Upload
trinhdiep
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Konsep Teori Keagenan
Jensen and Meckling dalam jurnalnya yang berjudul “ Theory of the Firm:
Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure.” mengungkapkan
pengertian dari Agency Theory adalah sebagai berikut:
Agency Theory primarily deals with the principal-agent relationship (also referred to as the agency relationship) existing in the separation of ownership and management, or in the separation of risk bearing, decision making and management functions. (Jensen and Meckling,1976; Fama and Jensen, 1983; Morris, 1987).
Teori tersebut mengungkapkan bahwasannya teori keagenan erat kaitannya
dengan hubungan antara principal – agent yang membedakan antara pemilik dan
manajemen, yang memisahkan antara perilaku, pembuatan keputusan dan fungsi
daripada manajemen. Lebih lanjut dalam teori nya Jensen and Meckling
mengungkapkan bahwasannya :
The principal-agent relationship is defined by Jensen and Meckling (1976) as “…a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent” (p.308). The most commonly regarded principal-agent relationship is between the shareholders (as the principal) and the management (as the agent) of an organization.
Hubungan antara principal – agent yang dikemukakan oleh Jensen and
Meckling adalah sebuah perjanjian yang melibatkan satu pihak yang disebut
principal dengan pihak lain yang disebut agent dimana agent tersebut diberikan
11
wewenang oleh principal untuk membuat keputusan demi memenuhi kepentingan
principal. Secara umum hubungan antara principal dengan agent di dalam sebuah
organisasi dapat digambarkan sebagai hubungan antara Shareholder / owner
sebagai pincipal dengan manajemen sebagai agent.
Asimetri Informasi Asimetri informasi terjadi jika salah satu diantara dua belah pihak dalam
hubungan keagenan memiliki keuntungan informasi yang tidak dimiliki oleh
pihak lain. Dalam hal ini, Yi An (2012) menyebutkan pihak agen lah yang
memiliki keunggulan informasi tersebut dikarenakan agen dalam hal ini
manajemen perusahaan setiap waktunya terlibat langsung dalam kegiatan
perusahaan. Subramaniam dalam Yi An (2012) menyebutkan asimetri informasi
dapat mempertajam masalah yang terjadi diantara hubungan keagenan. Secara
spesifik Subramaniam dalam Yi An (2012) menyebutkan dua masalah yang
terjadi dalam hubungan keagenan diantarnya
1. Adverse Selection
Masalah ini timbul karena principal memiliki keterbatasan informasi
terhadap perilaku agent, yang memungkinkan sang agent membuat sebuah
kebijakan untuk menguntungkan kepentingannya sendiri. Sebagai contoh
konkritnya adalah ketika sang agent (manajemen dalam sebuah perusahaan)
membuat sebuah kebijakan akuntansi yang memiliki dampak dalam laporan
keuangan memiliki net profit yang besar sehingga membuat bonus yang akan
mereka dapatkan menjadi besar, namun sahreholders (principal) tidak memiliki
12
cukup informasi atau pengetahuan untuk mengetahui akan kebijakan akuntansi
tersebut.
2. Moral Hazard
Masalah ini terjadi ketika agent melakukan kebijakan untuk kepentingan
pribadi terlalu banyak namun principal tidak memiliki cukup informasi akan hal
tersebut. Contoh konkritnya adalah ketika manajemen sebuah perusahaan
melakukan banyak sekali perjalanan dinas.
Agency Theory dan Pengungkapan Sukarela Intellectual Capital
Yi An (2012) menerangkan bahwasannya hubungan antara agency dan
pengungkapan sukarela modal intelektual adalah kandungan dari pengungkapan
modal intelektual dapat meminimalisir asimetri yang terjadi antara principal
dengan agent, dan pada akhirnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
masalah teori keagenan
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)
Menurut Spence (1973 dalam Stephanie dan Yuyetta, 2012:2) teori sinyal
mengasumsikan bahwa perusahaan akan mengirimkan sinyal ke pasar melalui
pengungkapan informasi keuangan. Hal yang melatarbelakanginya adanya
asimetri informasi (Nuswandari, 2009:5). Ketika terjadi asimetri informasi, pasar
akan menilai setiap perusahaan memiliki kinerja yang sama. Hal ini akan
merugikan perusahaan dengan kinerja yang lebih baik, karena kinerjanya
dipersamakan dengan perusahaan yang kinerjanya lebih rendah. Sebaliknya bagi
13
perusahaan dengan kinerja kurang baik, keadaan tersebut justru menguntungkan
karena kinerjanya dinilai lebih baik dari yang sebenarnya.
Menurut Ahmed dan Courtis (1999 dalam Purnomosidhi, 2006:10),
perusahaan besar dan kinerja keuangannya yang baik (superior and profitable
firm), cenderung mengirimkan sinyal positif (good news) lebih banyak untuk
mengubah penilaian investor. Nuswandari (2009:56) mengartikan sinyal sebagai
informasi mengenai hal-hal yang telah dilakukan manajer untuk mewujudkan
keinginan pemilik. Bentuk sinyal positif yang dikirim perusahaan dapat berupa
promosi atau informasi lain yang menurut pertimbangannya dapat meningkatkan
kredibilitas dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak
diwajibkan.
Pengungkapan informasi modal intelektual adalah salah satu jenis
informasi tersebut. Dengan mengungkapkan informasi ini asimetri informasi
dapat dikurangi. Selain itu, perusahaan secara tidak langsung menginformasikan
bahwa saat ini tengah berinvestasi dalam bentuk modal intelektual yang dapat
lebih menguntungkan di masa depan (Marisanti dan Kiswara, 2012:2).
2.1.3 Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)
Teori pemangku kepentingan menyatakan bahwa perusahaan berfungsi
untuk melayani tujuan publik yang lebih luas, yaitu menciptakan nilai bagi para
pemangku kepentingan. Adapun istilah stakeholder menurut Freeman dan Reed,
(1983 dalam Ulum, 2009:4) didefinisikan sebagai “any identifiable group or
14
individual who can affect the achievement of an organisation’s objective, or is
affected by the achievement of an organisation’s objective”.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pemangku
kepentingan mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas
perusahaan. Oleh sebab itu, mereka perlu mengetahui aktivitas apa saja yang
dilakukan perusahaan, meskipun di lain pihak mereka dapat memilih untuk tidak
menggunakan informasi tersebut (Purnomosidhi, 2006:5). Di samping itu, teori ini
juga mengatakan bahwa para pemangku kepentingan memiliki fungsi
pengendalian atas manajer dalam pelaporan seluruh potensi yang dimiliki oleh
perusahaan (Stephanie dan Yuyetta, 2012:2). Lebih jauh lagi, Purnomosidhi
(2006:5) mengemukakan bahwa akuntabilitas organisasi dalam bentuk pelaporan
tahunan tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja, akan tetapi
perlu juga melakukan pengungkapan sukarela tentang modal intelektual.
