24
 1 KOMPLEKSITAS PENGELOLAAN PERBATASAN Tin jauan dar i Perspekti f Kebija kan Pen gel ola an Perbatasan Indon esia Letjen TNI Moeldoko 1  Abstract Policies on border management are facing serious challenges. The author came across the most critical challenge in border policy of which the current policies are n ot yet supporting each other and they are not linked to each other. For that reason, it is recommended to have regulating policies that especially regulate Indonesia’s borders with the bordering areas in the neighbouring countr ies. This includes the strengthening of the National Border Management Agenc y (BNPP) as an institution in order to a void the mi stakes already taken place in the establishment of a border management agency that is not responding to the problems in the past. Keywords : Policy, Border, Institutional. Pendahuluan Nega ra Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)merupakan ne gara ke pulaua n yang terdi ri atas pulau be sar dan kecil yan g menurut pe rhitungan Dinas Hidro Oceono grafi (Dish idros) TNI AL pad a tahun 1982 ber jumlah ± 17.508 pul au. 2 Pulau tersebut dihubungkan oleh laut dan selat di Nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk 1 Letjen TNI Moeldoko adalah mahasiswa S3 Jurusan Administrasi Negara Universitas Indonesia. Saat ini sedang menyelesaikan diser tasi de ngan judu l “Efektivitas dan Skenario Planni ng Kebij akan Peng elolaan Kawasan Perbatasan di Indonesia: Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan”. Penulis saat ini menjabat Wakil Gubernur Lemhannas. 2 Perihal jumlah pulau, penulis memiliki kegelisahan mengapa sampai saat ini Indonesia tidak memiliki jumlah akurat tentang pulau yang dimilikinya. Hal itu berdasarkan beberapa data y ang cenderung lebih sering menggunakan tanda ku rang lebih (+) dan sering kali berbeda. Sebagai conto h, Ganewati Wulandari menggunakan angka 17.504. Selain itu, berdasarkan data yang disampaikan oleh Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), S udirman Saad, yang dikutip oleh Kantor Berita Antara, Selasa, 17 Agustus 2 010, ternyata jumlah pulau yang dimiliki Indo nesia telah menyusut jauh hingga 13.000 pulau, berdasarkan surv ei yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, penulis b erpendapat sebai knya segera dila kukan survei dan perhitu ngan oleh lintas sekto r instansi ber wenang unt uk memperoleh data akurat tentang kepemilikan pulau Republik Indonesia.

2. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan (Letjen Moeldoko).pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1KOMPLEKSITAS PENGELOLAAN PERBATASANTinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan

    Perbatasan IndonesiaLetjen TNI Moeldoko1

    Abstract Policies on border management are facing serious challenges. The author cameacross the most critical challenge in border policy of which the current policies are not yetsupporting each other and they are not linked to each other. For that reason, it isrecommended to have regulating policies that especially regulate Indonesias borders withthe bordering areas in the neighbouring countries. This includes the strengthening of theNational Border Management Agency (BNPP) as an institution in order to avoid the mistakesalready taken place in the establishment of a border management agency that is notresponding to the problems in the past.

    Keywords : Policy, Border, Institutional.

    Pendahuluan

    Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiriatas pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan Dinas Hidro Oceonografi (Dishidros)TNI AL pada tahun 1982 berjumlah 17.508 pulau.2 Pulau tersebut dihubungkan oleh lautdan selat di Nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk

    1 Letjen TNI Moeldoko adalah mahasiswa S3 Jurusan Administrasi Negara Universitas Indonesia. Saat inisedang menyelesaikan disertasi dengan judul Efektivitas dan Skenario Planning Kebijakan PengelolaanKawasan Perbatasan di Indonesia: Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan. Penulis saat ini menjabatWakil Gubernur Lemhannas.2 Perihal jumlah pulau, penulis memiliki kegelisahan mengapa sampai saat ini Indonesia tidak memilikijumlah akurat tentang pulau yang dimilikinya. Hal itu berdasarkan beberapa data yang cenderung lebihsering menggunakan tanda kurang lebih (+) dan sering kali berbeda. Sebagai contoh, Ganewati Wulandarimenggunakan angka 17.504. Selain itu, berdasarkan data yang disampaikan oleh Dirjen Kelautan Pesisir danPulau-Pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad, yang dikutip oleh Kantor Berita Antara, Selasa, 17 Agustus 2010,ternyata jumlah pulau yang dimiliki Indonesia telah menyusut jauh hingga 13.000 pulau, berdasarkan surveiyang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, penulis berpendapatsebaiknya segera dilakukan survei dan perhitungan oleh lintas sektor instansi berwenang untukmemperoleh data akurat tentang kepemilikan pulau Republik Indonesia.

  • 2sebuah negara kepulauan. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui olehdunia melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982).

    Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun di laut.Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara, yaitu Malaysia diKalimantan, Papua Nugini di Papua, dan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Di laut,Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura,Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste.

    Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara.Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayahkedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, serta menjaga keamanan dan keutuhanwilayah. Perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik,serta hukum nasional dan internasional.

    Wilayah NKRI yang banyak berbatasan langsung dengan negara lain merupakansuatu kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalammenjaga wilayah perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif (ideologidan sosial budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas negara (transnasional crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal (illegal fishing),perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking), imigran ilegal (illegalimmigrants), penyelundupan manusia (people smuggling), peredaran narkotika, pintumasuk teroris, perompakan, dan konflik sosial budaya yang berpotensi mengancamstabilitas nasional harus dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.

    Berdasarkan tinjauan geostrategis dan geopolitik, kawasan perbatasan merupakanwilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yanglangsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayahprovinsi dan kabupaten/kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara(wilayah negara).3 Selain kawasan perbatasan yang terletak di wilayah daratan, kawasanperbatasan negara yang berada di lautan belum secara tegas ditetapkan norma

    3 Menurut Undang-Undang Wilayah Negara, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6), batas wilayah negaradi darat terletak di kecamatan.

  • 3pengelolaannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, meskipun saat iniwilayah perbatasan yang berada di lautan merupakan kawasan strategis nasional yangmempunyai fungsi pertahanan dan keamanan negara, menyimpan potensi sumber dayaalam yang relatif besar, serta mencerminkan keutuhan NKRI yang harus dijaga dandiprioritaskan pengelolaannya.

