39
10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Konsep Teori Keagenan Jensen and Meckling dalam jurnalnya yang berjudul “ Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure.” mengungkapkan pengertian dari Agency Theory adalah sebagai berikut: Agency Theory primarily deals with the principal-agent relationship (also referred to as the agency relationship) existing in the separation of ownership and management, or in the separation of risk bearing, decision making and management functions. (Jensen and Meckling,1976; Fama and Jensen, 1983; Morris, 1987). Teori tersebut mengungkapkan bahwasannya teori keagenan erat kaitannya dengan hubungan antara principal – agent yang membedakan antara pemilik dan manajemen, yang memisahkan antara perilaku, pembuatan keputusan dan fungsi daripada manajemen. Lebih lanjut dalam teori nya Jensen and Meckling mengungkapkan bahwasannya : The principal-agent relationship is defined by Jensen and Meckling (1976) as “…a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent” (p.308). The most commonly regarded principal-agent relationship is between the shareholders (as the principal) and the management (as the agent) of an organization. Hubungan antara principal – agent yang dikemukakan oleh Jensen and Meckling adalah sebuah perjanjian yang melibatkan satu pihak yang disebut principal dengan pihak lain yang disebut agent dimana agent tersebut diberikan

10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

10

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Konsep Teori Keagenan

Jensen and Meckling dalam jurnalnya yang berjudul “ Theory of the Firm:

Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure.” mengungkapkan

pengertian dari Agency Theory adalah sebagai berikut:

Agency Theory primarily deals with the principal-agent relationship (also referred to as the agency relationship) existing in the separation of ownership and management, or in the separation of risk bearing, decision making and management functions. (Jensen and Meckling,1976; Fama and Jensen, 1983; Morris, 1987).

Teori tersebut mengungkapkan bahwasannya teori keagenan erat kaitannya

dengan hubungan antara principal – agent yang membedakan antara pemilik dan

manajemen, yang memisahkan antara perilaku, pembuatan keputusan dan fungsi

daripada manajemen. Lebih lanjut dalam teori nya Jensen and Meckling

mengungkapkan bahwasannya :

The principal-agent relationship is defined by Jensen and Meckling (1976) as “…a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent” (p.308). The most commonly regarded principal-agent relationship is between the shareholders (as the principal) and the management (as the agent) of an organization.

Hubungan antara principal – agent yang dikemukakan oleh Jensen and

Meckling adalah sebuah perjanjian yang melibatkan satu pihak yang disebut

principal dengan pihak lain yang disebut agent dimana agent tersebut diberikan

Page 2: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

11

wewenang oleh principal untuk membuat keputusan demi memenuhi kepentingan

principal. Secara umum hubungan antara principal dengan agent di dalam sebuah

organisasi dapat digambarkan sebagai hubungan antara Shareholder / owner

sebagai pincipal dengan manajemen sebagai agent.

Asimetri Informasi Asimetri informasi terjadi jika salah satu diantara dua belah pihak dalam

hubungan keagenan memiliki keuntungan informasi yang tidak dimiliki oleh

pihak lain. Dalam hal ini, Yi An (2012) menyebutkan pihak agen lah yang

memiliki keunggulan informasi tersebut dikarenakan agen dalam hal ini

manajemen perusahaan setiap waktunya terlibat langsung dalam kegiatan

perusahaan. Subramaniam dalam Yi An (2012) menyebutkan asimetri informasi

dapat mempertajam masalah yang terjadi diantara hubungan keagenan. Secara

spesifik Subramaniam dalam Yi An (2012) menyebutkan dua masalah yang

terjadi dalam hubungan keagenan diantarnya

1. Adverse Selection

Masalah ini timbul karena principal memiliki keterbatasan informasi

terhadap perilaku agent, yang memungkinkan sang agent membuat sebuah

kebijakan untuk menguntungkan kepentingannya sendiri. Sebagai contoh

konkritnya adalah ketika sang agent (manajemen dalam sebuah perusahaan)

membuat sebuah kebijakan akuntansi yang memiliki dampak dalam laporan

keuangan memiliki net profit yang besar sehingga membuat bonus yang akan

mereka dapatkan menjadi besar, namun sahreholders (principal) tidak memiliki

Page 3: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

12

cukup informasi atau pengetahuan untuk mengetahui akan kebijakan akuntansi

tersebut.

2. Moral Hazard

Masalah ini terjadi ketika agent melakukan kebijakan untuk kepentingan

pribadi terlalu banyak namun principal tidak memiliki cukup informasi akan hal

tersebut. Contoh konkritnya adalah ketika manajemen sebuah perusahaan

melakukan banyak sekali perjalanan dinas.

Agency Theory dan Pengungkapan Sukarela Intellectual Capital

Yi An (2012) menerangkan bahwasannya hubungan antara agency dan

pengungkapan sukarela modal intelektual adalah kandungan dari pengungkapan

modal intelektual dapat meminimalisir asimetri yang terjadi antara principal

dengan agent, dan pada akhirnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan

masalah teori keagenan

2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)

Menurut Spence (1973 dalam Stephanie dan Yuyetta, 2012:2) teori sinyal

mengasumsikan bahwa perusahaan akan mengirimkan sinyal ke pasar melalui

pengungkapan informasi keuangan. Hal yang melatarbelakanginya adanya

asimetri informasi (Nuswandari, 2009:5). Ketika terjadi asimetri informasi, pasar

akan menilai setiap perusahaan memiliki kinerja yang sama. Hal ini akan

merugikan perusahaan dengan kinerja yang lebih baik, karena kinerjanya

dipersamakan dengan perusahaan yang kinerjanya lebih rendah. Sebaliknya bagi

Page 4: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

13

perusahaan dengan kinerja kurang baik, keadaan tersebut justru menguntungkan

karena kinerjanya dinilai lebih baik dari yang sebenarnya.

Menurut Ahmed dan Courtis (1999 dalam Purnomosidhi, 2006:10),

perusahaan besar dan kinerja keuangannya yang baik (superior and profitable

firm), cenderung mengirimkan sinyal positif (good news) lebih banyak untuk

mengubah penilaian investor. Nuswandari (2009:56) mengartikan sinyal sebagai

informasi mengenai hal-hal yang telah dilakukan manajer untuk mewujudkan

keinginan pemilik. Bentuk sinyal positif yang dikirim perusahaan dapat berupa

promosi atau informasi lain yang menurut pertimbangannya dapat meningkatkan

kredibilitas dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak

diwajibkan.

Pengungkapan informasi modal intelektual adalah salah satu jenis

informasi tersebut. Dengan mengungkapkan informasi ini asimetri informasi

dapat dikurangi. Selain itu, perusahaan secara tidak langsung menginformasikan

bahwa saat ini tengah berinvestasi dalam bentuk modal intelektual yang dapat

lebih menguntungkan di masa depan (Marisanti dan Kiswara, 2012:2).

