Upload
lamquynh
View
220
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
FINAL REPORT
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.
Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si.
Disampaikan Kepada
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional
Desember 2013
BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019
INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan 2
1.3. Tujuan 3
1.4. Ruang lingkup 4
1.5. Outline laporan 4
II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK
LINGKUNGAN 6
2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan 6
2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9
2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup 10
2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan 12
III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 14
3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 15
3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 18
3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS 19
3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) 25
3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) 27
3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) 30
3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 33
IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 36
4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 36
4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup 38
4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit
Lingkungan Hidup 54
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 56
DAFTAR PUSTAKA 58
iii
DAFTAR TABEL
1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 7 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 8 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH), 2009 - 2011 11 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan 13
5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index
(EPI) 14 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-
2012 15 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 16
8 Komponen Penyusun IKL 2008 20 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO 22
10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx 22
11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA 23 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah 24 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 25 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012 28
15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian
Lingkungan Hidup) 29
16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau 31 17 PDRB Hijau Bali, 2010 32 18 PDB Hijau Indonesia, 2009 33
19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya 34
20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 35 21 Skala Green Rating 43 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 46
23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) 47 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) 48
25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 49 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas 50
27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB 52 28 Roadmap Pengembangan IPLH 53
iv
DAFTAR GAMBAR
1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi,
sosial dan lingkungan 3 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study) 5 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 7 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 37
5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 40 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau 41 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating 42 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 44 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas
(2010) 51 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan
Migas (2010) 51
1
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada tahun 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 akan berakhir
dan Indonesia akan memasuki tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional yakni RPJM 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam UU 17/2007. Banyak hal yang
telah dicapai selama dua kali periode pembangunan jangka menengah baik dari sisi ekonomi,
sosial dan lingkungan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama periode 2005 – 2011,
Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif pada kisaran 5
sampai 6.5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% tersebut,
pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp
14.991,1 ribu pada tahun 2006 menjadi Rp 30.813,0 ribu pada tahun 2011. Bersamaan
dengan itu, angka pengangguran juga menurun dari 11,2 % pada tahun 2005 menjadi 6,5%
pada tahu 2011. Demikian juga dengan persentase penduduk miskin yang mengalami
penurunan dari 15,9 % pada tahun 2005 menjadi 12,4% pada tahun 2011.
Kemajuan di bidang sosial juga telah banyak dicapai diantaranya Angka Partisipasi
Murni Sekolah dasar yang telah mencapai 91% pada tahun 2011, sementara APM SMP
mencapai 68%. Demikian juga dengan Angka Melek Huruf (AMH) dimana terjadi
peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2005. AMH tahun 2011 nasional telah
mencapai 92,81%. Kemajuan di bidang sosial lainnya yang telah dicapai secara signifikan
adalah menurunnya angka kematian bayi dari 68 per 1000 kelahiran di tahun 1991, menurun
menjadi 28,2 kematian per 1000 bayi lahir pada tahun 2006 dan kemudian menurun lagi
menjadi 24,3 per 1000 kelahiran.
Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan,
mungkin indikator lingkungan yang mengalami tekanan yang berat sebagai akibat dari
tekanan ekonomi dan sosial. Meski ada beberapa kemajuan di bidang pengelolaan
lingkungan hidup dengan upaya-upaya konservasi, seperti pencadangan wilayah konservasi,
penanaman pohon, pengembangan ekonomi hijau dan berbagai upaya penyelamatan
lingkungan lainnya, tekanan terhadap lingkungan hidup masih dirasakan besar selama
beberapa tahun ke belakang. Hal ini dapat dilihat dari indikator bencana alam yang berkaitan
dengan hydrometerological. Selama periode 2002 – 2010 bencana banjir meningkat dari 51
kejadian per tahun pada tahun 2002 menjadi 1016 banjir per tahun pada tahun 2010.
Demikian juga dengan longsor dimana pada tahun 2002 terjadi 48 longsor, pada tahun 2010
terjadi 401 kejadian longsor (BNPB, 2011). Kegiatan pembangunan ekonomi juga mau tidak
mau menyebabkan tekenan terhadap kualitas udara. Kegiatan industri dan tingginya
penggunaan bahan bakar menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Jika
pada awal tahun 1990an emisi CO2 masih di bawah 1 ton per kapita, pada tahun 2011, emisi
tersebut telah mencapai 2 ton per kapita.
Dari beberapa contoh indikator pembangunan di atas baik dari sisi ekonomi, sosial dan
lingkungan, meski ada kecenderungan pembangunan yang mengarah kepada perbaikan
seperti indikator ekonomi dan sosial, namun peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosial
tersebut sering harus di bayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya
bencana alam yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah memenuhi tiga
pilar pembangunan sekaligus. Hal ini juga menunjukkan apakah Indonesia masih berada di
2
sebelah kiri kurva Kuznet1
atau sedang menuju titik tengah kurva Kuznet dimana
peningkatan pendapat per kapita akan mengurangi kerusakan lingkungan.
1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, banyak indikator-indikator
ekonomi dan sosial yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menunjukkan apakah
pembangunan Indonesia sudah berada pada jalur pembangunan berkelanjutan atau belum.
Selama ini untuk mengukur aspek pembangunan ekonomi digunakan pengukuran
konvensional seperti pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product atau Produk Domestik
Bruto) sementara untuk mengukur aspek sosial digunakan indeks pembangunan manusia atau
IPM. Beberapa negara seperti Bhutan telah menggunakan indeks komposit dengan tidak
menggunakan PDB dan IPM sebagai ukuran kemajuan pembangunan namun menggunakan
Indeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena banyaknya
kelemahan yang digunakan dalam menggunakan PDB sebagai indikator pembangunan. PDB
sama sekali tidak menghitung deplesi dan degradasi dari sumber daya alam dan lingkungan
sehingga pertumbuhan ekonomi sering dibayar dengan kerusakan lingkungan. Menyadari hal
tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan indeks pembangunan yang
mengakomodasi ketiga aspek pembangunan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan
diantaranya ISEW (Index of Sustainable Economic Welfare), MEW (Measurement of
Economic Welfare), Happy Planet Index atau dengan cara mengurangi deplesi dan degradasi
lingkungan ke dalam PDB dengan ukuran Green GDP. Namun demikian sampai saat ini
belum ada kesepakan terkait dengan penggunaan indeks pembangunan tersebut.
Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengembangkan indeks kualitas lingkungan
hidup (IKLH) sebagai indeks komplemen pembangunan di Indonesia, meski sejak tahun 2007,
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengambangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL),
khususnya untuk wilayah perkotaan. IKLH sendiri merupakan penyempurnaan dari IKL
sebelumnya dengan unit analisis pada tingkat propinsi. Sejak 2009, Kementrian Lingkungan
Hidup telah secara kontinu merilis IKLH yang meliputi tiga aspek utama yakni kualitas udara,
air dan tutupan hutan.
Salah satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan adalah IKLH ini masih merupakan
indeks parsial sehingga masih terlepas dari aspek ekonomi dan sosial sehingga menghasilkan
keragaan yang sering bertentangan dengan indeks lainnya. Sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 di bawah ini, data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa provinsi dengan indikator
ekonomi dan IPM yang tinggi seperti DKI cenderung memiliki IKLH yang rendah.
Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti Nusa Tenggara barat
atau Maluku Utara justru memiliki indeks lingkungan yang tinggi. Hal ini tentu saja akan
menyulitkan para pengambil kebijakan di daerah untuk menjalankan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, karena bukan saja akan mengurangi semangat daerah untuk
memperbaiki lingkungan namun juga menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi selalu harus di bayar dengan kualitas yang memburuk.
1Kurva lingkungan Kuzent (Environmental Kuznet Curve atau EKC merupakan kurva yang berbentuk
U terbalik yang menghubungkan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kerusakan lingkungan. Pada pendapatn per kapita yang rendah, kerusakan lingkungan cenderung tinggi sampai mencapai titik puncak dimana setelah melewati titik tersebut, dengan pendapatan per kapita yang tinggi kerusakan lingkungan menurun
3
Sumber: Fauzi, 2012
Gambar 1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan
lingkungan
IKLH sebagai suatu indikator awal mungkin sudah dapat dijadikan sebagai alat ukuran
perkembangan kualitas lingkungan di Indonesia, namun indeks ini memerlukan
penyempurnaan lebih jauh agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Penyempurnaan bukan saja pada aspek metodologi namun juga pada aspek kriteria dan
ukuran yang lebih komprehensif dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan
atau prinsip-prinsip ekonomi hijau.
1.3.Tujuan
Dengan melihat beberapa rasionalitas di atas, nampak bahwa adanya “disconnected”
antara aspek pembangunan ekonomi dan sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunan
di Indonesia. IKLH yang selama ini telah menjadi acuan baku juga memiliki banyak
kelemahan untuk menggambarkan secara utuh capaian pembangunan di Indonesia. Oleh
karenanya review secara komprehensif terkait dengan indeks kualitas lingkungan hidup
tersebut sudah saatnya dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan jangka menengah
2015-2019. Secara khusus tujuan dari background study ini adalah:
a) Mengevaluasi komponen-komponen IKLH yang telah dikembangkan
b) Mengidentifikasi indikator utama untuk bidang Lingkungan Hidup yang dapat
dipergunakan sebagai indikator/ indeks utama (mengumpulkan data kuantitatif
kualitas lingkungan hidup)
c) Merumuskan Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup komprehensif yang dapat
dipergunakan secara nasional
0
5
10
15
20
25
30
35
31
. DK
I Jak
arta
36
. Ban
ten
35
. Jaw
a Ti
mu
r
62
. Kal
iman
tan
Ten
gah
33
. Jaw
a Te
nga
h
53
. Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
32
. Jaw
a B
arat
20
. Kep
ula
uan
Ria
u
14
. Ria
u
63
. Kal
iman
tan
Sel
atan
94
. Pap
ua
91
. Iri
an J
aya
Bar
at
64
. Kal
iman
tan
Tim
ur
74
. Su
law
esi T
engg
ara
15
. Jam
bi
76
. Su
law
esi B
arat
73
. Su
law
esi S
elat
an
19
. Ban
gka
Bel
itu
ng
34
. Yo
gyak
arta
16
. Su
mat
era
Sela
tan
61
. Kal
iman
tan
Bar
at
11
. Nan
ggro
e A
ceh
Dar
uss
alam
82
. Mal
uku
Uta
ra
81
. Mal
uku
13
. Su
mat
era
Bar
at
71
. Su
law
esi U
tara
18
. Lam
pu
ng
12
. Su
mat
era
Uta
ra
52
. Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
17
. Ben
gku
lu
72
. Su
law
esi T
enga
h
75
. Go
ron
talo
51
. Bal
i
Ranking PDRB Ranking IIPM Ranking IKLH
4
1.4. Ruang lingkup
Mengingat luasnya cakupan indeks pembangunan yang terkait dengan aspek
lingkungan hidup, maka ruang lingkup background study ini dibatasi pada aspek review
indikator yang telah dikembangkan pada tingkat nasional dan provinsi. Untuk melihat
ketajaman tantangan dan peluang dalam implementasi IKLH pada level provinsi maka akan
dilakukan site visit pada setidaknya empat provinsi yang mewakili wilayah barat Indonesia,
wilayah tengah, dan wilayah timur. Draf backgrund study ini melingkupi beberapa aspek
terkait dengan :
a) Kebijakan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah selama RPJM tahap 2 dan
harapan pada RPJM tahap 3
b) Karakteristik aspek sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi bagian dari
pembangunan di tingkat nasional dan daerah
c) Telaah terhadap indikator-indikator pembangunan terkait dengan aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan
d) Kebijakan dan implementasinya terkait dengan aspek sumber daya alam dan
lingkungan
e) Review implementasi IKLH yang telah dilaksanakan sebelumnya
1.5. Outline laporan
Secara garis besar laporan dokumen background study meliputi dan tidak terbatas pada
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Maksud dan Tujuan
c. Ruang lingkup
2. Review Pembangunan Berkelanjutan dan Aspek Lingkungan Hidup
a. Review capaian pembangunan berkelanjutan
b. Peran sumber daya alam dan lingkungan
c. Peran IKLH sebagai instrumen kebijakan lingkungan hidup
d. Capaian pembangunan lingkungan
3. Review indeks pembangunan lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan
berkelanjutan
a. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009
b. Indikator Pembangunan Berkelanjutan
c. Indeks Kualitas Lingkungan BPS
d. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH
e. PDB/PDRB Hijau (Green GDP)
f. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah
4. Pengembangan IPLH pada RPJM 2015-2019
a. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019
b. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup
5
c. Tantangan dan peluang pengembangan indikator Indeks Komposit
Lingkungan Hidup
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Gambar 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study)
Review Indikator Pembangunan
Makro dan regional2002-2012
Review RPJP danDan capain RPJM
2009-2014
ReviewStatus LingkunganHidup Indonesia
Strong, weakness, challenges IKLH
KriteriaDan
indikator
Interkoneksi denganSus Dev
AssessmentPengembangan
IKLH
IKLH yang kompatibel (Komposit)Dengan RPJM 2015-2019
AssessmentImpementasi di
daerah
AssessmentPengembangan
kriteria baru
6
II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK
LINGKUNGAN
2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan
Adanya trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya
mempertahankan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi
dalam pembangunan. Seperti yang dituliskan oleh Fauzi (2004), pembangunan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada
akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber
daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain,
pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan
lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.
Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia,
sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber
daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif keberimbangan,
pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar
generasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi
dkk, 2009).Selain dimensi keberimbangan antar generasi, Heal 2008 (dalam Fauzi 2004)
menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem
sumber daya alam dan lingkungan.
Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus
dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation
Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992.
Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin (1996),
melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework), yaitu
ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Spangenberg (1999) kemudian menambahkan satu
dimensi lagi, yaitu kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat. Keempat dimensi
tersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma
keberlanjutan, prism of sustainability (Rustiadi dkk, 2009).
Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, maka penilaian terhadap
keberhasilan pembangunan tentunya juga harus melihat capaian dari keempat dimensi
pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian akan terlihat bagaimana kinerja pembangunan
secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untuk
meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang
kondisi ini bahkan mungkin akan menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang
dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.
Begitu pula dengan pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Konflik
akibat adanya kesenjangan sosial justru akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan
di masa yang akan datang. Sehingga penilaian pembangunan dari ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan secara bersamaan akan mampu memberikan arahan dalam
pembangunan.
Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Himawan (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan
sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia.
Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, rendahnya tingkat suku bunga
Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuat
lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation
7
Sumber : Spangenberg J H dan Bonniot O, 1998
Gambar 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)
Development (OECD) pada tanggal 27 September 2012. OECD menilai Indonesia telah
memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yang
cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen.
Gambaran tentang makro ekonomi Indonesia saja mungkin tidak cukup untuk menilai
pembangunan Indonesia. Seperti disebutkan di awal, agar pembangunan dapat berkelanjutan,
pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, salah
satunya adalah lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan dimensi
ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah diuraikan sebelumnya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, di
tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di dunia, perekonomian Indonesia
mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun
waktu yang sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan
sebagai lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga
kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,
pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata,
jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatan
lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap
tahunnya.
Kondisi inilah yang mungkin dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak,
(Fauzi, 2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem bumi, yang
Tabel 1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010
Pulau
PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)
2006 2010
Rata-rata
Pertumbuhan
per tahun
2006 2010
Rata-rata
Pertumbuha
n per tahun
Sumatera 389,07 468,06 4.73 25898.97 24771.47 -1.11
Jawa dan Bali 1093,32 1385,13 6.09 3663.70 4317.00 4.19
Kalimantan 160,69 190,34 4.32 27918.05 28012.61 0.08
Sulawesi 79,15 106,89 7.80 6218.21 7610.81 5.18
Nusa Tenggara,
Maluku & Papua 55,72 71,18 6.31
14107.95 17464.55 5.48
Indonesia 1777,95 2221,60 5.73 77806.88 82176.44 1.38
Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan
8
mengakibatkan terjadinya progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk
menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan.
Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut
sehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan
(degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan
lingkungan.
Pada pembangunan dimensi sosial, terdapat beberapa indikator yang biasa
dipergunakan untuk mengukur pembangunan di Indonesia. Dua indikator yang sering
dipergunakan adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan
persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan gini rasio
menggambarkan kesenjangan pendapatan. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen pada
tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalan
dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walaupun tingkat kemiskinan menalami
penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Artinya, walaupun
tingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan
Tabel 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012
Provinsi Tingkat Kemiskinan Gini Ratio
2008 2009 2010 2011*) 2012*) 2008 2009 2010 2011 2012
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)
NAD 23.53 21.80 20.98 19.57 19.46 0.27 0.29 0.30 0.33 0.32
Sumatera Utara 12.55 11.51 11.31 11.33 10.67 0.31 0.32 0.35 0.35 0.33
Sumatera Barat 10.67 9.54 9.50 9.04 8.19 0.29 0.30 0.33 0.35 0.36
Riau 10.63 9.48 8.65 8.47 8.22 0.31 0.33 0.33 0.36 0.40
Jambi 9.32 8.77 8.34 8.65 8.42 0.28 0.27 0.30 0.34 0.34
Sumatera Selatan 17.73 16.28 15.47 14.24 13.78 0.30 0.31 0.34 0.34 0.40
Bengkulu 20.98 20.22 18.94 17.50 17.70 0.33 0.30 0.37 0.36 0.35
Lampung 8.58 7.46 6.51 16.93 16.18 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36
Kep. Bangka Belitung 20.64 18.59 18.30 5.75 5.53 0.26 0.29 0.30 0.30 0.29
Kepulauan Riau 9.18 8.27 8.05 7.40 7.11 0.30 0.29 0.29 0.32 0.35
DKI Jakarta 4.29 3.62 3.48 3.75 3.69 0.33 0.36 0.36 0.44 0.42
Jawa Barat 13.01 11.96 11.27 10.65 10.09 0.35 0.36 0.36 0.41 0.41
Jawa Tengah 19.23 17.72 16.56 15.76 15.34 0.31 0.32 0.34 0.38 0.38
DI Yogyakarta 18.32 17.23 16.83 16.08 16.05 0.36 0.38 0.41 0.40 0.43
Jawa Timur 18.51 16.68 15.26 14.23 13.40 0.33 0.33 0.34 0.37 0.36
Banten 8.15 7.64 7.16 6.32 5.85 0.34 0.37 0.42 0.40 0.39
Bali 6.17 5.13 4.88 4.20 4.18 0.30 0.31 0.37 0.41 0.43
Nusa Tenggara Barat 23.81 22.78 21.55 19.73 18.63 0.33 0.35 0.40 0.36 0.35
Nusa Tenggara Timur 25.65 23.31 23.03 21.23 20.88 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36
Kalimantan Barat 11.07 9.30 9.02 8.60 8.17 0.31 0.32 0.37 0.40 0.38
Kalimantan Tengah 8.71 7.02 6.77 6.56 6.51 0.29 0.29 0.30 0.34 0.33
Kalimantan Selatan 6.48 5.12 5.21 5.29 5.06 0.33 0.35 0.37 0.37 0.38
Kalimantan Timur 9.51 7.73 7.66 6.77 6.68 0.34 0.38 0.37 0.38 0.36
Sulawesi Utara 10.10 9.79 9.10 8.51 8.18 0.28 0.31 0.37 0.39 0.43
Sulawesi Tengah 20.75 18.98 18.07 15.83 15.40 0.33 0.34 0.37 0.38 0.40
Sulawesi Selatan 13.34 12.31 11.60 10.29 10.11 0.36 0.39 0.40 0.41 0.41
Sulawesi Tenggara 19.53 18.93 17.05 14.56 13.71 0.33 0.36 0.42 0.41 0.40
Gorontalo 24.88 25.01 23.19 18.75 17.33 0.34 0.35 0.43 0.46 0.44
Sulawesi Barat 16.73 15.29 13.58 13.89 13.24 0.31 0.30 0.36 0.34 0.31
Maluku 29.66 28.23 27.74 23.00 21.78 0.31 0.31 0.33 0.41 0.38
Maluku Utara 11.28 10.36 9.42 9.18 8.47 0.33 0.33 0.34 0.33 0.34
Papua Barat 35.12 35.71 34.88 31.92 28.20 0.31 0.35 0.38 0.40 0.43
Papua 37.08 37.53 36.80 31.98 31.11 0.40 0.38 0.41 0.42 0.44
Indonesia 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96
0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 Sumber : BPS
Catatan : *) Kondisi pada bulan September
9
pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial.
Konflik sosial ini pada akhirnya akan bermuara pada ketidakberlanjutannya pembangunan.
