cdk_144_tht

Embed Size (px)

Citation preview

  • http://www.kalbe.co.id/cdk

    ISSN : 0125-913X

    2004

    144. THT

  • http. www.kalbe.co.id/cdk

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    2004

    144. THT Daftar isi :

    2. Editorial 4. English Summary

    Artikel

    5. Rinitis Atrofi Rizalina Arwinati Asnir 8. Papiloma Laring pada Anak Bambang Supriyatno, Lia Amalia 11. Kista Duktus Tiroglosus Hafni 13. Rinoskleroma Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah 16. Kanker Nasofaring - Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir R.

    Susworo 20. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita

    Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat Retno Gitawati, Ani Isnawati

    24. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja Novi Arifiani

    29. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja Ambar W. Roestam Keterangan Gambar Sampul :

    Jaras sistim pendengaran manusia

    sumber: http://ivertigo.net 13

    35. Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi HR Krisnabudhi 41. Vertigo: Aspek Neurologi Budi Riyanto Wreksoatmodjo 47. Terapi Akupunktur untuk Vertigo Prasti Pirawati, L. Yvonne

    Siboe 52. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah

    satu Sumber Antioksidan Sulistyowati Tuminah 55. Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka

    Demam Berdarah Dengue di Jakarta Tahun 2001 Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk

    57. Produk Baru 58. Kapsul 59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah 62. Abstrak 64. RPPIK

  • EEDDIITTOORRIIAALL

    Cermin Dunia Kedokteran kali ini terbit dengan topik bahasan masalah telinga, hidung dan tenggorokan. Beberapa penyakit seperti rinitis atrofi dan papiloma laring dapat anda jumpai; selain masalah pengaruh lingkungan dalam hal ini kebisingan terhadap fungsi pendengaran khususnya.

    Tidak ketinggalan pula artikel mengenai kanker nasofaring dan perawatan trakeostomi yang perlu diperhatikan, baik oleh tenaga medis maupun keluarga pasien.

    Artikel mengenai vertigo juga ikut melengkapi edisi ini Selamat membaca, komentar dan kritik sejawat sekalian tetap kami

    nantikan

    Redaksi

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 2

  • 2004 International Standard Serial Number: 0125 - 913X

    KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

    REDAKSI KEHORMATAN

    PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

    - Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta

    - Prof. Dr. R Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

    PELAKSANA Sriwidodo WS.

    - -

    TATA USAHA - Dodi Sumarna - Djuni Pristiyanto

    Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

    Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

    ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbe.co.id/cdk

    - DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

    NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

    DEWAN REDAKSI

    PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

    -

    -

    PENCETAK PT. Temprint

    Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

    Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

    http://www.kalbe.co.id/cdk

    PETUNJUK UNTUK PENULIS

    Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

    Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

    Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

    pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

    William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

    organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

    3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

    Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

    Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

    Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

    Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

  • English Summary

    LARYNGEAL PAPILLOMA IN CHILD-REN Bambang Supriyatno, Lia Amalia Dept of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

    Laryngeal papilloma is a be-nign tumor frequently found in children. It is caused by strains of human papilloma virus (HPV) family.

    Practically all patients with laryngeal papilloma present with hoarseness or a weak voice; chronic cough, paroxysms of chocking; recurrent respiratory infections also may occur. Partial airway obstruction may manifest as stridor or chest retractions. Diagnosis can be confirmed using a flexible fiberoptic laryngoscope to visualize the larynx. Papillomata have a characteristic wart-like appearance, and tend to be concentrated on the free margins of true vocal folds, particularly at the anterior commissure.

    The mainstay of treatment is surgical ablation. The role of medications such as alpha-interferon, acyclovir, ribavirin, and retinoic acid are still debatable.

    Cermin Dunia Kedokt.2004: 144; 8-10 bso, laa

    RHINOSCLEROMA Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Fir-mansyah Dept. of ENT, Adam Malik General Hospital, Medan, North Sumatra, Indonesia

    Rhinoscleroma is an endemic disease; in Indonesia it is found in North Sulawesi, North Sumatera and Bali.

    There is still no accurate and successful management method for this problem .

    Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 13-15 dmr,raa,fih

    Fate is distinghished but an expensive tutor

    (Goethe)

    ACUPUNCTURE FOR VERTIGO Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe Dept. of Acupuncture Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

    Vertigo is a common com-plaint, referred to dizziness or a sense of imbalance, can be due to vestibular system disorder. The symptoms may cause anxiety and disturb the patients social life.

    Conventional treatment is still not satisfactory.

    This is a report of a 50 year-old female with vertigo, treated with acupuncture and showed good improvement.

    Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 47-51

    ppi,lys

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 4

  • Artikel

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Rinitis Atrofi

    Rizalina Arwinati Asnir

    Bagian/SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

    ABSTRAK

    Rinitis atrofi sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk dan di negara yang sedang berkembang. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai saat ini belum dapat diterangkan secara jelas, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Kata kunci : rinitis atrofi, sosial ekonomi rendah.

    PENDAHULUAN

    Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.1-11 Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehing-ga terbentuk krusta yang berbau busuk.1-9 Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.1-4,7,11,13

    Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16

    Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16

    Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang-kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.1,2,4,11,17

    Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi .1-5,11-15

    SINONIM : Ozaena, rinitis fetida, rinitis krustosa.20 KEKERAPAN

    Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.1-4,7,11,13 Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,8 dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.9 Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.20

    Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun,8 Jiang dkk berkisar 13-68 tahun9, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.20

    Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16 Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun. ETIOLOGI

    Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat di-terangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16 Beberapa teori yang dikemukakan antara lain : 1) Infeksi kronik spesifik 1-4, 7,9,11,12,17

    Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini meng-hentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudo-monas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena 2) Defisiensi Fe1-4,7,12, vitamin A1,2,5,7,11 3) Sinusitis kronik1,2,5,12,16,18 5) Ketidakseimbangan hormon estrogen1-5,7,11 6) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun1-4,7,5,7 7) Teori mekanik dari Zaufal4,5 8) Ketidakseimbangan otonom 4,7,12,17

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 5

  • 9) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)4,5,17 10) Herediter5,7,17 11) Supurasi di hidung dan sinus paranasal5,16 12) Golongan darah.

    Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa di-golongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui4,10 dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. PATOLOGI DAN PATOGENESIS

    Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atro-fik,3,4,5,9,11,12,15,16,19 dan fibrosis dari tunika propria.3,4,12, terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukur-an3,4,11 dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.3,13 ;oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:3,4,21 Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.

    Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.3,4

    Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebab-kan pembentukan krusta tebal yang melekat.10,11 Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.10,11 Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi.

    Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurang-an efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.7 GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN

    Keluhan biasanya berupa : hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.1-5,10-12

    Pada pemeriksaan ditemui : rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/telur larva (karena bau busuk yang

    timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik

    dalam tiga tingkat21 : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar se-kali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. DIAGNOSIS

    Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, peme-riksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menying-kirkan sifilis.1,2,9,11 Diagnosis Banding

    Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.21 KOMPLIKASI4,8,11

    Dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis hidung, hidung pelana. PENATALAKSANAAN

    Tujuan pengobatan adalah: menghilangkan faktor etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,2 Konservatif 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.1,2 Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada peng-obatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.3 2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 c 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke naso-faring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 6

  • 3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu 5) Preparat Fe 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas1-5,11-14

    Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.3

    Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang me-muaskan pada 6 dari 7 penderita.21

    OPERASI Tujuan operasi antara lain untuk: menyempitkan rongga

    hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentuk-an krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkin-kan terjadinya regenerasi.

    Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1) Young's operation

    Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha me-laporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2) Modified Young's operation

    Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3) Lautenschlager operation

    Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.4,5,10-14,23

    Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.22 PROGNOSIS

    Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.5 KESIMPULAN

    Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.

    Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.

    Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilang-kan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Peng-obatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

    KEPUSTAKAAN 1. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung . Dalam : Buku Ajar Ilmu

    Penyakit Telinga Hidung Tenggorok . Edisi ke 3. Jakarta : FKUI, 1997; 91-3, 113-4.

    2. Mangunkusumo E. Rinitis Atrofi. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta : FKUI, 1992; 90-2.

    3. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. Dalam : Scott-Brown's Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 4/8/26-7.

    4. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. Madras : All India Publisher, 1993; 202-5.

    5. Kumar S. Fundamental of Ear,Nose & Throat Diseases and Head - Neck Surgery. Calcutta : The New Book Stall, 1996; 218-21.

    6. Lobo CJ, Hartley C, Farrington WT. Closure of the Nasal Vestibule in Atrophic Rhinitis-A new non surgical technique. J Laryngol Otol 1998; 112 : 543-6.

    7. Sayed RH, Elhamd KA, Kader MA. Study of Surfactant Level in Cases of Primary Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 2000; 114 : 254-9.

    8. Baser B, Grewal DS, Hiranandani NL. Management of Saddle Nose Deformity in Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 1990 ; 104 : 404-7.

    9. Jiang R,Hsu C,Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Postoperative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. Am J Rhinol 1998 ; 12 : 325-33.

    10. Groves J,Gray RF.A Synopsis of Otolaryngology. 4th Bristol:Wright, 1985; 193-411.

    11. Maqbool M. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th ed New Delhi : Jaypee Brothers, 1993; 264-7.

    12. Massegur H.Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. Dalam : XVI Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney, 1997; 1403-6.

    13. Maran AGD. Disease of the Nose, Throat and Ear. Singapore : PG Publishing, 1992; 40-1.

    14. Colman BH. Disease of the Nose, Throat and Ear and Head and Neck. 14th ed Singapore : ELBS, 1987; 26-7.

    15. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases. A Pocket Reference. 2nd ed. New York : Georg Thieme Verlag, 1994; 218-9.

    16. Hagrass, Gamea AM, Sherief SG.Radiological and Endoscopic Study of the Sinus Maxilla in Primary Atrophic Rhinitis.J Laryngol Otol 1992 ;106: 702-3.

    17. Bertrand B, Doyen A, Elloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the Treatment of Atrophic Rhinitis:Technique and Results. Laryngoscope 1996; 106 : 652-7.

    18. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok , Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 1-4, 10-5, 229.

    19. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies (ed), Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya, C. Jakarta: EGC, 1996; 173-82, 221-2.

    20. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofi. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang, 1986; 549-55.

    21. Mewengkang N, Samsudin, Sutomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada Penderita Ozaena Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang: 1986; 576-80.

    22. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls. Vol.1. New York : Georg Thieme Publishers, 1980; 349-51, 381-2.

    23. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3rd Baltimore : Williams & Wilkins, 1996; 492, 499.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 7

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Papiloma Laring pada Anak

    Bambang Supriyatno, Lia Amalia

    Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    ABSTRAK

    Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai di

    saluran nafas anak; dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang dapat meng-akibatkan kematian.

    Etiologi pasti papiloma laring tidak diketahui; diduga berhubungan dengan infeksi human papiloma virus (HPV) tipe 6 dan 11. Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang buruk, infeksi saluran nafas kronik, kelainan imunologis, dan terdapatnya kondiloma akumi-nata pada ibu. Manifestasi klinis awal biasanya berupa suara serak sampai afonia serta suara tangisan yang abnormal. Papiloma laring pada anak dapat menyebar ke trakea dan bahkan sampai ke paru-paru. Diagnosis papiloma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laringoskopi langsung. Pada laringoskopi langsung dapat terlihat gambaran tumor menyerupai kembang kol, ber-warna kemerahan, rapuh, mudah berdarah, dan pertumbuhannya eksofilik. Tatalaksana-nya berupa tindakan bedah dikombinasikan dengan fotodinamik; obat-obatan (medi-kamentosa) kurang berperan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah sumbatan jalan nafas serta penyebaran ke paru-paru. Prognosis kurang baik dalam hal rekurensi; pada anak angka rekurensi (kekambuhan) masih cukup tinggi. Kata kunci : papiloma laring, anak, rekurensi

    PENDAHULUAN

    Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai pada saluran napas anak. Papiloma laring pertama kali dikenal sebagai kutil di tenggorok (warts in the throat) oleh Donalus pada abad ke-17. Mc Kenzie memper-kenalkan nama papiloma laring pada abad ke-19.1

    Papiloma merupakan neoplasma laring jinak pada anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Papiloma laring pada anak dapat menjadi masalah jika menyumbat jalan napas. Selain itu papiloma laring mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan meluas ke struktur trakeobronkial.

    Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada saluran napas merupakan penyebab potensial papiloma laring. Mc Kenzie membedakan penyakit ini dari tumor lain secara klinis dan menggunakan istilah papiloma.2,3

    Papiloma merupakan jenis tumor yang berkembang de-ngan cepat, walaupun tidak ganas. Tumor ini dapat menyebar ke rongga mulut, hidung, trakea dan paru, tetapi lokasi ter-sering adalah laring.4,5

    Terdapat dua jenis papiloma laring; salah satu adalah papi-loma laring juvenilis yang biasanya multipel dan cenderung agresif. Yang lain adalah papiloma laring senilis yang soliter dan kurang agresif tetapi dapat berkembang menjadi ganas.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

    8

  • INSIDENS Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak, 80%

    pada kelompok usia di bawah 7 tahun.6 Agung7 melaporkan 7 kasus antara 1970-1976, 6 di antaranya di bawah 12 tahun. Sedangkan di Bagian THT RSCM ditemukan 14 kasus antara 1993-1997 dengan usia antara 2,5-18 tahun. ETIOLOGI

    Etiologi papiloma laring tidak diketahui dengan pasti. Diduga Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11 berperan terhadap terjadinya papiloma laring. Diduga ada hubungan an-tara infeksi HPV genital pada ibu hamil dan papiloma laring pada anak.8,9 Hal ini terbukti dengan adanya HPV tipe 6 dan 11 pada kondiloma genital. Walaupun penemuan di atas menun-jukkan peran infeksi virus pada papiloma laring, tetapi ada faktor lain yang berperan., mengingat papiloma laring dapat menghilang spontan saat pubertas.

    Teori yang melibatkan faktor hormonal sebagai salah satu penyebab pertama kali dikemukakan oleh Holinger.10

    Terdapat beberapa faktor predisposisi papiloma laring yaitu sosial ekonomi rendah dan higiene yang buruk, infeksi saluran napas kronik, dan kelainan imunologis.3,11-13 HISTOPATOLOGI

    Gambaran makroskopik papiloma laring berupa lesi ekso-fitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara spontan. 10

    Gambaran mikroskopik menunjukkan kelompok stroma jaringan ikat dan pembuluh darah seperti jari-jari yang dilapisi lapisan sel epitel skuamosa dengan permukaan keratotik atau parakeratotik. Kadang-kadang muncul gambaran sel yang ber-mitosis.10 MANIFESTASI KLINIS

    Pada awalnya adalah gangguan fonasi berupa suara serak sampai afonia dan suara tangisan abnormal pada anak. Bila papiloma cukup besar dapat menyebabkan gangguan pernapasan berupa batuk, sesak, dan stridor inspirasi. Penyebaran ke trakea dan bronkus jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi pada pasien dengan riwayat ekstirpasi papiloma atau riwayat trakeostomi sebelumnya, yang menimbulkan sumbatan saluran napas atau penyakit parenkim paru. 14-16

    Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas, sedangkan Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.7,11

    DIAGNOSIS

    Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti,

    pemeriksaan fisis, dengan laringoskopi langsung atau tak lang-sung serta dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis.

    Pada anamnesis jika terdapat suara serak dan suara tangisan yang abnormal pada anak dengan atau tanpa riwayat infeksi yang telah diobati tetapi tidak ada perubahan, maka perlu dicurigai suatu papiloma laring. Biasanya terdapat stridor inspirasi dan pada pemeriksaan laringoskopi langsung tampak gambaran tumor yang menyerupai kembang kol, kemerahan, rapuh, dan mudah berdarah, serta pertumbuhannya eksofilik.

    Penyebaran ke trakea dan paru dapat diidentifikasi melalui foto toraks dan CT Scan. Pada foto toraks dapat terlihat gambaran kavitas.17 Diagnosis banding

    Diagnosis sulit terutama pada fase awal. Sering disalah diagnosis dengan laringo-trakeo-bronkitis, asma bronkial, la-ringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan la-ringoskopi langsung dan biopsi.15 PENATALAKSANAAN

    Ada beberapa perangkat dalam tatalaksana papiloma laring, semuanya mempunyai prinsip sama yaitu mengangkat papiloma dan menghindari rekurensi. Umumnya terapi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bedah

    Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis laring. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan papi-loma dan/atau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas. Beberapa teknik yang digunakan antara lain: trakeostomi, laringofissure, mikrolaringoskopi langsung, mikrolaringoskopi dan ekstirpasi dengan forseps, mikrokauter, mikrolaringoskopi dengan diatermi, mikrolaringoskopi dengan ultrasonografi, kriosurgeri, carbondioxide laser surgery.17,18 Pada kasus papi-loma laring yang berulang, terapi bedah pilihan adalah peng-angkatan tumor dengan laser CO2. b. Medikamentosa

    Pemberian obat (medikamentosa) pernah dilaporkan baik digunakan secara sendiri maupun bersama-sama dengan tin-dakan bedah. Obat yang digunakan antara lain antivirus, hor-mon (dietilstilbestrol), steroid, dan podofilin topikal. Terapi medikamentosa ini tidak terlalu bermanfaat.18-20 c. Imunologis

    Terapi imunologi untuk papiloma laring umumnya hanya suportif menggunakan interferon.18 d. Terapi fotodinamik

    Terapi ini merupakan satu dari perangkat terbaru dalam tatalaksana papilomatosis laring rekuren.14 Terapi ini meng-gunakan dihematoporphyrin ether (DHE) yang tadinya dikem-bangkan untuk terapi kanker. Jika diaktivasi dengan cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai (630 nm), DHE meng-hasilkan agen sitotoksik yang secara selektif menghancurkan sel-sel yang mengandung substansi tersebut. Basheda dkk. melaporkan bahwa terapi fotodinamik efektif menghilangkan lesi endobronkial, tetapi tidak untuk lesi parenkim.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 9

  • KOMPLIKASI Pada umumnya papiloma laring pada anak dapat sembuh

    spontan ketika pubertas; tetapi dapat meluas ke trakea, bronkus, dan paru, diduga akibat tindakan trakeostomi, ekstirpasi yang tidak sempurna.13 Meskipun jarang, radiasi diduga menjadi faktor yang mengubah papiloma laring menjadi ganas.

