Upload
iqbal-de-junkker
View
43
Download
1
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
CULTURES AND ORGANIZATIONS(Geert Hofstede):
KAJIAN BUKU
Heru Kurnianto Tjahjono
Tulisan ini mereview dan mengevaluasi buku yang ditulis Hofstede berbasis penelitian yang dilakukannya. Buku yang ditelaah ini secara lengkap berjudul Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance fo Survival. Secara garis besar tulisan ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama merupakan resume dan perspektif buku ini yang meliputi: (1) maksud studi dan penulisan buku (2) pendekatan dan prosedur (3) definisi (4) hasil dan (5) implikasi. Sedangkan bagian kedua merupakan tinjauan atau bahasan secara kritis dari perspektif reviewer terhadap buku baik pembahasan agreements dan disagreements berdasarkan pada metodologi penelitian, theoritical framework dan kontribusi book content pada teori dengan melakukan perbandingan dengan banyak perspektif dari referensi lain yang dapat digunakan untuk telaah buku ini.
This paper reviews and evaluates Hofstede’s book “Cultures and Organizations; software of the mind, intercultural cooperation and its importance for Survival” that was written based on his research. Basically this paper is divided into two parts. The first part is a resume and the perspective of the book that consist of: (1) the purpose of the study and why this book was written, (2) the procedures and the approaches, (3) definition, (4) results, and (5) the implications. The other part is more as critical discussion about the book from the reviewer’s perspectives including the agreements and disagreements which based on research methodology, theoretical framework and book content contribution theory by comparing them with many other perspectives from other references that can be used to study this book.
1
BAGIAN PERTAMA
I. TUJUAN
Tujuan penulisan buku ini untuk membantu dalam kaitannya dengan perbedaan-
perbedaan dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatan orang-orang di dunia. Tulisan
ini akan menunjukkan bahwa meskipun keragaman pemikiran orang-orang begitu
besar, masih terdapat suatu struktur dalam keragaman ini yang dapat menyajikan
suatu basis pemahaman bersama.
II. PENDEKATAN DAN PROSEDUR
Tulisan ilmiah dalam buku ini berbasis pada dua penelitian tentang budaya. Pertama
penelitian tentang perbedaan budaya-budaya nasional (national cultures) yang
dilakukan Hofstede dkk., dengan menggunakan data IBM, meliputi populasi
karyawan pada national subsidiaries di 64 negara. Kedua penelitian tentang budaya
organisasional pada lebih dari 20 unit organisasi di Denmark dan Belanda yang
dilakukan pada tahun 1985 sampai dengan 1987. Penelitian tersebut cenderung
bersifat eksploratori dan prosedur statistik yang dilakukan dengan menggunakan
faktor analisis.
Sistematika buku ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama buku ini memberikan
dasar pemahaman yang baik tentang buku ini dengan menjelaskan apa yang kita
artikan ketika kita berbicara mengenai ‘budaya’ / ‘culture’. Penelitian menjelaskan
empat dimensi yang secara empiris ditemukan dalam penelitian lintas lebih dari 50
2
negara-negara: power distance, collectivism versus individualism, femininity versus
masculinity, dan uncertainty avoidance. Setiap chapter disusun dengan cara yang
sama: dimensi digambarkan, nilai-nilai dari berbagai negara diperlihatkan, dan
konsekuensi dari dimensi terhadap keluarga, sekolah, lingkungan kerja, organisasi,
negara, dan perkembangan ide. Secara spekulatif disebutkan tentang keaslian dan
kemungkinan perbedaan-perbedaan di antara setiap dimensi di masa mendatang.
Perbedaan menurut gender, generasi, dan kelas sosial dimunculkan. Chapter 6 melihat
pada konsekuensi dari perbedaan budaya nasional di mana orang dalam suatu negara
mengatur diri mereka sendiri, mengkombinasikan dimensi yang digambarkan pada
empat chapter sebelumnya. Menunjukkan bahwa praktik dan teori organisasi secara
budaya saling tergantung. Chapter 7 memberikan dimensi yang kelima, yaitu
orientasi jangka panjang versus jangka pendek (long term vs short term orientation).
