acara 1 daging

Embed Size (px)

DESCRIPTION

AHA

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM

ACARA I

PEMBUATAN PRODUK DAN UJI KUALITAS PRODUK DAGING

Disusun Oleh

Kelompok 2

Andri YuwonoH3112009

Anindya SH3112011

Arum HemastitiH3112013

Diyah KartikaH3112027

Gunawan WibisonoH3112040

Kevin AnggaraH3112047

Mailina PH3112051

Yosiah AlexanderH3112095

PROGRAM DIPLOMA III TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

ACARA I

PEMBUATAN PRODUK DAN UJI KUALITAS PRODUK DAGING

Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum yang kami lakukan ini adalah :

Mahasiswa dapat melakukan pengawetan dan pengolahan daging dengan baik dan benar sehingga dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas daging.Mahasiswa dapat menerapkan teknologi pegolahan dan uji kualitas produk daging secara sederhana.Mahasiswa terampil melakukan tahapan cara pengawetan daging sebagai upaya untuk memperpanjang umur simpan.Mahasiswa dapat mendeteksi kerusakan awal pada daging segar dan produk daging.Mahasiswa dapat melakukan penilaian organoleptik produk daging dengan baik dan benar.

Tinjauan Pustaka

Pendinginan pada suhu lemari es (refrigerator) merupakan cara yang paling sederhana dan sering digunakan untuk mengawetkan serta memperpanjang masa simpan daging ayam. Penyimpanan daging ayam segar dilakukan di dalam kamar dengan temperature tidak lebih dari 4 C. Penyimpanan pada temperatur ini memberikan daya tahan sekitar 7 hari. Pendinginan dapat menghambat pertumbuhan kuman, karena suhu dingin akan menurunkan energi kinestetik semua molekul dalam sistem, sehingga menurunkan kecepatan reaksi kimia termasuk aktivitas metabolisme sel kuman (Kasih dkk, 2012).

Daging merupakan salah satu komoditi peternakan yang dibutuhkan untuk memenuhi protein hewani asal ternak, protein daging mengandung susunan asam amino yang lengkap. namun demikian, daging merupakan produk peternakan yang sangat rentan terhadap kontaminasi mikroba. Hal ini disebabkan karena daging mempunyai pH dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Beberapa usaha yang dilakukan untuk memperlambat kerusakan oleh mikroba pada daging diantaranya adalah dengan penyimpanan refrigerasi pada suhu 5C, pembekuan serta memanfaatkan teknologi iradiasi (Dewi, 2012).

Bahan tambahan pangan dapat menambah nilai terhadap produk makanan. Jika tidak ditambahkan bahan tambahan pangan, pasti akan terasa hambar dan terlihat tidak menarik. Berdasarkan sumbernya, bahan tambahan pangan dibedakan menjadi 2 yaitu alami dan buatan. Bawang putih merupakan bahan tambahan alami, keunggulan dari bahan ini untuk kemudahan daging dan ikan untuk dicerna karena kandungan proteinnya. Selain itu berfungsi dalam penghambatan pertumbuhan bakteri dan khamir karena mengandung senyawa antimikroba yaitu allicin. Dengan demikian dapat disimpulkan fungsi bawang putih didalam bahan makanan untuk menambah gizi dan sabagai bahan pengawet makanan (Saparinto dan Diana, 2010).

Ada berbagai macam daging, akan tetapi daging yang sering dikonsumsi antara lain daging ayam, daging sapi, daging kerbau, daging kambing, dan daging itik. Dalam memilih daging segar, masing-masing daging memiliki kenampakan yang berbeda-beda. Diantara daging tersebut daging ayam dan daging itik paling berbeda, karena kedua daging tersebut adalah daging yang berasal dari unggas, sedangkan lainnya adalah daging hewan memamah biak. Daging sapi yang baik warnanya merah segar, seratnya halus, lemaknya berwarna kuning, dagingnya keras (elastis). Daging kerbau warnanya merah tua, seratnya kasar, lemaknya keras dan berwarna kuning. Daging kambing berwarna merah jambu, memiliki serat yang halus, lemaknya keras dan berwarna putih, sedangkan dagingnya berbau lebih tajam daripada daging sapi (David et all, 2004).

Semua daging mengandung lemak, walaupun persentase lemaknya bervariasi menurut binatangnya dan menurut bagian tubuhnya. Daging menyediakan 27% dari dari seluruh lemak dalam rata-rata susunan makanan orang Inggris. Ikan yang berminyak atau berlemak seperti herring dan sarden mengandung minyak sampai 20% tetapi sumbangannya terhadap suapan keseluruhan amat kecil karena ikan ini tidak sering dikonsumsi. Untuk membuat bakso daging digunakan daging (sapi) yang benar-benar masih segar. Semakin segar daging semakin bagus mutu bakso yang dihasilkan. Selain itu, daging hendaknya tidak banyak berlemak dan tidak banyak berurat. Lemak dan urat yang terdapat pada daging sebaiknya dipisahkan dulu. Naun, untuk membuat bakso urat justru digunakan daging yang banyak urat atau seratnya, sedangkan lemak tetap dipisahkan (Wibowo, 2000).

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral), dan stres. Perbedaan bangsa dari suatu spesies mempengaruhi kualitas daging, hal ini diduga dipengaruhi keberadaan gen yang menyusun tubuh ternak tersebut. Dalam bangsa ternak yang sama, komposisi karkas dapat berbeda. Bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan kerakteristiknya yang berbeda, bangsa sapi tipe besar akan menghasilkan komposisi karkas, stuktur, kualitas kimiawi dan kualitas yang berbeda dengan bangsa sapi tipe kecil. Perlakuan pemasakan juga dapat menyebabkan perubahan karateristik fisik, dan komposisi kimia pada daging (Wibowo, 1995).

Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas daging bisa dilakukan dengan prosespengawetan dan peningkatan keempukan dengan penambahan enzim proteolitik. Pengawetan daging akan memperpanjang masa simpan dan memperbaiki persediaan daging dengan mengurangi kerusakan dan pembusukan oleh mikroorganisme. Penambahan enzim proteolitik akan meningkatkan keempukan dan penerimaan daging oleh konsumen. Pengawetan pada prinsipnya adalah penghambatan kerusakan oleh bakteri dan bisa dilakukan dengan penggunaan senyawa antimikroba. Tujuan pengawetan tersebut ditentukan oleh waktu penyimpanan komoditi (Lukman, 2009).

