26
Acquired Immune Deficiency Syndrome Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi sistem imun atau dengan menginfeksi sel sistem, contoh fenomena yang baik adalah AIDS. AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupapkan virus lenti yang menginfeksi sel CD4 + T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV. 1. Struktur HIV Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein inti dan penunjang. RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hibrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first strand CDNA. Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis anntibodi terhadap HIV-1. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4 + pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 + ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4 + .

Acquired Immune Deficiency Syndrome

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HIV/AIDS

Citation preview

Page 1: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Acquired Immune Deficiency Syndrome

Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi sistem imun atau dengan menginfeksi sel sistem, contoh fenomena yang baik adalah AIDS.

AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupapkan virus lenti yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV, makrofag dan jenis sel lain. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang terkontaminasi, transfusi darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV.

1. Struktur HIVStruktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan genom virus

yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein inti dan penunjang.

RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah polimerase DNA dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA template untuk memproduksi hibrid DNA. Transverse transcriptase diperlukan dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first strand CDNA.

Antigen p24 adalah core antigen virus HIV, yang merupakan pertanda terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis anntibodi terhadap HIV-1. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat reseptor CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4+ ini telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+.

Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan perubahan sebagai berikut : jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang terganggu terlihat in vivo (gagal memberikan respon terhadap antigen recall) dan uji invitro, aktivasi poliklonal sel B menimbulkan hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat menetralkan antigen gp120 dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progres penyakit oleh karena kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel Tc dapat mencegah infeksi (jarang) atau memperlambat progres. Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh penjamu.

2. Siklus Hidup HIVSiklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke dalam

genom, ekpresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan efisiensi sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.

Page 2: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membran virus bersatu dengan membran sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Disini envelop virus dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus disintesis oleh enzim transkriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu. DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti, bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepas berupa partikel virus yang dapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi provirus dapat tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun, sehingga tersembunyi dari sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.

3. PatogenesisVirus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel Langerhans di mukosa rektum

atau mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di KGB setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan artralgia. Pejamu memberikan respon seperti terhadap infeksi virus umumnya. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ limfoid.

Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibodi dalam sirkulasi terhadap p42 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.

Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang diikat SD. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi sel CD4+

berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4+ dalam sirkulasi menurun. Hal itu dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul fase progresif kronis dan penderita merjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman nonpatogenik. GAMBAR 17.9.

Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi DNA viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktivitasnya, yang mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik sel T HIV-1 menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag menggunakan CCR5.

Kedua reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subjek yang baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. Gejala utama berupa sakit kepala, sakit tenggorokan, panas, ruam dan malese yang terjadi sekitar 2-6 minggu setelah infeksi, tetapi dapat terjadi antara 5 hari dan 3 bulan.

Gejala klinis infeksi primer dapat berupa demam, nyeri otot/sendi, lemah, mukokutan (ruam kulit, ulkus dimulut), limfadenopati, neurologis (nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotofobia, meningitis, ensefalitis) dan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur dimulut). Gejala-gejala bervariasi dari ringan sampai berat sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit.

Page 3: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Gambaran klinis dan manifestasi patologik AIDS disebabkan primer oleh peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan beberapa jenis kanker. Penderita sering diinfeksi mikroba intraseluler seperti virus (CMV), mikrobakteri atipik yang pada keadaaan normal dapat ditanggulangi oleh sistem imun selular. Banyak mikroba tersebut ditemukan dalam lingkungan tetapi tidak menginfeksi individu dengan sistem imun uttuh.

Virus yang ditularkan melalui darah (viremia plasma) yang ditemukan dini setelah terjadi infeksi yang dapat disertai gejala sistemik khas untuk sindrom HIV akut. Virus menyebar ke organ limfoid, tetapi viremia plasma menurun sampai kadar yang sangat rendah (hanya ditemukan dengan esai yang menggunakan cara reverse transcriptase polymerase chain reaction yang sensitif) dan hal tersebut dapat menetap untuk beberapa tahun. Sel CD4+ perlahan menurun selama masa klinis laten. Hal itu disebabkan oleh karena replikasi virus yang aktif dan destruksi sel T yang terjadi dijaringan limfoid. Menurunnya kadar sel CD4+ disertai peningkatan resiko infeksi dan komponen klinis HIV yang lain. Perubahan dalam antigen p24 dan antibodi ditemukan pada penderita dengan penyakit lanjut.

Penderita AIDS lanjut sering disertai berat badan menurun yang disebabkan perubahan metabolisme dan kurangnya kalori yang masuk tubuh. Demensia dapat terjadi akibat infeksi mikroglia (makrofag dalam otak).