Dari perspektif perusahaan, pengungkapan informasi terutama mengenai
modal intelektual merupakan elemen utama yang dapat digunakan untuk
memanipulasi penilaian dari pemangku kepentingan dalam rangka mencari
dukungan dan persetujuan mereka atau untuk mengalihkan perlawanan dan
ketidaksetujuan mereka (Boedi, 2008:14-16).
2.1.4 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)
Teori ini berpijak pada kenyataan bahwa perusahaan terikat dalam kontrak
sosial dengan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi (Guthrie et al,
2006:256). Kontrak sosial yang dimaksud adalah sejumlah besar harapan
15
masyarakat tentang bagaimana seharusnya perusahaan melaksanakan operasinya
(Ulum, 2009:7).
Teori legitimasi juga menyatakan bahwa organisasi harus secara
berkelanjutan mencari cara untuk menunjukkan keberlangsungan usahanya berada
dalam norma yang berlaku di masyarakat (Guthrie dan Parker,1989 dalam Ulum,
2009:7). Norma tersebut tidak bersifat tetap akan tetapi dapat berubah kapan saja,
oleh karena itu perusahaan dituntut untuk selalu responsif terhadap perubahan
yang terjadi di lingkungan sekitar (Deegan, 2004 dalam Boedi, 2008:12).
Lindblom (1994 dalam Guthrie et al., 2006:256-257) menyarankan jika
legitimasi sebuah organisasi tengah dipertanyakan, organisasi tersebut dapat
menjalankan sejumlah strategi yang agresif. Pertama, organisasi dapat mencari
jalan untuk menginformasikan kepada stakeholdernya perubahan-perubahan yang
terjadi pada kinerja dan aktifitas organisasi. Kedua, organisasi dapat mencari cara
untuk mengubah persepsi stakeholder, tanpa mengubah perilaku organisasi
tersebut yang sebenarnya. Ketiga, organisasi dapat mencari cara untuk
memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara mengarahkan kembali (memutar
balik) perhatian atas isu tertentu kepada isu yang berkaitan lainnya.
Masih menurut Lindblom (1994 dalam Guthrie et al, 2006:257),
perusahaan dapat menggunakan sarana pengungkapan (disclosure) untuk
mengimplementasikan strategi-strategi tersebut. Melalui pengungkapan,
perusahaan dapat memperlihatkan perhatian manajemen terhadap nilai-nilai
masyarakat atau untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari aktifitas
perusahaan yang berdampak negatif.
16
Teori legitimasi sangat terkait erat dengan pengungkapan modal
intelektual. Berlainan dengan teori stakeholder yang menempatkan para
pemangku kepentingan sebagai penentu dalam kebijakan pengungkapan
informasi, dalam teori ini faktor utama yang mempengaruhi kebijakan
pengungkapan perusahaan adalah persepsi publik. Hal ini mungkin terjadi pada
saat sebuah perusahaan ingin melegitimasi statusnya di masyarakat, sebagaimana
dikemukakan oleh Guthrie et al (2006:257),
Companies are more likely to report on their Intellectual Capital if they have a specific need to do this. This may happen when companies find themselves unable to legitimise their status on the basis of the hard assets that are traditionally recognised as the symbols of corporate success.
Berdasarkan pernyataan tersebut, perusahaan akan memanfaatkan
pengungkapan modal intelektual untuk melegitimasi statusnya di masyarakat,
manakala aset fisik yang merupakan simbol kesusksesan tradisional tidak lagi
cukup untuk melegitimasi statusnya.
2.1.5 Teori Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Theory)
Menurut Oliveira et al. (2008:5), mekanisme pengungkapan yang bersifat
wajib maupun sukarela termasuk modal intelektual dalam laporan tahunan
memiliki beberapa manfaat. Di antaranya dapat mengurangi asimetri informasi,
memperbaiki penilaian yang salah (mis-evaluation) terhadap perusahaan,
mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan permintaan investor, dan
mengurangi selisih harga beli dan harga jual saham (bid-ask spread).
Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dari pengungkapan, kebijakan
pengungkapan perusahaan juga dipengaruhi oleh faktor biaya. Kieso (2004:48)
17
menyatakan, “providing useful financial information is limited by a pervasive
constraint on financial reporting—cost should not exceed the benefits of a
reporting practice”.
Pernyataan Kieso tersebut menjadi pijakan teori biaya dan manfaat dalam
memandang kebijakan pengungkapan. Terlebih, menurut Foster (1995 dalam
Sutanto dan Supatmi, 2012:3), biaya untuk mengungkapkan informasi cenderung
mahal. Oleh karena itu manajer hanya akan termotivasi untuk melakukan
pengungkapan sukarela ketika manfaat yang dihasilkan melebihi biaya langsung
maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu sendiri
(Oliveira, 2008:5).
2.1.6 Karakteristik Perusahaan
2.1.6.1 Definisi Karakteristik Perusahaan
Ahmad dan Sulaiman (2004, dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75)
menyebutkan bahwa karakteristik perusahaan yang bervariasi menyebabkan
relevansi dan urgensi pengungkapan yang bervariasi pula pada setiap perusahaan.
Definisi dari karakteristik perusahaan menurut Suhardjanto dan Wardhani,
2010) adalah merupakan ciri – ciri khusus yang melekat pada perusahaan,
menandai dan membedakannya dengan perusahaan lain. Karakteristik perusahaan
dapat dilihat dari beberapa aspek seperti jenis usaha atau industri, struktur
kepemilikan, tingkat likuiditas, tingkat profitabilitas , dan ukuran perusahaan
(size) (Sidharta dan Christanti, 2005 dalam Laraswita dan Indrayani, 2010).
18
Namun definisi karakteristik perusahaan yang paling sistematis
diungkapkan oleh Wallace et al (1994 dalam Tristanti dan Zulaikha, 2012:10)
yang mengelompokkan variabel karakteristik perusahaan kedalam tiga kategori,
antara lain:
a. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structure-related variable), yakni
variabel yang sifatnya cenderung stabil, contohnya ukuran perusahaan dan
tipe kepemilikan.
b. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable),
yakni variabel yang sifatnya berubah dari waktu ke waktu. Contohnya
profitabilitas, leverage, dan likuiditas.
c. Variabel yang berkaitan dengan pasar (market-related variable), yakni
variabel yang dapat berubah ataupun stabil dari waktu ke waktu. Sifatnya
dapat kualitatif maupun kuantitatif. Variabel pasar yang kualitatif sifatnya
dikotomis, yaitu dibagi menjadi dua kelompok (ya atau tidak), contohnya
jenis industri dan status perusahaan. Sedangkan variabel pasar kuantitatif,
yaitu variabel yang dapat diukur dengan angka, contohnya struktur
kepemilikan modal dan umur perusahaan.
