Upload
phungnga
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ARTIKEL ILMIAH
PENGARUH RASIO TEPUNG BEKATUL DAN TEPUNG TERIGU
TERHADAP SIFAT KIMIA DAN ORGANOLEPTIK BOLU KERING
OLEH MARIA DESIDERIA GLORIANI
J1A012076
FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM MATARAM
2019
2
1
THE EFFECT OF ADDITION OF RICE BEAN FLOUR AND WHEAT FLOUR ON CHEMICAL PROPERTIES AND ORGANOLEPTIC DRY BOLU
Maria Desideria Gloriani1 Agustono Prarudiyanto2 Ahmad Alamsyah3
1)Mahasiswa Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, FATEPA UNRAM 2)Staf Pengajar Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, FATEPA UNRAM
ABSTRACT
Rice bran is a by-product of rice or grain milling process formed from the outer layer of broken rice in ignition to produce white rice or head rice. Bran includes part of the husk of rice which is separated during the second rounding. This study aims to determinite the effect of the ratio of bran flour and wheat flour to the chemical and organoleptic properties of dried sponge cake. This study uses a completely randomized design (RAL) with a single factor experiment/trial, namely bran concentration (b) with six treatment units and 3 replications. Treatment ratio of bran flour and wheat flour be used was b0 (100%), b1 (90%: 10%), b2 (80 %: 20%), b3 (70%: 30%), b4 (60%: 40%) and b5 (50%: 50%). The parameters observed included chemical parameters (moisture content, ash content and protein content) and parameter organoleptic (color, flavour and taste). Data on the results of the study were analyzed using diversity analysis and if significantly different were further tested by orthogonal polynomial method (MOP) for chemical parameters and further honest real difference test (BNJ) for organoleptic parameters. The results showed that the treatment ratio rice bran flour and wheat flour have significantly different effects on water content, ash content and protein content and organoleptic color, flavour and taste. The best treatment is treatment b5 (50%: 50%) gives the best results in terms of chemical parameters (moisture content 25.16%, ash content 2.45% and protein content 8.13%) for organoleptic parameters (color 2.8, flavour 2.95 and taste3.1) with the level of preference of the panelist rather like.
Keywords: Sponge cake, Rice Bran Flour, Wheat Flour.
ABSTRAK
Bekatul merupakan hasil samping proses penggilingan padi atau gabah yang terbentuk dari lapisan luar beras
pecah kulit dalam penyosohan untuk menghasilkan beras putih atau beras kepala. Bekatul termasuk bagian kulit ari beras yang terpisah selama penyosohan kedua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio tepung bekatul dan tepung terigu terhadap sifat kimia dan organoleptik bolu kering. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan percobaan faktor tunggal yaitu konsentrasi bekatul (b) dengan 6 unit perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan rasio tepung bekatul dan tepung terigu yang digunakan yakni b0 (100%), b1 (90% : 10%), b2 (80% : 20%), b3 (70% : 30%), b4 (60% : 40%) dan b5 (50% : 50%).
Parameter yang diamati meliputi parameter kimia (kadar air, kadar abu dan kadar protein) dan parameter organoleptik (warna, aroma dan rasa). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis keragaman dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan metode orthogonal polinomial (MOP) untuk parameter kimia dan uji
lanjut beda nyata jujur (BNJ) untuk parameter organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan rasio tepung bekatul dan tepung terigu memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air, kadar abu dan kadar protein serta organoleptik warna, aroma dan rasa. Perlakuan terbaik adalah perlakuan b5 (50% :
50%) memberikan hasil terbaik dari segi parameter kimia yaitu (kadar air 25.16%, kadar abu 2.45% dan kadar protein 8.13%) untuk parameter organoleptik yaitu (warna 2.8, aroma 2.95 dan rasa 3.1) dengan tingkat kesukaan panelis agak suka.
Kata Kunci : Bolu Kering, Tepung Bekatul, Tepung Terigu
2
PENDAHULUAN
Bolu kering adalah kue yang umumnya
berbahan dasar tepung terigu, gula dan telur
dengan cara pengolahan dipanggang di dalam
oven. Bolu dikonsumsi oleh berbagai kalangan dari
anak-anak sampai orang tua. Bolu kering biasanya
memiliki tekstur yang renyah dan rasa manis.
Keistimewaan lain dari bolu kering adalah tidak
menggunakan bahan pengawet dalam
pengolahannya. Dalam proses pembuatan bolu,
tepung yang biasa digunakan adalah tepung
terigu.
