Upload
leliem
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekarang ini hampir semua orang di belahan dunia mengenal Korean Wave
atau juga populer dengan sebutan Hallyu wave.
“The Korean wave refers to the significantly increased popularity
of South Korean culture around the world; its also referred to as
Hallyu, in The Korean language”(Lee, 2011:86)
Jadi Korean wave dapat dimengerti sebagai fenomena demam tentang budaya
Korea, dimana hampir seluruh masyarakat dunia mendapat efek menyebarnya
budaya Korea. Dalam bahasa Korea, demam korea (Korean wave) dinamakan
Hallyu.
The Korean wave -”Hallyu” in Korean-efers to a surge in the
international visibility of Koreanculture, begining in East Asia in
the 1990s and continuing more recently in the United States, Latin
America, The Middle East, and pars of Europe. (Lee, 2011:85)
Korean wave atau Hallyu bermula di awal tahun 90-an di Asia timur. Dengan
didukung majunya perkembangan teknologi media massa baik itu televisi dan
internet, maka perkembangan budaya (Korean wave) ini dapat menyebar dengan
pesat hingga di belahan benua Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Budaya
tersebut tersebar menyentuh aspek film dan drama, musik, fashion, makanan,
bahkan gaya rambut. Hal ini menjadikan segala sesuatu yang berbau Korea
1
menjadi begitu populer di kalangan masyarakat. Fenomena ini kemudian
menjadikan Korea sebagai salah satu negara, selain Inggris, Amerika, dan Jepang,
yang budayanya telah sukses menjangkiti masyarakat luas di dunia, termasuk
Indonesia.
Seiring dengan perkembangan fenomena Korean Wave tersebut, maka
bermunculan komunitas-komunitas yang berisi sejumlah orang yang mempunyai
ketertarikan yang sama tentang budaya Korea, baik itu musik, film, drama, reality
show, dan masih banyak lainnya. Para anggota forum komunitas ini sering
berkumpul dan meyatukan aspirasi mereka untuk mengadakan acara berdiskusi,
bertemu atau gathering dan mengadakan sebuah kegiatan bersama dalam rangka
menyebarkan kebudayaan Korea lebih luas di kalangan masyarakat. Komunitas
tersebut membentuk sebuah organisasi berstruktur yang memiliki anggota dan
berkembang diberbagai daerah di Indonesia. Hal ini menarik untuk dikaji karena
pada dasarnya, komunitas tersebut muncul akibat adanya penyebaran produk
hiburan Korea melalui media massa yang dikemas secara menarik hingga
menimbulkan fandom atau fansclub yang membentuk komunitas yang loyal
terhadap apapun yang berkaitan dengan Korea.
Penggemar Korea di Indonesia didominasi oleh para remaja. Masa remaja
merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa
dewasa, yang juga disebut sebagai masa mencari jati diri. Maka remaja merasa
tertantang dan tertarik untuk membuktikan kemampuan intelektualnya. Para
remaja ini umumnya mengidentifikasikan diri pada seorang tokoh yang dianggap
sebagai idola. Sehingga mereka berupaya bagaimana dirinya mampu menyerupai
2
tokoh idolanya tersebut, dengan meniru tingkah laku, kebiasaan dan apa saja yang
dikenakan tokoh idolanya. Umumnya para remaja mengidolakan seseorang yang
pandai, berparas tampan atau cantik, dan berperilaku unik. Dengan inilah identitas
remaja terbentuk dan secara disadari atau pun tidak melalui kecintaan mereka
terhadap sesuatu.
