Upload
vellyana-lie
View
110
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Current Medical Treatment for
TuberculosisDepartment of Medicine, National Jewish Medical and Research Center
Edward D Chan assistant professor of medicine
Michael D Iseman professor of medicine
National Jewish Medical and Research Center,
1400 Jackson St, Denver, CO 80206, USA
30 NOVEMBER 2002
Published in British Medical Journal (BMJ)
(Pengobatan Terbaru Pada Tuberculosis)
Sekitar sepertiga dari populasi dunia mempunyai TBC laten yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Sekitar 9 juta kasus TBC aktif muncul
setiap tahunnya, dengan jumlah kematian sebesar 2-3 juta. Kebanyakan kasus baru
terjadi di sebagian besar penduduk negara India dan Cina tapi tingkat tertinggi dapat
terlihat di Sub Saharan Afrika, Indonesia, kepulauan Filipina, Afghanistan, Bolivia,
dan Peru. Di daerah ini biasanya terdapat lebih dari 300 kasus per 100.000 kasus per
tahun. Meskipun kejadian tuberkulosis menurun di Amerika Utara dan Eropa Barat
pada pertengahan abad ke 20, tetapi kasus ini mengalami peningkatan dalam 10 tahun
terakhir karena imigrasi, HIV / AIDS, dan program pengendalian TB yang tidak
sesuai. Faktor penting dalam mengendalikan terjadinya peningkatan TB adalah
perawatan tepat yang tidak hanya mencakup suatu regimen yang efektif tetapi juga
kepatuhan dan respon terhadap pengobatan. Jurnal ini membahas tentang
rekomendasi perawatan saat ini terhadap TB.
1
Sumber dan Kriteria Seleksi
Peneliti melakukan pencarian Medline dari 10 tahun terakhir dengan
menggunakan kata kunci "TBC dan pengobatan atau terapi obat " untuk mencari
literatur terkait. Peneliti juga melakukan pencarian bibliografi dari artikel tentang
pengobatan TB untuk mendapatkan referensi yang relevan.
Prinsip-Prinsip Kemoterapi dan Regimen Multidrugs
Pengobatan menggunakan lebih dari satu obat didasarkan pada dua prinsip
yaitu mencegah resistensi obat dan meningkatkan keberhasilan. Tuberclle bacilli
dapat mengalami mutasi kromosom yang menyebabkan terjadinya resistensi terhadap
setiap obat yang dipakai untuk mengobati tuberkulosis. Untungnya, mutasi ini jarang
terjadi. Karena mutasinya bersifat tidak berhubungan (dalam hal ini adalah lokasi
kromosom atau fungsi) dan spesifik untuk suatu obat atau golongan obat maka
mustahil dapat terjadi organisme resisten terhadap obat yang lain. Resistensi obat
hampir selalu disebabkan oleh pengobatan yang tidak adekuat. Hal ini mencakup
ketidakterturan pasien untuk meminum obat yang diresepkan, kegagalan dokter untuk
meresepkan obat secara tepat, kegagalan sistem perawatan kesehatan dalam
menyediakan obat-obatan, atau malabsorpsi obat karena disfungsi sistem pencernaan
atau obat tersebut memiliki bioavaibilitas yang dibawah standard.
Pengobatan dengan obat kombinasi (tabel 1) berguna untuk mempercepat
respon pengobatan dan untuk mempersingkat waktu pengobatan. Rifampisin dan
isoniazid adalah obat-obatan utama yang digunakan saat ini, rifampisin memiliki
peranan penting dalam mengurangi waktu pengobatan dan mempunyai hasil yang
cukup memuaskan. Regimen pengobatan dengan rifampisin dan isoniazid selama 9
bulan atau bersamaan dengan streptomisin atau etambutol, atau keduanya,
diperkirakan dapat menyembuhkan lebih dari 95% pasien.
2
Penelitian dari UK's Medical Research Council menunjukkan bahwa, jika
pyrazinamide dimasukkan dalam pengobatan selama dua bulan pertama, maka waktu
pengobatan dapat dikurangi sampai enam bulan dengan tingkat kesembuhan tetap
sebesar 95% atau lebih.