Ketika daging dimasak, baik dengan jalan memanggangnya atau merebusnya, ia akan mengisut dan kehilangan kadar airnya, dapat sampai mencapai seperlima dari berat asal , karena itu, dalam jumlah yang sama banyak, daging yang telah dimasak mempunyai nilai gizi yang lebih besar dibandingkan dengan daging mentah. Memasak tida terlalu lama, mempertinggi sifat digestibilitas daging, tetapi sebaiknya memasak terlalu lama, berpengaruh mengurangi digestibilitas daging ini. Daging mempunyai nilai-nilai cukup baik dalam kadar vitamin B (komplek) dan mempunyai nilai kecil bagi vitamin A dan C (Purukan, 2013).

Kisaran pH bakso yang baik antara 5,9 yaitu pada batas akhir keasaman daging sampai 6,2 yang merupakan pH minimum tumbuhnya mikroba. Rata-rata pH bakso daging sapi yang beredar di kota Malang dapat diterima untuk kualitas produk bakso. Perbedaan pH bakso ini disebabkan karena perubahan pH sesudah ternak mati, pada dasarnya ditentukan oleh kandungan glikogen pada daging sapi dan penanganan sebelum penyembelihan. Menurut Linawati (2006), lama post-mortem berpengaruh nyata terhadap pH bakso, sehingga semakin lama waktu post-mortem nya, maka pH bakso cenderung turun, hal ini dikarenakan pH daging mengalami penurunan setelah hewan dipotong WHC Bakso (Agustina dkk, 2013).

Pembuatan bakso dengan berikut bahan: daging sapi (79,8%), bawang merah (8%), remah roti (4,8%), peterseli (3,2%), lada hitam (1,6%), cabe merah (0,35%), jinten (0,65%), dan garam (1,6%). Semua bahan dicampur dan diremas dengan tangan selama sekitar 15 menit. Sampel daging sapi yang diremas sama tanpa penambahan lain bahan. Pra-ditimbang sampel (25 g masing-masing) adalah aseptik ditempatkan dalam kantong stomacher steril untuk mikroba. Analisis atau ditempatkan di nampan plastik dibungkus dengan plastik film untuk TBA dan analisis sensorik. Sampel diangkut ke pabrik iradiasi dalam didinginkan kotak pada 9 3 C (Zaenuri, 2011).

Modifikasi kacang tunggak dan protein kacang, menggunakan solid-state fermentasi dengan Rhizopus microsporus var. oligosporus (tempe cetakan), untuk lebih meningkatkan kualitas fungsional dan gizi telah dilaporkan (Prinyawiwatkul et al., 1993a, 1997). tepungdari cowpeas fermentasi (FCF) dan difermentasi sebagian dipisahkankacang (FPDPF) mengandung kadar tinggi protein (28,5% dan37%, masing-masing) dan merupakan sumber nutrisi dan bahan-bahan fungsional potensial untuk berbagai produk makanan. Gelasi mengikat dan panas akibat lemak dan air sifat tepung FCF dan FPDPF harus menguntungkan dalam sistem daging comminuted. Ini tepung telah berhasil dimasukkan hingga 20% di ayam nugget formulasi. Partial penggantian ayam daging dengan FCF atau FPDPF, atau kombinasinya, terpengaruh fisiko-kimia dan karakteristik sensorik dari nugget, tergantung pada tingkat penambahan (Zimazamaninejad, 2013).

Pengujian sederhana yang dapat dilakukan untuk mengetahui awal pembusukan daging salah satunya adalah uji Eber. Pengujian ini penting dilakukan sebagai bentuk monitoring dan penerapan praktek higiene khususnya di RPH seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010. Sepotong kecil daging ditusukkan pada kawat pada sumbat tabung, sedemikian rupa sehingga daging tersebut tergantung di atas permukaan reagen. Reagen Eber sebanyak 5 ml dituangkan ke dalam tabung dan ditutup dengan sumbat tabung. Penentuan awal pembusukan dilihat dari timbulnya bentukan gas atau asap yang keluar dari daging. Gas NH3 yang keluar dari potongan daging akan berikatan dengan HCl dari reagens Eber dan akan membentuk embun NH4Cl. Hasil positif (+) dinyatakan dengan terbentuknya kabut NH4Cl, yang berarti terjadi awal pembusukan. Sedangkan hasil negatif (-) dinyatakan dengan tidak terbentuknya kabut NH4Cl (Antika, 2013).

Perubahan pH pada daging etrjadi setelah hewan disembelih proses metabolisme aerobik akan terhenti karena sirkulasi darah ke jaringan otot juga terhenti, sehingga metabolisme berubah menjadi sistem anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Adanya penimbunan asam laktat pada daging menyebabkan turunnya ph jaringan otot. Penurunan pH terjadi perlahan-lahan dari keadaan normal. Kecepatan penurunan pH sangat dipengaruhi oleh temperatur disekitarnya. Pada suhu tinggi, pH akan turun lebih cepat, demikian pula sebaliknya. Kecepatan penurunan pH akan mempengaruhi kondisi fisik jaringan otot (Cahyadi, 2006).

Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan pengawetan daging supaya tahan lama, karena selain proses kerusakan daging dapat terhambat juga proses pembekuan tidak merubah daging ke bentuk olahan yang lain, sehingga ketersediaan daging segar dapat terjamin. Pembekuan daging adalah salah suatu cara dari pengawetan daging yaitu dengan membekukan daging di bawah titik beku cairan yang terdapat di dalam daging, titik beku daging pada temperatur -20 s/d -30oC . Proses pembekuan daging dapat menghambat pertumbuhan mikrobia, proses proteolitik, proses hidrolisis, proses lipolitik dan sedikit proses oksidatifPenggunaan bahan pengemas dalam pembekuan daging dapat mencegah terjadinya gosong beku (Freezer burn) yang dapat menyebabkan perubahan flavor, warna, tekstur dan penampakan daging beku yang tidak menarik, selain itu pengemas dapat mengurangi terjadinya desikasi, dehidrasi dan oksidasi lemak, sehingga kualitas daging beku dapat dipertahankan. Plastik polietilen (PE), plastik polipropilen (PP) dan aluminium foil dapat digunakan sebagai bahan pengemas (Bukle, 1986).