Untuk memperkuat identitas diri biasanya seseorang akan mencari orang-
orang yang memiliki pemaknaan yang sama terhadap suatu hal. Mereka akan lebih
nyaman apabila bersama dengan orang-orang yang mempunyai banyak kesamaan
dalam beberapa hal. Ini terlihat dengan munculnya komunitas penggemar budaya
Korea. Komunitas penggemar ini muncul karena kesamaan selera. Tampilan
berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya bisa merupakan penanda
identitas. Seseorang yang ingin masuk ke sebuah kelompok pecinta korea
biasanya akan meniru cara berpakaian, berperilaku bahkan meniru mode rambut
idolanya. Jika sebuah ciri khas lain muncul, maka atribut ini dikenakan sebagai
ciri kebersamaan. Ketika seorang atau kelompok penggemar menganggap selebriti
yang mereka kagumi, mereka meniru apa yang dikenakan dan dilakukan oleh
idolanya. Cara penggemar meniru selebriti yang mereka kagumi kemudian
berkembang menjadi salah satu ekspresi dari para penggemar menunjukkan
eksistensi diri mereka sebagai penggemar pada idolanya.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebuah kasus pada komunitas
penggemar acara reality show terkenal dari Korea, Running Man. Program reality
show ini pertama kali disiarkan pada 11 Juli 2010 melalui stasiun tv SBS. Hingga
saat inipun, acara Running Man masih terus berlanjut. Hal yang menarik dari
3
variety show ini adalah setiap episodenya selalu mengusung konsep acara yang
baru, segar dan selalu berinovasi sehingga audience menjadi tidak bosan. Selain
itu tempat pengambilan gambar Running Man selalu berada di daerah pariwisata
khas Korea, atau tempat yang akan digelar moment Internasional, seperti di Pyong
Chang, sebagai tuan rumah pertandingan Olympic Winter 2018.
Konsep dari acara Running Man adalah mission race, dimana dalam satu
episode menampilkan serangkaian misi estafet yang harus dilalui para pemainnya.
Misi yang ditampilkan di acara Running Man ini biasanya seputar permainan
tradisional khas Korea, yang mengusung tema kebudayaan Korea, seperti
permainan tradisional Korea, pakaian dan makanan tradisional Korea. Para
pemain tetap Running Man adalah mereka yang sudah lama berkiprah di dunia
hiburan Korea, seperti MC dan Komedian (Yoo Jae suk, Ji Suk Jin, dan Ha Dong
Hoon), Penyanyi (Kim Jong Kook dan Kang Gary) dan Aktor film dan drama
(Song Ji Hyo dan Lee Kwang Soo). Selain itu, banyak penyanyi K-Pop atau aktor
Korea yang sedang naik daun ikut berpartisipasi sebagai bintang tamu (guest star)
di Running Man.
Kini acara Running Man telah meraih banyak penghargaan pada beberapa
kategori di acara SBS Entertainment Award selama 4 tahun berturut-turut dari
2010-2013. Hak siar acara Runningman juga telah dijual pada enam negara Asia,
bahkan di Indonesia pun sudah membuat acara serupa dengan judul Mission X,
yang disiarkan di stasiun swasta Trans Tv. Dari banyaknya negara yang telah
membeli hak siar acara Running Man, tentu semakin banyak pula penggemar
acara tersebut yang membentuk komunitas Fandom atau Fansclub yang disebut
4
sebagai Runners, mengambil dari singkatan dari Running Man Lovers.
Fandom tersebut tidak hanya berada di Korea Selatan, tetapi juga telah
menyebar di berbagai mancanegara termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri
terdapat fandom Running Man di berbagai daerah, seperti Jakarta, Tangerang,
Bandung, Palembang, Makassar, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan masih banyak
lagi. Fandom ini merupakan wadah bagi penggemar Running Man. Mereka
biasanya sering mengadakan permainan race dan pertemuan atau gathering yang
didalamnya menggunakan permainan dari Running Man.
Dalam penelitian ini, peneliti mengulas mengenai komunitas Jogja
Runners sebagai salah satu fandom pecinta Running Man yang berada di
Yogyakarta. Jogja Runners atau lebih sering disebut dengan JR merupakan
komunitas pertama yang meng-cover sebuah program acara reality show (dalam
hal ini Running Man). Jogja Runners dikatakan komunitas pertama, karena
sebelumnya di Indonesia belum pernah ada komunitas yang meng-cover acara
reality show secara keseluruhan dengan apik. Bahkan hingga meng-upload-nya ke
dalam sosial media seperti Youtube dan iSubs.
