55
Prinsip Umum Toksikologi Perairan 33 2 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Toksikologi perairan (aquatic toxicology) adalah studi kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui dampak buruk (adverse effect) atau efek toksik dari bahan kimia dan bahan-bahan lain sebagai hasil aktifitas manusia terhadap organisme perairan. Selain itu, toksikologi perairan juga menelaah konsentrasi atau kuantitas bahan kimia yang diperkirakan terdapat dalam lingkungan perairan, baik dalam badan perairan, sedimen atau makanan. Efek toksik dapat berupa kematian (lethality) atau sub-lethal seperti perubahan dalam pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, pathologi, fisologi, biokimiawi dan tingkah laku. Efek atau dampak toksik dapat dinyatakan dalam beberapa criteria yang dapat dikuantifikasi seperti: jumlah organisme yang mati, persentase telur menetas, perubahan dalam panjang dan berat, persentase hambatan pada kerja enzim, jumlah tulang belakang (skelethal) abnormal serta tingkat kejadian atau kemunculan tumor. Sifat-sifat fisika dan kimia dari ekosistem perairan dapat secara signifikan mempengaruhi dampak aktifitas biologis dan skala/besaran dampak toksik dari bahan kimia atau xenobitics lainnya. Tingkat kerentanan lingkungan perairan terhadap gangguan bahan kimia bergantung pada beberapa faktor, meliputi : (i) sifat fisika-kimia dari bahan kimia dan produk-produk transformasinya, (ii) konsentrasi bahan kimia yang memasuki ekosistem, (iii) durasi dan jenis input (akut atau kronik, tumpahan terputus-putus atau berkesinambungan), (iv) kemampuan ekosistem untuk mempertahankan diri (kapasitas buffering pH, dinamika pergerakan massa air) dan (v) lokasi ekosistem terhadap

repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789... · Prinsip Umum Toksikologi Perairan - Universitas HasanuddinPrinsip Umum Toksikologi Perairan 35 Demikian sebaliknya,

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 33

2 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Toksikologi perairan (aquatic toxicology) adalah studi kualitatif dan

kuantitatif untuk mengetahui dampak buruk (adverse effect) atau efek

toksik dari bahan kimia dan bahan-bahan lain sebagai hasil aktifitas

manusia terhadap organisme perairan. Selain itu, toksikologi perairan

juga menelaah konsentrasi atau kuantitas bahan kimia yang diperkirakan

terdapat dalam lingkungan perairan, baik dalam badan perairan, sedimen

atau makanan.

Efek toksik dapat berupa kematian (lethality) atau sub-lethal seperti

perubahan dalam pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, pathologi,

fisologi, biokimiawi dan tingkah laku. Efek atau dampak toksik dapat

dinyatakan dalam beberapa criteria yang dapat dikuantifikasi seperti:

jumlah organisme yang mati, persentase telur menetas, perubahan dalam

panjang dan berat, persentase hambatan pada kerja enzim, jumlah tulang

belakang (skelethal) abnormal serta tingkat kejadian atau kemunculan

tumor.

Sifat-sifat fisika dan kimia dari ekosistem perairan dapat secara

signifikan mempengaruhi dampak aktifitas biologis dan skala/besaran

dampak toksik dari bahan kimia atau xenobitics lainnya. Tingkat

kerentanan lingkungan perairan terhadap gangguan bahan kimia

bergantung pada beberapa faktor, meliputi : (i) sifat fisika-kimia dari

bahan kimia dan produk-produk transformasinya, (ii) konsentrasi bahan

kimia yang memasuki ekosistem, (iii) durasi dan jenis input (akut atau

kronik, tumpahan terputus-putus atau berkesinambungan), (iv)

kemampuan ekosistem untuk mempertahankan diri (kapasitas buffering

pH, dinamika pergerakan massa air) dan (v) lokasi ekosistem terhadap

34 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

tempat pembuangan limbah kimia. Hal lain yang patut dicatat, bahwa

sesuai kodratnya sebagai organisme perairan, maka sepanjang hidupnya

seluruh organisme ini berada dalam air (seluruh atau sebagian tubuh

tenggelam dalam air). Hal ini memiliki konsekuensi logis sebagai lokasi

spesifik organisme perairan yang sekaligus merupakan reservoir atau

menjadi tempat tenggelam atau larutnya beberapa bahan kimia yang

memasuki ekosistem perairan.

2.1. Terminologi Umum Dalam Toksikologi

Toksikan : adalah agen yang mampu menghasilkan dampak atau

respon buruk dalam suatu sistem biologis, yang dapat secara serius

merusak struktur dan fungsi atau menyebabkan kematian.

Dampak buruk disini dimaksudkan sebagai gambaran dari hasil

pengukuran atau kuantifikasi yang berada di luar kisaran normal yang

ditemukan pada organisme sehat. Toksikan atau bahan kimia asing

(xenobiotics) dapat memasuki ekosistem perairan secara kebetulan atau

dengan sengaja dibuang ke dalamnya, yang secara serius merubah

kualitas air dan membuat lingkungan perairan menjadi tidak layak bagi

organisme.

Dalam konsep toksikologi, tidak ada satupun bahan kimia yang

secara umum dianggap bersifat toksik, dan tidak ada satupun bahan kimia

yang secara umum dapat dianggap aman. Faktor-faktor yang menentukan

apakah bahan kimia memiliki potensi membahayakan atau aman bagi

organisme adalah hubungan antara konsentrasi (kuantitas) bahan kimia

dan durasi pemaparannya terhadap organisme. Ukuran berat ringannya

(severity) dampak sebagai hasil dari suatu pemaparan (exposure) adalah

manifestasi dari hubungan konsentrasi dan durasi (lama) pemaparan.

Untuk setiap bahan kimia, kontak dengan sistem atau membran biologis

tidak akan menghasilkan suatu dampak buruk apabila konsentrasi bahan

kimia tersebut berada di bawah level minimal efektif (threshold).

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 35

Demikian sebaliknya, apabila organisme terpapar pada konsentrasi tinggi

dan dalam durasi yang memadai, maka dampak buruk niscaya terdeteksi.

Toksisitas : adalah suatu sifat relatif dari suatu bahan kimia dalam

hal potensi untuk menimbulkan dampak yang membahayakan bagi

organisme. Toksisitas merupakan fungsi konsentrasi bahan kimia dan

durasi pemaparan.

Data toksisitas umumnya digunakan dalam membandingkan bahan

kimia, yang juga mencakup mekanisme biologis yang terkena dampak

serta kondisi dimana suatu toksikan dikatakan berbahaya. Uji toksisitas

digunakan untuk mengevaluasi seberapa buruk dampak suatu bahan

kimia pada organisme dalam suatu kondisi yang terstandardisasi dan

dapat diulang di tempat lain.

Asupan/uptake : teransfer bahan ke bagian permukaan atau

bagian dalam organisme perairan. Fase asupan dari suatu uji akumulasi

adalah periode waktu organisme uji dipapar pada suatu bahan kimia.

Terdapat 3 jenis proses transportasi yang paling sering ditemui, yaitu:

difusi, transportasi spesial dan adsorpsi.

Difusi : merupakan jalur utama bahan kimia asing ke dalam tubuh

organisme dengan jalan difusi pasif melalui membrane semi-permiabel

seperti insang, belahan mulut atau saluran gastro-intestinal. Insang yang

merupakan organ ikan yang paling rentan, karena desainnya yang

memaksimalkan difusi. Membran insang merupakan struktur yang tipis

dengan ketebalan antara 2 - 4 µm, dan umumnya mewakili sekitar 2-10

kali area permukaan tubuh. Sedangkan kulit pada ikan, karapaks pada

krustase dan kutikula pada serangga umumnya relatif bersifat

impermiabel, karena kerapatan strukturnya serta keberadaan bagian mati

dari strukturnya, baik yang hidrofobik maupun hidrofilik. Difusi pasif

dapat terjadi melalui barrier apa saja yang bersifat permiabel bagi bahan

kimia dan menembus suatu gradasi konsentrasi (ΔC), yang merupakan

proses fisis yang tidak membutuhkan pengerahan enerji dari organisme.

36 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Difusi pasif dimungkinkan terjadi karena keberadaan lipid-bilayer

(lapisan lemak) yang merupakan membran biologis sederhana yang

memberikan kemudahan bagi molekul organik non-polar (lipofilik) untuk

terdifusi secara cepat, namun tidak demikian terhadap air, ion dan

molekul-molekul polar. Asam dan basa lemah dapat melewati membrane

terutama dalam bentuk-bentuk yang tidak terionisasi. Keberadaan pori

yang tersusun atas protein memungkinkan lewatnya air, ion-ion kecil

seperti Cl- dan molekul-molekul kecil lainnya dengan berat molekul (MW)

hingga 100. Permiabilitas pori-pori membran ini bervariasi sesuai

salinitas serta kondisi fisiologis organisme.

Proporsi laju difusi pasif dapat dihitung dengan rumus Fick :

Δ� � luas area � suhu

jarak

Membran yang letaknya terisolasi akan cepat menjadi jenuh dan

menurunkan laju difusi jika terjadi akumulasi bahan kimia di lokasi-lokasi

tertentu. Pola aliran darah pada insang yang mengangkut bahan-bahan

menjauh dari lokasi terjadinya proses difusi, sangat efektif dalam menjaga

suatu gradasi konsentrasi dalam jumlah besar. Laju asupan pasif pada

jaringan insang (dC/dt) berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi

bahan kimia dalam air (Cw) dan konsentrasi bahan kimia dalam darah

(Cb). Karena nilai awal Cw dari suatu senyawa asing biasanya 0 pada awal

suatu pemaparan, maka nilai awal :

� = kuCw

dimana koefisien laju ku merupakan gabungan/kesatuan seluruh faktor

fisis yang mempengaruhi laju difusi. Proses ganti kulit (molting) dapat

secara signifikan mengurangi beban bahan pencemar di tubuh organisme,

khususnya pada logam berat. Beban logam Cd pada kepiting laut Carcinus

maenas terserap ke eksoskeleton sebesar 59-80% yang akan hilang pada

saat terjadi proses moulting. Demikian juga pada udang laut Lysmata

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 37

seticaudata ditemukan hilangnya logam Cd sebesar >50% pada saat

molting.

Transportasi spesial : transportasi special atau khusus bahan

kimia ke dalam tubuh organisme mencakup transportasi aktif dan

transportasi terfasilitasi. Transportasi aktif terjadi saat menghadapi

terjadinya gradasi konsentrasi, dan jelas membutuhkan pengeluaran

enerji. Kinetik dari transportasi spesial mencapai tingkat jenuh pada saat

konsentrasi bahan kimia tinggi. Kompetisi dalam menghambat asupan

suatu bahan kimia pada keberadaan bahan kimia lain dapat terjadi.

Terdapat banyak contoh bahwa logam berat dapat berinteraksi saat

terjadi pengasupan. Misalnya: Cd cenderung mengurangi laju asupan Zn

dan Cu, demikian juga Co dan Mn berkompetisi dalam hal pengasupan

melalui sistem transportasi Zn.

Karena transportasi aktif membutuhkan input enerji seluler dalam

menggerakkan bahan kimia menghadapi gradasi konsentrasi, maka hal ini

merupakan mekanisme peningkatan konsentrasi sejati. Sedangkan

transportasi terfasilitasi selain tidak membutuhkan input enerji seluler

juga tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi bahan

kimia menghadapi gradasi konsentrasi pada membran. Kedua jenis proses

transportasi spesial tersebut dimaksudkan untuk mengatur bahan-bahan

yang secara biologis penting, seperti: logam esensial, gula dan asam

amino. Logam dapat diakumulasi baik melalui transportasi aktif maupun

transportasi pasif.

Salinitas rendah dapat meningkatkan laju asupan logam Cd oleh

organisme laut yang aktif mengakumulasi garam sejalan dengan

menurunnya salinitas. Salinitas rendah juga meningkatkan laju asupan

logam Cs pada organisme perairan akibat menurunnya persaingan dari

ion Na+. Hal ini jelas akan sangat menyulitkan untuk melakukan

generalisasi dalam bioakumulasi logam pada organisme perairan karena

keutamaan sifat kimia air dan peranan aktif yang dimainkan oleh

organisme dalam mengatur penyusun normal tubuhnya.

38 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Adsorpsi : merupakan aksi pengikatan suatu bahan kimia pada

bagian permukaan baik oleh kovalen, elektrostatik maupun daya molekul.

Karena adsorpsi merupakan suatu fenomena permukaan maka sangat

penting sebagai tahapan awal dalam proses akumulasi. Suatu bahan kimia

yang mengikat pada integument hewan akan member dampak pada beban

tubuh dan dapat member dampak terhadap kerentanan dalam fungsi

epithelium, namun secara umum tidak berperan dalam timbulnya efek

toksik di dalam tubuh hewan.

Adsorpsi sangat penting bagi mikroorganisme karena rasio

permukaan dan volume tubuhnya sangat tinggi. Temuan tentang tinggi

laju asupan logam berat Zn dan DDT pada mikroorganisme laut seperti

Chlorella dan Diatom merupakan bukti kuat tentang hal tersebut. Oleh

karena adsorpsi merupakan proses fisis, maka akan secara seimbang

efektif baik bagi sel hidup maupun sel mati.

Metode umum dalam menggambarkan adsorpsi pada suatu

substrat adalah rumus isotherm Freundlich:

����

�� ��� � �

�����

dimana: X/M adalah massa bahan kimia per gram sorbent (penyerap)

pada kondisi setimbang, k adalah konstanta adsorpsi Freundlich, Cw

konsentrasi larutan bahan kimia pada kondisi setimbang dan 1/n adalah

slop dari isotherm. Slop diperoleh dengan memplot log (X/M) terhadap

log Cw untuk berbagai konsentrasi. Semakin tinggi nilai intersep (log k)

maka semakin tinggi pula tingkat adsorpsi, dan semakin besar nilai slop

maka semakin tinggi pula efisiensi adsorpsi.

