22
1 / 4

1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/MKP2565-b5ac083303fullabstract.pdf · Baru dari Pendekatan Ekonomi ke Pende - katan Kesejahteraan. Tema ini menjelas -

Embed Size (px)

Citation preview

1 / 4

Table of Contents

No. Title Page

1 Hak-hak Asasi Manusia: Perkembangan Pengertiannya yang MerefleksikanDinamika Sosial-Politik

-

2 Masa Depan Indonesia: Sebuah Analisis Wacana tentang Perkembangan CivilSociety (Sebuah Pelajaran yang Disimak dari Penyelenggaraan Scenario PlanningIndonesia 2010)

-

3 Indonesia-Malaysia relations in the Post-Confrontation Era: the Role of theSerumpun Concept

-

4 Penduduk Lanjut Usia: Tinjauan Teori, Masalah dan Implikasi Kebijakan -

5 Efektivitas Gaya Kepemimpinan Situasional pada Lembaga KetahananMasyarakat Desa: Studi Kasus di Kabupaten Banyuwangi

-

6 Budaya daerah dan Jati Diri Bangsa: Pemberdayaan Cerita Rakyat dalamMemasuki Otonomi Daerah dan Globalisasi

-

7 Dampak Urbanisasi terhadap Masyarakat di Daerah Asal -

8 Reformasi Pengentasan Kemiskinan: dari Pendekatan Ekonomi kePendekatan Kesejahteraan

-

2 / 4

Vol. 12 - No. 4 / 1999-10TOC : , and page : -

Reformasi Pengentasan Kemiskinan: dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan

Reformasi Pengentasan Kemiskinan: dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan

Author :Machmoed Zain |alumnus S-3 Universitas Airlangga

Abstract

Keyword :

Daftar Pustaka :1. Jacob Ampang, (1984). Identifikasi dan Analisis Faktor Sosial Ekonomi Yang mempengaruhi Pendapatan PetaniMiskin di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Yogyakarta : Tesis FPS UGM2. Endang Suwarno Ariadi, (1993). Pengembangan Paket Pendidikan Lingkungan Hidup Dalam Rangka meningkatkanPeran Wanita dalam Pengelolaan Lingkungan Melalui PKK di Pedesaan. Surabaya : Penelitian Hibah Bersaing II,Ditbinlitamas Ditjen Dikti, IKIP3. Revrisond Baswir, (1997). Agenda Ekonomi Kerakyatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan IDEA4. Guy Berger, (1995). Structural and Rural Developmentin third World Review. : dalam Economic Development andCultural Change, Vol. 44, No. 1, October 1995.5. Robert Chambers, (1983). Pembangunan Desa Mulai dari Belakang . Jakarta : LP3ES6. Robert Chambers, (1996). Participatory Rural Appraisal . Yogyakarta : Kanisius7. P Cooke, (1989). Localities, The Changing Face Of Urban Britain. . London : Unwin Hyman8. Sofyan Effendi, (1986). Pelayanan Publik, Pemerataan dan Administrasi Negara Baru. : Prisma, No. 12, 1986.9. Tadjuddin N. Effendi, (1991). Rural Development Non-farm Employment in Java. Hawaii : Resources SystemInstitute, East West Cenrte10. Chris Manning, (1991). Rural Development Non-farm Employment in Java. Hawaii : Resources System Institute,East West Cenrte11. Briggite Erler, (1989). Bantuan Yang Mematikan, diterjemahkan oleh Hanafi . Jakarta : LP3ES12. David Friedman, (1988). The Misunderstand Miracle Industrial Development and Political Change in Japan . Ithaca,New York : Cornell University Press13. J Friedman, (1979). Regional Development And Planning . A Reader : Cambridge14. Alonso Alonso, (1979). Regional Development And Planning . A Reader : Cambridge15. Paul Glewwe, (1989). “The Poor in Latin America during Adjustment: A Case Study of Peru,― . Washington,D.C. : Living Standards Measurement Study Working Paper 56. World Bank16. Richard Grabowski, (1995). “Commercialization, Non-agricultural Production, Agri-cultural Innovation, andEconomic Development,― . : The Journal of Developing Areas, Vol. 30 No.1 October 1995, 41-62.17. Guy Grand, (1983). Development by People. USA : Praeger Special Studies, Preger Publishers18. Peter Hagul, (1992). Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat . Jakarta : Rajawali Press19. Idriss Jazairy, (1995). “The State of World Rural Poverty: An Inquiry into Causes and Consequences― . :Economic Development and Cultural Change, Volume 44, No. 1, October 199520. D.C Korten, (1988). Pembangunan Berdimensi Kerakyatan . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia21. Sjahrir Sjahrir, (1988). Pembangunan Berdimensi Kerakyatan . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia22. David Korten, (1984). People Centered Development. Contribution Toward Theory and Planning Frameworks . :Kumarian Press23. Rusdi Klauss, (1984). People Centered Development. Contribution Toward Theory and Planning Frameworks . :Kumarian Press24. Robert Lauer, (1989). Perspectives on Social Change, diterjemahkan oleh Alimandan . Jakarta : Bina Aksara25. Sarah Longwee, (1990). “Women's Participation Criteria,― . : UNICEF, Participation Manual26. Ramesh Mishra, (1981). Changing Perception of Development Problems . Hongkong : Maruzen27. M Honjo, (1981). Changing Perception of Development Problems . Hongkong : Maruzen28. Hadi Prayitno, (1987). Petani Desa dan Kemiskinan . Yogyakarta : BPFE29. Arsyad Lincolin, (1987). Petani Desa dan Kemiskinan . Yogyakarta : BPFE30. Surabaya Post Surabaya Post, (1995). “Protes Kelompok Penerima IDT,― . : Surabaya Post, Jumat 30 Juni1995, h. 5.

3 / 4

31. Manfred Poppe, (1997). "Decentralized Development Planning in Indonesia: Linking Organization Structure andPlanning Strategy," . : Spring Research Series, No. 15, 1997.32. Didik Rachbini, (1995). Negara dan kemiskinan di Indonesia . Jakarta : Sinar Harapan33. MV Roesminingsih, (1994). “Model Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Industri Rumah Tangga diPedesaan,― . Surabaya : Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi III Ditbintitabmas Ditjen Dikti, IKIP Surabaya,1994-6.34. h.h Siagian, (1995). "Pembangunan Infrastruktur Pedesaan" . : Sintesis, No. 12, Th. 3., Agustus 1995, 47-53.35. Loekman Soetrisno, (1988). “Beberapa permasalahan yang Menghambat Pelaksanaan Partisipasi RakyatDalam Pembangunan,― . Yogyakarta : makalah disampaikan pada Seminar bulanan P3PK UGM36. Loekman Soetrisno, (1995). Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dan Liberalisasi Ekonomi. : dalam Sintesis, No.12, Th. 3, Agustus 1995, 39-46.37. Loekman Soetrisno, (1991). "Partisipasi Masyarakat Pedesaan dalam Pembangunan Ekonomi dan MasalahPerbaikan Kehidupan Ekonomi Rakyat Desa". : Kritis, No. 4, Th. V, April 1991, 7-1238. Astrid Susanto, (1984). Sosiologi Pembangunan . Jakarta : Bina Cipta39. Melly G. Tan, (1982). “Keadaan Kemiskinan di Daerah Pedesaan (Pokok-pokok Pikiran),― . : dalam BuletinLeknas Nomor 240. Michel P. Todaro, (1979). Economics for A Developing World: An Introduction to A Principles, Problems and Policiesfor Development . London : Longman41. Michel P. Todaro, (1983). Development Planning: Models and Methods . Dar es Salaam : Oxford University Press42. Mahbub Ul Haq, (1983). Tirai Kemiskinan Tantangan Untuk Dunia Ketiga . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia43. Olivia J. Wilson, (1995). “Rural Restructuring and Agriculture-Rural Economic Linkages a New ZealandStudy,― . : Journal of Rural studies Vol. 11, No. 4, 417-31.

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

4 / 4

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

79

REFORMASI PENGENTASAN KEMISKINAN:dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan

Machmoed Zain

Di era reformasi seperti sekarang ini, mem -pelajari kebijakan publik dengan mencer -mati proses implementasi , implikasi maupun evaluasi adalah merupakan isu sentralyang mendapat perhatian serius karena luascakupan unsur-unsur yang terlibat, mengi-ngat kebijakan publik itu menentukan nasibbanyak orang, terutama yang mempunyaikepentingan langsung atau terkena dampakterhadap kebijakan tersebut . Kebijakanpublik yang dibahas dalam tulisan ini adalahpengentasan kemiskinan atau Taskin .

