62
FINAL REPORT Oleh: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si. Disampaikan Kepada Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional Desember 2013 BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019 INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019 INDEKS …perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/153578... · Indeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena

Embed Size (px)

Citation preview

FINAL REPORT

Oleh:

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc.

Alex Oxtavianus, S.Si., M.Si.

Disampaikan Kepada

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional

Desember 2013

BACKGROUND STUDY RPJMN 2015-2019

INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan 2

1.3. Tujuan 3

1.4. Ruang lingkup 4

1.5. Outline laporan 4

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK

LINGKUNGAN 6

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan 6

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan 9

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup 10

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan 12

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 14

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009 15

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan 18

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS 19

3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011) 25

3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012) 27

3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP) 30

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah 33

IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019 36

4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019 36

4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup 38

4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit

Lingkungan Hidup 54

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 56

DAFTAR PUSTAKA 58

iii

DAFTAR TABEL

1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 7 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 8 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH), 2009 - 2011 11 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan 13

5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index

(EPI) 14 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-

2012 15 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015 16

8 Komponen Penyusun IKL 2008 20 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO 22

10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx 22

11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA 23 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah 24 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011 25 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012 28

15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian

Lingkungan Hidup) 29

16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau 31 17 PDRB Hijau Bali, 2010 32 18 PDB Hijau Indonesia, 2009 33

19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya 34

20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010 35 21 Skala Green Rating 43 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011 46

23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1) 47 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2) 48

25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2 49 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas 50

27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB 52 28 Roadmap Pengembangan IPLH 53

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi,

sosial dan lingkungan 3 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study) 5 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 7 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019 37

5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005 40 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau 41 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating 42 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 44 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas

(2010) 51 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan

Migas (2010) 51

1

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pada tahun 2014, Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 akan berakhir

dan Indonesia akan memasuki tahap ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional yakni RPJM 2015-2019 sebagaimana tertuang dalam UU 17/2007. Banyak hal yang

telah dicapai selama dua kali periode pembangunan jangka menengah baik dari sisi ekonomi,

sosial dan lingkungan. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, selama periode 2005 – 2011,

Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif pada kisaran 5

sampai 6.5% per tahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% tersebut,

pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga meningkat hampir dua kali lipat dari Rp

14.991,1 ribu pada tahun 2006 menjadi Rp 30.813,0 ribu pada tahun 2011. Bersamaan

dengan itu, angka pengangguran juga menurun dari 11,2 % pada tahun 2005 menjadi 6,5%

pada tahu 2011. Demikian juga dengan persentase penduduk miskin yang mengalami

penurunan dari 15,9 % pada tahun 2005 menjadi 12,4% pada tahun 2011.

Kemajuan di bidang sosial juga telah banyak dicapai diantaranya Angka Partisipasi

Murni Sekolah dasar yang telah mencapai 91% pada tahun 2011, sementara APM SMP

mencapai 68%. Demikian juga dengan Angka Melek Huruf (AMH) dimana terjadi

peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun 2005. AMH tahun 2011 nasional telah

mencapai 92,81%. Kemajuan di bidang sosial lainnya yang telah dicapai secara signifikan

adalah menurunnya angka kematian bayi dari 68 per 1000 kelahiran di tahun 1991, menurun

menjadi 28,2 kematian per 1000 bayi lahir pada tahun 2006 dan kemudian menurun lagi

menjadi 24,3 per 1000 kelahiran.

Dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan,

mungkin indikator lingkungan yang mengalami tekanan yang berat sebagai akibat dari

tekanan ekonomi dan sosial. Meski ada beberapa kemajuan di bidang pengelolaan

lingkungan hidup dengan upaya-upaya konservasi, seperti pencadangan wilayah konservasi,

penanaman pohon, pengembangan ekonomi hijau dan berbagai upaya penyelamatan

lingkungan lainnya, tekanan terhadap lingkungan hidup masih dirasakan besar selama

beberapa tahun ke belakang. Hal ini dapat dilihat dari indikator bencana alam yang berkaitan

dengan hydrometerological. Selama periode 2002 – 2010 bencana banjir meningkat dari 51

kejadian per tahun pada tahun 2002 menjadi 1016 banjir per tahun pada tahun 2010.

Demikian juga dengan longsor dimana pada tahun 2002 terjadi 48 longsor, pada tahun 2010

terjadi 401 kejadian longsor (BNPB, 2011). Kegiatan pembangunan ekonomi juga mau tidak

mau menyebabkan tekenan terhadap kualitas udara. Kegiatan industri dan tingginya

penggunaan bahan bakar menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas rumah kaca. Jika

pada awal tahun 1990an emisi CO2 masih di bawah 1 ton per kapita, pada tahun 2011, emisi

tersebut telah mencapai 2 ton per kapita.

Dari beberapa contoh indikator pembangunan di atas baik dari sisi ekonomi, sosial dan

lingkungan, meski ada kecenderungan pembangunan yang mengarah kepada perbaikan

seperti indikator ekonomi dan sosial, namun peningkatan taraf hidup ekonomi dan sosial

tersebut sering harus di bayar cukup mahal dengan kerusakan lingkungan dengan banyaknya

bencana alam yang ditimbulkan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mudah memenuhi tiga

pilar pembangunan sekaligus. Hal ini juga menunjukkan apakah Indonesia masih berada di

2

sebelah kiri kurva Kuznet1

atau sedang menuju titik tengah kurva Kuznet dimana

peningkatan pendapat per kapita akan mengurangi kerusakan lingkungan.

1.2.Indeks Pembangunan dan Indeks Lingkungan

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, banyak indikator-indikator

ekonomi dan sosial yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menunjukkan apakah

pembangunan Indonesia sudah berada pada jalur pembangunan berkelanjutan atau belum.

Selama ini untuk mengukur aspek pembangunan ekonomi digunakan pengukuran

konvensional seperti pertumbuhan PDB (Gross Domestic Product atau Produk Domestik

Bruto) sementara untuk mengukur aspek sosial digunakan indeks pembangunan manusia atau

IPM. Beberapa negara seperti Bhutan telah menggunakan indeks komposit dengan tidak

menggunakan PDB dan IPM sebagai ukuran kemajuan pembangunan namun menggunakan

Indeks Kebahagiaan (Gross Happiness Index). Hal ini disebabkan karena banyaknya

kelemahan yang digunakan dalam menggunakan PDB sebagai indikator pembangunan. PDB

sama sekali tidak menghitung deplesi dan degradasi dari sumber daya alam dan lingkungan

sehingga pertumbuhan ekonomi sering dibayar dengan kerusakan lingkungan. Menyadari hal

tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan indeks pembangunan yang

mengakomodasi ketiga aspek pembangunan yakni ekonomi, sosial dan lingkungan

diantaranya ISEW (Index of Sustainable Economic Welfare), MEW (Measurement of

Economic Welfare), Happy Planet Index atau dengan cara mengurangi deplesi dan degradasi

lingkungan ke dalam PDB dengan ukuran Green GDP. Namun demikian sampai saat ini

belum ada kesepakan terkait dengan penggunaan indeks pembangunan tersebut.

Indonesia sendiri sejak tahun 2009 telah mengembangkan indeks kualitas lingkungan

hidup (IKLH) sebagai indeks komplemen pembangunan di Indonesia, meski sejak tahun 2007,

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengambangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL),

khususnya untuk wilayah perkotaan. IKLH sendiri merupakan penyempurnaan dari IKL

sebelumnya dengan unit analisis pada tingkat propinsi. Sejak 2009, Kementrian Lingkungan

Hidup telah secara kontinu merilis IKLH yang meliputi tiga aspek utama yakni kualitas udara,

air dan tutupan hutan.

Salah satu catatan yang mungkin bisa dikemukakan adalah IKLH ini masih merupakan

indeks parsial sehingga masih terlepas dari aspek ekonomi dan sosial sehingga menghasilkan

keragaan yang sering bertentangan dengan indeks lainnya. Sebagaimana terlihat pada

Gambar 1 di bawah ini, data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa provinsi dengan indikator

ekonomi dan IPM yang tinggi seperti DKI cenderung memiliki IKLH yang rendah.

Sebaliknya provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti Nusa Tenggara barat

atau Maluku Utara justru memiliki indeks lingkungan yang tinggi. Hal ini tentu saja akan

menyulitkan para pengambil kebijakan di daerah untuk menjalankan prinsip-prinsip

pembangunan berkelanjutan, karena bukan saja akan mengurangi semangat daerah untuk

memperbaiki lingkungan namun juga menimbulkan kesan bahwa pertumbuhan ekonomi yang

tinggi selalu harus di bayar dengan kualitas yang memburuk.

1Kurva lingkungan Kuzent (Environmental Kuznet Curve atau EKC merupakan kurva yang berbentuk

U terbalik yang menghubungkan antara pendapatan per kapita dengan tingkat kerusakan lingkungan. Pada pendapatn per kapita yang rendah, kerusakan lingkungan cenderung tinggi sampai mencapai titik puncak dimana setelah melewati titik tersebut, dengan pendapatan per kapita yang tinggi kerusakan lingkungan menurun

3

Sumber: Fauzi, 2012

Gambar 1 Ranking provinsi dalam pencapaian aspek pembangunan ekonomi, sosial dan

lingkungan

IKLH sebagai suatu indikator awal mungkin sudah dapat dijadikan sebagai alat ukuran

perkembangan kualitas lingkungan di Indonesia, namun indeks ini memerlukan

penyempurnaan lebih jauh agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Penyempurnaan bukan saja pada aspek metodologi namun juga pada aspek kriteria dan

ukuran yang lebih komprehensif dan konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan

atau prinsip-prinsip ekonomi hijau.

1.3.Tujuan

Dengan melihat beberapa rasionalitas di atas, nampak bahwa adanya “disconnected”

antara aspek pembangunan ekonomi dan sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunan

di Indonesia. IKLH yang selama ini telah menjadi acuan baku juga memiliki banyak

kelemahan untuk menggambarkan secara utuh capaian pembangunan di Indonesia. Oleh

karenanya review secara komprehensif terkait dengan indeks kualitas lingkungan hidup

tersebut sudah saatnya dilakukan untuk menunjang rencana pembangunan jangka menengah

2015-2019. Secara khusus tujuan dari background study ini adalah:

a) Mengevaluasi komponen-komponen IKLH yang telah dikembangkan

b) Mengidentifikasi indikator utama untuk bidang Lingkungan Hidup yang dapat

dipergunakan sebagai indikator/ indeks utama (mengumpulkan data kuantitatif

kualitas lingkungan hidup)

c) Merumuskan Indeks Pembangunan Lingkungan Hidup komprehensif yang dapat

dipergunakan secara nasional

0

5

10

15

20

25

30

35

31

. DK

I Jak

arta

36

. Ban

ten

35

. Jaw

a Ti

mu

r

62

. Kal

iman

tan

Ten

gah

33

. Jaw

a Te

nga

h

53

. Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

32

. Jaw

a B

arat

20

. Kep

ula

uan

Ria

u

14

. Ria

u

63

. Kal

iman

tan

Sel

atan

94

. Pap

ua

91

. Iri

an J

aya

Bar

at

64

. Kal

iman

tan

Tim

ur

74

. Su

law

esi T

engg

ara

15

. Jam

bi

76

. Su

law

esi B

arat

73

. Su

law

esi S

elat

an

19

. Ban

gka

Bel

itu

ng

34

. Yo

gyak

arta

16

. Su

mat

era

Sela

tan

61

. Kal

iman

tan

Bar

at

11

. Nan

ggro

e A

ceh

Dar

uss

alam

82

. Mal

uku

Uta

ra

81

. Mal

uku

13

. Su

mat

era

Bar

at

71

. Su

law

esi U

tara

18

. Lam

pu

ng

12

. Su

mat

era

Uta

ra

52

. Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

17

. Ben

gku

lu

72

. Su

law

esi T

enga

h

75

. Go

ron

talo

51

. Bal

i

Ranking PDRB Ranking IIPM Ranking IKLH

4

1.4. Ruang lingkup

Mengingat luasnya cakupan indeks pembangunan yang terkait dengan aspek

lingkungan hidup, maka ruang lingkup background study ini dibatasi pada aspek review

indikator yang telah dikembangkan pada tingkat nasional dan provinsi. Untuk melihat

ketajaman tantangan dan peluang dalam implementasi IKLH pada level provinsi maka akan

dilakukan site visit pada setidaknya empat provinsi yang mewakili wilayah barat Indonesia,

wilayah tengah, dan wilayah timur. Draf backgrund study ini melingkupi beberapa aspek

terkait dengan :

a) Kebijakan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah selama RPJM tahap 2 dan

harapan pada RPJM tahap 3

b) Karakteristik aspek sumber daya alam dan lingkungan yang menjadi bagian dari

pembangunan di tingkat nasional dan daerah

c) Telaah terhadap indikator-indikator pembangunan terkait dengan aspek ekonomi,

sosial dan lingkungan

d) Kebijakan dan implementasinya terkait dengan aspek sumber daya alam dan

lingkungan

e) Review implementasi IKLH yang telah dilaksanakan sebelumnya

1.5. Outline laporan

Secara garis besar laporan dokumen background study meliputi dan tidak terbatas pada

beberapa aspek sebagai berikut:

1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

b. Maksud dan Tujuan

c. Ruang lingkup

2. Review Pembangunan Berkelanjutan dan Aspek Lingkungan Hidup

a. Review capaian pembangunan berkelanjutan

b. Peran sumber daya alam dan lingkungan

c. Peran IKLH sebagai instrumen kebijakan lingkungan hidup

d. Capaian pembangunan lingkungan

3. Review indeks pembangunan lingkungan hidup sebagai indikator pembangunan

berkelanjutan

a. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009

b. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

c. Indeks Kualitas Lingkungan BPS

d. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH

e. PDB/PDRB Hijau (Green GDP)

f. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

4. Pengembangan IPLH pada RPJM 2015-2019

a. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019

b. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup

5

c. Tantangan dan peluang pengembangan indikator Indeks Komposit

Lingkungan Hidup

5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Gambar 2 Framework (Kerangka Kerja Background Study)

Review Indikator Pembangunan

Makro dan regional2002-2012

Review RPJP danDan capain RPJM

2009-2014

ReviewStatus LingkunganHidup Indonesia

Strong, weakness, challenges IKLH

KriteriaDan

indikator

Interkoneksi denganSus Dev

AssessmentPengembangan

IKLH

IKLH yang kompatibel (Komposit)Dengan RPJM 2015-2019

AssessmentImpementasi di

daerah

AssessmentPengembangan

kriteria baru

6

II. REVIEW PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN ASPEK

LINGKUNGAN

2.1. Review Capaian Pembangunan Berkelanjutan

Adanya trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya

mempertahankan kelestarian lingkungan, menjadi salah satu masalah penting yang dihadapi

dalam pembangunan. Seperti yang dituliskan oleh Fauzi (2004), pembangunan ekonomi yang

berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada

akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber

daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain,

pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan

lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.

Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia,

sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber

daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh

mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif keberimbangan,

pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar

generasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi

dkk, 2009).Selain dimensi keberimbangan antar generasi, Heal 2008 (dalam Fauzi 2004)

menambahkan satu dimensi lagi, yaitu dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem

sumber daya alam dan lingkungan.

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus

dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation

Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992.

Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin (1996),

melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework), yaitu

ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan. Spangenberg (1999) kemudian menambahkan satu

dimensi lagi, yaitu kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat. Keempat dimensi

tersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma

keberlanjutan, prism of sustainability (Rustiadi dkk, 2009).

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan, maka penilaian terhadap

keberhasilan pembangunan tentunya juga harus melihat capaian dari keempat dimensi

pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian akan terlihat bagaimana kinerja pembangunan

secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untuk

meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang

kondisi ini bahkan mungkin akan menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang

dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh.

Begitu pula dengan pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Konflik

akibat adanya kesenjangan sosial justru akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan

di masa yang akan datang. Sehingga penilaian pembangunan dari ekonomi, sosial,

lingkungan dan kelembagaan secara bersamaan akan mampu memberikan arahan dalam

pembangunan.

Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang

menggembirakan. Himawan (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan

sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia.

Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, rendahnya tingkat suku bunga

Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuat

lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation

7

Sumber : Spangenberg J H dan Bonniot O, 1998

Gambar 3 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)

Development (OECD) pada tanggal 27 September 2012. OECD menilai Indonesia telah

memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yang

cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen.

Gambaran tentang makro ekonomi Indonesia saja mungkin tidak cukup untuk menilai

pembangunan Indonesia. Seperti disebutkan di awal, agar pembangunan dapat berkelanjutan,

pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari pembangunan bidang yang lain, salah

satunya adalah lingkungan. Tabel 1 mencoba membandingkan antara pembangunan dimensi

ekonomi dengan dimensi lingkungan. Dari sisi ekonomi, seperti telah diuraikan sebelumnya,

pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2010, di

tengah krisis yang melanda sebagian negara-negara di dunia, perekonomian Indonesia

mampu tumbuh rata-rata sebesar 5,73 persen setiap tahunnya. Namun di sisi lain, pada kurun

waktu yang sama, jumlah lahan kritis juga mengalami peningkatan. Lahan kritis didefinisikan

sebagai lahan yang telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga

kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara,

pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata,

jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatan

lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah Nusa

Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap

tahunnya.

Kondisi inilah yang mungkin dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak,

(Fauzi, 2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem bumi, yang

Tabel 1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010

Pulau

PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)

2006 2010

Rata-rata

Pertumbuhan

per tahun

2006 2010

Rata-rata

Pertumbuha

n per tahun

Sumatera 389,07 468,06 4.73 25898.97 24771.47 -1.11

Jawa dan Bali 1093,32 1385,13 6.09 3663.70 4317.00 4.19

Kalimantan 160,69 190,34 4.32 27918.05 28012.61 0.08

Sulawesi 79,15 106,89 7.80 6218.21 7610.81 5.18

Nusa Tenggara,

Maluku & Papua 55,72 71,18 6.31

14107.95 17464.55 5.48

Indonesia 1777,95 2221,60 5.73 77806.88 82176.44 1.38

Sumber : BPS dan Kementrian Kehutanan

8

mengakibatkan terjadinya progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk

menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan.

Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut

sehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan

(degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan

lingkungan.

Pada pembangunan dimensi sosial, terdapat beberapa indikator yang biasa

dipergunakan untuk mengukur pembangunan di Indonesia. Dua indikator yang sering

dipergunakan adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan

persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan gini rasio

menggambarkan kesenjangan pendapatan. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan

Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen pada

tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalan

dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walaupun tingkat kemiskinan menalami

penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Artinya, walaupun

tingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan

Tabel 2 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012

Provinsi Tingkat Kemiskinan Gini Ratio

2008 2009 2010 2011*) 2012*) 2008 2009 2010 2011 2012

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

NAD 23.53 21.80 20.98 19.57 19.46 0.27 0.29 0.30 0.33 0.32

Sumatera Utara 12.55 11.51 11.31 11.33 10.67 0.31 0.32 0.35 0.35 0.33

Sumatera Barat 10.67 9.54 9.50 9.04 8.19 0.29 0.30 0.33 0.35 0.36

Riau 10.63 9.48 8.65 8.47 8.22 0.31 0.33 0.33 0.36 0.40

Jambi 9.32 8.77 8.34 8.65 8.42 0.28 0.27 0.30 0.34 0.34

Sumatera Selatan 17.73 16.28 15.47 14.24 13.78 0.30 0.31 0.34 0.34 0.40

Bengkulu 20.98 20.22 18.94 17.50 17.70 0.33 0.30 0.37 0.36 0.35

Lampung 8.58 7.46 6.51 16.93 16.18 0.35 0.35 0.36 0.37 0.36

Kep. Bangka Belitung 20.64 18.59 18.30 5.75 5.53 0.26 0.29 0.30 0.30 0.29

Kepulauan Riau 9.18 8.27 8.05 7.40 7.11 0.30 0.29 0.29 0.32 0.35

DKI Jakarta 4.29 3.62 3.48 3.75 3.69 0.33 0.36 0.36 0.44 0.42

Jawa Barat 13.01 11.96 11.27 10.65 10.09 0.35 0.36 0.36 0.41 0.41

Jawa Tengah 19.23 17.72 16.56 15.76 15.34 0.31 0.32 0.34 0.38 0.38

DI Yogyakarta 18.32 17.23 16.83 16.08 16.05 0.36 0.38 0.41 0.40 0.43

Jawa Timur 18.51 16.68 15.26 14.23 13.40 0.33 0.33 0.34 0.37 0.36

Banten 8.15 7.64 7.16 6.32 5.85 0.34 0.37 0.42 0.40 0.39

Bali 6.17 5.13 4.88 4.20 4.18 0.30 0.31 0.37 0.41 0.43

Nusa Tenggara Barat 23.81 22.78 21.55 19.73 18.63 0.33 0.35 0.40 0.36 0.35

Nusa Tenggara Timur 25.65 23.31 23.03 21.23 20.88 0.34 0.36 0.38 0.36 0.36

Kalimantan Barat 11.07 9.30 9.02 8.60 8.17 0.31 0.32 0.37 0.40 0.38

Kalimantan Tengah 8.71 7.02 6.77 6.56 6.51 0.29 0.29 0.30 0.34 0.33

Kalimantan Selatan 6.48 5.12 5.21 5.29 5.06 0.33 0.35 0.37 0.37 0.38

Kalimantan Timur 9.51 7.73 7.66 6.77 6.68 0.34 0.38 0.37 0.38 0.36

Sulawesi Utara 10.10 9.79 9.10 8.51 8.18 0.28 0.31 0.37 0.39 0.43

Sulawesi Tengah 20.75 18.98 18.07 15.83 15.40 0.33 0.34 0.37 0.38 0.40

Sulawesi Selatan 13.34 12.31 11.60 10.29 10.11 0.36 0.39 0.40 0.41 0.41

Sulawesi Tenggara 19.53 18.93 17.05 14.56 13.71 0.33 0.36 0.42 0.41 0.40

Gorontalo 24.88 25.01 23.19 18.75 17.33 0.34 0.35 0.43 0.46 0.44

Sulawesi Barat 16.73 15.29 13.58 13.89 13.24 0.31 0.30 0.36 0.34 0.31

Maluku 29.66 28.23 27.74 23.00 21.78 0.31 0.31 0.33 0.41 0.38

Maluku Utara 11.28 10.36 9.42 9.18 8.47 0.33 0.33 0.34 0.33 0.34

Papua Barat 35.12 35.71 34.88 31.92 28.20 0.31 0.35 0.38 0.40 0.43

Papua 37.08 37.53 36.80 31.98 31.11 0.40 0.38 0.41 0.42 0.44

Indonesia 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96

0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 Sumber : BPS

Catatan : *) Kondisi pada bulan September

9

pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial.

