28
i APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA TATALAKSANA NYERI PASCA PEMBEDAHAN Ni Putu Wardani FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR 2016

APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

i

APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA TATALAKSANA

NYERI PASCA PEMBEDAHAN

Ni Putu Wardani

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH

DENPASAR

2016

Page 2: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

ii

DAFTAR ISI

Hal

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………...................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………...

2.1 Definisi Nyeri ……………………………….……………………………...

2.2 Klasifikasi Nyeri ………………………………….………………………..

2.3 Mekanisme dan Fisiologi Nyeri ……………………………………………

2.3.1 Anatomi …………………………………...………………………….

2.3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri ………………………………………...

2.4 Penilaian dan Pengukuran Derajat Nyeri ……………...…………………...

2.4.1 Diagnosis Nyeri ………………………………………………………

2.4.2 Metode Penilaian Nyeri ………………………………………………

2.5 Penatalaksanaan Nyeri ……………………………………………………..

2.5.1 Modalitas Farmakoterapi ………………………………………….....

2.5.2 Klasifikasi Obat Analgesia ………………...…………………………

2.5.3 Terapi Adjuvan …………………………………...…………………..

2.5.4 Kelompok Obat Anestesia Lokal …………………………………….

2.5.5 Multimodal Terapi untuk Nyeri Pasca Pembedahan …..……………..

2.6 Patient Controlled Analgesia …………………………………….…………

2.6.1 Definisi ……………………………………………………………….

2.6.2 Mode PCA dan Variasi Dosis ………………………………………..

2.6.3 Keuntungan dan Kekurangan Penggunaan PCA ……………………..

2.6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan PCA ……………….

BAB 3 SIMPULAN …………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….

1

2

2

3

5

5

7

10

11

12

14

15

16

19

19

20

20

20

21

22

23

25

26

Page 3: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

1

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri sebagian besar adalah manifestasi dari suatu proses patologis.1 Nyeri merupakan

alah satu alasan umum pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan. Nyeri bukan hanya

merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The

International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan

adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan

jaringan tersebut.1,2

Nyeri memiliki keunikan karena memiliki manfaat dan juga kekurangan.1,2 Nyeri

dikatakan bermanfaat sebagai indikator kerusakan jaringan. Derajat disabilitas dalam

hubungannya dengan pengalaman nyeri bervariasi begitu juga responnya.1,2 Sangat penting

memiliki pemahaman tentang mekanisme dan fisiologi nyeri sebagai acuan pengelolaan

pasien. Bila pengelolaan nyeri akut tidak dilakukan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat

berkembang menjadi nyeri kronik.3

Nyeri akut dan kronis mempunyai tantangan tersendiri karena keberagaman respon

pasien. Tidak ada metode kontrol nyeri yang lebih baik dari pada yang lain. Salah satu

metode yang saat ini berkembang yaitu menggunakan patient-controlled analgesia (PCA).4

Berbagai studi telah mempelajari secara spesifik hubungan antara status nyeri pada pasien

dengan patient-controlled analgesia (PCA) pascabedah. Kecemasan merupakan variabel

psikologis penting yang berpengaruh pada penggunaan PCA. Kecemasan prabedah

berhubungan dengan intensitas nyeri pascabedah, jumlah kebutuhan PCA oleh pasien, derajat

ketidakpuasan terhadap PCA dan kualitas analgesia yang lebih rendah dari data pasien

sendiri.1,2,3 Berkembangnya pengetahuan tentang nyeri telah memperbaiki penatalaksanaan

klinis terhadap nyeri.1,2

Page 4: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri

International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai

suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan

kondisi aktual atau potensional terjadinya kerusakan jaringan. Teori tentang nyeri yang

sekarang dianut merupakan teori yang diperkenalkan oleh Descartes sekitar tiga abad yang

lalu.1,2,3

Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius atau protofatik) atau

tidak berbahaya (non-noksius atau epikritik), misalnya sentuhan ringan, kehangatan dan

tekanan ringan.3 Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme

proteksi, defensif dan penunjang diagnostik.2

Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi

terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan

tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang

mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa

mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena

dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat

diketahui.2,3

Nyeri merupakan hasil akhir dari interaksi kompleks komponen obyektif (aspek

fisiologi sensorik nyeri) dan pengalaman komponen subyektif (aspek emosional dan

psikologis)5 Baik komponen fisiologi dan psikologi mempengaruhi derajat nyeri yang akan

dirasakan dan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut

dapat dibagi lagi menjadi:4

Sensoris; Deteksi neural dari stimulus noksius (komponen fisiologis).

Kognitif; Pemikiran mengenai nyeri (komponen psikologis).

Afektif; Reaksi emosional terhadap nyeri (komponen psikologis).

Tingkah laku, aksi dan mekanisme menghindar yang dilakukan untuk mengurangi

atau menghilangkan rasa nyeri (komponen psikologis).

Ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi secara verbal tidak menjadikan

orang tersebut tidak mengalami nyeri dan tidak membutuhkan terapi anti nyeri yang sesuai.

Oleh karena itu, perlu ditekankan pentingnya pemeriksaan dan penatalaksanaan nyeri yang

Page 5: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

3

teliti terutama bila berhadapan dengan pasien dengan gangguan kesadaran, pasien anak

dengan gangguan pertumbuhan atau gangguan kemampuan pra verbal, dan pasien dengan

gangguan kemampuan komunikasi akibat penyakit tertentu atau akibat kendala bahasa.1,2

2.2 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis, yaitu:3

Aksis I : Regio atau lokasi anatomi nyeri.

Aksis II : Sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri.

Aksis III : Karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler dan

kontiniu)

Aksis IV : Waktu mula atau onset terjadinya nyeri.

Aksis V : Etiologi nyeri.

Adapun beberapa klasifikasi nyeri yang dapat dijabarkan sebagai berikut:3

a. Berdasarkan jenis nyeri:

1.) Nyeri Nosiseptif

Nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi

nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan

pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan

simpatik.

2.) Nyeri Neurogenik

Nyeri ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker

pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan berupa rasa

panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak

mengenakan saat perabaan.

Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi

secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian

menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP) yang merupakan komponen

nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian

analgetik konvensional.

3.) Nyeri Psikogenik

Page 6: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

4

Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa, misalnya cemas, stres dan

depresi dan berangsur-angsur akan menghilang apabila keadaan kejiwaan pasien

kembali tenang.

b. Berdasarkan onset timbulnya nyeri:2,

1) Nyeri Akut

Nyeri yang timbul mendadak segera setelah trauma sampai dengan tujuh hari,

berlangsung sementara dan ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti :

takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, kepucatan, midriasis dan perubahan wajah

(menyeringai atau menangis).

Bentuk nyeri akut dapat berupa:2,3

i. Nyeri Somatik Luar :

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran

mukosa yang biasanya dirasakan tajam dan terlokalisir.

ii. Nyeri Somatik Dalam :

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisir dengan baik yang dirasakan pada

otot rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat.

iii. Nyeri Viseral :

Nyeri dikarenakan perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya

(pleura parietalis, perikardium atau peritoneum).

2) Nyeri Kronik

Nyeri berkepanjangan hingga berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom,

kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah

penyembuhan luka penyakit atau operasi, dan atau awalnya berupa nyeri akut lalu

menetap sampai lebih dari tiga bulan.

c. Berdasakan derajat nyeri:3

1.) Nyeri Ringan adalah nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat beraktifitas

sehari-hari dan menghilang menjelang tidur.

2.) Nyeri Sedang merupakan nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu

dan hanya hilang bila penderita tidur.

3.) Nyeri Berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat

tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

d. Berdasarkan penyebabny:4

1. Nyeri Onkogenik.

2. Nyeri Nononkogenik.

Page 7: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

5

e. Berdasarkan manifestasi nyeri: 2,3

1.) Nyeri Menusuk (Stabbing), contohnya jarum yang masuk ke kulit atau kulit yang

terpotong pisau.

2.) Nyeri Terbakar (Burning) yang terjadi seperti pada kulit yang terekspos

temperatur yang tinggi.

3.) Nyeri Tumpul (Aching) adalah nyeri pada tidak pada permukaan tubuh, tetapi

terasa dalam dan sulit dilokalisir.

2.3 Mekanisme dan Fisiologi Nyeri

2.3.1 Anatomi

Secara sederhana nyeri dihantarkan melalui tiga jalur utama saraf yang

menghantarkan nyeri dari bagian perifer menuju sentral (korteks). Neuron aferen pertama

terletak pada ganglia radiks dorsalis dalam foramina vertebralis. Setiap neuron pertama

memiliki akson tunggal yang bercabang dua, salah satu ujung menuju jaringan perifer untuk

menginervasinya dan cabang lainnya menuju kornu dorsalis medula spinalis.3

Dalam kornu dorsalis, neuron pertama akan bersinaps dengan neuron kedua yang

aksonnya menyilang garis tengah dan naik ke atas melalui serat traktus spinothalamikus

kontralateral mencapai thalamus. Neuron kedua kemudian akan bersinaps pada nukleus

thalamus dengan neuron tersier. Berikutnya sinyal akan diproyeksikan melalui kapsula

interna dan korona radiata untuk mencapai girus post sentralis dari korteks serebri.4

Page 8: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

6

Gambar 1. Anatomi Jalur Nyeri5

Sistem nyeri mempunyai

beberapa komponen utama, yakni:5

a). Reseptor khusus yang disebut

nociceptors pada sistem saraf

perifer, mendeteksi dan

menyaring intensitas dan tipe

stimulus noxious.

b). Saraf aferen primer (saraf A-

delta dan C) yang

mentransmisikan stimulus

noxious ke sistem saraf pusat

(SSP).

c). Kornu dorsalis medulla spinalis

adalah tempat dimana terjadi

hubungan antara serat aferen

primer dengan neuron kedua dan

tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus

desenden inhibitor dari otak.

d). Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus) menyampaikan

sinyal kepada area yang lebih tinggi pada SSP.

e). Traktus Thalamokortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay

sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.

f). Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,

ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk

withdrawal response).

g). Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level

medula spinalis.