Kebijakan Taskin ini telah mendapatrespon yang cukup dinamis dari masyarakatkarena rona-rona implementasi dan impli -kasinya yang mengundang banyak perta -nyaan dan permasalahan. Sebagian masya-rakat melihat implementasi kebijakan ka -dangkala mempunyai standar gandasehingga tumpul dan tidak menampilkandirinya sebagai pedoman yang harus diikutiketika menyelesaikan sebuah kasus . Di sinilalu timbul pertanyaan mana seb enarnyayang lebih suprematif: implementasi kebi -jakan atau rekayasa kebijakan?

Berangkat dari kebijakan Taskinyang problematik inilah diangkat tema“Reformasi Taskin Memasuki ParadigmaBaru dari Pendekatan Ekonomi ke Pende -katan Kesejahteraan.” Tema ini menjelas-kan tentang hal-hal yang mendasar yangditempuh oleh pemerintah Orde Baru danbagaimana geliat pemerintahan reformasimenyikapi kebijakan Taskin .

Dari uraian tersebut di atas timbulpertanyaan:

1. Mengapa Taskin di masa Orde Baru yangawalnya ditengarai dapat menekankemiskinan (tahun 1990 jumlah pendu -duk miskin 27 menjadi 22 juta [11%]tahun 1996), tetapi di masa pemerintahantransisi mulai pertengahan tahun 1998karena gejolak ekonomi moneter jumlahorang miskin naik tajam hingga mencapai78 juta (39%) dari jumlah penduduk 200juta?

2. Bagaimana pemerintah reformasi menyi -kapi Taskin setelah jumlah orang miskindi Indonesia pada akhir tahun 1998 men -capai 98 juta dari jumlah penduduk 200juta?

Sekurang-kurangnya ada dua alasanyang mendorong pemilihan tema yangsedang aktual dan menyedot banyak kelom -pok untuk mendiskusikan dan mencarisolusinya ini.

Pertama, di masa pemerintahan OrdeBaru kebijakan pemerintah senantiasa bero -rientasi pada pertumbuhan ekonomi danuntuk ini diperlukan kelompok m asyarakatprofesional-spesialis-bisnis yang hanyamenyangkut kelompok minoritas tetapimenyedot bantuan pengucuran danapemerintah sangat besar. Keberhasilankebijakan pemerintah ini telah terbuktihasilnya karena hampir selama Pelita Vpertumbuhan ekonomi mencapai (7%) setiaptahunnya. Sementara itu kelompokmasyarakat mayoritas kurang diberdayakansehingga pertumbuhan usaha ekonomirakyat kurang dapat berkembang dan

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

80

akhirnya dapat dilihat gap antara golonganminoritas kaya dengan mayoritas miskinmenjadi sangat lebar. Kondisi ini disusuldengan adanya gejolak ekonomi moneteryang utamanya melanda negara -negaraASEAN sehingga ekonomi Indonesiamenjadi terpuruk sampai saat ini. Sementaraitu pula bangunan ekonomi rakyat berupausaha kelompok ekonomi produkt if belumdipersiapkan dengan baik. Hal ini ditandaidengan dikuasainya 58% PDB Indonesiaoleh kurang lebih 200 konglomerat terbesardi negara ini, sedangkan BUMN dan usahamenengah menguasai 24% dan 10%, sisanya(8%) dikuasai oleh 34 juta usaha kecil. Padaperkembangan sektor industri, selama initerfokus pada industri padat modal, yangberdampak pada membengkaknyapengeluaran sekitar 82%. Sebaliknya dibidang ketenagaan ditengarai bahwa sektorini hanya mampu menampung 33% jumlahtenaga kerja di bidang industri, sedangkan67% yang lainnya ditampung oleh industrikecil dan rumah tangga yang hanyamembutuhkan keluaran sebanyak 18%.

Kedua, di era reformasi sekarang inikebijakan pemerintah yang menyangkutTaskin sedang banyak dilakukan baik lewatkebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS)kebijakan gerakan mandiri padi, palawijadan jagung tahun 2002 (Gema Palagung2002), kebijakan Gerakan Terpadu Pengen -tasan Kemiskinan (Gardu Taskin) dan kebi -jakan yang lain. Implementasi dari kebijak -an itu terkesan adanya perencanaan yangkurang matang karena pemerintah melihatbanyaknya tambahan orang miskin yangdisebabkan karena krisis ekonomi moneterdan krisis lain yang berkepanjangan danreaksi yang timbul dari berbagai kelompokyang cenderung tidak lagi memperhatikankultur dan etika sehingga mengakibatkantimbulnya kerusuhan dan ketegangan diberbagai tempat karena didorong dan

dikooptasi oleh kelompok radikal lain yangtidak puas atas kebijakan pemerintah.

Dari dua alasan tersebut di atas,nampaknya pengentasan kemiski nan sudahtidak lagi tepat didekati lewat pendekatanekonomi semata tetapi perlu didekati lewatpendekatan baru yaitu pendekatan kesejah -teraan. Pendekatan kesejahteraan menyang-kut masalah ekonomi dan non ekonomi dantidak lagi pendekatan pada orang dankelompok tetapi pendekatan lewat kajianwilayah yang di dalamnya menyangkut ken -dala dan potensi manusia atau masyarakat,budaya, modal dan teknologi denganmemperhatikan pula kedekatan antar aparatpemerintah dan masyarakat lewat kemitraandan dialog untuk tercapainya suatu konsen-sus serta proses transformasi informasi yanglebih transparan dan inovasi teknologi lewatpelatihan dan media lain serta partisipasiberbagai pihak.

Kebijakan Taskin dengan PendekatanEkonomi

Kemiskinan menggambarkan suatu k eadaanbelum mampunyai seseorang (individu)untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia(human basic needs) bagi kelangsunganhidupnya secara wajar. Kebutuhan pokokmanusia bermacam-macam dan berbedaantara satu daerah dengan daerah lain,antarasatu komunitas dengan komunitas lain,bahkan antara satu musim dengan musimlain. Oleh karena itu pengertian kemiskinansulit didefinisikan secara universal.

Konsep kemiskinan mencakupproblema yang multi kompleks dan dapatdilihat dari berbagai segi, misalnya selainditandai oleh rendahnya tingkat pendapatandan konsumsi, juga ditengari olehketerbatasan kebutuhan yang menyangkutfungsi sosial.

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

81

Friedman (1979) menyatakan bahwakemiskinan merupakan kondisi terbatasnyakesempatan kerja untuk mengakumulasikanbasis kekuatan sosial atau modal yangproduktif seperti: tanah, perumahan danperalatan lainnya, terbatasnya jaringan sosialseperti dalam memperoleh kesempatankerja, pengetahuan, keterampilan, kesehat -an, hubungan dan informasi, kesemuanyaitu diperlukan untuk mewujudkan kehidup-an yang layak bagi manusia.

Semua pendapat tersebut menunjuk -kan bahwa masalah kemiskinan merupakanresultante dari banyak faktor dan dimensi.

Bagi masyarakat desa, fenomena danproblema kemiskinan merupakan masalahhidup sehari-hari, yang berwujud kelaparan,penyakit, meninggal dalam usia muda, takterpenuhinya kebutuhan akan pekerjaan danperumahan dan merasakan kehilangan nilai -nilai yang biasanya memberi makna kepadakehidupan (Berger, 1992:9). Mereka tidakhanya miskin secara ekonomi tetapi jugamiskin secara sosial seperti kekuranganjaringan sosial (social network) dan strukturdi dalam masyarakat yang dapat memberi -kan akses bagi income generating golonganmiskin, sedangkan kemiskinan politik lebihmerefleksikan kekurangan akses dan line ofaction pada kekuasaan (Effendi, 1991:201 -4).

Oleh karena itu untuk memahamikemiskinan secara lebih representatif harusmemasukkan segala aspek pembangunan.Dalam memahami kemiskinan seharusnyamelihat interkoneksi multifaktor sepertiekonomi, sosial, dan politik dalam suatupeta analisis.

Berger (1992) dan Jazair (1992)menyatakan bahwa kemiskinan di negaraberkembang merupakan fenomena pedesa -an. Todaro (1983) mencirikan pendudukmiskin, bagi mereka yang bertempat tinggaldi pedesaan dan memiliki kegiatan utama di

bidang pertanian. Glewee (1989) dari hasilpenelitiannya menyatakan bahwa sebagianbesar penduduk miskin terdapat di pedesaandan pekerjaan utama kepala rumahtangga disektor pertanian atau pekerja sendiri.

