29
1 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA OLEH CHINA MENGHADAPI ERA CAFTA ADIYATMA NUGROHO MARUTO UMAR BASUKI, SE. M.Si ABSTRACT The role of foreign trade in national economies increasingly important especially when going to the enactment of CAFTA. The industrial sector is the dominant sector, prepared by downs of oil and gas sector capabilities in generating foreign exchange. Commodities textiles and textile products (TPT) is an important part of Indonesia's. This research is only limited to the textile yarn or yarn spinner, the classification of SITC 65. The purpose of this study is to investigate the analysis factors that affect the exports of textile and clothing Indonesia to China in particular before the era of CAFTA The regression result of the ECM model mentioned above indicates that in the short term period, price variable of Indonesian textile is the only variable that’s significantly influenced the demand of textile export volume Indonesia to China before. As the rupiah’s exchange rate to dollar’s and GDP per capita of China do not significantly affected the demand of textile export volume. Whereas, in the long term period, the price variable of Indonesian textile and GDP per capita significantly affected textile export volume of Indonesia to China, while the variable of rupiah’s exchange rate to dollar’s do not significant affected Indonesian textile export volume. Keyword: textile export volume Indonesia to China, price of Indonesian textile, rupiah’s exchange rate to dollar, GDP per capita of China.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI …eprints.undip.ac.id/29252/1/jurnal_skripsi_PDF_oke.pdf · Sektor industri merupakan sektor yang dominan dibandingkan pertanian dan tambang

Embed Size (px)

Citation preview

1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERMINTAAN EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL

(TPT) INDONESIA OLEH CHINA MENGHADAPI ERA CAFTA

ADIYATMA NUGROHO

MARUTO UMAR BASUKI, SE. M.Si

ABSTRACT

The role of foreign trade in national economies increasingly important

especially when going to the enactment of CAFTA. The industrial sector is the

dominant sector, prepared by downs of oil and gas sector capabilities in generating

foreign exchange. Commodities textiles and textile products (TPT) is an important

part of Indonesia's. This research is only limited to the textile yarn or yarn spinner,

the classification of SITC 65. The purpose of this study is to investigate the analysis

factors that affect the exports of textile and clothing Indonesia to China in particular

before the era of CAFTA

The regression result of the ECM model mentioned above indicates that in the

short term period, price variable of Indonesian textile is the only variable that’s

significantly influenced the demand of textile export volume Indonesia to China

before. As the rupiah’s exchange rate to dollar’s and GDP per capita of China do not

significantly affected the demand of textile export volume. Whereas, in the long term

period, the price variable of Indonesian textile and GDP per capita significantly

affected textile export volume of Indonesia to China, while the variable of rupiah’s

exchange rate to dollar’s do not significant affected Indonesian textile export

volume.

Keyword: textile export volume Indonesia to China, price of Indonesian textile,

rupiah’s exchange rate to dollar, GDP per capita of China.

2

I. PENDAHULUAN

Perdagangan internasional yang dilakukan oleh Indonesia mengalami

perubahan mengikuti perkembangan keadaan ekonomi dan politik dunia.

Perdagangan internasional Indonesia pada tahun 1988 mengalami perubahan orientasi

karena turunnya harga minyak dunia. Komoditi ekspor yang sebelumnya tergantung

pada migas menjadi non-migas karena menurunnya kemampuan migas dalam

meningkatkan devisa, oleh sebab itu pemerintah melakukan usaha mendorong ekspor

non migas Indonesia dengan cara melakukan liberalisasi perdagangan. Liberalisasi

perdagangan dilakukan sebagai usaha mencari pengganti komoditi yang dapat

diunggulkan sebagai penopang perdagangan internasional . Pada tahun 1987 ke tahun

1988 ekspor non migas Indonesia naik dari 8579,6 juta dollar ke 11 536,9 juta dollar.

Ekspor migas Indonesia turun dari 12 717, 8 juta dollar pada tahun 1985, menjadi 8

276, 6 juta dollar pada tahun 1986 selanjutnya sektor non migas mendominasi

struktur perdagangan internasional Indonesia.

Perdagangan internasional Indonesia pada sektor non migas terbagi menjadi

tiga sektor terbesar yaitu sektor pertanian, industri dan pertambangan. Pada tahun

2005 sampai tahun 2009 tren ekspor non-migas Indonesia mengalami peningkatan.

Sektor industri merupakan sektor yang dominan dibandingkan pertanian dan tambang

(lihat Tabel 1.2). Sektor industri Indonesia pada tahun 2005 sebesar 44877,5 juta

dolar meningkat menjadi 54 484,3 juta dollar pada tahun 2006. Pada tahun 2007

sektor industri menyentuh angka 63.130,3 juta dollar sedangkan pada tahun 2008

sektor industri menyumbangkan 73.061,0 juta dollar. Pada tahun 2009 sektor industri

mengalami penurunan menjadi 64.022,3 juta dollar. Penurunan pada tahun 2009

terjadi karena pada tahun 2008 terjadi krisis ekonomi global akibat subprime

mortage di Amerika serikat. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat berpengaruh

terhadap ekspor Indonesia karena Amerika Serikat merupakan tujuan utama komoditi

Indonesia.

komoditi tekstil merupakan ekspor komoditi terbesar dari sektor industri non-

migas dibandingkan dengan komoditas non migas lainnya. Tekstil dan pakaian jadi

memiliki pangsa sebesar 7,3 persen pada tahun 2010 hal tersebut mengungguli

3

pangsa komoditas non migas lainnya. Komoditas tekstil menjadi objek penelitian ini

karena dalam perekonomian Indonesia tekstil memiliki peran yang strategis

diantaranya: 1) tekstil mempunyai peranan sebagai penghasil devisa, 2)pemenuh

kebutuhan dalam negeri, 3) mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Klasifikasi yang dapat dilakukan untuk komoditi TPT digolongkan menurut

SITC (Standar Internasional trade classification) menurut data Departemen

Perdagangan Republik Indonesia diklasifikasikan berdasarkan SITC 26 (serat tekstil

atau textile fibers and waste), SITC 65 (produk tekstil atau textile yarn, fabrics etc)

dan SITC 84 (pakaian jadi atau clothing and accessories).

Tabel 1.1

Perkembangan Ekspor TPT Indonesia ke dunia berdasarkan SITC Tahun 2003-

2008 (jumlah Kg)

Sumber : Departeman Perdagangan, 2009

Perkembangan ekspor tekstil Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1 dimana

dibedakan berdasarkan SITC (Standar Internasional Trade Clasification). Tabel 1.1

memberikan informasi bahwa klasifikasi SITC 65 memiliki volume ekspor TPT

terbesar di susul SITC 84 dan SITC 26. Hal tersebut karena produk SITC 65

merupakan diferensiasi produk pertama di Indonesia.