Regimen pengobatan rifampisin, isoniazid, dan pyrazinamide yang diberikan
kepada pasien dengan strain bacilli yang resisten terhadap isoniazid akan
mengakibatkan kegagalan pengobatan dan resistensi terhadap rifampisin. Oleh karena
itu, pada tahun 1994 American Thoracic Society dan US Centers for Disease Control
and Prevention merekomendasikan obat keempat yaitu ethambutol yang sebaiknya
diberikan pada pasien dengan basil yang mudah terjadi resistensi. Individu tersebut
mungkin merupakan imigran dari daerah dengan prevalensi resistensi yang tinggi
atau individu dengan riwayat predisposisi terjadinya resistensi. Obat keempat ini
harus diberikan pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat resistensi sebesar 4%
atau lebih. Pada tahun 1998, British Thoracic Society menganjurkan regimen empat
obat sebagai fase awal pengobatan.
3
Semua pasien tuberculosis dianjurkan untuk melakukan tes HIV. Suplemen
piridoksin (Vitamin B6) diberikan pada pasien yang memakai isoniazid untuk
mencegah terjadinya peripheral neuritis. Pasien dengan risiko terjadi neuropati,
pasien yang kurang gizi atau hamil harus mendapat perhatian khusus. Dianjurkan
dilakukan tes fungsi hati dan pemantauan secara rutin karena terdapatnya potensi
hepatotoksisitas dari isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid. Risiko terjadinya
kerusakan hati kurang dari 1%, tetapi gejala ringan asymptomatic yang berupa
peningkatan konsentrasi transaminase darah dapat terjadi pada 20% pasien. Dosis
ethambutol harus disesuaikan untuk pasien dengan kerusakan ginjal. Selain itu,
pasien yang diberikan ethambutol harus diperiksa ketajaman penglihatan sejak awal
dan dimonitor setiap bulan. Pasien dianjurkan untuk segera ke dokter jika terdapat
gangguan penglihatan.
Pasien TB tidak diindikasikan secara rutin untuk dirawat di rumah sakit
kecuali terdapat penyakit yang memerlukan perawatan, terdapat gangguan psikososial
atau pasien yang memiliki faktor predisposisi terhadap hasil terapi jangka pendek
yang buruk seperti limfopenia, usia lanjut, atau pengguna alkohol. Untuk mencegah
penularan nosokomial, pasien TB harus ditempatkan di kamar tekanan negatif dengan
ventilasi udara yang baik. Hal ini bertujuan untuk menyaring atau mematikan tubercle
bacilli dengan radiasi sinar ultraviolet.
Obat lini pertama dan toksisitas obat dapat dilihat pada tabel 2. Regimen
pengobatan yang tercantum dalam tabel 1 mempunyai tingkat kekambuhan kurang
dari 5%. Beberapa pedoman mengatakan bahwa tidak diperlukan surveilans setelah
pengobatan, terutama bila obat diberikan di bawah supervisi. Sebaliknya, pasien
harus diinstruksikan untuk kembali ke klinik atau dokter setelah perawatan jika sudah
terjadi perubahan status klinis. Untuk mengetahui hal ini maka harus dilakukan
pemeriksaan dahak dan rontgen dada.
4
Ketidakpatuhan Pengobatan dan Directly Observed Treatment (DOT)
Beberapa pasien TB dengan penyakit kronis akan gagal untuk mengambil
obat. Terdapat filsafat dan praktek unik dari kesehatan masyarakat. Misalnya,
masyarakat di negara-negara industri mengharapkan adanya udara yang bebas dari
TB, begitupun untuk air yang bebas dari potensi penyebaran patogen seperti typhus
dan kolera. Hal ini mengakibatkan diterapkannya program pengobatan, karantina,
atau bahkan perawatan jangka pendek pada pasien di Amerika Serikat atau beberapa
negara lainnya.
