Upload
revinarevi
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/10/2019 case RA SC.docx
1/52
1
CASE REPORT
SUBARACHNOI D BL OCK PADA PASIEN WANITA 35 TAHUNGIIIP2A0 HAMIL ATERM DENGAN CEPHALOPELVIC
DI PROPOTI ON (CPD)
Oleh :
Revina Andayani, S.Ked J 500 090 013
PEMBIMBING :
dr. Damai S, Sp.An
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
8/10/2019 case RA SC.docx
2/52
2
CASE REPORT
SUBARACHNOI D B LOCK PADA PASIEN WANITA 35TAHUN GIIIP2A0 HAMIL ATERM DENGAN
CEPH AL OPEL VI C DI PROPOTI ON (CPD)
Yang Diajukan Oleh :
Revina Andayani, S.Ked J 500 090 013
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , 2014
Pembimbing :
dr.Damai S, Sp.An ()
Kabag. Profesi Dokter
dr.Dona Dewi Nirlawati (......................................)
KEPANITERAAN KLINIK STASE ANAESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
8/10/2019 case RA SC.docx
3/52
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
Halaman Persetujuan ... ....... 2
Daftar Isi . 3
Daftar Gambar . 4
Bab I Pendahuluan .. 5
Bab II Status Pasien
Bab III Tinjauan Pustaka
SECTIO CAESAREA
1. Definisi dan Epidemiologi . ..
2. Indikasi .....
3. Kontraindikasi ...
4. Komplikasi ....
5. Perawatan Pasca sectio Caesarea ...
SUBARACHNOID BLOCK
1. Definisi, Klasifikasi .....
2. Spinal Anaesthesia
3. Keuntungan dan Kerugian ...
4. Indikasi ..
5. Kontraindikasi ..
6. Anatoni dan Fisiologi.....
7. Obat analgesia lokal untuk Spinal Anaesthesia
8. Teknik Anaesthesia 9. Kondisi khusus yang perlu diperhatikan
10. Penatalaksanaan komplikasi ..
11. Terapi Cairan ..
12. Perawatan post anaesthesia .....
7
15
15
15
18
17
20
21
23
25
25
26
27
28
35
36
38
39
41
45
Bab IV Pembahasan . 49
Bab V Kesimpulan .
Daftar Pustaka
51
8/10/2019 case RA SC.docx
4/52
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Jenis jarum Spinocan
Gambar 2. Anatomi lapisan tulang belakang
Gambar 3. Posisi tulang belakang saat fleksi dan ekstensi
Gambar 4.Lokasi injeksi pada spinal anaesthesia
Gambar 5.Palpasi ruang intervertebralis
Gambar 6.Sudut injeksi pada spinal anaesthesia
8/10/2019 case RA SC.docx
5/52
5
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran sangat
berperan dalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapatmengurangi nyeri dan memberikan bantuan hidup. Kata anestesi berasal dari
bahasa Yunani a = tanpa dan aesthesis = rasa/sensasi yang berarti keadaan tanpa
rasa sakit. Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi,
pengawasan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan
lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi
inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. 1
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
(1) Anestesi lokal/regional, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa
disertai hilangnya kesadaran, dan
(2) Anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversible yang disebabkan
oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. 1
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya
dengan anestesi lokal / regional. Anestesi spinal merupakan salah satu macam
anestesi regional. Pungsi lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun
1891. Anestesi spinal subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi
bagian bawah tubuh penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek
anestesi tercapai setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.
Indikasi penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah
obstetri dan ginekologi. 1
Dalam persalinan membutuhkan tindakan anestesi karena nyeri sangat
mungkin terjadi saat persalinan berlangsung. Nyeri karena persalinan terjadi
8/10/2019 case RA SC.docx
6/52
6
karena kontraksi uterus, dilatasi servik, selain itu, tindakan dalam persalinan
seperti ekstraksi cunam, vakum, versi dalam, versi luar, dan bedah caesar juga
menimbulkan nyeri sehingga membutuhkan anestesi. 1,2
Sectio caesaria berhubungan dengan peningkatan 2 kali lipat risiko
morbiditas dan mortalitas ibu dibandingkan persalinan pervaginam. Kematian ibu
akibat risiko sectio caesaria itu sendiri menunjukkan angka 1 per 1.000 persalinan.
Adanya anggapan bahwa trauma lahir pada sectio caesaria lebih kecil dibanding
persalinan pervaginam tapi tetap berisiko pada ibunya.. Komplikasi tindakan
anestesi sekitar 10 persen dari seluruh angka kematian ibu. Kebanyakan kematian
ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50 persen diantaranya karena aspirasi
isi lambung. Dan lainnya mengalami cardiac arrest karena kesukaran intubasi.
Dengan anestesi regional ibu masih sadar, refleks protektif masih ada, sehingga
kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu tidak menerima
banyak macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin, anestesi
regional ini bebas daripada obat obat yang mempunyai efek depresi terhadap
janin. 1,2
Adanya gangguan dalam persalinan (distosia) yang disebabkan baik oleh
tenaga persalinan, kelainan janin, maupun kelainan jalan lahir, menyebabkan
suatu kegawatan bilamana tidak ditangani secara tepat. 3,4
8/10/2019 case RA SC.docx
7/52
7
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama pasien : Ny. R
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kebak RT 06/RW 04, Kebakramat,
Karanganyar
Pekerjaan : PNS
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa Tgl masuk RS : 16 September 2014
No. rekam medik : 11-95-XX
Bangsal : Kenanga
Dokter yang merawat : dr.Heryuristianto, Sp.OG
Dokter Anestesi : dr. Damai S, Sp.An
Co-Asisten : Revina Andayani, S.Ked
Diagnosis Pre Operatif :GIIIP2A0 Hamil Aterm dengan CPDMacam Operasi : SCTP
Macam Anestesi : Regional Anestesi dengan Teknik Spinal
Anestesi
Tanggal Operasi : 17 September 2014
II. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesis
8/10/2019 case RA SC.docx
8/52
8
Keluhan Utama :
Keluar cairan dari jalan lahir
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar cairan sejak jam 05.00.
Pasien juga sudah merasakan kencang-kencang pada perutnya sejak tadi
pagi. Kencang-kencang pada perut dirasakan sudah teratur. Pasien
mengaku hari pertama menstruasi terakhir pada tanggal 15 Desember
2014. BAB dan BAK lancar.
b. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat stroke : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat diabetes melitus : disangkal Riwayat asma : disangkal Riwayat alergi : disangkal Riwayat sakit jantung : disangkal Riwayat operasi sebelumnya : diakui (SCTP)
Riwayat batuk lama : disangkal
c. Riwayat Pribadi Merokok : disangkal Minum-minuman beralkohol : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma : disangkal Riwayat alergi : disangkal Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Anamnesis Sistem Cerbrospinal : Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala /wajah (-),
demam (-)
Cardiovaskular : Keringat dingin (-), Nyeri dada (-)
Respirasi : Batuk (-). Pilek (-), sesak nafas (-)
8/10/2019 case RA SC.docx
9/52
9
Gastrointestinal : Mual (-), Muntah (-), Sulit BAB (-), Sulit BAK
(-), nyeri perut (-)
Muskuloskletal : Kelemahan anggota gerak (-), atrofi (-),
deformitas (-)
Integumentum : Ruam (-), gatal (-). suhu raba hangat (+) Urogenital :disuria (-) nyeri pada saat kencing (-), urin jernih (+) Genital : Perdarahan (-), cairan (+)
2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
a. KU : Baik, GCS : E4 V5 M6
b. BB/TB : 65 Kg/150 cm
c. Gizi : Cukup
d. Golongan darah : O rhesus -
B. Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,4 0C
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik(-/-) nafas cuping
hidung (-)
Leher : Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-),
JVP ( -), pembesaran kelenjar limfe (-/-).