Konflik sosial ini pada akhirnya akan bermuara pada ketidakberlanjutannya pembangunan.

Dengan memperhatikan beberapa uraian sebelumnya, nampaknya pembangunan

Indonesia masih belum menggambarkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial,

lingkungan serta kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi

ekonomi, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dalam bidang sosial,

pembangunan semakin memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakat

golongan kaya dengan golongan miskin. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkan

lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lahan.

2.2. Peran Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Sumber daya alam Indonesia merupakan 25 persen dari total aset kemakmuran

negara/national wealth (World Bank 2006). Sumber daya alam menghasilkan rente

(keuntungan) yang merupakan sumber penting bagi pendanaan pembangunan. Selama

pemerintahan orde baru, Indonesia telah berhasil memanfaatkan rente sumber daya alam ini,

khususnya dari minyak, sumberdaya mineral dan hutan untuk mendanai pembangunan

Indonesia pasca tumbangnya rezim orde lama.

Peran ekonomi sumberdaya alam ini terus berlanjut hingga saat ini. Namun harus

diakui sekarang sumber daya alam mengalami penurunan yang cepat tanpa adanya pengganti

yang memadai. Kerugian ekonomi akibat deplesi sumber daya dan degradasi lingkungan bisa

menjadi hal yang substansial dalam jangka panjang, dengan besaran yang menunjukkan

peningkatan, mulai dari 0,3 persen hingga 7 persen dari PDB Indonesia (Leitman et. al. 2009).

Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan selama orde baru telah

memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan.

Besar dugaan bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa "ekonomi cokelat" di masa lalu

masih terpisah dari sumber daya dan pengelolaan lingkungan.

Belajar dari kelemahan masa lalu dalam mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi

dengan pengelolaan lingkungan, Indonesia kini berjuang untuk mengambil kegiatan ramah

lingkungan ke jalan pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan biaya

lingkungan pengembangan dan mempertahankan sumber daya alamnya. Komitmen untuk

menonjolkan pembangunan ekonomi hijau dimulai dengan menambahkan strategi pro-

lingkungan ke dalam rencana pembangunan. Cukup banyak metode dan instrumen yang

dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk mengintegrasikan langkah-

langkah lingkungan ke dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Selain itu percepatan penyusutan sumberdaya alam ini semakin tinggi di era otonomi

daerah. Hal ini karena selain adanya insentif dari dana bagi hasil dan keinginan untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah/PAD (Leiman et. al. 2009), juga dikarenakan

tumpang tindihnya kewenangan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam

sehingga menimbulkan “moral hazard” dan mempercepat terjadinya penyusutan sumberdaya

alam dan kerusakan lingkungan.

Sebuah langkah besar menuju ekonomi Indonesia yang lebih hijau adalah dengan

membangun kerangka kebijakan secara nasional. Payung hukum utama negara untuk

pembangunan berkelanjutan adalah UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional 2005-2025.Kemajuan menuju inisiatif ekonomi hijau mendapatkan

momentum yang kuat dengan diberlakukannya undang-undang lingkungan yang terbaru

Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang

ini sangat mendorong penggabungan lingkungan ke dalam kegiatan sosial dan ekonomi

seperti. Indonesia hijau hanya dapat dicapai melalui berbagai upaya dan mekanisme, seperti

10

pembiayaan, perencanaan pembangunan, dan penggunaan instrumen ekonomi untuk

mencapai pengelolaan lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan

merupakan bagian penting dari strategi untuk meningkatkan pembangunan. Meskipun

kegiatan sebagian besar akan dilakukan oleh sektor swasta dan masyarakat, pemerintah

memainkan peran penting dalam memberikan bantuan dan menentukan pedoman standar

untuk implementasi.

Salah satu langkah strategis yang telah diambil adalah perumusan Rencana Aksi

Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) penurunan emisi gas rumah kaca

(GRK).Rencana tersebut bertujuan untuk menggabungkan pengurangan emisi ke dalam

kegiatan sehari-hari masyarakat. RAN dan RAD GRK juga akan memfasilitasi peraturan

pemerintah, standar dan dukungan pada pelaksanaan kebijakan rendah emisi karbon di

berbagai sektor. Selain itu, juga akan mendukung pengembangan indikator yang dapat

digunakan untuk mengukur dan menilai pengurangan emisi. Metode ini kemudian dapat

diterapkan untuk jenis lainnya dari jasa lingkungan.

Di sektor energi, beberapa peraturan telah dikeluarkan terutama untuk menjamin

keamanan energi dan produksi serta penggunaan energi yang lebih bersih. Produk hukum

energi yang pertama dikeluarkan pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 30/2007

mengamanatkan bahwa pemerintah, sektor swasta dan masyarakat berkewajiban untuk

mengamankan dan menjamin ketersediaan, keberlanjutan dan efisiensi penggunaan sumber

daya energi. Undang-undang ini juga menyediakan pedoman untuk diversifikasi energi

dengan menggunakan energi terbarukan serta konservasi energi. Dalam rangka melaksanakan

undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2009 tentang

Konservasi Energi. Peraturan ini membagi tanggung jawab antara pemerintah pusat,

pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat dalam pengelolaan energi, serta

memberikan panduan tentang produksi, pemanfaatan dan konservasi, pembuatan standar dan

peraturan pelabelan untuk efisiensi energi, mengatur fasilitas, memberikan insentif dan

disinsentif, serta mengatur mekanisme pemantauannya.

Meningkatnya kesadaran perlindungan lingkungan dan pertumbuhan permintaan energi

telah mendorong dikembangkannya energi panas bumi serta energi terbarukan. Tidak hanya

menjadi tanggung jawab pemerintah, sektor swasta dan masyarakat juga didorong untuk lebih

terlibat dalam energi terbarukan. Penggunaan mikro hidro telah banyak dipergunakan dan

menunjukkan tren meningkat. Peningkatan kesadaran swasta dan masyarakat tentang peran

penting lingkungan juga melahirkan tindakan yang ramah lingkungan. Beberapa contohnya

adalah produksi mebel berkelanjutan, pengelolaan pertanian berkelanjutan dan produk

organik.

2.3. Peran IKLH sebagai Instrumen Kebijakan Lingkungan Hidup

Beberapa indikator pembangunan pada uraian sebelumnya; pertumbuhan ekonomi,

pertumbuhan lahan kritis, kemiskinan dan gini rasio; merupakan indikator yang bersifat

tunggal dan bukan indikator komposit. Interpretasi yang diperoleh dari nilai masing-masing

indikator tentunya hanya mewakili keterukuran dari indikator yang bersangkutan, belum

dapat mewakili masing-masing dimensi pembangunan secara utuh. Untuk dapat mengukur

capaian secara lebih kompleks tentunya dibutuhkan indikator gabungan berupa indeks

komposit. Terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja

pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia

(IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensi-

dimensi pokok pencapaian status kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat,

11

berpengetahuan dan keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkan

untuk mencapai standar hidup layak. Sehingga IPM merupakan ukuran yang umum

dipergunakan untuk mengukur tingkat capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun

IPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian

pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Dannish

International Development Agency (DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yang

dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University

(VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai,

kualitas udara, dan tutupan hutan.

Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara

pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Dengan mencermati

Tabel 3, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkat

IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang

Tabel 3 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH), 2009 - 2011

Provinsi

IPM

IKLH

2009 2010 2011 2009 2010 2011

IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH1) Rank IKLH2) Rank IKLH2) Rank

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13)

NAD 71.31 17 71.70 17 72.16 18 72.47 12 77.30 11 66.74 16

Sumatera Utara 73.80 8 74.19 8 74.65 8 62.48 19 87.17 6 72.21 12

Sumatera Barat 73.44 9 73.78 9 74.28 9 87.04 2 81.46 9 77.00 9 Riau 75.60 3 76.07 3 76.53 3 51.65 25 54.86 22 56.23 24

Jambi 72.45 13 72.74 13 73.30 13 75.04 9 62.82 17 64.92 18

Sumatera Selatan 72.61 10 72.95 10 73.42 10 69.30 14 75.70 13 77.50 8 Bengkulu 72.55 12 72.92 11 73.40 11 79.58 4 96.89 4 96.77 3

Lampung 70.93 21 71.42 21 71.94 20 73.64 11 86.95 7 86.57 4

Kep. Bangka Belitung 72.55 11 72.86 12 73.37 12 52.15 24 64.92 15 64.99 17 Kepulauan Riau 74.54 6 75.07 6 75.78 6 51.65 25 54.86 22 56.23 24

DKI Jakarta 77.36 1 77.60 1 77.97 1 41.73 30 41.81 29 41.31 30

Jawa Barat 71.64 15 72.29 15 72.73 16 49.69 27 53.44 23 50.90 27 Jawa Tengah 72.10 14 72.49 14 72.94 14 55.40 22 50.48 25 49.82 28

DI Yogyakarta 75.23 4 75.77 4 76.32 4 53.52 23 71.91 14 68.89 14

Jawa Timur 71.06 18 71.62 18 72.18 17 59.01 21 49.49 27 54.49 25 Banten 70.06 23 70.48 23 70.95 23 50.86 26 48.98 28 48.98 29

Bali 71.52 16 72.28 16 72.84 15 85.50 3 99.65 1 85.30 5

Nusa Tenggara Barat 64.66 32 65.20 32 66.23 32 73.69 10 90.15 5 84.30 7 Nusa Tenggara Timur 66.60 31 67.26 31 67.75 31 66.61 18 50.72 24 59.01 23

Kalimantan Barat 68.79 28 69.15 28 69.66 28 71.92 13 76.39 12 74.27 10

Kalimantan Tengah 74.36 7 74.64 7 75.06 7 45.70 29 50.38 26 63.98 19 Kalimantan Selatan 69.30 26 69.92 26 70.44 26 48.25 28 58.24 21 60.29 21

Kalimantan Timur 75.11 5 75.56 5 76.22 5 68.63 15 62.22 19 70.75 13 Sulawesi Utara 75.68 2 76.09 2 76.54 2 88.21 1 84.18 8 84.59 6

Sulawesi Tengah 70.70 22 71.14 22 71.62 22 68.51 16 97.58 3 98.53 2

Sulawesi Selatan 70.94 20 71.62 19 72.14 19 67.62 17 62.89 16 62.64 20 Sulawesi Tenggara 69.52 25 70.00 25 70.55 25 60.53 20 62.23 18 52.79 26

Gorontalo 69.79 24 70.28 24 70.82 24 - - 97.93 2 98.89 1

Sulawesi Barat 69.18 27 69.64 27 70.11 27 67.62 17 62.89 16 67.85 15 Maluku 70.96 19 71.42 20 71.87 21 78.80 6 79.72 10 73.09 11

Maluku Utara 68.63 29 69.03 30 69.47 30 78.80 5 79.72 10 73.09 11

Papua Barat 68.58 30 69.15 29 69.65 29 75.30 8 59.56 20 68.51 22 Papua 64.53 33 64.94 33 65.36 33 75.30 7 59.56 20 68.51 22

Indonesia 71.76

72.27

72.77

59.79

61.07

60.25

Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup Catatan :

1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung

2) Penghitungan IKLH 2010 dan 2011 : Maluku dan Maluku Utara gabung, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi

Selatan dan Sulawesi Barat gabung, Irian Jaya Barat dan Papua gabung

12

tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat

pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi

yang peringkat IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik,

misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada

pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Dalam posisi ini,

IKLH memegang peran penting dalam mengontrol capaian pembangunan berkelanjutan.

Penggunaan indikator ekonomi dan sosial dalam mengukur capaian pembangunan

berkelanjutan tidaklah cukup, dibutuhkan indikator lain yang mampu mengukur capaian

pembangunan bidang lingkungan, yang dicerminkan oleh IKLH.

2.4. Capaian Pembangunan Lingkungan

Merujuk pada evaluasi paruh waktu RPJMN 2010-2014 yang telah dilakukan oleh

Bappenas, berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dalam RPJMN, capaian pembangunan

bidang lingkungan menunjukkan hasil yang cukup baik. Mengutip dari evaluasi tersebut,

diketahui bahwa salah satu capaian pembangunan lingkungan diantaranya adalah semakin

meningkatnya ketaatan pengelolaan lingkungan oleh perusahaan, dari 66 % pada periode

2010-2011 menjadi 69% pada periode 2011-2012. Pengelolaan lingkungan yang dilakukan

oleh perusahaan ditujukan untuk menurunkan beban pencemaran dan mereduksi Gas Rumah

Kaca (GRK) guna mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Data dari Kementrian

Kehutanan juga menunjukkan turunnya laju deforestasi, yang mampu ditekan dari 830.000 ha

pada tahun 2006-2009, menjadi 450.000 per tahun pada periode 2009-2011.

Kegiatan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) mampu

mendorong perusahaan-perusahaan untuk menurunkan beban pencemarannya. Sementara

upaya pengendalian kebakaran hutan juga berhasil mengurangi jumlah hotspot (titik api) di

Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pelayanan informasi cuaca juga mengalami perbaikan degan dipasangnya Automatic

Weather Station (AWS) di 167 lokasi. Dengan sarana ini, informasi terjadinya cuaca ekstrim

dapat diprediksi 3 jam sebelum kejadian, lebih awal 30 menit dibandingkan sebelum adanya

AWS. Informasi tentang Gempa Bumi dan Tsunami menjadi lebih baik dengan Tsunami

Early Warning System (TEWS). Waktu untuk mengolah data dan menyebarkan informasi

kepada masyarakat dapat dipercepat menjadi kurang dari 5 menit setelah gempa terjadi.

Sebelum adanya TEWS, dibutuhkan waktu 30 menit sampai 2 jam. Untuk penguatan

kapasitas penanganan bencana, telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah

(BPBD) di 33 Provinsi yang mencapai 366 BPBD tingkat kabupaten/kota dengan prioritas

pada kabupaten/kota rawan bencana serta penguatan kapasitas Satuan Reaksi Cepat

Penanggulangan Bencana (SCR-PB).

Target lainnya yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 adalah tersusunnya Indeks

Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Seperti telah diuraikan sebelumnya, IKLH telah disusun

sejak tahun 2010. Walau tidak disebutkan secara eksplisit di dalam dokumen RPJMN, IKLH

diharapkan mampu mencapai nilai 70 pada tahun 2014. Pada tahun 2011 nilai IKLH baru

mencapai 60,25 dengan tren menurun dari tahun sebelumnya. Pada akhir RPJMN 2010-2014,

diharapkan IKLH dapat disusun sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hingga saat ini IKLH

yang tersedia hanya pada tingkat nasional dan provinsi. Artinya penyusunan IKLH

kabupaten/kota menjadi target RPJMN yang belum terealisasi.

13

Tabel 4 Capaian Pembangunan Bidang Lingkungan

Indikator Satuan Status

Awal

2009

Target

2014

Capaian

2010 2011 2012

Fasilitasi rehabilitasi hutan dan

lahan kritis pada DAS prioritas Ha (ribu) 703,05 1.600,00 229,22 742,36 1.252,88

Fasilitasi pembangunan hutan

rakyat kemitraan untuk bahan

baku industri pertukangan

Ha (ribu) n.a 250 51,51 102,07 158,42

Jumlah industri pertambangan,

energi dan migas, agroindustri

dan manufaktur yang dipantau

dan diawasi

Jumlah

industri 627 680 705 996 1.312

Persentase capaian indeks

kualitas Lingkungan Hidup

Nasional (IKLH)

(%) terhadap

IKLH max 59,79 70,00 61,07 60,25 n.a

Penurunan jumlah hotspot di

Pulau Kalimantan, Sumatera

dan Sulawesi berkurang 20%

per tahun dari rata-rata tahun

2005-2009

% 58.89

(Titik

rata-rata

2005 –

2009)

67,20 83,42 51,65 45,11

Rencana Pengelolaan DAS

terpadu unit n.a 108 22 58 95

Kesinambungan sistem analisa

data di bidang gempa bumi dan

tsunami

% 75 90 90 100 100

Persentase pengguna informasi

perubahan iklim dan kualitas

udara

% 75 90 39 68 80

Persentase tingkat kemampuan

pelayanan data dan informasi

meteorologi publik dan cuaca

ekstrem

% 45 80 50 66,67 78,78

Terlaksananya pemenuhan

kebutuhan logistik dan

peralatan kebencanaan

(prov/kota)

Lokasi 5 77 16 265 160

Terbentuknya satuan reaksi

cepat (SRC-PB) lokasi 7 2 2 2 2

Fasilitasi penetapan areal kerja

pengelolaan Hutan

Kemasyarakatan dan Hutan

Desa (ribu) Ha (ribu) 78.24 2500 528,51 1.036,68 1.537,01

Sumber: Bappenas (2013)

14

III. REVIEW INDEKS PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Aspek lingkungan hidup telah menjadi perhatian serius dalam penilaian pembangunan

berkelanjutan. Beberapa lembaga internasional bahkan telah mengembangkan berbagai

metode penilaian beserta indikator-indikator lingkungan hidup untuk menilai progress

pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Yale University didukung oleh World

Economic Forum pada periode 2000-2005 mengembangkan Environment Sustainable Index

(ESI) yang terdiri dari 21 indikator. Dalam skor ESI ini, pada tahun 2005, Indonesia berada

pada urutan ke 53 dari 146 negara.

Setelah tahun 2005, ESI kemudian dikembangkan menjadi Environmental Performance

Index (EPI). EPI menggunakan 22 indikator lingkungan dengan 10 kategori (lihat Tabel 4).

Berdasarkan ranking EPI ini, Indonesia berada pada urutan ke 74 dari 132 negara dari sisi

skor EPI dan pada urutan ke 66 dari sisi perubahan skor EPI. Peringkat dan performa

lingkungan Indonesia selama periode 2006-2012 dapat dilihat pada Tabel 5. Namun

sayangnya, nilai skor dan peringkat yang dihasilkan tidak dapat dibandingkan secara

langsung antar tahun, karena adanya perubahan dalam metode penghitungan EPI .

Tabel 5 Indikator yang Dipergunakan dalam Environmental Performance Index (EPI)

Objective Policy Category Indicator

Environmental

Health

Air (effects on human health) Indoor air pollution

Particulate matter

Water (effects on

human health)

Access to drinking water

Access to sanitation

Environmental Health Child mortality

Ecosystem

Vitality

Air pollution SO2 emissions per capita

SO2 emissions per $ GDP

Water Change in Water Quantity

Biodiversity and

habitat

Biome protection

Marine protected areas

Critical habitat protection

Forests

Forest loss

Change in forest cover

Forest growing stock

Fisheries Coastal shelf fishing pressure

Fish stocks overexploited

Agriculture Agricultural subsidies

Pesticide regulation

Climate change

CO2 emissions per capita

CO2 emissions per $ GDP

Electricity emissions per KWH

Percent of energy production from renewables

Sumber : http://epi.yale.edu

15

Tabel 6 Skor dan Peringkat Environmental Performance Index Indonesia, 2006-2012

Tahun Peringkat EPI Indonesia Skor

2006 79 dari 133 negara 60.7

2008 102 dari 163 negara 66.2

2010 134 dari 149 negara 44.6

2012 74 dari 132 negara - Sumber : http://epi.yale.edu

Pengukuran kualitas lingkungan di Indonesia juga mengalami perkembangan. Pada

awalnya pengukuran kualitas lingkungan hanya menjadi bagian dari ukuran yang lebih makro,

seperti capaian Milenium Development Goals (MDGs) dan bagian dari indikator

pembangunan berkelanjutan. Namun dalam perkembangannya, kemudian muncul indikator

komposit yang secara khusus mengukur kualitas lingkungan. Dalam hal ini paling tidak

ditemukan dua indikator komposit yang dapat dipergunakan. Pertama adalah Indeks Kualitas

Lingkungan (IKL) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kedua adalah Indeks

Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang dihitung oleh Kementrian Lingkungan Hidup.

Kedua indikator tersebut bertujuan mengukur kualitas lingkungan hidup, namun dengan

metode dan ruang lingkup yang berbeda. Uraian berikut membahas perkembangan dan

metode yang dipergunakan pada beberapa ukuran kualitas lingkungan, mulai dari indikator

parsial yang ada pada RPJMN 2010-2015 dan indikator pembangunan berkelanjutan, hingga

indikator komposit seperti IKL dan IKLH.

3.1. Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2004-2009

Pembangunan lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam RPJMN 2004-2009.

Pembangunan bidang lingkungan hidup dilaksanakan untuk dapat mencegah dan

mengantisipasi akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan dan

pemanfaatan sumber daya alam. Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan dan penurunan

daya dukung lingkungan, yang diantaranya diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk,

pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pola kehidupan yang konsumtif, lemahnya

penegakan hukum, serta belum optimalnya kapasitas sumber daya manusia. Persoalan lain

yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan hidup adalah antisipasi terhadap perubahan

iklim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya bencana kekeringan, banjir, longsor, dan bencana

alam lainnya.

Untuk mengatasi dan meminimalkan dampak aktivitas pembangunan dan perubahan

iklim tersebut terhadap lingkungan, dalam Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 telah

dilaksanakan berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Pada RPJMN 2004-2009,

indikator pembangunan lingkungan hidup paling tidak dapat ditemukan pada beberapa

prioritas kegiatan, yaitu kebijakan lintas bidang perubahan iklim global, prioritas bidang

perbaikan kualitas lingkungan hidup, prioritas bidang peningkatan konservasi dan rehabilitasi

sumber daya hutan, dan prioritas bidang: peningkatan kualitas informasi iklim dan bencana

alam serta kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dari sejumlah indikator yang ada

pada beberapa prioritas kegiatan tersebut, dipilih beberapa indikator yang dipandang menjadi

fokus dari pembangunan lingkungan (Tabel 7).