Demikian juga Quibria (LaporanBank Dunia, 1995), dari hasil penelitiannyadi Asia Selatan dan Asia Tenggara memberi -kan beberapa ciri kemiskinan: (1) banyakditemui di pedesaan daripada di perkotaan;(2) berkorelasi positif dengan jumlah ang -gota keluarga dan berkorelasi negatif denganjumlah pekerja dalam suatu keluarga; (3)ditandai oleh pemilikan aset keluarga; (4)pertanian sebagai sumber penghasilanutama; dan (5) berkaitan dengan masalahsosial budaya. Dari berbagai pernyataan ter -sebut dapat disimpulkan, bahwa kemiskinanlebih banyak terdapat di pedesaan.

Ada beberapa pandangan tentangkemiskinan di antaranya: (1) melihat kemis -kinan dikaitkan dengan rendahnya etoskerja, kemiskinan dalam hal ini disebabkankarena malas dan hidup sangat konsumtip;(2) kemiskinan dilihat muncul karena keti-dakadilan dalam faktor produksi masyarakatkhususnya pemilikan tanah; (3) kemiskinanyang dikaitkan dengan model pembangunan(yang berorientasi pada pertumbuhan).

Bila dikaji ternyata masing-masingperspektif tersebut memiliki kelemahanyaitu melihat kemiskinan hanya dari satufaktor saja. Padahal kenyataan kemiskinandapat disebabkan oleh berbagai faktor (tidakhanya satu faktor). Untuk inilah makatepatlah kiranya bila Chambers (1983:111)melihat kemiskinan itu sebagai kemiskinanterpadu, yang disebabkan oleh beberapafaktor yang disebutnya sebagai ketidak -beruntungan atau disadvantages, yang salingterkait satu sama lain.

Ketidakberuntungan (jebakan penja -rahan atau perangkap kemiskinan) tersebutmelingkari kehidupan orang atau keluar ga

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

82

miskin terutama di pedesaan. Kelima kom -ponen ketidakberuntungan tersebut adalah:(1) kemiskinan, (2) kelemahan fisik, (3)kerentanan, (4) keterisolasian, dan (5)ketidakberdayaan (Chambers, 1983: 109).Meski pun diakui bahwa tidak selalu kelimafenomena kemiskinan itu selalu munculbersamaan, namun setidaknya fenomenayang tampak lebih dari satu. Inti persoalanmasalah kemiskinan sebenarnya terletakpada faktor manusia.

Pembangunan adalah fenomenaperubahan. Dalam memahami pembangun-an, terutama dalam konteks proses kiranyamasalah yang berhubungan dengan tingkatperubahan lebih berarti dari pada menge -tahui ada tidaknya perubahan itu sendiri.Pertanyaan mendasar yang perlu dijawabadalah: “Mengapa suatu masyarakat menun -jukkan perubahan yang cepat dan masya-rakat lain lambat?” “Faktor apa saja yangmempengaruhi dan bagaimana pengaruh -nya?” serta “Apakah ada tingkat optimal -isasi umat manusia?” (Lauer, 1989:11).

Pembangunan memuat kandungan isiperubahan ke arah perbaikan, sedangkanperubahan itu sendiri dapat bermakna positif(maju) dan negatif (mundur). Sebagaimanaarti perubahan masyarakat yang dikemuka -kan oleh Susanto (1983:157) dapat berupakemunduran (regress), mau pun kemajuan(progress). Pembangunan merupakan suatudinamika yang berproses, dan bukan suatukondisi yang statis (Misra dan Honjo,1981:8). Pemahaman ini telah menggiringpada pemikiran adanya gerak dinamik yangmencakup prubahan penting dalam struktursosial, sikap rakyat dan lembaga nasionaldan juga akselerasi pertumbuhan ekonom i,pengurangan kesenjangan (inequality), danpemberantasan kemiskinan absolut (absolutepoverty) (Todaro, 1983:124).

Menganalisis persoalan kemiskinanperlu dikaitkan dengan hal ini penting

mengingat banyak arahan pembangunanyang mengalami bias sasaran, karena kurangmemperhatikan siapa yang miskin dan siapayang tidak, di antara yang miskin sendiriperlu dipilah siapa yang termasuk miskinabsolut dan siapa miskin relatif.

Fenomena kemiskinan di Indonesiatahun 1990 sebanyak 27 juta, kemudiantahun 1996 turun menjadi 22 juta (11%),tapi kemudian tahun 1998 naik tajammenjadi 78 juta (39%) dari jumlah pendu -duk 200 juta. Keadaan ini juga didukungoleh kondisi di Rusia, di mana paradigmakomunisme dengan sistem lama telahmenyebabkan penduduk miskin menin gkatdari 17% (1992) menjadi 44% tahun 1993.Demikian standar hidup di Ukraina dalammengkonsumsi kebutuhan hidup di bawahrata-rata gizi dan kesehatan penduduk Rusiapada umumnya yaitu 57,51 kg dari 88,48kg/tahun.

Kemiskinan adalah salah satu bentukhasil "keteledoran pelaksanaan suatu sistemperekonomian". Kemiskinan sebagai feno -mena kemasyarakatan dapat dipandangsebagai hubungan antara manusia denganmanusia, manusia dengan masyarakat, danmanusia dengan negara. Dalam hal inilah"perekonomian rakyat" sebenarnya menjadibasis bagi perkembangan masyarakat yangsedang dalam keadaan terdesak akibatkebijaksanaan nasional yang sangatmengarah pada sistem "perekonomian pasarbebas".

Dalam konteks sosial -ekonomi,pembangunan berusaha meminimalkandisparitas income dan memaksimalkandistribusi pendapatan baik antarwilayah(horizontal distribution) maupun antarstratasosial (vertical distribution) . Apabilakondisi ini tidak dapat tercapai, makaproblema sosial yang berlatar belakangdisparitas ekonomi dan polarisasi sosialdapat membuka jarak yang lebar bagi jurang

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

83

pemisah di dalam masyarakat (social gap).Hal ini tidak hanya sekedar menjadi publicissues yang kasat mata, yang seyogyanyamenjadi agenda pembangunan, namun suatusaat dapat menjadi efek snow-ballphenomena, yang terakumulasi kemudianmenggelinding dengan muatan kekuatandestruktif yang maha dasyat dan padaakhirnya berimplikasi pada rusaknya tatanansosial ekonomi yang ada.

Di sinilah moralitas pembangunanselalu dipertaruhkan, apakah misi dansubstansi pembangunan yang selalu memuatkata-kata manis bahwa pembangunan dari,oleh dan untuk rakyat dapat menyentuhlapisan masyarakat yang paling bawah (thepoorest of the poor) , ataukah strategipembangunan yang selama ini dijalankanhanya lebih membuka jalan bagipertumbuhan tanpa diiringi pemerataan(development without distribution) . Keadaanini banyak terjadi di Indonesia (termasuk didesa), pembangunan merupakan jargondengan kata-kata dari, oleh, dan untukrakyat, kenyataan yang terjadi di desa , kata-kata manis tersebut belum terealisasi, karenabagaimana pun juga pembangunan lebihbanyak didominasi oleh kelompok elittertentu, yang dampaknya tampak bahwamasyarakat bawah hanya sebagai obyek, danyang menikmatinya adalah kelompok lainyang lebih beruntung. Tahun 1970-1980pembangunan pertanian hanya dinikmati3,36% penduduk miskin (orang) dan lebihdari 9% oleh penduduk kaya, sisanya orangdi luar desa. Selain itu petani kaya dengantanah lebih dari 0,5 ha memperoleh keun -tungan 60% dan penduduk dengan pemilik-an tanah kurang dari 0,5 ha hanya memper -oleh 30% (Prayitno, 1987). Bantuan asing dinegara Bangladesh juga menunjukkanbahwa pembangunan hanya mendatangkanmasalah bagi kelompok sasaran (orangmiskin), sementara orang kaya yang

mengambil keuntungan. Sementara upayauntuk meningkatkan pendapatan dankemakmuran dengan pemberian kreditmurah atau pun penerapan teknologi baruhanya dinikmati petani kaya (Ampang,1984).

Tujuan strategi pembangunan disuatu negara, tidak terlepas dari politikpembangunan yang dianut suatu negara.Strategi pembangunan yang berorientasipada problematic approach akan melahir-kan skala prioritas dalam pembangunan.Pembangunan di Indonesia selama OrdeBaru nyaris diidentifikasi dengan pertum -buhan atau perkembangan ekonomi. Kondisiini didukung oleh justifikasi teoritis denganberkembangnya berbagai teori pembangun -an di belahan Barat, seperti teori the stage ofeconomic growth dari Rostow, “pertumbuh -an ekonomi dan fungsi produksi” modelHarold dan Romar, serta konsep Hirscmantentang unbalanced growth .