Thorax :
1. Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak. Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat. Perkusi : redup Auskultasi : bunyi jantung S I-II irama regular, bising
jantung (-)
2. Paru
8/10/2019 case RA SC.docx
10/52
10
Inspeksi : simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru, dan
tidak ditemukannya retraksi intercostae.
Palpasi : Fremitus sama depan dan belakang Perkusi :
Depan Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Auskultasi:
Depan Belakang
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan: Whezing (-/-) , ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk abdomen lebih tinggi daripada dada, tidak ada
darm contour, tidak ada darm steifung, ada luka bekas operasi
Auskultasi : DJJ (+) 10-11-11, reguler Palpasi : supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, letak lintang,
TFU : 4 jari di bawah procesuss xiphoideus, his (+)
Ekstremitas :
Clubbing finger tidak ditemukan Tidak ditemukan edema.
Akral hangat
3. Pemeriksaan Laboratorium
+ +
+ +
8/10/2019 case RA SC.docx
11/52
11
Tangggal : 16 September 2014
Hemoglobin 12,1 12.0 16.0
Leukosit 10,30 4000 - 10.000
Trombosit 136000 150000 -300000
CT 8 menit 5-11 menit
BT 2 menit 1-5 menit
SGOT 33 0-38
SGPT 18 0-40
Kreatinin 0,50 0,7-1.4
Ureum 20 10-50
Glukosa Sewaktu 95
8/10/2019 case RA SC.docx
12/52
12
6. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan, perdarahan,
ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
7. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D.TATA LAKSANA ANESTESI
1. Di Ruang Operasi
a. Cek Persetujuan Operasi
b. Periksa tanda vital dan keadaan umum
c. Lama Puasa 8 jam
d. Cek obat-obatan dalam alat anestesi
e. Infus Fimahes 30 tetes/menit
f. Posisi terlentang
h.Katater : Terpasang
2. Di Ruang Operasi
Anestesi mulai : 10.00 Operasi mulai : 10.05 Anestesi selesai : 10.50 Operasi selesai : 10.45
a. Jam 10.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang,
tekanan darah 110/70 mmHg, HR 98 x/menit, Saturasi oksigen 98 %
b. Jam 10.00 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai
berikut :
1. Pasien diminta duduk dengan punggung flexi maksimal
2. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bagian
bawah pasien dengan menggunakan iodine 1 %
3. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
menyuntikkan jarum spinal no.26 pada bidang median dengan arah
10-30 derajat terhadap bidang horizontal kearah cranial pada ruang
antar vertebra lumbal 3-4.
4. Setelah Jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan
menetesnya LCS, silet dicabut dan disuntikkan Bupivacain HCL
15mg
5. Pasien dikembalikan pada posisi terlentang dan kepala diekstensikan.
8/10/2019 case RA SC.docx
13/52
13
c. Jam 10.05 operasi dimulai, selama operasi dimonitor tanda vital dan
saturasi O 2 tiap 5 menit.
d. Jam 10.15 bayi dilahirkan perabdominal, Berikan methergin 1 ampul
IV, oxytocyn 1 ampul per drip.
e. Jam 10.15 Infus Fimahes habis, diganti Tutofusin 500 ml.
f. Jam 10.30 Infus Tutofusin habis, diganti RL 500 ml.
g. Jam 10.45 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.
Monitoring Selama Anestesi
Jam Nadi TD Sp02 Keterangan
10.00 98 110/70 98%
10.05 98 107/68 98%
10.10 96 105/60 98%
10.15 96 120/80 98%
10.20 98 130/86 98%
10.25 100 120/80 98%
10.30 102 130/90 98%
10.35 96 120/80 98%
10.40 98 120/80 98%
10.45 98 120/78 98%
Intake Cairan :
a) Fima Hes : 500 cc
b) Tutofusin : 500 cc
c) RL : 200 cc
Cairan Keluar :
a).Urine : 700 cc
3. Di Recovery Room
Pasien masuk Ruang RR pukul 10.50 dalam Posisi Supine (terlentang),
sadar penuh, dimonitoring tanda vital, infuse RL, diberikan O 2 3 liter/menit.
TD : 120/80, Nadi : 110 x/menit, Suhu: 36,2C.
8/10/2019 case RA SC.docx
14/52
14
Jam 11.10 pasien dipindah ke bangsal.
4. Intruksi pasca anestesi
a. Posisi supine dengan oksigen 3 L/ mnt
b. Kontrol vital sign, T < 100 mmHg infus dipercepat, beri efedrin
c. Bila muntah diberi metoklopramid dan bila kesakitan diberi analgetik.
d. Lain-lain Antibiotik sesuai Obsgin Analgetik sesuai Obsgin Puasa sampai dengan flatus Post operasi, cek Hb. Bila
8/10/2019 case RA SC.docx
15/52
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SECTI O CAESAREA
A. Definisi
Seksio sesaria atau persalinan sesaria didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal. Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam.
B. Epidemiologi
Seksio sesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk
melahirkan janin melalui sayatan perut dan dinding rahim. Seksio sesaria makin
meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan. Indikasi
yang banyak dikemukakan adalah; persalinan lama sampai persalinan macet,
ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum.
Sejak tahun 1986 di Amerika satu dari empat persalinan diakhiri dengan
seksio sesaria. Di Inggris angka kejadian seksio sesaria di Rumah Sakit
Pendidikan relatif stabil yaitu antara 11-12 %, di Italia pada tahun 1980 sebesar
3,2% - 14,5%, pada tahun 1987 meningkat menjadi 17,5%. Dari tahun 1965
sampai 1988, angka persalinan sesarea di Amerika Serikat meningkat progresif
dari hanya 4,5% menjadi 25%. Sebagian besar peningkatan ini terjadi sekitar
tahun 1970-an dan tahun 1980-an di seluruh negara barat. Pada tahun 2002
mencapai 26,1%, angka tertinggi yang pernah tercatat di Amerika Serikat.
Di Indonesia angka persalinan dengan seksio sesaria di 12 Rumah Sakit
Pendidikan berkisar antara 2,1%-11,8%. Di RS Sanglah Denpasar insiden seksio
sesaria selama sepuluh tahun (1984-1994) 8,06%-20,23%; rata-rata pertahun
8/10/2019 case RA SC.docx
16/52
16
13,6%, sedangkan tahun 1994-1996 angka kejadian seksio sesaria 17,99% dan
angka kejadian persalinan bekas seksio 18,40%.
D. Klasifikasi Seksio Sesarea
Ada beberapa jenis seksio sesarea, yaitu:
a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan
dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari
seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan
menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti
kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan. Adapun
kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga
memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan
perdarahan. Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi memanjang
(secara Kronig).
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak dapat
dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada vesika
urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada segmen
bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan kelainan
letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga memiliki
beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit, kemungkinan
terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan kemungkinan
terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus setelahseksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan tindakan
lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau pada ruptur
uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan.
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior ke
dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam praktek
obstetri.
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
8/10/2019 case RA SC.docx
17/52
17
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi
di segmen bawah.
Keuntu ngan dan kerugian jeni s- jeni s sectio Caesarea Abdominali s :
a. Sectio Caesarea Klasik (Korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira sepanjang 10 cm.
Kelebihan :
1. Mengeluarkan janin lebih cepat
2. Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
1. Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperinonealisasi yang baik
2. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
b. Sectio Caesarea Ismika (profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang pada segmen bawah
rahim (low cervical transversal) kira-kira 10 cm
Kelebihan :
1. Penjahitan luka lebih mudah
2. Penutupan luka dengan reperitonealisasi
3. Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk menahan penyebaran
isi uterus ke rongga peritoneum
4. Perdarahan kurang
5. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura uteri spontan
kurang/lebih kecil
Kekurangan :
Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
8/10/2019 case RA SC.docx
18/52
18
D. Indikasi Seksio Sesarea
Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan
suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power (kekuatan
ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah satu
faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar
bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin
jika keadaan tersebut berlanjut.
Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
1. Indikasi Medis
Terdiri dari 3 faktor : power, passanger, passage
2. Indikasi Ibu
a. Usia
b. Tulang Panggul
c. Persalinan sebelumnya dengan section caesarea
d. Faktor hambatan jalan lahir
e. Kelainan kontraksi rahim
f. Ketuban pecah dini
g. Rasa takut kesakitan3. Indikasi Janin
a. Ancaman gawat janin (fetal distress)
b. Bayi besar (makrosemia)
c. Letak sungsang
d. Faktor plasenta : plasenta previa, solution plasenta, plasenta accreta
e. Kelainan tali pusat : prolapsus tali pusat, terlilit tali pusatSeksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang
lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu, atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.1, di Norwegia diperoleh hasil bahwa
indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia 3,6%, diikuti oleh
8/10/2019 case RA SC.docx
19/52
19
presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio sesarea sebelumnya
1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang terjadi.
Di Skotlandia diperoleh bahwa distosia sebagai indikasi seksio sesarea
terbanyak yaitu 4,0%, sedangkan riwayat seksio sesarea sebelumnya 3,1%, gawat
janin 2,4%, presentasi bokong 2,0% dan lain-lain 2,7% dalam 14,2% kasus seksio
sesarea. Riwayat seksio sesarea sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari
10,7% kasus seksio sesarea yang terjadi di Swedia yaitu 3,1%, diikuti oleh
distosia dan presentasi bokong yang masing-masing berkisar 1,8%, sedangkan
gawat janin hanya 1,6% dan lain-lain 2,4%. Di USA, riwayat seksio sesarea
sebelumnya merupakan indikasi terbanyak dari 23,6% kasus seksio sesarea yang
terjadi yaitu 8,5%, dan distosia berperan dalam 7,1%, presentasi bokong 2,6%,
gawat janin 2,2% dan lain-lain 3,2%. Sebaran indikasi seksio sesarea di negara-
negara maju tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Indikasi seksio sesarea di 4 negara maju; Norwegia, Skotlandia,
Swedia dan USA, 1990 Indikasi Seksio sasarea tiap 100 persalinan Norwegia
Skotlandia Swedia USA
IndikasiSeksio Cesarea tiap 100 persalinan
Norwegia Skotlandia Swedia USADistosia 3,6 4,0 1,8 7,1Riwayat SCsebelumnya
1,4 3,1 3,1 8,5
Presentasi bokong 2,1 2,0 1,8 2,6Gawat janin 2,0 2,4 1,6 2,2Lainnya 3,7 2,7 2,4 3,2Seksio Caesarea 12,8 14,2 10,7 23,6
Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun
terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
8/10/2019 case RA SC.docx
20/52
20
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %).
E. Kontraindikasi Seksio Sesarea
Pada prinsipnya seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
sehingga dalam praktik obstetri tidak terdapat kontraindikasi pada seksio sesarea.
Dalam hal ini adanya gangguan mekanisme pembekuan darah ibu, persalinan
pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan dapat seminimal
mungkin.
F. Komplikasi Seksio Sesarea
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya.
Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingakan dengan persalinan
pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani seksio sesarea berasal
dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan
perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka.
Demam puerperalis didefinisikan sebagai peningkatan suhu mencapai
38,5 0C. Demam pasca bedah hanya merupakan sebuah gejala bukan sebuah
diagnosis yang menandakan adanya suatu komplikasi serius . Morbiditas febris
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pasca pembedahan seksio
seksarea.
Perdarahan masa nifas post seksio sesarea didefenisikan sebagai
kehilangan darah lebih dari 1000 ml. Dalam hal ini perdarahan terjadi akibat
kegagalan mencapai homeostatis di tempat insisi uterus maupun pada placental
bed akibat atoni uteri. Komplikasi pada bayi dapat menyebabkan hipoksia, depresi
pernapasan, sindrom gawat pernapasan dan trauma persalinan.
8/10/2019 case RA SC.docx
21/52
21
G. Perawatan Pasca Sectio caesarea
Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :
1. Perawatan luka insisi Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan
sebagainya, lalu ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik
pembalut luka diganti dan luka dibersihkan.
2. Tempat perawatan pasca bedah Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke
dalam kamar rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin
kamar udara selama beberapa hari. Bila pasca bedah kondisi gawat
segera pindahkan ke ICU untuk perawatan bersama-sama dengan unit
anastesi, karena di sini peralatan untuk menyelamatkan pasien lebih
lengkap. Setelah pulih barulah di pindahkan ke tempat pasien semula
dirawat.
3. Pemberian cairan Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit yang diperlukan, agar tidak terjadi dehidrasi.
4. Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita
oleh mereka yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar.
Nyeri tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar
jaringan akibat operasi. Nyeri tersebut hampir tidak mungkin di
hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau gangguan terutama
bila aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-
tiba.
Sejak pasien sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih
dirasakan didaerah operasi. Untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dapat
diberikan obat-obat anti nyeri dan penenang seperti suntikan
8/10/2019 case RA SC.docx
22/52
22
intramuskuler pethidin dengan dosis 100-150 mg atau morfin sebanyak
10-15 mg atau secara perinfus.
5. Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk
membantu jalanya penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk
mencegah terjadinya thrombosis dan emboli. Miring ke kanan dan kiri
sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah pasien sadar. Latihan
pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini
mungkin setelah sadar. Pada hari kedua pasies dapat didukukan selama
5 menit dan dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu
menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya untuk
melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan
pada diri pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang
dirubah menjadi setengah duduk (semi fowler).selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan belajar duduk selama
sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5
pasca bedah.
8/10/2019 case RA SC.docx
23/52
23
SUBARACHNOI D BL OCK
1. Definisi
Anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal untuk
menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Penderita tetap sadar.
2. Klasifikasi
Menurut teknik cara pemberiannya dibagi dalam:
1. Infiltrasi lokal :
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi,
luka, atau insisi.
2. Blok lapangan ( field block ):
Infiltrasi sekitar lapangan operasi (untuk ekstirpasi tumor kecil, dsb).
3. Blok saraf ( nerve block ):
Penyuntikan obat analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus
saraf.
4. Analgesia permukaan ( topical )
Obat analgeltika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa seperti
hidung, mata, faring, dsb.
5. Analgesia regional intravena:
Penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstrimitas dieksanguinasi
dan diisolasi bagian proksimalnya denga tourniquet pneumatik dari
sirkulasi sistemik
3. Anestesi Spinal
Anestesi spinal atau disebut juga subarachnoid block adalah teknik
anestesi regional dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebrae L2-L3 / L3-4 (obat lebih mudah
8/10/2019 case RA SC.docx
24/52
24
menyebar ke kranial) atau L4-5 (obat lebh cenderung berkumpul di kaudal)
Indikasi penggunaan teknik anestesi spinal adalah untuk pembedahan pada
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (untuk daerah papilla
mammae ke bawah).
Anastesi spinal dengan ukuran jarum ( spinocan ) 22-29 dengan P encil
point atau Quincke point . insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum
sampai ujung jarum mencapai ruang subarachnoid yanag ditandai dengan
keluarnya cairan LCS.
