Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
APLIKASI PATIENT CONTROLLED ANALGESIA (PCA) PADA TATALAKSANA
NYERI PASCA PEMBEDAHAN
Ni Putu Wardani
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
DENPASAR
2016
ii
DAFTAR ISI
Hal
BAB 1 PENDAHULUAN ……………………...………………………...................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………….……………………...
2.1 Definisi Nyeri ……………………………….……………………………...
2.2 Klasifikasi Nyeri ………………………………….………………………..
2.3 Mekanisme dan Fisiologi Nyeri ……………………………………………
2.3.1 Anatomi …………………………………...………………………….
2.3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri ………………………………………...
2.4 Penilaian dan Pengukuran Derajat Nyeri ……………...…………………...
2.4.1 Diagnosis Nyeri ………………………………………………………
2.4.2 Metode Penilaian Nyeri ………………………………………………
2.5 Penatalaksanaan Nyeri ……………………………………………………..
2.5.1 Modalitas Farmakoterapi ………………………………………….....
2.5.2 Klasifikasi Obat Analgesia ………………...…………………………
2.5.3 Terapi Adjuvan …………………………………...…………………..
2.5.4 Kelompok Obat Anestesia Lokal …………………………………….
2.5.5 Multimodal Terapi untuk Nyeri Pasca Pembedahan …..……………..
2.6 Patient Controlled Analgesia …………………………………….…………
2.6.1 Definisi ……………………………………………………………….
2.6.2 Mode PCA dan Variasi Dosis ………………………………………..
2.6.3 Keuntungan dan Kekurangan Penggunaan PCA ……………………..
2.6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan PCA ……………….
BAB 3 SIMPULAN …………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
1
2
2
3
5
5
7
10
11
12
14
15
16
19
19
20
20
20
21
22
23
25
26
1
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri sebagian besar adalah manifestasi dari suatu proses patologis.1 Nyeri merupakan
alah satu alasan umum pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan. Nyeri bukan hanya
merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The
International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan
jaringan tersebut.1,2
Nyeri memiliki keunikan karena memiliki manfaat dan juga kekurangan.1,2 Nyeri
dikatakan bermanfaat sebagai indikator kerusakan jaringan. Derajat disabilitas dalam
hubungannya dengan pengalaman nyeri bervariasi begitu juga responnya.1,2 Sangat penting
memiliki pemahaman tentang mekanisme dan fisiologi nyeri sebagai acuan pengelolaan
pasien. Bila pengelolaan nyeri akut tidak dilakukan dengan baik, lambat laun nyeri itu dapat
berkembang menjadi nyeri kronik.3
Nyeri akut dan kronis mempunyai tantangan tersendiri karena keberagaman respon
pasien. Tidak ada metode kontrol nyeri yang lebih baik dari pada yang lain. Salah satu
metode yang saat ini berkembang yaitu menggunakan patient-controlled analgesia (PCA).4
Berbagai studi telah mempelajari secara spesifik hubungan antara status nyeri pada pasien
dengan patient-controlled analgesia (PCA) pascabedah. Kecemasan merupakan variabel
psikologis penting yang berpengaruh pada penggunaan PCA. Kecemasan prabedah
berhubungan dengan intensitas nyeri pascabedah, jumlah kebutuhan PCA oleh pasien, derajat
ketidakpuasan terhadap PCA dan kualitas analgesia yang lebih rendah dari data pasien
sendiri.1,2,3 Berkembangnya pengetahuan tentang nyeri telah memperbaiki penatalaksanaan
klinis terhadap nyeri.1,2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
kondisi aktual atau potensional terjadinya kerusakan jaringan. Teori tentang nyeri yang
sekarang dianut merupakan teori yang diperkenalkan oleh Descartes sekitar tiga abad yang
lalu.1,2,3
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius atau protofatik) atau
tidak berbahaya (non-noksius atau epikritik), misalnya sentuhan ringan, kehangatan dan
tekanan ringan.3 Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme
proteksi, defensif dan penunjang diagnostik.2
Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi
terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan
tubuh. Sebagai mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang
mengalami inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa
mempercepat penyembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena
dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat
diketahui.2,3
Nyeri merupakan hasil akhir dari interaksi kompleks komponen obyektif (aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan pengalaman komponen subyektif (aspek emosional dan
psikologis)5 Baik komponen fisiologi dan psikologi mempengaruhi derajat nyeri yang akan
dirasakan dan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap nyeri. Komponen ini, lebih lanjut
dapat dibagi lagi menjadi:4
Sensoris; Deteksi neural dari stimulus noksius (komponen fisiologis).
Kognitif; Pemikiran mengenai nyeri (komponen psikologis).
Afektif; Reaksi emosional terhadap nyeri (komponen psikologis).
Tingkah laku, aksi dan mekanisme menghindar yang dilakukan untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa nyeri (komponen psikologis).
Ketidakmampuan seseorang untuk berkomunikasi secara verbal tidak menjadikan
orang tersebut tidak mengalami nyeri dan tidak membutuhkan terapi anti nyeri yang sesuai.