Ditinjau secara makro disadaribahwa pendekatan pembangunan denganmenempatkan pembangunan ekonomi seba -gai panglima memang telah mampu mema -cu dan memicu perbaikan kondisi ekonomidi kebanyakan negara berkembang te rmasukIndonesia. Namun pembangunan yangterlalu bertumpu pada pembangunan ekono -mi dan GNP (Gross National Product)berakibat pada semakin melebarnya jurangantara kaum miskin dan golongan kaya (Ul -haq, 1976; Baswir, 1997). Upaya untukmengejar pertumbuhan ekonomi, membuatperekonomian hanya berada di tangansekelompok kecil golongan yang bermodal.

Hal ini ditengarai dengan adanyafenomena bahwa angka kemiskinan padatahun 1970 sebanyak 60% telah turunmenjadi 27% tahun 1987 dan turun lagi 15%tahun 1990, serta meningkatnya pendapatanper kapita dari US$ 75 (1967) menjadi US$570 tahun 1991. Di samping menurunnya

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

84

kontribusi sektor pertanian dari 51,8$ (1967)menjadi 18,5% (1991) dan meningkatnyakontribusi sektor industri dari 8,4% (1967)menjadi 20,2% (1991) (Baswir, 1997).

Meski pun kinerja pembangunannasional yang berorientasi ekonomi inicukup mengesankan tetapi dimensi sosialpembangunan tidak cukup mendapat perha -tian. Ini ditandai oleh terjadinya marginal -isasi kekayaan dan kekuasaan, terjadinyaproses unidimensionalisasi manusia yangcenderung memandang manusia sebagaisalah satu faktor produksi semata, timbulnyadependensi masyarakat yang terlalu besar,ketidakberdayaan masyarakat menghadapidelivered development, disparitas strukturalmaupun regional. Mereka berkiprah dalamindustri manufaktur, dan industri besaruntuk mensuplai kebutuhan pasar luar, dansebaliknya kurang memperhatikan kepen -tingan pasar domestik. Seperti yang dinyata -kan Grabowski (1995:42-3) bahwa:

dualistic theory of develo pment,distinguishes between an agricultural and anindustrial sector. Growth of the domesticmarket that allows for the establishment ofincreasing-returns to scale technology inindustry. Specifically, firm can over comethe problem of small domestic by increasingproduction for foreign markets .

Kesenjangan sektor industri dan pertanianberdampak pada melebarnya disparitas diantara kedua sektor tersebut. Ketika indeksproduktivitas relatif sektor industrimeningkat dari 1,54% menjadi 1,82% untukperiode 1970-1991, ternyata indeksproduktivitas relatif sektor pertanian yangmenampung lebih separuh tenaga kerjaIndonesia justru merosot, dari 0,70%menjadi 0,35% (Baswir, 1997:13). Inidisebabkan karena pergeseran sutrkturalperekonomian (dari pertanian ke industri)tidak diikuti oleh pergeseran tenaga kerja

antarsektor. Dalam kurun waktu 1970 -1991tenaga kerja di sektor industri meningkatdari 11% menjadi 17%, sedangkan di sektorpertanian hanya turun dari 67,5% menjadi55%.

Dari segi politik ekonomi, kemis-kinan dipandang sebagai konsekuensi dariproses yang telah mendorong konsentrasikekayaan dan kekuasaan di satu pihak danmenumbuhkan massa pinggiran yang memi -liki posisi penawar yang lemah di lain pihak(Chambers, 1983:37). Hal ini merupakansuatu kesalahan karena pembangunan tidakbertujuan menghapus bentuk kemiskinan,tetapi mengejar tingginya pendapatan perkapita. Oleh karena itu strategi pemba -ngunan sebelumnya langsung diarahkan me -nyerang kemiskinan (direct attack to thepoverty).

Pembangunan yang hanya mengejarpertumbuhan ekonomi yang tinggi, bera -kibat pada terabaikannya kelompok miskindalam menikmati program pembangunan.Salah satu upaya pemerintah dengan me -nempatkan pembangunan ekonomi sebagaileading sectors, bertujuan untuk mendorongpendapatan per kapita penduduk yangkenyataanya belum dinikmati oleh seluruhlapisan masyarakat. Dalam kondisi sepertiini, kebijakan pemerataan pembangunanmenjadi isu sentral dalam proses dan agendapembangunan. Pemerintah menyadari akanhal ini, dengan dilakukannya pergeseranorientasi pembangunan, dengan menem -patkan "pemerataan pembangunan" sebagailogos pertama, baru diikuti oleh "pertum -buhan ekonomi" dan "stabilitas nasional",yang dimulai sejak Pelita III hingga PelitaVI. Di samping itu dengan dimuatkan "dela-pan jalur pemerataan" sebagai action planjuga merupakan bukti historis "adminis -tratif" politik pembangunan di Indonesia.

Secara normatif memang dirasakansangat tepat terjadinya pergeseran strategi

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

85

pembangunan dari pertumbuhan ke peme -rataan, namun secara empirik yang terjaditidaklah demikian, karena kurangnya pem -bagian porsi "kue nasional" yang ditujukankepada masyarakat miskin di pedesaanmaupun rekan mereka yang berdomisili diwilayah permukiman kumuh perkotaan,justru akan membagi beban kronis pemba-ngunan di kemudian.

Dampak dari pelaksanaan strategipembangunan (pengentasan kemiskinan)yang berorientasi ekonomi menyebabkanbahwa masyarakat sebagai kelompok sa -saran hanya sebagai obyek pembangunan,karena kenyataannya warga masyarakat (ke-luarga peneriman bantuan) merasa kurangdiajak berbicara tentang program bantuan didesanya, akibat dari peristiwa ini keter -libatan mereka dalam pemanfaatan bantuan(peningkatan pendapatan), adalah tidakoptimal, yang pada gilirannya banyakprogram bantuan (pengentasan kemiskinan)kurang memberikan hasil seperti yangdiharapkan.

Keadaan ini merupakan dampakkebijakan pembangunan yang bersifat topdown, dan kenyataannya kebijakan ini selaludikritik karena sifatnya terlalu mementing -kan stabilitas demi tercapainya target kuan -titaif hasil pembangunan melalui penetapandari atas, penetapan kebijaksanaan sepihak,kurang aspiratif, terlalu bersifat fasilitatifkurang memberikan otoritas dan kemandi -rian bagi masyarakat. Banyak sekali kebi -jakan Taskin yang telah diluncurkan kebawah untuk ditindaklanjuti oleh instansilintas sektor seperti UU No 10/1992 tentangpemetaan keluarga sejahtera, Inpres 5/1993tentang peningkatan penanggulangan kemis -kinan, Inpres 3/1996 tentang peningkatanpenanggulangan kemiskinan dan lain-lain.

Sebagaimana dalam kebijakan pro -gram Pengentasan Kemiskinan (Taskin)seperti Inpres Desa Tertinggal, Jaring

Pengaman Sosial (Social Safety Net), Ta-bungan Keluarga Sejahtera, Kredit UsahaKeluarga Sejahtera, Usaha Peningkata nPendapatan Keluarga, dan yang lain, secarateori telah ditentukan prinsip pembangunanyang berorientasi pada pengentasan kemis -kinan baik perorangan mau pun kelompok.Pendekatan ini dibentuk dengan maksudagar penduduk miskin dapat diberdayakansehingga dapat berperan membebaskandirinya sendiri dari kemiskinan. Dalamkenyataan secara aplikatif dan empirik tidaksemua dapat dilakukan karena dominasiaparat sangat menentukan. Hal demikiandisebabkan selama ini banyak program yangtop down dan sentralistik serta target dalamsuatu sistem yang membudaya. Hal sema -cam itu menumbuhkan sikap aparat yangmemperlakukan orang/kelompok miskinhanya sebagai obyek atau pemanfaatpembangunan (user). Sebaliknya aparatbelum sepenuhnya memperlakukan masya -rakat miskin sebagai subyek atau pelaku(aktor). Selain itu, juga karena belum sesuai -nya pendekatan tersebut dengan kondisiinfrastruktur pedesaan sebagai pendukungpendekatan. Dampak belum dilaksanakan -nya prinsip tersebut antara lain perilakumasyarakat dalam memperlakukan setiapprogram pembangunan (pengentasan kemis -kinan) yang diluncurkan ke desa kurangresponsif, mereka beranggapan bahwa setiapprogram yang diluncurkan ke desa semata -mata bukan kepentingan dirinya (kelompokmiskin) melainkan kepentingan aparat d ankelompok lain di desa. Anggapan itu munculkarena setiap dilaksanakannya programpembangunan termasuk bantuan pening -katan pendapatan, masyarakat sasaran ataukeluarga miskin tidak kurang dilibatkansejak awal. Mereka tinggal melaksanakansetiap program (bantuan peningkatan pen-dapatan) sesuai petunjuk yang diberikanoleh pimpinan (pamong desa), yang sering -

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

86

kali apa yang harus dilaksanakan itu tidaksesuai dengan kebutuhan atau kondisinya.Pemberian bantuan memang memiliki tujuanyang positif bila ditinjau dari pihak pemberibantuan, namun dari pihak penerima belumtentu ditanggapi yang sama.