Ikan dapat diolah menjadi produk olahan seperti krupuk,tepung ikan, abon ikan, dan ikan kaleng. Salah satu produk abon ikan merupakan produk olahan yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat. Abon ikan merupakan jenis makanan olahan ikan yang diberi bumbu, diolah dengan cara perebusan dan penggorengan produk yang dihasilkan mempunyai bentuk lembut, rasa enak, bau khas, dan mempunyai daya awet yang relative lama (Wahida, 2013).

Metodologi

Alat Uji Kualitas DagingTabung reaksi 25 mlPipet ukur 10 mlKawat sterilGunting atau pisauPinsetSumbatTempat filmPengadukKertas lakmusPipet ukur 5 mlChicken nuggetmesin penggiling dagingloyangwajansondee / serokpiringkomporFurikakewajanpengadukpancipiringbaskomkomporBakso pisaumesin penggiling dagingpancipenumbuktelenanblenderkompor BahanUji Kualitas DagingDaging sapi segarDaging sapi dinginDaging sapi bekuLarutan EberIndikator PPAquadesChicken nuggetdaging dada ayamtepung panirtepung terigutepung kanjigarampoly fosfatbawangmericaair esFurikakeikan patinkedelaibiji wijenkacang tanahBakso daging sapitepung kanjiladabawang putihgaramair matangCara kerjaUji Eber

Pencincangan daging sampai halus dengan pisau

Pemasukkan dalam tabung reaksi

Penambahan 5 ml larutan eber

Pengamatan perubahan pada hari ke 1, 2, dan 7

Uji eber positif jika terbentuk kabut, bandingkan dengan kelompok lain.

Penimbangan daging sebanyak 5 gr

Uji pH

Petakkan Daging segar di piring

Penempelan kertas lamus pada daging

Pengukuran pH

Berat Daging

Penimbangan daging dengan timbangan

Pembandingan berat antara hari ke 1, 2, dan 7

Chicken nugget

Pembersihan daging

Penambahan bawang putih, lada, air es, dan tepung terigu.

Penambahan garam

dan poly-fosfat

Pendiaman selam 5-10 menit

Penggilingan

Pengadukan selama 2-3 menit

Pembentukan adonan

Pengguliran dalam tepung panir

Penggorengan

Chicken Nugget

Pengujian organoleptik

Furikake

Pentambahan serai dan daun salam

Pembersihan Ikan patin

Pemisahan daging dari duri

Penambahan bawang putih, bawang merah, gula merah, ketumbar, garam, santan, dan lengkuas

suir-suir daging patin

Pemanasan sampai kering

Penambahan bahan formulasi

Pemasukkan kedalam wajan yang sudah ada minyaknya

Furikake

Pengujian organoleptik

.

Bakso

Pembersihan Daging

Penggilingan

Penambahan bumbu

Penambahan kanji secar bertahap

Pembentukan bakso

Pemasukkan dalam air mendidih sampai bakso terapung

Pengangkatan dan penirisan

Bakso

Pengujian organoleptik

Hasil dan Pembahasan

Tabel 1.1 Hasil organoleptik Bakso

Sampel

Warna

Rasa

Aroma

Kenampakan

Overall

374

3.86a

3.14a

3.43b

3.48a

3.57b

493

3.43a

3.38a

3.33ab

3.24a

3.38ab

839

3.55a

2.90a

2.90a

3.25a

3.00a

913

3.60a

2.90a

3.35ab

3.20a

3.13ab

Sumber : Laporan Sementara

Keterangan:

Sampel 374 : kelompok 1 tepung tapioka

Sampel 493 : kelompok 2 tepung Sagu

Sampel 913 : kelompok 7 tepung Tapioka

Sampel 839 : kelompok 8 tepung Sagu

Bakso ditemukan pertama kali di daerah Cina pada 3000 SM. Bahan-bahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992).

Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bumbu BTP (bahan tambahan pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging yang segar. Daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase pre-rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Bakso dapat dikelompokkan menurut jenis daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan jumlah tepung pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar, 1998).

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich, 1971). Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioka dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari berat daging yang digunakan.

Menurut Ockermann (1983), STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan rendemen, kekerasa, kekenyalan dan kekompakan bakso (Elveira, 1988).

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2000) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi proterin otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).

Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau (aromatic). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1% 2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih mengandung sekitar 0,1% 0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)-L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinnenccius, 1994).

Cara membuat bakso yaitu daging dipotong-potong menjadi bentuk yang lebih kecil agar memudahkan dalam penggilingan. Setelah itu daging yang sudah dipotong kecil-kecil dimasukkan ke dalam food processor untuk digiling. Jika sudah halus, ditambahkan STPP, garam, dan 1/2 bagian es yang sudah disediakan. Selanjutnya campuran tersebut digiling lagi sampai halus. Setelah terlihat halus, ditambahkan lagi merica, bawang putih, dan 1/2 bagian es yang tersisa. Adonan tersebut digiling lagi sampai halus. Setelah terlihat halus, adonan tersebut dicetak hingga berbentuk bulat atau seperti gumpalan menggunakan tangan dan langsung dimasukkan ke dalam air panas selama 10 menit. Jika semua adonan telah selesai dicetak dan menjadi bakso, selanjutnya baso-baso tersebut direbus sampai matang. Matangnya bakso ditandai dengan terapungnya bakso-bakso tersebut ketika direbus. Setelah matang, bakso tersebut diangkat dan ditiriskan. Selanjutnya bakso yang sudah matang dicampurkan dengan resep/olahan bumbu dari masing-masing kelompok dan siap disajikan.

Pada proses pembuatan bakso yang paling penting adalah proses pencampuran bahan. Adonan bakso juga ditambahkan bumbu-bumbu. Bumbu merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan daging (Cross dan Overby, 1988). Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso daging sapi adalah garam dapur halus dan bumbu penyedap yang terbuat dari campuran bawang putih dan merica (Wibowo, 1999). Bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah garam, bawang putih, penyedap, dan merica. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk meningkatkan nilai cita rasa dan aroma pada bakso.