    Sebanyak 12 dari 92 pulau kecil terluar yang menjadi titik batas negara Indonesiarawan terhadap konflik perbatasan dengan negara tetangga. Kerawanan itu ditimbulkanoleh beberapa faktor, seperti kondisi pulau yang umumnya tidak berpenghuni,dimanfaatkan oleh nelayan asing sebagai tempat berlindung atau mencari ikan di perairansekitarnya, dan adanya kegiatan eksplorasi cadangan sumber daya. Bahkan, ada indikasiyang mengarah pemanfaatan pulau sebagai basis aktivitas militer, antara lainpengumpulan data intelijen, pengintaian, atau pengamatan.

    Selain itu, pembangunan pulau kecil terluar berjalan sangat lamban, terutamadisebabkan kondisi masyarakat yang masih termarjinalkan akibat minimnya perhatian daripemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, letak pulau kecil terluar tersebar danminimnya akses pasar dan komoditas ekonomi unggulan, serta sulitnya saranaperhubungan dan komunikasi yang menghubungkan pulau tersebut dengan pusatkegiatan.

    Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan

    Wilayah perbatasan merupakan salah satu kawasan yang strategis, yaitu kawasan yangsecara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau dari sudutkepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, maupun pertahanan keamanan.Wilayah perbatasan meliputi wilayah perbatasan yang ada di daratan, lautan, dan udarayang bersinggungan dengan negara tetangga.

    Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara hanyamerupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan pertahanan, terutamaberkenaan dengan keberlangsungan kerja sama atau ketegangan bilateral antara duanegara yang memiliki kawasan perbatasan yang langsung bersinggungan. Namun, seiring

  • 4dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu pengelolaan kawasan perbatasan negaradapat berkembang menjadi permasalahan multilateral dan bahkan internasional. Disamping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasiyang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah pihak yang lebih luasmelalui berbagai mekanisme internasional.

    Stephen B. Jones dalam Sutisna merumuskan teori berkaitan dengan pengelolaanperbatasan4 yang membagi ruang lingkup pengelolaan ke dalam empat bagian, yaitualokasi (allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation), dan administrasi(administration). Dalam perkembangannya, lingkup administrasi telah bergeser ke arahpengelolaan perbatasan atau manajemen perbatasan.

    Apabila diselaraskan dengan teori yang dikemukakan oleh Jones, hasil dari berbagaistudi tentang kawasan perbatasan pada umumnya mengidentifikasi tiga isu utamamasalah pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia, yakni: (1) masalah yang berkenaandengan penetapan garis batas (alokasi, delimitasi, dan demarkasi), baik darat (demarkasi)maupun laut (delimitasi), (2) masalah pengamanan kawasan perbatasan, dan (3) masalahpengembangan kawasan perbatasan (administration). Untuk mengatasi permasalahantersebut, pemerintah telah melakukan perubahan paradigma pengelolaan perbatasan.Hal itu dapat ditelusuri melalui perubahan cara pandang pemerintah terhadap kawasanperbatasan yang semula cara pandang yang berorientasi ke dalam (inward looking)menjadi cara pandang yang berorientasi ke luar (outward looking).5 Pengembangan

    4 Sutisna, dkk., Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, dalam Ludiro Madu(Ed.). Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, 2010,hlm. 12.5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun2005-2025. Di dalam UU tersebut ditegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inwardlooking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk di dalamnyapendekatan kesejahteraan untuk pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya, disebutkan bahwa pengamanankedaulatan dan negara ke depan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu diwilayah perbatasan, pengembangan sistem MCS, optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau terdepan,serta koordinasi penanganan pelanggaran laut. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, dituangkanamanah tentang arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu menjadikan kawasanperbatasan sebagai beranda depan NKRI dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraanmasyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, serta memantapkanketertiban dan keamanan kawasan perbatasan.

  • 5kawasan perbatasan dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai berandadepan yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security)telah dilakukan oleh berbagai kementerian/lembaga dan instansi, tetapi masih bersifatparsial dan belum menunjukkan implementasi kebijakan pengelolaan perbatasan yangutuh dan terintegrasi.

    Banyaknya kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki kewenangan dalampengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah kementerian/lembaga yangmencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72 program di tingkat satuan kerja (satker)Eselon 1.6 Kompleksitas permasalahan perbatasan dapat ditunjukkan dengan beragamnyadimensi permasalahan pengelolaan perbatasan, baik yang berdimensi imaterial maupunmaterail. Pada aspek kelembagaan, lembaga pengelolaan perbatasan Indonesia masihditangani secara parsial oleh berbagai komite perbatasan yang bersifat ad hoc dan olehinstansi pusat terkait secara sektoral.

    Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk mengelola kawasanperbatasan masih tampak tumpang-tindih. Begitu juga, terasa belum ada koordinasi yangmemadai antarinstansi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan pengawasan danpengelolaan kawasan perbatasan. Lembaga yang memiliki otoritas ternyata terpencar-pencar atas berbagai induk institusi sehingga menyulitkan pengimplementasian sebuahkebijakan yang memusat.

    Sampai tahun 2010 Indonesia masih belum memiliki otoritas yang jelas dalammengelola kawasan perbatasan. Sistem pengelolaan perbatasan yang diterapkancenderung bersifat koordinatif dan bahkan tidak terintegrasi, tidak ada pemisahanotoritas kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan sehingga terjadi tumpang-tindihotoritas dalam mengelola perbatasan. Dalam konteks itu, pemerintah masih dapatdikatakan belum serius dalam melaksanakan pengelolaan perbatasan.

    6 Laporan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri (2009) yang dikutip dari Kemitraan bagi PembaruanTata Pemerintahan (Partnership). Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di KalimantanBarat, 2011.

  • 6Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto pernah mengeluarkan kebijakanpembentukan Badan Pengelola Perbatasan melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan diKalimantan. Hal itu dimaksudkan untuk mendorong pembangunan kawasan perbatasanantara Indonesia dan Malaysia, khususnya di Kalimantan. Namun, dalam perkembanganselanjutnya, Keppres tersebut tidak menghasilkan sesuatu apa pun bagi pembangunankawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Eksistensi tim atau badan itutidak memiliki pengaruh signifikan bagi pembangunan kawasan perbatasan. Oleh karenaitu, Pemerintahan B.J. Habibie kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 63 Tahun 1999untuk mencabut Keppres Nomor 44 Tahun 1994 sehingga fungsi pengelolaan kawasanperbatasan negara dikembalikan kepada instansi terkait.