Dengan memperhatikan beberapa uraian sebelumnya, nampaknya pembangunan
Indonesia masih belum menggambarkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial,
lingkungan serta kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi
ekonomi, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dalam bidang sosial,
pembangunan semakin memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakat
golongan kaya dengan golongan miskin. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkan
lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lahan.
2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Sumber daya alam Indonesia merupakan 25 persen dari total aset kemakmuran
negara/national wealth (World Bank 2006). Sumber daya alam menghasilkan rente
(keuntungan) yang merupakan sumber penting bagi pendanaan pembangunan. Selama
pemerintahan orde baru, Indonesia telah berhasil memanfaatkan rente sumber daya alam ini,
khususnya dari minyak, sumberdaya mineral dan hutan untuk mendanai pembangunan
Indonesia pasca tumbangnya rezim orde lama.
Peran ekonomi sumberdaya alam ini terus berlanjut hingga saat ini. Namun harus
diakui sekarang sumber daya alam mengalami penurunan yang cepat tanpa adanya pengganti
yang memadai. Kerugian ekonomi akibat deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan bisa
menjadi hal yang substansial dalam jangka panjang, dengan besaran yang menunjukkan
peningkatan, mulai dari 0,3 persen hingga 7 persen dari PDB Indonesia (Leitman et. al. 2009).
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selama orde baru telah
memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan.
Besar dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa "ekonomi cokelat" di masa lalu
masih terpisah dari sumber daya dan pengelolaan lingkungan.
Belajar dari kelemahan masa lalu dalam mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi
dengan pengelolaan lingkungan, Indonesia kini berjuang untuk mengambil kegiatan ramah
lingkungan ke jalan pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan biaya
lingkungan pengembangan dan mempertahankan sumber daya alamnya. Komitmen untuk
menonjolkan pembangunan ekonomi hijau dimulai dengan menambahkan strategi pro-
lingkungan ke dalam rencana pembangunan. Cukup banyak metode dan instrumen yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengintegrasikan langkah-
langkah lingkungan ke dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Selain itu percepatan penyusutan sumberdaya alam ini semakin tinggi di era otonomi
daerah. Hal ini karena selain adanya insentif dari dana bagi hasil dan keinginan untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah/PAD (Leiman et. al. 2009), juga dikarenakan
tumpang tindihnya kewenangan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam
sehingga menimbulkan “moral hazard” dan mempercepat terjadinya penyusutan sumberdaya
alam dan kerusakan lingkungan.
Sebuah langkah besar menuju ekonomi Indonesia yang lebih hijau adalah dengan
membangun kerangka kebijakan secara nasional. Payung hukum utama negara untuk
pembangunan berkelanjutan adalah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025.Kemajuan menuju inisiatif ekonomi hijau mendapatkan
momentum yang kuat dengan diberlakukannya undang-undang lingkungan yang terbaru
Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang
ini sangat mendorong penggabungan lingkungan ke dalam kegiatan sosial dan ekonomi
seperti. Indonesia hijau hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya dan mekanisme, seperti
10
pembiayaan, perencanaan pembangunan, dan penggunaan instrumen ekonomi untuk
mencapai pengelolaan lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan
merupakan bagian penting dari strategi untuk meningkatkan pembangunan. Meskipun
kegiatan sebagian besar akan dilakukan oleh sektor swasta dan masyarakat, pemerintah
memainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan menentukan pedoman standar
untuk implementasi.
Salah satu langkah strategis yang telah diambil adalah perumusan Rencana Aksi
Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penurunan emisi gas rumah kaca
(GRK).Rencana tersebut bertujuan untuk menggabungkan pengurangan emisi ke dalam
kegiatan sehari-hari masyarakat. RAN dan RAD GRK juga akan memfasilitasi peraturan
pemerintah, standar dan dukungan pada pelaksanaan kebijakan rendah emisi karbon di
berbagai sektor. Selain itu, juga akan mendukung pengembangan indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur dan menilai pengurangan emisi. Metode ini kemudian dapat
diterapkan untuk jenis lainnya dari jasa lingkungan.
Di sektor energi, beberapa peraturan telah dikeluarkan terutama untuk menjamin
keamanan energi dan produksi serta penggunaan energi yang lebih bersih. Produk hukum
energi yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 30/2007
mengamanatkan bahwa pemerintah, sektor swasta dan masyarakat berkewajiban untuk
mengamankan dan menjamin ketersediaan, keberlanjutan dan efisiensi penggunaan sumber
daya energi. Undang-undang ini juga menyediakan pedoman untuk diversifikasi energi
dengan menggunakan energi terbarukan serta konservasi energi. Dalam rangka melaksanakan
undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2009 tentang
Konservasi Energi. Peraturan ini membagi tanggung jawab antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat dalam pengelolaan energi, serta
memberikan panduan tentang produksi, pemanfaatan dan konservasi, pembuatan standar dan
peraturan pelabelan untuk efisiensi energi, mengatur fasilitas, memberikan insentif dan
disinsentif, serta mengatur mekanisme pemantauannya.
Meningkatnya kesadaran perlindungan lingkungan dan pertumbuhan permintaan energi
telah mendorong dikembangkannya energi panas bumi serta energi terbarukan. Tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, sektor swasta dan masyarakat juga didorong untuk lebih
terlibat dalam energi terbarukan. Penggunaan mikro hidro telah banyak dipergunakan dan
menunjukkan tren meningkat. Peningkatan kesadaran swasta dan masyarakat tentang peran
penting lingkungan juga melahirkan tindakan yang ramah lingkungan. Beberapa contohnya
adalah produksi mebel berkelanjutan, pengelolaan pertanian berkelanjutan dan produk
organik.
2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup
Beberapa indikator pembangunan pada uraian sebelumnya; pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan lahan kritis, kemiskinan dan gini rasio; merupakan indikator yang bersifat
tunggal dan bukan indikator komposit. Interpretasi yang diperoleh dari nilai masing-masing
indikator tentunya hanya mewakili keterukuran dari indikator yang bersangkutan, belum
dapat mewakili masing-masing dimensi pembangunan secara utuh. Untuk dapat mengukur
capaian secara lebih kompleks tentunya dibutuhkan indikator gabungan berupa indeks
komposit. Terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja
pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensi-
dimensi pokok pencapaian status kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat,
11
berpengetahuan dan keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkan
untuk mencapai standar hidup layak. Sehingga IPM merupakan ukuran yang umum
dipergunakan untuk mengukur tingkat capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun
IPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian
pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).
IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Dannish
International Development Agency (DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yang
dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University
(VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai,
kualitas udara, dan tutupan hutan.
Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara
pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Dengan mencermati
Tabel 3, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkat
IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang
Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH), 2009 - 2011
Provinsi
IPM
IKLH
2009 2010 2011 2009 2010 2011
IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH1) Rank IKLH2) Rank IKLH2) Rank
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)
NAD 71.31 17 71.70 17 72.16 18 72.47 12 77.30 11 66.74 16
Sumatera Utara 73.80 8 74.19 8 74.65 8 62.48 19 87.17 6 72.21 12
Sumatera Barat 73.44 9 73.78 9 74.28 9 87.04 2 81.46 9 77.00 9 Riau 75.60 3 76.07 3 76.53 3 51.65 25 54.86 22 56.23 24
Jambi 72.45 13 72.74 13 73.30 13 75.04 9 62.82 17 64.92 18
Sumatera Selatan 72.61 10 72.95 10 73.42 10 69.30 14 75.70 13 77.50 8 Bengkulu 72.55 12 72.92 11 73.40 11 79.58 4 96.89 4 96.77 3
Lampung 70.93 21 71.42 21 71.94 20 73.64 11 86.95 7 86.57 4
Kep. Bangka Belitung 72.55 11 72.86 12 73.37 12 52.15 24 64.92 15 64.99 17 Kepulauan Riau 74.54 6 75.07 6 75.78 6 51.65 25 54.86 22 56.23 24
DKI Jakarta 77.36 1 77.60 1 77.97 1 41.73 30 41.81 29 41.31 30
Jawa Barat 71.64 15 72.29 15 72.73 16 49.69 27 53.44 23 50.90 27 Jawa Tengah 72.10 14 72.49 14 72.94 14 55.40 22 50.48 25 49.82 28
DI Yogyakarta 75.23 4 75.77 4 76.32 4 53.52 23 71.91 14 68.89 14
Jawa Timur 71.06 18 71.62 18 72.18 17 59.01 21 49.49 27 54.49 25 Banten 70.06 23 70.48 23 70.95 23 50.86 26 48.98 28 48.98 29
Bali 71.52 16 72.28 16 72.84 15 85.50 3 99.65 1 85.30 5
Nusa Tenggara Barat 64.66 32 65.20 32 66.23 32 73.69 10 90.15 5 84.30 7 Nusa Tenggara Timur 66.60 31 67.26 31 67.75 31 66.61 18 50.72 24 59.01 23
Kalimantan Barat 68.79 28 69.15 28 69.66 28 71.92 13 76.39 12 74.27 10
Kalimantan Tengah 74.36 7 74.64 7 75.06 7 45.70 29 50.38 26 63.98 19 Kalimantan Selatan 69.30 26 69.92 26 70.44 26 48.25 28 58.24 21 60.29 21
Kalimantan Timur 75.11 5 75.56 5 76.22 5 68.63 15 62.22 19 70.75 13 Sulawesi Utara 75.68 2 76.09 2 76.54 2 88.21 1 84.18 8 84.59 6
Sulawesi Tengah 70.70 22 71.14 22 71.62 22 68.51 16 97.58 3 98.53 2
Sulawesi Selatan 70.94 20 71.62 19 72.14 19 67.62 17 62.89 16 62.64 20 Sulawesi Tenggara 69.52 25 70.00 25 70.55 25 60.53 20 62.23 18 52.79 26
Gorontalo 69.79 24 70.28 24 70.82 24 - - 97.93 2 98.89 1
Sulawesi Barat 69.18 27 69.64 27 70.11 27 67.62 17 62.89 16 67.85 15 Maluku 70.96 19 71.42 20 71.87 21 78.80 6 79.72 10 73.09 11
Maluku Utara 68.63 29 69.03 30 69.47 30 78.80 5 79.72 10 73.09 11
Papua Barat 68.58 30 69.15 29 69.65 29 75.30 8 59.56 20 68.51 22 Papua 64.53 33 64.94 33 65.36 33 75.30 7 59.56 20 68.51 22
Indonesia 71.76
72.27
72.77
59.79
61.07
60.25
Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup Catatan :
1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung
2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung
12
tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat
pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi
yang peringkat IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik,
misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada
pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Dalam posisi ini,
IKLH memegang peran penting dalam mengontrol capaian pembangunan berkelanjutan.
Penggunaan indikator ekonomi dan sosial dalam mengukur capaian pembangunan
berkelanjutan tidaklah cukup, dibutuhkan indikator lain yang mampu mengukur capaian
pembangunan bidang lingkungan, yang dicerminkan oleh IKLH.
2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan
Merujuk pada evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014 yang telah dilakukan oleh
Bappenas, berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam RPJMN, capaian pembangunan
bidang lingkungan menunjukkan hasil yang cukup baik. Mengutip dari evaluasi tersebut,
diketahui bahwa salah satu capaian pembangunan lingkungan diantaranya adalah semakin
meningkatnya ketaatan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, dari 66 % pada periode
2010-2011 menjadi 69% pada periode 2011-2012. Pengelolaan lingkungan yang dilakukan
oleh perusahaan ditujukan untuk menurunkan beban pencemaran dan mereduksi Gas Rumah
Kaca (GRK) guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Data dari Kementrian
Kehutanan juga menunjukkan turunnya laju deforestasi, yang mampu ditekan dari 830.000 ha
pada tahun 2006-2009, menjadi 450.000 per tahun pada periode 2009-2011.
Kegiatan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) mampu
mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Sementara
upaya pengendalian kebakaran hutan juga berhasil mengurangi jumlah hotspot (titik api) di
Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Pelayanan informasi cuaca juga mengalami perbaikan degan dipasangnya Automatic
Weather Station (AWS) di 167 lokasi. Dengan sarana ini, informasi terjadinya cuaca ekstrim
dapat diprediksi 3 jam sebelum kejadian, lebih awal 30 menit dibandingkan sebelum adanya
AWS. Informasi tentang Gempa Bumi dan Tsunami menjadi lebih baik dengan Tsunami
Early Warning System (TEWS). Waktu untuk mengolah data dan menyebarkan informasi
kepada masyarakat dapat dipercepat menjadi kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi.
Sebelum adanya TEWS, dibutuhkan waktu 30 menit sampai 2 jam. Untuk penguatan
kapasitas penanganan bencana, telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) di 33 Provinsi yang mencapai 366 BPBD tingkat kabupaten/kota dengan prioritas
pada kabupaten/kota rawan bencana serta penguatan kapasitas Satuan Reaksi Cepat
Penanggulangan Bencana (SCR-PB).
Target lainnya yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 adalah tersusunnya Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Seperti telah diuraikan sebelumnya, IKLH telah disusun
sejak tahun 2010. Walau tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen RPJMN, IKLH
diharapkan mampu mencapai nilai 70 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 nilai IKLH baru
mencapai 60,25 dengan tren menurun dari tahun sebelumnya. Pada akhir RPJMN 2010-2014,
diharapkan IKLH dapat disusun sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hingga saat ini IKLH
yang tersedia hanya pada tingkat nasional dan provinsi. Artinya penyusunan IKLH
kabupaten/kota menjadi target RPJMN yang belum terealisasi.
13
Tabel 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan
Indikator Satuan Status
Awal
2009
Target
2014
Capaian
2010 2011 2012
Fasilitasi rehabilitasi hutan dan
lahan kritis pada DAS prioritas Ha (ribu) 703,05 1.600,00 229,22 742,36 1.252,88
Fasilitasi pembangunan hutan
rakyat kemitraan untuk bahan
baku industri pertukangan
Ha (ribu) n.a 250 51,51 102,07 158,42
Jumlah industri pertambangan,
energi dan migas, agroindustri
dan manufaktur yang dipantau
dan diawasi
Jumlah
industri 627 680 705 996 1.312
Persentase capaian indeks
kualitas Lingkungan Hidup
Nasional (IKLH)
(%) terhadap
IKLH max 59,79 70,00 61,07 60,25 n.a
Penurunan jumlah hotspot di
Pulau Kalimantan, Sumatera
dan Sulawesi berkurang 20%
per tahun dari rata-rata tahun
2005-2009
% 58.89
(Titik
rata-rata
2005 –
2009)
67,20 83,42 51,65 45,11
Rencana Pengelolaan DAS
terpadu unit n.a 108 22 58 95
Kesinambungan sistem analisa
data di bidang gempa bumi dan
tsunami
% 75 90 90 100 100
Persentase pengguna informasi
perubahan iklim dan kualitas
udara
% 75 90 39 68 80
Persentase tingkat kemampuan
pelayanan data dan informasi
meteorologi publik dan cuaca
ekstrem
% 45 80 50 66,67 78,78
Terlaksananya pemenuhan
kebutuhan logistik dan
peralatan kebencanaan
(prov/kota)
Lokasi 5 77 16 265 160
Terbentuknya satuan reaksi
cepat (SRC-PB) lokasi 7 2 2 2 2
Fasilitasi penetapan areal kerja
pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan dan Hutan
Desa (ribu) Ha (ribu) 78.24 2500 528,51 1.036,68 1.537,01
Sumber: Bappenas (2013)
14
III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Aspek lingkungan hidup telah menjadi perhatian serius dalam penilaian pembangunan
berkelanjutan. Beberapa lembaga internasional bahkan telah mengembangkan berbagai
metode penilaian beserta indikator-indikator lingkungan hidup untuk menilai progress
pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Yale University didukung oleh World
Economic Forum pada periode 2000-2005 mengembangkan Environment Sustainable Index
(ESI) yang terdiri dari 21 indikator. Dalam skor ESI ini, pada tahun 2005, Indonesia berada
pada urutan ke 53 dari 146 negara.
Setelah tahun 2005, ESI kemudian dikembangkan menjadi Environmental Performance
Index (EPI). EPI menggunakan 22 indikator lingkungan dengan 10 kategori (lihat Tabel 4).
Berdasarkan ranking EPI ini, Indonesia berada pada urutan ke 74 dari 132 negara dari sisi
skor EPI dan pada urutan ke 66 dari sisi perubahan skor EPI. Peringkat dan performa
lingkungan Indonesia selama periode 2006-2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Namun
sayangnya, nilai skor dan peringkat yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan secara
langsung antar tahun, karena adanya perubahan dalam metode penghitungan EPI .
Tabel 5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI)
Objective Policy Category Indicator
Environmental
Health
Air (effects on human health) Indoor air pollution
Particulate matter
Water (effects on
human health)
Access to drinking water
Access to sanitation
Environmental Health Child mortality
Ecosystem
Vitality
Air pollution SO2 emissions per capita
SO2 emissions per $ GDP
Water Change in Water Quantity
Biodiversity and
habitat
Biome protection
Marine protected areas
Critical habitat protection
Forests
Forest loss
Change in forest cover
Forest growing stock
Fisheries Coastal shelf fishing pressure
Fish stocks overexploited
Agriculture Agricultural subsidies
Pesticide regulation
Climate change
CO2 emissions per capita
CO2 emissions per $ GDP
Electricity emissions per KWH
Percent of energy production from renewables
Sumber : http://epi.yale.edu
15
Tabel 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012
Tahun Peringkat EPI Indonesia Skor
2006 79 dari 133 negara 60.7
2008 102 dari 163 negara 66.2
2010 134 dari 149 negara 44.6
2012 74 dari 132 negara - Sumber : http://epi.yale.edu
Pengukuran kualitas lingkungan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Pada
awalnya pengukuran kualitas lingkungan hanya menjadi bagian dari ukuran yang lebih makro,
seperti capaian Milenium Development Goals (MDGs) dan bagian dari indikator
pembangunan berkelanjutan. Namun dalam perkembangannya, kemudian muncul indikator
komposit yang secara khusus mengukur kualitas lingkungan. Dalam hal ini paling tidak
ditemukan dua indikator komposit yang dapat dipergunakan. Pertama adalah Indeks Kualitas
Lingkungan (IKL) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kedua adalah Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Kedua indikator tersebut bertujuan mengukur kualitas lingkungan hidup, namun dengan
metode dan ruang lingkup yang berbeda. Uraian berikut membahas perkembangan dan
metode yang dipergunakan pada beberapa ukuran kualitas lingkungan, mulai dari indikator
parsial yang ada pada RPJMN 2010-2015 dan indikator pembangunan berkelanjutan, hingga
indikator komposit seperti IKL dan IKLH.
3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009
Pembangunan lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam RPJMN 2004-2009.
Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan
mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan
pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunan
daya dukung lingkungan, yang diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk,
pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya
penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Persoalan lain
yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan
iklim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencana
alam lainnya.
Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan
iklim tersebut terhadap lingkungan, dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah
dilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Pada RPJMN 2004-2009,
indikator pembangunan lingkungan hidup paling tidak dapat ditemukan pada beberapa
prioritas kegiatan, yaitu kebijakan lintas bidang perubahan iklim global, prioritas bidang
perbaikan kualitas lingkungan hidup, prioritas bidang peningkatan konservasi dan rehabilitasi
sumber daya hutan, dan prioritas bidang: peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana
alam serta kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dari sejumlah indikator yang ada
pada beberapa prioritas kegiatan tersebut, dipilih beberapa indikator yang dipandang menjadi
fokus dari pembangunan lingkungan (Tabel 7).
