91
ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN EKA HERDIANA DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN ... · penyusunan tulisan ini, terima kasih juga kepada “es teh manis” atas kehangatan, pencerahan dan motivasi yang tak

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA

DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

EKA HERDIANA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

ii

ABSTRACT

Eka Herdiana. Pathway Analysis Factors of Household Food Security in Lebak District, Province Banten. Under direction of Ikeu Tanziha.

The objective of this research were to: 1) identificate household socio economic characteristics and food acses, 2) analyze household consumption level and household food security level, 3) analyze relation of socio economic factors and household food security, 4) analyze impact of direct factors and indirect factors to household food security. This research was conducted by using cross sectional design. The location was in Pasindangan and Banjarsari Village, Cileles and Warunggunung Subdistrict, Lebak Distric that chosen purposively with concideration that farmer's household. The sample were 101 househholds. The result of the research shows that almost all (62.4%) household were household food security, household food insecurity in heavy level (7%), household food insecurity in moderate level (5%), and household food insecure (26%). factors that significantly relation with household food security were size of household, own of land, and household expenditure per capita. Direct factor that influence household food security was household expenditure expenditure per capita. Indirect factors that influence household food security were size of household – household expenditure per capita – household food security.

Keyword : Household food security, Pathway analysis.

iii

RINGKASAN

EKA HERDIANA. Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Di Kabupaten Lebak, Banten. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.

Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya. Berkembangnya teknologi akibat perkembangan zaman, tidak hanya memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga. Menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity).

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi faktor sosial ekonomi rumahtangga meliputi ukuran rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga, kepemilikan lahan, akses pangan rumahtangga (pengetahuan gizi ibu dan dukungan sosial), (2) menganalisis tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (3) menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (4) menganalisis pengaruh faktor langsung dan tidak langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga menggunakan analisis jalur. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study, berlokasi di Kabupaten Lebak Propinsi Banten, yang dilakukan pada bulan April sampai Mei 2009. Penarikan contoh dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110 rumahtangga. Setelah dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101 rumahtangga dengan kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai petani, (2) contoh mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan, yaitu petani tidak memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2. Data primer terdiri dari data karakteristik RT, sosial ekonomi RT, akses pangan RT, dan konsumsi RT, sedangkan data sekunder berupa profile Desa dan Kecamatan. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan, yaitu analisis korelasi Pearson dan Spearman, serta metode analisis jalur. Umur kepala rumahtangga berkisar antara 25-85 tahun, sedangkan umur ibu berkisar antara 20-75 tahun. Rata-rata kepala rumahtangga (57.4%) berumur 40-59 tahun (dewasa madya), sedangkan rata-rata umur ibu 46.5 persen berumur 18 – 39 tahun (dewasa awal). Tingkat pendidikan kepala rumatangga (73.3%) adalah tamat SD, begitupun dengan tingkat pendidikan ibu (69.3%) adalah tamat SD. Pekerjaan tambahan kepala rumahtangga (26.7%) adalah sebagai pedagang dan buruh. Sebanyak 36.6% contoh tidak memiliki lahan, 32.7% contoh memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2, 20.8% contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan terakhir hanya 9.9% contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Sebagian besar (61.5%) rumahtangga yang yang rawan pangan berat adalah yang tidak memiliki lahan.

iv

Sebanyak 49.5 persen contoh merupakan rumahtangga kecil yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga. Sebanyak 29.7 persen contoh merupakan rumahtangga sedang dan sisanya (20.8%) rumahtangga besar. Sebanyak 60.3 persen rumahtangga tahan pangan merupakan rumahtangga kecil, 57.1 persen rumahtangga rawan pangan ringan merupakan rumahtangga kecil, 80 persen rumahtangga rawan pangan sedang merupakan rumahtangga sedang, dan 38.5 persen rumahtangga rawan pangan berat merupakan rumahtangga sedang. Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254 241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1 140 028.

Sebagian besar (87.1%) contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen memiliki tingkat pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) memiliki pengetahuan gizi tinggi. Lebih dari setengah contoh (56.4%) memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8% contoh memiliki dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8% contoh memiliki dukungan sosial sedang.

TKE rumahtangga menunjukkan 25.7 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit berat (<70%) dan 47.5 persen termasuk kategori lebih. TKP rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori kurang dan 33.7 persen termasuk kategori lebih. TKCa rumahtangga yaitu 97 persen rumahtangga termasuk kategori defisit. TKFe rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit. TKVit A rumahtangga yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori cukup. TKVit C rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit.

Ketahanan pangan kualitatif menunjukkan sebanyak 5.0% rumahtangga contoh mengalami kelaparan, 10.91% rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2% rumahtangga tahan pangan. Ketahanan pangan kuantitaif menunjukkan lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan pangan, 26 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan berat, 7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan ringan dan 5 persen contoh merupakan rawan pangan sedang.

Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga. Terdapat hubungan negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan p>0.05) antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga.

Berdasarkan hasil analisis jalur, pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah pengeluaran rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05). Jalur yang paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga.

v

ANALISIS JALUR FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA

DI KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

EKA HERDIANA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

vi

Judul Skripsi : Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

Nama : Eka Herdiana Nrp : I14053564

Disetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS.

NIP. 1961 1210 198603 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS

NIP. 1962 1204 198903 2 002

Tanggal Lulus :

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, puteri

pasangan Bapak Hanafi Moh. Bakri dan Ibu Hartuti. Penulis dilahirkan di Kota

Jakarta pada tanggal 28 Januari 1988. Pendidikan sekolah dasar penulis

ditempuh pada tahun 1993 sampai 1999 di SD Negeri Selong 03 dan pada tahun

1999 sampai 2002 di SMP Negeri 13 Jakarta. Pada tahun 2002 sampai 2005

penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 46 Jakarta.

Pada tahun 2005, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Penulis

diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006 melalui jalur mayor minor. Selama

menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam komunitas Tari Saman BUNGONG

PUTEH (2005-2009) dan tercatat sebagai staf divisi Klub Peduli Pangan dan Gizi

(KPPG) HIMAGIZI periode 2007/2008.

Penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Ekologi Pangan

dan Gizi pada tahun ajaran 2009/2010. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan

Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pengasinan dan Sawangan Baru,

Depok, Jawa Barat. Pada bulan Februari 2009 penulis juga melaksanakan

Internship Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais.

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya

dan melimpahkan kasih sayang serta kekuatan, sehingga penyusunan skripsi ini

dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Analis Jalur

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga di

Kabupaten Lebak Banten” dilakukan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Gizi pada Departeman Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan

penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan

arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. drh. M. Rizal Damanik M, Mrep.Sc, PhD selaku dosen pemandu seminar dan

dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan.

3. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis dalam pengisian Kartu Rencana Studi selama kuliah.

4. Retno Ambarwati, Mega Pramudita, Rizky Rizliana Mangkoeto dan Aci Debby

Oktora selaku pembahas seminar.

5. Seluruh pihak di Desa Pasindangan dan Desa Banjarsari yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan telah bersedia diwawancarai

serta telah membantu kelancaran penelitian.

6. Bapak, Mama, dan Kakak-kakakku tercinta terimakasih atas do’a, nasehat,

semangat dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini.

7. Sahabat-sahabatku (Arha, Tyas, 9 Naga, Eno, Mega, Adhis, Laras, Ivah, Aini

Aqsa, tim “badut”, Yoshinta dan tim basket FEMA) terima kasih atas

kebersamaan, canda tawa dan dukungannya. Semoga kebersamaan ini tetap

terjaga.

8. Oktora Trianggana atas doa, semangat dan kesetiaannya menemani selama

penyusunan tulisan ini, terima kasih juga kepada “es teh manis” atas

kehangatan, pencerahan dan motivasi yang tak terduga.

9. Teman-temanku Dietista 42 terima kasih atas kebersamaan dan cerita-cerita

indah selama tiga tahun. Terimakasih juga kepada Poppy untuk kursus kilat

SPSSnya. Risma Ariefiani yang bersedia diminta waktunya untuk keliling IPB.

Love you all!

ix

10. Angkatan 43, 44 dan 45, Pak Ugan serta Pak Karya serta semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran

penyelesaian penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya,

khususnya dalam pengembangan program ketahanan pangan. Wasamu’alaikum

Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bogor, September 2009

Penulis

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ x

DAFTAR TABEL............................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ..................................................................................... 1

Tujuan .................................................................................................. 3

Hipotesis ............................................................................................... 3

Kegunaan ............................................................................................. 3

TINJAUAN PUSTAKA

Petani .................................................................................................... 4

Rumahtangga Petani ............................................................................ 4

Ketahanan Pangan dan Pertanian........................................................ 4

Ketahanan Pangan ............................................................................... 5

Ketahanan Pangan Rumahtangga .................................................. 7

Pengukuran Ketahanan Pangan ..................................................... 8

Pengukuran Kelaparan.................................................................... 9

Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan Pangan .................................................................................................. 11

Ukuran Rumahtangga ..................................................................... 11

Pendidikan....................................................................................... 11

Pengeluaran Rumahtangga............................................................. 11

Pengambilan Keputusan Rumahtangga.......................................... 12

Akses Pangan ....................................................................................... 14

Akses Fisik ...................................................................................... 15

Akses Ekonomi................................................................................ 15

Akses Sosial .................................................................................... 16

Dukungan Sosial .................................................................... 16

Pengetahuan Gizi ................................................................... 17

Konsumsi Pangan ................................................................................. 17

Penilaian Konsumsi Pangan.................................................................. 18

Analisis Jalur ......................................................................................... 20

KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................... 21

xi

METODOLOGI ............................................................................................... 24

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian................................................. 24

Cara Penarikan Contoh ........................................................................ 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ...................................................... 24

Pengolahan dan Analisis Data.............................................................. 25

DEFINISI OPERASIONAL ............................................................................. 29

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 30

Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 30

Desa Pasindangan ....................................................................... 30

Desa Banjarsari ............................................................................ 33

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga......................................... 36

Umur ............................................................................................. 36

Pendidikan.................................................................................... 38

Pekerjaan ..................................................................................... 41

Komposisi Anggota Rumahtangga ............................................... 42

Kontrol Keuangan......................................................................... 42

Ukuran Rumahtangga................................................................... 44

Kepemilikan Luas Lahan .............................................................. 45

Akses Pangan ....................................................................................... 47

Akses Fisik.................................................................................... 47

Akses Ekonomi ............................................................................. 47

Akses Sosial ................................................................................. 49

Dukungan Sosial.................................................................. 49

Pengetahuan Gizi ................................................................ 52

Konsumsi............................................................................................... 54

Ketahanan Pangan................................................................................ 57

Analisis Jalur ......................................................................................... 60

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ........................................................................................... 63

Saran .................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 66

LAMPIRAN..................................................................................................... 70

xii

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)..... 6

2. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan ...................................................... 7

3. Kerangka Pemikiran Analisis Jalur Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

Ketahanan Pangan Rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten.............. 23

4. Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga ............................................................................. 28

5. Diagram Jalur Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga ........................................................... 60

xiii

DAFTAR TABEL

1. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ 25

2. Pengkategorian Variabel Penelitian ......................................................... 27

3. Pemanfaatan Lahan Desa Pasindangan.................................................. 31

4. Tingkat Pendidikan Penduduk.................................................................. 32

5. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Pasindangan ....................................... 32

6. Prasarana Pendidikan Desa Pasindangan............................................... 33

7. Prasarana Kesehatan Desa Pasindangan ............................................... 33

8. Pemanfaatan Lahan Desa Banjarsari ...................................................... 34

9. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Banjarsari ....................................... 35

10. Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Banjarsari ............................................ 35

11. Klasifikasi Umur KRT................................................................................ 36

12. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Umur

KRT .......................................................................................................... 37

13. Klasifikasi Umur IRT................................................................................. 38

14. Klasifikasi Pendidikan ART....................................................................... 39

15. Klasifikasi Pendidikan KRT....................................................................... 39

16. Klasifikasi Pendidikan IRT........................................................................ 40

17. Klasifikasi Pekerjaan KRT ........................................................................ 41

18. Klasifikasi Komposisi ART........................................................................ 42

19. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Pasindangan. 43

20. Sebaran Rumahtangga menurut Kontrol Keuangan Desa Banjarsari...... 43

21. Klasifikasi Ukuran Rumahtangga ............................................................. 44

22. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Ketahanan Pangan dan Ukuran

Rumahtangga........................................................................................... 44

23. Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan ......................................................... 45

24. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Kepemilikan Luas Lahan dan

Ketahanan Pangan................................................................................... 46

25. Klasifikasi Kemiskinan berdasarkan Pengeluaran Perkapita ................... 48

26. Klasifikasi Tingkat Dukungan Sosial......................................................... 50

27. Sebaran Dukungan Sosial........................................................................ 50

28. Klasifikasi Pengetahuan Gizi .................................................................... 53

29. Sebaran Rumahtangga berdasarkan Tingkat Pengetahuan Gizi dan

Ketahanan Pangan................................................................................... 53

30. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein.................................................... 54

xiv

31. Tingkat Kecukupan Mineral dan Vitamin .................................................. 55

32. Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan Data Konsumsi... 57

33. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran

Kualitatif.................................................................................................... 58

34. Status Ketahanan Pangan Rumahtangga berdasarkan Pengukuran

Kuantitatif ................................................................................................. 58

35. Sebaran Rumahtangga menurut Validitas Kelaparan .............................. 59

xv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Analisis Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Sosial-Ekonomi

dan Akses Pangan dengan Tingkat Ketahanan Pangan.......................... 71

2. Hasil Analisis Korelasi Pearson Variabel Pengeluaran Perkapita dengan

Ketahanan Pangan................................................................................... 71

3. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT terhadap Dukungan Sosial 72

4. Hasil Analisis Jalur Pendidikan IRT terhadap Pengetahuan Gizi IRT ...... 72

5. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT dan IRT, Ukuran RT, Dukungan

Sosial, dan Pengetahuan Gizi terhadap Pengeluaran Perkapita ............. 73

6. Hasil Analisis Jalur Pendidikan KRT, Ukuran RT, Dukungan Sosial,

Pengetahuan Gizi, dan Pengeluaran Perkapita terhadap Ketahanan

Pangan ..................................................................................................... 73

7. .................................................................................................................... H

asil Analisis Jalur Pengaruh Langsung Variabel Sosial Ekonomi

terhadap Ketahanan Pangan ................................................................... 74

PENDAHULUAN

Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan hak asasi manusia (HAM). Setiap orang

berhak memperolah makanan yang layak dan sesuai dengan kebutuhannya.

Berkembangnya tekhnologi akibat perkembangan zaman, tidak hanya

memberikan dampak positif bagi dunia pangan, namun juga memiliki dampak

negatif, yakni meningkatnya angka kemiskinan yang secara bersamaan

menurunnya ketahanan pangan individu maupun keluarga.

Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk

salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang

masih kurang. Menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, ketahanan

pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman,

merata dan terjangkau. Jika kebutuhan konsumsi pangan tidak terpenuhi lagi

maka akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keadaan ini pada

akhirnya akan mempengaruhi status gizi masyarakat.

Berdasarkan hasil perhitungan FAO (2005), di Indonesia terdapat sekitar

6% penduduk yang menderita kelaparan yaitu sekitar 12 juta 600 ribu orang

penduduk indonesia menderita kelaparan. Berdasarkan hasil penelitian Tanziha

(2005) di empat kabupaten yaitu di Kabupaten Karawang, Garut, Pandeglang

dan Kota Bogor menunjukkan bahwa ada 9.3% rumahtangga menderita

kelaparan. Hardinsyah (2001) mengungkapkan bahwa tiga dari 10 anak balita

Indonesia mengalami gizi kurang (KEP), tiga dari sepuluh wanita hamil

mengalami kurang energi kronik (KEK), enam dari 10 keluarga berpotensi

mengalami rawan pangan (food insecurity) karena tidak mampu memenuhi dua

pertiga dari kebutuhan pangannya.

Diperkirakan rumah tangga yang mangalami kelaparan akan meningkat

dengan berbagai sebab yang diakibatkan oleh keadaan sosial ekonomi

masyarakat, seperti krisis global yang berdampak pada berkurangnya lapangan

pekerjaan akibat kurangnya modal atau bangkrutnya usaha kecil dan menengah

sehingga menurunnya pendapatan dan meningkatnya angka pengangguran.

Lebih lanjut keadaan ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan

masyarakat dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian Tanziha (2005), pada aras mikro hasil

penelitian menunjukkan bahwa determinan utama kelaparan adalah kemiskinan,

2

dan determinan lingkungannya adalah rendahnya kepedulian dari masyarakat

setempat, serta sangat kurangnya atau bahkan tidak ada kelembagaan

ketahanan pangan ditingkat masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

ada 43% keluarga yang tergolong kelaparan tidak mendapat bantuan dari

masyarakat setempat saat kekurangan pangan. Keadaan ini perlu mendapatkan

perhatian yang lebih dari berbagai pihak untuk mengetahui dan memahami

faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Oleh karena

itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hal tersebut.

Selanjutnya dapat diketahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap

ketahanan pangan. Dengan demikian dapat difokuskan usaha-usaha berupa

kebijakan ataupun program pemerintah terkait dengan ketahanan pangan

keluarga sebagai upaya perwujudan ketahanan pangan di Indonesia sehingga

tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

3

Tujuan

Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga.

Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penellitian ini adalah untuk :

1. mengidentifikasi faktor sosial ekonomi rumahtangga meliputi ukuran

rumahtangga, pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, kepemilikan lahan

dan akses pangan rumahtangga.

2. menganalisis tingkat konsumsi rumahtangga dan tingkat ketahanan pangan

rumahtangga.

3. menganalisis hubungan antara faktor sosial ekonomi rumahtangga dengan

tingkat ketahanan pangan rumahtangga.

4. Menganalisis pengaruh faktor langsung dan tidak langsung terhadap

ketahanan pangan rumahtangga.

Hipotesis Faktor sosial ekonomi dan tingkat konsumsi rumahtangga tidak

berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga.

Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah

daerah khususnya pihak yang berwenang dalam upaya perwujudan ketahanan

pangan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam

perencanaan kebijakan terkait dengan program pangan dan gizi sebagai upaya

pencapaian kesejahteraan masyarakat sehingga dapat mewujudkan ketahanan

pangan rumahtangga khususnya di Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Petani Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian

utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk

menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain

lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di

gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat

menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman

beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau flax untuk penenunan dan pembuatan-

pakaian (Anonim 2009).

Kurtz dalam sajogyo (2002) dalam Kartika (2005) mendefinisikan petani

sebagai pengolah tanah di pedesaan. Di Indonesia, kelompok masyarakat ini

adalah salah satu kelompok masyarakat yang rata-rata berada dibawah garis

kemiskinan. Dengan luasan lahan dan pendapatan rata-rata yang relatif kecil

dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Penguasaan lahan pertanian

didefinisikan oleh BPS (1996) sebagai lahan milik sendiri ditambah lahan yang

berasal dari pihak lain, dikurangi lahan yang berada di pihak lain yang pernah

dan sedang diusahakan untuk pertanian selama setahun terakhir.