2.1.3 Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Teori pemangku kepentingan menyatakan bahwa perusahaan berfungsi

untuk melayani tujuan publik yang lebih luas, yaitu menciptakan nilai bagi para

pemangku kepentingan. Adapun istilah stakeholder menurut Freeman dan Reed,

(1983 dalam Ulum, 2009:4) didefinisikan sebagai “any identifiable group or

Page 5: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

14

individual who can affect the achievement of an organisation’s objective, or is

affected by the achievement of an organisation’s objective”.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pemangku

kepentingan mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas

perusahaan. Oleh sebab itu, mereka perlu mengetahui aktivitas apa saja yang

dilakukan perusahaan, meskipun di lain pihak mereka dapat memilih untuk tidak

menggunakan informasi tersebut (Purnomosidhi, 2006:5). Di samping itu, teori ini

juga mengatakan bahwa para pemangku kepentingan memiliki fungsi

pengendalian atas manajer dalam pelaporan seluruh potensi yang dimiliki oleh

perusahaan (Stephanie dan Yuyetta, 2012:2). Lebih jauh lagi, Purnomosidhi

(2006:5) mengemukakan bahwa akuntabilitas organisasi dalam bentuk pelaporan

tahunan tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja, akan tetapi

perlu juga melakukan pengungkapan sukarela tentang modal intelektual.

Dari perspektif perusahaan, pengungkapan informasi terutama mengenai

modal intelektual merupakan elemen utama yang dapat digunakan untuk

memanipulasi penilaian dari pemangku kepentingan dalam rangka mencari

dukungan dan persetujuan mereka atau untuk mengalihkan perlawanan dan

ketidaksetujuan mereka (Boedi, 2008:14-16).

2.1.4 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

Teori ini berpijak pada kenyataan bahwa perusahaan terikat dalam kontrak

sosial dengan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi (Guthrie et al,

2006:256). Kontrak sosial yang dimaksud adalah sejumlah besar harapan

Page 6: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

15

masyarakat tentang bagaimana seharusnya perusahaan melaksanakan operasinya

(Ulum, 2009:7).

Teori legitimasi juga menyatakan bahwa organisasi harus secara

berkelanjutan mencari cara untuk menunjukkan keberlangsungan usahanya berada

dalam norma yang berlaku di masyarakat (Guthrie dan Parker,1989 dalam Ulum,

2009:7). Norma tersebut tidak bersifat tetap akan tetapi dapat berubah kapan saja,

oleh karena itu perusahaan dituntut untuk selalu responsif terhadap perubahan

yang terjadi di lingkungan sekitar (Deegan, 2004 dalam Boedi, 2008:12).

Lindblom (1994 dalam Guthrie et al., 2006:256-257) menyarankan jika

legitimasi sebuah organisasi tengah dipertanyakan, organisasi tersebut dapat

menjalankan sejumlah strategi yang agresif. Pertama, organisasi dapat mencari

jalan untuk menginformasikan kepada stakeholdernya perubahan-perubahan yang

terjadi pada kinerja dan aktifitas organisasi. Kedua, organisasi dapat mencari cara

untuk mengubah persepsi stakeholder, tanpa mengubah perilaku organisasi

tersebut yang sebenarnya. Ketiga, organisasi dapat mencari cara untuk

memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara mengarahkan kembali (memutar

balik) perhatian atas isu tertentu kepada isu yang berkaitan lainnya.

Masih menurut Lindblom (1994 dalam Guthrie et al, 2006:257),

perusahaan dapat menggunakan sarana pengungkapan (disclosure) untuk

mengimplementasikan strategi-strategi tersebut. Melalui pengungkapan,

perusahaan dapat memperlihatkan perhatian manajemen terhadap nilai-nilai

masyarakat atau untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aktifitas

perusahaan yang berdampak negatif.

Page 7: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

16

Teori legitimasi sangat terkait erat dengan pengungkapan modal

intelektual. Berlainan dengan teori stakeholder yang menempatkan para

pemangku kepentingan sebagai penentu dalam kebijakan pengungkapan

informasi, dalam teori ini faktor utama yang mempengaruhi kebijakan

pengungkapan perusahaan adalah persepsi publik. Hal ini mungkin terjadi pada

saat sebuah perusahaan ingin melegitimasi statusnya di masyarakat, sebagaimana

dikemukakan oleh Guthrie et al (2006:257),

Companies are more likely to report on their Intellectual Capital if they have a specific need to do this. This may happen when companies find themselves unable to legitimise their status on the basis of the hard assets that are traditionally recognised as the symbols of corporate success.

Berdasarkan pernyataan tersebut, perusahaan akan memanfaatkan

pengungkapan modal intelektual untuk melegitimasi statusnya di masyarakat,

manakala aset fisik yang merupakan simbol kesusksesan tradisional tidak lagi

cukup untuk melegitimasi statusnya.

2.1.5 Teori Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Theory)

Menurut Oliveira et al. (2008:5), mekanisme pengungkapan yang bersifat

wajib maupun sukarela termasuk modal intelektual dalam laporan tahunan

memiliki beberapa manfaat. Di antaranya dapat mengurangi asimetri informasi,

memperbaiki penilaian yang salah (mis-evaluation) terhadap perusahaan,

mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan permintaan investor, dan

mengurangi selisih harga beli dan harga jual saham (bid-ask spread).

Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dari pengungkapan, kebijakan

pengungkapan perusahaan juga dipengaruhi oleh faktor biaya. Kieso (2004:48)

Page 8: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

17

menyatakan, “providing useful financial information is limited by a pervasive

constraint on financial reporting—cost should not exceed the benefits of a

reporting practice”.

Pernyataan Kieso tersebut menjadi pijakan teori biaya dan manfaat dalam

memandang kebijakan pengungkapan. Terlebih, menurut Foster (1995 dalam

Sutanto dan Supatmi, 2012:3), biaya untuk mengungkapkan informasi cenderung

mahal. Oleh karena itu manajer hanya akan termotivasi untuk melakukan

pengungkapan sukarela ketika manfaat yang dihasilkan melebihi biaya langsung

maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu sendiri

(Oliveira, 2008:5).

2.1.6 Karakteristik Perusahaan

2.1.6.1 Definisi Karakteristik Perusahaan

Ahmad dan Sulaiman (2004, dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75)

menyebutkan bahwa karakteristik perusahaan yang bervariasi menyebabkan

relevansi dan urgensi pengungkapan yang bervariasi pula pada setiap perusahaan.

Definisi dari karakteristik perusahaan menurut Suhardjanto dan Wardhani,

2010) adalah merupakan ciri – ciri khusus yang melekat pada perusahaan,

menandai dan membedakannya dengan perusahaan lain. Karakteristik perusahaan

dapat dilihat dari beberapa aspek seperti jenis usaha atau industri, struktur

kepemilikan, tingkat likuiditas, tingkat profitabilitas , dan ukuran perusahaan

(size) (Sidharta dan Christanti, 2005 dalam Laraswita dan Indrayani, 2010).