. Dalam hal ini fluktuasinya harga TPT Indonesia menyebabkan harga TPT

Indonesia tidak stabil. Hal tersebut menjadi kekhawatiran Produsen TPT Indonesia

karena tidak dapat bersaing dengan TPT China. Selain itu biaya produksi yang tinggi

Tahun SITC 26 SITC 65 SITC 84

2003 154.855.644 1.155.830.679 380.428.067

2004 154.149.796 1.146.903.567 376.098.608

2005 195.379.665 1.231.833.358 431.026.995

2006 232.137.081 1.249.550.605 459.041.894

2007 249.044.353 1.227.599.932 457.354.564

2008 277.088.300 1.076.101.057 474.551.101

4

menjadi permasalahan produsen TPT Indonesia karena dikhawatirkan tidak dapat

bersaing oleh TPT China yang terkenal lebiih murah.

Permasalahan usaha Tekstil dan Produk Tekstil yang selanjutnya di singkat

TPT dibagi menjadi 2 bagian yaitu, iklim usaha dan pasar dalam negeri. Pertama,

perubahan dalam iklim usaha pada akhirnya memaksa peningkatan biaya produksi.

Adapun elemen di dalam iklim usaha tersebut adalah kenaikan bahan bakar bumi

(BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan ini akibat krisis energi yang dihadapi

semua negara. Selain itu, regulasi dan peraturan pemerintah yang tidak ditegakkan

memicu ekonomi biaya tinggi yang semakin membebani dunia usaha. Bagian kedua

adalah masuknya produk TPT impor dari negara lain seperti RRT dengan harga

murah, yang pada umumnya membidik segmen bawah. (Assosiasi Pertekstilan

Indonesia, Juni 2007)

Tabel 1.6 menerangkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun terakhir,

komoditas TPT klasifikasi SITC 65 memiliki sumbangan ekspor TPT ke China

paling besar dibandingkan dengan klasifikasi SITC lainnya. Sedangkan TPT

klasifikasi 26 menempati urutan ke dua diikuti SITC 84. Dalam kegiatan perdagangan

TPT Indonesia ke China, peran TPT Klasifikasi 65 layak untuk mendapat perhatian

karena sumbagannya yang besar terhadap ekspor TPT Indonesia ke China

Tab el 1.6

Perbandingan Sumbangan Ekspor TPT Indonesia ke China menurut

klasifikasi SITC Tahun 2005-2008 (jumlah Kg)

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 (diolah)

TAHUN 2005 2006 2007 2008

SITC 26 20.694.884

(34,9%)

34.615.439

(45,5%)

27.722.439

(38,3%)

21.609.456

(32,6%)

SITC 65 37.425.343

(63,2%)

38.583.472

(50,7%)

43.120.929

(59,5%)

42.476.770

(64,1%)

SITC 84 1.036.385

(1,75%)

2.807.941

(3,69%)

1.553.996

(2,14%)

2.103.667

(3,17%)

Total 59.156.612

(100%)

76.006.851

(100%)

72.397.364

(100%)

66.189.893

(100%)

5

Pada Tabel 1.6 menjelaskan sumbangan ekspor TPT Indonesia ke China

khususnya produk SITC 65. Dari data diatas menunjukan bahwa produk tekstil yarn

adalah produk yang mendominasi ekspor TPT Indonesia ke China. Tekstil yarn pada

tahun 2008 menyumbangkan ekspor sebesar 65.1% dari klasifikasi produk SITC 65

diikuti Textile Fabrics, Woven,of man-made fibers sebesar 13.1%. dan cotton fabrics

sebesar 4.3%.

Tabel 1.7

Perkembangan Volume Ekspor Produk SITC 65 ke China Tahun 2005-

2008 (dalam Kg)

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 (diolah)

Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa ekspor tekstil yarn ke China

sementara terbukti. hal tersebut ditunjukan pada Tabel 1.7 tentang pertumbuhan

ekspor Tekstil Yarn ke Indonesia. Pertumbuhan Volume ekspor TPT Indonesia ke

Produk SITC 65 2005 2006 2007 2008

Textile Yarn 27.072.412

(72.8%)

28.474.611

(73.4%)

31.356.588

(72.1%)

27.640.094

(65.1%)

Cotton fabrics,

Woven

2.041.564

(5.49%)

1.726.693

(4.45%)

1.793.779

(4.12%)

1.818.393

(4.3%)

Textile Fabrics,

Woven,of man-made

fibers

4.103.143

(11.03%)

3.868.882

(9.97%)

5.725.932

(13.1%)

5.723.283

(13.1%)

Textile fabrics,

woven,other than of

cotton or man-made

fibers

620

(0.001%)

53.245

(1.26%)

70.354

(1.16%)

67.033

(0.15%)

Knitted or crocheted

fabrics

227.440

(0.06%)

492.008

(0.08%)

1.346.153

(3.09%)

2.899.387

(0.8%)

Tulle, lace,

embroidery,Ribbons,

Trimings and other

small wares

19.826

(0.05%)

32.408

(9.8%)

13.293

(0.036%)

20.805

(0.04%)

Spescial yarns,textile

fabrics

3.166.815

(8.5%)

3.807.197

(9.8%)

2.612.126

(6.6%)

3.334.663

(7.8%)

Madde-up articles,

wholly

148.347

(0.3%)

132.427

(0.34%)

200.705

(0.4%)

639.712

(1.51%)

Floor Coverings 595.176

(1.60%)

188.252

(0.4%)

361.259

(0.83%)

323.400

(0.76%)

Total ekspor 37.170.647

(100%)

38.775.723

(100%)

43.480.189

(100%)

42.146.604

(100%)

6

China sebelum diimplementasikan CAFTA memang mengalami fluktuasi. fluktuasi

volume ekspor TPT Indonesia ke China dapat disebabkan oleh beberapa variabel

seperti fluktuatifnya harga TPT Indonesia dan kurs rupiah yang tidak stabil.

Tabel 1.8

Pertumbuhan Volume Ekspor Tekstil Yarn Indonesia ke China tahun

1989-2008 (jumlah Kg)

Tahun Volume Ekspor

Tekstil Yarn

Pertumbuhan (%)

1998 9.633.776

1999 16.588.254 0.72%

2000 43.775.670 1,63%

2001 37.727.905 -0,13%

2002 44.355.473 0,17%

2003 49.011.892 0,10%

2004 33.697.228 -0,31%

2005 27.072.412 -0,19%

2006 28.474.611 0,05%

2007 31.356.588 0,10%

2008 27.640.094 -0,11%

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Seperti yang telah di jelaskan di atas, fluktuasinya volume ekspor TPT

Indonesia ke China dipengaruhi oleh beberapa variabel. Kesepakatan CAFTA yang

menggambarkan pasar persaingan sempurna menyebabkan variabel harga sebagai

penentu dari permintaan atau penawaran suatu produk. Begitupun dengan TPT

Indonesia, variabel harga menjadi bagian penting dalam permintaan ekspor TPT

Indonesia ke China.