Penambahan tepung tapioka juga sangat penting dalam pembuatan bakso. Komponen amilosa berfungsi dalam daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk (Hidayat, 2007). Menurut Cahyadi (2006) secara umum pati terdiri dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Karena daya serap air yang cukup tinggi pada tepung tapioka, tepung ini biasanyadigunakan untuk campuran bakso. Tepung tapioka ini berfungsi untuk membah daya ikaat atau menyatukan bahan.

Tekstur merupakan parameter yang sangat penting dalam menjaga mutu daging dan produk turunannya. Keempukan daging adalah karakter yang krusial bagi daya terima konsumen.Menurut (Hendronoto, 2009), kesan kekenyalan pada nugget secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan beberapa aspek diantaranya mudah atau tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam nugget, mudah atau tidaknya dikunyah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, dan jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah.

Preferensi konsumen terhadap daging dada ayam pedaging yang berkualitas baik adalah memperlihatkan daging dada ayam berwarna kuning muda, tekstur menarik, rasa gurih, keempukan sedang, dan aroma tidak amis. Tekstur daging adalah indikator dari kekerasan dan keempukan daging. Tekstur daging dipengaruhi oleh umur, aktivitas, jenis kelamin, dan makanan (Resnawati 2005).

Pada Tabel 1.1 Hasil organoleptik Bakso, digunakan empat sampel dengan kode 374, 493, 839 dan 913. Sampel 374 adalah sampel kelompok 1 dengan menggunakan tepung tapioka, sampel 493 adalah sampel kelompok 2 dengan menggunakan tepung sagu, sampel 913 adalah sampel kelompok 7 dengan menggunakan tepung tapioka. Sedangkan sampel 839 adalah sampel kelompok 8 dengan menggunakan tepung sagu. Pada uji organoleptik bakso ini, digunakan lima parameter penilaian, meliputi warna, rasa, aroma, kenampakan dan overall.

Dari hasil praktikum tersebut, didapatkan hasil bahwa dari parameter warna, sampel yang paling disukai adalah sampel 374 dengan nilai 3.86. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 493 dengan nilai 3.43. Urutan kesukaan sampel dengan parameter warna dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 374 dengan nilai 3.86, sampel 913 dengan nilai 3.60, sampel 839 dengan nilai 3.55 dan sampel 493 dengan nilai 3.43. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter warna, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis tepung yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada kenampakan warna bakso.

Dari parameter rasa, sampel yang paling disukai adalah sampel 493 dengan nilai 3.38. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 839 dan 913 dengan nilai 2.90. Urutan kesukaan sampel dengan parameter rasa dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 493 dengan nilai 3.38, sampel 374 dengan nilai 3.14, sampel 839 dan 913 dengan nilai 2.90. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter rasa, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis tepung yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada rasa bakso.

Dari parameter aroma, sampel yang paling disukai adalah sampel 374 dengan nilai 3.43. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 839 dengan nilai 2.90. Urutan kesukaan sampel dengan parameter rasa dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 374 dengan nilai 3.43, sampel 913 dengan nilai 3.35, sampel 493 dengan nilai 3.33 dan sampel 913 dengan nilai 2.90. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter aroma, sampel saling beda nyata satu sama lain. Sampel 374 sangat berbeda nyata dengan sampel 493, 839 dan 913. Sedangkan sampel 839, sangat beda nyata dengan 374 namun tidak terlalu berbeda nyata dengan sampel 493 dan 913. Untuk sampel 493 dengan sampel 913 tidak beda nyata. Hal ini berarti, jenis tepung yang digunakan berpengaruh pada aroma bakso.

Dari parameter kenampakan, sampel yang paling disukai adalah sampel 374 dengan nilai 3.48. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 913 dengan nilai 3.20. Urutan kesukaan sampel dengan parameter kenampakan dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 374 dengan nilai 3.48, sampel 839 dengan nilai 3.25, sampel 493 dengan nilai 3.24 dan 913 dengan nilai 3.20. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter kenampakan, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis tepung yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada kenampakan bakso.

Dari parameter overall, sampel yang paling disukai adalah sampel 374 dengan nilai 3.57. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 839 dengan nilai 3.00. Urutan kesukaan sampel dengan parameter overall dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 374 dengan nilai 3.57, sampel 493 dengan nilai 3.38, sampel 839 dengan nilai 3.13 dan sampel 913 dengan nilai 3.00. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter overall, sampel saling beda nyata satu sama lain. Sampel 374 sangat berbeda nyata dengan sampel 493, 839 dan 913. Sedangkan sampel 839, sangat beda nyata dengan 374 namun tidak terlalu berbeda nyata dengan sampel 493 dan 913. Untuk sampel 493 dengan sampel 913 tidak beda nyata. Hal ini berarti, jenis tepung yang digunakan berpengaruh pada parameter overall bakso.

Tabel 1.2 Uji Organoleptik Produk Chicken Nugget

No.

Sampel

Parameter

Kenampakan

Warna

Rasa

Tekstur

Overall

1.

193

3.75

3.75

3.75

3.70

3.85

2.

184

3.95

3.95

3.80

3.80

3.90

3.

698

4.05

4.05

3.80

3.85

3.95

4.

543

4.10

4.10

4.00

3.85

4.15

Sumber: Laporan Sementara

Nugget merupakan salah satu bentuk produk beku siap saji, yaitu produk yang telah mengalami pemanasan sampai setengah matang (precooked), kemudian dibekukan. Produk beku siap saji ini hanya memerlukan waktu penggorengan selama 1 menit pada suhu 150 derajat C. Ketika digoreng, nugget beku setengah matang akan berubah warna menjadi kekuning-kuningan dan kering. Tekstur nugget tergantung dari bahan asalnya.