Page 9: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

7

2.3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakannya

persepsi nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang disebut sebagai nosisepsi (Gambar

2). Ada empat proses yang mengikuti suatu proses elektrofisiologis nosisepsi, yaitu:1,2,3,4,5

Gambar 2. Skema nosisepsi

1. Transduksi

Nyeri akut dimulai ketika terjadi kerusakan jaringan akibat stimulasi kimia, termal

dan mekanis di saraf sensorik perifer. Akibatnya stimulasi tersebut akan merangsang

reseptor nyeri (nosiseptor) dan memberikan respon yang selektif.4,5 Reseptor nyeri

merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A-delta dan C yang badan sel

sarafnya terletak pada ganglion radiks dorsal. Serat-serat saraf ini banyak dijumpai di

jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain.3,4

Serat aferen A-delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi

meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral atau ke Sistem Saraf Pusat. Serabut A-

delta dan C memiliki perbedaan ukuran diameter. Serabut A-delta mempunyai diameter

lebih besar dibanding serabut C. Serabut A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-

30 m/dtk) dibandingkan serabut C (0,5-5 m/dtk).2,3

Apabila serabut A-delta dan serabut C diaktivasi dengan stimulus kuat yang singkat

yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan, maka nyeri sementara yang terasa

berperan sebagai peringatan fisiologis. Akan tetapi apabila nosiseptor diaktivasi dengan

Page 10: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

8

stimulus nyeri akibat luka cedera jaringan atau infeksi, maka terjadi respon cedera

regional di perifer. Hal ini mengakibatkan dilepaskannya zat-zat kimia dari jaringan yang

rusak (tabel 1).3 Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan

terbentuknya impuls nyeri. Apabila signal dari impuls ini cukup kuat maka akan memicu

terjadinya aksi potensial Untuk lebih jelasnya, proses transduksi dapat dilihat pada

gambar 3.1,2,3,5

Tabel 1. Zat-zat yang timbul akibat nyeri

Zat Sumber Menimbulkan

nyeri

Efek pada aferen

primer

Kalium

Serotonin

Bradikinin

Histamin

Prostaglandin

Lekotrien

Substansi P

Sel-sel rusak

Trombosis

Kininogen plasma

Sel-sel mast

Asam arakidonat dan sel rusak

Asam arakidonat dan sel rusak

Aferen primer

++

++

+++

+

±

±

±

Mengaktifkan

Mengaktifkan

Mengaktifkan

Mengaktifkan

Sensitisasi

Sensitisasi

Sensitisasi

Gambar 3. Proses Transduksi

Page 11: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

9

2. Transmisi

Ketika transduksi sudah terjadi maka impuls dihantarkan melalui serabut A-delta dan

serabut C ke kornu dorsalis medula spinalis. Impuls dihantarkan sepanjang serabut saraf

akibat adanya potensial aksi di sepanjang neuron.5 Ion natrium akan masuk saat

depolarisasi dan ion kalium keluar dari dalam sel. Impuls nyeri akan dihantarkan dari satu

neuron ke neuron lain. Ada beberapa neurotransmitter yang ikut terlibat diantaranya

glutamate, substans P, norepineprin, dopamin dan serotonin. Neurotransmitter ini akan

menghantarkan impuls melewati celah sinap yang memisahkan antar neuron. Proses

transmisi terjadi pada 3 persimpangan yaitu:3,4,5

a) Antara nosiseptor dan kornu dorsalis di medulla spinalis (neuron aferen pertama)

b) Antara kornu dorsalis dan thalamus serta batang otak (neuron aferen kedua)

c) Dari thalamus ke cortex serebri (neuron aferen ketiga)