Rumahtangga Petani Rumahtangga petani adalah rumahtangga yang salah satu anggotanya

melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan,

beternak ikan, nelayan, melakukan perburuan, atau penagkapan satwa liar atau

beternak atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau

seluruh hasilnya untuk dijual atau memperoleh pendapatan atau keuntungan

atas resiko sendiri (BPS 1996 dalam Kartika 2005).

Ketahanan Pangan dan Pertanian Menurut Soetrisno (2002), pada era globalisasi ini merupakan abad yang

tidak akan memberikan banyak harapan bagi para petani di Negara-negara

berkembang, termasuk petani-petani Indonesia yang kebanyakan adalah petani

subsisten. Salah satu masalah yang sangat penting yang akan dihadapi oleh

para petani di negara-negara berkembang adalah bagaimana mempertahankan

kemampuan mereka untuk menjamin ketahanan pangan bagi mereka sendiri dan

bangsa mereka. Jika para petani tidak mampu mempertahankan ketahanan

pangan, berarti negara harus menggantungkan kebutuhan pangan pada

5

perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi

pangan.

Berdasarkan data BPS mengenai sumber penghasilan utama dari rumah

tangga menurut kategori miskin dan tidak miskin adalah yang memiliki

matapencaharian di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga miskin

mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani, sedangkan sumber

penghasilan rumah tangga tidak miskin dari sektor jasa (Tambunan 2003).

Dengan demikian ketahanan pangan petani masih belum dapat terwujud karena

mereka masih berada pada lingkaran kemiskinan.

Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang

memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan

produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi

fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi

individu), nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan), dan waktu

(tersedia secara berkesinambungan) (Martianto & Hardinsyah 2001). Maxwell

1990, diacu dalam Manesa 2009, menyatakan bahwa ketahanan pangan secara

mendasar didefinisikan sebagai akses semua orang pada setiap waktu terhadap

kebutuhan pangan agar dapat hidup sehat. Dari berbagai konsep ketahanan

pangan tersebut dapat diartikan bahwa ketahanan pangan rumahtangga

disamping faktor ketersediaan dan daya beli juga ditentukan oleh faktor akses

pangan itu sendiri baik diperoleh secara langsung maupun melalui jaringan

lainnya.

Menurut Tim Penelitian-LIPI (2004), berdasarkan definisi ketahanan

pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi

dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi

ketahanan pangan yaitu: 1) kecukupan ketersediaan pangan; 2) stabilitas

ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke

tahun; 3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4)

kualitas/keamanan pangan. Keempat komponen tersebut dapat digunakan untuk

mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan sendiri

menurut UU no. 7 tahun 1996 mengenai pangan, merupakan kondisi

terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya

pangan yang cukup baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau.

6

Sistem ketahanan pangan dan gizi secara komprehensif meliputi empat

subsistem, yaitu: (1) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup

untuk seluruh penduduk, (2) distribusi pangan yang lancar dan merata, (3)

konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang,

yang berdampak pada (4) status gizi masyarakat (Gambar 1). Dengan demikian,

sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi,

distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi

juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan

individu serta status gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil

dari rumah tangga miskin (RAN PG 2006-2010).

Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan dan Gizi (RAN PG 2006-2011)

Suryana (2003) menyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu

sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem.

Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan

konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergis dan

interaksi dari ketiga subsistem tersebut. Ketiga subsistem tersebut merupakan

satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam,

kelembagaan, budaya dan teknologi. Proses pembangunan ketahanan pangan

akan berjalan dengan efisien apabila ada partisipasi masyarakat dan fasilitasi

7

pemerintah (DBKP 2001). Ketahanan pangan sebagai suatu sistem dapat dilihat

pada Gambar 2.

Partisipasi Pemerintah:

-kebijakan ekonomi makro

-kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional

-pelayanan/fasilitas

Konsumsi:

Mencakup kecukupan, keragaman, mutu gizi, keamanan

Distribusi:

Akses fisik dan ekonomi antar wilayah

Ketersediaan:

Mencakup produksi, cadangan dan impor

Input: SDA,

kelembagaan, budaya dan

teknologi

Output:pemenuhan

HAM, pengembang

an SDM

Partisipasi Masyarakat:

-Produsen pertanian

-Industri pengolahan

-Pedagang

-Jasa pelayanan

Gambar 2 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan (Suryana 2003)

Ketahanan pangan rumahtangga Menurut Internasional Congres of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992,

ketahanan pangan rumahtangga adalah kemampuan rumahtangga untuk

memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup

sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas

dengan menambahkan persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat”, hal

ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995

(Adi 1998). Terdapat empat cara yang dapat dilakukan untuk mengukur

ketahanan pangan rumahtangga yaitu berdasarkan asupan individual (melalui

8

recall 24 jam), household caloric acquisition, keragaman asupan harian, dan

melalui food coping strategy (Hoddinott 1999).

Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumahtangga yaitu

kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap,

merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan

rumahtangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh

kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitory adalah penurunan akses terhadap

pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang

berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan

(Setiawan 2004 dalam Kartika 2005).

Selain konsumsi pangan, informasi mengenai status ekonomi, sosial dan

demografi seperti pendapatan, pendidikan, struktur anggota keluarga,

pengeluaran pangan dan sebagainya dapat digunakan sebagai indikator risiko

terhadap ketidaktahanan pangan rumahtangga (Khomsan 2002b).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007), ketahanan pangan

rumahtangga sangat dipengaruhi oleh modal sosial yang ada di masyarakat

yakni terkait dengan interaksi sosial yang dilakukan oleh anggota keluarga.

Dengan kata lain dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat intensitas anggota

rumahtangga dalam berinteraksi sosial maka ketahanann rumahtangga semakin

kuat. Hal ini karena modal sosial terkait dengan akses sosial pangan.

Pengukuran Ketahanan Pangan Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)

dalam Tanziha (2005) dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang

menunjukkan keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori

pada seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%). Berdasarkan

ukuran tersebut, akan dikatakan kelaparan apabila tingkat kecukupan energinya

kurang dari 70% dan disertai dengan penurunan berat badan, dikatakan rawan

pangan tingkat berat apabila tingkat kecukupan energinya kurang dari 70% dan

tidak disertai penurunan berat badan, bila tingkat kecukupan energinya 70-80%

maka dikatakan rawan pangan sedang, bils tingkat kecukupan energi 81 – 90%

maka dikatakan rawan pangan ringan, dan bila tingkat kecukupan energi lebih

dari 90% maka dikatakan tahan pangan.

Kemiskinan identik dengan ketidaktahanan pangan. Sajogyo secara

monumental merumuskan batas kemiskinan dengan pengeluaran setara beras

320 kg/kapita/tahun di pedesaan 480 kg diperkotaan. khomsan (1997) dalam

9

Khomsan (2002c) mengkaji indikator kemiskinan, ditemukan bahwa konsumsi

daging sapi <4 kali sebulan dan konsumsi telur <4 kali seminggu dapat

dimasukkan dalam kategori miskin. Dengan ikan asin sebagai indikator,

seseorang dikatakan miskin bila konsumsinya >= 110gr/kapita/minggu. Semakin

banyak mengkonsumsi ikan asin semakin besar peluangnya untuk masuk ke

dalam kategori sebagai orang miskin. Rupanya secara sosial ikan asin dianggap

oleh masyarakat sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin

sebenarnya superior karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%.

Pengukuran kelaparan Kelaparan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif. Smith (2003)

mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan pangan pada

tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan, yang dapat

diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut adalah: 1)

ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan energi, 3)

keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen pengeluaran untuk

makanan (% food expenditure). FAO (2002) memakai 4 jenis kondisi yang

hampir sama untuk menilai kelaparan baik pada tingkat rumahtangga maupun

individu yaitu; 1) Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), 2) Konsumsi

Energi, 3) Status Gizi Secara anthropometri dan 4) Persen pengeluaran untuk

makanan (% Food Expenditure).

Di Indonesia, melalui lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan pada

bulan November 2002 dan telah disempurnakan melalui penelitian uji coba

instrument kelaparan tersebut pada tahun 2004, maka disepakati ada 10

pertanyaan yang mencerminkan perubahan jumlah dan frekuensi makan serta

perubahan berat badan yang diteliti selama 2 bulan terakhir. Adapun

pertanyaannnya adalah:

1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?.....

kali

2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? .....

kali

3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet

3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang

7. Lainnya

10

4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi makan semakin berkurang

dibanding biasanya?

1. Ya

2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6

5. Bila “ya” mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet

3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang

7. Lainnya

6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin

berkurang/kurus (pakaian/celana semakin longgar)?

1. Ya 2. Tidak

7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet

3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa

5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang

7. Lainnya

8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati tergolon

1. Gemuk 2. Normal (biasa)

3. Kurus/ kurang gizi

9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama mempunyai ukuran

tubuh sedemikian? ....... bulan

10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden kemungkinan penyebab

utamanya.

1) Sakit kronis

2) Kurang makan/tidakmampu beli makanan

3) Lainnya (...................)

Berdasarkan pertanyaan diatas, seorang individu dikatakan lapar apabila

terjadi penurunan frekuensi atau penurunan porsi disertai penurunan berat

badan. Dikatakan rawan pangan apabila hanya terjadi penurunan frekuensi atau

porsi makan, serta dikatakan Tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan baik

frekuensi maupun porsi konsumsi, karena alasan ekonomi atau ketersediaan.

11

Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannnya dengan Ketahanan Pangan

Ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan

pengeluaran untuk konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan

jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak

masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup

untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya

mencukupi sebagian dari anggota rumahtangga itu (Martianto & Ariani 2004).

Dalam penelitian Prabawa (1998) diungkapkan bahwa setinggi apapun

tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam

rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka akan ditentukan oleh

pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan per kapita selain ditentukan oleh

total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang

bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam rumahtangga bekerja

produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya

jumlah anggota rumahtangga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan

per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Selain itu, Hartog, Staveren, dan

Brouwer (1995) juga menyatakan bahwa besar rumahtangga akan

mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin

yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Oleh

karena itu jumlah anggota rumahtangga atau ukuran rumahtangga akan memberi

dorongan bagi rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber

pendapatan lainnya.

Pendidikan Hasil penelitian Megawangi (1994) membuktikan bahwa tingkat

pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap

kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, rumahtangga yang

dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih

miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang

berpendidikan tinggi.

Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan

dan pengeluaran nonpangan. Kartika (2005) mendefinisikan pengeluaran pangan

adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan

12

pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk keperluan

selain pangan seperti pendidikan, listrik, air, komunikasi, transportasi, tabungan,

biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya.

Menurut Tanziha (1992) dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri

individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi

kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah

terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan.

Menurut Azwar (2004) dalam Kartika (2005), proporsi pengeluaran

pangan dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat

pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan. Semakin tinggi proporsi pengeluaran

pangan berarti tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga

semakin rendah.

Berdasarkan hasil penelitian Hildawati (2008) pada kelompok nelayan,

pengeluaran rumahtangga per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi

energi dan protein rumahtangga nelayan. Rumahtangga yang memiliki

pengeluaran per kapita per bulan lebih tinggi mempunyai peluang 6,1 kali lebih

tinggi tingkat konsumsi energinya dan 8,3 kali lebih tinggi tingkat konsumsi

proteinnya dibandingkan dengan rumahtangga yang tingkat pengeluaran per

kapita per bulannya lebih rendah. Pengambilan Keputusan Rumahtangga Pengambilan keputusan adalah suatu proses menetapkan suatu

keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan

informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah

ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan

pada masa yang akan datang (Guhardja, dkk 1992).

Hasil penelitian Blood dan Wolfe (1960) diacu dalam Puspa (2007)

menyatakan bahwa suami atau istri yang pendidikan formalnya lebih tinggi akan

mendominasi pengambilan keputusan. Namun menurut Sajogyo (1983),

pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling

berpengaruh pada kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam

pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang

dapat memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan

suami, dan bila perlu istri tersebut mampu untuk mengambil keputusan tertentu.

Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh dari luar rumah) istri akan

berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah

13

pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai

sumberdaya pribadi lain (selain pendidikan) maka kekuasaan dalam

rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya.

Goode (1996) diacu dalam Puspa (2007) menyatakan bahwa keadaan

atau kondisi di luar diri pribadilah yang mempengaruhi pengambilan keputusan

dalam rumahtangga. Dikatakan faktor-faktor yang mempengaruhi peranan wanita

dalam proses pengambilan keputusan di rumahtangga dan masyarakat adalah

perkawinan dan pewarisan. Pada umumnya peranan wanita yang normal adalah

sebagai “istri” dan lebih lanjut biasanya seorang istri lebih muda dan lebih rendah

pendidikannya daripada suami. Dengan demikian karena suami dianggap lebih

tua, secara tidak langsung mempengaruhi istri pada proses pengambilan

keputusan.

Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan

pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup,

jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan),

pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk

jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1)

keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan

dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari

istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada

tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4)

keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih

besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan

istri.

Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar

rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suami-

istri. Peranan istri dalam menentukan keputusan urusan rumahtangga lebih

besar dibandingkan dengan urusan untuk luar rumahtangga (Riyadi 1993).

Analisis pengambilan keputusan berarti pengambilan keputusan wanita dalam

hubungannya dengan pria bukan hanya sekedar berdasar biologis saja, tetapi

juga secara budaya, sosial, atau politik, sesuai sistem sosial wanita berada.

Pada aspek lain, wanita pada umumnya mendominasi pengambilan keputusan

dalam bidang pengeluran untuk kebutuhan rumahtangga, dan pria dalam

pengeluaran produksi, sedangkan untuk bidang pembentukan rumahtangga dan

sosial pengambilan keputusan umumnya secara bersama-sama (Wasito 1999).

14

Akses Pangan Konsep mengenai akses didefinisikan sebagai bentuk pertanyaan apakah

individu, rumah tangga, atau negara mampu memperoleh pangan yang cukup.

Kemampuan rumah tangga ditentukan oleh daya dukung sumberdaya yang

dimilikinya baik melalui produksi dan perdagangan pangan maupun komoditi

yang dapat dipertukarkan dengan pangan. Apabila kemampuan ini tidak dimiliki

maka akan mengalami kelaparan. Dalam sistem ekonomi pasar, hubungan

kemampuan seseorang ditentukan oleh apa yang mereka miliki, apa yang dapat

dijual, dan apa yang mereka warisi atau pemberian (Amartya sen 1981 dalam

Maxwell & Frankenberg 1992). Akses pangan tingkat rumah tangga adalah

kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara

terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga,

persediaan pangan rumah tangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjam-

meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan (World food Programme 2005

dalam Hildawati 2008). Akses pangan meliputi akses fisik dan akses ekonomi

serta akses sosial.

Keterjaminan akses sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup

merupakan inti dari definisi ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Maxwell

dan Frankenberger (1992) terdapat empat elemen ketahanan pangan

berkelanjutan (sustainable food security) di tingkat rumah tangga, yaitu 1)

kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan

untuk kehidupan yang aktif dan sehat; 2) akses pangan, yang didefinisikan

sebagai hak untuk berproduksi, membeli atau menukarkan pangan ataupun

menerima pemberian; 3) ketahanan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan

antara kerentanan, resiko, dan jaminan pengaman sosial; dan 4) fungsi waktu,

kerawanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan atau siklus.

Kerawanan pangan kronis terjadi dan berlangsung terus menerus yang

biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli atau kemampuan memproduksi

sendiri sehingga sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Kerawanan

pangan transisi terjadi secara mendadak karena ketidakmantapan harga pangan

dan produksi pangan atau pendapatan rumahtangga sehingga pada suatu saat

tertentu sekelompok orang, rumahtangga atau masyarakat tidak mempunyai

cukup pangan untuk dikonsumsi. Keterjaminan akses pangan harus dicapai

sampai pada tingkat rumahtangga (household food security) sehingga kebutuhan

15

pangan untuk setiap anggota rumahtangga dapat terpenuhi setiap saat (Syarief

1992).

Akses Fisik Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi

dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan di

tunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan

(Penny 1990). Pangan harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu

pasar/warung apabila rumah tangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan

yang dibutuhkan. Rimbawan dan Baliwati (2004) dalam Hidawati (2008),

menyatakan bahwa salah satu kelompok masyarakat yang rawan terhadap

pangan dan gizi adalah masyarakat yang tinggal di lokasi atau tempat yang

terpencil. Akses pangan juga bergantung pada daya beli rumah tangga, yang

artinya akses pangan terjamin seiring dengan terjaminnya pendapatan dalam

jangka panjang. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keterjangkauan

pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Mereka yang tidak

menikmati kesinambungan dan kecukupan pendapatan akan tetap miskin.

Semakin banyak jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap

pangan, dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan suatu wilayah (WFP

2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2006), jarak tempat

tinggal (akses fisik) yang jauh dari sumber pangan merupakan salah satu faktor

yang akan menghambat kemudahan individu atau masyarakat untuk

memperoleh pangan yang tentunya akan menghambat konsumsi pangannya.

Menurutnya terdapat hubungan negatif signifikan antara jarak tempat tinggal dari

warung makan dengan tingkat konsumsi energi dan protein, artinya bahwa

konsumsi energi dan protein semakin menurun dengan meningkatnya jarak

tempat tinggal ke warung makan.

Akses Ekonomi Kegiatan ekonomi rumahtangga dalam pemenuhan pangan adalah

mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan dan yang lainnya;

mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan

dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut.

Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi

produksi rumah tangga dan alat untuk memperoleh pendapatan (WFP 2005

dalam Hildawati 2008). Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan apabila

tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan

16

akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk

memonitor akses ekonomi rumah tangga akan pangan, yaitu pendapatan/

pengeluaran dan harga (Sharma 1992 dalam Hildawati 2008)

Akses Sosial Selain akses ekonomi dan akses fisik terhadap pangan terdapat akses

sosial. Akses sosial merupakan suatu akses atau cara untuk mendapatkan

pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui

berbagai dukungan sosial, seperti bantuan atau dukungan sosial dari

keluarga/kerabat, tetangga, serta teman. Bantuan atau dukungan dari

saudara/kerabat, tetangga, serta teman dapat berupa bantuan pinjaman

uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain

sebagainya. Selain dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses

sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya (Hildawati 2008).

Dukungan Sosial. Menurut Sarafino (1996), manusia sebagai individu

dalam kehidupannya dihadapkan dengan berbagai hal yang menyangkut

kepentingan, terutama dalam pemenuhan kebutuhan. Untuk memenuhi

kebutuhan hidup setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang

lain atau sumber-sumber dukungan sosial. Dukungan sosial tidak selamanya

tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain yakni

rumahtangga (suami atau istri), saudara atau masyarakat (tetangga) dimana

orang tersebut tinggal. Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau

bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan

atau kelompok. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dukungan

sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara anggota dan saling

membantu, sehingga tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin

seseorang (Sarafino 1996).