Sebelum komunitas Jogja Runners terbentuk, komunitas-komunitas
pecinta budaya Korea yang bermunculan hanya sekedar komunitas cover lagu dan
cover dance. Hal inilah yang membuat Jogja Runners lebih menonjol jika
dibandingkan dengan komunitas cover budaya Korea lainnya. Ada beberapa fakta
yang menarik tentang Jogja Runners, antara lain: Pertama, para anggota dari Jogja
Runners (JR) semula hanya terdiri dari orang-orang yang telah lama mengerti
5
budaya Korea dan berkecimpung dalam komunitas pecinta budaya Korea di
Yogyakarta. Meskipun setelah perkembangannya, anggota Jogja Runners kini
tidak hanya untuk orang yang sudah mengerti tentang budaya Korea saja, tetapi
juga telah terbuka untuk umum dari beberapa kalangan masyarakat. Kedua, Jogja
Runners sebagai komunitas pecinta reality show Running Man, berusaha mencoba
mengadopsi dan mereproduksi kembali acara tersebut, sehingga bisa dikatakan
mereka ini adalah mini dari Running Man. Bentuk adopsi dan reproduksi ini
berupa melakukan kembali semua permainan dan kegiatan yang pernah dilakukan
di acara Running Man. Serta konsep pembuatan acara juga disamakan persis
dengan konsep dari Running Man dengan membentuk struktur keanggotan seperti
CEO, PD, VJ, FD dan Player.
Terbentuknya komunitas Jogja Runners merupakan wujud dari apresiasi
mereka terhadap kecintaannya pada program variety show Running Man. Oleh
karena itu mereka mencoba meng-cover1 acara ini dengan membuat ide konsep
yang sama dengan Running Man. Bahkan struktur produksinya dibuat semirip
mungkin dengan Running Man. Jogja Runners tidak hanya sekedar mengadopsi
struktur produksi dan konsep permainan dalam Running Man, tetapi juga gaya
bahasa, mimik dan karakter-karakter tokoh pemain dari Running Man. Dalam
acara Running Man, seseorang yang berusia lebih muda selalu memanggil Hyung
(Mas) kepada yang lebih dituakan atau Sunbaenim (pernyataan yang lebih hormat
kepada yang lebih tua), Noona (Mbak) dan penyataan pernyataan kalimat seruan
1 Bagi penggemar budaya Korea, istilah cover berbeda dengan plagiarism. Cover lebih pada perwujudan rasa apresiasi tanpa mengambil keuntungan dan tidak mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Sedangkan plagiarism lebih mengarah pada meniru untuk kepentingan dan keuntungan sendiri.
6
seperti; Aigoo, Omo, Seumdwa, Ssakda Ssakda, fighting, dan lain sebagainya. Dan
kata-kata ini juga tak jarang digunakan oleh para anggota Jogja Runners.
Alasan peneliti membuat penelitian tentang sebuah komunitas fansclub
atau fandom adalah karena penelitian mengenai fans atau penggemar dianggap
masih jarang dilihat oleh banyak peneliti atau kritikus. Padahal dari penggemar
bisa dilihat atau diapresiasi kedalaman perasaan, kepuasan (gratifikasi) dan
pentingnya meniru kebiasaan sehari-hari sosok yang dikaguminya.
(Lewis,1992:1).
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
“Identitas apa yang dimunculkan para anggota Jogja Runners berdasar
pengalaman anggotanya?.
C. Tujuan Penelitian
Belakangan ini telah banyak kajian yang mengangkat tentang Hallyu atau
demam Korea yang sedang ramai digemari masyarakat Indonesia, namun kajian
tentang bagaimana budaya Korea yang membentuk identitas baru di dalam sebuah
komunitas di masyarakat Indonesia khususnya pada ranah hiburan variety show
belum banyak mengemuka. Terutama dalam meng-cover sebuah acara variety
show. Peneliti mengangkat tema mengenai komunitas Jogja Runners dengan
tujuan sebagai berikut :
7
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menentukan
pembentukan identitas anggota Jogja Runers.