16

Tabel 7 Indikator Lingkungan dalam RPJMN 2010-2015

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

1 Pengendalian

Pencemaran Udara Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang

dipantau dan diawasi

v

Jumlah agroindustri yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v

Jumlah penurunan beban pencemar udara dari industri

yang dipantau dan diawasi

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v

2 Pengendalian

Pencemaran Udara

Dari Emisi dan

Kebisingan

Kendaraan Bermotor

Jumlah peraturan perundangan yang ditetapkan v

Jumlah daerah (provinsi/kota) yang difasilitasi dalam

penyusunan Peraturan Daerah tentang pengendalian

pencemaran udara khususnya sumber bergerak

v

Jumlah kota yang difasilitasi dalam penerapan

pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor

(P&P)

v

Jumlah kebijakan sektor yang difasilitasi dalam

mendukung reduksi emisi (penetapan standar emisi dan

kebisingan, bahan bakar, manajemen transportasi,

kendaraan tidak bermotor (NMT), uji emisi bagi

kendaraan pribadi, land use planning )

v

Jumlah kota yang dievaluasi kualitas udaranya v

Jumlah pembinaan teknis dalam pengendalian pencemaran

sumber bergerak

v

3 Pengendalian

Pencemaran Air

Jumlah industri pertambangan, energi dan migas yang

dipantau dan diawasi Jumlah agroindustri yang dipantau

dan diawasi

v

Jumlah industri manufaktur yang dipantau dan diawasi v

Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH v

Jumlah izin pembuangan air limbah ke laut yang

dikeluarkan

v

Jumlah pedoman teknis/peraturan perundang-undangan v

4 Pengendalian

Pencemaran Limbah

Domestik

Jumlah kota metropolitan dan besar yang dipantau v

Jumlah ibukota provinsi yang dipantau v

Jumlah penurunan beban pencemar dari sumber limbah

cair domestik dari kegiatan apartemen dan perumahan

mewah di 3 propinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa

Barat)

v

Jumlah pedoman teknis di bidang pengelolaan limbah

domestik

v

% capaian peningkatan kinerja pengelolaan sampah

melalui pengawasan

v

% volume pengurangan sampah melalui 3 R v

5 Pengelolaan B3 dan

Limbah B3 Kegiatan

Pertambangan,

Energi, Minyak dan

Gas

Jumlah produk perumusan kebijakan dan/atau standar

dan/atau pedoman pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan

pertambangan, energi, minyak dan gas [Draft Permen LH]

v

Jumlah kegiatan pemantauan dan/atau analisis dan/atau

evaluasi pelaksanaan kebijakan pengelolaan B3 & limbah

B3 kegiatan pertambangan, energi, minyak dan gas

v

17

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

Jumlah perusahaan yang mendapat pengawasan kinerja

penaatan pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan

pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah daerah dan/atau perusahaan yang mendapat

bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan

pertambangan, energi, minyak dan gas

v

Jumlah lingkup kegiatan dari seluruh ketentuan konvensi

internasional pengelolaan B3 dan Limbah B3

v

6 Pengelolaan B3 dan

Limbah B3

Manufaktur,

Agroindustri dan

Jasa

Jumlah kebijakan, pedoman teknis yang diterapkan

dalam Pengelolaan Limbah B3 pada kegiatan manufaktur

dan agroindustri [dalam bentuk pedoman]

v

Jumlah pengawasan kinerja industri yang dilakukan

pembinaan dan pengawasan

v

Jumlah daerah dan/ atau perusahaan yang mendapat

bimbingan teknis pengelolaan B3 & limbah B3 kegiatan

manufaktur agroindustri dan jasa

v

Jumlah lingkup kegiatan dalam pelaksanaan ketentuan

konvensi internasional pengelolaan B3 dan limbah B3

(dari seluruh ketentuan internasional yang ada)

v

7 Perlindungan

Atmosfir dan

Pengendalian

Dampak Perubahan

Iklim

Jumlah konsep kebijakan di bidang perlindungan atmosfir

dan pengendalian dampak perubahan iklim

v

% penyiapan penyusunan perangkat untuk sektor yang

akan mendapatkan bimbingan teknis untuk melakukan

inventori GRK & BPO

v

Jumlah sektor yang mendapatkan bimbingan teknis untuk

melakukan inventori GRK & BPO

v

% penetapan baseline untuk pengurangan konsumsi Bahan

Perusak Ozon (BPO) - HCFC

v

% pengurangan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) -

HCFC

v

Jumlah pemerintah daerah provinsi yang dilakukan

pembinaan teknis untuk kajian kerentanan dan adaptasi

perubahan iklim

v

Jumlah sektor dan daerah yang mendapatkan bimbingan

teknis untuk melakukan kegiatan perlindungan atmosfir

dan pengendalian dampak perubahan iklim

v

Implementasi konsep Program Kampung Iklim v

8 Pengendalian

kebakaran hutan Hotspot di Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan Pulau

Sulawesi berkurang 20% setiap tahun.

v

Luas kawasan hutan yang terbakar ditekan hingga 50%

dibandingkan kondisi tahun 2008

v

Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat

dalam penanggulangan bahaya kebakaran hutan di 30

DAOPS

v

9 Penyelenggaraan

Rehabilitasi Hutan

dan Lahan, dan

Reklamasi Hutan di

DAS Prioritas

Fasilitasi dan pelaksanaan rehabilitasi hutan pada DAS

prioritas seluas 800.000 ha

v

Fasilitasi rehabilitasi lahan kritis pada DAS prioritas

seluas 500.000 ha

v

Fasilitasi pengembangan hutan kota seluas 5.000 ha v

Fasilitas rehabilitasi hutan mangrove, gambut dan rawa

seluas 295.000 ha

v

18

No Fokus Indikator

Sifat Indikator

Regu-

lasi

Input/

Proses

Out-

put

10 Peningkatan

Konservasi

Keanekaragaman

Hayati

Jumlah dokumen laporan dan rekomendasi kebijakan

konservasi keanekaragaman hayati

v

Jumlah rekomendasi kajian kebijakan konservasi

keanekaragaman hayati diimplementasikan

v

Jumlah hasil rekomendasi pemantauan pelaksanaan

kebijakan konservasi keanekaragaman hayati yang

ditindaklanjuti

v

Jumlah daerah kegiatan pemantauan pelaksanaan kegiatan

konservasi keanekaragaman hayati

v

Terfasilitasinya pengembangan program Taman

Keanekaragaman Hayati di beberapa daerah

v

Berdasarkan sifatnya, indikator-indikator yang ada pada tabel 7 secara umum dapat

dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yaitu yang bersifat regulasi, input/proses dan

indikator output. Dari 52 indikator, 16 indikator (30,77%) merupakan regulasi dan 29

indikator (55,7%) merupakan indikator input/proses. Hanya 7 indikator (13,46%) yang masuk

ke dalam kategori indikator output. Dengan sudut pandang ini, keberhasilan pembangunan

lingkungan nampaknya masih dominan diukur dari sisi input atau prosesnya, belum dari sisi

outputnya.

Indikator output yang dipergunakan juga tidak seluruhnya bersifat indikator, tetapi

lebih bersifat “statistik”, seperti “Jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”. Indikator

seperti ini seperti ini memiliki kelemahan karena tidak dapat diperbandingkan secara

langsung antar waktu. Jika jumlah industri yang taat peraturan meningkat 10% tidak secara

langsung dapat diartikan bahwa telah terjadi keberhasilan. Ukuran keberhasilan juga

ditentukan oleh pertumbuhan jumlah industri. Keberhasilan hanya dapat disimpulkan jika

pertumbuhan jumlah industri lebih kecil dari 10%. Oleh karena ini, sebaiknya penggunaan

indikator yang bersifat “statistik” dilengkapi juga dengan indikator yang bersifat “indikator”,

misalnya menjadi “% jumlah industri yang taat terhadap peraturan LH”.

3.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Untuk membantu negara-negara dalam mengambil keputusan yang berfokus pada

pembangunan berkelanjutan, Komisi Pembangunan Berkelanjutan menyusun indikator

pembangunan berkelanjutan sebagai acuan negara-negara dalam konteks pembangunan

berkelanjutan. Pada tahun 1995, Komisi Pembangunan Berkelanjutan berhasil menyusun

sekitar 134 indikator pembangunan berkelanjutan dalam kerangka kerja Driving Force-State-

Response. Pada tahun 2001, Divisi Pembangunan Berkelanjutan merevisi 134 indikator

pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi 58 indikator berdasarkan pengalaman dari

beberapa negara yang telah menerapkan indikator tersebut. Indikator tersebut direvisi

kembali menjadi 50 indikator utama dan 46 indikator lain pada tahun 2007.

Indonesia, dalam hal ini Badan Pusat Statistik, (BPS) telah menelaah indikator-

indikator yang dapat diimplementasikan dengan kondisi negara Indonesia, dan

menyajikannya dalam bentuk publikasi khusus, yaitu Indikator Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam publikasi tersebut, BPS merilis 62 indikator yang mencakup berbagai dimensi

pembangunan berkelanjutan. Dari 62 indikator tersebut terdapat beberapa indikator yang

berkaitan dengan lingkungan, yaitu:

Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja tangki septik

19

Jumlah desa menurut keberadaan sungai yang melintasi desa dan permukiman kumuh

Jumlah desa menurut jenis bencana alam

Jumlah desa menurut upaya antisipasi bencana alam

Jumlah korban bencana menurut kondisi korban

Jumlah kerusakan rumah akibat bencana /

Perkiraan emisi CO2 dari rumah tangga menurut jenis bahan bakar untuk memasak

Perkiraan emisi CO2 yang berasal dari kendaraan bermotor

Perkiraan emisi CH4 dari hewan ternak dan unggas

Impor komoditi bahan yang mengandung zat perusak ozon

Rata-rata bulanan hasil pengukuran konsentrasi gas SO2 dan NO2

Luas lahan yang sementara tidak diusahakan

Jumlah sebaran titik panas yang terdeteksi satelit

Sebaran kawasan konservasi laut

Luas dan kondisi terumbu karang

Volume air bersih yang disalurkan perusahaan air bersih

Kandungan maksimum biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen

demand (COD) pada air sungai

Kawasan konservasi daratan

Spesies satwa yang dilindungi

Spesies tumbuhan yang dilindungi

Persentase remitan terhadap pendapatan nasional

Pemakaian energi termasuk biomassa

3.3. Indeks Kualitas Lingkungan BPS

BPS telah memulai studi untuk mengukur kualitas lingkungan hidup dengan

menyusun Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) pada tahun 2007. Studi ini kemudian

dikembangkan dan disempurnakan lagi pada tahun 2008. Secara lebih rinci uraian berikut

akan lebih memfokuskan pada penyusunan IKL 2008, sebagai studi paling akhir. Namun

untuk melihat perkembangan studi yang dilakukan oleh BPS, juga disertakan perbandingan

metodologi antara IKL 2007 dengan IKL 2008.

3.3.1. Perbandingan IKL 2007 dan IKL 2008

Terdapat beberapa perbedaan metodologi dalam penghitungan IKL 2007 dan IKL

2008, yaitu :

1. Indeks Kualitas Udara (IKU). Parameter penyusun IKU 2007 adalah SO2 dan NO2,

sementara parameter IKU 2008 terdiri dari CO dan NOx. Metodologi pun berbeda, bila

konsentrasi SO2 dan NO2 adalah hasil pengukuran Pusarpedal, maka konsentrasi CO dan

NOx diperoleh dari hasil penghitungan konsumsi BBM kendaraan bermotor hasil Susenas

Modul Konsumsi 2008.

2. Indeks Kualitas Air (IKA). IKA 2007 menggunakan 3 parameter yaitu BOD, COD, dan

DO, sementara IKA 2008 menggunakan 9 parameter yaitu BOD, COD, DO, NO3, NH3,

pH, TDS, TSS, dan SO4. Seperti diketahui, pengambilan sampel air sungai dilakukan di

beberapa titik. Pada IKA 2007, nilai yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai rata-

rata dari beberapa sampel tersebut, sedang pada IKA 2008 nilai yang diambil adalah nilai

pada saat kondisi terburuk.

3. IKTp. Variabel sampah pada IKTp 2007 tidak dibagi dengan luas wilayah, pada IKTp

2008 menjadi memperhitungkan luas wilayah. Variabel penampungan akhir tinja pada

20

IKTp 2007 mengakomodir seluruh jenis penampungan, pada IKTp 2008 dibatasi hanya

tangki SPAL saja.

4. IKP, ini merupakan aspek baru pada IKL 2008 yang tidak ada pada IKL 2007.

5. IKL. Pemberian bobot untuk masing-masing matra pada IKL 2008 mengacu pada

Virginia Environmental Quality Index (VEQI), yaitu: IKA bobot 13, IKTP bobot 10 dan

IKP bobot 10. Sementara pada penghitungan IKL 2007, bobot pada masing-masing matra

diasumsikan sama (setiap matra mempunyai kontribusi yang sama besar dalam

penyusunan IKL).

3.3.2. Metode Penyusunan IKL 2008

Berdasarkan data yang tersedia dari sumber data yang ada, beberapa variabel yang

menjadi komponen dalam penyusunan IKL adalah

Tabel 8 Komponen Penyusun IKL 2008

Faktor Variabel Keterangan

(1) (2) (3)

Kualitas Udara 1. Konsentrasi NOx pada udara ambien Sumber data: BPS: Susenas

Modul Konsumsi, BMKG.

Diolah berdasarkan tata cara

prediksi polusi udara skala

mikro akibat lalu lintas dengan

penyesuaian pada penghitungan

kekuatan emisi

2. Konsentrasi CO pada udara ambien

Kualitas Air 1. Nilai maksimum kandungan BOD pada Sumber data: KLH

air sungai Diolah berdasarkan Keputusan

Menteri Negara Lingkungan

Hidup No. 115 Tahun 2003

tentang Indeks Pencemar

2. Nilai maksimum kandungan COD pada

air sungai

3. Nilai maksimum kandungan DO pada air

sungai

4. Nilai maksimum kandungan NO3 (Nitrat)

pada air sungai

5. Nilai maksimum kandungan NH3

(Amoniak) pada air sungai

6. Nilai maksimum pH pada air sungai

7. Nilai maksimum kandungan TDS(Total

Dissolved Solid) pada air sungai

8. Nilai maksimum kandungan TSS (Total

Suspensed Solid) pada air sungai

9. Nilai maksimum kandungan SO4 (Sulfat)

pada air sungai

Kualitas Tanah

Pemukiman

1. Proporsi volume sampah per hari (m3)

yang tidak terangkut per km2 .

Sumber data: Dinas Kebersihan

Kota, BPS

2. Persentase rumah tangga dengan tempat

pembuangan akhir tinja berupa

tangki/Saluran Pembuangan Akhir

Limbah (SPAL)

BPS, Susenas-Kor

Populasi Kepadatan penduduk per Ha BPS, Susenas-Kor

21

IKL mengukur pencapaian kualitas lingkungan setiap ibukota provinsi dari empat

matra lingkungan yaitu udara, air, tanah dan populasi. Nilai IKL berkisar antara 0 sampai

dengan 100. Nilai ideal adalah 100, yang menggambarkan kualitas terbaik. Sementara nilai 0

menggambarkan kualitas terburuk. Jarak nilai IKL suatu kota terhadap nilai ideal (100),

mencerminkan kekurangan kualitas lingkungan kota tersebut, dan perbandingan nilai IKL

selama beberapa waktu akan memperlihatkan perbaikan atau kemunduran kualitas

lingkungan suatu kota.

IKL mencakup empat matra yaitu udara, air, tanah, dan populasi dengan bobot pada

keempat matra tersebut mengikuti pemberian bobot pada Virginia Environmental Quality

Index (VEQI), yaitu:

a. Indeks Kualitas Udara (IKU) diberi bobot 18, sesuai dengan bobot udara pada VEQI.

Sementara IKU sendiri dihitung dari parameter CO dan NOX yang bobotnya menurut

VEQI masing-masing adalah 11 dan 16.

b. Indeks Kualitas Air (IKA) diberi bobot 13, angka ini sama dengan bobot air permukaan

pada VEQI. IKA sendiri dihitung dari 9 parameter (BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH,

TDS, TSS dan SO4). Bobot untuk kesembilan parameter ini tidak tersedia pada VEQI,

sehingga dalam penghitungan IKA ini, dianggap semua parameter mempunyai bobot

yang sama, masing-masing 1/9.

c. Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) diberi bobot 10. Variabel pada IKTp adalah

volume sampah yang tidak terangkut per hari (m3) per km2, dan persentase rumah tangga

dengan tempat pembuangan akhir tinja berupa tangki/SPAL). Karena kedua variabel

tersebut berkaitan erat dengan aktivitas penduduk, maka bobot untuk IKTp sama dengan

bobot populasi yaitu 10. Sementara untuk penghitungan IKTp sendiri, kedua variabel

penyusun diberi bobot yang sama, masing-masing ½.

d. Populasi, sesuai dengan bobot pada VEQI yaitu sama dengan 10. Populasi diwakili satu

variabel yaitu kepadatan penduduk per hektar dan dihitung indeksnya.

e. Total bobot untuk IKL adalah 51.

Penghitungan Indeks Kualitas Udara (IKU)

1. Menghitung kekuatan emisi (Q):

Penilaian tentang konsumsi bahan bakar diperoleh dari Susenas Modul Konsumsi tahun

2008. Pada Susenas ini, kepada setiap rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor,

ditanyakan jumlah konsumsi bahan bakar selama sebulan untuk kendaraan bermotor baik

yang menggunakan bensin maupun solar. Data ini diolah hingga menghasilkan konsumsi

bahan bakar setiap detik. Selanjutnya, untuk memperoleh kekuatan emisi (Q), konsumsi

bensin dan solar dikalikan faktor emisi masing-masing.

2. Setelah nilai kekuatan emisi (Q) diperoleh, selanjutnya dihitung konsentrasi polutan (C)

yang merupakan perkalian antara hasil bagi kekuatan emisi (Q) dan kecepatan angin

dengan eksponensial dari ketinggian sumber emisi (H). Ketinggian sumber emisi (H),

yang merupakan ketinggian dari knalpot kendaraan bermotor, diperkirakan tingginya

adalah 0,3 meter. Sedangkan data kecepatan angin rata-rata dalam meter per detik

diperoleh dari hasil pengukuran BMKG di setiap ibu kota provinsi. Jarak jalan ke

reseptor ditentukan 0,1 km,dan stabilitas atmosfer dipilih kelas stabilitas siang hari

dengan kategori sedang. Penghitungan nilai kekuatan emisi (C) ini dilakukan masing-

masing untuk kandungan CO dan Nox.

22

3. Penentuan sub IKU untuk CO (IKUCO)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu

CO sebesar 30.000 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Tabel berikut menyajikan

klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO:

Tabel 9 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk CO

Klasifikasi Konsentrasi C

(Nilai C untuk CO) ai xi

Nilai sub

IKU untuk

CO

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤C ≤30000 0,000333 x1 = C-0 100 - 90

2 30000 < C ≤60000 0,000667 x1= 30.000, x2 = C-30.000 89,99 - 70

3 60000 < C ≤90000 0,0010 x1= 30.000, x2=30.000,

x3= C-60.000 69,99 - 40

4 C > 90000 0,001333 x1= 30000, x2=30000,

x3= 30000, x4= C-90000 < 40

Bila konsentrasi CO mencapai sekitar 120.000 μg/m3 maka sub indeks CO sama dengan

0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai sub indeks = 0.

4. Penentuan sub IKU untuk NOx (IKUNOX)dilakukan dengan memperhitungkan baku mutu

NO2 sebesar 400 μg/m3 pada waktu pengukuran 1 jam. Klasifikasi C dan nilai sub IKU

untuk NOx ditampilkan pada tabel berikut:

Tabel 10 Klasifikasi C dan nilai sub IKU untuk NOx

Klasifi

kasi

Konsentrasi NOx

(Nilai C untuk NOx) ai xi

Nilai sub IKU

untuk NOx

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤C ≤400 0,025 x1 = C-0 100 - 90

2 400 < C ≤800 0,05 x1= 400, x2= C-400 89,99 - 70

3 800 < C ≤1200 0,075 x1= 400, x2= 400, x3= C-800 69,99 - 40

4 C > 1200 0,01 x1= 400, x2= 400, x3= 400, x4=

C-1.200 < 40

Bila konsentrasi NOx mencapai sekitar 1.600 μg/m3 maka sub indeks NOx sama dengan

0. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

5. Selanjutnya ditentukan IKU yang merupakan rata-rata tertimbang dari nilai IKUCO dan

nilai IKUNOX, dengan bobot untuk masing-masing komponen adalah 11 dan 16.

Penghitungan Indeks Kualitas Air (IKA)

Pada tahap awal, penghitungan IKA dilakukan untuk masing-masing komponen yang

menentukan kualitas air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4). Nilai IKA

dihitung berdasarkan nilai Indeks pencemar (IP). Cara penghitungan IP dapat dilihat pada

lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003. Evaluasi

terhadap nilai IP menurut lampiran keputusan tersebut adalah :

a. 0 ≤ IP ≤ 1,0 = Kondisi baik (memenuhi baku mutu)

23

b. 1,0 < IP ≤5,0 = Cemar Ringan

c. 5,0 < IP ≤ 10 = Cemar sedang

d. IP > 10 = Cemar berat

Sama seperti penghitungan IKU, enam ketentuan yang digunakan dalam

penghitungan IKA 2008 adalah sebagai berikut :

a. Kandungan BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4 pada air sungai merupakan

pencemaran sedangkan kandungan DO dan pH dapat menggambarkan kualitas air

tersebut. Dengan acuan bahwa kondisi ideal adalah tidak ada pencemaran atau zero

emision atau IP = 0, maka kandungan BOD, COD, DO, NO3, NH3, pH, TDS, TSS

dan SO4 yang menghasilkan IP bernilai 0 adalah kondisi dengan kualitas terbaik,

dengan kata lain indeks = 100.

b. Selanjutnya, nilai maksimum dari BOD, COD, NO3, NH3, TDS, TSS dan SO4, nilai

minimum DO dan nilai terburuk dari PH digunakan untuk menghitung nilai (IP).

c. Nilai IP yang diperoleh digunakan sebagai dasar penghitungan IKA dengan rumus

seperti telah dijelaskan di atas.

d. Untuk nilai IP pada kategori baik (memenuhi baku mutu) atau klasifikasi pertama

dengan rentang nilai IP 0 - 1 diberi nilai IKA dari 90 sampai dengan 100. Karena nilai

IP = 1 menghasilkan nilai IKA = 90, maka diperoleh nilai untuk pembobotnya = 10.

e. Selanjutnya pembobot untuk kategori berikutnya adalah 10 ditambah kelipatan dari 5

yaitu 15 dan 20.

f. Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai IKA yang merupakan rata-rata dari

keseluruhan nilai IKA komponen pencemaran air (BOD, COD, DO, PH, NO3, NH3, TDS,

TSS dan SO4). Penghitungan dengan metode rata-rata ini mencerminkan bahwa seluruh

komponen pencemar air memiliki bobot yang sama dalam penghitungan IKA.