Biaya produksi yang mengakibatkan fluktuasinya harga TPT Indonesia

dibengaruhi juga oleh kurs atau nilai tukar. Kurs dalam hal ini kurs rupiah

berpengaruh pada industri di Indonesia karena industri di Indonesia masih

mengkonsumsi bahan baku impor. Selain itu alat pembayaran pada perdagangan

internasional yang menggunakan kurs menyebabkan harga TPT Indonesia menjadi

tidak stabil. Hal tersebut memberikan arti bahwa fluktuasinya harga TPT Indonesia

akan menyebabkan volume ekspor TPT Indonesia pun berfluktuasi. Fluktuasi harga

TPT Indonesia pada tahun 1998 sampai 2008 terlihat pada Tabel 1.8 sebagai berikut:

7

Tabel 1.9

Perkembangan harga TPT Indonesia tahun 1998-2008 (US$/Kg)

Tahun Harga TPT

Indonesia

Pertumbuhan(%)

1998 1.637

1999 2.003 22,3%

2000 1.447 -27,7%

2001 1.689 16,7%

2002 1.632 -3,37%

2003 1.738 6,49%

2004 2.551 46,7%

2005 2.049 19,6%

2006 2.475 20,7%

2007 2.590 4,46%

2008 2.827 9,15%

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009 (diolah)

Selain fluktuasi harga TPT Indonesia, fluktuasi harga TPT China juga

mempengaruhi permintaan ekspor TPT Indonesia oleh China. Produk TPT yang

substitusi pada klasifikasi 65 khususnya tekstil yarn menyebabkan perubahahan harga

TPT China akan mempengaruhi jumlah ekspor TPT dari Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas mendorong penulis untuk mengetahui

perkembangan ekspor TPT Indonesia ke China khususnya sebelum diberlakukanya

CAFTA. Dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor TPT

Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhinya adalah: Harga TPT Indonesia, kurs rupiah per dollar dan GDP

perkapita China.

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisis perkembangan volume ekspor TPT Indonesia oleh China

menghadapi era CAFTA

2) Menganalisis pengaruh harga TPT Indonesia terhadap permintaan ekspor

TPT Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA

8

3) Menganalisis pengaruh kurs rupiah per dollar terhadap permintaan ekspor

TPT Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA.

4) Menganalisis pengaruh GDP perkapita China terhadap permintaan ekspor

TPT Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA.

II. TINJAUAN PUSTAKA

a. Teori perdagangan Internasional

Suatu perdagangan terjadi dikarenakan adanya kebutuhan dalam negeri untuk

memenuhi serta mendapatkan suatu manfaat atau keuntungan yang lebih. Dengan

adanya perdagangan, setiap negara akan memfokuskan untuk memproduksi barang dan

jasa yang dapat secara efisien atau spesialisasi produksi, sementara negara lain yang

melakukan perdagangan adalah untuk memperoleh barang dan jasa lain yang tidak di

produksinya. Secara umum, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

perdagangan luar negeri. (Putong, 2003), antara lain:

1. Untuk memperoleh barang atau sumber daya yang tidak dapat dihasilkan di

dalam negeri.

2. Untuk mendapatkan barang yang sebenarnya dapat dihasilkan di dalam

negeri, namun kualitasnya tidak sebaik produksi negara lain atau kualitasnya

belum memenuhi syarat.

3. Untuk mendapatkan teknologi yang lebih modern, dengan tujuan untuk

memberdayakan sumberdaya alam di dalam negeri.

4. Untuk memperluas pasaran produk yang dihasilkan di dalam negeri.

Untuk memperoleh keuntungan dari spesialisasi

b. Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage)

Teori Keunggulan Absolut dari Adam Smith sering disebut sebagai teori murni

perdagangan internasional. Dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa suatu negara

yang melakukan spesialissasi dan perdagangan luar negeri akan cepat maju, apabila

perdagangan itu memberikan keunggulan mutlak. Sedangkan yang dimaksud dengan

keunggulan mutlak (Absolut Advantage) oleh Adam Smith adalah kemampuan suatu

9

negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa dengan menggunakan sumber daya

yang lebih sedikit di banding dengan negara-negara lain (Salvatore, 1997)

c. Teori keunggulan Komperatif (Comperative Advantage)

Keunggulan komperatif adalah keunggulan relatif yang dimiliki oleh suatu

segara dibandingkan dengan negara lain dalam memproduksi barang berbagai

komoditas (Lipsey, 1997). Jika masing-masing negara yang memiliki keunggulan

komperatif dalam satu komoditi mengkhususkan memproduksi komoditi tersebut, maka

produksi dunia akan mampu di tinggkatkan sehingga akan memberikan peluang bagi

setiap negara untuk melakukan perdagangan serta memperoleh manfaat dari

perdagangan tersebut. Keunggulan komperatif sendiri timbul karena adanya negara-

negara yang mempunyai biaya dan kesempatan yang berbeda dalam memproduksi

barang atau komoditas tertentu. Bila suatu negara memiliki keunggulan komperatif

dalam satu barang, tetapi tanpa ada perdagangan maka harga relative untuk harga

barang tersebut akan lebih rendah dari pada dinegara yang tidak memiliki keunggualan

komperatif untuk barang tersebut. Perdagangan akan meningkatkan harga barang

relative tersebut sehingga akan menciptakan insentif bagi perusahaan-perusahaan di

negara yang meiliki keunggulan komperatif untuk lebih meningkatkan produksinya.

Selain itu, jumlah komoditi akan di konsumsi menjadi lebih banyak jika dibandingkan

dengan tanpa perdagangan.

d. Teori Proporsi Faktor Produksi dari Heekscher-Ohlin (H-O)

Teori Heekscher-Ohlin (Salvatore,1997) Menyatakan bahwa komoditi yang

diekspor oleh suatu negara adalah komoditi yang produksinya menyerap banyak faktor

produksi yang relative melimpah dan murah di negara tersebut, dan akan mengimpor

komoditi yang membutuhkan sumber daya yang relative langka dan mahal di negara itu.

Karena pada teori Heekscher-Ohlin lebih menekankan pada perbedaan kepemilikan

faktor-faktor produksi antara suatu negara dengan negara lain yang merupakan landasan

dalam menentukan keunggulan komperatif masing-masing negara maka teori ini juga

disebut sebagai teori kepemilikan faktor atau proporsi faktor. Teori ini menyatakan

10

bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi serta mengekspor komoditi

yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dan mengimpor

komiditi atau barang yang banyak menyerap faktor produksi yang langka dan mahal di

negara itu.

e. Teori keunggulan kompetitif (Competitive Advantage)

Menurut Michel E. Porter (1990) The competitive Advantage of Nation adalah

tentang tidak adanya korelasi langsung antar dua faktor produksi (sumber daya alam

yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki suatu negara untuk

dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan.

Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya sangat besar secara

proporsional dengan luar negeri terjadi terbelakang dalam upaya daya saing

internasional. Begitu juga tingkat upah yang relatif lebih murah daripada negara

lainnya, begitu pula korelasi erat dengan rendahnya motivasi kerja keras dan

berprestasi. Hasil akhir Porter menyebutkan peranan pemerintah sangat mendukung

selain faktor produksi. Porter mengungkapkan bahwa ada empat atribut utama yang

menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai akses

internasional, keempat atribut itu meliputi :

1. Kondisi faktor produksi

2. Kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri

3. Eksistensi industri pendukung

4. Kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri.

Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh

kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negara yang tinggi,

industry hulu/hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat keunggulan

kompetitif yang didukung oleh satu atau dua atribut saja biasanya tidak akan dapat

bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses.