Oleh karena itu, perlu ditekankan pentingnya pemeriksaan dan penatalaksanaan nyeri yang
3
teliti terutama bila berhadapan dengan pasien dengan gangguan kesadaran, pasien anak
dengan gangguan pertumbuhan atau gangguan kemampuan pra verbal, dan pasien dengan
gangguan kemampuan komunikasi akibat penyakit tertentu atau akibat kendala bahasa.1,2
2.2 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis, yaitu:3
Aksis I : Regio atau lokasi anatomi nyeri.
Aksis II : Sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri.
Aksis III : Karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler dan
kontiniu)
Aksis IV : Waktu mula atau onset terjadinya nyeri.
Aksis V : Etiologi nyeri.
Adapun beberapa klasifikasi nyeri yang dapat dijabarkan sebagai berikut:3
a. Berdasarkan jenis nyeri:
1.) Nyeri Nosiseptif
Nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan
pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan
simpatik.
2.) Nyeri Neurogenik
Nyeri ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker
pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan berupa rasa
panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak
mengenakan saat perabaan.
Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi
secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP) yang merupakan komponen
nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
3.) Nyeri Psikogenik
4
Nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan jiwa, misalnya cemas, stres dan
depresi dan berangsur-angsur akan menghilang apabila keadaan kejiwaan pasien
kembali tenang.
b. Berdasarkan onset timbulnya nyeri:2,
1) Nyeri Akut
Nyeri yang timbul mendadak segera setelah trauma sampai dengan tujuh hari,
berlangsung sementara dan ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti :
takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, kepucatan, midriasis dan perubahan wajah
(menyeringai atau menangis).
Bentuk nyeri akut dapat berupa:2,3
i. Nyeri Somatik Luar :
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa yang biasanya dirasakan tajam dan terlokalisir.
ii. Nyeri Somatik Dalam :
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisir dengan baik yang dirasakan pada
otot rangka, tulang, sendi dan jaringan ikat.
iii. Nyeri Viseral :
Nyeri dikarenakan perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium atau peritoneum).
2) Nyeri Kronik
Nyeri berkepanjangan hingga berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom,
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka penyakit atau operasi, dan atau awalnya berupa nyeri akut lalu
menetap sampai lebih dari tiga bulan.
c. Berdasakan derajat nyeri:3
1.) Nyeri Ringan adalah nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat beraktifitas
sehari-hari dan menghilang menjelang tidur.
2.) Nyeri Sedang merupakan nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu
dan hanya hilang bila penderita tidur.
3.) Nyeri Berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
d. Berdasarkan penyebabny:4
1. Nyeri Onkogenik.
2. Nyeri Nononkogenik.
5
e. Berdasarkan manifestasi nyeri: 2,3
1.) Nyeri Menusuk (Stabbing), contohnya jarum yang masuk ke kulit atau kulit yang
terpotong pisau.
2.) Nyeri Terbakar (Burning) yang terjadi seperti pada kulit yang terekspos
temperatur yang tinggi.
3.) Nyeri Tumpul (Aching) adalah nyeri pada tidak pada permukaan tubuh, tetapi
terasa dalam dan sulit dilokalisir.
2.3 Mekanisme dan Fisiologi Nyeri
2.3.1 Anatomi
Secara sederhana nyeri dihantarkan melalui tiga jalur utama saraf yang
menghantarkan nyeri dari bagian perifer menuju sentral (korteks). Neuron aferen pertama
terletak pada ganglia radiks dorsalis dalam foramina vertebralis. Setiap neuron pertama
memiliki akson tunggal yang bercabang dua, salah satu ujung menuju jaringan perifer untuk
menginervasinya dan cabang lainnya menuju kornu dorsalis medula spinalis.3
Dalam kornu dorsalis, neuron pertama akan bersinaps dengan neuron kedua yang
aksonnya menyilang garis tengah dan naik ke atas melalui serat traktus spinothalamikus
kontralateral mencapai thalamus. Neuron kedua kemudian akan bersinaps pada nukleus
thalamus dengan neuron tersier. Berikutnya sinyal akan diproyeksikan melalui kapsula
interna dan korona radiata untuk mencapai girus post sentralis dari korteks serebri.4
6
Gambar 1. Anatomi Jalur Nyeri5
Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen utama, yakni:5
a). Reseptor khusus yang disebut
nociceptors pada sistem saraf
perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe
stimulus noxious.
b). Saraf aferen primer (saraf A-
delta dan C) yang
mentransmisikan stimulus
noxious ke sistem saraf pusat
(SSP).
c). Kornu dorsalis medulla spinalis
adalah tempat dimana terjadi
hubungan antara serat aferen
primer dengan neuron kedua dan
tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus
desenden inhibitor dari otak.
d). Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus) menyampaikan
sinyal kepada area yang lebih tinggi pada SSP.
e). Traktus Thalamokortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
f). Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk
withdrawal response).
g). Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medula spinalis.