4. SerologiPenderitaan AIDS membentuk antibodi dan menunjukkan respon CTL terhadap

antigen virus. Namun respon tersebut tidak mencegah progres penyakit. CTL juga tidak efektif membunuh virus oleh karena virus mencegah sel terinfeksi untuk mengekspresikan MHC-1. Antibodi terhadap glikoprotein envelop seperti gp120 dapat inefektif, oleh karena virus cepat memutasikan regio gp120 yang merupakan sasaran antibodi. Respon imun HIV justru dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Virus yang dilapisi antibodi dapat berikatan dengan Fc-R pada makrofag dan sel dendritik dikelenjar limfoid, sehingga meningkatkan virus masuk ke dalam sel-sel tersebut dan menciptakan reservoir baru. Bila CTL berhasil menghancurkan sel terinfeksi, virus akan dilepas dan menginfeksi lebih banyak sel.

Satu sampai tiga minggu pasca infeksi, ditemukan respon imun spesifik HIV berupa antibodi terhadap protein gp120 dan p24. Juga ditemukan sel T sitotoksik yang HIV spesifik. Dengan adanya respon imun adaptif tersebut, viremia menurun dan klinis tidak disertai gejala. Hal itu berlangsung 2-12 tahun. Dengan menurunnya jumlah sel CD4+, penderita menunjukkan gejala klinis. Antibodi HIV spesifik dan sel T sitotoksik menurun, sedang p24 meningkat. Perjalanan infeksi HIV ditandai oleh beberapa fase yang berakhir dalam defisiensi imun. Jumlah sel CD4+ dalam darah mulai menurun di bawah 200/mm3

(normal 1500 sel/mm3) dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan disebut menderita AIDS. Dalam 3-6 minggu pasca infeksi, ditemukan kadar antigen HIV p24 dalam plasma yang tinggi. GAMBAR 17.12

III. DiagnosisA. Antibodi mikrobial dalam pemeriksaan defisiensi imun

Penemuan antibodi mikrobial telah digunakan dalam diagnosis infeksi. Antibodi terhadap mikroba juga merupakan bagian penting dalam pemeriksaan

Page 4: Acquired Immune Deficiency Syndrome

defisiensi imun. Kemampuan untuk memproduksi antibodi merupakan cara paling sensitif untuk menemukan gangguan dalam produksi antibodi. Antiboodi tersebut biasanya ditemukan dengan esai ELISA.

Antibodi terhadap S. pneumoniae ditemukan pada hampir semua orang dewasa sehat, tetapi tidak pada individu dengan defisiensi imun primer. Antibodi terhadap antigen virus yang umum juga dapat digunakan bila ditemukan ada riwayat terpajan dengan virus. Demikian juga, bila seseorang diimunisasi, sebaiknya diperiksa untuk antibodi terhadap toksoid tetanus, toksoid difteri dan virus polio. Bila kadar antibodi rendah, sebaiknya individu tersebut dites dengan imunisasi terhadap antigen mati dan responnya dievaluasi 4-6 minggu kemudian.

B. Pemeriksaan in vitroSel B dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibodi

terhadap C19, CD20 dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow cytometry yang menggunakan antibodi monoklonal terhadap CD23 atau CD2, CD5, CD7, CD4 dan CD8. Penderita dengan defisiensi sel T hanya hiporeaktif atau tidak reaktif terhadap tes kulit dengan antigne tuberkulin, kandida, trikofiton, streptokinase/streptodornase dan virus parotitis. Produksi sitokinnya berkurang bila dirangsang denga PHA atau mitogen nonspesifik yang lain.

Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi bakterisidal, reduksi NBT atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif yang berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.

IV. PengobatanA. Garis umum

Pengobatan penderita dengan defisiensi imun antara lain adalah dengan menggunakan antibiotik/antiviral yang tepat, pemberian pooled human imunoglobulin yang teratur. Transplantasi sumsum tulang dari donor dan resepien yang memiliki hubungan genetik yang cocok telah dilakukan dengan hasil yang baik pada beberapa kasus. Transplantasi timus fetal telah pula dilakukan pada aplasi timus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat transplantasi yaitu bila jaringan transplantasi menyerang sel pejamu – Graft Versus – Host (GVH) reaction. Iradiasi kelenjar getah bening total kadang memberikan hasil yang lebih baik dibanding iradiasi seluruh tubuh dalam mengontrol reaksi GVH.

B. Tujuan pengobatanTujuan pengobatan penderita dengan penyakit defisiensi imun umumnya

adalah untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subjek dengan penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antivial yang benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun yang detektif dengan transfer pasiff atau transplantasi.

C. Pemberian globulin gamaGlobulin gama diberikan kepada penderita dengan defisiansi Ig tertentu (tidak

pada defisiensi IgA).