Program DOT menggunakan perawat atau wali untuk mengawasi pasien
meminum obat, daripada mengandalkan pasien untuk minum obat sendiri. Telah
digunakan regimen intermiten untuk memudahkan sistem DOT. Dua regimen
intermiten dapat dilihat dalam tabel 1; Regimen pengobatan 6 bulan telah terbukti
mempunyai keberhasilan terapi yang sebanding dengan pengobatan harian. Para
5
pasien juga dapat datang ke sebuah fasilitas kesehatan (clinic based DOT) atau
tempat-tempat lain misalnya, di rumah, kantor, atau tempat berteduh (community
based DOT). (Gambar 1). Penggunaan obat kombinasi, misalnya isoniazid dan
rifampisin (Rifamate) dan isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid (Rifater) dapat
meningkatkan kepatuhan. Kombinasi obat tersebut belum terbukti menguntungkan
karena mengingat peningkatan biaya dan kurangnya kemampuan untuk membedakan
obat mana yang bertanggung jawab terhadap toksisitas atau intoleransi.
DOT sangat efektif untuk menetukan keberhasilan suatu pengobatan. Suatu
perbandingan antara pengobatan sistem DOT dengan pengobatan sendiri
menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan secara signifikan lebih tinggi pada
pengobatan sistem DOT. (Gambar 2). Beberapa peneliti berpendapat bahwa sistem
DOT merupakan pelanggaran terhadap kebebasan individu, tetapi di sisi lain DOT
dirancang sebagai program untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan sebagai
manifestasi dari pelayanan komunitas. Keberhasilan program DOT menyediakan
berbagai insentif dan enabler (praktek yang memfasilitasi program perawatan) untuk
menciptakan suasana “consumer friendly.” Insentif dapat berupa penghargaan yang
bertujuan untuk membuat pasien bersedia menerima pengobatan, misalnya,
penyediaan layanan sosial, pemberian kupon makanan, bantuan perumahan atau
6
dalam beberapa kasus dengan pemberian uang tunai. Beberapa enabler memfasilitasi
pengobatan dengan praktek selama jam kerja, berada di lokasi yang mudah dicapai,
dan memberikan bantuan transportasi, perawatan anak di klinik anak, atau pelayanan
komprehensif seperti pemeriksaan radiologi, darah dan sputum.
Adanya kekhawatiran bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan program
DOT, tetapi analisis terbaru menunjukkan bahwa pengobatan yang tepat, pencegahan
kekambuhan, dan pengurangan kasus resistensi obat dapat memberikan dampak yang
baik bagi masyarakat. Hasil dari program DOT dapat dilihat dengan pengurangan
jumlah kasus tuberkulosis di tahun 1990-an di Amerika Serikat, bersamaan dengan
peningkatan proporsi pasien yang menerima DOT pada tahun 1990-2000 dari 4%
menjadi 70%. Dari tahun 1995 sampai 2000, tingkat TBC di Amerika Serikat turun
rata-rata 7,8% per tahun. Meskipun bukan hanya penerapan sistem DOT pada periode
ini (Langkah-langkah perbaikan untuk membatasi penularan nosokomial juga
diperkenalkan), peneliti percaya bahwa DOT adalah faktor utama yang dapat
menekan peningkatan kasus tuberculosis.
7
Pengobatan Terhadap Kelompok yang Berbeda
Pengobatan di Negara Berkembang
Secara teori, diagnosis dan pengobatan TB adalah sama antara negara
berkembang dengan negara industri, tetapi dengan adanya keterbatasan ekonomi
berarti bahwa secara signifikan terdapat perbedaan dalam prakteknya. Seperti yang
dianjurkan oleh kebijakan WHO mengenai sistem DOTS bahwa pemeriksaan
mikroskopis dahak merupakan diagnosis utama dan seringkali menjadi diagnosis
satu-satunya di negara dengan keterbatasan sumber daya. Hal ini memiliki beberapa
keterbatasan: pertama, diagnosis dari pemeriksaan mikroskopis dahak tidak
terkonsentrasi kurang sensitif jika dibandingkan pemeriksaan dengan BTA
terkonsentrasi (lebih baik) atau dengan kultur sputum (terbaik); kedua, diperlukan
kultur tubercle bacilli untuk deteksi dini resistensi obati. Banyak negara-negara
miskin menggunakan regimen obat ekonomis yang terdiri dari isoniazid dan
thiacetazone yang diberikan selama 15 sampai 18 bulan, dengan total biaya hanya US
$ 10 - 15 per orang. Meskipun regimen ini menarik dalam hal biaya tetapi tidak
dianjurkankan karena memakan waktu pengobatan yang lebih lama dan tidak efektif
terhadap resistensi isoniazid. Regimen thiacetazona memiliki resiko yang besar
terhadap kerusakan kulit pada pasien AIDS. Sekarang sebagian besar negara telah
mengembangkan regimen pengobatan 6 bulan menurut standard WHO, yang
mencakup isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Karena rifampisin
memiliki efek resistensi yang besar maka penggunaan rifampisin harus berada dalam
pengawasan sistem DOT.