Bahan baku utama yang dibutuhkan dalam pembuatan nugget ayam adalah daging ayam, khususnya yang berasal dari bagian dada tanpa tulang dan kulit (boneless skinless breast) dan bagian paha tanpa tulang dan kulit (boneless skinless leg).Bahan baku pembantu terdiri dari minyak nabati untuk menggoreng produk supaya matang, fosfat untuk meningkatkan stabilitas emulsi dan daya ikat air dari daging, air (dalam bentuk air es) sebagai media pelarut dalam pencampuran bahan sehingga menjadi lembut. Bumbu (spices) yang ditambahkan pada pembuatan nugget ayam sangat bervariasi antar produsen, tetapi umumnya terdiri dari garam dan rempah-rempah. Garam dapur berfungsi sebagai pemberi cita rasa. Rempah-rempah yang digunakan merupakan campuran dari merica, gula pasir, dan penyedap rasa. Semua bahan tersebut sudah dapat diperoleh dalam bentuk bubuk, sehingga sangat praktis dalam penggunaannya.

Selain bahan bak utama yang dibutuhkan dalam pembuatan nugget ini adalah daging ayam tanpa tulang. Bahan baku pembantu terdiri dari minyak goreng untuk menggoreng produk supaya matang. Pada pembuatan nugget ini batter yang digunakan umumnya berupa putih telur yang berfungsi untuk melapisi daging dan sebagai media perekat bagi Breader yang biasa berupa tepung roti. Breader merupakan bahan pelapis berbentuk granula atau butiran kasar yang digunakan untuk melapisi produk setelah penambahan putih telur. Breader umunmya berupa tepung panir atau roti.Bumbu yang ditambahkan pada pembuatan nugget ayam ini sangat bervariasi, tetapi umumnya terdiri dari garam dan rempah-rempah. Garam halus, gula pasir dan penyedap rasa berfungsi sebagai pemberi cita rasa dan pengawet produk.

Chicken nugget merupakanbahan pangan hasil olahan daging ayam yang telah dihaluskan dengan penambahan bahan lain dengan bentuk dan ukuran tertentu sesuai selera. Dalam pembuatan Chicken nugget perlu dilakukan tahap awal yaitu membersihkan daging ayam yang sudah dipisahkan dengan tulangnya lalu dicuci dengan air hingga daging menjadi bersih, selanjutnya daging digiling dengan mesin penggiling daging hingga daging menjadi halus dan lembut lalu ditambahkan garam dan poly fosfat, setelah itu didiamkan selama 510 menit lalu menambahkan bumbu-bumbu sambil di mixer selama 23 menit selanjutnya adonan dibentuk sesuai selera, lalu digulirkan pada tepung panir detelah itu digoreng dengan menggunakan kompor.

Kornet merupakan salah satu produk olahan daging yang telah lama dikenal dan disukai oleh masyarakat. Produk ini merupakan salah satu upaya untuk membuat umur simpan daging menjadi lebih lama. Namun, dalam pengolahannya harus tetap memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait agar hasilnya maksimal dan tidak membahayakan kesehatan. Produk daging yang berupa kornet ini telah banyak dipasarkan diberbagai wilayah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Oleh karena itu,dalam pengolahannya tidak boleh sembarang dalam menjaga mutu dan citarasanya.

Pada pengujian Organoleptik Nugget warna yang dihasilkan adalah kecoklat- coklatan, Menurut (Marsudi,2008),yang menyatakan bahwa warna kecoklat-coklatan yang timbul akibat penggorengan tersebut disebabkan oleh adanya reaksi Maillard, yaitu reaksi antara asam amino pada protein dengan karbohidrat. Sedangkan utuk rasa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyatakan bahwa rasa suatu bahan makanan sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, konsentrasi satu komponen dan interaksi dari faktor-faktor lainnya. Reaksi antara protein dan karbohidrat yang menghasilkan warna kecoklat-coklatan juga akan berpengaruh pada rasa chicken nugget yang dihasilkan.

Warna kornet cukup disukai oleh panelis dengan nilai 2,85a. Warna yang ditimbulkan berasal dari hasil proses curing. Proses curing memiliki tujuan memberikan warna merah cerah pada kornet, walaupun warna kornet yang sebenarnya adalah merah tua tetapi tidak membuat panelis tidak menyukainya karena warna pada produk pangan diukur secara objektif. Warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen dan paling cepat memberikan kesan disukai atau tidak (Soekarto, 1990).

Tabel 1.3 Hasil Organoleptik Furikake

Sampel

Warna

Rasa

Aroma

Kenampakan

Overall

745

3,45a

3,25a

3,65a

3,30a

3,45a

298

3,50a

3,50ab

2,80a

2,60ab

3,60a

324

3,75a

3,70ac

3,80a

3,95b

3,85a

896

3,80a

3,85b

3,80a

4,00b

3,85a

Sumber Laporan Sementara

Keterangan :

Kode sampel 298 : menggunakan kacang

Kode sampel 896 : menggunakan ikan teri

Kode sampel 745 : menggunakan kacang

Kode sampel 324 : menggunakan ikan teri

Pada dasarnya furikake merupakan olahan lanjutan ikan yang sudah dibuat menjadi abon dengan penambahan bahan-bahan tambahan yang lain sehingga tercipta formulasi yang lezat pada abon tersebut. Bahan-bahan tambahan tersebut antara lain kedelai, ikan teri, wijen dan kacang tanah dll.

Pada Tabel 1.3 Hasil organoleptik Furikake, digunakan empat sampel dengan kode 298, 896, 745 dan 324. Sampel 298 adalah sampel dengan menggunakan kacang sebagai penambah rasa, sampel 896 adalah sampel dengan menggunakan ikan teri sebagai penambah rasa, sampel 745 adalah sampel dengan menggunakan kacang sebagai penambah rasa. Sedangkan sampel 324 adalah sampel dengan menggunakan ikan teri sebagai penambah rasa. Pada uji organoleptik furikake ini, digunakan lima parameter penilaian, meliputi warna, rasa, aroma, kenampakan dan overall.

Dari hasil praktikum tersebut, didapatkan hasil bahwa dari parameter warna, sampel yang paling disukai adalah sampel 896 dengan nilai 3.80. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 745 dengan nilai 3.45. Urutan kesukaan sampel dengan parameter warna dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 896 dengan nilai 3.80, sampel 324 dengan nilai 3.75, sampel 298 dengan nilai 3.50 dan sampel 745 dengan nilai 3.45. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter warna, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis penambahan rasa yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada kenampakan warna furikake.