Proses Pemurnian (Depuration) : proses eliminasi atau

penghilangan bahan kimia dari tubuh organisme, baik melalui proses

desorpsi, ekskresi, difusi, biotransformasi atau rute lainnya. Fase depurasi

dari suatu uji adalah periode waktu yang digunakan untuk memelihara

organisme yang sebelumnya terpapar pada bahan kimia, di dalam air

bersih tidak tercemar untuk melepaskan beban bahan kimia pencemar

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 39

dari dalam tubuh atau jaringannya. Proses eliminasi cepat, terutama bagi

bahan-bahan kimia asing (xenobiotics) yang sulit berubah, berfungsi untuk

mencegah akumulasi dan kerusakan jaringan. Pada vertebrata, proses

eliminasi dapat berlangsung melalui beberapa rute/jalur termasuk :

transportasi melewati permukaan integumen atau organ pernafasan,

sekresi dalam empedu, ekskresi ginjal dalam urin atau melalui peletakan

telur. Sedang pada Arthropoda mekanisme utama untuk mengurangi

beban bahan pencemar adalah melalui proses pergantian

cangkang/molting.

Waktu-Paruh (half-life atau half-time) : waktu yang dibutuhkan

oleh suatu organisme yang dipelihara dalam air bersih untuk

menghilangkan 50% dari total beban konsentrasi suatu bahan kimia pada

tubuh atau jaringannya.

Ketersediaan biologis (Bioavailability) : fraksi dari total bahan

kimia di lingkungan sekitarnya yang tersedia untuk diasup oleh

organisme. Lingkungan disini termasuk: air, sedimen, bahan padat

terlarut dan bahan-bahan makanan. Asupan dari air terutama dalam

konteks absorpsi dari larutan air. Hal ini terkait dengan sulitnya asupan

biologis (biouptake) bagi bahan-bahan dengan daya kelarutan yang sangat

rendah dalam air atau terikat pada bahan padat yang ada dalam air.

Bahan organik terlarut yang terikat pada bahan kimia, juga akan

menurunkan laju biouptake.

Partisi (Partitioning) : distribusi suatu bahan kimia diantara

gradasi pelarut/solvent. Koefisien partisi (P atau Kow) adalah rasio dari

konsentrasi bahan kimia diantara solvent dalam kondisi ekuilibrium/

setimbang. Koefisien partisi umumnya diukur antara n-octanol (mewakili

lemak) dan air.

Kondisi Kesetimbangan (Steady state/dynamic equilibrium) :

keadaan dimana persaingan laju asupan dan laju eliminasi suatu bahan

kimia di dalam tubuh atau jaringan organisme adalah sama. Kondisi

kesetimbangan tercapai saat konsentrasi bahan kimia di dalam jaringan

40 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

tetap konstan selama pemaparan berlangsung. Faktor biokonsentrasi

dapat diukur pada kondisi kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan/

ekuilibrium didefinisikan sebagai rentetan koefisien partisi, sebagai

berikut:

H = Ca / Cw , Kp = Cs / Cw , dan BCF = Cb /Cw

dimana: H : konstanta Henry, Ca : konsentrasi dalam udara, Cw :

konsentrasi dalam air, Cs : konsentrasi dalam tanah, Cb : konsentrasi

dalam biota, Kp : koefisien sorpsi sedimen.

Sedang konstanta Henry dapat dihitung dengan persamaan :

H = (P x M x 16.04) / (T x S)

dimana: P : tekanan penguapan (mmHg), M : berat molekul, T : suhu,

dan S : daya larut (g/m3 atau ppm).

Koefisien adsorpsi sedimen adalah :

Kp = 0.6 x Kow x Ocf

dimana: Kow : koefisien partisi oktanol-air dan Ocf : fraksi karbon

organik dalam sedimen, yang di daerah sub-arctic nilainya : 0.1 dan di

daerah tropis nilainya : 0.2.

BCF dapat dihitung atau diestimasi dari Kow :

BCF = 0.048 x Kow

Jika Kow tidak diketahui, maka dapat diestimasi dengan persamaan:

log Kow = 6.5 – 0.89 x (log(S/M)) – 0.015 x Mp

dimana: Mp adalah titik leleh dalam oC.

Kompartemen: jumlah atau kuantitas bahan kimia yang

menunjukkan laju asupan dan eliminasi seragam dalam suatu sistem

biologis dengan sistem yang dapat dibedakan antara satu kompartemen

dengan kompartemen lainnya. Adapun sistem kompartemen memberikan

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 41

gambaran tentang distribusi senyawa kimia dalam berbagai fase

(compartmentalization) dari dunia, yang terdiri atas empat jenis

kompartemen utama dunia, dengan rincian sebagai berikut (Tabel 3). Dari

jenis kompartemen tersebut, maka jumlah senyawa (mol) dalam unit

dunia dapat dihitung melalui persamaan :

M = Cw [Va x H + Vw + (Vbs x Kp + Vss x Kp + Vs x Kp) x Ds + Vb x BCF x Db]

Tabel-3. Sistem Kompartemen Dunia.

Kompartemen Singkatan Volume

(m3/km2)

Kerapatan

(kg/m3/km2)

Udara a 6.000.000.000 1.2

Air w 7.000.000 1000

Tanah s 45.000 1500

Sedimen bs 21.000 1500

Bahan Padat Tersuspensi ss 35 1500

Biota b 7 1000

Sumber : Jaakko Paasivirta (1991).

Persamaan kompartemen di atas dapat disederhanakan dalam

bentuk :

M = ΣΣΣΣ ViCi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi,

transportasi, transformasi dan disposisi (nasib akhir) bahan kimia toksik

di lingkungan perairan adalah: (i) sifat fisika-kimia dari senyawa,

termasuk diantaranya: struktur molekul, daya larut dalam air, laju

penguapan, laju fotolisis, laju sorpsi, laju depurasi oleh organisme dan

koefisien partisi, (ii) sifat fisika-kimia-biologi dari ekosistem, termasuk

diantaranya: hubungan luas permukaan dan volume, suhu, salinitas, pH,

aliran massa air, kedalaman, jumlah materi tersuspensi serta kandungan

karbon dalam sedimen, dan (iii) sumber dan laju input bahan kimia ke

42 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

dalam ekosistem, meliputi: rata-rata laju input, informasi konsentrasi

awal, mobilitas bahan kimia dan bagian dari ekosistem yang berasosiasi

dalam distribusi dan transformasinya. Jenis bahan kimia dan reaksi

biologis yang terjadi selama fase transportasi dan setelah terdeposisi,

bentuk akhir bahan kimia, serta persistensi bahan kimia di alam juga

menjadi faktor-faktor yang harus diperhatikan.

Pemahaman tentang sifat-sifat fisika-kimia dari suatu senyawa

kimia memungkinkan kita untuk mengestimasi bagian utama dari

lingkungan perairan yang akan menjadi lokasi pemaparan utama serta

kemampuan dari senyawa kimia untuk bergerak di dalam dan ke luar dari

lingkungan. Sebagai contoh, senyawa kimia dengan tekanan penguapan

(vapour pressure) yang tinggi dan tingkat kelarutan rendah dalam air akan

cenderung mengakibatkan bahan kimia untuk tersebar dengan cepat ke

dalam air dan ke atmosfir (volatilize). Adapun senyawa kimia dengan

tekanan penguapan rendah dan tingkat kelarutan rendah dalam air

memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dengan sedimen dan bahan

padat terlarut. Sedang bahan kimia dengan tingkat kelarutan tinggi dalam

air memiliki kecenderungan untuk tetap berada di dalam kolom air,

terdistribusi secara luas dan merata dibandingkan bahan-bahan kimia

yang tidak larut di dalam lingkungan perairan.

Di dalam air, keberadaan suatu bahan kimia terdapat dalam 3 (tiga)

bentuk yang mempengaruhi ketersediaannya bagi organisme

(bioavailabilitas), yaitu: (i) terlarut (dissolved) : tersedia bagi organisme

dalam kolom air, (ii) terserap (adsorbed) pada bagian permukaan

komponen biotik atau abiotik yang dapat tersuspensi dalam kolom air

atau mengendap pada sedimen/dasar perairan (umumnya merupakan

senyawa hidrofobik berupa koloida tersuspensi atau partikulat mikro),

dan (iii) terakumulasi (incorporated) dalam organisme.

Bahan kimia yang terikat dalam sedimen menjadi ‘tersedia’ bagi

organisme pada saat sedimen teraduk, dan bahan kimia dapat

terakumulasi oleh organisme dalam beberapa jenis jaringan yang

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 43

berbeda, mengalami transformasi biologis (metabolisme) dan

diekskresikan balik ke dalam air. Bahan kimia yang mudah larut dalam air

dapat terus berada dan mempertahankan sifat-sifat fisika-kimianya saat

ditransportasi dan didistribusikan dalam lingkungan perairan. Untuk

bahan kimia persisten (tidak secara tuntas terdegradasi) memiliki

kecenderungan untuk terakumulasi di lingkungan hingga konsentrasinya

menjadi toksik. Persistensi suatu bahan kimia umumnya diekspresikan

dalam paruh-waktu (half-life) adalah waktu yang dibutuhkan untuk

mengurangi konsentrasi awal suatu bahan kimia menjadi tinggal

setengahnya, dinyatakan dengan DT50 (DT : disappearance time)

Bahan kimia pencemar dapat mengalami konversi menjadi bentuk

lain melalui proses transformasi biotik maupun abiotik. Reaksi

transformasi abiotik yang dominan dalam perairan adalah hidrolisis,

oksidasi dan fotolisis. Reaksi-reaksi tersebut mengakibatkan bahan kimia

menjadi lebih atau kurang tersedia dalam proses transformasi biotik

(biotransformasi). Ikan, invertebrata, mikroorganisme atau tumbuhan air

melakukan transformasi bahan kimia menjadi berbagai jenis metabolit

setelah terasup atau terabsorpsi. Biotransformasi merupakan proses yang

dimediasi oleh enzim, yang dapat secara tegas dibedakan dari reaksi-

reaksi non-metabolik kimiawi dan fotokimiawi yang berlangsung dalam

ekosistem perairan. Secara umum, biotransformasi memiliki

kecenderungan untuk mendegradasi suatu bahan kimia menjadi lebih

polar dan larut dalam air dengan toksisitas yang lebih rendah, walaupun

dalam beberapa kasus produk-produk transformasi dapat bersifat toksik.

Biotransfromasi yang dimediasi oleh hewan dan tumbuhan perairan

secara signifikan mempengaruhi konsentrasi bahan kimia di lingkungan.

Akan tetapi, untuk hampir seluruh senyawa organik di lingkungan

perairan, transformasi yang dilakukan oleh hewan dan tumbuhan tidak

sebanding dengan kemampuan transformasi mikroorganisme.

44 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas, meliputi :

(a) Faktor-faktor yang terkait dengan pemaparan; bagi suatu bahan

kimia berikut metabolit atau produk konversinya, untuk dapat

menimbulkan respon buruk atau memiliki dampak toksik pada

organisme perairan maka senyawa/bahan kimia tersebut harus

berada dalam posisi kontak dan bereaksi dengan reseptor yang tepat

pada organisme, dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi

kontak yang cukup lama. Konsentrasi dan waktu pemaparan

(Gambar 6) yang dibutuhkan untuk dapat menimbulkan dampak

atau respon buruk bervariasi menurut jenis bahan kimia, spesies

organisme dan tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Dalam

pendugaan dampak toksik bahan kimia, faktor-faktor yang nyata

terkait dengan pemaparan adalah: jenis, durasi, frekuensi pemaparan

dan konsentrasi bahan kimia. Organisme perairan dapat terpapar

pada bahan kimia yang terdapat dalam air, sedimen dan bahan-

bahan makanan. Bahan kimia hidrofilik (larut dalam air) lebih tinggi

tingkat ketersediaannya dibanding dengan bahan kimia hidrofobik

(sulit larut dalam air). Bahan kimia hidrofobik umumnya teradsorpsi

erat atau terikat erat dalam partikel terlarut, bahan-bahan organik

atau sistem-sistem biologis. Bahan-bahan kimia hidrofilik dapat

memasuki tubuh organisme melalui permukaan tubuh, insang atau

mulut. Oleh karenanya, jalur pepamaparan dapat mempengaruhi

faktor-faktor kinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi dan

ekskresi yang pada akhirnya menentukan tingkat toksisitas suatu

bahan kimia.

Efek toksik dapat dihasilkan di dalam laboratorium maupun di

lingkungan alami, baik dengan pemaparan akut (jangka pendek)

maupun kronik (jangka panjang) terhadap bahan kimia atau bahan-

bahan yang memiliki potensi toksik. Pada pemaparan akut (acute

exposure), organisme mengalami kontak dengan bahan kimia yang

dapat berupa pemaparan tunggal atau beberapa pemaparan yang

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 45

terjadi dalam jangka pendek, yang umumnya dalam hitungan jam

hingga hari. Pemaparan akut terhadap bahan kimia yang dapat

secara cepat terabsorpsi umumnya langsung memberikan

dampak/efek, namun terkadang dampak tersebut tertunda

menyerupai dampak yang ditimbulkan oleh pemaparan kronik.