Pengobatan HIV dan TB
Pengobatan terhadap pasien dengan TB dan AIDS menimbulkan empat kunci
perhatian. Pertama, pasien mungkin gagal dalam absoprsi obat antituberkulosis yang
dapat meningkatkan resiko kegagalan pengobatan, kekambuhan, dan terjadinya
resistensi obat. Kedua, reaksi antara obat ARV dan antituberculosis dapat
8
meningkatkan resiko toksisitas dan resistensi obat. Peneliti menganjurkan bahwa
pasien dengan TB dan AIDS sebaiknya ditangani oleh dokter yang memiliki
pengalaman khusus. Ketiga, karena ARV mempengaruhi jumlah limfosit CD4 dan
fungsi kekebalan tubuh maka hal ini dapat memperburuk gejala atau manifestasi
lainnya misalnya semakin bertambahnya infiltrat pada waktu dilakukan rontgen dada,
terjadi efusi pleura atau perikardial, pembengkakan pada kelenjar getah bening.
Penundaan pengobatan ARV sampai pasien telah menjalani beberapa bulan
pengobatan TB dapat mengurangi resiko tersebut tetapi tidak sepenuhnya meniadakan
bahaya. Keempat, pasien memiliki kecenderungan terjadinya kekambuhan. Walaupun
begitu, berdasarkan pedoman 1994 dari US Centers for Disease Control and
Prevention dan the American Thoracic Society merekomendasikan regimen obat
standard selama 6 bulan, dengan peringatan bahwa pengobatan harus diperpanjang
pada pasien dengan “slow responders”.
Pengobatan Multidrug-Resistant Tuberculosis
Multidrug-Resistant Tuberculosis yang terjadi akibat strain TB yang resisten
terhadap isoniazid dan rifampisin memiliki peranan klinis yang penting karena secara
substansial dapat meningkatkan resiko kegagalan pengobatan, resistensi lebih lanjut,
dan kematian. Prevalensi ini bervariasi secara luas dan umumnya mencerminkan
kurang terorganisirnya pengobatan. Orang-orang yang termasuk dalam risiko ini
adalah mereka dengan riwayat pengobatan tuberculosis sebelumnya, yang berasal
dari daerah berisiko tinggi, dan pasien atau pekerja kesehatan (rumah sakit, klinik,
penjara, atau rumah jompo) di mana telah terdapat transmisi epidemi strain resisten.
Terapi awal untuk pasien dengan Multidrug-Resistant Tuberculosis menggunakan
regimen pengobatan empiris, terutama jika pasien memiliki penyakit paru-paru atau
extrapulmonary yang luas dan berbahaya seperti tuberkulosis miliaria atau meningitis
TB. Untuk pasien dengan penyakit tersebut harus diberikan sedikitnya empat obat
yang rentan tergadap mycobakteri tersebut biasanya berupa tiga obat oral dan satu
obat injeksi. Umumnya, obat injeksi seperti aminoglikosida diberikan selama tiga
9
sampai enam bulan setelah terjadi konversi kultur sputum dari yang positif
M.Tuberculosis menjadi negatif, dan pasien harus minum obat oral selama 15-18
bulan setelah terjadi konversi sputum. Pengobatan terhadap pasien dengan infeksi
laten Multidrug-Resistant Tuberculosis menimbulkan masalah karena hanya isoniazid
dan rifampisin yang dapat digunakan secara tepat dan luas. Sebuah Delphi survey
gagal untuk mendefinisikan suatu konsensus untuk penanganan pasien dengan
Multidrug-Resistant Tuberculosis, meskipun kombinasi pirazinamid dan
ciprofloxacin dapat bermanfaat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kombinasi
pirazinamid dan ofloksasin terbukti memiliki efek intramacrophage
antimycobacterial.