Gambar 1. Jenis Jarum Spinal
Untuk tujuan klinik pembagian anastesi spinal adalah sebagai berikut :
1. Sadle back anastesia yang kena pengaruhnya adalah lumbal bawah dan
segmen sakrum
2. Spinal rendah, daerah yang mengalami anastesi adalah daerah umbilikus/
Th X disini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
3. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI)disini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
4. Spinal tinggi, mulai garis sejajar Papilla mammae , disini termasuk daerah
toraks segmen Th IV-XII, lumbal dan sakral
8/10/2019 case RA SC.docx
25/52
25
5. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
4. Keuntungan dan kerugian
1.Keuntungan
a. Murah
Dibandingkan dengan penggunaan gas dan obat anaesetesia lain,
biaya anastesi spinal dianggap lebih minimal.
b. Kepuasan pasien
Pasien lebih puas karena recovery time yang lebih cepat dan efek
samping yang lebih kecil.
c. Sistem respiratorik
Anaestesia spinal memberikan lebih sedikit efek pada sistem
respirasi bila dibandingkan General Anaesthesia . Respirasi bisa
spontan.
d. Manajemen Airway
Dikarenakan airway pasien tidak terganggu, lebih sedikit resiko
terjadinya obstruksi atau aspirasi dari isi lambung. Namun
keuntungan ini bisa hilang pada pemberian sedasi yang berlebihan.
e. Pasien Diabetes Mellitus
Pada pasien yang sadar, akan lebih mudah melihat tanda
hipoglikemia.
f. Relaksasi otot
Spinal anaestesia memberikan efek relaksasi yang lebih baik
terutama pada abdomen inferior dan extremitas inferior.
g. Perdarahan
Perdarahan yang terjadi selama operasi lebih sedikit bila
dibandingkan dengan general anaesthesia . Hal ini diakibatkan
berkurangnya tekanan darah dan denyut jantung serta meningkatnya
drainase vena.
8/10/2019 case RA SC.docx
26/52
26
h. Sistem Pencernaan
Fungsi normal pencernaan kembali lebih cepat setelah operasi.
i. Koagulasi
Komplikasi post-operatif trombhosis vena dalam dan emboli paru
lebih sedikit pada spinal anaesthesia.
j. Observasi dan post op care nya lebih mudah
2.Kerugian.
1. Memerlukan banyak latihan terlebih dulu dalam pelaksanaan
induksinya
2. Kadang sulit menentukan dural space dan mendapatkan LCS. Hal
ini bisa diakibatkan karena teknik yang kurang tepat.
3. Hipotensi bisa terjadi saat terjadi blok di vertebrae yang lebih tinggi.
4. Beberapa pasien merasa kurang siap secara mental dan psikologis
saat harus bangun selama operasi. Hal ini hendaknya dijelaskan dulu
pada pasien sebelum induksi dilakukan.
5. Walaupun penggunaan obat anastesia jangka panjang telah
digunakan, spinal anaestesia kurang cocok bila diberikan pada
operasi dengan durasi lebih dari 2 jam. Bila operasi ternyata
memerlukan waktu lebih panjang, perlu dipertimbangkan untuk
menggunakan general anaestesi.
6. Secara teori, ada resiko infeksi ke subarachnoid dan menyebabkan
meningitis. Hal ini bisa diminimalisasi dengan penggunaan alat yang
steril dan teknik aseptik-antiseptik yang baik.
7. Dapat mengakibatkan Post Dural Puncture Headeache (PDPH)5. Indikasi
Anastesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah, perineum seperti operasi hernia, operasi gynaecologi, urologi, dan
kelamin, serta pada kaki. Pada pasien amputasi, walaupun dapat diinduksi dengan
spinal anaestesia, ada yang berpendapat bahwa agak kurang etis bila dilakukan
saat pasien sadar. Anaestesia ini terutama ditujukan pada pasien tua dengan
penyakit sistemik seperti gangguan respiratorik kronik, gangguan hepar, ginjal
8/10/2019 case RA SC.docx
27/52
27
dan endokrin seperti diabetes mellitus. Banyak pasien dengan gangguan jantung
ringan merasa lebih baik akibat efek vasodilatasi karena spinal anaestesi kecuali
yang dengan penyakit katup stenosis dan hipertensi tak terkontrol.Selain itu cocok
pula pada pasien dengan trauma yang telah bernafas dengan baik dan tidak
hipovolemik.
6.Kontra indikasi
Kontraindiksinya kurang lebih sama seperti kontraindikasi pada bentuk
anaestesia regional lainnya seperti :
1.Peralatan resusitasi dan obat obatan emergency belum tersedia.
Idealnya anastesia sebaiknya tidak dilakukan sampai peralatan
dan obat obatan darurat tersedia.
Gangguan pembekuan darah
Bila perdarahan terjadi di ruang epidural akibat vena epidural
tertusuk jarum spinal, haematoma dapat terbentuk dan menekan
medulla spinalis. Pasien dengan jumlah platelet sedikit atau yang
menggunakan obat anti koagulan seperti heparin dan warfarin
akan sangat beresiko. Sebagai pertimbangan, pasien dengan
gangguan hepar biasanya terjadi ganggan pembekuan serta jumlah
platelet yang rendah, selain itu gangguan pembekuan juga bisa
terjadi pada preeklampsia.
Hipovolemia.
Apapun yang menyebabkan hipovolemia seperti perdarahan dan
dehidrasi semisal akibat muntah, diare, obstruksi usus. Pasien
harus di rehidrasi dan resusistasi sebelum dilakukan spinal
anaestesia atau akan terjadi hipotensi.
Infeksi atau sepsis
Terutama yang terjadi di daerah punggung di atau dekat tempat
memasukkan jarum.
Pasien menolak
8/10/2019 case RA SC.docx
28/52
28
Pasien bisa saja menolak dilakukan spinal anasthesia apabila
mereka merasa tidak siap secara mental saat harus merasa tetap
sadar selama operasi.
Pasien tidak kooperatif
Misal pada pasien dengan gangguan kejiwaan.
Septicaemia
Dikarenakan adanya infeksi pada darah ada kemungkinan pasien
bisa terjadi meningitis bila terbentuk haematoma di lokasi
penyuntikan.
Deformitas anatomi
Terutama pada punggung pasien. Ini adalah kontraindikasi relatif
walapun ini dapat menyulitkan saat memasukkan jarum.
Gangguan neurologi
Segala jenis kelainan neurologis sebelum operasi harus diketahui
dengan baik. Kadang saat gangguan neurologis memburuk
postoperatif, ahli anaestesi disalahkan secara sepihak. Namun
peningkatan tekanan intrakrainal tetap merupakan kontraindikasi
absolut karena dapat menyebabkan herniasi tentorial.
Operator kurang setuju
Bila mungkin operator merasa kurang nyaman saat pasien sadar,
baik mungkin karena operator merasa gugup atau sebagainya,
spinal anestesia bisa diganti.
7.Anatomi
Medulla spinalis berakhir pada L2 pada orang dewasa dan L3 pada anak.
Pungsi pada tingkat diatas ini beresiko merusak medula spinalis sehingga
sebaiknya dihindari. Sebagai gambaran mudahnya, vertebrae L4 atau L4/L5
adalah sejajar Supra Illiaca Anterior Superior (SIAS).
Beberapa jaringan yang akan ditembus jarum spinal antara lain :
a.Kulit
b.Lemak subkutan
8/10/2019 case RA SC.docx
29/52
29
c.Ligamen Suprasinosus
d.Ligamen Interspinosus
e. Ligamentum flavum
f.Ruang epidural
Pada ruang ini banyak berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluar saat stilet dicabut, kemungkinannya bisa saja vena
epidural tertusuk.
g.Dura
h.Ruang subarachnoid
Pada ruang ini berisi medulla spinalis dan akar saraf yang
diselubungi LCS. Injeksi obat anaestesia akan bercampur dengan
LCS dan memblok saraf yang terkena.
Gambar 2. Anatomi
8.Fisiologi Spinal anaestesia
Cairan anaestesia lokal diinjeksikan ke ruang sub arachnoid untuk
memblok konduksi impuls saraf, terutama di sekitar area injeksi. Ada tiga jenis
8/10/2019 case RA SC.docx
30/52
30
saraf ; sensorik, motorik; dan otonom. Saraf otorik mengatur kontraksi otot, dan
bila di blok maka otot akan paralisis. Saraf sensoris menerima rangsangan seperti
nyeri dan sentuhan ke medulla spinalis yang kemudian diteruskan ke otak, dan
saraf otonom mengatur diameter pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus
dan fungsi fungsi yang tidak disadari.