Chapter ini juga mengeksplorasi implikasi-implikasi dari dari fakta; menunjukkan
perbedaan yang mendalam antara pemikiran orang Timur dan Barat yang
berhubungan dengan pentingnya ‘kebaikan’ dan ‘kebenaran’.
Bagian ketiga dihadapkan dengan perbedaan-perbedaan budaya organisasional, dan
terdiri dari satu chapter yaitu chapter 8 yang menggambarkan pandangan baru ynag
diperoleh dari proyek penelitian lintas IRIC di lebih dari 20 unit organisasi di
Denmark dan Belanda. Ini merupakan komplementari bagi perbedaan budaya
nasional yang disebutkan pada chapter-chapter sebelumnya.
3
Bagian keempat dihadapkan pada implikasi praktik dari perbedaan dan kesamaan
budaya. Chapter 9 melihat pada apa yang terjadi ketika orang dari budaya yang
berbeda bertemu. Ini menghilangkan fenomena seperti culture shock, etnocentrism,
stereotyping, perbedaan dalam bahasa dan humor. Chapter ini membahas bagaimana
kemampuan komunikasi antar budaya. Chapter 10 meringkas pesan-pesan dari buku
dan mengartikannya menjadi pesan-pesan bagi orangtua, manajer, dan media. Bagian
akhir yang diberi judul Reading Mental Programs pada pokoknya menekankan pada
penelitian kolega bisnis dan ditambahkan sebagai appendix. Bagian ini dihadapkan
dengan bagaimana mengkoleksi informasi yang dapat dipercaya tentang perbedaan
budaya selain mengacu pada kontraversi dalam ilmu sosial mengenai budaya, dan
menjelaskan pilihan metodologi di balik pendekatan yang diikuti
4
III. DEFINISI & HASIL STUDI
A. Budaya & Dimensi Budaya Nasional
Budaya (culture) merupakan keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari
suatu kelompok sosial, yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Istilah
the collective mental programming atau software of mind digunakan untuk
menyebutkan keseluruhan pola dalam kajian budaya. Mental prorams atau budaya
suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial, (seperti negara, daerah, tempat
kerja, sekolah dan rumah tangga) dan kejadian-kejadian yang dialami dalam
kehidupan para anggota kelompok yang bersangkutan. Kemudian proses
terbentuknya pola fikir, perasaan dan perbuatan tersebut dianalogikan dengan proses
penyusunan program dalam komputer.
Budaya dapat dikelompokkan ke dalam berbagai tingkatan antara lain: nasional,
daerah, gender, generasi, kelas sosial, organisasional atau perusahaan.
Budaya Nasional
Dimensi-dimensi perbedaan budaya dalam penelitian budaya nasional meliputi:
power distance, collectivism/ individualism, masculinity/ feminity dan uncertainty
avoidance.
B. Power distance
Power distance adalah satu dari ‘dimensi’ budaya nasional yang merefleksikan jarak
jawaban yang ditemukan dalam beragam negara ke dalam pertanyaan mendasar
5
tentang bagaimana mengelola fakta bahwa orang-orang dalam keadaan tidak
seimbang. Skor-skor power distance dari 50 negara dan 3 wilayah kelompok negara
dihitung dari jawaban karyawan IBM pada posisi pekerjaan yang sama dan survey
yang sama. Seluruh pertanyaan terdapat kode tipe jawaban yang diwakili oleh skor
angka: biasanya 1, 2, 3, 4 atau 5. Prosedur statistika dengan faktor analisis digunakan
untuk meringkas survei pertanyaan ke dalam kelompok yang disebut faktor atau
klaster. Suatu klaster tersusun dari pertanyaan yang terkait dengan power dan (in)
equality. Dari pertanyaan ini, Hofstede menyeleksi tiga yang paling kuat terkait. Skor
rata-rata standar sampel karyawan-karyawan IBM dalam suatu negara pada tiga
pertanyaan, suatu power distance index (PDI) untuk perhitungan negara. Tujuan
formula PDI adalah: menjamin bahwa tiap-tiap tiga pertanyaan menunjukkan bobot
yang seimbang yang terdapat pada indeks akhir dan nilai indeks berjarak dari 0 untuk
negara dengan power distance yang rendah sampai 100 untuk negara dengan power
distance yang tinggi.