    PROGNOSIS Prognosis papiloma laring umumnya baik. Angka re-

    kurensi (berulang) dapat mencapai 40%. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi re-kurensi pada papiloma.16 Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi. Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru.

    KEPUSTAKAAN

    1. Harley C, Hamilton, Birzgalis AR. Recurrent respiratory papillomatosis.

    The Manchester experience 1974-1992. Laryngol and Otol 1994; 108:226-9.

    2. Kohlmoos HW. Papilloma of the larynx in children. Arch Otolaryngol 1995; 11:242-52.

    3. Elo J, Hidvigi J, Bajtai A. Papova viruses and recurrent laryngeal papillomata. Arch Otolaryngol 1995; 115:322-5.

    4. Erisen L, Fagan JJ, Myers EN. Late recurrences of laryngeal papillo-matosis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122:942-4.

    5. Kashima H, Mounts P, Leventhal B. Sites of predilection in recurrent respiratory papillomatosis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:580-3.

    6. Steinberg BM, Topp WC, Schneider PS, et al. Laryngeal papillomavirus infection during clinical remission, N Engl J Med 1983; 308:1261-4.

    7. Agung IB, Losin. Pengelolaan papiloma laring di Bagian THT FK-UGM. Laporan pendahuluan KONAS PERHATI V Semarang, 1977; .h.669-75.

    8. Smith EM, Pignatari SSN, Gray SD. Human papillomavirus infection in papillomas and nondisease respiratory sites of patients with recurrent respiratory papillomatosis using the polymerase chain reaction. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:554-7.

    9. Derkay CS. Task force on recurrent respiratory papillomas. A preliminary study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 121:1386-91.

    10. Abramson AL, Steinberg BM, Winkler B. Laryngeal papillomatosis: clinical histopathologic and molecular studies. Laryngoscope 1987; 97:678-85.

    11. Yasin AR. Penelitian pendahuluan pada papiloma laring. Skripsi. THT FKUI, 1982.

    12. Mulloly VM, Abramson AL, Steinberg BM. Clinical effect of alpha interferon dose variation on laryngeal papillomas. Laryngoscope 1998; 98:1324-9.

    13. Bashida SG, Mehta AC, de Boer G, Orlowski JP. Endobronchial and parenchymal juvenile laryngotracheobronchial papillomatosis effect of photodynamic therapy. Chest 1991; 100:1458-64.

    14. Shikowitz MJ. Comparison of pulsed and continuous wave light in photodynamic therapy of papillomas: An experimental study. Laryngoscope 1992; 102:300-10.

    15. Ossof RH, Werkheven JA, Dere H. Soft tissue complication of laser surgery for reccurent papillomatosis. Laryngoscope 1991; 101:1162-6.

    16. Rimell EM, Shoemaker DL, Pou AM. Pediatric respiratory papillomatosis. Prognostic role of viral typing and cofactors. Laryngos-cope 1997; 107:915-47.

    17. White A, Haliwell M, Fairman DH. Ultrasonic treatment of laryngeal papillomata. Bristol General Hospital. h.249-60.

    18. Haglund S, Lundwuist P, Cantell K. Interferon therapy in juvenile laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol 1981; 107:327-32

    19. Green GE, Bauman NM, Smith RJH. Pathogenesis and treatment of juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:187-207.

    20. Derkay CS, Darrow DH. Recurrent respiratory papillomatosis of the larynx. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:1-12.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

    10

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Kista Duktus Tiroglosus

    Hafni

    Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

    ABSTRAK

    Kista duktus tiroglosus merupakan 70 % dari kasus kista yang ada di leher. Kista

    ini lebih sering terjadi pada anak. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya. Kata kunci : Kista duktus tiroglosus, kekambuhan

    PENDAHULUAN

    Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea.1-11 Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher.4,5

    Kista ini biasanya terletak di garis median leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid.4-10,12

    Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus yang banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktus-nya, bagian tengah korpus hiod, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen saekum serta mengangkat otot lidah di sekitarnya, seperti yang dilakukan Sistrunk pada tahun 1920.1,3,4,5,9,10,13 KEKERAPAN

    Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non neoplastik di leher, merupakan 40% dari tumor primer di leher.1,13,14 Ada penulis yang menyatakan hampir 70% dari seluruh kista di leher adalah kista duktus tiroglosus.5,6

    Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak,10,14 walau-pun dapat ditemukan di semua usia.4,9,10,12 Predileksi umur terbanyak antara umur 0 20 tahun yaitu 52%, umur sampai 5 tahun terdapat 38%.4,11 Sistrunk (1920) melaporkan 31 kasus dari + 86.000 pasien anak.3 Tidak terdapat perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa didapat dari lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun.3,5

    Penulis lain mengatakan predileksi usia kurang dari 10 tahun sebesar 31,5%, pada dekade ke dua 20,4%, dekade ke tiga 13,5% dan usia lebih dari 30 tahun sebesar 34,6%.1,5 Waddell mendapatkan 28 kasus kista duktus tiroglosus secara histologik dari 61 pasien yang diduga menderita kista tersebut.12 Tri D dkk melaporkan 8 kasus kista duktus tiroglosus dari 1983-1985 di RS Kariadi Semarang.11

    PATOGENESIS Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya

    kista duktus tiroglosus : 1) infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami degenerasi kistik. 2) sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista.

    Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga terbentuklah kista.1

    LOKASI

    Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid.11

    Lokasi yang sering adalah1,5 : - intra lingual : 2,1% - suprahioid : 24,1% - tirohioid : 60,9% - suprasternal : 12,9% Sedangkan Ward4 mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya terdapat di:

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 11

  • - submental : 2 - suprahioid : 18 - transhioid : 2 - infrahioid : 43 - suprasternal : 3 Hanlon mendapatkan 1 kasus kista duktus tiroglosus yang lokasinya jauh ke lateral.8 GEJALA KLINIK

    Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista.

    Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah.1,6,7,10 Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang-kadang lebih besar.9

    Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien me-ngeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah. DIAGNOSIS

    Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen.2,6,11 Diagnosis Banding 1. Lingual tiroid 3. Kista brankial 2. Kista dermoid 4. Lipoma1,11 PENATALAKSANAAN

    Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60-100%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktus-duktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.11

    Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 %.5,11 Cara Sistrunk : 1) Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi terlentang, kepala dan leher hiperekstensi. 2) Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan ber-bentuk elips megelilingi lubang fistula. 3) Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan me-manjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya.

    4) Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu sentimeter. 5) Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali.5,11 KOMPLIKASI

    Fistel duktus tiroglosus dapat timbul spontan atau sekunder akibat trauma, infeksi atau operasi yang tidak adekuat. Kejadi-an fistel ini antara 15-34%.5 KESIMPULAN

    Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang tetap ada sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid. Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher. Biasanya terletak di garis median leher yang dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid.

    Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, walaupun dapat ditemukan pada semua usia. Penatalaksanaan kista duk-tus tiroglosus dengan cara Sistrunk yang sudah banyak dilaku-kan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan.

    KEPUSTAKAAN

    1. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam : Scott-Browns Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 5/16/1-4.

    2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 295-6, 381-2.

    3. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1996; 415-21.

    4. Karmody CS. Developmental Anomalies of the Neck. Dalam: Pediatric Otolaryngology. 2nd ed. Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1990; 1313-14.

    5. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head and Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1987; 1362-69.

    6. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2nd ed. Vol. II. Philadelphia : Lea & Febiger, 1989; 88.

    7. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore : ELBS, 1987; 183.

    8. OHanlon DM, Walsh N, Corry J et al. Aberrant thyroglossal cyst. J. Laryngol. Otol. 1994; 108 : 1105-7.

    9. Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam : Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al. Philadelphia : JB Lippincott Co, 19; 755.

    10. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae. Dalam : Scott-Browns Otolaryngology. 6th ed. Oxford: Butterworth Heinemann, 1997; 6/30/8-12.

    11. Damijanti T, Suparjadi S, Samsudin. Tata Laksana Kiste Duktus Tiroglosus di UPF THT RSDK Semarang Th. 1983 - 1985. Dalam : Kumpulan Naskah Konas VI Perhati. Ujung Pandang. 1986; 760-7.

    12. Waddell A, Saleh H, Robertson N et al. Thyroglossal duct remnants. J. Laryngol. Otol. 2000; 114: 128-9.

    13. Urben SL, Ransom ER. Fusion of the thyroid interval in a patient with a thyroglossal duct cyst. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 120 (5): 757-9.

    14. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 12

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Rinoskleroma

    Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah

    Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

    ABSTRAK

    Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.

    Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang.

    PENDAHULUAN

    Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.1-7

    Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll (1918) di Sumatera Utara.2 Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8

    Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pem-bedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan.6,8

    Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempit-an rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus.

    Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif (Klebsiella rhinoscleromatis).1,8-10

    Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini.2,8,9

    Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung se-bagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga me-

    nimbulkan deformitas yang luas.8,10 Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan

    patologi spesimen yang memperlihatkan sel-sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma.5,7

    INSIDEN Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering

    pada dewasa muda.1,2,9 Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek.1,2 Belinoff melaporkan 94,5 % terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani.8 Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.8,9,11

    Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia.2-4,7,9,11,13-16

    Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8 ETIOLOGI

    Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif.1-16 Penyakit ini juga di-hubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.2,7 HISTOPATOLOGI

    Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histo-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 13

  • patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit.

    Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.9

    Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granu-lomatosa2,9,12 1. Stadium kataral/ atropik

    Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan jaringan granulasi. 2. Stadium granulomatosa

    Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epitelioma-tosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella rhinoskleromatis (Mikulicz sel). 3. Stadium sklerotik

    Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelain-an bentuk. GEJALA KLINIS

    Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit.1

    Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium 1,2,8-11,14: - Stadium I (Kataralis, Atrofi, Eksudasi)

    Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa.

    Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman. - Stadium II (Granulomatous, Infiltratif, Noduler)

    Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertum-buhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior). - Stadium III (Skleromatous, Stenosis, Sikatrik)

    Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas.

    Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring,

    trakea dan bronkus.

    Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh

    dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan.

    Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah.

    Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granu-lomatosa yang mengeras.1,6,8,11 DIAGNOSIS

    Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pe-meriksaan fisik yang meliputi : rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.1,2,7,810,14,15 Diagnosis Banding2,7,13,15 1. Proses infeksi granulomatosa

    a. Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra b. Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis,

    Koksidioidomikosis c. Parasit : Leismaniasis mukokutaneus

    2. Sarkoidosis 3. Wegener granulomatosis PENATALAKSANAAN

    Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan.6,8 1. Medikamentosa

    Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada stadium sklerotik.