Page 5: Acquired Immune Deficiency Syndrome

D. Pemberian sitokinPemberian infus sitokin seperti IL-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN kepada

subyek dengan penyakit tertentu.

E. TransfusiTransfusi diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subyek dengan defesiensi

fagosit dan pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan gen adenosin deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.

F. TransplantasiTransplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk

memperbaiki kompetensi imun.

G. Obat antivirusAda beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat

efektif. Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga dapat dicegah obat antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse traskriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah proses protein prekursr menjadi kapsid virus matang dan protei core.

Terapi dewasa ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas protease inhibitor dengan 2 inhibitor reverse transkriptase yang terpisah. Hal itu digunakan untuk menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sangat rendah.untul lebih dari satu tahun. Perlu pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya resistensi. Resistensi terhadap inhibitor protease dapat terjadi setelah pemberian beberapa hari. Resistensi terhadap zidovudin (atau azidotimidin) dapat terjadi setelah pemberian beberapa bulan.

H. VaksinasiPengembangan vaksin untuk mencegah penyebaran AIDS merupakan

penelitian yang diprioritaskan para ahli imunologi dan dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum dapat dikembangkan.

I. Terapi genetikTerapi gen somatik menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetik.

Prosedur tersebut antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen normal ke populasi sel yang terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer mempunyai kemampuan terbatas untuk berproliferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan diperlakukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang pleuripoten. Namun hal tersebut masih sulit untuk dilakukan dan diperlukan studi lebih lanjut.

Page 6: Acquired Immune Deficiency Syndrome

J. Terapi potensialAIDS disebabkan oleh berbagai virus varian retrovirus HIV yang tergolong

virus lenti, oleh karena menimbulkan penyakit dengan perkembangan lambat. Virus merupakan virus RNA yang memiliki enzim unik, reverse transcriptase yang diperlukan untuk sintesis dsDNA spesifik dari genom viral RNA. DNA baru diintegrasikan dalam genom sel terinfeksi dan banyak yang tetap laten dalam sel. Bila diaktifkan, DNA digunakan sebagai templat RNA yang diperlukan untuk produksi virus. Virus dilepas dipermukaan sel dan envelop virus dibentuk dari membran sel pejamu, diubah oleh insersi glikoprotein virus. Dewasa ini obat dengan aktivitas anti HIV menegah virus masuk, mencegah tahap reverse transcription RNA ke cDNA atau mencegah prekursor protein virus membelah diri dalam protein yang diperlukan untuk membentuk virion baru dan melengkapi pematangannya pada virus infeksius. Reverse transcriptase dapat dicegah tidak hanya oleh analog nukleosid tetapi juga oleh analog nukleotid dan bahan non-nukleotid.

Page 7: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Pembagian Defisiensi ImunDefisiensi imun terdiri atas sejumlah penyakit yang menimbulkan kelainan atau lebih

sistem imun.Manifestasi defisiensi imun tergantung dari sebab dan respon. Defisiensi sel B

ditandai oleh infeksi rekuren bakteri dengan kapsel. Defisiensi sel T ditandai oleh infeksi virus, jamur dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit dengan ketidakmampuan untuk memakan dan mencerna patogen yang biasanya terjadi pada infeksi bakteri yang rekuren. Penyakit gangguan komplemen menunjukkan defek aktivasi jalur klasik, alternatif dan lektin yang meningkatkan mekanisme spesifik.

A. Defisiensi imun nonspesifik1. Defisiensi komplemen

Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan dengan peningkatan insidens infeksi dan penyakit autoimun seperti LES. Komponen komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.

Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen yang kurang. Defisiensi C2 tidak begitu berbahaya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena mekanisme jalur alternatif tidak terganggu. Defisiensi C3 biasanya menimbulkan infeksi rekuren bakteri piogenik dan negatif-Gram yang mungkin disebabkan oleh karenea tidak adanya faktor kemotaktik, opsonisasi dan aktivitas bakterisidal.

a. Defisiensi komplemen kongenitalDefisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau penyakit kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis.

Defisiensi inhibitor esterase C1Defisiensi C1 INH berhubungan dengan angioedem herediter, penyakit yang ditandai dengan edem lokal sementara tetapi seringkali. Defek tersebut menimbulkan aktivitas C1 yang tidak dapat dikontrol dan produksi kinin yang meningkatkan permeabilitas kapilar. C2a dan C4a juga dilepas yang merangsang sel mast melepas histamin didaerah dekat trauma yang berperan pada edem lokal. Kulit, saluran cerna dan napas dapat terkena dan menimbulkan edem laring yang fatal.

Defisiensi C2 dan C4Defisiensi C2 dan C4 dapat menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang komplemen dependen.