Page 9: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

18

Namun definisi karakteristik perusahaan yang paling sistematis

diungkapkan oleh Wallace et al (1994 dalam Tristanti dan Zulaikha, 2012:10)

yang mengelompokkan variabel karakteristik perusahaan kedalam tiga kategori,

antara lain:

a. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structure-related variable), yakni

variabel yang sifatnya cenderung stabil, contohnya ukuran perusahaan dan

tipe kepemilikan.

b. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable),

yakni variabel yang sifatnya berubah dari waktu ke waktu. Contohnya

profitabilitas, leverage, dan likuiditas.

c. Variabel yang berkaitan dengan pasar (market-related variable), yakni

variabel yang dapat berubah ataupun stabil dari waktu ke waktu. Sifatnya

dapat kualitatif maupun kuantitatif. Variabel pasar yang kualitatif sifatnya

dikotomis, yaitu dibagi menjadi dua kelompok (ya atau tidak), contohnya

jenis industri dan status perusahaan. Sedangkan variabel pasar kuantitatif,

yaitu variabel yang dapat diukur dengan angka, contohnya struktur

kepemilikan modal dan umur perusahaan.

2.1.6.2 Ukuran Perusahaan

Sesuai dengan pernyataan Sembiring (2012:3) bahwa “aset merupakan

tolak ukur besaran atau skala suatu perusahaan”. Fitriani (2001 dalam Tristanti

dan Zulaikha, 2012:12) juga membuktikan bahwa total aset lebih menggambarkan

ukuran perusahaan daripada kapitalisasi pasar. Hal ini dikarenakan besarnya total

Page 10: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

19

aset masing-masing perusahaan pasti berbeda dan bahkan mempunyai selisih yang

besar, hingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim.

Skala perusahaan yang didasarkan pada total aset juga diatur oleh Undang-

Undang No 20 Tahun 2008 dengan pengklasifikasian pada tabel 2.1 sebagai

berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Skala Usaha

Skala Usaha Kekayaan Hasil Penjualan

Mikro < Rp 50 juta < Rp 300 juta Kecil Rp 50 juta – Rp 500 juta Rp 300 juta – 2,5 miliar Menengah Rp 500 juta – Rp 10 miliar Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar Besar > Rp 10 miliar > Rp 50 miliar

Sumber: Diolah dari UU No. 20 Tahun 2008

Secara matematis ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural total

aset (Goyal, 2000 dalam Sembiring, 2012:3). Penggunaan bentuk logaritma

natural ini ditujukan untuk penyederhanaan bentuk dari nilai total aset perusahaan

yang nilainya berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah.

Rumus:

Size = Ln Total Aset

Benardi dkk. (2009:10)

2.1.6.3 Profitabilitas

Setiap organisasi profit memiliki tujuan yang sama yaitu untuk

mendapatkan keuntungan, bahkan kinerja sebuah organisasi profit tersebut dinilai

melalui seberapa besar kemampuan untuk menghasilkan keuntungan atau profit,

hal ini sesuai dengan pernyataan dari Walker (2001 dalam Stephanie dan Yuyetta,

Page 11: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

20

2012:3) yang menyatakan bahwa financial performance hanya berfokus pada satu

dimensi yaitu profitabilitas.

Definisi tentang profitabilitas secara komprehensif dikemukakan oleh

Harahap (1998:304) yang mengartikan profitabilitas sebagai kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua kemampuan dan sumber

yang ada, seperti penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan

sebagainya.

Petronila dan Mukhlasin (2003 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:7)

menyatakan bahwa profitabilitas merupakan indikator dari kinerja manajemen

dalam mengelola perusahaan. Penelitian oleh Singhvi dan Desai (1971 dalam

Tristanti, 2012:12) membenarkan anggapan tersebut. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa profitabilitas yang tinggi menandakan kinerja manajemen

yang baik. Artinya, ketika profitabilitas perusahaan tinggi atau meningkat, maka

dapat dikatakan manajemen telah berhasil atau memiliki kinerja yang baik.

Sebaliknya, apabila profitabilitas perusahaan kecil atau menurun maka perusahaan

dikatakan kurang berhasil. Implikasi dari kinerja perusahaan yang tinggi adalah

banyaknya investor yang ingin menanamkan modal nya, karena investor memiliki

peluang yang cukup besar untuk mendapatkan return yang tinggi atas

investasinya.

Profitabilitas dapat diukur dengan sejumlah cara, salah satunya dengan

menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Rasio ini menunjukkan laba bersih

yang diperoleh perusahaan ketika diukur dari nilai asetnya (Tristanti dan

Zulaikha, 2012:12). Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling sering

Page 12: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

21

disoroti karena mampu menggambarkan kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan keuntungan.

Nilai ROA yang semakin besar menunjukkan kinerja perusahaan yang

semakin baik, dikarenakan tingkat pengembalian investasi (return) semakin besar.

Menurut Horne dan Wachowicz (2008:175), ROA dihitung dengan

membandingkan nilai laba bersih setelah pajak (net profit after taxes) terhadap

total aset perusahaan.

Rumus:

Horne dan Wachowicz (2008:175)

ROA juga dapat digunakan sebagai alat ukur tingkat kesehatan kinerja

keuangan sebuah perusahaan. Berikut pada tabel 2.2 ditampilkan kriteria tingkat

kesehatan perusahaan berdasarkan nilai ROA-nya.

Tabel 2.2 Predikat Kesehatan Return On Assets (ROA)

Rasio Predikat >1,22% Sehat

0,99% - 1,21% Cukup Sehat 0,77% - 0,98% Kurang Sehat

< 0,76% Tidak Sehat Sumber: Taswan (2010 dalam Milan et al, 2013:8) dengan penyesuaian.

2.1.6.4 Leverage

Leverage adalah perbandingan antara dana yang diperoleh dari pihak

ekstern perusahaan (kreditor) berupa hutang, terhadap dana yang disediakan oleh

pemilik perusahan (Makmun, 2002 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:8). Rasio ini

Page 13: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

22

menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka

panjangnya (Tristanti dan Zulaikha, 2012:11).

Mujiyono dan Nany (2010:130) mengemukakan bahwa perusahaan yang

memiliki tingkat leverage yang semakin tinggi merupakan pertanda semakin besar

pula potensi transfer kemakmuran dari kreditor (debtholders) kepada pemegang

saham dan manajer yang kemudian menimbulkan konflik keagenan.

Leverage diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (Debt to Equity

Ratio) yang juga disebut rasio leverage. Rasio ini membandingkan jumlah modal

pemilik yang dapat dijaminkan untuk pembayaran utang-utang kepada pihak luar

(Harahap, 1998:303). Semakin kecil tingkat debt to equity ratio semakin baik,

yang artinya semakin kecil proporsi utang yang harus dijaminkan dengan modal

sendiri. Menurut Arista dan Astohar (2012:6), DER yang aman biasanya kurang

dari 50%. Adapun debt to equity ratio tersebut dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

Rumus:

Harahap (1998:303)

2.1.7 Intellectual Capital

Dikutip dari sebuah thesis karya Yi An (2012) mengungkapkan

bahwasannya ”Intellectual Capital has been increasingly recognized as an

important driver for corporate growth, productivity gains, profitability and value

creation in the current knowledge- based economy (Li et al,2008; Singh and

Page 14: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

23

Kasal, 2011; Tayles et al.,2007).” Dalam pernyataan tersebut, diungkapkan

bahwasannya Intellectual Capital berperan penting sebagai important driver

untuk pertumbuhan perusahaan, peningkatan produktivitas dan menambah nilai

kreasi dalam pengetahuan berbasis ekonomi.