7
2.3.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakannya
persepsi nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang disebut sebagai nosisepsi (Gambar
2). Ada empat proses yang mengikuti suatu proses elektrofisiologis nosisepsi, yaitu:1,2,3,4,5
Gambar 2. Skema nosisepsi
1. Transduksi
Nyeri akut dimulai ketika terjadi kerusakan jaringan akibat stimulasi kimia, termal
dan mekanis di saraf sensorik perifer. Akibatnya stimulasi tersebut akan merangsang
reseptor nyeri (nosiseptor) dan memberikan respon yang selektif.4,5 Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A-delta dan C yang badan sel
sarafnya terletak pada ganglion radiks dorsal. Serat-serat saraf ini banyak dijumpai di
jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain.3,4
Serat aferen A-delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral atau ke Sistem Saraf Pusat. Serabut A-
delta dan C memiliki perbedaan ukuran diameter. Serabut A-delta mempunyai diameter
lebih besar dibanding serabut C. Serabut A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-
30 m/dtk) dibandingkan serabut C (0,5-5 m/dtk).2,3
Apabila serabut A-delta dan serabut C diaktivasi dengan stimulus kuat yang singkat
yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan, maka nyeri sementara yang terasa
berperan sebagai peringatan fisiologis. Akan tetapi apabila nosiseptor diaktivasi dengan
8
stimulus nyeri akibat luka cedera jaringan atau infeksi, maka terjadi respon cedera
regional di perifer. Hal ini mengakibatkan dilepaskannya zat-zat kimia dari jaringan yang
rusak (tabel 1).3 Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan
terbentuknya impuls nyeri. Apabila signal dari impuls ini cukup kuat maka akan memicu
terjadinya aksi potensial Untuk lebih jelasnya, proses transduksi dapat dilihat pada
gambar 3.1,2,3,5
Tabel 1. Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan
nyeri
Efek pada aferen
primer
Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histamin
Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
Asam arakidonat dan sel rusak
Asam arakidonat dan sel rusak
Aferen primer
++
++
+++
+
±
±
±
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi
Gambar 3. Proses Transduksi
9
2. Transmisi
Ketika transduksi sudah terjadi maka impuls dihantarkan melalui serabut A-delta dan
serabut C ke kornu dorsalis medula spinalis. Impuls dihantarkan sepanjang serabut saraf
akibat adanya potensial aksi di sepanjang neuron.5 Ion natrium akan masuk saat
depolarisasi dan ion kalium keluar dari dalam sel. Impuls nyeri akan dihantarkan dari satu
neuron ke neuron lain. Ada beberapa neurotransmitter yang ikut terlibat diantaranya
glutamate, substans P, norepineprin, dopamin dan serotonin. Neurotransmitter ini akan
menghantarkan impuls melewati celah sinap yang memisahkan antar neuron. Proses
transmisi terjadi pada 3 persimpangan yaitu:3,4,5
a) Antara nosiseptor dan kornu dorsalis di medulla spinalis (neuron aferen pertama)
b) Antara kornu dorsalis dan thalamus serta batang otak (neuron aferen kedua)
c) Dari thalamus ke cortex serebri (neuron aferen ketiga)
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorphin,5HT, serotonin)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh
serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinothalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi
antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun
eksogen tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan,
maka penderita akan merasakan sensasi nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang
lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensasi nyeri. Proses transmisi dan
modulsi dapat dilihat pada gambar 4.3,4,5
10
Gambar 4. Proses Transmisi dan Modulasi
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif
yang dikenal sebagai persepsi nyeri.2,3,4
2.4 Penilaian dan Pengukuran Derajat Nyeri
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan hal yang relatif
sulit.2
11
2.4.1 Diagnosis Nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom), maka diagnostik nyeri sesuai dengan usaha
mencari penyebab nyeri. Langkah ini meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan bila perlu pemeriksaan radiologi dan lainnya. Diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab dan menanggulangi penyebab, maka keluhan nyeri akan
mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri
tidak ada.2,4
Pemeriksaan nyeri harus dilakukan dengan seksama yang dilakukan sebelum pengobatan
dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan nyeri baru dan
setelah interval terapi (15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian
peroral).3,4
a). Anamnesis yang Teliti
Dalam anamnesis, haruslah mengetahui bagaimana kualitas nyeri yang diderita meliputi
awitan, lama dan variasi yang ditimbulkan untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu,
juga harus mengetahui lokasi nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau
hanya pada bagian tubuh tertentu. Intensitas nyeri juga penting untuk menetapkan derajat
nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula
tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani dan alergi obat.
b). Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi nyeri.
Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan korelasi dengan
intensitas nyeri, karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik seperti takikardia,
hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale rutin dilaksanakan untuk
mengetahui apakah ada proses patologi di intrakranial.
Pemeriksaan khusus neurologi, seperti adanya gangguan sensorik penting dilakukan dan
yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia, hiperpatia dan alodinia
pada daerah nyeri yang menggambarkan kemungkinan nyeri neurogenik.
c). Pemeriksaan Psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri subyektif,
maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus dilakukan dengan
seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang menyertai. Tes yang biasa
digunakan untuk menilai psikologis pasien adalah Minnesota Multiphasic Personality
12
Inventory (MMPI). Dengan mengetahui permasalahan psikologis yang ada, maka akan
memudahkan dalam pemilihan obat yang tepat untuk penanggulangan nyeri.
d). Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui penyebab dari nyeri.
Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging seperti foto
polos, CT scan, MRI atau bone scan.
2.4.2 Metode Penilaian Nyeri
Terdapat beberapa metode yang umum digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara
lain:3,4
a). Verbal Rating Scale (VRS)
Menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien
disuruh memilih kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri, yaitu :
Tidak nyeri (none)
Nyeri ringan (mild)
Nyeri sedang (moderate)
Nyeri berat (severe)
Nyeri sangat berat (very severe)
b). Numerical Rating Scale (NRS)
Menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri. Umumnya
pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10.
”0”menggambarkan tidak ada nyeri, sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
13
Gambar 5. Numeric Pain Intensity Scale
c). Visual Analogue Scale (VAS)
Paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dengan garis sepanjang 10 cm
yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien
menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan.
Keuntungannya adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah
dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.
Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan sukar
diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
Gambar 6. Visual Analog Scale
No Pain The Most Intense Pain Imaginable
d). McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Memakai check list untuk mendiskripsikan gejala nyeri. Menggambarkan nyeri dari
berbagai aspek, antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan
dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
e). The Faces Pain Scale
Metode ini dilakukan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya digunakan
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.
14
Gambar 7. Faces Pain Scale
2.5 Penatalaksanaan Nyeri
Landasan-landasan yang dianjurkan dalam penatalaksanaan nyeri:3,4
1. Mengutamakan pendekatan klinis, termasuk pendekatan psikoterapi dalam arti kata yang
seluas-luasnya.
2. Mengikutsertakan pasien dan keluarganya, serrta menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan terapi klinis yang tersedia.
3. Menganjurkan pasien dan keluarganya untuk memberikan laporan yang benar dan
terperinci tentang rasa nyeri dan lain-lain yang dianggapnya penting untuk diketahui oleh
dokter, sehingga kerjasama antar dokter dan pasien dapat tercipta dalam suasana saling
mempercayai yang handal.
Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami
tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu:4
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama.
2. Menentukan penyebab dan derajat atau stadium penyakit dengan tepat.
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga.
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan.
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi.
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan.
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin.
Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah:4,5
1. Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar memerlukan.
2. Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat.
3. Memakai modalitas pengobatan dengan benar.
4. Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi-modal.
Faces Pain Rating Scale (untuk anak)
15
5. Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus.
6. Usahakan per oral.
7. Pada nyeri kronis, ikuti “3-Step Ladder Analgesic” WHO.
8. Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.
9. Cermati dengan seksama perubahan keadaan penderita.
Setelah diagnosis nyeri ditetapkan, perencanaan pengobatan harus disusun. Untuk itu
berbagai modalitas pengobatan nyeri harus dipilih dengan tepat. Berbagai alternatif modalitas
pengobatan nyeri yang beraneka ragam pada dasarnya dapat digolongkan dalam:4
1. Modalitas fisik pada unit rehabilitasi medik.
2. Modalitas kognitif-behavioral melalui pendekatan psikososial.
3. Modalitas invasif melalui pendekatan perioperatif dan radioterapi.
4. Modalitas psikoterapi.
5. Modalitas farmakoterapi.
2.5.1 Modalitas Farmakoterapi
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti “WHO Three Step Analgesic
Ladder”. Tiga langkah tangga analgesik menururt WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri
dari:5,6
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan obat opioid
lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip “Three Step Analgesic Ladder” dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu:4,5,6
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3 (WHO Three Step Analgesic
Ladder), dan
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1 (WHO Three-
Step Analgesic Ladder)
16
Gambar 8. WHO Three-Step Analgesic Ladder
Pada setiap langkah, apabila dianggap perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvan) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penanggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemapuan untuk bertindak sebagai obat
tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.3,4,5
2.5.2 Klasifikasi Obat Analgesia
a.) Analgesik Nonopioid
1. Parasetamol
Parasetamol dapat digunakan sebagai analgesia besama-sama dengan obat analgesik lainnya.