Penggunaan tepung sebagai bahan baku
industri pangan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Berbagai produk makanan seperti roti,
cake dan biskuit umumnya menggunakan tepung
terigu sebagai bahan baku, padahal Indonesia
bukan negara penghasil terigu. Bahan baku terigu
yaitu gandum, dimana gandum tidak dapat
tumbuh di Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia
masih mengimpor terigu. Upaya untuk mengurangi
ketergantungan terhadap terigu perlu dicari
sumber tepung dari bahan baku lokal (Fathullah,
2013). Untuk mengurangi biaya produksi yang
meningkat akibat kenaikan harga tepung terigu,
maka perlu dicari bahan lain hasil produksi lokal
yang dapat menjadi alternatif pengganti tepung
terigu, seperti bekatul.
Bekatul merupakan hasil samping dari proses
penggilingan padi yang termasuk bagian kulit ari
beras yang terpisah selama penyosohan ke-II.
Menurut Widowati (2001), mengemukakan proses
penggilingan padi menjadi beras giling, diperoleh
hasil samping berupa (1) sekam (15-20%), yaitu
bagian pembungkus/kulit luar biji, (2) dedak atau
bekatul (8-12%) yang merupakan kulit ari
dihasilkan dari penyosohan, dan (3) menir (± 5%)
merupakan bagian beras yang hancur.
Berdasarkan data BPS, data Angka Tetap (ATAP)
tahun 2015, produksi gabah kering giling nasional
mencapai 75,397 juta ton sehingga estimasi sekam
yang dihasilkan sebanyak 11,30-19 juta ton,
dedak/bekatul 6-9 juta ton dan menir 3,8 juta ton.
Pemanfaatan hasil samping terutama
dedak/bakatul dan menir masih terbatas padahal
hasil samping tersebut mempunyai nilai guna dan
ekonomi yang baik apabila ditangani dengan benar
sehingga dapat meningkatkan nilai tambah.Hasil
samping tersebut diketahui cukup potensial untuk
dikembangkan menjadi bahan pangan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang
pembuatan bolu kering dari campuran tepung biji
kecipir 10% dan tepung terigu 90% yang
dilakukan oleh Sulaemah (2016) dalam skripsinya
yaitu tingkat kesukaan yang paling disukai dari
segi organoleptik (aroma, rasa dan warna).
Sedangkan hasil penelitian Nataliningsih (2011)
mengenai pemanfaatan bekatul pada pembuatan
cookies menunjukkan bahwa substitusi tepung
bekatul 6% menghasilkan mutu organoleptik
cookies yang paling disukai oleh panelis dimana
semakin tinggi jumlah bekatul maka tingkat
kesukaan panelis semakin menurun. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi jumlah bekatul
pangan yang ditambahkan maka akan
menghasilkan aroma yang kurang enak, tekstur
yang keras, warna semakin coklat dan
menghasilkan rasa pahit.
Subsitusi tepung bekatul yang diterapkan
pada produk pangan seperti roti, cookies, kue
basah, kripik, minuman berserat, dan sereal.
3
Substitusi 5-15% bekatul dalam terigu, dilaporkan
memberikan hasil yang optimal penerimaan
konsumen pada produk cookies dan roti manis
(Suzana, 1992). Kombinasi antara tepung bekatul
dan tepung terigu ini bertujuan untuk
memanfaatkan bekatul sebagai pangan fungsional,
meningkatkan nilai tambah, dan mengurangi
ketergantungan terhadap konsumsi gandum,
sehingga dapat menurunkan impor gandum, serta
penganekaragaman produk bolu kering.
Informasi mengenai penggunaan tepung
bekatul sebagai campuran dalam pembuatan bolu
kering masih belum tersedia. Kajian yang lebih
mendalam tentang penggunaan bekatul sebagai
bahan diversifikasi produk bolu kering sangat
penting. Oleh karena itu, dilakukan penelitian
untuk mengetahui pengaruh rasio tepung bekatul
dan tepung terigu terhadap sifat kimia (kadar air,
kadar abudan kadar protein) dan organoleptik
(warna, aroma dan rasa) bolu kering.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Tepung Bekatul dari Desa
Labuapi Lombok Barat, tepung terigu merk Segi
Tiga Biru, gula pasir merk Rose Brand, garam cap
Kapal, susu bubuk, margarine merk Sania Royale,
vanili, baking powder dan telur ayam.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cetakan bolu, oven merk Maspion, mixer
roti merk Philips, kompor gas merk Rinnai, blender
merk Phillips, timbangan analitik, erlenmeyer, pipet
tetes, pipet volume, corong, saringan, tabung
reaksi, piring, ember, desikator, sendok, gelas
ukur, loyang, pisau stainless steel, pisau, talenan,
baskom, nampan dan ayakan.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tahapan
pengerjaan yaitu tahapan pertama meliputi proses
pembuatan tepung bekatul dan tahapan kedua
yaitu proses pembuatan bolu kering.
