15
1 / 4

1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

1 / 4

Page 2: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

Table of Contents

No. Title Page

1 Ideology, Mortality Salience and Sacred Violence: A Theoritical Model -

2 The Self-construal of Students at a Private Higher Learning Institution -

3 The Family Acceptance to the Mentally Retarded Child -

4 The Siblings of Autism Child and Their Role in Therapy for Their Autism Siblings -

5 The Effect of Pregnant Gymnastic as a Prenatal Care on Degradation of Anxiety inFacing the First Childbirth

-

6 Problematika Guru dalam Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (StudiKasus Guru Sekolah Dasar di Kota Surabaya)

-

2 / 4

Page 3: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

Vol. 8 - No. 2 / 2006-08TOC : , and page : -

The Self-construal of Students at a Private Higher Learning Institution

The Self-construal of Students at a Private Higher Learning Institution

Author :A. Supratiknya |Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Abstract

The present study aims at exploring the self-construal of students at a private higher learning institution in Yogyakartawith paying attention to their gender and ethnic background, namely Javanese versus non-Javanese (Chinese,Dayakese, Batakese, Sundanese, Ambonese, Balinese, Betawinese, and Floresnese). The instrument was SkalaKonstrual-diri (n = 18; α = 0,6749), the Indonesian adaptation of the Self-Construal Scale developed by Theodore M.Singelis (1994). A total 0f 176 sophomores of 9 different ethnic background (131 Javanese and 45 non-Javanese) from20 study programs in 7 different faculties participated as Subjects. The results led to two major conclusions. First, asmembers of Eastern collectivistic communities, both Javanese and non-Javanese Subjects in general tend to have aninterdependent self-construal, but this tendency is significant only among the Javanese. Second, although there is atendency for female Subjects in general to have a more interdependent self-construal than male Subjects, but thedifference is not significant among both the Javanese and non-Javanese Subjects.

Keyword : individualism;, collectivism;, independent, self-construal;, interdependent, self-construal , ,

Daftar Pustaka :1. R.W. Brislin, (1970). Back translation for cross-cultural research. : Journal of Cross-Cultural Psychology2. J.D. Brown, (2002). Self-enhancement in Japan and America. : Asian Journal of Social Psychology3. C. Kobayashi, (2002). Self-enhancement in Japan and America. : Asian Journal of Social Psychology4. P.M. Greenfield, (2000). Three approaches to the psychology of culture: Where do they come from? Where can theygo?. : Asian Journal of Social Psychology5. S.J. Heine, (1999). Is there a universal need for positive self-regard?. : Psychological Review6. D.R. Lehman, (1999). Is there a universal need for positive self-regard?. : Psychological Review7. H.R. Markus, (1999). Is there a universal need for positive self-regard?. : Psychological Review8. S. Kitayama, (1999). Is there a universal need for positive self-regard?. : Psychological Review9. C.H. Hui, (1986). Individualism-collectivism. A study of cross-cultural researchers. : Journal of Cross-CulturalPsychology10. H.C. Triandis, (1986). Individualism-collectivism. A study of cross-cultural researchers. : Journal of Cross-CulturalPsychology11. J. Kurman, (2001). Self-enhancement Is it restricted to individualistic cultures?. : Personality and Social PsychologyBulletin12. F. Magnis-Suseno, (1985). Etika Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama13. H.R. Markus, (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. : Psychological Review14. S. Kitayama, (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. : Psychological Review15. F.M. Moghaddam, (1987). Psychology in the three worlds. As reflected by the crisis in social psychology and themove toward indigenous Third-World psychology. : American Psychologist16. N. Mulder, (1984). Kebatinan dan hidup sehari-hari orang Jawa. Kelangsungan dan perubahan kulturil. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama17. T.M. Singelis, (1994). The measurement of independent and interdependent selfconstruals. : Personality and SocialPsychology Bulletin18. A. Supratiknya, (2006). Penelitian pendahuluan tentang konstrual-diri mahasiswa. : Universitas Sanata Dharma,Laporan penelitian, tidak dipublikasikan19. H.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal of Personality and SocialPsychology20. C. McCusker, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal of Personality and SocialPsychology21. C.H. Hui, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal of Personality and Social

3 / 4

Page 4: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

Psychology

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

4 / 4

Page 5: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 89

watak yang menonjol dari psikologimainstream tersebut adalah ketidak-peduliannya pada dimensi kebudayaan dariperilaku manusia dan cenderungmengabaikan perbedaan budaya antarmasyarakat di dunia (Greenfield, 2000).Tidak puas terhadap dominasi psikologimainstream di satu sisi dan di sisi lain didesakoleh kebutuhan untuk memahamimasyarakat dengan kebudayaan yangberaneka ragam, maka sejak dasawarsa1970-an muncul gerakan-gerakan dikalangan komunitas psikologi di dunia yangbertujuan mendalami kaitan antara psikologidan kebudayaan.