2.1.6.2 Ukuran Perusahaan
Sesuai dengan pernyataan Sembiring (2012:3) bahwa “aset merupakan
tolak ukur besaran atau skala suatu perusahaan”. Fitriani (2001 dalam Tristanti
dan Zulaikha, 2012:12) juga membuktikan bahwa total aset lebih menggambarkan
ukuran perusahaan daripada kapitalisasi pasar. Hal ini dikarenakan besarnya total
19
aset masing-masing perusahaan pasti berbeda dan bahkan mempunyai selisih yang
besar, hingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim.
Skala perusahaan yang didasarkan pada total aset juga diatur oleh Undang-
Undang No 20 Tahun 2008 dengan pengklasifikasian pada tabel 2.1 sebagai
berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Skala Usaha
Skala Usaha Kekayaan Hasil Penjualan
Mikro < Rp 50 juta < Rp 300 juta Kecil Rp 50 juta – Rp 500 juta Rp 300 juta – 2,5 miliar Menengah Rp 500 juta – Rp 10 miliar Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar Besar > Rp 10 miliar > Rp 50 miliar
Sumber: Diolah dari UU No. 20 Tahun 2008
Secara matematis ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural total
aset (Goyal, 2000 dalam Sembiring, 2012:3). Penggunaan bentuk logaritma
natural ini ditujukan untuk penyederhanaan bentuk dari nilai total aset perusahaan
yang nilainya berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah.
Rumus:
Size = Ln Total Aset
Benardi dkk. (2009:10)
2.1.6.3 Profitabilitas
Setiap organisasi profit memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
mendapatkan keuntungan, bahkan kinerja sebuah organisasi profit tersebut dinilai
melalui seberapa besar kemampuan untuk menghasilkan keuntungan atau profit,
hal ini sesuai dengan pernyataan dari Walker (2001 dalam Stephanie dan Yuyetta,
20
2012:3) yang menyatakan bahwa financial performance hanya berfokus pada satu
dimensi yaitu profitabilitas.
Definisi tentang profitabilitas secara komprehensif dikemukakan oleh
Harahap (1998:304) yang mengartikan profitabilitas sebagai kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua kemampuan dan sumber
yang ada, seperti penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan
sebagainya.
Petronila dan Mukhlasin (2003 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:7)
menyatakan bahwa profitabilitas merupakan indikator dari kinerja manajemen
dalam mengelola perusahaan. Penelitian oleh Singhvi dan Desai (1971 dalam
Tristanti, 2012:12) membenarkan anggapan tersebut. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa profitabilitas yang tinggi menandakan kinerja manajemen
yang baik. Artinya, ketika profitabilitas perusahaan tinggi atau meningkat, maka
dapat dikatakan manajemen telah berhasil atau memiliki kinerja yang baik.
Sebaliknya, apabila profitabilitas perusahaan kecil atau menurun maka perusahaan
dikatakan kurang berhasil. Implikasi dari kinerja perusahaan yang tinggi adalah
banyaknya investor yang ingin menanamkan modal nya, karena investor memiliki
peluang yang cukup besar untuk mendapatkan return yang tinggi atas
investasinya.
Profitabilitas dapat diukur dengan sejumlah cara, salah satunya dengan
menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Rasio ini menunjukkan laba bersih
yang diperoleh perusahaan ketika diukur dari nilai asetnya (Tristanti dan
Zulaikha, 2012:12). Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling sering
21
disoroti karena mampu menggambarkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan.
Nilai ROA yang semakin besar menunjukkan kinerja perusahaan yang
semakin baik, dikarenakan tingkat pengembalian investasi (return) semakin besar.
Menurut Horne dan Wachowicz (2008:175), ROA dihitung dengan
membandingkan nilai laba bersih setelah pajak (net profit after taxes) terhadap
total aset perusahaan.
Rumus:
Horne dan Wachowicz (2008:175)
ROA juga dapat digunakan sebagai alat ukur tingkat kesehatan kinerja
keuangan sebuah perusahaan. Berikut pada tabel 2.2 ditampilkan kriteria tingkat
kesehatan perusahaan berdasarkan nilai ROA-nya.
Tabel 2.2 Predikat Kesehatan Return On Assets (ROA)
Rasio Predikat >1,22% Sehat
0,99% - 1,21% Cukup Sehat 0,77% - 0,98% Kurang Sehat
< 0,76% Tidak Sehat Sumber: Taswan (2010 dalam Milan et al, 2013:8) dengan penyesuaian.
2.1.6.4 Leverage
Leverage adalah perbandingan antara dana yang diperoleh dari pihak
ekstern perusahaan (kreditor) berupa hutang, terhadap dana yang disediakan oleh
pemilik perusahan (Makmun, 2002 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:8). Rasio ini
22
menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
panjangnya (Tristanti dan Zulaikha, 2012:11).
Mujiyono dan Nany (2010:130) mengemukakan bahwa perusahaan yang
memiliki tingkat leverage yang semakin tinggi merupakan pertanda semakin besar
pula potensi transfer kemakmuran dari kreditor (debtholders) kepada pemegang
saham dan manajer yang kemudian menimbulkan konflik keagenan.
Leverage diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (Debt to Equity
Ratio) yang juga disebut rasio leverage. Rasio ini membandingkan jumlah modal
pemilik yang dapat dijaminkan untuk pembayaran utang-utang kepada pihak luar
(Harahap, 1998:303). Semakin kecil tingkat debt to equity ratio semakin baik,
yang artinya semakin kecil proporsi utang yang harus dijaminkan dengan modal
sendiri. Menurut Arista dan Astohar (2012:6), DER yang aman biasanya kurang
dari 50%. Adapun debt to equity ratio tersebut dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Rumus:
Harahap (1998:303)
2.1.7 Intellectual Capital
Dikutip dari sebuah thesis karya Yi An (2012) mengungkapkan
bahwasannya ”Intellectual Capital has been increasingly recognized as an
important driver for corporate growth, productivity gains, profitability and value
creation in the current knowledge- based economy (Li et al,2008; Singh and
23
Kasal, 2011; Tayles et al.,2007).” Dalam pernyataan tersebut, diungkapkan
bahwasannya Intellectual Capital berperan penting sebagai important driver
untuk pertumbuhan perusahaan, peningkatan produktivitas dan menambah nilai
kreasi dalam pengetahuan berbasis ekonomi.
Yi An (2012) dalam tesisnya mengungkapkan adanya sebuah teori baru
yang dikembangkan oleh Paul Romer (1986, 1994), seorang ekonom dari Stanford
University, sebagai berikut “That the economic growth is based on knowledge and
knowledge is superior factor that directs the use physical capital, technological
innovation and labour competence.”
Berdasarkan teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya
pertumbuhan ekonomi akan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan dan
pengetahuan adalah faktor yang superior karena dapat mengolah dan melahirkan
sumber daya fisik, innovasi tekhnologi dan kompetensi tenaga kerja.