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorphin,5HT, serotonin)

dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh

serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis tidak semuanya

diteruskan ke sentral lewat traktus spinothalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi

antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun

eksogen tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan,

maka penderita akan merasakan sensasi nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang

lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensasi nyeri. Proses transmisi dan

modulsi dapat dilihat pada gambar 4.3,4,5

Page 12: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

10

Gambar 4. Proses Transmisi dan Modulasi

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi,

transmisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif

yang dikenal sebagai persepsi nyeri.2,3,4

2.4 Penilaian dan Pengukuran Derajat Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,

kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan hal yang relatif

sulit.2

Page 13: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

11

2.4.1 Diagnosis Nyeri

Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom), maka diagnostik nyeri sesuai dengan usaha

mencari penyebab nyeri. Langkah ini meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan bila perlu pemeriksaan radiologi dan lainnya. Diagnostik terutama

ditujukan untuk mencari penyebab dan menanggulangi penyebab, maka keluhan nyeri akan

mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri

tidak ada.2,4

Pemeriksaan nyeri harus dilakukan dengan seksama yang dilakukan sebelum pengobatan

dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan

setelah interval terapi (15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian

peroral).3,4

a). Anamnesis yang Teliti

Dalam anamnesis, haruslah mengetahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi

awitan, lama dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu,

juga harus mengetahui lokasi nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau

hanya pada bagian tubuh tertentu. Intensitas nyeri juga penting untuk menetapkan derajat

nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula

tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani dan alergi obat.

b). Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri.

Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan korelasi dengan

intensitas nyeri, karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia,

hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale rutin dilaksanakan untuk

mengetahui apakah ada proses patologi di intrakranial.

Pemeriksaan khusus neurologi, seperti adanya gangguan sensorik penting dilakukan dan

yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia

pada daerah nyeri yang menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.

c). Pemeriksaan Psikologis

Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri subyektif,

maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan

seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai. Tes yang biasa

digunakan untuk menilai psikologis pasien adalah Minnesota Multiphasic Personality

Page 14: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

12

Inventory (MMPI). Dengan mengetahui permasalahan psikologis yang ada, maka akan

memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.

d). Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab dari nyeri.

Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging seperti foto

polos, CT scan, MRI atau bone scan.

2.4.2 Metode Penilaian Nyeri

Terdapat beberapa metode yang umum digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara

lain:3,4

a). Verbal Rating Scale (VRS)

Menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien

disuruh memilih kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang

dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui

intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini

menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu :

Tidak nyeri (none)

Nyeri ringan (mild)

Nyeri sedang (moderate)

Nyeri berat (severe)

Nyeri sangat berat (very severe)

b). Numerical Rating Scale (NRS)

Menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya

pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10.

”0”menggambarkan tidak ada nyeri, sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.

Page 15: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

13

Gambar 5. Numeric Pain Intensity Scale

c). Visual Analogue Scale (VAS)

Paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dengan garis sepanjang 10 cm

yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien

menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan.

Keuntungannya adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah

dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.

Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan sukar

diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 6. Visual Analog Scale

No Pain The Most Intense Pain Imaginable

d). McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Memakai check list untuk mendiskripsikan gejala nyeri. Menggambarkan nyeri dari

berbagai aspek, antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan

dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.

e). The Faces Pain Scale

Metode ini dilakukan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya digunakan

untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Page 16: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

14

Gambar 7. Faces Pain Scale

2.5 Penatalaksanaan Nyeri

Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri:3,4

1. Mengutamakan pendekatan klinis, termasuk pendekatan psikoterapi dalam arti kata yang

seluas-luasnya.

2. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya, serrta menjelaskan kemungkinan-

kemungkinan terapi klinis yang tersedia.

3. Menganjurkan pasien dan keluarganya untuk memberikan laporan yang benar dan

terperinci tentang rasa nyeri dan lain-lain yang dianggapnya penting untuk diketahui oleh

dokter, sehingga kerjasama antar dokter dan pasien dapat tercipta dalam suasana saling

mempercayai yang handal.

Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami

tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat

prinsip-prinsip umum yaitu:4

1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama.

2. Menentukan penyebab dan derajat atau stadium penyakit dengan tepat.

3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga.

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan.

5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi.

6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan.

7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin.

Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah:4,5

1. Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar memerlukan.

2. Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat.

3. Memakai modalitas pengobatan dengan benar.

4. Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi-modal.

Faces Pain Rating Scale (untuk anak)

Page 17: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

15

5. Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus.

6. Usahakan per oral.

7. Pada nyeri kronis, ikuti “3-Step Ladder Analgesic” WHO.

8. Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.

9. Cermati dengan seksama perubahan keadaan penderita.

Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu

berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih dengan tepat. Berbagai alternatif modalitas

pengobatan nyeri yang beraneka ragam pada dasarnya dapat digolongkan dalam:4

1. Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik.

2. Modalitas kognitif-behavioral melalui pendekatan psikososial.

3. Modalitas invasif melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi.

4. Modalitas psikoterapi.

5. Modalitas farmakoterapi.

2.5.1 Modalitas Farmakoterapi

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic

Ladder”. Tiga langkah tangga analgesik menururt WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri

dari:5,6

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid

lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,

disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip “Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk nyeri

kronik maupun nyeri akut, yaitu:4,5,6

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3 (WHO Three Step Analgesic

Ladder), dan

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1 (WHO Three-

Step Analgesic Ladder)

Page 18: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

16

Gambar 8. WHO Three-Step Analgesic Ladder

Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat

pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvan) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf

penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,

memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemapuan untuk bertindak sebagai obat

tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.3,4,5

2.5.2 Klasifikasi Obat Analgesia

a.) Analgesik Nonopioid

1. Parasetamol

Parasetamol dapat digunakan sebagai analgesia besama-sama dengan obat analgesik lainnya.