Tiga pertanyaan survey yang digunakan untuk menyusun power distance index
adalah:
1. Pertanyaan yang menunjukkan kekhawatiran atau ketakutan karyawan/
bawahan.
2. Pertanyaan yang menunjukkan perasaan karyawan terhadap lingkungan kerja
terkait dengan gaya otokrasi atau paternalistik.
6
3. Pertanyaan yang menunjukkan dan mengekspresikan preferensi responden
(karyawan).
Hasil analisis menunjukkan bahwa negara-negara Latin, seperti Amerika Latin,
Perancis dan Spanyol juga negara-negara di Asia dan Afrika memiliki power distance
yang tinggi. Sedangkan sebagian besar negara-negara barat, USA dan Inggris
tergolong memiliki power distance yang rendah. Jika power distance yang dimiliki
rendah berarti ketergantungan subordinat pada pimpinan terbatas, ada hubungan
interdependensi anatara mereka dan jarak emosional antara mereka relatif rendah, dan
sebaliknya. Perbedaan power distance dalam negara juga ditunjukkan atau ditentukan
pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan
power distance juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan di dalam
keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam negara.
C. Collectivism vs Individualism
Mayoritas orang di dunia yang tinggal dalam suatu komunitas yang memiliki minat
pada kelompok melebihi secara individu disebut sebagai kelompok masyarakat
collectivist. Sebagian besar lingkungan collectivist, ‘keluarga’ di mana anak tumbuh
berkembang terdiri dari sejumlah orang yang hidup bersama seperti: kakek-nenek,
paman, bibi, pembantu, atau anggota lainnya. Dalam antropologi budaya ini dikenal
sebagai extended family. Ketika anak tumbuh berkembang mereka belajar untuk
berpikir mereka sebagai bagian dari kelompok ‘kita’.
7
Minoritas orang di dunia hidup dalam masyarakat di mana minat-minat individu di
atas minat kelompok, masyarakat itu disebut sebagai individualist. Di sini sebagian
besar anak-anak dilahirkan dalam keluarga yang terdiri dari dua orang tua dan,
kemungkinan dari keluarga dengan orangtua tunggal. Saudara-saudara lain hidup
terpisah dan jarang bertemu. Keluarga jenis ini dikenal sebagai nuclear family (dari
bahasa Latin yang berarti inti). Anak-anak dari keluarga seperti ini akan tumbuh dan
kemudian berpikir bahwa mereka sebagai ‘aku’.
Pertanyaan-pertanyaan survey di mana individualism index diperkenalkan termasuk
ke dalam kumpulan 14 ‘work goals’. Pertama adalah individualism versus
collectivism, dan yang kedua dinamai masculinity versus feminimity (lihat D:
Masculinity dan Feminimity).
Untuk individualism:
1. Personal time. Memiliki suatu pekerjaan yang memberikan anda waktu yang
cukup untuk kehidupan personal atau keluarga.
2. Freedom. Memiliki kebebasan yang tinggi untuk menggunakan pendekatan
anda sendiri dalam pekerjaan anda.
3. Challege. Memiliki tantangan pekerjaan yang dilakukan – bekerja di mana
anda dapat mencapai prestasi yang berarti bagi pribadi.
8
Untuk collectivism:
4. Training. Memiliki kesempatan training (untuk meningkatkan ketrampilan
anda atau mempelajari ketrampilan baru)
5. Physical conditions. Memiliki kondisi kerja fisik yang baik (ventilasi dan
penerangan yang baik, tempat kerja yang leluasa, dsb.).
6. Use of skills. Secara penuh menggunakan ketrampilan dan kemampuan anda
dalam pekerjaan.