Banyak pakar yang menerima tesisbahwa tingginya laju pertumbuhan ekonomijika tidak diiringi dengan kebijakan memak -simalkan distribusi pendapatan dankesempatan memanfaatkan hasil lajupertumbuhan, maka hasil nyata pembangun -an adalah semakin lebarnya jurangperbedaan pendapatan dan kesejahteraanbaik antar kelompok masyarakat, mau punantar wilayah. Pertumbuhan ekonomi yangtinggi belum tentu dapat memperluaskesempatan kerja, dan sejalan dengan ituterdapat kecenderungan seakan-akan sifatdan pola pertumbuhan justru menambahkepincangan pembagian pendapatan. Alasanyang dikemukakan antara lain:1. Karena dalam upaya mencapai laju

pertumbuhan yang tinggi, maka sektormoderen pasti mendapat tempat yangutama di dalam pembangunan perekono -mian dan salah satu sifat serktor iniadalah padat modal. Dan hanyamenjangkau kelompok masyarakattertentu.

2. Strategi yang berusaha mengejarpertumbuhan, sama artinya denga nmengutamakan pertumbuhan daerahyang sebelumnya sudah maju (well-developmed), sehingga daerah yangsudah maju semakin maju, dan daerahterbelakang (less developed) semakintertinggal.

Kondisi ini menimbulkan konseku -ensi pada sentralisasi pembangunan di wila-yah perkotaan, sehingga akses pembangunandan subsidi pemerintah bagi layanan publikdalam bentuk program pembangunan meng -alami bias pada kepentingan masyarakat

golongan menengah ke atas yang bermukimdi kota, yang seharusnya ditujukan untukgolongan miskin yang lebih berhak mem -perolehnya (Effendi, 1986).

Pembangunan seperti ini berdampakpada tidak meratanya pembagian penda -patan dan kesempatan kerja serta timpang -nya pembangunan antar daerah yang meru -pakan akibat dari pola dan orientasi pem -bangunan bersifat urban bias dan capitalintensive. Kedua hal ini menjadi faktorpenghambat dalam mencapai pemerataandan pembagian pendapatan.

Situasi pembangunan yang "tenang"di permukaan secara tidak terduga menjadisocial unrest dan pada skala tertentu dapatmenggelinding menjadi debat hangat diberbagai situasi, serta gugatan atas kondisiyang dialami masyarakat terhadap aparatpemerintah sebagai policy maker. Ini dise-babkan karena selama ini dominasi elitpenguasa sangat besar terhadap pelaksanaanprogram pembangunan umumnya dan pro -gram bantuan (pengentasan kemiskinan)khususnya. Semua program lebih didasarkanpada kepentingan pemerintah, bukan kepen -tingan kelompok sasaran.

Keadaan itu merupakan ciri programpengentasan kemiskinan di era Orde Ba ru,oleh karenanya tampak banyak kegagalanprogram taskin pada saat itu.

Kebijakan Taskin dengan PendekatanKesejahteraan

Dalam penerapan model pendekatan yangberorientasi ekonomi (pertumbuhani) terse -but ternyata kurang mampu memberdayakanmasyarakat yang dibantu (unpowerment),sehingga perlu dikembangkan model Taskinyang berorientasi pada pendekatan kese -jahteraan rakyat (people centered prosperitydevelopment).

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

87

Karakteristik Taskin dengan pende -katan kesejahteraan merefleksikan substansipositif yaitu: (1) welfare, (2) access toresources of development and its benefit, (3)consciousness, (4) participation, dan (5)control ever the use of resources and itsbenefit (Longwee, 1990:4).

Apabila pendekatan dengan paradig -ma pertumbuhan dan model pemenu han ke-butuhan dasar bersifat top down planning ,maka model pembangunan yang berorientasipada peningkatan kesejahteraan ini mene -rapkan mekanisme bottom up yang berciri-kan:(1) prakarsa atau inisiatif proses

pengambilan keputusan untuk meme -nuhi kebutuhan masyarakat diletakkanpada masyarakat itu sendiri;

(2) fokus utamanya adalah berusahameningkatkan kapabilitas masyarakatuntuk mengelola dan memobilisasisumber produktif yang terdapat didalam komunitas untuk memenuhikebutuhan mereka;

(3) mentolerir peran variasi lokal, sehinggasifatnya lebih fleksibel dan dapatmenyesuaikan dengan kondisi lokal;

(4) lebih menekankan pada socialenginnering process , yang di dalamnyaterdapat interaksi kolaboratif antarabirokrasi dan komunitas;

(5) budaya kelembagaan ditandai olehorganisasi yang mengatur diri sendiridan lebih terdistribusi;

(6) proses pembentukan jaringan antarastruktur kekuasaan (birokrat) denganlembaga swadaya masyarakat (LSM),satu-satunya organisasi yang mandirimerupakan bagian integral daripendekatan ini. Melalui prosesnetworking ini diharapkan terjadisimbiose antara struktur pembangunandi tingkat lokal (Korten, 1984: 26 -27).

Cooke (1989) menggunakan studilokalitas untuk melihat pembangunan,terutama gap antara teori ekonomi politikdan proses makro pada tingkat lokal. Istilahlokalitas sendiri benar atau salah, saat inidigunakan secara luas dalam literaturternyata memiliki dua sudut pandang,pertama sebagai pendekatan teoretikal(locality studies), dan kedua sebagaigambaran dari istilah itu sendiri (studies oflocality) (Wilson, 1995:418). Meskipundemikian lokal tidak mungkin dipisahkandari nasional, karena bagaimana pun jugakemampuan individu mengenali kesempatantergantung pada proses kewirausahaan,tetapi dapat difasilitasi dengan memak-simalkan enabling environtment yang diben-tuk oleh sikap dan tindakan dari komunitaslokal, pemerintah lokal dan pemerintahnasional.

Ide dasar pembangunan (pengentas -an kemiskinan) dari bawah dan berpusatpada masyarakat yang disebut pe ndekatankesejahteraan menempatkan masyarakatbukan sebagai unit cost dari faktor ekonomi,dan tidak pula ditujukan kepada kebijak -sanaan yang kurang memanusiakan manu -sia, sebagaimana yang lebih nampak padapendekatan ekonomi, begitu pula masya -rakat bukan semata-mata sebagai obyekpembangunan yang pasif akan tetapimasyarakat dipandang sebagai subyek yangproaktif atas tuntutan dari dalam danrangsangan dari luar, dalam hal manamereka dapat mandiri dan memilikikepentingan sendiri.

Acuan “dari rakyat” kiranya sulitdilakukan, terutama oleh kaum profesional,birokrat maupun teknokrat, karena merekapada umumnya dibayar oleh pemerintah,sehingga benarlah kiranya anggapan bahwasejak dari semula pembangunan memangtidak "dari rakyat", dan akhirnya bukan

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

88

hanya “tidak untuk rakyat" tetapi juga tidak"oleh rakyat" (Chambers, 1983:xix).

Sifat program bantuan peningkatanpendapatan (program Taskin) bukanlahcharity semata, melainkan untuk mening-katkan kemandirian. Namun dalam pelaksa -naannya tidak ada pemantauan dan evaluasiterhadap setiap program yang diluncurkan kedesa, sehingga dampaknya penerima bantuanmerasa tidak ada tanggung jawab dalammengelola setiap bantuan yang diberikan.Rendahnya bahkan tidak adanya tanggungjawab dalam mengelola bantuan seca ra baik,salah satu sebabnya adalah penerimabantuan (masyarakat) merasa bahwaprogram tersebut bukan didasari karenakepentingannya, melainkan karenakepentingan orang lain yang dalam hal iniadalah pimpinan desa dan perangkat diatasnya. Sebab lain, kurangnya tanggungjawab dalam mengelola bantuan adalahbanyak program bantuan itu tidak mengarahlangsung pada income generating capacity ,namun peningkatan pendapatan itu harusmelalui proses yang masih panjang. Bahkanincome generating capacity tersebut hanyadirasakan oleh sekelompok orang yangsebenarnya bukan sasaran utama programtersebut.