Defisiensi C3

Page 8: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Defisiensi C3 dapat menimbulkan rekasi berat yang fatal terutama yang berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik seperti streptokok dan stafilokok. Tidak adanya C3 berarti fragmen kemotaktik C5 tidak diproduksi. Kompleks antigen-antibodi-C3b tidak diendapkan dimembran dan terjadi gangguan opsonisasi.

Defisiensi C5Defisiensi C5 menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis.

Defisiensi C6, C7 dan C8Defisiensi C6, C7 dan C8 meningkatkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan gonokok. Lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme kontrol utama dalam imunitas terhadap neseria. Penderita dengan defisiensi protein tersebut menunjukkan derajat infeksi neseria, sepsis, atritis yang lebih berat dan peningkatan DIC.

b. Defisiensi komplemen fisiologikDefisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan kadar C3, C5 dan faktor B yang masih rendah.

c. Defisiensi komplemen didapatDefisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintetis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Pada anemia sel sabit ditemukan gangguan aktivasi komplemen yang meningkatkan resiko infeksi salmonela dan pneumokok.

Defisiensi Clq,r,sDefisiensi Clq,r,s terjadi bersamaan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita LES. Penderita ini sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi C1 adalah edem angioneuritik herediter. Penderita tersebut tidak memiliki inhibitor esterase C1. Akibatnya ialah efek C1 terhadap C4 atau C2 berjalan terus yang dapat mengaktifkan berbagai bahan seperti plasmin dan peptida yang vasoaktif. Hal ini menimbulkan edem lokal dalam berbagai alat tubuh yang dapat fatal bila terjadi dalam larings. Danazol dan oksimetolon memacu sintesis inhibitor esterase C1 pada penderita dengan edem angioneurotik.

Defisiensi C4Defisiensi C4 ditemukan pada beberapa penderita LES.

Defisiensi C2Defisiensi C2 merupakan defisiensi komplemen yang paling sering terjadi. Defisiensi tersebut tidak menunjukkan gejala seperti telah dijelaskan terlebih dahulu dan terdapat pada penderita LES.

Page 9: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Defisiensi C3Penderita dengan defisiensi C3 menunjukkan infeksi bakteri rekuren. Pada beberapa penderita disertai dengan glomerulonefritis kronik.

Defisiensi C5-C8Penderita dengan defisiensi C5 sampai C8 menunjukkan kerentanan yang meningkatkan terhadap infeksi terutama neseria.

Defisiensi C9Defisiensi C9 sangat jarang ditemukan. Anehnya penderita tersebut tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren, mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun terjadi secara perlahan.

2. Defisiensi interferon dan lisozima. Defisiensi interferon kongenital

Defisiensi interferon kongenital dapat menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal.

b. Defisiensi interferon dan lisozim didapatDefisiensi interferon dan lisozim dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori.

3. Defisiensi sel NKa. Defisiensi kongenital

Defisiensi sel NK kongenital telah ditemukan pada penderita dengan osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan auto antibodi biasanya meningkat.

b. Defisiensi didapatDefisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.

4. Defisiensi sistem fagositFagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tanpa bantuan

komplemen. Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neotrofil yang menurun. Resiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai dibawah 500/mm2. Meskipun defek terutama mengenai fagosit, defisiensi fagosit juga terjadi pada PMN.

a. Defisiensi kuantitatifNeutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi

atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan oleh pemberian depresan sumsum tulang (kemotrapi pada kanker), leukemia, kondisi genetik yang menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitor dalam sumsum tulang termasuk prekursor mieloid (disgenensis retikular).

Peningkatan destruksi neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin). Hiperplenisme dengan ciri destruksi

Page 10: Acquired Immune Deficiency Syndrome

fungsi limfa yang berlebihan dapat menimbulkan defisiensi elemen darah perifer. Asplenia (kongenital), tindakan bedah atau destruksi keganasan atau anemia sel sabit dapat meningkatkan resiko infeksi terutama septikemia oleh streptokok pneumoni dan enterobakteria.

b. Defisiensi kualitatif

Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan dan membunuh mikroba intraselular.

Chronic Granulomatous DiseaseCGD adalah infeksi rekuren berbagai mikroba, baik negatif-Gram (escheriachia, serratia, klebsiela) maupun positif-Gram (stafilokok). CGD biasanya merupakan penyakit X-linked resesif yang terjadi pada usia 2 tahun pertama. Pada CGD ditemukan defek neutrofil dan ketidakmampuan membentuk peroksid hidrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.

Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenaseDefisiensi G6PD adalah penyakit imunodefisiensi yang X-linked dengan gambaran klinis seperti CGD. Pada defisiensi ini, juga ditemukan anemia hemolitik. Penyakit diduga disebabkan oleh defisiensi generasi NADPH. Gejalanya mulai terlihat pada usia dibawah 2 tahun berupa kerentanan yang tinggi terhadap kuman yang biasanya mempunyai virulensi rendah seperti S. epidermidis, Seratia marsesen dan aspergilus. Kelainan klinis yang ditemukan yaitu limfadenopati, hepanisplenomegali dan KGB yang terus mengeluarkan cairan. Infeksi akut dan kronik selain di KGB, juga terjadi di kulit, saluran cerna, hati dan tulang. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase. Pada defisiensi oksidasi NADPH tidak dibentuk peroksidase yang diperlukan untuk membunuh kuman intraselular.

Defisiensi meiloperoksidasePada beberapa penderita dengan DMP ditemukan infeksi mikroba rekuren terutama K. albikans dan S. aureus. Enzim tersebut ditemukan pada neutrofil normal. Peroksidase ditemukan dalam granul sitoplasma dan dilepas ke fagosom melalui proses degranulasi yang diikuti dengan fagositosis. Pada DMP proses tersebut terganggu sehingga kemampuan membunuh neutrofil terganggu.

Sindrom Chediak-HigashiSCH sangat jarang ditemukan, ditandai dengan infeksi rekuren, piogenik, terutama streptokok dan stafilokok. Prognosisnya buruk dan kebanyakan penderita meninggal pada usia anak. Neutrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan, memakan dan menghancurkan mikroba terlambat. Pada SCH ditemukan neutrofil dengan kemotaksis dan kemampuan membunuh yang abnormal dengan aktivitas sel

Page 11: Acquired Immune Deficiency Syndrome

NK dan kadar enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi peroksida hidrogen normal.

Sindrom JobSindrom job berupa pilek yang berulang (tidak terjadi inflamasi normal), abses stafilokok, eksim kronis dan otitis media. Kemampuan neutrofil untuk menelan-memakan tidak menunjukkan kelainan, tetapi kemotaksis terganggu. Kadar IgE serum sangat tinggi dsan dapat ditemukan eosinofilisa.

Sindrom leukosit malas (lazy leucosyte)Sindrom leukosit malas berupa kerentanan terhadap infeksi mikroba yang berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis (asal nama sindrom) dan respon inflamasi terganggu.

Defisiensi adhesi leukositDefisiendi adhesi leukosit merupakan penyakit imunodefisiensi yang ditandai dengan infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka. Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan endotel dan antar leukosit (agregrasi), kemotaksis dan aktivitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksis neutrofil, sel NK dan sel T juga terganggu.

B. Defisiensi imun spesifikGangguan dalam sistem imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik dan didapat.

1. Defisiensi kongenital atau primerDefisiensi imun spesifik kongenital sangat jarang terjadi. Defisiensi sel B ditandai dengan infeksi rekuren oleh bakteri. Defisiensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur dan protozoa yang rekuren. Defisiensi fagosit disertai oleh ketidakmampuan untuk memakan dan menghancurkan patogen, biasanya timbul dengan infeksi bakteri rekuren. Penyakit komplemen menunjukkan defek dalam jalur aktivasi klasik, alternaif dan atau lektin yang meningkatkan mekanisme pertahanan pejamu spesifik.

a. Defisiensi imun primer sel BDefisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B (GAMBAR

17.3). Berbagai akibat dapat ditemukan seperti tidak adanya satu kelas atau subkelas Ig atau semua Ig. Penderita dengan defisiensi semua jenis IgG lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang hanya menderita defisiensi kelas Ig tertentu saja.

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah analisa jumlah dan fungsi sel B, imunoelektroforesis dan evaluasi kuantitatif untuk menentukan kadar berbagai kelas dan subkelas Ig. Istilah agamaglobulinemia (tidak ada Ig sama sekali) sebenarnya tidak benar oleh karena pada defisiensi ini biasanya masih ada kadar Ig yang rendah terutama IgG. Oleh karena itu sebaiknya disebut hipogamaglobulinemnia.

X-linked hypogamaglobulinemia

Page 12: Acquired Immune Deficiency Syndrome

Bruton pada tahun 1952 menggambarkan penyakit yang disebutnya agamaglobulinemi Bruton yang X-linked dan hanya terjadi pada bayi laki-laki. Penyakit jarang terjadi, biasanya nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Pada usia tersebut, bayi mulai menderita infeksi bakteri berulang. Pemeriksaan imunologi menunjukkan tidak adanya Ig dari semua kelas Ig. Darah, sumsum tulang, limpa dan KGB tidak mengandung sel B. kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.