Yi An (2012) dalam tesisnya mengungkapkan adanya sebuah teori baru

yang dikembangkan oleh Paul Romer (1986, 1994), seorang ekonom dari Stanford

University, sebagai berikut “That the economic growth is based on knowledge and

knowledge is superior factor that directs the use physical capital, technological

innovation and labour competence.”

Berdasarkan teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya

pertumbuhan ekonomi akan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan dan

pengetahuan adalah faktor yang superior karena dapat mengolah dan melahirkan

sumber daya fisik, innovasi tekhnologi dan kompetensi tenaga kerja.

2.1.7.1 Definisi Intellectual Capital

Istilah modal intelektual (Intellectual Capital) pertama kali dikemukakan

oleh seorang ekonom bernama John Kenneth Galbraith pada tahun 1969, yang

menulis surat kepada temannya, Michael Kalecki. Galbraith menulis:

“I wonder if you realize how much those of us the world around have owed

to the Intellectual Capital you have provided over the last decades” (Hudson,

1993 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73).

Menurut Chang dan Hsieh (2011 dalam Khalique et al, 2011:343), tidak

ada definisi yang berlaku secara umum mengenai modal intelektual. Namun

Page 15: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

24

banyak peneliti yang mencoba mendefinisikan konsep yang sama tentang modal

intelektual dengan cara yang beragam, yaitu:

1. Klein dan Prusak yang kemudian dipopulerkan oleh Stewart (1994)

menyatakan: “…we can define Intellectual Capital operationally as

intellectual material that has been formalized, captured, and leveraged to

produce a higher valued asset” (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:37).

2. Brooking (1996) menyatakan bahwa: “IC is the term given to the

combined intangible assets of market, intellectual property, human-

centred and infrastructure – which enable the company to function‟

(dalam Ulum, 2009:20).

3. Edvinsson (1997) menyatakan bahwa: “Intellectual Capital is the sum of

human capital and structural capital” (Khalique, 2011:343).

4. Bontis (1998) mengakui bahwa “IC is elusive, but once it is discovered

and exploited, it may provide an organization with a new resources-base

from which to compete and win‟ (Ulum, 2009:20).

5. Sullivan (1998) menyatakan: “Intellectual Capital includes intellectual

assets that can be converted into revenues” (Keenan dan Aggestam,

2001:259).

6. Bukh et al (2005:715) menyatakan bahwa istilah modal intelektual

seringkali didefinisikan sebagai: “...knowledge resources, in the form of

employees, customers, processes or technology, which the company can

mobilize in its value creation processes”.

Page 16: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

25

7. Low and Kalafut (2002) mendefinisikan modal intelektual sebagai

“Intangible assets which include technology, customer information, brand

name, reputation and corporate culture that are invaluable to a firm’s

competitive power” (Taliyang dan Jusop, 2011: 110).

Selain definisi-definisi tersebut, ada satu definisi yang paling banyak

digunakan yaitu dinyatakan oleh Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD, 1999) bahwa modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari

dua kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital;

dan (2) human capital (dalam Purnomosidhi, 2006:4).

Berdasarkan, pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa modal

intelektual merupakan sekumpulan aset tidak berwujud (intangible assets) yang

terdiri atas beberapa komponen yang jika digunakan secara optimal akan dapat

meningkatkan nilai perusahaan dan keunggulan bersaing.

2.1.7.2 Komponen – Komponen Intellectual Capital

Dalam perkembangan penelitian tentang intellectual capital, banyak

peneliti yang mencoba merumuskan komponen pengungkapan standar intellectual

capital. Para peneliti di awal perkembangan modal intelektual seperti Stewart

(1997), Sveiby (1997), Brooking (1996), Roos et al. (1997) and Bontis (1998)

sepakat bahwa modal intelektual terdiri atas tiga komponen utama, yaitu human

capital, customer capital, dan structural capital (Khalique et al, 2011:344).

Namun dalam perkembangannya, kini komponen modal intelektual lebih

dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti. Ismail (2005) misalnya,

Page 17: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

26

mengembangkan konsep modal intelektual dan mengidentifikasi bahwa modal

spiritual (spiritual capital) adalah komponen penting dalam modal intelektual.

selain itu Ramezan (2011) juga menambahkan technological capital sebagai

bagian dari komponen modal intelektual. (Khalique et al, 2011:344).

Menurut Purnomosidhi (2006:4), walaupun terdapat versi yang beragam

tentang komponen modal intelektual, pada dasarnya hanya terdapat tiga skema

yang sering dikutip dalam berbagai penelitian, yaitu skema yang diusulkan Sveiby

(1997), Stewart (1997), dan Edvinsson dan Sullivan (1996). Ketiga skema

tersebut memiliki tiga elemen yang sama, yaitu modal intelektual yang terletak

dalam diri manusia (human capital), modal intelektual yang melekat dalam

perusahaan (structural capital), dan modal intelektual yang terkait dengan

hubungan dengan pihak eksternal (relational capital). Untuk lebih jelasnya, ketiga

skema tersebut dirinci pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Skema Komponen Modal Intelektual

Elemen Author

Modal intelektual yang melekat pada manusia

Modal intelektual yang melekat pada organisasi

Modal intelektual yang melekat pada hubungan

Edvinson Human capital Organizational capital Customer capital

Stewart Human capital Structure capital Customer capital

Sveiby Employee competence

Internal structure External structure

Li et al Human capital Organisational capital Relational capital

Sumber: Purnomosidhi (2006:4)

Berikut penjelasan mengenai masing-masing komponen modal intelektual:

1. Modal Manusia (Human Capital)

Page 18: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

27

Menurut Edvinsson dan Malone (1997 dalam Khalique et al, 2011:344),

“Human capital is the heart of Intellectual Capital”. Sedangkan Sawarjuwono

dan Kadir (2003:38) menyebutnya sebagai lifeblood dalam modal intelektual. Dari

komponen inilah inovasi dan pengembangan berasal, meskipun pengukuran

terhadapnya cukup sulit dilakukan (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38). Hal

tersebut dikarenakan Human capital melekat pada diri masing-masing incdividu

sehingga tidak bisa dimiliki oleh perusahaan sepenuhnya (Kavida dan

Sivakoumar, 2008 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:5).

Human capital merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan

kompetensi dalam suatu perusahaan yang dapat meningkat seiring dengan

kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang dimiliki oleh

karyawannya. Menurut Sutanto dan Supatmi (2012:5), human capital adalah

gabungan kemampuan dari individu dalam sebuah perusahaan untuk mencari

solusi atas masalah bisnis yang dihadapi. Saleh et al (2007:6) memberikan

gambaran singkat mengenai karakteristik human capital sebagai berikut: “human

capital is the knowledge that employees take with them when they leave the

organization”. Lebih jelasnya, Brinker (2000) memberikan beberapa indikator

dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential,

experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual

potential and personality (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38).