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

A. SupratiknyaFakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

ABSTRACT

The present study aims to explore the self-construal of students at a private higher learninginstitution in Yogyakarta with paying attention to their gender and ethnic background, namelyJavanese versus non-Javanese (Chinese, Dayakese, Batakese, Sundanese, Ambonese, Balinese,Betawinese, and Floresnese). The instrument was Skala Konstrual-diri (n = 18; á =0,6749), the Indonesian adaptation of the Self-Construal Scale developed by Theodore M.Singelis (1994). A total of 176 sophomores of 9 different ethnic background (131 Javaneseand 45 non-Javanese) from 20 study programs in 7 different faculties participated as subjects.The results led to two major conclusions. First, as members of Eastern collectivistic communi-ties, both Javanese and non-Javanese subjects in general tend to have an interdependent self-construal, but this tendency is significant only among the Javanese. Second, although there is atendency for female subjects in general to have a more interdependent self-construal than malesubjects, but the difference is not significant among both the Javanese and non-Javanese subjects.

Keywords:individualism; collectivism; independent self-construal; interdependent self-construal.

Psikologi sebagai ilmu modern lahirdi Eropa pada penghujung abad ke-19,namun selanjutnya berkembang pesat diAmerika Serikat, terutama sejak parohkedua abad ke-20 hingga sekarang. Kendatiberakar dalam psikologi Eropa, namunpsikologi Amerika berhasil tumbuh dengancoraknya sendiri bahkan menjadi dominandan mengukuhkan diri sebagai “mainstreampsychology” (Moghaddam, 1987). Salah satu

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006

© 2006, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga132

dan pada kasus III mempunyai jeniskelamin laki-laki. Perbedaan jeniskelamin ini membuat sikap yangditunjukkan oleh saudara sekandungjuga berbeda, dimana anak perempuanlebih menunjukkan perilaku mengasuhdan merawat saudaranya. Sejalan denganyang dikatakan oleh Cicirelli (1982,dalam Minnet, Vandell & Santrock,1983) bahwa anak perempuan lebihsenang berperan dalam merawat danmenolong saudara sekandung merekadibandingkan anak laki-laki. Saudarasekandung pada subyek I juga lebihantusias ketika terlibat dalammemberikan terapi bagi adiknya dan iatidak senang apabila ia tidak dilibatkanketika mengajari adiknya. Sebagai anakperempuan, saudara sekandung padakasus I lebih kompeten dalammembantu adiknya menguasaiketerampilan-keterampilan tertentudibandingkan saudara sekandung padakasus III. Kakak perempuan yangtampaknya lebih efektif sebagaiinstruktur akademik dibandingkankakak laki-laki (Cicirelli, 1976, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983).

2. Perbedaan peran saudara sekandungdalam kasus I dan III juga terjadiberkaitan dengan respon yangditunjukkan oleh saudara autis mereka.Pada kasus I, saudara autis tampakmenunjukkan sikap kooperatif terhadapsaudara sekandungnya ketika menerimamateri terapi, sedangkan pada kasus III,saudara autis menunjukkan sikap yangtidak kooperatif, dimana ia seringkalimenolak apabila diajari oleh kakaknya

dan hanya mau dengan ibunya. Sikapagresif yang ditunjukkan oleh saudaraautis terhadap saudara sekandung jugamembuat saudara sekandung tidakantusias untuk terlibat dalam pemberianterapi.

Kemajuan yang dicapai oleh anak autisdalam kasus I lebih cepat dibandingkan padakasus II, III, dan IV. Dimana dalam kurunwaktu 3 bulan setelah mengikuti terapi,saudara autis pada kasus ini telah mengalamikemajuan seperti berkurangnyahiperaktivitas, kemampuan berbicara danberbahasanya menjadi lebih baik, sudah bisamengenali huruf, angka dan warna denganbaik, kemampuan motoriknya meningkat,kemampuan dalam memahami meningkat,dan temper tantrumnya berkurang. Pada kasusIV, anak autis juga mengalami kemajuan yangdrastis, namun kemajuan tersebut baruterlihat ketika ia telah mengikuti terapi selamakurang lebih 1 tahun.