2. Untuk mengetahui bagaimana pembentukan identitas yang terjadi
dalam Jogja Runners secara pribadi dan kelompok.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan petimbangan
atau acuan untuk penelitian sejenis secara lebih mendalam.
2. Manfaat Praktis
Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan gambaran
dalam menganalisa interaksi yang terjadi dan identitas yang
dihasilkan dalam komunitas Jogja Runners.
E. Kerangka Teori
Teori utama yang digunakan penulis dalam pembahasan penelitian ini
adalah teori identitas yang dikemukakan oleh Stuart Hall. Teori tersebut diyakini
dapat menjawab pembahasan mengenai pemakaian atribut Running Man sebagai
simbol identitas kolektif dari komunitas Jogja Runners.
1. Identitas
Menurut Stuart Hall (dalam Baker,2009:174) dalam memahami konsep
identitas terdapat asumsi-asumsi esensialisme dan antiesensialisme. Esensialisme
8
berasumsi bahwa deskripsi tentang diri kita mencerminkan suatu identitas
esensial. Berdasarkan logika ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas,
Asia, remaja dan segala kategori sosial lainnya. Asumsi kaum essensialisme
meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah
selesai, mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan mereka, tingkah laku
sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan kebudayaan yang
dianut.
Pada pandangan aliran esensialisme norma-norma dan nilai yang berlaku
dalam masyarakat sesuai kebudayaan masyarakat tersebut merupakan hal yang
mutlak dan sudah baku sehingga jika ada individu yang tingkah lakunya tidak
sesuai dari nilai-nilai dan norma tersebut dianggap perilaku menyimpang.
Sebaliknya, kita telah menyatakan bahwa identitas bersifat kultural daam 'segala
aspeknya', bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Menurut
pandangan aliran antiesensialisme identitas dapat berubah terkait dengan berbagai
konteks sosial dan kultural. Identitas adalah kontruksi diskursif yang berubah
maknanya menurut ruang, waktu dan pemakaiannya (Baker, 2009:174-175).
(Dalam Baker,2009:177) Terdapat tiga cara berbeda dalam memahami
identitas menurut Stuart Hall, yaitu:
a) Subjek Pencerahan
Pandangan tentang pribadi (person) sebagai agen yang terpadu dan
unik telah menyatu dengan pencerahan, suatu gerakan filosofis yang
diakitkan dengan gagasan bahwa ratio dan rasionalitas adalah basis bagi
kemajuan manusia. Didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi
9
manusia sebagai individu yang spenuhnya terpusat dan terpadu, yang
didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan, yang 'pusatnya'
terdiri dari inti-dalam. Pusat esensial dari diri adalah identitas pribadi.
Bahwa pada dasarnya manusia memiliki segala 'kemampuan' untuk
membebaskan diri dan menentukan bagaimana sesungguhnya eksistensi
diri' sebagai diri yang mendapat pencerahan.
b) Subjek Sosiologis
Identitas dalam subjek sosiologis adalah dimana identitas itu tidak
dibangun melalui dirinya sendiri, tetapi terbangun melalui proses
akulturasi. Inti dari subjek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri,
melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan 'orang lain yang
berpengaruh' (significant others), yang jadi perantara subjek dengan nilai,
makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup. Asumsi dari
pandangan subjek sosiologis bahwa aspek sosial melalui interaksi antar
individu akan mempengaruhi pembentukan identitasnya dan identitas itu
semata-mata tidak membangun atau berdiri sendiri namun ada proses
akulturasi.