Dari parameter rasa, sampel yang paling disukai adalah sampel 896 dengan nilai 3.85. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 745 dengan nilai 3.25. Urutan kesukaan sampel dengan parameter rasa dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 896 dengan nilai 3.85, sampel 324 dengan nilai 3.70, sampel 298 dengan nilai 3.50 dan sampel 745 dengan nilai 3.25. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter rasa, sampel saling beda nyata satu sama lain. Sampel 896 berbeda nyata dengan sampel 745, 298 dan 324. Hal ini berarti, jenis penambahan rasa yang digunakan berpengaruh pada rasa furikake.

Dari parameter aroma, sampel yang paling disukai adalah sampel 324 dan 896 dengan nilai 3.80. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 298 dengan nilai 2.80. Urutan kesukaan sampel dengan parameter aroma dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 324 dan 896 dengan nilai 3.80, sampel 745 dengan nilai 3.65, dan sampel 298 dengan nilai 2.80. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter aroma, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis penambahan rasa yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada aroma furikake.

Dari parameter kenampakan, sampel yang paling disukai adalah sampel 896 dengan nilai 4.00. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 298 dengan nilai 2.60. Urutan kesukaan sampel dengan parameter kenampakan dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 896 dengan nilai 4.00, sampel 324 dengan nilai 3.90, sampel 745 dengan nilai 3.30 dan sampel 298 dengan nilai 2.60. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter kenampakan, sampel beda nyata satu sama lain. Sedangkan untuk sampel 324 dan 896 tidak beda nyata. Hal ini berarti, jenis penambahan rasa yang digunakan berpengaruh pada kenampakan furikake.

Dari parameter overall, sampel yang paling disukai adalah sampel 324 dan 896 dengan nilai 3.85. Sedangkan sampel yang paling tidak disukai adalah sampel 745 dengan nilai 3.45. Urutan kesukaan sampel dengan parameter overall dari yang paling disukai sampai yang paling tidak disukai antara lain sampel 324 dan 896 dengan nilai 3.85, sampel 298 dengan nilai 3.60, dan sampel 745 dengan nilai 3.45. Dari keempat sampel, dapat disimpulkan pula bahwa dalam hal parameter overall, sampel tidak beda nyata satu sama lain. Hal ini berarti, jenis penambahan rasa yang digunakan tidak terlalu berpengaruh pada parameter overall furikake.

Tabel 1. 4 Hasil pengamatan penyimpanan daging suhu kamar, dingin dan beku

Sampel

Hari ke-

Suhu

0 (gram)

2 (gram)

7 (gram)

Daging sapi

10

9.6

9.8

Kamar

Daging sapi

10

10.4

10.6

Dingin

Daging sapi

9.9

10.3

10.4

Beku

Sumber : Uji Organoleptik

Pendinginan pada suhu lemari es (refrigerator) merupakan cara yang paling sederhana dan sering digunakan untuk mengawetkan serta memperpanjang masa simpan daging ayam. Penyimpanan daging ayam segar dilakukan di dalam kamar dengan temperature tidak lebih dari 4 C. Penyimpanan pada temperatur ini memberikan daya tahan sekitar 7 hari. Pendinginan dapat menghambat pertumbuhan kuman, karena suhu dingin akan menurunkan energi kinestetik semua molekul dalam sistem, sehingga menurunkan kecepatan reaksi kimia termasuk aktivitas metabolisme sel kuman (Kasih dkk, 2012).

Dalam jurnalnya Kasih dkk (2012) menyebutkan bahwa hasil analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh lama penyimpanan terhadap susut masak daging ayam. Namun perbedaan yang tidak nyata pada lama penyimpanan 0 hari, 2 hari dan 4 hari disebabkan oleh protein miofibril belum terdegradasi, sehingga kemampuan daging untuk mengikat air masih baik, seperti dikemukakan oleh Lawrie (1995) bahwa akumulasi asam laktat akan merusak protein miofibril yang diikuti oleh kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air, sehingga berpengaruh pada susut masak daging ayam. Perbedaan yang sangat nyata pada lama penyimpanan 6 hari diakibatkan oleh laju dan besarnya penurunan pH daging. Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Semakin lamanya waktu penyimpanan daging ayam, kemampuan mengikat air juga menurun. Kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek langsung pada pengerutan dari daging selama penyimpanan. Daging dengan kapasitas mengikat air yang rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan terjadi kehilangan berat yang besar yang berdampak pada meningkatnya susut masak (Kasih dkk, 2012).

Dalam pengujian penyimpanan daging di berbagai suhu, digunakan tiga sampel daging sapi yang diletakkan di ruang dengan suhu yang berbeda. Suhu yang digunakan antara lain suhu kamar, suhu dingin dan suhu beku. Pada tabel 1. 1 Hasil pengamatan penyimpanan daging suhu kamar, dingin dan beku, diketahui bahwa berat sampel terus mengalami perubahan. Untuk sampel daging sapi suhu kamar, berat sampel pada hari ke 0 sampai hari ke 2 mengalami penurunan berat sebesar 0.4 gram, sedangkan dari hari ke 2 menuju hari ke 7 mengalami kenaikan berat sebesar 0.2 gram. Untuk sampel daging sapi suhu dingin, berat sampel terus meningkat. Pada hari ke 0 sampai hari ke 2, sampel mengalami kenaikan berat sebesar 0.4 gram, sedangkan dari hari ke 2 menuju hari ke 7 mengalami kenaikan berat sebesar 0.2 gram. Untuk sampel daging sapi suhu beku, berat sampel pada hari ke 0 sampai hari ke 2 mengalami kenaikan berat sebesar 0.4 gram, sedangkan dari hari ke 2 menuju hari ke 7 mengalami kenaikan berat sebesar 0.1 gram.