Kemajuan yang terjadi pada anak autispada kasus I didukung oleh keterlibatanseluruh anggota keluarga dalam terapi,termasuk di dalamnya peran saudarasekandung yang dengan aktif ikutmemberikan materi-materi terapi bagisaudara autisnya dan sehari-hari secara aktifberinteraksi dengan saudara autisnya.Kemajuan yang terjadi pada kasus IV lebihbanyak disebabkan karena peran ibu danlamanya terapi yang telah diikutinya. Anakautis yang paling lama mengalami kemajuanyaitu pada kasus II. Hal ini terjadi karenaminimnya keterlibatan semua anggotakeluarga dalam terapi, termasuk peransaudara sekandung yang tidak antusiasdalam memberikan materi terapi atau pun

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 6: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200690

Individualisme-KolektivismeSalah satu titik persinggungan antara

kebudayaan dan psikologi adalah kajiantentang prinsip “deep structure of culture”(Greenfield, 2000). Menurut prinsip ini,setiap kebudayaan harus menyikapipersoalan yang menyangkut hubunganantara pribadi dan kelompok. Ada duaalternatif sikap dasar, yaitu memprioritaskanpribadi, atau sebaliknya memprioritaskankelompok. Jadi, prinsip ini mencerminkannilai-nilai yang diidealisasikan dalam sebuahmasyarakat budaya menyangkut apakahmemilih memaksimalkan ataumeminimalkan pertalian interdependenantara sang pribadi dan sesamanya. Padatataran kebudayaan, pilihan pada strategimaksimalisasi melahirkan kolektivisme,sedangkan pilihan pada strategi minimalisasimelahirkan individualisme. Maka individu-alisme dan kolektivisme menjadi salah satu“universal deep structure” atau “skeletonframework” yang berfungsi sebagai sejenisteori untuk memahami perbedaan budaya(cultural differentiation) antar berbagai bangsaatau kelompok masyarakat di dunia. Bagibangsa atau masyarakat tertentu, sekalipilihan atas strategi ini dilakukan--lazimnyasecara implisit, maka akan termanifestasikandalam berbagai aspek kehidupan danperilaku warga komunitas yangbersangkutan, baik sebagai kolektif maupunperorangan (Greenfield, 2000).

Kerangka kajian psikologi kebudayaanmenempatkan individualisme-kolektivismesebagai variabel kebudayaan dan variabelkepribadian sekaligus (Hui & Triandis, 1986).Pada taraf paling dasar, cara sang pribadimerasa, beremosi, berkeyakinan,

berideologi, dan bertindaklah yangmembentuk kecenderungan ke arahindividualisme atau kolektivisme. Padananindividualisme pada aras kepribadiandisebut idiosentrisme, sedangkan padanankolektivisme disebut alosentrisme (Triandis,dkk., 1990). Maka, corak individualistik-kolektivistik suatu masyarakat lebihditentukan oleh siapa yang menjadimayoritas di dalamnya, pribadi-pribadi yangberorientasi individualistik-idiosentrik atauyang berorientasi kolektivistik-alosentrik.

Triandis, dkk. (1990) secara lebih rincimengidentifikasikan ciri-ciri individualismedan kolektivisme. Menurut mereka,individualisme lazimnya dipicu olehkemakmuran (affluence), budaya yangkompleks, penghidupan yang bercorakberburu atau mengumpulkan makanan,migrasi, urbanisasi, dan persinggungandengan media massa. Kondisi itumelahirkan sifat-sifat: (1) cenderungmemisahkan diri secara emosi dari ingroup;(2) menempatkan kepentingan pribadi diatas kepentingan kelompok; (3) perilakuditentukan oleh sikap pribadi danpertimbangan untung-rugi; dan (4) mampumenerima konfrontasi. Sifat-sifat ituselanjutnya menimbulkan konsekuensi: (1)dalam sosialisasi menekankan pembentukansifat mandiri dan tidak tergantung; (2) tidakkesulitan membawa diri masuk ke dalamkelompok-kelompok baru; dan (3) mudahdihinggapi rasa kesepian.

Sebaliknya, kolektivisme lazim tumbuhdalam masyarakat agraris yangmengutamakan pembentukan keluarga-keluarga besar sebagai ingroup. Kondisi iniakan melahirkan sifat-sifat: (1)

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

131

saudara sekandung dalam mengajari saudaraautisnya ketika terapi dilaksanakan di rumah,seperti mengajari mewarnai, mengenalangka, huruf dan berbagai macam warna,tampaknya mempermudah saudara autisnyadalam proses belajar. Kebiasaannya untukmengajak saudara autisnya berbicara dapatmeningkatkan kemampuan saudara autisnyadalam berbicara dan berbahasa.