Sarafino mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan emosi,

dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informasi.

Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap

individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan.

Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta

bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan ini biasanya

diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti

keluarga, tetangga, atau mungkin teman. Dukungan instrumental melibatkan

17

bantuan langsung, misalnya berupa bantuan finansial atau bantuan dalam

mengerjakan tugas-tugas tertentu. Dukungan penghargaan melibatkan

pengakuan dari orang lain atas kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini

dapat berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap

ide-ide, perasaan atau penampilan orang lain, atau mau menerima atas segala

kekurangan pada diri orang lain. Dukungan informasi memungkinkan individu

sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain.

Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah

maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini, maka

individu dapat menyelesaikan masalahnya atau menambah pengetahuan baru.

Pengetahuan Gizi. Menurut Suhardjo (1989) pengetahuan gizi yang baik

dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah.

Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal.

Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, koran, radio, atau

melalui penyuluhan kesehatan/gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan

tentang gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung

memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi sesuai dengan

jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga

kebutuhan zat gizinya terpenuhi.

Khomsan (2002a) menyatakan bahwa walaupun rumahtangga memiliki

daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan

gizinya masih rendah maka akan sangat sulit bagi rumahtangga yang

bersangkutan untuk dapat memenuhi kecukupan pangannya baik secara

kuantitas maupun kualitas.

Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi)

oleh seseorang atau kelompok , baik berupa jenis maupun jumlahnya pada

waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun

jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan berkaitan erat dengan gizi dan

kesehatan, kesejahteraan, pengupahan, serta perencanaan ketersediaan dan

produksi pangan (Hardinsyah & Suhardjo 1990).

Tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan yaitu tujuan fisiologis,

psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar

atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis

merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi

18

kepuasan emosional ataupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah

berhubungan dengan upaya pemeliharaan hubungan antar manusia dalam

kelompok kecil maupun kelompok besar (Riyadi 1996).

Tercukupinya konsumsi pangan merupakan syarat mutlak terwujudnya

ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan

dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah kepada penurunan kuantitas

dan kualitas, termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Angka riil

kuantitas konsumsi pangan harus dibandingkan dengan angka kecukupan gizi

yang dianjurkan untuk mengetahui cukup tidaknya asupan gizi (Khomsan

2002b).

Makanan telah dijadikan indikator oleh ekonom untuk melihat tingkat

kesejahteraan masyarakat. Teori Engel misalnya, menyebutkan bahwa semakin

tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran untuk makanan sangat kecil.

Hukum Bennet menerangkan bahwa konsumsi pangan yang terdiversifikasi akan

dicapai bersama dengan meningkatnya pendapatan. Hukum Bennet

menerangkan bahwa konsumsi umbi-umbian akan semakin menurun bersamaan

dengan meningkatnya pendapatan. Umbi-umbian adalah sumber kalori yang

harganya lebih murah sehingga terjangkau oleh orang miskin dibandingkan

serealia (Khomsan 2002b).

Penilaian Konsumsi Pangan Hoddinott (1999) menjelaskan konsumsi pangan individu sebagai

sejumlah kalori atau zat gizi yang dikonsumsi oleh individu pada periode tertentu

atau umumnya dalam 24 jam. Terdapat dua cara yang umum digunakan untuk

mengukur konsumsi individu yaitu dengan metode observasi dan recall. Metode

observasi merupakan metode penilainan konsumsi pangan individu yang

dilakukan oleh enumerator selama satu hari penuh, yaitu menilai jumlah

makanan yang disajikan bagi setiap orang dan jumlah makanan yang disediakan

tetapi tidak dikonsumsi (sisa makanan). Selain itu dalam metode observasi

enumerator juga mencatat jenis dan jumlah makanan yang dimakan sebagai

selingan (snack) diantara waktu makan ataupun makanan yang diperoleh dari

luar rumah. Metode recall merupakan metode yang lebih mudah, karena

enumerator hanya perlu mewawancarai anggota rumah tangga dan mengingat

kembali makanan yang mereka konsumsi selama 24 jam, termasuk jenis

makanan, jumlah dan makanan selingan (snack) atau makanan lain yang

diperoleh dari luar rumah.

19

Penilaian konsumsi pangan juga dapat diukur dengan menggunakan FFQ

(Food Frequency Question). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan

frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa h=jenis makanan dan

minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau

bulan atau tahun. Kuesiner terdiri dari susunan jenis makanan dan minuman

(Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2007 dalam

Hildawati 2008).

Penggunaan FFQ sebagai instrumen penilaian konsumsi memiliki

kelebihan yaitu relatof murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara

diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatan penggunaan FFQ adalah

adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden,

tergantung pada kemampuan responden untuk mendeskripsikan dietnya.

Terdapat tiga jenis FFQ yaitu :

1. Semi or non quantitatine FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi

yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi

2. Semi quantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya

sepotong roti, secangkir kopi.

3. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi

responden, seperti kecil,sedang, atau besar.

Pada prinsipnya penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan pada

konsumsi pangan dan data kandungan zat gizi bahan makanan atau Daftar

Konsumsi Bahan Makanan (DKBM). DKBM menunjukkan kandungan berbagai

kandungan berbagai zat gizi dari berbagai jenis pangan atau makanan dalam

seratus gram bagian yang dapat dimakan (BDD) (Hardinsyah & Martianto 1992).

Dengan menggunakan DKBM, jumlah dan komposisi zat gizi yang diperoleh

seseorang atau kelompok orang dapat dihitung dengan atau dinilai. Secara

umum, penilaian zat gizi tertentu yang dikonsumsi dapat dapat dihitung dengan

rumus :

Gij = BPj x Bddj x KGij

100 100

Keterangan :

KGij = kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan (j) atau makanan yang

dikonsumsi dengan satuannya.

BPj = berat pangan atau makanan (j) yang dikonsumsi

20

Bddj = bagian yang dapat dimakan (dalam persen atau gram dari 100 gram

pangan atau makanan (j) )

Gij = zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan (j)

Analisis Jalur Analisis jalur merupakan pengembangan dari analisis korelasi yang

dibangun dari diagram jalur yang dihipotesiskan oleh peneliti dalam menjelaskan

mekanisme hubungan kausal antar variabel dengan cara menguraikan koefisien

korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Yamin & Kurniawan

2009).

Selain itu Yamin dan Kurniawan 2009 juga menyatakan bahwa analisis

jalur dapat dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang

dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien

beta atau koefisien regresi baku. Diagram jalur umumnya dilukiskan dalam suatu

gambar panah lingkaran dan panah tunggal (circle-and-row) dimana panah

tunggal menandai sebagai penyebab dan dua arah panah yang melingkar

menandakan hubungan korelasional antara dua variabel.

Variabel Eksogen adalah variabel penyebab, yang memberikan efek

kepada variabel lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara

eksplisit diketahui sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju

ke arahnya. Jika ada lebih dari satu variabel eksogen dalam sistem, maka

ditandai oleh circle-path (tanda panah yang melingkar) yang menunjukkan

hubungan korelasional variabel eksogen (Yamin & Kurniawan 2009).

Variabel endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen

atau merupakan efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur secara ekdplisit

variabel endogen ditandai oleh kepala panah yang menujunya. Baik tanda panah

dari variabel eksogen maupun variabel eror (Yamin & Kurniawan 2009).

Variabel eror didefinisikan sebagai kumpulan variabel-variabel eksogen

lainnya yang tidak dimasukkan dalam sistem penelitian yang dimungkinkan

masih mempengaruhi variabel endogen (Yamin & Kurniawan 2009).

Koefisien jalur adalah suatu koefisian regresi terstandardisasi (beta)

yang menunjukkan efek langsung dari suatu variabel eksogen terhadap variabel

endogen dalam suatu model jalur (Yamin & Kurniawan 2009).

21

KERANGKA PEMIKIRAN

Ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya adalah karakteristik rumahtangga (meliputi ukuran rumahtangga,

pendidikan kepala dan ibu rumahtangga, dan akses pangan termasuk dukungan

sosial dan pengetahuan gizi), food coping strategy, jaringan sosial masyarakat,

dan konsumsi rumahtangga. Pada penelitian ini hanya akan memeriksa

pengaruh beberapa variabel yaitu ukuran rumahtangga, pendidikan kepala

rumahtangga dan ibu rumahtangga, pengeluaran rumahtangga, akses pangan

dan tingkat konsumsi rumahtangga. Variabel-veriabel ini akan dianalisis

seberapa besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan keluarga.

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga mempengaruhi ketahanan

pangan secara tidak langsung, hal ini dapat dilihat jika kepala rumahtangga

memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi maka kemungkinan kepala

rumahtangga tersebut memperoleh pekerjaan yang layak cukup besar. Hal ini

akan berdampak pada perolehan pendapatan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya.

Besar rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga,

karena semakin besar rumahtangga tersebut maka resiko terjadinya kerawanan

pangan dalam suatu rumahtangga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan

semakin banyak kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumahtangga tersebut,

baik kebutuhan pangan maupun kebutuhan non-pangan.

Akses terhadap pangan penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan

pangan rumahtangga. Akses pangan terdiri dari akses fisik, akses ekonomi dan

akses sosial. Akses sosial termasuk didalamnya pengetahuan gizi ibu dan

dukungan sosial. Pengetahuan gizi terkait dengan keputusan ibu dalam memilih

jenis dan jumlah pangan yang akan dikonsumsi untuk anggota rumahtangga,

semakin baik pengetahuan gizi ibu maka ketahanan pangan rumahtangga dapat

dicapai. Dukungan sosial yang baik akan dapat memperkecil peluang suatu

rumahtangga mengalami kerawanan pangan, karena adanya bantuan dari

tetangga dalam upaya pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun

kebutuhan emosional.

Diantara variabel-variabel diatas, variabel sosial ekonomi rumahtangga

akan mempengaruhi akses terhadap pangan. Bila akses terhadap pangan dapat

tercapai dengan baik maka suatu rumahtangga dapat memenuhi kebutuhan

pangan, sehingga tingkat konsumsi rumahtangga dapat terpenuhi. Tingkat

22

konsumsi merupakan salahsatu indikator pengukuran tingkat ketahanan pangan.

Dengan demikian, bila tingkat konsumsi rumahtangga sudah terpenuhi maka

dapat diketahui tingkat ketahahan pangan suatu rumahtangga adalah tahan

pangan, begitupun sebaliknya. Bila tingkat konsumsi rumahtangga tidak

terpenuhi maka rumahtangga tersebut berpeluang mengalami kerawanan

pangan bahkan ketidaktahanan pangan.

23

Karakteristik Sosial Ekonomi :

1. Besar Rumahtangga

2. Pendidikan Kepala dan Ibu Rumahtangga

3. Kepemilikan Lahan

Akses pangan :

1. akses ekonomi →

pengeluaran (pangan &

nonpangan)

2. akses sosial →

pengetahuan gizi &

dukungan sosial

3. Akses fisik →

ketersediaan warung

Ketersediaan pangan Rumahtangga

Konsumsi rumahtangga

Ketahanan Pangan Rumahtangga

Status Gizi

Keterangan gambar

: variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak diteliti Gambar 3 Kerangka pemikiran analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan

pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak Banten

24

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan mengunakan desain cross Sectional study.

Objek penelitian adalah Rumahtangga di wilayah Desa Pasindangan dan Desa

Banjarsari Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian

dilakukan secara purposive yaitu wilayah tipologi desa tipe 3 dan tipe 2 yaitu

berturut-turut wilayah yang mempunyai tingkat kesejahteraan rendah yang

memiliki potensi utama pertanian dan tingkat kesejahteraan tinggi yang memiliki

potensi utama pertanian di wilayah Kabupaten Lebak Banten. Pengumpulan data

dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2009.

Cara Penarikan Contoh Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Model Penguatan Modal

Komunitas Pertanian Dalam Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan

Kelaparan” yang dilaksanakan di Kabupaten Lebak, Banten. Penarikan contoh

dilakukan secara purposive, yaitu Contoh berjumlah 110 rumahtangga. Setelah

dilakukan cleaning contoh yang terambil sebanyak 101 rumahtangga dengan

kriteria (1) pekerjaan utama kepala rumahtangga sebagai petani, (2) contoh

mewakili populasi berdasarkan proporsi kepemilikan lahan, yaitu petani tidak

memiliki lahan, memiliki lahan kurang dari 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000

m2, dan memiliki lebih dari 10 000 m2.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

Data primer merupakan data sosial ekonomi rumahtangga meliputi umur KRT

dan ibu, pendidikan KRT dan ibu, pekerjaan, ukuran rumahtangga, kepemilikan

lahan, dan akses pangan. Data primer diperoleh dari hasil penggalian informasi

dari contoh yang dilakukan melalui pengisian kuesioner yang relevan dengan

variabel yang diteliti. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran

umum lokasi penelitian dan data demografi. Jenis dan cara pengumpulan data

dapat dilihat pada Tabel 1.

25

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No. Variabel Cara Pengumpulan Wawancara dengan menggunakan kuesioner 1 Data karakteristik keluarga

Wawancara dengan mengunakan kuesioner 2 Data sosial ekonomi keluarga

Wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung 3 Data akses pangan

Wawancara dengan menggunakan kuesioner 4 Data konsumsi keluarga

5 Data monografi desa Data sekunder dari instansi terkait

Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program

komputer Microsoft Excel dan SPSS 13,0 for Windows untuk penarikkan

kesimpulan. Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis.

Untuk mengukur hubungan antara variabel-variabel dianalisis menggunakan

analisis korelasi Pearson dan Rank Spearman, sedangkan untuk mengukur

pengaruh antara variabel-variabel penelitian dianalis dengan menggunakan

analisis jalur dengan uji regresi.

Variabel-variabel penelitian dianalisis deskriptif untuk mengetahui

gambaran umum contoh. Beberapa variabel di kategorikan terlebih dahulu

sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, pengkategorian dapat dilihat pada Tabel

2. Pengkategorian untuk beberapa variabel penelitian dilakukan berdasarkan

rumus interval Slamet (1993) yang diacu dalam Puspa (2007), berikut

perhitungan rumus interval :

Interval Kelas = Nilai Maksimum (NT) – Nilai Minimum (NR) = interval 1

Jumlah Kategori

Pendidikan yang diukur adalah lama pendidikan formal yang dilakukan

oleh contoh, tidak dihitung tinggal kelas yang kemudian dikategorikan. Untuk

kepemilikan lahan adalah luas lahan yang merupakan hak milik contoh secara

pribadi tidak termasuk lahan garapan dari pihak lain. Pengeluaran adalah total

pengeluaran rumahtangga pertahun yang terdiri dari pengeluaran pangan dan

pengeluaran non pangan. Total pengeluaran pertahun kemudian dibagi 12 bulan

dan dibagi jumlah anggota rumahtangga untuk memperoleh total pengeluaran

rumahtangga perkapita per bulan. Setelah itu baru kemudian di bandingkan

dengan Garis Kemiskinan (GK) provinsi Banten yaitu sebesar Rp 156 494,

sehingga diperoleh klasifikasi rumahtangga miskin dan rumahtangga tidak

miskin.

26

Penilaian konsumsi berdasarkan perhitungan konsumsi zat gizi,

dijumlahkan total konsumsi setiap anggota rumahtangga dalam satu tahun untuk

mendapatkan total konsumsi rumahtangga. Total konsumsi rumahtangga

pertahun kemudian dibagi jumlah anggota rumahtangga dan dibagi jumlah hari

dalam satu tahun yaitu 365 hari, sehingga diperoleh konsumsi rumahtangga per

hari. Untuk memperoleh tingkat konsumsi zat gizi rumahtangga, maka konsumsi

rumahtangga per hari dibandingkan dengan Angka Kecukupan Zat Gizi (AKG)

rumahtangga. AKG rumahtangga diperoleh dari rata-rata AKG dari setiap

anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga berdasarkan kelompok umur

dan jenis kelamin.

Tingkat ketahanan pangan kualitatif diukur berdasarkan pengukuran

instrumen kelaparan yang ditanyakan dalam kusesioner. Untuk pengukuran

ketahanan pangan kuantitatif, diukur berdasarkan tingkat kecukupan energi

rumahtangga. Selanjutnya dikategorikan berdasarkan kategori FAO (2003)

dalam Tanziha (2005) yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Variabel-variabel tersebut kemudian diuji pengaruh langsung dan

pengaruh tidak langsung dengan metode analisis jalur. Analisis jalur adalah

Sebuah metode untuk mempelajari pengaruh langsung dan tidak langsung dari

variable-variabel. Dikembangkan pertama kali oleh Wright (1921). Analisis jalur

dapat digunakan untuk menganalisis hubungan sebab akibat antara satu variabel

dengan variabel lainnya. Prosedur ini dapat menduga koefisien-koefisien

sejumlah persamaan struktural linear yang mewakili hubungan sebab akibat

yang menjadi hipotesis (Kenny 1979 diacu dalam Hudjimartsu 2005). Adapun

model analisis jalur yang akan diuji pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar

4.

27

Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian

No. Variabel Kategori Sumber 1 Umur KRT, ibu, dan

ART Lansia : ≥ 60 th Dewasa madya : 40 – 59 th Dewasa awal : 20 – 39 th Remaja : 12 -19 th AUS : 6 – 11 th Balita : 25 – 60 bln Bayi : 0 -24 bln

Hurlock (1980)

2 Pendidikan KRT, ibu, dan ART

TS : 0 th SD : 6 th SMP : 9 th SMA : 12 th PT : 16 th

-

3 Ukuran rumahtangga

Rumahtangga kecil : ≤ 4 orang Rumahtangga sedang : 5 – 6 orang Rumahtangga besar : ≥ 7 orang

BKKBN (1998)

4 Kepemilikan lahan 0 m2

< 5 000 m2

5 000 – 10 000 m2

> 10 000 m2

-

5 Pengeluaran Miskin : ≤ GK Tidak miskin : > GK BPS (2007)

6 Pengetahuan gizi Rendah : ≤ 5 Sedang : 6 – 7 Tinggi : ≥ 8

Rumus interval Slamet (1998)

7 Dukungan Sosial Buruk : < 15 Sedang : 15 – 20 Baik : > 20

Rumus interval Slamet (1998)

8 Tingkat konsumsi: Energi dan Protein Vitamin dan mineral

Defisit berat : < 70% Defisit sedang : 70 -79% Defisit berat : 80 – 89% Normal : 90 – 119% Lebih : ≥ 120% Defisit : ≤ 50% Cukup : > 50%

Depkes (1996)

Depkes (2003)

9 Ketahanan pangan Rawan pangan berat : TKE < 70% Rawan pangan sedang : TKE 70 -80 % Rawan pangan ringan : TKE 81 – 90% Tahan pangan : TKE > 90%

FAO (2003)

28

PY4X3

PY4X1

PY3X3

PY4Y1

PY3X1

PY4Y3

PY4Y2

PY1X1

PY3Y1

PY3Y2

PY3X2

PY1X2

PY2X2

Y3

Y1

X1

X2 Y4

X3

Y2

Gambar 4 Model Analisis Jalur Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga

Keterangan

X1 : Tingkat pendidikan KRT X2 : Tingkat pendidikan IRT X3 : Ukuran rumahtangga Y1 : Dukungan sosial Y2 : Pengetahuan gizi Y3 : Pengeluaran rumahtangga Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif

Yamin dan Kurniawan (2009) menyatakan bahwa analisis jalur dapat

dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang

dibakukan. Regresi bertujuan untuk menguji hubungan pengaruh antara satu

variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi disebut variabel

tergantung atau dependen, sedang variabel yang mempengaruhi disebut variabel

bebas atau variabel independen. Regresi yang mempunyai satu variabel

dependen dan lebih dari satu variabel independen disebut regresi berganda.