2. Modal Struktural (Structural Capital)

Pengertian structural capital dikemukakan oleh Bontis (1998 dalam

Khalique et al, 2011:344) sebagai: “...all the nonhuman storehouses of knowledge

Page 19: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

28

including databases, organizational charts, process manuals, strategies, routines

and policies”. Sedangkan Saleh et al (2007:6) menyebut modal struktural sebagai

pengetahuan yang bersifat independen, artinya akan tetap ada dalam organisasi

meskipun karyawan meninggalkan organisasi.

Elemen kedua ini menunjukkan kemampuan organisasi atau perusahaan

dalam menjalankan rutinitas perusahaan dan strukturnya sehingga mendukung

usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal. Sveiby

(1997 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75) membagi elemen ini menjadi

dua komponen penting yaitu Intellectual property dan infrastructure assets.

Intellectual property merupakan modal yang keberadaannya dilindungi

oleh hukum, seperti paten (patent), hak cipta (copyright), dan merk dagang

(trademark). Sedangkan Infrastructure asset, yakni modal struktural yang dapat

diciptakan sendiri di dalam maupun diperoleh dari luar perusahaan. Suhardjanto

dan Wardhani (2010:75) menyebut budaya perusahaan (corporate culture),

management process, sistem informasi, networking system, dan research project

termasuk ke dalam elemen ini.

Stewart (1997 dalam Khalique et al, 2011:344) menjelaskan bahwa

structural capital menyediakan lingkungan yang mendukung individu-individu

untuk meningkatkan pengetahuannya. Seorang individu dapat memiliki tingkat

intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur

yang buruk maka Intellectual Capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal

(Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38).

3. Modal Konsumen (Customer Capital)

Page 20: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

29

Elemen ketiga ini merupakan komponen modal intelektual yang

memberikan nilai secara nyata (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38). Bozzolan et al

mendefinisikannya sebagai “Valuable knowledge that interacts with the external

sources of the organization like customers, suppliers and creditors through

networks, strategic alliances and distribution channels” (Saleh et al, 2007:6).

Sedangkan menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003:39), definisi relational

capital yaitu:

Hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar.

Modal konsumen dapat muncul dari berbagai pihak di luar lingkungan

perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson

(1997 dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38) menyarankan pengukuran elemen

atas ini melalui beberapa hal berikut:

1. Customer Profile. Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan dari pesaing.

2. Custumer Duration. Seberapa sering pelanggan kita berbalik pada kita? Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan pelanggan.

3. Customer Role. Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam disain produk, produksi dan pelayanan.

4. Customer Support. Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan pelanggan.

5. Customer Success. Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan oleh pelanggan. Suhardjanto dan Wardhani (2010:75) mengatakan, relational capital

terdiri atas beberapa elemen seperti pelanggan (customer), jaringan distribusi

Page 21: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

30

(distribution channel), kolaborasi bisnis (business collaboration), perjanjian

franchise, dan sebagainya.

Roos et al (1997 dalam Khalique et al, 2011:344) menyatakan bahwa

hubungan perusahaan dengan pelanggan sangatlah penting karena pelanggan yang

membeli produk atau jasa dari perusahaan. Dengan kata lain, pelanggan

merupakan sumber utama pendapatan perusahaan.

Menurut Purnomosidhi (2006:5), komponen-komponen modal intelektual

yang telah dijabarkan di atas merupakan indikasi nilai perusahaan di masa depan

(future value) dan kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu menurutnya,

diperlukan metode pelaporan dan pengelolaan terhadap dimensi-dimensi modal

intelektual yang lebih sistematis.

Bukh et al (2005) dan beberapa peneliti lain telah mencoba menyusun

daftar indikator pengungkapan modal intelektual ke dalam dimensi-dimensi yang

lebih sistematis. Dalam penelitiannya yang berjudul “Disclosure of information on

Intellectual Capital in Danish IPO prospectuses”, terdapat enam dimensi

pengungkapan, antara lain dimensi karyawan (employee), pelanggan (customer),

teknologi dan informasi (technology information), proses (processes), penelitian

dan pengembangan (research and development), dan pernyataan tentang strategi

(strategic statement). Enam dimensi tersebut kemudian dirinci lagi hingga

menjadi 78 indikator pengungkapan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2.4

berikut.

Page 22: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

31

Tabel 2.4 Kerangka Konseptual Modal Intelektual

No Item Pengungkapan Kode

1 Employees (27 Items)

Employee breakdown by age E1

2 Employee breakdown by seniority E2

3 Employee breakdown by gender E3

4 Employee breakdown by Nationality E4

5 Employee breakdown by department E5

6 Employee breakdown by job function E6

7 Employee breakdown by level of education E7

8 Rate of employee turnover E8

9 Comments on changes in the number of employees E9

10 Comment on employee health and safety E10

11 Employee absenteeism rate E11

12 Discussion of employee interviews E12

13 Statements of policy on competency development E13

14 Description of competency development programs and activities

E14

15 Education and training expense E15

16 Education and training expenses by number of employees

E16

17 Employee expenses by number of employees E17

18 Recruitment policies of the firm E18

19 Separate indication firm has a HRM department, division or function

E19

20 Job rotation opportunities E20

21 Career opportunities E21

22 Remuneration and incentive systems E22

23 Pensions E23

24 Insurance policies E24

25 Statements of dependence on key personnel E25

26 Revenues per employee E26

27 Value added per employee E27

28 Customers (14 Items)

Number of customers C1

29 Sales breakdown by customer C2

30 Annual sales per segment or product C3

31 Average purchase size by customer C4

Page 23: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

32

No Item Pengungkapan Kode

32 Dependence on key customers C5

33 Description of customer involvement in firm’s operations

C6

34 Description of customer relations C7

35 Education/training of customers C8

36 Ratio of customers to employees C9

37 Value added per customer or segment C10

38 Absolute market share (per cent) of the firm within its industry

C11

39 Relative market share (not expressed as percentage) of the firm

C12

40 Market share (per cent) breakdown by country, segment, product

C13

41 Repurchases C14

42 Technology Information (IT) (5 Items)

Description of investments in IT IT 1

43 Description of existing IT systems IT 2

44 Software assets held or developed by the firm IT 3

45 Description of IT facilities IT 4

46 IT expenses IT 5

47 Processes (8 Items)

Information and communication within the company P1

48 Efforts related to the working environment P2

49 Working from home P3

50 Internal sharing of knowledge and information P4

51 External sharing of knowledge and information P5

52 Measure of internal or external processing failures P6

53 Discussion of fringe benefits and company social programs

P7

54 Environmental approvals and statements/policies P8

55 Research and Development (9 Items)

Statements of policy, strategy and/or objectives of R&D activities

RD1

56 R&D expenses RD2

57 Ratio of R&D expenses to sales RD3

58 R&D invested into basic research RD4

59 R&D invested into product design and development RD5

60 Details of future prospects regarding R&D RD6

61 Details of existing company patents RD7

62 Number of patents and licenses, etc. RD8

63 Information on pending patents RD9

64 Strategic Statement

Description of new production technology SS1

65 Statements of corporate quality performance SS2

Page 24: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

33

No Item Pengungkapan Kode

66 (15 Items) Information about strategic alliances of the firm SS3

67 Objectives and reason for strategic alliances SS4

68 Comments on the effects of the strategic alliances SS5

69 Description of the network of suppliers and distributors

SS6

70 Statements of image and brand SS7

71 Corporate culture statements SS8

72 Statements about best practices SS9

73 Organisational structure of the firm SS10

74 Utilization of energy, raw materials and other input goods

SS11

75 Investment in the environment SS12

76 Description of community involvement SS13

77 Information on corporate social responsibility and objective

SS14

78 Description of employee contracts/contractual issues SS15

Sumber: Bukh et al (2005:721-722)

