31
CULTURES AND ORGANIZATIONS(Geert Hofstede): KAJIAN BUKU Heru Kurnianto Tjahjono Tulisan ini mereview dan mengevaluasi buku yang ditulis Hofstede berbasis penelitian yang dilakukannya. Buku yang ditelaah ini secara lengkap berjudul Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance fo Survival. Secara garis besar tulisan ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama merupakan resume dan perspektif buku ini yang meliputi: (1) maksud studi dan penulisan buku (2) pendekatan dan prosedur (3) definisi (4) hasil dan (5) implikasi. Sedangkan bagian kedua merupakan tinjauan atau bahasan secara kritis dari perspektif reviewer terhadap buku baik pembahasan agreements dan disagreements berdasarkan pada metodologi penelitian, theoritical framework dan kontribusi book content pada teori dengan melakukan perbandingan dengan banyak perspektif dari referensi lain yang dapat digunakan untuk telaah buku ini. This paper reviews and evaluates Hofstede’s book “Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance for Survival” that was written based on his research. Basically this paper is divided into two parts. The first part is a resume and the perspective of the book that consist of: (1) the purpose of the study and why this book was written, (2) the procedures and the approaches, (3) definition, (4) results, 1

Budaya-Hofstede

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya-Hofstede

CULTURES AND ORGANIZATIONS(Geert Hofstede):

KAJIAN BUKU

Heru Kurnianto Tjahjono

Tulisan ini mereview dan mengevaluasi buku yang ditulis Hofstede berbasis penelitian yang dilakukannya. Buku yang ditelaah ini secara lengkap berjudul Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance fo Survival. Secara garis besar tulisan ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama merupakan resume dan perspektif buku ini yang meliputi: (1) maksud studi dan penulisan buku (2) pendekatan dan prosedur (3) definisi (4) hasil dan (5) implikasi. Sedangkan bagian kedua merupakan tinjauan atau bahasan secara kritis dari perspektif reviewer terhadap buku baik pembahasan agreements dan disagreements berdasarkan pada metodologi penelitian, theoritical framework dan kontribusi book content pada teori dengan melakukan perbandingan dengan banyak perspektif dari referensi lain yang dapat digunakan untuk telaah buku ini.

This paper reviews and evaluates Hofstede’s book “Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance for Survival” that was written based on his research. Basically this paper is divided into two parts. The first part is a resume and the perspective of the book that consist of: (1) the purpose of the study and why this book was written, (2) the procedures and the approaches, (3) definition, (4) results, and (5) the implications. The other part is more as critical discussion about the book from the reviewer’s perspectives including the agreements and disagreements which based on research methodology, theoretical framework and book content contribution theory by comparing them with many other perspectives from other references that can be used to study this book.

1

Page 2: Budaya-Hofstede

BAGIAN PERTAMA

I. TUJUAN

Tujuan penulisan buku ini untuk membantu dalam kaitannya dengan perbedaan-

perbedaan dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatan orang-orang di dunia. Tulisan

ini akan menunjukkan bahwa meskipun keragaman pemikiran orang-orang begitu

besar, masih terdapat suatu struktur dalam keragaman ini yang dapat menyajikan

suatu basis pemahaman bersama.

II. PENDEKATAN DAN PROSEDUR

Tulisan ilmiah dalam buku ini berbasis pada dua penelitian tentang budaya. Pertama

penelitian tentang perbedaan budaya-budaya nasional (national cultures) yang

dilakukan Hofstede dkk., dengan menggunakan data IBM, meliputi populasi

karyawan pada national subsidiaries di 64 negara. Kedua penelitian tentang budaya

organisasional pada lebih dari 20 unit organisasi di Denmark dan Belanda yang

dilakukan pada tahun 1985 sampai dengan 1987. Penelitian tersebut cenderung

bersifat eksploratori dan prosedur statistik yang dilakukan dengan menggunakan

faktor analisis.