Disamping keempat atribut diatas, peran pemerintah juga menyebabkan variabel yang

cukup signifikan (Porter, 1990).

11

f. Pengertian Ekspor dan Impor

Ekspor adalah penjualan barang dan jasa keluar wilayah yang disebut negara.

Ekspor merupakan salah satu komponen perdagangan luar negeri yang memberikan

sumber devisa bagi negara yang bersangkutan, apabila suatu negara melakukan impor,

maka negara tersebut akan mengeluarkan devisa (Deliarnov, 1995).

Ekspor merupakan salah satu komponen atau bagian dari pengeluaran agregat,

semakin besar pengeluaran agregat, maka semakin tinggi pula pendapatan nasional

negara yang bersangkutan (Sukirno, 1994). Akan tetapi hal sebaliknya belum tentu

demikian, dimana pendapatan nasional yang tinggi tidak menjamin ekspor akan tinggi

pula. Sifat ekspor seperti dijelaskan diatas mirip dengan sifat investasi dan pengeluaran

pemerintah, dimana pendapatan nasional akan naik jika ekspor naik, akan tetapi jika

pendapatan naik belum tentu ekpor juga akan naik (Deliarnov, 1995)

Banyak faktor yang mempengaruhi dimana ekspor akan dilakukan. Suatu negara

dapat mengekspor suatu komoditas, jika komoditas tersebut dibutuhkan oleh negara lain

atau tidak diproduksi oleh negara lain. Faktor yang lebih penting lagi adalah

kemampuan dari negara tersebut untuk memproduksi barang-barang yang dapat

bersaing di pasaran luar negeri.

Impor merupakan kebalikan dari ekspor. Jika ekspor dikatakan sebagai faktor injeksi

maka impor merupkan kebocoran dari pendapatan nasional. Artinya, makin besar impor

makin banyak uang negara yang pindah ke luar negeri. Jumlah impor ditentukan oleh

kemampuan dalam menghasilkan barang-barang yang besaing dengan buatan dalam

negeri. Apabila barang-barang yang diproduksi oleh negara lain kualitasnya lebih baik,

produksi lebih efiseien, dan lebih murah daripada buatan dalam negeri, maka akan

terdapat kecenderungan bahwa negara tersebut akan mengimpor barang dari luar negeri

(Sukirno, 1994).

g. Teori Permintaan Ekspor

Permintaan dari suatu barang atau komoditi timbul dikarenakan adanya

keinginginan dan kemampuan konsumen untuk membeli suatu barang tertentu.

Pengertian dari permintaan (Lipsey, 1995) itu sendiri adalah jumlah suatu komoditi

12

yang akan dibeli oleh rumah tangga. Hubungan antara harga dan jumlah yang diminta

adalah negatif sehingga hukum hukum permintaan menyebutkan bahwa semakin

rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang akan diminta semakin besar, begitu

pula sebaliknya.Sementara itu, penentuan permintaan dari suatu pasar dipengaruhi oleh

beberapa faktor (Lipsey, 1995),yaitu:

1. Harga komoditi itu sendiri

2. Rata-rata Pendapatan rumah tangga

Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan jumlah

komoditi yang diminta lebih banyak pada setiap harga tertentu.

3. Harga-harga lainnya

Harga-harga lainnya yang dimaksud adalah harga barang substitusi dan harga

barang komplementer. Naiknya harga pada barang substitusi suatu komoditi

maka akan menyebabkan permintaan dari komoditi tersebut meningkat.

Sedangkan naiknya harga barang komplementer suatu komoditi akan

menyebebkan permintaan dari komoditi tersebut turun.

4. Selera

Selera memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menentukan keputusan

seseorang dalam membeli suatu barang.

5. Distribusi pendapatan

Perubahan dalam distribusi pendapatan akan menyebabkan semakin banyak

komoditi yang akan dibeli bagi mereka yang memperoleh tambahan pendapatan,

begitupula sebaliknya.

6. Jumlah penduduk

Kenaikan jumlah penduduk akan menyebabkan lebih banyak komoditi yang

akan di beli pada setiap tingkat harga.

III. METODE PENELITIAN

Jenis dan sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder.

Data yang dibutuhkan diperoleh dari BPS, Bank Indoensia, Jurnal-jurnal ekonomi,

13

Departemen Perdagangan dan rilis atau surat kabar yang terkait dengan penelitian

ini, data yang diperoleh berupa :

1. Data volume ekspor TPT Indonesia ke China selama periode tahun 1989-

2008

2. Data harga TPT Indonesia selama periode 1989-2008

3. Data kurs rupiah terhadap dollar selama periode tahun 1989-2008

4. Data GDP perkapita China selama periode 1989-2008

Definisi Oprasional

1. Volume ekspor TPT Indonesia ke China (Y) yaitu hasil penjualan TPT

Indonesia ke China dalam kurun waktu satu tahun yang dihitung dengan

satuan kg. Dimana dalam penelitian ini terdiri dari SITC 65 khususnya tekstil

yarn atau benang pemintal.

2. Harga TPT Indonesia(X1) adalah harga ekspor TPT Indonesia ke China. TPT

yang diteliti dalam skripsi ini adalah TPT yang tergolongkan SITC 65

khususnya tekstil yarn yang dinyatakan dalam satuan US$ per Kg.

3. Kurs rupiah terhadap dollar(X3). Nilai tukar adalah harga mata uang suatu

negara terhadap mata uang negara lain. nilai tukar yang digunakan adalah

nilai tukar rupiah terhadap dollar (rupiah/US$) atas dasar kurs tengah rupiah

terhadap dollar yang berdasaarkan dihitung berdasarkan kurs rill yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI).

4. GDP perkapita China. GDP perkapita China adalah pendapatan rata-rata

penduduk negara China. GDP perkapita China yang dihitung adalah GDP rill

masyarakat China dengan satuan dollar AS.

Metode Analisis

Error correction model dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa pelaku

ekonomi menghadapi adanya ketidakseimbangan dalam konteks bahwa fenomena

yang diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan apa yang senyatanya

dan perlunya yang bersangkutan melakukan penyesuaian sebagai akibat adanya

14

perbedaan fenomena aktual yang dihadapi antar waktu. Selanjutnya dengan

menggunakan ECM dapat dianalisis secara teoritik dan empirik apakah model yang

dihasilkan konsisten dengan teori atau tidak (Sri Inowati,2002). Alasan

digunakan ECM dalam penelitian ini (Insukindro,1993):

1. ECM yang merupakan suatu autoregresif, mengikutsertakan pertimbangan

pengaruh lag dalam analisisnya sehingga model ini sesuai diterapkan

dalam penelitian yang menggunakan data yang berbentu time series

2. Kemampuan ECM meliputi banyak variabel dalam menganalisis fenomena

ekonomi jangka pendek dan jangka panjang

3. Pendekatan ini telah diterapkan di Indonesia dan mampu menjelaskan

pengalaman-pengalaman ekonomi di Indonesia.