Model persamaan regresi berganda dapat digambarkan sebagai berikut

(Nugroho 2005) :

Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + e

29

DEFINISI OPERASIONAL Ketahanan Pangan adalah kondisi dimana setiap rumah tangga mampu

memenuhi kebutuhan terhadap pangan yang baik dan cukup dari

segi jumlah maupun mutu.

Petani adalah seseorang yang menggarap lahan baik sawah, ladang, kebun,

maupun ternak, atau berusaha dalam jasa pertanian yang hasilnya

digunakan sendiri atau dijual untuk memperoleh pendapatan.

Rumahtangga adalah kelompok individu atau beberapa rumahtangga yang

tinggal bersama dalam satu atap serta menggunakan sumberdaya

yang sama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Ukuran rumahtangga adalah jumlah anggota rumahtangga yang tinggal di

dalam satu rumahtangga.

Pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh sekolah formal yang dihitung

dengan satuan waktu.

Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah yang dibelanjakan untuk kebutuhan

pangan dan non pangan rumahtangga. Akses fisik adalah kemampuan/ kemudahan rumahtangga dalam memperoleh

pangan yang ada di suatu wilayah yang diukur berdasarkan

ketersediaan pangan di warung dan jarak tempat tinggal dengan

pasar atau warung penjual kebutuhan pangan.

Akses ekonomi adalah kemampuan atau kemudahan penduduk dalam

memperoleh pangan, dilihat berdasarkan pengeluaran perkapita.

Konsumsi pangan rumahtangga adalah jumlah pangan yang dikonsumsi oleh

anggota rumahtangga dalam satu hari dibagi dengan jumlah

anggota rumahtangga.

Dukungan sosial adalah bentuk interaksi yang menghasilkan kenyamanan,

bantuan dan perhatian yang diterima individu dari orang lain untuk

memenuhi kebutuhannya.

Pengetahuan gizi adalah pemahaman contoh yang berhubungan dengan gizi

meliputi manfaat zat gizi, jenis pangan sumber zat gizi, gangguan

gizi, serta menu seimbang yang diukur dari skor jawaban terhadap

pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner.

30

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Propinsi Banten terdiri dari tujuh Kabupaten/Kota yang diantaranya

Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Cilegon, dan Kota

Serang. Dari ketujuh wilayah Kabupaten/Kota tersebut, Lebak merupakan

Kabupaten dengan wilayah terluas yaitu 3 044.72 Km2. Kabupaten Lebak

beribukota di Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terdiri dari 28 Kecamatan dan

320 Desa/Kelurahan. Berdasarkan data Susenas (2007) kepadatan penduduk di

Lebak berkisar antara 395 – 397.46 jiwa per Km2.

Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di Provinsi Banten

menurut Susenas (2007) paling banyak terpusat di wilayah Pandeglang dan

Lebak. Bila dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Banten, jumlah

industri yang ada di Kabupaten Lebak paling rendah yaitu hanya 13 unit, paling

tinggi adalah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yaitu mencapai 185 –

950 unit.

Kecamatan Cileles dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan

wilayah basis perkebunan. Luas wilayahnya 17 211.90 Ha, jarak ke ibukota

Kabupaten mencapai 46.08 Km. Kecamatan Cileles terdiri dari 12

Desa/Kelurahan, diantaranya Mekarjaya, Pasindangan, Kujangsari,

Parungkujang, Cikareo, Cileles, Margamulya, Cipadang, Daroyon,

Prabugantungan, Gumuruh, dan Banjarsari. Desa Pasindangan dipilih sebagai

lokasi penelitian karena mewakili potensi desa tipe 3, dimana desa tipe 3

memiliki potensi aktivitas non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan

rendah.

Kecamatan Warunggunung merupakan salah satu Kecamatan yang

menjadi basis pertanian di Kabupaten Lebak. Luas wilayahnya 5 422.00 Ha,

jarak ke Ibokota Kabupaten sebesar 11.67 Km. Kecamatan Warunggunung

terdiri dari 12 Desa/Kelurahan, diantaranya Pasir Tangkil, Sukarendah, Selaraja,

Warunggunung, Cibuah, Baros, Sindangsari, Banjarsari, Cempaka, Padasuka,

Sukaraja, dan Jagabaya. Desa Banjarsari dipilih sebagai lokasi penelitian karena

mewakili potensi desa tipe 2, dimana desa tipe 2 memiliki potensi aktivitas

ekonomi non pertanian rendah dan kualitas kesejahteraan tinggi.

Desa Pasindangan Desa Pasindangan merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan

Cileles Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan luas wilayah 3 297.2 Ha. Jarak

31

Desa Pasindangan dari ibu kota kecamatan adalah tujuh kilometer. Desa

Pasindangan terbagi dalam tujuh kampung yang terdiri dari tujuh Rukun Warga

(RW) dan 17 Rukun Tetangga (RT). Batas wilayah Desa Pasindangan

diantaranya sebelah utara berbatasan dengan Desa Bendungan, Desa Kumpai,

dan Desa Cipadang. Kemudian di sebelah timur desa berbatasan dengan Desa

Kujangsari, dan Desa Cikareo, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa

Cinginggang, dan sebelah barat dengan Desa Mekarjaya. Desa Pasindangan

termasuk desa yang luas dibandingkan dengan desa-desa di wilayah Kecamatan

Cileles lainnya, bahkan menjadi yang terluas diantara desa-desa disekitarnya

yang berada dalam satu kecamatan, Desa Cipadang memiliki luas 1 388 Ha,

Desa Kujangsari 1 891 Ha, dan Desa Cikareo 2 065 Ha. Luas lahan yang cukup

luas di Desa Pasindangan masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat

sendiri, sebagian besar lahan dimanfaatkan sebagai wilayah perkebunan oleh

pihak swasta dan pemerintah, sebagian lainnya untuk perkebunan rakyat,

pertanian, pemukiman dan lain-lain. Pemanfaatan lahan di Desa Pasindangan

ditunjukkan oleh tabel berikut :

Tabel 3 Pemanfaatan lahan Desa Pasindangan

No Pemanfaatan Lahan Luas (ha) % Luas terhadap Luas Wilayah

1 Pemukiman dan pekarangan 28.8 0.872 Sawah irigasi setengah teknis 20.0 0.613 Sawah tadah hujan 194.0 5.884 Ladang/huma 350.0 10.625 Perkebunan rakyat 388.5 11.786 Perkebunan swasta 1 414.0 42.887 Lapangan olah raga 2.0 0.068 Kas desa 2.5 0.089 Kantor pemerintahan 0.2 0.0110 Tanah fasilitas umum lainnya 18.0 0.5511 Hutan lindung 190.0 5.7612 Hutan produksi 595.0 18.0513 Hutan konversi 94.2 2.86

Total 3 297.2 100.00

Pemanfaatan lahan Pasindangan sebagian besar digunakan untuk

perkebunan, yaitu sebesar 42.88 persen (1 414 Ha) untuk perkebunan swasta

dan 11.78 persen (388.5 Ha) sebagai perkebunan rakyat. Jika dilihat dari

pemanfaatan lahannya, Desa Pasindangan merupakan kawasan perkebunan.

Jumlah penduduk Desa Pasindangan pada tahun 2006 tercatat sebanyak

3 589 jiwa yang terdiri dari 835 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk menurut

32

jenis kelamin yaitu, 1817 jiwa penduduk laki-laki dan 1772 jiwa penduduk

perempuan.

Berkaitan dengan kualitas sumberdaya manusia, pendidikan merupakan

salah satu faktor penting dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas

sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan adalah

sebagai berikut.

Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Desa Pasindangan

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) % 1 Tidak tamat SD/sederajat 245 17.7 2 Tamat SD/sederajat 655 47.4 3 Tamat SLTP/sederajat 305 22.0 4 Tamat SLTA/sederajat 147 10.6 5 Tamat D1 12 0.9 6 Tamat D2 9 0.6 7 Tamat D3 5 0.4 8 Tamat Perguruan Tinggi (S1) 5 0.4 Total 1 383 100.0

Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Pasindangan masih

tergolong rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya

menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sebesar 47.4

persen. Sedangkan penduduk yang mampu menyelesaikan pendidikan sampai

perguruan tinggi hanya sebagian kecil, yaitu hanya sebesar 0.4 persen saja.

Kondisi ini akan memberikan dampak pada kemampuan ekonomi penduduk dan

besarnya peluang memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Tabel 5 menunjukkan

jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan.

Tabel 5 Jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) % 1 Petani 416 47.9 2 Buruh tani 56 6.4 3 Buruh/swasta 77 8.9 4 PNS 27 3.1 5 Pengrajin 25 2.9 6 Pedagang 255 29.4 7 Bengkel/montir 12 1.4 Total 868 100.0

Sebagian besar jenis pekerjaan penduduk Desa Pasindangan sebagai

Petani, yang terdiri dari petani (47.9%) dan buruh tani (6.4%). Pekerjaan yang

terbanyak ditekuni oleh penduduk Desa Pasindangan setelah petani adalah

pedagang, yaitu 29.4 persen.

33

Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menunjang dalam

terciptanya kesejahteraan dalam masyarakat. Prasarana pendidikan yang ada

pada Desa Pasindangan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6 Prasarana pendidikan Desa Pasindangan

No Lembaga Pendidikan Jumlah 1 TK 1 2 SD 5 3 SMP 1 4 SMA 1 5 Lembaga Pendidikan Agama 3 Total 11

Jumlah tenaga pengajar untuk TK di desa ini hanya dua orang, di SD terdapat 27

orang, SMP memiliki sembilan tenaga pengajar, dan di SMA terdapat tiga orang

pengajar serta enam orang pengajar pada lembaga pendidikan agama yang ada

di Desa Pasindangan, sedangkan untuk prasarana kesehatan di Desa

Pasindangan adalah sebagai berikut :

Tabel 7 Prasarana kesehatan Desa Pasindangan

No Lembaga Pendidikan Jumlah 1 Puskesmas Pembantu 1 2 Poliklinik/balai pengobatan 1 3 Posyandu 3 4 Tempat penyimpanan obat 1 Total 6

Prasarana kesehatan yang ada di Desa Pasindangan ini ditunjang oleh satu

tenaga paramedis dan lima orang dukun terlatih.

Desa Banjarsari Desa Banjarsari merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah

Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang berbatasan

dengan Desa Sukaraja di sebelah utara, Desa Cibuah di sebelah selatan, Desa

Sindangsari di sebelah barat, dan Desa Padasuka di sebelah timur. Desa

Banjarsari terletak di tengah wilayah Kecamatan Warunggunung dan mempunyai

luas wilayah 519.69 Ha. Bila dibandingkan dengan desa lain di wilayah

Kecamatan Warunggunung, Desa Banjarsari memiliki luas wilayah yang cukup

luas, akan tetapi dengan desa sebelahnya seperti Cibuah, Sindangsari, Sukaraja

,dan Padasuka, Desa Banjarsari berada di urutan ketiga setelah Sukaraja (864

Ha) dan Padasuka (607 Ha). Dengan luas wilayah tersebut antara lain

dimanfaatkan untuk pertanian, pemukiman, kas desa, sarana dan prasarana, dan

34

lain sebagainya. Adapun pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari secara rinci

ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 8 Pemanfaatan lahan Desa Banjarsari

No Pemanfaatan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 71.0 13.7 2 Sawah : Sawah irigasi setengah teknis 164.0 31.6 Sawah tadah hujan 97.0 18.7

3 Tanah rawa 0.5 0.1 4 Perkebunan rakyat 185.0 35.6 5 Perkebunan swasta 0 0 6 Lapangan olah raga 0 0 7 Kas desa 2.19 0.4 Total 519.69 100.0

Pemanfaatan lahan di Desa Banjarsari sebagian besar digunakan untuk

pertanian. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan, Desa Banjarsari merupakan

kawasan pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh pemanfaatan lahan untuk pertanian

maupun perkebunan yang cukup besar dibandingkan dengan pemanfaatan lahan

lainnya, yaitu 164 Ha untuk sawah irigasi setengah teknis, 97 Ha untuk sawah

tadah hujan, dan 185 Ha untuk perkebunan rakyat.

Wilayah Desa Banjarsari terbagi menjadi 6 RW dan 26 RT. Tahun 2008,

jumlah penduduk sebanyak 4 702 jiwa yang terdiri dari 1 095 kepala keluarga

(KK). Jumlah penduduk menurut jenis kelamin yaitu 2 407 jiwa penduduk laki-laki

dan 2 295 jiwa penduduk perempuan.

Kualitas Sumberdaya manusia di Desa Banjarsari dapat diketahui dengan

melihat tingkat pendidikan penduduk di desa ini. Tingkat pendidikan penduduk

Desa Banjarsari ditunjukkan pada Tabel 9.

Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Desa Banjarsari tergolong

rendah yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk yang hanya menyelesaikan

pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) sedangkan penduduk yang

mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat yang lebih tinggi hanya

sebagian kecil bahkan yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga

perguruan tinggi sangat sedikit. Keadaan ini memberikan dampak pada

kemampuan ekonomi penduduk dan besarnya peluang penduduk memperoleh

pekerjaan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan oleh jenis pekerjaan penduduk di

Desa Banjarsari. Tabel berikut ini menunjukkan jenis pekerjaan penduduk Desa

Banjarsari.

35

Tabel 9 Tingkat pendidikan penduduk Desa Banjarsari

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD/sederajat 0 0 2 Tamat SD/sederajat 1 704 71.1 3 Tamat SLTP/sederajat 401 16.7 4 Tamat SLTA/sederajat 261 10.9 5 Tamat D1 3 0.1 6 Tamat D2 3 0.1 7 Tamat D3 17 0.7 8 Tamat Perguruan Tinggi (S1) 9 0.4

Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari tidak beragam. Pada Tabel 10

ditunjukkan beberapa jenis pekerjaan penduduk di Desa Banjarsari.

Tabel 10 Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari

No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 1 638 61.5 2 Buruh tani 472 17.7 3 Buruh/swasta 403 15.1 4 PNS 19 0.7 5 Pengrajin 5 0.2 6 Pedagang 125 4.7 7 Bengkel/montir 3 0.1

Total 2 665 100

Dari 4 702 jiwa penduduk, hanya 2 665 jiwa penduduk yang memiliki

pekerjaan tetap, sisanya 2 037 jiwa penduduk tidak teridentifikasi jenis

pekerjaannya. Keberagaman jenis pekerjaan di Desa Banjarsari tidak beragam.

Jenis pekerjaan penduduk Desa Banjarsari sebagian besar sebagai petani

(61.5%) dan buruh tani (17.7%), sisanya terbanyak memiliki jenis pekerjaan

sebagai buruh/swasta (15.1%) dan pedagang (4.7%). Berdasarkan data tahun

2008, potensi ekonomi yang paling menonjol dan sudah dikembang di Desa

Banjasari adalah bidang industri pengolahan, perikanan, dan pertanian.

Berdasarkan data potensi desa 2008, jumlah prasarana kesehatan yang

tersedia di Desa Banjarsari adalah 9 unit posyandu, 1 unit Poskesdes yang

dikelola oleh 1 bidan. Selain itu tersedia 10 tenaga kesehatan tradisional yang

terdiri dari 6 orang paraji, 2 orang pengobatan tradisional, dan 2 orang paraji

terlatih. Jika dibandingkan dengan desa sekitarnya, sembilan unit Posyandu

yang tersedia di Desa Banjarsari belum mampu memberikan pelayanan secara

efektif, terlihat dari masih ada sekitar 4 balita di desa ini yang mengalami gizi

36

kurang dan gizi buruk, bahkan masih ada sejumlah balita gizi kurang lainnya

yang tidak teridentifikasi oleh posyandu. Desa Banjarsari memiliki keterbatasan

dalam pelayanan kesehatan, karena di desa sekitar terdapat paling tidak satu

Dokter dan lebih dari satu Bidan yang memberikan pelayanan di Desa tersebut.

Keterbatasan jumlah petugas maupun sarana kesehatan di desa ini

menyebabkan masyarakat desa harus keluar desa untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan yang lebih menunjang baik ke Puskesmas maupun praktek

Dokter. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki cukup uang untuk

menjangkau pelayanan tersebut maka mereka memilih meminta pelayanan

kesehatan dari tenaga kesehatan tradisional yang ada di desanya.

Untuk sarana dan prasarana pendidikan di wilayah Desa Banjarsari

terdapat 3 unit SD negeri dan 3 unit TPA. Keterbatasan sarana pendidikan ini

menyebabkan banyak penduduk yang tidak dapat melanjutkan sekolah anaknya

ke tingkat yang lebih tinggi, karena untuk melanjutkan sekolah mereka harus

keluar desa dan jarak tempuh yang cukup jauh sehingga membutuhkan biaya

yang lebih besar apabila dibandingkan jika di desa tersebut tersedia sekolah

lanjutan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumahtangga Umur

Klasifikasi umur kepala rumahtangga (KRT) dibagi menjadi tiga kelompok

umur berdasarkan Hurlock (1980), yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa

madya (40 – 59 tahun), dan lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur kepala

rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Klasifikasi umur KRT

Pasindangan Banjarsari Total Kelompok Umur n % n % n %

18 – 39 tahun 8 16.0 19 37.3 27 26.740 - 59 tahun 37 74.0 21 41.2 58 57.4≥ 60 5 10.0 11 21.6 16 15.8Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0Min-max 26-80 25-885 26-85 Rataan 46 ± 13.503 46.88 ± 10.056 46.44 ± 11.87

Dari kedua desa terlihat bahwa sebaran umur kepala rumahtangga

berkisar antara 26 sampai 85 tahun, dan rataan 46.44 ± 11.87. Sebaran umur

KRT terbesar (57.4%) berada pada kelompok umur dewasa madya (40-59

tahun), selanjutnya sebanyak 26.7 persen merupakan KRT dengan kelompok

umur dewasa awal, dan terakhir 15.8 persen KRT tergolong kelompok umur

37

lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur perdesa maka

dapat terlihat sebaran umur kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar

antara 26 tahun hingga 80 tahun, dan rataan 46 ± 13.503, 74 persen KRT berada

pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun), 16 persen KRT lainnya

berada pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan sisanya 10

persen KRT termasuk kelompok umur lansia (≥ 60 tahun), sehingga di Desa

Pasindangan sebaran umur kepala keluarga terbesar adalah pada sebaran umur

dewasa madya. Berbeda dengan Desa Pasindangan, sebaran umur kepala

rumahtangga di Desa Banjarsari berkisar antara 25-85 tahun, dan rataan 46.88 ±

10.056. Kondisi yang sama terjadi pada Desa Banjarsari dimana sebaran umur

terbanyak berada pada kelompok umur dewasa madya (40 – 59 tahun) sebanyak

41.2 persen, selanjutnya KRT pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun)

sebanyak 26.7 persen, terakhir sebanyak 15.8 persen KRT berada pada

kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).

Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan umur KRT

Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat

Rawan Pangan Sedang

Rawan Pangan Ringan

Tahan Pangan

Total Kelompok Umur

n % n % n % n % n % 18 - 39 tahun 9 34.6 2 40.0 0 0 16 25.4 27 26.740 - 59 tahun 14 53.8 3 60.0 4 57.1 3 58.7 58 57.4≥ 60 tahun 3 11.5 0 0 3 42.9 10 15.9 16 15.8Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0

Sebaran ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan umur KRT dapat

dilihat pada Tabel 12. Sebaran rumahtangga tahan pangan berdasarkan

kelompok umur KRT menunjukkan bahwa umur KRT pada rumahtangga tahan

pangan sebagian besar (58.7%) termasuk kelompok umur dewasa madya (40-59

tahun), sisanya masing-masing sebanyak 25.4 persen dan 15.9 persen

termasuk kelompok umur dewasa awal dan lansia. Pada rumahtangga rawan

pangan ringan, sebagian besar (57.1%) KRT termasuk kelompok umur dewasa

madya, sisanya sebanyak 42.9 persen termasuk ke dalam kelompok umur lansia

(≥ 60 tahun). Pada rumahtangga rawan pangan sedang, sebagian besar (60%)

KRT termasuk ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (40%)

termasuk kelompok umur dewasa muda. Pada rumahtangga rawan pangan

berat, sebanyak 53.8 persen rumahtangga tersebut memiliki KRT yang termasuk

38

ke dalam kelompok umur dewasa madya, sisanya (34.6% dan 11.5%) termasuk

kelompok umur dewasa muda dan lansia.

Klasifikasi umur ibu rumahtangga (IRT) dibagi menjadi tiga kelompok

umur, yaitu dewasa awal (18 – 39 tahun), dewasa madya (40 – 59 tahun), dan

lansia (≥ 60 tahun). Klasifikasi umur IRT dapat dilihat pada tabel 13.

Tabel 13 Klasifikasi umur IRT

Pasindangan Banjarsari Total Kelompok umur n % n % n % 18–39 tahun 23 46.0 24 47.1 47 46.540-59 tahun 23 46.0 25 49.0 48 47.5≥ 60 4 8.0 2 3.9 6 5.9Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0Min-max 25-65 20-75 20-75 Rataan 41.62 ± 8.739 39.96 ± 12.260 40.78 ± 10.643

Dilihat berdasarkan tabel klasifikasi umur IRT di atas, terlihat bahwa

kisaran umur ibu di kedua desa antara 20-75 tahun, dan rataan 40.78 ± 10.643,

rata-rata umur ibu lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata umur kepala

rumahtangga. Distribusi umur ibu terbanyak (47.5%) berada pada kelompok

umur dewasa madya (40 – 59 tahun), sebaran berikutnya (46.5%) berada pada

kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun), dan terakhir (5.9%) berada pada

kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Apabila dilihat berdasarkan sebaran umur

ibu di tiap desa maka untuk Desa Pasindangan sebaran umur ibu berkisar antara

25 hingga 65 tahun dengan rataan 41.62 ± 8.739. Sebaran umur ibu di Desa

Pasindangan berkisar pada kelompok umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan

dewasa madya (40 – 59 tahun) dengan proporsi persentase yang sama (46%)

dan sisanya berada pada kelompok umur lansia (≥ 60 tahun). Sebaran umur ibu

di Desa Banjarsari berkisar antara 20 sampai 75 tahun dan rataan 39.96 ±

12.260. Sebaran terbanyak (49%) berada pada kelompok umur dewasa madya

(40 – 59 tahun), sedangkan sebanyak 47.1 persen ibu berada pada kelompok

umur dewasa awal (18 – 39 tahun) dan sebanyak 3.9 persen ibu berada pada

kelompok umur lansia (≥ 60 tahun).

Pendidikan Klasifikasi pendidikan didasarkan pada lama sekolah yang dilakukan oleh

contoh tetapi tidak terhitung tinggal kelas, sehingga dibedakan menjadi 5

kelompok yaitu TS (tidak sekolah), SD (6 tahun), SMP (9 tahun), SMA (12

tahun), dan PT/perguruan tinggi (16 tahun). Klasifikasi pendidikan anggota

rumahtangga (ART) disajikan pada Tabel 14.

39

Berdasarkan Tabel 14, lama sekolah anggota rumah tangga berkisar

antara 0-16 tahun, dengan rataan 4.44 ± 3.461. Sebaran pendidikan terbesar

(55.4%) di kedua desa adalah SD, TS (23.5%), SMP (15.7%), SMA (5.0%), dan

sebagian kecil (0.4%) adalah PT.

Tabel 14 Klasifikasi pendidikan ART

Pasindangan Banjarsari Total Pendidikan n % n % n %

TS 58 23.0 65 24 123 23.5SD 139 55.2 151 55.7 290 55.4SMP 36 14.3 46 17.0 82 15.7SMA 18 7.1 8 3.0 26 5.0PT 1 0.4 1 0.4 2 0.4Jumlah 252 100 271 100 523 100Min-max 0-13 0-16 0-16 Rataan 4.53 ± 3.526 4.37± 3.404 4.44 ± 3.461

Apabila dilihat berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan anggota

rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 13 tahun dan rataan

4.53 ± 3.526, terdiri dari contoh terbanyak (55.2%) tersebar pada SD, kemudian

TS (23%), SMP (14.3%), SMA (7.1%), dan terakhir PT (0.14%), sedangkan di

desa Banjarsari sebaran pendidikan anggota rumah tangga berkisar antara 0

(TS) hingga 16 tahun (PT) dan rataan 4.37± 3.404. sebaran terbanyak (55.7%)

adalah SD, TS (24%), SMP (17%), SMA (3%), dan terakhir PT (0.4%). Tingkat

pendidikan anggota rumahtangga di kedua desa sudah cukup baik, terdapat 2

contoh yang telah mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Hal ini dapat

dikatakan baik melihat kondisi wilayah kedua desa yang cukup terbatas sarana

pendidikannya, khususnya Desa Pasindangan yang letaknya jauh dari pusat kota

kabupaten. Akan tetapi masih banyak pula anggota rumahtangga yang tidak

sekolah, diduga contoh yang tidak sekolah adalah contoh dalam kelompok umur

dewasa madya dan lansia.

Tabel 15 Klasifikasi pendidikan KRT

Pasindangan Banjarsari Total Pendidikan n % n % n %

TS 7 14.0 4 7.8 11 10.9SD 37 74.0 37 72.5 74 73.3SMP 2 4.0 7 13.7 9 8.9SMA 4 8.0 3 5.9 7 6.9PT 0 0 0 0 0 0Jumlah 50 100 51 100 101 100.0Min-max 0-12 0-12 0-12 Rataan 4.68 ± 3.113 5.41 ± 2.872 5.05 ± 3.001

40

Berdasarkan Tabel 15 lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara

0-12 tahun atau TS hingga ada yang SMA, dengan rataan 5.05 ± 3.001.

Sebaran pendidikan terbesar (73.3%) di kedua desa adalah SD, TS (10.9%),

SMP (8.9%), SMA (6.9%), dan tidak ada yang lulus PT (0%). Tingkat pendidikan

kepala rumahtangga masih rendah karena hampir setengah dari jumlah contoh

hanya bersekolah hingga bangku SD.

Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan

kepala rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun

dan rataan 4.68 ± 3.113, terdiri dari contoh terbanyak (74%) tersebar pada SD,

kemudian TS (14%), SMP (4%), SMA (8%), dan terakhir PT (0%). Di Desa

Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS)

hingga 12 tahun (SMA) dan rataan 5.41 ± 2.872. Sebaran terbanyak (72.5%)

adalah SD, TS (7.8%), SMP (13.7%), SMA (5.9%), dan terakhir PT (0%).

Berdasarkan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan

ketahanan pangan rumahtangga.

Tabel 16 Klasifikasi pendidikan IRT

Pasindangan Banjarsari Total Pendidikan n % n % n %

TS 14 28.0 6 11.8 20 19.8SD 33 66.0 37 72.5 70 69.3SMP 1 2.0 6 11.8 7 6.9SMA 2 4.0 1 2.0 3 3PT 0 0 1 2.0 1 1Jumlah 50 100 51 100 101 100Min-max 0-12 0-16 0-16 Rataan 3.62 ± 2.989 5.06 ± 3.107 4.35 ± 3.119

Berdasarkan Tabel 16 lama sekolah ibu rumahtangga berkisar antara 0-

16 tahun atau TS hingga PT, dengan rataan 4.35 ± 3.119. Rata-rata lama

sekolah ibu lebih tinggi dari lama sekolah ayah yaitu 16 tahun. Sebaran

pendidikan terbesar (69.3%) di kedua desa adalah SD, TS (19.8%), SMP (6.9%),

SMA (3%), dan PT (1%). Tingkat pendidikan ibu masih dikatakan rendah, karena

sebagian besar contoh hanya sekolah sampai tingkat SD sama seperti kepala

rumahtangga.

Bila dilihat lebih rinci berdasarkan tiap desa maka sebaran pendidikan ibu

rumahtangga di Desa Pasindangan berkisar antara 0 hingga 12 tahun dan rataan

3.62 ± 2.989, terdiri dari contoh terbanyak (66.0%) tersebar pada SD, kemudian

41

TS (28.0%), SMP (2.0%), SMA (4.0%), dan terakhir PT (0%). Sedangkan di Desa

Banjarsari sebaran pendidikan kepala rumahtangga berkisar antara 0 (TS)

hingga 16 tahun (SMA) dan rataan 5.06 ± 3.107. Sebaran terbanyak (72.5%)

adalah SD, TS (11.8%), SMP (11.8%), SMA (2.0%), dan terakhir PT (2.0%).

Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang signifikan

(r= 0.027, p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan

rumahtangga.

Pekerjaan Klasifikasi pekerjaan kepala rumahtangga di Desa Pasindangan dan

Desa Banjarsari disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Klasifikasi pekerjaan KRT

Pasindangan Banjarsari Total Jenis Pekerjaan n % n % n %

Pekerjaan utama Petani 50 100 51 100 101 100Pekerjaan tambahan Tidak ada 19 38 21 41.2 40 39.6Pedagang 21 42 6 11.8 27 26.7Buruh 7 14 20 39.2 27 26.7Wiraswasta 0 0 1 2 1 1Guru 0 0 1 2 1 1Security 1 2 0 0 1 1Tukang urut 1 2 0 0 1 1Pensiunan 1 2 0 0 1 1Penghulu 0 0 1 2 1 1Supir 0 0 1 2 1 1Jumlah 50 100 51 100 101 100

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa pekerjaan utama kepala rumahtangga

di kedua desa adalah petani. Untuk pekerjaan tambahan, di Desa Pasindangan

pekerjaan tambahan kepala rumahtangga yang paling besar sebarannya adalah

sebagai pedagang (42%) kemudian sebagai buruh (14 %), dan sisanya masing-

masing (2%) sebagai security, tukang urut, dan pensiunan. Di Desa Banjarsari,

pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan oleh contoh adalah sebagai

buruh (39.2%), kemudian pedagang (11.8%), sisanya masing-masing sebanyak

2% bekerja sebagai wiraswasta, guru, penghulu, dan supir. Namun masih cukup

banyak contoh dari keseluruhan contoh yang tidak memiliki pekerjaan tambahan

dan hanya tergantung pada pekerjaan utama sebagai petani.

42

Komposisi Anggota Rumahtangga Komposisi anggota rumahtangga (ART) dikelompokkan dalam 7

kelompok berdasarkan Hurlock (1980) yaitu lansia (≥ 60 tahun), dewasa madya

(40-59 tahun), dewasa awal (20-39 tahun), remaja (12-19 tahun), anak usia

sekolah/AUS (6-11 tahun), balita (25-60 bulan), dan bayi (0-24 bulan). Klasifikasi

komposisi rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 18.

Komposisi rumahtangga dilihat dari kedua desa, proporsi rumahtangga

terbesar (26.2%) berada pada kelompok dewasa awal, 20.3 persen proporsi

pada kelompok dewasa madya, 18 persen proporsi pada kelompok remaja, 16.3

persen proporsi pada kelompok AUS, 8.6 persen proporsi pada balita, 5.9 persen

proporsi pada kelompok lansia, dan proporsi sisanya (4.8%) pada kelompok bayi.

Tabel 18 Klasifikasi komposisi ART

Pasindangan Banjarsari Total Komposisi Rumahtangga n % n % n %

Lansia 13 5.2 18 18 31 5.9Dewasa madya 58 23.0 48 48 106 20.3Dewasa awal 62 24.6 75 17.7 137 26.2Remaja 52 20.6 42 27.7 94 18.0AUS 43 17.1 42 15.5 85 16.3Balita 16 6.3 29 10.7 45 8.6Bayi 8 3.2 17 6.3 25 4.8Jumlah 252 100 271 100 523 100

Jika dilihat berdasarkan masing-masing desa, Desa Pasindangan

proporsi anggota rumahtangga terbesar (24.6%) pada kelompok dewasa awal,

kemudian proporsi anggota rumahtangga lainnya berturut-turut dewasa madya,

remaja, AUS, balita, lansia, dan bayi (23%, 20.6%, 17.1%, 6.3%, 5.2%, dan

3.2%). Pada Desa Banjarsari proporsi anggota rumahtangga terbesar (48%)

pada kelompok dewasa madya, kemudian selanjutnya berturut-turut proporsi

anggota rumahtangga lainnya pada kelompok remaja, lansia, dewasa awal, AUS,

balita, dan bayi (27.7%, 18%, 17.7%, 15.5%, 10.7%, 6.3%).

Kontrol Keuangan Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan

pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup,

jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan),

pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk

jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1)

keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan

43

dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari

istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada

tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4)

keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih

besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan

istri.

Tabel 19 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di Desa Pasindangan

Jenis Keputusan Suami Sendiri

(%)

Suami Dominan

(%)

Istri Sendiri

(%)

Istri Dominan

(%)

Bersama Setara

(%)

Total

Makanan 2 4 60 28 6 100 Pendidikan 8 10 36 22 24 100 Kesehatan 12 8 38 20 22 100 Perumahan 16 10 34 28 12 100 Pakaian 10 6 38 34 12 100 Peralatan RT 12 4 54 22 8 100 Rekreasi 16 8 36 22 18 100 Tabungan 18 6 40 18 18 100 Keseluruhan 16 6 36 20 22 100

Sebaran kontrol keuangan di desa Pasindangan dapat dilihat pada Tabel

19. Secara keseluruhan pengeluaran kontrol keuangan di putuskan istri sendiri

(36%). Untuk makanan, keputusan terhadap makanan dan peralatan RT lebih

besar di pegang oleh istri sendiri yaitu masing-masing sebesar 60 persen dan 54

persen, untuk keputusan pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, rekreasi

dan tabungan juga lebih banyak dipegang oleh istri sendiri.

Tabel 20 Sebaran rumahtangga menurut kontrol keuangan di desa banjarsari

Jenis keputusan Suami sendiri

(%)

Suami Dominan

(%)

Istri Sendiri

(%)

Istri Dominan

(%)

Bersama Setara

(%)

Total

Makanan 0 2 52.9 43.1 2 100 Pendidikan 0 7.8 17.6 39.2 35.3 100 Kesehatan 0 9.8 19.6 58.8 11.8 100 Perumahan 2 13.7 17.6 49 17.6 100 Pakaian 0 5.9 27.5 58.8 7.8 100 Peralatan RT 0 2 25.5 66.7 5.9 100 Rekreasi 0 9.8 17.6 60.8 11.8 100 Tabungan 0 7.8 17.6 60.8 13.7 100 Keseluruhan 0 9.8 17.6 60.8 11.8 100

Di desa banjarsari, keputusan terhadap kontrol keuangan rumahtangga

secara keseluruhan lebih dominan istri (60.8%). Keputusan terhadap makanan

lebih dari setengah (52.9%) contoh dipegang oleh istri sendiri. Untuk jenis

44

keputusan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, peralatan

RT, rekreasi, dan tabungan dominan ditentukan oleh istri.

Ukuran rumahtangga Ukuran rumahtangga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok (BKKBN

1998), yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumahtangga ≤ 4 orang,

rumahtangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5-6 orang, dan

rumahtangga besar bila anggotanya ≥ 7 orang. Klasifikasi ukuran rumahtangga

dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Klasifikasi ukuran rumahtangga

Pasindangan Banjarsari Total Ukuran Rumahtangga n % n % n %

Kecil : ≤ 4 orang 26 52.0 24 47.1 50 49.5 Sedang : 5 – 6 orang 16 32.0 14 27.5 30 29.7 Besar : ≥ 7 orang 8 16.0 13 25.5 21 20.8 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Berdasarkan pengelompokkan tersebut dari kedua desa hampir setengah

(49.5%) contoh merupakan rumahtangga kecil, 29.7 persen contoh merupakan

rumahtangga sedang, dan sisanya (20.8%) merupakan rumahtangga besar. Bila

dibedakan berdasarkan masing-masing desa, maka sebaran jumlah anggota

rumahtangga di Desa Pasindangan sebagian (52%) contoh merupakan

rumahtangga kecil, 32 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan

sisanya 16 persen contoh merupakan rumahtangga besar. Sedangkan sebaran

ukuran rumahtangga di Desa Banjarsari 47.1 persen merupakan rumahtangga

kecil, 27.5 persen contoh merupakan rumahtangga sedang, dan 25.5 persen

contoh merupakan rumahtangga besar.

Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan ketahanan pangan dan ukuran

rumahtangga

Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat

Rawan Pangan Sedang

Rawan Pangan Ringan

Tahan Pangan

Total Ukuran Rumahtangga

n % n % n % n % n % Kecil : ≤ 4 7 26.9 1 20.0 4 57.1 38 60.3 50 49.5Sedang : 5 – 6 10 38.5 4 80.0 3 42.9 13 20.6 30 29.7Besar : ≥ 7 9 34.6 0 0 0 0 12 19.0 21 20.8Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0

Karakteristik lain untuk mengidentifikasi rumahtangga yang tahan

pangan dapat dilihat berdasarkan ukuran rumahtangga. Berdasarkan Tabel 22

maka dapat dilihat bahwa, rumahtangga tahan pangan adalah rumahtangga kecil

45

(60.3%) yang terdiri dari 4 orang anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga

rawan pangan ringan sebanyak 57.1 persen merupakan rumahtangga kecil dan

sisanya 42.9 persen adalah rumahtangga sedang. Pada rumahtangga rawan

pangan sedang adalah rumahtangga kecil dan sedang yaitu masing-masing

sebesar 20 persen dan 80 persen. Pada rumahtangga rawan pangan berat,

sebanyak 38.5 persen adalah rumahtangga sedang yang terdiri dari antara 5-6

orang anggota rumahtangga.

Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan negatif (r= -

0.261, p<0.01) antara ukuran rumahtangga dengan ketahanan pangan

rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran

rumahtangga maka semakin kecil peluang tercapainya ketahanan pangan

rumahtangga. Hal ini seiring dengan pernyataan Hartog, Staveren, dan Brouwer

(1995) yang menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan

makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada

pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga

menyatakan bahwa pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak

akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi

hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu.

Kepemilikan Luas Lahan Rumahtangga contoh diklasifikasikan menjadi empat golongan

berdasarkan kepemilikan lahan, yaitu yang tidak memiliki lahan, memiliki lahan

dibawah 5 000 m2, memiliki lahan 5 000-10 000 m2, dan memiliki lahan lebih dari

10 000 m2.

Tabel 23 Klasifikasi Kepemilikan Luas Lahan

Pasindangan Banjarsari Total Luas Lahan yg Dimiliki n % n % n %

0 12 24.0 25 49.0 37 36.6 < 5 000 14 28.0 19 37.3 33 32.7 5 000-10 000 17 34.0 4 7.8 21 20.8 >10 000 7 14.0 3 5.9 10 9.9 Jumlah 50 100 51 100.0 101 100.0 Min-max 0-20 000 0-20 000 0-20 000 Rataan 4592 ± 4755.956 2372.94 ± 4724.47 3471.49 ± 4846.331

Berdasarkan pengolongan tersebut dapat dilihat sebaran rumahtangga

dari kedua desa memiliki lahan seluas 0 – 20 000 m2 dengan rataan 3 471.49 ±

4846.331. Sebanyak 36.6 persen contoh tidak memiliki lahan, 32.7 persen

contoh memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2, 20.8 persen contoh memiliki

46

luas lahan 5 000-10 000 m2, dan sisanya hanya 9.9 persen contoh yang memiliki

luas lahan lebih dari 10 000 m2. Apabila dilihat dari sebaran masing-masing

desa, di Desa Pasindangan rataan kepemilikan lahan sebesar 4 592 ± 4

755.956, dari 50 contoh hanya 14 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih

dari 10000 m2, umumnya contoh memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2 (34%),

kurang dari 5 000 m2 (28%), dan sisanya (24%) contoh tidak memiliki lahan. Di

Desa Banjarsari rataan luas lahan yang dimiliki sebesar 2 372.94 ± 4 724.47,

hampir setengah contoh (49%) tidak memiliki lahan, 37.3 persen contoh memiliki

luas lahan kurang dari 5 000 m2, 7.8 persen contoh memiliki luas lahan sebesar

5 000-10 000 m2, dan hanya 5.9 persen contoh yang memiliki luas lahan lebih

dari 10 000 m2.

Berdasarkan luas lahan yang dimiliki dari seluruh contoh, maka dapat

dilihat bahwa rumahtangga rawan pangan berat adalah rumah tangga yang tidak

memiliki lahan (61.5%) sedangkan rumahtangga yang rawan pangan sedang

adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan kurang dari 5 000 m2 dan tidak

memiliki lahan (40% dan 40%). Pada rumahtangga rawan pangan ringan hampir

setengahnya (42.9%) adalah rumahtangga yang memiliki lahan kurang dari 5

000 m2. Untuk rumahtangga tahan pangan persentase terbesar contoh adalah

yang memiliki luas lahan kurang dari 5000 m2 (36.5%), berikutnya 23.8 persen

adalah rumahtangga yang memiliki luas lahan 5 000-10 000 m2, dan 12.7 persen

contoh yang memiliki luas lahan lebih dari 10 000 m2. Akan tetapi cukup banyak

pula rumahtangga tahan pangan yang tidak memiliki lahan (27.0%).

Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan kepemilikan luas lahan dan

ketahanan pangan

Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat

Rawan Pangan Sedang

Rawan Pangan Ringan

Tahan Pangan

Total Luas Lahan yang Dimiliki

n % n % n % n % n % 0 16 61.5 2 40.0 2 28.6 17 27.0 37 36.6< 5000 5 19.2 2 40.0 3 42.9 23 36.5 33 32.75000-10000 4 15.4 1 20.0 1 14.3 15 23.8 21 20.8>10000 1 3.8 0 0 1 14.3 8 12.7 10 9.9Jumlah 26 100.0 5 100.0 7 100.0 63 100.0 101 100.0

Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa rumahtangga yang tahan

pangan sebagian besar adalah rumahtangga yang memiliki lahan garapan,

sedangkan rumahtangga rawan pangan berat sebagian besar adalah

47

rumahtangga yang tidak memiliki lahan. Berdasarkan analisis korelasi Spearman

diperoleh r= 0.273 dan p<0.01 antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan

pangan rumahtangga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif yang signifikan antara kepemilikan luas lahan dengan ketahanan pangan

rumahtangga. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang

tercapainya ketahanan pangan rumahtangga.

Akses Pangan Akses Fisik Akses fisik menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi dapat

ditemui dan mudah diperoleh. Menurut Penny (1990), kemudahan dalam

memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam

memperoleh pangan. Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan

oleh peneliti, Desa Pasindangan memiliki akses pangan yang lebih rendah

dibandingkan dengan Desa Banjarsari.

Desa Pasindangan terletak jauh dari kota kabupaten, kondisi jalan kurang

memadai, kendaraan umum yang beroperasi hanya satu jenis, dengan jumlah

dan waktu operasi terbatas. Jarak antara wilayah Desa Pasindangan dengan

pasar terdekat kurang lebih 7 kilometer dengan hari pasar pada hari tertentu.

Ketersediaan warung di wilayah ini terbatas, jumlah warung yang lengkap

menjual kebutuhan pokok baik kebutuhan pangan maupun non pangan hanya

dua buah, sisanya merupakan warung kecil yang menjual kebutuhan terbatas.

Untuk kebutuhan pangan segar, selain membeli ke pasar juga tersedia tiga

penjual sayur keliling untuk luas seluruh wilayah Desa.

Pada Desa Banjarsari, wilayah desa ini dekat dengan ibukota kabupaten

sehingga akses terhadap pangan cukup baik. Jarak pasar hanya 5 kilometer, di

desa tersebut banyak (lebih dari 10) warung yang menjual kebutuhan pangan

dan non pangan. Kebutuhan pangan segar dapat diperoleh dengan mudah di

warung-warung penjual bahan pangan segar. Kondisi jalan sudah baik, banyak

tersedia kendaraan umum yang dapat digunakan untuk mengakses pangan.

Akses Ekonomi Akses ekonomi dapat diukur dengan menggunakan pengeluaran

rumahtangga. Pengeluaran rumahtangga adalah total pengeluaran rumahtangga

untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan non pangan. Pengeluaran perkapita

rumahtangga merupakan penjumlahan total pengeluaran pangan per tahun dan

total pengeluaran pangan non-pangan per tahun rumahtangga, dibagi dengan

48

jumlah hari dalam satu tahun yaitu 365 hari, kemudian dibagi dengan jumlah

anggota rumahtangga.

Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254

241. pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah sebesar Rp 1

140 028. Pengeluaran perkapita terkecil dimiliki oleh rumahtangga contoh di

Desa Banjarsari, sedangkan pengeluaran perkapita terbesar terdapat pada

rumahtangga contoh di Desa Pasindangan. Teori Engels menyebutkan bahwa

persentase pengeluaran rumahtangga yang dibelanjakan untuk kebutuhan

pangan meningkat pada saat terjadinya penurunan pendapatan dan akan

menurun dengan meningkatnya pendapatan (Khomsan 2002b). Proporsi rata-

rata pengeluaran pangan rumahtangga adalah sebesar 39.55 persen, proporsi

pengeluaran terkecil adalah 8.10 persen pada contoh di Desa Pasindangan dan

terbesar adalah 84.26 persen pada contoh di Desa Banjarsari. Tanziha (1992)

dalam Kartika (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih

dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa

pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan

penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Keadaan tersebut

menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga contoh di Desa

Pasindangan lebih tinggi dibandingkan di Desa Banjarsari.

Untuk mengetahui lebih jelas kondisi ekonomi rumahtangga contoh, maka

dapat dilihat pada Tabel 25. Klasifikasi rumahtangga miskin dan tidak miskin

didasarkan pada perbandingan pengeluaran perkapita dengan garis kemiskinan.

Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan tingkat provinsi

Banten tahun 2008 yaitu Rp 156 494. Dikatakan miskin bila pengeluaran

perkapita rumahtangga dibawah garis kemiskinan, dan dikatakan tidak miskin

bila pengeluaran perkapita rumahtangga diatas garis kemiskinan.

Tabel 25 Klasifikasi kemiskinan berdasarkan pengeluaran perkapita

Pasindangan Banjarsari Total Kemiskinan Berdasarkan Pengeluaran

n % n % N %

Miskin 14 28.0 18 35.3 32 31.7

Tdk miskin 36 72.0 33 64.7 69 68.3

Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Berdasarkan klasifikasi diatas maka sebagian besar (68.3%) contoh di

kedua desa merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (31.7%) contoh

49

merupakan rumahtangga miskin. Untuk Desa Pasindangan, sebagian besar

(72%) contoh merupakan rumahtangga tidak miskin dan sisanya (28%) contoh

merupakan rumahtangga miskin, sedangkan di Desa Banjarsari jumlah

rumahtangga yang miskin sedikit lebih banyak (35.3%) dibandingkan dengan

Pasindangan, sebagian besar (64.7%) contoh lainnya tergolong rumahtangga

tidak miskin.

Walaupun Desa Banjarsari dekat dengan ibukota kabupaten, namun

rumahtangga miskin di desa tersebut lebih banyak dibandingkan di Desa

Pasindangan. Kondisi ini diduga karena perekonomian masyarakat di Desa

Pasindangan adalah pertanian berbasis tanaman kehutanan, sehingga banyak

dari mereka yang memiliki tambahan pendapatan dari penjualan kayu atau

menjual getah karet. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka pengeluaran

juga akan bertambah.

Hasil analisis korelasi Pearson antara pengeluaran rumahtangga dan

ketahanan pangan rumahtangga r= 0.251 dan p<0.05, ini menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran rumahtangga dengan

ketahanan pangan rumahtangga. Semakin rendah pengeluaran rumahtangga

maka semakin kecil peluang rumahtangga tersebut tahan pangan.

Akses Sosial Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan segala bentuk interaksi berupa bantuan,

perhatian, ataupun penghargaan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang.

Dukungan sosial dikategorikan ke dalam tiga kelompok yaitu buruk, sedang, dan

baik. Berdasarkan pengelompokkan tersebut maka dari total keseluruhan contoh

di kedua desa dapat diketahui bahwa lebih dari setengah contoh (56.4%)

memiliki dukungan sosial yang baik, sebanyak 22.8 persen contoh memiliki

dukungan sosial yang buruk, dan sisanya 20.8 persen contoh memiliki dukungan

sosial sedang. Bila dibandingkan antar dua desa maka jumlah rumahtangga

yang memiliki dukungan sosial baik di Desa Pasindangan lebih banyak (72%)

dibandingkan rumahtangga di Desa Banjarsari (57%). Sisanya berturut-turut di

Desa Pasindangan 18 persen dan 10 persen sedangkan di Desa Banjarsari 27.5

persen dan 31.4 persen memiliki dukungan sosial buruk dan sedang.

50

Tabel 26 Klasifikasi tingkat dukungan sosial

Pasindangan Banjarsari Total Dukungan Sosial n % n % n %

Buruk 9 18.0 14 27.5 23 22.8 Sedang 5 10.0 16 31.4 21 20.8 Baik 36 72.0 21 41.2 57 56.4 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Sarafino (1996) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari dukungan

emosi, instrumental, penghargaan, dan dukungan informasi. Dukungan emosi

melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga

menimbulkan rasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini biasanya

diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu.

Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung, misalnya berupa bantuan

finansial atau bantuan dalam mengerjakan tugas. Dukungan penghargaan dapat

berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide,

perasaan atau penampilan orang lain. Dukungan informasi terkait dengan

perolehan pengetahuan dari orang lain. Semua dukungan tercakup dalam

pertanyaan yang tersedia pada Tabel 27.

Tabel 27 Sebaran dukungan sosial

Pasindangan Banjarsari Total Dukungan Sosial Ya

(%) Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Bantuan makanan 56 44 31.4 62.7 43.6 53.5

Petugas kesehatan selalu

mengunjungi 2 92 5.9 90.2 4 91.1

Ketua RT selalu memberi semangat 12 74 11.8 64.7 11.9 69.3

Anak-anak bisa sekolah tanpa

membayar SPP dan biaya lainnya 58 34 23.5 37.3 40.6 35.6

Sanak famili mau mendengar

masalah-masalah 86 2 70.6 15.7 78.2 8.9

Sanak famili berupaya

memperlihatkan perasaan cinta dan

kepeduliannya

80 2 60.8 9.8 70.3 5.9

Diluar rumahtanggamempunyai

beberapa teman karib yang sangat

peduli dan mencintai

34 48 15.7 49 24.8 48.5

Kehidupan dalam masyarakat 86 0 78.4 0 82.2 0

51

Pasindangan Banjarsari Total Dukungan Sosial Ya

(%) Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

memberi perasaan aman

Mencoba untuk berhubungan

dengan sanak famili seakrab

mungkin

84 2 80.4 5.9 82.2 4

Jika menghadapi masalah tetangga

selalu memberi pertolongan 68 18 27.5 45.1 47.5 31.7

Selalu mendapat bantuan keuangan

dari orang tua atau sanak famili

ketika mendapat kesulitan

48 36 64.7 13.7 56.4 24.8

Tetangga mau membantu

meminjamkan uang atau barang

ketika menghadapi kesulitan

34 50 23.5 49 28.7 49.5

Merasa tenang dalam lingkungan

tempat tinggal yang sesuai sebagai

tempat menumbuhkembangkan

anak-anak

66 10 60.8 7.8 63.4 8.9

Jika dalam kesulitan selalu

mendapatkan pertolongan dari

masyarakat dimana saya tinggal

70 10 47.1 19.6 58.4 14.9

Saran yang diberikan tetangga

sangat membantu dalam

menyelesaikan masalah yang

dihadapi

44 36 2 54.9 22.8 45.5

Dukungan sosial berupa bantuan makanan, dijawab “ya” oleh 56 persen

contoh di Desa Pasindangan dan 31.4 persen contoh menjawab “ya” di Desa

Banjarsari. Sebagian besar contoh di Desa Pasindangan (92% dan 74%) dan

Desa Banjarsari (90.2% dan 64.7%) menjawab tidak pernah mendapat

kunjungan dari petugas kesehatan dan tidak pernah diberikan semangat oleh

ketua RT. Untuk pernyataan berikutnya, Desa Pasindangan (58%) dan Desa

Banjarsari (23.5%) yang menjawab bisa menyekolahkan anak-anak tanpa

membayar SPP dan biaya lainnya. Untuk dua pernyataan berikutnya, contoh di

Desa Pasindangan (86%dan 80%) dan Desa Banjarsari (70.6% dan 60.8%)

menyatakan bahwa sanak famili mereka mau mendengarkan masalah-masalah

dan berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan kepeduliannya. Contoh dari

52

kedua desa sebagian besar (48% dan 49%) menyatakan bahwa tidak memiliki

teman karib yang sangat peduli dan mencintai.

Contoh di kedua desa menjawab merasa aman dalam kehidupan

bermasyarakat dan mencoba untuk berhubungan seakrab mungkin dengan

sanak famili yaitu sebesar 86 persen dan 84 persen untuk Pasindangan

sedangkan Banjarsari sebesar 84% dan 80.4%. Akan tetapi contoh di kedua

desa ini, memberikan jawaban yang berbeda untuk pernyataan berikutnya,

contoh di Desa Pasindangan menyatakan selalu diberi pertolongan oleh tetangga

jika menghadapi masalah (68%), sedangkan contoh di Desa Banjarsari (45.1%)

menyatakan tidak mendapatkan pertolongan dari tetangga jika menghadapi

masalah.

Kedua contoh menjawab selalu mendapatkan bantuan keuangan dari

keluarga atau sanak famili dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari

tetangga ketika mengahadapi kesulitan, ini ditunjukkan dengan persentase

sebesar 48 perse dan 50 persen untuk Desa Pasindangan, sedangkan Desa

Banjarsari 64.7 persen dan 49 persen. Contoh menjawab merasa tenang dalam

lingkungan tempat tingal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan

anak-anak dan mendapat pertolongan dari masyarakat dimana tinggal, ini

ditunjukkan dengan persentase sebesar 66 persen dan 70 persen untuk Desa

Pasindangan dan 60.8 persen dan 47.1 persen untuk Desa Banjarsari. Untuk

pernyataan berikutnya, contoh di Desa Pasindangan (44%) menyatakan bahwa

saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam menyelesaikan masalah

yang dihadapi, sedangkan contoh di Desa Banjarsari tidak demikian (54.9%).

Berdasarkan analisis korelasi Spearman antara dukungan sosial dengan

ketahanan pangan maka diperoleh hasil r = - 0.035 dan p>0.05. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

sosial dan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini diduga karena dukungan

sosial yang diterima oleh contoh dominan berupa dukungan emosi, sehingga

secara langsung tidak berhubungan dengan konsumsi rumahtangga sehingga

tidak berhubungan signifikan dengan ketahanan pangan.

Pengetahuan Gizi Tingkat pengetahuan gizi ibu diklasifikasikan ke dalam tiga klasifikasi,

yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Klasifikasi pengetahuan gizi ibu disajikan pada

Tabel 28.

53

Tabel 28 Klasifikasi pengetahuan gizi

Pasindangan Banjarsari Total Pengetahuan Gizi n % n % n %

Rendah 43 86.0 45 88.2 88 87.1 Sedang 6 12.0 3 5.9 9 8.9 Tinggi 1 2.0 3 5.9 4 4.0 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Berdasarkan klasifikasi tersebut dari total contoh sebagian besar (87.1%)

memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah, 8.9 persen ibu contoh memiliki tingkat

pengetahuan gizi sedang dan sisanya (4%) ibu contoh memiliki pengetahuan gizi

tinggi. Di Desa Pasindangan, jumlah ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi

baik lebih sedikit daripada jumlah ibu contoh di Desa Banjarsari yaitu 2 persen

dan 5.9 persen. Ibu yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah di desa

Pasindangan berturut-turut sebesar 12 persen dan 86 persen, sedangkan di

Desa Banjarsari ibu contoh yang memiliki pengetahuan gizi sedang dan rendah

berturut-turut sebesar 5.9 persen dan 88.2 persen.