    Upaya pengelolaan perbatasan yang lebih baik kemudian mendapatkan momentumseiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Daerah diharapkan lebih mampumemberikan solusi inovatif bagi pemerataan kesejahteraan dan hasil pembangunan.Namun, fenomena penguatan otonomi daerah sejak era Reformasi ternyata semakinmenyulitkan untuk mengefektifkan koordinasi antarlembaga dalam pengelolaan kawasanperbatasan. Dengan konstelasi politik dalam negeri dewasa ini, bandul kekuasaan lebihbergeser ke daerah melalui penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah7 dan pengelolaan kawasan perbatasan menjadi semakin komplekskarena daerah memiliki kehendak diberikan kewenangan lebih besar dalam mengelolaperbatasan.

    Sulitnya pengamanan sumber daya di kawasan perbatasan menjadi kendala laindalam pengelolaan perbatasan. Keinginan untuk menjalankan kewenangan dengan tidakdiiringi oleh langkah koordinasi yang baik telah menyebabkan ditangkapnya pegawaiKementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang melakukan tugas mengamankan

    7 Undang-Undang itu merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah. Akan tetapi, dewasa ini telah berkembang pula wacana revisi yang bersifat incremental terhadapUU Nomor 32/2004 ini, antara lain yang digagas oleh Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri. Terdapat 22isu strategis yang mengemuka, antara lain pembagian urusan pemerintahan. Bahkan, beberapa saatterakhir ini telah pula beredar naskah akademis tentang revisi UU tersebut.

  • 7sumber daya air dari tindak pencurian di wilayah perairan Indonesia oleh Polisi DirajaMalaysia.8

    8 Pernyataan tidak adanya koordinasi oleh pegawai KKP dinyatakan secara tegas oleh Menteri KoordinatorPolitik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, di depan Komisi I DPR RI dengan menyatakan, Petugas KKPmemang tidak memiliki senjata, tetapi sebelum patroli seharusnya mereka lapor (tanda tebal dari penulis)ke petugas Badan Koordinasi Kemanan Laut (Bakorkamla), dalam http://www. detik.com, 31 Agustus 2010.Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan permasalahan itu kemudian diusulkan untuk menyelesaikanpermasalahan sengketa batas wilayah dengan Malaysia untuk diselesaikan melalui MahkamahInternasional. Namun, Hikmawanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum, UniversitasIndonesia, menolak usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Menurut Hikmahanto Juwana, palingtidak ada empat alasan mengapa Indonesia harus berkeras menolak usulan internasionalisasi masalahperbatasan dengan Malaysia. Pertama, lemahnya kearsipan nasional sehingga tidak menyimpan buktidokumen yang kuat untuk mendasari klaim Indonesia terhadap batas wilayah bersangkutan. Itu terjadidalam sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan. Malaysia, menurut Hikmawanto Juwana, memahami betultentang hal itu. Kedua, Indonesia mungkin tidak memiliki dana memadai untuk menyewa para pengacarainternasional yang andal dan mahal. Tanpa pengacara yang andal, argumentasi yang dilakukan olehIndonesia akan mempunyai banyak kelemahan. Ketiga, lemahnya koordinasi antarinstansi terkaitpenanganan laut dan perbatasan. Terakhir, Indonesia terkesan tidak mengurusi pulau-pulau terluarmeskipun sadar benar bahwa aset itu mempunyai arti strategis untuk dijadikan titik terluar dalampenentuan batas laut. Itu semua yang akan dimanfaatkan Malaysia untuk mengargumentasikan Indonesiatelah melepas klaimnya atas pulau tersebut. Akibatnya, sejumlah pulau terluar tidak dapat dijadikan titikterluar dalam penentuan batas. Lihat juga Sutisna, Boundary Making Theory dan Pengelolaan PerbatasanIndonesia, dalam Ludiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, hlm. 11, yang menyatakan bahwa permasalahan koordinasi menjadikendala yang serius dalam pengelolaan perbatasan. Ego sektoral dari para pemangku kepentingan(stakeholders) juga berperan pada tidak optimalnya pengelolaan perbatasan yang dilakukan. Ada pulaindikasi terhadap kekurangtaatan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku justru oleh elemenpemerintah sendiri.memang tidak memiliki senjata, tetapi sebelum patroli seharusnya mereka lapor (tandatebal dari penulis) ke petugas Badan Koordinasi Kemanan Laut (Bakorkamla), dalam http://www.detik.com, 31 Agustus 2010. Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan permasalahan itu kemudiandiusulkan untuk menyelesaikan permasalahan sengketa batas wilayah dengan Malaysia untuk diselesaikanmelalui Mahkamah Internasional. Namun, Hikmawanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, FakultasHukum, Universitas Indonesia, menolak usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan. MenurutHikmahanto Juwana, paling tidak ada empat alasan mengapa Indonesia harus berkeras menolak usulaninternasionalisasi masalah perbatasan dengan Malaysia. Pertama, lemahnya kearsipan nasional sehinggatidak menyimpan bukti dokumen yang kuat untuk mendasari klaim Indonesia terhadap batas wilayahbersangkutan. Itu terjadi dalam sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan. Malaysia, menurut HikmawantoJuwana, memahami betul tentang hal itu. Kedua, Indonesia mungkin tidak memiliki dana memadai untukmenyewa para pengacara internasional yang andal dan mahal. Tanpa pengacara yang andal, argumentasiyang dilakukan oleh Indonesia akan mempunyai banyak kelemahan. Ketiga, lemahnya koordinasiantarinstansi terkait penanganan laut dan perbatasan. Terakhir, Indonesia terkesan tidak mengurusi pulau-pulau terluar meskipun sadar benar bahwa aset itu mempunyai arti strategis untuk dijadikan titik terluardalam penentuan batas laut. Itu semua yang akan dimanfaatkan Malaysia untuk mengargumentasikanIndonesia telah melepas klaimnya atas pulau tersebut. Akibatnya, sejumlah pulau terluar tidak dapatdijadikan titik terluar dalam penentuan batas. Lihat juga Sutisna, Boundary Making Theory dan PengelolaanPerbatasan Indonesia, dalam Ludiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas:Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, hlm. 11, yang menyatakan bahwa permasalahan koordinasi menjadikendala yang serius dalam pengelolaan perbatasan. Ego sektoral dari para pemangku kepentingan(stakeholders) juga berperan pada tidak optimalnya pengelolaan perbatasan yang dilakukan. Ada pulaindikasi terhadap kekurangtaatan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku justru oleh elemenpemerintah sendiri.