Selama pemaparan kronik (chronic exposure), organisme yang

terpapar pada konsentrasi rendah dari suatu bahan kimia dapat

berupa kontak berkesinambungan (terus-menerus) atau berupa

kontak yang diberikan secara berkala dalam suatu periode waktu

yang panjang (minggu, bulan hingga tahun). Efek kronik bisa timbul

segera secara cepat seperti pada efek akut, namun yang paling sering

adalah efek yang tertunda dan berkembang secara perlahan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sebuah pemaparan akut selalu

melibatkan periode waktu yang singkat dibanding dengan satu siklus

kehidupan organisme, sedangkan pemaparan kronik melibatkan

seluruh siklus reproduktif suatu organisme. Oleh karena itu, suatu

pemaparan berdurasi sedang (satu hingga beberapa bulan), yang

periodenya kurang dari satu siklus lengkap reproduktif dan

melibatkan pemaparan pada salah satu siklus awal kehidupan yang

sensitif, dikenal sebagai pemaparan sub-kronik (subchronic

exposures). Dalam toksikologi perairan studi yang melibatkan

pemaparan sub-kronik juga dikenal sebagai uji stadia usia awal

(early life stage test), uji telur-larva (egg-fry test), uji embryo-larva

(embryo-larval test) atau uji stadia usia kritis (critical life stage test).

Frekuensi pemaparan dapat mempengaruhi toksisitas. Misalnya:

suatu pemaparan akut dari sebuah konsentrasi tunggal bahan kimia

dapat memberikan dampak buruk secara langsung pada organisme,

sedang dua pemaparan dengan konsentrasi kumulatif sama dengan

pemaparan konsentrasi tunggal dapat berujung pada dampak yang

kecil atau bahkan tidak member dampak sama sekali. Hal ini bisa jadi

karena terjadi proses detoksifikasi (metabolisme) bahan kimia

46 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

diantara kedua pemaparan atau terjadi penyesuaian diri (aklimasi)

organisme terhadap bahan kimia. Akan tetapi, jika laju metabolisme

tersebut rendah, maka bahan kimia tidak akan secara mudah

mengalami transformasi atau diekskresi, dan akan tetap berada

dalam tubuh organisme yang pada akhirnya akan menghasilkan

sebuah efek kronik.

(b) Faktor-faktor yang terkait dengan organisme: spesies memiliki

tingkat kerentanan yang berbeda terhadap bahan kimia. Perbedaan

kerentanan ini diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti:

perbedaan aksesibilitas toksikan terhadap organisme dimana

beberapa spesies tertentu memiliki kemampuan untuk secara efektif

mengeluarkan bahan toksik dalam waktu singkat (contoh:

mekanisme penutupan cangkang dan kemampuan melakukan

metabolisme anaerob pada kerang/bivalvia). Selain itu, laju dan pola

metabolisme dan ekskresi dapat mempengaruhi tingkat kerentanan

tersebut. Hal lain yang mempengaruhi tingkat kerentanan organisme

terhadap toksikan adalah faktor genetis, bahan makanan, serta status

kesehatan dan nutrisi/gizi organisme. Faktor usia atau stadia

perkembangan organisme juga menentukan tingkat kerentanan

(vulnerability), yang disebabkan oleh perkembangan mekanisme

detoksifikasi lebih berkembang pada individu dewasa.

(c) Faktor-faktor lingkungan eksternal: toksisitas bahan kimia dapat

dipengaruhi oleh lingkungan eksternal organisme yang terkait erat

dengan ketersediaan bahan kimia dalam media air seperti DO, pH,

pE, suhu dan bahan padat terlarut.

(d) Faktor-faktor yang terkait dengan bahan kimia: terutama yang

berhubungan dengan komposisi bahan kimia. Ketidak-murnian

(impurities) suatu bahan kimia dijumpai dari batch-batch yang

dihasilkan oleh produsen yang berbeda. Hal lain yang patut dicatat

adalah perbedaan tingkat kelarutan, tekanan penguapan dan pH,

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 47

karena faktor-faktor ini secara jelas mempengaruhi ketersediaan,

persistensi, transfromasi dan bentuk/nasib akhir bahan kimia di

lingkungan perairan.

Gambar-9. Hubungan Durasi – Konsentrasi.

Beberapa jenis bahan kimia bersifat toksik non-selektif (non-

selective toxicity), dimana mereka mampu memberikan dampak buruk

terhadap beragam jenis sel dan jaringan tubuh organisme perairan, dan

jenis bahan kimia ini biasanya sangat efektif walau dalam konsentrasi

kecil. Berlawanan dengan beberapa jenis bahan kimia yang bersifat toksik

sangat selektif dalam sel atau jaringan targetnya. Sel yang terkena atau

tidak terkena dampak buruk dari suatu bahan kimia toksik selektif

(selective-toxicity), dapat berada dalam spesies organisme yang sama atau

berbeda. Jika sel atau jaringan yang terkena dampak toksik berada dalam

spesies organisme yang berbeda, maka bahan kimia tersebut disebut

spesifik spesies (species-specific), karena aktifitasnya selektif terhadap

spesies tertentu.

Target spesifik (reseptor) toksikan dalam tubuh organisme dapat

berupa makromolekul, sel, organ atau proses biokimiawi tertentu yang

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Ko

nse

ntr

asi

(p

pm

)

Waktu hipotetik

Respon

48 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

diganggu oleh toksikan. Reseptor adalah suatu unit struktural kecil yang

aktif, baik pada membran protein sel, enzim, asam nukleat dan

makromolekul lainnya. Reseptor seperti lubang kunci dan suatu molekul

pemancar dari proses-proses kehidupan merupakan anak kunci yang

dapat secara pas masuk ke dalam lubang kunci tersebut. Jika suatu

xenobiotics memiliki struktur, ukuran dan polaritas yang sama, maka

xenobiotics ini akan berfungsi sebagai anak kunci palsu yang kemudian

akan menghentikan seluruh tahapan-tahapan metabolisme dan

melakukan suatu proses metabolik yang berbahaya atau memodifikasi

(menghambat atau mempercepat) transmisi signal dari syaraf. Pengikatan

suatu xenobiotics pada reseptor dapat menyebabkan suatu proses toksik

akut maupun kronik atau mendorong timbulnya dampak teratogenik

maupun karsinogenik. Oleh karena itu, selektifitas aksi dari suatu bahan

kimia dapat disebabkan oleh 2 (dua) mekanisme, yaitu : (i) menyangkut

terdapat atau tidak terdapatnya target spesifik atau reseptor pada sistem

sel organisme yang terpapar, karena selektifitas tersebut

mengindikasikan bahwa bahan kimia tertentu hanya bereaksi dengan

komponen/target normal spesifik dari sel. Target dapat berupa protein

atau lemak yang tidak vital bagi fungsi sel, sehingga reaksi antara bahan

kimia dan target tidak secara langsung menimbulkan perubahan dalam

fungsi sel, (ii) mekanisme yang melibatkan faktor-faktor yang berperan

dalam mendistribusikan dan mengubah konsentrasi bahan kimia pada

lokasi spesifik di dalam sel atau jaringan. Hal ini biasanya merupakan

hasil dari proses-proses spesifik seperti: absorpsi selektif, translokasi,

biotransformasi dan ekskresi.

Sedikit perubahan dalam struktur bahan kimia dapat merubah

aktifitas biologisnya. Hal ini karena efek biologis-kimiawi adalah hasil

reaksi fisis-kimiawi atau interaksi antara bahan kimia dan beberapa

target dalam sistem kehidupan perairan. Reaksi spesifik bahan kimia

terhadap target spesifik dikenal sebagai kajian hubungan aktifitas dan

struktur, yang menggambarkan detil batas-batas variasi dalam struktur

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 49

bahan kimia yang konsisten dengan efek biologis spesifik yang

dihasilkannya. Jika sejumlah kajian hubungan aktifitas struktur dapat

dilakukan dengan baik, hipotesis tentang posisi terdekat/paling mungkin

dari reseptor atau target spesifik dalam reaksi dengan bahan kimia dapat

dikembangkan. Kajian ini juga membuka peluang bagi peneliti untuk

melakukan sintesa analog-analog bahan kimia yang lebih aktif dalam

menghasilkan dampak biologis, atau lebih non-aktif dalam sistem biologis

yang diamati.

2.3. Aspek Kimia Toksikologi

Merupakan tinjauan tentang aspek kimia bahan toksik dengan

penekanan pada interaksi bahan kimia dengan jaringan biologis dan

sistem kehidupan. Hal ini terkait dengan keutamaan dari aspek hubungan

struktur dan aktifitas (SAR: structure activity relationship) dalam

toksikologi. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam upaya menghubungkan

struktur kimia dan sifat-sifat fisik dari berbagai senyawa dengan efek

toksiknya, yang memungkinkan untuk memprediksi efek toksik dari

senyawa kimia atau kelas senyawa kimia lainnya.

2.3.1. Terdapat beberapa kategori utama bahan kimia toksik, yaitu:

a. Bahan kimia yang memiliki sifat-sifat kuat dalam keasaman, kebasaan,

kemampuan dehidrasi, atau daya mengoksidasi. Contoh: asam sulfat

pekat yang memiliki kecenderungan untuk men-dehydrasi jaringan,

NaOH dan F2. Jenis-jenis ini cenderung merupakan bahan toksik non-

kinetik (hanya beraksi di lokasi/ titik kontak) dan bersifat korosif yang

umumnya merusak jaringan pada lokasi kontak.

b. Bahan kimia reaktif, umumnya mengandung ikatan dan kelompok

fungsional yang sesuai untuk bereaksi dengan biomolekul dan

merusaknya. Contoh: Allyl alkohol (C3H5OH) yang sangat toksik dan

menyebabkan iritasi pada kulit, saluran pencernaan, ginjal dan hati.

Sifat reaktif ini karena keberadaan kelompok alkyl, C=C.

50 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

c. Logam berat, sangat toksik karena interaksinya dengan enzim dan

kecenderungan untuk mengikat kuat dengan kelompok gugus

sulfuhydril (-SH) pada protein. Banyak anggota kelompok logam berat

yang diketahui sangat toksik.

d. Senyawa larut dalam lemak, toksisitasnya tinggi akibat

kemampuannya untuk melewati membran sel dan barrier serupa

dalam tubuh organisme. Senyawa lipid-soluble ini seringkali

terakumulasi sehingga menimbulkan dampak toksik melalui proses

biouptake dan bioakumulasi.

e. Struktur bahan kimia, sangat mempengaruhi daya induksi toksisitas.

Bahan kimia semacam ini umumnya mengakibatkan reaksi allergi

karena sistem kekebalan tubuh mengenalinya sebagai senyawa kimia

asing. Umumnya merupakan senyawa-senyawa berberat molekul

rendah yang terikat pada protein membentuk spesies senyawa baru

yang berberat molekul cukup tinggi dan mampu menimbulkan respon

allergi.

f. Spesies ion yang cenderung mengikatkan diri ke biomakromolekul dan

mengubah fungsinya menjadi merusak atau membahayakan. Ikatan

yang terjadi dapat bersifat dapat balik (reversible) seperti bentuk

ikatan CO dengan haemoglobin, yang mengurangi kemampuan

haemoglobin mengikat O2. Ikatan bersifat irreversible seperti yang

terjadi pada ion H3C+ (eletrofilik) yang mengikatkan diri pada atom N

(nukleofilik) pada Guanin yang terdapat pada DNA.

2.3.2. Transformasi Biokimia

Aspek kimia toksikologi terikat erat dengan reaksi-reaksi metabolik

dan nasib senyawa kimia dalam tubuh organisme. Di dalam tubuh

organisme, bahan-bahan toksik sistemik mengalami (1) reaksi-reaksi

biokimia yang membuat mereka memiliki efek toksik, dan (2) proses

biokimiawi yang meningkatkan atau menurunkan toksisitas mereka, atau

merubah toksikan menjadi bentuk-bentuk senyawa yang siap untuk

dikeluarkan dari dalam tubuh.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 51

Dalam menghadapi senyawa xenobiotics, tubuh organisme

melakukan metabolisme yang umumnya dalam bentuk penurunan tingkat

toksisitas dan fasilitasi pelepasan senyawa dari tubuh organisme.

Serangan awal terhadap senyawa xenobiotics (umumnya lipofilik)

umumnya melibatkan reaksi-reaksi hydrolysis, oksidasi dan sedikit

reduksi, yang umum dikenal sebagai reaksi fase I. Reaksi fase I ini

dimulai dengan mengeluarkan polar reaktif pada molekul toksikan yang

menjadikannya lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah

mengalami reaksi-reaksi berikutnya. Senyawa induk atau metabolik

produk reaksi fase I akan mengalami reaksi konjugasi dengan substansi

asli dari tubuh organisme. Proses konjugasi ini disebut reaksi Fase II

yang akan menghasilkan produk konjugasi yang umumnya kurang toksik

dibandingkan dengan senyawa induk atau metabolit fase I, dan menjadi

lebih mudah untuk diekskresikan dari tubuh.

Reaksi yang terpenting dalam Fase I adalah oksidasi, yang umum

dikenal sebagai mixed-function oxidase (MFO). Reaksi ini terjadi dalam

fraksi organel ‘mikrosom’ dimana terdapat retikulum endoplasma yang

memiliki cakupan membran yang luas di dalam sel dan badan Golgi yang

menyimpan molekul-molekul yang baru disintesis. MFO terjadi dengan O2

sebagai agen pengoksidasi, dimana satu atom digabungkan dengan

bahan/substrat dan lainnya membentuk air.

Substrat + O2 Produk-OH + H2O

Enzim utama dari MFO adalah cytochrome P-450 yang lokasi

aktifnya memiliki atom Fe+2 atau Fe+3. Enzim ini dapat mengikatkan diri

pada substrat dan molekul O2 sebagai pengoksidasi. Cytochrome P-450

terdapat melimpah dalam organ hati, walaupun dalam organ-lain seperti

ginjal, ovarium, testis dan darah juga didapatkan dalam jumlah kecil.

Enzim lain yang cukup penting dalam fase I yang memediasi oksidasi

adalah Flavin-containing monooxygenase (FMO) yang juga ditemukan

terutama dalam retikulum endoplasma. FMO terutama efektif dalam

MFO

52 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

mengoksidasi amina-amina primer, sekunder dan tertier. Enzim ini

mengkatalisa oksidasi senyawa-senyawa xenobiotics yang mengandung

nitrogen, juga yang mengandung sulfur dan posfor, namun tidak

menyebabkan hydroksilasi atom-atom C.