Banyak negara dengan skor tinggi untuk PDI memiliki skor rendah pada IDV dan
sebaliknya. Dengan kata lain hubungan kedua dimensi tersebut cenderung berkorelasi
negatif. Perbedaan individualism-collectivism dalam negara juga ditunjukkan atau
ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dalam mengukur
perbedaan individualism-collectivism juga dapat dihubungkan dengan perbedaan-
perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan ide-ide besar dalam
negara.
D. Masculinity and Feminity
Dalam suatu masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Secara biologis mereka
berbeda. Perbedaan biologis menggunakan terminologi male dan female, sedangkan
perbedaan sosial dan secara budaya ditentukan oleh peran masculine dan feminine.
Seorang laki-laki dapat berkelakuan feminim dan sebaliknya.
9
Dimensi kedua ini secara erat berhubungan dengan item terkait berikut. Untuk
masculine:
1. Earnings. Memiliki kesempatan untuk meraih pendapatan yang besar.
2. Recognition. Memperoleh pengakuan yang layak.
3. Advancement. Memiliki kesempatan untuk maju ke tingkat pekerjaan yang
lebih tinggi.
4. Challenge. Memiliki pekerjaan yang menantang untuk berprestasi.
Sebaliknya untuk feminine:
5. Manager. Memiliki hubungan kerja yang baik dengan superior di atas anda.
6. Cooperation. Bekerja baik dengan orang lain
7. Living area. Hidup di lingkungan menarik bagi anda dan keluarga anda.
8. Employment security. Memiliki jaminan di mana anda dapat bekerja pada
perusahaan anda sepanjang anda inginkan.
Skor MAS dihitung dari 50 negara-negara dan 3 wilayah dalam data IBM. Skor 0
menunjukkan paling feminim dan skor 100 menunjukkan paling maskulin. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa maskulinitas tertinggi di Jepang (rank 1),
selanjutnya beberapa negara di Eropa kontinental seperti: Austria, Italia, , Switzerland
juga sejumlah negara di Amerika Latin seperti: Venezuela, Meksiko, dan negara-
negara Anglo seperti: Irlandia, Jamaika. Perbedaan masculinity-feminity dalam negara
10
juga ditunjukkan atau ditentukan pula oleh kelas sosial, tingkat pendidikan dan
pekerjaan. Dalam mengukur perbedaan masculinity-feminity juga dapat hubungkan
dengan perbedaan-perbedaan di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, propinsi dan
ide-ide besar dalam negara.
E. Uncertainty avoidance
Terminologi uncertainty avoidance telah dipinjam dari organisasi sosiologi Amerika
khususnya dari karya James G.March. Cara untuk mengatasi ketidakpastian
merupakan bagian dan bidang dari setiap manusia di negara manapun. Sebagai
manusia kita harus berhadapan dengan fakta bahwa kita tidak tahu apa yang akan
terjadi esok; masa yang akan datang tidak pasti tetapi kita harus menghadapinya.
Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan kegelisahan yang tidak dapat ditolelir.
Setiap lingkungan masyarakat telah berkembang cara untuk meredakan kegelisahan
tersebut. Cara-cara tersebut dapat berasal dari bidang teknologi, hukum dan agama.
F. Budaya Organisasional
Berbicara mengenai ‘budaya’ suatu perusahaan atau organisasi telah menjadi suatu
mode di antara para manajer, konsultan, dan dengan pehatian yang agak berbeda di
antara para akademisi. Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional”
merupakan suatu konstruk, yang merupakan abstraksi dari fenomena yang dapat
diamati dari banyak dimensi. Sehingga banyak ahli ilmu-ilmu sosial dan manajemen
belum memiliki “communal opinio” mengenai definisi budaya organisasional.
11
Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada karakteristik konstruk budaya
organisasional.
Hofstede membagi budaya organisasional ke dalam enam dimensi praktek: (1)
Process-Oriented vs. Results Oriented, (2) Employee-Oriented vs. Job-Oriented, (3)
Parochial vs. Professional, (4) Open System vs. Closed System (5) Loose Control vs.