1. Proses Pembuatan Tepung Bekatul
Bekatul beras putih varietas C64 yang
digunakan diambil dari pabrik penggilingan gabah
di Desa Labuapi Lombok Barat. Bekatul yang telah
diambil kemudian diayak dengan menggunakan
ayakan 60 mesh agar bekatul terpisah dari dedak
dan menir. Setelah itu dilakukan penimbangan dan
penyangraian selama 3-5 menit. Setelah itu
dilakukan penggilingan dengan menggunakan
blender dan diayak kembali dengan ayakan 80
mesh untuk mendapatkan tepung bekatul yang
lebih halus.
2. Proses Pembuatan Bolu Kering
Pembuatan adonan bolu kering dilakukan
dengan mencampur bahan pertama yaitu telur 150
g, gula pasir 100 g, baking powder 2 g, vanili 3 g
dan garam 2 g dan diaduk menggunakan mixer
dengan kecepatan tinggi selama 7 menit sampai
adonan telur mengembang. Kemudiaan
dimasukkan bahan kedua yaitu tepung terigu
sesuai perlakuan yaitu 100 g, 90 g, 80 g, 70 g, 60
g dan 50 g dan tepung bekatul sesuai perlakuan
yaitu 10 g, 20 g, 30 g, 40 g dan 50 g. Lalu
ditambahkan margarine yang sudah dilelehkan
sebanyak 80 g dan diaduk kembali menggunakan
mixer dengan kecepatan rendah. Selanjutnya
dilakukan pembagian adonan ke dalam cetakan
bolu dan dimasukkan ke dalam oven yang sudah
4
dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu 1700C
dalam waktu 35 menit.
Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian yang digunakan di
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan percobaan factor tunggal,
yaitu rasio tepung bekatul dan tepung terigu (b)
dengan 6 aras perlakuan yaitu sebagai berikut:
b0= tepung terigu 100% (kontrol)
b1= tepung terigu 90% : tepung bekatul 10%
b2= tepung terigu 80% : tepung bekatul 20%
b3= tepung terigu 70% : tepung bekatul 30%
b4= tepung terigu 60% : tepung bekatul 40%
b5= tepung terigu 50% : tepung bekatul 50%
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak
3 kali ulangan, sehingga diperoleh 18 unit
sampel.Analisis data pengamatan diamati dengan
menggunakan analisis keragaman ANOVA (Analisis
of Variance) menggunakan Software Costat.
Apabila terdapat perbedaan yang nyata, maka
dilanjutkan dengan menggunakan Ujilanjut dengan
Polynomial Orthogonal taraf 5% untuk uji kimia
dan menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) taraf
5% untuk uji organoleptik pada taraf nyata yang
sama (Hanafiah, 2014).
HASIL DAN PEMBAHASAN
MUTU KIMIA
Hasil pengamatan terhadap mutu kimia dari
beberapa parameter yaitu parameter kadar air,
parameter kadar abu, dan parameter kadar
protein bolu kering dapat dilihat pada Tabel 1.
sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan Purata Kadar Air, Kadar Abu dan Kadar Protein
Bolu Kering
Perlakuan
Parameter
Kadar Air (%)
Kadar Abu
(%)
Kadar Protein
b0 31.0143 1.5039 5.9549
b1 27.9364 1.5804 6.4039
b2 27.2473 1.6650 6.7223
b3 27.0589 1.7953 6.7563
b4 25.9287 2.1209 7.6379
b5 25.1692 2.4523 8.1396
Keterangan :
b0 = Tepung Terigu 100% (kontrol)
b1 = Tepung Terigu 90% : Tepung Bekatul 10%
b2 = Tepung Terigu 80% : Tepung Bekatul 20%
b3 = Tepung Terigu 70% : Tepung Bekatul 30%
b4 = Tepung Terigu 60% : Tepung Bekatul 40%
b5 = Tepung Terigu 50% : Tepung Bekatul 50%
Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu sifat kimia
dari bahan pangan yang menunjukkan banyaknya
air yang terkandung di dalamnya. Peningkatan
kandungan air dalam beberapa bahan pangan
olahan dapat menjadi indikasi penurunan mutu.