Secara matematis model dasar yang digunakan dalam penelitian ini sebagai

berikut:

Y= f (X1,X2,X3) ………………….…………………………………. (3.1)

Dimana :

Y : Volume ekspor TPT Indonesia ke China

X1 : harga TPT Indonesia

X2: Kurs rupiah

X3 : GDP perkapita China

Sehingga persamaannya :

Y = α0 + α 1 X1+ α X2 + α X3 + Ui ………………….………… (3.2)

Anggaplah bahwa volume ekspor TPT Indonesia ke China(Y) dipengaruhi

oleh selisih harga TPT Indonesia terhadap China (X1) , Kurs dollar (X2), GDP

perkapita China (X3), dinyatakan dalam hubungan jangka panjang atau

keseimbangan (Long-run or equilibrium relationship) sebagai berikut :

Yt*= α0+ α1 log(x1)+α2 log( x2)+α3 log(x3)............................................................. (3.3)

Jika Yt* berada pada titik keseimbangan terhadap x1.x2.x3 berarti persamaan (3.3)

dipenuhi. Namun dalam sistem ekonomi pada umumnya jarang sekali terjadi

keseimbangan seperti yang diinginkan, sehingga bila Yt mempunyai nilai yang

15

berbeda dengan nilai keseimbangan maka terjadilah perbedaaan nilai antara sisi

kanan dan sisi kiri persamaan

De = Yt*_

α0 - α1 x1 - α2 x2 - α3 x2 ................................................................(3.4)

Nilai perbedaan (De) ini dikenal sebagai kesalahan ketidakseimbangan atau dis-

equilibrium error. Kemudian dilakukan perumusan fungsi biaya kuadrat tunggal

sebagai berikut :

Ctde = b1(Xt - Xt*)2 + b2{(1-B)Xt-1 – ft(1-B)Zt}2 ………………………(3.5)

Yt adalah volume ekspor TPT Indonesia ke China periode t, Zt merupakan vektor

variabel yang mempengaruhi volume ekspor TPT Indonesia ke China dan dianggap

dipengaruhi secara linier oleh x1, x2,x3. b1 dan b2 merupakan vektor baris yang memberikan

bobot kepada elemen Zt . Zt-1.

Kemudian dengan meminimalisasikan persamaan (3.3) terhadap Yt dan mensubstitusikan Zt

sebagai fungsi dari x1,.x2,x3 akan diperoleh:

Yt*= ġ0 + ġ1log(x1)t + ġ2log (x2)t + ġ3 log (x3)t+ ġ4 log(x1)t-1 + ġ5 log (x2)t-1 +

ġ6 log (x3)t-1 + ġ7 Yt-1 ................................................................................... (3.6)

dimana:

ġ0= α0 b , ġ1= α1 b+ (1-b)f1 , ġ2 = bα2 +(1-b)f2 , ġ3 = α3 b+(1-b)f3 , ġ4, = -(1-b) f1, ġ5=

-(1-b) f2 , ġ6 = -(1-b) f3, ġ7= -(1-b) f4 , b= b1/(b1+b2)

f1 merupakan vektor baris yang menunjukkan pengaruh X1t terhadap Zt, f2

adalah vektor baris yang menunjukkan pengaruh X2t terhadap Zt, f3 adalah vektor

baris yang menunjukkan pengaruh X3 terhadap Zt, Persamaan 3.6 mencerminkan

hubungan jangka pendek (short-run) atau ketidakseimbangan yang meliputi nilai

arah dan kelambanan variabel ekspor TPT Indonesia ke China, harga TPT Indonesia,

Kurs rupiah, GDP perkapita China.

Permasalahan utama dalam mengestimasi persamaan 3.6 berkaitan dengan arah

variabel (level of variabel) yang mungkin tidak stasioner. Jika arah variabel tidak

stasioner maka estimasi persamaan 3.6 dengan menggunakan OLS (ordinary least

square) atau regresi klasik dapat menyebabkan munculnya regresi lancung atau

spurious regression. Untuk mengatasi permasalahan itu, persamaan 3.6

16

diparameterisasi ulang (reparameterize) menjadi :

DYt = α1DX1t + α2DX2t + α3DX3t + α4(Y - β0 +β1X1 + β2 X2+ β3 X3)t-1 ....…... (3.7)

Di mana: α1= g1, α2= g2 , α3= ġ3, α4=-(1- ġ7), β0 = g0 /1- g7, β1 = g1+ g4,/ 1- g7 , β2= g2+

g5/1- g7 , β3= g3+ g6/1- g7 , dan DXt = Xt - Xt-1

Persamaan 3.7 menjelaskan bahwa perubahan volume TPT Indonesia ke

China dipengaruhi oleh perubahan harga TPT Indoensia, perubahan kurs rupiah, dan

perubahan GDP perkapita China. Kesalahan ketidakseimbangan atau komponen

koreksi kesalahan (error correction component atau error correction term)

periode sebelumnya. Jika diamati lebih lanjut akan terlihat bahwa persamaan

3.7 hanya meliput kelambanan satu periode sehingga ECM ini dikenal sebagai first

order ECM. Parameter α (α1, α2, dan α3) menjelaskan pengaruh jangka pendek

variabel (DX1t), (DX2t), (DX3t), terhadap DYt, sedangkan parameter β (β1, β2, dan

β3) menjelaskan pengaruh jangka panjang variabel DX1t DX2t DX3t terhadap DYt .

Persamaan (3.7) seringakali diparameterisasi lebih lanjut, menjadi:

DYt = γ0+γ1 DX1t+ γ2 DX2t + γ3 DX3t + γ4 DX1t-1 + γ5 DX2t-1 + γ6 DX3t-1 + γ7 (X1t-

1+X2t-1 + X3t-1+ Yt-1) ...............................................................................................(3.8)

Di mana: γ0 = -α4β0 , γ1= α1, γ2= α2, γ3= α3, γ4 = -α4(1-β1), γ5 = -α4(1-β2), γ6 = -α4(1-β3),

γ7 = -α4

ECM mempunyai ciri khas dengan dimasukkannya unsur Error Correction

Term (ECT) atau γ7(X1t-1 + X2t-1 + X3t-1 – Yt-1) dalam model. Apabila koefisien ECT

signifikan secara statistik dan mempunyai tanda positif, maka spesifikasi model yang

digunakan dalam penelitian tersebut adalah sahih atau valid. Dalam persamaan 3.8

nilai koefisien ECT antara nol sampai dengan satu (0<β3<1).maka persamaan (3.9)

akan berubah menjadi:

DLYt = α0 + α1DLX1t + α2DLX2t + α3DLX3t + α4DLX1t-1 + α5DLX2t-1 + α6DLX3t-

1 = α7 ECT ………………………………………………………………………. (3.9)

Persamaan (3.9) dapat juga ditulis menjadi :

LYt - LYt-1 = α0 + α1(LX1t - LX1t-1) + α2 (LX2t – LX2t-1) + α3(LX3t - LX3t-1) +

ECT t-1……………………………………………………………………………(3.10)

17

Koefisien jangka pendek dari persamaan model ECM direpresentasikan oleh

koefisien β1, sedangkan untuk memperoleh besaran koefisien regresi jangka panjang

dengan menggunakan model ECM, maka digunakan rumus sebagai berikut :

Konstanta = β0/β3, Xt = (β2 +β3)/β3

Error Coorrection Term ( ECT)

Jika variabel dependen dan variabel independen berkointegrasi maka terdapat

hubungan keseimbangan panjang antar variabel tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak

menjamin adanya keseimbangan dalam jangka pendek. Oleh karena itu, Error

correction term (ECT) dalam uji kointegrasi bisa digunakan sebagai equilibrium error

untuk menentukan perilaku variabel dependen dalam jangka pendek (Gujarati,2003).