Bayi dengan defisiensi sel B menderita otitis media rekuren, bronkitis, septikemi, pneumoni, artritis, meningitis dan dermatitis. Kuman penyebab pada umumnya adalah H.influenza dan S.pneumoni. Sering pula ditemukan sindrom malabsorbsi oleh karena G.lamblia yang bermanifestasi dalam saluran cerna. Antibiotik biasanya tidak menolong. Pemberian IgG yang periodik memberikan hasil yang efektif untuk 20-30 tahun. Pragnosisnya buruk dan biasanya diakhiri dengan penyakit paru kronik.

Hypogamaglobulinemia sementara

Hipogamaglobulinemia sementara dapat terjadi pada bayi bila sintesis terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th. Penyakit ditemukan pada bayi melalui masa hipogamaglobulinemia antara usia 6-7 bulan. Banyak bayi menderita infeksi saluran napas rekuren pada masa tersebut. Beberapa bayi mengalami perkembangan yang terlambat dalam sintesis IgG. Bayi sering menderita infeksi kumari piogenik positif-Gram (kulit, selaput otak atau saluran napas). Keadaan membaik sendiri, biasanya pada usia 16-30 bulan. Terapinya adalah pemberian antibiotik, gama globulin atau keduanya.

Pada usia 5-6 bulan kadar IgG yang berasal dari ibu mulai menurun dan bayi mulai memproduksi IgG sendiri. Kadang-kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar IgM dan IgA normal. Hal tersebut disebabkan oleh karena sel T yang belum matang. Pada beberapa bayi ditemukan kelebihan sel Ts. Gangguan dapat berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun. Penyakit ini tidak X-linked dan dapat dibedakan dari penyakit Bruton oleh karena pada yang akhir tidak ditemukan IgG dan sel B dalam darah. Pemberian Ig hanya diberikan bila terjadi infeksi berat yang rekuren.

Common Variable Hypogamaglobulinemia

CVH menyerupai hipogamaglobulinemia Bruton. Penyakit berhubungan dengan insiden autoimun yang tinggi. Meskipun jumlah sel B dan Ig normal. Kemampuan mempertahankan dan …. melepas Ig …………

Defisiensi Imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia)Defisiensi Ig yang selektif (digamaglobulinemia) adalah penurunan

kadar 1 atau lebih Ig, sedang kadar Ig yang lain adalah normal atau meningkat. Defisiensi IgA selektif ditemukan pada 1 dari 700 orang dalam masyarakat dan merupakan defisiensi imun tersering. Klinis menunjukkan gambaran infeksi sino-pulmoner dan gastrointestinal rekuren yang disebabkan virus atau

Page 13: Acquired Immune Deficiency Syndrome

bakteri. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya proteksi dari sIgA pada permnukaan membran mukosa. Penderita juga menunjukkan peningkatan insidens autoimun, keganasan dan alergi. Anehnya ialah bahwa beberapa penderita diantaranya tetap sehat. Pengobatannya yaitu dengan antibiotik spektrum luas. Prognosis pada umumnya baik dan penderita dapat mencapai usia lanjut. Kadar serum IgA rendah, tetapi kadar IgG, IgM adalah normal atau meningkat. Ditemukan sel B yang mengandung IgA, tetapi defek dalam kemampuannya melepas Ig.

HGG sebaiknya tidak diberikan oleh karena penderita dengan kadar IgA yang sangat rendah dapat membentuk antibodi (IgG atau IgE) terhadap IgA dan menimbulkan sensitasi anafilaksis pada resipien tanpa IgA. Terapi agresif dengan antibiotik harus diberikan untuk mengontrol infeksi.

Defisfiensi IgM selektif merupakan hal yang jarang terjadi. Penderita sering menunjukkan infeksi kuman yang mengandung polisakarida dalam membran selnya seperti pneumokok dan influenza. Defisiensi IgG selektif lebih jarang ditemukan.

b. Defisiensi imun primer sel TPenderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh terhadap aktivitas dan poliferasi sel B, maka defisiensi sel T disertai pula dengan gangguan produksi Ig yang nampak dari tidak adanya respon terhadap vaksinasi (Gambar 17.4). Aplasi timus kongenital (sindrom DiGeorge)

Penyebab sindrom DiGeorge adalah defisiensi sel Tdengan sebab tidak diketahui. Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T dalam darah, KGB dan limpa. Defisiensi tersebut disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dari lengkung faring ke 3 dan 4, yang terjadi pada sekitar 12 minggu sesudah gestasi. Baik kelenjar timus maupun kelenjar paratiroid terkena. Bayi menunjukkan gejala hipokalsemi selama 24 jam pertama sesudah lahir yang sering disertai dengan kelainan jantung dan ginjal kongenital.