(Kusnandar, 2010) (Mainaliza, 2003) dalam
(Gultom dkk, 2012) menjelaskan bahwa
pengukuran kadar air pada setiap bahan pangan
sangatlah penting.
Tinggi atau rendahnya kandungan air dalam
bahan pangan akanmenentukan mutu akhir dari
suatu produk. Kadar air merupakan parameter
yang umum disyaratkan dalam standar mutu suatu
bahan pangan karena kadar air dalam kandungan
bahan pangan sangat menentukan kemungkinan
terjadinya reaksi-reaksi biokimia (Dewi, 2008).
5
Gambar 1. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul dan Tepung Terigu Terhadap
Kadar Air Bolu Kering
Berdasarkan Gambar 1. Terjadi pola
penurunan nilai kadar air bolu kering dengan
persamaan y = -1.012x + 30.936 dengan koefisien
determinasi R2 = 0,869. Nilai -1.012x menentukan
arah regresi linier dan bernilai negatif yang berarti
semakin banyak penambahan tepung bekatul
maka kadar air semakin menurun. Koefisien
determinasi sebesar 0,869 menunjukan bahwa
86,9% kadar air bolu kering dipengaruhi oleh
penambahan tepung bekatul dan sisa nya
dipengaruhi oleh hal-hal lain.
Kadar air tertinggi tedapat pada perlakuan b0
(tepung terigu 100%) yaitu 31,0143 dan kadar air
terendah terdapat pada perlakuan b5 (tepung
terigu 50% : tepung bekatul 50%) yaitu 25, 1692.
Kadar air bolu kering yang diperoleh pada
penelitian berkisar antara 31.0143% sampai
25.1692% sehingga dari semua perlakuan
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) kadar
air bolu kering yaitu 40%.
Terjadinya penurunan kadar air disebabkan
karena bekatul mampu mengendalikan kandungan
air pada bahan. Tingginya daya serap air
dikarenakan air yang terserap dalam molekul
sehingga meningkatkan daya serap air pada suatu
bahan pangan dan terputusnya ikatan hidrogen
antar molekul sehingga air lebih mudah masuk
kedalam suatu bahan pangan (Sipayung, 2018).
Menurut Damayanti (2006), tepung bekatul
diketahui memiliki kadar air lebih rendah
dibandingkan dengan kadar air terigu yaitu
sebesar 1,69%, sedangkan terigu sebesar 9,80%.
Kadar air mengalami perubahan yang disebabkan
oleh adanya penyerapan air dari bahan adonan
selama pemanggangan roti (Desrosier, 1998).
Selain itu Menurut Ainah (2004), kadar air
yang tinggi akan menyulitkan pada saat
penyimpanan, karena tepung pada kondisi
tersebut mudah diserang mikroba dan tidak dapat
disimpan dalam waktu yang lama. Selain itu,
dengan semakin rendahnya kadar air maka
konsentrasi komponen-komponen kering seperti
protein, lemak, karbohidrat dan mineral akan lebih
tinggi.
Kadar Abu
Sebagian besar makanan, yaitu sekitar 96%
terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri
dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal
sebagai zat anorganik atau kadar abu. Dalam
proses pembakaran, bahan-bahan organik
terbakar namun zat anorganiknya tidak, karena
itulah disebut abu. Mineral terdiri dari kalsium,
natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium, dan
komponen lain dalam jumlah kecil (Ainah, 2004).
Kadar abu merupakan residu anorganik dari
proses pembakaran atau oksidasi komponen
organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu
bahan menunjukkan kandungan mineral yang
31.0143 27.9367
27.2473 27.0589 25.9287 25.1692
y = -1.0125x + 30.936 R² = 0.8696
0
5
10
15
20
25
30
35
b0 b1 b2 b3 b4 b5
kad
ar a
ir (
%)
Perlakuan
6
terdapat dalam bahan tersebut (Andarwulan,
Kusnandar dan Herawati, 2011).