c) Subjek Pascamodern
Menurut pandangan subjek pascamodern bahwa individu tidak
hanya satu melainkan terfragmentasi dalam bebrapa identitas yang kadang
identitas-identitas tersebut kontradiktif. Subjek memiliki identitas yang
berlainan pada kurun waktu yang berbeda, identitas-identitas yang tidak
terpusat di seitar 'diri' yang koheren. Yang ada didalam diri kita adalah
10
identitas-identitas yang kontradiktif, mengarah pada titik yng berbeda
sehingga identifikasi kita terus-menerus berubah. Jika kita merasa bahwa
kita memiliki suatu identitas terpadu sejak lahir sampai mati, itu semua
hanya karena kita mengkosntruksikan suatu cerita yang melegakan atau
'narasi diri' tentang diri kita sendiri.
Selain pendapat diatas, Giddens (dalam Baker,2009:175) menyatakan
bahwa identitas merupakan proyek. Identitas adalah diri sebagaimana yang
dipahmi secara refekstif oleh orang dalam konteks biografinya. Oleh karena itu,
sesuatu yang kita pikirkan berubah dari situasi ke situasi lain sesuai ruang dan
waktu sehingga identitas dimaknai sebagai proyek. Dimana identitas tersebut
merupakan kemampuan individu dalam menarasaikan dirinya bukanlah kumpulan
sifat-sifat individu maupun sesuatu yang entitas.
Identitas diri tersebut menurut Giddens (dalam Baker,2009:175) terbentuk
oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tetang diri, sehingga membentuk
perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas
berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: Apa yang harus dilakukan?
Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?” Individu berusaha mengkonstruksi
suatu narasi identitas koheren dimana 'diri membentuk suatu lintasan
perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapa diperkirakan.
Identitas merupakan sesuatu yang diciptakan dan berubah dari satu situasi ke
siatuasi lainnya yang dipengaruhi oleh sosialisasi dan akulturasi. Tanpa adanya
akulturasi seseorang tidak akan menjadi individu sebagaimana yang dipahami
11
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kelompok Sosial
Menurut Soerjono Soekanto (1990:66) kelompok sosial adalah himpunan
atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan
antara mereka secara timbal balik dan saling mempengaruhi. Kelompok Sosial
oleh Soerjono Soekanto dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu:
a) Berdasarkan besar kecilnya anggota kelompok
Menurut George Simmel besar kecilnya jumlah anggota kelompok
akan mempengaruhi kelompok dan pola interaksi sosial dalam
kelompok tersebut. Simmel memulai dari satu orang sebagai perhatian
hubungan sosial yang dinamakan monad. Kemudian monad
dikembangkan menjadi dua orang atau diad, dan tiga orang atau triad,
dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Hasilnya semakin banyak
jumlah anggota kelompoknya, sehingga pola interaksinya juga
berbeda.
b) Berdasarkan derajat interaksi dalam kelompok
Derajat interaksi ini juga dapat dilihat pada beberapa kelompok sosial
yang berbeda. Kelompok sosial seperti keluarga, rukun tetangga,
masyarakat desa, akan mempunyai kelompok anggotanya saling
mengenal dengan baik (face-to-face groupings). Hal ini berbeda
dengan kelompok sosial seperti masyarakat kota, perusahaan, atau
negara, dimana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan erat.
12
c) Berdasarkan kepentingan dan wilayah
Sebuah masyarakat setempat (community) merupakan kelompok sosial
atas dasar wilayah yang tidak mempunyai kepentingan-kepentingan
tertentu. Sedangkan asosiasi (assosiacion) merupakan sebuah
kelompok sosial yang dibentuk untuk memenuhi kepentingan tertentu.
d) Berdasarkan kelangsungan kepentingan
Adanya kepentingan bersama merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terbentuknya sebuah kelompok sosial. Suatu kerumunan
misalnya, merupakan kelompok yang keberadaannya hanya sebentar
karena kepentingannya juga tidak berlangsung lama. Namun, sebuah
asosiasi mempunyai kepentingan yang tetap.
e) Berdasarkan derajat organisasi
Kelompok sosial terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang
terorganisasi dengan rapi seperti negara, TNI, perusahaan dan
sebagainya. Namun, ada kelompok sosial yang hampir tidak
terorganisasi dengan baik, seperti kerumunan. Secara umum tipe-tipe
kelompok sosial adalah sebagai berikut :
1) Kategori statistik, yaitu pengelompokan atas dasar ciri
tertentu yang sama.