Mekanisme kerja parasetamol secara pasti belum diketahui tetapi efek analgesik diperkirakan
melalu penghambatan sintesis prostaglandin. Efek antipiretiknya dapat dipertimbangkan
sebagai manfaat. Formulasi intravena sekarang ini sudah digunakan sebagai terapi jangka
pendek untuk nyeri termasuk nyeri postoperatif.5
17
2. Non Steroidal Anti Inflammation Drugs (NSAID)
NSAID menghambat enzim cyclo-oxygenase sehingga menghambat pembentukan
prostaglandin, prostacyclin, dan tromboxane. NSAID kovensional (ibuprofen, diclofenac,
indomethacin, ketorolac) menghambat enzim COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan di dalam
sintesis prostaglandin yang bersifat protektif (mukosa lambung, ginjal, platlet), sedangkan
COX-2 berperan di dalam respon inflamasi.3,5,6
Penghambatan sintesis prostaglandin PGE2 dan PGI2 menimbulkan efek samping pada
gastrointestinal dan gangguan pada ginjal karena prostaglandin ini berperan sebagai
gastroprotektan dan vasodilator pada ginjal. Penghambatan dapat mengurangi renal blood
flow dan menyebabkan gagal ginjal. NSAID yang bekerja secara selektif pada COX-2
(celecoxib, meloxicam, dan paracoxib) lebih aman untuk gasrointestinal, fungsi ginjal dan
platelet. Namun akhir-akhir ini penggunaan COX-2 selektif NSAID dihindari pada pasien
dengan resiko kardiovaskuler.3,5
NSAID sering dikombinasikan dengan opoid untuk mengurangi efek samping yang berkaitan
dengan dosis masing-masing obat tersebut. NSAID kadang-kadang diberikan bersama-sama
dengan H2 antagonis atau proton pump inhibitor sebagai gastroprotektan pada perioperatif.4,5
b.) Analgesik Opioid
Istilah opioid dipakai untuk menamai zat yang menghasilkan efek seperti morfin. Analog
morfin ini dapat diklasifikasikan dalam:3,4,5
1. Agonis murni (utamanya memiliki efek agonis yang kuat hanya pada satu reseptor
dan mungkin memiliki efek agonis lemah pada reseptor lainnya)
2. Agonis lemah (memiliki efek agonis lemah pada satu resptor)
3. Partial agonis (memiliki efek agonis pada satu reseptor tetapi juga memiliki efek
antagonis pada reseptor lainnya)
Derivat sintetik dengan struktur yang tidak berkaitan dengan morfin tetapi memiliki efek
farmakologis yang sama dengan morfin seperti:4,5
1. Phenylpiheridine (pethidine, fentanyl)
2. Methadone (methadone, dextropropoxyphene)
3. Benzomorphan (pentazocine)
4. Thebaine (buprenorphine)
Ada tiga reseptor opioid di medula spinalis dan supraspinalis yaitu µ (miu), κ (kappa), dan δ
(delta). Agonis murni (morfin) memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor miu dan
afinitas yang bervariasi terhadap reseptor delta dan kappa. Codein, methadone dan
18
dextropropoxyphene juga agonis terhadap reseptor miu tetapi lebih lemah. Buprenorphine
dan pentazocine digolongkan kedalam parsial agonis.3,5
Opioid memiliki efek yang sama dengan antinyeri endogen seperti endorphin dan enkephalin.
Obat ini paling baik digunakan untuk nyeri yang tumpul (dimediasi oleh serabut C) dan
kurang efektif untuk nyeri yang tajam. Jika dibuat perbandingan diantara obat-obat opioid
berdasarkan potensinya dan efek sampingnya maka opioid dapat dikelompokkan kedalam
opioid lemah dan opioid kuat.4,5
Semua opioid dapat menghasilkan ketergantungan secara fisik dan psikologis jika dihentikan
secara tiba-tiba. Namun efek ini tidak akan terjadi jika opioid digunakan secara tepat dalam
waktu yang singkat untuk nyeri postoperatif. Semua opioid baik lemah maupun kuat
memiliki efek samping berupa konstipasi, mual, dan muntah.6
1. Opioid lemah
Kira-kira 10% dari agonis lemah reseptor miu yaitu kodein (3-metil morphine) dimetabolisme
menjadi morfin. Tidak seperti morfin, obat ini hanya sedikit menyebabkan euphoria dan
kurang poten dibandingkan dengan morfin oral. Dihydrocodein merupakan derivat sintetik
dari kodein yang sedikit lebih poten daripada kodein. Tramadol merupakan opioid sintetik
yang memiliki efek samping opiat yang lebih ringan tetapi berkaitan dengan halusinasi dan
kejang sehingga harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi.
Tramadol sedikit lebih poten daripada kodein. 4,5
2. Opioid kuat
Morfin merupakan agonis murni reseptor opioid. Morfin merupakan standar tolak ukur
potensi opioid yang lain. Morfin dapat diadministrasikan secara subkutan, intramuskuler,
intravena, atau epidural. Nmun pemberian secara iv lebih disukai karena onsetnya lebih
cepat, kadar dalam darah lebih mudah diprediksi, dan administrasinya lebih mudah. Morfin
oral memiliki biavailabiltas yang buruk karena metabolisme yang ekstensif di hepar.
Diamorphin, derivat dietil dari morphin, memilki kelarutan yang lebih tinggi terhadap lemak
daripada morfin tetapi juga masih memiliki kelarutan yang tinggi terhadap air, membuat obat
ini diadministrasikan dalam volume yang kecil. Diamorphin subkutan tiga kali lebih poten
dari pada morphin oral. Namun durasi kerjanya lebih singkat daripada morphine.Oxycodone
dua kali lebih poten dari pada morfin. Obat ini memiliki lebih sedikit efek halusinasi dan
biasanya digunakan untuk pasien yang tidak toleran dengan efek samping morfin. 3,4,5
Pethidine merupakan opioid sintetik dengan durasi kerja yang lebih singkat daripada morfin.