2.1.8 Pengungkapan (Disclosure)

2.1.8.1 Definisi Pengungkapan (Disclosure)

Hendriksen dan Breda (1994 dalam Benardi dkk, 2009:4) mendefinisikan

istilah pengungkapan (disclosure) sebagai “penyajian informasi yang diperlukan

dalam laporan keuangan untuk mencapai operasi pasar modal yang efisien”.

Evan (2001 dalam Nuswandari, 2009:49) membatasi pengertian

pengungkapan hanya terkait hal yang menyangkut keuangan. Namun Nuswandari

(2009:49) menyatakan bahwa istilah pengungkapan pada laporan keuangan tidak

hanya merujuk pada penyampaian informasi keuangan saja, tetapi juga mencakup

informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri atas catatan

kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen

Page 25: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

34

tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan

operasi serta informasi lainnya.

Guthrie dan Parker (1990 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73) turut

membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, pengungkapan meliputi

ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi

organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat dibuat

dalam laporan tahunan perusahaan.

Wolk dan Tearney (1997 dalam Nuswandari, 2009:49-50) menjelaskan

bahwa pengungkapan menyangkut untuk siapa informasi diungkapkan, apa tujuan

pengungkapan tersebut dilakukan, tingkat keluasan dan kerincian pengungkapan,

dan bagaimana cara dan waktu mengungkapkan informasi.

Singhvi dan Desai (1971 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73)

menunjukkan bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui

laporan tahunan, karena digunakan oleh para pemangku kepentingan

(stakeholders) dalam hal pengambilan keputusan investasi. Selain itu, laporan

tahunan juga dipilih karena mempunyai kredibilitas yang tinggi dan memiliki

beberapa manfaat lainnya seperti digunakan untuk mempengaruhi penyebaran

distribusi, mendeskripsikan manajemen dan untuk tujuan penelitian (Haniffa dan

Cooke, 2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73).

2.1.8.2 Jenis-jenis Pengungkapan

Terdapat tiga konsep mengenai luas pengungkapan laporan keuangan

(Kartika, 2009:30), yaitu:

Page 26: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

35

1. Pengungkapan Memadai (Adequate Disclosure)

Yaitu pengungkapan minimal yang disyaratkan oleh peraturan sehingga

laporan tersebut dapat digunakan oleh investor dan tidak menyesatkan.

2. Pengungkapan Wajar atau (Fair Disclosure)

Pengungkapan wajar yaitu pengungkapan yang menyangkut tujuan-

tujuan etis untuk memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca

potensial.

3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure)

Yaitu pengungkapan atas semua informasi yang relevan. Artinya, semua

informasi yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung

terhadap perusahaan diungkapkan.

Kartika (2009:30) juga menyebutkan bahwa pengungkapan berdasarkan

sifatnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)

Mandatory disclosure merupakan pengungkapan minimum yang

disyaratkan standar akuntansi yang berlaku. Adapun standar yang

mengatur tentang pengungkapan wajib telah sesuai dengan peraturan

mengenai pengungkapan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh

BAPEPAM yaitu Peraturan Nomor X.K.6.

2. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)

Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan informasi yang dilakukan

secara sukarela oleh perusahaan tanpa diwajibkan oleh peraturan yang

berlaku.

Page 27: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

36

2.1.8.3 Pengungkapan Modal Intelektual

Pengungkapan modal intelektual merupakan suatu laporan yang

disampaikan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan informasi pengguna

laporan (Abeysekera 2006 dalam Boedi, 2008:32). Selanjutnya Guthrie dan Petty

(2000 dalam Ulum, 2009:148) mengungkapkan definisi pengungkapan modal

intelektual (Intellectual Capital disclosure) secara implisit dengan menyebutkan

bahwa pengungkapan modal intelektual kini memberikan manfaat yang lebih

besar dibanding masa lalu. Terutama bagi sektor yang mempunyai karakteristik

industri dominan yang kemudian mengalami perubahan, contohnya sektor

manufaktur yang berubah menjadi high technology, finansial, jasa asuransi dan

sebagainya.

Adapun manfaat pengungkapan modal intelektual secara lebih rinci

dikemukakan oleh Bukh et al (2005:715): “Disclosure of information on

Intellectual Capital is expected to reduce information asymmetry and to enhance

stock market liquidity and increase demand for companies’securities”.

Penelitian Guthrie dan Petty (2000 dalam Istanti, 2009:18) mengenai

pelaporan modal intelektual menunjukkan hasil sebagai berikut:

1. Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif.

2. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut.

3. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.

4. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan masa depan.

Page 28: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

37

Mouritsen et al (2001 dalam Ulum, 2009:149) turut membenarkan hasil

penelitian tersebut. Menurutnya, pengungkapan atas modal intelektual dapat

diungkapkan dengan mengkombinasikan angka, visualisasi dan naratif sehingga

berguna dalam penciptaan nilai perusahaan. Penciptaan nilai perusahaan dapat

terjadi manakala informasi yang disampaikan dalam laporan tahunan

menggambarkan aktivitas perusahaan yang kredibel, terpadu dan “true and fair”.

Bertentangan dengan hasil penelitian Guthrie dan Petty (2000), Boedi

(2008) menemukan fakta bahwa saat ini sangat sedikit jumlah perusahaan yang

mengungkapkan modal intelektual secara terpisah. Hal ini dikarenakan jika modal

intelektual dilaporkan secara terpisah akan menyebabkan laporan-laporan yang

kohesif, sehingga tidak perlu untuk menyediakan pengungkapan yang kredibel

mengenai kegiatan perusahaan.

2.1.9 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan

Modal Intelektual

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal

intelektual telah banyak diuji pada penelitian-penelitian sebelumnya. Menurut

Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75), ukuran perusahaan

merupakan variabel penting yang menjelaskan luas pengungkapan dalam laporan

tahunan.

Adapun pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap pengungkapan modal

intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut pandang teori. Teori yang pertama

yaitu teori agensi. Bernardi dkk (2009:5) menyebutkan bahwa semakin besar

Page 29: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

38

ukuran suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukannya

Kondisi ini akan sangat memungkinkan terjadinya konflik kepentingan antara

manajer dan pemegang saham.