Sistematika buku ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama buku ini memberikan

dasar pemahaman yang baik tentang buku ini dengan menjelaskan apa yang kita

artikan ketika kita berbicara mengenai ‘budaya’ / ‘culture’. Penelitian menjelaskan

empat dimensi yang secara empiris ditemukan dalam penelitian lintas lebih dari 50

2

Page 3: Budaya-Hofstede

negara-negara: power distance, collectivism versus individualism, femininity versus

masculinity, dan uncertainty avoidance. Setiap chapter disusun dengan cara yang

sama: dimensi digambarkan, nilai-nilai dari berbagai negara diperlihatkan, dan

konsekuensi dari dimensi terhadap keluarga, sekolah, lingkungan kerja, organisasi,

negara, dan perkembangan ide. Secara spekulatif disebutkan tentang keaslian dan

kemungkinan perbedaan-perbedaan di antara setiap dimensi di masa mendatang.

Perbedaan menurut gender, generasi, dan kelas sosial dimunculkan. Chapter 6 melihat

pada konsekuensi dari perbedaan budaya nasional di mana orang dalam suatu negara

mengatur diri mereka sendiri, mengkombinasikan dimensi yang digambarkan pada

empat chapter sebelumnya. Menunjukkan bahwa praktik dan teori organisasi secara

budaya saling tergantung. Chapter 7 memberikan dimensi yang kelima, yaitu

orientasi jangka panjang versus jangka pendek (long term vs short term orientation).

Chapter ini juga mengeksplorasi implikasi-implikasi dari dari fakta; menunjukkan

perbedaan yang mendalam antara pemikiran orang Timur dan Barat yang

berhubungan dengan pentingnya ‘kebaikan’ dan ‘kebenaran’.

Bagian ketiga dihadapkan dengan perbedaan-perbedaan budaya organisasional, dan

terdiri dari satu chapter yaitu chapter 8 yang menggambarkan pandangan baru ynag

diperoleh dari proyek penelitian lintas IRIC di lebih dari 20 unit organisasi di

Denmark dan Belanda. Ini merupakan komplementari bagi perbedaan budaya

nasional yang disebutkan pada chapter-chapter sebelumnya.

3

Page 4: Budaya-Hofstede

Bagian keempat dihadapkan pada implikasi praktik dari perbedaan dan kesamaan

budaya. Chapter 9 melihat pada apa yang terjadi ketika orang dari budaya yang

berbeda bertemu. Ini menghilangkan fenomena seperti culture shock, etnocentrism,

stereotyping, perbedaan dalam bahasa dan humor. Chapter ini membahas bagaimana

kemampuan komunikasi antar budaya. Chapter 10 meringkas pesan-pesan dari buku

dan mengartikannya menjadi pesan-pesan bagi orangtua, manajer, dan media. Bagian

akhir yang diberi judul Reading Mental Programs pada pokoknya menekankan pada

penelitian kolega bisnis dan ditambahkan sebagai appendix. Bagian ini dihadapkan

dengan bagaimana mengkoleksi informasi yang dapat dipercaya tentang perbedaan

budaya selain mengacu pada kontraversi dalam ilmu sosial mengenai budaya, dan

menjelaskan pilihan metodologi di balik pendekatan yang diikuti

4

Page 5: Budaya-Hofstede

III. DEFINISI & HASIL STUDI

A. Budaya & Dimensi Budaya Nasional

Budaya (culture) merupakan keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari

suatu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Istilah

the collective mental programming atau software of mind digunakan untuk

menyebutkan keseluruhan pola dalam kajian budaya. Mental prorams atau budaya

suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial, (seperti negara, daerah, tempat

kerja, sekolah dan rumah tangga) dan kejadian-kejadian yang dialami dalam

kehidupan para anggota kelompok yang bersangkutan. Kemudian proses

terbentuknya pola fikir, perasaan dan perbuatan tersebut dianalogikan dengan proses

penyusunan program dalam komputer.

Budaya dapat dikelompokkan ke dalam berbagai tingkatan antara lain: nasional,

daerah, gender, generasi, kelas sosial, organisasional atau perusahaan.

Budaya Nasional

Dimensi-dimensi perbedaan budaya dalam penelitian budaya nasional meliputi:

power distance, collectivism/ individualism, masculinity/ feminity dan uncertainty

avoidance.