Tight Control (6) Normative vs. Pragmatic.
G. Perbedaan Budaya organisasional dan Budaya Nasional
Menurut Hofstede antara budaya nasional dan budaya organisasional sulit dibedakan
dan merupakan fenomena yang identik. Perbedaan keduanya tercermin dalam
manifestasi budaya ke dalam nilai-nilai dan praktek. Pada budaya organisasional,
perbedaan banyak pada tingkat praktek dibandingkan perbedaan nilai-nilai.
Perbedaan budaya organisasional selanjutnya dianalisis pada tingkat sub organisasi
atau sub unit organisasi.
BAGIAN KEDUA
Ada 3 (tiga) bahasan penting dari perspektif penelaah (reviewer) pada bagian kedua
meliputi agreements dan disagreements. Basis pembahasan bagian kedua meliputi
Penyajian yang meliputi sistematika dan isi buku (book content), metoda penelitian,
rerangka teori (theoritical framework) dan kontribusi buku bagi perkembangan teori
organisasi.
12
I. PENYAJIAN DAN ISI BUKU
Penyajian buku yang meliputi isi dan sistematika buku sangat baik dan menjadikan
buku ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang budaya pada berbagai
level budaya dan beragam setting. Beragam terminologi dan rujukan pada penelitian
sebelumnya keterbukaan penulis (opennes) dalam konteks keberfihakan pada ilmu
pengetahuan (science).
Dari sisi penyajian bahasa dan sistematika penulisan cukup baik. Bahasa yang
digunakan dalam buku ini/ disampaikan kepada pembaca relatif dapat dimengerti
dengan baik. Kadang tiap bahasan diawali dengan ilustrasi bahkan humor yang
relevan dalam menggambarkan bahasan dengan cerdas. Di samping itu buku ini
memberikan panduan (A guide through this book, pada hal xiii-xiv) yang sangat baik
bagi pembaca berbagai kalangan/ segmen sehingga memudahkan memahami buku ini
secara lebih baik.
Pesan tentang keragaman budaya sebagai sebuah keniscayaan akan bermanfaat bagi
kalangan ilmiah dan yang terpenting adalah para pembuat kebijakan bisnis untuk
menjadikan pertimbangan penting mereka.
Meskipun demikian “tiada gading yang tak retak”, berbasis pada penelitian tahun
1967-1973 tentang budaya nasional dan penelitian budaya organisasional pada tahun
1985-1987 dengan setting yang terbatas dan adanya kemungkinan bias waktu bagi
kajian budaya dewasa ini yang sangat pesat berubah, maka merupakan kewajaran
bahwa buku ini tampaknya tidak sepenuhnya menggambarkan “hewan” budaya
13
nasional dan budaya organisasional. Salah satu hal yang tampak mencolok adalah
tentang teknologi informasi. Hal ini dapat menjadi kajian di masa ke depan seperti
buku-buku “best seller” karya Naisbitt ataupun karya Toffler yang di dalamnya
meliputi pesatnya teknologi informasi dan beberapa telaah “kontemplasi” para
futurolog yang mungkin masih diperdebatkan.
Namun demikan isi buku memberikan telaah ilmiah sekaligus implikasinya sehingga
buku ini sangat menarik tidak hanya bagi kalangan akademis ataupun peneliti, namun
juga dapat digunakan para praktis/ profesional sebagai referensi penting/ guidelines
dalam kegiatan manajerial.
Buku ini dapat dikategorisasikan sebagai buku referensi ilmiah klasik, yang akan
sering digunakan sebagai rujukan berbagai kalangan, termasuk kalangan ilmiah/
akademis dan dapat menghindarkan diri dari sekedar mengejar “pasar” atau terjebak
pada “manajemen yang bersifat mode” bahkan apa yang kita kenal sebagai
“pseudoscience”.
