    potensi yang dimiliki oleh

    anggota organisasi agar

    mereka dapat meningkatkan

    kreativitas dan berinovasi

    untuk meningkatkan

    produktivitas suatu organisasi

    secara keseluruhan.

    Sumber: http://mariana46.blogstudent.mb.ipb.

    ac.id/2011/10/02/knowledge-management/

  • buletin tata ruang & pertanahan10

    dalam berita:

    Juli-Desember 2013

    September

    Penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mengungkap fakta baru

    dalam kasus dugaan tindak pidana pelanggaran izin pengelolaan

    lahan di areal kawasan tambang PT Isco Polman Resources di

    Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Menurut Humas Kejati

    Sulsel, Nur Alim Rachim, Badan Pertanahan setempat tidak pernah

    dilibatkan dalam pengelolaan tambang dikawasan hutang lindung

    itu. Mantan Kasipidum Kejari Parepare ini menambahkan, fakta

    baru ditemukan penyidik setelah kejaksaan melakukan koordinasi

    dengan Badan Pertanahan Polewali Mandar. (Tribun Timur, 20

    September 2013)

    Masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi Badan

    Pertanahan Nasional (BPN RI) dalam carut marut pertanahan

    negeri ini. Namun, menurut Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum &

    Hubungan Masyarakat/Juru Bicara BPN RI,masih ada perbedaan

    persepsi sejauhmana peran BPN RI dalam bidang pertanahan. Jika

    melihat Pasal 33 ayat 3 UUD 45 bahwa tanah untuk kesejahteraan

    rakyat, berarti kewenangan BPN RI dalam pertanahan sangat luas,

    ternyata tidak. Dari sisi peraturan sendiri BPN RI tidak cukup kuat

    untuk mendesak Kementerian lain untuk segera menyelesaikan

    kasus pertanahan diantara mereka, paling bisa menghimbau

    saja. Dalam soal urusan sengketa pertanahan yang melibatkan

    masyarakat, kewenangan versi BPN RI sendiri, mendamaikan,

    menginventaris data, melihat duduk persoalannya dan ekspose

    perkara. BPN RI kewenangannya terbatas dalam menyelesaikan

    sengketa. BPN bukan peradilan yang memutus ini benar ini salah.

    Jadi lebih kepada mendamaikan para pihak, bisa diselesaikan

    secara musyawarah, dan mengeluarkan rekomendasi buat para

    pihak yang bersengketa. Namun, jika para pihak tidak mau

    menerima rekomendasi itu, akan dilanjutkan ke pengadilan. Maka

    pilihan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai permasalahan

    pertanahan adalah seperti mengubah BPN RI yang saat ini hanya

    setingkat Kementerian menjadi Kementerian, UU Pertanahan,

    atau membentuk peradilan khusus pertanahan. (Suaraagraria, 30

    September 2013)

    Oktober

    Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan bakal menggratiskan

    sertiikasi tanah di wilayah Jawa Barat bagi rakyat tidak mampu.Hal

    ini sesuai dengan permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.

    Penggratisan biaya juga termasuk pengurusan bea perolehan hak

    atas tanah dan bangunan (BPHTB). Program gratis sertiikasi tanah

    hanya ditujukan bagi rakyat yang tidak mampu. Untuk kategori

    mampu dan tidak mampu, Heryawan menyatakan akan memakai

    data Badan Pusat Statistik (BPS). Mengenai pelaksanaannya, Aher

    tidak mengetahui apakah akan menggunakan subsidi daerah atau

    tidak. Namun, ia mengatakan bisa saja menggunakan subsidi

    daerah jika diperlukan. (Kompas, 8 Oktober 2013)

    Pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR

    W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami masih terhambat persoalan ganti

    rugi tanah. Keberadaan jalan tol ini diharapkan mampu mengurangi

    kemacetan di kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dalam

    prosesnya, terlihat adanya upaya yang menghambat pembangunan

    tol JORR W2, terlebih untuk menentukan harga tanah.Sugiyanto,

    pengamat Ibu Kota, juga menyesalkan sikap warga Petukangan

    Selatan yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada

    kepentingan umum.Masa mintanya sampai Rp18 juta per

    meter persegi, padahal negara sudah menawar hingga Rp6 juta.