Tabel 11 Klasifikasi IP dan Nilai IKA

Klasifikasi IP ai xi Nilai IKA

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤IP ≤1 10 x1 = IP-0 100 - 90

2 1 < IP ≤5 15 x1 = 1, x2 = IP-1 89,99 – 30

3 >5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = IP-5 <30

Nilai IP = 6,5 ≈ Nilai IKA = 0.

Penghitungan Indeks Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp)

Penghitungan IKTp menggunakan dua sub indeks, (1) Sub indeks volume sampah

yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah) dan (2) Sub indeks persentase rumah

tangga dengan penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL (IKTTangki). Penjelasan untuk

masing-masing sub indeks adalah sebagai berikut :

1. Sub Indeks Volume sampah yang tidak terangkut per hari per km2 (IKTSampah).

a. Dikarenakan tidak adanya pedoman atau baku mutu nilai volume sampah perhari

(m3) yang tidak terangkut per km2 (Y), maka digunakan klasifikasi sebagai

berikut :

0 ≤ Y ≤ 1 = Kondisi baik

24

1 < Y ≤ 5 = Kondisi Sedang

> 5 = Kondisi Buruk

b. Sama halnya dengan penghitungan IKU dan IKA pada IKTSampah klasifikasi

pertama nilai indeksnya antara 90 sampai dengan 100. Karena 1 m3 sampah per

hari yang tidak terangkut per km2 nilai indeksnya = 90, maka bobot untuk kelas

pertama = 10.

c. Untuk masing-masing klasifikasi nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak

terangkut per km2 tersebut di atas, diberikan bobot yang berbeda secara

berjenjang. Pemberian bobot yang berbeda secara berjenjang dimaksudkan agar

kota yang memiliki nilai volume sampah perhari (m3) yang tidak terangkut per

km2 yang menggambarkan kondisi kualitas tanah pemukiman yang lebih buruk

berusaha untuk mencapai kondisi kualitas tanah pemukiman yang setingkat lebih

baik dan seterusnya. Bobot yang digunakan adalah kelipatan 10 ditambah

kelipatan 5 yaitu : 10, 15 dan 20.

d. Selanjutnya, dengan menggunakan metode Atkinson yang telah disesuaikan,

dilakukan penghitungan nilai indeksnya seperti pada tabel berikut:

Tabel 12 Klasifikasi Y dan Nilai IKTSampah

Klasifikasi Y Ai xi Nilai IKA

(1) (2) (3) (4) (5)

1 0 ≤Y ≤1 10 x1 = Y-0 100 - 90

2 1 < Y ≤5 15 x1 = 1, x2 = Y-1 89,9 – 30

3 > 5 20 x1 = 1, x2 = 4, x3 = Y-5 <30

Y = 6,5 ≈ Nilai IKTSampah = 0.

Bila hasil penghitungan ini menghasilkan angka negatif, nilai indeks = 0.

2. Sub Indeks Persentase rumah tangga dengan penampungan akhir tinja berupa

tangki/SPAL (IKTTangki) diperoleh dari nilai persentase rumah tangga dengan

penampungan akhir tinja berupa tangki/SPAL.

Selanjutnya dilakukan penghitungan IKTp yang merupakan nilai rata-rata dari

IKTSampah dan IKTTangki.

Penghitungan Indeks Kepadatan Penduduk (IKP)

Berikut adalah tahapan penghitungan indeks kepadatan penduduk:

a. Kepadatan penduduk kurang dari atau sama dengan 96 jiwa per hektar diberi nilai

indeks = 100. Acuan 96 jiwa dikutip dari WHO yang mensyaratkan suatu wilayah

dianggap mempunyai kepadatan ideal bila berpenduduk 96 jiwa per hektar.

b. Kepadatan penduduk yang lebih besar dari 96 jiwa per hektar, dihitung selisihnya

terhadap nilai 96. Selanjutnya, angka tersebut digunakan sebagai faktor pengurang

terhadap indeks. Dengan demikian maka IKP merupakan hasil pengurangan antara

nilai maksimal indeks (100) dengan selisih antara tingkat kepadatan eksisting dengan

tingkat kepadatan ideal.

25

3.4. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH(2009-2011)

Kerangka Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang diadopsi oleh KLH adalah

Environmental Performance Index (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth

University (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan oleh BPS.

IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan sebagai indikator.

Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut serta kondisi

keanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam perhitungan IKLH

Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007, hanya

mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan

tutupan hutan. Berbeda dengan BPS, IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga akan

didapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang dikembangkan oleh BPS

dan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator digabungkan menjadi satu nilai

indeks. Penggabungan parameter ini dimungkinkan karena ada ketentuan yang mengaturnya,

seperti:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang

Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Pedoman ini juga mengatur tatacara

penghitungan indeks pencemaran air (IPA).

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep- 45/MENLH/10/1997

tentang Indeks Pencemar Udara.

Tabel 13 Komponen penyusun IKLH tahun 2009-2011

No. Indikator Parameter Bobot Keterangan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Kualitas Udara 1/3

SO2 0,5

NO2 0,5 2. Kualitas Air Sungai 1/3

pH

Dihitung nilai Indeks

Pencemaran Air (IPA)

Parameter yang dihitung dalam

IKLH 2009, 2010,dan

2011adalah TSS, DO, dan COD

TDS

TSS*)

DO*)

BOD

COD*)

NO2

NO3

NH3

Fosfat

Fenol

Detergen

3. Tutupan Hutan 1/3

Luas Hutan Primer

Total luas hutan primer dan

sekunder

Luas Hutan Sekunder

Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen IKLH (IPA,

IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki bobot yang sama dalam

menentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeks

nasional dengan menggunakan rata-rata tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masing-

masing provinsi terhadap penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam

penghitungan IKLH nasional.

26

Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standar

yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku mutu udara ambien).

Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan standar luas kawasan hutan di

setiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang

ditetapkan baru ada untuk 30 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks

setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induknya.

Penghitungan Indeks Pencemaran Air sungai (IPA)

Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman

Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut dijelaskan antara lain mengenai

penentuan status mutu air dengan metode indeks pencemaran (Pollution Index – PI).

Menurut definisinya PIj adalah indeks pencemaran bagi peruntukan j yang merupakan

fungsi dari Ci/Lij, dimana Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i dan Lij

menyatakan konsentrasi parameter kualitas air i yang dicantumkan dalam baku peruntukan

air j. Dalam hal ini peruntukan yang akan digunakan adalah klasifikasi mutu air kelas II

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air

dan Pengendalian Pencemaran Air.

Evaluasi terhadap PIj adalah sebagai berikut:

a. Memenuhi baku mutu atau kondisi baik jika 0 ≤ PIj ≤ 1,0

b. Tercemar ringan jika 1,0 < PIj ≤ 5,0

c. Tercemar sedang jika 5,0 < PIj ≤ 10,0

d. Tercemar berat jika PIj > 10,0.

Pada prinsipnya nilai PIj> 1 mempunyai arti bahwa air sungai tersebut tidak

memenuhi baku peruntukan air j, dalam hal ini mutu air kelas II. Penghitungan indeks

kualitas air dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Setiap lokasi dan waktu pemantauan kualitas air sungai dianggap sebagai satu sampel;

b. Hitung indeks pencemaran setiap sampel untuk parameter TSS, DO, dan COD;

c. Hitung persentase jumlah sampel yang mempunyai nilai PIj > 1, terhadap total jumlah

sampel pada tahun yang bersangkutan.

d. Melakukan normalisasi dari rentang nilai 0% - 100% (terbaik – terburuk) jumlah

sampel dengan nilai PIj > 1, menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 (terburuk –

terbaik).

Pemantauan setiap sungai paling sedikit dilakukan empat kali setahun pada tiga lokasi

sehingga setidaknya ada 12 sampel (data) kualitas air sungai setiap tahunnya. Setiap provinsi

diwakili oleh satu sungai yang dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Sungai tersebut lintas provinsi, atau

b. Sungai prioritas untuk dikendalikan pencemarannya.

Penghitungan Indeks Pencemaran Udara (IPU)

Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan di 243 ibukota kabupaten/kota

dengan menggunakan metode passive sampler. Dilakukan empat kali per tahun di lokasi-

lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, dan padat lalu lintas kendaraan bermotor.

Sedangkan parameter yang diukur adalah SO2 dan NO2. Nilai konsentrasi tahunan setiap

parameter adalah rata-rata dari nilai konsentrasi triwulanan. Selanjutnya nilai konsentrasi

27

rata-rata tersebut dikonversikan menjadi nilai indeks dalam skala 0 – 100 untuk setiap

provinsi. Dengan demikian diperoleh nilai IPNO2 dan IPSO2 untuk masing-masing provinsi.

Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai indeks pencemaran udara (IPU) yang merupakan

rata-rata dari IPNO2 dan IPSO2.

Penghitungan Indeks Tutupan Hutan (ITH)

Indeks tutupan hutan (ITH) merupakan persentase antara luas hutan primer (LHP) dan

hutan sekunder (LHS) terhadap luas kawasan hutan (LKH) berdasarkan keputusan Menteri

Kehutanan. Sama seperti indeks yang lain, penghitungan ITH juga dilakukan untuk masing-

masing provinsi. Oleh karena itu, khusus untuk DKI Jakarta, yang tidak memiliki kawasan

hutan, nilai ITH dihasilkan dengan memperbandingkan antara luas hutan kota dengan 10

persen luas wilayah.

3.5. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kementrian LH (2012)

Dalam perkembangannya, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup yang dihitung oleh

Kementrian Lingkungan Hidup kemudian mengalami perubahan pada tahun 2012. Perubahan

penghitungan IKLH pada tahun 2012 terkait dengan perubahan metode perhitungan indeks

dan penambahan parameter yang dipergunakan.

Pada metode penghitungan indeks dilakukan perubahan dalam hal metodologi

perhitungan indeks. Penghitungan indeks yang awalnya menggunakan bobot yang sama

untuk setiap komponen (IPA, IPU dan ITH), maka pada penghitungan IKLH tahun 2012

bobot setiap komponen dapat berbeda. Komponen tutupan hutan (ITH) dipandang memiliki

peran yang lebih besar dibandingkan dua komponen lainnya, sehingga diberikan bobot yang

lebih tinggi yaitu 40 persen dari total IKLH. Sedangkan dua komponen yang lain (IPA dan

IPU) dipandang memiliki peran yang seimbang, masing-masing diberi bobot 30 persen dari

total IKLH.

Perubahan lainnya dalam metode penghitungan indeks adalah dengan menentukan

benchmark dari nilai maksimum, minimum, median dan rerata. Guna memperoleh hasil yang

lebih baik, pendekatan statistik juga dimanfaatkan untuk melakukan penapisan pencilan

(outlier) dan konsistensi deret waktu (time series consistency).

Selain perubahan metode penghitungan indeks, juga dilakukan perubahan pada

parameter yang dipergunakan dalam menyusun IKLH. Pada penghitungan indeks

pencemaran udara (IPU), selain menggunakan parameter NO2 dan SO2, juga ditambahkan

parameter NOx dan SOx. Untuk indeks pencemaran air (IPA), selain menggunakan

parameter TSS, DO dan COD, juga ditambahkan parameter BOD, total fosfat, fecal coli dan

total coliform.

Dalam metode IKLH 2012, selain penghitungan nilai IKLH, juga ditetapkan klasifikasi

kualitas lingkungan hidup ke dalam 7 (tujuh) kategori. Kategori paling rendah adalah

waspada, dan yang paling tinggi adalah kategori unggul. Penentuan klasifikasi dilakukan

sebagai berikut :

Unggul; IKLH > 90

Sangat baik; 82 < IKLH ≤ 90

Baik; 74 < IKLH ≤ 82

Cukup; 66 ≤ IKLH ≤ 74

Kurang; 58 ≤ IKLH < 66

Sangat Kurang; 50 ≤ IKLH < 58

Waspada; IKLH < 50

28

Sebagai perbandingan, metode yang dipergunakan dalam penghitungan IKLH tahun

2012 juga diimplementasikan untuk data tahun 2011. Dengan demikian, metode baru ini

dapat memperbandingkan kondisi pada tahun 2012 dengan kondisi pada tahun 2011. Hasil

lengkap penghitungan IKLH tersebut ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 14 Nilai dan Peringkat IKLH tahun 2011 dan 2012

Provinsi

2011

2012

IPU IPA ITH IKLH Pering-

kat IPU IPA ITH IKLH

Pering-

kat

Aceh 90.96 53.68 75.06 73.42 11

89.65 57.00 74.15 73.65 9

Sumatera Utara 89.60 60.19 47.20 63.82 20

85.50 62.00 46.06 62.67 20

Sumatera Barat 91.05 61.90 67.24 72.78 12

86.02 59.29 65.36 69.74 13

Riau 67.07 55.60 60.49 61.00 23

51.91 54.30 54.81 53.79 28

Jambi 90.33 58.86 51.85 65.50 19

84.49 55.00 48.29 61.16 21

Sumatera Selatan 89.34 60.80 34.52 58.85 26

84.06 55.00 34.68 55.59 27

Bengkulu 87.80 64.10 59.14 69.23 15

87.26 57.40 56.54 66.01 16

Lampung 87.23 62.96 30.19 57.13 28

78.44 53.29 31.15 51.98 30

Bangka Belitung 89.52 61.85 39.44 61.19 22

83.93 59.50 37.85 58.17 25

Kepulauan Riau 90.82 60.88 57.23 68.40 16

89.46 61.00 56.09 67.57 14

DKI Jakarta* 47.21 35.65 30.11 36.90 33

44.31 41.05 27.99 36.80 33

Jawa Barat 71.03 46.27 38.24 50.49 31

65.53 43.75 38.49 48.18 31

Jawa Tengah 81.93 48.23 48.27 58.36 27

79.27 52.40 53.66 60.96 22

DI. Yogyakarta 78.51 42.03 34.15 49.82 32

83.65 49.04 33.59 53.25 29

Jawa Timur 73.84 57.94 51.72 60.22 25

68.88 57.09 52.93 58.96 24

Banten 74.05 51.04 37.92 52.70 30

53.13 53.50 36.95 46.77 32

Bali 80.15 56.15 39.32 56.62 29

83.64 61.50 38.87 59.09 23

Nusa Tenggara Barat 89.51 47.25 62.83 66.16 18

86.20 54.00 61.74 66.76 15

Nusa Tenggara Timur 92.19 56.73 57.31 67.60 17

87.84 54.82 56.70 65.48 18

Kalimantan Barat 95.38 63.63 64.87 73.65 10

89.19 63.25 61.89 70.49 12

Kalimantan Tengah 93.26 54.69 76.58 75.02 8

88.48 54.25 71.00 71.22 11

Kalimantan Selatan 88.69 54.32 45.15 60.96 24

77.46 53.26 43.80 56.74 26

Kalimantan Timur 87.35 50.88 82.36 74.42 9

83.94 51.39 83.69 74.07 7

Sulawesi Utara 90.77 55.95 63.54 69.43 14

84.90 53.85 60.00 65.62 17

Sulawesi Tengah 89.07 59.93 91.11 81.15 3

87.96 70.00 88.16 82.65 1

Sulawesi Selatan 91.42 53.44 50.21 63.54 21

87.98 61.00 50.05 64.72 19

Sulawesi Tenggara 90.00 54.75 87.08 78.26 4

84.65 56.50 85.83 76.68 5

Gorontalo 95.06 53.50 83.83 78.10 5

89.17 52.19 81.22 74.90 6

Sulawesi Barat 88.89 55.84 69.75 71.32 13

87.03 60.84 67.86 71.51 10

Maluku 95.01 48.93 81.45 75.76 7

89.71 48.67 81.02 73.92 8

Maluku Utara** 96.94 54.63 80.98 77.86 6

96.94 57.57 79.71 78.24 4

Papua Barat 92.51 64.50 92.54 84.12 1

91.03 54.50 92.52 80.67 3

Papua 91.07 49.43 98.91 81.72 2

90.19 55.00 96.97 82.34 2

Nasional

65.50

64.21

Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup

Catatan : IPU (Indeks Pencemaran Udara); IPA (Indeks Pencemaran Air); ITH (Indeks Tutupan Hutan)

29

Tabel 15 Perbandingan Metode Penghitungan IKL (BPS) dan IKLH (Kementrian Lingkungan Hidup)

Keterangan IKL (BPS) IKLH (Kemen LH)

2007 2008 2009-2011 2012

Metode yang diadopsi

Virginia Environmental Quality Index (VEQI)

Virginia Environmental Quality Index (VEQI)

Environmental Performance Index (EPI), EPI Virginia Environmental Quality Index (VEQI) VEQI Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) Indeks Kualitas Lingkungan (IKL)

Ruang Lingkup Perhitungan

Ibukota Provinsi Ibukota Provinsi Provinsi Provinsi Nasional Nasional

Parameter yang digunakan

Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara (IKU) Kualitas Udara Kualitas Udara 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi NOx 1. Konsentrasi SO2 1. Konsentrasi SO2 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi CO 2. Konsentrasi NO2 2. Konsentrasi NO2 Kualitas Air (IKA) Kualitas Air (IKA) 3. Konsentrasi SOx 1. Nilai maks BOD 1. Nilai maks BOD 4. Konsentrasi NOx 2. Nilai maks COD 2. Nilai maks COD 3. Nilai maks DO 3. Nilai maks DO Kualitas Air Sungai Kualitas Air Sungai 4. Nilai maks NO3 (Nitrat) 1. Nilai maks TSS 1. Nilai maks TSS 5. Nilai maks NH3 (Amoniak) 2. Nilai maks DO 2. Nilai maks DO 6. Nilai maks pH 3. Nilai maks COD 3. Nilai maks COD 7. Nilai maks TDS 4. Nilai maks BOD 8. Nilai maks TSS 5. Nilai maks Total Fosfat 9. Nilai maks SO4 6. Nilai maks Fecal Coli Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp)

Kualitas Tanah Pemukiman (IKTp) 7. Nilai maks Total Coliform

1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut

1. Proporsi volume sampah per hari (m3) yang tidak terangkut per km2.

2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL) dan lainnya

2. % RTdgn pembuangan akhir tinja berupa tangki (SPAL)

Populasi (IKP) 1. Kepadatan penduduk per Ha

Tutupan Hutan Tutupan Hutan 1. Luas Hutan Primer 1. Luas Hutan Primer 2. Luas Hutan Sekunder 2. Luas Hutan Sekunder

Pembobotan antar Matra

Sama Berbeda (IKU=18; IKA=13; IKTp=10; IKP=10; Total=51)

Sama Berbeda (IPU=30%; IPA=30%; ITH=40%; Total=100%)

30

3.6. PDB/PDRB Hijau (Green GDP)

Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) yang dilakukan hingga saat ini baru menghitung nilai total barang dan jasa akhir

(final product) yang memberikan gambaran mengenai struktur perekonomian dan

pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. PDB/PDRB konvensional ini dikenal dengan

PDB/PDRB cokelat (Brown GDP). PDRB belum memasukkan aspek penipisan sumber daya

alam (deplesi) dan kerusakan lingkungan (degradasi). Sumber daya alam yang dieksploitasi

dan menjadi input pada kegiatan ekonomi tidak pernah dihitung nilai penyusutannya.

Demikian juga dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang memerlukan biaya

pemulihan dan pemeliharaan tidak pernah dihitung sebagai biaya yang seharusnya

mengurangi besaran pendapatan

Buku sistem pendapatan nasional, SNA 2008, membahas tentang Sistem Pendapatan

Nasional yang diperluas dengan memasukkan komponen penipisan sumber daya alam dengan

degradasi lingkungan. Integrasi PDRB dengan penipisan sumber daya alam dan degradasi

lingkungan dapat dilakukan dengan cara membuat neraca terpisah sebagai bagian dari sistem

pendapatan nasional. Neraca terpisah atau neraca satelit ini merupakan suatu neraca yang

mengintegrasikan neraca pendapatan nasional dan neraca lingkungan yang dinamakan

Satellite System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA). Dengan

kata lain, SEEA merupakan perluasan sistem pendapatan nasional yang memasukkan unsur

sumber daya alam dan lingkungan. Aktivitas ekonomi membutuhkan sumber daya alam

sebagai aset produksi, sehingga di dalam kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa tidak

saja menggunakan aset buatan manusia yang berpengaruh (misalnya mesin-mesin, gedung,

alat transpor) tetapi juga aset alam (sumber daya mineral, sumber biota alam seperti hutan,

ikan, udara, air, tanah).

Dalam SEEA, aset alam dibagi atas dua bagian yaitu aset alam yang bersifat ekonomis

dan yang tidak bersifat ekonomis. Aset alam ekonomis adalah aset alam yang keberadaannya

telah bisa dikontrol oleh pemiliknya. Hak kepemilikan ini biasanya telah diatur secara resmi

oleh pemerintah, dikuasai oleh para pelaku ekonomi. Aset alam ekonomis apabila diputuskan

untuk diolah dalam proses produksi akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Contoh

aset alam ekonomis adalah barang-barang fisik dan mineral (minyak bumi, gas alam, batu

bara, timah dan tembaga) yang siap ditambang, hutan yang dikuasai oleh pengusaha hutan

(HPH), tanah pertanian, air dalam reservoir, ikan dalam kolam, tambak, danau dan laut yang

dikuasai.