B. Power distance

Power distance adalah satu dari ‘dimensi’ budaya nasional yang merefleksikan jarak

jawaban yang ditemukan dalam beragam negara ke dalam pertanyaan mendasar

5

Page 6: Budaya-Hofstede

tentang bagaimana mengelola fakta bahwa orang-orang dalam keadaan tidak

seimbang. Skor-skor power distance dari 50 negara dan 3 wilayah kelompok negara

dihitung dari jawaban karyawan IBM pada posisi pekerjaan yang sama dan survey

yang sama. Seluruh pertanyaan terdapat kode tipe jawaban yang diwakili oleh skor

angka: biasanya 1, 2, 3, 4 atau 5. Prosedur statistika dengan faktor analisis digunakan

untuk meringkas survei pertanyaan ke dalam kelompok yang disebut faktor atau

klaster. Suatu klaster tersusun dari pertanyaan yang terkait dengan power dan (in)

equality. Dari pertanyaan ini, Hofstede menyeleksi tiga yang paling kuat terkait. Skor

rata-rata standar sampel karyawan-karyawan IBM dalam suatu negara pada tiga

pertanyaan, suatu power distance index (PDI) untuk perhitungan negara. Tujuan

formula PDI adalah: menjamin bahwa tiap-tiap tiga pertanyaan menunjukkan bobot

yang seimbang yang terdapat pada indeks akhir dan nilai indeks berjarak dari 0 untuk

negara dengan power distance yang rendah sampai 100 untuk negara dengan power

distance yang tinggi.

Tiga pertanyaan survey yang digunakan untuk menyusun power distance index

adalah:

1. Pertanyaan yang menunjukkan kekhawatiran atau ketakutan karyawan/

bawahan.

2. Pertanyaan yang menunjukkan perasaan karyawan terhadap lingkungan kerja

terkait dengan gaya otokrasi atau paternalistik.

6

Page 7: Budaya-Hofstede

3. Pertanyaan yang menunjukkan dan mengekspresikan preferensi responden

(karyawan).

Hasil analisis menunjukkan bahwa negara-negara Latin, seperti Amerika Latin,

Perancis dan Spanyol juga negara-negara di Asia dan Afrika memiliki power distance

yang tinggi. Sedangkan sebagian besar negara-negara barat, USA dan Inggris

tergolong memiliki power distance yang rendah. Jika power distance yang dimiliki

rendah berarti ketergantungan subordinat pada pimpinan terbatas, ada hubungan

interdependensi anatara mereka dan jarak emosional antara mereka relatif rendah, dan

sebaliknya. Perbedaan power distance dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan

pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan

power distance juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam

keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam negara.

C. Collectivism vs Individualism

Mayoritas orang di dunia yang tinggal dalam suatu komunitas yang memiliki minat

pada kelompok melebihi secara individu disebut sebagai kelompok masyarakat

collectivist. Sebagian besar lingkungan collectivist, ‘keluarga’ di mana anak tumbuh

berkembang terdiri dari sejumlah orang yang hidup bersama seperti: kakek-nenek,

paman, bibi, pembantu, atau anggota lainnya. Dalam antropologi budaya ini dikenal

sebagai extended family. Ketika anak tumbuh berkembang mereka belajar untuk

berpikir mereka sebagai bagian dari kelompok ‘kita’.

7

Page 8: Budaya-Hofstede

Minoritas orang di dunia hidup dalam masyarakat di mana minat-minat individu di

atas minat kelompok, masyarakat itu disebut sebagai individualist. Di sini sebagian

besar anak-anak dilahirkan dalam keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan,

kemungkinan dari keluarga dengan orangtua tunggal. Saudara-saudara lain hidup

terpisah dan jarang bertemu. Keluarga jenis ini dikenal sebagai nuclear family (dari

bahasa Latin yang berarti inti). Anak-anak dari keluarga seperti ini akan tumbuh dan

kemudian berpikir bahwa mereka sebagai ‘aku’.