16
Tabel 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015
No Fokus Indikator
Sifat Indikator
Regu-
lasi
Input/
Proses
Out-
put
1 Pengendalian
Pencemaran Udara Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang
dipantau dan diawasi
v
Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi v
Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v
Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v
Jumlah penurunan beban pencemar udara dari industri
yang dipantau dan diawasi
v
Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v
2 Pengendalian
Pencemaran Udara
Dari Emisi dan
Kebisingan
Kendaraan Bermotor
Jumlah peraturan perundangan yang ditetapkan v
Jumlah daerah (provinsi/kota) yang difasilitasi dalam
penyusunan Peraturan Daerah tentang pengendalian
pencemaran udara khususnya sumber bergerak
v
Jumlah kota yang difasilitasi dalam penerapan
pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor
(P&P)
v
Jumlah kebijakan sektor yang difasilitasi dalam
mendukung reduksi emisi (penetapan standar emisi dan
kebisingan, bahan bakar, manajemen transportasi,
kendaraan tidak bermotor (NMT), uji emisi bagi
kendaraan pribadi, land use planning )
v
Jumlah kota yang dievaluasi kualitas udaranya v
Jumlah pembinaan teknis dalam pengendalian pencemaran
sumber bergerak
v
3 Pengendalian
Pencemaran Air
Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang
dipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantau
dan diawasi
v
Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v
Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v
Jumlah izin pembuangan air limbah ke laut yang
dikeluarkan
v
Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v
4 Pengendalian
Pencemaran Limbah
Domestik
Jumlah kota metropolitan dan besar yang dipantau v
Jumlah ibukota provinsi yang dipantau v
Jumlah penurunan beban pencemar dari sumber limbah
cair domestik dari kegiatan apartemen dan perumahan
mewah di 3 propinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa
Barat)
v
Jumlah pedoman teknis di bidang pengelolaan limbah
domestik
v
% capaian peningkatan kinerja pengelolaan sampah
melalui pengawasan
v
% volume pengurangan sampah melalui 3 R v
5 Pengelolaan B3 dan
Limbah B3 Kegiatan
Pertambangan,
Energi, Minyak dan
Gas
Jumlah produk perumusan kebijakan dan/atau standar
dan/atau pedoman pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan
pertambangan, energi, minyak dan gas [Draft Permen LH]
v
Jumlah kegiatan pemantauan dan/atau analisis dan/atau
evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 & limbah
B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas
v
17
No Fokus Indikator
Sifat Indikator
Regu-
lasi
Input/
Proses
Out-
put
Jumlah perusahaan yang mendapat pengawasan kinerja
penaatan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan
pertambangan, energi, minyak dan gas
v
Jumlah daerah dan/atau perusahaan yang mendapat
bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan
pertambangan, energi, minyak dan gas
v
Jumlah lingkup kegiatan dari seluruh ketentuan konvensi
internasional pengelolaan B3 dan Limbah B3
v
6 Pengelolaan B3 dan
Limbah B3
Manufaktur,
Agroindustri dan
Jasa
Jumlah kebijakan, pedoman teknis yang diterapkan
dalam Pengelolaan Limbah B3 pada kegiatan manufaktur
dan agroindustri [dalam bentuk pedoman]
v
Jumlah pengawasan kinerja industri yang dilakukan
pembinaan dan pengawasan
v
Jumlah daerah dan/ atau perusahaan yang mendapat
bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan
manufaktur agroindustri dan jasa
v
Jumlah lingkup kegiatan dalam pelaksanaan ketentuan
konvensi internasional pengelolaan B3 dan limbah B3
(dari seluruh ketentuan internasional yang ada)
v
7 Perlindungan
Atmosfir dan
Pengendalian
Dampak Perubahan
Iklim
Jumlah konsep kebijakan di bidang perlindungan atmosfir
dan pengendalian dampak perubahan iklim
v
% penyiapan penyusunan perangkat untuk sektor yang
akan mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan
inventori GRK & BPO
v
Jumlah sektor yang mendapatkan bimbingan teknis untuk
melakukan inventori GRK & BPO
v
% penetapan baseline untuk pengurangan konsumsi Bahan
Perusak Ozon (BPO) - HCFC
v
% pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) -
HCFC
v
Jumlah pemerintah daerah provinsi yang dilakukan
pembinaan teknis untuk kajian kerentanan dan adaptasi
perubahan iklim
v
Jumlah sektor dan daerah yang mendapatkan bimbingan
teknis untuk melakukan kegiatan perlindungan atmosfir
dan pengendalian dampak perubahan iklim
v
Implementasi konsep Program Kampung Iklim v
8 Pengendalian
kebakaran hutan Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau
Sulawesi berkurang 20% setiap tahun.
v
Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50%
dibandingkan kondisi tahun 2008
v
Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat
dalam penanggulangan bahaya kebakaran hutan di 30
DAOPS
v
9 Penyelenggaraan
Rehabilitasi Hutan
dan Lahan, dan
Reklamasi Hutan di
DAS Prioritas
Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS
prioritas seluas 800.000 ha
v
Fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas
seluas 500.000 ha
v
Fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 5.000 ha v
Fasilitas rehabilitasi hutan mangrove, gambut dan rawa
seluas 295.000 ha
v
18
No Fokus Indikator
Sifat Indikator
Regu-
lasi
Input/
Proses
Out-
put
10 Peningkatan
Konservasi
Keanekaragaman
Hayati
Jumlah dokumen laporan dan rekomendasi kebijakan
konservasi keanekaragaman hayati
v
Jumlah rekomendasi kajian kebijakan konservasi
keanekaragaman hayati diimplementasikan
v
Jumlah hasil rekomendasi pemantauan pelaksanaan
kebijakan konservasi keanekaragaman hayati yang
ditindaklanjuti
v
Jumlah daerah kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatan
konservasi keanekaragaman hayati
v
Terfasilitasinya pengembangan program Taman
Keanekaragaman Hayati di beberapa daerah
v
Berdasarkan sifatnya, indikator-indikator yang ada pada tabel 7 secara umum dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu yang bersifat regulasi, input/proses dan
indikator output. Dari 52 indikator, 16 indikator (30,77%) merupakan regulasi dan 29
indikator (55,7%) merupakan indikator input/proses. Hanya 7 indikator (13,46%) yang masuk
ke dalam kategori indikator output. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan pembangunan
lingkungan nampaknya masih dominan diukur dari sisi input atau prosesnya, belum dari sisi
outputnya.
Indikator output yang dipergunakan juga tidak seluruhnya bersifat indikator, tetapi
lebih bersifat “statistik”, seperti “Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. Indikator
seperti ini seperti ini memiliki kelemahan karena tidak dapat diperbandingkan secara
langsung antar waktu. Jika jumlah industri yang taat peraturan meningkat 10% tidak secara
langsung dapat diartikan bahwa telah terjadi keberhasilan. Ukuran keberhasilan juga
ditentukan oleh pertumbuhan jumlah industri. Keberhasilan hanya dapat disimpulkan jika
pertumbuhan jumlah industri lebih kecil dari 10%. Oleh karena ini, sebaiknya penggunaan
indikator yang bersifat “statistik” dilengkapi juga dengan indikator yang bersifat “indikator”,
misalnya menjadi “% jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”.
3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Untuk membantu negara-negara dalam mengambil keputusan yang berfokus pada
pembangunan berkelanjutan, Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyusun indikator
pembangunan berkelanjutan sebagai acuan negara-negara dalam konteks pembangunan
berkelanjutan. Pada tahun 1995, Komisi Pembangunan Berkelanjutan berhasil menyusun
sekitar 134 indikator pembangunan berkelanjutan dalam kerangka kerja Driving Force-State-
Response. Pada tahun 2001, Divisi Pembangunan Berkelanjutan merevisi 134 indikator
pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi 58 indikator berdasarkan pengalaman dari
beberapa negara yang telah menerapkan indikator tersebut. Indikator tersebut direvisi
kembali menjadi 50 indikator utama dan 46 indikator lain pada tahun 2007.
Indonesia, dalam hal ini Badan Pusat Statistik, (BPS) telah menelaah indikator-
indikator yang dapat diimplementasikan dengan kondisi negara Indonesia, dan
menyajikannya dalam bentuk publikasi khusus, yaitu Indikator Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam publikasi tersebut, BPS merilis 62 indikator yang mencakup berbagai dimensi
pembangunan berkelanjutan. Dari 62 indikator tersebut terdapat beberapa indikator yang
berkaitan dengan lingkungan, yaitu:
Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik
19
Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh
Jumlah desa menurut jenis bencana alam
Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam
Jumlah korban bencana menurut kondisi korban
Jumlah kerusakan rumah akibat bencana /
Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut jenis bahan bakar untuk memasak
Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor
Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas
Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon
Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2
Luas lahan yang sementara tidak diusahakan
Jumlah sebaran titik panas yang terdeteksi satelit
Sebaran kawasan konservasi laut
Luas dan kondisi terumbu karang
Volume air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih
Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen
demand (COD) pada air sungai
Kawasan konservasi daratan
Spesies satwa yang dilindungi
Spesies tumbuhan yang dilindungi
Persentase remitan terhadap pendapatan nasional
Pemakaian energi termasuk biomassa
3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS
BPS telah memulai studi untuk mengukur kualitas lingkungan hidup dengan
menyusun Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) pada tahun 2007. Studi ini kemudian
dikembangkan dan disempurnakan lagi pada tahun 2008. Secara lebih rinci uraian berikut
akan lebih memfokuskan pada penyusunan IKL 2008, sebagai studi paling akhir. Namun
untuk melihat perkembangan studi yang dilakukan oleh BPS, juga disertakan perbandingan
metodologi antara IKL 2007 dengan IKL 2008.
3.3.1. Perbandingan IKL 2007 dan IKL 2008
Terdapat beberapa perbedaan metodologi dalam penghitungan IKL 2007 dan IKL
2008, yaitu :
1. Indeks Kualitas Udara (IKU). Parameter penyusun IKU 2007 adalah SO2 dan NO2,
sementara parameter IKU 2008 terdiri dari CO dan NOx. Metodologi pun berbeda, bila
konsentrasi SO2 dan NO2 adalah hasil pengukuran Pusarpedal, maka konsentrasi CO dan
NOx diperoleh dari hasil penghitungan konsumsi BBM kendaraan bermotor hasil Susenas
Modul Konsumsi 2008.
2. Indeks Kualitas Air (IKA). IKA 2007 menggunakan 3 parameter yaitu BOD, COD, dan
DO, sementara IKA 2008 menggunakan 9 parameter yaitu BOD, COD, DO, NO3, NH3,
pH, TDS, TSS, dan SO4. Seperti diketahui, pengambilan sampel air sungai dilakukan di
beberapa titik. Pada IKA 2007, nilai yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai rata-
rata dari beberapa sampel tersebut, sedang pada IKA 2008 nilai yang diambil adalah nilai
pada saat kondisi terburuk.
3. IKTp. Variabel sampah pada IKTp 2007 tidak dibagi dengan luas wilayah, pada IKTp
2008 menjadi memperhitungkan luas wilayah. Variabel penampungan akhir tinja pada
20
IKTp 2007 mengakomodir seluruh jenis penampungan, pada IKTp 2008 dibatasi hanya
tangki SPAL saja.
4. IKP, ini merupakan aspek baru pada IKL 2008 yang tidak ada pada IKL 2007.
5. IKL. Pemberian bobot untuk masing-masing matra pada IKL 2008 mengacu pada
Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: IKA bobot 13, IKTP bobot 10 dan
IKP bobot 10. Sementara pada penghitungan IKL 2007, bobot pada masing-masing matra
diasumsikan sama (setiap matra mempunyai kontribusi yang sama besar dalam
penyusunan IKL).
3.3.2. Metode Penyusunan IKL 2008
Berdasarkan data yang tersedia dari sumber data yang ada, beberapa variabel yang
menjadi komponen dalam penyusunan IKL adalah
Tabel 8 Komponen Penyusun IKL 2008
Faktor Variabel Keterangan
(1) (2) (3)
Kualitas Udara 1. Konsentrasi NOx pada udara ambien Sumber data: BPS: Susenas
Modul Konsumsi, BMKG.
Diolah berdasarkan tata cara
prediksi polusi udara skala
mikro akibat lalu lintas dengan
penyesuaian pada penghitungan
kekuatan emisi
2. Konsentrasi CO pada udara ambien
Kualitas Air 1. Nilai maksimum kandungan BOD pada Sumber data: KLH
air sungai Diolah berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 115 Tahun 2003
tentang Indeks Pencemar
2. Nilai maksimum kandungan COD pada
air sungai
3. Nilai maksimum kandungan DO pada air
sungai
4. Nilai maksimum kandungan NO3 (Nitrat)
pada air sungai
5. Nilai maksimum kandungan NH3
(Amoniak) pada air sungai
6. Nilai maksimum pH pada air sungai
7. Nilai maksimum kandungan TDS(Total
Dissolved Solid) pada air sungai
8. Nilai maksimum kandungan TSS (Total
Suspensed Solid) pada air sungai
9. Nilai maksimum kandungan SO4 (Sulfat)
pada air sungai
Kualitas Tanah
Pemukiman
1. Proporsi volume sampah per hari (m3)
yang tidak terangkut per km2 .
Sumber data: Dinas Kebersihan
Kota, BPS
2. Persentase rumah tangga dengan tempat
pembuangan akhir tinja berupa
tangki/Saluran Pembuangan Akhir
Limbah (SPAL)
BPS, Susenas-Kor
Populasi Kepadatan penduduk per Ha BPS, Susenas-Kor
21
IKL mengukur pencapaian kualitas lingkungan setiap ibukota provinsi dari empat
matra lingkungan yaitu udara, air, tanah dan populasi. Nilai IKL berkisar antara 0 sampai
dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0
menggambarkan kualitas terburuk. Jarak nilai IKL suatu kota terhadap nilai ideal (100),
mencerminkan kekurangan kualitas lingkungan kota tersebut, dan perbandingan nilai IKL
selama beberapa waktu akan memperlihatkan perbaikan atau kemunduran kualitas
lingkungan suatu kota.
IKL mencakup empat matra yaitu udara, air, tanah, dan populasi dengan bobot pada
keempat matra tersebut mengikuti pemberian bobot pada Virginia Environmental Quality
Index (VEQI), yaitu:
a. Indeks Kualitas Udara (IKU) diberi bobot 18, sesuai dengan bobot udara pada VEQI.
Sementara IKU sendiri dihitung dari parameter CO dan NOX yang bobotnya menurut
VEQI masing-masing adalah 11 dan 16.
b. Indeks Kualitas Air (IKA) diberi bobot 13, angka ini sama dengan bobot air permukaan
pada VEQI. IKA sendiri dihitung dari 9 parameter (BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH,
TDS, TSS dan SO4). Bobot untuk kesembilan parameter ini tidak tersedia pada VEQI,
sehingga dalam penghitungan IKA ini, dianggap semua parameter mempunyai bobot
yang sama, masing-masing 1/9.
c. Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) diberi bobot 10. Variabel pada IKTp adalah
volume sampah yang tidak terangkut per hari (m3) per km2, dan persentase rumah tangga
dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/SPAL). Karena kedua variabel
tersebut berkaitan erat dengan aktivitas penduduk, maka bobot untuk IKTp sama dengan
bobot populasi yaitu 10. Sementara untuk penghitungan IKTp sendiri, kedua variabel
penyusun diberi bobot yang sama, masing-masing ½.
d. Populasi, sesuai dengan bobot pada VEQI yaitu sama dengan 10. Populasi diwakili satu
variabel yaitu kepadatan penduduk per hektar dan dihitung indeksnya.
e. Total bobot untuk IKL adalah 51.
Penghitungan Indeks Kualitas Udara (IKU)
1. Menghitung kekuatan emisi (Q):
Penilaian tentang konsumsi bahan bakar diperoleh dari Susenas Modul Konsumsi tahun
2008. Pada Susenas ini, kepada setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor,
ditanyakan jumlah konsumsi bahan bakar selama sebulan untuk kendaraan bermotor baik
yang menggunakan bensin maupun solar. Data ini diolah hingga menghasilkan konsumsi
bahan bakar setiap detik. Selanjutnya, untuk memperoleh kekuatan emisi (Q), konsumsi
bensin dan solar dikalikan faktor emisi masing-masing.
2. Setelah nilai kekuatan emisi (Q) diperoleh, selanjutnya dihitung konsentrasi polutan (C)
yang merupakan perkalian antara hasil bagi kekuatan emisi (Q) dan kecepatan angin
dengan eksponensial dari ketinggian sumber emisi (H). Ketinggian sumber emisi (H),
yang merupakan ketinggian dari knalpot kendaraan bermotor, diperkirakan tingginya
adalah 0,3 meter. Sedangkan data kecepatan angin rata-rata dalam meter per detik
diperoleh dari hasil pengukuran BMKG di setiap ibu kota provinsi. Jarak jalan ke
reseptor ditentukan 0,1 km,dan stabilitas atmosfer dipilih kelas stabilitas siang hari
dengan kategori sedang. Penghitungan nilai kekuatan emisi (C) ini dilakukan masing-
masing untuk kandungan CO dan Nox.
22
3. Penentuan sub IKU untuk CO (IKUCO)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu
CO sebesar 30.000 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Tabel berikut menyajikan
klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO:
Tabel 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO
Klasifikasi Konsentrasi C
(Nilai C untuk CO) ai xi
Nilai sub
IKU untuk
CO
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 ≤C ≤30000 0,000333 x1 = C-0 100 - 90
2 30000 < C ≤60000 0,000667 x1= 30.000, x2 = C-30.000 89,99 - 70
3 60000 < C ≤90000 0,0010 x1= 30.000, x2=30.000,
x3= C-60.000 69,99 - 40
4 C > 90000 0,001333 x1= 30000, x2=30000,
x3= 30000, x4= C-90000 < 40
Bila konsentrasi CO mencapai sekitar 120.000 μg/m3 maka sub indeks CO sama dengan
0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai sub indeks = 0.
4. Penentuan sub IKU untuk NOx (IKUNOX)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu
NO2 sebesar 400 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Klasifikasi C dan nilai sub IKU
untuk NOx ditampilkan pada tabel berikut:
Tabel 10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx
Klasifi
kasi
Konsentrasi NOx
(Nilai C untuk NOx) ai xi
Nilai sub IKU
untuk NOx
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 ≤C ≤400 0,025 x1 = C-0 100 - 90
2 400 < C ≤800 0,05 x1= 400, x2= C-400 89,99 - 70
3 800 < C ≤1200 0,075 x1= 400, x2= 400, x3= C-800 69,99 - 40
4 C > 1200 0,01 x1= 400, x2= 400, x3= 400, x4=
C-1.200 < 40
Bila konsentrasi NOx mencapai sekitar 1.600 μg/m3 maka sub indeks NOx sama dengan
0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.
5. Selanjutnya ditentukan IKU yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai IKUCO dan
nilai IKUNOX, dengan bobot untuk masing-masing komponen adalah 11 dan 16.
Penghitungan Indeks Kualitas Air (IKA)
Pada tahap awal, penghitungan IKA dilakukan untuk masing-masing komponen yang
menentukan kualitas air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Nilai IKA
dihitung berdasarkan nilai Indeks pencemar (IP). Cara penghitungan IP dapat dilihat pada
lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003. Evaluasi
terhadap nilai IP menurut lampiran keputusan tersebut adalah :
a. 0 ≤ IP ≤ 1,0 = Kondisi baik (memenuhi baku mutu)
23
b. 1,0 < IP ≤5,0 = Cemar Ringan
c. 5,0 < IP ≤ 10 = Cemar sedang
d. IP > 10 = Cemar berat
Sama seperti penghitungan IKU, enam ketentuan yang digunakan dalam
penghitungan IKA 2008 adalah sebagai berikut :
a. Kandungan BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4 pada air sungai merupakan
pencemaran sedangkan kandungan DO dan pH dapat menggambarkan kualitas air
tersebut. Dengan acuan bahwa kondisi ideal adalah tidak ada pencemaran atau zero
emision atau IP = 0, maka kandungan BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS
dan SO4 yang menghasilkan IP bernilai 0 adalah kondisi dengan kualitas terbaik,
dengan kata lain indeks = 100.
b. Selanjutnya, nilai maksimum dari BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4, nilai
minimum DO dan nilai terburuk dari PH digunakan untuk menghitung nilai (IP).
c. Nilai IP yang diperoleh digunakan sebagai dasar penghitungan IKA dengan rumus
seperti telah dijelaskan di atas.
d. Untuk nilai IP pada kategori baik (memenuhi baku mutu) atau klasifikasi pertama
dengan rentang nilai IP 0 - 1 diberi nilai IKA dari 90 sampai dengan 100. Karena nilai
IP = 1 menghasilkan nilai IKA = 90, maka diperoleh nilai untuk pembobotnya = 10.
e. Selanjutnya pembobot untuk kategori berikutnya adalah 10 ditambah kelipatan dari 5
yaitu 15 dan 20.
f. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.
Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai IKA yang merupakan rata-rata dari
keseluruhan nilai IKA komponen pencemaran air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS,
TSS dan SO4). Penghitungan dengan metode rata-rata ini mencerminkan bahwa seluruh
komponen pencemar air memiliki bobot yang sama dalam penghitungan IKA.
Tabel 11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA
Klasifikasi IP ai xi Nilai IKA
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 ≤IP ≤1 10 x1 = IP-0 100 - 90
2 1 < IP ≤5 15 x1 = 1, x2 = IP-1 89,99 – 30
3 >5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = IP-5 <30
Nilai IP = 6,5 ≈ Nilai IKA = 0.