Untuk hasil regresi dari persamaan ini yaitu dengan menggunakan rumus.

DLYt=α0+α1DLX1t+α2DLX2t+α3DLX3t+ECTt-1…...................................... (3.11)

untuk persamaan jangka pendek sedangkan untuk hubungan jangka panjang

(equilibrium long run relationship) dapat dijelaskan dengan persamaan sebagai

berikut:

LYt = α0+α1LX1t+α2LX2t+α3LX3t +(α4- α1)LX1+(α5- α2)LX2+ (α6- α3)LX3…(3.12)

Atau dapat di tulis pada persamaan (3.13)

LYt = α0+ α1LX1t + α2LX2t + α3LX3t + εt ……………………...…………… (3.13)

Uji Stasioneritas

Dalam menganalisis regresi time series, kita perlu mengetes dahulu apakah

regressand dan regressornya sudah stasioner atau belum. Apabila variabel dari suatu

persamaan regresi tidak stasioner, makan akan menghasilkan regresi lancung atau

semu (spurious regression). Regresi linier lancung ditandai dengan nilai R2 tinggi

dan nilai DW yang rendah (Insurkindro, 1998).

18

Uji Akar Unit

Hipotesis nol nya adalah bahwa variabel yang diestimasi adalah nol, yang

berarti data tersebut tidak stasioner. Ini disebut dengan hipotesis akar unit. Untuk

menguji apakah variabel yang diestimasi adalah nol, biasanya digunakan uji t. namun,

uji t hanya valid jika data time series yang mendasarinya stasioner.

Uji Derajat Integrasi

Uji ini merupakan kelanjutan dari uji akar unit, apabila setelah dilakukan

pengujian akar unit ternyata data belum stasioner, maka dilakukan pengujian ulang

dan menggunakan data nilai perbedaan pertamanya (first difference). Apabila dengan

data dari first difference belum juga stasioner maka selanjutnya dilakukan pengujian

dengan data dari perbedaan kedua (second difference) dan seterusnya hingga

diperoleh data yang stasioner (Gujarati,1999).

Uji Kointegrasi

Berdasarkan teori ekonomi, dua variabel akan berkointegrasi bila mereka

mempunyai relasi jangka panjang atau keseimbangan jangka panjang diantara

mereka. Secara umum, bila ada dua variabel time series yang masing-masing

merupakan series yang tidak stasioner, akan tetapi bila kombinasi linier dari dua

variabel tersebut merupakan time series yang stasioner maka kedua time series

tersebut dikatakan berkointegrasi. Keberadaan hubungan kointegrasi memberikan

peluang bagi data-data yang secara individual tidak stasioner untuk menghasilkan

sebuah kombinasi linier diantara data terebut sehingga tercipta kondisi yang stasioner.

Menurut Winarno (2009), ada tiga cara untuk menuji kointegrasi, yaitu

1. Uji kointegrasi Engle-Granger (EG)

2. Uji Cointegrating Regression Durbin Watson (CRDW)

3. Uji Johansen

19

Uji Asumsi Klasik

Secara umum dalam pendekatan ekonometrik perlu dilakukan apa yang

disebut sebagai uji asumsi klasik. Tujuannya agar diperoleh penaksiran yang bersifat

Best Linier Unbiased Estimator (BLUE), maka terhadap estimasi model penelitian

tersebut perlu dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas,

multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas.

Metode Pengujian Hipotesis

Pengujian Koefisien Regresi Secara Serentak (Uji F)

Uji F bertujuan untuk menunjukkan apakah semua variabel independen yang

dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap

variabel dependen. Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah apakah semua

parameter dalam model sama dengan nol

Pengujian Koefisien Regresi Secara Individual (Uji t)

Uji ini digunakan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen secara individual. Digunakan uji 1 tail

dengan tingkat kepercayaan 5% dengan hipotesis:

Analisis Koefisien Determinasi

Dalam suatu penelitian, perlu dilihat seberapa jauh model yang terbentuk

dapat menerangkan kondisi yang sebenarnya. Ada suatu ukuran yang dapat

digunakan untuk keperluan tersebut yang dikenal dengan koefisien determinasi.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil estimasi model jangka panjang.

Setelah diketahui bahwa variabel dependen dan variabel independen saling

berkointegrasi, yang berarti terdapat keseimbangan dalam jangka panjang antar

variabel tersebut maka dapat dilakukan estimasi model jangka panjang. Hal tersebut

terlihat pada Tabel 4.6.

20

Tabel : 4.6

Hasil Estimasi Model Jangka Panjang

Sumber : Output Eviews, lampiran 2

Uji Autokorelasi

Diketahui bahwa prob Chi-square sebesar 0.3481 hal tersebut menunjukan

bahwa model bebas dari autokorelasi karena lebih besar dari pada alfa 5% atau

0.05.

Uji Multikolinearitas

Dari hasil regresi diperoleh R-Squred sebesar 0.934438 atau lebih besar dari

hasil regresi Auxilary. Sehingga model dinyatakan bebas dari multikolinearitas

Uji Heterokedasitas

Hasil Uji Heterokedasitas White

Dari hasil pengujian uji White diperoleh hasil bahwa pada persamaan

disimpulkan bebas heteroskedastisitas. Hal ini ditunjukan dari besarnya probability

Obs*R-squared > taraf nyata.

Indepeden

Variabel

Coeficient Std. Error t- Statistik Probabilitas

C 4.393331 4.834599 0.908727 0.3770

Log (x1) -2.401876 0.332296 -7.228118 0.0000

Log (x2) 0.000508 0.462396 0.001100 0.9991

Log (x3) 1.880578 0.396846 4.738816 0.0002

R2 0.934438

F-statistik 76.01435

Prob- F-statistik 0.000000

Probabilitas Obs*R-squared

Alpha

0.0787 0,05

21

Uji Normalitas

diketahui probabilitas JB hitung 0,728392 lebih besar dari 0,05 hal tersebut

berarti residual Ut terdistribusi normal.

Koefisien Determinasi (Uji R-Squered)

Hasil koefisien determinasi dari model menunjukan seberapa besar

kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen.

Berdasarkan Tabel 4.8 diatas dilihat koefisien determinasi R-squared adalah sebesar

0.934438. Hal ini berarti sebesar 93,4% volume ekspor TPT Indonesia ke China

bisa dijelaskan dari variasi tiga variabel independen. Sedangkan sisanya 6,6 %

dijelaskan oleh variabel diluar model.