    Lebih baik kasih pengadilan saja, ujarnya. Proyek pembangunan

    JORR-W2 ruas Kebon Jeruk-Ulujami diperkirakan menelan dana

    investasi senilai Rp2,2 triliun. Dengan adanya tol ini diharapkan

    dapat mengurangi kemacetan di tol dalam kota, karena warga

    pengguna lalu lintas dari arah Bogor ataupun Cibubur menuju

    Bandara Soekarno-Hatta tidak perlu lagi melewati tol dalam kota

    ruas Cawang-Tomang. Diperkirakan akan ada 90.000 kendaraan

    per hari yang melewati JORR-W2. (Metrotvnews, 23 Oktober 2013)

    Menjelang akhir tahun 2013, berita media cetak seputar tata ruang dan pertanahan banyak diwarnai dengan

    berita mengenai permasalahan pertanahan di berbagai daerah. Kisruh kebijakan dan administrasi Pertanahan

    Nasional dianggap sebagai akar terkendalanya pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road West 2

    (JORR W2) dari Kebon Jeruk-Ulujami dan konlik yang terjadi di Desa Pering Baru, Ujung Padang, Provinsi

    Bengkulu. Selain itu juga terdapat berita terkait kewenangan BPN yang terbatas untuk mengatasi berbagai

    permasalahan pertanahan. Sedangkan untuk tata ruang, melesetnya pencapaian target Perda RTRW di tahun

    2013 mendorong Presiden untuk mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tetang percepatan peraturan daerah

    tentang rencana tata ruang wilayah. Selain itu, kejadian tumpang tindih fungsi lahan di lapangan, mewajibkan

    Jakarta metropolitan memiliki zonasi laut di teluk Jakarta. Berikut ringkasan beberapa berita tentang tata ruang

    dan pertanahan. ta

    hu

    ka

    h a

    nd

    a

    Sejarah Tata Ruang di Indonesia

    Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota)

    modern di Indonesia mulai disusun ketika kota Jayakarta

    (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda

    pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut

    baru dikembangkan secara intensif pada awal

    abad ke-20. Peraturan pertama tercatat

    adalah De Statuen Van 1642 yang

    dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota

    Batavia.

    Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan

    Ruang Indonesia 1948 2000. Departemen permukiman

    dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang,

    Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Permukiman.

    Jakarta, Desember 2003.

  • buletin tata ruang & pertanahan 11

    Layaknya sistem tata ruang didarat, dengan adanya zonasi laut,

    maka pemerintah daerah dapat mengetahui mana saja wilayah laut

    yang dapat dibangun sebagai wilayah industri atau untuk wilayah

    perikanan, sehingga tata ruang di laut akan tertata dengan baik,

    tidak ada lagi tumpang tindih. Untuk pengaturan zonasi laut di

    teluk Jakarta, menurutnya sangat dibutuhkan karena Jakarta selain

    metropolitan, ekonominya tertinggi di antara yang lainnya, sehingga

    DKI punya kepentingan besar untuk atur tata ruang kelautan.

    Ditargetkan, pengaturan zonasi laut Jakarta akan dilakukan pada

    tahun depan, 2014. Sementara itu, Jokowi menambahkan, zonasi

    di laut Jakarta akan disesuaikan dengan Rencana Detail Tata

    Ruang (RDTR) Jakarta. Di bawah laut itu kan ada kabel, pipa gas,

    semuanya harus menyesuaikan dengan zonasi itu, karena sudah

    pembagian yang jelas, kata Jokowi. (Liputan6, 29 Oktober 2013)

    Kurang dari 50 persen pemerintah kabupaten atau kota belum

    mengeluarkan peraturan daerah mengenai tata ruang. Akibatnya,

    banyak proyek pembangunan seperti perumahan melanggar

    tata ruang. Enggannya pemda mengeluarkan aturan soal tata

    ruangdikarenakan permasalahan pergantian kepala daerah.Oleh

    karena itu, September kemarin Presiden mengeluarkan Instruksi

    Presiden (Inpres) percepatan peratuan daerah tentang tata ruang.