Penghitungan Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp)
Penghitungan IKTp menggunakan dua sub indeks, (1) Sub indeks volume sampah
yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah) dan (2) Sub indeks persentase rumah
tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL (IKTTangki). Penjelasan untuk
masing-masing sub indeks adalah sebagai berikut :
1. Sub Indeks Volume sampah yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah).
a. Dikarenakan tidak adanya pedoman atau baku mutu nilai volume sampah perhari
(m3) yang tidak terangkut per km2 (Y), maka digunakan klasifikasi sebagai
berikut :
0 ≤ Y ≤ 1 = Kondisi baik
24
1 < Y ≤ 5 = Kondisi Sedang
> 5 = Kondisi Buruk
b. Sama halnya dengan penghitungan IKU dan IKA pada IKTSampah klasifikasi
pertama nilai indeksnya antara 90 sampai dengan 100. Karena 1 m3 sampah per
hari yang tidak terangkut per km2 nilai indeksnya = 90, maka bobot untuk kelas
pertama = 10.
c. Untuk masing-masing klasifikasi nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak
terangkut per km2 tersebut di atas, diberikan bobot yang berbeda secara
berjenjang. Pemberian bobot yang berbeda secara berjenjang dimaksudkan agar
kota yang memiliki nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per
km2 yang menggambarkan kondisi kualitas tanah pemukiman yang lebih buruk
berusaha untuk mencapai kondisi kualitas tanah pemukiman yang setingkat lebih
baik dan seterusnya. Bobot yang digunakan adalah kelipatan 10 ditambah
kelipatan 5 yaitu : 10, 15 dan 20.
d. Selanjutnya, dengan menggunakan metode Atkinson yang telah disesuaikan,
dilakukan penghitungan nilai indeksnya seperti pada tabel berikut:
Tabel 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah
Klasifikasi Y Ai xi Nilai IKA
(1) (2) (3) (4) (5)
1 0 ≤Y ≤1 10 x1 = Y-0 100 - 90
2 1 < Y ≤5 15 x1 = 1, x2 = Y-1 89,9 – 30
3 > 5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = Y-5 <30
Y = 6,5 ≈ Nilai IKTSampah = 0.
Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.
2. Sub Indeks Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa
tangki/SPAL (IKTTangki) diperoleh dari nilai persentase rumah tangga dengan
penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL.
Selanjutnya dilakukan penghitungan IKTp yang merupakan nilai rata-rata dari
IKTSampah dan IKTTangki.
Penghitungan Indeks Kepadatan Penduduk (IKP)
Berikut adalah tahapan penghitungan indeks kepadatan penduduk:
a. Kepadatan penduduk kurang dari atau sama dengan 96 jiwa per hektar diberi nilai
indeks = 100. Acuan 96 jiwa dikutip dari WHO yang mensyaratkan suatu wilayah
dianggap mempunyai kepadatan ideal bila berpenduduk 96 jiwa per hektar.
b. Kepadatan penduduk yang lebih besar dari 96 jiwa per hektar, dihitung selisihnya
terhadap nilai 96. Selanjutnya, angka tersebut digunakan sebagai faktor pengurang
terhadap indeks. Dengan demikian maka IKP merupakan hasil pengurangan antara
nilai maksimal indeks (100) dengan selisih antara tingkat kepadatan eksisting dengan
tingkat kepadatan ideal.
25
3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011)
Kerangka Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang diadopsi oleh KLH adalah
Environmental Performance Index (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth
University (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan oleh BPS.
IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan sebagai indikator.
Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut serta kondisi
keanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam perhitungan IKLH
Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007, hanya
mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan
tutupan hutan. Berbeda dengan BPS, IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga akan
didapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang dikembangkan oleh BPS
dan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator digabungkan menjadi satu nilai
indeks. Penggabungan parameter ini dimungkinkan karena ada ketentuan yang mengaturnya,
seperti:
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Pedoman ini juga mengatur tatacara
penghitungan indeks pencemaran air (IPA).
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep- 45/MENLH/10/1997
tentang Indeks Pencemar Udara.
Tabel 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011
No. Indikator Parameter Bobot Keterangan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Kualitas Udara 1/3
SO2 0,5
NO2 0,5 2. Kualitas Air Sungai 1/3
pH
Dihitung nilai Indeks
Pencemaran Air (IPA)
Parameter yang dihitung dalam
IKLH 2009, 2010,dan
2011adalah TSS, DO, dan COD
TDS
TSS*)
DO*)
BOD
COD*)
NO2
NO3
NH3
Fosfat
Fenol
Detergen
3. Tutupan Hutan 1/3
Luas Hutan Primer
Total luas hutan primer dan
sekunder
Luas Hutan Sekunder
Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen IKLH (IPA,
IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki bobot yang sama dalam
menentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeks
nasional dengan menggunakan rata-rata tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masing-
masing provinsi terhadap penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam
penghitungan IKLH nasional.
26
Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standar
yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku mutu udara ambien).
Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan standar luas kawasan hutan di
setiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang
ditetapkan baru ada untuk 30 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks
setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induknya.
Penghitungan Indeks Pencemaran Air sungai (IPA)
Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai
penentuan status mutu air dengan metode indeks pencemaran (Pollution Index – PI).
Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan
fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij
menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan
air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0
b. Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0
c. Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0
d. Tercemar berat jika PIj > 10,0.
Pada prinsipnya nilai PIj> 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak
memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks
kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel;
b. Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, dan COD;
c. Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total jumlah
sampel pada tahun yang bersangkutan.
d. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik – terburuk) jumlah
sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 (terburuk –
terbaik).
Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan empat kali setahun pada tiga lokasi
sehingga setidaknya ada 12 sampel (data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Setiap provinsi
diwakili oleh satu sungai yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. Sungai tersebut lintas provinsi, atau
b. Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.
Penghitungan Indeks Pencemaran Udara (IPU)
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 243 ibukota kabupaten/kota
dengan menggunakan metode passive sampler. Dilakukan empat kali per tahun di lokasi-
lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan padat lalu lintas kendaraan bermotor.
Sedangkan parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2. Nilai konsentrasi tahunan setiap
parameter adalah rata-rata dari nilai konsentrasi triwulanan. Selanjutnya nilai konsentrasi
27
rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 untuk setiap
provinsi. Dengan demikian diperoleh nilai IPNO2 dan IPSO2 untuk masing-masing provinsi.
Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) yang merupakan
rata-rata dari IPNO2 dan IPSO2.
Penghitungan Indeks Tutupan Hutan (ITH)
Indeks tutupan hutan (ITH) merupakan persentase antara luas hutan primer (LHP) dan
hutan sekunder (LHS) terhadap luas kawasan hutan (LKH) berdasarkan keputusan Menteri
Kehutanan. Sama seperti indeks yang lain, penghitungan ITH juga dilakukan untuk masing-
masing provinsi. Oleh karena itu, khusus untuk DKI Jakarta, yang tidak memiliki kawasan
hutan, nilai ITH dihasilkan dengan memperbandingkan antara luas hutan kota dengan 10
persen luas wilayah.
3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012)
Dalam perkembangannya, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dihitung oleh
Kementrian Lingkungan Hidup kemudian mengalami perubahan pada tahun 2012. Perubahan
penghitungan IKLH pada tahun 2012 terkait dengan perubahan metode perhitungan indeks
dan penambahan parameter yang dipergunakan.
Pada metode penghitungan indeks dilakukan perubahan dalam hal metodologi
perhitungan indeks. Penghitungan indeks yang awalnya menggunakan bobot yang sama
untuk setiap komponen (IPA, IPU dan ITH), maka pada penghitungan IKLH tahun 2012
bobot setiap komponen dapat berbeda. Komponen tutupan hutan (ITH) dipandang memiliki
peran yang lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya, sehingga diberikan bobot yang
lebih tinggi yaitu 40 persen dari total IKLH. Sedangkan dua komponen yang lain (IPA dan
IPU) dipandang memiliki peran yang seimbang, masing-masing diberi bobot 30 persen dari
total IKLH.
Perubahan lainnya dalam metode penghitungan indeks adalah dengan menentukan
benchmark dari nilai maksimum, minimum, median dan rerata. Guna memperoleh hasil yang
lebih baik, pendekatan statistik juga dimanfaatkan untuk melakukan penapisan pencilan
(outlier) dan konsistensi deret waktu (time series consistency).
Selain perubahan metode penghitungan indeks, juga dilakukan perubahan pada
parameter yang dipergunakan dalam menyusun IKLH. Pada penghitungan indeks
pencemaran udara (IPU), selain menggunakan parameter NO2 dan SO2, juga ditambahkan
parameter NOx dan SOx. Untuk indeks pencemaran air (IPA), selain menggunakan
parameter TSS, DO dan COD, juga ditambahkan parameter BOD, total fosfat, fecal coli dan
total coliform.
Dalam metode IKLH 2012, selain penghitungan nilai IKLH, juga ditetapkan klasifikasi
kualitas lingkungan hidup ke dalam 7 (tujuh) kategori. Kategori paling rendah adalah
waspada, dan yang paling tinggi adalah kategori unggul. Penentuan klasifikasi dilakukan
sebagai berikut :
Unggul; IKLH > 90
Sangat baik; 82 < IKLH ≤ 90
Baik; 74 < IKLH ≤ 82
Cukup; 66 ≤ IKLH ≤ 74
Kurang; 58 ≤ IKLH < 66
Sangat Kurang; 50 ≤ IKLH < 58
Waspada; IKLH < 50
28
Sebagai perbandingan, metode yang dipergunakan dalam penghitungan IKLH tahun
2012 juga diimplementasikan untuk data tahun 2011. Dengan demikian, metode baru ini
dapat memperbandingkan kondisi pada tahun 2012 dengan kondisi pada tahun 2011. Hasil
lengkap penghitungan IKLH tersebut ditampilkan pada Tabel 16.
Tabel 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012
Provinsi
2011
2012
IPU IPA ITH IKLH Pering-
kat IPU IPA ITH IKLH
Pering-
kat
Aceh 90.96 53.68 75.06 73.42 11
89.65 57.00 74.15 73.65 9
Sumatera Utara 89.60 60.19 47.20 63.82 20
85.50 62.00 46.06 62.67 20
Sumatera Barat 91.05 61.90 67.24 72.78 12
86.02 59.29 65.36 69.74 13
Riau 67.07 55.60 60.49 61.00 23
51.91 54.30 54.81 53.79 28
Jambi 90.33 58.86 51.85 65.50 19
84.49 55.00 48.29 61.16 21
Sumatera Selatan 89.34 60.80 34.52 58.85 26
84.06 55.00 34.68 55.59 27
Bengkulu 87.80 64.10 59.14 69.23 15
87.26 57.40 56.54 66.01 16
Lampung 87.23 62.96 30.19 57.13 28
78.44 53.29 31.15 51.98 30
Bangka Belitung 89.52 61.85 39.44 61.19 22
83.93 59.50 37.85 58.17 25
Kepulauan Riau 90.82 60.88 57.23 68.40 16
89.46 61.00 56.09 67.57 14
DKI Jakarta* 47.21 35.65 30.11 36.90 33
44.31 41.05 27.99 36.80 33
Jawa Barat 71.03 46.27 38.24 50.49 31
65.53 43.75 38.49 48.18 31
Jawa Tengah 81.93 48.23 48.27 58.36 27
79.27 52.40 53.66 60.96 22
DI. Yogyakarta 78.51 42.03 34.15 49.82 32
83.65 49.04 33.59 53.25 29
Jawa Timur 73.84 57.94 51.72 60.22 25
68.88 57.09 52.93 58.96 24
Banten 74.05 51.04 37.92 52.70 30
53.13 53.50 36.95 46.77 32
Bali 80.15 56.15 39.32 56.62 29
83.64 61.50 38.87 59.09 23
Nusa Tenggara Barat 89.51 47.25 62.83 66.16 18
86.20 54.00 61.74 66.76 15
Nusa Tenggara Timur 92.19 56.73 57.31 67.60 17
87.84 54.82 56.70 65.48 18
Kalimantan Barat 95.38 63.63 64.87 73.65 10
89.19 63.25 61.89 70.49 12
Kalimantan Tengah 93.26 54.69 76.58 75.02 8
88.48 54.25 71.00 71.22 11
Kalimantan Selatan 88.69 54.32 45.15 60.96 24
77.46 53.26 43.80 56.74 26
Kalimantan Timur 87.35 50.88 82.36 74.42 9
83.94 51.39 83.69 74.07 7
Sulawesi Utara 90.77 55.95 63.54 69.43 14
84.90 53.85 60.00 65.62 17
Sulawesi Tengah 89.07 59.93 91.11 81.15 3
87.96 70.00 88.16 82.65 1
Sulawesi Selatan 91.42 53.44 50.21 63.54 21
87.98 61.00 50.05 64.72 19
Sulawesi Tenggara 90.00 54.75 87.08 78.26 4
84.65 56.50 85.83 76.68 5
Gorontalo 95.06 53.50 83.83 78.10 5
89.17 52.19 81.22 74.90 6
Sulawesi Barat 88.89 55.84 69.75 71.32 13
87.03 60.84 67.86 71.51 10
Maluku 95.01 48.93 81.45 75.76 7
89.71 48.67 81.02 73.92 8
Maluku Utara** 96.94 54.63 80.98 77.86 6
96.94 57.57 79.71 78.24 4
Papua Barat 92.51 64.50 92.54 84.12 1
91.03 54.50 92.52 80.67 3
Papua 91.07 49.43 98.91 81.72 2
90.19 55.00 96.97 82.34 2
Nasional
65.50
64.21
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup
Catatan : IPU (Indeks Pencemaran Udara); IPA (Indeks Pencemaran Air); ITH (Indeks Tutupan Hutan)
29
Tabel 15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian Lingkungan Hidup)
Keterangan IKL (BPS) IKLH (Kemen LH)
2007 2008 2009-2011 2012
Metode yang diadopsi
Virginia Environmental Quality Index (VEQI)
Virginia Environmental Quality Index (VEQI)
Environmental Performance Index (EPI), EPI Virginia Environmental Quality Index (VEQI) VEQI Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Indeks Kualitas Lingkungan (IKL)
Ruang Lingkup Perhitungan
Ibukota Provinsi Ibukota Provinsi Provinsi Provinsi Nasional Nasional
Parameter yang digunakan
Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara Kualitas Udara 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi NOx 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi SO2 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi CO 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi NO2 Kualitas Air (IKA) Kualitas Air (IKA) 3. Konsentrasi SOx 1. Nilai maks BOD 1. Nilai maks BOD 4. Konsentrasi NOx 2. Nilai maks COD 2. Nilai maks COD 3. Nilai maks DO 3. Nilai maks DO Kualitas Air Sungai Kualitas Air Sungai 4. Nilai maks NO3 (Nitrat) 1. Nilai maks TSS 1. Nilai maks TSS 5. Nilai maks NH3 (Amoniak) 2. Nilai maks DO 2. Nilai maks DO 6. Nilai maks pH 3. Nilai maks COD 3. Nilai maks COD 7. Nilai maks TDS 4. Nilai maks BOD 8. Nilai maks TSS 5. Nilai maks Total Fosfat 9. Nilai maks SO4 6. Nilai maks Fecal Coli Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp)
Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) 7. Nilai maks Total Coliform
1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut
1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2.
2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL) dan lainnya
2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL)
Populasi (IKP) 1. Kepadatan penduduk per Ha
Tutupan Hutan Tutupan Hutan 1. Luas Hutan Primer 1. Luas Hutan Primer 2. Luas Hutan Sekunder 2. Luas Hutan Sekunder
Pembobotan antar Matra
Sama Berbeda (IKU=18; IKA=13; IKTp=10; IKP=10; Total=51)
Sama Berbeda (IPU=30%; IPA=30%; ITH=40%; Total=100%)
30
3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP)
Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) yang dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa akhir
(final product) yang memberikan gambaran mengenai struktur perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB/PDRB konvensional ini dikenal dengan
PDB/PDRB cokelat (Brown GDP). PDRB belum memasukkan aspek penipisan sumber daya
alam (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi). Sumber daya alam yang dieksploitasi
dan menjadi input pada kegiatan ekonomi tidak pernah dihitung nilai penyusutannya.
Demikian juga dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang memerlukan biaya
pemulihan dan pemeliharaan tidak pernah dihitung sebagai biaya yang seharusnya
mengurangi besaran pendapatan
Buku sistem pendapatan nasional, SNA 2008, membahas tentang Sistem Pendapatan
Nasional yang diperluas dengan memasukkan komponen penipisan sumber daya alam dengan
degradasi lingkungan. Integrasi PDRB dengan penipisan sumber daya alam dan degradasi
lingkungan dapat dilakukan dengan cara membuat neraca terpisah sebagai bagian dari sistem
pendapatan nasional. Neraca terpisah atau neraca satelit ini merupakan suatu neraca yang
mengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakan
Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Dengan
kata lain, SEEA merupakan perluasan sistem pendapatan nasional yang memasukkan unsur
sumber daya alam dan lingkungan. Aktivitas ekonomi membutuhkan sumber daya alam
sebagai aset produksi, sehingga di dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa tidak
saja menggunakan aset buatan manusia yang berpengaruh (misalnya mesin-mesin, gedung,
alat transpor) tetapi juga aset alam (sumber daya mineral, sumber biota alam seperti hutan,
ikan, udara, air, tanah).
Dalam SEEA, aset alam dibagi atas dua bagian yaitu aset alam yang bersifat ekonomis
dan yang tidak bersifat ekonomis. Aset alam ekonomis adalah aset alam yang keberadaannya
telah bisa dikontrol oleh pemiliknya. Hak kepemilikan ini biasanya telah diatur secara resmi
oleh pemerintah, dikuasai oleh para pelaku ekonomi. Aset alam ekonomis apabila diputuskan
untuk diolah dalam proses produksi akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Contoh
aset alam ekonomis adalah barang-barang fisik dan mineral (minyak bumi, gas alam, batu
bara, timah dan tembaga) yang siap ditambang, hutan yang dikuasai oleh pengusaha hutan
(HPH), tanah pertanian, air dalam reservoir, ikan dalam kolam, tambak, danau dan laut yang
dikuasai.
Selanjutnya aset alam yang non ekonomis atau disebut juga sebagai aset lingkungan
adalah semua aset yang keberadaannya di luar kontrol manusia, atau terjadi secara alamiah.
Contoh aset ini adalah barang-barang mineral yang sudah diidentifikasi keberadaannya
namun secara ekonomis belum dapat ditambang, ikan dalam laut lepas, flora dan fauna liar,
kayu pada areal hutan dan sebagainya. Aset lingkungan ini biasanya tidak diketahui besaran
stoknya, namun setiap pengambilan barang-barang alam ini untuk kemudian diolah, akan
mengurangi stok di alam atau menipiskan persediaan cadangan dan sekaligus akan membawa
dampak pada penurunan kualitas lingkungan sehubungan dengan kegiatan pengambilannya.
Pemakaian aset alam ekonomis dan aset lingkungan untuk kegiatan produksi dalam
SEEA diperhitungkan sebagai komponen penyusutan seperti halnya penyusutan pada barang
modal tetap. Dalam PDB konvensional, penyusutan ini tidak diperhitungkan sehingga
pemakaian aset alam tersebut tidak mempengaruhi besaran PDB. Apabila penyusutan sumber
daya alam dan degradasi lingkungan yang timbul karena kegiatan ekonomi diperhitungkan
sebagai unsur pengurang dari PDB konvensional (Brown GDP), akan menjadi
Environmentally Adjusted Domestic Product atau EDP (Green GDP) atau Produk Domestik
31
Regional Neto 2 (PDRN 2). Konsep inilah kemudian yang diadopsi oleh BPS dalam
menghitung PDB Hijau (Green GDP).
Secara nasional, BPS telah melakukan studi untuk menghitung Produk Domestik Neto
2 (PDN2). Sebelum menghitung PDN2, terlebih dahulu dihitung PDN1, yaitu Produk
Domestik Neto dikurangi dengan deplesi sumber daya alam. Sumber daya alam yang dicakup
dalam studi meliputi sumber daya hutan dan sumber daya mineral yang terdiri dari minyak
bumi, gas alam, batubara, bauksit, timah, emas, perak dan bijih nikel. Selanjutnya dihitung
nilai PDN2, yaitu PDN1 dikurangi dengan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan
dalam studi dihitung dengan pendekatan adanya emisi gas rumah kaca (GRK) yang
merupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Gas rumah kaca yang dihitung hanya
meliputi CO2 dan CH4 yang meliputi deforestasi, kerusakan hutan dan kebakaran hutan,
kerusakan lahan sawah (CH4), penggunaan pupuk urea (CO2), konsumsi bensin, solar,
minyak tanah, LPG, batubara dan briket batubara untuk industri dan transportasi (BPS, 2012).
Namun studi yang dilakukan oleh BPS ini hanya mengukur PDB hijau pada level nasional,
belum mendistribusikannya pada level provinsi.