Untuk meningkatkan incomegenerating capacity, paling tidak harus adaperbaikan pada: (1) akses terhadapsumberdaya, (2) akses terhadap modal, (3)akses terhadap pasar, dan (4) akses terhadapteknologi. Sulitnya memenuhi keempatpersyaratan tersebut seringkali menyebab -kan program pembangunan lebih banyakdinikmati oleh mereka yang berkesempatanmemiliki akses, dan ini pada umumnyaberada pada masyarakat (keluarga) yanglebih beruntung atau lebih berdaya.Keadaan ini senada dengan temuanpenelitian Erler (1989:3), bahwa bantuanhanya mendatangkan musibah bagi

kelompok sasaran, sementara kelompok lainyang mengambil keuntungan. Investasimodal (asing) di suatu negara belum tentumenjamin tercapainya perbaikan taraf hiduprakyat yang membutuhkan pekerjaan(Sutrisno, 1995:41).

Persoalan yang tidak dapat dilepas -kan dengan masalah kemiskinan adalah theworking poor, yakni orang yang bekerjatetapi tidak mampu mencukupi kebutuh-annya sendiri dan keluarganya, karena upahyang diterima sangat kecil. Ini disebabkankarena dari segi politik, ekonomi, kemis -kinan dipandang sebagai konsekuensi dariproses yang telah mendorong konsentrasikekayaan dan kekuasaan di satu pihak danmenumbuhkan massa pinggiran yang memi -liki posisi tawar menawar yang lemah di lainpihak (Chambers, 1983:37).

Di sinilah pentingnya memperhati -kan kelayakan setiap program bantuanpeningkatan pendapatan untuk dilaksana -kan guna mengangkat mereka dari ketak-berdayaan, sehingga paling tidak dapatmemiliki posisi tawar menawar yang lebihbaik. Kelayakan program pembangunankhususnya bantuan peningkatan pendapatandapat dilihat dari manfaat hasil programdalam rangka memenuhi kebutuhanmasyarakat (penerima bantuan) (Korten,1988: 240). Untuk itulah maka sangatlahtepat bila Chambers (1983) menghendakibahwa setiap program pembangunan desadimulai dari belakang, atau perencanaan daribawah, dengan menempatkan mayasarakat(desa) sebagai pijakan atau titik tolak setiapprogram pembangunan.

Bertambahnya angkatan kerjasebagai akibat peledakan penduduk belumseluruhnya dapat terserap oleh sektor nonpertanian sedangkan jumlah tenaga kerjayang masuk ke sektor pertanian, baiksebagai petani maupun buruh tani semakinbesar meskipun secara persentase menun -

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

89

jukkan penurunan dari 67,5% tahun 1970menjadi 55% tahun 1991 (BPS, 1993).Dengan keadaan tanah semakin sempit,menunjukkan bahwa beban pada sektorpertanian menjadi makin berat. Dalamkaitan inilah diperlukan kesempatan kerja diluar sektor pertanian yang mampu menam -pung dan menarik keluar tambahan tenagakerja dari sektor pertanian untuk padaakhirnya dapat memberikan tambahanpendapatan.

Meningkatkan kemampuan keluargamiskin di pedesaan agar mereka mampumensejahterakan dirinya merupakan bagiandari pembangunan ekonomi masyarakatkhususnya program pengentasan kemis -kinan. Melalui program pembangunan, sa -saran pembinaan seharusnya ditujukankepada keluarga dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan. Untuk itu penye-baran bantuan kepada masyarakat setidak -tidaknya disusun dari mereka yang termiskin(the poorest of the poor) .

Sesungguhnya secara kasat matasangatlah mudah untuk menemukan lokasikeluarga miskin itu berada. Akan tetapiseringkali mereka tidak terditeksi sehinggamereka terabaikan dalam pengalokasianberbagai program bantuan, yang secarafilosofi sebenarnya program itu dirancanguntuk mereka. Banyak di antara merekamenjadi obyek pembicaraan dalam berbagaiforum diskusi dan kemudian t erlupakanketika action plan mulai dilaksanakan.

Mengangkat kemiskinan kepermukaan membutuhkan suatu sikap "ke -berpihakan" kepada mereka. Kita perlumasuk ke dalam dunia mereka, karena faktatidak mampu berbicara, melainkan manu -sialah yang menginterpretasikan.

Menyelami dunia kemiskinan, padadasarnya ikut merasakan penderitaan mere -ka, akan sangat membantu dalam mengatasikemiskinan mereka. Kiranya pemikiran ini

selaras dengan Korten (1984:240) bahwakelayakan program ditentukan tiga hal yaitu:program itu sendiri, kondisi penerimabantuan dan organisasi pelaksana programtersebut.

Bila setiap program tidak memperha -tikan ketiga unsur dalam kelayakan tersebut,dimungkinkan terjadi kegagalan, sepertipenelitian Erler (1989:3) mengenai bantuanasing di negara Bangladesh menunjukkanbahwa bantuan pembangunan hanyamendatangkan musibah bagi kelompoksasaran, sementara kelompok lain yangmengambil keuntungan. Oleh karena ituErler sampai pada kesimpulan bahwabantuan pembangunan harus dihapuskan.

Demikian juga yang dinyatakan olehMichael Hirsh (Soetrisno, 1995:41) bahwainvestasi modal asing di suatu negara belumtentu menjamin terciptanya perbaikan tarafhidup rakyat yang membutuhkan pekerjaan.Ini menunjukkan bahwa tidak setiap bantuanitu mengena pada sasaran yang seharusnya.

Daya kerja suatu programpembangunan (pengentasan kemiskinan)adalah kesesuaian antara mereka yangdibantu, program (bantuan) denganketersediaan pasar, serta organisasi yangmengelola. Dengan kata lain program (pem -bangunan) akan gagal dalam meningkatkankesejahteraan masyarakat bila tidak adaketerkaitan antara kebutuhan kelompoksasaran dengan hasil program yang akandinikmatinya, persyaratan program dengankemampuan yang dimiliki oleh organisasipelaksana serta pasar guna memasarkanhasil, kemampuan untuk mengungkapkankebutuhan (kelompok sasaran) denganpengambilan keputusan organisasi pelaksa -na.

Untuk itulah maka dalam melaksa -nakan program pembangunan (pengentasankemiskinan) ide pembangunan (programTaskin) hendaknya didasarkan pada peren-

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

90

canaan partisipatif. Karenanya, proses pe -rencanaan harus didasarkan pada: (a)analisis problem dan situasi yang meng -hasilkan kekayaan informasi, (b) penelu -suran problem dan prioritas problem, dan (c)penelitian kebutuhan, prefe rensi, danharapan-harapan kelompok target yangberkaitan dengan pembangunan.

Menurut Korten (Gran,1983:246),dalam melakukan strategipembangunan, orientasi kerakyatansangat diperlukan beberapa tindakan,yaitu:1. pergi kepada rakyat,2. hidup di antara rakyat,3. belajar dari rakyat,4. merencanakan dengan rakyat,5. bekerja dengan rakyat,6. memulai dengan apa yang diketahui

rakyat,7. membangun pada apa yang dimiliki

rakyat,8. mengajar dengan menunjukkan,9. belajar dengan bekerja,10. tidak pamer,11. bekerja berdasarkan sistem,12. tidak sepotong-sepotong tetapi terpadu,13. tidak konform tetapi untuk transformasi.

Strategi pembangunan yang berorientasikerakyatan (Korten, 1988) ternyata senadadengan strategi pembangunan partisipatifyang merupakan strategi pembangunan yangberorientasi pemerataan (Soetrisno, 1995:253). Dalam strategi ini pembangunan harusdiartikan sebagai perubahan sosial yangutuh, bukan perubahan sosial parsial. Baikrakyat mau pun pemerintah dituntut secarabersama-sama menciptakan sikap mentalbaru, dalam merencanakan dan melaksana -kan pembangunan.

Hal ini juga senada dengan Poppe(1997:3) bahwa “program development asan endogeneous process, starting with a

development vision for region and aim at theparticipation of regional actors through -outthe planning process.”