Sebanyak 24 rumahtangga rawan pangan berat (92.3%) adalah

rumahtangga yang tingkat pengetahuan gizi ibunya rendah. Sebanyak 4

rumahtangga rawan pangan sedang (80%) adalah rumahtangga yang tingkat

pengetahuan gizi ibunya rendah. Pada rumahtangga rawan pangan ringan

sebanyak 85.7 persen contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah,

sedangkan pada rumahtangga tahan pangan, sebagian besar contoh (84.2%)

merupakan rumahtangga yang memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah.

Tabel 29 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat pengetahuan gizi dan

ketahanan pangan

Tingkat Ketahanan Pangan Rawan Pangan Berat

Rawan Pangan Sedang

Rawan Pangan Ringan

Tahan Pangan

Total Pengetahuan Gizi

n % n % n % n % n % Rendah 24 92.3 4 80 6 85.7 54 85.7 88 87.1 Sedang 2 7.7 1 20 1 14.3 5 7.9 9 8.9 Tinggi 0 0 0 0 0 0 4 6.3 4 4 Total 26 100 5 100 7 100 63 100 101 100

Berdasarkan analisis korelasi Spearman diperoleh r= 0.077 dan p>0.05

antara pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

pengetahuan gizi ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Keadaan ini

diduga terjadi karena sebagian besar contoh memilih jenis pangan yang

54

dikonsumsi hanya berdasarkan ketersediaan pangan yang terdapat di

wilayahnya dan berdasarkan kebiasaan makan.

Konsumsi Konsumsi rumahtangga dapat dinilai berdasarkan tingkat kecukupan zat

gizi rumahtangga. Nilai total konsumsi zat gizi rumahtangga per hari kemudian di

bagi dengan jumlah anggota rumahtangga dan dibandingkan dengan angka

kecukupan zat gizi rumahtangga. Angka kecukupan zat gizi rumahtangga

diperoleh dengan cara menghitung angka kecukupan zat gizi bagi masing-

masing anggota rumahtangga berdasarkan WNPG 2004, kemudian dihitung rata-

rata angka kecukupan zat gizi setiap rumahtangga. Pada Tabel 30 berikut ini

adalah sebaran tingkat kecukupan zat gizi yaitu energi (E) dan protein (P),

sedangkan untuk kalsium (Ca), besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C disajikan pada

Tabel 31.

Tabel 30 Tingkat kecukupan energi dan protein

Zat Gizi Energi Protein Tingkat Kecukupan

n % n % Defisit berat : < 70% 26 25.7 36 35.6 Defisit sedang : 70-79% 5 5 8 7.9 Defisit ringan : 80-89% 6 5.9 4 4 Normal : 90-119% 16 15.8 19 18.8 Lebih : ≥ 120% 48 47.5 34 33.7 Min – Max 10 - 600 8 – 335 Rataan 141.08 ± 99.163 104.42 ± 65.859

Tingkat kecukupan energi dan proteiin dikategorikan menjadi lima

kelompok berdasarkan Depkes (1996) yaitu <70% (defisit berat), 70-79% (defisit

sedang), 80-89% (defisit ringan), 90-119% (normal), dan ≥ 120% (lebih). Tingkat

kecukupan energi rumahtangga berkisar antara 10 sampai 600 persen dengan

rataan 141.08 ± 99.163. Dari 101 contoh, 25.7 persen rumahtangga berada

dalam defisit berat (<70%), 5 persen rumahtangga berada pada kategori defisit

sedang (70-79%), 5.9 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%), 15.8

persen berada pada kategori normal dan 47.5 persen rumahtangga berada pada

kategori lebih (≥ 120%).

Kondisi ini terjadi karena seluruh rumahtangga contoh merupakan

rumahtangga petani baik petani dengan lahan milik sendiri, buruh tani, ataupun

sistem maro. Mereka mampu mengakses makanan pokok dari hasil produksi

maupun dari hasil alam sehingga kondisi tingat kecukupan energi ada yang

55

termasuk kategori lebih. Walaupun demikian, masih ada rumahtangga yang

belum tercukupi kebutuhannya dari hasil produksinya sehingga harus membeli

kebutuhannya dari warung.

Tingkat kecukupan protein rumahtangga berkisar antara 8 sampai 335

dengan rataan 104.42 ± 65.859. Dari sejumlah contoh, dapat dilihat tingkat

kecukupan protein rumahtangga yaitu sebanyak 35.6 persen rumahtangga

berada dalam kategori defisit berat (<70%), 7.9 persen berada pada kategori

defisit sedang (70-79%), 4 persen berada pada kategori defisit ringan (80-89%),

18.8 persen rumahtangga berada pada kaegori normal (90-119%) dan sisanya

sebanyak 33.7 persen rumahtangga berada pada kategori lebih (≥ 120%). Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein rumahtangga contoh sudah

cukup baik. Tingkat kecukupan protein yang cukup ini diduga karena seluruh

rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi ikan asin. Khomsan

(2002c) mengutarakan bahwa secara sosial ikan asin dianggap oleh masyarakat

sebagai komoditas inferior. Padahal dari segi gizi, ikan asin sebenarnya superior

karena kandungan proteinnya sekitar 35-40%.

Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan manjadi dua

kelompok berdasarkan Depkes (2003) yaitu defisit (≤50%) dan cukup (>50%).

Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara 2 sampai 169 dengan

rataan 21.21 ± 18.702. Dapat dilihat tingkat kecukupan kalsium rumahtangga

yaitu sebanyak 97 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit (≤50%),

sisanya sebanyak 3 persen rumahtangga berada pada kategori cukup (>50%).

Kondisi ini diduga karena rumahtangga contoh tidak mampu mengakses pangan

sumber kalsium untuk dikonsumsi, mereka hanya mengkonsumsi apa yang

tersedia di ladang dan alam sekitar, ditambah lagi letak geograsfis daerah yang

menyebabkan sulitnya distribusi pangan ke daerah tersebut.

Tabel 31 Tingkat kecukupan mineral dan vitamin

Tingkat Kecukupan Gizi Defisit : ≤ 50% Cukup : > 50% Zat Gizi

n % n % Min-max Rataan

Mineral Kalsium (Ca) 98 97 3 3 2 – 169 21.21 ± 18.702 Besi (Fe) 61 60.4 40 39.6 4 - 179 50.94 ± 34.296 Vitamin Vitamin A 3 3 98 97 15 - 7418 611.49 ± 1159.32 Vitamin C 72 71.3 29 28.7 0 - 432 60.35 ± 85.006

56

Tingkat kecukupan zat besi rumahtangga berkisar antara 4 sampai 179

dengan rataan 50.94 ± 34.296. Dapat dilihat tingkat kecukupan zat besi

rumahtangga yaitu sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori

defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 39.6% rumahtangga berada pada kategori

cukup (>50%). Rendahnya tingkat kecukupan zat besi rumahtangga contoh

diduga disebabkan oleh kurangnya konsumsi bahan pangan sumber zat besi,

seperti daging, hati dan sayuran hijau. Sebagai contoh bayam, di daerah ini

hampir tidak ada petani yang menanam bayam, sehingga bayam hanya

diperoleh dari luar. Dengan demikian rumahtangga contoh harus membeli,

padahal daya beli sangat rendah walaupun ada beberapa petani yang memiliki

daya beli cukup tinggi.

Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15 sampai

7418 dengan rataan 611.49 ± 1159.32. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin A

rumahtangga yaitu sebanyak 3 persen rumahtangga berada dalam kategori

defisit (≤50%) dan sisanya sebanyak 97 persen rumahtangga berada pada

kategori cukup (>50%).

Tingkat kecukupan vitamin C rumahtangga berkisar antara 0 sampai 432

dengan rataan 60.35 ± 85.006. Dapat dilihat tingkat kecukupan vitamin C

rumahtangga yaitu sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori

defisit (≤50%) dan sebanyak 28.7 persen rumahtangga berada pada kategori

cukup (>50%). Angka kecukupan vitamin C di wilayah ini tergolong cukup baik

karena rumahtangga contoh hampir setiap hari mengkonsumsi buah-buahan baik

dari hasil ladangnya maupun dari membeli. Buah yang banyak dikonsumsi antara

lain pepaya, pisang, dan jeruk.

Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan suatu instrumen untuk menilai

ketersediaan dan konsumsi pangan berupa jumlah dan komposisi pangan

menurut jenis pangan dan skor PPH dapat digunakan sebagai indikator mutu gizi

pangan dan keragaman konsumsi pangan yang baik pada tingkat ketersediaan

maupun tingkat konsumsi. Selain itu PPH juga dimanfaatkan untuk perencanaan

konsumsi dan ketersediaan pangan suatu wilayah. Pada tabel 32 disajikan PPH

Kabupaten Lebak berdasarkan hasil pengolahan data konsumsi rumahtangga

contoh.

57

Tabel 32 Pola Pangan Harapan Kabupaten Lebak berdasarkan data konsumsi

Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) No Kelompok

Pangan Gram/

Kap/Hari Kalori % aktual

% AKE*) Bobot Skor

Aktual Skor AKE

Skor Maks

Skor PPH

1 Padi-padian 394 1419 61.3 64.5 0.5 30.6 32.3 25.0 25.02 Umbi-umbian 14 19 0.8 0.8 0.5 0.4 0.4 2.5 0.43 Pangan Hewani 11 16 0.7 0.7 2.0 1.4 1.4 24.0 1.4

4 Minyak dan Lemak 37 334 14.4 15.2 0.5 7.2 7.6 5.0 5.0

5 Buah/Biji Berminyak 201 382 16.5 17.4 0.5 8.3 8.7 1.0 1.0

6 Kacang-kacangan 22 38 1.6 1.7 2.0 3.3 3.4 10.0 3.47 Gula 19 70 3.0 3.2 0.5 1.5 1.6 2.5 1.68 Sayur dan Buah 36 14 0.6 0.6 5.0 2.9 3.1 30.0 3.19 Lain-lain 10 24 1.0 1.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Total 2315 100.0 105.2 55.6 58.5 100.0 41.0Keterangan : *) Angka Kecukupan Energi = 2200 Kkal/Kap/Hr

Berdasarkan data hasil perhitungan PPH, maka dapat diketahui

keragaman pola konsumsi pangan wilayah. Pola konsumsi dikatakan beragam

bila persentase energi terhadap total energi sebesar < 55% dan dikatakan tidak

beragam bila persentase energi terhadap total energi >55%. Berdasarkan

perhitungan PPH, maka diketahui pola konsumsi untuk kelompok pangan padi-

padian tidak beragam, yaitu ditunjukkan dengan angka persentase energi

sebesar 61.3%, ini artinya pola konsumsi padi-padian didominasi oleh jenis

pangan tertentu saja. Untuk kelompok pangan lainnya seperti umbi-umbian

(0.8%), pangan hewani (0.7%), minyak dan lemak (14.4%), buah/biji berminyak

(16.5%), kacang-kacangan (1.6%), gula (3.0%), sayur dan buah (0.6%), dan lain-

lain (1.0%) memiliki persentase energi < 55%, yang artinya pola konsumsi

kelompok pangan tersebut beragam.

Ketahanan pangan Ketahanan pangan dapat diukur secara kuantitatif maupun kualitatif.

Smith (2003) mengemukakan metode dan ukuran untuk menilai kekurangan

pangan pada tingkat rumahtangga maupun individu, melalui 4 jenis keadaan,

yang dapat diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Keadaan tersebut

adalah: 1) ketidakcukupan energi rumahtangga, 2) tingkat ketidakcukupan

energi, 3) keanekaragaman makanan (dietary diversity), dan 4) persen

pengeluaran untuk makanan (% food expenditure).

58

Tabel 33 Status ketahanan rumahtangga berdasarkan pengukuran kualitatif

Pasindangan Banjarsari Total Status n % n % n %

Tahan pangan 43 86.0 42 82.4 85 84.2 Rawan pangan 6 12.0 5 9.8 11 10.91 Kelaparan 1 2.0 4 7.8 5 5.0 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Ketahanan pangan kualitatif dihitung berdasarkan persepsi kelaparan,

dikatakan kelaparan atau tidak tahan pangan apabila terjadi penurunan frekuensi

dan porsi makan yang diikuti dengan penurunan berat badan, rawan pangan

apabila terjadi penurunan frekuensi dan porsi makan tetapi tidak diikuti dengan

penurunan berat badan, dan tahan pangan apabila tidak terjadi penurunan

frekuensi dan porsi makan. Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif,

dari kedua desa sebanyak 5.0 persen rumahtangga contoh mengalami

kelaparan, 10.91 persen rumahtangga rawan pangan, dan sebanyak 84.2 persen

rumahtangga tahan pangan.

Pengukuran ketahanan pangan secara kuantitatif menurut FAO (2003)

dapat diukur melalui tingkat ketidakcukupan energi yang menunjukkan

keparahan defisit energi yang ditunjukkan oleh defisit jumlah kalori pada

seseorang individu dibawah energi yang dianjurkan (<70%).

Tabel 34 Status ketahanan pangan RT berdasarkan pengukuran kuantitatif

Pasindangan Banjarsari Total Status n % n % n %

Rawan pangan berat 11 22 15 29.4 26 25.7 Rawan pangan sedang 1 2 4 7.8 5 5 Rawan pangan ringan 4 8 3 5.9 7 6.9 Tahan pangan 34 68 29 56.9 63 62.4 Jumlah 50 100.0 51 100.0 101 100.0

Ketahanan pangan kuantitatif diklasifikasikan berdasarkan tingkat

konsumsi energi. Dikatakan rawan pangan berat bila tingkat konsumsi energi

rumahtangga < 70%, rawan pangan sedang bila tingkat konsumsi rumahtangga

antara 70-80%, rawan pangan ringan bila tingkat konsumsi rumahtangga antara

80-90% dan tahan pangan bila tingkat kecukupan energi rumahtangga > 90%.

Berdasarkan pengklasifikasian tersebut dari total keseluruhan contoh diketahui

bahwa lebih dari setengah (62.4%) contoh merupakan rumahtangga tahan

pangan. Sejumlah 25.7 persen contoh merupakan rumahtangga rawan pangan

berat, 5 persen merupakan rumahtangga rawan pangan sedang, dan sisanya

6.9 persen contoh merupakan rawan pangan ringan. Jumlah rumahtangga tahan

59

pangan di Desa Pasindangan lebih banyak dibandingkan di Desa Banjarsari

yaitu berturut-turut (68% dan 56.9%).

Tabel 35 Sebaran rumah tangga menurut validitas kelaparan

Pasindangan Banjarsari Total Validitas Kelaparan Ya

(%) Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Ya (%)

Tidak (%)

Khawatir makanan habis sebelum punya uang untuk membeli kembali

84 14 90.2 9.8 87.1 11.9

Makanan yang dibeli tidak cukup dan tidak punya uang untuk membeli lagi

80 20 68.8 31.4 74.3 5.7

Tidak mampu untuk makan makanan seimbang 44 54 54.9 45.1 49.5 49.5

Bergantung pada beberapa jenis makanan murah untuk anak-anak karena tidak punya uang

60 40 70.6 29.4 65.3 34.7

Tidak dapat memberi makanan seimbanga untuk anak-anak karena tidak mampu membeli

56 44 54.9 45.1 55.4 44.6

Anak-anak tidak memperolah makanan yang cukup karena tidak mampu membeli

36 64 25.5 74.5 30.7 69.3

12 bulan terakhir pernah mengurangi makan 22 78 31 68 26.7 73.3

12 bulan terakhir pernah makan lebih sedikit dari biasanya 28 72 39.2 60.8 33.7 66.3

12 bulan terakhir merasa lapar tetapi tidak makan karena tidak punya uang

14 86 35.3 64.7 24.8 75.2

12 bulan terakhir turun berat badan 0 100 23.5 76.5 11.9 88.1 12 bulan terakhir pernah tidak makan sepanjang hari 0 100 5.9 94.1 3 97

12 bulan terakhir pernah mengurangi makanan anak-anak 2 90 23.5 68.6 12.9 79.2

12 bulan terakhir anak tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli makanan

2 90 9.8 82.4 5.9 86.1

Anak pernah merasa lapar tetapi tidak mampu membeli cukup makanan

14 78 41.2 51 27.7 64.4

12 bulan terakhir anak tidak makan sepanjang hari 0 92 9.8 82.4 5 87.1

Responden pada Desa pasindangan lebih banyak menjawab “ya” pada

pertanyaan pertama dan kedua mengenai kekhawatiran dalam hal pemenuhan

kebutuhan pangan, yaitu 84 persen dan 80 persen. Selain itu menyatakan “ya”

60

sebanyak 60 persen pada pernyataan bergantung pada makanan murah dan 56

persen pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan yang seimbang

pada anak-anak. Pada Desa Banjarsari pada lima pernyataan awal lebih banyak

menyatakan “ya” yaitu pada pernyataan khawatir makanan habis sebelum

mampu membeli sebanyak 90.2 persen, pernyataan khawatir makanan yang

dibeli tidak cukup dan tidak memiliki uang untuk membelinya sebesar 68.8

persen, pada pernyataan tidak mampu memberikan makanan seimbang bagi

anak-anak sebesar 54.9 persen, bergantung pada pangan murah sebesar 70.6

persen dan tidak mampu makan makanan seimbang sebesar 54.9 persen. Pada

pernyataan lain yang menjawab “ya” tidak ada yang mencapai 50 persen.

Analisis Jalur Analisis jalur adalah sebuah metode untuk mempelajari pengaruh

langsung dan tidak langsung dari variabel-variabel. Dikembangkan pertama kali

oleh Wright (1921). Analisis jalur dapat digunakan untuk menganalisis hubungan

sebab akibat antara satu variabel dengan variabel lainnya. Diagram jalur yang

digunakan dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 5.

-0.135

-0.200

0.011

0.265

-0.169

-0.034

-0.316

0.191

-0.059

0.160

-0.022

-0.078

-0.152

Y3

Y1

X1

X2 Y4

X3

Y2

Gambar 5 Diagram jalur analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga

61

Keterangan :

X1 : Tingkat pendidikan KRT

X2 : Tingkat pendidikan IRT

X3 : Besar rumahtangga

Y1 : Dukungan sosial

Y2 : Pegetahuan gizi

Y3 : Pengeluaran rumahtangga

Y4 : Tingkat ketahanan pangan rumahtangga kuantitatif

Yamin dan Kurniawan (2005) menyatakan bahwa analisis jalur dapat

dikatakan sebagai analisis regresi linier dengan variabel-variabel yang

dibakukan. Oleh karena itu, koefisien jalur pada dasarnya merupakan koefisien

beta atau koefisien regresi baku. Dalam analisis jalur faktor-faktor yang

mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, koefisien regresi (beta-β) yang

diperoleh adalah seperti yang ditulis pada gambar 5.