Pengujian Signifikan Silmultas (Uji F)

Uji F dilakukan untuk mendapatkan melihat pengaruh variabel independen

terhadap variabel dependen secara keseluruhan. Berdasarkan hasil estimasi pada

Tabel 4.7 diperoleh F-statistik sebesar 76.01435. Pengujian uji F dilihat dari nilai

probabilitas F-statistik yaitu 0.00000 yang lebih kecil dari alpha 5 persen dapat

disimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel independen secara

bersama-sama mempengaruhi variabel dependen.

Pengujian Signifikan individual (Uji-t)

dapat dilihat bahwa variabel harga TPT Indonesia (X1) dan GDP perkapita China

(X3) yang signifikan dalam model ini, karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari

pada alpha 5 persen. Sedangkan variabel kurs rupiah terhadap US dollar tidak

signifikan karena memiliki nilai probabilitas sebesar 0.9991 yang artinya lebih besar

dari alpha 5 persen. Variabel (X1) juga memiliki koefisien negatif sebesar -2,401876

sehingga setiap penambahan selisih yang terjadi pada harga TPT Indonesia sebesar 1

persen akan menurunkan volume ekspor TPT Indonesia ke China sebesar -2,40

persen dan berpengaruh secara nyata pada tingkat kepercayaan 5 persen.

22

Hasil Estimasi Model Jangka Pendek

Dari hasil pengolahan data dalam penelitian ini dengan menggunakan model

linear berganda, maka diperoleh hasil estimasi jangka pendek sebagai yang terlihat

pada Tabel 4.11:

Tabel

Hasil Estimasi Model Jangka Pendek

Uji Autokorelasi

Diketahui bahwa prob Chi-square sebesar 0.1550 hal tersebut menunjukan

bahwa model dalam jangka pendek bebas dari autokorelasi karena lebih besar dari

pada alfa 5% atau 0.05.

Uji Multikolinearitas

Dari hasil regresi diperoleh R-Squred sebesar 0.857272 atau lebih besar dari

hasil regresi Auxilary. Sehingga model dalam jangka pendek dinyatakan bebas dari

multikolinearitas

Uji Heterokedasitas

Indepeden

Variabel

Coeficient Std. Error t- Statistik Probabilitas

C -0.084934 0.297961 -0.285051 0.7798

DLog(x1) -1.439428 0.326232 -4.412290 0.0006

DLog(x2) 0.046858 0.511953 0.091528 0.9284

Dlog(x3) 2.274185 1.710506 1.329540 0.2049

ECT -0.957155 0.209205 -4.575210 0.0004

R2 0.857272

F-statistik 21.02225

Prob- F-

statistik 0.000008

23

Hasil Uji Heterokedasitas White

Dari hasil pengujian uji White diperoleh hasil bahwa pada persamaan

disimpulkan bebas heteroskedastisitas. Hal ini ditunjukan dari besarnya probability

Obs*R-squared > taraf nyata.

Uji Normalitas

Berdasarkan Gambar diatas diketahui probabilitas JB hitung 0,599676 lebih

besar dari 0,05 hal tersebut berarti residual Ut terdistribusi normal.

Koefisien determinasi jangka pendek(Uji R-Squered)

Dari hasil determinasi R-squered pada Tabel 4.14 didapatkan nilai sebesar

0.857272 atau dapat diartikan perubahan harga TPT Indonesia ke China, kurs rupiah

dan GDP perkapita China dapat mempengaruhi 85,7% perubahan Volume ekspor

tekstil Indonesia ke China.

Pengujian Signifikan Silmultas jangka pendek (Uji f)

variabel independen ( harga TPT Indoensia, kurs rupiah dan GDP perkapita

China) secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap volume

ekspor TPT Indonesia ke China dalam jangka pendek. Hal ini ditunjukan oleh nilai

probabilitas F-statistik yaitu 0.000008 yang lebih kecil dari pada alpha 5 persen.

Interpretasi Hasil dan Pembahasan

Harga TPT Indonesia (X1) terhadap volume ekspor TPT Indonesia ke China

menghadapi era CAFTA (Y)

Dari hasil regresi jangka panjang diperoleh koefisien dari harga tekstil di

Indonesia sebesar -2,401876 dan -1.439428 pada jangka pendek. Hal tersebut dapat

dikatanakan dalam penelitian ini hubungan keduanya bersifat elastis karena koefisien

TPT Indonesia memiliki koefisien lebih dari 1 (satu) artinya setiap penambahan harga

Probabilitas Obs*R-squared

Alpha

0.2137 0,05

24

TPT Indonesia sebesar 1% akan menurunkan volume ekspor sebesar -2,4% pada

jangka panjang dan -1,43% pada jangka pendek.

Kurs rupiah terhadap dollar (X2) terhadap volume ekspor TPT Indonesia ke

China menghadapi era CAFTA (Y)

Variabel kurs rupiah terhadap dollar dalam jangka pendek maupun jangka

panjang memiliki koefisien positif tetapi tidak signifikan. Dalam jangka pendek

variabel kurs rupiah terhadap dollar tidak mempengaruhi volume permintaan ekspor

TPT Indonesia oleh China.

Hal tersebut dapat terjadi karena sistem pembayaran perdagangan

internasional dapat dilakukan dengan advance payment dan open account. Advance

payment adalah sistem pembayaran yang dilakukan dimuka artinya, negara

pengimpor membayar diawal sehingga apabila terjadi perubahan kurs di tengah

perjalanan komoditi ke tujuan negara ekspor, pengimpor terbebas dari risiko

perubahan kurs.

GDP Perkapita China (X3) terhadap volume ekspor TPT Indonesia ke China

menghadapi era CAFTA

Variabel GDP perkapita China dalam jangka pendek memiliki koefisien yang

positif tetapi tidak siginifikan terlihat dari probabilitas t-statistik yang lebih besar dari

alpha 5 persen. Hubungan tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang digunakan

dalam penelitian, dimana variabel GDP perkapita China akan meningkatkan volume

permintaan ekspor TPT Indonesia oleh China.

Dari hasil regresi jangka panjang koefisien variabel GDP perkpita China

menunjukkan angka sebesar 1,88057. Hal itu dikatanakan dalam penelitian ini bahwa

dalam jangka panjang variabel GDP perkapita China dan volume permintaan eksport

TPT Indonesia oleh China memiliki sifat yang elastis karena koefisien variabel GDP

perkapita China lebih besar dari 1 (satu) artinya setiap penambahan GDP perkapita

China sebesar 1 % akan meningkatkan volume permintaaan ekspor TPT Indonesia

oleh China sebesar 1,88 % dalam jangka panjang.

25

Kesimpulan

1. Pengujian akar-akar unit (unit roots), kointegrasi, uji asumsi klasik yang

menunjukkan bahwa data stasioner pada derajat kedua, lolos uji

kointegrasi, dan menghasilkan estimator yang bersifat BLUE dan tidak

mengalami masalah dalam multikolinearitas. Data yang stasioner pada

derajat ke dua yang memiliki konsekuensi bahwa data mengalami spurious

atau regresi lancung.

2. Hasil regresi dengan menggunakan model koreksi kesalahan atau error

correction model diperoleh koefisien dari error correction term (ECT)

sebesar -0.957155 yang signifikan. Hal ini dapat diartikan bahwa

kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) variabel pengeluaran

pemerintah atas transportasi adalah sebesar -0.957155 persen dan akan

disesuaikan dalam waktu satu tahun.