Tabel 16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau
Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010
PDB 2,774,281 3,339,217 3,950,893 4,948,688 5,603,871 6,422,918
PDN 2,635,567 3,172,256 3,753,349 4,701,254 5,323,678 6,101,772
PDN1 2,463,798 3,001,153 3,563,258 4,445,758 5,096,554 5,853,609
PDN2 2,387,578 2,938,687 3,512,469 4,376,022 4,958,581 5,786,735
(PDN / PDB) x 100 95.00 95.00 95.00 95.00 95.00 95.00
(PDN1 / PDB) x 100 88.81 89.88 90.19 89.84 90.95 91.14
(PDN2 / PDB) x 100 86.06 88.01 88.90 88.43 88.48 90.10
Sumber : BPS (2012)
Pada kajian yang lain, Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Dannish
International Development Agency (DANIDA), melalui kegiatan Environmental Support
Programme (ESP), juga telah memulai proyek percontohan untuk memperkirakan PDRB
hijau di tingkat lokal sebagai langkah awal untuk melaksanakan perhitungan PDRB dan PDB
Hijau. Kegiatan diawali dengan diskusi kelompok terfokus / FGD yang diadakan di Jakarta
dengan melibatkan banyak ahli yang sebelumnya telah terlibat dalam penghitungan PDRB
dan PDB di Indonesia, ahli yang memiliki latar belakang dan pengalaman dalam pengelolaan
lingkungan, dan staf pemerintah dari berbagai kementrian yang telah menggunakan angka
PDRB/PDB.
Untuk tujuan uji coba metodologi, pemerintah daerah yang dipilih adalah Provinsi Bali
dengan alasan adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung uji coba, ketersediaan
data, dan tersedianya sumber daya manusia yang telah mengikuti pelatihan tentang cara
membuat PDRB hijau. Dari proyek percontohan, pelajaran, ide-ide dan metode yang telah
diperoleh dan dapat diterapkan dalam menciptakan PDRB Hijau Provinsi Bali dan PDB Hijau
Indonesia.
Kerangka umum yang dipergunakan dalam studi DANIDA-KLH hampir sama dengan
yang dipergunakan oleh BPS, dimana PDRB/PDB Hijau setara dengan nilai PDRB/PDB
konvensional dikurangi nilai total deplesi sumber daya alam dan degradasi jasa lingkungan.
Perbedaan yang paling mendasar antara penghitungan adalah penempatan komponen
penyusutan modal buatan (depresiasi modal buatan). BPS memasukkan komponen ini
sebagai pengurang PDB/PDRB konvensional, sedangkan DANIDA-KLH melakukan yang
32
sebaliknya. Tidak dimasukkannya komponen ini didasari oleh alasan bahwa PDRB/PDB
Hijau berkaitan dengan produk domestik bruto (PDB), bukan produk nasional bruto (national
domestic product/NDP). Dengan demikian, secara matematis, perhitungan PDB/PDRB Hijau
yang dilakukan oleh DANIDA-KLH merupakan hasil pengurangan antara PDRB
Konvensional dengan deplesi sumber daya tak terbarukan (mineral dan batubara), deplesi
sumber daya terbarukan (kehutanan dan perikanan) dan degradasi lingkungan.
Dalam studi kasus di Provinsi Bali, nilai CGRDP Provinsi Bali diperoleh dari publikasi
yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Perhitungan penipisan/deplesi
sumber daya tak terbarukan (pertambangan dan produk penggalian seperti batu, pasir dan
kerikil)akan diperoleh dengan mengalikan volume fisik produk di ekstraksi dengan masing-
masing harga per unit atau rente ekonomi, sedangkan menipisnya sumber daya alam
terbarukan (kayu, ikan dan air) dapat ditemukan dengan mengalikan total komoditas sumber
daya yang di ekstrak dengan harga satuannya masing-masing.
Degradasi lingkungan dibedakan menjadi degradasi sumber daya lahan, sumber daya
air, dan sumber daya udara. Degradasi lahan terkait dengan adanya kegiatan penggalian,
konversi lahan dan penurunan kesuburan tanah yang menyebabkan turunnya daya dukung
lingkungan. Dalam penghitungan PDRB Hijau Provinsi Bali, degradasi lahan dihitung dari
lahan kritis yang disebabkan oleh galian C (penggalian pasir dan kerikil), penurunan
kesuburan lahan pertanian akibat eksploitasi pertanian, serta penurunan fungsi lingkungan
akibat adanya konversi lahan. Degradasi sumber daya udara dihitung berdasarkan penurunan
kualitas udara karena CO2 yang berasal konsumsi bahan bakar untuk kendaraan bermotor
(transportasi) dan konsumsi rumah tangga. Komponen lain yang menjadi bagian dari
penghitungan degradasi sumber daya udara adalah yang berasal dari gas methan (CH4) yang
berasal dari pertanian dan peternakan. Degradasi lingkungan juga memperhitungkan
penurunan kualitas air dan hutan yang terdegradasi akibat illegal logging.
Tabel 17 PDRB Hijau Bali, 2010
No. Item Juta Rupiah
1. PDRB konvensional (Brown GRDP) 66.690.598,00 2. Deplesi Sumber Daya Alam 1.776.471,00 3. PDRB Semi Hijau (Semi Green GRDP) 64.914.127,00 4. Degradasi lingkungan 1.251.732,02 5. PDRB Hijau (Green GRDP) 63.662.394,98 6. Penduduk Pertengahan tahun 2010 3.890.757 7. PDRB Hijau per Kapita 16,36 8. PDRB Konvensional per Kapita 17,14
Sumber : DANIDA 2012
Metode yang dipergunakan untuk menghitung PDRB Hijau di Provinsi Bali ini
kemudian diterapkan untuk menghitung PDB hijau pada tingkat nasional. Namun upaya
untuk melakukan hal ini masih menghadapi banyak kesulitan. Isu tentang ketersediaan data di
seluruh wilayah dan lintas sektor menjadi kendala utama. Data yang dibutuhkan tidak selalu
tersedia sesuai kebutuhan studi PDB Hijau. Selain deplesi produk yang sama mungkin
memiliki satuan pengukuran yang berbeda,juga banyak data yang tidak tersedia karena
penelitian terkait dengan penilaian terhadap pencemaran lingkungan dan degradasi sangat
terbatas.
33
Tabel 18 PDB Hijau Indonesia, 2009
No. Item (Miliar Rupiah) 1 PDB Konvensional (Brown GDP) 5.606.203,40 2 Deplesi Sumber Daya Alam 1.066.079,94 3 PDB Semi Hijau (Semi Green GDP) 4.540.123,46
Degradasi Lingkungan:
4 Degradasi Udara dari hutan (CO2) 12.235,13 5 Degradasi Udara dari kendaraan (CO2) 6.800,03 6 Degradasi Udara dari rumah tangga (CO2) Na 7 Degradasi Udara dari pertanian padi (CH4) Na 8 Degradasi Udara dari peternakan (CH4) Na 9 PDB Hijau (Green GDP) 4.521.088,30
Sumber : DANIDA 2012
3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah
Hingga saat ini penghitungan IKLH hanya dilakukan oleh Kementrian Lingkungan
Hidup dengan analisis sampai pada tingkat provinsi. Tidak adanya aturan yang mengikat
tentang penghitungan IKLH di daerah mempengaruhi belum munculnya inisiasi daerah
(terutama kabupaten/kota) untuk mengukur kualitas lingkungannya dengan menggunakan
IKLH. Ukuran kualitas lingkungan daerah hanya menggunakan indikator yang tercantum
dalam Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Sebagian besar indikator penghitungan
IKLH tercantum dalam SLHD, sehingga pengembangan SLHD akan membantu
menghasilkan IKLH daerah.
Karena belum adanya penghitungan IKLH di daerah, maka peluang, tantangan dan
kendala dalam penerapan IKLH di daerah digali melalui diskusi dengan beberapa stakeholder
yang terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan beberapa institusi
adat. Diskusi dilakukan di beberapa daerah yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil diskusi
tersebut dapat disarikan beberapa tantangan dan kendala implementasi IKLH di daerah,
sebagai berikut:
Ketersediaan data penunjang penghitungan IKLH masih sangat terbatas. Keterbatasan
data terutama dialami untuk indikator yang terkait dengan biomassa dan tutupan hutan.
Data kependudukan dan demografi dalam penghitungan SLHD juga mengalami persoalan
lag data, dimana data yang tersedia adalah data tahun sebelumnya, bukan tahun berjalan.
Data yang tersedia juga masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Keterbatasan kuantitas dan
kualitas data ini terkait dengan minimnya peralatan, pendanaan dan sumberdaya manusia
yang menangani urusan lingkungan. Proses mutasi pegawai yang tidak linier
mengakibatkan pegawai yang sudah memiliki keahlian di bidang lingkungan dimutasikan
ke unit kerja yang tidak berhubungan dengan lingkungan.
Keterbatasan pembiayaan oleh daerah dalam hal pengukuran kualitas lingkungan dapat
disiasati dengan menggandeng pihak swasta, terutama yang terkait dengan kegiatan
usahanya, seperti pengukuran emisi udara dari cerobong asap dan pengukuran kualitas air
sungai tempat buangan limbah.
Indikator lingkungan yang dihasilkan selama ini pemanfaatannya masih belum optimal di
dalam mengukur capaian pembangunan daerah. Implementasi IKLH di daerah akan
sangat bermanfaat apabila indikator ini disebutkan secara mengikat di dalam dokumen
perencanaan nasional, sehingga pada akhirnya juga akan mengikat pada perencanaan
pembangunan daerah. Kalimantan Timur, dalam menyusun dokumen
34
perencanaannya(RPJMD) ke depan, sudah mulai memasukkan indikator lingkungan
sebagai salah satu target capaian pembangunan daerah. Internalisasi indikator lingkungan
dalam dokumen perencanaan (RPJMD) sudah dilakukan oleh Kota Surabaya. Indikator
yang dimasukkan meliputi indikator kualitas air, udara, ruang terbuka hijau serta
pengelolaan sampah.
Tabel 19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya
Indikator Kondisi
Awal
Kondisi
Akhir
Persentase Luas RTH yang berfungsi Optimal terhadap keseluruhan
luas RTH yang ada 16.13% 51, 88 %
Cakupan layanan Kebersihan 163/175 175/175 Jumlah sampah yang dikelola di TPA 1241.8 1180.94 Rata – rata jumlah sampah yang diangkut dari TPS (m3) 3625.07 3447.41 Kualitas air limbah industri
BOD 54.64% 76% COD 55.67% 70% TSS 47.66% 72%
Kualitas air limbah domestik BOD 21.45% 52% TSS 25.02% 54%
Kualitas air limbah RS BOD 21.71% 70% COD 37.62% 70% TSS 28.14% 72%
Kualitas air limbah hotel BOD 22.58% 56% COD 19.05% 46% TSS 18.06% 50%
Kualitas udara emisi di kawasan Industry SO2 60.93% 85% NO2 42.83% 85%
Untuk melengkapi IKLH, diperoleh pula peluang untuk menghitung PDRB hijau sampai
level provinsi/kabupaten/kota. Namun mengingat penghitungan PDRB hijau
membutuhkan ketersediaan data yang cukup kompleks, maka penghitungan PDRB hijau
dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau cukup
menghitung depresiasi dan deplesi sumberdaya alam saja, tanpa menghitung komponen
degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan dapat dilakukan pada tahapan
berikutnya. Provinsi Bali merupakan satu provinsi yang telah melakukan penghitungan
PDRB hijau, untuk lingkup provinsi. Penghitungan PDRB provinsi Bali lebih mudah
dibandingkan daerah lain, karena kondisi geografisnya yang berada dalam satu pulau,
sehingga dapat meminimalkan potensi permasalahan dalam penghitungan, misalnya
permasalahan penghitungan pencemaran air sungai yang menjadi sulit jika sungai tersebut
melintasi lebih dari satu provinsi. Akan sulit menentukan apakah degradasi lingkungan
menjadi tanggung jawab pemerintah yang ada di hulu atau di hilirnya. Berbeda dengan
penghitungan PDRB hijau yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup-
35
DANIDA, penghitungan PDRB hijau provinsi Bali tidak saja menampilkan penghitungan
secara total, tetapi juga sampai pada sektoral, walau masih terbatas pada penghitungan
PDRB semi hijau. Untuk PDRB hijau penghitungan masih dilakukan secara total.
Tabel 20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010
Lapangan Usaha PDRB
Konvensional
2010 Deplesi
PDRB Semi
Hijau 2010
Kesimpulan
1. Pertanian 12,097,348.42 1,216,569.20 10,880,779.23 Terdeplesi
2. Penggalian 466,486.73 44,581.34 421,905.39 Terdeplesi
3. Industri 6,120,473.78 11,305.73 6,109,168.05 Terdeplesi
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,263,308.88 43,487.22 1,219,821.66 Terdeplesi
5. Bangunan 3,033,986.71 3,442.49 3,030,544.22 Terdeplesi
6. Perdagangan, Hotel & Restoran 20,016,062.16 23,941.81 19,992,120.35 Terdeplesi
7. Angkutan 9,628,024.27 10,582.27 9,617,442.00 Terdeplesi
8. Keuangan 4,548,558.14 2,313.81 4,546,244.33 Terdeplesi
9. Jasa-Jasa 9,516,349.04 10,142.69 9,506,206.35 Terdeplesi
Total 66,690,598.13 1,366,366.55 65,324,231.58 Terdeplesi Sumber: BPS Provinsi Bali
Penghitungan IKLH saat ini lebih banyak menggunakan indikator fisik yang sulit
dipahami oleh orang awam, seperti CO, BOD, COD, TSS, dst. Untuk pengembangan
IKLH, diusulkan pula untuk memasukkan indikator yang lebih mudah dipahami oleh
orang awam, seperti bencana alam (banjir, longsor), tingkat kesehatan masyarakat, atau
memanfaatkan hasil Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH) yang oleh BPS
setiap tahun.
Diperoleh pula usulan agar penghitungan IKLH daerah tetap dilakukan oleh pusat,terkait
kekhawatiran adanya bias penghitungan. Atau, jika akan dihitung oleh daerah, perlu
adanya penetapan instansi apa yang berwenang serta dibutuhkan transfer ilmu melalui
pelatihan-pelatihan.
Terdapat beberapa kegiatan terkait aspek lingkungan telah dilakukan di daerah, seperti
pemberian label sekolah dengan nama yang terkait dengan lingkungan (misal sekolah
mangrove dan sekolah hutan lindung di Balikpapan), pelaksanaan program penilaian
peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (PROPER) dan
pelaksanaan car free day. Namun belum ada ukuran atau indikator yang melihat capaian
dari kegiatan-kegiatan tersebut.
36
IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019
4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019
Dalam kurun waktu 5 - 6 tahun ke depan dimana RPJM tahap 3 dimulai, penduduk
Indonesia diprediksi akan mencapai hampir 260 juta jiwa. Jumlah penduduk yang demikian
besar ini tentu saja akan menimbulkan tantangan tersendiri terhadap pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan. Tantangan yang dihadapi Indonesia bukan saja menyangkut
pemenuhan kebutuhan pangan namun juga bagaimana menjaga keseimbangan sumber daya
alam dan lingkungan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Percepatan pembangunan melalui berbagai program seperti MP3EI selain tentu akan
memberikan dampak pengganda terhadap ekonomi, namun juga akan memberikan tekanan
terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang tidak kecil. Dampak ini akan terasa pula
pada tahapan pembangunan berikutnya yakni pada periode 2015-2019. Dengan demikian
dalam RPJM mendatang indikator lingkungan hidup juga menghadapi situasi yang lebih
kompleks dibanding dengan indikator yang telah dikembangkan selama ini. Untuk
mengantisipasi berbagai skenario tersebut pengembangan indikator yang relevan dengan
prediksi ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh dinamika ekonomi dan penduduk perlu
menjadi perhatian khusus. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran terkait dengan
relevansi indikator pembangunan lingkungan dalam RPJM 2015-2019.
1. Indikator hulu-hilir.
Sebagaimana dikemukakan pada Bab 3, hasil temuan di daerah menunjukkan bahwa
indikator lingkungan hidup yang ada saat ini sulit untuk diimplementasikan di daerah dan
juga sulit dipahami bagi masyarakat awal dan para pengambil kebijakan di tingkat daerah
karena menggunakan variabel-variabel yang bersifat teknis. Sebagian indikator ini lebih
mengukur “dampak” ketimbang “penyebab”. Dengan kata lain indikator saat ini lebih
bias ke arah degradasi atau kerusakan lingkungan daripada indikator pencegah kerusakan
lingkungan. Dalam RPJM mendatang indikator yang terkait dengan aspek “hulu” patut
menjadi pertimbangan karena dari sinilah ongkos kerusakan lingkungan dapat ditekan dan
relevansi kebijakan lingkungan baik di pusat dan di daerah dapat diukur. Salah satu
indikator “hulu” yang saat masih belum menjadi perhatian adalah kebijakan dan regulasi
yang terkait dengan lingkungan. Meski sampai saat ini belum ada satupun studi yang
mengukur dampak regulasi lingkungan ini terhadap indeks lingkungan hidup, variabel ini
sebenarnya sangat relevan dalam mengukur kinerja pembangunan lingkungan hidup baik
pada tingkat pusat dan daerah. Daerah dengan tingkat pencemaran sungai yang rendah
bukan saja karena BOD atau COD yang rendah, namun mungkin saja disebabkan adanya
regulasi yang mengatur dengan ketat pembuangan sampai di sungai, penyediaan anggaran
kebersihan yang memadai, kebijakan yang terkait dengan tata ruang dan badan sungai
atau kebijakan yang mengubah mindset masyarakat akan pentingnya sungai sebagai
sumber kehidupan bukan sebagai tempat pembuangan sampah. Dalam IKLH yang
digunakan saat ini variabel ini tidak terukur sama sekali sehingga tidak memberikan
umpan balik kepada daerah maupun pusat akan pentingnya kebijakan dan regulasi yang
terkait dengan lingkungan.
2. Bio-kapasitas.
Aspek kedua yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan IPLH pada RPJM
mendatang adalah terkait dengan bio-kapasitas. Bio-kapasitas dapat menjadi indikator
pencegahan lingkungan karena akan mengukur kemampuan daya dukung suatu
37
lingkungan. Aspek bio-kapasitas selama ini memang belum menjadi pertimbangan dalam
penentuan indikator lingkungan, namun di masa mendatang indikator ini patut menjadi
pertimbangan mengingat akan terjadinya ketidakseimbangan antara ketersediaan lahan
dan kebutuhan lahan baik untuk pangan maupun non pangan.
3. Ecological Footprint (EF).
Aspek lain yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan IPLH adalah jejak
ekologi atau ecological footprint. Saat ini Indonesia belum memperhatikan secara
seksama ecological footprint yang ditimbulkan dari pembangunan, padahal dari sini akan
diketahui apakah pembangunan tersebut mengarah ke efisiensi sumber daya atau tidak.
Penggunaan akan membantu mendorong Indonesia menuju pembangunan yang berbasis
ekonomi hijau. Pertimbangan EF dalam RPJM juga penting mengingat EF bukan saja
memberikan indikator terkait pemanfaatan sumber daya, namun juga akan memberikan
umpan balik bagi evaluasi pembangunan yang dijalankan setiap tahun.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam RPJM mendatang, indeks pembangunan
lingkungan hidup seyogianya dibangun dari tiga indikator dasar yakni terkait dengan unsur
kebijakan lingkungan (environmental policy), unsur pengelolaan lingkungan (environmental
management) dan environmental impact sebagaimana terlihat pada Gambar 4di bawah ini.
Unsur environmental impact saat ini sudah menjadi pertimbangan utama yang diukur dari
dampak terhadap udara dan air serta tutupan hutan, namun kembali bahwa ini hanya
merupakan dampak dari kebijakan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan baik pada
tingkat nasional maupun regional. Memang komponen kebijakan dan pengelolaan lingkungan
sudah tertera dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang secara berkala
diterbitkan oleh KLH selama ini dimana unsur PSIR (Pressure-State-Impact-Response) sudah
secara implisit dibahas di dalamnya. Namun demikian komponen ini belum terintegrasikan di
dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup saat ini. Pertimbangan terhadap komponen
environmental policy dan environmental management akan menggambarkan dinamika
pembangunan yang dijalankan selama periode sebelumnya (pressure) dan dampaknya di
masa kini dan mendatang serta respon kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah.