    Tata ruang ini penting karena bicara grand desain di lapangan

    termasuk masalah konversi lahan pertanian. Konversi lahan

    dilegalkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, misalnya,

    di utara dan di selatan Karawang. Sedangkan Direktur Perkotaan,

    Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum,

    Dadang Rukmana menilai, pengalihan konversi lahan pertanian

    itu diperbolehkan asal sesuai dengan aturan, tapi jika konversi

    tidak sesuai peruntukannya itu tidak diperbolehkan.Jika ada yang

    melanggar tata ruang, semisal konversi bukan peruntukannya,

    maka pelanggarnya akan mendapatkan sanksi administratif dari

    pemda setempat. Sanksinya berupa teguran, pembatalan izin,

    penyegelan dan lainnya. Jika pelanggarannya berat di mana

    mengakibatkan kerugian harta benda, maka sanksinya berupa

    pidana.(Tempo, 30 Oktober 2013)

    November

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY bersama

    Teknik Geodesi UGM dan Bank Dunia membuat pemetaan

    kolaboratif zona terlarang Merapi. Pemetaan ini merupakan

    perpaduan dari berbagai peta rawan bencana yang dibuat sejumlah

    pihak sebelumnya. Peta kolaboratif ini menghasilkan peta dengan

    skala 1:2.000, yang artinya setiap rumah dan lahan milik warga di

    daerah rawan bencana akan terlihat dengan jelas. Nantinya akan

    tersusun rencana detil tata ruang (RDTR) guna melengkapi Perda

    Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

    Peta ini akan berisi zona-zona kawasan terlarang untuk pemukiman

    dan rekomendasi pemanfaatan lahan di dalamnya. Peta ini dibuat

    dengan memadukan data citra foto udara pemetaan LIDAR dari

    BNPB, data kawasan rawan bencana dan data area terdampak

    langsung dari BPPTKG, lokasi sabo dam dari BBWS, dokumen

    digital rencana detil tata ruang dari Dinas PU ESDM DIY, data batas

    dusun dan batas desa dari Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah

    Sleman, data hunian tetap dalam kawasan dari PMT Rekompak dan

    batas bidang tanah dari BPN. (Harianjogja, 1 November 2013)

    Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pemerintah

    daerah untuk segera menyusun perda rencana zonasi kawasan

    konservasi perairan. Selain itu, melarang izin reklamasi sebelum

    terbit perda rencana zonasi. Penetapan zonasi kawasan bertujuan

    mengalokasikan ruang perairan secara berkeadilan sesuai

    ekosistem, berkelanjutan ekologi, pemberdayaan masyarakat dan

    perlindungan wilayah masyarakat adat dan nelayan tradisional. Dari

    319 kabupaten/kota di wilayah pesisir, tercatat baru 9 kabupaten/

    kota yang punya perda rencana zonasi. Adapun 60 kabupaten/

    kota masih dalam proses penyusunan. Sementera itu, beberapa

    kota besar sudah mengeluarkan izin reklamasi, belum memiliki

    perda rencana zonasi, yakni Jakarta, Surabaya dan Semarang.

    Prioritas penyusunan perda rencana zonasi adalah kawasan

    strategis nasional, kabupaten/kota dengan pemanfaatan tinggi

    terhadap pesisir, kelautan dan perikanan dan wilayah perbatasan.

    Untuk mendukung penyusunan perda zonasi, Kementerian Kelautan

    dan Perikanan sedang menyusun revisi peraturan menteri tentang

    rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan.