II. METODA PENELITIAN
Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional yang menggunakan data IBM
survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat
terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu
negara tertentu, sehingga
14
Pada sub bagian metoda penelitian, kita lebih banyak membahas ide tulisan,
pendekatan dan metoda penelitian yang digunakan oleh Hofstede. Pada bagian ini
akan disampaikan beberapa bahasan kritis terkait dengan agreements dan
disagreements. Beberapa hal yang dibahas meliputi jenis penelitian, premis & asumsi,
metoda sampel, serta prosedur penelitian.
1. Jenis Penelitian
Buku ini berbasis pada dua penelitian yang dilakukan Hofstede. Pertama penelitian
tentang budaya nasional dengan menggunakan data IBM. Penelitian ini tergolong
kategori jenis penelitian eksploratori dan berdasarkan tujuannya, penelitian ini juga
dapat kita kelompokkan pada jenis penelitian induktif, yaitu penelitian yang memiliki
tujuan untuk mengembangkan (generating) theory atau hipotesis melalui
pengungkapan fakta (Indriantoro & Supomo., 1999:23). Sedangkan penelitian kedua
tentang budaya organisasional juga dapat kita kelompokkan jenis penelitian
eksploratori yang pada umumnya menggunakan pendekatan induktif.
Di samping itu kedua penelitian ini juga melakukan kombinasi dengan pendekatan
deduktif sehingga kita melihat penelitian ini menggunakan metode double movement
of reflective thought.
Menurut pandangan penelaah, pendekatan pada kedua penelitian ini sangat baik,
namun setting yang relatif terbatas maka hasil penelitian ini seperti halnya penelitian
di bidang organisasi dan manajemen pada umumnya tidak memberikan saran ataupun
tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Meskipun
15
demikian kedua penelitian yang disarikan dalam buku ini telah memberikan
perspektif dan struktur terhadap komplesitas keragaman budaya pada berbagai level.
2. Premis, Paradigma dan Asumsi
Dalam buku ini premis dan asumsi yang dilakukan dalam konteks nasional dan
organisasi. Salah satu kelemahan kajian budaya pada umunya adalah masalah durasi
penelitian yang relatif pendek, cenderung bersifat “snapshoot” dan penarikan
kesimpulan dari values individu menjadi shared values organisasi memang tidak
cukup dengan teknik kuesioner (survey research), melainkan perlu dukungan
observasi dengan durasi waktu yang relatif panjang.
Sedangkan paradigma dan asumsi dalam penelitian ini memiliki kecenderungan
trianggulasi pada pendekatan baik kualitatif dinamakan juga pendekatan konstruktifis
naturalistik atau interpretatif dikombinasikan dengan kuantitatif melalui perhitungan
faktor analisis. Paradigma ini menekankan pada pemahaman mengenai masalah-
masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting
yang holistik, kompleks dan rinci. Dengan demikian asumsi yang dibangun juga
konsisten dengan paradigma ini. Kita melihat pendekatan yang dilakukan cukup baik
namun perlu modifikasi teknik dan kejelasan operasional penelitian.
3. Metoda Sampel
Penelitian sebelumnya menggunakan data IBM yang dikumpulkan dengan survey
dengan cara in-depth interviews terhadap karyawan yang dikelola oleh tim ahli ilmu
16
sosial dari dalam dan luar perusahaan sebagai participant observers. Sedangkan
penelitian di Denmark dan Belanda meliputi lebih dari 20 unit dari 10 organisasi yang
berbeda, menggunakan data dengan cara in-depth interviews dari informan terpilih
dan survei kuesioner. Teknik atau metoda sampel yang digunakan adalah stratified
random sampling anggota organisasi.
4. Validitas Internal dan Eksternal
Dalam kaitannya dengan penelitian budaya nasional dengan menggunakan data IBM
survey menunjukkan bahwa populasi dan sampel dalam penelitian Hofstede sangat
terbatas untuk mewakili pengukuran dimensi-dimensi budaya nasional pada suatu
negara tertentu, sehingga validitas eksternalnya tergolong lemah.
Sedangkan validitas internal budaya nasional masih sangat abstrak, walaupun
Hofstede telah mencoba merumuskan ke dalam dimensi-dimensi.