Gambar 2. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul dan Tepung Terigu Terhadap Kadar Abu Bolu Kering
Berdasarkan Gambar 2. Terjadi pola
peningkatan nilai kadar abu bolu kering dengan
persamaan y = 0.185x + 1.203 dengan koefisien
determinasi R2 = 0,904. Nilai 0.185x menentukan
arah regresi linier dan bernilai positif yang berarti
semakin banyak penambahan tepung bekatul
maka kadar abu semakin meningkat. Koefisien
determinasi sebesar 0,904 menunjukan bahwa
90,4% kadar abu bolu kering dipengaruhi oleh
penambahan tepung bekatul dan sisa nya
dipengaruhi oleh hal-hal lain.
Pendapat ini sesuai dengan Desrosier (1988)
bahwa bahan pangan akan kehilangan kadar air
yang menyebabkan naiknya kadar zat gizi didalam
massa yang tertinggal. Jumlah kadar abu pada
penelitian ini diduga karena penambahan tepung
bekatul pada setiap perlakuan yang berbeda-beda
serta seperti yang telah dikemukakan sebelumnya
bahwa kadar abu yang dimiliki tepung bekatul
juga termasuk tinggi. Menurut SNI 1995 kadar abu
pada produk bolu kering maksimal 1% b/b,
sehingga hasil kadar abu bolu kering pada semua
perlakuan tidak memenuhi SNI dikarenakan kadar
abu yang diperoleh melebihi standar yang
ditentukan oleh SNI.
Kadar abu tepung bekatul sebesar 9.2% Nilai
kadar abu tepung bekatul lebih tinggi
dibandingkan kadar abu tepung terigu untuk
bahan makanan yang diisyaratkan oleh SNI 01-
3751-1995 yaitu maksimal 0.6% (b/b) (Indrasti,
2004). Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya
kandungan mineral dalam tepung bekatul.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan
kandungan mineral yang terdapat dalam bahan.
Adapun tujuan penentuan kadar abu yaitu
untuk memberikan gambaran kandungan mineral
internal dan eksternal. Eksternal dipanaskan pada
suhu tinggi hingga senyawa organik dan turunnya
terdestruksi dan menguap hingga tersisa unsur
anorganik saja. Mineral yang terdapat suatu bahan
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu garam
organik dan garam anorganik.
Kadar Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang
paling penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi
sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno,
2004). Menurut Anonim (2007), protein pangan
terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu moderat
60-900C selama satu jam atau lebih. Denaturasi
merupakan perubahan struktur protein dimana
pada keadaan terdenatrasi penuh hanya struktur
primer saja yang tersisa.
1.504 1.5804 1.665
1.7953
2.1209 2.4523
y = 0.1855x + 1.2037 R² = 0.9048
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
b0 b1 b2 b3 b4 b5
kad
ar a
bu
(%
)
Perlakuan
7
Gambar 3. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul
dan Tepung Terigu Terhadap
Kadar Protein Bolu Kering
Berdasarkan Gambar 3. Terjadi pola
peningkatan nilai kadar protein bolu kering dengan
persamaan y = 0.418x + 5.469 dengan koefisien
determinasi R2 = 0,940. Nilai 0.418x menentukan
arah regresi linier dan bernilai positif yang berarti
semakin banyak penambahan tepung bekatul
maka kadar protein semakin meningkat. Koefisien
determinasi sebesar 0,940 menunjukan bahwa
94,0% kadar protein bolu kering dipengaruhi oleh
penambahan tepung bekatul dan sisa nya
dipengaruhi oleh hal-hal lain.
Kadar protein terendah terdapat pada
perlakuan b0 (tepung terigu 100%) yaitu 5,9549
dan kadar protein tertinggi terdapat pada
perlakuan b5 (tepung terigu 50% : tepung bekatul
50%) yaitu 8,1396. Kadar protein yang diperoleh
pada penelitian berkisar antara 5.9549% sampai
8.1396%. Tingginya kadar protein pada perlakuan
b5 disebabkan karena penambahan tepung bekatul
50%, dimana bekatul itu sendiri kaya akan
kandungan protein.
Menurut Anonim (2007), protein pangan
terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu moderat
60-900C selama satu jam atau lebih. Denaturasi
merupakan perubahan struktur protein dimana
pada keadaan terdenatrasi penuh hanya struktur
primer saja yang tersisa.