Pertanyaan-pertanyaan survey di mana individualism index diperkenalkan termasuk

ke dalam kumpulan 14 ‘work goals’. Pertama adalah individualism versus

collectivism, dan yang kedua dinamai masculinity versus feminimity (lihat D:

Masculinity dan Feminimity).

Untuk individualism:

1. Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda waktu yang

cukup untuk kehidupan personal atau keluarga.

2. Freedom. Memiliki kebebasan yang tinggi untuk menggunakan pendekatan

anda sendiri dalam pekerjaan anda.

3. Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan – bekerja di mana

anda dapat mencapai prestasi yang berarti bagi pribadi.

8

Page 9: Budaya-Hofstede

Untuk collectivism:

4. Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan ketrampilan

anda atau mempelajari ketrampilan baru)

5. Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik (ventilasi dan

penerangan yang baik, tempat kerja yang leluasa, dsb.).

6. Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan kemampuan anda

dalam pekerjaan.

Banyak negara dengan skor tinggi untuk PDI memiliki skor rendah pada IDV dan

sebaliknya. Dengan kata lain hubungan kedua dimensi tersebut cenderung berkorelasi

negatif. Perbedaan individualism-collectivism dalam negara juga ditunjukkan atau

ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur

perbedaan individualism-collectivism juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-

perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam

negara.

D. Masculinity and Feminity

Dalam suatu masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Secara biologis mereka

berbeda. Perbedaan biologis menggunakan terminologi male dan female, sedangkan

perbedaan sosial dan secara budaya ditentukan oleh peran masculine dan feminine.

Seorang laki-laki dapat berkelakuan feminim dan sebaliknya.

9

Page 10: Budaya-Hofstede

Dimensi kedua ini secara erat berhubungan dengan item terkait berikut. Untuk

masculine:

1. Earnings. Memiliki kesempatan untuk meraih pendapatan yang besar.

2. Recognition. Memperoleh pengakuan yang layak.

3. Advancement. Memiliki kesempatan untuk maju ke tingkat pekerjaan yang

lebih tinggi.

4. Challenge. Memiliki pekerjaan yang menantang untuk berprestasi.

Sebaliknya untuk feminine:

5. Manager. Memiliki hubungan kerja yang baik dengan superior di atas anda.

6. Cooperation. Bekerja baik dengan orang lain

7. Living area. Hidup di lingkungan menarik bagi anda dan keluarga anda.

8. Employment security. Memiliki jaminan di mana anda dapat bekerja pada

perusahaan anda sepanjang anda inginkan.

Skor MAS dihitung dari 50 negara-negara dan 3 wilayah dalam data IBM. Skor 0

menunjukkan paling feminim dan skor 100 menunjukkan paling maskulin. Hasil

analisis data menunjukkan bahwa maskulinitas tertinggi di Jepang (rank 1),

selanjutnya beberapa negara di Eropa kontinental seperti: Austria, Italia, , Switzerland

juga sejumlah negara di Amerika Latin seperti: Venezuela, Meksiko, dan negara-

negara Anglo seperti: Irlandia, Jamaika. Perbedaan masculinity-feminity dalam negara

10

Page 11: Budaya-Hofstede

juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan

pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan masculinity-feminity juga dapat hubungkan

dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan

ide-ide besar dalam negara.

E. Uncertainty avoidance

Terminologi uncertainty avoidance telah dipinjam dari organisasi sosiologi Amerika

khususnya dari karya James G.March. Cara untuk mengatasi ketidakpastian

merupakan bagian dan bidang dari setiap manusia di negara manapun. Sebagai

manusia kita harus berhadapan dengan fakta bahwa kita tidak tahu apa yang akan

terjadi esok; masa yang akan datang tidak pasti tetapi kita harus menghadapinya.

Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan kegelisahan yang tidak dapat ditolelir.

Setiap lingkungan masyarakat telah berkembang cara untuk meredakan kegelisahan

tersebut. Cara-cara tersebut dapat berasal dari bidang teknologi, hukum dan agama.

F. Budaya Organisasional

Berbicara mengenai ‘budaya’ suatu perusahaan atau organisasi telah menjadi suatu

mode di antara para manajer, konsultan, dan dengan pehatian yang agak berbeda di

antara para akademisi. Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional”

merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat

diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen

belum memiliki “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional.