    (Kompas, 22 November 2013)

    Workshop Roadmap Advokasi Rencana Tata Ruang Wilayah

    (RTRW) Aceh yang diselenggarakan oleh Koalisi Peduli Hutan Aceh

    (KPHA) digelar untuk mengkritisi dan mengadvokasi Rancangan

    Qanun RTRW Aceh yang pada akhir tahun ini akan disahkan oleh

    Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh itu menghasilkan beberapa

    Gambar 1 Zona Terlarang Merapi

    tah

    uk

    ah

    an

    da

    Sejarah Tata Ruang di Indonesia

    Peraturan tata ruang sejak abad ke-20 sudah mengatur tidak

    hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan

    lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung

    jawab pemerintah kota. Undang-Undang Desentralisasi pada

    tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah

    kota dan daerah memberikan hak kepada kota-kota

    untuk mempunyai pemerintahan, administrasi

    dan keuangan kota sendiri. Tak lama

    kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan

    Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191

    Tahun 1905 yang antara lain berisi

    pemberian wewenang pada pemerintahan

    kota untuk menentukan prasyarat persoalan

    pembangunan kota.

    Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang

    Indonesia 1948 2000. Departemen permukiman dan Prasarana

    Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman

    dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003.

    Gambar 2 Teluk Jakarta

  • buletin tata ruang & pertanahan12

    rekomendasi. Diantaranya, (1)mendorong lahirnya pasal tentang

    penyesuaian aktivitas ekonomi dalam kawasan ekologis yang tidak

    mengganggu fungsi lindung; (2) memberikan arahan terhadap

    pemanfaatan ruang dengan prinsip kearifan lokal, RTRW Aceh

    memerintahkan pengelolaan wilayah DAS diatur kembali dalam

    qanun kabupaten/kota dengan prinsip kearifan lokal; (3) melakukan

    cross-check data dengan lembaga-lembga yang memiliki data

    kebencanaan, baik Peta sensitiitas lahan, peta konlik satwa

    dan peta koridor satwa; (4) melakukan kajian akademis terkait

    harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah yang berhubungan

    dengan RTRW Aceh, baik kajian konsideran maupun kajian

    mendalam, dll. Rekomendasi-rekomendasi ini nantinya akan

    disampaikan kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang saat

    ini sedangmenggodok Qanun RTRW Aceh.(Atjehlink, 22 November

    2013)

    Para pengembang properti mengeluhkan soal beberapa kendala

    pembangunan rumah murah di Indonesia. Sedikitnya ada

    3(tiga) masalah utama yang menyulitkan pengembang properti

    membangun rumah murah: (1) perizinan, izin lokasi yang berbiaya

    tinggi dan waktu perizinan yang tidak jelas. (2) sertipikasi

    tanah, pengembang mengeluhkan soal beban biaya perizinan

    dan sertiikat tanah masih tinggi yang sangat memberatkan

    dunia usaha. (3) Pajak, pengembang meminta agar pemerintah

    khususnya Kementerian Keuangan memberikan insentif bagi para

    pelaku usaha. Besaran insentif pajak yang diberikan pemerintah

    berpengaruh terhadap harga jual rumah terutama bagi MBR.

    Pemberian insentif pajak juga bisa diberikan kepada pelaku usaha

    agar harga rumah bisa disesuaikan terutama untuk masyarakat

    berpenghasilan rendah. (detikinance, 25 November 2013)

    Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Setyo Maharso

    mengeluh atas mahalnya pemberian izin lokasi untuk pembangunan

    pemukiman dan pembebasan biaya perumahan sederhana tapak

    (landed house) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)

    oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setyo juga meminta

    otoritas pertanahan tersebut menindak aparatnya yang tidak

    mendukung proses penerbitan sertiikat untuk perumahan bagi

    masyarakat kelas tersebut. Selain itu, dia juga berharap RUU

    Pertanahan segera diselesaikan untuk mengatasi ketidakpastian

    hukum atas kepemilikan tanah yang telah diterbitkan BPN.