3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefiisen determinasi (R2) sebesar

0,934438 pada jangka panjang dan 0.857272 pada jangka pendek yang

memberikan arti bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi volume

ekspor TPT Indonesia oleh China menghadapir era CAFTA dapat dijelaskan

oleh variabel independen sebesar 93,4 persen pada jangka panjang dan

85,7 persen pada jangka pendek.

4. Dalam jangka panjang variabel yang mempengaruhi secara signifikan

volume permintaan ekspor TPT Indonesia oleh China menghadapi era

CAFTA adalah harga TPT Indonesia dan GDP perkapita China, sedangkan

dalam jangka panjang variabel kurs rupiah memiliki pengaruh yang positif

tetapi tidak signifikan dalam mempengaruhi volume permintaan ekspor TPT

Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA.

5. Dalam jangka pendek variabel yang mempengaruhi secara signifikan

terhadap volume permintaan ekspor TPT Indonesia oleh China menghadapi

era CAFTA hanya variabel harga TPT Indonesia. Sedangkan variabel kurs

rupiah terhadap dan GDP perkapita China tidak secara signifikan

26

mempengaruhi volume ekspor TPT Indonesia ke China menghadapi era

CAFTA.

Saran

Sesuai dengan hasil penelitian yang didapat, maka diajaukan saran sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian menunjukan bahwa harga TPT Indonesia baik dalam jangka

panjang maupun jangka pendek memiliki hubungan yang negatif dan

signifikan. hal tersebut menunjukan bahwa harga TPT Indoneisa berpengaruh

signifikan pada volume permintaan ekspor TPT Indonesia oleh China

menghadapi era CAFTA. Variabel harga menjadi faktor yang penting

terhadap pengingkatan volume ekspor TPT Indonesia ke China. Oleh sebab

itu diharapkan pemerintah dapat menjaga harga TPT Indonesia agar tetap

kompetitif terhadap TPT China. Pemberian insentif terhadap produsen TPT

Indonesia dan investasi di bidang tekstil seperti mesin pabrik dapat dilakukan

dalam upaya menciptakan TPT Indonesia yang kompetitif.

2. Dalam jangka panjang maupun jangka pendek variabel kurs dollar terhadap

rupiah memiliki hubugnan yang positif tetapi tidak signifikan. hal tersebut

menunjukan bahwa kurs dollar terhadap rupiah tidak berpengaruh terhadap

volume ekspor TPT Indonesia ke China, akan tetapi pemerintah tetap

diharapkan mampu mengendalikan kurs rupiah terhadap US dollar sebagai

upaya menjaga harga TPT Indonesia yang kompetitif.

3. GDP perkapita China dalam jangka panjang berpengaruh secara signifikan

terhadap volume ekspor TPT Indonesia ke China. Tetapi dalam jangka pendek

tidak berpengaruh secra signifikan terhadap volume ekspor TPT Indonesia ke

China. GDP perkapita China memiliki hubungan yang elastis. dalam

menghadapi CAFTA diharapkan TPT Indonesia tetap memperhatikan kualitas

dan ciri khas produknya. Hal tersebut dilakukan agar TPT Indonesia dapat

tetap menarik untuk negara China ataupun tujuan ekspor lainnya.

4. Hasil penelitian menunjukan bahwa koefisien determinasi R-squared dalam

jangka panjang dan jangka pendek sebesar 92,4% dan 85,7%. Maka dalam

27

model permintaan ekapor TPT Indonesia oleh China menghadapi era CAFTA

masih terbuka untuk dikembangkan dengan menambah variabel lain.

5. Data time series yang lebih panjang dan variabel yang lebih banyak

disarankan untuk penelitian yang akan datang. Hal tersebut bertujuan agar

model ekonometri yang dihasilkan dapat lebih banyak lagi menjabarkan

fenomena yang terjadi dalam perekonomian Indonesia.

28

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Berbagai edisi

Bank Indonesia, Laporan Tahunan, Berbagai Edisi

Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Berbagai edisi

Badan Pusat Statiskik, Direktori Industri Indonesia Manufaktur, berbagai edisi

Boediono, 1992. Ekonomi Internasional. Yogyakarta, BPFE.

Deliarnov, 1995. Pengantar Ekonomi Makro,Jakarta, UI Press.

Gujarati, Damodar N. 2006. Basic Econometrics, Alih bahasa Sumarno Zain,

Ekonometrika Dasar. Jakarta, Penerbit Erlangga.

Insukindro,1997, “Analsis Koefisien Hitung R2.”

Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Indonesia, No.1, tahun VII.

Insukindro. 1999, “Pemilihan Model Ekonomi Empirik Dengan Pendekatan Korelasi

Kesalahan.” Jurna Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol .14, No.1, 1-8

Isnowati, Sri. 2002. “Error Corection Model (ECM) Sebagai salah satu bentuk

pemilihan model dalam ekonometri.” Fokus Ekonomi. Vol.1, Agustus 2002 Hal

182-194

Kusumawardani, Riandini,2005, “Analisis Perkembangan Ekspor Tekstil dan Produk

Tekstil (TPT) dan Peran Pasar Kuota Bagi Indonesia.” Skripsi dipublikasikan,

Institut Pertanian Bogor

Lindert, Paul dan Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional, Jakarta :Penerbit

Erlangga.

Lipsey, Richard G and friends.1997. Pengantar Teori Mikro Ekonomi Jilid 2.Jakarta:

Binapura Aksara.

Nopirin.1999. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE

Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Buku 2. Yogyakarta: BPFE

Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya 8 ed. Jakarta:

Erlangga

Prihartini, 2004. “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhiEkspor Tekstil

Indonesia ke singapura.” skripsi dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor

Richard. G Lipsey, Steiner, Douglas, 1987, Pengantar Makroekonomi, Erlangga,

Jakarta

Sukirno, Sadono, 2004. Makroekonomi : Teori dan Pengantar, 3 ed. Jakarta :

Rajawali Pers.

29

Sukirno, Sadono. 2005. Mikroekonomi : Teori dan Pengantar, 3 ed. Jakarta :

Rajawali Pers

Salvatore, Dominick.1997. Ekonomi Internasional. Jakarta, Penerbit Erlangga.

Samulson Paul.A, dan William D. Nordhaus. 1992. Makroekonomi. Jakarta: Penerbit

Erlangga

Soelistyo.1999. Pengantar Ekonometrik. Yogyakarta. BPFE UGM

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonommi di Dunia Ketiga, Edisi 7, Jilid

1.Jakarta, Penerbit Erlangga.

Triyono. 2008. “ Analsisi Perubahan Kurs rupiah terhadap Dollar Amerika.” Jurnal

Ekonomi Pembangunan, Vol 9, No.2, Desember 2008, hal. 156-157

Yani, Utomo.1999, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor

Tekstil Kelima negara Pengimpor Tekstil Indonesia (Periode 1990-1999).”

Skripsi tidak dipublikasikan, Institut Pertanian Bogor

Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika dan statistika dengan Eviews,

2ed. Yogyakarta : UPP STIM YKPN,