    Antibiotik yang dapat digunakan antara lain: - Streptomisin : 0,5-1 g/ hari - Tetrasiklin : 1-2 g/ hari - Rifampisin 450 mg/ hari - Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin1,2,7-

    10,11,13-15 Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif.8

    Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetra-siklin dengan hasil yang memuaskan.9

    Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.3,10 2. Radiasi Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan.8,11

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 14

  • 3. Dilatasi Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi

    dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.1,9 4. Pembedahan

    Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang ter-batas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas (seperti pada skleroma laring) harus dilakukan trakeostomi.1,4,7,9,10,13,14,16 KOMPLIKASI

    Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke : 1. Organ sekitar hidung :

    - Sinus paranasal - Saluran lakrimal (dakrioskleroma) - Orbita : proptosis, kebutaan - Telinga bagian tengah (otoskleroma) - Palatum mole, uvula, orofaring

    2. Laring, sering timbul di daerah subglotik yang meng-akibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian.

    3. Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru.

    4. Intrakranial Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat

    juga timbul berupa perdarahan (pada stadium granulomatosa) dan berdegenerasi maligna.1

    KEPUSTAKAAN

    1. Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi

    Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h 457-66.

    2. http//www.atlases.muni.ce/atl-en/sect-sect-58/html. 3. Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies (ed). Buku Ajar penyakit THT.

    Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h 210. 4. Yigla M, Ben-izhak O, Oren I et al. Laryngotracheobronchial

    involvement in a patient with nonendemic rhinoscleroma. Chest. June 2000. http//www.afip.org/departements/endocrine/case/dec00/december2 htm.

    5. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p. 1851-52.

    6. Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h 368-70.

    7. Groves C. Department of pathology. Vol 17. No 4. January. 1998. http//www.162.129.103.32/micro/v17n04.htm.

    8. Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Dalam : Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h 128-34.

    9. Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p. 603-7.

    10. Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p. 208-9.

    11. Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Browns Otolaryngol-ogy. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4/8/34-35

    12. Rhinoscleroma http//www.thedoctorsdoctor.com/diseases/rhinoscleroma. htm

    13. Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p. 40.

    14. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h 2245-56.

    15. Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p. 206-7.

    16. Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p. 61.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 15

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Kanker Nasofaring

    Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir

    R. Susworo

    Guru Besar dan Spesialis Radiologi (Konsultan) Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam tahapan tahapan yang disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel manusia yang mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak normal dan berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain disebutkan faktor makanan, seperti konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor eksternal seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus. Berbagai kekacauan struktur ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan dengan kanker payudara atau indung telur (ovarium), atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker nasofaring. Perubahan genetik ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom (chromosome breaks) dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat diturunkan Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada kelainan struktur gen yang diturunkan. KANKER NASOFARING (KNF)

    Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi dan di atas bagian bebas dari langit langit lunak. Yang disebut KNF adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.

    Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk1. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai

    lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita.

    Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika bagian utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000.2 Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun.3

    Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

    16

  • Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya.

    Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masya-rakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). 4

    Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), (yang dinamai sesuai dengan penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma Burkitt pada 1960), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.

    Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.5

    Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar.

    Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine= CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB6. GEJALA KLINIS KNF

    Karena tidak ada gejala spesifik yang dijumpai pada penderita KNF, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Berbeda halnya dengan kanker leher rahim dan kanker payudara yang masing-masing dapat terdeteksi dengan metode pemeriksaan sitopatologik Papanicolaou dan mamografi; sampai saat ini belum ada metode penyaring yang paling efektif untuk deteksi dini KNF. Pemeriksaan titer antibodi IgA terhadap antigen yang diproduksi oleh virus Epstein Barr ternyata hanya bernilai untuk mengevaluasi respons dan kemungkinan terjadinya kekambuhan.

    Pada awalnya pasien mengeluh pilek pilek biasa, kadang kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi perdarahan dari hidung (mimisan). Keluhan telinga dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eustachii yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam ruang telinga tengah dan udara luar. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini yang tidak jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. Pemberian pengobatan terhadap pembesaran kelenjar yang dianggap tbc tanpa pemeriksaan yang benar tentunya akan sangat merugikan penderita secara moril maupun materiil mengingat pengobatan tbc memerlukan waktu yang lama. Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi makin besar, maka dapat dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Keterlambatan diagnosis lain yang pernah terjadi adalah karena kegagalan mencari penyebab keluhan sakit kepala yang terus menerus. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena pemeriksaan CT scan / MRI dilakukan hanya pada jaringan otak saja, padahal nyeri kepala yang timbul dapat merupakan akibat desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Yang selanjutnya terjadi biasanya pasien ini akan memperoleh pengobatan nyeri kepala dalam jangka panjang dan pemeriksaan berulang ulang terhadap otaknya sampai akhirnya muncul salah satu gejala akibat KNF.

    Selain mendesak dasar tengkorak KNF juga seringkali menyerang saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang mengakibatkan pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik, keluhan sensorik yang sering timbul adalah rasa baal di wajah.

    Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan atau MRI nasofaring dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologik jaringan nasofaring. Sedangkan pemeriksaan lain, seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop (bone scanning) dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimana-pun akan mengubah stadium penyakit dan mempunyai konskuensi terhadap tujuan pengobatan. PENGOBATAN

    Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah terapi radiasi. Kombinasi pengobatan dengan khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 17

  • yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat

    menggunakan pesawat kobalt (Co60) atau dengan akselerator linier (Linear Accelerator atau Linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar.

    Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.

    Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intensified Modulated Radiation Therapy) telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan Filipina telah memilikinya.

    Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak. EFEK SAMPING PENGOBATAN

    Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau akan mengikutsertakan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka efek samping akut di atas akan menghilang dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi terjadilah disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti

    dengan kekeringan pada mukosa mulut (xerostomia). Bila saliva yang mempunyai fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi.

    Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. PENUTUP

    Sekalipun KNF tidak selalu memberikan gejala yang spesifik, dianjurkan untuk tidak meremehkan gejala gejala seperti yang diutarakan di atas. Berkonsultasi ke dokter keluarga atau langsung ke dokter spesialis THT merupakan tindakan yang tepat.

    Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. (Lihat lampiran/ halaman 19).

    KEPUSTAKAAN 1. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal carcinoma in Dr.