Secara umum, saraf otonom dan sensoris diblok terlebih dulu baru saraf
motorik. Hal ini akan menimbulkan beberapa efek, misal vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah saat saraf otonom di blok dan pasien mungkin bisa tetap
merasakan sentuhan namun tidak merasakan nyeri.
Oleh karena itu perlu diperhatikan beberapa hal :
1. Pasien harus tetap dalam kondisi cukup cairan sebelum diinjeksi anaestesi
lokal dan tetap terpasang infus intravena selama operasi. Hal ini bisa
membantu fisiologis tubuh selain vasokonstriksi saat terjadinya hipotensi.
2.Sebaiknya tidak bertanya dapatkah anda merasakan ini? berkali kali pada
pasien karena dapat menyebabkan pasien gelisah. Kadang beberapa sensasi
seperti tekan dan gerak masih terasa walaupun nyeri sudah tidak. Lebih etis
kita mencubit kulit dengan lembut menggunakan klem arteri kemudian
bertanya apakah masih sakit. Bila tidak operasi bisa dilakukan.
Efek spinal anastesi
1. Efek kardiovaskular
Akibat dari blok simpatis : penurunan tekanan darah. Vasodilatasi arteri
dan vena sehingga terjadi hipotensi.pencegahan dengan pemberian cairan
(preloading) untuk mengurangi hipovolemi relatif akibat vasodilatasi
sebelum dilakukan spinal/epidural anastesi.
2. Efek respirasi
Hipoperfusi dari pusat nafas dibatang otak dapat terjadi respiratory arrest .
Bisa juga terjadi blok pada nervus Phrenicus sehingga mengganggu
gerakan diafragma dan otot perut yang dbutuhkan untuk inspirasi dan
ekspirasi.
3. Efek gastrointestinal
8/10/2019 case RA SC.docx
31/52
31
Mual dan muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20% terjadi karena
hiperperistaltik GI oleh aktivitas parasimpatik vagal.
4. PDPH ( Post Dural Puncture Headache)
Disebabkan karena kebocoran cairan serebrospinal akibat tindakan
perusakan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekaknan LCS.
Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intrakranial yang
sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuluh dara, saraf, flak serebri, dan
meninges, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS 20ml. PDPH
ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan
diplopia,mual dan penurunan tekanan darah.
Pencegahan dan penanganan : gunakan jarum sekecil mungkin ( pencil
point ), hindari penusukan jarum yang berulang-ulang, tusukan jarum
dengan bevel sejajar dengan serabut longitudinal durameter, bila sudah
terjadi : tetap posisikan pasien dalam kondisi tidur, hidrasi dengan cairan
yang adekuat,mobilisasi seminimal mungkin, berikan paracetamol.
5. Transient Rdicular Iritation(Transient Neurologic Syndrom)
Kondisi ini ditandai dengan nyeri ada kedua tungkai yang menjalar dari
tulang belakang, disertai parestesi atau kesemutan yang dapat berlangsung
hingga 24-48 jam post anastesi. Hal ini banyak dihubungkan dengan
pangguanaan injeksi lidokain 5% hioerbarik dosis tinggi pada
subarachnoid yang memberi efek meurotoksik.
6. Cauda Equina Syndrom
Terjadi ketika cauda equina terluka atau tertekan. Tanda-tanda meliputi
disfungsi otonomis, perubahan pengosongan kandung kemih dan usus
besar, pengeluaran keringat yang abnormal, kontrol temperatur yang tidak
normal, dan kelemahan motorik. Penyebab adalah trauma dan toksisitas.
Ketika tidak terjadi infeksi yang trumatik intraneural, diasumsikan bahwa
obat yangdiinjeksi telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bisa menjadi
kontaminan seperti detergen atau antiseptik, atau bahan pengawet yang
berlebihan. Penggunaan obat-obat lokal anastesi yang tidak neurotoksik
terhadap cauda equina merupkan salah satu pencegahan terhadap sindroma
8/10/2019 case RA SC.docx
32/52
32
tersebut selain menghndari trauma pada cauda equina waktu melakukan
penusukan jarum spinal.
7. Retensi urin
Blokade sakral menyebabkan atonia vesikaurinaria sehinggal volume urin
didalam vesika urinaria jadi lebih anyak. Blokade simpatis eferan (T5-L1)
menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin.
Spinal anastesi menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini
sangat tampakpada pasien hipovolami. Retensi post spinal anastesi
mungkin secara moderat diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-
serabut otonomik kecil dan paralisisnya lebih lama daripada serabut-
serabut yang lebih besar. Kateter urin harus dipasang bila anastesi atau
analgesi dilakukan dalam waktu lama.
9.Perlengkapan anastesi
Perlengkapan yang harus disiapkan sebelum melakukan blok
epidural/spinal antara lain :
a. Monitor standar : EKG, tekanan darah, pulse oksimetri
b. Obat dan alat resusitasi: oksigen, bagging, suction, set intubasi
c. Terpasang akses intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan
d. Sarung tangan, masker steril, kasa penutup steril
e. Perlengkapan desinfeksi dan duk steril
f. Obat anastesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi lokal
kulit dan jaringan subkutan.
g. Obat tambahan untuk anastesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCl0,9%.
h. Jarum spinal 24-25 gauge dengan ujung pensil untu mengurangi resiko
PDPH.
10.Persiapan Pasien
a. Pre-operatif visite
Pre operatif visite diperlukan untuk menganalisa keadaan umum pasien,
mengetahui kelainan-kelainan yang ada sebagai gambaran komplikasi
8/10/2019 case RA SC.docx
33/52
33
yang dapat terjadi. Juga memberikan informasi pada pasien walaupun
mungkin masih ada sensasi rasa tekan dan gerak saat dianastesi, namun
nyeri akan tidak terasa. Juga jelaskan bahwa akibat anastesi kaki akan
terasa lemas, berat dan sedikit parasthesia.
b. Pre-loading cairan.
Semua pasien spinal anaestesi harus diberikan cairan intravena sebelum di
anestesi. Jumlah cairan yang diperlukan bervariasi, sesuai dengan umur
dan lama operasi. Pada pasien muda yang sehat, untuk operasi hernia perlu
kurang lebih 1000 ml. Pasien tua yang sudah tidak memiliki kemampuan
vasodiatasi sebaik yang muda, serta mungkin punya hipotensi mungkin
perlu 1500ml untuk operasi yang sama. Untuk operasi caesar perlu
setidaknya 1500ml. cairan yang digunakan bisa ringer lactate. Umumnya
untuk dewasa 10-20ml/kg BB selama 15 menit.
c. Penderita untuk operasi elektif dipuasakan setidaknya 6 jam
d. Premedikasi
Adalah tindakan yang penting disamping persiapan anastesi lainnya.
Maksud dan tujuan premedikasi adalah :
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien karena menghilangkan
rasa cemas dan takut,menimbulkan sedasi, amnesia dan analgesi.
2) Mencegah muntah
3) Memudahkan induksi
4) Mengurangi dosis obat anastesi
5) Menceah terjadinyahipersekresi traktus respiratorius
Obat yang bisa digunakan adalah :
1) Sulfas atropin
Obat ini dapat mengurangi sekresi traktus respiratoriusdan
merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronkial
dan kardial yang berasal dari parasimpatis akibat rangsangan obat
anastesi atau tindakan operasi. Pada dosis klinik (0,4-0,6 mg)
akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan
nervus vagus.