Cytochrome P-450 juga terlibat dalam reaksi epoksidasi yang

merupakan penambahan 1 atom O diantara 2 atom C dalam suatu sistem

tidak jenuh. Epoksidasi merupakan salah satu cara terpenting dalam

menyerang cincin aromatik yang banyak terdapat dalam senyawa

xenobiotics. Umumnya reaksi epoksidasi mengakibatkan peningkatan

toksisitas senyawa induk yang juga dikenal dengan nama intoksikasi.

Reaksi lain dari Fase I adalah hydroksilasi, yang merupakan

pengikatan kelompok –OH pada rantai atau cincin hidrokarbon.

Hidroksilasi alkyl dari rantai alkana terjadi pada atom C terminal (-CH3)

atau atom C sebelum yang atom C terakhir (ω-1-C) dengan jalan

menyisipkan 1 atom O diantara C dan H. Baik hidroksilasi maupun

epoksidasi memiliki peran dalam membuat senyawa xenobiotics bersifat

toksik selama proses metabolisme. Reaksi lain adalah oksidasi unsur-

unsur non-karbon, meliputi nitrogen, sulfur dan posfor yang terdapat

dalam senyawa xenobiotics. Reaksi ini merupakan suatu mekanisme

intoksikasi yang penting yang membuat senyawa-senyawa induk dan

metabolit menjadi lebih bersifat toksik.

Reaksi penting dalam fase I selain oksidasi adalah reduksi,

dealkylasi, hydrolysis dan penghilangan unsur halogen (dehalogenasi).

Reduksi terjadi dengan bantuan enzim reduktase, seperti: enzim

nitroreduktase yang mengkatalisa reduksi senyawa-senyawa xenobiotics

yang mengandung kelompok nitro. Enzim reduktase terutama melimpah

pada organ hati, lalu disusul oleh ginjal dan paru-paru. Reaksi dealkylasi

adalah penggantian kelompok methyl (-CH3) yang terikat pada atom-atom

O, N dan S, yang difasilitasi oleh sistem enzim MFO, seperti yang terjadi

pada O-dealkylasi insektisida Metoxychlor, N-dealkylasi insektisida

Carbaryl dan S-dealkylasi dimethyl Mercaptan. Adapun reaksi hydrolysis

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 53

adalah penambahan H2O kepada suatu molekul yang membelah molekul

tersebut menjadi 2 spesies berbeda. Bagi kebanyakan dari xenobiotics

seperti pestisida, yang merupakan ester, amida atau ester organoposfat,

hydrolysis merupakan aspek penting dalam menentukan nasib

metaboliknya. Secara umum enzim yang terlibat dalam hidrolysis disebut

hydrolase yang banyak ditemukan dalam hati, sejumlah kecil dalam

intestin, ginjal, jaringan otot dan plasma darah. Tahapan penting dalam

metabolisme senyawa xenobiotics yang mengandung ikatan kovalen

halogen (F, Cl, Br dan I) adalah proses dehalogenasi. Reaksi ini dapat

terjadi dalam bentuk dehalogenasi reduktif dimana atom O digantikan

oleh atom H, atau 2 atom dihilangkan dari atom C paling ujung (C2H3Cl

menjadi C2H5), sehingga ikatan C-C rangkap hilang. Namun reaksi ini juga

dapat terjadi dalam bentuk dehalogenasi oksidatif yang terjadi bila atom O

ditambahkan pada posisi atom halogen (C2H3Cl menjadi C2HOOH).

Reaksi Fase II juga disebut reaksi-reaksi konjugasi yang

melibatkan penggabungan suatu bahan senyawa kimia dengan senyawa

kimia lain yang terdapat di dalam tubuh organisme (endogenous). Reaksi

ini dapat terjadi dengan senyawa xenobiotics utuh (tidak termodifikasi),

senyawa xenobiotics yang sudah melalui reaksi fase I atau senyawa-

senyawa yang tidak asing (non-xenobiotics). Senyawa yang terikat pada

spesies-spesies tersebut dinamakan agen konjugasi endogenous

(endogenous conjugating agent). Aktivasi senyawa pengkonjugasi

umumnya disertai dengan enerji yang dibutuhkan dalam proses

konjugasi, walaupun dalam proses konjugasi gluthation atau asam amino

enerjinya disediakan melalui aktivasi spesies-spesies yang mengalami

konjugasi, pada reaksi-reaksi sebelumnya, yang prosesnya sebagai

berikut.

Konjugasi Glukoronida, merupakan konjugasi endogenous yang

paling umum terjadi dalam tubuh organisme. Umumnya bereaksi pada

senyawa xenobiotics melalui aksi asam glukoronat uridin diposfat

(UDPGA). Transfer ini dimediasi oleh enzim glukoronil transferase, yang

54 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

terdapat dalam retikulum endoplasma dimana metabolit senyawa

xenobiotics lipofilik terhydroksilasi dari reaksi fase I dihasilkan. Oleh

karena itu, usia metabolit fase I ini sangat singkat. Sirkulasi enterohepatik

menyiapkan mekanisme untuk meningkatkan dampak dari konjugasi

glukoronida, yang selanjutnya dilepaskan ke dalam intestin dalam cairan

empedu lalu mengalami proses dekonjugasi dan diserap kembali oleh

intestin.

Konjugasi Gluthation (umumnya disingkat GSH), merupakan agen

pengkonjugasi penting di dalam tubuh organisme. Senyawa ini

merupakan tripeptida yang tersusun oleh rangkaian 3 asam amino, yaitu:

Glutamin, Cystein dan Glycin. Gugus sulfuhydril berperan dalam

membentuk ikatan kovalen pada senyawa xenobiotics. Konjugat

Gluthation dapat secara langsung diekskresi, namun umumnya mengalami

reaksi biokimia lanjutan yang menghasilkan asam merkapturat (senyawa

yang terikat pada N-acetylcystein).

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 55

Gambar-10. Proses Konjugasi Menyeluruh dalam Reaksi Fase II (Manahan, 1991).

OH

+

Kelompok fungsional yang bereaksi dengan agen pengkonjugasi.

Senyawa

Xenobiotics: umumnya

adalah produk Reaksi

Fase I

C OH

OH

F, Cl, Br, I

C O C

H N H

Carboxyl :

Hydroxyl:

Halogen :

Epoksida:

Amino:

Agen Konjugasi Endogenous

Produk Konjugasi

• Polaritas > tinggi

• Daya larut dalam air lebih besar

• Lebih mudah dieliminasi

56 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Konjugasi Sulfat, umumnya membutuhkan jumlah enerji yang

sangat besar. Jenis konjugasi ini sangat efisien dalam hal mengeliminasi

xenobiotics dari tubuh melalui urin karena konjugasi sulfat mengalami

ionisasi lengkap sehingga sangat tinggi daya larutnya dalam air. Jenis-jenis

yang membentuk konjugat sulfat antara lain: alkohol, fenol dan arylamin.

Enzim yang aktif dalam jenis konjugasi ini adalah sulfotransferase.

Terdapat juga reaksi lain dari Fase II yaitu Asetilasi yang dikatalisa

oleh enzim Asetiltransferase yang terlibat dalam pemberian konjugat

peptida pada senyawa xenobiotics yang dapat diekskresi dari dalam

tubuh. Proses metilasi dari xenobiotics terjadi melalui pengikatan

kelompok –CH3.

2.3.3. Mekanisme Biokimiawi Toksisitas

Salah satu aspek terpenting dari kimia toksikologi adalah yang

terkait dengan mekanisme biokimiawi dan reaksi-reaksi dimana senyawa

xenobiotics dan metabolitnya berinteraksi dengan biomolekul hingga

menyebabkan suatu dampak toksik yang tidak diinginkan. Faktor-faktor

tersebut meliputi:

• Gangguan terhadap Kerja Enzim : enzim sangat penting karena

berfungsi dalam membantu berlangsungnya proses-proses metabolik

penting di dalam sel. Bahan kimia yang mengganggu aksi normal

enzim jelas memiliki potensi toksik, dan dikenal sebagai inhibitor

enzim. Contoh senyawa penghambat kerja enzim: Hg2+, Pb2+ dan

Cd2+ yang kesemuanya memiliki kecenderungan kuat untuk

mengikat kepada kelompok-kelompok fungsional mengandung

sulfur, seperti: -SS- ; -SH ; dan –S-CH3 .

• Menghambat Metalloenzim : substitusi logam asing kepada logam

dalam metalloenzim adalah modus aksi toksik penting dari kelompok

logam berat. Mekanisme yang paling sering dijumpai adalah

penggantian logam Zn2+ oleh logam Cd2+ pada enzim-enzim:

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 57

adenosine triphosphate, alcohol dehydrogenase dan carbonic

anhydrase.

• Hambatan Senyawa Anorganik: pengikatan ion kovalen dari senyawa

organik xenobiotics kepada enzim dapat menyebabkan

terhambatnya aktiftas enzim. Pengikatan seperti ini umumnya

dijumpai melalui kelompok hidroksil (-OH) pada sisi aktif enzim.

• Biokimia Mutagenesis : adalah fenomena yang dapat diwariskan,

sebagai dampak perubahan DNA. Toksikan yang mampu

menyebabkan mutasi disebut mutagen, biasanya merupakan agen

serupa yang dapat menyebabkan kanker dan ketidaksempurnaan

kelahiran, dan merupakan bahan toksik yang sangat ditakuti.

Misalnya: asam nitrat (HNO2) merupakan bahan kimia yang sering

digunakan untuk menyebabkan mutasi pada bakteri. Proses alkilasi

yang merupakan proses penempelan sebuah kelompok alkyl kecil

(contoh: -CH dan

-C2H5) ke atom N pada salah satu basa nitrogen DNA, umumnya

merupakan salah satu mekanisme umum yang berakhir pada mutasi.

2.4. Dampak (Efek) : terdapat 2 jenis efek, yaitu: efek akut yang terjadi

secara cepat sebagai hasil pemaparan jangka pendek, dan efek kronik atau

sub-kronik yang terjadi secara perlahan (latency) sebagai akibat dari

pemaparan tunggal atau berulang dalam jangka waktu yang lama.

Pada beberapa jenis ikan dan organisme akuatik, efek yang timbul

dalam hitungan jam, hari atau minggu dianggap akut. Efek akut biasanya

berdampak parah dan mematikan (severe) yang umumnya diukur melalui

dalam bentuk kematian (mortalitas atau lethalitas). Suatu bahan kimia

dianggap bersifat akut toksisitasnya jika aksi langsungnya mampu

membunuh paling sedikit 50% dari populasi uji dalam jangka waktu

singkat, yaitu 96 jam hingga 14 hari.

Efek kronik dapat bersifat lethal atau sub-lethal. Efek kronik yang

bersifat lethal misalnya kegagalan organisme yang mengalami pemaparan

58 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

kronik untuk menghasilkan telur atau keturunan. Adapun efek kronik

yang bersifat sub-lethal yang paling umum adalah perubahan tingkah laku

(misal: berenang, menghindar dari ancaman dan hubungan mangsa-

predator), perubahan fisiologis (misal: pertumbuhan, reproduksi dan

perkembangan), perubahan biokimiawi (misal: konsentrasi enzim dan ion

dalam darah) serta perubahan histologis. Beberapa efek sub-lethal dapat

secara tidak langsung menyebabkan kematian (lethalitas), misalnya:

perubahan dalam beberapa pola tingkah laku (misal: renang dan

penciuman/olfactory) dapat menurunkan kemampuan ikan atau

organisme perairan lainnya untuk menemukan makanan atau tidak

mampu menghindari predator yang berakhir pada kematian.

Secara umum efek atau dampak buruk dari suatu pemaparan dapat

terwujud sesegera mungkin selama massa pemaparan atau sesaat setelah

pemaparan terhadap bahan kimia selesai, atau, dapat tertunda beberapa

saat setelah periode pemaparan. Kedua hal ini sangat bergantung pada

sifat-sifat bahan kimia dan kemampuan organisme untuk melakukan

metabolism (biotransformasi) bahan kimia tersebut. Misalnya, bahan

kimia yang rentan untuk ditransformasi oleh organisme akan memiliki

waktu paruh yang singkat dalam tubuh organisme dan akan diekskresikan

secara cepat. Di dalam lingkungan perairan alami, sebuah bahan kimia

dapat memiliki waktu paruh yang singkat di kolom air dan sedimen akibat

proses tranformasi yang disebabkan oleh faktor-faktor kimia, fisika dan

biologi.

Hal lain yang menyangkut efek toksik adalah dapat pulih

(reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible). Pulihnya suatu efek dapat

terjadi melalui mekanisme perbaikan (repair mechanisms) normal, seperti

regenerasi jaringan yang rusak. Dalam banyak hal, kondisi dapat pulih

hanya apabila organisme dapat melepaskan diri dari medium toksik dan

memasuki lingkungan bebas bahan toksik. Kerusakan jaringan atau luka

serius pada organisme dapat mengakibatkan kondisi tidak dapat pulih

dan bisa berujung pada kematian. Dalam studi toksikologi perairan di

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 59

laboratorium, kondisi dapat pulih dan tidak dapat pulih dapat dilakukan

dengan memindahkan organisme dari medium yang mengandung

toksikan ke dalam medium yang bebas/tidak mengandung toksikan,

dikenal dengan nama studi pemulihan (recovery study).

Perbedaan efek juga dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi

sebuah toksikan beraksi. Dikatakan efek lokal apabila dampak

terobservasi pada lokasi kontak awal (primary site) terjadi, misalnya:

reaksi insang atau kulit (contoh: inflamasi, perubahan warna atau erosi)

pada ikan yang terpapar pada berbagai senyawa organic dan anorganik.