Mekanisme kerja parasetamol secara pasti belum diketahui tetapi efek analgesik diperkirakan

melalu penghambatan sintesis prostaglandin. Efek antipiretiknya dapat dipertimbangkan

sebagai manfaat. Formulasi intravena sekarang ini sudah digunakan sebagai terapi jangka

pendek untuk nyeri termasuk nyeri postoperatif.5

Page 19: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

17

2. Non Steroidal Anti Inflammation Drugs (NSAID)

NSAID menghambat enzim cyclo-oxygenase sehingga menghambat pembentukan

prostaglandin, prostacyclin, dan tromboxane. NSAID kovensional (ibuprofen, diclofenac,

indomethacin, ketorolac) menghambat enzim COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan di dalam

sintesis prostaglandin yang bersifat protektif (mukosa lambung, ginjal, platlet), sedangkan

COX-2 berperan di dalam respon inflamasi.3,5,6

Penghambatan sintesis prostaglandin PGE2 dan PGI2 menimbulkan efek samping pada

gastrointestinal dan gangguan pada ginjal karena prostaglandin ini berperan sebagai

gastroprotektan dan vasodilator pada ginjal. Penghambatan dapat mengurangi renal blood

flow dan menyebabkan gagal ginjal. NSAID yang bekerja secara selektif pada COX-2

(celecoxib, meloxicam, dan paracoxib) lebih aman untuk gasrointestinal, fungsi ginjal dan

platelet. Namun akhir-akhir ini penggunaan COX-2 selektif NSAID dihindari pada pasien

dengan resiko kardiovaskuler.3,5

NSAID sering dikombinasikan dengan opoid untuk mengurangi efek samping yang berkaitan

dengan dosis masing-masing obat tersebut. NSAID kadang-kadang diberikan bersama-sama

dengan H2 antagonis atau proton pump inhibitor sebagai gastroprotektan pada perioperatif.4,5

b.) Analgesik Opioid

Istilah opioid dipakai untuk menamai zat yang menghasilkan efek seperti morfin. Analog

morfin ini dapat diklasifikasikan dalam:3,4,5

1. Agonis murni (utamanya memiliki efek agonis yang kuat hanya pada satu reseptor

dan mungkin memiliki efek agonis lemah pada reseptor lainnya)

2. Agonis lemah (memiliki efek agonis lemah pada satu resptor)

3. Partial agonis (memiliki efek agonis pada satu reseptor tetapi juga memiliki efek

antagonis pada reseptor lainnya)

Derivat sintetik dengan struktur yang tidak berkaitan dengan morfin tetapi memiliki efek

farmakologis yang sama dengan morfin seperti:4,5

1. Phenylpiheridine (pethidine, fentanyl)

2. Methadone (methadone, dextropropoxyphene)

3. Benzomorphan (pentazocine)

4. Thebaine (buprenorphine)

Ada tiga reseptor opioid di medula spinalis dan supraspinalis yaitu µ (miu), κ (kappa), dan δ

(delta). Agonis murni (morfin) memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor miu dan

afinitas yang bervariasi terhadap reseptor delta dan kappa. Codein, methadone dan

Page 20: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

18

dextropropoxyphene juga agonis terhadap reseptor miu tetapi lebih lemah. Buprenorphine

dan pentazocine digolongkan kedalam parsial agonis.3,5

Opioid memiliki efek yang sama dengan antinyeri endogen seperti endorphin dan enkephalin.

Obat ini paling baik digunakan untuk nyeri yang tumpul (dimediasi oleh serabut C) dan

kurang efektif untuk nyeri yang tajam. Jika dibuat perbandingan diantara obat-obat opioid

berdasarkan potensinya dan efek sampingnya maka opioid dapat dikelompokkan kedalam

opioid lemah dan opioid kuat.4,5

Semua opioid dapat menghasilkan ketergantungan secara fisik dan psikologis jika dihentikan

secara tiba-tiba. Namun efek ini tidak akan terjadi jika opioid digunakan secara tepat dalam

waktu yang singkat untuk nyeri postoperatif. Semua opioid baik lemah maupun kuat

memiliki efek samping berupa konstipasi, mual, dan muntah.6

1. Opioid lemah

Kira-kira 10% dari agonis lemah reseptor miu yaitu kodein (3-metil morphine) dimetabolisme

menjadi morfin. Tidak seperti morfin, obat ini hanya sedikit menyebabkan euphoria dan

kurang poten dibandingkan dengan morfin oral. Dihydrocodein merupakan derivat sintetik

dari kodein yang sedikit lebih poten daripada kodein. Tramadol merupakan opioid sintetik

yang memiliki efek samping opiat yang lebih ringan tetapi berkaitan dengan halusinasi dan

kejang sehingga harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi.