Sehubungan dengan hepatotoksisitas berat yang terjadi akibat pencegahan
dengan obat pirazinamid dan rifampicin atau pirazinamid dan fluorokuinolon tetapi
fluorokuinolon monoterapi tanpa pirazinamid dapat dipertimbangkan untuk diberikan
pada orang dengan konversi tes kulit tuberkulin.
Potensi Kemoterapi
Menurut prinsip seleksi alam Darwin, jenis obat yang resisten terhadap
tuberkulosis akan terus berkembang. Fluoroquinolones adalah obat baru yang paling
menjanjikan untuk pengobatan tuberculosis. Terapi tambahan seperti oxaolidinones
(misalnya linezolid), dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan
meningkatkan efektifitas dari vaksin BCG atau vaksin Mycobacterium vaccae, baik
dengan atau tanpa augmentasi sitokin.
Harapan Masa Depan
Tantangan langsung terhadap program penanganan tuberkulosis meliputi
pengembangan regimen kuratif yang lebih singkat dan frekuensi minum obat yang
lebih jarang. Diharapkan regimen pengobatan yang akan datang memiliki kedua fitur
tersebut yaitu regimen pengobatan sekali seminggu dengan masa pengobatan hanya
empat bulan. Regimen tersebut memerlukan pemantauan komplikasi. Isu jangka
10
panjang adalah pengembangan perbaikan vaksin yang akan berdampak
epidemiologis. BCG dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pada bayi namun
memiliki pengaruh yang kecil terhadap orang dewasa. Sayangnya, karena penyebaran
infeksi saat ini cukup luas maka pengembangan perbaikan vaksin tidak akan
berdampak langsung. Akhirnya, penting untuk dikembangkan obat baru, terjangkau
dan obat non toksik untuk menggantikan obat-obat yang sudah resisten.
Kesimpulan
Banyak orang di dunia mengidap tuberculosis aktif atau laten, dan jumlah
kasus yang aktif diperkirakan akan mengalami peningkatan di waktu yang akan
datang. Penyebab tersering dari kegagalan pengobatan dan terjadinya resistensi obat
adalah ketidakpatuhan. DOTS merupakan program yang efektif untuk mengatasi
masalah ketidakpatuhan; regimen intermitent merupakan bagian dari program DOTS.
Pemeriksaan kerentanan Mycobacterium tuberculosis terhadap suatu obat sangat
penting untuk mengidentifikasi resistensi obat. Penanganan Multidrugs-Resistant
Tuberculosis sangat kompleks dan sebaiknya ditangani dengan suatu program khusus.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Iseman MD, Chan ED. Current Medical Treatment for Tuberculosis. BMJ
2002;325:1282–6
2. Raviglione MC, Snider DEJ, Kochi A. Global epidemiology of tuberculosis:
morbidity and mortality of a worldwide epidemic. JAMA 1995;273:2206.
3. WHO report 2002: Global tuberculosis control: surveillance, planning,
financing. Geneva:World Health Organization, 2002.
4. Burwen DR, Bloch AB, Griffin LD, Ciesielski CA, Stern HA, Onorato IM.
National trends in the concurrence of tuberculosis and acquired
immunodeficiency syndrome. Arch Intern Med 1995;155:12816.
5. Cantwell MF, Snider DEJ, Cauthen GM, Onorato IM. Epidemiology of
tuberculosis in the United States, 1985 through 1992. JAMA 1992;272:5359.
6. David HL. Probability distribution of drugresistant mutants in unselected
populations of Mycobacterium tuberculosis. Appl Microbiol 1970;20:8104.
7. Mitchison DA. Basic concepts in the chemotherapy of tuberculosis. In:
Gangadharam PRJ, Jenkins PA, eds. Mycobacteria. II. Chemotherapy. New
York: Chapman & Hall, 1998:1550.