2.1.7.1 Definisi Intellectual Capital
Istilah modal intelektual (Intellectual Capital) pertama kali dikemukakan
oleh seorang ekonom bernama John Kenneth Galbraith pada tahun 1969, yang
menulis surat kepada temannya, Michael Kalecki. Galbraith menulis:
“I wonder if you realize how much those of us the world around have owed
to the Intellectual Capital you have provided over the last decades” (Hudson,
1993 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73).
Menurut Chang dan Hsieh (2011 dalam Khalique et al, 2011:343), tidak
ada definisi yang berlaku secara umum mengenai modal intelektual. Namun
24
banyak peneliti yang mencoba mendefinisikan konsep yang sama tentang modal
intelektual dengan cara yang beragam, yaitu:
1. Klein dan Prusak yang kemudian dipopulerkan oleh Stewart (1994)
menyatakan: “…we can define Intellectual Capital operationally as
intellectual material that has been formalized, captured, and leveraged to
produce a higher valued asset” (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:37).
2. Brooking (1996) menyatakan bahwa: “IC is the term given to the
combined intangible assets of market, intellectual property, human-
centred and infrastructure – which enable the company to function‟
(dalam Ulum, 2009:20).
3. Edvinsson (1997) menyatakan bahwa: “Intellectual Capital is the sum of
human capital and structural capital” (Khalique, 2011:343).
4. Bontis (1998) mengakui bahwa “IC is elusive, but once it is discovered
and exploited, it may provide an organization with a new resources-base
from which to compete and win‟ (Ulum, 2009:20).
5. Sullivan (1998) menyatakan: “Intellectual Capital includes intellectual
assets that can be converted into revenues” (Keenan dan Aggestam,
2001:259).
6. Bukh et al (2005:715) menyatakan bahwa istilah modal intelektual
seringkali didefinisikan sebagai: “...knowledge resources, in the form of
employees, customers, processes or technology, which the company can
mobilize in its value creation processes”.
25
7. Low and Kalafut (2002) mendefinisikan modal intelektual sebagai
“Intangible assets which include technology, customer information, brand
name, reputation and corporate culture that are invaluable to a firm’s
competitive power” (Taliyang dan Jusop, 2011: 110).
Selain definisi-definisi tersebut, ada satu definisi yang paling banyak
digunakan yaitu dinyatakan oleh Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD, 1999) bahwa modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari
dua kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital;
dan (2) human capital (dalam Purnomosidhi, 2006:4).
Berdasarkan, pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa modal
intelektual merupakan sekumpulan aset tidak berwujud (intangible assets) yang
terdiri atas beberapa komponen yang jika digunakan secara optimal akan dapat
meningkatkan nilai perusahaan dan keunggulan bersaing.
2.1.7.2 Komponen – Komponen Intellectual Capital
Dalam perkembangan penelitian tentang intellectual capital, banyak
peneliti yang mencoba merumuskan komponen pengungkapan standar intellectual
capital. Para peneliti di awal perkembangan modal intelektual seperti Stewart
(1997), Sveiby (1997), Brooking (1996), Roos et al. (1997) and Bontis (1998)
sepakat bahwa modal intelektual terdiri atas tiga komponen utama, yaitu human
capital, customer capital, dan structural capital (Khalique et al, 2011:344).
Namun dalam perkembangannya, kini komponen modal intelektual lebih
dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti. Ismail (2005) misalnya,
26
mengembangkan konsep modal intelektual dan mengidentifikasi bahwa modal
spiritual (spiritual capital) adalah komponen penting dalam modal intelektual.
selain itu Ramezan (2011) juga menambahkan technological capital sebagai
bagian dari komponen modal intelektual. (Khalique et al, 2011:344).
Menurut Purnomosidhi (2006:4), walaupun terdapat versi yang beragam
tentang komponen modal intelektual, pada dasarnya hanya terdapat tiga skema
yang sering dikutip dalam berbagai penelitian, yaitu skema yang diusulkan Sveiby
(1997), Stewart (1997), dan Edvinsson dan Sullivan (1996). Ketiga skema
tersebut memiliki tiga elemen yang sama, yaitu modal intelektual yang terletak
dalam diri manusia (human capital), modal intelektual yang melekat dalam
perusahaan (structural capital), dan modal intelektual yang terkait dengan
hubungan dengan pihak eksternal (relational capital). Untuk lebih jelasnya, ketiga
skema tersebut dirinci pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Skema Komponen Modal Intelektual
Elemen Author
Modal intelektual yang melekat pada manusia
Modal intelektual yang melekat pada organisasi
Modal intelektual yang melekat pada hubungan
Edvinson Human capital Organizational capital Customer capital
Stewart Human capital Structure capital Customer capital
Sveiby Employee competence
Internal structure External structure
Li et al Human capital Organisational capital Relational capital
Sumber: Purnomosidhi (2006:4)
Berikut penjelasan mengenai masing-masing komponen modal intelektual:
1. Modal Manusia (Human Capital)
27
Menurut Edvinsson dan Malone (1997 dalam Khalique et al, 2011:344),
“Human capital is the heart of Intellectual Capital”. Sedangkan Sawarjuwono
dan Kadir (2003:38) menyebutnya sebagai lifeblood dalam modal intelektual. Dari
komponen inilah inovasi dan pengembangan berasal, meskipun pengukuran
terhadapnya cukup sulit dilakukan (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38). Hal
tersebut dikarenakan Human capital melekat pada diri masing-masing incdividu
sehingga tidak bisa dimiliki oleh perusahaan sepenuhnya (Kavida dan
Sivakoumar, 2008 dalam Sutanto dan Supatmi, 2012:5).
Human capital merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan
kompetensi dalam suatu perusahaan yang dapat meningkat seiring dengan
kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang dimiliki oleh
karyawannya. Menurut Sutanto dan Supatmi (2012:5), human capital adalah
gabungan kemampuan dari individu dalam sebuah perusahaan untuk mencari
solusi atas masalah bisnis yang dihadapi. Saleh et al (2007:6) memberikan
gambaran singkat mengenai karakteristik human capital sebagai berikut: “human
capital is the knowledge that employees take with them when they leave the
organization”. Lebih jelasnya, Brinker (2000) memberikan beberapa indikator
dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential,
experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual
potential and personality (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38).
2. Modal Struktural (Structural Capital)
Pengertian structural capital dikemukakan oleh Bontis (1998 dalam
Khalique et al, 2011:344) sebagai: “...all the nonhuman storehouses of knowledge
28
including databases, organizational charts, process manuals, strategies, routines
and policies”. Sedangkan Saleh et al (2007:6) menyebut modal struktural sebagai
pengetahuan yang bersifat independen, artinya akan tetap ada dalam organisasi
meskipun karyawan meninggalkan organisasi.