8/10/2019 case RA SC.docx
34/52
34
2) Pethidin
Adalah derivat fenil disperidin, suatu obat sintetik dengan rumus
molekul yang berbeda denan morfin, tetapi mempunyai efek dan
efek samping yang sama dengan morfin.
Efek analgesi hampir sama dengan morfin, tetapi mula kerja dan
masa kerjanya lebih singkat. Efek sedasi, euforia, dan eksitasi
hampir sama dengan morfin tetapi pethidin dapat menyebabkan
kedutan dan tremor akibat rangsangan SSP. Pada sistem respirasi
akan mendepresi dan menekan reaksi pusat pernafasan terhadap
rangsangan CO 2.obat ini juga menigkatkan kepekaan terhadap
alat keseimbangan sehingga menimbulkan muntah,pusing
terutama pada penderita rawat jalan, obat ini dapat mengatasi
kejang.
Pethidin biasa digunakan untuk nyeri berat atau pada penderita
dengan terapi inhibitor monoamin oksidase, karena tidak adanya
kemampuan untuk memetabolisme pethidin sehingga dapat
menyebabkan koma. Dosis pethidin untuk dewasa 1mg/kgBB IM.
Efek analgetik tercapai 15 menit, efek puncak 45-60 menit
durasinya 3-4 jam.
3) Diazepam
Merupakan obat hipnotik sedatif sebagai premedikasi
untukmenghilangkan rasa takut dan gelisah serta sebagai anti
konvulsi yang baik. Dapat mendepresi pusat pernafasan dan
sirkulasi.
e. Pengaturan posisi pasien
Ada dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi
jarum/kateter epidural yaitu : posisi lateral dengan lutut ditekuk ke
dada, posisi lainnya adalah posisi duduk fleksi dimana pasien
duduk dipinggir troli dengan lutut diganjal bantal. Fleksi akan
membantu identifikasi prosesus spinosus dan memperlebar celah
vertebra sehingga dapat mempermudah akses k eruang epidural.
8/10/2019 case RA SC.docx
35/52
35
Penentuan posisi ini didasarkan pada kondisi pasien dan
kenyamanan ahli anastesi.
Gambar 3. Posisi Tulang Belakang saat Fleksi (kiri) dan Ekstensi
(Kanan)
11.Obat Anastetik Lokal untuk Spinal Anestesia
Ada 3 jenis obat sesuai dengan kondisi LCS yaitu : Hiperbarik
(lebih berat), Hipobarik (lebih ringan), dan isobarik (sama beratnya dengan
LCS).Cairan Hiperbarik cenderung menyebar ke bawah tingkat injeksi,
sementara isobarik tidak. Lebih mudah untuk memprediksi penyebaran
spinal anaestesia bila menggunakan jenis hiperbarik. Larutan isobarik bisa
juga diubah menjadi hiperbarik dengan menggunakan tambahan dextrose.
a. Bupivakaine
Obat ini berjenis hiperbarik 0,5%. Saat ini buvicaine merupakan
salah satu obat paling baik.. durasi bupivacain cukup panjang,
umumnya mencapai 2 -3 jam.
b.Lignocaine
Obat ini juga berjenis hiperbarik 5%. Durasi anastesi lidokain
kurang lebih 45-90 menit. Efek lidokain bisa diperpanjang dengan
menambahkan adrenalin 1:1000.
8/10/2019 case RA SC.docx
36/52
36
Lidocain multi-dose sebaiknya tidak digunakan intratekal karena
berpotensi menyebabkan kerusakan. Gunakan selalu ampul
single.
c.Cinchocaine
Larutan hiperbarik 0,5 %, hampir seperti bupivacain.
d.Amethocaine
1% larutan ini bisa dicampur dengan dextrose,saline atau aquades
untuk injeksi.
e.Mepivacaine
Larutan hiperbarik 4%, mirip lignocaine.
12.Teknik anastesi
Cara melakukan anestesi spinal:
1. Perlu mengingatkan pasien tentang hilangnya kekuatan motorik dan
berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya bersifat sementara.
2. Pasang infus, minimal 500ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat
anastesi lokal
3. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal
pungsi, tetapi bila kesulitan posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi.
4. Inspeksi : Garis Tuffier, garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi
krista iliaka kanan dan kiri akan memotong garis tengah punggung
setinggi L4-L5.
8/10/2019 case RA SC.docx
37/52
37
G
Gambar 4.Lokasi Injeksi pada Spinal Anaestesi
5. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis
Gambar 5.Palpasi ruang intervertebrae
6. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1
8/10/2019 case RA SC.docx
38/52
38
7. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal
no.22 lebih halus no.23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30
derajat terhadap bidang horizontal ke arah cranial pada ruang antar
vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus
berturut-turut beberapa ligame, yang terakhir ditembus adalah durameter
subarachnoid.
Gambar 6.Sudut injeksi pada tulang belakang
8. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid. Cabut
jarum, tutup luka dengan kasa steril.
9. Monitor keadaan tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika
terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal ephedrin IV 5mg, infus 500-1000ml NaCl cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
13. Kondisi medis khusus yang perlu diperhatikan pada Spinal anaestesi
a. Pasien dengan Gangguan Pernafasan
Spinal blok rendah tidak memiliki efek pada sistem respirasi dan cocok
pada pasien dengan gangguan pernafasan kecuali dengan batuk sering.
Batuk sering menyebabkan ketidaknyamanan pada operator dan
8/10/2019 case RA SC.docx
39/52
8/10/2019 case RA SC.docx
40/52
40
Macam jenis obat vasopressor:
a.Ephedrine
Merupakan salah satu vasopresor pilihan. Menyebabkan kontriksi
pembuluh darah perifer dan meningkatkan cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung dan kontraksi myokardium. Aman
diberikan pada ibu hamil karena tidak mengurangi aliran darah placenta.
Biasanya tersedia dalam 25-30 mg, sebaiknya diencerkan dahulu
dengan 10ml air untuk injeksi dan diberikan 1-2ml dulu. Efeknya
biasanya bertahan 10 menit, kemudian butuh diulang. Alternatifnya
ampul dimasukkan ke cairan infus intravena dan diatur tetesannya.
b.Epinephrine/Adrenaline
Obat ini sangat kuat namun cuma bertahan beberapa menit. Dilusi
kan 1ml dari 1:1000 adrenalin jadi 10ml dan berikan 0,5ml. Ulang
sesuai kebutuhan. Selalu monitor tanda tanda vital setelah pemberian
adrenalin.
c.Bradikardi
Beri atropin.
d.Gelisah
Tenangkan pasien.
e.Kelemahan lengan dan tangan
Indikasi bahwa blok telah mencapai cervicothorax junction.
f.Susah bernafas
Ada kemungkinan blok sampai pada nervus phrenicus (C 3,4,5),
pasien akan tampak sulit bernafas karenan blok pada diafragma, bantu
dengan intubasi dan ventilasi.
g.Gangguan kesadaran
Intubasi dan beri ventilasi, tanggulangi hipotensi dan bradikardi
bila ada dengan terapi cairan, atropin atau vasopressor. Jika tidak segera
ditangani dapat menyebabkan cardiac arrest.
8/10/2019 case RA SC.docx
41/52
41
Ventilasi harus terus diberikan sampai blok spinal berkurang dan
pasien dapat bernafas spontan lagi, ini tergantung dari obat anastesi
yang diberikan.
15.Terapi cairan
Terapi cairan bertujuan untuk :
a. Mencukupi cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi
b. Untuk mengatasi syok
c. Untuk mengatasi kelainan karena terapi yang diberikan
Berdasarkan fungsinya cairan dapat dikelompokkan menjadi :
1. Cairan pemeliharaan : ditujukan untuk mengganti air yang hilang lewat
urine, tinja, paru dan kulit (mengganti puasa). Cairan yang diberikan
adalah cairan hipotonik, seperti D5 NaCl 0,45 atau D5W.