Tramadol sedikit lebih poten daripada kodein. 4,5

2. Opioid kuat

Morfin merupakan agonis murni reseptor opioid. Morfin merupakan standar tolak ukur

potensi opioid yang lain. Morfin dapat diadministrasikan secara subkutan, intramuskuler,

intravena, atau epidural. Nmun pemberian secara iv lebih disukai karena onsetnya lebih

cepat, kadar dalam darah lebih mudah diprediksi, dan administrasinya lebih mudah. Morfin

oral memiliki biavailabiltas yang buruk karena metabolisme yang ekstensif di hepar.

Diamorphin, derivat dietil dari morphin, memilki kelarutan yang lebih tinggi terhadap lemak

daripada morfin tetapi juga masih memiliki kelarutan yang tinggi terhadap air, membuat obat

ini diadministrasikan dalam volume yang kecil. Diamorphin subkutan tiga kali lebih poten

dari pada morphin oral. Namun durasi kerjanya lebih singkat daripada morphine.Oxycodone

dua kali lebih poten dari pada morfin. Obat ini memiliki lebih sedikit efek halusinasi dan

biasanya digunakan untuk pasien yang tidak toleran dengan efek samping morfin. 3,4,5

Pethidine merupakan opioid sintetik dengan durasi kerja yang lebih singkat daripada morfin.

Obat ini memiliki efek euforia yang sama dengan morfin. Fentanyl juga opioid sintetik sama

seperti pethidine. Obat ini sangat poten dengan efek yang sama dengan morfin. Obat ini

Page 21: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

19

memiliki kelarutan terhadap lemak yang tinggi dan dapat diadministrasikan secara intravena,

transdermal, dan bukal (aqtiq lozenges). Fentanyl, alfentanyl, dan remifantanyl, adalah

alternatif yang sesuai untuk morfin jika membutuhkan obat dengan onset cepat tetapi durasi

kerjanya singkat. 3,4,5

Methadone memiliki bioavailabilitas oral yang bagus dengan waktu paruh lebih dari 24 jam.

Obat ini digunakan untuk menghindari efek withdrawal dari pasien yeng memiliki

ketergantungan dengan morfin.3,4

2.5.3 Terapi Adjuvan

Terapi adjuvan yang dimaksud disini adalah obat-obat yang digunakan secara

kombinasi dengan opioid sehingga dapat mengurangi dosis opioid untuk nyeri postoperatif.

NMDA antagonis (ketamin, dextromethorphan) memiliki efek samping psikomimetik pada

dosis yang tinggi tetapi pada dosis yang moderat dapat digunakan untuk mengurangi dosis

apioid untuk kontrol nyeri yang lebih baik. Alpha-2 adrenergik agonis (clonidine,

dexmedetomidine) dapat menyebabkan sedasi, hipotensi, dan bradikardi pada dosis moderat.

Namun pada dosis rendah juga dapat menghemat dosis opioid terutama pada administrasi

spinal. Antikonvulsan (gabapentin, pregabalin) memiliki potensi yang lemah untuk nyeri

akut, tetapi kombinasi dengan opioid, dapat mngurangi dosis opioid dan meningkatkan

analgesia. Sedangkan kortikosteroid (dexamethasone) memiliki peran yang terbatas sebagai

adjuvan.2,3,5

2.5.4 Kelompok obat anestesia lokal

Contoh obat dalam kelompok ini adalah lidocaine dan bupivacaine. Obat ini bekerja

pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat

ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani

dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf, dan ke dalam ruang epidural atau

interatekal.5.6

Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat

dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang

dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah

obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak

boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Obat ini memberikan analgesia

tambahan untuk semua jenis operasi dan bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh

Page 22: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

20

terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir

prosedur akan menghasilkan analgesia singkat.4,5,6

2.5.5 Multimodal terapi untuk Nyeri Pasca Pembedahan

Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas

ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri

dengan intensitas berat. Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat

diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.5,6

Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam

obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau

lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-

masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas

analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek

samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.3,4,6

2.6 Patient-Controlled Analgesia (PCA)

2.6.1 Definisi

Patient-Controlled Analgesia (PCA) merupakan pemberian opioid intravena, on-

demand, intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu).

Teknik berdasar pada pemakaian infus canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang

memberikan obat dengan dosis terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan.5,6,7

PCA merupakan konseptual kerangka kerja untuk pemberian analgesik. Konsep luas dari

PCA tidak untuk satu jenis obat analgetik atau rute tunggal atau satu cara pemberian.