Elemen kedua ini menunjukkan kemampuan organisasi atau perusahaan
dalam menjalankan rutinitas perusahaan dan strukturnya sehingga mendukung
usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal. Sveiby
(1997 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75) membagi elemen ini menjadi
dua komponen penting yaitu Intellectual property dan infrastructure assets.
Intellectual property merupakan modal yang keberadaannya dilindungi
oleh hukum, seperti paten (patent), hak cipta (copyright), dan merk dagang
(trademark). Sedangkan Infrastructure asset, yakni modal struktural yang dapat
diciptakan sendiri di dalam maupun diperoleh dari luar perusahaan. Suhardjanto
dan Wardhani (2010:75) menyebut budaya perusahaan (corporate culture),
management process, sistem informasi, networking system, dan research project
termasuk ke dalam elemen ini.
Stewart (1997 dalam Khalique et al, 2011:344) menjelaskan bahwa
structural capital menyediakan lingkungan yang mendukung individu-individu
untuk meningkatkan pengetahuannya. Seorang individu dapat memiliki tingkat
intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur
yang buruk maka Intellectual Capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal
(Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38).
3. Modal Konsumen (Customer Capital)
29
Elemen ketiga ini merupakan komponen modal intelektual yang
memberikan nilai secara nyata (Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38). Bozzolan et al
mendefinisikannya sebagai “Valuable knowledge that interacts with the external
sources of the organization like customers, suppliers and creditors through
networks, strategic alliances and distribution channels” (Saleh et al, 2007:6).
Sedangkan menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003:39), definisi relational
capital yaitu:
Hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar.
Modal konsumen dapat muncul dari berbagai pihak di luar lingkungan
perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson
(1997 dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003:38) menyarankan pengukuran elemen
atas ini melalui beberapa hal berikut:
1. Customer Profile. Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan dari pesaing.
2. Custumer Duration. Seberapa sering pelanggan kita berbalik pada kita? Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan pelanggan.
3. Customer Role. Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam disain produk, produksi dan pelayanan.
4. Customer Support. Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan pelanggan.
5. Customer Success. Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan oleh pelanggan. Suhardjanto dan Wardhani (2010:75) mengatakan, relational capital
terdiri atas beberapa elemen seperti pelanggan (customer), jaringan distribusi
30
(distribution channel), kolaborasi bisnis (business collaboration), perjanjian
franchise, dan sebagainya.
Roos et al (1997 dalam Khalique et al, 2011:344) menyatakan bahwa
hubungan perusahaan dengan pelanggan sangatlah penting karena pelanggan yang
membeli produk atau jasa dari perusahaan. Dengan kata lain, pelanggan
merupakan sumber utama pendapatan perusahaan.
Menurut Purnomosidhi (2006:5), komponen-komponen modal intelektual
yang telah dijabarkan di atas merupakan indikasi nilai perusahaan di masa depan
(future value) dan kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu menurutnya,
diperlukan metode pelaporan dan pengelolaan terhadap dimensi-dimensi modal
intelektual yang lebih sistematis.
Bukh et al (2005) dan beberapa peneliti lain telah mencoba menyusun
daftar indikator pengungkapan modal intelektual ke dalam dimensi-dimensi yang
lebih sistematis. Dalam penelitiannya yang berjudul “Disclosure of information on
Intellectual Capital in Danish IPO prospectuses”, terdapat enam dimensi
pengungkapan, antara lain dimensi karyawan (employee), pelanggan (customer),
teknologi dan informasi (technology information), proses (processes), penelitian
dan pengembangan (research and development), dan pernyataan tentang strategi
(strategic statement). Enam dimensi tersebut kemudian dirinci lagi hingga
menjadi 78 indikator pengungkapan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2.4
berikut.
31
Tabel 2.4 Kerangka Konseptual Modal Intelektual
No Item Pengungkapan Kode
1 Employees (27 Items)
Employee breakdown by age E1
2 Employee breakdown by seniority E2
3 Employee breakdown by gender E3
4 Employee breakdown by Nationality E4
5 Employee breakdown by department E5
6 Employee breakdown by job function E6
7 Employee breakdown by level of education E7
8 Rate of employee turnover E8
9 Comments on changes in the number of employees E9
10 Comment on employee health and safety E10
11 Employee absenteeism rate E11
12 Discussion of employee interviews E12
13 Statements of policy on competency development E13
14 Description of competency development programs and activities
E14
15 Education and training expense E15
16 Education and training expenses by number of employees
E16
17 Employee expenses by number of employees E17
18 Recruitment policies of the firm E18
19 Separate indication firm has a HRM department, division or function
E19
20 Job rotation opportunities E20
21 Career opportunities E21
22 Remuneration and incentive systems E22
23 Pensions E23
24 Insurance policies E24
25 Statements of dependence on key personnel E25
26 Revenues per employee E26
27 Value added per employee E27
28 Customers (14 Items)
Number of customers C1
29 Sales breakdown by customer C2
30 Annual sales per segment or product C3
31 Average purchase size by customer C4
32
No Item Pengungkapan Kode
32 Dependence on key customers C5
33 Description of customer involvement in firm’s operations
C6
34 Description of customer relations C7
35 Education/training of customers C8
36 Ratio of customers to employees C9
37 Value added per customer or segment C10
38 Absolute market share (per cent) of the firm within its industry
C11
39 Relative market share (not expressed as percentage) of the firm
C12
40 Market share (per cent) breakdown by country, segment, product
C13
41 Repurchases C14
42 Technology Information (IT) (5 Items)
Description of investments in IT IT 1
43 Description of existing IT systems IT 2
44 Software assets held or developed by the firm IT 3
45 Description of IT facilities IT 4
46 IT expenses IT 5
47 Processes (8 Items)
Information and communication within the company P1
48 Efforts related to the working environment P2
49 Working from home P3
50 Internal sharing of knowledge and information P4
51 External sharing of knowledge and information P5
52 Measure of internal or external processing failures P6
53 Discussion of fringe benefits and company social programs
P7
54 Environmental approvals and statements/policies P8
55 Research and Development (9 Items)
Statements of policy, strategy and/or objectives of R&D activities
RD1
56 R&D expenses RD2
57 Ratio of R&D expenses to sales RD3
58 R&D invested into basic research RD4
59 R&D invested into product design and development RD5
60 Details of future prospects regarding R&D RD6
61 Details of existing company patents RD7
62 Number of patents and licenses, etc. RD8
63 Information on pending patents RD9
64 Strategic Statement
Description of new production technology SS1
65 Statements of corporate quality performance SS2
33
No Item Pengungkapan Kode
66 (15 Items) Information about strategic alliances of the firm SS3
67 Objectives and reason for strategic alliances SS4
68 Comments on the effects of the strategic alliances SS5
69 Description of the network of suppliers and distributors
SS6
70 Statements of image and brand SS7
71 Corporate culture statements SS8
72 Statements about best practices SS9
73 Organisational structure of the firm SS10
74 Utilization of energy, raw materials and other input goods
SS11
75 Investment in the environment SS12
76 Description of community involvement SS13
77 Information on corporate social responsibility and objective
SS14
78 Description of employee contracts/contractual issues SS15
Sumber: Bukh et al (2005:721-722)
2.1.8 Pengungkapan (Disclosure)
2.1.8.1 Definisi Pengungkapan (Disclosure)
Hendriksen dan Breda (1994 dalam Benardi dkk, 2009:4) mendefinisikan
istilah pengungkapan (disclosure) sebagai “penyajian informasi yang diperlukan
dalam laporan keuangan untuk mencapai operasi pasar modal yang efisien”.