III. THEORITICAL FRAMEWORK
Penelitian tentang budaya organisasional (organization culture) dalam buku cultures
and organizations memberikan gambaran yang lebih jelas sekaligus perspektif baru
yang merupakan komplementari term perbedaan budaya nasional.
Banyak kalangan baik manajer, konsultas dan akademisi menyebutkan budaya
(culture) dalam pemahaman yang agak berbeda satu sama lain, sehingga “budaya”
telah menjadi “a fad”. Namun demikian kondisi tersebut paling tidak telah
17
meninggalkan jejak bagi pengembangan ilmu khususnya teori organisasi. Budaya
organisasional telah mendapatkan status yang mirip dengan struktur, strategi dan
pengendalian. Dalam pandangan Weick (1985) bahwa konstruk “budaya” dan
“strategi” bersifat saling melengkapi sebagian yang lain. Dalam terminologi
akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yang merupakan
abstraksi dari fenomena yang dapat diamati dari banyak dimensi. Namun banyak ahli
ilmu-ulmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” mengenai
definisi budaya organisasional. Meskipun demikian banyak para ahli sepakat pada
karakteristik konstruk budaya organisasional meliputi:
1. Menyeluruh (holistic)
2. Historically determined
3. Terkait dengan konsep antropologi
4. Dikonstruksi secara sosial.
5. Tidak berwujud dan tidak kasat mata (soft)
6. Sukar untuk berubah
IV. KONTRIBUSI
Dari perspektif ilmu (science) secara umum kita ketahui bahwa penelitian yang
bersifat eksploratori ataupun induktif memberikan kontribusi yang besar bagi
pengembangan ilmu itu sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan Hofstede
memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang perbedaan budaya. Dalam
18
kajian Hofstede dijelaskan bahwa perbedaan budaya nasional sebagai salah satu
faktor penentu yang harus diperhitungkan di samping budaya organisasional jika akan
membuat ramalan yang lebih akurat mengenai perilaku organisasi di negara-negara
yang berlainan. Bahkan hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya nasional
mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan daripada budaya organisasional
(Kent, 1991). Kontribusi penting Hofstede lainnya adalah empat dimensi budaya
yang diidentifikasi dari data IBM meliputi: power distance, individualism/
collectivism, masculinty/ feminity dan uncertainty avoidance. Dalam buku ini pula,
Hofstede menambahkan dimensi short/ long term orientation.
19
DAFTAR PUSTAKA
Adler. 1986. International Dimensions of Organizational Behavior. Boston MA: Kent Publishing Company
Cooper, & Schnidler.2000. Business Research Methods. USA: McGraw-Hill Irwin
Dunnette, Campbell, & Hakel. 1967. Organizational Behavior and Human Performance. USA
Fisher D.C. 1980. On the Dubious Wisdom of Expecting Job Satisfaction to Correlate with Performance. Academy of Management Review, 5: 607-612.
Gibson, Ivancevich, & Donelly. 1985. Organisasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga
Hofstede et.al. 1990. Measuring Organizational Cultures: A Qualitative and Quantitative Study Across Twenty Cases. Administrative Science Quarterly, 35 (1990): 286-316
Hofstede, Geerts. 1994. Cultures And Organizations: Software Of The Mind. London: HarperCollinsPublishers
Indriantoro, N. & Supomo, B. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis. Jogjakarta: BPFE UGM.
Koontz et. al. 1991. Manajemen. Cetakan ke-4. Jakarta, Penerbit Erlangga
Kotter, & Heskett. 1992. Corporate Cultures and Performance. Canada: Maxwell Macmillan
Luthans, Fred. 1998. Organizational Behavior. USA: Irwin McGraw-Hill
Miner B, Johns.1980. Theories of Organizational Behavior. USA: The Dryden Press
Pfeffer, J. 1982. Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publishing Inc.
Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT. Prenhallindo
Schein, E. 1992. Organizational Culture and Leadership. 2nd Ed. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco
20
Smircich, Linda. 1983. Concept of Culture and Organizational Analysis. Administrative Science Quarterly. 28. 339-358
21