MUTU ORGANOLEPTIK
Warna
Warna merupakan salah satu atribut mutu
yang sangat penting pada bahan dan produk
pangan. Peranan warna sangat nyata karena
umumnya konsumen akan mendapat kesan
pertama dari warna produk tersebut, baik suka
maupun tidak suka terhadap warna tersebut.
Warna juga mempunyai arti dan peranan yang
sangat penting pada produk pangan sebagai
penciri jenis, tanda-tanda pematangan buah,
tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu dan
pedoman proses pengolahan (Andarwulan,
Kusnandar dan Herawati, 2011).
Gambar 4. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul dan Tepung Terigu Terhadap Warna Bolu Kering
Berdasarkan hasil analisa parameter warna
(hedonik) pada produk bolu kering menunjukkan
bahwa perlakuan dengan penambahan tepung
bekatul pada setiap perlakuan memberikan
5.9549 6.4039
6.7223 6.7563 7.6379 8.1396
y = 0.4188x + 5.4699 R² = 0.9403
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
b0 b1 b2 b3 b4 b5
kad
ar p
rote
in (
%)
Perlakuan
4.25 3.75
3.45 3.2
2.9 2.8
0
1
2
3
4
5
b0 b1 b2 b3 b4 b5
War
na
(Hed
on
ik)
Perlakuan
Hedonik Warna
8
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kesukaan panelis terhadap warna bolu kering yang
dihasilkan. Hasil purata uji hedonik warna
didapatkan dengan perlakuan b0, b1, b2, b3, b4 dan
b5 yaitu 4.25%, 3.75%, 3.45%, 3.2%, 2.9% dan
2.8% dengan kriteria paling disukai hingga agak
suka. Penilaian panelis terhadap nilai warna
berada pada rentang 2,8-4,25. Nilai terendah
terdapat pada perlakuan b5 yaitu 2,8 (agak suka)
sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan
b0 yaitu 4,25 (sangat suka).
Pada perlakuan b0 panelis cenderung sangat
menyukai warna bolu kering yang kuning cerah hal
ini disebabkan tidak ada penambahan tepung
bekatul pada perlakuan tersebut. Sedangkan pada
perlakuan b5 panelis agak suka dengan warna bolu
kering yang kecoklatan hal ini disebabkan karena
adanya penambahan tepung bekatul pada
perlakuan tersebut.
Aroma
Aroma merupakan salah satu sifat sensoris
yang menentukan penerimaan konsumen pada
suatu produk. Aroma dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang dapat diamati dengan indra pembau.
Aroma khas yang dirasakan oleh indera penciuman
tergantung dari bahan yang digunakan atau
ditambahkan dalam proses pembuatan suatu
produk.
Berdasarkan hasil analisa parameter aroma
(hedonik) pada produk bolu kering menunjukkan
bahwa perlakuan dengan penambahan tepung
bekatul pada setiap perlakuan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kesukaan panelis terhadap warna bolu keringyang
dihasilkan. Hasil purata uji hedonik aroma
didapatkan dengan perlakuan b0, b1, b2, b3, b4 dan
b5 yaitu 3.8%, 3.6%, 3.5%, 3.35%, 3.3% dan
2.95% dengan kriteria paling disukai hingga agak
suka.
Gambar 5. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul
dan Tepung Terigu Terhadap Aroma Bolu Kering
Hasil analisa parameter aroma (hedonik) pada
produk bolu kering menunjukkan bahwa perlakuan
dengan penambahan tepung bekatul pada setiap
perlakuan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna
bolu kering yang dihasilkan.
Berdasarkan gambar 5. bahwa perlakuan
penambahan tepung bekatul yang berbeda
memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap aroma secara hedonik. Penilaian panelis
terhadap nilai aroma berada pada rentang 2,95-
3,8. Nilai terendah terdapat pada perlakuan b5
yaitu 2,95 (agak suka) sedangkan nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan b0 yaitu 3,8 (suka).
Pada perlakuan b5 panelis agak suka dengan
aroma bolu kering karena adanya penambahan
tepung bekatul sehingga aroma bolu kering sangat
beraroma bekatul. Pada perlakuan b0 panelis suka
dengan aroma bolu kering hal ini disebabkan pada
3.8 3.6 3.5 3.35 3.3
2.95
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
b0 b1 b2 b3 b4 b5
Aro
ma (
Hed
on
ik)
Perlakuan
Hedonik Aroma
9
perlakuan tersebut tidak ada penambahan tepung
bekatul sehingga aroma bolu kering pada
umumnya berbau khas kue bolu. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin banyak tepung
bekatul yang ditambahkan maka tingkat kesukaan
aroma panelis semakin menurun.