Untuk melihat hubungan langsung antara variabel dapat dilihat

berdasarkan persamaan struktural yang dibentuk oleh pengaruh atau efek yang

diberikan oleh masing-masing variabel eksogen terhadap variabel endogen.

Adapun pengaruh langsung antara tingkat pendidikan KRT dan tingkat

pendidikan IRT terhadap dukungan sosial dapat digambarkan melalui persamaan

berikut ini : Y = -0.078X1 – 0.152X2 . Pengaruh langsung tingkat pendidikan ibu

terhadap tingkat pengetahuan gizi ibu digambarkan melalui persamaan berikut :

Y = 1.175 – 0.022X2. Pengaruh langsung tingkat pendidikan KRT, tingkat

pendidikan ibu, besar keluarga, tingkat dukungan sosial dan tingkat pengetahuan

gizi ibu terhadap pengeluaran rumahtangga digambarkan melalui persamaan

berikut : Y = 0.160X1 – 0.059X2 – 0.316X3 + 0.191Y1 - 0.034Y2. Pengaruh

langsung pendidikan KRT, ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan

gizi ibu, dan pengeluaran terhadap ketahanan pangan rumahtangga

digambarkan melalui persamaan berikut : Y = -200X1 – 0.135X3 - 0.169Y1 +

0.011Y2 + 0.256Y3.

Berdasarkan diagram jalur pada Gambar 5, faktor yang berhubungan

langsung dengan ketahanan pangan rumahtangga adalah pendidikan KRT,

ukuran rumahtangga, dukungan sosial, pengetahuan gizi ibu, dan pengeluaran.

Analisis jalur menunjukkan bahwa pendidikan KRT tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square = 0.030, p>0.05).

Ukuran rumahtangga berpengaruh lansung terhadap ketahanan pangan

62

rumahtangga (R-square = 0.060, p<0.05), terdapat 6 persen variabel ketahanan

pangan dipengaruhi oleh variabel ukuran rumahtangga. Dukungan sosial tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan (R-square =

0.014, p>0.05), pengetahuan gizi juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap ketahanan pangan (R-square = 0.001, p>0.05). Pengeluaran

berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan rumahtangga (R-square =

0.065, p<0.05), terdapat 6.5 persen variabel ketahanan pangan dipengaruhi oleh

variabel pengeluaran.

Dalam analisis jalur terdapat pengaruh tidak langsung. Besarnya

pengaruh tidak langsung suatu variabel terhadap variabel tertentu dapat dihitung

dengan cara mengalikan koefisien-koefisien regresi (beta-β) dari variabel

pemberi efek. Dibawah ini akan ditunjukkan pengaruh tidak langsung yang

diperoleh dari analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

rumahtangga :

1. besarnya pengaruh tidak langsung oleh X1, Y1, dan Y3 terhadap Y4

adalah 0.078 x 0.191 x 0.265 = 0.004.

2. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.078

x 0.169 = 0.013.

3. besarnya pengaruh tidak langsung X1 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.078

x 0.169 = 0.013.

4. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y1, dan Y3 terhadap Y4 adalah

0.152 x 0.191 x 0.265 = 0.008.

5. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y1 terhadap Y4 adalah 0.152

x 0.169 = 0.026.

6. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.059

x 0.265 = 0.016.

7. besarnya pengaruh tidak langsung X2, Y2 dan Y3 terhadap Y4 adalah

0.022 x 0.034 x 0.265 = 0.198 x 10-3.

8. besarnya pengaruh tidak langsung X2 dan Y2 terhadap Y4 adalah 0.022

x 0.011 = 0.242 x 10-3.

9. besarnya pengaruh tidak langsung X3 dan Y3 terhadap Y4 adalah 0.316

x 0.265 = 0.084.

dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa jalur yang paling berpengaruh terhadap

ketahanan pangan rumahtangga adalah jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran

rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-ketahanan pangan rumahtangga.

63

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis jalur faktor-faktor yang

mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak, dapat

disimpulkan bahwa :

1. Umur Kepala rumahtangga lebih dari setengahnya (57.4%) termasuk

kelompok umur dewasa madya begitu pula dengan umur ibu (47.5%).

Lama sekolah kepala rumahtangga berkisar antara 0-12 tahun dengan

rataan 5.05 ± 3.001, lama sekolah ibu berkisar antara 0-16 tahun dengan

rataan 4.35 ± 3.119. Sebaran pendidikan KRT dan ibu terbesar (73.3%

dan 69.3%) adalah SD. Pekerjaan tambahan terbanyak yang dilakukan

contoh adalah sebagai pedagang dan buruh (26.7% dan 26.7%), kontrol

keuangan rumahtangga umumnya di putuskan oleh istri sendiri. Hampir

setengah (49.5%) rumahtangga berukuran kecil, kepemilikan lahan

terbesar (36.6%) adalah tidak memiliki lahan, tingkat pengetahuan gizi ibu

rendah (87.1%), dan dukungan sosial tergolong baik (56.4%).

Pengeluaran perkapita rumahtangga contoh rata-rata sebesar Rp 254

241, pengeluaran terkecil sebesar Rp 40 394 dan terbesar adalah

sebesar Rp 1 140 028, terdapat 68.3 persen rumatangga tergolong tidak

miskin dan 31.7 persen tergolong rumahtangga miskin. Akses fisik

terhadap pangan tergolong kurang memadai, terkait jarak pasar dan

ketersediaan pangan di warung.

2. Tingkat konsumsi rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi

adalah sebagai berikut : a) Tingkat kecukupan energi rumahtangga

berkisar antara 10-600 dengan rataan 141.08 ± 99.163, sebanyak 47.5

persen rumahtangga berada dalam kategori lebih; b) Tingkat kecukupan

protein rumahtangga berkisar antara 8-335 dengan rataan 104.42 ±

65.859, sebanyak 35.6 persen rumahtangga berada dalam kategori

defisit berat; c) Tingkat kecukupan kalsium rumahtangga berkisar antara

2-169 dengan rataan 21.21 ± 18.702, sebanyak 97 persen rumahtangga

berada dalam kategori defisit; d) Tingkat kecukupan zat besi

rumahtangga berkisar antara 4-179 dengan rataan 50.94 ± 34.296,

sebanyak 60.4 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit; e)

Tingkat kecukupan vitamin A rumahtangga berkisar antara 15-7 418

64

dengan rataan 611.49 ± 1 159.32, sebanyak 97 persen rumahtangga

berada dalam kategori cukup; f) Tingkat kecukupan vitamin C

rumahtangga berkisar antara 0-432 dengan rataan 60.35 ± 85.006,

sebanyak 71.3 persen rumahtangga berada dalam kategori defisit.

Berdasarkan klasifikasi ketahanan pangan kualitatif, sebanyak 84.2

persen rumahtangga tahan pangan, sedangkan pada ketahanan pangan

kuantitatif sebanyak 62.4 persen tergolong rumahtangga tahan pangan,

25.7 persen rumahtangga rawan pangan berat, 6.9 persen rumahtangga

rawan pangan ringan dan 5 persen rumahtangga rawan pangan sedang.

3. Berdasarkan analisis korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang

signifikan (r= -0.040, p>0.05) antara pendidikan KRT dengan ketahanan

pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (r= 0.027,

p>0.05) antara pendidikan IRT dengan ketahanan pangan rumahtangga.

Terdapat hubungan negatif (r= -0.261, p<0.01) antara ukuran

rumahtangga dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat

hubungan yang signifikan (r= 0.077 dan p>0.05) antara pengetahuan gizi

ibu dengan ketahanan pangan rumahtangga. Tidak terdapat hubungan

yang signifikan (r = - 0.035, p>0.05) antara dukungan sosial dengan

ketahanan pangan rumahtangga. Analisis korelasi Pearson menunjukkan

hubungan (r= 0.255, p<0.05) antara pengeluaran rumahtangga dengan

ketahanan pangan rumahtangga.

4. Pengaruh langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumahtangga

adalah pengeluaran rumahtangga (R-square = 0.065, p<0.05). Jalur yang

paling berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga adalah

jalur 9 yaitu dimulai dari ukuran rumahtangga-pengeluaran rumahtangga-

ketahanan pangan rumahtangga.

SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian analisis jalur faktor-faktor

yang mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga di Kabupaten Lebak

beberapa saran yang diberikan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Menggalakkan kembali program Keluarga Berencana (KB)

2. Meningkatkan kualitas kader posyandu terkait gizi keluarga melalui

pelatihan kader

65

3. Mengaktifkan kembali fungsi PKK khususnya pemberian penyuluhan

mengenai manajemen keuangan rumahtangga

4. Revitalisasi kelembagaan bagi petani seperti kelompok tani sebagai

wadah aspirasi dan pusat memperoleh informasi

5. Pemberian bantuan kredit dan teknologi pada petani untuk

meningkatkan produktivitas dan pendapatan

66

DAFTAR PUSTAKA Adi AC. 1998. Komunikasi dan ketahanan pangan rumah tangga menurut tipe

arkeologi di wilayah kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

[Anonim]. 2009. Petani. http//:www.wikipedia.com. [7 April 2009].

Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer (1995). Manual for Social Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany: Margraf Verlag.

Dewan Bimas Ketahanan Pangan (DBKP). 2001. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. DBKP, Jakarta.

Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.

Hardinsyah, Fadjar, Ikeu Tanziha, Drajat Martianto, Dodik Briawan, Fatimah, Munawar, Basuki, Farid dan bernadus. 2003. Uji Coba Instrumen Kelaparan. Kerjasama Deptan, PSKPG, BPS, Depkes dan BKKBN. Jakarta.

Hardinsyah dan Suhardjo. 1990. Prinsip-Prinsip Analisis Ekonomi Gizi. Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Hildawati I. 2008. Analisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada rumahtangganelayan. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hoddinott J. 1999. Choosing outcome indicators of household food security. International Food Polisy Research Institute. Washington D.C.

Hudjimartsu S. 2005. Pemodelan menggunakan regresi, analisis jalur, dan persamaan structural [skripsi]. Departemen Matermatika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Kartika TWW. 2005. Analisis coping strategy dan ketahanan pangan rumah tangga petani di desa Majasih kecamatan Sliyeg kabupaten Indramayu. [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kenny DA. 1979. Correlation an Causality. Newyork: Wiley

67

Khomsan A. 2002a. Kecukupan Pangan Sebagai HAM. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

________. 2002b. Fenomena Keniskinan. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

________. 2002c. Pangan sebagai Indikator Kemiskinan. Di dalam: Fenomena Kemiskinan dalam Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Manesa J. 2009. Ketahanan pangan rumah tangga di desa penghasil damar kabupaten Lampung Barat. [tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Martianto D, M Ariani. 2004. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta.

Maxwell S, Frankenberg TR. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. New York: UNICEF Programme Publications.

Megawangi R. 1994. Gender Perspectives in Early Childhood Care and Development in Indonesia. Indonesia: The Consultative Group on Early Childhood Care and Development.

Nugroho BA. 2007. Strategi Jitu Memilih Metode Statistika Penelitian dengan SPSS. Yogyakarta: ANDI.

Nurliawati L. 2003. Kebiasaan Jajan dan Preferensi Anak Sekolah Dasar terhadap Makanan Jajanan dengan Pewarna Sintetik. [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

PPK-LIPI. 2004. Ketahanan pangan rumah tangga di pedesaan: konsep dan ukuran. www.bappeda-jabar. [17 Januari 2009]

Prabawa S. 1998. Sumberdaya Rumahtangga dan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani. Studi Desa Water Jaya Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Jawa Barat. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pranadji DK. 1995. Adab/Kebiasaan Makan. Makalah Disajikan dalam Pelatihan dan Penyuluhan Pangan dan Gizi di Kalangan Pendidik Sekolah Dasar dan Menengah, Bandar Lampung . 24-28 Oktober.

Puspa AR. 2007. Kajian Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani: Pengambilan Keputusan Istri dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rahmah I. 2006. Analisis hubungan akses fisik, akses ekonomi, dan pengetahuan gizi terhadap konsumsi pangan mahasiswa IPB. [skripsi].

68

Departemen gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Riyadi S. 1993. Peranan wanita dalam meningkatkan taraf hidup rumahtangga petani PIR (Kasus PIR Kelapa Sawit di Kecamatan Ngabang.Kabupaten Pntianak. Kalimantan Barat) [Tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Riyadi H. 1996. Pola Konsumsi Pangan. Di dalam: Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian (hlm. 174-183). Khomsan A & Sulaeman A, edit. Bogor: IPB Press.

Sajogyo P. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: CV. Rajawali.

Sarafino EP. 1996. Health Psycologhy: Biopsychosocial Interactions. New York: Allyn and Bacon.

Smith LC. 2003. The Use of Household Expenditure Surveys for The Assessment of Food Insecurity. Proceedings Measurement and Assessment of Food Deprivation and Undernutrition. International Scientific Symposium, Rome 26-28 June 2002.

Soetrisno L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius.

Syarief H. 1992. Metode Ststistika untuk Pangan dan Gizi Masyarakat. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Suandi. 2007. Hubungan modal sosial dengan ketahanan pangan rumahtangga di daerah pedesaan provinsi Jambi berdasarkan agroekologi wilayah. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi 2008.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Suryana. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE, Yogyakarta.

Tambunan. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia : Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tanziha I. 2005. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosial Ekonomi Rumahtangga untuk Menentukan Determinan dan Indikator Kelaparan. [disertasi]. Bogor: Program Doktor, Institut Pertanian Bogor

[WFP] World Food Programme. 2003. Peta Kerawanan Pangan. WFP. Jakarta.

Wasito. 1999. Perspektif Jender dalam Jaringan Komunikasi Difusi Sistem Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA). [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

69

Yamin S dan Kurniawan H. 2009. SPSS Complete : Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek.

70

LAMPIRAN

71

Lampiran 1 Hasil analisis korelasi Spearman variabel karakteristik sosial ekonomi dan akses pangan dengan tingkat ketahanan pangan

Pddk KRT

Pddk IRT LuLhn UkRT DS PG Tk.KP Variabel

Pendidikan KRT 1.000 -0.040

Pendidikan IRT 1.000 0.027 Kepemilikan Luas Lahan 1.000 0.273**

Ukuran Rumahtangga 1.000 -0.263**

Dukungan Sosial 1.000 -0.035

Pengetahuan Gizi 1.000 0.077

Tk. Ketahanan Pangan 1.000

Keterangan : * ) signifikansi pada level 0.05

**) signifikansi pada level 0.01

Lampiran 2 Hasil analisis korelasi Pearson variabel pengeluaran perkapita dengan ketahanan pangan

Correlations

1 .251*.011

101 101.251* 1.011101 101

Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N

ketahanan pangan

pengeluaran RT

ketahananpangan

pengeluaranRT

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).*.

72

Lampiran 3 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT terhadap dukungan

sosial Model Summary(b)

Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate 1 .172(a) .030 .010 6.512a Predictors: (Constant), pendidikan IRT, pendidikan KRT b Dependent Variable: dukungan sosial

Coefficientsa

21.433 1.549 13.837 .000-.169 .217 -.078 -.779 .438-.318 .209 -.152 -1.523 .131

(Constant)pendidikan KRTpendidikan IRT

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: dukungan sosiala.

Lampiran 4 Hasil analisis jalur pendidikan IRT terhadap pengetahuan gizi IRT

Model Summaryb

.022a .000 -.010 2.325Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), pendidikan IRTa.

Dependent Variable: pengetahuan gizib.

Coefficientsa

2.414 .398 6.064 .000.016 .075 .022 .221 .826

(Constant)pendidikan IRT

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: pengetahuan gizia.

73

Lampiran 5 Hasil analisis jalur pendidikan KRT dan IRT, ukuran RT, dukungan

sosial, dan pengetahuan gizi terhadap pengeluaran perkapita

Model Summaryb

.375a .140 .095 170415.824Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, pendidikanIRT, ukuran RT, dukungan sosial, pendidikan KRT

a.

Dependent Variable: Pengeluaran perkapitab.

Coefficientsa

243139.4 76319.452 3.186 .002-3380.852 5533.311 -.059 -.611 .5439545.285 5894.920 .160 1.619 .109-22477.2 6846.370 -.316 -3.283 .0015232.379 2652.902 .191 1.972 .051

-2600.099 7571.627 -.034 -.343 .732

(Constant)pendidikan IRTpendidikan KRTukuran RTdukungan sosialpengetahuan gizi

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: Pengeluaran perkapitaa.

Lampiran 6 Hasil analisis jalur pendidikan KRT, ukuran RT, dukungan sosial,

pengetahuan gizi, dan pengeluaran perkapita terhadap ketahanan

pangan

Model Summaryb

.394a .155 .111 93.516Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), pengetahuan gizi, Pengeluaranperkapita, dukungan sosial, pendidikan KRT, ukuranRT

a.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

74

Coefficientsa

212.833 40.027 5.317 .000-6.616 3.279 -.200 -2.018 .046-5.318 3.960 -.135 -1.343 .182

.000 .000 .265 2.610 .011-2.567 1.472 -.169 -1.745 .084

.479 4.157 .011 .115 .909

(Constant)pendidikan KRTukuran RTPengeluaran perkapitadukungan sosialpengetahuan gizi

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.

Lampiran 7 Hasil analisis jalur pengaruh langsung variabel sosial ekonomi

terhadap ketahahan pangan

Model Summaryb

.174a .030 .020 98.144Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), pendidikan KRTa.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

Coefficientsa

170.092 19.184 8.866 .000-5.746 3.270 -.174 -1.757 .082

(Constant)pendidikan KRT

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.

Model Summaryb

.244a .060 .050 96.638Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), ukuran RTa.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

75

Coefficientsa

190.908 22.067 8.651 .000-9.623 3.836 -.244 -2.509 .014

(Constant)ukuran RT

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.

Model Summaryb

.117a .014 .004 98.973Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), dukungan sosiala.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

Coefficientsa

175.241 30.661 5.715 .000-1.779 1.512 -.117 -1.176 .242

(Constant)dukungan sosial

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.

Model Summaryb

.028a .001 -.009 99.623Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), pengetahuan gizia.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

Coefficientsa

144.083 14.587 9.877 .000-1.209 4.306 -.028 -.281 .780

(Constant)pengetahuan gizi

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.

76

Model Summaryb

.255a .065 .056 96.359Model1

R R SquareAdjustedR Square

Std. Error ofthe Estimate

Predictors: (Constant), Pengeluaran perkapitaa.

Dependent Variable: ketahanan panganb.

Coefficientsa

105.148 16.701 6.296 .000.000 .000 .255 2.628 .010

(Constant)Pengeluaran perkapita

Model1

B Std. Error

UnstandardizedCoefficients

Beta

StandardizedCoefficients

t Sig.

Dependent Variable: ketahanan pangana.