Untuk suatu efek sistemik dapat terjadi, maka toksikan harus mengalami

proses transportasi dari lokasi kontak ke lokasi lain, yang umumnya

melalui sistem sirkulasi darah. Efek sistemik mengharuskan terjadinya

proses absorpsi yang dilanjutkan dengan distribusi bahan toksik dari

lokasi kontak (entry point), misalnya ke sistem syaraf atau beberapa jenis

organ lainnya.

Dalam melakukan pendugaan dampak yang ditimbulkan oleh

bahan kimia, patut dipertimbangkan bahwa dalam lingkungan perairan

alami organisme diperhadapkan atau terpapar padakombinasi atau

campuran bahan kimia (chemical mixtures), bukan pada satu jenis bahan

kimia saja. Pemaparan seperti ini menghasilkan interaksi toksikologis,

yang merupakan pemaparan terhadap 2 atau lebih bahan kimia dalam

suatu respon biologis yang secara kualitatif maupun kuantitatif jelas

berbeda dengan pemaparan terhadap bahan kimia tunggal, atau salah satu

bahan kimia penyusun campuran tersebut. Dampak dari pemaparan

majemuk (multiple exposures) dapat terjadi secara berurutan atau

simultan dalam konteks waktu, dan dampaknya dapat lebih berat atau

mungkin lebih kecil dalam besaran resiko yang ditimbulkan.

2.5. Hubungan Konsentrasi-Respon: perbedaan nyata dapat terjadi

diantara individu-individu organisme yang seringkali dipercaya sebagai

populasi homogen. Perbedaan ini akan nampak disaat organisme

60 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

menjalani proses uji tantang melalui pemaparan terhadap bahan kimia

atau potensi stres yang bersifat toksik, dimana tidak seluruh individu

organisme memberikan respon yang secara kuantitatif identik, walaupun

konsentrasi toksikan yang diberikan sama. Efek seperti ini dapat memiliki

variasi dengan intensitas tinggi, dimana pada beberapa organisme

menunjukkan respon minimal dan tidak ada respon sama sekali pada

organisme lain, atau beberapa organisme mengalami kematian dan

lainnya tetap hidup dengan dampak buruk yang sangat minimal.

Perbedaan ini dapat disebabkan oleh variasi biologis yang umumnya kecil

pada organisme yang spesies, usia dan kondisi kesehatannya sama.

Namun perbedaan dapat lebih besar diantara spesies.

Tujuan dari pengukuran toksisitas suatu bahan kimia adalah untuk

mengestimasi setepat mungkin kisaran konsentrasi bahan kimia yang

menghasilkan respon yang dapat diobservasi dan dikuantifikasi di dalam

kelompok kelompok spesies uji yang sama, dalam kondisi laboratorium

yang terkontrol. Hasil pemaparan lalu diplot pada grafik (Gambar 11),

yang menggambarkan hubungan konsentrasi bahan kimia (dalam ppm)

dan

respon (dalam % mortalitas), yang selanjutnya dapat digunakan dalam

mengestimasi median lethal concentration (LC50) pada uji toksisitas akut,

dengan jalan menarik garis mendatar dimulai dari nilai 50% mortalitas ke

arah kurva respon-konsentrasi, lalu dilanjutkan dengan menarik garis

vertikal dari titik intersepsi pada kurva ke arah absis.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 61

Gambar-11. Hubungan Konsentrasi-Respon Dalam Uji Toksisitas.

Perbedaan dengan uji toksisitas menggunakan hewan

darat/mamalia, adalah pada terminologi dosis pada mamalia darat dan

konsentrasi pada hewan perairan. Dosis pemaparan diberikan sebagai

jumlah bahan kimia yang diberikan pada permukaan kulit atau mata

(dermal dan ocular), sedang pada uji toksisitas akuatik, organisme uji

dipapar pada bahan kimia secara tidak langsung dengan

mencampurkannya ke dalam air dimana hewan tersebut hidup, hingga

dihasilkan konsentrasi uji. Oleh karena itu, hasil pemaparan yang

diperoleh adalah hubungan respon-konsentrasi.

Konsentrasi uji yang paling sering digunakan adalah ppm (part

permillion : satu persejuta) yang rasionya adalah 1 milligram (mg) bahan

kimia dalam 1 liter air/medium, dan ppb (part perbillion : satu per satu

miliar) yang rasionya adalah 1 mikrogram (µg) bahan kimia dalam 1 liter

air/medium. Jika bahan uji merupakan limbah cair industri konsentrasi

yang umum digunakan adalah persentase volume dari limbah cair

terhadap pengenceran (misal: untuk 10% limbah cair industri yang

digunakan, rasionya adalah 10 liter limbah cair ditambahkan

pelarut/pengencer sebanyak 90 liter). Apabila menggunakan media padat

seperti jaringan atau sedimen, maka ekspresi konsentrasi bahan kimia

umum ppm atau ppb, yang rasionya miligram (mg) per kilogram (kg)

62 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

jaringan atau sedimen, atau mikro gram (µg) per kilogram (kg) jaringan

atau sedimen.

Hubungan konsentrasi-respon merupakan konsep yang sangat

mendasar dalam toksikologi perairan. Konsep ini berlaku untuk seluruh

jenis dampak buruk dan berimplikasi pada suatu konsentrasi minimal

efektif (threshold) dari seluruh bahan kimia toksik, yang apabila berada di

bawahnya pada kondisi terkontrol, tidak akan menimbulkan dampak

buruk yang membahayakan organisme.

Dalam Toksikologi, terdapat 2 (dua) asumsi dasar dalam hubungan

respon-konsentrasi. Pertama, asumsi kasualitas implisit yaitu akibat yang

ditimbulkan oleh konsentrasi bahan kimia tertentu dan respon yang

diamati pada organisme uji sebagai hubungan sebab akibat. Asumsi ini

memiliki kelemahan dalam hal identitas bahan kimia yang dapat saja

berubah (mengalami transformasi) selama pemaparan atau perubahan

konsentrasi pemaparan aktual terhadap organisme. Asumsi kedua adalah

bahwa respon yang dihasilkan dan tingkat keparahan yang ditimbulkan

merupakan fungsi dari konsentrasi bahan kimia toksik.

Hubungan respon-konsentrasi adalah hubungan berjenjang antara

konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam pemaparan organisme

dan tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Dalam batasan-batasan

tertentu, umumnya dapat dikatakan bahwa semakin besar/tinggi

konsentrasi suatu bahan kimia uji maka semakin parah respon/ dampak

yang ditimbulkan. Bentuk kurva yang dihasilkan dari hubungan ini

umumnya berupa asymptot dalam bentuk kurva sigmoid (Gambar 7).

Pada kurva tersebut, seluruh konsentrasi yang berada di bawah nilai

threshold, tidak terdapat dampak buruk yang dapat diamati, sedang pada

konsentrasi di atas nilai threshold hampir seluruh organisme uji

mengalami dampak buruk yang terukur.

2.6. Kriteria Dampak dan LC50

Dalam melakukan evaluasi tentang keamanan bahan kimia maka

diperlukan suatu cara yang tepat untuk mengekspresikan toksisitas dan

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 63

suatu metode kuantitatif dalam mengukur toksisitas. Untuk kepentingan

evaluasi tersebut, terdapat sejumlah kriteria efek atau hasil akhir (end-

points) dari suatu uji toksisitas yang dapat digunakan untuk

membandingkan antara organisme yang terpapar pada suatu bahan kimia

dengan yang tidak mengalami pemaparan. Kriteria ideal adalah yang

hubungannya sangat erat dengan peristiwa-peristiwa molekuler yang

terjadi sebagai hasil dari pemaparan terhadap suatu bahan kimia. Oleh

karena itu kita dapat memilih kriteria-kriteria yang tidak terbantahkan

(unequivocal), secara jelas bersesuaian (relevan), dapat terobservasi

secara jelas, dapat secara jelas digambarkan, terukur, signifikan secara

biologis dan dapat diulang (reproducible). Sebagai langkah awal dalam uji

evaluasi toksisitas dari suatu bahan kimia yang umum digunakan sebagai

indeks adalah lethalitas atau mortalitas.

Pengukuran mortalitas (kematian) adalah kriteria yang memiliki

presisi tinggi dan tidak terbantahkan, sehingga sangat bermanfaat dalam

melakukan estimasi konsentrasi dan potensi toksisitas suatu bahan kimia.

Kriteria mortalitas memberikan jalan untuk membandingkan bahan-

bahan kimia yang aksinya mungkin agak berbeda-beda dan memberikan

indikasi akan pentingnya dilakukan studi lanjutan. Mortalitas dan

kelangsungan hidup (survival) dalam suatu periode waktu pemaparan

merupakan kriteria efek spesifik dalam uji toksisitas akut dengan

pemaparan jangka pendek. Data dari suatu uji lethalitas bersifat quantal

yang berarti hewan uji hidup atau mati (all-or-none response). Akan tetapi,

penting untuk tetap memiliki kriteria efek sub-lethal yang merupakan

indikasi dari tekanan bahan toksik pada tahapan sebelum kematian,

sehingga dapat dilakukan pencegahan kematian organisme uji pada

observasi awal.

Pertumbuhan (panjang dan berat), jumlah embrio normal, kelainan

morfologi dan jumlah anakan yang dihasilkan merupakan kriteria-kriteria

sub-lethal yang paling sering digunakan dalam uji kronik dengan durasi

pemaparan jangka panjang. Seluruh respon tersebut bersifat kuantitatif

64 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

atau berjenjang yang pengukurannya bukan dalam bentuk frekuensi

kejadian, namun dalam beberapa satuan pengukuran dari respon

(misalnya: mg atau cm) yang dapat digunakan dalam membandingkan

organism uji dengan kontrolnya untuk menentukan apakah perbedaan

respon yang ditimbulkan berbeda secara signifkan secara statistik. Karena

jumlah hewan uji yang digunakan biasanya banyak, maka dilakukan satu

seri penjenjangan atau gradasi konsentrasi dari bahan kimia uji untuk

melihat dampak yang akan ditimbulkan oleh setiap konsentrasi yang

dicobakan.

Dalam suatu upaya penentuan toksisitas relatif dari suatu bahan

kimia baru terhadap organisme perairan, maka langkah pertama yang

harus dilakukan adalah melaksanakan uji toksisitas akut untuk

mengestimasi nilai konsentrasi median lethal (LC50) dari bahan kimia

tersebut yang dipaparkan pada organisme uji. Jika respon/dampak yang

digunakan bukan mortalitas, maka yang diukur adalah konsentrasi

median efektif (EC50) yang merupakan konsentrasi bahan kimia uji yang

mampu menghasilkan efek spesifik seperti perubahan tingkah laku atau

perubahan proses fisiologis. Seperti pada penentuan LC50, maka

penentuan EC50 juga menggunakan durasi pemaparan singkat (24-96

jam), dengan kriteria efek yang paling umum digunakan meliputi:

immobilitas, perkembangan abnormal, kehilangan keseimbangan, gagal

respon terhadap stimulus eksternal atau tingkah laku abnormal.

Distribusi normal dengan bentuk kurva sigmoid (Gambar 11)

mendekati mortalitas 0 % sejalan dengan turunnya konsentrasi dan

mendekati nilai 100 % sesuai dengan peningkatan konsentrasi bahan uji,

namun secara teoritis tidak akan pernah melewati angka 0 dan 100%.

Bagian tengah kurva dengan rentang nilai 16 – 84%, umumnya linier.

Nilai-nilai tersebut merepresentasikan batasan 1 simpangan baku

(standard deviation : SD) dari nilai rata-rata dan median dalam suatu

populasi organisme yang tersebar secara normal. Pada suatu populasi

yang tersebar secara normal, nilai rata-rata ± 1 SD mewakili 68,3 %

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 65

populasi uji, nilai rata-rata ± 2 SD mewakili 95% populasi uji dan nilai

rata-rata ± 3 SD mewakili 99,7% populasi uji.

Pada Gambar-11 nilai konsentrasi dikonversi menjadi nilai

logaritma. Bentuk sigmoid tetap nyata namun dengan kurva mendekati

garis lurus. Pada Gambar-12 nilai konsentrasi dalam skala logaritma

diplot terhadap persentase mortalitas dalam nilai probit. Transformasi

probit menyelaraskan data mortalitas ke dalam nilai asumsi distribusi

normal populasi, dengan kurva garis lurus yang paling sesuai

untukmengestimasi nilai LC50.

Konversi logaritma pertama kali diperkenalkan oleh Krogh dan

Hemmington (1928) dan disempurnakan oleh Gaddum (1933). Oleh

karena data respon-konsentrasi umumnya terdistribusi secara normal,

maka persentase respon dikonversi ke dalam unit simpangan nilai rata-

rata atau dikenal dengan nama ekuivalensi simpangan normal (normal

equivalent deviation: NED). Untuk respon 50% nilai NED-nya = 0, sedang

untuk respon 84,1% nilai NED-nya = +1. Bliss (1934) kemudian

menyatakan bahwa nilai 5 harus ditambahkan ke nilai NED untuk

menghilangkan nilai negatif (-).

Gambar-12. Penerapan nilai probit dalam menentukan LC50 dan

Confidence limit.

66 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Nilai konversi NED + 5 inilah yang dikenal sebagai probit. Konversi log-

probit merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk membantu

menjelaskan efek toksik dan analisis statistiknya.

2.7. Tingkat Kepercayaan (confidence limits)

Derajat ketersebaran (scattered) nilai hasil pengamatan bisa

dievaluasi dengan jalan kalkulasi dan dinyatakan sebagai tingkat

kerecayaan (confidence limits, Cl). Pada Gambar 12b, nilai Cl ditunjukkan

oleh garis terputus-putus di sebelah kiri dan kanan dari garis utuh. Nilai Cl

tersebut mengindikasikan kisaran area beradanya garis respon-

konsentrasi dari uji yang dilakukan dengan 2 ulangan dengan jumlah

individu uji 20 ekor (Cl = 95%). Hubungan antara nilai-nilai tersebut akan

sangat dekat satu sama lain pada kisaran nilai mortalitas sekitar 50%,

namun tidak akan memperlihatkan hubungan erat saat mortalitas

mendekat ke nilai 0% atau 100%.