Aroma juga dipengaruhi oleh kandungan
lemak pada bekatul tergolong tinggi sehingga
mudah menyebabkan aroma tengik. Aroma tengik
pada bekatul disebabkan karena kerusakan
hidrolituk dan oksidatif pada minyak bekatul
adalah penyebab munculnya aroma tengik
(Damayanti,dkk, 2007).
Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor penting
untuk menentukan tingkat penerimaan suatu
bahan pangan atau makanan. Meskipun warna
dan aroma baik, jika tidak diikuti rasa yang enak
maka makanan tersebut tidak akan diterima oleh
konsumen. Rasa suatu bahan makanan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti senyawa
kimia, temperature, konsistensi dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan
lama pemasakan (Winarno, 1997).
Rasa merupakan salah satu faktor penting
dalam menentukan cita rasa makanan. Rasa suatu
makanan merupakan faktor yang turut
menentukan penerimaan konsumen terhadap
suatu produk. Demikian dengan rasa bolu kering
semakin tinggi tingkat penambahan bekatul maka
rasa bolu kering cenderung menjadi kurang
disukai oleh panelis karena rasa bekatul yang agak
pahit semakin kuat dan dapat memberikan after
taste yang kurang menyenangkan.
Gambar 6. Pengaruh Rasio Tepung Bekatul
dan Tepung Terigu Terhadap
Rasa Bolu Kering
Berdasarkan Gambar 6. bahwa perlakuan
penambahan tepung bekatul yang berbeda
memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap rasa secara hedonik. Dapat dilihat bahwa
pada diagram tersebut, perlakuan b0 tidak bebeda
nyata dengan perlakuan b1, b2, b3 dan b4 tapi
berbeda nyata dengan perlakuan b5. Hasil purata
uji hedonik rasa didapatkan dengan perlakuan b0,
b1, b2, b3, b4 dan b5 yaitu 4%, 3.8%, 3.65%,
3.55%, 3.5% dan 3.1% dengan kriteria paling
disukai hingga agak suka. Penilaian panelis
terhadap nilai rasa berada pada rentang 3,1-4.
Nilai terendah terdapat pada perlakuan b5 yaitu
3,1 (agak suka) sedangkan nilai tertinggi terdapat
pada perlakuan b0 yaitu 4 (suka).
Pada perlakuan b0 panelis menyukai rasa bolu
kering hal ini disebabkan pada perlakuan tersebut
tidak ada penambahan tepung bekatul sehingga
rasa bolu kering seperti kue bolu pada umumnya.
Pada perlakuan b5 panelis agak suka dengan rasa
bolu kering hal ini disebabkan pada perlakuan
tersebut ada penambahan tepung bekatul
sebanyak 50% sehingga rasa bolu kering kurang
4 3.8 3.65 3.55 3.5 3.1
0
1
2
3
4
5
b0 b1 b2 b3 b4 b5
Ras
a (H
edo
nik
)
Perlakuan
Hedonik Rasa
10
disukai karena terasa sedikit pahit. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin banyak tepung
bekatul yang ditambahkan maka tingkat kesukaan
rasa panelis terhadap bolu kering semakin
menurun.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan
yang dipaparkan pada penelitian ini, maka dapat
dibuat suatu kesimpulan bahwa rasio tepung
bekatul dan tepung terigu memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap parameter kimia
yaitu (kadar air, kadar abu dan kadar protein) dan
parameter organoleptik yaitu (warna, aroma dan
rasa). Kadar air bolu kering dari semua perlakuan
telah memenuhi syarat mutu berdasarkan SNI 01-
3840-1995 sedangkan untuk kadar abu dan kadar
protein dari semua perlakuan tidak memenuhi
persyaratan.
Semakin tinggi penambahan tepung bekatul,
dilihat dari parameter kimia maka kadar abu dan
kadar protein bolu kering semakin meningkat
sedangkan kadar air semakin menurun. Untuk
parameter organoleptik, semakin tinggi
penambahan bekatul maka tingkat kesukaan
warna, aroma dan rasa semakin menurun.