  • 8Sebelum peristiwa tersebut, Indonesia pernah lebih dikejutkan oleh beredarnyaberita tentang Askar Wataniyah.9 Dalam merespons beredarnya berita itu, DewanPertimbangan Presiden (Wantimpres) mengadakan kunjungan kerja ke perbatasanKalimantan untuk mengetahui dan memahami permasalahan perbatasan yang dapatmemengaruhi keamanan negara dan ketahanan nasional. Hal penting dari hasil kajian yangberkaitan erat dengan pengelolaan perbatasan, antara lain, adalah pernyataan bahwaprogram pembangunan perbatasan sudah mendesak untuk dilakukan karena kandunganpermasalahannya yang spesifik sebagai perbatasan daratan dengan ketimpangankesejahteraan yang mencolok sehingga pembangunan perbatasan Kalimantan perludiprioritaskan. 10

    Kesimpulan Wantimpres atas kunjungan kerja di perbatasan Kalimantan yangmenyatakan bahwa pembangunan perbatasan Kalimantan perlu diprioritaskan, didukungoleh beberapa fakta permasalahan yang mendesak untuk dituntaskan. Berdasarkan kajianterhadap berbagai dokumen dan studi lapangan yang telah dilakukan, terdapat beberapapermasalahan penting berkaitan dengan pengelolaan kawasan perbatasan, antara lain : (1)permasalahan yang berkaitan dengan kedaulatan bangsa dan negara serta manajemenpengelolaan kawasan perbatasan, dan (2) permasalahan yang berkaitan dengankepentingan langsung masyarakat di kawasan perbatasan.

    Permasalahan yang berkaitan dengan kedaulatan bangsa dan negara sertamanajemen pengelolaan kawasan perbatasan meliputi (a) terdapat fenomena lunturnyarasa nasionalisme, baik yang disebabkan oleh sulitnya jangkauan pembinaan maupundidorong oleh orientasi dan peluang kegiatan ekonomi di negara tetangga, (b) kebijakanpengelolaan kawasan perbatasan yang tidak komprehensif telah berdampak pada

    9 Mengemukanya berita Askar Wataniyah berkisar pada Februari - Maret 2008. Askar Wataniyah adalahsejenis resimen bela negara Diraja Malaysia, yang menurut berita yang beredar, ratusan warga negaraIndonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan telah menjadi anggota Askar. Lihat, pernyataan AnggotaKomisi Pertahanan DPR, Happy Bone Zulkarnaen, dalam Harian Waspada, 14 Februari 2008.10 Dewan Pertimbangan Presiden, Laporan Hasil Kajian Masalah Perbatasan Kalimantan : Program JangkaPendek Pembangunan Wilayah Perbatasan, Jakarta, Oktober 2008, hlm. 6. Masalah ketimpangankesejahteraan di wilayah perbatasan Kalimantan umumnya menjadi temuan di berbagai kajian perbatasanserupa,misalnya Laporan PenelitianKewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Era Otonomi Daerah :Studi Kasus di Kalimantan Barat, DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2009.

  • 9melambatnya proses pembangunan daerah serta belum menjelaskan peran, fungsi, dankewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan, (c) masihminimnya kuantitas dan kualitas Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB) yang didukung olehsumber daya manusia yang memadai apabila dibandingkan dengan garis perbatasan yangbegitu panjang, (d) kesenjangan tingkat kesejahteraan penduduk perbatasandibandingkan dengan penduduk perbatasan negara tetangga, seperti yang terjadi diperbatasan Kalimantan, (e) dampak pemekaran beberapa kabupaten membawa implikasidiperlukannya penataan zona potensi yang ada, (f) belum tersusunnya tata ruang wilayahperbatasan dan tata ruang kawasan pintu gerbang lintas batas, (g) masih adanya kegiatanpelanggaran hukum, seperti pemindahan patok batas negara, penyelundupan kayu,pengiriman TKI ilegal, dan perdagangan manusia (human trafficking), (h) belumdimanfaatkannya potensi sumber daya alam, budaya, dan pariwisata, (i) minimnya saranadan prasarana untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial sertaketahanan budaya, dan (j) terjadinya degradasi hutan yang disebabkan oleh adanyakegiatan eksploitasi sumber daya alam yang dikelola secara ilegal.

    Permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan langsung masyarakat di kawasanperbatasan meliputi (a) masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasanperbatasan dibandingkan dengan di negara tetangga, seperti di perbatasan Kalimantan,(b) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia di kawasan perbatasan, (c) masihkurangnya informasi yang dimiliki masyarakat, terutama berkaitan dengan pengetahuantentang peraturan perundang-undangan, dan (d) terbatasnya infrastruktur dan fasilitasumum untuk memenuhi pelayanan dasar sosial kepada masyarakat di kawasanperbatasan.

    Selain itu, terdapat permasalahan lain yang tidak dapat dilepaskan dalampengelolaan kawasan perbatasan, yakni belum disepakatinya penetapan wilayah negaradi beberapa segmen batas darat dan laut melalui kesepakatan dengan negara tetangga.Kerusakan atau pergeseran sebagian patok batas darat sering menyebabkan demarkasi

  • 10

    batas di lapangan menjadi kabur.11 Perlu diperhatikan pula eksistensi pulau terluar yangmenjadi lokasi penempatan titik dasar/titik referensi sebagai acuan dalam menarik garispangkal kepulauan Indonesia.

    Permasalahan lain yang mengemuka hingga saat ini adalah masih belum optimalnyakoordinasi dan sinergitas antarpelaku yang menyebabkan lambannya upaya pengelolaankawasan perbatasan. Hal itu disebabkan oleh belum optimalnya manajemen pengelolaankawasan perbatasan yang terintegrasi, baik dalam aspek perencanaan maupunpelaksanaannya.

    Berbagai fakta dan fenomena tersebut telah dapat menunjukkan bahwa pengelolaanperbatasan mengandung permasalahan yang cukup rumit dan kompleks. Pusat KajianAdministrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, bahkan menengarai bahwapenanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadusehingga sering kali terjadi tarik-menarik kepentingan di antara berbagai pihak yangmenangani wilayah perbatasan, baik secara horizontal, sektoral, maupun vertikal, sertakebijakan pengelolaan perbatasan negara tidak saling mendukung dan/atau kurangsinergi antara yang satu dan yang lain.12

    Selaras dengan hasil kajian Pusat Kajian Administrasi Internasional, LembagaAdministrasi Negara, Hikmahwanto memberikan penilaian adanya kesan pemerintah tidakmengurusi pulau terluar kendatipun sadar benar bahwa kedudukan pulau terluar memilikiarti strategis dalam penentuan titik terluar dalam penentuan batas laut wilayah negara.Hal itu berarti kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil menjadi nisbi. Penisbian kebijakantersebut menguatkan pertanyaan : (1) apakah kedua kebijakan tersebut belum cukup

    11 Kasus terakhir yang mencuat adalah kasus Camar Bulan -- Tanjung Datu, yang menurut parlemen telahterjadi pergeseran patok batas negara dan dianggap sebagai suatu kelalaian pemerintah, sedangkanmenurut pemerintah tidak ada pergeseran patok batas negara. Kondisi itu menurut Hikmawanto Juwanadapat dikategorikan sebagai outstanding bounndary problem (OBP), yakni kekurangsepahaman atas titikperbatasan yang telah ditetapkan untuk sementara.12 Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara. Kajian Manajemen WilayahPerbatasan Negara, (Jakarta: LAN, 2004), hlm. iii.