    Cipto Mangunkusumo General Hospital. In : Tjokronagoro A, Himawan S, Yusuf A, Azis MF, Susworo, Djakaria M. (Eds). Cancer in Asia and Pacfic. YKI. Jakarta Indonesia 1988; p. 47186.

    2. Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D and Fraumeni JF (eds). Cancer epidemiology and prevention. 2nd. ed. N. York: Oxford University Press, 1996; p. 603 18.

    3. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimates of the world-wide incidence of 25 major cancers in 1990. Int J Cancer; 1990; 80: 82741.

    4. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer Incidence in Five Continents. Vol. 7, Lyon, France : IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press, 1997.

    5. Yu MC, Ho JHC, Ross RK, Henderson BE. NPC in Chinese Salted fish or inhaled smoke? Prev Med. 1981; 10: 15-24.

    6. Hildesheim A et al. Herbal medicine use, Epstein Barr virus, and risk of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res. 1992; 52: 3048 51.

    The flame of glory is the torch of the mind

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

    18

  • LAMPIRAN :

    Gambar 1. Pasien

    ternya

    dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang ta merupakan metastasis dari KNF

    Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna (Linear Accelerator)

    Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang sedang memperoleh radiasi. Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 19

  • HASIL PENELITIAN

    Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba

    Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat

    Retno Gitawati, Ani Isnawati

    Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    ABSTRAK

    Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi

    saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman); salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian Pola sensitivitas kuman hasil usap tenggorok penderita tonsilo-faringitis akut terhadap Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat.

    Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap anti-mikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI.

    Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus non-hemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus -hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin berturutturut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20%.

    Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%.

    Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis

    PENDAHULUAN

    Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama infeksi pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran per-

    napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %. serta lebih dari 50% penyebabnya

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

    20

  • adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman pe-nyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophillus(2), dan untuk mengatasinya seringkali di-gunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(4).

    Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diduga paling banyak diberikan untuk infeksi saluran napas, dan sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitasnya, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA.

    Untuk maksud tersebut telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam.

    BAHAN DAN CARA Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan

    sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999. Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 400C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit.

    Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikro-biologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 370C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasar-kan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golong-an betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan.

    HASIL Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram

    positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, (Tabel 1).

    Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus -haemolyticus (6.11%), Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya

    terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi (Tabel 2). Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap

    tenggorok

    No. Jenis (spesies) kuman Jumlah (%) 1. Streptococcus viridans 71 (54.2) 2. Branhamella catarrhalis 30 (22.9) 3. Streptococcus -haemolyticus 8 (6.11) 4. Streptococcus pneumoniae 5 (3.82) 5. Streptococcus non-haemolyticus 5 (3.82) 6. Klebsiella pneumoniae 4 (3.05) 7. Acinobacter spp. 2 (1.53) 8. Yeast (ragi) 2 (1.53) 9. Staphylococcus aureus 2 (1.53)

    10. Alkaligenes dispar 1 (0.76) 11. Pseudomonas aeruginosa 1 (0.76) 12. Staphylococcus epidermidis 1 (0.76)

    Jumlah 132 (100)

    Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman ter-hadap antimikroba betalaktam di atas dapat dilakukan peng-hitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000), dengan cara atau rumus sebagai berikut:

    % R total antimikroba A = (% kuman X x % R antimikroba A terhadap kuman X)/100 + (% kuman Y x % R antimikroba A terhadap kuman Y)/100 + (% kuman Z x % R antimikroba A terhadap kuman Z)/100. (R = resistensi)

    Hasil penghitungan total resistensi berbagai kuman

    tersebut di atas terhadap antimikroba betalaktam (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan total resistensi tertinggi kuman-

    kuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04%, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berturut-turut 9.93% dan 5.35%.

    Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin. DISKUSI

    Hasil usap tenggorok mendapatkan 12 jenis kuman yang mencakup kuman gram negatif dan kuman gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan adalah S. viridans sebanyak 54.2 %; berbeda dengan yang dilaporkan Sugito(8) yaitu sebanyak 25 % dan Hartono(9) mendapatkan kuman tersebut 31,43 % pada penderita infeksi saluran pernafasan atas. Untuk kuman S. B hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %, tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(8) sebanyak 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(9) 25,71 %. Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai penyebab endokarditis.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 21

  • Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam

    % resistensi antimikroba Isolat kuman

    % Isolat kuman PeG Amx Sulb Cefoti Ceftri Cefota Cefpi Cefep Cefrad

    S. viridans 54.2 2.82 2.82 0 1.41 4.23 4.23 0 0 73.33 B. catarrhalis 22.9 30.0 0 0 0 3.33 3.33 3.33 0 53.52 S. -haemolyticus 6.11 0 0 0 0 0 0 0 0 87.5 S. pneumoniae 3.82 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 40.0 S. non-haemolyticus 3.82 0 0 0 0 0 0 0 0 80.0 K. pneumoniae 3.05 0 0 0 0 20 0 0 0 100 Acinobacter spp. 1.53 0 0 0 0 50 0 0 0 0 Yeast (ragi) 1.53 100 100 100 100 100 100 100 100 100 S. aureus 1.53 0 50 0 0 0 0 0 0 0 Alkaligenes spp. 0.76 0 100 100 0 0 0 0 0 100 P. aeruginosa 0.76 0 100 0 100 0 0 0 0 100 S. epidermidis 0.76 0 0 0 0 0 0 0 0 0

    Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenislin; Cefoti = Cefotiam; Ceftri = Ceftriakson; Cefota = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome; Cefep = Cefepime; Cefrad = Cefradin. Tabel 3. Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap

    antimikroba betalaktam

    No. Antimikroba % total resistensi 1. Cefradin 68.04 2. Penisilin-G 9.93 3. Ceftriakson 6.87 4. Cefotaksim 5.57 5. Amoksisilin 5.35 6. Cefotiam 3.05 7. Cefpirome 2.52 8. Sulbenisilin 2.29 9. Cefepime 1.53

    Total resistensi tertinggi kuman isolat tenggorok adalah

    terhadap Cefradin sebesar 68,04 %, diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba golongan sefalosporin generasi I dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom (UK) tahun 1998(10) untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba penisilin spektrum luas sebanyak 53,2 %, makrolid 15 %, penisilin spektrum sedang dan sempit 13,0 %, sefalosporin 7,7 %.

    Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan B Laktam, Makrolid dan Fluorokuinolon. Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan faringitis) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan pilihan ke empat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin(2). Resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian Josodiwondo (1996) sebesar 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo dkk (1986) sebesar 3,2 % dan 66,7 %; tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh penelitian ini yaitu 2,82 %, namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %. Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-akhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga terhadap golongan sefalosporin, karena mampu

    menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya, kecuali sefalosporin generasi ke tiga (11,12). .Penggunaan yang tidak rasional misalnya pemakaian berlebihan akan mempercepat resistensi, selain itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi ke-sembuhan; sering tidak ada korelasi antara konsentrasi ham-bat minimum (MIC) kuman dan kesembuhan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh jika terinfeksi bakteri yang sensitif, akan tetapi 9 % penderita meninggal dunia; sedangkan bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10). KESIMPULAN

    Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies, lima kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus non-hemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi terhadap antimikroba Cephradin berturutturut adalah 46,48%; 26,67%; 12,5%; 60% dan 20%. Penurun-an sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 70%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 80%.

    Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%.

    KEPUSTAKAAN 1. Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob

    di Bidang THT. MKI 4 (2/3): 56-60. 2. Dirjen Binkesmas. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasar-

    kan Gejala, Departemen Kesehatan R I. 1996. 3. Josodiwondo S. Perkembangan Kepekaan Kuman terhadap Antimikroba

    Saat Ini. MKI 1996; 46(9): 467-76. 4. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute

    respiratory infections for the under five children among general practitioners. Berkala Ilmu Kedokteran 1997 .

    5. Trihendrokesowo dkk. Macam Kuman (dari pelbagai bahan pemeriksaan di Yogyakarta) dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik. MKI 1987; 2 (1): 6-12.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 22

  • 6. Suprihati. Faktor Resiko Streptococcus hemolitikus Beta Grup A pada Penderita Saluran Nafas Atas di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Bag Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNDIP. Laporan penelitian 1998.

    7. Herman MJ. Antibiotik Beta Laktam. Jakarta, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1994.

    8. Sugito, Tarigan HMM, Nukman R. Epidemiologi dan Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI, Surakarta,1988.

    9. Hartono TE, Wibisono MY, Rai IB, Idajadi A. Pola bakteriologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Dalam Buku

    Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI , Surakarta , 1988.

    10. Jones A. Antimicrobial Pharmacodynamics in Respiratory Tract Infection: New Approach in Determining Patient Response to Antibiotic Therapy, Med Progr January 2003,

    11. Sirot S, Sirot J, Saulnier P. Resistance to Betalactams in Entero-bacteriaceae, distribution of phenotypes related to beta lactamase production. J Internat Med Res 1986; 14:193-9.

    12. Slombe B. Beta Lactamase, Occurrence and Classsification. In : Rolinson GN, Watson A, (eds). Augmentin Clavulanate Pontetiated Amoxycillin. Amsterdam : Excerpta Medica 1980; 6-17.

    KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE JULI-SEPTEMBER 2004

    Bulan Tanggal Kegiatan Tempat dan Sekretariat

    10

    Telemedicine Network in Indonesia, How is the Benefit for Family Doctors

    Lt. 5, Gedung AR Fachruddin, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah, Ringroad Selatan Yogyakarta Telp. : 0274-37430, Faks. : 0274-37430 Website: http://telmed.fkumy.net

    10-11 The First Indonesian Symposium on Interventional Pediatric Cardiology

    Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : 0778-7024522, Fax : 0778-421352 E-mail : [email protected]

    12-14 Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kedokteran Anak IDAI

    Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : (021)-3148610, Fax : (021)-3913982 Website : www.idai.or.id

    13-15

    PIT XIV POGI : " Meningkatkan Profesionalisme Berlandaskan Etika Melalui Kerjasama Antar Pusat Pendidikan Obstetri dan Ginekologi dalam Era Pasar Bebas "

    Hotel Horison, Bandung Telp. : 022-2039086 / 2035042, Fax : 022-2035042 E-mail : [email protected] website : www.obgyn-bandung.org

    16 Mekanisme Molekuler Patogenesis Virus RNA dan Perannya Dalam Perkembangan Bioteknologi

    KPP Bioteknologi ITB, Bandung Telp. : 022-2534115, Fax : 022-2511612 E-mail : [email protected], [email protected]

    16-18 Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular III & KARIMUN III Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. : 021-31934636, Fax : 021-3161467

    Juli

    31-1/8 Konker PGI-PEGI-PPHI Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta

    Telp. : 0274-587555, Fax : 0274-565639 E-mail: [email protected]

    6-8 PIT IX Ilmu Penyakit Dalam Hotel Sahid Jaya, Jakarta

    Telp. : 021-330956, Fax : 021-3914830 Website : www.interna.or.id

    11-13 Pelatihan Asuhan Nutrisi pada Diabetes Jakarta, Telp. : 021-3928658,3907703, Fax : 021-3928659 E-mail : [email protected]

    13-15 11th International Symposium on Shock and Critical Care : New Insight in Diagnosis, Management and Therapy in Critical Care Medicine

    Bali International Convention Center Telp. : 021-5684085 ext. 1242, Fax : 021-56961530 E-mail: [email protected]

    Agustus

    28 Seminar Sehari Kedokteran Kesehatan Kerja: Peran K3 dalam Meningkatkan Perlindungan Pekerja dan Produktivitas Kerja

    Karawaci, Tangerang Telp.: 021-79184052 Website: http://www.idki.or.id

    17-18

    The 6th Int. Meeting on Respiratory Care Ind. (Respina V)

    Jak