Selanjutnya aset alam yang non ekonomis atau disebut juga sebagai aset lingkungan

adalah semua aset yang keberadaannya di luar kontrol manusia, atau terjadi secara alamiah.

Contoh aset ini adalah barang-barang mineral yang sudah diidentifikasi keberadaannya

namun secara ekonomis belum dapat ditambang, ikan dalam laut lepas, flora dan fauna liar,

kayu pada areal hutan dan sebagainya. Aset lingkungan ini biasanya tidak diketahui besaran

stoknya, namun setiap pengambilan barang-barang alam ini untuk kemudian diolah, akan

mengurangi stok di alam atau menipiskan persediaan cadangan dan sekaligus akan membawa

dampak pada penurunan kualitas lingkungan sehubungan dengan kegiatan pengambilannya.

Pemakaian aset alam ekonomis dan aset lingkungan untuk kegiatan produksi dalam

SEEA diperhitungkan sebagai komponen penyusutan seperti halnya penyusutan pada barang

modal tetap. Dalam PDB konvensional, penyusutan ini tidak diperhitungkan sehingga

pemakaian aset alam tersebut tidak mempengaruhi besaran PDB. Apabila penyusutan sumber

daya alam dan degradasi lingkungan yang timbul karena kegiatan ekonomi diperhitungkan

sebagai unsur pengurang dari PDB konvensional (Brown GDP), akan menjadi

Environmentally Adjusted Domestic Product atau EDP (Green GDP) atau Produk Domestik

31

Regional Neto 2 (PDRN 2). Konsep inilah kemudian yang diadopsi oleh BPS dalam

menghitung PDB Hijau (Green GDP).

Secara nasional, BPS telah melakukan studi untuk menghitung Produk Domestik Neto

2 (PDN2). Sebelum menghitung PDN2, terlebih dahulu dihitung PDN1, yaitu Produk

Domestik Neto dikurangi dengan deplesi sumber daya alam. Sumber daya alam yang dicakup

dalam studi meliputi sumber daya hutan dan sumber daya mineral yang terdiri dari minyak

bumi, gas alam, batubara, bauksit, timah, emas, perak dan bijih nikel. Selanjutnya dihitung

nilai PDN2, yaitu PDN1 dikurangi dengan degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan

dalam studi dihitung dengan pendekatan adanya emisi gas rumah kaca (GRK) yang

merupakan dampak negatif dari aktivitas ekonomi. Gas rumah kaca yang dihitung hanya

meliputi CO2 dan CH4 yang meliputi deforestasi, kerusakan hutan dan kebakaran hutan,

kerusakan lahan sawah (CH4), penggunaan pupuk urea (CO2), konsumsi bensin, solar,

minyak tanah, LPG, batubara dan briket batubara untuk industri dan transportasi (BPS, 2012).

Namun studi yang dilakukan oleh BPS ini hanya mengukur PDB hijau pada level nasional,

belum mendistribusikannya pada level provinsi.

Tabel 16 Hasil Analisis BPS dalam Penghitungan PDB Hijau

Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010

PDB 2,774,281 3,339,217 3,950,893 4,948,688 5,603,871 6,422,918

PDN 2,635,567 3,172,256 3,753,349 4,701,254 5,323,678 6,101,772

PDN1 2,463,798 3,001,153 3,563,258 4,445,758 5,096,554 5,853,609

PDN2 2,387,578 2,938,687 3,512,469 4,376,022 4,958,581 5,786,735

(PDN / PDB) x 100 95.00 95.00 95.00 95.00 95.00 95.00

(PDN1 / PDB) x 100 88.81 89.88 90.19 89.84 90.95 91.14

(PDN2 / PDB) x 100 86.06 88.01 88.90 88.43 88.48 90.10

Sumber : BPS (2012)

Pada kajian yang lain, Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Dannish

International Development Agency (DANIDA), melalui kegiatan Environmental Support

Programme (ESP), juga telah memulai proyek percontohan untuk memperkirakan PDRB

hijau di tingkat lokal sebagai langkah awal untuk melaksanakan perhitungan PDRB dan PDB

Hijau. Kegiatan diawali dengan diskusi kelompok terfokus / FGD yang diadakan di Jakarta

dengan melibatkan banyak ahli yang sebelumnya telah terlibat dalam penghitungan PDRB

dan PDB di Indonesia, ahli yang memiliki latar belakang dan pengalaman dalam pengelolaan

lingkungan, dan staf pemerintah dari berbagai kementrian yang telah menggunakan angka

PDRB/PDB.

Untuk tujuan uji coba metodologi, pemerintah daerah yang dipilih adalah Provinsi Bali

dengan alasan adanya kesediaan pemerintah daerah untuk mendukung uji coba, ketersediaan

data, dan tersedianya sumber daya manusia yang telah mengikuti pelatihan tentang cara

membuat PDRB hijau. Dari proyek percontohan, pelajaran, ide-ide dan metode yang telah

diperoleh dan dapat diterapkan dalam menciptakan PDRB Hijau Provinsi Bali dan PDB Hijau

Indonesia.

Kerangka umum yang dipergunakan dalam studi DANIDA-KLH hampir sama dengan

yang dipergunakan oleh BPS, dimana PDRB/PDB Hijau setara dengan nilai PDRB/PDB

konvensional dikurangi nilai total deplesi sumber daya alam dan degradasi jasa lingkungan.

Perbedaan yang paling mendasar antara penghitungan adalah penempatan komponen

penyusutan modal buatan (depresiasi modal buatan). BPS memasukkan komponen ini

sebagai pengurang PDB/PDRB konvensional, sedangkan DANIDA-KLH melakukan yang

32

sebaliknya. Tidak dimasukkannya komponen ini didasari oleh alasan bahwa PDRB/PDB

Hijau berkaitan dengan produk domestik bruto (PDB), bukan produk nasional bruto (national

domestic product/NDP). Dengan demikian, secara matematis, perhitungan PDB/PDRB Hijau

yang dilakukan oleh DANIDA-KLH merupakan hasil pengurangan antara PDRB

Konvensional dengan deplesi sumber daya tak terbarukan (mineral dan batubara), deplesi

sumber daya terbarukan (kehutanan dan perikanan) dan degradasi lingkungan.

Dalam studi kasus di Provinsi Bali, nilai CGRDP Provinsi Bali diperoleh dari publikasi

yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Perhitungan penipisan/deplesi

sumber daya tak terbarukan (pertambangan dan produk penggalian seperti batu, pasir dan

kerikil)akan diperoleh dengan mengalikan volume fisik produk di ekstraksi dengan masing-

masing harga per unit atau rente ekonomi, sedangkan menipisnya sumber daya alam

terbarukan (kayu, ikan dan air) dapat ditemukan dengan mengalikan total komoditas sumber

daya yang di ekstrak dengan harga satuannya masing-masing.

Degradasi lingkungan dibedakan menjadi degradasi sumber daya lahan, sumber daya

air, dan sumber daya udara. Degradasi lahan terkait dengan adanya kegiatan penggalian,

konversi lahan dan penurunan kesuburan tanah yang menyebabkan turunnya daya dukung

lingkungan. Dalam penghitungan PDRB Hijau Provinsi Bali, degradasi lahan dihitung dari

lahan kritis yang disebabkan oleh galian C (penggalian pasir dan kerikil), penurunan

kesuburan lahan pertanian akibat eksploitasi pertanian, serta penurunan fungsi lingkungan

akibat adanya konversi lahan. Degradasi sumber daya udara dihitung berdasarkan penurunan

kualitas udara karena CO2 yang berasal konsumsi bahan bakar untuk kendaraan bermotor

(transportasi) dan konsumsi rumah tangga. Komponen lain yang menjadi bagian dari

penghitungan degradasi sumber daya udara adalah yang berasal dari gas methan (CH4) yang

berasal dari pertanian dan peternakan. Degradasi lingkungan juga memperhitungkan

penurunan kualitas air dan hutan yang terdegradasi akibat illegal logging.

Tabel 17 PDRB Hijau Bali, 2010

No. Item Juta Rupiah

1. PDRB konvensional (Brown GRDP) 66.690.598,00 2. Deplesi Sumber Daya Alam 1.776.471,00 3. PDRB Semi Hijau (Semi Green GRDP) 64.914.127,00 4. Degradasi lingkungan 1.251.732,02 5. PDRB Hijau (Green GRDP) 63.662.394,98 6. Penduduk Pertengahan tahun 2010 3.890.757 7. PDRB Hijau per Kapita 16,36 8. PDRB Konvensional per Kapita 17,14

Sumber : DANIDA 2012

Metode yang dipergunakan untuk menghitung PDRB Hijau di Provinsi Bali ini

kemudian diterapkan untuk menghitung PDB hijau pada tingkat nasional. Namun upaya

untuk melakukan hal ini masih menghadapi banyak kesulitan. Isu tentang ketersediaan data di

seluruh wilayah dan lintas sektor menjadi kendala utama. Data yang dibutuhkan tidak selalu

tersedia sesuai kebutuhan studi PDB Hijau. Selain deplesi produk yang sama mungkin

memiliki satuan pengukuran yang berbeda,juga banyak data yang tidak tersedia karena

penelitian terkait dengan penilaian terhadap pencemaran lingkungan dan degradasi sangat

terbatas.

33

Tabel 18 PDB Hijau Indonesia, 2009

No. Item (Miliar Rupiah) 1 PDB Konvensional (Brown GDP) 5.606.203,40 2 Deplesi Sumber Daya Alam 1.066.079,94 3 PDB Semi Hijau (Semi Green GDP) 4.540.123,46

Degradasi Lingkungan:

4 Degradasi Udara dari hutan (CO2) 12.235,13 5 Degradasi Udara dari kendaraan (CO2) 6.800,03 6 Degradasi Udara dari rumah tangga (CO2) Na 7 Degradasi Udara dari pertanian padi (CH4) Na 8 Degradasi Udara dari peternakan (CH4) Na 9 PDB Hijau (Green GDP) 4.521.088,30

Sumber : DANIDA 2012

3.7. Tantangan dan Kendala Implementasi IKLH di Daerah

Hingga saat ini penghitungan IKLH hanya dilakukan oleh Kementrian Lingkungan

Hidup dengan analisis sampai pada tingkat provinsi. Tidak adanya aturan yang mengikat

tentang penghitungan IKLH di daerah mempengaruhi belum munculnya inisiasi daerah

(terutama kabupaten/kota) untuk mengukur kualitas lingkungannya dengan menggunakan

IKLH. Ukuran kualitas lingkungan daerah hanya menggunakan indikator yang tercantum

dalam Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD). Sebagian besar indikator penghitungan

IKLH tercantum dalam SLHD, sehingga pengembangan SLHD akan membantu

menghasilkan IKLH daerah.

Karena belum adanya penghitungan IKLH di daerah, maka peluang, tantangan dan

kendala dalam penerapan IKLH di daerah digali melalui diskusi dengan beberapa stakeholder

yang terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah dan beberapa institusi

adat. Diskusi dilakukan di beberapa daerah yaitu Kota Balikpapan. Berdasarkan hasil diskusi

tersebut dapat disarikan beberapa tantangan dan kendala implementasi IKLH di daerah,

sebagai berikut:

Ketersediaan data penunjang penghitungan IKLH masih sangat terbatas. Keterbatasan

data terutama dialami untuk indikator yang terkait dengan biomassa dan tutupan hutan.

Data kependudukan dan demografi dalam penghitungan SLHD juga mengalami persoalan

lag data, dimana data yang tersedia adalah data tahun sebelumnya, bukan tahun berjalan.

Data yang tersedia juga masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Keterbatasan kuantitas dan

kualitas data ini terkait dengan minimnya peralatan, pendanaan dan sumberdaya manusia

yang menangani urusan lingkungan. Proses mutasi pegawai yang tidak linier

mengakibatkan pegawai yang sudah memiliki keahlian di bidang lingkungan dimutasikan

ke unit kerja yang tidak berhubungan dengan lingkungan.

Keterbatasan pembiayaan oleh daerah dalam hal pengukuran kualitas lingkungan dapat

disiasati dengan menggandeng pihak swasta, terutama yang terkait dengan kegiatan

usahanya, seperti pengukuran emisi udara dari cerobong asap dan pengukuran kualitas air

sungai tempat buangan limbah.

Indikator lingkungan yang dihasilkan selama ini pemanfaatannya masih belum optimal di

dalam mengukur capaian pembangunan daerah. Implementasi IKLH di daerah akan

sangat bermanfaat apabila indikator ini disebutkan secara mengikat di dalam dokumen

perencanaan nasional, sehingga pada akhirnya juga akan mengikat pada perencanaan

pembangunan daerah. Kalimantan Timur, dalam menyusun dokumen

34

perencanaannya(RPJMD) ke depan, sudah mulai memasukkan indikator lingkungan

sebagai salah satu target capaian pembangunan daerah. Internalisasi indikator lingkungan

dalam dokumen perencanaan (RPJMD) sudah dilakukan oleh Kota Surabaya. Indikator

yang dimasukkan meliputi indikator kualitas air, udara, ruang terbuka hijau serta

pengelolaan sampah.

Tabel 19 Indikator Lingkungan dalam RPJMD Kota Surabaya

Indikator Kondisi

Awal

Kondisi

Akhir

Persentase Luas RTH yang berfungsi Optimal terhadap keseluruhan

luas RTH yang ada 16.13% 51, 88 %

Cakupan layanan Kebersihan 163/175 175/175 Jumlah sampah yang dikelola di TPA 1241.8 1180.94 Rata – rata jumlah sampah yang diangkut dari TPS (m3) 3625.07 3447.41 Kualitas air limbah industri

BOD 54.64% 76% COD 55.67% 70% TSS 47.66% 72%

Kualitas air limbah domestik BOD 21.45% 52% TSS 25.02% 54%

Kualitas air limbah RS BOD 21.71% 70% COD 37.62% 70% TSS 28.14% 72%

Kualitas air limbah hotel BOD 22.58% 56% COD 19.05% 46% TSS 18.06% 50%

Kualitas udara emisi di kawasan Industry SO2 60.93% 85% NO2 42.83% 85%

Untuk melengkapi IKLH, diperoleh pula peluang untuk menghitung PDRB hijau sampai

level provinsi/kabupaten/kota. Namun mengingat penghitungan PDRB hijau

membutuhkan ketersediaan data yang cukup kompleks, maka penghitungan PDRB hijau

dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal, penghitungan PDRB hijau cukup

menghitung depresiasi dan deplesi sumberdaya alam saja, tanpa menghitung komponen

degradasi lingkungan. Penghitungan degradasi lingkungan dapat dilakukan pada tahapan

berikutnya. Provinsi Bali merupakan satu provinsi yang telah melakukan penghitungan

PDRB hijau, untuk lingkup provinsi. Penghitungan PDRB provinsi Bali lebih mudah

dibandingkan daerah lain, karena kondisi geografisnya yang berada dalam satu pulau,

sehingga dapat meminimalkan potensi permasalahan dalam penghitungan, misalnya

permasalahan penghitungan pencemaran air sungai yang menjadi sulit jika sungai tersebut

melintasi lebih dari satu provinsi. Akan sulit menentukan apakah degradasi lingkungan

menjadi tanggung jawab pemerintah yang ada di hulu atau di hilirnya. Berbeda dengan

penghitungan PDRB hijau yang dilakukan oleh BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup-

35

DANIDA, penghitungan PDRB hijau provinsi Bali tidak saja menampilkan penghitungan

secara total, tetapi juga sampai pada sektoral, walau masih terbatas pada penghitungan

PDRB semi hijau. Untuk PDRB hijau penghitungan masih dilakukan secara total.

Tabel 20 PDRB Semi Hijau Provinsi Bali 2010

Lapangan Usaha PDRB

Konvensional

2010 Deplesi

PDRB Semi

Hijau 2010

Kesimpulan

1. Pertanian 12,097,348.42 1,216,569.20 10,880,779.23 Terdeplesi

2. Penggalian 466,486.73 44,581.34 421,905.39 Terdeplesi

3. Industri 6,120,473.78 11,305.73 6,109,168.05 Terdeplesi

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 1,263,308.88 43,487.22 1,219,821.66 Terdeplesi

5. Bangunan 3,033,986.71 3,442.49 3,030,544.22 Terdeplesi

6. Perdagangan, Hotel & Restoran 20,016,062.16 23,941.81 19,992,120.35 Terdeplesi

7. Angkutan 9,628,024.27 10,582.27 9,617,442.00 Terdeplesi

8. Keuangan 4,548,558.14 2,313.81 4,546,244.33 Terdeplesi

9. Jasa-Jasa 9,516,349.04 10,142.69 9,506,206.35 Terdeplesi

Total 66,690,598.13 1,366,366.55 65,324,231.58 Terdeplesi Sumber: BPS Provinsi Bali

Penghitungan IKLH saat ini lebih banyak menggunakan indikator fisik yang sulit

dipahami oleh orang awam, seperti CO, BOD, COD, TSS, dst. Untuk pengembangan

IKLH, diusulkan pula untuk memasukkan indikator yang lebih mudah dipahami oleh

orang awam, seperti bencana alam (banjir, longsor), tingkat kesehatan masyarakat, atau

memanfaatkan hasil Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH) yang oleh BPS

setiap tahun.

Diperoleh pula usulan agar penghitungan IKLH daerah tetap dilakukan oleh pusat,terkait

kekhawatiran adanya bias penghitungan. Atau, jika akan dihitung oleh daerah, perlu

adanya penetapan instansi apa yang berwenang serta dibutuhkan transfer ilmu melalui

pelatihan-pelatihan.

Terdapat beberapa kegiatan terkait aspek lingkungan telah dilakukan di daerah, seperti

pemberian label sekolah dengan nama yang terkait dengan lingkungan (misal sekolah

mangrove dan sekolah hutan lindung di Balikpapan), pelaksanaan program penilaian

peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup (PROPER) dan

pelaksanaan car free day. Namun belum ada ukuran atau indikator yang melihat capaian

dari kegiatan-kegiatan tersebut.

36

IV. PENGEMBANGAN IPLH PADA RPJM 2015-2019

4.1. Pengembangan indikator yang relevan dalam RPJM 2015-2019

Dalam kurun waktu 5 - 6 tahun ke depan dimana RPJM tahap 3 dimulai, penduduk

Indonesia diprediksi akan mencapai hampir 260 juta jiwa. Jumlah penduduk yang demikian

besar ini tentu saja akan menimbulkan tantangan tersendiri terhadap pengelolaan sumber

daya alam dan lingkungan. Tantangan yang dihadapi Indonesia bukan saja menyangkut

pemenuhan kebutuhan pangan namun juga bagaimana menjaga keseimbangan sumber daya

alam dan lingkungan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Percepatan pembangunan melalui berbagai program seperti MP3EI selain tentu akan

memberikan dampak pengganda terhadap ekonomi, namun juga akan memberikan tekanan

terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang tidak kecil. Dampak ini akan terasa pula

pada tahapan pembangunan berikutnya yakni pada periode 2015-2019. Dengan demikian

dalam RPJM mendatang indikator lingkungan hidup juga menghadapi situasi yang lebih

kompleks dibanding dengan indikator yang telah dikembangkan selama ini. Untuk

mengantisipasi berbagai skenario tersebut pengembangan indikator yang relevan dengan

prediksi ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh dinamika ekonomi dan penduduk perlu

menjadi perhatian khusus. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran terkait dengan

relevansi indikator pembangunan lingkungan dalam RPJM 2015-2019.

1. Indikator hulu-hilir.

Sebagaimana dikemukakan pada Bab 3, hasil temuan di daerah menunjukkan bahwa

indikator lingkungan hidup yang ada saat ini sulit untuk diimplementasikan di daerah dan

juga sulit dipahami bagi masyarakat awal dan para pengambil kebijakan di tingkat daerah

karena menggunakan variabel-variabel yang bersifat teknis. Sebagian indikator ini lebih

mengukur “dampak” ketimbang “penyebab”. Dengan kata lain indikator saat ini lebih

bias ke arah degradasi atau kerusakan lingkungan daripada indikator pencegah kerusakan

lingkungan. Dalam RPJM mendatang indikator yang terkait dengan aspek “hulu” patut

menjadi pertimbangan karena dari sinilah ongkos kerusakan lingkungan dapat ditekan dan

relevansi kebijakan lingkungan baik di pusat dan di daerah dapat diukur. Salah satu

indikator “hulu” yang saat masih belum menjadi perhatian adalah kebijakan dan regulasi

yang terkait dengan lingkungan. Meski sampai saat ini belum ada satupun studi yang

mengukur dampak regulasi lingkungan ini terhadap indeks lingkungan hidup, variabel ini

sebenarnya sangat relevan dalam mengukur kinerja pembangunan lingkungan hidup baik

pada tingkat pusat dan daerah. Daerah dengan tingkat pencemaran sungai yang rendah

bukan saja karena BOD atau COD yang rendah, namun mungkin saja disebabkan adanya

regulasi yang mengatur dengan ketat pembuangan sampai di sungai, penyediaan anggaran

kebersihan yang memadai, kebijakan yang terkait dengan tata ruang dan badan sungai

atau kebijakan yang mengubah mindset masyarakat akan pentingnya sungai sebagai

sumber kehidupan bukan sebagai tempat pembuangan sampah. Dalam IKLH yang

digunakan saat ini variabel ini tidak terukur sama sekali sehingga tidak memberikan

umpan balik kepada daerah maupun pusat akan pentingnya kebijakan dan regulasi yang

terkait dengan lingkungan.

2. Bio-kapasitas.

Aspek kedua yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan IPLH pada RPJM

mendatang adalah terkait dengan bio-kapasitas. Bio-kapasitas dapat menjadi indikator

pencegahan lingkungan karena akan mengukur kemampuan daya dukung suatu

37

lingkungan. Aspek bio-kapasitas selama ini memang belum menjadi pertimbangan dalam

penentuan indikator lingkungan, namun di masa mendatang indikator ini patut menjadi

pertimbangan mengingat akan terjadinya ketidakseimbangan antara ketersediaan lahan

dan kebutuhan lahan baik untuk pangan maupun non pangan.