2) Kategori sosial, yaitu kelompok individu yang sadar
akan ciri-ciri yang dimiliki bersama.
3) Kelompok sosial, misalnya keluarga batih (nuclear
family)
13
4) Kelompok tidak teratur, yaitu perkumpulan orang-
orang disuatu tempat pada waktu yang sama karena
adanya pusat perhatian yang sama.
5) Organisasi formal, yaitu kelompok yang sengaja
dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang telah
ditentukan terlebih dahulu.
3. Interaksi Sosial
Pengertian interaksi sosial sangat berguna di dalam memperhatikan dan
mempelajari tentang masyarakat. Interaksi sosial adalah kunci dari semua
kehidupan sosial, oleh karenanya tanpa interaksi sosial, tidak mungkin ada
kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak
akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan
hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang perorangan atau kelompok-
kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai
tujuan bersama. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses sosial,
pengertian mana menunjukkan pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis
(dalam Soerjono Soekanto,1990:67).
Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas
sosial. Menurut Soerjono Soekanto interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang
perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok. Aktivitas-aktivitas sosial bisa terwujud apabila dua
14
orang bertemu, interaksi sosial mulai terjadi. Mereka saling menegur, berjabat
tangan dan saling berbicara. Walaupun orang yang bertemu tidak saling berbicara
atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi karena masing-
masing telah sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-
perubahan dalam perasaan ataupun syaraf orang-orang yang bersangkutan.
Semuanya itu menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang yang kemudian
menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekanto,1990:67).
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang.
b) Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol.
c) Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa
mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.
d) Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan
tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.
Didalam melakukan interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang
dikatakan orang lain saja tetapi juga apa yang dilakukannya. Berlangsungnya
suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain:
a) Imitasi adalah tindakan sosial meniru sikap, tindakan seseorang secara
berlebihan.
b) Sugesti adalah pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak
kepada pihak lain
c) Identifikasi adalah kencerungan diri seseorang untuk menjadi sama
dengan orang lain dan proses identifikasi ini berlangsung secara
15
kurang disadari oleh seseorang.
d) Simpati adalah proses seseorang merasa tertarik dengan orang lain,
agar dapat berlangsung diperlukan adanya pengertian antara kedua
belah pihak.
Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-senriri secara terspisah
maupun dalam keadaan tergabung. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang
memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian
diterima oleh pihak lain. Proses ini hampir sama dengan imitasi akan tetapi titik
tolaknya berbeda. Identitas adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri
seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Sedangkan proses simpati
merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik dengan pihak lain. Didalam
proses ini perasaan memegang peranan yang sama penting (Soerjono
Soekanto,1990:67).
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini
disampaikan berbentuk narasi diskripif dengan analisis pendekatan induktif.
Tujuannya adalah memberikan gambaran menyeluruh terhadap kajian yang diteliti
sehingga dapat memberikan penjelasan yang sesuai dan tepat. Proses pemaknaan
(perspektif subjek) menjadi hal yang ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai
dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum mengenai latar belakang penelitian dan sebagai
16
bahan pembahasan hasil penelitian.
Perolehan data dilakukan melalui penelitian yang digali secara alamiah.
Selanjutnya peneliti melakukan pengembangan data berdasarkan kebutuhan
penelitian dan sesuai dengan kondisi kenyataannya. Fokus dari penelitian terletak
pada studi deskriptif yang menggambarkan fenomena dan fakta yang terjadi dalam
pembentukan identitas kolektif Jogja Runners serta perkembangan dan proses
interaksi yang terjadi di dalamnya.