Berdasarkan hasil penelitian pada perlakuan b5
(tepung terigu 50% : tepung bekatul 50%)
memberikan hasil terbaik dari segi parameter
kimia yaitu (kadar air 25.16%, kadar abu 2.45%
dan kadar protein 8.13%) serta parameter
organoleptik yaitu (warna 2.8, aroma 2.95 dan
rasa 3.1) dengan tingkat kesukaan anelis agak
suka.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, K dan Estiasih, T. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT. Bumi Aksara. Malang.
Apriyanto, A., 2006. Bahan Pembuat Bakery dan Kue. http://dunia.pelajar-islam.or.id. Akses tanggal 6 desember 2017.Makassar.
Astawan, M., dan Kasih, A. L. 2008.Khasiat Warna-Warni Makanan.Gramedia. Jakarta.
Astawan, M., dan Febrinda, A. E. 2010.PotensiDedak dan Bekatul Beras sebagai Ingredient Pangan dan Produk Pangan Fungsional.Jurnal Pangan 19 (1) :14-21.
Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet danR.D. Applemen, 1987.Ilmu Pangan.Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Damayanthi dan Listyorini. 2006. Pemanfaatan Tepung Bekatul Rendah Lemak Pada Pembuatan Keripik Simulasi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor
Desrosier, N. W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjmah M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.Gude.Skripsi.Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian.
Djuanda, V. 2003.Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Dwiani, A. 2009.Pengaruh Komposisi Tepung Ubi Jalar Orange (Ipomea batatas L.) dan Tepung Kacang Hijau (Phaseolus radiates L.) Sebagai Substitusi Tepung Terigu Terhadap Beberapa Komponen Mutu Biskuit. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram.
Faridah, A., 2008. Patiseri Jilid 3 untuk SMK. Direktorat Pembina Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
11
Fathullah, A. 2013.Perbedaan Brownies Tepung Ganyong Dengan Brownies Tepung Terigu Ditinjau Dari Kualitas Inderawi Dan Kandungan Gizi.Skripsi.Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.
Hanafiah, K.A., 2010. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi Edisi Ketiga.PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Janathan.2007. Karakteristik Fisikokimia Tepung Bekatul Serta Optimasi Formulasi Dan Pendugaan Umur Simpan Minuman Campuran Susu Skim Dan Tepung Bekatul.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusuma, Renny Widya. 2013. Pemanfaatan Biji Kluwih (Arthocarpus altilis) dalam Pembuatan Susu Organik dengan Penambahan Pewarna Alami.[Skripsi]. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mudjayanto, E. S., dan L.N. Yulianti, 2004. Membuat Aneka Roti. Penebar Swadaya. Jakarta.
Orthoefer, F. T. 2001. Rice bran oil.di dalam. Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition.American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul.
Pratomo, A. 2013.Studi Eksperimental Pembuatan Bolu Kering Substitusi Tepung Pisang Ambon.Skripsi Teknologi Jasa dan Produksi.Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Putri, Y, U., 2010. Studi Pembuatan Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) Dengan Metode Penggilingan Basah Dan Analisis Sifat Fisiko-Kimia Serta Karakteristik Fungsionalnya. Skripsi Teknologi Pangan. IPB. Bogor.
Rahayu, W, P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rohimah, E, 2008. Bolu Kukus. http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/ JUR._PEND._KESEJAHTERAAN_KELUARGA/196005041986012-ADE_JUWAEDAH/Bolu_kukus.pdf.
Sandi, N.N., 2017. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Tepung Bekatul Beras Putih Terhadap Beberapa Komponen Mutu Brownies. Skripsi. Universitas Mataram. Mataram.
Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi, 1984.Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sudaryani, 2003.Kualitas Telur.Penebar Swadaya, Jakarta.
Sulaemah. 2016. Pengaruh Rasio Tepung Biji Kecipir Dengan Tepung Terigu Terhadap Beberapa Komponen Gizi Dan Organoleptik Bolu Kering. Universitas Mataram. Mataram
Suzana, L, 1992. Mempelajari Subtitusi Parsial Dedak Padi (Bekatul) terhadap Tepung Terigu sebagai Sumber DietaryFiber dan Niasin dalam Pembuatan Roti dan Biskuit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Winarno, 2004.Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan kesebelas.Jakakrta.
Winarno, F.G., F. Srikandi dan F. Dedi. 1986. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yasa, I W. S., A. Prarudiyanto dan Zainuri., 2014. Petunjuk Praktikum Evaluasi Sensoris. Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri. Universitas Mataram. Mataram.
Yuwono, S.Y., dan Susanto, T. 2010. Pengujian Fisik Pangan, Unesa Press, Surabaya.