    Menurutnya, kepastian hukum dengan RUU Pertanahan tersebut

    seharusnya menjadi prioritas utama untuk diatur pada pasal

    dalam RUU Pertanahan untuk menjamin kepastian bagi investor

    dan masyarakat.Hal tersebut sesuai pasal 28 ayat 1 UUD 1945,

    di mana setiap orang berhak atas perlindungan diri dan harta

    bedanya, pungkas Setyo.( Sindonews, 25 November 2013)

    Selama ini sengketa pertanahan, kalau mediasi buntu, diselesaikan

    lewat jalur peradilan umum. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah,

    peradilan umum itu mahal, lama dan selalu mengedepankan bukti

    otentik tertulis. Walhasil banyak sekali kasus pertanahan yang

    tidak selesai-selesai. Harus ada peradilan khusus pertanahan,

    ucap Kurnia Toha, Kepala Pusat Hukum & Hubungan Masyarakat/

    Juru Bicara BPN RI.Nantinya dalam peradilan khusus itu hakim-

    hakimnya diisi oleh orang-orang yang harus paham dalam bidang

    pertanahan, ilosoi teori-teori latar belakang keluarnya suatu

    peraturan, ujar Toha. Sayangnya, wacana pembentukan peradilan

    pertanahan masih belum mendapatkan penerimaan yang positif.

    Ide lahirnya peradilan pertanahan karena banyak kasus pertanahan

    tidak selesai-selesai. Makanya lewat RUU pertanahan yang sedang

    dibahas, BPN RI mengusulkan supaya ada peradilan pertanahan

    yang merupakan bagian dari peradilan umum, ad-hoc. Kemudian

    prosesnya bisa berlangsung dengan cepat, yaitu hanya PN dan MA.

    Waktunya pun dibatasi, dan alat-alat bukti yang dipakai tidak hanya

    yang tertulis saja, tapi juga yang tidak tertulis. (Suaraagraria, 28

    November 2013)

    Desember

    Tidak kurang dari 20 orang petani warga Desa Pering Baru, Ujung

    Padang, Provinsi Bengkulu, berjuang mengambil alih ladang, yang

    sejak 1984 dicaplok oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara

    (BUMN) yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Proses

    perjuangan berkepanjangan memasuki 38 tahun, mereka tetap

    kukuh memperjuangkan haknya. Setidaknya, secara adat, kawasan

    tersebut dimiliki oleh 14 kepuyangan (leluhur) yang telah beranak

    pinak.Memang saat itu kami tidak mengerti sertiikat, namun kami

    memiliki bukti tanam tumbuh dan beberapa surat dari pasirah,

    tambah Nahadin, salah satu petani.

    Mulanya, Bupati menekankan tanah yang boleh digarap BUMN itu

    adalah padang ilalang dan hutan yang tidak digarap warga. Saat

    itu syarat disanggupi oleh BUMN, namun pada perkembangan

    berikutnya, BUMN justru mencaplok semua tanah milik warga

    setidaknya ada 518 hektar lahan diambil secara paksa dan

    kekerasan yang melibatkan aparat TNI dan Polri. Puncak pertikaian

    antara perusahaan dan warga terjadi pada 2010 tidak kurang dari

    18 warga dijebloskan ke penjara selama 3 bulan 20 hari hanya

    karena menuntut agar tanah mereka dikembalikan. Hingga pada

    pertengahan tahun 2013, BUMN yang saat ini menguasai hampir

    1.600 hektare tanah masyarakat itu diminta oleh pemerintah

    setempat melakukan ukur ulang.Jika perkebunan BUMN itu lebih

    dari 518 hektare, maka kelebihannya wajib dikembalikan kepada

    petani yang kehilangan tanah. (Kompas, 1 Desember 2013) [ias]

    Gambar 3 Aksi unjuk rasa petani

    tah

    uk

    ah

    an

    da

    Sejarah Tata Ruang di Indonesia

    Pengembangan perencanaan kota di Indonesia dipicu oleh

    persoalan pembentukan kota pada masa pemerintahan Hindia

    Belanda. Meskipun saat itu belum ada peraturan pemerintah

    yang seragam, pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya

    perencanaan kota secara menyeluruh.

    Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia

    menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang

    Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut

    disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan

    adanya perubahan terhadap paradigma otonomi

    daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor

    32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

    maka ketentuan mengenai penataan ruang

    mengalami perubahan yang ditandai dengan

    digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun

    1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-

    Undang Nomor 26 Tahun 2007

    tentang Penataan Ruang.

    Sumber: diolah dari beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang

    Indonesia 1948 2000. Departemen permukiman dan Prasarana

    Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, DepartemenPermukiman

    dan Prasarana Wilayah Permukiman. Jakarta, Desember 2003.

  • buletin tata ruang & pertanahan 13

    Pemberdayaan Kota Hijau, dan tahun lalu, 2012, bertema Kota

    Hijau, Hidup Lebih Baik. Tema tahun ini, Harmoni Ruang dan

    Air untuk Hidup Lebih Baik bertujuan untuk menjelaskan urgensi

    penyelenggaraan penataan ruang yang holistik dari suatu proses

    penataan kawasan hulu dan menjaga kawasan hilir sebagai satu

    kesatuan wilayah. Perencanaan secara terpadu ini adalah solusi

    untuk mengintegrasikan fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi

    sumberdaya air untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan.

    Peringatan Haritaru diselenggarakan setiap tahun untuk

    meningkatkan kesadaran setiap pemangku kepentingan akan

    pentingnya penataan ruang sebagai elemen penting pembangunan

    Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap upaya perwujudan

    ruang Nusantara yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan

    [gp].

    Peringatan Haritaru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2008 oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang

    Kementerian Pekerjaan Umum. Penetapan tanggalnya diadopsi dari peringatan World Town Planning

    Day (WTPD) yang diperingati di 35 negara di seluruh dunia. Puncak peringatan Hari Tata Ruang (Haritaru)

    dilaksanakan pada 8 November 2013. Tahun ini tema yang diusung adalah Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup

    Lebih Baik. Tema ini diangkat dengan kesadaran bahwa saat ini intensitas bencana yang terus meningkat,

    terutama banjir, merupakan salah satu dampak dari penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air yang

    kurang tepat.

    Pemikiran tentang penataan ruang di Indonesia dirintis pada awal

    abad XX sejak ditetapkannya Undang-Undang Desentralisasi

    (Decentralisatiewet) yang mengakhiri administrasi pusat yang

    berkuasa di Batavia. Pemikiran-pemikiran tersebut terus

    berkembang, hingga pada 1948 perencanaan tata ruang mulai

    diselenggarakan melalui penetapan Ordonansi Pembentukan Kota

    (Stadsvormingsordonantie) yang mengatur tentang ketentuan

    penataan kembali kota-kota yang mengalami kerusakan akibat

    Perang Dunia ke-2. Dan pada awal tahun 1970-an, digagas RUU

    Bina Kota yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.24/1992

    tentang Penataan Ruang. UU ini kemudian diperbarui oleh UU No.

    26/2007 tentang Penataan Ruang yang menjadi payung bagi upaya

    pengembangan wilayah dan perkotaan yang lebih baik di Indonesia.

    Haritaru telah diselenggarakan lima kali, dengan tema umum

    Planning for All yang dilengkapi dengan tema khusus setiap

    tahunnya. Tema khusus pada tahun 2008 adalah Perencanaan

    untuk Semua, kemudian di tahun 2009 bertema Perencanaan

    Ruang Hijau, tahun 2010 Kotaku Hijau, tahun 2011

    Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2013

    Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup

    Lebih Baik

    Gambar 1 Pasar Terapung di Banjarmasin

    Gambar 2 Rencana Pola Ruang Wilayah Nasional

    Arti logo Haritaru Warna biru menjelaskan dominasi air pada permukaan bumi,

    termasuk 2/3 wilayah Negara Indonesia.

    Simbol Bumi menjelaskan tujuan akhir dari program Harmoni Ruang dan Alam.

    Pohon mewakili fungsi ekologi. Manusia mewakili fungsi sosial. Bangunan mewakili fungsi ekonomi. Siklus air menjelaskan penyelenggaraan penataan ruang

    harus mampu mengintegrasikan fungsi sosial, ekologi, dan

    ekonomi.