1. Unit Analisis
Unit analisis penelitian ini terdiri dari anggota Jogja Runners yang
berpenampilan menyerupai karakter tokoh dan menggunakan atribut Running
Man untuk menunjukkan identitasnya. Pemilihan unit analisis ini dilakukan
berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian yaitu merupakan kelompok
pecinta budaya Korea yang merepresentasikan identitas kelompoknya sesuai
dengan acara Running Man dan memiliki pemaknaan atas pengunaan atribut
pakaian, pin, sticker dan Yel- Yel sebagai simbol kecintaan terhadap Running Man
sekaligus identitas kolektifnya. Melihat kecenderungan tersebut, mendorong rasa
keingintahuan dari penulis untuk melakukan penelitian secara mendalam
mengenai kelompok ini. Jumlah dari aggota Jogja Runners yang akan diteliti
berjumlah 10-15 orang, tergantung pada kebutuhan data dan kualitas dari subjek
penelitian yang terdiri dari beberapa kalangan pelajar, mahasiswa dan pekerja,
dengan tingkat usia yang berbeda.
17
2. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti membutuhkan beberapa metode untuk melengkapi data dalam
penelitian ini, antara lain dengan:
a). Observasi
Kegiatan observasi dilakukan peneliti ditempat komunitas Jogja
Runners melakukan kegiatan. Selain itu peneliti juga melakukan
observasi di lokasi yang berbeda sesuai dengan keberadaan informan
yang merupakan anggota komunitas Jogja Runners. Observasi ini
dilakukan untuk memaparkan gambaran realita atau kejadian yang
terdapat di lokasi penelitian. Dalam melakukan observasi, peneliti
mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Jogja
Runners. Selain itu, peneliti juga mengamati penampilan para anggota
komunitas yang menunjukkan identitas komunitas Jogja Runners
sebagai penggemar acara Running Man.
b.) Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini merupakan salah satu media
pembuktian atas informasi atau keterangan yang sebelumnya telah
diperolah melalui melalui kegiatan observasi. Adapun teknik
wawancaranya adalah In-Depth Interview atau teknik wawancara
mendalam dipilih peneliti dalam penelitian ini. Wawancara mendalam
merupakan suatu proses mendapat keterangan, yaitu melakukan
kegiatan tanya – jawab secara langsung dengan 10-15 informan
(anggota komunitas Jogja Runners) dengan menggunakan panduan
18
wawancara berupa garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam
proses wawancara. Pokok pernyataan wawancara ditekankan pada
identitas yang dimunculkan dan proses interaksi antar anggota yang
mempengaruhi identitas Jogja Runners yang menjadi bagian dari topik
wawancara.
c.) Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini mengambil segala macam bentuk
data pendukung penelitian, berupa gambar, artikel, data statistik, hasil
rekaman kaset dan video, dan lainnya. Hal ini dilakukan untuk
menjadi data pendukung laporan penelitian selain hasil studi
wawancara dengan anggota komunitas. Peneliti banyak mengambil
gambar dari lapangan berupa kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh
komunitas Jogja Runners serta contoh gaya penempilan para anggota
komunitas. Hal tersebut dapat membantu peneliti dalam melakukan
proses pengolahan data.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data dibedakan dalam dua kategori, yaitu data primer dan
data sekunder.
a.) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari informan secara langsung
melalui proses wawancara ataupun dari proses pengamatan. Menurut
Moleong (2000) informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
19
memberikan informasi tentang situasi atau kondisi latar belakang
penelitian serta mempunyai pengalaman atau pengetahuan tentang latar
belakang penelitian. Untuk itu yang menjadi informan dalam penelitian
ini adalah para anggota komunitas penggemar acara Running Man,
diantaranya adalah:
1. CEO Jogja Runners.
2. PD (Production Director) Jogja Runners.
3. VJ (Video Journalist atau Cameraman) Jogja Runners.
4. FD (Floor Director) Jogja Runners.
5. Player di Jogja Runners dan orang-orang yang menyukai progam
acara Running Man dan pernah mengikuti acara di komunitas Jogja
Runners.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh sari sumber kedua selain
data dari lapangan. Peneliti menggunakan data dari literatur, jurnal,
buku serta data yang diakses dengan internet (facebook, twitter, dan site
blog) atau hasil penelitian sebelumnya. Dengan demikian data sekunder
berfungsi untuk melengkapi dan mendukung data primer.