8. Hong Kong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled trial
of 6month and 8month regimens in the treatment of pulmonary tuberculosis:
the results up to 24 months. Tubercle 1979;60:20110.
9. Hong Kong Chest Service/British Medical Research Council. Controlled trial
of 2, 4, and 6 months of pyrazinamide in 6month, threetimes weekly regimens
for smearpositive pulmonary tuberculosis, including an assessment of a
combined preparation of isoniazid, rifampin, and pyrazinamide: results at 30
months. Am Rev Respir Dis 1991;143:7006.
10. Ass JB Jr, Farer LS, Hopewell PC, O'Brien R, Jacobs RF, Ruben F, et al.
Treatment of tuberculosis and tuberculosis infection in adults and children.
12
American Thoracic Society and the Centers for Disease Control and
Prevention. Am J Respir Crit Care Med 1994;149:135974.
11. Barnes PF, Leedom JM, Chan LS,Wong SF, Shah J, Vachon LA, et al.
Predictors of shortterm prognosis in patients with pulmonary tuberculosis. J
Infect Dis 1988;158:36671.
12. Iseman MD. A clinician's guide to tuberculosis. Baltimore: Lippincott,
Williams & Wilkins, 1999.
13. Sbarbaro JA, Sbarbaro JB. Compliance and supervision of chemotherapy of
tuberculosis. Sem Respir Infect 1994;9:1207.
14. Burman WJ, Cohn DL, Rietmeijer CA, Judson FN, Sbarbaro JA, Reves RR.
Shortterm incarceration for the management of noncompliance with
tuberculosis treatment. Chest 1997;112:5762.
15. Cohn DL, Catlin BJ, Peterson KL, Judson FN, Sbarbaro JA. A 62dose, 6-
month therapy for pulmonary and extrapulmonary tuberculosis: A twice-
weekly, directly observed, and costeffective regimen. Ann Intern Med
1990;112:40715.
16. Chaulk CP, Friedman M, Dunning R. Modeling the epidemiology and
economics of directly observed therapy in Baltimore. Int J Tuberc Lung Dis
2000;4:2017.
17. Chaulk CP, Kazandjian VA. Directly observed therapy for treatment com
pletion of pulmonary tuberculosis: consensus statement of the Public Health
Tuberculosis Guidelines Panel. JAMA 1998;279:9438.
18. Nardell EA. Beyond four drugs: public health policy and the treatment of the
individual patient with tuberculosis [editorial]. Am Rev Respir Dis
1993;148:25.
19. Burman WJ, Dalton CB, Cohn DL, Butler JRG, Reves RR. A cost-
effectiveness analysis of directly observed therapy vs selfadministered therapy
for treatment of tuberculosis. Chest 1997;112: 6370.
13
20. Moore RD, Chaulk CP, Griffiths R, Cavalcante S, Chaisson RE. Cost-
effectiveness of directly observed versus selfadministered therapy for
tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1996;154:10139.
21. Centers for Disease Control and Prevention. Reported tuberculosis in the
United States. 2000. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention,
2000
22. Nunn P, Kibuga D, Gathna S, Brindle R, Imalingat A, Wasunna K, et al.
Cutaneous hypersensitivity reactions due to thiacetazone in HIV1 seropositive
patients treated for tuberculosis. Lancet 1991;337:62730.
23. Corbett EL, Steketee RW, ter Kuile FO, Latif AS, Kamali A, Hayes RJ. HIV-
1/AIDS and the control of other infectious diseases in Africa. Lancet
2002;359:217787.
24. Peloquin CA, Nitta AT, Burman WJ, Brudney KF, MirandaMassari JR,
McGuinness ME, et al. Low antituberculosis drug concentrations in patients
with AIDS. Ann Pharmacother 1996;30:91925.
25. Centers for Disease Control. Clinical update: impact of HIV protease
inhibitors on the treatment of HIVinfected tuberculosis patients with rifampin.
MMWR 1996;45:9215.
26. Centers for Disease Control and Prevention. Updated guidelines for the use of
rifabutin or rifampin for the treatment and prevention of tuberculosis among
HIVinfected patients taking protease inhibitors or nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitors. MMWR 2000;49:1859.
14