Obat ini memiliki efek euforia yang sama dengan morfin. Fentanyl juga opioid sintetik sama
seperti pethidine. Obat ini sangat poten dengan efek yang sama dengan morfin. Obat ini
19
memiliki kelarutan terhadap lemak yang tinggi dan dapat diadministrasikan secara intravena,
transdermal, dan bukal (aqtiq lozenges). Fentanyl, alfentanyl, dan remifantanyl, adalah
alternatif yang sesuai untuk morfin jika membutuhkan obat dengan onset cepat tetapi durasi
kerjanya singkat. 3,4,5
Methadone memiliki bioavailabilitas oral yang bagus dengan waktu paruh lebih dari 24 jam.
Obat ini digunakan untuk menghindari efek withdrawal dari pasien yeng memiliki
ketergantungan dengan morfin.3,4
2.5.3 Terapi Adjuvan
Terapi adjuvan yang dimaksud disini adalah obat-obat yang digunakan secara
kombinasi dengan opioid sehingga dapat mengurangi dosis opioid untuk nyeri postoperatif.
NMDA antagonis (ketamin, dextromethorphan) memiliki efek samping psikomimetik pada
dosis yang tinggi tetapi pada dosis yang moderat dapat digunakan untuk mengurangi dosis
apioid untuk kontrol nyeri yang lebih baik. Alpha-2 adrenergik agonis (clonidine,
dexmedetomidine) dapat menyebabkan sedasi, hipotensi, dan bradikardi pada dosis moderat.
Namun pada dosis rendah juga dapat menghemat dosis opioid terutama pada administrasi
spinal. Antikonvulsan (gabapentin, pregabalin) memiliki potensi yang lemah untuk nyeri
akut, tetapi kombinasi dengan opioid, dapat mngurangi dosis opioid dan meningkatkan
analgesia. Sedangkan kortikosteroid (dexamethasone) memiliki peran yang terbatas sebagai
adjuvan.2,3,5
2.5.4 Kelompok obat anestesia lokal
Contoh obat dalam kelompok ini adalah lidocaine dan bupivacaine. Obat ini bekerja
pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat
ini dapat disuntikkan pada daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani
dermatom sumber nyeri, didaerah perjalanan plexus saraf, dan ke dalam ruang epidural atau
interatekal.5.6
Obat anestesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik. Analgesia yang
dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat yang diberikan intratekal hanyalah
obat yang direkomendasikan dapat diberikan secara intratekal. Obat anesthesia lokal tidak
boleh langsung disuntikkan kedalam pembuluh darah. Obat ini memberikan analgesia
tambahan untuk semua jenis operasi dan bisa menghasilkan analgesia tanpa pengaruh
20
terhadap kesadaran. Teknik sederhana seperti infiltrasi lokal ke pinggir luka pada akhir
prosedur akan menghasilkan analgesia singkat.4,5,6
2.5.5 Multimodal terapi untuk Nyeri Pasca Pembedahan
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif untuk mengatasi nyeri
dengan intensitas berat. Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang adekuat
diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya efek samping.5,6
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa macam
obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat digunakan dua atau
lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-
masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas
analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek
samping yang dapat ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.3,4,6
2.6 Patient-Controlled Analgesia (PCA)
2.6.1 Definisi
Patient-Controlled Analgesia (PCA) merupakan pemberian opioid intravena, on-
demand, intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu).
Teknik berdasar pada pemakaian infus canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang
memberikan obat dengan dosis terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan.5,6,7
PCA merupakan konseptual kerangka kerja untuk pemberian analgesik. Konsep luas dari
PCA tidak untuk satu jenis obat analgetik atau rute tunggal atau satu cara pemberian.
Analgetik melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau
transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika pemberiannya segera sesuai permintaan pasien
dan cukup kuantitas.7
21
2.6.2 Mode PCA dan Variasi Dosis
PCA mempunyai beberapa metode administrasi. Yang paling umum dipergunakan
adalah demand dosing (dosis tetap sesuai permintaan secara intermitten) dan infus kontinyu
yang ditambah demand dosing. Hampir seluruh alat PCA modern menawarkan kedua metode
ini.4,6,7
Beberapa variabel dasar pada PCA : initial loading dose, demand dose, lockout
interval, infus kontinyu, dan batas waktu pemberian 1 jam dan 4 jam. Initial loading dose
memungkinkan titrasi dari obat ketika diaktivasi oleh petugas medis. Initial loading dose
dapat dipakai oleh perawat di PACU untuk mentitrasi obat agar mencapai MEAC (minimum
effective analgesic concentration) atau untuk memberikan dosis breakthrough. Demand dose
merupakan kuantitas obat analgetik yang diberikan pada pasien saat tombol permintaan
ditekan.7,8 Untuk mencegah overdosis, PCA menggunakan lockout interval, yang merupakan
jarak waktu dimana mesin tidak akan mengeluarkan obat sesuai demand dose (bahkan jika
pasien memencet tombol permintaan) setelah permintaan yang sukses sebelumnya. Infus
kontinyu adalah infus dengan kecepatan konstan yang diberikan secara terus-menerus.7
Gambar 9. Menunjukkan gambaran secara teoritis dari kurva konsentrasi atau respon opioid. Sumbu X menunjukkan konsentrasi plasma opioid; sumbu Y merupakan skala nyeri, mulai dari nyeri hebat (paling bawah) hingga tidak terdapat nyeri sama sekali (paling atas). Lingkaran menunjukkan pengukuran berulang dari konsentrasi opioid dan nyeri yang berkaitan selama periode tertentu ketika konsentrasi opioid ditingkatkan. Dengan meningkatnya dosis opioid, peningkatan konsentrasi awal yang progresif tidak menunjukkan perubahan pada skala nyeri, kemudian setelah melewati skala tertentu dari konsentrasi, nyeri dapat dikurangi, kemudian penambahan lebih lanjut dari konsnetrasi opioid tidak memberikan efek tambahan. MCP atau maximum concentration pain merupakan konsentrasi maksimum dari opioid yang berkaitan dengan nyeri yang hebat. MEAC atau minimum effective analgesic concentration merupakan dosis opioid terkecil dimana nyeri dapat diatasi. Diadaptasi dari Austin et al.