  • buletin tata ruang & pertanahan14

    art

    ike

    l

    Pengendalian Pemanfaatan Ruang:

    Mencari Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan

    Ruang yang Efektif

    Dr. Ir. Basoeki Hadimoeljono, M.Sc.Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

    Berdasarkan UUPR, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan

    melalui: (1) penetapan peraturan zonasi, (2) perizinan, (3) pemberian

    insentif dan disinsentif, serta (4) pengenaan sanksi. Instrumen

    pengendalian berupa penetapan peraturan zonasi, perizinan,

    pemberian insentif dan disinsentif merupakan instrumen yang

    sifatnya untuk pencegahan pelanggaran, sedangkan pengenaan

    sanksi merupakan instrumen untuk penindakan pelanggaran.

    Permasalahan dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

    Saat ini, setelah 6 tahun diterbitkannya UUPR, sudah saatnya

    mengalihkan fokus utama pelaksanaan penataan ruang, dari

    perencanaan tata ruang ke pengendalian pemanfaatan ruang.

    Namun implementasi pengendalian pemanfaatan ruang ini

    menemui berbagai macam permasalahan.

    Persoalan pertama dalam implementasi pengendalian adalah belum

    seluruh daerah memiliki perda RTRW dan Rencana Rinci, padahal

    dokumen perencanaan tersebut adalah dasar untuk melakukan

    pengendalian pemanfaatan ruang; sampai dengan awal bulan

    Oktober 2013, tercatat baru 16 provinsi, 247 kabupaten, dan

    65 kota yang telah memiliki perda RTRW. Berdasarkan UUPR

    pasal 22 ayat 2 huruf e, RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk

    penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.Arahan perizinan

    pemanfaatan ruang yang terkandung dalam RTRW provinsi

    merupakan acuan untuk perizinan pemanfaatan ruang, baik di

    wilayah provinsi maupun kawasan strategis provinsi. Sedangkan

    RTRW Kab/Kota menjadi pedoman untuk penetapan lokasi dan

    fungsi ruang untuk investasi (Pasal 26 ayat 2 huruf e UUPR) dan

    menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan

    dan administrasi pertanahan di Kab/Kota (Pasal 26 ayat 3). RTRW

    kabupaten/kota menjadi dasar untuk penerbitan izin prinsip, izin

    lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, IMB, dan izin lainnya.

    Dalam hal kabupaten/kota yang bersangkutan sudah memiliki

    rencana detail tata ruang kabupaten/kota maka dasar penerbitan

    izin di atas adalah rencana detail tata ruang kabupaten/kota.

    Peraturan zonasi, sebagai salah satu instrumen pengendalian

    pemanfaatan ruang, merupakan ketentuan yang mengatur tentang

    persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya

    dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan

    zonanya dalam rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi

    kabupaten/kota disusun sebagai kelengkapan RTRW kabupaten/

    kota, dan merupakan dasar dalam pemberian insentif dan

    disinsentif, pemberian izin, dan pengenaan sanksi di tingkat

    kabupaten/kota. Namun sampai saat ini belum ada pemerintah

    daerah yang mengatur dengan rinci mengenai pengendalian

    pemanfaatan ruang dalam bentuk peraturan daerah. Instrumen

    pengendalian pemanfaatan ruang dalam RTRW (provinsi/kabupaten/

    kota) masih bersifat normatif dan perlu dirinci lagi sehingga dapat

    lebih implementatif.

    Dalam implementasi pengendalian pemanfaatan ruang tersebut,

    dan juga di setiap tahapan penataan ruang, perlu dukungan sistem

    informasi yang berkaitan dengan dinamika pemanfaatan ruang di

    lapangan. Namun kondisi di daerah saat ini adalah tidak tersedianya

    sistem informasi tata ruang yang lengkap. Keterbatasan data/

    informasi, dokumen, peta RTRWdan kondisi di lapangan seringkali

    menyulitkan upaya-upaya pengendalian pemanfaatan ruang.