11

Page 12: Budaya-Hofstede

Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada karakteristik konstruk budaya

organisasional.

Hofstede membagi budaya organisasional ke dalam enam dimensi praktek: (1)

Process-Oriented vs. Results Oriented, (2) Employee-Oriented vs. Job-Oriented, (3)

Parochial vs. Professional, (4) Open System vs. Closed System (5) Loose Control vs.

Tight Control (6) Normative vs. Pragmatic.

G. Perbedaan Budaya organisasional dan Budaya Nasional

Menurut Hofstede antara budaya nasional dan budaya organisasional sulit dibedakan

dan merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya tercermin dalam

manifestasi budaya ke dalam nilai-nilai dan praktek. Pada budaya organisasional,

perbedaan banyak pada tingkat praktek dibandingkan perbedaan nilai-nilai.

Perbedaan budaya organisasional selanjutnya dianalisis pada tingkat sub organisasi

atau sub unit organisasi.

BAGIAN KEDUA

Ada 3 (tiga) bahasan penting dari perspektif penelaah (reviewer) pada bagian kedua

meliputi agreements dan disagreements. Basis pembahasan bagian kedua meliputi

Penyajian yang meliputi sistematika dan isi buku (book content), metoda penelitian,

rerangka teori (theoritical framework) dan kontribusi buku bagi perkembangan teori

organisasi.

12

Page 13: Budaya-Hofstede

I. PENYAJIAN DAN ISI BUKU

Penyajian buku yang meliputi isi dan sistematika buku sangat baik dan menjadikan

buku ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang budaya pada berbagai

level budaya dan beragam setting. Beragam terminologi dan rujukan pada penelitian

sebelumnya keterbukaan penulis (opennes) dalam konteks keberfihakan pada ilmu

pengetahuan (science).

Dari sisi penyajian bahasa dan sistematika penulisan cukup baik. Bahasa yang

digunakan dalam buku ini/ disampaikan kepada pembaca relatif dapat dimengerti

dengan baik. Kadang tiap bahasan diawali dengan ilustrasi bahkan humor yang

relevan dalam menggambarkan bahasan dengan cerdas. Di samping itu buku ini

memberikan panduan (A guide through this book, pada hal xiii-xiv) yang sangat baik

bagi pembaca berbagai kalangan/ segmen sehingga memudahkan memahami buku ini

secara lebih baik.

Pesan tentang keragaman budaya sebagai sebuah keniscayaan akan bermanfaat bagi

kalangan ilmiah dan yang terpenting adalah para pembuat kebijakan bisnis untuk

menjadikan pertimbangan penting mereka.

Meskipun demikian “tiada gading yang tak retak”, berbasis pada penelitian tahun

1967-1973 tentang budaya nasional dan penelitian budaya organisasional pada tahun

1985-1987 dengan setting yang terbatas dan adanya kemungkinan bias waktu bagi

kajian budaya dewasa ini yang sangat pesat berubah, maka merupakan kewajaran

bahwa buku ini tampaknya tidak sepenuhnya menggambarkan “hewan” budaya

13

Page 14: Budaya-Hofstede

nasional dan budaya organisasional. Salah satu hal yang tampak mencolok adalah

tentang teknologi informasi. Hal ini dapat menjadi kajian di masa ke depan seperti

buku-buku “best seller” karya Naisbitt ataupun karya Toffler yang di dalamnya

meliputi pesatnya teknologi informasi dan beberapa telaah “kontemplasi” para

futurolog yang mungkin masih diperdebatkan.

Namun demikan isi buku memberikan telaah ilmiah sekaligus implikasinya sehingga

buku ini sangat menarik tidak hanya bagi kalangan akademis ataupun peneliti, namun

juga dapat digunakan para praktis/ profesional sebagai referensi penting/ guidelines

dalam kegiatan manajerial.

Buku ini dapat dikategorisasikan sebagai buku referensi ilmiah klasik, yang akan

sering digunakan sebagai rujukan berbagai kalangan, termasuk kalangan ilmiah/

akademis dan dapat menghindarkan diri dari sekedar mengejar “pasar” atau terjebak

pada “manajemen yang bersifat mode” bahkan apa yang kita kenal sebagai

“pseudoscience”.