Dalam kasus daging sapi dengan penyimpanan suhu kamar, pada hari ke 2 sampai hari ke 7 terjadi peningkatan berat karena protein miofibril belum terdegradasi sepenuhnya. Oleh karena itu, pada hari ke 0 sampai hari ke 2 terjadi penurunan berat. Namun karena masih ada protein miofibril yang belum terdegradasi pada daging, menyebabkan protein tersebut masih bisa mengikat air (kelembaban) dalam udara suhu ruang yang menyebabkan penambahan berat daging. Hal ini juga berlaku pada penambahan berat daging sapi dingin dan daging sapi beku pada hari ke 2 sampai ke 7. Hal ini seudah sesuai dengan teori Kasih dkk (2012) yang menyatakan bahwa penambahan berat daging terjadi protein miofibril belum terdegradasi, sehingga kemampuan daging untuk mengikat air masih baik. Akumulasi asam laktat akan merusak protein miofibril yang diikuti oleh kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air, sehingga berpengaruh pada susut masak daging ayam. Sedangkan alasan mengapa penambahan berat daging sapi beku lebih rendah karena kelembaban pada suhu pembekuan lebih rendah dari suhu pendinginan dan suhu kamar. Sehingga kadar air yang bisa diikat oleh miofibril juga lebih sedikit dibanding pada suhu kamar dan suhu pendinginan.

Tabel 1. 5 Hasil Pengamatan Uji Eber

Sampel

Hari ke-

Suhu

0

2

7

Daging sapi

-

++

+++

Kamar

Daging sapi

+

++

++

Dingin

Daging sapi

+

++

++

Beku

Sumber : Uji Organoleptik

Keterangan:

+Sedikit gelembung

++Agak banyak gelembung

+++Banyak gelembung

Pengujian sederhana yang dapat dilakukan untuk mengetahui awal pembusukan daging salah satunya adalah uji Eber. Pengujian ini penting dilakukan sebagai bentuk monitoring dan penerapan praktek higiene khususnya di RPH seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010. Pada praktikum kali ini, reagen eber dibuat dari campuran HCl, alkohol 96 %, dan dietil eter dengan perbandingan 1:1:3.

Dalam pengamatan uji eber digunakan tiga sampel daging sapi yang diletakkan di ruang dengan suhu yang berbeda. Suhu yang digunakan antara lain suhu kamar, suhu dingin dan suhu beku. Pengamatan dilakukan tiga kali selama seminggu yaitu pada hari ke 0, hari ke 2 dan hari ke 7. Pada Tabel 1. 2 Hasil Pengamatan Uji Eber, didapat hasil berbagai macam kenaikan jumah gelembung. Pada sampel daging suhu kamar, mula-mula tidak ditunjukkan adanya gelembung di harei ke 0, namun pada hari ke 2 terjadi peningkatan jumlah gelembung. Ada cukup banyak gelembung yang muncul dan peningkatan terus terjadi sampai hari ke 7. Pada hari ke 7, sampel daging suhu kamar mengalami peningkatan jumlah gelembung menjadi banyak. Pada sampel daging suhu dingin, mula-mula ada sedikitgelembung dihari ke 0. Pada hari ke 2 terjadi peningkatan jumlah gelembung menjadi agak banyak. Namun pada hari ke 7 tidak terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jumlah gelembung sampel. Pada sampel daging sapi beku hari ke 0 didapatkan sedikit gelembung. Pada hari ke 2 terjadi peningkatan jumlah gelembung menjadi agak banyak. Namun pada hari ke 7 tidak terjadi peningkatan yang signifikan terhadap jumlah gelembung sampel.

Tebentuknya gas atau gelembung baik sedikit maupun banyak membuktikan bahwa uji eber positif. Hal ini berarti produk daging dari ketiga sampel telah mengalami pembusukan. Menurut Antika dkk (2013), penentuan awal pembusukan dilihat dari timbulnya bentukan gas atau asap yang keluar dari daging. Gas NH3 yang keluar dari potongan daging akan berikatan dengan HCl dari reagens Eber dan akan membentuk embun NH4Cl. Hasil positif ( + ) dinyatakan dengan terbentuknya kabut NH4Cl, yang berarti terjadi awal pembusukan. Sedangkan hasil negatif (-) dinyatakan dengan tidak terbentuknya kabut NH4Cl. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa daging sapi yang disimpan pada suhu kamar mulai mengalami pembusukan pada hari ke 2. Laju pembusukan daging suhu kamar ini terbilang cepat karena terjadi penambahan gelembung yang signifikan pada pengamatan hari ke 2 dan 7. Untuk sampel daging sapi dingin dan beku,telah terlihat adanya tanda kerusakan sejak hari ke 0. Hal ini dibuktikan dengan adanya gelembung sejak hari ke 0. Namun laju pembusukan kedua daging ini terbilang lambat karena tidak terjadi penambahan gelembung yang signifikan pada pengamatan hari ke 2 dan 7. Hal ini menandakan bahwa penyimpanan beku dan dingin dapat menghambat laju pembusukan.

Tabel 1. 6 Hasil pengamatan uji pH

Sampel

Hari ke-

Suhu

0

2

7

Daging sapi

6

6

8

Kamar

Daging sapi

5

6

8

Dingin

Daging sapi

5

6

7

Beku

Sumber : Uji Organoleptik

Pada praktikum hasil pengamatan uji pH, terjadi peningkatan pH pada ketiga sampel uji. Pada daging sapi yang disimpan di suhu kamar, untuk hari ke 0 sampai hari ke 2 tidak terjadi peningkatan pH. Namun pada hari ke 2 menuju hari ke 7 terjadi peningkatan pH sebesar 2 digit dari pH 6 menjadi 8. Pada daging sapi yang disimpan di suhu dingin, untuk hari ke 0 sampai hari ke 2 terjadi peningkatan pH dari 5 menjadi 6. Pada hari ke 2 menuju hari ke 7 juga terjadi peningkatan pH sebesar 2 digit dari pH 6 menjadi 8. Pada daging sapi yang disimpan di suhu beku, untuk hari ke 0 sampai hari ke 2 terjadi peningkatan pH dari 5 menjadi 6. Pada hari ke 2 menuju hari ke 7 terjadi peningkatan pH sebesar 1 digit dari pH 6 menjadi 7.