  • 11

    menjawab kebutuhan pengelolaan pulau kecil terluar yang bermakna pula perbatasan, (2)bagaimana implementasi kebijakan tersebut oleh sektor teknis terkait, apakah sektorteknis terkait melakukan koordinasi secara terpadu atau tidak, dan (3) seberapa besarkomitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan dukungan anggaran terhadapkesungguhan pengelolaan pulau kecil terluar.13

    Berkaitan dengan upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia, kesungguhan pemerintah dengan menerbitkan Undang-UndangNomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara seharusnya menjadi jawaban tegas atasberbagai permasalahan pengelolaan perbatasan. Dengan mengacu aspek pertimbanganditerbitkannya Undang-Undang tersebut, terlihat bahwa pemerintah berupayamelindungi kedaulatan atas wilayah dan memanfaatkannya sebesar-besarnya bagikesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu berarti padadasarnya pemerintah telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam melindungi wilayahkedaulatan NKRI melalui diterbitkannya kebijakan tersebut. Dalam Pasal 14 ayat (1)dinyatakan bahwa untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan ditingkat pusat dan daerah, pemerintah dan pemerintah daerah membentuk BadanPengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah. Badan Pengelola dimaksud harus sudahterbentuk dalam waktu paling lambat enam bulan setelah undang-undang itudiundangkan pada November 2008. Dalam Pasal 14 ayat(1) dinyatakan bahwa untukmengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di tingkat pusat dan daerah,pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola Nasional dan BadanPengelola Daerah. Pada ayat (2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    13 Masalah anggaran dapat menjadi salah satu indikator kesungguhan intervensi pemerintah dalampengelolaan wilayah perbatasan. Menurut data yang diperoleh dari Kompas.com., intervensi pemerintah kedaerah perbatasan setiap tahun sangat terbatas. Tahun 2008 anggaran yang diarahkan untuk membangundaerah tertinggal hanya Rp1,6 triliun. Tahun 2009 anggaran untuk membangun daerah tertinggal turunmenjadi Rp1,2 triliun Lihat, Kabupaten perbatasan Masih Tertinggal, Kompas, 19 Februari 2009, dalamhttp://nasional.kompas.com/read/xml/2009/02/16/19342094/26.kabupaten.perbatasan.masih.tertinggal.Lihat pula Matindas R.W. dan Sutisna. Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan Batas Wilayah NKRIdan Pulau-Pulau Kecil Terluar. (Jakarta: Bakosurtanal. 2006). Perkembangan terakhir yang berkaitan dengananggaran pengelolaan perbatasan adalah pengajuan kenaikan anggaran hingga 2000% oleh BNPP. Lihat,Koran Tempo, 22 Oktober 2011.

  • 12

    dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden ataukepala daerah sesuai dengan kewenangannya. Yang menarik adalah bahwa BadanPengelola Perbatasan di Daerah, seperti di Provinsi Papua (Badan Perbatasan Kerja SamaDaerah) dan Provinsi Kalimantan Barat (Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan danKerja Sama), sudah dibentuk jauh sebelum undang-undang itu ada, sedangkan di ProvinsiKalimantan Timur dibentuk pada tahun 2009. Untuk tingkat nasional, justru baru dibentukpada tahun 2010 dengan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentangBadan Nasional Pengelola Perbatasan.

    Dalam menindaklanjuti amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentangWilayah Negara dan sekaligus mengatasi permasalahan lemahnya koordinasi antarsektorteknis terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan, pemerintah menerbitkan PeraturanPresiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Badan itudiharapkan mampu menjawab permasalahan pengelolaan batas wilayah negara dankawasan perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun2008 tentang Wilayah Negara. Masalah kelembagaan pengelola perbatasan pada dasarnyamerupakan usulan dari berbagai kajian yang pernah dilakukan berkaitan denganpermasalahan pengelolaan perbatasan.14

    Berdasarkan pemaparan tentang kompleksitas masalah pengelolaan perbatasan,tulisan ini mencoba menganalisis pengelolaan perbatasan berkaitan dengan landasankebijakan pengelolaan perbatasan di Indonesia.

    14 Kajian yang merekomendasikan perlunya kelembagaan pengelola perbatasan ini, antara lain: (1) kajianyang dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, pada tahun2004, (2) kajian yang dilakukan oleh Rizal Darmaputra, Manajemen Perbatasan dan Reformasi SektorKeamanan pada tahun 2009, dan (3) kajian yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah RI bekerja samadengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan KawasanPerbatasan di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kalimantan Barat) pada tahun 2009. Kajian yang telahdilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, pada tahun 2004perlu mendapatkan perhatian secara lebih serius karena secara jelas dinyatakan bahwa bagi kalangan yangmerasa bahwa pemerintah selama ini kurang serius dalam menangani masalah perbatasan memandangperlu untuk dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND) yang memiliki kewenanganpenuh (garis tebal dari penulis) dalam mengelola wilayah perbatasan (hlm. 92). Kajian yang telah dilakukanoleh DPD RI bekerja sama dengan Untan, Pontianak, merekomendasikan, Pembentukan lembaga khususyang menangani pengelolaan kawasan perbatasan secara penuh harus segera dilakukan sehinggakoordinasi antarantar departemen atau instansi di level pemerintah pusat serta antara pemerintah pusatdan daerah berjalan baik dan sinergis. (hlm. VI-2).

  • 13

    Analisis terhadap Landasan Kebijakan Pengelolaan PerbatasanTerdapat sejumlah kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadilandasan dalam pengelolaan perbatasan negara. Menurut Wuryandari15, terdapat 23peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan. Namun, penuliscenderung menetapkan sembilan peraturan perundang-undangan sebagai produkkebijakan publik yang berkaitan erat dengan pengelolaan perbatasan, yakni: 5 undang-undang, 1 peraturan pemerintah, dan 3 peraturan presiden.