Gambar 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019
IPLH
Env
Impact
Env
Policy
EnvManage-
mentInput
Process
OutputSektor/LH
Penduduk2015-2019
PertumbuhanEkonomi
IndonesiaHijau Lestari
Dinamika Global
Sektor/KLH
38
4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup
Dengan memperhatikan berbagai aspek terkait dengan indikator lingkungan hidup yang
ada saat ini dan tantangan yang dihadapi dalam RPJM mendatang, maka dapat disampaikan
bahwa penggunaan IKLH dengan pendekatan dan parameter yang ada saat ini untuk
mendukung RPJM mendatang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan indikator
pembangunan yang menyeluruh. Indikator lingkungan yang ada saat ini masih bersifat parsial
dan seolah terlepas dari komponen pembangunan lain yakni aspek ekonomi dan sosial. Untuk
menjembatani defisiensi tersebut maka diperlukan beberapa terobosan yang dapat digunakan
untuk mengembangkan indikator pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan RPJM
mendatang. Beberapa indikator tersebut, termasuk roadmap pengembangannya, diuraikan
berikut ini.
4.2.1. Indikator Mikro: Penyempurnaan IKLH
Defisiensi IKLH dapat direduksi dengan melakukan penyempurnaan pada IKLH.
Penyempurnaan IKLH dapat dilakukan dengan mengubah bobot dan komponen penilaian
media. Pada tahap awal diperlukan penyempurnaan standarisasi pengukuran sehingga
indikator yang dinilai antar daerah menjadi “apple to apple”. Sebagai contoh luas tutupan
hutan di Jakarta 10% bisa saja distandarkan atau disetarakan dengan 30% luas tutupan hutan
di Kalimantan atau Papua. Hal ini disebabkan karena beban dan kondisi geografis yang
berbeda antara Jakarta dengan kedua daerah tersebut. Standarisasi ini juga dilakukan dengan
mempertimbangkan variabel input yang berperan dalam output lingkungan seperti anggaran
dan SDM. Jadi 0,5 % anggaran di Papua mungkin bisa distandarkan dengan 2% di Jakarta
dan sebagainya. Saat ini untuk IKLH 2012, meski tidak dilakukan standarisasi secara
metodologis, perbedaan tutupan hutan antara Jakarta dan daerah lain memang dibedakan
melalui Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk Jakarta telah digunakan RTH sebagai proxy
untuk tutupan hutan.
Standarisasi dalam penilaian kualitas air sungai juga dibutuhkan, terutama jika sungai
tersebut melewati lebih dari satu daerah. Kerusakan sungai yang sudah terjadi di daerah hulu,
tentunya akan berdampak langsung pada kondisi daerah yang berada di hilir, sehingga
dibutuhkan standarisasi penilaian. Misalnya dengan menggunakan selisih antara kualitas air
di hulu dan hilir sebagai indikatornya.
Perbaikan lainnya yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan IKLH adalah
melakukan perbaikan sampel. Sampel tentunya harus mampu mewakili kondisi daerah secara
utuh, sehingga penentuan sampel yang proporsional antar daerah akan menjadi diskusi
tersendiri. Penentuan titik sampel harus dilakukan secara objektif dan ditetapkan dengan
mekanisme tertentu yang menjadi kesepakatan bersama. Untuk dapat mewakili kondisi
wilayah, provinsi misalnya, pengukuran kualitas udara tentunya tidak cukup hanya dilakukan
di daerah perkotaan saja dengan mengabaikan daerah yang lain. Keberlanjutan sampel juga
perlu mendapat perhatian, agar keterbandingan antar waktu juga terjaga.
Setelah dilakukan standarisasi, IKLH ini bisa digabung dengan indikator lain yang
terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam (perikanan, kehutanan dan migas) sehingga
dihasilkan indikator yang lebih komprehensif. Dengan demikian IKLH yang baru ini lebih
bisa diterima oleh berbagai pihak ketika terjadi perbedaan yang sifatnya given dan lebih fair
dari sisi bobot penilaian. Oleh karena sudah mempertimbangkan input dan output lingkungan,
maka IKLH yang baru ini dijadikan sebagai indikator kinerja lingkungan. Di beberapa negara
Eropa sistem ini juga sudah diterapkan dan disebut sebagai EPI (Environmental Performance
Indicator)
39
IKLH juga sangat potensial untuk dikembangkan pada tingkat kabupaten/kota. Cikal
bakal dari penghitungan IKLH adalah publikasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)
yang telah rutin disusun oleh pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan IKLH pada tingkat
kabupaten ini tentunya mengikuti penyempurnaan yang dilakukan dalam penyusunan IKLH
di tingkat nasional dan provinsi.
4.2.2. Indikator Makro : PDRB Hijau dan Genuine Saving
Dua indikator makro yang layak dikembangkan dalam kerangka internalisasi kualitas
lingkungan adalah PDRB hijau dan Genuine Saving. Penghitungan PDRB hijau telah banyak
dibahas pada bab sebelumnya, yang pada intinya adalah memasukkan biaya lingkungan
sebagai faktor koreksi terhadap PDRB konvensional, berupa deplesi dan degradasi.
Penghitungan PDRB hijau telah dilakukan tidak hanya oleh institusi di tingkat pusat tetapi
juga di tingkat provinsi, sehingga pengembangan PDRB hijau sebagai indikator makro
menjadi sangat potensial. Permasalahan utama dan yang selalu menjadi persoalan klasik
dalam penyusunan PDRB hijau adalah masih terbatasnya ketersediaan informasi terutama
yang berkaitan dengan deplesi dan degradasi lingkungan. Pengalaman provinsi Bali dalam
menyusun PDRB hijau menunjukkan bahwa penghitungan PDRB hijau menjadi lebih rumit
karena penelitian-penelitian tentang degradasi lingkungan tidak sepenuhnya relevan dengan
konteks daerah. Oleh sebab itu, maka pengembangan penelitian terkait dengan valuasi deplesi
dan degradasi lingkungan akan menjadi langkah awal dalam pengembangan PDRB hijau.
Indikator makro lain yang juga sering dijadikan ukuran pembangunan berkelanjutan
adalah Genuine Saving, yang merupakan nilai tabungan domestik (gross domestic saving)
dikurangi dengan depresiasi modal buatan (man made capital) dan sumber daya alam
(natural capital). Dalam perjalanannya, indikator ini terus mengalami perkembangan,
misalnya dengan masuknya modal manusia (human capital) sebagai salah satu faktor koreksi.
Berbeda dengan modal buatan dan sumber daya alam, modal manusia dihitung sebagai
apresiasi, bukan depresiasi. Faktor lain yang juga kemudian dimasukkan dalam penghitungan
genuine saving adalah perubahan teknologi. Genuine saving sendiri secara sederhana
memberikan gambaran tentang kesejahteraan secara total, dimana nilai negatif menunjukkan
terjadinya penurunan kesejahteraan.
Penghitungan genuine saving di Indonesia selama ini masih belum dilakukan secara
rutin oleh institusi pemerintah, namun lebih bersifat penelitian ad hoc atau bahkan penelitian
parsial yang dilakukan oleh para peneliti yang memiliki minat besar dalam mengukur capaian
pembangunan berkelanjutan. Peneliti seperti Pearce dan Atkinson, Vincent dan Castaneda,
Hamilton serta Alisjahbana dan Yusuf telah banyak berkontribusi dalam penghitungan
indikator tersebut. Gustami (2012) bahkan telah menyajikan nilai genuine saving sampai
level provinsi (Gambar 5). Faktor koreksi dari gunuine saving provinsi ini meliputi depresiasi
modal buatan, deplesi sumber daya alam tidak terbarukan (minyak, gas dan komoditi
pertambangan), deplesi sumber daya alam terbarukan (sumber daya hutan) dan degradasi
lingkungan (hanya polusi CO2).
40
Sumber : Gustami, 2012
Gambar 5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005
Permasalahan dalam pengembangan genuine saving tidak jauh berbeda dengan PDRB
hijau, yaitu terkait dengan terbatasnya penelitian yang menilai deplesi dan degradasi
lingkungan. Ditambah lagi dengan banyaknya pilihan metode yang dapat dipergunakan
dalam melakukan valuasi degradasi lingkungan, yang tentunya juga akan berimplikasi pada
perbedaan hasil penghitungan. Dengan demikian pengayaan penelitian saja menjadi tidak
cukup, tetapi harus dibarengi dengan diskusi serius tentang metode valuasi yang akan
menjadi kesepakatan bersama.
Pengayaan penelitian tentang deplesi dan degradasi juga diarahkan untuk melakukan
penambahan komponen yang masuk ke dalam penghitungan deplesi dan degradasi.
Penghitungan deplesi yang dilakukan selama ini masih terbatas pada beberapa sumber
mineral dan hutan. Deplesi sumber daya bidang kelautan relatif belum tersentuh.
Penghitungan degradasi lingkungan untuk saat ini juga masih sangat terbatas pada CO2 dan
CH4. Komponen yang lain juga masih belum tersentuh dalam penghitungan PDRB hijau
yang telah dilakukan.
PDRB hijau masih memungkinkan untuk dihitung hingga tingkat provinsi. Pada tahap
awal, penghitungan PDRB hijau provinsi dapat saja diperoleh melalui down-scaling PDRB
hijau nasional. Perbaikan dalam penghitungan dapat dilakukan secara bertahap, hingga
akhirnya dapat menghitung PDRB hijau provinsi yang mandiri seperti PDRB konvensional
yang ada selama ini. Berbeda dengan IKLH, pengembangan dalam penghitungan PDRB hijau
nampaknya hanya mungkin dilakukan sampai level provinsi. Keterbatasan informasi pada
tingkat kabupaten/kota menjadi kendala utama dalam pengembangan indikator ini pada
tingkat yang lebih rendah. Ditambah lagi dengan cukup rumitnya penghitungan PDRB hijau,
yang tentunya harus ditunjang pula oleh sumber daya manusia yang memadai. Hal ini juga
menjadi kendala dalam penghitungan PDRB hijau pada tingkat kabupaten/kota.
4.2.3. Indikator Meso : IPH, Green Rating dan IPB
a. Indeks Pembangunan Hijau (IPH)
Indeks Pembangunan Hijau (IPH) dapat dijadikan salah satu alternatif untuk dijadikan
sebagai indeks komposit pembangunan lingkungan hidup. Indeks pembangunan hijau akan
menggabungkan beberapa indikator ekonomi, sosial dan lingkungan dalam bentuk indeks
komposit seperti PDRB cokelat, PDRB hijau, indikator yang berkaitan dengan kesehatan dan
komponen lingkungan hidup. IPH misalnya sudah digunakan di beberapa negara seperti
41
China sebagai alat evaluasi pembangunan perkotaan yang ramah dengan lingkungan. Indeks
Pembangunan Hijau (Green Development Index) China bahkan sudah dikembangkan pada
tingkat perkotaan. Secara prinsip Indeks Pembangunan Hijau mengakomodasi kebijakan
pembangunan khususnya kebijakan yang berkait dengan lingkungan yang akan menjadi
bobot bagi penentuan indeks pembangunan di suatu daerah.
Secara sederhana prinsip Indeks Pembangunan Hijau adalah menggabungkan
komponen indikator pembangunan seperti PDRB dan PDRB hijau dengan indikator ekonomi
dan kebijakan yang mendukungnya. Indikator ekonomi yang diarahkan adalah yang berkaitan
dengan ekonomi hijau seperti PDRB hijau, Genuine Saving (GS) dan salah satu indikator
pendukung yang berkaitan dengan lingkungan seperti kesehatan. Dasar pemikiran dari
indikator ini adalah bahwa lingkungan yang baik akan menunjukkan tingkat kesehatan yang
baik dan sebaliknya.
Di sisi lain Genuine Saving merupakan salah satu indikator keberlanjutan lemah yang
relatif mudah diukur secara makro karena ketersediaan data makro di BPS. Namun tentu saja
harus didukung dengan data deplesi dari sumber daya alam dan pengeluaran untuk CO2.
Di sisi lingkungan, indikator yang berkaitan dengan jejak ekologis, bio-kapasitas
merupakan indikator yang sangat baik jika diterapkan dalam menentukan indeks lingkungan.
Namun jika data ini belum tersedia maka bisa didukung dengan indikator efisiensi sumber
daya seperti intensitas energi, maupun degradasi lingkungan dapat digunakan untuk
mendukung Pembangunan Hijau. Kedua komponen tersebut kemudian didukung dengan
kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan. Perlu pula dicatat bahwa kearifan lokal sangat
berperan penting dalam menentukan pembangunan yang hijau, oleh karenanya, kearifan lokal
dapat dijadikan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap indeks pembangunan hijau.
Gambar 6 di bawah ini menunjukkan kerangka makro dari Indeks Pembangunan Hijau yang
dapat dikembangkan untuk RPJM mendatang.
Gambar 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau
Indeks Pembangunan Hijau (IPH) merupakan indeks yang paling ideal dalam
mengukur pembangunan yang mengintegrasikan perhatian pada lingkungan ke dalam
IPH
Footprint
Bio-capacity
Efisiensi SDA
Degradasi
LIngkungan
Kebijakan Lingkungan
Kearifan Lokal
Makro Indikator
Mikro Indikator
Status Media
42
pembangunan. Namun penyusunan IPH membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena
komponen penyusunnya belum seluruhnya tersedia, terutama yang terkait dengan kearifan
lokal dan beberapa komponen lingkungan, seperti bio-capacity. Oleh karena itu, penyusunan
IPH mungkin tidak akan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.
b. Green rating (Peringkat Hijau)
Alternatif lain untuk mengembangkan indikator pembangunan lingkungan adalah
dengan menerapkan sistem Green Rating bagi setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi. Green
rating pada prinsipnya dikembangkan dari penilaian indikator lingkungan berbasis input dan
output. Input lingkungan seperti kebijakan, ketersediaan anggaran, ketersediaan sumber daya
manusia dan kapasitas kelembagaan lingkungan dapat diukur dan dinilai sebagai komponen
input untuk melakukan rating. Pada komponen output beberapa indikator yang terkait dengan
kinerja lingkungan seperti kondisi kualitas udara, air, degradasi lingkungan serta hal-hal yang
terkait dengan penegakan hukum dapat dibobot untuk digunakan indikator output komposit
yang akan menentukan rating hijau dari daerah tersebut. Termasuk ke dalam komponen
penghitungan green rating adalah anugerah bidang lingkungan yang diberikan kepada daerah,
seperti :
a. Adipura, merupakan penghargaan bagi kota/kabupaten yang memiliki komitmen
dalam mewujudkan kota bersih dan hijau (clean and green city)
b. Adiwiyata, merupakan penghargaan yang bertujuan mendorong terciptanya
pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.
Diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju
lingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif
c. Raksayanita, merupakan penghargaan dalam rangka Menuju Indonesia Hijau, guna
meningkatkan kualitas lingkungan dan membuka peluang bagi masyarakat untuk
berperan aktif dalam pelestarian sumber daya alam dan pengendalian kerusakan
lingkungan.
d. Penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) yaitu penghargaan terhadap
partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim untuk mendukung pencapaian target nasional pengurangan emisi gas
rumah kaca (GRK), diberikan pada wilayah setingkat desa/kampung
e. Langit Biru, diberikan kepada wilayah kota yang mampu mengendalikan pencemaran
emisi sumber bergerak melalui implementasi kebijakan secara terkoordinasi dan
terpadu
f. Anugerah Ozon merupakan penghargaan kepada pihak-pihak yang berperan aktif
memberikan kontribusi dalam upaya perlindungan lapisan ozon, termasuk pemerintah
daerah
Secara umum tahapan dalam penentuan green rating dapat dilihat pada Gambar 7 di
bawah ini.
Gambar 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating
Assessment Hasil
skoring Kalibrasi
Kriteria
bobot
ii0
Green
rating
Pra-assessment
43
Dalam green rating penentuan kinerja pembangunan lingkungan hidup didasarkan pada
kombinasi penilaian kuantitatif dan kualitatif. Setiap komponen diberikan bobot sesuai
dengan beban dan tingkat kepentingan dari indikator tersebut relatif terhadap output yang
akan dihasilkan. Penentuan green rating kemudian dapat didasarkan pada skala yang
kemudian dijabarkan dalam rating hijau seperti A, AB dan seterusnya seperti terlihat pada
tabel 21 di bawah ini.
Tabel 21 Skala Green Rating
Skor Rating FLAG
3.76 – 4.0 A Hijau
3.5- 3.75 AB Hijau
3.1-3.4 B Semi Hijau
2.5-3.0 BC Semi hijau
2.00-2.4 C Kuning
<2.0 D Merah
Prinsip penentuan green rating dengan FLAG ini sudah banyak diuji coba di Eropa
melalui Dashboard Sustainability Indeks dengan Flag hijau, kuning dan merah. Dashbord
rating ini juga kini tengah dikembangkan secara intensif oleh Kementrian Lingkungan Hidup
dengan unit analisis pada tingkat provinsi dengan indikator yang lebih luas dari indikator
kualitas lingkungan hidup Indonesia.
Dalam Dashboard Sustainability Index, kinerja lingkungan disajikan seperti halnya
dashboard dalam kendaraan bermotor (mobil) di mana indikator lingkungan hidup disajikan
secara lebih dinamis melalui indikator merah kuning dan hijau. Variabel lingkungan dan
ekonomi disajikan dalam bentuk data tabulasi yang kemudian diberikan target apakah akan
dimaksimumkan atau diminimumkan. Misalkan PDB adalah target maksimum sementara
pencemaran adalah target minimum. Setiap indikator kemudian diberi pembobotan dan
dilakukan perhitungan melalui algoritma tertentu sehingga dihasilkan rating hijau, semi hijau,
kuning dan merah.
c. Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB)
Mengacu kepada tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan
lingkungan), maka ukuran pembangunan tentunya menjadi lebih komprehensif jika mampu
menggambarkan capaian pembangunan pada keseluruhan dimensi. Indikator pembangunan
yang dipergunakan saat ini masih bersifat parsial antar dimensi pembangunan. Pembangunan
ekonomi dipantau dengan menggunakan capaian nilai PDRB, dan indikator turunannya
seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Indikator pembangunan lainnya
adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan gabungan antara indikator
kesehatan, pendidikan dan daya beli. Dua indikator pertama dalam IPM merupakan indikator
dimensi sosial sedangkan indikator terakhir adalah indikator ekonomi. Artinya IPM juga
masih belum menggambarkan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan dengan absennya
indikator lingkungan. Perkembangan terakhir dalam indikator pembangunan Indonesia adalah
munculnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang hanya fokus dalam penilaian
kualitas lingkungan.
Penggabungan ketiga indikator pembangunan tersebut menjadi satu indeks komposit
akan menjadi pilihan yang cukup rasional, mengingat indikator yang menjadi input dalam
penghitungannya sudah tersedia. Indeks komposit ini dapat mengukur capaian pembangunan
berkelanjutan secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang ekonomi, sosial maupun
lingkungan, sehingga layak untuk disebut sebagai Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB).
Langkah pertama dalam penyusunan IPB adalah menstandarisasikan seluruh indikator
44
menjadi bentuk indeks, khususnya untuk PDRB, karena dua indikator yang lain sudah
berbentuk indeks (IPM dan IKLH). Agar memiliki keterbandingan antar wilayah, nilai PDRB
yang dipergunakan adalah PDRB perkapita tanpa Migas. Penyusunan indeks PDRB perkapita
tanpa Migas diawali dengan menetapkan nilai maksimum dan minimum yang akan dicapai.
Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam menentukan nilai maksimum adalah dengan
menetapkan target capaian PDRB perkapita tanpa Migas dalam dokumen perencanaan,
seperti RPJMN, dan menjadikannya sebagai acuan nilai maksimum, sementara nilai
minimum dapat dilakukan dengan menggunakan nilai terendah dari PDRB perkapita tanpa
migas. Bagi daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa Migasnya sama atau berada di atas nilai
maksimum maka nilai indeks PDRB-nya adalah 100. Sedangkan daerah yang nilai PDRB
perkapita tanpa migasnya berada di bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan
indeksnya dengan menggunakan metode standarisasi maksimum minimum. Metode ini
menghitung indeks dengan menggunakan perbandingan antara selisih nilai aktual dengan
nilai minimum terhadap selisih nilai maksimum dengan minimum. Setelah seluruh indikator
penyusun berbentuk indeks maka penghitungan IPB dapat dilakukan.
Isu utama dalam penyusunan IPB adalah pada saat penentuan bobot, baik antar
indikator, antar wilayah dan antar waktu. Metode pembobotan yang paling moderat adalah
dengan memberikan bobot yang sama antar indikator, antar wilayah dan antar waktu.