Analgetik melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau

transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika pemberiannya segera sesuai permintaan pasien

dan cukup kuantitas.7

Page 23: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

21

2.6.2 Mode PCA dan Variasi Dosis

PCA mempunyai beberapa metode administrasi. Yang paling umum dipergunakan

adalah demand dosing (dosis tetap sesuai permintaan secara intermitten) dan infus kontinyu

yang ditambah demand dosing. Hampir seluruh alat PCA modern menawarkan kedua metode

ini.4,6,7

Beberapa variabel dasar pada PCA : initial loading dose, demand dose, lockout

interval, infus kontinyu, dan batas waktu pemberian 1 jam dan 4 jam. Initial loading dose

memungkinkan titrasi dari obat ketika diaktivasi oleh petugas medis. Initial loading dose

dapat dipakai oleh perawat di PACU untuk mentitrasi obat agar mencapai MEAC (minimum

effective analgesic concentration) atau untuk memberikan dosis breakthrough. Demand dose

merupakan kuantitas obat analgetik yang diberikan pada pasien saat tombol permintaan

ditekan.7,8 Untuk mencegah overdosis, PCA menggunakan lockout interval, yang merupakan

jarak waktu dimana mesin tidak akan mengeluarkan obat sesuai demand dose (bahkan jika

pasien memencet tombol permintaan) setelah permintaan yang sukses sebelumnya. Infus

kontinyu adalah infus dengan kecepatan konstan yang diberikan secara terus-menerus.7

Gambar 9. Menunjukkan gambaran secara teoritis dari kurva konsentrasi atau respon opioid. Sumbu X menunjukkan konsentrasi plasma opioid; sumbu Y merupakan skala nyeri, mulai dari nyeri hebat (paling bawah) hingga tidak terdapat nyeri sama sekali (paling atas). Lingkaran menunjukkan pengukuran berulang dari konsentrasi opioid dan nyeri yang berkaitan selama periode tertentu ketika konsentrasi opioid ditingkatkan. Dengan meningkatnya dosis opioid, peningkatan konsentrasi awal yang progresif tidak menunjukkan perubahan pada skala nyeri, kemudian setelah melewati skala tertentu dari konsentrasi, nyeri dapat dikurangi, kemudian penambahan lebih lanjut dari konsnetrasi opioid tidak memberikan efek tambahan. MCP atau maximum concentration pain merupakan konsentrasi maksimum dari opioid yang berkaitan dengan nyeri yang hebat. MEAC atau minimum effective analgesic concentration merupakan dosis opioid terkecil dimana nyeri dapat diatasi. Diadaptasi dari Austin et al.

Page 24: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

22

2.6.3 Keuntungan dan Kekurangan Penggunaan PCA

Opioid merupakan obat utama dalam tatalaksana farmakologis. Dimulai dengan PCA

untuk kontrol dan titrasi nyeri secara cepat. Hidromorfon merupakan pilihan jika

dibandingkan dengan morfin, khususnya pada pasien dengan gagal ginjal akut. Rasio dosis

ekuianalgesik dari morfin oral ke hidromorfon yaitu 30:1,5. Total dosis oral morfin 280 mg

ekuivalen dengan 14 mg hidromorfon IV.6

Keuntungan PCA:6,7

1. Setiap pasien memiliki variabilitas respon terhadap opioid, sehingga dengan

menggunakan PCA dosis dan titrasi dari obat lebih terindividualisasi.

2. Sistem kontrol umpan balik negatif, dan menambah sistem keselamatan untuk

menghindari depresi pernafasan. Saat pasien tersedasi akibat pemberian opioid, pasien

tidak akan mampu menekan tombol untuk menerima dosis opioid yang lebih banyak

lagi.

3. Tingkat kepuasan pasien yang lebih tinggi dalam mengontrol nyeri.

4. Efektifitas analgesia yang lebih baik dibandingkan menggunakan sistem analgesia

yang konvensional.

Kekurangan PCA:6,7

1. Tidak semua pasien dapat mengerti instruksi yang perlu diketahui untuk

mempertahankan keamanan dan efektifitas penggunaan mesin-mesin PCA.

2. Potensi terjadinya kesalahan dosis opioid. Hal ini berhubungan dengan faktor alat,

petugas medis yang meresepkan atau memprogram.