Evan (2001 dalam Nuswandari, 2009:49) membatasi pengertian
pengungkapan hanya terkait hal yang menyangkut keuangan. Namun Nuswandari
(2009:49) menyatakan bahwa istilah pengungkapan pada laporan keuangan tidak
hanya merujuk pada penyampaian informasi keuangan saja, tetapi juga mencakup
informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri atas catatan
kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen
34
tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan
operasi serta informasi lainnya.
Guthrie dan Parker (1990 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73) turut
membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, pengungkapan meliputi
ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi
organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat dibuat
dalam laporan tahunan perusahaan.
Wolk dan Tearney (1997 dalam Nuswandari, 2009:49-50) menjelaskan
bahwa pengungkapan menyangkut untuk siapa informasi diungkapkan, apa tujuan
pengungkapan tersebut dilakukan, tingkat keluasan dan kerincian pengungkapan,
dan bagaimana cara dan waktu mengungkapkan informasi.
Singhvi dan Desai (1971 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73)
menunjukkan bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui
laporan tahunan, karena digunakan oleh para pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam hal pengambilan keputusan investasi. Selain itu, laporan
tahunan juga dipilih karena mempunyai kredibilitas yang tinggi dan memiliki
beberapa manfaat lainnya seperti digunakan untuk mempengaruhi penyebaran
distribusi, mendeskripsikan manajemen dan untuk tujuan penelitian (Haniffa dan
Cooke, 2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:73).
2.1.8.2 Jenis-jenis Pengungkapan
Terdapat tiga konsep mengenai luas pengungkapan laporan keuangan
(Kartika, 2009:30), yaitu:
35
1. Pengungkapan Memadai (Adequate Disclosure)
Yaitu pengungkapan minimal yang disyaratkan oleh peraturan sehingga
laporan tersebut dapat digunakan oleh investor dan tidak menyesatkan.
2. Pengungkapan Wajar atau (Fair Disclosure)
Pengungkapan wajar yaitu pengungkapan yang menyangkut tujuan-
tujuan etis untuk memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca
potensial.
3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure)
Yaitu pengungkapan atas semua informasi yang relevan. Artinya, semua
informasi yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perusahaan diungkapkan.
Kartika (2009:30) juga menyebutkan bahwa pengungkapan berdasarkan
sifatnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)
Mandatory disclosure merupakan pengungkapan minimum yang
disyaratkan standar akuntansi yang berlaku. Adapun standar yang
mengatur tentang pengungkapan wajib telah sesuai dengan peraturan
mengenai pengungkapan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh
BAPEPAM yaitu Peraturan Nomor X.K.6.
2. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)
Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan informasi yang dilakukan
secara sukarela oleh perusahaan tanpa diwajibkan oleh peraturan yang
berlaku.
36
2.1.8.3 Pengungkapan Modal Intelektual
Pengungkapan modal intelektual merupakan suatu laporan yang
disampaikan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan informasi pengguna
laporan (Abeysekera 2006 dalam Boedi, 2008:32). Selanjutnya Guthrie dan Petty
(2000 dalam Ulum, 2009:148) mengungkapkan definisi pengungkapan modal
intelektual (Intellectual Capital disclosure) secara implisit dengan menyebutkan
bahwa pengungkapan modal intelektual kini memberikan manfaat yang lebih
besar dibanding masa lalu. Terutama bagi sektor yang mempunyai karakteristik
industri dominan yang kemudian mengalami perubahan, contohnya sektor
manufaktur yang berubah menjadi high technology, finansial, jasa asuransi dan
sebagainya.
Adapun manfaat pengungkapan modal intelektual secara lebih rinci
dikemukakan oleh Bukh et al (2005:715): “Disclosure of information on
Intellectual Capital is expected to reduce information asymmetry and to enhance
stock market liquidity and increase demand for companies’securities”.
Penelitian Guthrie dan Petty (2000 dalam Istanti, 2009:18) mengenai
pelaporan modal intelektual menunjukkan hasil sebagai berikut:
1. Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif.
2. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut.
3. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara sebagian dan belum menyeluruh.
4. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi persaingan masa depan.
37
Mouritsen et al (2001 dalam Ulum, 2009:149) turut membenarkan hasil
penelitian tersebut. Menurutnya, pengungkapan atas modal intelektual dapat
diungkapkan dengan mengkombinasikan angka, visualisasi dan naratif sehingga
berguna dalam penciptaan nilai perusahaan. Penciptaan nilai perusahaan dapat
terjadi manakala informasi yang disampaikan dalam laporan tahunan
menggambarkan aktivitas perusahaan yang kredibel, terpadu dan “true and fair”.
Bertentangan dengan hasil penelitian Guthrie dan Petty (2000), Boedi
(2008) menemukan fakta bahwa saat ini sangat sedikit jumlah perusahaan yang
mengungkapkan modal intelektual secara terpisah. Hal ini dikarenakan jika modal
intelektual dilaporkan secara terpisah akan menyebabkan laporan-laporan yang
kohesif, sehingga tidak perlu untuk menyediakan pengungkapan yang kredibel
mengenai kegiatan perusahaan.
2.1.9 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan
Modal Intelektual
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal
intelektual telah banyak diuji pada penelitian-penelitian sebelumnya. Menurut
Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75), ukuran perusahaan
merupakan variabel penting yang menjelaskan luas pengungkapan dalam laporan
tahunan.
Adapun pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap pengungkapan modal
intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut pandang teori. Teori yang pertama
yaitu teori agensi. Bernardi dkk (2009:5) menyebutkan bahwa semakin besar
38
ukuran suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukannya
Kondisi ini akan sangat memungkinkan terjadinya konflik kepentingan antara
manajer dan pemegang saham.
Manajer dalam hal ini adalah pihak yang mengelola perusahaan secara
langsung setiap harinya, sehingga manajer tentu akan mengetahui kondisi
perusahaan secara detail. Berbeda dengan pemilik saham yang tidak secara
langsung terjun ke dalam aktivitas perusahaan. Untuk mengetahui kondisi
perusahaan mereka sangat mengandalkan laporan yang disampaikan oleh manajer.
Dikarenakan memiliki kepentingan lain, terkadang manajer tidak mengungkapkan
informasi secara lengkap yang mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara
manajer dengan pemilik saham.