Bantuan peningkatan pendapatan(program Taskin) menuntut adanya parti -sipasi masyarakat. Partisipasi saat ini, bukanlagi masalah mau atau tidaknya merekaberpartisipasi tetapi sejauh mana merekamemperoleh manfaat bagi perbaikan keh i-dupan sosial ekonomi mereka (Soetrisno,1991:12). Demikian juga penelitian Roesmi -ningsih (1995) dan Ariadi (1995) menyata -kan bahwa banyak penerima bantuanmenolak bantuan dengan alasan merekatidak dapat secara langsung merasakanmanfaat bantuan tersebut, karena padaumumnya bantuan yang diberikan masihmemerlukan proses pengembangan. Adabeberapa pendekatan dalam mengatasikemiskinan yang kemungkinan dapatdilakukan. Pendekatan tersebut antara lain:1. Pendekatan struktural yang menekankan

pada upaya untuk secara bersungguh-sunggu memerangi korupsi, kolusi, yangsementara ini menjadi salah satu sebabtimbulnya kemiskinan;

2. Pendekatan lingkungan dengan skalaglobal;

3. Pendekatan spiritual kebersamaan yangdalam hal ini berorientasi pada spiritualbangsa yaitu Pancasila;

4. Pendekatan Keswadayaan;5. Pendekatan participatory dengan

menolak pola hubungan atas -bawah,tuan-hamba;

6. Pendekatan charity yang mendasarkanpada ajaran agama;

7. Pendekatan keamanan dengan mengem -bangkan sikap kesetiakawanan sosialdan kesetiakawanan usaha serta pen-dekatan kesejahteraan.

Studi tentang partisipasi masyarakat(miskin) dalam hubungannya dengan prosespemberdayaan masyarakat (empowerment)

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

91

menunjukkan bahwa konsep yang menyertaikemiskinan yang disebut sebagai "hakekatkemiskinan" meliputi lemahnya nilai tukarhasil produksi, organisasi, rendahnyakualitas sumber daya manusia, produk -tivitas, akses hasil pembangunan, minimnyamodal yang dimiliki, rendahnya pendapatan,sederhanaya teknologi yang dimilki, adanyakesenjangan kaya-miskin, minimnya ke-mampuan berpartisipasi dalam sistempembangunan nasional serta lemahnya posisitawar menawar.

Untuk itulah ditawarkan strategipengentasan kemiskinan dengan paradigmabaru yaitu paradigma kesejahteraan. Para -digma ini tidak hanya mempriorita skan padaaspek ekonomi semata namun yang lebihpenting adalah menumbuhkan dan mengem -bangkan wawasan, pengetahuan, ketram -pilan, sikap serta perilaku keluarga sasaranagar dapat mengakses sumber daya, modal,pasar, tekonologi serta informasi yang padagilirannya dapat mewujudkan kesejahteraansecara mandiri.

Strategi pengentasan kemiskinandengan paradigma baru, dengan menggu -nakan pendekatan kesejahteraan, akan lang -sung menyentuh basis ekonomi petani (pen -duduk desa) miskin di samping juga mem -perhatikan aspek sosial dan budaya ma -syarakat miskin.

Ada delapan kunci pengentasankemiskinandalam menerapkan pendekatankesejahteraan yaitu:

Pertama, program penanggulangankemiskinan haruslah program yang dilan -daskan pada kegiatan peningkatan kemam -puan untuk menghasilkan income bagisasaran (target beneficiaries) dan azasincome generating capacity berasal darikegiatan tersebut. Untuk menghasilkanincome generating capacity paling tidakharus ada perbaikan akses pelaku terhadapempat hal yaitu: (1) akses terhadap sumber

daya, (2) akses terhadap modal, (3) aksesterhadap pasar, dan (4) akses terhadapteknologi. Sasaran paling utama diberikankepada perbaikan pelakunya (invest inpeople).

Kedua, diterapkannya secara utuhprinsip pembinaan dengan pendekat ankelompok, kemitraan, keluarga, sertaberprinsip pada keserasian dan keswa -dayaan, belajar sambil bekerja serta kepe -mimpinan dari kelompok sasaran sendiri.Dalam pembinaan ini peran pendidikan danpengembangan sosial dengan prinsiplearning by doing, tidak dapat ditinggalkan.

Ketiga, dirancangkannya pola pela -tihan bagi petugas pembina yang mampumeningkatkan antusiasisme, dedikasi dankemampuan para petugas pembina dalammenggali dan mengembangkan aspirasikeluarga miskin, terutama dengan pende -katan rural participatory apraisal .

Keempat, diterapkannya pola kredityang mendidik dan disiplin bagi petani kecilsehingga pada akhirnya mempunyai kredi -bilitas untuk berhubungan dengan Banksecara normal.

Kelima, diterapkannya cara kerjayang terbuka di antara petugas pembina,sehingga memacu kreativitas dan produk -tivitas kerja (melaksanakan hubungan yangbersifat dialogis dan kolegial), terutamadengan ditanamkannya prinsip melu han-darbeni dan melu hangrungkepi padakelompok sasaran dan pembina terhadapprogram Taskin yang dikembangkan.

Keenam, dilaksanakannya latihankepemimpinan perencanaan partisipatif se -hingga tumbuh kesatuan kepemimpinan danperencanaan dalam penanggulangan kemis -kinan.

Ketujuh, digunakannya berbagai kre -dit untuk berbagai macam usaha yang me-miliki peluang pasar terbesar.

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

92

Kedelapan, digunakan prinsip pende -katan kelompok, keluarga, keserasian,kepemimpinan dari kelompok, kemitraan,swadaya, dan belajar sambil bekerja.

Secara visualisasi model pengen -tasan kemiskinan dengan pendekatan kese-jahteraan ini dapat digambarkan sebagaiberikut:

Model Pengentasan Kemiskinan dengan Pendekatan Kesejahteraaan

Langkah awal dalam pendekatan ini adalahidentifikasi potensi masyarakat dan wilayahyang akan dikembangkan, kemudianmelakukan pembinaan jiwa dan wawasanwirausaha, ditunjang dengan pemanfaatanteknologi tepat guna untuk meningkatkanefisiensi proses produksi, diikuti denganpengembangan lembaga ekonomi danpengadaan pasar. Kesemuanya itu akanmembentuk para wirausahawan yangmandiri yang pada gilirannya akanmembentuk masyarakat yang sejahteradalam arti ekonomi, psikis dan sosial.

Kebijakan pemerintah reformasidalam menyikapi Taskin melalui programJaring Pengaman Sosial (Social Safety Net),lewat beberapa departemen seperti:Pembangunan Prasarana Pendukung DesaTertinggal (P3DT), Pemberdayaan DaerahDalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi(PDM-DKE), Penanggulangan DampakKekeringan dan Masalah Ketenagakerjaan(PDKMK), Crash Proggrame Proyek PU,ABRI Manunggal Pertanian (AMP),

Peningkatan Produksi AgribisnisHortikultura (P2AH) dan lain-lain, di manapola yang diluncurkan berupa droping danakepada kelompok miskin jelas tidakmendidik. Berapa pun uang yang disediakanpasti akan habis dan orang miskin tid ak akanberkurang. Karena program tersebut tidakmendidik tetapi memperkerjakan orang apapun kualitasnya untuk mendapat upah. Polapelaksanaan program tersebut di atas masihperlu disempurnakan untuk dapatmenemukan hasil maksimal dengan mem -berdayakan obyek (masyarakat miskin)lewat perencanaan yang matang danpelatihan yang sesuai dengan kondisi(potensi daerah). Meski pun pola inidiarahkan untuk memberdayakan masya -rakat miskin namun kenyataannya masihbanyak dijumpai kendala dalam pelak -sanaannya sehingga tidak banyak orangmiskin yang merasakan manfaatnya sepertiyang diuraikan. Begitupula hasil penelitianJohn Breman dan Gunawan Wiradi dibeberapa desa di Kabupaten Subang dan

Pembina/pendamping/mitra

Kelompoksasaran/

masyarakatmiskin

Pemberdayaan

1. Wawasan dan jiwa wirausaha

2. Teknologi tepat guna

3. Kelembagaan

(ekonomi)

4. P a s a r

Potensidesa/

wilayah

Wira usahawanyang mandiri

Masyarakatsejahtera

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

93

Cirebon dengan 500 responden,mengisyaratkan: “dana itu sebaiknya distopkarena kurang menyentuh rakyat miskin”(Tempo, 20-26 April 1999). Melihatkenyataan inilah maka pendekatan yangditawarkan ini paling tidak dapat digunakanuntuk memperkecil kendala yang dijumpai.

Dari hasil studi lapangan sertapernyataan yang disampaikan oleh BankDunia mau pun oleh Bappenas dan jugapeneliti yang lain dapat kita simpulkanbahwa mekanisme dan monetoring JPS padasasaran penduduk miskin ini perlu diadakanperubahan.

Agar pelaksanaan JPS (inti) ini yangmerupakan bagian dari kelompok proyek-proyek Gerdu Taskin dapat lebih suksessesuai yang diharapkan kiranya perludiujicoba dengan versi lain lewat pende -katan kesejahteraan dengan melihat potensiwilayah/pemetaan (alam, manusia, budaya,teknologi, dan modal) kemudian dikelom -pokkan, mana potensi yang bisa dikem -bangkan dan mana potensi yang perlusuplisi/motivasi/inovasi dilengkapi denganpetunjuk teknis dan jadwal pelaksanaan.