II. METODA PENELITIAN

Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional yang menggunakan data IBM

survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat

terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu

negara tertentu, sehingga

14

Page 15: Budaya-Hofstede

Pada sub bagian metoda penelitian, kita lebih banyak membahas ide tulisan,

pendekatan dan metoda penelitian yang digunakan oleh Hofstede. Pada bagian ini

akan disampaikan beberapa bahasan kritis terkait dengan agreements dan

disagreements. Beberapa hal yang dibahas meliputi jenis penelitian, premis & asumsi,

metoda sampel, serta prosedur penelitian.

1. Jenis Penelitian

Buku ini berbasis pada dua penelitian yang dilakukan Hofstede. Pertama penelitian

tentang budaya nasional dengan menggunakan data IBM. Penelitian ini tergolong

kategori jenis penelitian eksploratori dan berdasarkan tujuannya, penelitian ini juga

dapat kita kelompokkan pada jenis penelitian induktif, yaitu penelitian yang memiliki

tujuan untuk mengembangkan (generating) theory atau hipotesis melalui

pengungkapan fakta (Indriantoro & Supomo., 1999:23). Sedangkan penelitian kedua

tentang budaya organisasional juga dapat kita kelompokkan jenis penelitian

eksploratori yang pada umumnya menggunakan pendekatan induktif.

Di samping itu kedua penelitian ini juga melakukan kombinasi dengan pendekatan

deduktif sehingga kita melihat penelitian ini menggunakan metode double movement

of reflective thought.

Menurut pandangan penelaah, pendekatan pada kedua penelitian ini sangat baik,

namun setting yang relatif terbatas maka hasil penelitian ini seperti halnya penelitian

di bidang organisasi dan manajemen pada umumnya tidak memberikan saran ataupun

tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Meskipun

15

Page 16: Budaya-Hofstede

demikian kedua penelitian yang disarikan dalam buku ini telah memberikan

perspektif dan struktur terhadap komplesitas keragaman budaya pada berbagai level.

2. Premis, Paradigma dan Asumsi

Dalam buku ini premis dan asumsi yang dilakukan dalam konteks nasional dan

organisasi. Salah satu kelemahan kajian budaya pada umunya adalah masalah durasi

penelitian yang relatif pendek, cenderung bersifat “snapshoot” dan penarikan

kesimpulan dari values individu menjadi shared values organisasi memang tidak

cukup dengan teknik kuesioner (survey research), melainkan perlu dukungan

observasi dengan durasi waktu yang relatif panjang.

Sedangkan paradigma dan asumsi dalam penelitian ini memiliki kecenderungan

trianggulasi pada pendekatan baik kualitatif dinamakan juga pendekatan konstruktifis

naturalistik atau interpretatif dikombinasikan dengan kuantitatif melalui perhitungan

faktor analisis. Paradigma ini menekankan pada pemahaman mengenai masalah-

masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting

yang holistik, kompleks dan rinci. Dengan demikian asumsi yang dibangun juga

konsisten dengan paradigma ini. Kita melihat pendekatan yang dilakukan cukup baik

namun perlu modifikasi teknik dan kejelasan operasional penelitian.

3. Metoda Sampel

Penelitian sebelumnya menggunakan data IBM yang dikumpulkan dengan survey

dengan cara in-depth interviews terhadap karyawan yang dikelola oleh tim ahli ilmu

16

Page 17: Budaya-Hofstede

sosial dari dalam dan luar perusahaan sebagai participant observers. Sedangkan

penelitian di Denmark dan Belanda meliputi lebih dari 20 unit dari 10 organisasi yang

berbeda, menggunakan data dengan cara in-depth interviews dari informan terpilih

dan survei kuesioner. Teknik atau metoda sampel yang digunakan adalah stratified

random sampling anggota organisasi.

4. Validitas Internal dan Eksternal

Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional dengan menggunakan data IBM

survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat

terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu

negara tertentu, sehingga validitas eksternalnya tergolong lemah.