2. Cairan pengganti : ditujukan untuk mengganti kehilangan air tubuh
akibat sekuestrasi atau proses patologi lain seperti fistula, efusi pleura
asites, drainase lambung. Cairan yang diberikan bersifat isotonik,
seperti RL, NaCl 0,9 %, D5RL, D5NaCl.
3. Cairan khusus : ditujukan untuk keadaan khusus misalnya asidosis.
Cairan yang dipakai seperti Natrium bikarbonat, NaCl 3%.
Cairan juga dibagi menjadi :
1. Kristaloid
Larutan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dextrosa, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu
singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga
volume yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume
darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskuler
20-30 menit. Ekspansi cairan dari ruang intravaskuler ke interstital
berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar
dalam 24-48 jam sebagai urine. Secara umum kristaloid digunakan
8/10/2019 case RA SC.docx
42/52
42
untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa
peningkatan volume intrasel.
2. Koloid
Kolloid mengandung molekul-molekul besar berfungsi seperti
albumin dalam plasma tinggal dalam intravaskular cukup lama
(waktu parah koloid intravaskuler 3-6 jam), sehingga volume yang
diberikan sama dengan volume darah yang hilang. Contoh cairan
koloid antara lain dekstran, haemacel, albumin, plasma dan darah.
Secara umum koloid dipergunakan untuk :
1. Resusitasi cairan pada penderita dengan defisit cairan berat
(shock hemoragik) sebelum transfusi tersedia.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat, misalnya pada
luka bakar.
Terapi cairan perioperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan
pada masa pra operasi, operasi, dan pasca operasi.
1). Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung,penumpukan cairan pada
ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka
bakar, dan lain-lain. Pemberian cairan preoperatif
(pemeliharaan) pada orang dewasa adalah 2ml/kgBB/jam dan
pada anak bisa diberikan 4ml/kg pada 10kg BB pertama
ditambah 2 ml/kgBB kedua dan 1ml/kgBB sisanya.
2). Operasi
Mengganti cairan karena stres operasi yaitu cairan yang
hilang karena translokasi selama pembedahan. Pada orang
dewasa:
a. Operasi ringan: kebutuhan cairan 4cc/kgBB/jam
b. Operasi sedang: kebutuhan cairan 6cc/kgBB/jam
c. Operasi berat: kebutuhan cairan 8-10cc/kkBB/jam
8/10/2019 case RA SC.docx
43/52
43
Pemberiannya diberikan 50% pada 1 jam pertama, 25%
pada 1 jam kedua, 25% pada 1 jam ketiga.
Jenis pembedahan (menurut MK Sykes)
a. Pembedahan kecil / ringan
- Pembedahan rutin kurang dari 30 menit.
- Pemberian anestesi dapat dengan masker.
b. Pembedahan sedang.
- Pembedahan rutin pada pasien yang sehat.
- Pemberian anestesi dengan pipa endotracheal.
- Lama operasi kurang dari 3 jam.
- Jumlah perdarahan kurang dari 10% EBV
c. Pembedahan besar.
- Pembedahan yang lebih dari 3 jam.
- Perdarahan lebih dari 10% EBV
- Pembedahan di daerah saraf pusat, laparatomi, paru dan
kardiovaskuler
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan
kurang dari 10% EBV maka cukup diganti dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Misal
perdarahan 1 liter, beri cairan kristaloid 3 liter. Apabila
perdarahan lebih dari 10% maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma/koloid/dekstran dengan dosis 1-2 kali darah
yang hilang.
Cara menghitung perdarahan bisa menggunakan perkiraan
dari suction, dari kain operasi dan kasa yang digunakan. Pada
duk kira kira bisa menampung 150-200 darah. Sedangkan pada
kasa, berat kasa yang bersih dihitung kemudian kasa yang ada
darah dihitung. Selisih berat dianggap 1 gram = 1ml.
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah
berdasarkan nilai hematokrit dan EBV. EBV pada neonatus
prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB
8/10/2019 case RA SC.docx
44/52
44
dan pada dewasa laki-laki 70 ml/kgBB, perempuan 80
ml/kgBB.
Beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat
perdarahan adalah sebagai berikut :
A. Berdasar berat-ringannya perdarahan :
1. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10
15%, cukup diganti dengan cairan kristaloid.
2. Perdarahan sedang, perdarahan 10 20% EBV, 15 30%,
dapat diganti dengan cairan kristaloid dan koloid.
3. Perdarahan berat, perdarahan 20 50% EBV > 30%, harus
diganti dengan transfusi darah.
Misal Laki-laki 25 tahun dengan berat badan 60 kg, maka
EBV nya adalah BB x EBV standart jadi 60kg x 70ml = 4200
cc. Bila 10% EBV maka 420 cc, bila 20%EBV maka 840cc dst.
B. Klasifikasi shok akibat berdarahan :
Penggantian cairan intravena pada shock haemmoraghic
Class I
(haemorrhage 750 ml (15%))
Class II
(haemorrhage 800-1500 ml (15-30%))
Class III
(haemorrhage 1500-2000 ml (30-40%))
Class IV
(haemorrhage 2000 ml (48%))
2.5 L Ringer-lactate solution or 1.0 L
polygelatin
1.0 L polygelatin plus 1.5 L Ringer-lactate
solution
1.0. L Ringer-lactate solution plus 0.5 l
whole blood or 0.1-1.5 L equal volumes of
concentrated red cells and polygelatin
1.0 L Ringer-lactate solution plus 1.0 L
polygelatin plus 2.0 L whole blood or 2.0 L
equal volumes of concentrated red cells and
polygelatin or hestastarch
3). Setelah operasi
8/10/2019 case RA SC.docx
45/52
45
Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah
(cairan lambung, febris).
c. Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama
pembedahan.
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.
Kebutuhan cairan untuk orang dewasa dalam 24 jam adalah
40-50ml/kg BB/24 jam.setiap kenaikan suhu 1 oC kebutuhan
cairan bertambah 10-15%.
Kebutuhan cairan 24 jam pada anak sesuai berat badan adalah :
0-10 kg 1000ml/kgBB
10-20 kg1000ml + 50ml per kgBB diatas
10 kg
>20 kg1500ml + 20ml per kgbb diatas 20
kg
Monitoring juga jumlah urine yang ada, jumlah urine normal
adalah 0,5-1ml/kgBB/jam
16.Perawatan Post Operatif dan Post Anaestesia
Monitoring pasca operasi harus dimulai sejak saat operasi berakhir hingga
pasien sampai di Post Anaesthesia Care Unit (PACU). Komplikasi yang sering
terjadi adalah menggigil (shivering), airway obstruction, agitasi atau delirium,
nyeri, muntah, perdarahan.
Yang harus dimonitor setelah operasi antara lain 6 B yaitu Brain, Breathe, Blood,
Bladder, Bowel, Bone.
Komplikasi yang dapat terjadi :
a.Brain:
1.Penurunan kesadaran sampai koma.
2.Tetra parese/plegia.
3.Gelisah, mual, muntah, cephalgia.
8/10/2019 case RA SC.docx
46/52
46
4.Kejang.
Bisa diakibatkan oleh peningkatan TIK, gangguan elektrolit,
trauma kapitis, hipoksia, hiperkarbia.
Monitoring : GCS, TIK, Refleks patologis, Refleks fisiologis
Tindakan : Bebaskan jalan nafas, cegah hipoksia, head up 30
derajat, anti konvulsi
b.Breath :
1. Airway obstruction (Lidah jatuh kebelakang, muntahan, gumpalan
darah)
2.Hipoventilasi(Hipokalemia, muscle relaxant, nyeri, efek depresi opioid
analgetik)
3.Pneumo/hemothorax (saat bedah atau proses anaestesia)
4.Apneu (Proses sentral, depresi obat, gangguan paru sendiri)
5.Hipoksemia (Gangguan paru dan atau airway, cardiac irritability)
Monitoring RR, ruping hidung, sianosis, tachicardia, keringat
dingin.