    Undang-Undang yang memiliki keterkaitan erat dengan pengelolaan perbatasanadalah : (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005--2025, (2)Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, (3) Undang-UndangNomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan (5) Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan pemerintah yang memilikikaitan erat dengan pengelolaan perbatasan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26Tahun 2008 tentang RTRW Nasional.

    Selain itu, terdapat peraturan presiden yang memiliki kaitan erat denganpengelolaan perbatasan, yakni (1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMNasional 2010--2014, (2) Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang PengelolaanPulau-Pulau Kecil Terluar, dan (3) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang BadanNasional Pengelola Perbatasan.

    Di dalam tulisan ini, analisis terhadap landasan kebijakan pengelolaan perbatasanhanya akan dibatasi pada landasan kebijakan di tingkat undang-undang. Apabila dalampenjelasannya dikaitkan dengan peraturan perundangan yang berada di tingkatbawahnya, yaitu peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden, hal itu dimaksudkanuntuk memberi penjelasan secara lebih memadai.

    15 Lihat, Ganewati Wuryandari, Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan KawasanPerbatasan Darat secara Terintegrasi dalam Perspektif Keamanan dan Kesejahteraan. Makalah yangdisampaikan dalam Seminar Menggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan KawasanPerbatasan sebagai Halaman Depan NKRI, (Jakarta: Bappenas, 8 Desember 2010).

  • 14

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan JangkaPanjang Nasional Tahun 2005--2025 memiliki rumusan yang cukup memadai berkaitandengan pengelolaan perbatasan. Di dalam Undang-Undang itu ditegaskan bahwapemerintah memiliki orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari cara pandangyang berorientasi ke dalam menjadi cara pandang yang berorientasi ke luar sebagai pintugerbang ekonomi dan perdagangan. Hal itu tertuang dalam Lampiran Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan JangkaPanjang Nasional Tahun 20052025, Bab IV.1.5, Mewujudkan Pembangunan yang LebihMerata dan Berkeadilan, butir (4) berbunyi:

    Wilayah-wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakanpembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam menjadi berorientasike luar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi danperdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan,selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukanpendekatan kesejahteraan. Perhatian khusus diarahkan bagi pengembangan pulau-pulau kecil di perbatasan yang selama ini luput dari perhatian.Sebagai suatu kebijakan umum yang bersifat visioner, sesuai dengan Penjelasan

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025,permasalahan berkaitan dengan pengelolaan perbatasan seharusnya dapat dijabarkanlebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan lain tentang bagaimana pengelolaanperbatasan Indonesia agar dapat mewujudkan pembangunan yang lebih merata danberkeadilan.

    Landasan kebijakan yang lebih spesifik dalam pengelolaan perbatasan sebenarnyaterletak dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Di dalampasal Undang-Undang tersebut dijelaskan berbagai hal tentang pengelolaan perbatasan,antara lain, sebagai berikut:

    1. Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1), ayat (2), serta ayat (3) tentang Batas Wilayah,

    2. Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tentang Batas Wilayah Yurisdiksi,

  • 15

    3. Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), serta ayat (3) tentang KewenanganPemerintah dalam Mengatur Pengeloalan dan Pemanfaatan Wilayah Negara danKawasan Perbatasan, dan

    4. Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal17, dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tentang Kelembagaan Pengelolaan Perbatasandi Pusat dan di Daerah.

    Kelemahan kebijakan itu muncul ketika mencermati Pasal 10 tentang KewenanganPemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan dikaitkandengan rumusan Pasal 14 ayat (1) dan dengan rumusan Pasal 17. Untuk lebih jelasnya,berikut ini dikutip rumusan pasal tersebut:

    Pasal 10 ayat (1) berbunyi:

    Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang:

    a. menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan KawasanPerbatasan;

    b. mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas WilayahNegara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukuminternasional;

    c. membangun dan membuat tanda Batas Wilayah Negara;d. melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur

    geografis lainnya;e. memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara

    teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;f. memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut territorial

    dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturanperundang- undangan;

    g. melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah

  • 16

    pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidangbea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial;

    h. menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasionaluntuk pertahanan dan keamanan;

    i. membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepadaDewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan

    j. menjaga keutuhan kedaulatan dan keamanan Wilayah Negara serta KawasanPerbatasan.

    Pasal 14 ayat (1) berbunyi:Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan padatingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan Pemerintah Daerah membentuk BadanPengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah.

    Pasal 17 berbunyi:Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh sekretariat tetapyang berkedudukan di kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidangpemerintahan dalam negeri.

    Kewenangan yang demikian luas, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 10 tersebut,dalam implementasinya akan dilaksanakan oleh badan pengelola seperti yang dituangkandalam Pasal 14 ayat (1) dan secara indikatif diarahkan untuk dilaksanakan olehkementerian dalam negeri, seperti yang dituangkan dalam Pasal 17.

    Kemudian pemerintah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 sebagai lembaga yang memilikitanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan sektor terdepan (leading sector)Kementerian Dalam Negeri. Dalam hal itu Kementerian Dalam Negeri bersama-samadengan sejumlah instansi pemerintah lain, seperti Kementerian Luar Negeri, Pertahanan,Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keuangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kehutanan,Kelautan dan Perikanan, Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan PerencanaanPembangunan Nasional, serta Pembangunan Daerah Tertinggal, bertanggung jawab

  • 17

    dalam menjalankan lembaga tersebut. Bahkan, BNPP juga beranggotakan MenteriKoordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Perekonomian, sertaMenteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua Pengarah danWakil Ketua Pengarah BNPP.

    Mencermati struktur BNPP dan keterlibatannya sejumlah kementerian dalamlembaga itu, penulis berpendapat bahwa BNPP cenderung hanya bersifat sebagailembaga koordinatif. Sampai saat ini masih belum terlihat strategi dan kebijakan BNPPuntuk mengoptimalkan segenap kewenangan yang demikian besar, seperti yang tertuangdalam Pasal 10 Undang-Undang tentang Wilayah Negara, sehingga belum mampumenggerakan alur koordinasi dan implementasi kebijakan pengelolaan perbatasan secarakomprehensif, baik dalam tataran konsepsional maupun operasional.

    Dalam tataran konsepsional, BNPP masih belum dapat merealisasikan penetapankebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan sepertiyang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang tentang WilayahNegara. Demikian pula, rencana induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah dankawasan perbatasan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 12Tahun 2010 belum dapat direalisasikan.