2.8. Kurva Toksisitas

Jika dilakukan uji toksisitas seperti LC50-96 jam, maka hasilnya

akan merupakan data mortalitas sesuai jedah/interval waktu

pengamatan. Nilai-nilai sesuai jedah tersebut dapat diplot menggunakan

skala logaritma menjadi kurva toksisitas yang kemudian akan

menunjukkan nilai LC50-96 jam. Kurva toksisitas dapat menunjukkan

kemajuan pelaksanaan uji toksisitas serta memberi indikasi tentang

puncak lethalitas akut-nya telah tercapai sehingga uji toksisitas dapat

dihentikan.

Nilai LC50 untuk suatu pemaparan spesifik merupakan asymptot

kurva yang disebut threshold atau incipient LC50, juga dikenal dengan

nama incipient lethal level atau lethal threshold concentration. Hal ini

merupakan konsentrasi dimana 50% dari populasi uji untuk tetap hidup

hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Bentuk kurva dapat dijadikan

gambaran tentang modus aksi bahan kimia atau dapat menjadi indikasi

tentang keberadaan lebih dari satu bahan kimia dalam media percobaan.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 67

2.9. Uji Toksisitas

Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan

kimia dan durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria

efek. Efek dari suatu bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana

organisme perairan dapat melakukan seluruh aktifitasnya secara normal,

dan hanya dengan keberadaan stres lingkungan (contoh: perubahan

dalam pH, DO dan suhu) bahan kimia tersebut menimbulkan dampak

buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk juga dapat ditimbulkan

oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas (yang tidak

terdeteksi pada awal uji) dengan bahan kimia utama yang diuji, walaupun

tanpa kehadiran stres lingkungan.

Walaupun dampak buruk yang ditimbulkan tidak selamanya

merupakan dampak yang membahayakan organism dalam arti luas, fungsi

utama dari uji toksisitas adalah untuk mengidentifikasi potensi efek toksik

dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan. Data ini dapat

merupakan dasar bagi pendugaan resiko yang berasosiasi dengan situasi

dimana bahan kimia, organism dan durasi pemaparan yang telah

ditentukan.

Uji toksisitas kerapkali secara keliru disamakan dengan ‘bioassay’.

Padahal bioassay adalah sejenis uji untuk mengevaluasi potensi relatif

dari suatu bahan kimia dengan jalan membandingkan efeknya pada suatu

organisme hidup dengan metode preparasi baku. Bioassay dilakukan

untuk menentukan kekuatan suatu bahan kimia dari tingkatan respon

yang ditimbulkannya pada organisme, bukan untuk mengestimasi

konsentrasi suatu bahan kimia yang bersifat toksik terhadap organisme

tersebut. Uji toksisitas dilakukan untuk mengukur tingkatan respon yang

dihasilkan oleh level spesifik dari suatu stimulus (konsentrasi bahan

kimia uji). Sedangkan bioassay seringkali digunakan dalam industri

farmasi untuk mengevaluasi potensi vitamin atau senyawa-senyawa yang

aktif secara farmakologis.

68 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

2.10. Kriteria dan Pendekatan Dalam Uji Toksisitas

Sebelum melakukan uji toksisitas, kriteria yang digunakan dalam

menentukan kesesuaian prosedur suatu uji harus ditetapkan, meliputi:

• Uji yang dilakukan harus diterima secara luas oleh komunitas

ilmiah.

• Uji yang dilakukan harus dapat memprediksi dampak dari

spektrum luas bahan kimia terhadap organisme yang berbeda.

• Prosedur uji harus memiliki basis statistik yang tepat dan uji harus

dapat diulang pada laboratorium lain dengan hasil yang sama.

• Data harus mencakup efek dari suatu kisaran konsentrasi dalam

durasi pemaparan yang realistis, harus dapat dikuantifikasi atau

diinterpolasi dengan analisis statistik, atau dengan cara-cara

evaluasi kuantitatif valid lainnya.

• Data yang dihasilkan harus bermanfaat dalam melakukan

pendugaan resiko.

• Uji yang dilakukan harus ekonomis dan mudah dilakukan.

• Uji yang dilakukan harus sensitif dan realistis dalam disainnya agar

dapat mendeteksi dan mengukur efek yang ditimbulkan.

Terdapat 2 (dua) jenis pendekatan yang umum digunakan dalam

melaksanakan uji toksisitas, dimana masing-masing memiliki kelebihan

dan keterbatasan, yaitu:

• Efek dapat dikaji dalam suatu eksperimen laboratorium terkontrol

dengan jumlah variabel terbatas.

• Efek dapat dikaji dalam suatu ekosistem alami (in situ).

Kriteria toksisitas berbagai bahan kimia industry biasanya

tercantum dalam kemasan, dan Tabel 4 berikut menjelaskan patokan sifat

toksik bahan kimia yang dihasilkan dari suatu uji toksisitas.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 69

Tabel 4. Kriteria Toksisitas Bahan Kimia Terhadap Organisme

Perairan.

No Kriteria

Toksisitas

Konsentrasi

(ppm) Parameter Kriteria

1 Sangat toksik < 1

LC50-96 jam (ikan), EC50-48 jam

(Daphnia), IC50-72 jam (Alga)

2 Toksik 1 – 100

3 Daya Racun

Sedang 100 – 1000

4 Daya Racun

Rendah 1000 – 10.000

5 Hampir Tidak

Toksik 10.000 – 100.000

6 Tidak Toksik > 100.000

7 Efek Jangka

Panjang 10 < LC50 < 100

LC50-96 jam (ikan), EC50-48 jam

(Daphnia), IC50-72 jam (Alga).

Sumber : Official Journal Of European Community, No. L110-A, hal. 67 - 72 (1993).

Kebanyakan disain metode uji toksisitas yang sering digunakan

saat ini didominasi oleh uji spesies tunggal (single species tests) untuk

melihat respon individual dalam suatu spesies. Padahal masih banyak

jenis metode uji toksisitas lainnya seperti uji multi spesies yang melihat

interaksi antar spesies, dan uji ekosistem yang melihat struktur dan fungsi

diantara ekosistem-ekosistem perairan yang berbeda.

Uji spesies tunggal kebanyakan dilakukan di dalam laboratorium.

Uji spesies tunggal dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang

konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan yang mampu

menghasilkan perubahan-perubahan dalam mortalitas, pertumbuhan,

reproduksi, patologi, tingkah laku, fisiologi dan biokimiawi dari satu jenis

organisme. Akan tetapi hasil yang diperoleh pada uji spesies tunggal tidak

dapat digunakan dalam pendugaan dampak di luar level organisasi

biologis ini.

70 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Hubungan sebab-akibat pada uji spesies tunggal dapat ditetapkan

dengan mudah karena berada dalam kondisi laboratorium terkontrol.

Jenis uji ini dapat dengan mudah dilakukan, terdapat beragam prosedur

baku dan dapat dengan mudah direplikasi. Kegunaan dari uji spesies

tungal dalam laboratorium adalah sebagai fungsi dari beberapa kriteria

yang digunakan pada spesies terpilih (misal: ikan atau avertebrata

tertentu). Hasilnya berupa informasi tentang toksisitas dari bahan kimia

spesifik pada beberapa jenis organisme perairan yang berbeda pada

kondisi yang telah ditetapkan (given conditions). Keterbatasan utama dari

jenis uji ini adalah efek yang terobservasi dalam laboratorium bisa

berbeda dengan hasil observasi di lingkungan alami. Hal ini karena uji

spesies tunggal di laboratorium tidak mencakup kemampuan adaptasi

populasi liar yang hidup di alam bebas, sehingga efek yang terobservasi di

laboratorium bisa terlihat lebih parah/berat dibanding efek yang terekam

pada populasi liar di alam bebas.

Uji multi spesies dan uji ekosistem dapat saja dilakukan dalam

kondisi laboratorium. Dalam studi skala laboratorium, kondisi seperti:

Mikrokosmos laboratorium atau model ekosistem dapat diterapkan.

Mikro-kosmos laboratorium adalah suatu area tertutup skala kecil (misal:

kolam atau akuarium dari plastik atau kaca) yang diberikan sampel dari

alam (air, sedimen, tumbuhan, ikan atau avertebrata). Sedangkan uji

ekosistem dalam skala laboratorium memerlukan ruang yang cukup luas,

dan untuk suatu uji yang efektif umumnya menggunakan perbandingan

air: sedimen minimal 1:10, dan idealnya 1:100 atau 1:1000 seperti yang

biasa ditemukan di ekosistem alami. Oleh karena keterbatasan ruang yang

biasanya menjadi kendala utama pada skala laboratorium, maka uji

ekosistem umumnya menggunakan sebagian/porsi dari perairan alami

baik pada habitat-habitat danau, sungai atau laut untuk menghasilkan

porsi ideal yang mewakili air, sedimen, dan biomassa.

Beberapa pengaruh dan interaksi antara komponen-komponen

biotik dan abiotik yang tidak hadir pada skala laboratorium dapat

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 71

diidentifikasi pada studi lapangan. Namun studi lapangan mengandung

beberapa kelemahan seperti instabilitas variabel-variabel lingkungan

yang menyulitkan pemantauan dan juga replikasi, selain faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi hasil pemantauan dan menyulitkan

interpretasi terhadap hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, idealnya

data toksisitas harus berasal dari hasil observasi studi laboratorium dan

lapangan. Dalam melakukan disain pertimbangan dalam hal faktor-faktor

spesifik lokasi dari ekosistem terkait harus dipikirkan secara mendalam.

Satu uji spesies tunggal tidak akan dapat memberikan prediksi memadai

tentang dampak suatu bahan kimia di lingkungan perairan. Oleh karena

itu, sekali lagi, kombinasi data laboratorium dan data lapangan akan

memberikan informasi dan data yang lebih lengkap dalam hal potensi

dampak dari suatu bahan kimia di lingkungan perairan.

2.10.1. Disain Uji Toksisitas

Uji toksisitas di laboratorium umumnya mengikuti suatu

pendekatan berjenjang, yang meningkat dari suatu uji jangka pendek

sederhana ke uji jangka panjang yang lebih kompleks, berdasarkan hasil

yang diperoleh dari uji sebelumnya. Walaupun mungkin terdapat

perbedaan dalam detail spesifiknya, disain uji secara umum dapat

dikatakan sama, yaitu: membutuhkan kondisi-kondisi seperti pH, suhu

dan DO yang terkendali secara baik. Organisme uji mengalami pemaparan

dalam suatu wadah uji (mis. akuarium), dipapar pada berbagai

konsentrasi bahan uji (mis. pestisida atau limbah cair industri) dalam

kolom air. Kriteria dampak yang ditetapkan sebelumnya (mis. mortalitas,

pertumbuhan, atau reproduksi) yang dievaluasi efeknya pada organisme

terpapar bahan kimia (perlakuan) dengan organisme yang tidak diberi

perlakuan (kontrol).

Dalam uji toksisitas, umumnya dikenal 3 jenis kontrol, yaitu:

kontrol negatif yang menggunakan air tanpa perlakuan, kontrol pelarut

(solvent) yang hanya menggunakan bahan kimia pelarut yang digunakan

untuk melarutkan bahan kimia uji (mis. DMF, DMSO, TEG, dsbnya), dan

72 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

kontrol positif (referensi) yang menggunakan bahan kimia yang dikenal

memiliki sifat toksik (toxicant reference) bahkan pada konsentrasi rendah,

sifat sangat mematikan (lethal), sifat bahan stabil, non-selektif dan dapat

terdeteksi dengan teknik analitik umum (misal: Fenol, Sodium Azide,

Dodecyl sodium sulfate/DSS, Sodium pentachlorophenate).

Patut dicatat, dalam uji toksisitas, analisis bahan kimia harus

dilakukan untuk mengukur konsentrasi yang digunakan dalam

pemaparan organisme uji, demikian juga dengan residu bahan kimia

dalam jaringan tubuh organisme uji.

2.10.2. Organisme Uji

Agar ekstrapolasi data berarti, bersesuaian dan signifikan secara

ekologis dari suatu uji toksisitas perairan, maka selain prosedur uji

yang

harus tepat, pemilihan organisme uji harus tepat. Beberapa kriteria

dalam memilih organisme dalam suatu uji toksisitas, sebagai berikut.

• Spesies uji harus memiliki spektrum sensitifitas yang luas.

• Spesies harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan distribusi

yang luas di alam.

• Spesies harus merupakan spesies asli dan mewakili ekosistem yang

mungkin menerima dampak.

• Spesies penting baik dalam artian rekreasi, komersil maupun

ekologis.

• Spesies dapat dengan mudah beradaptasi pada proses-proses

pemeliharaan rutin (mis. pembersihan akuarium, dsbnya), dan

teknik pemeliharaan dan budidaya dalam laboratorium sudah

tersedia dengan baik, sehingga memungkikan untuk melakukan uji

toksisitas kronis.

• Lebih disukai apabila data dan informasi spesies (mis. fisiologi,

genetik dan tingkah laku) sudah ada, yang akan memudahkan

interpretasi data dari uji yang dilakukan.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 73

Diketahui bahwa terdapat variasi diantara spesies dalam hal

sensitifitas terhadap bahan kimia, maka kisaran dan tingkatan efek yang

berbeda sudah selayaknya terjadi apabila dilakukan pemaparan suatu

kisaran konsentrasi bahan kimia yang sama terhadap spesies organisme

yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk melakukan uji toksisitas

terhadap beberapa spesies organisme yang berbeda untuk mendapatkan

indikasi variasi di alam.