Sindrom DiGeorge tidak diturunkan. Bayi dengan sindrom DiGeorge juga menunjukkan infeksi kronik oleh virus, bakteri, jamur, protozoa dan mikrobakteria rekuren. Hipoparatiroidism dapat menimbulkan tetani hipokalsemia. Penampilan muka berubah, berbentuk mulut ikan dengan telinga letak rendah.

Meskipun sel B, sel plasma dan kadar Ig dalam serum normal,banyak penderita dengan sindrom DiGeorge tidak mampu membentuk antibodi setelah vaksinasi. Pengobatannya ialah transplantasi dengan timus fetal. Perbaikan terjadi dengan timbulnya sel T satu minggu kemudian. Timus fetal yang digunakan hendaknya tidak lebih tua dari 14 minggu agar dapat menghindari reaksi GVH yang terjadi bila limfosit matang diberikan ke donor yang imunodefisien. Prognosisnya buruk bila tidak diobati.

Kandidiasis mukokutan kronik

Page 14: Acquired Immune Deficiency Syndrome

KMK adalah infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti K.albikans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Penderita menunjukkan imunitas selular yang normal terhadap mikroorganisme selain kandida dengan imunitas yang humoral yang normal. Jumlah limfosit total normal, tetapi sel T menunjukkan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respon terhadap antigen kandida, meskipun respon terhadap antigen lain normal. Reaksi kulit lambat/ DTH terhadap kandida juga negatif.

Transplantasi timus memberikan hasil yang bervariasi. Penderita perlu diobservasi sejak awitan disfungsi endokrin, terutama penyakit Addison yang merupakan sebab utama kematian. Penyakit tersebut mengenai pria dan wanita terutama anak. KMK biasanya disertai disfungsi berbagai kelenjar endokrin seperti adrenal dan paratiroid. Respons antibodi dan antifungal terhadap kandida adalah normal.

c. Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat

Severe combined immunodeficiency diseaseSCID adalah defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat (Gambar 17.5). Penderita dengan SCID rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoa terutama CMV. Pneumosistis karini dan kandida. Gejala mulai terlihat pada usia muda dan bila tidak diobati jarang dapat hidup melebihi usia satu tahun. Tidak adanya sel B dan T terlihat dari limfositopenia. Kepada penderita dengan SCID tidak boleh diberikan vaksin hidup/dilemahkan oleh karena dapat fatal. Bayi dapat ditolong dengan transplantasi sumsum tulang (Gambar 17.6 dan tabel 17.3)

Sindrom nezelofSindrom nezelof adalah golongan penyakit dengan gambaran imun yang sama. Semua penderita dengan sindrom ini rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba. Imunitas sel T nampak jelas menurun. Defisiensi sel B variabel dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal atau meningkat (disgamaglobulinemia). Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada.

Sindrom wiskott-aldrichWAS menunjukkan trombositopeni, ekzem dan infeksi rekuren oleh

mikroba. IgM serum rendah, kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat. Isohemaglutinin ditemukan dalam jumlah sedikit atau tidak ada. Jumlah sel B normal, tidak memberikan respon terhadap antigen polisakarida untuk memproduksi antibodi. Imunitas sel T biasanya baik pada fase dini, tetapi mengurang dengan progres penyakit.

WAS mengenai usia muda dengan gejala trombositopenia, eksim dan infeksi rekuren. Sering terjadi perdarahan dan infeksi bakteri yang rekuren dan menimbulkan otitis media, meningitis serta pneumoni akibat kadar IgM yang rendah dalam serum. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penderita tidak mampu memberikan respon terhadap antigen polisakarida, di samping ada

Page 15: Acquired Immune Deficiency Syndrome

kerentanan terhadap leukimia. Pengobatannya adalah dengan antibiotik dan transplantasi sumsum tulang.

Ataksia telangiektasiAT adalah penyakit autosomal resesif mengenai syaraf, endokrin dan sistem vaskular. Ciri klinisnya berupa gerakan otot yang tidak terkoordinasi stag-gering gait) dan dilatasi pembuluh darah kecil (telangiektasi) yang jelas dapat dilihat di sklera mata, limfopenia, penurunan IgA, IgE dan kadang-kadang IgG. Penyakit timbul pertama pada anak di bawah usia 2 tahun dan berhubungan dengan infeksi sinopulmoner berulang. Pada penderita yang lebih tua dapat timbul karsinoma.

Defisiensi adenosin deaminaseAdenosin deaminase tidak ditemukan dalam semua sel. Hal ini berbahaya oleh karena bila hal itu terjadi, kadar bahan toksik berupa ATP dan deoksi-ATP dalam sel limfoid akan meningkat.