22
2.6.3 Keuntungan dan Kekurangan Penggunaan PCA
Opioid merupakan obat utama dalam tatalaksana farmakologis. Dimulai dengan PCA
untuk kontrol dan titrasi nyeri secara cepat. Hidromorfon merupakan pilihan jika
dibandingkan dengan morfin, khususnya pada pasien dengan gagal ginjal akut. Rasio dosis
ekuianalgesik dari morfin oral ke hidromorfon yaitu 30:1,5. Total dosis oral morfin 280 mg
ekuivalen dengan 14 mg hidromorfon IV.6
Keuntungan PCA:6,7
1. Setiap pasien memiliki variabilitas respon terhadap opioid, sehingga dengan
menggunakan PCA dosis dan titrasi dari obat lebih terindividualisasi.
2. Sistem kontrol umpan balik negatif, dan menambah sistem keselamatan untuk
menghindari depresi pernafasan. Saat pasien tersedasi akibat pemberian opioid, pasien
tidak akan mampu menekan tombol untuk menerima dosis opioid yang lebih banyak
lagi.
3. Tingkat kepuasan pasien yang lebih tinggi dalam mengontrol nyeri.
4. Efektifitas analgesia yang lebih baik dibandingkan menggunakan sistem analgesia
yang konvensional.
Kekurangan PCA:6,7
1. Tidak semua pasien dapat mengerti instruksi yang perlu diketahui untuk
mempertahankan keamanan dan efektifitas penggunaan mesin-mesin PCA.
2. Potensi terjadinya kesalahan dosis opioid. Hal ini berhubungan dengan faktor alat,
petugas medis yang meresepkan atau memprogram.
3. Biaya yang lebih tinggi.
Time
Plasma concentrations afterIM injection of opioids
PAIN
Requests analgesia
Nurse responsePain relief given
sedation
comfort
23
Plasma concentrations afterPatient Controlled Analgesia
Pain
asleep
Sedation
comfort
Obat yang paling sering digunakan pada PCA adalah opioid, selain itu juga analgetik
seperti tramadol, dan ketamine. Ketamin digunakan bersama-bersama dengan berbagai obat-
obat analgesik lainnya secara intravena, epidural, dan pada saat infiltrasi luka melalui sistem
patient controlled delivery.9,10
2.6.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan PCA
1.) Umur, Jenis Kelamin, Berat badan
Masing-masing karakteristik seperti umur, jenis kelamin, dan berat badan sering dianggap
faktor penting yang mempengaruhi setiap terapi farmakologis. Umur mempengaruhi dosis
opioid sedangkan gender dan berat badan tidak.8.9
Burns et al. menegaskan pengaruh usia pada kebutuhan IV-PCA. Seratus pasien yang
menjalani pembedahan perut bagian atas diterima IV-PCA diprogram untuk memberikan
dosis morfin incremental 0,02 mg / kg, dengan interval penguncian 2 menit (tanpa infuse
kontinu). Konsumsi Morfin menurun dengan usia baik laki-laki dan perempuan (P <
0,00005): lebih dari 24 jam, dosis tipikal morfin adalah 75 mg pada usia 20-30 tahun
dibandingkan dengan 30 mg pada saat 60-70 tahun. Macintyre dan Jarvis menemukan
kemiripan prediksi terbaik untuk kebutuhan morfin PCA – IV adalah pada 24 jam pertama
setelah operasi ( jumlah setelah pemberian dosis awal) adalah umur pasien.2,8 Pada 24 jam
pertama didapatkan data bahwa diperkirakan diperlukan morfin rata-rata 100 mg – umur
(tahun) untuk pasien dengan umur lebih dari atau sama dengan 20 tahun. Walaupun secara
signifikan lebih sedikit diperlukan opiate pada pasien yang lebih tua, Aurbrun et al. (66)
Gambar 10. Grafik diatas menunjukan konsentrasi plasma obat dan respon pada penggunaan analgesia melalui jalur IM dan PCA. Daerah confort merupakan target konsentrasi analgesik yang diinginkan.