5. Analisa Data
Dalam penelitian ini, pendekatan untuk menganalisa data lapangan
mengacu pada teori identitas Stuart Hall. Melalui teori tersebut dapat dilihat
bagaimana proses interaksi yang menjadi sarana akulturasi yang terjadi dalam
20
komunitas Jogja Runners dapat mempengaruhi identitas pribadi melalui cara
berperilaku, bertutur kata, dan berpakaian dengan atribut Running Man. Selain itu
juga untuk menunjukkan identitas yang dimunculkan anggota Jogja Runners
sebagai identitas kelompok atau kolektif. Identitas kolektif dalam hal ini identitas
kelompok menegaskan bagaimana orang-orang cenderung serupa satu dengan
lainnya, serta memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Nilai-nilai tersebut
nantinya memberikan pengaruh terhadap pembentukan identitas pribadi seseorang
seperti bagaimana cara dia bersikap dan berpenampilan di masyarakat.
Media massa merupakan salah satu media sosialisasi yang kuat dalam
pembentukan keyakinan-keyakinan baru atau mempertahankan keyakinan yang
ada. Kemajuan teknologi media massa dan keterbukaan informasi memudahkan
akses masuknya budaya Korea kedalam negeri. Masuknya budaya luar tersebut,
kemudian tidak diterima begitu saja. Tetapi mengalami proses yang bertahap
dengan membutuhkan waktu yang lama sehingga terjadi akulturasi.
Selain media masa, juga terdapat kelompok sosial sebagai media
sosialisasi, dimana dalam kelompok sosial terdapat proses interaksi antar anggota
sehingga memudahkan untuk membentuk akulturasi budaya melalui cara
mereproduksi kembali produk budaya tersebut dengan percampuran budaya baru
dan budaya lokal. Interaksi kemudian menjadi salah satu sarana akulturasi itu
terjadi. Dan akulturasi tersebut mempengaruhi dalam membentuk identitas pribadi
maupun kelompok.
Tahap analisis data merupakan sebuah proses pencarian dan penyusunan
data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan, dan studi
21
dokumentasi dengan mengorganisasikan data ke sintesis, menyusun ke dalam
pola, memilih data yang penting dan data yang dipelajari serta membuat
kesimpulan agar mudah dipahami. Terdapat tiga teknik analisa data kualitatif,
yaitu :
a) Reduksi data adalah proses pemilihan dan penyederhanaan dari
data kasar dalam catatan penliti yang berasal dari lapangan. Proses
reduksi data dilakukan dengan mengkategorikan hasil wawancara
berdasarkan aspek-aspek yang diteliti. Setelah pengumpulan data
dilakukan, peneliti mampu merekam data lapangan dalam bentuk
catatan lapangan (field note), selanjutya data harus diseleksi
sehinggga muncul data relevan dengan fokus masalah.
b) Display atau penyajian data dilakukan dengan membentuk
sejumlah daftar ketegori setiap data yang didapat, penyajian ini
digunakan dalam bentuk teks naratif. Untuk meminimalisir
banyaknya data yang diambil, peneliti sebaiknya mampu menyusun
data yang diperoleh secara sistematis agar sesuai dengan rumusan
masalah.
c) Langkah terakhir dari proses analisis data ini adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Penarikan kesimpulan sementara masih
dapat diuji kembali dengan data lapangan. Hal ini dilakukan agar
peneliti dapat mencapai kebenaran ilmiah. Setelah hasil penelitian
diuji kebenarannya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan dalam
bentuk deskriptif sebagai laporan penelitian.
22