Pembobotan dengan metode ini mengindikasikan penekanan yang sama untuk seluruh
dimensi pembangunan berkelanjutan pada seluruh wilayah. Pembobotan berbeda antar
indikator sangat dimungkinkan jika fokus pembangunan berbeda antar dimensi. Begitu pula
perbedaan pembobotan antar wilayah (regionalisasi) dan antar waktu. Perbedaan pembobotan
antar wilayah dan antar waktu menggambarkan adanya dinamika pembangunan antar waktu
dan wilayah. Dengan cara ini, pembobotan indikator di wilayah Jawa dapat berbeda dengan
wilayah Papua, begitu pula dengan pembobotan pada tahun awal perencanaan dapat berbeda
dengan tahun akhir dari perencanaan.
Gambar 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan
Penghitungan IPB sebagai indikator pembangunan komposit yang sudah
menggabungkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adalah yang paling memungkinkan
untuk saat ini, mengingat keseluruhan komponen penghitungannya telah tersedia.
Pengembangan ke depan tentunya sangat terkait dengan penyempurnaan IKLH, sebagai salah
satu komponen IPB. Dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, sudah relatif lebih dahulu
berkembang, sehingga penghitungannya juga menjadi lebih baik.
Dimensi Ekonomi
Pembobotan (Indikator,
Wilayah, Waktu)
Dimensi Sosial
Dimensi Lingkungan
PDRB
Indeks PDRB
Perkapita
IPM IKLH
IPB
45
Sebagai gambaran, berikut akan diberikan contoh penghitungan IPB dengan
menggunakan data pada tahun 2009 hingga 2011. Penghitungan untuk tahun 2012 belum
dimungkinkan, karena hingga laporan ini disusun nilai Indeks Pembangunan Manusia tahun
2012 belum selesai dihitung. Tahapan awal dalam menghitung IPB adalah melakukan
penghitungan indeks PDRB perkapita. Dalam contoh penghitungan ini, nilai indeks PDRB
dihasilkan dari nilai PDRB perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000
dengan didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, nilai PDRB perkapita atas dasar harga
kontan menggambarkan perkembangan kesejahteraan secara makro yang sudah
menghilangkan dampak inflasi. Kedua, RPJMN 2009-2014 secara khusus telah menetapkan
PDRB perkapita atas dasar harga konstan sebagai salah satu target capaian pembangunan.
Ketiga, PDRB perkapita tanpa migas dapat dipergunakan sebagai indikator perbandingan
antar wilayah, karena hasil migas tidak secara langsung dapat dinikmati oleh daerah
penghasilnya. Sedangkan nilai maksimum dan minimum yang dipergunakan dalam
menyusun indeks PDRB ditetapkan sebagai berikut :
Nilai maksimum ditentukan dari target PDRB perkapita atas dasar harga konstan
tahun 2000 pada tahun 2014 (akhir perencanaan) pada RPJMN, sebesar 12.058.000
rupiah
Nilai minimum ditentukan dari garis kemiskinan daerah perkotaan tahun 2000, yaitu
kondisi yang setara dengan tahun dasar PDRB atas dasar harga kontan, sebesar 91.632
rupiah per bulan atau 1.099.584 rupiah per tahun
Penghitungan indeks PDRB perkapita, merupakan normalisasi nilai PDRB perkapita
tanpa migas atas dasar harga kontan dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum
yang telah ditetapkan di atas. Sesuai dengan uraian sebelumnya, maka daerah yang nilai
PDRB perkapita tanpa migasnya sama atau berada di atas nilai maksimum maka nilai indeks
PDRB perkapitanya adalah 100, seperti Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta dan
Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya berada di
bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan indeksnya dengan menggunakan metode
standarisasi maksimum minimum. Hasil penghitungan ditampilkan pada Tabel 22.
Tahapan selanjutnya dalam penghitungan IPB adalah menentukan pembobotan
indikator. Dalam contoh penghitungan ini pembobotan indikator dilakukan dengan cara yang
paling moderat, yaitu dengan memberikan pembobotan yang sama pada seluruh unsur
penyusun IPB. Unsur penyusun IPB sendiri pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua hal,
pertama dari sisi indikator penyusunnya (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) dan yang kedua dari
sisi dimensi pembangunannya (ekonomi, sosial dan lingkungan). Oleh karena itu, maka
penghitungan IPB dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yaitu:
Skenario 1 : Pembobotan yang sama antar indikator penyusun. Pada skenario ini,
indikator penyusun (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) masing-masing diberikan bobot
yang sama, yaitu sepertiga (1/3).
Skenario 2 : Pembobotan yang sama antar dimensi pembangunan berkelanjutan
(ekonomi, sosial dan lingkungan). Pada skenario ini fokusnya bukan pada indikator
penyusunnya, melainkan pada dimensi pembangunan yang ada pada masing-masing
indikator. PDRB dan IKLH masing-masing mewakili dimensi ekonomi dan
lingkungan, sedangkan IPM mewakili dua dimensi sekaligus, sosial dan ekonomi.
Agar bobot antar dimensi sama, maka masing-masing indikator diberikan bobot yang
berbeda, seperenam (1/6) untuk Indeks PDRB, seperdua(1/2) untuk IPM dan sepertiga
(1/3) untuk IKLH.
Hasil penghitungan IPB serta peringkat masing-masing provinsi dengan menggunakan kedua
skenario tersebut ditampilkan pada Tabel 23 dan 24.
46
Tabel 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011
Provinsi Indeks PDRB Perkapita
2009 2010 2011 11. Nanggroe Aceh Darussalam 47.06 48.75 51.11 12. Sumatera Utara 68.51 72.53 77.48 13. Sumatera Barat 59.73 62.84 66.77 14. Riau 67.13 69.65 73.22 15. Jambi 34.22 36.00 38.23 16. Sumatera Selatan 48.43 51.33 55.40 17. Bengkulu 32.33 34.12 36.43 18. Lampung 33.37 35.37 37.94 19. Bangka Belitung 67.38 69.42 72.43 20. Kepulauan Riau 100.00 100.00 100.00 31. DKI Jakarta 100.00 100.00 100.00 32. Jawa Barat 53.32 56.06 59.60 33. Jawa Tengah 36.85 39.61 42.62 34. Yogyakarta 43.31 45.30 47.87 35. Jawa Timur 68.14 72.62 78.38 36. Banten 63.31 65.56 68.67 51. Bali 55.12 57.39 60.63 52. Nusa Tenggara Barat 28.57 30.51 28.98 53. Nusa Tenggara Timur 13.59 14.30 15.28 61. Kalimantan Barat 50.03 52.64 56.12 62. Kalimantan Tengah 63.86 67.20 71.40 63. Kalimantan Selatan 63.05 65.63 69.24 64. Kalimantan Timur 100.00 100.00 100.00 71. Sulawesi Utara 59.42 63.40 68.25 72. Sulawesi Tengah 46.06 49.74 54.34 73. Sulawesi Selatan 44.06 47.77 51.81 74. Sulawesi Tenggara 34.74 37.37 40.71 75. Gorontalo 14.20 15.44 16.94 76. Sulawesi Barat 24.12 27.14 30.16 81. Maluku 14.22 15.06 15.98 82. Maluku Utara 15.20 16.52 17.69 91. Papua Barat 57.48 60.54 65.54 94. Papua 68.19 61.62 54.45
Nasional 65.89 69.57 74.05
47
Tabel 23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1)
Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB
2009 2010 2011 2009 2010 2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 63.61 65.92 63.34 13 14 20
12. Sumatera Utara 68.26 77.96 74.78 8 2 5
13. Sumatera Barat 73.40 72.69 72.68 4 8 8
14. Riau 64.79 66.86 68.66 11 11 13
15. Jambi 60.57 57.19 58.82 21 27 27
16. Sumatera Selatan 63.45 66.66 68.77 15 12 12
17. Bengkulu 61.49 67.98 68.87 17 10 11
18. Lampung 59.31 64.58 65.48 23 16 18
19. Bangka Belitung 64.03 69.07 70.26 12 9 9
20. Kepulauan Riau 75.40 76.64 77.34 2 3 2
31. DKI Jakarta 73.03 73.14 73.09 5 6 6
32. Jawa Barat 58.22 60.60 61.08 24 26 25
33. Jawa Tengah 54.78 54.19 55.13 28 31 29
34. Yogyakarta 57.35 64.33 64.36 25 18 19
35. Jawa Timur 66.07 64.58 68.35 10 17 14
36. Banten 61.41 61.67 62.87 18 23 21
51. Bali 70.71 76.44 72.92 6 4 7
52. Nusa Tenggara Barat 55.64 61.95 59.84 26 22 26
53. Nusa Tenggara Timur 48.93 44.09 47.35 32 33 33
61. Kalimantan Barat 63.58 66.06 66.68 14 13 16
62. Kalimantan Tengah 61.31 64.07 70.15 19 19 10
63. Kalimantan Selatan 60.20 64.60 66.66 22 15 17
64. Kalimantan Timur 81.25 79.26 82.32 1 1 1
71. Sulawesi Utara 74.44 74.56 76.46 3 5 3
72. Sulawesi Tengah 61.76 72.82 74.83 16 7 4
73. Sulawesi Selatan 60.87 60.76 62.20 20 25 24
74. Sulawesi Tenggara 54.93 56.53 54.68 27 28 30
75. Gorontalo
61.22 62.22 - 24 23
76. Sulawesi Barat 53.64 53.22 56.04 31 32 28
81. Maluku 54.66 55.40 53.65 29 29 31
82. Maluku Utara 54.21 55.09 53.42 30 30 32
91. Papua Barat 67.12 63.08 67.90 9 20 15
94. Papua 69.34 62.04 62.77 7 21 22
Nasional 65.81 67.64 69.02
48
Tabel 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2)
Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB
2009 2010 2011 2009 2010 2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 67.66 69.74 66.84 11 12 21
12. Sumatera Utara 69.14 78.24 74.31 7 2 6
13. Sumatera Barat 75.69 74.52 73.93 3 6 7
14. Riau 66.20 67.93 69.21 16 17 15
15. Jambi 66.94 63.31 64.66 13 26 24
16. Sumatera Selatan 67.48 70.26 71.78 12 11 9
17. Bengkulu 68.19 74.44 75.03 10 7 4
18. Lampung 65.57 70.59 71.15 18 9 11
19. Bangka Belitung 64.89 69.64 70.42 20 13 13
20. Kepulauan Riau 71.15 72.49 73.30 5 8 8
31. DKI Jakarta 69.26 69.40 69.42 6 15 14
32. Jawa Barat 61.27 63.30 63.27 27 27 26
33. Jawa Tengah 60.66 59.67 60.18 31 32 31
34. Yogyakarta 62.67 69.41 69.10 24 14 16
35. Jawa Timur 66.56 64.41 67.32 15 24 19
36. Banten 62.53 62.49 63.25 25 29 27
51. Bali 73.45 78.92 74.96 4 1 5
52. Nusa Tenggara Barat 61.65 67.73 66.04 26 18 22
53. Nusa Tenggara Timur 57.77 52.92 56.09 32 33 33
61. Kalimantan Barat 66.71 68.81 68.94 14 16 17
62. Kalimantan Tengah 63.06 65.31 70.76 23 19 12
63. Kalimantan Selatan 61.24 65.31 66.86 28 20 20
64. Kalimantan Timur 77.10 75.19 78.36 2 5 1
71. Sulawesi Utara 77.15 76.67 77.84 1 3 2
72. Sulawesi Tengah 65.86 76.39 77.71 17 4 3
73. Sulawesi Selatan 65.35 64.74 65.59 19 22 23
74. Sulawesi Tenggara 60.73 61.97 59.66 30 30 32
75. Gorontalo
70.36 71.20 - 10 10
76. Sulawesi Barat 61.15 60.31 62.70 29 31 29
81. Maluku 64.12 64.79 62.96 21 21 28
82. Maluku Utara 63.12 63.84 62.05 22 25 30
91. Papua Barat 68.97 64.52 68.58 8 23 18
94. Papua 68.73 62.59 64.59 9 28 25
Nasional 66.79 68.09 68.81
Secara nasional, hasil skenario 1 dan skenario 2 relatif menunjukkan tingkat perubahan
yang berbeda. Tingkat perubahan pada skenario 2 lebih landai dibandingkan skenario 1.
Akibatnya, nilai IPB skenario 2 yang lebih tinggi dari skenario 1 pada tahun 2009 menjadi
lebih rendah pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 2009-2011, IPB pada skenario 1 berubah
sebesar 3,21 poin, sedangkan skenario 2 hanya berubah sebesar 2,02 poin. Secara implisit,
kondisi ini menggambarkan bahwa perkembangan bidang ekonomi relatif lebih tinggi
dibandingkan dua bidang yang lain, sosial dan lingkungan.
Nilai IPB yang diperoleh oleh masing-masing provinsi juga menunjukkan perbedaan
yang cukup mencolok. Pada skenario 1, provinsi yang memiliki nilai didominasi oleh daerah
49
yang memiliki keunggulan di bidang ekonomi, seperti Kalimantan Timur dan Kepulauan
Riau. Sedangkan pada skenario 2, provinsi dengan IPB tertinggi bervariasi, seperti Sulawesi
Utara pada tahun 2009, Bali pada tahun 2010 dan Kalimantan Timur pada tahun 2011.
Namun untuk provinsi dengan nilai IPB terendah tetap diduduki oleh Nusa Tenggara Timur.
Walaupun pada skenario 2 nilai IPB provinsi ini sudah terangkat naik, namun masih tetap
tertinggal dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.
Berdasarkan dua skenario di atas nampak bahwa proses pembobotan menjadi hal yang
penting dalam penyusunan IPB, karena dapat memberikan hasil yang sangat berbeda.
Skenario 1 memberikan bobot yang relatif besar pada dimensi ekonomi, sehingga daerah-
daerah yang ekonominya maju (tergambar dari Indeks PDRB perkapita) akan berpeluang
menjadi daerah yang memiliki IPB tinggi. Sedangkan pembobotan yang seimbang antar
dimensi pembangunan pada skenario 2, memberikan peluang pada daerah yang tidak terlalu
maju dari sisi ekonomi, namun mampu membangun dimensi yang lain (sosial dan
lingkungan), untuk menjadi daerah dengan IPB yang tinggi. Selain pembobotan, hal lain yang
lebih penting adalah validitas dan reliabilitas dari indikator penyusun IPB itu sendiri.
Perhatian khusus dalam penyempurnaan IKLH menjadi hal yang sangat penting, mengingat
dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, relatif sudah lebih baik. Munculnya provinsi
Kalimantan Timur sebagai daerah yang memiliki IPB tertinggi, baik pada skenario 1 dan 2,
tentunya patut menjadi catatan, mengingat kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah ini
juga cukup tinggi. Diduga persoalan ini muncul karena belum sempurnanya penghitungan
IKLH yang telah dilakukan saat ini.
Perbandingan hasil penghitungan IPB dengan menggunakan kedua skenario tersebut
menunjukkan bahwa nilai IPB pada skenario 1 lebih bervariasi dibandingkan dengan skenario
2. Pencapaian IPB dengan menggunakan skenario 1 memiliki nilai tengah (median) dan tren
peningkatan yang lebih tinggi dibanding skenario 2. Namun jika dibandingkan dengan nilai
IPB nasional, median IPB skenario 1 juga memiliki selisih yang lebih besar dibandingkan
skenario 2, artinya IPB skenario 2 memiliki sebaran yang lebih simetris (normal)
dibandingkan dengan skenario 1. Didasari oleh pertimbangan tersebut, maka penghitungan
IPB dengan menggunakan skenario 2 lebih direkomendasikan daripada skenario 1. Skenario
2 memberikan porsi yang seimbang antara ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil
penghitungan pun menunjukkan sebaran yang relatif lebih homogen dan simetris.
Tabel 25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2
Summary Skenario 1 Skenario 2
2009 2010 2011 2009 2010 2011
IPB Nasional 65.81 67.64 69.02 66.79 68.09 68.81
Median 62.39 64.07 66.10 65.72 67.93 68.58
Nilai Minimum 48.93 44.09 47.35 57.77 52.92 56.09
Nilai Maksimum 81.25 79.26 82.32 77.15 78.92 78.36
Range 32.31 35.17 34.98 19.38 26.00 22.27
PDRB Perkapita tanpa migas memang cukup baik untuk dipergunakan sebagai proksi
perbandingan kemajuan ekonomi antar wilayah. Pengelolaan migas pada umumnya tidak
banyak melibatkan masyarakat lokal, sehingga efek langsungnya tidak terlalu besar. Sehingga
tidak jarang daerah yang memiliki kategori PDRB tinggi, namun dominasi sektor migas,
memiliki tingkat kemajuan wilayah yang relatif sama dengan daerah yang PDRB-nya berada
dalam kategori sedang bahkan rendah. Efek sumber daya migas lebih dominan dirasakan
dalam konteks penerimaan keuangan daerah melalui mekanisme bagi hasil. Namun
50
penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan mengabaikan
peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung perekonomian bagi sebagian daerah.
Oleh karena itu, sebagai bahan perbandingan, dalam kajian ini juga akan dilakukan
penghitungan IPB dengan menggunakan PDRB perkapita dengan memasukkan sektor migas.
Tabel 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas
(Menggunakan Skenario 2)
Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB
2009 2010 2011 2009 2010 2011
11. Nanggroe Aceh Darussalam 69.26 71.10 68.16 9 11 19
12. Sumatera Utara 69.23 78.33 74.40 11 2 7
13. Sumatera Barat 75.69 74.52 73.93 3 6 9
14. Riau 71.68 72.99 73.68 6 9 10
15. Jambi 67.74 64.19 65.72 14 25 23
16. Sumatera Selatan 70.26 73.02 74.52 8 8 6
17. Bengkulu 68.19 74.44 75.03 13 7 4
18. Lampung 65.65 70.66 71.23 18 13 12
19. Bangka Belitung 65.10 69.85 70.63 20 15 15
20. Kepulauan Riau 71.15 72.49 73.30 7 10 11
31. DKI Jakarta 69.26 69.40 69.42 10 17 16
32. Jawa Barat 61.59 63.62 63.57 27 27 26
33. Jawa Tengah 61.15 60.18 60.70 29 32 31
34. Yogyakarta 62.67 69.41 69.10 24 16 17
35. Jawa Timur 66.61 64.48 67.39 16 24 20
36. Banten 62.53 62.49 63.25 25 29 27
51. Bali 73.45 78.92 74.96 4 1 5
52. Nusa Tenggara Barat 61.65 67.73 66.04 26 19 22
53. Nusa Tenggara Timur 57.77 52.92 56.09 32 33 33
61. Kalimantan Barat 66.71 68.81 68.94 15 18 18
62. Kalimantan Tengah 63.06 65.31 70.76 23 21 14
63. Kalimantan Selatan 61.44 65.51 67.04 28 20 21
64. Kalimantan Timur 77.10 75.19 78.36 2 5 1
71. Sulawesi Utara 77.17 76.69 77.87 1 3 3
72. Sulawesi Tengah 66.02 76.55 77.88 17 4 2
73. Sulawesi Selatan 65.37 64.76 65.61 19 23 24
74. Sulawesi Tenggara 60.73 61.97 59.66 31 30 32
75. Gorontalo - 70.36 71.20 0 14 13
76. Sulawesi Barat 61.15 60.31 62.70 30 31 29
81. Maluku 64.13 64.81 62.98 21 22 28
82. Maluku Utara 63.12 63.84 62.05 22 26 30
91. Papua Barat 72.77 71.10 74.33 5 12 8
94. Papua 68.73 62.59 64.59 12 28 25
Nasional 67.71 68.99 69.71
Dengan memperhatikan beberapa catatan tentang keunggulan penghitungan IPB
Skenario 2, maka penghitungan IPB dengan PDRB perkapita migas juga dilakukan
menggunakan skenario ini. Dampak langsung dengan memasukkan sektor migas adalah
meningkatnya nilai indeks PDRB yang pada akhirnya juga meningkatkan nilai IPB. Hasilnya,
51
IPB dengan menggunakan PDRB perkapita migas lebih tinggi dibandingkan IPB dengan
PDRB perkapita tanpa migas. Namun karena kontribusi migas dalam PDB nasional tidak
terlalu besar dan bobot dari indeks PDRB hanya seperenam, maka perbedaan antara kedua
nilai IPB ini hanya berkisar sebesar satu poin saja. Namun di beberapa daerah penghasil
migas, seperti Provinsi Riau dan Papua Barat, perbedaannya cukup tinggi, mencapai 5 hingga
6 poin.
Gambar 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010)
Penggunaan PDRB dengan migas juga berdampak pada peringkat IPB antar provinsi.
Dengan naiknya nilai IPB daerah-daerah penghasil migas, maka peringkat daerah-daerah
tersebut juga ikut terdongkrak. Provinsi Riau dan Irian Barat peringkatnya bahkan meningkat
10 angka lebih baik. Sebaliknya, terjadi penurunan peringkat bagi daerah-daerah yang bukan
penghasil migas.