Tindakan : Bebaskan jalan nafas, beri oksigenasi cukup. Intubasi
kalau perlu
c.Blood :
1.Hipotensi(Hipovolemi/perdarahan,sepsis,obat,asidosis,alergi)
2.Hipertensi(Nyeri, ETT, distensi VU, aktifitas simpatis)
3.Bradikardi (Obat, hipoksia)
4.Disritmia (gangguan elektrolit, hiperkarbia, nyeri)
5.Myocard infark, cardiac arrest (hipotensi, shock, hipoksia, tachicardi)
Monitoring : Tekanan darah, EKG, Lab : Elektrolit, Faal
hemostasis.
Tindakan : Koreksi penyebab, atasi hipoksia, atasi nyeri, RJP kalau
perlu.
d.Bladder :
1.Anuria
2.Oligouria
8/10/2019 case RA SC.docx
47/52
47
3.Polyuria
4.Hematuria
Monitoring : Produksi urine/jam, rehidrasi, Fungsi Ginjal, ureum dan
kreatinin, elektrolit
Tindakan : Cek apakah Prerenal, Renal, Postrenal.
Prerenal : Hipovolemia, cek Nadi, Tekanan Darah,
CRT
Tindakan : Rehidrasi, pertimbangkan transfusi.
Renal : CRF, Masalah prerenal yang tidak teratasi
Tindakan : Cek VU, pasang catather, batasi cairan, cek
elektrolit
Postrenal : HT prostat, striktur urethra, katater buntu,
batu.
Tindakan : Cek VU, cek katater, cek prostat.
Secara umum bila tidak ada urine :
Periksa hemodinamik (TD, Nadi, Perfusi jaringan) Tentukan normovolemia atau hipovolemia Periksa VU penuh atau kosong Periksa catater sampai urine bag Lab Elektrolit Radiologi BNO/ IVP/ USG
e.Bowel:
1.Abdomen distended
2.Gangguan peristaltik
3.Nyeri
4.Cairan NGT meningkat,berubah warna
Monitoring : Hemodinamik, drain, lab HB, HT, Elektrolit
Tindakan : koreksi penyebab, atasi nyeri, laparotomy kalau perlu
f.Bone:
1.Compartment syndrome (Edema, perdarahan)
2.Perfusi jaringan berkurang (dingin, basah, sianosis)
8/10/2019 case RA SC.docx
48/52
48
3.Nyeri
Monitoring : Perfusi jaringan SPO2, drain, nyeri
Pasien hendaknya jangan dikirim keruangan sebelum sadar, tenang, reflek
jalan nafas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas normal. Selalu
cek ABC agar tidak terjadi hipoksia.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anastesi dan pembedahan.
Untuk regional anastesi dilakukan skor Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai
Tak mampu ekstensi penuh
Tak mampu fleksi lutut
Tak mampu fleksi pergelangan kaki
0
1
2
3
Bromage score
8/10/2019 case RA SC.docx
49/52
49
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini adalah pasien dengan diagnosis klinis GIIIP2A0 hamil aterm
dengan CPD. Pada kasus ini terapi yang dipilih adalah terapi operasi SCTP. Oleh
karena lokasi operasinya di bagian abdomen, salah satu pilihan anestesi yang bisa
digunakan adalah subarachnoid block anaesthesia atau spinal anestesi. Alasannya
adalah karena lebih efektif pada regio abdomen, lebih murah, dan tidak
mengganggu sistem pernafasan spontan. Pada bagian abdomen, dermatom
sarafnya adalah dermatom Lumbal 1 kebawah.
Pada pasien ini penatalaksanaan preoperatifnya adalah pre op visite yang
bertujuan untuk mengetahui kondisi umum pasien serta komplikasi yang mungkin
terjadi bila ada penyakit penyulit. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan
generalisnya dalam batas normal, tidak ada penyakit sistemik dan tidak ada
kelainan hasil laboraturium. Terapi cairan yang diberikan adalah terapi cairan
preoperasi (BB=65kg) yaitu 2ml/kgBB/jam. Jadi 2x70=130ml per jam. Sedangkan
untuk operasi spinal sendiri dimana membutuhkan pre-loading cairan yang besar
sebagai mekanisme kompensasi terjadinya vasodilatasi yang berakibat hipotensi
adalah diberikan setidaknya 1000 ml cairan.Cairan yang digunakan adalah cairan
kristaloid (Ringer Lactate). Premedikasi belum diperlukan saat ini, kondisi pasien
tidak gelisah. Induksinya digunakan Bucain, dimasukkan sesuai prosedur.
Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 65 kg)
1. Defisit cairan karena puasa 8 jam = 2 X 65 X 8 = 1040 cc
2. Kebutuhan cairan selama operasi dan karena trauma operasi besar selama40 menit (0,67 jam) = kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi
besar
= (2 X 65 X 0,67) + (8 X 65 X 0,67) = 87,1 + 348,4 = 435,5 cc
3. Perdarahan selama operasi 600 cc
EBV = 80 X 65 kg = 5200 cc.
Kehilangan darah = 500/5200 X 100% = 9,61 % dari EBV.
8/10/2019 case RA SC.docx
50/52
50
4. Jadi kebutuhan cairan total = 1040 + 435,5 + 600 = 2075,5 cc
5. Jumlah cairan yang telah diberikan :
a. Pra anastesi : 500 cc
b. Saat operasi : 1200 cc
Total cairan yang diberikan 1700 cc, kurang 375,5 cc, sehingga
pengawasan terhadap pemberian cairan masih diperlukan saat pasien
berada di bangsal ditambah kebutuhan cairan per hari selama 24 jam.
Setelah selesai operasi, kondisi pasien distabilkan dulu sebelum dipindah
ke ruang PACU. Perhatikan selalu tanda vital pasien. Setelah stabil, pasien dibawa
ke ruang PACU. Disana pasien diberikan O 2 3L/menit, untuk membantu perfusi
jaringan. Namun pemberian oksigen yang berlebihan tidak disarankan karena
dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Kemudian pasien diberikan
infus sesuai dengan kebutuhannya (BBx40-50cc kgBB/24 jam) yaitu 2800cc-3500
cc/24 jam. Hati - hati pada pemberian cairan yang banyak, harus pula diimbangi
dengan pengeluaran cairan yang mencukupi. Pastikan fungsi miksi pasien normal.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan volume cairan
intravaskuler yang akan memperberat kerja jantung. Beban jantung yang
meningkat, dapat menimbulkan gagal jantung kiri yang berakibat edema pulmoner.
Urine normal adalah 0,5-1 cc/kgBB/jam maka pada pasien ini setidaknya adalah
35-70cc/jam atau 840-1680cc/24 jam. Tetap monitoring tanda vital pasien, jumlah
cairan yang masuk dan keluar, baik infus, intake nutrisi, urine dan drain.
Observasi dilakukan sampai kondisi pasien lebih stabil.
8/10/2019 case RA SC.docx
51/52
51
BAB V
KESIMPULAN
Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus diperhatikan agar
tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
anestesi. Anastesi dalam persalinan harus dilakukan dengan mempertimbangkan
keamanan ibu dan bayi. Dalam hal ini pemeriksaan pra anestesi memegang
peranan penting pada setiap operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang
baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan
masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat
menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan obat dan
dosisnya harus benar-benar diperhatikan agar tidak mendepresi janin, dimana
hampir semuanya dapat mendepresi nafas janin.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi spinal pada
operasi SCTP emergency pada penderita perempuan, umur 35 tahun, status fisik
ASA II E, dengan diagnosis GIIIP2A0 Hamil Aterm dengan CPD. Dalam kasus
ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi
anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan
operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
8/10/2019 case RA SC.docx
52/52