2.10.3. Jenis Spesies

Uji toksisitas telah dilakukan pada beberapa spesies akuatik, yang

meliputi alga, ikan dan avertebrata. Spesies uji dapat diperoleh dari

perairan alam yang diketahui tidak terkena dampak pencemaran, dibeli

dari hatchery yang diketahui rekam jejaknya atau dari hasil kultur di

laboratorium. Spesies uji tidak boleh dikumpulkan melalui cara-cara yang

dapat menimbulkan stres fisiologis seperti penggunaan stroom atau

bahan kimia pembius seperti potassium sianida. Spesies uji yang

digunakan harus berasal dari sumber yang sama.

2.10.4. Sistem Pemaparan

Dalam uji toksisitas perairan, organisme kontrol dan yang diberi

perlakuan dapat dipapar pada air yang mengandung bahan kimia uji

(toksikan) dalam beberapa cara berbeda, yaitu:

(a) Uji Statik : organisme dipapar pada air yang diam/tidak mengalir.

Bahan uji dilarutkan dalam air dengan tingkat pengenceran sesuai

konsentrasi yang telah ditetapkan. Organisme kontrol dan uji

dimasukkan ke dalam wadah uji dan tidak dilakukan pergantian air

sesuai durasi uji yang diinginkan. Walaupun sangat mudah dalam

pelaksanaannya, uji statik memiliki beberapa kelemahan terutama

dalam hal bahan uji yang dapat dengan mudah menguap,

terdegradasi atau terserap oleh wadah uji. Selain itu, masalah

utama adalah kemungkinan terdapatnya BOD yang tinggi yang

dapat menutupi efek toksik akibat terjadinya penurunan DO.

74 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Demikian juga dengan produk metabolik organisme uji yang

menumpuk dan mungkin bereaksi dengan bahan uji.

(b) Uji Resirkulasi : mirip dengan uji statik, namun larutan bahan

kimia uji dan air untuk organisme kontrol dipompa ke dalam

wadah uji melalui saringan untuk menjaga kualitas air, namun tidak

mempengaruhi konsentrasi bahan kimia uji. Jenis uji resirkulasi

sangat jarang digunakan karena selain biaya yang mahal dalam

mengatur dan pemeliharaan perlengkapannya, juga terdapat

ketidak- pastian dampak dari perlengkapan (mis. aerator, filter dan

sterilizer) terhadap konsentrasi dan konsistensi formulasi bahan

kimia uji.

(c) Uji Diperbaharui (renewal) : juga memiliki kemiripan dengan uji

statik karena dilakukan pada kondisi air yang diam (statik). Namun

pada uji diperbaharui cairan bahan uji dan air sebagai kontrol

secara periodik diganti, biasanya dengan interval 24 jam. Pada uji

ini, organisme dapat dipindahkan ke wadah lain dengan bahan uji

yang baru disiapkan dengan konsentrasi yang sama. Atau dapat

dengan jalan menggantikan medium uji di wadah yang sama.

(d) Uji Aliran (Flow-through) : cairan bahan uji dan air sebagai

kontrol dialirkan ke dalam dan ke luar wadah tempat organisme

dipelihara. Aliran dapat berupa sekali-sekali dengan interval waktu

tertentu, atau dapat berupa aliran secara terus-menerus (non-

stop). Stok cairan bahan uji dapat dibuat sekali pada permulaan uji

toksisitas. Atau dapat dibuat setiap hari untuk menjaga stabilitas

konsentrasi bahan uji yang dipapar. Jenis uji aliran diketahui

mampu menjaga stabilitas kondisi uji serta keseragaman

konsentrasi bahan uji. Demikian juga dengan kondisi DO dan

parameter kualitas air lainnya, dibandingkan dengan uji statik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa uji statik lebih tepat untuk

digunakan dalam melakukan uji toksisitas akut. Sedang untuk uji

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 75

kronik dan sub-kronik maka pilihan yang lebih baik adalah

menggunakan uji aliran (flow-through), karena jaminan untuk

konsistensi konsentrasi bahan uji yang dipaparkan pada organisme

uji lebih tinggi. Sehingga hubungan sebab-akibat akan lebih mudah

terbentuk.

2.10.5. Prosedur baku

Beragam metode telah dikembangkan dalam prosedur uji

toksisitas, baik oleh American Public Health Association (APHA), United

States of America Environmental Protection Agency (US.EPA), American

Society for Testing and Materials (ASTM), dan Organization for

Economic Cooperation and Development (OECD) (Tabel 5).

Kesemuanya merupakan alat untuk mengevaluasi bahaya dan potensi

toksisitas dari berbagai bahan kimia pada organisme perairan.

Manfaat dari penggunaan prosedur uji terstandarisasi, antara lain:

• Memungkinkan untuk memilih satu atau lebih jenis uji yang lebih

seragam dan berhasilguna oleh berbagai laboratorium.

• Memfasilitasi perbandingan data dan hasil yang dapat

meningkatkan kegunaan dari data yang dipublikasi.

• Meningkatkan akurasi data.

• Memungkinkan replikasi uji di laboratorium lain.

Protokol uji toksisitas biasanya menggambarkan secara jelas

tentang pemaparan organisme uji pada konsentrasi bahan kimia yang

telah ditentukan untuk suatu periode pemaparan yang juga telah

ditetapkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa organisme dapat

mentolerir konsentrasi bahan kimia yang tinggi dalam periode waktu

yang singkat dan mentolerir konsentrasi bahan kimia yang rendah

untuk suatu periode yang lebih panjang (Bulkema et al., 1982).

76 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Tabel-5. Ringkasan Metode Uji dan Evaluasi Toksisitas.

Organisasi

(Badan)

Jenis Uji

Ikan Avertebrata

makro Fito-

plankton

Spesifik Akut

Stadia

Awal

Hidup

Kronik

Parsial

Kronik

Lengkap Akut Kronik

APHA,

AWWA,

WPCF

x x x x x x

Ciliata, Coral

Sclerectinian,

Annelida,

Polychaeta Laut,

insekta air.

ASTM x x x x x Biokonsentrasi,

pendugaan

bahaya/hazard,

limbah cair dan

Bioakumulasi OECD x x x x

U.S. EPA x x x x x x x Bahan hasil

kerukan, limbah

cair.

Keterangan :

AWWA : American Public Water Association.

APHA, OECD, U.S. EPA : lihat dalam teks sub bagian Prosedur baku.

ASTM : American Society for Testing and Materials.

Avertebrata Makro meliputi : Daphnia sp., Acartia sp., Mysidopsis sp., Kepiting,

Udang,

Oyster.

x : jenis uji yang telah memiliki prosedur baku (standardized) dan telah melalui

proses

review dan pengesahan komunitas/otoritas ilmiah.

2.10.6. Deskripsi Metode Uji

Metode uji toksisitas perairan dapat dikategorisasikan menurut

durasi pemaparan, kondisi uji, kriteria efek yang dievaluasi dan organisme

uji. Data yang diperoleh dalam uji toksisitas memungkinkan peneliti untuk

menentukan konsentrasi tanpa efek (NOEC : no-observed effect

concentration). NOEC merupakan konsentrasi maksimum bahan uji yang

menghasilkan data yang secara statistik tidak signifikan menimbulkan

efek berbahaya organisme uji dibandingkan dengan organisme kontrol

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 77

dalam suatu uji spesifik. Demikian juga dengan efek konsentrasi terendah

(LOEC : lowest-observed effect concentration) atau juga dikenal sebagai

konsentrasi minimal efektif (MTC : minimum threshold concentration).

LOEC adalah konsentrasi terendah yang memiliki efek membahayakan

bagi organisme uji, yang secara statistik signifikan dibandingkan dengan

organisme kontrol dalam suatu uji spesifik.

Efek yang dievaluasi adalah suatu titik akhir (end-point) dari

kriteria efek biologis yang telah ditentukan sebelumnya dan memiliki

peranan penting dalam pertumbuhan, kelangsungan hidup, tingkah laku

dan keberlanjutan spesies organisme. Kriteria efek dapat berbeda,

tergantung pada jenis uji toksisitas dan spesies uji yang digunakan.

Beberapa jenis uji yang umum digunakan adalah :

• Uji Toksisitas Akut : merupakan uji yng dirancang untuk

mengevaluasi toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap

organisme perairan tertentu dalam suatu pemaparan jangka

pendek terhadap bebrbagai konsentrasi bahan kimia uji. Kriteria

efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan),

ketiadaan gerakan/immobility dan kehilangan keseimbangan (pada

avertebrata) dan pertumbuhan (pada alga).

Uji toksisitas akut dapat dilakukan dengan suatu jangka waktu

pemaparan yang telah ditentukan (time dependent test) untuk

mengestimasi LC50 24 jam atau LC50 96 jam atau mengestimasi

EC50 48 jam. Akan tetapi, uji toksisitas akut juga dapat dilakukan

dengan batas waktu pemaparan yang tidak ditentukan sebelumnya

(time independent test atau uji TI). Dalam suatu uji TI, pemaparan

organisme uji berlanjut hingga respon toksik ditimbulkan oleh

bahan uji berhenti/hilang, atau pertimbangan-pertimbangan

ekonomis dan pelaksanaan lainnya menghendaki dihentikannya uji

TI. Misalnya, uji akut TI dapat dilanjutkan hingga efek toksisitas

akutnya (mortalitas atau efek sub-lethal yang ditetapkan) telah

berakhir atau hampir berakhir dan kurva toksisitas memberikan

78 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

indikasi bahwa konsentrasi incipient (threshold) telah dapat

diestimasi. Uji akut TI dapat dicapai antara 7-14 hari untuk hampir

semua bahan kimia yang diujikan. Akan tetapi beberapa bahan

kimia uji tidak mencapai konsentrasi incipient dalam jangka waktu

pemaparan di bawah 21 hari.

Pada beberapa dekade lalu, hasil uji toksisitas tahap awal

perkembangan (early development toxicity test), data disajikan

dalam bentuk limit tengah toleransi (median tolerance limit :

TLm atau TL50) terhadap konsentrasi bahan uji, dimana 50%

populasi organisme uji tetap hidup dalam suatu waktu

pemaparan yang telah ditentukan (biasanya 24-96 jam). Namun

kini, notasi TL50 telah sepenuhnya digantikan oleh LC50 dan

EC50.

• Uji Toksisitas Kronik

Kenyataan dari hasil uji toksisitas akut yang tidak menunjukkan

dampak buruk dan membahayakan pada organisme uji tidak

menjadi jaminan bahwa bahan kimia uji tersebut tidak bersifat

toksik. Uji toksisitas kronik memungkinkan untuk melakukan

evaluasi tentang kemungkinan efek buruk dan membahayakan dari

bahan kimia, yang dilakukan dalam kondisi uji jangka panjang

menggunakan konsentrasi sub-lethal. Dalam suatu uji toksisitas

kronik, organisme uji dipapar untuk suatu siklus reproduktif

lengkap terhadap paling sedikit 5 (lima) konsentrasi bahan uji. Uji

toksisitas siklus hidup parsial (kronik parsial) melibatkan hanya

sebagian siklus hidup, meliputi beberapa stadia hidup sensitif

(misal: reproduksi atau stadia pertumbuhan tahun pertama),

namun tidak termasuk stadia awal juwana.

Dalam pemaparan uji toksisitas kronik biasanya dimulai pada fase

telur dibuahi atau zygot yang terus berlanjut selama proses

perkembangan hingga embrio menetas, pertumbuhan dan

perkembangan organisme muda, fase kematangan seksual sampai

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 79

fase reproduksi. Uji toksisitas kronik juga dapat dimulai dengan

organisme dewasa yang terpapar, dilanjutkan selama fase-fase

menetaskan telur, larva, juwana, dewasa dan telur. Durasi dari

suatu uji toksisitas kronik sangat bervariasi dengan kisaran waktu

21 hari (Daphnia magna) dan dapat 275-300 hari untuk ikan

minnow (Pimephales promelas).

Pada uji toksisitas kronik dengan siklus hidup parsial, nilai

konsentrasi toksikan maksimum yang dapat diterima (MATC :

maximum acceptable toxicity concentration) dapat diestimasi. Nilai

ini merupakan estimasi konsentrasi threshold dari suatu bahan

kimia dalam kisaran tertentu, yang berada diantara NOEC dan

LOEC. Oleh karena itu nilai MATC biasanya dilaporkan sebagai :

NOEC < MATC < LOEC (misal: 0,5 ppm < MATC < 1 ppm).

Uji siklus hidup dilakukan untuk menentukan faktor aplikasi (AF :

application factors). Cara menghitung nilai AF = MATC/LC50. Nilai

AF juga digunakan untuk mengestimasi hubungan antara bahan uji

pada uji toksisitas kronik dan uji toksisitas akut.

• Uji Stadia Awal Kehidupan

Uji ini mencakup pemaparan berlanjut dari serentetan tahap

awal kehidupan (misal: telur, embrio, larva dan juwana) dari

organisme perairan terhadap bebrbagai konsentrasi bahan

kimia selama 1 – 2 bulan, tergantung spesies organisme uji. Jenis

uji ini telah banyak digunakan secara akurat dalam

mengestimasi nilai MATC dari uji siklus hidup.

• Uji Bioakumulasi

Bahan kimia dengan daya larut dalam air yang rendah biasanya

memiliki daya ikat yang tinggi pada jaringan-jaringan berlemak,

sehingga dapat disimpan dan ditumpuk dalam jaringan dengan

kandungan lemak tinggi. Bahan-bahan kimia hidrofobik seperti itu

dapat bertahan dalam air dan telah menunjukkan sifat-sifat toksik

kumulatif pada organisme perairan. Bahan kimia dengan sifat-sifat

80 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

seperti ini biasanya menjadi pilihan utama dalan uji biokonsentrasi,

yang dirancang untuk menentukan atau memprediksi faktor

biokonsentrasi (BCF). Faktor biokonsentrasi adalah rasio

konsentrasi rata-rata dari suatu bahan kimia uji yang terakumulasi

dalam jaringan organisme (Cb) yang terpapar (dalam kondisi

kesetimbangan) terhadap konsentrasi bahan kimia uji yang terukur

di dalam air (Cw) didalam mana organisme terpapar.