3. Ecological Footprint (EF).

Aspek lain yang patut menjadi pertimbangan dalam penentuan IPLH adalah jejak

ekologi atau ecological footprint. Saat ini Indonesia belum memperhatikan secara

seksama ecological footprint yang ditimbulkan dari pembangunan, padahal dari sini akan

diketahui apakah pembangunan tersebut mengarah ke efisiensi sumber daya atau tidak.

Penggunaan akan membantu mendorong Indonesia menuju pembangunan yang berbasis

ekonomi hijau. Pertimbangan EF dalam RPJM juga penting mengingat EF bukan saja

memberikan indikator terkait pemanfaatan sumber daya, namun juga akan memberikan

umpan balik bagi evaluasi pembangunan yang dijalankan setiap tahun.

Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam RPJM mendatang, indeks pembangunan

lingkungan hidup seyogianya dibangun dari tiga indikator dasar yakni terkait dengan unsur

kebijakan lingkungan (environmental policy), unsur pengelolaan lingkungan (environmental

management) dan environmental impact sebagaimana terlihat pada Gambar 4di bawah ini.

Unsur environmental impact saat ini sudah menjadi pertimbangan utama yang diukur dari

dampak terhadap udara dan air serta tutupan hutan, namun kembali bahwa ini hanya

merupakan dampak dari kebijakan dan pengelolaan lingkungan yang dilakukan baik pada

tingkat nasional maupun regional. Memang komponen kebijakan dan pengelolaan lingkungan

sudah tertera dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) yang secara berkala

diterbitkan oleh KLH selama ini dimana unsur PSIR (Pressure-State-Impact-Response) sudah

secara implisit dibahas di dalamnya. Namun demikian komponen ini belum terintegrasikan di

dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup saat ini. Pertimbangan terhadap komponen

environmental policy dan environmental management akan menggambarkan dinamika

pembangunan yang dijalankan selama periode sebelumnya (pressure) dan dampaknya di

masa kini dan mendatang serta respon kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah.

Gambar 4 Pengembangan IPLH dalam RPJMN 2015-2019

IPLH

Env

Impact

Env

Policy

EnvManage-

mentInput

Process

OutputSektor/LH

Penduduk2015-2019

PertumbuhanEkonomi

IndonesiaHijau Lestari

Dinamika Global

Sektor/KLH

38

4.2. Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan Hidup

Dengan memperhatikan berbagai aspek terkait dengan indikator lingkungan hidup yang

ada saat ini dan tantangan yang dihadapi dalam RPJM mendatang, maka dapat disampaikan

bahwa penggunaan IKLH dengan pendekatan dan parameter yang ada saat ini untuk

mendukung RPJM mendatang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan indikator

pembangunan yang menyeluruh. Indikator lingkungan yang ada saat ini masih bersifat parsial

dan seolah terlepas dari komponen pembangunan lain yakni aspek ekonomi dan sosial. Untuk

menjembatani defisiensi tersebut maka diperlukan beberapa terobosan yang dapat digunakan

untuk mengembangkan indikator pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan RPJM

mendatang. Beberapa indikator tersebut, termasuk roadmap pengembangannya, diuraikan

berikut ini.

4.2.1. Indikator Mikro: Penyempurnaan IKLH

Defisiensi IKLH dapat direduksi dengan melakukan penyempurnaan pada IKLH.

Penyempurnaan IKLH dapat dilakukan dengan mengubah bobot dan komponen penilaian

media. Pada tahap awal diperlukan penyempurnaan standarisasi pengukuran sehingga

indikator yang dinilai antar daerah menjadi “apple to apple”. Sebagai contoh luas tutupan

hutan di Jakarta 10% bisa saja distandarkan atau disetarakan dengan 30% luas tutupan hutan

di Kalimantan atau Papua. Hal ini disebabkan karena beban dan kondisi geografis yang

berbeda antara Jakarta dengan kedua daerah tersebut. Standarisasi ini juga dilakukan dengan

mempertimbangkan variabel input yang berperan dalam output lingkungan seperti anggaran

dan SDM. Jadi 0,5 % anggaran di Papua mungkin bisa distandarkan dengan 2% di Jakarta

dan sebagainya. Saat ini untuk IKLH 2012, meski tidak dilakukan standarisasi secara

metodologis, perbedaan tutupan hutan antara Jakarta dan daerah lain memang dibedakan

melalui Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk Jakarta telah digunakan RTH sebagai proxy

untuk tutupan hutan.

Standarisasi dalam penilaian kualitas air sungai juga dibutuhkan, terutama jika sungai

tersebut melewati lebih dari satu daerah. Kerusakan sungai yang sudah terjadi di daerah hulu,

tentunya akan berdampak langsung pada kondisi daerah yang berada di hilir, sehingga

dibutuhkan standarisasi penilaian. Misalnya dengan menggunakan selisih antara kualitas air

di hulu dan hilir sebagai indikatornya.

Perbaikan lainnya yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan IKLH adalah

melakukan perbaikan sampel. Sampel tentunya harus mampu mewakili kondisi daerah secara

utuh, sehingga penentuan sampel yang proporsional antar daerah akan menjadi diskusi

tersendiri. Penentuan titik sampel harus dilakukan secara objektif dan ditetapkan dengan

mekanisme tertentu yang menjadi kesepakatan bersama. Untuk dapat mewakili kondisi

wilayah, provinsi misalnya, pengukuran kualitas udara tentunya tidak cukup hanya dilakukan

di daerah perkotaan saja dengan mengabaikan daerah yang lain. Keberlanjutan sampel juga

perlu mendapat perhatian, agar keterbandingan antar waktu juga terjaga.

Setelah dilakukan standarisasi, IKLH ini bisa digabung dengan indikator lain yang

terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam (perikanan, kehutanan dan migas) sehingga

dihasilkan indikator yang lebih komprehensif. Dengan demikian IKLH yang baru ini lebih

bisa diterima oleh berbagai pihak ketika terjadi perbedaan yang sifatnya given dan lebih fair

dari sisi bobot penilaian. Oleh karena sudah mempertimbangkan input dan output lingkungan,

maka IKLH yang baru ini dijadikan sebagai indikator kinerja lingkungan. Di beberapa negara

Eropa sistem ini juga sudah diterapkan dan disebut sebagai EPI (Environmental Performance

Indicator)

39

IKLH juga sangat potensial untuk dikembangkan pada tingkat kabupaten/kota. Cikal

bakal dari penghitungan IKLH adalah publikasi Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD)

yang telah rutin disusun oleh pemerintah kabupaten/kota. Pengembangan IKLH pada tingkat

kabupaten ini tentunya mengikuti penyempurnaan yang dilakukan dalam penyusunan IKLH

di tingkat nasional dan provinsi.

4.2.2. Indikator Makro : PDRB Hijau dan Genuine Saving

Dua indikator makro yang layak dikembangkan dalam kerangka internalisasi kualitas

lingkungan adalah PDRB hijau dan Genuine Saving. Penghitungan PDRB hijau telah banyak

dibahas pada bab sebelumnya, yang pada intinya adalah memasukkan biaya lingkungan

sebagai faktor koreksi terhadap PDRB konvensional, berupa deplesi dan degradasi.

Penghitungan PDRB hijau telah dilakukan tidak hanya oleh institusi di tingkat pusat tetapi

juga di tingkat provinsi, sehingga pengembangan PDRB hijau sebagai indikator makro

menjadi sangat potensial. Permasalahan utama dan yang selalu menjadi persoalan klasik

dalam penyusunan PDRB hijau adalah masih terbatasnya ketersediaan informasi terutama

yang berkaitan dengan deplesi dan degradasi lingkungan. Pengalaman provinsi Bali dalam

menyusun PDRB hijau menunjukkan bahwa penghitungan PDRB hijau menjadi lebih rumit

karena penelitian-penelitian tentang degradasi lingkungan tidak sepenuhnya relevan dengan

konteks daerah. Oleh sebab itu, maka pengembangan penelitian terkait dengan valuasi deplesi

dan degradasi lingkungan akan menjadi langkah awal dalam pengembangan PDRB hijau.

Indikator makro lain yang juga sering dijadikan ukuran pembangunan berkelanjutan

adalah Genuine Saving, yang merupakan nilai tabungan domestik (gross domestic saving)

dikurangi dengan depresiasi modal buatan (man made capital) dan sumber daya alam

(natural capital). Dalam perjalanannya, indikator ini terus mengalami perkembangan,

misalnya dengan masuknya modal manusia (human capital) sebagai salah satu faktor koreksi.

Berbeda dengan modal buatan dan sumber daya alam, modal manusia dihitung sebagai

apresiasi, bukan depresiasi. Faktor lain yang juga kemudian dimasukkan dalam penghitungan

genuine saving adalah perubahan teknologi. Genuine saving sendiri secara sederhana

memberikan gambaran tentang kesejahteraan secara total, dimana nilai negatif menunjukkan

terjadinya penurunan kesejahteraan.

Penghitungan genuine saving di Indonesia selama ini masih belum dilakukan secara

rutin oleh institusi pemerintah, namun lebih bersifat penelitian ad hoc atau bahkan penelitian

parsial yang dilakukan oleh para peneliti yang memiliki minat besar dalam mengukur capaian

pembangunan berkelanjutan. Peneliti seperti Pearce dan Atkinson, Vincent dan Castaneda,

Hamilton serta Alisjahbana dan Yusuf telah banyak berkontribusi dalam penghitungan

indikator tersebut. Gustami (2012) bahkan telah menyajikan nilai genuine saving sampai

level provinsi (Gambar 5). Faktor koreksi dari gunuine saving provinsi ini meliputi depresiasi

modal buatan, deplesi sumber daya alam tidak terbarukan (minyak, gas dan komoditi

pertambangan), deplesi sumber daya alam terbarukan (sumber daya hutan) dan degradasi

lingkungan (hanya polusi CO2).

40

Sumber : Gustami, 2012

Gambar 5 Genuine Saving Provinsi di Indonesia 2005

Permasalahan dalam pengembangan genuine saving tidak jauh berbeda dengan PDRB

hijau, yaitu terkait dengan terbatasnya penelitian yang menilai deplesi dan degradasi

lingkungan. Ditambah lagi dengan banyaknya pilihan metode yang dapat dipergunakan

dalam melakukan valuasi degradasi lingkungan, yang tentunya juga akan berimplikasi pada

perbedaan hasil penghitungan. Dengan demikian pengayaan penelitian saja menjadi tidak

cukup, tetapi harus dibarengi dengan diskusi serius tentang metode valuasi yang akan

menjadi kesepakatan bersama.

Pengayaan penelitian tentang deplesi dan degradasi juga diarahkan untuk melakukan

penambahan komponen yang masuk ke dalam penghitungan deplesi dan degradasi.

Penghitungan deplesi yang dilakukan selama ini masih terbatas pada beberapa sumber

mineral dan hutan. Deplesi sumber daya bidang kelautan relatif belum tersentuh.

Penghitungan degradasi lingkungan untuk saat ini juga masih sangat terbatas pada CO2 dan

CH4. Komponen yang lain juga masih belum tersentuh dalam penghitungan PDRB hijau

yang telah dilakukan.

PDRB hijau masih memungkinkan untuk dihitung hingga tingkat provinsi. Pada tahap

awal, penghitungan PDRB hijau provinsi dapat saja diperoleh melalui down-scaling PDRB

hijau nasional. Perbaikan dalam penghitungan dapat dilakukan secara bertahap, hingga

akhirnya dapat menghitung PDRB hijau provinsi yang mandiri seperti PDRB konvensional

yang ada selama ini. Berbeda dengan IKLH, pengembangan dalam penghitungan PDRB hijau

nampaknya hanya mungkin dilakukan sampai level provinsi. Keterbatasan informasi pada

tingkat kabupaten/kota menjadi kendala utama dalam pengembangan indikator ini pada

tingkat yang lebih rendah. Ditambah lagi dengan cukup rumitnya penghitungan PDRB hijau,

yang tentunya harus ditunjang pula oleh sumber daya manusia yang memadai. Hal ini juga

menjadi kendala dalam penghitungan PDRB hijau pada tingkat kabupaten/kota.

4.2.3. Indikator Meso : IPH, Green Rating dan IPB

a. Indeks Pembangunan Hijau (IPH)

Indeks Pembangunan Hijau (IPH) dapat dijadikan salah satu alternatif untuk dijadikan

sebagai indeks komposit pembangunan lingkungan hidup. Indeks pembangunan hijau akan

menggabungkan beberapa indikator ekonomi, sosial dan lingkungan dalam bentuk indeks

komposit seperti PDRB cokelat, PDRB hijau, indikator yang berkaitan dengan kesehatan dan

komponen lingkungan hidup. IPH misalnya sudah digunakan di beberapa negara seperti

41

China sebagai alat evaluasi pembangunan perkotaan yang ramah dengan lingkungan. Indeks

Pembangunan Hijau (Green Development Index) China bahkan sudah dikembangkan pada

tingkat perkotaan. Secara prinsip Indeks Pembangunan Hijau mengakomodasi kebijakan

pembangunan khususnya kebijakan yang berkait dengan lingkungan yang akan menjadi

bobot bagi penentuan indeks pembangunan di suatu daerah.

Secara sederhana prinsip Indeks Pembangunan Hijau adalah menggabungkan

komponen indikator pembangunan seperti PDRB dan PDRB hijau dengan indikator ekonomi

dan kebijakan yang mendukungnya. Indikator ekonomi yang diarahkan adalah yang berkaitan

dengan ekonomi hijau seperti PDRB hijau, Genuine Saving (GS) dan salah satu indikator

pendukung yang berkaitan dengan lingkungan seperti kesehatan. Dasar pemikiran dari

indikator ini adalah bahwa lingkungan yang baik akan menunjukkan tingkat kesehatan yang

baik dan sebaliknya.

Di sisi lain Genuine Saving merupakan salah satu indikator keberlanjutan lemah yang

relatif mudah diukur secara makro karena ketersediaan data makro di BPS. Namun tentu saja

harus didukung dengan data deplesi dari sumber daya alam dan pengeluaran untuk CO2.

Di sisi lingkungan, indikator yang berkaitan dengan jejak ekologis, bio-kapasitas

merupakan indikator yang sangat baik jika diterapkan dalam menentukan indeks lingkungan.

Namun jika data ini belum tersedia maka bisa didukung dengan indikator efisiensi sumber

daya seperti intensitas energi, maupun degradasi lingkungan dapat digunakan untuk

mendukung Pembangunan Hijau. Kedua komponen tersebut kemudian didukung dengan

kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan. Perlu pula dicatat bahwa kearifan lokal sangat

berperan penting dalam menentukan pembangunan yang hijau, oleh karenanya, kearifan lokal

dapat dijadikan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap indeks pembangunan hijau.

Gambar 6 di bawah ini menunjukkan kerangka makro dari Indeks Pembangunan Hijau yang

dapat dikembangkan untuk RPJM mendatang.

Gambar 6 Kerangka Indeks Pembangunan Hijau

Indeks Pembangunan Hijau (IPH) merupakan indeks yang paling ideal dalam

mengukur pembangunan yang mengintegrasikan perhatian pada lingkungan ke dalam

IPH

Footprint

Bio-capacity

Efisiensi SDA

Degradasi

LIngkungan

Kebijakan Lingkungan

Kearifan Lokal

Makro Indikator

Mikro Indikator

Status Media

42

pembangunan. Namun penyusunan IPH membutuhkan usaha yang tidak sedikit, karena

komponen penyusunnya belum seluruhnya tersedia, terutama yang terkait dengan kearifan

lokal dan beberapa komponen lingkungan, seperti bio-capacity. Oleh karena itu, penyusunan

IPH mungkin tidak akan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat.

b. Green rating (Peringkat Hijau)

Alternatif lain untuk mengembangkan indikator pembangunan lingkungan adalah

dengan menerapkan sistem Green Rating bagi setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi. Green

rating pada prinsipnya dikembangkan dari penilaian indikator lingkungan berbasis input dan

output. Input lingkungan seperti kebijakan, ketersediaan anggaran, ketersediaan sumber daya

manusia dan kapasitas kelembagaan lingkungan dapat diukur dan dinilai sebagai komponen

input untuk melakukan rating. Pada komponen output beberapa indikator yang terkait dengan

kinerja lingkungan seperti kondisi kualitas udara, air, degradasi lingkungan serta hal-hal yang

terkait dengan penegakan hukum dapat dibobot untuk digunakan indikator output komposit

yang akan menentukan rating hijau dari daerah tersebut. Termasuk ke dalam komponen

penghitungan green rating adalah anugerah bidang lingkungan yang diberikan kepada daerah,

seperti :

a. Adipura, merupakan penghargaan bagi kota/kabupaten yang memiliki komitmen

dalam mewujudkan kota bersih dan hijau (clean and green city)

b. Adiwiyata, merupakan penghargaan yang bertujuan mendorong terciptanya

pengetahuan dan kesadaran warga sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup.

Diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju

lingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif

c. Raksayanita, merupakan penghargaan dalam rangka Menuju Indonesia Hijau, guna

meningkatkan kualitas lingkungan dan membuka peluang bagi masyarakat untuk

berperan aktif dalam pelestarian sumber daya alam dan pengendalian kerusakan

lingkungan.

d. Penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) yaitu penghargaan terhadap

partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim untuk mendukung pencapaian target nasional pengurangan emisi gas

rumah kaca (GRK), diberikan pada wilayah setingkat desa/kampung

e. Langit Biru, diberikan kepada wilayah kota yang mampu mengendalikan pencemaran

emisi sumber bergerak melalui implementasi kebijakan secara terkoordinasi dan

terpadu

f. Anugerah Ozon merupakan penghargaan kepada pihak-pihak yang berperan aktif

memberikan kontribusi dalam upaya perlindungan lapisan ozon, termasuk pemerintah

daerah

Secara umum tahapan dalam penentuan green rating dapat dilihat pada Gambar 7 di

bawah ini.

Gambar 7 Tahapan dalam Penentuan Green Rating

Assessment Hasil

skoring Kalibrasi

Kriteria

bobot

ii0

Green

rating

Pra-assessment

43

Dalam green rating penentuan kinerja pembangunan lingkungan hidup didasarkan pada

kombinasi penilaian kuantitatif dan kualitatif. Setiap komponen diberikan bobot sesuai

dengan beban dan tingkat kepentingan dari indikator tersebut relatif terhadap output yang

akan dihasilkan. Penentuan green rating kemudian dapat didasarkan pada skala yang

kemudian dijabarkan dalam rating hijau seperti A, AB dan seterusnya seperti terlihat pada

tabel 21 di bawah ini.

Tabel 21 Skala Green Rating

Skor Rating FLAG

3.76 – 4.0 A Hijau

3.5- 3.75 AB Hijau

3.1-3.4 B Semi Hijau

2.5-3.0 BC Semi hijau

2.00-2.4 C Kuning

<2.0 D Merah

Prinsip penentuan green rating dengan FLAG ini sudah banyak diuji coba di Eropa

melalui Dashboard Sustainability Indeks dengan Flag hijau, kuning dan merah. Dashbord

rating ini juga kini tengah dikembangkan secara intensif oleh Kementrian Lingkungan Hidup

dengan unit analisis pada tingkat provinsi dengan indikator yang lebih luas dari indikator

kualitas lingkungan hidup Indonesia.

Dalam Dashboard Sustainability Index, kinerja lingkungan disajikan seperti halnya

dashboard dalam kendaraan bermotor (mobil) di mana indikator lingkungan hidup disajikan

secara lebih dinamis melalui indikator merah kuning dan hijau. Variabel lingkungan dan

ekonomi disajikan dalam bentuk data tabulasi yang kemudian diberikan target apakah akan

dimaksimumkan atau diminimumkan. Misalkan PDB adalah target maksimum sementara

pencemaran adalah target minimum. Setiap indikator kemudian diberi pembobotan dan

dilakukan perhitungan melalui algoritma tertentu sehingga dihasilkan rating hijau, semi hijau,

kuning dan merah.

c. Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB)

Mengacu kepada tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial dan

lingkungan), maka ukuran pembangunan tentunya menjadi lebih komprehensif jika mampu

menggambarkan capaian pembangunan pada keseluruhan dimensi. Indikator pembangunan

yang dipergunakan saat ini masih bersifat parsial antar dimensi pembangunan. Pembangunan

ekonomi dipantau dengan menggunakan capaian nilai PDRB, dan indikator turunannya

seperti pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Indikator pembangunan lainnya

adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan gabungan antara indikator

kesehatan, pendidikan dan daya beli. Dua indikator pertama dalam IPM merupakan indikator

dimensi sosial sedangkan indikator terakhir adalah indikator ekonomi. Artinya IPM juga

masih belum menggambarkan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan dengan absennya

indikator lingkungan. Perkembangan terakhir dalam indikator pembangunan Indonesia adalah

munculnya Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) yang hanya fokus dalam penilaian

kualitas lingkungan.

Penggabungan ketiga indikator pembangunan tersebut menjadi satu indeks komposit

akan menjadi pilihan yang cukup rasional, mengingat indikator yang menjadi input dalam

penghitungannya sudah tersedia. Indeks komposit ini dapat mengukur capaian pembangunan

berkelanjutan secara lebih komprehensif, baik dari sudut pandang ekonomi, sosial maupun

lingkungan, sehingga layak untuk disebut sebagai Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB).

Langkah pertama dalam penyusunan IPB adalah menstandarisasikan seluruh indikator

44

menjadi bentuk indeks, khususnya untuk PDRB, karena dua indikator yang lain sudah

berbentuk indeks (IPM dan IKLH). Agar memiliki keterbandingan antar wilayah, nilai PDRB

yang dipergunakan adalah PDRB perkapita tanpa Migas. Penyusunan indeks PDRB perkapita

tanpa Migas diawali dengan menetapkan nilai maksimum dan minimum yang akan dicapai.

Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam menentukan nilai maksimum adalah dengan

menetapkan target capaian PDRB perkapita tanpa Migas dalam dokumen perencanaan,

seperti RPJMN, dan menjadikannya sebagai acuan nilai maksimum, sementara nilai

minimum dapat dilakukan dengan menggunakan nilai terendah dari PDRB perkapita tanpa

migas. Bagi daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa Migasnya sama atau berada di atas nilai

maksimum maka nilai indeks PDRB-nya adalah 100. Sedangkan daerah yang nilai PDRB

perkapita tanpa migasnya berada di bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan

indeksnya dengan menggunakan metode standarisasi maksimum minimum. Metode ini

menghitung indeks dengan menggunakan perbandingan antara selisih nilai aktual dengan

nilai minimum terhadap selisih nilai maksimum dengan minimum. Setelah seluruh indikator

penyusun berbentuk indeks maka penghitungan IPB dapat dilakukan.

Isu utama dalam penyusunan IPB adalah pada saat penentuan bobot, baik antar

indikator, antar wilayah dan antar waktu. Metode pembobotan yang paling moderat adalah

dengan memberikan bobot yang sama antar indikator, antar wilayah dan antar waktu.

Pembobotan dengan metode ini mengindikasikan penekanan yang sama untuk seluruh

dimensi pembangunan berkelanjutan pada seluruh wilayah. Pembobotan berbeda antar

indikator sangat dimungkinkan jika fokus pembangunan berbeda antar dimensi. Begitu pula

perbedaan pembobotan antar wilayah (regionalisasi) dan antar waktu. Perbedaan pembobotan

antar wilayah dan antar waktu menggambarkan adanya dinamika pembangunan antar waktu

dan wilayah. Dengan cara ini, pembobotan indikator di wilayah Jawa dapat berbeda dengan

wilayah Papua, begitu pula dengan pembobotan pada tahun awal perencanaan dapat berbeda

dengan tahun akhir dari perencanaan.

Gambar 8 Penyusunan Indeks Pembangunan Berkelanjutan

Penghitungan IPB sebagai indikator pembangunan komposit yang sudah

menggabungkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adalah yang paling memungkinkan

untuk saat ini, mengingat keseluruhan komponen penghitungannya telah tersedia.

Pengembangan ke depan tentunya sangat terkait dengan penyempurnaan IKLH, sebagai salah

satu komponen IPB. Dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, sudah relatif lebih dahulu

berkembang, sehingga penghitungannya juga menjadi lebih baik.

Dimensi Ekonomi

Pembobotan (Indikator,

Wilayah, Waktu)

Dimensi Sosial

Dimensi Lingkungan

PDRB

Indeks PDRB

Perkapita

IPM IKLH

IPB

45

Sebagai gambaran, berikut akan diberikan contoh penghitungan IPB dengan

menggunakan data pada tahun 2009 hingga 2011. Penghitungan untuk tahun 2012 belum

dimungkinkan, karena hingga laporan ini disusun nilai Indeks Pembangunan Manusia tahun

2012 belum selesai dihitung. Tahapan awal dalam menghitung IPB adalah melakukan

penghitungan indeks PDRB perkapita. Dalam contoh penghitungan ini, nilai indeks PDRB

dihasilkan dari nilai PDRB perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000

dengan didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, nilai PDRB perkapita atas dasar harga

kontan menggambarkan perkembangan kesejahteraan secara makro yang sudah

menghilangkan dampak inflasi. Kedua, RPJMN 2009-2014 secara khusus telah menetapkan

PDRB perkapita atas dasar harga konstan sebagai salah satu target capaian pembangunan.

Ketiga, PDRB perkapita tanpa migas dapat dipergunakan sebagai indikator perbandingan

antar wilayah, karena hasil migas tidak secara langsung dapat dinikmati oleh daerah

penghasilnya. Sedangkan nilai maksimum dan minimum yang dipergunakan dalam

menyusun indeks PDRB ditetapkan sebagai berikut :

Nilai maksimum ditentukan dari target PDRB perkapita atas dasar harga konstan

tahun 2000 pada tahun 2014 (akhir perencanaan) pada RPJMN, sebesar 12.058.000

rupiah

Nilai minimum ditentukan dari garis kemiskinan daerah perkotaan tahun 2000, yaitu

kondisi yang setara dengan tahun dasar PDRB atas dasar harga kontan, sebesar 91.632

rupiah per bulan atau 1.099.584 rupiah per tahun

Penghitungan indeks PDRB perkapita, merupakan normalisasi nilai PDRB perkapita

tanpa migas atas dasar harga kontan dengan menggunakan nilai maksimum dan minimum

yang telah ditetapkan di atas. Sesuai dengan uraian sebelumnya, maka daerah yang nilai

PDRB perkapita tanpa migasnya sama atau berada di atas nilai maksimum maka nilai indeks

PDRB perkapitanya adalah 100, seperti Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta dan

Kalimantan Timur. Sedangkan daerah yang nilai PDRB perkapita tanpa migasnya berada di

bawah nilai maksimum, dilakukan penghitungan indeksnya dengan menggunakan metode

standarisasi maksimum minimum. Hasil penghitungan ditampilkan pada Tabel 22.

Tahapan selanjutnya dalam penghitungan IPB adalah menentukan pembobotan

indikator. Dalam contoh penghitungan ini pembobotan indikator dilakukan dengan cara yang

paling moderat, yaitu dengan memberikan pembobotan yang sama pada seluruh unsur

penyusun IPB. Unsur penyusun IPB sendiri pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua hal,

pertama dari sisi indikator penyusunnya (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) dan yang kedua dari

sisi dimensi pembangunannya (ekonomi, sosial dan lingkungan). Oleh karena itu, maka

penghitungan IPB dilakukan dengan menggunakan dua skenario, yaitu:

Skenario 1 : Pembobotan yang sama antar indikator penyusun. Pada skenario ini,

indikator penyusun (Indeks PDRB, IPM dan IKLH) masing-masing diberikan bobot

yang sama, yaitu sepertiga (1/3).

Skenario 2 : Pembobotan yang sama antar dimensi pembangunan berkelanjutan

(ekonomi, sosial dan lingkungan). Pada skenario ini fokusnya bukan pada indikator

penyusunnya, melainkan pada dimensi pembangunan yang ada pada masing-masing

indikator. PDRB dan IKLH masing-masing mewakili dimensi ekonomi dan

lingkungan, sedangkan IPM mewakili dua dimensi sekaligus, sosial dan ekonomi.

Agar bobot antar dimensi sama, maka masing-masing indikator diberikan bobot yang

berbeda, seperenam (1/6) untuk Indeks PDRB, seperdua(1/2) untuk IPM dan sepertiga

(1/3) untuk IKLH.

Hasil penghitungan IPB serta peringkat masing-masing provinsi dengan menggunakan kedua

skenario tersebut ditampilkan pada Tabel 23 dan 24.

46

Tabel 22 Nilai Indeks PDRB Perkapita, Tahun 2009-2011

Provinsi Indeks PDRB Perkapita

2009 2010 2011 11. Nanggroe Aceh Darussalam 47.06 48.75 51.11 12. Sumatera Utara 68.51 72.53 77.48 13. Sumatera Barat 59.73 62.84 66.77 14. Riau 67.13 69.65 73.22 15. Jambi 34.22 36.00 38.23 16. Sumatera Selatan 48.43 51.33 55.40 17. Bengkulu 32.33 34.12 36.43 18. Lampung 33.37 35.37 37.94 19. Bangka Belitung 67.38 69.42 72.43 20. Kepulauan Riau 100.00 100.00 100.00 31. DKI Jakarta 100.00 100.00 100.00 32. Jawa Barat 53.32 56.06 59.60 33. Jawa Tengah 36.85 39.61 42.62 34. Yogyakarta 43.31 45.30 47.87 35. Jawa Timur 68.14 72.62 78.38 36. Banten 63.31 65.56 68.67 51. Bali 55.12 57.39 60.63 52. Nusa Tenggara Barat 28.57 30.51 28.98 53. Nusa Tenggara Timur 13.59 14.30 15.28 61. Kalimantan Barat 50.03 52.64 56.12 62. Kalimantan Tengah 63.86 67.20 71.40 63. Kalimantan Selatan 63.05 65.63 69.24 64. Kalimantan Timur 100.00 100.00 100.00 71. Sulawesi Utara 59.42 63.40 68.25 72. Sulawesi Tengah 46.06 49.74 54.34 73. Sulawesi Selatan 44.06 47.77 51.81 74. Sulawesi Tenggara 34.74 37.37 40.71 75. Gorontalo 14.20 15.44 16.94 76. Sulawesi Barat 24.12 27.14 30.16 81. Maluku 14.22 15.06 15.98 82. Maluku Utara 15.20 16.52 17.69 91. Papua Barat 57.48 60.54 65.54 94. Papua 68.19 61.62 54.45

Nasional 65.89 69.57 74.05

47

Tabel 23 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 1)

Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB

2009 2010 2011 2009 2010 2011

11. Nanggroe Aceh Darussalam 63.61 65.92 63.34 13 14 20

12. Sumatera Utara 68.26 77.96 74.78 8 2 5

13. Sumatera Barat 73.40 72.69 72.68 4 8 8

14. Riau 64.79 66.86 68.66 11 11 13

15. Jambi 60.57 57.19 58.82 21 27 27

16. Sumatera Selatan 63.45 66.66 68.77 15 12 12

17. Bengkulu 61.49 67.98 68.87 17 10 11

18. Lampung 59.31 64.58 65.48 23 16 18

19. Bangka Belitung 64.03 69.07 70.26 12 9 9

20. Kepulauan Riau 75.40 76.64 77.34 2 3 2

31. DKI Jakarta 73.03 73.14 73.09 5 6 6

32. Jawa Barat 58.22 60.60 61.08 24 26 25

33. Jawa Tengah 54.78 54.19 55.13 28 31 29

34. Yogyakarta 57.35 64.33 64.36 25 18 19

35. Jawa Timur 66.07 64.58 68.35 10 17 14

36. Banten 61.41 61.67 62.87 18 23 21

51. Bali 70.71 76.44 72.92 6 4 7

52. Nusa Tenggara Barat 55.64 61.95 59.84 26 22 26

53. Nusa Tenggara Timur 48.93 44.09 47.35 32 33 33

61. Kalimantan Barat 63.58 66.06 66.68 14 13 16

62. Kalimantan Tengah 61.31 64.07 70.15 19 19 10

63. Kalimantan Selatan 60.20 64.60 66.66 22 15 17

64. Kalimantan Timur 81.25 79.26 82.32 1 1 1

71. Sulawesi Utara 74.44 74.56 76.46 3 5 3

72. Sulawesi Tengah 61.76 72.82 74.83 16 7 4

73. Sulawesi Selatan 60.87 60.76 62.20 20 25 24

74. Sulawesi Tenggara 54.93 56.53 54.68 27 28 30

75. Gorontalo

61.22 62.22 - 24 23

76. Sulawesi Barat 53.64 53.22 56.04 31 32 28

81. Maluku 54.66 55.40 53.65 29 29 31

82. Maluku Utara 54.21 55.09 53.42 30 30 32

91. Papua Barat 67.12 63.08 67.90 9 20 15

94. Papua 69.34 62.04 62.77 7 21 22

Nasional 65.81 67.64 69.02

48

Tabel 24 Nilai IPB dan Peringkat Menurut Provinsi (Skenario 2)

Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB

2009 2010 2011 2009 2010 2011

11. Nanggroe Aceh Darussalam 67.66 69.74 66.84 11 12 21

12. Sumatera Utara 69.14 78.24 74.31 7 2 6

13. Sumatera Barat 75.69 74.52 73.93 3 6 7

14. Riau 66.20 67.93 69.21 16 17 15

15. Jambi 66.94 63.31 64.66 13 26 24

16. Sumatera Selatan 67.48 70.26 71.78 12 11 9

17. Bengkulu 68.19 74.44 75.03 10 7 4

18. Lampung 65.57 70.59 71.15 18 9 11

19. Bangka Belitung 64.89 69.64 70.42 20 13 13

20. Kepulauan Riau 71.15 72.49 73.30 5 8 8

31. DKI Jakarta 69.26 69.40 69.42 6 15 14

32. Jawa Barat 61.27 63.30 63.27 27 27 26

33. Jawa Tengah 60.66 59.67 60.18 31 32 31

34. Yogyakarta 62.67 69.41 69.10 24 14 16

35. Jawa Timur 66.56 64.41 67.32 15 24 19

36. Banten 62.53 62.49 63.25 25 29 27

51. Bali 73.45 78.92 74.96 4 1 5

52. Nusa Tenggara Barat 61.65 67.73 66.04 26 18 22

53. Nusa Tenggara Timur 57.77 52.92 56.09 32 33 33

61. Kalimantan Barat 66.71 68.81 68.94 14 16 17

62. Kalimantan Tengah 63.06 65.31 70.76 23 19 12

63. Kalimantan Selatan 61.24 65.31 66.86 28 20 20

64. Kalimantan Timur 77.10 75.19 78.36 2 5 1

71. Sulawesi Utara 77.15 76.67 77.84 1 3 2

72. Sulawesi Tengah 65.86 76.39 77.71 17 4 3

73. Sulawesi Selatan 65.35 64.74 65.59 19 22 23

74. Sulawesi Tenggara 60.73 61.97 59.66 30 30 32

75. Gorontalo

70.36 71.20 - 10 10

76. Sulawesi Barat 61.15 60.31 62.70 29 31 29

81. Maluku 64.12 64.79 62.96 21 21 28

82. Maluku Utara 63.12 63.84 62.05 22 25 30

91. Papua Barat 68.97 64.52 68.58 8 23 18

94. Papua 68.73 62.59 64.59 9 28 25

Nasional 66.79 68.09 68.81

Secara nasional, hasil skenario 1 dan skenario 2 relatif menunjukkan tingkat perubahan

yang berbeda. Tingkat perubahan pada skenario 2 lebih landai dibandingkan skenario 1.

Akibatnya, nilai IPB skenario 2 yang lebih tinggi dari skenario 1 pada tahun 2009 menjadi

lebih rendah pada tahun 2011. Dalam kurun waktu 2009-2011, IPB pada skenario 1 berubah

sebesar 3,21 poin, sedangkan skenario 2 hanya berubah sebesar 2,02 poin. Secara implisit,

kondisi ini menggambarkan bahwa perkembangan bidang ekonomi relatif lebih tinggi

dibandingkan dua bidang yang lain, sosial dan lingkungan.

Nilai IPB yang diperoleh oleh masing-masing provinsi juga menunjukkan perbedaan

yang cukup mencolok. Pada skenario 1, provinsi yang memiliki nilai didominasi oleh daerah

49

yang memiliki keunggulan di bidang ekonomi, seperti Kalimantan Timur dan Kepulauan

Riau. Sedangkan pada skenario 2, provinsi dengan IPB tertinggi bervariasi, seperti Sulawesi

Utara pada tahun 2009, Bali pada tahun 2010 dan Kalimantan Timur pada tahun 2011.

Namun untuk provinsi dengan nilai IPB terendah tetap diduduki oleh Nusa Tenggara Timur.

Walaupun pada skenario 2 nilai IPB provinsi ini sudah terangkat naik, namun masih tetap

tertinggal dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.

Berdasarkan dua skenario di atas nampak bahwa proses pembobotan menjadi hal yang

penting dalam penyusunan IPB, karena dapat memberikan hasil yang sangat berbeda.

Skenario 1 memberikan bobot yang relatif besar pada dimensi ekonomi, sehingga daerah-

daerah yang ekonominya maju (tergambar dari Indeks PDRB perkapita) akan berpeluang

menjadi daerah yang memiliki IPB tinggi. Sedangkan pembobotan yang seimbang antar

dimensi pembangunan pada skenario 2, memberikan peluang pada daerah yang tidak terlalu

maju dari sisi ekonomi, namun mampu membangun dimensi yang lain (sosial dan

lingkungan), untuk menjadi daerah dengan IPB yang tinggi. Selain pembobotan, hal lain yang

lebih penting adalah validitas dan reliabilitas dari indikator penyusun IPB itu sendiri.

Perhatian khusus dalam penyempurnaan IKLH menjadi hal yang sangat penting, mengingat

dua indikator yang lain, PDRB dan IPM, relatif sudah lebih baik. Munculnya provinsi

Kalimantan Timur sebagai daerah yang memiliki IPB tertinggi, baik pada skenario 1 dan 2,

tentunya patut menjadi catatan, mengingat kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah ini

juga cukup tinggi. Diduga persoalan ini muncul karena belum sempurnanya penghitungan

IKLH yang telah dilakukan saat ini.

Perbandingan hasil penghitungan IPB dengan menggunakan kedua skenario tersebut

menunjukkan bahwa nilai IPB pada skenario 1 lebih bervariasi dibandingkan dengan skenario

2. Pencapaian IPB dengan menggunakan skenario 1 memiliki nilai tengah (median) dan tren

peningkatan yang lebih tinggi dibanding skenario 2. Namun jika dibandingkan dengan nilai

IPB nasional, median IPB skenario 1 juga memiliki selisih yang lebih besar dibandingkan

skenario 2, artinya IPB skenario 2 memiliki sebaran yang lebih simetris (normal)

dibandingkan dengan skenario 1. Didasari oleh pertimbangan tersebut, maka penghitungan

IPB dengan menggunakan skenario 2 lebih direkomendasikan daripada skenario 1. Skenario

2 memberikan porsi yang seimbang antara ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil

penghitungan pun menunjukkan sebaran yang relatif lebih homogen dan simetris.

Tabel 25 Perbandingan Penghitungan IPB Skenario 1 dan Skenario 2

Summary Skenario 1 Skenario 2

2009 2010 2011 2009 2010 2011

IPB Nasional 65.81 67.64 69.02 66.79 68.09 68.81

Median 62.39 64.07 66.10 65.72 67.93 68.58

Nilai Minimum 48.93 44.09 47.35 57.77 52.92 56.09

Nilai Maksimum 81.25 79.26 82.32 77.15 78.92 78.36

Range 32.31 35.17 34.98 19.38 26.00 22.27

PDRB Perkapita tanpa migas memang cukup baik untuk dipergunakan sebagai proksi

perbandingan kemajuan ekonomi antar wilayah. Pengelolaan migas pada umumnya tidak

banyak melibatkan masyarakat lokal, sehingga efek langsungnya tidak terlalu besar. Sehingga

tidak jarang daerah yang memiliki kategori PDRB tinggi, namun dominasi sektor migas,

memiliki tingkat kemajuan wilayah yang relatif sama dengan daerah yang PDRB-nya berada

dalam kategori sedang bahkan rendah. Efek sumber daya migas lebih dominan dirasakan

dalam konteks penerimaan keuangan daerah melalui mekanisme bagi hasil. Namun

50

penggunaan PDRB tanpa migas juga memiliki kelemahan karena seakan-akan mengabaikan

peran sektor migas, yang justru menjadi tulang punggung perekonomian bagi sebagian daerah.

Oleh karena itu, sebagai bahan perbandingan, dalam kajian ini juga akan dilakukan

penghitungan IPB dengan menggunakan PDRB perkapita dengan memasukkan sektor migas.

Tabel 26 Nilai IPB dengan Menggunakan PDRB Perkapita dengan Migas

(Menggunakan Skenario 2)

Provinsi Nilai IPB Peringkat IPB

2009 2010 2011 2009 2010 2011

11. Nanggroe Aceh Darussalam 69.26 71.10 68.16 9 11 19

12. Sumatera Utara 69.23 78.33 74.40 11 2 7

13. Sumatera Barat 75.69 74.52 73.93 3 6 9

14. Riau 71.68 72.99 73.68 6 9 10

15. Jambi 67.74 64.19 65.72 14 25 23

16. Sumatera Selatan 70.26 73.02 74.52 8 8 6

17. Bengkulu 68.19 74.44 75.03 13 7 4

18. Lampung 65.65 70.66 71.23 18 13 12

19. Bangka Belitung 65.10 69.85 70.63 20 15 15

20. Kepulauan Riau 71.15 72.49 73.30 7 10 11

31. DKI Jakarta 69.26 69.40 69.42 10 17 16

32. Jawa Barat 61.59 63.62 63.57 27 27 26

33. Jawa Tengah 61.15 60.18 60.70 29 32 31

34. Yogyakarta 62.67 69.41 69.10 24 16 17

35. Jawa Timur 66.61 64.48 67.39 16 24 20

36. Banten 62.53 62.49 63.25 25 29 27

51. Bali 73.45 78.92 74.96 4 1 5

52. Nusa Tenggara Barat 61.65 67.73 66.04 26 19 22

53. Nusa Tenggara Timur 57.77 52.92 56.09 32 33 33

61. Kalimantan Barat 66.71 68.81 68.94 15 18 18

62. Kalimantan Tengah 63.06 65.31 70.76 23 21 14

63. Kalimantan Selatan 61.44 65.51 67.04 28 20 21

64. Kalimantan Timur 77.10 75.19 78.36 2 5 1

71. Sulawesi Utara 77.17 76.69 77.87 1 3 3

72. Sulawesi Tengah 66.02 76.55 77.88 17 4 2

73. Sulawesi Selatan 65.37 64.76 65.61 19 23 24

74. Sulawesi Tenggara 60.73 61.97 59.66 31 30 32

75. Gorontalo - 70.36 71.20 0 14 13

76. Sulawesi Barat 61.15 60.31 62.70 30 31 29

81. Maluku 64.13 64.81 62.98 21 22 28

82. Maluku Utara 63.12 63.84 62.05 22 26 30

91. Papua Barat 72.77 71.10 74.33 5 12 8

94. Papua 68.73 62.59 64.59 12 28 25

Nasional 67.71 68.99 69.71

Dengan memperhatikan beberapa catatan tentang keunggulan penghitungan IPB

Skenario 2, maka penghitungan IPB dengan PDRB perkapita migas juga dilakukan

menggunakan skenario ini. Dampak langsung dengan memasukkan sektor migas adalah

meningkatnya nilai indeks PDRB yang pada akhirnya juga meningkatkan nilai IPB. Hasilnya,

51

IPB dengan menggunakan PDRB perkapita migas lebih tinggi dibandingkan IPB dengan

PDRB perkapita tanpa migas. Namun karena kontribusi migas dalam PDB nasional tidak

terlalu besar dan bobot dari indeks PDRB hanya seperenam, maka perbedaan antara kedua

nilai IPB ini hanya berkisar sebesar satu poin saja. Namun di beberapa daerah penghasil

migas, seperti Provinsi Riau dan Papua Barat, perbedaannya cukup tinggi, mencapai 5 hingga

6 poin.