    Menurut hemat penulis, keberadaan rencana induk dan rencana aksi pembangunanbatas wilayah dan kawasan perbatasan merupakan prioritas kerja utama BNPP, karenaberdasarkan dokumen tersebut akan tergambar seperti apa kebijakan programpembangunan perbatasan dan bagaimana strategi pengoordinasian pelaksanaanpembangunan perbatasan. Selain itu, dengan mencermati begitu banyaknya instansipemerintah yang terlibat dalam pengelolaan perbatasan, tampaknya secara konsepsional,tanggung jawab pengelolaan perbatasan yang dibebankan kepada BNPP yang merupakanlembaga koordinatif yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri karena jabatannya (ex-officio) diprediksikan sulit untuk dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan amanatPeraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010.

    Dalam tataran operasional, adanya berbagai instansi yang selama ini merupakanpemangku kepentingan bidang pengelolaan perbatasan kerap kali kesulitan dalam

  • 18

    melakukan koordinasi antara satu dengan yang lain. Hal itu, antara lain, disebabkan olehtumpang-tindihnya penanggung jawab persoalan perbatasan yang seharusnya dapatdidefinisikan dan dibagi tanggung jawabnya secara jelas berdasarkan ruang lingkup kerjasetiap instansi. Dengan dibentuknya BNPP, idealnya secara operasional hambatantersebut dapat diatasi melalui strategi peningkatan koordinasi antarinstansi danpendeskripsian tanggung jawab setiap instansi secara jelas dengan merujuk RencanaInduk dan Rencana Aksi Pembangunan Perbatasan.

    Keberadaan Rencana Induk dan Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan menjadisemakin penting apabila dikaitkan dengan kewenangan seperti yang tertuang dalamPasal 10 ayat (1). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari tumpang-tindih kewenanganantara BNPP dan instansi teknis terkait lainnya. Sebagai contoh, kewenangan butir (a)akan berbenturan dengan kewenangan Bappenas, kewenangan butir (b) akanberbenturan dengan Kementerian Luar Negeri, sedangkan kewenangan butir (c) akanberbenturan dengan kewenangan Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri,dan pemerintah daerah. Kewenangan butir (d) akan berbenturan dengan KementerianKelautan dan Perikanan serta Bakosurtanal.

    Untuk itu, melalui tulisan ini dan berbagai kajian kebijakan mengenai pengelolaanperbatasan, cukup tepat mengingatkan pemerintah agar dapat mengambil pelajaranberharga terhadap berhentinya implementasi kebijakan Keputusan Presiden Nomor 44Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan diKalimantan dan dengan secara serius memperhatikan kajian akademik yang telah banyakdilaksanakan yang merekomendasikan perlunya suatu lembaga pengelola perbatasanyang memiliki kewenangan penuh (powerful) seperti yang direkomendasikan oleh kajianyang dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara dan kajian yang telah dilakukanoleh DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, yangmerekomendasikan perlunya lembaga khusus yang menangani pengelolaan kawasanperbatasan secara penuh. Dengan demikian, koordinasi antardepartemen atau instansi dilevel pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan daerah berjalan dengan baikdan sinergis.

  • 19

    Peraturan perundang-undangan lain yang memiliki keterkaitan erat denganpengelolaan perbatasan adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang PenataanRuang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan perbatasan.

    Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,pembahasan mengenai pengelolaan perbatasan hampir tidak disinggung sama sekali.Penggunaan kata perbatasan baru muncul di bagian Penjelasan, Pasal 8 ayat (1) huruf(d). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip rumusan Pasal 8 ayat (1) huruf (d):

    Kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataanruang antarprovinsi.

    Penjelasan terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf (d) berbunyi:Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapataspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah. Yangtermasuk kerja sama penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruangdi kawasan perbatasan negara.

    Pemberian wewenang kepada pemerintah dalam memfasilitasi kerja sama penataanruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama penataan ruang memberikan manfaatyang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama.

    Penulis berpendapat bahwa sebagai suatu kebijakan yang bersifat memberikanarahan pengelolaan dan penataan ruang secara nasional, seyogianya Undang-UndangPenataan Ruang dapat memberikan arahan secara lebih jelas tentang pengelolaanperbatasan. Penjelasan yang dipandang lebih memadai tentang pengelolaan perbatasanterdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional,Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (22) yang berbunyi:

    Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasanperkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasannegara.Menurut kebijakan itu, kawasan perkotaan di kawasan perbatasan akan didorong

    menjadi pusat kegiatan strategis nasional atau PKSN. Hal itu berarti bahwa untuk ke

  • 20

    depan, Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat di Kalimantan Timur, Sanggau, Bengkayang,Sambas, Sintang, dan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, Kabupaten Keerom, KotaJayapura, Boven Digul, Pegunungan Bintang, Merauke, Asmat, Sarmi, dan Supriori diPapua, Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU), serta Kupang di Nusa Tenggara akanmenjadi pusat kegiatan yang memiliki keunggulan kompetitif dan sekaligus keunggulankomparatif dibandingkan dengan daerah perbatasan negara tetangga.

    Permasalahannya adalah bagaimana model PKSN tersebut? Bagaimana strategipencapaiannya? Siapa sektor terdepan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan halitu? Bagaimana pembagian peran antara pusat dan daerah dalam mewujudkan PKSN?Apakah semangat pembentukan PKSN juga akan diadaptasi oleh BPPN dalampengelolaan perbatasan? Sejumlah pertanyaan lain akan muncul dalam kerangkapengelolaan perbatasan. Pertanyaan itu patut dikedepankan untuk mengukur bahwakebijakan pengelolaan perbatasan dirumuskan untuk saling menguatkan dan sinergisdalam kerangka pembangunan nasional.

    Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir danPulau-Pulau Kecil seyogianya membahas secara lebih memadai tentang pengelolaanperbatasan. Hal itu beranjak dari pemikiran bahwa wilayah pesisir dan pulau kecil dalambeberapa kasus identik sebagai perbatasan negara. Akan tetapi, di dalam Undang-Undangtersebut pembahasan mengenai pengelolaan perbatasan tidak lebih jelas dibandingkandengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penggunaankata perbatasan baru muncul dalam Penjelasan, Pasal 8 ayat (2). Untuk lebih jelasnya,berikut ini dikutip rumusan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.

    Bagian Kedua : Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau KecilRSWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkankepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

    Penjelasannya berbunyi:

    Kepentingan pusat dan daerah merupakan keterpaduan dalam bidang PengelolaanWilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti pertahanan negara, wilayah

  • 21

    perbatasan negara, kawasan konservasi, alur pelayaran internasional, Kawasanmigrasi ikan, dan kawasan perjanjian internasional di bidang kelautan danperikanan.