    Dalam hal pengawasan penataan ruang, PP No. 15/2010

    menyebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan pengawasan

    terhadap penyelenggaraan penataan ruang dengan menyampaikan

    hasil pengawasan melalui sarana yang disediakan oleh Pemerintah/

    pemerintah daerah.Terkait dengan peran masyarakat dalam

    penataan ruang, kurangnya partisipasi masyarakat dalam

    memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai

    dengan rencana tata ruangmenjadi permasalahan lain yang

    dihadapi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat

    dan/atau organisasi sosial kemasyarakatan maupun LSM (Lembaga

    Swadaya Masyarakat) yang ada masih belum berpartisipasi

    dalam penataan ruang, meskipun bentuk dan tata cara partisipasi

    masyarakat dalam penataan ruang ini telah diatur dalam PP No.

    68/2010.

    Berbagai permasalahan dalam implementasi pengendalian

    pemanfaatan ruang sangat erat kaitannya dengan isu efektivitas

    kelembagaan dalam pengendalian penataan ruang. Aspek

    Penataan Ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

    pengendalian pemanfaatan ruang, yang diselenggarakan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang

    aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Saat ini, banyak rencana tata ruang yang telah disusun sesuai

    dengan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), baik di tingkat nasional, provinsi, maupun

    kabupaten/kota. Sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang, pemanfaatan ruang yang merupakan

    tahap mewujudkan rencana tata ruang tersebut perlu diimbangi dengan pengendalian pemanfaatan ruang.

    Pengenaan Sanksi

    PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

    upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang

    Penetapan

    Peraturan ZonasiPerizinan

    Rencana Rinci Tata Ruang

    Izin Pemanfaatan Ruang

    tindakan penertiban yang

    dilakukan terhadap

    pemanfaatan ruang yang

    tidak sesuai dengan

    RTR dan peraturan zonasi

    penggantian/ ganti

    kerugian yang layak

    batal demi hukum

    dapat dibatalkan

    Pemberian

    Insentif & Disinsentif

    Ps. 36 ayat (1)

    Ps. 36 ayat (2)

    Ps. 37 ayat (1)

    Ps. 37 ayat (6)

    Ps. 37 ayat (3)

    Ps. 37 ayat (4)

    Ps. 1 angka 15

    Ps. 35

    Ps. 36 ayat (3)

    PP untuk arahan peraturan zonasi

    sistem nasional

    Perda Provinsi untuk arahan

    peraturan zonasi sistem provinsi

    Perda kabupaten/kota untuk

    peraturan zonasi

    Gambar 1 Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang

  • buletin tata ruang & pertanahan 15

    kelembagaan merupakan hal yang sangat erat kaitannya dengan

    kewenangan dalam penataan ruang. Sejalan penerapan sistem

    penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan

    UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah

    Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengatur

    dan mengurus urusan pemerintahannya. Berdasarkan PP No.

    38/2007, penataan ruang merupakan urusan pemerintahan yang

    bersifat kongruen yang dibagi bersama antar pemerintahan.

    Agar dapat menciptakan tertib ruang sesuai dengan rencana tata

    ruang, maka pengendalian pemanfaatan ruang harus dilakukan

    secara terpadu yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang

    sesuai dengan otoritasnya. Jika melihat struktur organisasi

    terkait penataan ruang di pusat dan daerah, banyak lembaga/

    instansi struktural yang berkepentingan dalam penataan ruang,

    baik di pusat maupun di daerah, namun perbedaan struktur

    organisasi pemerintah daerah menyebabkan terjadinya perbedaan

    level (eselonering) unit organisasi yang berwenang melakukan

    pengendalian pemanfaatan ruang. Kurangnya koordinasi dalam

    pengendalian pemanfaatan ruang yang berakibat pada rendahnya

    keterpaduan pemanfaatan ruang, mengingat penataan ruang

    merupakan urusan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan

    lintas pemangku kepentingan.

    Mengingat implementasi pengendalian penata