Gambar 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas
(2010)
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
11.
Nan
ggro
e A
ceh
Dar
uss
alam
12.
Su
mat
era
Uta
ra
13.
Su
mat
era
Bar
at
14
. Ria
u
15
. Jam
bi
16.
Su
mat
era
Sela
tan
17
. Ben
gku
lu
18
. Lam
pu
ng
19.
Ban
gka
Bel
itu
ng
20.
Kep
ula
uan
Ria
u
31
. DK
I Jak
arta
32
. Jaw
a B
arat
33.
Jaw
a Te
nga
h
34
. Yo
gyak
arta
35
. Jaw
a Ti
mu
r
36
. Ban
ten
51
. Bal
i
52.
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
53.
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
61.
Kal
iman
tan
Bar
at
62.
Kal
iman
tan
Ten
gah
63.
Kal
iman
tan
Se
lata
n
64.
Kal
iman
tan
Tim
ur
71.
Su
law
esi U
tara
72.
Su
law
esi T
en
gah
73.
Su
law
esi S
elat
an
74.
Su
law
esi T
en
ggar
a
75
. Go
ron
talo
76.
Su
law
esi B
arat
81
. Mal
uku
82.
Mal
uku
Uta
ra
91
. Pap
ua
Bar
at
94
. Pap
ua
Nas
ion
al
IPB Tanpa Migas (2010) IPB Dengan Migas (2010)
0
5
10
15
20
25
30
35
11
. Nan
ggro
e A
ceh
Dar
uss
alam
12
. Su
mat
era
Uta
ra
13.
Su
mat
era
Bar
at
14.
Ria
u
15
. Jam
bi
16
. Su
mat
era
Sela
tan
17.
Ben
gku
lu
18.
Lam
pu
ng
19.
Ban
gka
Bel
itu
ng
20.
Kep
ula
uan
Ria
u
31.
DK
I Jak
arta
32
. Jaw
a B
arat
33.
Jaw
a Te
nga
h
34.
Yo
gyak
arta
35.
Jaw
a Ti
mu
r
36.
Ban
ten
51.
Bal
i
52
. Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
53.
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
61.
Kal
iman
tan
Bar
at
62.
Kal
iman
tan
Ten
gah
63
. Kal
iman
tan
Se
lata
n
64.
Kal
iman
tan
Tim
ur
71.
Su
law
esi U
tara
72.
Su
law
esi T
en
gah
73.
Su
law
esi S
elat
an
74
. Su
law
esi T
en
ggar
a
75.
Go
ron
talo
76
. Su
law
esi B
arat
81.
Mal
uku
82
. Mal
uku
Uta
ra
91
. Pap
ua
Bar
at
94.
Pap
ua
Peringkat IPB Tanpa Migas (2010) Peringkat IPB Dengan Migas (2010)
52
Ketiga indikator meso; IPH, Green Rating dan IPB; memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Secara ringkas, tabel berikut menyarikan kelebihan serta
kekurangan ketiga indikator tersebut, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi terkait
dengan implementasinya.
Tabel 27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB
Indikator Kelebihan Kekurangan Catatan
Indeks
Pembangunan
Hijau (IPH)
Mencakup keseluruhan
dimensi (ekonomi,
sosial, lingkungan dan
kelembagaan)
Mengakomodir
kearifan lokal
Sulit untuk
menguantifikasikan
Data tidak seluruhnya
tersedia
Penghitungan relatif sulit
Menjadi prioritas di
akhir tahun
perencanaan.
Direkomendasikan
dilakukan pada
level provinsi untuk
menilai kinerja
pembangunan
berkelanjutan di
tingkat provinsi
Green Rating Mengakomodir isu
kebijakan lingkungan
Penghitungan relatif
mudah
Memungkinkan
penilaian secara
gradasi (seperti
Hijau,semi hijau,
kuning dan cokelat)
sehingga lebih mudah
diterima oleh daerah
Penilaian terkadang
bersifat subjektif
Oleh karena telah banyak
rating yang saat ini sudah
berjalan seperti Adipura,
Adiwiyata dan
sejenisnya, kemungkinan
adanya resistensi untuk
menggabungkan menjadi
satu rating karena
kepentingan yang berbeda
Merupakan
indikator
komplemen
Dapat dijadikan
indikator satelit
pada IKLH atau
SLHI (Status
Lingkungan Hidup
Indonesia)
Indeks
Pembangunan
Berkelanjutan
(IPB)
Merupakan indeks
komposit (ekonomi,
sosial dan lingkungan)
Data relatif tersedia
pada level pusat dan
daerah
Penghitungan relatif
mudah
Mampu
menggambarkan
kinerja pembangunan
berkelanjutan di pusat
dan daerah
Dapat digunakan
sebagai “novelty”
(kebaruan) dalam
mengukur
pembangunan
berkelanjutan di
Indonesia
Sensitif terhadap
pembobotan
Belum ada standarisasi
antar wilayah
Perlu perbaikan
komponen IKLH
Diperlukan target kinerja
ekonomi yang baku yang
menjadi basis perhitungan
indeks PDRB.
Dapat dilakukan
segera
Diperlukan
sosialisasi ke daerah
sehingga ada aspek
penerimaan
(acceptability) dan
tidak menimbulkan
resistensi
53
4.2.4. Roadmap Pengembangan IPLH
Pengembangan beberapa indikator yang telah dibahas sebelumnya tentunya tidak akan
dapat dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dibutuhkan pentahapan yang
jelas dan terarah agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada tahun-tahun awal, kegiatan
lebih ditekankan pada tahapan persiapan dan penghitungan beberapa indikator makro.
Kegiatan pada tahapan persiapan antara lain adalah perubahan/penambahan komponen
lingkungan hidup, perubahan pembobotan dan standarisasi kondisi eksogenous pada IKLH.
Tahapan persiapan lainnya yaitu dilakukannya studi yang komprehensif tentang deplesi dan
degradasi. Sementara indikator yang telah mulai dilakukan penghitungan adalah PDB Hijau
dan Genuine Saving pada tingkat nasional. Penghitungan kedua indikator ini telah bisa
dilakukan pada tahun awal, tetapi tentunya studi-studi tentang deplesi dan degradasi dapat
dijadikan sebagai bahan untuk penyempurnaan kedua indikator ini pada tahun-tahun
berikutnya. Penghitungan indikator yang lebih kompleks baru mulai dilakukan pada tahun ke
empat. Tabel 27 menjabarkan secara lebih detil tahapan yang dibutuhkan dalam
pengembangan IPLH.
Tabel 28 Roadmap Pengembangan IPLH
Kegiatan Tahun
Leading
Sector 2015 2016 2017 2018 2019
1. Perubahan/penambahan komponen
lingkungan hidup dalam IKLH
x KLH
2. Perbaikan sampel IKLH x KLH
3. Perubahan pembobotan IKLH x KLH
4. Standarisasi kondisi eksogenous (geografi)
dan demografi pada IKLH
x KLH
5. Penghitungan IKLH (nasional/provinsi) x x x KLH
6. Pengembangan IKLHD kabupaten x KLH
7. Penghitungan IKLHD kabupaten x KLH
8. Penghitungan PDB Hijau (nasional) x x x x x BPS
9. Penghitungan Genuine Saving (nasional) x x x x x BPS
10. Studi komprehensif tentang deplesi dan
degradasi lingkungan
x x Bappenas-
BPS-KLH
11. Pengembangan PDRB Hijau (provinsi) x x x x BPS
12. PengembanganGenuine Saving (provinsi) x x x x BPS
13. Pengembangan Indeks Pembangunan Hijau x KLH-BPS
14. Penghitungan Green Rating x KLH
15. Penghitungan Indeks Pembangunan
Berkelanjutan (nasional/provinsi)
x x x x x Bappenas
54
4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan
Hidup
Pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup yang mengakomodasi
dinamika pembangunan lima tahun mendatang memang tidak mudah. Berbagai tantangan
akan dihadapi yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Pertama adalah menyangkut ketersediaan data. Masalah ini adalah masalah klasik yang
sebenarnya sudah cukup lama dirasakan untuk mengembangkan indikator yang komprehensif.
Namun demikian tidak semua informasi dan data ini tersedia baik pada tingkat pusat maupun
daerah. Misalnya saja data terkait dengan deplesi sumber daya alam, data ini tidak tersedia
secara mudah di BPS maupun sektor terkait. Demikian juga dengan degradasi lingkungan.
Meski KLH mengeluarkan SLHI setiap tahun, namun sering data yang diperoleh juga belum
mencerminkan kondisi yang sebenarnya di daerah karena data yang tersedia masih bersifat
agregat, belum pada unit kabupaten/kota atau provinsi.
Kedua menyangkut kapasitas kelembagaan di daerah untuk mengembangkan indikator
lingkungan yang komprehensif. Dari hasil FGD di berbagai kota ditemukan bahwa tidak
semua daerah memiliki kapasitas untuk mengembangkan indikator lingkungan seperti PDRB
hijau sekalipun yang lebih sederhana. Masalah ini diperberat pula oleh sistem otonomi daerah
yang sekarang berjalan dimana investasi pada sumber daya manusia yang telah dididik atau
mengikuti pelatihan PDRB hijau misalnya, bisa saja kemudian dimutasi di tempat lain,
sementara penggantinya sama sekali belum bisa memahami esensi PDRB hijau atau aspek
lingkungan secara menyeluruh.
Tantangan ketiga yang akan dihadapi adalah terkait dengan kepentingan dan komitmen
kepala daerah dalam mengembangkan ekonomi hijau secara menyeluruh. Di beberapa daerah
aspek lingkungan belum menjadi prioritas dan akan terkalahkan oleh sektor yang lebih
banyak menghasilkan PAD. Hasil kunjungan di daerah bahkan ada Kota yang kantor BLH
(Badan Lingkungan Hidup) daerahnya “dititipkan” pada perkantoran swasta. Ini
menunjukkan komitmen dan investasi di bidang lingkungan yang rendah yang tentu saja akan
sulit mengembangkan indikator pembangunan yang hijau di masa mendatang.
Tantangan lain yang akan dihadapi adalah menyangkut penyempurnaan metodologi
perhitungan indeks yang komprehensif. Penyempurnaan ini memerlukan investasi
pengetahuan publik dan finansial yang tidak sedikit dan juga memerlukan diskusi yang intens
dengan berbagai sektor. Sebagai contoh pengembangan IKLH oleh Kementrian Lingkungan
Hidup pada masa lalu misalnya banyak dibantu oleh lembaga donor seperti DANIDA. Oleh
karenanya diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat untuk mengembangkan
metodologi ini secara kontinu dan sistematis.
Namun demikian dari berbagai tantangan-tantangan tadi tentu saja dapat dijadikan
peluang bagi daerah dan pusat untuk mulai menyusun kebutuhan data yang sistematik sesuai
dengan kebutuhan pengembangan indikator lingkungan. Dengan demikian akan dihasilkan
efek domino kepada daerah untuk melakukan sistem basis data yang lebih baik.
Pengembangan indikator yang baru juga akan memicu daerah untuk berlomba-lomba
memperoleh rating hijau yang lebih misalnya sehingga akan memicu investasi yang lebih
besar kepada bidang lingkungan hidup. Selain itu pengembangan indikator ini juga akan
memberikan peluang kerja sama yang lebih baik dengan berbagai pihak di daerah seperti
perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya yang akan membantu
meningkatkan kapasitas kelembagaan di daerah.
Secara khusus, pengembangan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) menjadi hal
yang sangat potensial untuk dilakukan, mengingat komponen penyusunnya sudah dikenal
luas, terutama untuk PDRB dan IPM. Tantangannya memang terletak pada IKLH yang
merupakan indikator yang relatif baru dibandingkan dua indikator sebelumnya. Indikator ini
55
masih memerlukan beberapa penyempurnaan agar dapat dipergunakan sebagai indikator yang
mampu mengukur capaian pembangunan lingkungan dan dapat diaplikasikan untuk melihat
keterbandingan antar waktu dan antar wilayah. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka
prasyarat dalam penghitungan IPB paling tidak meliputi hal-hal berikut ini:
a. Tersedianya data yang dibutuhkan dalam penyusunan IPB pada tingkat provinsi hingga
kabupaten. Tidak saja sekedar tersedia, data tersebut tentunya juga harus tersedia
sepanjang waktu (kontinu) dan dapat dipercaya (reliable). Terjaminnya ketersediaan data
sepanjang waktu akan menjadikan IPB sebagai indikator yang dapat menggambarkan
periodisasi pengembangan wilayah. Data yang reliable tentunya akan menjamin
objektivitas dari IPB sendiri, sehingga akan menjadi indikator yang mampu diterima oleh
semua orang.
b. Dibutuhkan kekuatan hukum yang menjadikan IPB sebagai indikator kinerja (key
performace indicator), sehingga IPB tidak hanya sekedar angka tanpa makna.
Penyepakatan IPB sebagai salah satu indikator pembangunan tentunya dapat dituangkan
di dalam dokumen perencanaan makro seperti RPJM, baik di tingkat nasional maupun di
tingkat daerah. Skema insentif-disinsentif tentunya juga dibutuhkan agar IPB dapat
menjadi barometer pembangunan. Tersedianya data PDRB dan IKLH secara rutin setiap
tahun dan dipergunakan sebagai indikator pembangunan daerah, diyakini juga didorong
oleh adanya skema yang mengaitkan kedua data tersebut dengan penghitungan Dana
Alokasi Umum (DAU). Skema seperti ini tentunya juga dapat dilakukan pada IPB,
misalnya dengan juga mendorong IKLH sebagai komponen DAU. Artinya jika data
PDRB, IPM dan IKLH telah tersedia, maka secara tidak langsung sudah menjamin
tersedianya data untuk penghitungan IPB.
c. Penghitungan IPB melibatkan koordinasi lintas institusi, sehingga mekanisme sinergi
kelembagaan sangat dibutuhkan untuk pengembangan IPB. Paling tidak, koordinasi ini
akan melibatkan institusi seperti Bappenas, BPS, Kementrian Lingkungan Hidup, dan
Kementrian Keuangan. Koordinasi memang merupakan bahasa yang gampang diucapkan,
namun sulit untuk dilaksanakan, apalagi jika sudah menyangkut ego sektoral.
56
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari analisis yang telah dilakukan terkait evaluasi dan pengembangan indikator
pembangunan lingkungan hidup, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Indikator lingkungan hidup yang digunakan saat ini meski diakui sebagai “the best
available indicator” yang ada saat ini namun masih dirasakan memiliki defisiensi
karena belum memiliki efek kebijakan pembangunan yang berarti khususnya di
daerah. Dengan kata lain apa implikasi IKLH 60 atau 80 bagi daerah sampai saat ini
belum memberikan efek perubahan.
Sampai saat ini sulit menentukan target dari kinerja lingkungan hidup yang setara
dengan target indikator lain seperti pertumbuhan ekonomi, IPM dan sejenisnya.
Kesulitan ini dirasakan karena output dari LH bersifat multisektor dan melibatkan
berbagai aspek kehidupan.
Dari sisi komponen pembangunan masih dirasakan adanya pembobotan yang terlalu
seragam sehingga unsur fairness dan standarisasi belum menjadi pertimbangan
Di tingkat operasional di daerah, masih dirasakan sulit bagi daerah untuk
mengembangkan indikator lingkungannya sehingga masih mengandalkan penilaian
dari pusat. Namun ini pun menjadi pisau bermata dua karena jika dilakukan di daerah
dikhawatirkan terjadi moral hazard dan ketiadaan independensi
Tantangan pembangunan pada lima tahun mendatang semakin kompleks dan
memerlukan indikator pembangunan yang lebih akomodatif dan komprehensif dengan
mempertimbangkan unsur pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
dampaknya terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan demikian beberapa rekomendasi kebijakan mendasar antara lain adalah
Dalam RPJM mendatang aspek-aspek yang berkaitan dengan tekanan terhadap
lingkungan seperti jejak ekologis (ecological footprint) dan biocapacity hendaknya
dapat dipertimbangkan untuk menjadi bagian dalam penilaian indikator pembangunan
lingkungan
Dalam pelaksanaan memang mungkin ditemukan kesulitan dan hambatan untuk
mengukur indikator di atas, untuk itu mungkin kedua indikator tersebut dapat
digunakan sebagai indikator satelit (pelengkap) bagi laporan IKLH
Mengingat IKLH sudah berjalan cukup lama dan sudah memiliki protokol
perhitungan yang relatif mudah dilakukan, IKLH masih tetap bisa dipertahankan
sebagai indikator lingkungan hidup. Namun demikian penyempurnaan terhadap
variabel dan metode perhitungan IKLH yang ada saat ini harus dilakukan
Penyempurnaan yang krusial adalah terkait dengan penggunaan komponen yang
mudah diinterpretasikan dan informatif. Dengan kata lain skor IKLH harus
memberikan informasi lingkungan yang mudah kepada pengambil kebijakan dan
penjelesan terhadap komponen pembentuk IKLH yang bisa dikaitkan dengan program
pembangunan. Sebagai contoh jika skor IKLH 60, bagaimana skor ini
diinterpretasikan secara mudah dan komponen apa saja yang menyebabkan skor 60
tersebut sehingga intervensi kebijakan (misalnya apakah kualitas udara yang buruk
atau tutupan hutan yang kurang) dapat dilakukan melalui komponen tersebut.
Penyempurnaan IKLH ini menyangkut penggunaan indikator kinerja lingkungan yang
terkait dengan hulu dan hilir atau input proses dan output, atau bisa saja terkait
dengan komponen stock dan flow dari sumber daya alam dan lingkungan.
57
PDRB hijau atau semi hijau masih tetap relevan untuk digunakan karena akan
menunjukkan bagaimana deplesi dan degradasi SDAL berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian diperlukan protokol atau metode baku
terkait dengan perhitungan deplesi dan degradasi (memerlukan teknik valuasi
ekonomi) yang mudah dilakukan dan mudah diinterpretasikan oleh pengambil
kebijakan. Protokol ini juga akan memudahkan daerah untuk mengumpulkan data
untuk menghitung PDRB hijau daerah tersebut.
Mengembangkan indikator yang lebih komprehensif seperti Indeks Pembangunan
Hijau (IPH) dan Green rating atau Dashboard Sustainbility Index (DSI). Oleh karena
memerlukan tahapan yang memerlukan proses pembelajaran, indikator-indikator
tersebut bisa saja sementara ini menjadi indikator komplemen
Indikator yang bersifat “low hanging fruit” atau mudah untuk dilaksanakan sebagai
indikator komposit pembangunan berkelanjutan adalah Indeks Pembangunan
Berkelanjutan (IPB). Indeks ini relatif mudah dilaksanakan dan diinterpretasikan,
namun memerlukan kesepakatan terkait dengan target keluaran indeks ekonomi
seperti target pertumbuhan ekonomi.
Diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan untuk mengembangkan indikator di
daerah sehingga setiap daerah akan memiliki insentif untuk menuju pembangunan
yang lebih berkelanjutan
58
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana dan Yusuf. 2007. Assessing Indonesia's sustainable development: long-run trend,
impact of the crisis, and adjustment during the recovery period. MPRA Paper No. 1736.
February 2007
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2008 (Perbaikan dari
Laporan tahun 2009).Jakarta : BPS
Badan Pusat Statistik. 2012. Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia
2007-2011. Jakarta: BPS
Bappenas. 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: Bappenas
DANIDA. 2012. Methodology Development of Green GDP And Green GRDP For Indonesia.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta :
Gramedia.
Fauzi A. 2007. Economic of Nature’s Non Convexity: Reorientasi Pembangunan Ekonomi
Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia [Orasi Ilmiah]. Disampaikan pada
Orasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 10 November 2007.
Fauzi A. 2009. Rethinking Pembangunan Ekonomi Sumberdaya Alam dan
Lingkungan.Artikel dalam buku Orange Book: Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Editor Rina Oktaviani, dkk. Bogor: IPB Press.
Fauzi A. 2012. Ekonomi Hijau untuk Bumi.Harian Kompas, 7 Juli 2012
Gustami. 2012. Indonesiian Experiience in Developing Sustainable Development Indicator.
Genewa. 6 Desember 2012
Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
Indonesia 2009. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH
Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2011. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH
Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2012. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup
Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH
Leitman.Et. al. 2009.Investing in a More Sustainable Indonesia: Country Environment
Analysis.CEA Series East Asia and Pacific Region.Washington DC: The World Bank
Rustiadi E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009. Perencanaan Pembangunan dan
Pengembangan Wilayah, Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia
World Bank. 2006. Where is the Wealth of Nation? Measuring Capital for 21st
Century.Washington DC: The World Bank.