Hal ini tidak sesuai dengan teori karena seharusnya pH daging cenderung mengalami penurunan setelah hewan dipotong. Menurut Agustina dkk (2013), perbedaan pH daging disebabkan karena perubahan pH sesudah ternak mati, pada dasarnya ditentukan oleh kandungan glikogen pada daging sapi dan penanganan sebelum penyembelihan. Lama post-mortem berpengaruh nyata terhadap pH daging, sehingga semakin lama waktu post-mortem nya, maka pH daging cenderung turun, hal ini dikarenakan pH daging mengalami penurunan setelah hewan dipotong. Penyimpangan ini disebabkan oleh berbagai faaktor antara lain perbedaan persepsi hasil pengukuran pH antar praktikan. Pengukuran menggunakan kertas pH meter memungkinkan terjadi ambiguitas pendapat warna pH yang dimunculkan. Hal ini akan berpengaruh pada nilai pH yang didapatkan. Selain itu kadar pH juga dipengaruhi oleh oleh kandungan glikogen pada daging sapi dan penanganan sebelum penyembelihan. Perbedaan kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan bisa menjadi faktor peningkatan pH. Menurut pernyataan Soeparno (2005), yang dikutip oleh Agustina dkk (2013) dalam jurnalnya, disebutkan bahwa pH daging berkisar 6,2 - 7,2. Hal ini berarti daging sapi perlakuan suhu kamar, untuk hari ke 0 sampai 2 masih memenuhi standar. Namun pada hari ke 7 pH daging telah melebihi standar. Untuk sampel pada suhu dingin, pada hari ke 0, pH daging berada dibawah standar sedangkan hari ke 2 memenuhi standar. Nampun pada hari ke 7, pH berada diatas standar. Untuk sampel daging pada suhu beku, pada hari ke 0, pH daging berada dibawah standar sedangkan hari ke 2 dan ke 7 pH daging telah memenuhi standar. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan terbaik adalah pada penyimpanan beku karena pH masih memenuhi standar sampai hari ke-7.

Kesimpulan

Kesimpulan dari Praktikum acara I Pembuatan Produk dan Uji Kualitas Produk Daging adalah :

Faktor yang mempengaruhi parameter warna, rasa, tekstur dan overall

adalah komposisi bahan, kualitas daging, dan cara pengolahannya berbeda.

Penambahan tepung tapioka juga sangat penting dalam pembuatan bakso. Komponen amilosa berfungsi dalam daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk.Bahan baku dab bahan tambahan seperti bumbu sangat penting dalam pembuatan bakso, cornet, nugget, dan furikake karena bahan ini menentukan kualitas produk yang dihasilkan.Pengolahan bakso, cornet, nugget dan furikake harus sesuai dengan teknik dan caranya agar menghasilkan produk yang disukai oleh konsumen. Penyimpanan suhu kamar, pada hari ke 2 sampai hari ke 7 terjadi peningkatan berat karena protein miofibril belum terdegradasi sepenuhnya.Daging sapi yang disimpan pada suhu kamar mulai mengalami pembusukan pada hari ke 2. Laju pembusukan daging suhu kamar ini terbilang cepat karena terjadi penambahan gelembung yang signifikan pada pengamatan hari ke 2 dan 7. Daging sapi dingin dan beku, telah terlihat adanya tanda kerusakan sejak hari ke 0. Hal ini dibuktikan dengan adanya gelembung sejak hari ke 0. Laju pembusukan kedua daging ini terbilang lambat karena tidak terjadi penambahan gelembung yang signifikan pada pengamatan hari ke 2 dan 7.Penyimpanan beku dan dingin dapat menghambat laju pembusukan.Hasil uji pH tidak sesuai dengan teori karena seharusnya pH daging cenderung mengalami penurunan setelah hewan dipotong. Penyimpangan ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain perbedaan persepsi hasil pengukuran pH antar praktikan, perbedaan kandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan.Standar pH daging berkisar 6,2 - 7,2.Perlakuan terbaik adalah pada penyimpanan beku karena pH masih memenuhi standar sampai hari ke-7

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Diah Putri., Djalal Rosyidi dan Aris Sri Widati. 2013. Kualitas Fisik san Organoleptik Bakso Daging Sapi Yang Beredar Di Kota Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Antika, Dona Dwi., Rudy Sukamto S., dan A.T.Soelih Estoepangestie. 2013. Pengaruh Cara Pengemasan dan Suhu Penyimpanan terhadap Awal Pembusukan Daging Sapi. Veterinaria Vol 6, No. 1, Pebruari 2013.

Bukle, dkk. 1986. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

David, et.all. 2004. Essential of Food Safety and Sanitation. Pearson Education New Jersey.

Dewi, Sri Hartati Candra. 2012. Populasi Mikroba dan Sifat Fisik Daging Sapi Beku Selama Penyimpanan. Jurnal AgriSains Vol.3 No.4, Mei 2012 ISSN : 2086-7719.

Dharma A, Marchella. 2014. Pengaruh Perbedaan konsentrasi Tepung Kentang(Solanum Tuberosum) terhadap Karakteristik Pasta dari ikan air tawar, payau, dan laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan Vol 3, No 3:75-81

Gardjito, Murdijati. 2009. Pengelolaan Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Ismed Lukman, Nurul Huda, Noryati Ismail. 2009. Physicochemical and Sensory properties of commercial Chicken Nuggets. Asian Journal Food Agro Industry 2(02);171-180.

Kasih, Nur Sari., Achmad Jaelani dan Nordiansyah Firahmi. 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan Daging Ayam Segar dalam Refrigerator Terhadap pH, Susut Masak dan Organoleptik. Media SainS , Volume 4 Nomor 2, Oktober 2012 ISSN 2085-3548.

Prinyawiwatkul, W, dkk. 1997. Optimizing Acceptability Of Chicken Nuggets Containing Fermented Cowpea And Peanut Flours. Journal Of Food Science . Volume 62, No. 4.

Saparinto, Diana. 2010. Bahan Tambahan Pangan. Penerbit Kanisius.Jakarta.

Shimazamaninejad, et,all. 2013. Effec of Medium Temperature Sitting on Gelling Characteristic of Surimi from Far med common carp. Word Journal of fish and Marine Sciences 5(5) :533-539.

Wibowo, Singgih. 2000. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Panebar Swadaya. Jakarta.

Wibowo. 1995. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya. Jakarta

Wisnu. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.