2. Defisiensi Imun Spesifik Fisiologika. Kehamilan

Defisiensi imun selular dapat ditemukan pada kehamilan. Keadaan ini mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen paternal. Hal tersebut antara lain disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut melewati plasenta oleh reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.

b. Usia tahun pertamaSistem imun pada anak usia 1 tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum

matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naif dan tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen. Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20, tetapi kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia sekitar 5 tahun. Pada usia beberapa bulan pertama, bayi tergantung dari IgG ibu.

Susu ibu juga merupakan sumber proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman botol, 60x lebih beresiko untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan pertama. Bayi prematur lebih mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit menerima imunnoglobulin ibu selama akhir-akhir kehamilan.

c. Usia lanjutGolongan usia lanjut lebih sering mendapat infeksi dibanding usia muda. Hal

ini disebabkan oleh karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat involusi timus, jumlah sel T naik dan kualitas respon sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Terutama sel CD8+ dan sel Th1 sangat menurun, diduga oleh karena

Page 16: Acquired Immune Deficiency Syndrome

aktivitas apoptosis. Sitokin Th2, IL-6 meningkat sedang IL-2 menurun (gambar 17.7).

Defisiensi selular sering disertai dengan meningkatnya kejadian kanker, kepekaan terhadap infeksi misalnya tuberkulosis. Herpes zoster, gangguan penyembuhan infeksi dan fenomena autoimun. Penyakit lanjut disebabkan oleh penurunan aktivitas sel T. Pada usia 60 tahun, jaringan timus hampir seluruhnya diganti oleh lemak dan edukasi sel T dalam timus hampir hilang. Jadi pejamu tergantung dari persediaan sel T yang sudah diproduksi sebelumnya pada usia lebih muda. Juga dengan mengurangnya repertoine, kemampuan sel T pada usia lanjut untuk berkembang adalah terbatas. Hal itu akan menurunkan respons CMI. Pada usia lanjut, imunitas humoral juga menurun yang terlihat dari perubahan dalam kualitas respons antibodi yang mengenai :

Spesifisitas antibodi dari autoantigen yang asing Isotop antibodi dari IgG dan IgM Afinitas antibodi dari tinggi menjadi rendahHal tersebut disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel T untuk

menginduksi pematangan sel B. Di samping itu terjadi penurunan produksi sel B dalam sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun sel B yang sudah tua masih menunjukkan respon terhadap mikroba seumur hidup.

Sintesis imunoglobulin meningkat dan adanya pertumbuhan klon sel B dapat menimbulkan para-protein atau keganasan sel B. Proses tersebut dipacu oleh virus Epstein-Barr. Autoantibodi juga lebih sering ditemukan pada usia lanjut. Menurunnya respon imun akan menurunkan pula respon terhadap vaksinisasi, sehingga resiko infeksi pada usia lanjut akan meningkat. Nutrisi buruk pada usia lanjut sering cenderung menimbulkan defisiensi imun sekunder yang ringan namun berarti.

C. Defisiensi imun didapat atau sekunderImunodefisiensi didapat atau sekunder sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat meningkatkan kerentanan tehadap infeksi oportunistik. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan defisiensi sekunder terlihat pada tabel 17.4. 1. Infeksi

Infeksi dapat menimbulkan defisiensni imun. Malaria dan rubela kongenital dapat berhubungan dengan difisiensi antibodi. Campak sudah diketahui berhubungan dengan defek imunitas selular yang menimbulkan reaktivasi tuberkulosis. Hal-hal tersebut dapat terjadi bersama pada penderita sakit berat. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respon limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal yang sama dapat terjadi setelah imunisasi dengan campak. Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan bakteri dapat menekan sistem imun. Kehilangan imunitas selular terjadi pada penyakit campak, mononukleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis, lepra, tuberkulosis milier dan parasit.

Page 17: Acquired Immune Deficiency Syndrome

2. Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedahObat sering menimbulkan defisiensi imun sekunder. Tindakan kateterisasi dan

bedah dapat menimbulkan imunokompromais. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Tetrasiklin dapat menekan imunitas selular. Kloramfenikol dapat menekan respons antibodi, sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral maupun selular. Jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang dan antibiotik. Steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.

Penderita yang mendapat trauma (luka bakar atau tindakan bedah besar/ mayor) akan kurang mampu menghadapi patogen. Sebabnya tidak jelas, mungkin karena penglepasan faktor yang menekan respon imun.

3. PenyinaranPenyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.

4. Penyakit beratDefisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multipel, leukimia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare.

5. Kehilangan imunoglobulinDefisiensi imunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedang IgM tetap normal. Pada diare (limfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar terjadi kehilangan protein.

6. Agamaglobulinemia dengan timomaAgamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah dapat pula menyertai agamaglobulinemia. Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan imunokompromais terlihat pada tabel 17.5.