Menurut Bukh et al (2005:715), salah satu manfaat pengungkapan modal
intelektual adalah mengurangi asimetri informasi. Alasannya, dengan
mengungkapkan modal intelektual, pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya mengetahui lebih banyak mengenai potensi, aktivitas dan kinerja
perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian semakin besar ukuran suatu
perusahaan maka semakin besar pula dorongan untuk mengungkapkan modal
intelektual.
Dari sudut pandang teori sinyal, Ahmed dan Courtis (1999 dalam
Purnomosidhi, 2006:10) mengemukakan bahwa perusahaan yang ukurannya besar
(superior firm) lebih banyak mengirimkan sinyal positif ke pasar dengan tujuan
untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik
dari perusahaan lainnya. Kaitannya dengan modal intelektual, yakni karena
39
informasi modal intelektual merupakan sinyal positif yang dapat meningkatkan
kredibilitas perusahaan. Di samping itu, Istanti (2009:23) menyatakan, “dengan
mengungkapkan informasi yang lebih banyak, perusahaan mencoba
mengisyaratkan bahwa perusahaan telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)”.
Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal
intelektual juga dapat ditinjau dari teori stakeholder. Suhardjanto dan Wardhani
(2010:75) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan semakin besar pula
perhatian atau sorotan stakeholder, oleh karena itu perusahaan akan semakin
banyak melaporkan informasi, salah satunya mengenai modal intelektual.
Raffournier (1995 dalam Purnomosidhi, 2006:8-9) mengemukakan alasan
mengapa perusahaan-perusahaan besar melakukan pengungkapan informasi lebih
banyak daripada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Pertama, pengungkapan
informasi secara rinci bagi perusahaan besar secara relatif lebih murah (less
costly) karena dianggap sudah menyediakan informasi tersebut untuk kepentingan
intern. Kedua, karena laporan tahunan merupakan sumber informasi utama bagi
pesaing, perusahaan-perusahaan yang lebih kecil enggan membuat pengungkapan
yang lebih rinci tentang aktivitas mereka karena khawatir hanya akan
menimbulkan competitive disadvantage. Ketiga, perusahaan-perusahan besar
lebih sensitif terhadap biaya politik (political costs) sehingga akan
mengungkapkan lebih banyak informasi untuk menghilangkan kecaman publik
atau intervensi pemerintah.
40
2.1.10 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Pengungkapan Modal
Intelektual
Meek et al (1988 dalam Purnomosidhi, 2006:10) mengungkapkan, salah
satu mekanisme untuk membedakan perusahaan tingkat profitabilitasnya tinggi
dengan perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah adalah dengan melihat
tingkat pengungkapan sukarelanya. Anggapan ini dilandaskan pada teori sinyal
yang menyatakan bahwa superior and profitable firm cenderung mengungkapkan
lebih banyak informasi kepada investor (Ahmed dan Courtis, 1999 dalam
Purnomosidhi, 2006:10).
Singvi dan Desai (1971 dalam Benardi dkk, 2009:7) mengutarakan bahwa
rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan mendorong para manajer
untuk memberikan informasi yang lebih rinci, sebab manajer ingin menyakinkan
investor terhadap profitabilitas perusahaan.
Haniffa dan Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010:75) juga
menunjukkan hal yang sama. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena
semakin tinggi profitabilitas yang berarti semakin besar dukungan finansial
perusahaan, maka akan semakin banyak pengungkapan informasi termasuk
informasi mengenai modal intelektual. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif tehadap tingkat pengungkapan
modal intelektual.
41
2.1.11 Pengaruh Leverage terhadap Tingkat Pengungkapan Modal
Intelektual
Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage
perusahaan dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan. Menurut Jensen
dan Meckling (1976 dalam Purnomosidhi, 2006:10-11) bahwa terdapat suatu
potensi untuk menstransfer kekayaan dari debtholder kepada pemegang saham
dan manajer pada perusahaan yang mempunyai tingkat ketergantungan utang
sangat tinggi, sehingga menimbulkan biaya keagenan yang tinggi.
Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur
modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan yang proporsi hutangnya kecil. Untuk mengurangi cost agency
dalam bentuk biaya monitoring tersebut, manajemen akan memberikan
pengungkapan yang lebih luas (komprehensif) guna meyakinkan kreditur (Aljifri
dan Hussainey, 2006 dalam Benardi, 2009:6).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Sutanto dan Supatmi (2012:8)
mengemukakan bahwa pengungkapan informasi yang luas akan mempermudah
kreditur untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara detail. Manfaatnya
dirasakan ketika perusahaan mengajukan pinjaman dana tambahan, kreditur yang
sudah mendapatkan informasi yang lengkap mengenai perusahaan akan
meminjamkan dana dengan biaya murah.
Namun demikian, beberapa penelitian menemukan hasil yang
bertentangan. Di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Belkoui dan Karpik
(1989) dan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Retno dan Priantinah (2012)
42
yang justru menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap luas
pengungkapan. Argumentasinya adalah karena keputusan untuk mengungkapkan
informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang
menurunkan pendapatan (Belkaoui dan Karpik, 1989 dalam Sembiring 2005:382).
Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan
mengurangi pengungkapan perusahaan termasuk pengungkapan modal intelektual
dengan maksud untuk mengurangi sorotan dari bondholder.
2.1.12 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.5 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian 1989 Belkaoui dan
Karpik Determinant of the Corporate Desicion to Disclose Social Information
Leverage berpengaruh terhadap PMI
1992 Cooke The Impact of Size, Stock Market Listing and Industry Type on Disclosure in the Annual Reports of Japanese Listed Corporations
Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap PMI
1995 Meek et al Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosures by US, UK, and Continental European Multinational Corporations
Ukuran, status listing dan Country berpengaruh. Sementara Profitabilitas tidak berpengaruh terhadap PMI.
2001 Marwata Hubungan Antara Karakteristik Perusahaan dan Kualitas Ungkapan Sukarela dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia.
Hanya ukuran dan penerbitan sekuritas yang berpengaruh signifikan terhadap PMI.
2004 Simanjuntak dan Widiastuti
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
Semua variabel berpengaruh terhadap PMI.
43
Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Bursa Efek Jakarta.
2005 Bukh et al Disclosure of information on Intellectual Capital in Danish IPO prospectuses
Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap PMI
2006 Guthrie et al The voluntary reporting of Intellectual Capital: Comparing evidence from Hong Kong and Australia
Tingkat pengungkapan modal intelektual berhubungan positif dengan ukuran perusahaan.
2006 Purnomosidhi Praktik Pengungkapan Modal Intelektual pada Perusahaan Publik di BEJ.
Ukuran perusahaan, leverage, dan kinerja modal intelektual berpengaruh signifikan terhadap PMI.
2007 White et al Drivers of Voluntary Intellectual Capital Disclosure in Listed Biotechnology Companies
Komisaris independen, firm age, leverage, dan firm size berpengaruh terhadap PMI.