3. Biaya yang lebih tinggi.

Time

Plasma concentrations afterIM injection of opioids

PAIN

Requests analgesia

Nurse responsePain relief given

sedation

comfort

Page 25: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

23

Plasma concentrations afterPatient Controlled Analgesia

Pain

asleep

Sedation

comfort

Obat yang paling sering digunakan pada PCA adalah opioid, selain itu juga analgetik

seperti tramadol, dan ketamine. Ketamin digunakan bersama-bersama dengan berbagai obat-

obat analgesik lainnya secara intravena, epidural, dan pada saat infiltrasi luka melalui sistem

patient controlled delivery.9,10

2.6.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan PCA

1.) Umur, Jenis Kelamin, Berat badan

Masing-masing karakteristik seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan sering dianggap

faktor penting yang mempengaruhi setiap terapi farmakologis. Umur mempengaruhi dosis

opioid sedangkan gender dan berat badan tidak.8.9

Burns et al. menegaskan pengaruh usia pada kebutuhan IV-PCA. Seratus pasien yang

menjalani pembedahan perut bagian atas diterima IV-PCA diprogram untuk memberikan

dosis morfin incremental 0,02 mg / kg, dengan interval penguncian 2 menit (tanpa infuse

kontinu). Konsumsi Morfin menurun dengan usia baik laki-laki dan perempuan (P <

0,00005): lebih dari 24 jam, dosis tipikal morfin adalah 75 mg pada usia 20-30 tahun

dibandingkan dengan 30 mg pada saat 60-70 tahun. Macintyre dan Jarvis menemukan

kemiripan prediksi terbaik untuk kebutuhan morfin PCA – IV adalah pada 24 jam pertama

setelah operasi ( jumlah setelah pemberian dosis awal) adalah umur pasien.2,8 Pada 24 jam

pertama didapatkan data bahwa diperkirakan diperlukan morfin rata-rata 100 mg – umur

(tahun) untuk pasien dengan umur lebih dari atau sama dengan 20 tahun. Walaupun secara

signifikan lebih sedikit diperlukan opiate pada pasien yang lebih tua, Aurbrun et al. (66)

Gambar 10. Grafik diatas menunjukan konsentrasi plasma obat dan respon pada penggunaan analgesia melalui jalur IM dan PCA. Daerah confort merupakan target konsentrasi analgesik yang diinginkan.

Page 26: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

24

menunjukkan pemberian loading titrasi morfin sama antara pasien yang lebih tua dan lebih

muda.5,8,11

Selain itu Burns et al. menemukan tidak ada korelasi antara berat badan pasien (40-100

kg) dengan kebutuhan morfin. Secara umum orang percaya bahwa tidak ada dasar yang tepat

untuk menjelaskan ini. Penggunaan morfin perjam menunjukkan bahwa kebutuhan

meningkat pada pukul 9 AM dan 8 PM.7,9,11 Burns et al. menemukan bahwa pada laki-laki

diperlukan dosis lebih besar dibandingkan dengan wanita. Tetapi pada penelitian yang lain

gagal menemukan perbedaan ini.

2.) Toleransi opiat dan nyeri kronis

Toleransi opiat dan nyeri kronis meningkatkan kebutuhan akan morfin melalui PCA - iv.

Tetapi pemberian secara regional analgesia dan terapi adjuvant mengurangi kebutuhan ini.

Perhatian lebih harus diberikan pada pasien post operasi dengan pemakaian opiate secara

kronis, kemungkinan diperlukan penambahan kebutuhan analgesia. Pada pasien post operasi

dengan nyeri kronis secara umum akan memberikan skor nyeri yang lebih tinggi

dibandingkan yang yang bukan nyeri kronis.8

3.) Faktor psikologis.

Rasa takut dan bingung pada pasien akan meningkatkan kebutuhan akan obat anti nyeri pada

PCA. Pasien yang memperoleh intervensi dari keluarga, dan orang yang berpengaruh pada

hidupnya akan memperolah nilai nyeri yang lebih rendah. Selain itu faktor dari pelayanan dan

perhatan dari tenaga medis juga mempengaruhi nilai nyeri dari pasien.8,9

Page 27: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

25

BAB III

SIMPULAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan,

berkaitan dengan kondisi aktual atau potensional terjadinya kerusakan jaringan

Beberapa prinsip dalam manajemen nyeri sebagai berikut :

Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu

didengarkan dan dipercaya.

Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa

seseorang sedang berpura-pura nyeri.

Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi

pada berbagai pasien.

Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.

Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.

Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,

tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.

Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’

Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan

kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan

anestesi lokal)

Patient-Controlled Analgesia (PCA) merupakan pemberian opioid intravena, on-

demand, intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu).

Konsep luas dari PCA tidak untuk satu jenis obat analgetik atau rute tunggal atau satu cara

pemberian. Analgetik melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau

transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika pemberiannya segera sesuai permintaan pasien

dan cukup kuantitas

Page 28: APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:

Appleton and Lange, 1996, 274-316.

2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.

3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK UI, Jakarta, 2001.

4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain

Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25

5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s

Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65

6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain

Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102

7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional

Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.

9. MMeellaattii,, EEnnddaanngg..,, PPeeddiiaattrriicc PPaaiinn MMaannaaggeemmeenntt IInn TTrraauummaa,, Bagian/SMF Anestesiologi

dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003.

10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.

11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF

Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar,

2002.

12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.

13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.

14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-

37.

15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,

Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420