Manajer dalam hal ini adalah pihak yang mengelola perusahaan secara

langsung setiap harinya, sehingga manajer tentu akan mengetahui kondisi

perusahaan secara detail. Berbeda dengan pemilik saham yang tidak secara

langsung terjun ke dalam aktivitas perusahaan. Untuk mengetahui kondisi

perusahaan mereka sangat mengandalkan laporan yang disampaikan oleh manajer.

Dikarenakan memiliki kepentingan lain, terkadang manajer tidak mengungkapkan

informasi secara lengkap yang mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara

manajer dengan pemilik saham.

Menurut Bukh et al (2005:715), salah satu manfaat pengungkapan modal

intelektual adalah mengurangi asimetri informasi. Alasannya, dengan

mengungkapkan modal intelektual, pemegang saham dan pemangku kepentingan

lainnya mengetahui lebih banyak mengenai potensi, aktivitas dan kinerja

perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian semakin besar ukuran suatu

perusahaan maka semakin besar pula dorongan untuk mengungkapkan modal

intelektual.

Dari sudut pandang teori sinyal, Ahmed dan Courtis (1999 dalam

Purnomosidhi, 2006:10) mengemukakan bahwa perusahaan yang ukurannya besar

(superior firm) lebih banyak mengirimkan sinyal positif ke pasar dengan tujuan

untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik

dari perusahaan lainnya. Kaitannya dengan modal intelektual, yakni karena

Page 30: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

39

informasi modal intelektual merupakan sinyal positif yang dapat meningkatkan

kredibilitas perusahaan. Di samping itu, Istanti (2009:23) menyatakan, “dengan

mengungkapkan informasi yang lebih banyak, perusahaan mencoba

mengisyaratkan bahwa perusahaan telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen

perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)”.

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal

intelektual juga dapat ditinjau dari teori stakeholder. Suhardjanto dan Wardhani

(2010:75) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan semakin besar pula

perhatian atau sorotan stakeholder, oleh karena itu perusahaan akan semakin

banyak melaporkan informasi, salah satunya mengenai modal intelektual.

Raffournier (1995 dalam Purnomosidhi, 2006:8-9) mengemukakan alasan

mengapa perusahaan-perusahaan besar melakukan pengungkapan informasi lebih

banyak daripada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Pertama, pengungkapan

informasi secara rinci bagi perusahaan besar secara relatif lebih murah (less

costly) karena dianggap sudah menyediakan informasi tersebut untuk kepentingan

intern. Kedua, karena laporan tahunan merupakan sumber informasi utama bagi

pesaing, perusahaan-perusahaan yang lebih kecil enggan membuat pengungkapan

yang lebih rinci tentang aktivitas mereka karena khawatir hanya akan

menimbulkan competitive disadvantage. Ketiga, perusahaan-perusahan besar

lebih sensitif terhadap biaya politik (political costs) sehingga akan

mengungkapkan lebih banyak informasi untuk menghilangkan kecaman publik

atau intervensi pemerintah.

Page 31: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

40

2.1.10 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Pengungkapan Modal

Intelektual

Meek et al (1988 dalam Purnomosidhi, 2006:10) mengungkapkan, salah

satu mekanisme untuk membedakan perusahaan tingkat profitabilitasnya tinggi

dengan perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah adalah dengan melihat

tingkat pengungkapan sukarelanya. Anggapan ini dilandaskan pada teori sinyal

yang menyatakan bahwa superior and profitable firm cenderung mengungkapkan

lebih banyak informasi kepada investor (Ahmed dan Courtis, 1999 dalam

Purnomosidhi, 2006:10).

Singvi dan Desai (1971 dalam Benardi dkk, 2009:7) mengutarakan bahwa

rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan mendorong para manajer

untuk memberikan informasi yang lebih rinci, sebab manajer ingin menyakinkan

investor terhadap profitabilitas perusahaan.

Haniffa dan Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75) juga

menunjukkan hal yang sama. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena

semakin tinggi profitabilitas yang berarti semakin besar dukungan finansial

perusahaan, maka akan semakin banyak pengungkapan informasi termasuk

informasi mengenai modal intelektual. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif tehadap tingkat pengungkapan

modal intelektual.

Page 32: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

41

2.1.11 Pengaruh Leverage terhadap Tingkat Pengungkapan Modal

Intelektual

Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage

perusahaan dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan. Menurut Jensen

dan Meckling (1976 dalam Purnomosidhi, 2006:10-11) bahwa terdapat suatu

potensi untuk menstransfer kekayaan dari debtholder kepada pemegang saham

dan manajer pada perusahaan yang mempunyai tingkat ketergantungan utang

sangat tinggi, sehingga menimbulkan biaya keagenan yang tinggi.

Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur

modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan perusahaan yang proporsi hutangnya kecil. Untuk mengurangi cost agency

dalam bentuk biaya monitoring tersebut, manajemen akan memberikan

pengungkapan yang lebih luas (komprehensif) guna meyakinkan kreditur (Aljifri

dan Hussainey, 2006 dalam Benardi, 2009:6).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Sutanto dan Supatmi (2012:8)

mengemukakan bahwa pengungkapan informasi yang luas akan mempermudah

kreditur untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara detail. Manfaatnya

dirasakan ketika perusahaan mengajukan pinjaman dana tambahan, kreditur yang

sudah mendapatkan informasi yang lengkap mengenai perusahaan akan

meminjamkan dana dengan biaya murah.

Namun demikian, beberapa penelitian menemukan hasil yang

bertentangan. Di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Belkoui dan Karpik

(1989) dan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Retno dan Priantinah (2012)

Page 33: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

42

yang justru menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap luas

pengungkapan. Argumentasinya adalah karena keputusan untuk mengungkapkan

informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang

menurunkan pendapatan (Belkaoui dan Karpik, 1989 dalam Sembiring 2005:382).

Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan

mengurangi pengungkapan perusahaan termasuk pengungkapan modal intelektual

dengan maksud untuk mengurangi sorotan dari bondholder.

2.1.12 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.5 Ringkasan Penelitian Terdahulu

Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1989 Belkaoui dan

Karpik Determinant of the Corporate Desicion to Disclose Social Information

Leverage berpengaruh terhadap PMI

1992 Cooke The Impact of Size, Stock Market Listing and Industry Type on Disclosure in the Annual Reports of Japanese Listed Corporations

Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap PMI

1995 Meek et al Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosures by US, UK, and Continental European Multinational Corporations

Ukuran, status listing dan Country berpengaruh. Sementara Profitabilitas tidak berpengaruh terhadap PMI.

2001 Marwata Hubungan Antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia.

Hanya ukuran dan penerbitan sekuritas yang berpengaruh signifikan terhadap PMI.

2004 Simanjuntak dan Widiastuti

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

Semua variabel berpengaruh terhadap PMI.

Page 34: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

43

Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Bursa Efek Jakarta.

2005 Bukh et al Disclosure of information on Intellectual Capital in Danish IPO prospectuses

Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap PMI

2006 Guthrie et al The voluntary reporting of Intellectual Capital: Comparing evidence from Hong Kong and Australia

Tingkat pengungkapan modal intelektual berhubungan positif dengan ukuran perusahaan.