24
menunjukkan pemberian loading titrasi morfin sama antara pasien yang lebih tua dan lebih
muda.5,8,11
Selain itu Burns et al. menemukan tidak ada korelasi antara berat badan pasien (40-100
kg) dengan kebutuhan morfin. Secara umum orang percaya bahwa tidak ada dasar yang tepat
untuk menjelaskan ini. Penggunaan morfin perjam menunjukkan bahwa kebutuhan
meningkat pada pukul 9 AM dan 8 PM.7,9,11 Burns et al. menemukan bahwa pada laki-laki
diperlukan dosis lebih besar dibandingkan dengan wanita. Tetapi pada penelitian yang lain
gagal menemukan perbedaan ini.
2.) Toleransi opiat dan nyeri kronis
Toleransi opiat dan nyeri kronis meningkatkan kebutuhan akan morfin melalui PCA - iv.
Tetapi pemberian secara regional analgesia dan terapi adjuvant mengurangi kebutuhan ini.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien post operasi dengan pemakaian opiate secara
kronis, kemungkinan diperlukan penambahan kebutuhan analgesia. Pada pasien post operasi
dengan nyeri kronis secara umum akan memberikan skor nyeri yang lebih tinggi
dibandingkan yang yang bukan nyeri kronis.8
3.) Faktor psikologis.
Rasa takut dan bingung pada pasien akan meningkatkan kebutuhan akan obat anti nyeri pada
PCA. Pasien yang memperoleh intervensi dari keluarga, dan orang yang berpengaruh pada
hidupnya akan memperolah nilai nyeri yang lebih rendah. Selain itu faktor dari pelayanan dan
perhatan dari tenaga medis juga mempengaruhi nilai nyeri dari pasien.8,9
25
BAB III
SIMPULAN
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan,
berkaitan dengan kondisi aktual atau potensional terjadinya kerusakan jaringan
Beberapa prinsip dalam manajemen nyeri sebagai berikut :
Pasien yang mengeluh nyeri, berarti mereka betul-betul merasa nyeri. Mereka perlu
didengarkan dan dipercaya.
Tidak ada pola fisiologis atau perilaku yang bisa digunakan untuk membuktikan bahwa
seseorang sedang berpura-pura nyeri.
Operasi yang sama mungkin akan menghasilkan kebutuhan analgesia yang bervariasi
pada berbagai pasien.
Derajat nyeri yang sama mungkin diekspresikan dengan cara berbeda oleh pasien.
Opioid yang diberikan untuk nyeri akut tidak menyebabkan adiksi obat.
Nyeri hebat setelah pembedahan bisa dicegah. Cari sebab-sebab nyeri yang bisa diatasi,
tetapi jangan tunda analgesia dengan alasan takut menyelubungi tanda-tanda bedah.
Dosis tepat dari analgesik opioid adalah ‘cukup dan sering cukup’
Manfaat maksimum dengan efek samping paling sedikit sering diperoleh dengan
kombinasi berbagai obat dengan cara pemberian berbeda (misal opioid dan AINS dan
anestesi lokal)
Patient-Controlled Analgesia (PCA) merupakan pemberian opioid intravena, on-
demand, intermitten di bawah kontrol pasien (dengan atau tanpa bantuan infus kontinyu).
Konsep luas dari PCA tidak untuk satu jenis obat analgetik atau rute tunggal atau satu cara
pemberian. Analgetik melalui rute apapun (oral, subkutan, epidural, kateter saraf perifer, atau
transdermal) dapat dianggap sebagai PCA jika pemberiannya segera sesuai permintaan pasien
dan cukup kuantitas
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management, In: Clinical Anesthesiology 2nd ed. Stamford:
Appleton and Lange, 1996, 274-316.
2. Mangku, G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, 2002.
3. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI, Jakarta, 2001.
4. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
5. Loese, J.D., Peripheral Pain Mechanism and Nociceptic Plasticity, In Bonica’s
Management of Pain, Lippicott Williams and Wilkins, 2001, 26-65
6. Avidan, M., Pain Managemnet, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain
Management and Intensive Care, London, 2003, 78-102
7. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
8. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-69.
9. MMeellaattii,, EEnnddaanngg..,, PPeeddiiaattrriicc PPaaiinn MMaannaaggeemmeenntt IInn TTrraauummaa,, Bagian/SMF Anestesiologi
dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2003.
10. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2003.
11. Tanra, Husni., Prehospital Pain Management for Trauma Patient, Bagian/SMF
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Makasar,
2002.
12. Arifin, Hasanul., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.
13. Mangku G., Nyeri dan Mutu Kehidupan, Buletin IDI, Denpasar, 2005.
14. Meliala A. Pemeriksaan Nyeri, Neuro Sains, Suplemen BNS Vol 4 No 2, 2003, 33-
37.
15. Nicholls, AJ dan Wilson, IH., Peresepan Periperatif, in Kedokteran Perioperatif,
Darmawan, Iyan (ed), Farmedia, Jakarta, 2001, bab 52,403-420