Sedangkan validitas internal budaya nasional masih sangat abstrak, walaupun

Hofstede telah mencoba merumuskan ke dalam dimensi-dimensi.

III. THEORITICAL FRAMEWORK

Penelitian tentang budaya organisasional (organization culture) dalam buku cultures

and organizations memberikan gambaran yang lebih jelas sekaligus perspektif baru

yang merupakan komplementari term perbedaan budaya nasional.

Banyak kalangan baik manajer, konsultas dan akademisi menyebutkan budaya

(culture) dalam pemahaman yang agak berbeda satu sama lain, sehingga “budaya”

telah menjadi “a fad”. Namun demikian kondisi tersebut paling tidak telah

17

Page 18: Budaya-Hofstede

meninggalkan jejak bagi pengembangan ilmu khususnya teori organisasi. Budaya

organisasional telah mendapatkan status yang mirip dengan struktur, strategi dan

pengendalian. Dalam pandangan Weick (1985) bahwa konstruk “budaya” dan

“strategi” bersifat saling melengkapi sebagian yang lain. Dalam terminologi

akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan

abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Namun banyak ahli

ilmu-ulmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” mengenai

definisi budaya organisasional. Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada

karakteristik konstruk budaya organisasional meliputi:

1. Menyeluruh (holistic)

2. Historically determined

3. Terkait dengan konsep antropologi

4. Dikonstruksi secara sosial.

5. Tidak berwujud dan tidak kasat mata (soft)

6. Sukar untuk berubah

IV. KONTRIBUSI

Dari perspektif ilmu (science) secara umum kita ketahui bahwa penelitian yang

bersifat eksploratori ataupun induktif memberikan kontribusi yang besar bagi

pengembangan ilmu itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan Hofstede

memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang perbedaan budaya. Dalam

18

Page 19: Budaya-Hofstede

kajian Hofstede dijelaskan bahwa perbedaan budaya nasional sebagai salah satu

faktor penentu yang harus diperhitungkan di samping budaya organisasional jika akan

membuat ramalan yang lebih akurat mengenai perilaku organisasi di negara-negara

yang berlainan. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya nasional

mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan daripada budaya organisasional

(Kent, 1991). Kontribusi penting Hofstede lainnya adalah empat dimensi budaya

yang diidentifikasi dari data IBM meliputi: power distance, individualism/

collectivism, masculinty/ feminity dan uncertainty avoidance. Dalam buku ini pula,

Hofstede menambahkan dimensi short/ long term orientation.

19

Page 20: Budaya-Hofstede

DAFTAR PUSTAKA

Adler. 1986. International Dimensions of Organizational Behavior. Boston MA: Kent Publishing Company

Cooper, & Schnidler.2000. Business Research Methods. USA: McGraw-Hill Irwin

Dunnette, Campbell, & Hakel. 1967. Organizational Behavior and Human Performance. USA

Fisher D.C. 1980. On the Dubious Wisdom of Expecting Job Satisfaction to Correlate with Performance. Academy of Management Review, 5: 607-612.

Gibson, Ivancevich, & Donelly. 1985. Organisasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga

Hofstede et.al. 1990. Measuring Organizational Cultures: A Qualitative and Quantitative Study Across Twenty Cases. Administrative Science Quarterly, 35 (1990): 286-316

Hofstede, Geerts. 1994. Cultures And Organizations: Software Of The Mind. London: HarperCollinsPublishers

Indriantoro, N. & Supomo, B. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Jogjakarta: BPFE UGM.

Koontz et. al. 1991. Manajemen. Cetakan ke-4. Jakarta, Penerbit Erlangga

Kotter, & Heskett. 1992. Corporate Cultures and Performance. Canada: Maxwell Macmillan

Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill

Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press

Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.

Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Prenhallindo

Schein, E. 1992. Organizational Culture and Leadership. 2nd Ed. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco

20

Page 21: Budaya-Hofstede

Smircich, Linda. 1983. Concept of Culture and Organizational Analysis. Administrative Science Quarterly. 28. 339-358

21