2008 Boedi Pengungkapan Intellectual Capital dan Kapitalisasi pasar
Jenis industri berpengaruh terhadap PMI.
2009 Ariestyowati et al
Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Praktik Pengungkapan Intellectual Capital dalam Laporan Tahunan Perusahaan Publik di Indonesia
Size, leverage, age, dan tipe industri berpengaruh terhadap PMI.
2010 Suhardjanto dan Wardhani
Praktik Intellectual Capital Disclosure Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap PMI.
2012 Sutanto dan Supatmi
Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan Informasi
Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan.
44
Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Intellectual Capital di dalam laporan Tahunan (studi pada industri manufaktur yang terdaftar di Bursa efek indonesia tahun 2009)
2012 Nurul Fatimah Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap Pengungkapan Modal Intelektual (Studi pada Perusahaan Go Public LQ 45 th 2012)
Ukuran perusahaan berpengaruh positif. Profitabiltas perusahaan tidak memiliki pengaruh significan Leverage bukan prediktor yang baik dalam pengunkapan modal intelektual Umur listing berpengaruh positif terhadap pengunkapan modal intelektual. Struktur kepemilikan memiliki pengaruh positif.
Sumber: data diolah.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan replika dari penelitian oleh
Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013) yang meneliti pengaruh
karakteristik perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada
laporan tahunan perusahaan dalam satu tahun. Namun dalam penelitian ini
dilakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga membedakannya dengan penelitian
oleh Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013). Perbedaan-perbedaan
tersebut antara lain:
45
a. Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan pada populasi seluruh
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007. Fatimah
(2013) menggunakan data perusahaan go public yang tergabung dalam indeks
LQ45 pada tahun 2012 dengan tujuan untuk merestriksi pengamatan pada
kelompok perusahaan dengan skala besar dan kredibilitas yang tinggi saja.
Sedangkan dalam penelitian menggunakan data dari perusahaan go public yang
tergabung dalam LQ45 tahun buku 2013 dan 2014.
b. Pada penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Fatimah (2013)
memasukan variabel struktur kepemilikan dan komisaris independen untuk
dijadikan variabel penelitian, namun dalam penelitian ini tidak dimasukan
kedua variabel tersebut.
c. Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengadopsi kerangka pengungkapan yang
dirumuskan oleh Sveiby (1997) yang terdiri atas 25 indikator pengungkapan.
Sedangkan pada penelitian ini digunakan kerangka pengungkapan yang lebih
baru dan eksplisit yang dirumuskan oleh Bukh et al (2005). Kerangka
pengungkapan ini terdiri atas 78 indikator pengungkapan sama dengan l
Fatimah (2013).
2.2 Kerangka Pemikiran
Pengungkapan Intellectual Capital di setiap perusahaan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya. Perusahaan-perusahaan akan sangat
mempertimbangkan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk pengungkapan ini.
Sesuai teori Cost and Benefit, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada
46
biaya yang dikeluarkan maka perusahaan mau mengungkapkan informasi ini,
namun jika manfaat lebih kecil maka tidak dilakukan. Faktor biaya, seperti yang
dikemukakan dalam penelitian oleh Sutanto (2012:3) masih menjadi
pertimbangan umum, namun di samping itu ada faktor lain yang turut
mempengaruhi tingkat pengungkapan Intellectual Capital sebuah perusahaan,
yaitu karakteristik dari perusahaan itu sendiri.
Karakteristik perusahaan adalah ciri khas finansial perusahaan yang
membedakannya dengan perusahaan lain, seperti ukuran perusahaan,
profitabilitas, dann tingkat leverage. Ketiga karakteristik ini menurut penulis
memiliki pengaruh terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital
perusahaan, karena didukung oleh banyak teori dan penelitian-penelitian
sebelumnya. Besarnya pengaruh ketiga karakteristik ini terhadap tingkat
pengungkapan Intellectual Capital tidak sama, ada di antaranya yang memiliki
pengaruh positif atau negatif baik secara signifikan atau tidak dan signifikan atau
tidak signifikan.
Ukuran perusahaan, yang dapat direpresentasikan oleh total aset
perusahaan merupakan faktor yang paling banyak digunakan oleh para peneliti
sebelumnya, seperti Guthrie et al (2006), Suhardjanto dan Wardhani (2010),
Sutanto (2012), dan Stephani dan Yuyetta (2012). Dari semua penelitian tersebut,
hasilnya menunjukkan adanya pengaruh positif yang signifikan dari ukuran
perusahaan terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital. Semakin besar
suatu perusahaan maka semakin besar pula sorotan stakeholder, sehingga
perusahaan akan lebih banyak melaporkan Intellectual Capital-nya.
47
Karakteristik yang kedua yaitu profitabilitas perusahaan. Profitabilitas
adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh profit. Karakteristik ini sangat
diperhatikan oleh investor, karena semakin bagus profitabilitas sebuah perusahaan
maka semakin besar tingkat pengembalian investasi yang akan diperolehnya.
Dengan demikian perusahaan yang profitabilitasnya baik akan lebih disoroti
investor, termasuk informasi mengenai Intellectual Capital. Hal ini sejalan
dengan pendapat dari Haniffa dan Cooke (2005 dalam Suhardjanto dan Wardhani,
2010:76), bahwa semakin tinggi tingkat profitabilitas, artinya semakin besar
dukungan finansial yang dimiliki perusahaan, sehingga semakin banyak pula
informasi yang diungkapkan ke publik termasuk Intellectual Capitalnya.
Ketiga, tingkat utang terhadap aset (leverage). Indikator ini juga memilki
pengaruh terhadap tingkat pengungkapan Intellectual Capital. Leverage artinya
perbandingan antara dana yang diperoleh dari kreditor (utang) dengan dana dari
pemilik perusahaan. Menurut Purnomosidhi (2006:6), salah satu cara mengurangi
biaya akibat konflik keagenan dalam perusahaan adalah dengan cara
meningkatkan leverage-nya. Implikasinya perusahaan dituntut untuk
mengungkapkan informasi lebih banyak termasuk Intellectual Capitalnya, untuk
menghilangkan keraguan pemegang obligasi (kreditor) tentang jaminan
keamanan dana mereka.
Pengaruh dari ketiga karakteristik perusahaan tersebut dapat diikhtisarkan
ke dalam gambar 2.1.
48
Gambar 2.1. Model Hubungan Antar Variabel
Keterangan:
X1 = Ukuran Perusahaan (Size)
X2 = Profitabilitas
X3 = Leverage
Y = Tingkat Pengungkapan Intellectual Capital
2.3 HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan paparan mengenai karakteristik perusahaan pada kerangka
pemikiran di atas maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan Intellectual Capital.
Hipotesis 2 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat
pengungkapan Intellectual Capital.
Hipotesis 3 : Leverage berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan
Intellectual Capital.
X2
X3
Y
X1