BCF ���

��

Biokonsentrasi adalah proses yang terjadi dimana bahan kimia dari

dalam air memasuki organisme, melalui insang atau jaringan epitel

dan terakumulasi. BCF untuk bahan kimia tertentu diketahui

memiliki korelasi dengan koefisien daya larut relatif bahan kimia

dalam n-octanol (Kow). Bioakumulasi adalah istilah yang lebih luas,

yang meliputi tidak hanya biokonsentrasi tetapi juga mencakup

akumulasi bahan kimia lewat makanan yang dikonsumsi. Sedang

Biomagnifikasi adalah mencakup seluruh proses, meliputi

biokonsentrasi dan biakumulasi, dimana konsentrasi bahan kimia

yang terakumulasi dalam jaringan meningkat melalui beberapa

level trofik.

Tabel-6. Beberapa Contoh Nilai BCF.

Bahan Kimia Jenis Ikan Suhu (0o C) BCF

PCBs Rainbow Trout 5 7.4 x 103

PCB Rainbow Trout 15 1.0 x 104

Hexachlorobenzene Rainbow Trout 15 5.5 x 103

Hexachlorobenzene Minnow 15 1.6 x 104

Sumber: Barton, M.G. (1990). Bioconcentration. Envt.Scie and Tech.,

24:1612-1618.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 81

Bioakumulasi dapat terjadi akibat transportasi bahan kimia ke

dalam membran biologis yang mempersyaratkan bahan kimia asing

di dalam air harus tersedia dalam bentuk terlarut. Beberapa proses

diketahui mampu mengurangi ketersediaan biologis, termasuk:

teradsorpsi oleh material padat terlarut, teradsorpsi oleh sedimen,

teradsorpsi oleh makromolekul, formasi suspensi koloid, chelasi

dan ionisasi.

Bahan kimia lipofilik memiliki kecenderungan kuat untuk

mengalami biokonsentrasi, juga sangat mungkin mengalami partisi

menjadi fraksi organik sedimen atau bahan padat tersuspensi.

Faktor konsentrasi (K) untuk suatu bahan kimia yang teradsorpsi

oleh sedimen atau tanah (Ca) pada kondisi kesetimbangan, dapat

dihitung dengan :

��!

��

atau sebagai fraksi kandungan bahan organik dari sedimen:

Koc �"

#$%&'( &%)*+),%) -%.%) /$,%)(&

Sorpsi bahan organik dan kation meningkat sejalan dengan

mengecilnya ukuran partikel sedimen. Misalnya, nilai Koc

Methoxichlor meningkat dari 22.000 untuk pasir (sand) menjadi

93.000 untuk lumpur halus (fine silt). Sedangkan bioakumulasi

ditemukan paling besar terjadi pada Amphipoda yang dipapar pada

sedimen dengan kandungan bahan organik sedikit namun dengan

ukuran partikel besar.

82 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

Gambar-13. Pola Umum Biokonsentrasi dalam Sistem Akuatik.

Adapun akumulasi bahan kimia melalui makanan yang dikonsumsi

adalah melalui proses absorpsi di saluran gastrointestin, seperti

halnya dengan bahan kimia yang memasuki insang atau melalui

membran luar lainnya. Kebanyakan modus asupan (uptake modes)

bahan kimia via jalur-jalur ini adalah transportasi spesial dan difusi

pasif. Bahan kimia yang terikat bahan-bahan organik lipofilik akan

lebih efisien ditransport disebabkan oleh lama waktu interaksi

antara bahan makanan dan membran.

Absorpsi logam berat dari bahan makanan sangat besar variasinya,

disebabkan oleh variasi dalam ikatan dan keberadaan ion bebas

yang mungkin terdapat dalam bahan makanan. Masalah lainnya

adalah persaingan antara elemen-elemen terkait untuk lokasi

transportasi aktif. Secara eksperimental, telah dibuktikan bahwa

jenis bahan makanan dan metode kontaminasi bahan pencemar

akan sangat berpengaruh pada tingkat asupan bahan pencemar.

Contohnya, ikan sebelah plaice (Pleuronectes platessa) yang

diberikan logam Zn dalam pellet yang dicampur gelatin atau zat

Ins

an

g

Air Aliran darah Tersimpan dan

terakumulasi dalam

jaringan lemak

Pada jaringan hati, perubahan akibat

metabolisme dapat terjadi.

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 83

pati memiliki tingkat absorpsi Zn yang lebih tinggi dibanding

dengan pemberian pakan cacing Nereis diversicolor yang diberi

pakan mengandung Zn. Dari hasil ini nampak bahwa fraksi logam

yang terikat pada bahan organik dalam makanan memiliki

ketersediaan yang sangat rendah untuk diasup oleh usus.

• Uji Efek Sub-lethal lain

Dalam lingkungan perairan, organisme umumnya tidak terpapar

pada konsentrasi bahan kimia tinggi yang mematikan, terkecuali

mereka berada atau terperangkap di sekitar lokasi pembuangan

limbah kimia atau lokasi pencemaran akibat tumpahan kapal

tanker, misalnya. Sebelum terjadi dampak awal, akan terjadi

pengenceran dan penyebaran atau dispersi yang akan menurunkan

konsentrasi (yang tadinya bisa saja bersifat akut) ke tingkatan sub-

lethal. Konsentrasi yang lebih rendah mungkin tidak menyebabkan

kematian, namun dapat menjadi efek yang nyata pada

kelangsungan hidup organisme.

Efek sub-lethal yang dilaksanakan di laboratorium terbagi atas 3

(tiga) kategori: biokimia-fisiologi, tingkah laku, dan histologi. Uji

biokimia dan fisiologi meliputi studi hambatan aktifitas enzim,

hematologi dan respirasi. Sedang uji tingkah laku meliputi studi

respon terintegrasi yang terkait dengan kompleks fungsi biokimia

dan fisiologis, sebab perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh

sebab kimiawi dapat merefleksikan perubahan homeostasis

internal. Perubahan tingkah laku yang paling banyak ditelaah pada

organisme perairan adalah lokomosi dan pola renang,

penghindaran diri, hubungan mangsa-pemangsa, agresi dan

pertahanan teritori, yang merupakan tingkah laku ekologis

signifikan. Studi perubahan struktur histologis seringkali dijumpai

memodifikasi fungsi-fungsi jaringan dan organ. Secara bersama-

sama, uji biokimia dan fisologi, tingkah laku dan histologi akan

sangat berguna dalam mengevaluasi ancaman bahaya (hazard)

84 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

bahan kimia terhadap lingkungan, dan ketiganya akan memberi

informasi penting dalam hal modus aksi bahan kimia.

• Kegunaan Data

Data uji toksisitas perairan memiliki beberapa manfaat dalam

aplikasi yang beragam, termasuk :

a) Pengambilan keputusan dari suatu perusahaan industri dalam

pengembangan produk, manufaktur dan komersialisasi.

b) Pendaftaran produk menurut persyaratan pemerintah.

c) Izin pembuangan limbah industri.

d) Evaluasi resiko lingkungan.

e) Kepentingan pembelaan dalam persoalan peradilan terkait

kasus atau tuntutan pencemaran lingkungan.

Selain hal-hal tersebut di atas dibutuhkan juga praktik

laboratorium yang baik (GLP: Good laboratory Practices) yang

meliputi seluruh hal yang terkait dengan uji toksisitas, termasuk

kualifikasi personil pelaksana, tata cara pemeliharaan dan

penanganan hewan uji, lokasi uji, penyimpanan sampel,

penanganan dan penyimpanan data. Untuk peralatan, termasuk

desain, pemeliharaan, kalibrasi dan standard operating

procedures/SOP, pembuangan limbah uji, dsbnya.

2.10.7. Proses Eliminasi Toksikan

Baik toksisitas dan potensi bioakumulasi dari suatu bahan kimia

asing, sangat dipengaruhi oleh laju eliminasi yang dilakukan oleh

organisme. Beberapa contoh cara mengeliminasi bahan kimia asing dari

tubuh telah dibahas sebelumnya, namun diakui bahwa masih diperlukan

banyak upaya untuk mengungkap proses eliminasi bahan kimia asing dari

tubuh organisme. Contoh organ ikan yang terlibat dalam proses eliminasi

diberikan berikut ini.

Insang : eliminasi pasif bahan kimia yang larut dalam lemak terjadi

di permukaan kulit dan insang ikan oleh proses partisi yang sama yang

terlibat dalam proses pengasupan. Karakteristik fisik insang

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 85

menjadikannya organ utama dalam jenis eliminasi pasif. Eliminasi melalui

insang terutama bagi senyawa non-polar yang tidak dapat mengalami

proses biotransformasi secara cepat oleh ikan. Dalam kondisi elektrolit

lemah, eliminasi melalui insang banyak bergantung pada proporsi relatif

bentuk-bentuk ber-proton dan tidak ber-proton, serta perbedaan pH

darah dan lingkungan eksternal. Beberapa studi menunjukkan bahwa

eliminasi fenol, DDT dan di-2-ethylhexylphthalate (DEHP) pada ikan hiu

anjing adalah terbesar melalui insang dan sebagian kecil melalui

permukaan tubuh. Demikian juga pada ikan mas (Carassius auratus),

separuh dari pentachlorophenol dieliminasi melalui insang, sedangkan

sisanya dieliminasi melalui urin dan cairan empedu (bile).

Hati dan Empedu : bahan-bahan kimia polar dan metabolit bahan

kimia non-polar umumnya secara efektif diekskresi melalui hati dan

ginjal. Metabolit yang terbentuk di dalam hati vertebrata diangkut ke

dalam empedu untuk selanjutnya dikeluarkan bersama cairan empedu ke

dalam intestin. Walaupun sejumlah metabolit dalam cairan empedu pada

akhirnya akan dieliminasi bersama faeces, suatu jumlah yang signifikan

dari metabolit juga diserap kembali dalam intestin dan dikembalikan ke

dalam darah. Sirkuit pendek dari proses ekskresi melalui cairan empedu

ini disebut siklus enterohepatik (enterohepatic cycles).

Sejumlah ahli merekomendasikan analisis terhadap cairan empedu

sebagai alat bantu dalam pemantauan kualitas air, karena sejumlah bahan

pencemar memiliki kecenderungan untuk terakumulasi dalam cairan

empedu. Logam berat seperti Hg, Pb dan As secara aktif diangkut ke dalam

cairan empedu. Hati merupakan organ yang mampu melakukan konjugasi

terhadap beberapa bahan kimia organik yang terikat pada protein plasma

yang membuatnya tidak dapat diekskresi melalui jalur lain, di luar cairan

empedu. Misalnya, Benzo[a]pyrene adalah senyawa organik non-polar

yang mengalami proses biotransformasi secara efektif dan dieliminasi

dalam cairan empedu. Bahan kimia dengan berat molekul sedang (> 400)

cenderung untuk tereliminasi di dalam cairan empedu, sedang bahan

86 Prinsip Umum Toksikologi Perairan

kimia dengan berat molekul yang lebih rendah umumnya diekskresi

melalui urin. Selain pola umum ini, terdapat perbedaan signifikan antar

spesies dalam hal kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi

dan eliminasi bahan kimia asing. Sejauh ini, pada avertebrata, kemampuan

transformasi masih sangat bervariasi dan peranan hepatopankreas masih

belum jelas.

Ginjal : eliminasi bahan kimia dari ginjal dalam bentuk formasi

urin, baik melalui filtrasi glomerular atau melalui difusi atau proses

sekresi dalam tubular ginjal. Kebanyakan bahan kimia asing (xenobiotics)

dengan berat molekul < 60.000 dapat larut dalam darah, sangat kecil

untuk dapat dihilangkan oleh filtrasi glomerular. Namun kemampuan

untuk mengikatkan bahan kimia pada protein plasma dapat menurunkan

eliminasi bahan kimia lewat jalur ini, karena protein plasma tertahan

dalam glomerulus. Sehingga, ekskresi urinari terhadap kebanyakan bahan

organik yang larut dalam lemak dan berbagai jenis logam, diperlambat

oleh daya ikat mereka pada protein. Lebih lanjut, bahan kimia non-polar

di dalam filter glomerular dapat diserap kembali oleh difusi pasif di

sepanjang membran tubular ginjal. Asam organik dan basa lemah

diekskresi atau diserap kembali, tergantung pada pH urin. Tubular ginjal

juga mampu untuk secara aktif melakukan sekresi jenis-jenis asam

organik dan basa tertentu melalui urin yang dikeluarkan. Pengikatan

protein tidak menghalangi jenis transportasi aktif ini. Akan tetapi,

persaingan antara bahan-bahan kimia serupa dari lokasi transportasi

yang sama dapat mempengaruhi laju eliminasi secara keseluruhan.

Adalah penting untuk secara cermat membedakan jalur-jalur utama

eliminasi pada organisme perairan, sebab jalur-jalur tersebut dapat

dipengaruhi secara berbeda oleh faktor-faktor seperti: suhu, sifat kimia

perairan, kerusakan jaringan, pra-pemaparan pada toksikan atau

keberadaan bahan-bahan kimia kompetitor. Komplikasi demikian sangat

umum dijumpai pada populasi-populasi yang terpapar di alam. Perubahan

dalam pola eliminasi dapat secara signifikan mempengaruhi keberhasilan

Prinsip Umum Toksikologi Perairan 87

uji laboratorium, demikian juga dengan kemampuan model yang dibuat

untuk memprediksi tingkat atau derajat bioakumulasi yang dijumpai di

alam.