    Dengan mencermati Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang PenataanRuang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil, terlihat nyata bahwa kedua kebijakan tersebut cenderung belumsaling menguatkan dan cenderung mengabaikan pengelolaan kawasan perbatasan.

    Kebijakan yang dapat memberikan arah pedoman pengelolaan perbatasan terdapatdalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagairespons positif terhadap arah perbaikan pelaksanaan pembangunan, Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004 seyogianya mewadahi pula perbaikan pengelolaan perbatasandalam berbagai aspeknya. Akan tetapi, setelah mencermati kebijakan tersebut, hanyaterdapat pengaturan secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pusatdan daerah dan belum menyentuh butir-butir yang eksplisit untuk kewenangan danmekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik di darat, laut, maupun udara. Olehkarena itu, dengan memanfaatkan momentum revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintah Daerah yang sedang hangat bergulir, penulis, melalui tulisan ini,mengingatkan kepada pemerintah bahwa sebaiknya perbaikan pengelolaan perbatasan,baik perbatasan darat, laut, maupun udara, memperoleh perhatian memadai melaluirumusan kebijakan yang saling menguatkan dan memperjelas peran dan fungsi masing-masing, antara pusat dan daerah, dalam pengelolaan perbatasan ke depan.

    KesimpulanPermasalahan pengelolaan perbatasan merupakan permasalahan yang bersifat universaldan hampir seluruh negara di dunia menghadapi permasalahan yang berkaitan denganperbatasan negaranya. Pada dasarnya permasalahan pengelolaan perbatasan dapatdibagi menjadi dua, yakni: (1) permasalahan berkaitan dengan penegasan batas negarasecara fisik; (2) pengelolaan daerah perbatasan.

    Kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia sampai saat ini dinilai masih belumkomprehensif kendatipun telah dibentuk BNPP. Untuk itu, perubahan paradigma yang

  • 22

    menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan negara perlu didukung olehsejumlah kebijakan lain agar pengelolaan perbatasan menjadi lebih optimal sekaligusmemperkuat kelembagaan BNPP.Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:1. Berbagai kebijakan yang ada pada saat ini cenderung belum saling menguatkan,

    tetapi berdiri sendiri dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Untuk itu, diperlukankebijakan peraturan perundang-undangan pengelolaan perbatasan tersendiri yangbersifat lex specialis de rogat legi generalis, yakni undang-undang khusus pengelolaanperbatasan yang dapat mengesampingkan Undang-Undang Wilayah Negara dan/atauundang-undang lain yang bersifat lebih umum, yang dalam proses penyusunannyadidahului oleh kajian mendalam yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkankarakteristik perbatasan yang dimiliki oleh Republik Indonesia, baik perbatasan daratmaupun perbatasan laut.

    2. Diperlukan perumusan dan penyusunan perencanaan skenario (scenario planning)dan strategi kebijakan pengelolaan perbatasan di Indonesia hingga 25 tahun ke depanyang dapat didudukkan sebagai cetak biru (blue print) pengelolaan perbatasan secarakomprehensif yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintahdaerah. Dengan melalui perencanaan skenario, diharapkan terwujud pulapenyelarasan berbagai agenda kebijakan, program, dan kegiatan yang terkait dalampembangunan di daerah perbatasan sehingga mampu memperkecil kesenjanganyang terjadi antara daerah perbatasan di Indonesia dan daerah perbatasan negaratetangga lainnya.

    3. Diperlukan penguatan kelembagaan BNPP agar tidak mengulangi kesalahanpembentukan suatu badan pengelolaan perbatasan yang tidak dapat menjawabkebutuhan permasalahan pengelolaan perbatasan faktual.

    4. Diperlukan perbaikan dan penataan dokumen berkaitan dengan batas wilayah dankepemilikan pulau terluar.

    5. Diperlukan penetapan prioritas penyelesaian sejumlah sengketa perbatasan karenasetiap perselisihan perbatasan (dispute area) akan menjadi titik rawan bagi stabilitaskawasan, baik dari sisi hubungan bilateral, multilateral, maupun dari aktivitas tindakkejahatan lintas negara.

  • 23

    Daftar Pustaka

    Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara. 2004. Jakarta: Pusat Kajian AdministrasiInternasional, Lembaga Administrasi Negara.

    Kabupaten perbatasan Masih Tertinggal. Kompas, 19 Februari 2009. dalamhttp://nasional.kompas.com/read/xml/2009/02/16/19342094/26.kabupaten.perbatasan.masih.tertinggal.

    Laporan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri (2009) yang dikutip dari Kemitraanbagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership). Rumusan Rekomendasi KebijakanPengelolaan Perbatasan di Kalimantan Barat, 2011.

    Laporan Hasil Kajian Masalah Perbatasan Kalimantan : Program Jangka PendekPembangunan Wilayah Perbatasan 2008. Jakarta: Dewan Pertimbangan Presiden.

    Laporan Penelitian Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan KawasanPerbatasan di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus di Kalimantan Barat. 2009.Pontianak: DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura.

    Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang RencanaPembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

    R.W. Matindas dan Sutisna. 2006. Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan BatasWilayah NKRI dan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Jakarta: Bakosurtanal.

    Sutisna, dkk., Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, dalamLudiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan. Graha Ilmu : Yogyakarta.

    Undang-Undang Wilayah Negara, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6).

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka PanjangNasional Tahun 2005-2025.

    Wuryandari, Ganewati. 8 Desember 2010. Mewujudkan Manajemen Pengelolaan BatasWilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Darat secara Terintegrasi dalam PerspektifKeamanan dan Kesejahteraan. Makalah yang disampaikan dalam SeminarMenggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan KawasanPerbatasan sebagai Halaman Depan NKRI. Jakarta: Bappenas.

    Zulkarnaen, Happy Bone. WNI Jadi Tentara Malaysia, Menjaga Perbatasan Di Kalimantan.Harian Waspada, 14 Februari 2008.

    Hasil Survei Terbaru Jumlah Pulau Indonesia. Antara, Selasa, 17 Agustus 2010.

  • 24

    Menkopolhukam : 3 Pegawai DKP Tak Koordinasi dengan Patroli Laut.http://www.detik.com. 31 Agustus 2010.

    Anggaran Perbatasan Diusulkan Naik 2000 Persen (hal. A5). Koran Tempo, 22 Oktober 2011.