Pemetaan ini secara umum bertujuanuntuk menghasilkan peta-peta tematik ten-tang berbagai kegiatan dalam pengentasankemiskinan menurut satuan wilayah keca -matan, dilengkapi dengan petunjuk teknisdan jadual pelaksanaan pengentasankemiskinan.

Ada pun peta tersebut secara rincidapat dijabarkan menjadi beberapa tujuankhusus yaitu:1. Pemetaan jumlah penduduk miskin;2. Pemetaan jumlah penduduk miskin dan

faktor penyebabnya;3. Pemetaan potensi SDM penduduk

miskin;4. Pemetaan potensi sumber alam;5. Pemetaan alokasi dan sumber dana untuk

Taskin;

6. Pemetaan program Taskin secarakomprehensif dan integratif.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas,ternyata pendekatan kesejahteraan secarakonsep lebih menguntungkan dan lebihdekat dengan sasaran pengentasankemiskinan yaitu rakyat miskin yang ada diberbagai wilayah, dibandingkan pendekatanekonomi yang telah banyak menemuikegagalan.

Pendekatan kesejahteraan menyang-kut masalah ekonomi dan non ekonomi dantidak lagi pendekatan pada orang dankelompok tetapi pendekatan lewat kajianwilayah yang di dalamnya menyangkutkendala dan potensi manusia atau ma -syarakat, budaya, modal dan teknologidengan memperhatikan pula kedekatan antaraparat pemerintah dan masyarakat lewatkemitraan dan dialog untuk tercapainyasuatu konsensus serta proses transformasiinformasi yang lebih transparan dan inovasiteknologi lewat pelatihan dan medi a lainserta partisipasi berbagai pihak.

Karenanya pendekatan dalam pro -gram Taskin lewat pola kesejahteraan inibercirikan:

Mobilisasi dan optimalisasi pemanfaatansumberdaya yang ada di lokasi/ wilayahtersebut.

Pendekatan proaktif dan persuasif. Berkelanjutan, edukatif dan ekonomis. Keterpaduan dan kemitraan, serta Mengembangkan sikap belajar sambil

bekerja dengan menerapkan inovasiberupa teknologi tepat guna, terobosanmodal dan akses pasar.

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

94

Daftar Pustaka

Ampang, Jacob, “Identifikasi dan AnalisisFaktor Sosial Ekonomi Yangmempengaruhi Pendapatan PetaniMiskin di Kabupaten JenepontoSulawesi Selatan,” Tesis FPS UGMYogyakarta, 1984.

Ariadi, Endang Suwarno, “PengembanganPaket Pendidikan LingkunganHidup Dalam Rangka meningkatkanPeran Wanita dalam PengelolaanLingkungan Melalui PKK diPedesaan,” Penelitian HibahBersaing II, Ditbinlitamas DitjenDikti, IKIP Surabaya, 1993-5.

Baswir, Revrisond, Agenda EkonomiKerakyatan, (Yogyakarta: PustakaPelajar bekerja sama dengan IDEA,1997).

Berger, Guy, “Structural and RuralDevelopmentin third WorldReview,” dalam EconomicDevelopment and Cultural Change ,Vol. 44, No. 1, October 1995.

Chambers, Robert, Pembangunan DesaMulai dari Belakang (Jakarta:LP3ES, 1983).

______, Participatory Rural Appraisal(Yogyakarta: Kanisius, 1996).

Cooke, P. (ed.), Localities, The ChangingFace Of Urban Britain . (London:Unwin Hyman, 1989).

Effendi, Sofyan, "Pelayanan Publik,Pemerataan dan AdministrasiNegara Baru," Prisma, No. 12,1986.

Effendi, Tadjuddin N. dan Chris Manning,Rural Development Non-farmEmployment in Java , (Hawaii:Resources System Institute, EastWest Centre, 1991).

Erler, Briggite, 1989, Bantuan YangMematikan, diterjemahkan olehHanafi (Jakarta: LP3ES, 1989).

Friedman David, The MisunderstandMiracle Industrial Development andPolitical Change in Japan (Ithaca,New York: Cornell UniversityPress, 1988).

Friedman, J. and Alonso (eds.), RegionalDevelopment And Planning(Cambridge: A Reader, 1979).

Glewwe, Paul, “The Poor in Latin Americaduring Adjustment: A Case Study ofPeru,” Living StandardsMeasurement Study Working Paper56, Washington, D.C.: WorldBank, 1989.

Grabowski, Richard, “Commercialization,Non-agricultural Production, Agri -cultural Innovation, and EconomicDevelopment,” The Journal ofDeveloping Areas, Vol. 30 No.1October 1995, 41-62.

Grand Guy, Development by People , (USA:Praeger Special Studies, PregerPublishers, 1983).

Hagul, Peter (ed.), Pembangunan Desa danLembaga Swadaya Masyarakat(Terjemahan) (Jakarta: RajawaliPress, 1992).

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

95

Jazairy Idriss dan kawan-kawan, “The Stateof World Rural Poverty: An Inquiryinto Causes and Consequences”dalam Economic Development andCultural Change, Volume 44, No.1, October 1995.

Korten, D.C., dan Sjahrir, PembangunanBerdimensi Kerakyatan (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1988).

Korten David, C. dan Rusdi Klauss, PeopleCentered Development.Contribution Toward Theory andPlanning Frameworks (KumarianPress, 1984).

Lauer, Robert H., Perspectives on SocialChange, diterjemahkan olehAlimandan (Jakarta: Bina Aksara,1989).

Longwee, Sarah, “Women's ParticipationCriteria,” UNICEF, ParticipationManual, 1990.

Majalah Tempo, Edisi 20-26 April 1999

Mishra, Ramesh and M. Honjo, ChangingPerception of DevelopmentProblems (Hongkong: Maruzen,1981).

Prayitno, Hadi dan Arsyad Lincolin, PetaniDesa dan Kemiskinan (Yogyakarta:BPFE, 1987).

“Protes Kelompok Penerima IDT,”Surabaya Post, Jumat 30 Juni 1995,h. 5.

Poppe Manfred, 1997, "Decentr alizedDevelopment Planning in Indonesia:Linking Organization Structure and

Planning Strategy," Spring ResearchSeries, No. 15, 1997.

Rachbini, Didik, J., Negara dan kemiskinandi Indonesia (Jakarta: SinarHarapan, 1995).

Roesminingsih, MV. dan kawan -kawan,“Model Peningkatan KesejahteraanMasyarakat Melalui Industri RumahTangga di Pedesaan,” PenelitianHibah Bersaing Perguruan TinggiIII Ditbintitabmas Ditjen Dikti, IKIPSurabaya, 1994-6.

Siagian, H.H., "Pembangunan InfrastrukturPedesaan" dalam Sintesis, No. 12,Th. 3., Agustus 1995, 47-53.

Soetrisno, Loekman, “Beberapapermasalahan yang MenghambatPelaksanaan Partisipasi RakyatDalam Pembangunan,” makalahdisampaikan pada Seminarbulanan P3PK UGM Yogyakarta,1988.

______, 1995, "Pembangunan InfrastrukturPedesaan dan Liberalisasi Ekonomi"dalam Sintesis, No. 12, Th. 3,Agustus 1995, 39-46.

______, 1991, "Partisipasi MasyarakatPedesaan dalam PembangunanEkonomi dan Masalah PerbaikanKehidupan Ekonomi Rakyat Desa",Kritis, No. 4, Th. V, April 1991, 7-12.

Susanto, Astrid S., Sosiologi Pembangunan(Jakarta: Bina Cipta, 1984).

Tan , Melly, G., “Keadaan Kemiskinan diDaerah Pedesaan (Pokok-pokok

Machmoed Zain,”Reformasi Pengentasan Kemiskinan: Dari Pendekatan Ekonomi ke Pendekatan Kesejahteraan,” Masyarakat,Kebudaya-an dan Politik, Th XII, No 4, Oktober 1999, 79 -96.

96

Pikiran),” dalam Buletin LeknasNomor 2, 1982.

Todaro, Michel, P., Economics for ADeveloping World: An Introductionto A Principles, Problems andPolicies for Development (London:Longman, 1979).

Todaro, Michel, P., Development Planning:Models and Methods (Dar esSalaam: Oxford University Press,1983).

Ul Haq, Mahbub, Tirai KemiskinanTantangan Untuk Dunia Ketiga(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1983).

Wilson, Olivia, J., 1995, “RuralRestructuring and Agriculture-RuralEconomic Linkages a New ZealandStudy,” Journal of Rural studiesVol. 11, No. 4, 417-31.

World Development Report, Published forthe World Bank (Oxford: OxfordUniversity Press, 1995).