Gambar 9 Perbandingan IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas (2010)

Penggunaan PDRB dengan migas juga berdampak pada peringkat IPB antar provinsi.

Dengan naiknya nilai IPB daerah-daerah penghasil migas, maka peringkat daerah-daerah

tersebut juga ikut terdongkrak. Provinsi Riau dan Irian Barat peringkatnya bahkan meningkat

10 angka lebih baik. Sebaliknya, terjadi penurunan peringkat bagi daerah-daerah yang bukan

penghasil migas.

Gambar 10 Perbandingan Peringkat IPB menggunakan PDRB Tanpa dan Dengan Migas

(2010)

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

11.

Nan

ggro

e A

ceh

Dar

uss

alam

12.

Su

mat

era

Uta

ra

13.

Su

mat

era

Bar

at

14

. Ria

u

15

. Jam

bi

16.

Su

mat

era

Sela

tan

17

. Ben

gku

lu

18

. Lam

pu

ng

19.

Ban

gka

Bel

itu

ng

20.

Kep

ula

uan

Ria

u

31

. DK

I Jak

arta

32

. Jaw

a B

arat

33.

Jaw

a Te

nga

h

34

. Yo

gyak

arta

35

. Jaw

a Ti

mu

r

36

. Ban

ten

51

. Bal

i

52.

Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

53.

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

61.

Kal

iman

tan

Bar

at

62.

Kal

iman

tan

Ten

gah

63.

Kal

iman

tan

Se

lata

n

64.

Kal

iman

tan

Tim

ur

71.

Su

law

esi U

tara

72.

Su

law

esi T

en

gah

73.

Su

law

esi S

elat

an

74.

Su

law

esi T

en

ggar

a

75

. Go

ron

talo

76.

Su

law

esi B

arat

81

. Mal

uku

82.

Mal

uku

Uta

ra

91

. Pap

ua

Bar

at

94

. Pap

ua

Nas

ion

al

IPB Tanpa Migas (2010) IPB Dengan Migas (2010)

0

5

10

15

20

25

30

35

11

. Nan

ggro

e A

ceh

Dar

uss

alam

12

. Su

mat

era

Uta

ra

13.

Su

mat

era

Bar

at

14.

Ria

u

15

. Jam

bi

16

. Su

mat

era

Sela

tan

17.

Ben

gku

lu

18.

Lam

pu

ng

19.

Ban

gka

Bel

itu

ng

20.

Kep

ula

uan

Ria

u

31.

DK

I Jak

arta

32

. Jaw

a B

arat

33.

Jaw

a Te

nga

h

34.

Yo

gyak

arta

35.

Jaw

a Ti

mu

r

36.

Ban

ten

51.

Bal

i

52

. Nu

sa T

engg

ara

Bar

at

53.

Nu

sa T

engg

ara

Tim

ur

61.

Kal

iman

tan

Bar

at

62.

Kal

iman

tan

Ten

gah

63

. Kal

iman

tan

Se

lata

n

64.

Kal

iman

tan

Tim

ur

71.

Su

law

esi U

tara

72.

Su

law

esi T

en

gah

73.

Su

law

esi S

elat

an

74

. Su

law

esi T

en

ggar

a

75.

Go

ron

talo

76

. Su

law

esi B

arat

81.

Mal

uku

82

. Mal

uku

Uta

ra

91

. Pap

ua

Bar

at

94.

Pap

ua

Peringkat IPB Tanpa Migas (2010) Peringkat IPB Dengan Migas (2010)

52

Ketiga indikator meso; IPH, Green Rating dan IPB; memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Secara ringkas, tabel berikut menyarikan kelebihan serta

kekurangan ketiga indikator tersebut, untuk selanjutnya memberikan rekomendasi terkait

dengan implementasinya.

Tabel 27 Perbandingan IPH, Green Rating dan IPB

Indikator Kelebihan Kekurangan Catatan

Indeks

Pembangunan

Hijau (IPH)

Mencakup keseluruhan

dimensi (ekonomi,

sosial, lingkungan dan

kelembagaan)

Mengakomodir

kearifan lokal

Sulit untuk

menguantifikasikan

Data tidak seluruhnya

tersedia

Penghitungan relatif sulit

Menjadi prioritas di

akhir tahun

perencanaan.

Direkomendasikan

dilakukan pada

level provinsi untuk

menilai kinerja

pembangunan

berkelanjutan di

tingkat provinsi

Green Rating Mengakomodir isu

kebijakan lingkungan

Penghitungan relatif

mudah

Memungkinkan

penilaian secara

gradasi (seperti

Hijau,semi hijau,

kuning dan cokelat)

sehingga lebih mudah

diterima oleh daerah

Penilaian terkadang

bersifat subjektif

Oleh karena telah banyak

rating yang saat ini sudah

berjalan seperti Adipura,

Adiwiyata dan

sejenisnya, kemungkinan

adanya resistensi untuk

menggabungkan menjadi

satu rating karena

kepentingan yang berbeda

Merupakan

indikator

komplemen

Dapat dijadikan

indikator satelit

pada IKLH atau

SLHI (Status

Lingkungan Hidup

Indonesia)

Indeks

Pembangunan

Berkelanjutan

(IPB)

Merupakan indeks

komposit (ekonomi,

sosial dan lingkungan)

Data relatif tersedia

pada level pusat dan

daerah

Penghitungan relatif

mudah

Mampu

menggambarkan

kinerja pembangunan

berkelanjutan di pusat

dan daerah

Dapat digunakan

sebagai “novelty”

(kebaruan) dalam

mengukur

pembangunan

berkelanjutan di

Indonesia

Sensitif terhadap

pembobotan

Belum ada standarisasi

antar wilayah

Perlu perbaikan

komponen IKLH

Diperlukan target kinerja

ekonomi yang baku yang

menjadi basis perhitungan

indeks PDRB.

Dapat dilakukan

segera

Diperlukan

sosialisasi ke daerah

sehingga ada aspek

penerimaan

(acceptability) dan

tidak menimbulkan

resistensi

53

4.2.4. Roadmap Pengembangan IPLH

Pengembangan beberapa indikator yang telah dibahas sebelumnya tentunya tidak akan

dapat dilaksanakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dibutuhkan pentahapan yang

jelas dan terarah agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pada tahun-tahun awal, kegiatan

lebih ditekankan pada tahapan persiapan dan penghitungan beberapa indikator makro.

Kegiatan pada tahapan persiapan antara lain adalah perubahan/penambahan komponen

lingkungan hidup, perubahan pembobotan dan standarisasi kondisi eksogenous pada IKLH.

Tahapan persiapan lainnya yaitu dilakukannya studi yang komprehensif tentang deplesi dan

degradasi. Sementara indikator yang telah mulai dilakukan penghitungan adalah PDB Hijau

dan Genuine Saving pada tingkat nasional. Penghitungan kedua indikator ini telah bisa

dilakukan pada tahun awal, tetapi tentunya studi-studi tentang deplesi dan degradasi dapat

dijadikan sebagai bahan untuk penyempurnaan kedua indikator ini pada tahun-tahun

berikutnya. Penghitungan indikator yang lebih kompleks baru mulai dilakukan pada tahun ke

empat. Tabel 27 menjabarkan secara lebih detil tahapan yang dibutuhkan dalam

pengembangan IPLH.

Tabel 28 Roadmap Pengembangan IPLH

Kegiatan Tahun

Leading

Sector 2015 2016 2017 2018 2019

1. Perubahan/penambahan komponen

lingkungan hidup dalam IKLH

x KLH

2. Perbaikan sampel IKLH x KLH

3. Perubahan pembobotan IKLH x KLH

4. Standarisasi kondisi eksogenous (geografi)

dan demografi pada IKLH

x KLH

5. Penghitungan IKLH (nasional/provinsi) x x x KLH

6. Pengembangan IKLHD kabupaten x KLH

7. Penghitungan IKLHD kabupaten x KLH

8. Penghitungan PDB Hijau (nasional) x x x x x BPS

9. Penghitungan Genuine Saving (nasional) x x x x x BPS

10. Studi komprehensif tentang deplesi dan

degradasi lingkungan

x x Bappenas-

BPS-KLH

11. Pengembangan PDRB Hijau (provinsi) x x x x BPS

12. PengembanganGenuine Saving (provinsi) x x x x BPS

13. Pengembangan Indeks Pembangunan Hijau x KLH-BPS

14. Penghitungan Green Rating x KLH

15. Penghitungan Indeks Pembangunan

Berkelanjutan (nasional/provinsi)

x x x x x Bappenas

54

4.3. Tantangan, Peluang dan Prasyarat Pengembangan Indeks Komposit Lingkungan

Hidup

Pengembangan indikator pembangunan lingkungan hidup yang mengakomodasi

dinamika pembangunan lima tahun mendatang memang tidak mudah. Berbagai tantangan

akan dihadapi yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Pertama adalah menyangkut ketersediaan data. Masalah ini adalah masalah klasik yang

sebenarnya sudah cukup lama dirasakan untuk mengembangkan indikator yang komprehensif.

Namun demikian tidak semua informasi dan data ini tersedia baik pada tingkat pusat maupun

daerah. Misalnya saja data terkait dengan deplesi sumber daya alam, data ini tidak tersedia

secara mudah di BPS maupun sektor terkait. Demikian juga dengan degradasi lingkungan.

Meski KLH mengeluarkan SLHI setiap tahun, namun sering data yang diperoleh juga belum

mencerminkan kondisi yang sebenarnya di daerah karena data yang tersedia masih bersifat

agregat, belum pada unit kabupaten/kota atau provinsi.

Kedua menyangkut kapasitas kelembagaan di daerah untuk mengembangkan indikator

lingkungan yang komprehensif. Dari hasil FGD di berbagai kota ditemukan bahwa tidak

semua daerah memiliki kapasitas untuk mengembangkan indikator lingkungan seperti PDRB

hijau sekalipun yang lebih sederhana. Masalah ini diperberat pula oleh sistem otonomi daerah

yang sekarang berjalan dimana investasi pada sumber daya manusia yang telah dididik atau

mengikuti pelatihan PDRB hijau misalnya, bisa saja kemudian dimutasi di tempat lain,

sementara penggantinya sama sekali belum bisa memahami esensi PDRB hijau atau aspek

lingkungan secara menyeluruh.

Tantangan ketiga yang akan dihadapi adalah terkait dengan kepentingan dan komitmen

kepala daerah dalam mengembangkan ekonomi hijau secara menyeluruh. Di beberapa daerah

aspek lingkungan belum menjadi prioritas dan akan terkalahkan oleh sektor yang lebih

banyak menghasilkan PAD. Hasil kunjungan di daerah bahkan ada Kota yang kantor BLH

(Badan Lingkungan Hidup) daerahnya “dititipkan” pada perkantoran swasta. Ini

menunjukkan komitmen dan investasi di bidang lingkungan yang rendah yang tentu saja akan

sulit mengembangkan indikator pembangunan yang hijau di masa mendatang.

Tantangan lain yang akan dihadapi adalah menyangkut penyempurnaan metodologi

perhitungan indeks yang komprehensif. Penyempurnaan ini memerlukan investasi

pengetahuan publik dan finansial yang tidak sedikit dan juga memerlukan diskusi yang intens

dengan berbagai sektor. Sebagai contoh pengembangan IKLH oleh Kementrian Lingkungan

Hidup pada masa lalu misalnya banyak dibantu oleh lembaga donor seperti DANIDA. Oleh

karenanya diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah pusat untuk mengembangkan

metodologi ini secara kontinu dan sistematis.

Namun demikian dari berbagai tantangan-tantangan tadi tentu saja dapat dijadikan

peluang bagi daerah dan pusat untuk mulai menyusun kebutuhan data yang sistematik sesuai

dengan kebutuhan pengembangan indikator lingkungan. Dengan demikian akan dihasilkan

efek domino kepada daerah untuk melakukan sistem basis data yang lebih baik.

Pengembangan indikator yang baru juga akan memicu daerah untuk berlomba-lomba

memperoleh rating hijau yang lebih misalnya sehingga akan memicu investasi yang lebih

besar kepada bidang lingkungan hidup. Selain itu pengembangan indikator ini juga akan

memberikan peluang kerja sama yang lebih baik dengan berbagai pihak di daerah seperti

perguruan tinggi lokal, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya yang akan membantu

meningkatkan kapasitas kelembagaan di daerah.

Secara khusus, pengembangan Indeks Pembangunan Berkelanjutan (IPB) menjadi hal

yang sangat potensial untuk dilakukan, mengingat komponen penyusunnya sudah dikenal

luas, terutama untuk PDRB dan IPM. Tantangannya memang terletak pada IKLH yang

merupakan indikator yang relatif baru dibandingkan dua indikator sebelumnya. Indikator ini

55

masih memerlukan beberapa penyempurnaan agar dapat dipergunakan sebagai indikator yang

mampu mengukur capaian pembangunan lingkungan dan dapat diaplikasikan untuk melihat

keterbandingan antar waktu dan antar wilayah. Sehubungan dengan uraian sebelumnya, maka

prasyarat dalam penghitungan IPB paling tidak meliputi hal-hal berikut ini:

a. Tersedianya data yang dibutuhkan dalam penyusunan IPB pada tingkat provinsi hingga

kabupaten. Tidak saja sekedar tersedia, data tersebut tentunya juga harus tersedia

sepanjang waktu (kontinu) dan dapat dipercaya (reliable). Terjaminnya ketersediaan data

sepanjang waktu akan menjadikan IPB sebagai indikator yang dapat menggambarkan

periodisasi pengembangan wilayah. Data yang reliable tentunya akan menjamin

objektivitas dari IPB sendiri, sehingga akan menjadi indikator yang mampu diterima oleh

semua orang.

b. Dibutuhkan kekuatan hukum yang menjadikan IPB sebagai indikator kinerja (key

performace indicator), sehingga IPB tidak hanya sekedar angka tanpa makna.

Penyepakatan IPB sebagai salah satu indikator pembangunan tentunya dapat dituangkan

di dalam dokumen perencanaan makro seperti RPJM, baik di tingkat nasional maupun di

tingkat daerah. Skema insentif-disinsentif tentunya juga dibutuhkan agar IPB dapat

menjadi barometer pembangunan. Tersedianya data PDRB dan IKLH secara rutin setiap

tahun dan dipergunakan sebagai indikator pembangunan daerah, diyakini juga didorong

oleh adanya skema yang mengaitkan kedua data tersebut dengan penghitungan Dana

Alokasi Umum (DAU). Skema seperti ini tentunya juga dapat dilakukan pada IPB,

misalnya dengan juga mendorong IKLH sebagai komponen DAU. Artinya jika data

PDRB, IPM dan IKLH telah tersedia, maka secara tidak langsung sudah menjamin

tersedianya data untuk penghitungan IPB.

c. Penghitungan IPB melibatkan koordinasi lintas institusi, sehingga mekanisme sinergi

kelembagaan sangat dibutuhkan untuk pengembangan IPB. Paling tidak, koordinasi ini

akan melibatkan institusi seperti Bappenas, BPS, Kementrian Lingkungan Hidup, dan

Kementrian Keuangan. Koordinasi memang merupakan bahasa yang gampang diucapkan,

namun sulit untuk dilaksanakan, apalagi jika sudah menyangkut ego sektoral.

56

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari analisis yang telah dilakukan terkait evaluasi dan pengembangan indikator

pembangunan lingkungan hidup, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan.

Indikator lingkungan hidup yang digunakan saat ini meski diakui sebagai “the best

available indicator” yang ada saat ini namun masih dirasakan memiliki defisiensi

karena belum memiliki efek kebijakan pembangunan yang berarti khususnya di

daerah. Dengan kata lain apa implikasi IKLH 60 atau 80 bagi daerah sampai saat ini

belum memberikan efek perubahan.

Sampai saat ini sulit menentukan target dari kinerja lingkungan hidup yang setara

dengan target indikator lain seperti pertumbuhan ekonomi, IPM dan sejenisnya.

Kesulitan ini dirasakan karena output dari LH bersifat multisektor dan melibatkan

berbagai aspek kehidupan.

Dari sisi komponen pembangunan masih dirasakan adanya pembobotan yang terlalu

seragam sehingga unsur fairness dan standarisasi belum menjadi pertimbangan

Di tingkat operasional di daerah, masih dirasakan sulit bagi daerah untuk

mengembangkan indikator lingkungannya sehingga masih mengandalkan penilaian

dari pusat. Namun ini pun menjadi pisau bermata dua karena jika dilakukan di daerah

dikhawatirkan terjadi moral hazard dan ketiadaan independensi

Tantangan pembangunan pada lima tahun mendatang semakin kompleks dan

memerlukan indikator pembangunan yang lebih akomodatif dan komprehensif dengan

mempertimbangkan unsur pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan

dampaknya terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Dengan demikian beberapa rekomendasi kebijakan mendasar antara lain adalah

Dalam RPJM mendatang aspek-aspek yang berkaitan dengan tekanan terhadap

lingkungan seperti jejak ekologis (ecological footprint) dan biocapacity hendaknya

dapat dipertimbangkan untuk menjadi bagian dalam penilaian indikator pembangunan

lingkungan

Dalam pelaksanaan memang mungkin ditemukan kesulitan dan hambatan untuk

mengukur indikator di atas, untuk itu mungkin kedua indikator tersebut dapat

digunakan sebagai indikator satelit (pelengkap) bagi laporan IKLH

Mengingat IKLH sudah berjalan cukup lama dan sudah memiliki protokol

perhitungan yang relatif mudah dilakukan, IKLH masih tetap bisa dipertahankan

sebagai indikator lingkungan hidup. Namun demikian penyempurnaan terhadap

variabel dan metode perhitungan IKLH yang ada saat ini harus dilakukan

Penyempurnaan yang krusial adalah terkait dengan penggunaan komponen yang

mudah diinterpretasikan dan informatif. Dengan kata lain skor IKLH harus

memberikan informasi lingkungan yang mudah kepada pengambil kebijakan dan

penjelesan terhadap komponen pembentuk IKLH yang bisa dikaitkan dengan program

pembangunan. Sebagai contoh jika skor IKLH 60, bagaimana skor ini

diinterpretasikan secara mudah dan komponen apa saja yang menyebabkan skor 60

tersebut sehingga intervensi kebijakan (misalnya apakah kualitas udara yang buruk

atau tutupan hutan yang kurang) dapat dilakukan melalui komponen tersebut.

Penyempurnaan IKLH ini menyangkut penggunaan indikator kinerja lingkungan yang

terkait dengan hulu dan hilir atau input proses dan output, atau bisa saja terkait

dengan komponen stock dan flow dari sumber daya alam dan lingkungan.

57

PDRB hijau atau semi hijau masih tetap relevan untuk digunakan karena akan

menunjukkan bagaimana deplesi dan degradasi SDAL berpengaruh terhadap

pertumbuhan ekonomi. Namun demikian diperlukan protokol atau metode baku

terkait dengan perhitungan deplesi dan degradasi (memerlukan teknik valuasi

ekonomi) yang mudah dilakukan dan mudah diinterpretasikan oleh pengambil

kebijakan. Protokol ini juga akan memudahkan daerah untuk mengumpulkan data

untuk menghitung PDRB hijau daerah tersebut.

Mengembangkan indikator yang lebih komprehensif seperti Indeks Pembangunan

Hijau (IPH) dan Green rating atau Dashboard Sustainbility Index (DSI). Oleh karena

memerlukan tahapan yang memerlukan proses pembelajaran, indikator-indikator

tersebut bisa saja sementara ini menjadi indikator komplemen

Indikator yang bersifat “low hanging fruit” atau mudah untuk dilaksanakan sebagai

indikator komposit pembangunan berkelanjutan adalah Indeks Pembangunan

Berkelanjutan (IPB). Indeks ini relatif mudah dilaksanakan dan diinterpretasikan,

namun memerlukan kesepakatan terkait dengan target keluaran indeks ekonomi

seperti target pertumbuhan ekonomi.

Diperlukan penguatan kapasitas kelembagaan untuk mengembangkan indikator di

daerah sehingga setiap daerah akan memiliki insentif untuk menuju pembangunan

yang lebih berkelanjutan

58

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana dan Yusuf. 2007. Assessing Indonesia's sustainable development: long-run trend,

impact of the crisis, and adjustment during the recovery period. MPRA Paper No. 1736.

February 2007

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2008 (Perbaikan dari

Laporan tahun 2009).Jakarta : BPS

Badan Pusat Statistik. 2012. Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia

2007-2011. Jakarta: BPS

Bappenas. 2013. Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Jakarta: Bappenas

DANIDA. 2012. Methodology Development of Green GDP And Green GRDP For Indonesia.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta :

Gramedia.

Fauzi A. 2007. Economic of Nature’s Non Convexity: Reorientasi Pembangunan Ekonomi

Sumber Daya Alam dan Implikasinya bagi Indonesia [Orasi Ilmiah]. Disampaikan pada

Orasi Ilmiah Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, 10 November 2007.

Fauzi A. 2009. Rethinking Pembangunan Ekonomi Sumberdaya Alam dan

Lingkungan.Artikel dalam buku Orange Book: Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Editor Rina Oktaviani, dkk. Bogor: IPB Press.

Fauzi A. 2012. Ekonomi Hijau untuk Bumi.Harian Kompas, 7 Juli 2012

Gustami. 2012. Indonesiian Experiience in Developing Sustainable Development Indicator.

Genewa. 6 Desember 2012

Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2010. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

Indonesia 2009. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2011. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Kementrian Lingkungan Hidup (Kemen LH). 2012. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup

Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta : Kemen LH

Leitman.Et. al. 2009.Investing in a More Sustainable Indonesia: Country Environment

Analysis.CEA Series East Asia and Pacific Region.Washington DC: The World Bank

Rustiadi E., S. Saefulhakim, D.R. Panuju. 2009. Perencanaan Pembangunan dan

Pengembangan Wilayah, Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia

World Bank. 2006. Where is the Wealth of Nation? Measuring Capital for 21st

Century.Washington DC: The World Bank.