2006 Purnomosidhi Praktik Pengungkapan Modal Intelektual pada Perusahaan Publik di BEJ.

Ukuran perusahaan, leverage, dan kinerja modal intelektual berpengaruh signifikan terhadap PMI.

2007 White et al Drivers of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology Companies

Komisaris independen, firm age, leverage, dan firm size berpengaruh terhadap PMI.

2008 Boedi Pengungkapan Intellectual Capital dan Kapitalisasi pasar

Jenis industri berpengaruh terhadap PMI.

2009 Ariestyowati et al

Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Praktik Pengungkapan Intellectual Capital dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia

Size, leverage, age, dan tipe industri berpengaruh terhadap PMI.

2010 Suhardjanto dan Wardhani

Praktik Intellectual Capital Disclosure Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap PMI.

2012 Sutanto dan Supatmi

Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Informasi

Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan.

Page 35: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

44

Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Intellectual Capital di dalam laporan Tahunan (studi pada industri manufaktur yang terdaftar di Bursa efek indonesia tahun 2009)

2012 Nurul Fatimah Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan Modal Intelektual (Studi pada Perusahaan Go Public LQ 45 th 2012)

Ukuran perusahaan berpengaruh positif. Profitabiltas perusahaan tidak memiliki pengaruh significan Leverage bukan prediktor yang baik dalam pengunkapan modal intelektual Umur listing berpengaruh positif terhadap pengunkapan modal intelektual. Struktur kepemilikan memiliki pengaruh positif.

Sumber: data diolah.

Penelitian ini pada dasarnya merupakan replika dari penelitian oleh

Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013) yang meneliti pengaruh

karakteristik perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada

laporan tahunan perusahaan dalam satu tahun. Namun dalam penelitian ini

dilakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga membedakannya dengan penelitian

oleh Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013). Perbedaan-perbedaan

tersebut antara lain:

Page 36: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

45

a. Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan pada populasi seluruh

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007. Fatimah

(2013) menggunakan data perusahaan go public yang tergabung dalam indeks

LQ45 pada tahun 2012 dengan tujuan untuk merestriksi pengamatan pada

kelompok perusahaan dengan skala besar dan kredibilitas yang tinggi saja.

Sedangkan dalam penelitian menggunakan data dari perusahaan go public yang

tergabung dalam LQ45 tahun buku 2013 dan 2014.

b. Pada penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013)

memasukan variabel struktur kepemilikan dan komisaris independen untuk

dijadikan variabel penelitian, namun dalam penelitian ini tidak dimasukan

kedua variabel tersebut.

c. Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengadopsi kerangka pengungkapan yang

dirumuskan oleh Sveiby (1997) yang terdiri atas 25 indikator pengungkapan.

Sedangkan pada penelitian ini digunakan kerangka pengungkapan yang lebih

baru dan eksplisit yang dirumuskan oleh Bukh et al (2005). Kerangka

pengungkapan ini terdiri atas 78 indikator pengungkapan sama dengan l

Fatimah (2013).

2.2 Kerangka Pemikiran

Pengungkapan Intellectual Capital di setiap perusahaan dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya. Perusahaan-perusahaan akan sangat

mempertimbangkan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk pengungkapan ini.

Sesuai teori Cost and Benefit, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada

Page 37: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

46

biaya yang dikeluarkan maka perusahaan mau mengungkapkan informasi ini,

namun jika manfaat lebih kecil maka tidak dilakukan. Faktor biaya, seperti yang

dikemukakan dalam penelitian oleh Sutanto (2012:3) masih menjadi

pertimbangan umum, namun di samping itu ada faktor lain yang turut

mempengaruhi tingkat pengungkapan Intellectual Capital sebuah perusahaan,

yaitu karakteristik dari perusahaan itu sendiri.

Karakteristik perusahaan adalah ciri khas finansial perusahaan yang

membedakannya dengan perusahaan lain, seperti ukuran perusahaan,

profitabilitas, dann tingkat leverage. Ketiga karakteristik ini menurut penulis

memiliki pengaruh terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital

perusahaan, karena didukung oleh banyak teori dan penelitian-penelitian

sebelumnya. Besarnya pengaruh ketiga karakteristik ini terhadap tingkat

pengungkapan Intellectual Capital tidak sama, ada di antaranya yang memiliki

pengaruh positif atau negatif baik secara signifikan atau tidak dan signifikan atau

tidak signifikan.

Ukuran perusahaan, yang dapat direpresentasikan oleh total aset

perusahaan merupakan faktor yang paling banyak digunakan oleh para peneliti

sebelumnya, seperti Guthrie et al (2006), Suhardjanto dan Wardhani (2010),

Sutanto (2012), dan Stephani dan Yuyetta (2012). Dari semua penelitian tersebut,

hasilnya menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan dari ukuran

perusahaan terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital. Semakin besar

suatu perusahaan maka semakin besar pula sorotan stakeholder, sehingga

perusahaan akan lebih banyak melaporkan Intellectual Capital-nya.

Page 38: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

47

Karakteristik yang kedua yaitu profitabilitas perusahaan. Profitabilitas

adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh profit. Karakteristik ini sangat

diperhatikan oleh investor, karena semakin bagus profitabilitas sebuah perusahaan

maka semakin besar tingkat pengembalian investasi yang akan diperolehnya.

Dengan demikian perusahaan yang profitabilitasnya baik akan lebih disoroti

investor, termasuk informasi mengenai Intellectual Capital. Hal ini sejalan

dengan pendapat dari Haniffa dan Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani,

2010:76), bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas, artinya semakin besar

dukungan finansial yang dimiliki perusahaan, sehingga semakin banyak pula

informasi yang diungkapkan ke publik termasuk Intellectual Capitalnya.

Ketiga, tingkat utang terhadap aset (leverage). Indikator ini juga memilki

pengaruh terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital. Leverage artinya

perbandingan antara dana yang diperoleh dari kreditor (utang) dengan dana dari

pemilik perusahaan. Menurut Purnomosidhi (2006:6), salah satu cara mengurangi

biaya akibat konflik keagenan dalam perusahaan adalah dengan cara

meningkatkan leverage-nya. Implikasinya perusahaan dituntut untuk

mengungkapkan informasi lebih banyak termasuk Intellectual Capitalnya, untuk

menghilangkan keraguan pemegang obligasi (kreditor) tentang jaminan

keamanan dana mereka.

Pengaruh dari ketiga karakteristik perusahaan tersebut dapat diikhtisarkan

ke dalam gambar 2.1.

Page 39: 10 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

48

Gambar 2.1. Model Hubungan Antar Variabel

Keterangan:

X1 = Ukuran Perusahaan (Size)

X2 = Profitabilitas

X3 = Leverage

Y = Tingkat Pengungkapan Intellectual Capital

2.3 HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan paparan mengenai karakteristik perusahaan pada kerangka

pemikiran di atas maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :

Hipotesis 1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat

pengungkapan Intellectual Capital.

Hipotesis 2 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat

pengungkapan Intellectual Capital.

Hipotesis 3 : Leverage berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan

Intellectual Capital.

X2

X3

Y

X1