Pada kasus IV, saudara sekandung darianak autis tidak berperan secara aktif dalammemberikan terapi dan jarang dilibatkanoleh ibunya dalam terapi. Peran saudarasekandung ini lebih tampak dalam kegiatansehari-hari, dimana ia dan saudara autisnyabanyak menghabiskan waktu bersama, baikitu dengan bermain ataupun hanya sekedarmenonton televisi. Saudara sekandung darianak autis ini tak jarang mengajak saudaraautisnya berbicara ataupun mengajukanpertanyaan-pertanyaan tertentu. Peran darisaudara sekandung ini yang tampak jelasadalah dengan kehadirannya, membantusaudara autisnya dalam memahami konsepperan dan memahami mengenai aturan-aturan tertentu. Berkaitan dengan konsepperan, saudara sekandung dari anak autis inimembantu saudara autisnya mengenai peransebagai seorang kakak, dimana ia harusmenyayangi adiknya dan tidak boleh berlakukasar. Berkaitan dengan perannya dalammembantu saudara auitsnya dalammemahami aturan-aturan tertentu, saudarasekandung dari anak autis ini merupakansuatu batasan ketika saudara autisnya berlakukasar terhadapnya, maka ia akan dimarahiataupun mendapat hukuman dari orangtuanya. Pada kasus ini saudara sekandungtidak dapat berperan secara aktif dalam

pemberian materi terapi karena ia baruberusia 2,5 tahun, yaitu dalam usia prasekolah. Pada kasus II, saudara sekandungjuga tidak terlibat secara aktif dalammemberikan materi terapi, namun ia selaluikut selama pemberian terapi. Ketika prosesterapi berlangsung, saudara sekandung inilebih banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ibunya mengenai materiterapi. Perilaku bertanya saudara sekandungtersebut memancing respon-respon lain dariibunya dan memancing respon dari saudaraautisnya dalam menanggapi materi terapiyang diberikan. Keikutsertaan saudarasekandung dalam terapi yang diberikanuntuk saudara autisnya, membuat iamenguasai materi-materi yang diberikanuntuk saudara autisnya seperti menghitung,membaca, dan pengetahuannya akanbermacam warna. Pada kasus III, saudarasekandung terlibat aktif dalam memberikanmateri terapi, namun keterlibatannya itu lebihbanyak disebabkan permintaan dari orangtuanya. Saudara sekandung tidakmenunjukkan sikap tertarik dan antusiasuntuk membantu memberikan materiterapi. Saudara sekandung pada kasus IIIini tertarik dan bersemangat untuk mengajariadiknya apabila hal tersebut merupakanhobinya.

Perbedaan peran saudara sekandungdalam terapi bagi saudara autisnya padakeempat kasus disebabkan oleh beberapahal. Pada kasus I dan III, dimana saudarasekandung merupakan anak yang lebih tuadari anak autis, perbedaan peran disebabkanoleh :1. Saudara sekandung pada kasus I

mempunyai jenis kelamin perempuan

Tri Kurniati Ambarini

Page 7: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 91

mengutamakan integritas atau keutuhankeluarga; (2) diri dihayati dan dimaknaidalam kaitannya dengan ingroup; (3) perilakuditentukan oleh norma ingroup ; (4)mengutamakan hirarki dan harmoni dalamingroup; (5) mengutamakan keseragamandalam ingroup ; dan (6) melakukanpembedaan yang tajam antara ingroup danoutgroup . Sifat-sifat itu menimbulkankonsekuensi: (1) dalam sosialisasimengutamakan ketaatan dan kepatuhanpada kewajiban; (2) menekankan pentingnyapengorbanan-diri bagi ingroup ; (3)menekankan keseragaman dalam berpikir;(4) menekankan bentuk-bentuk perilakuyang mencerminkan hirarki, kehangatan,saling ketergantungan, saling memberikandukungan sosial, dan berorientasimenyelamatkan muka.

Konstrual-DiriPsikologi kebudayaan berasumsi

bahwa kebudayaan dan kepribadianberkaitan erat dan saling menentukan.Keduanya berinteraksi melalui mediumselfways dan konstrual-diri (Heine, dkk., 1999).Selfways adalah konsepsi tentang hakikat danmakna menjadi seorang pribadi yangdiyakini bersama oleh warga sebuahkomunitas beserta seluruh perangkatpraktek sosial, situasi dan pranata kehidupansehari-hari yang mencerminkan sekaligusmengukuhkan konsepsi itu. Jadi, selfwaysadalah cara berada, berpikir, merasa danbertindak yang secara khas dimiliki dandihayati oleh kelompok budaya tertentu.Pada aras individual, selfways melahirkankonstrual-diri, yaitu cara individu berpikir,merasa, dan bertindak sejalan dengan selfways

yang diyakininya.Menurut tipologi individualisme-

kolektivisme, ada dua kategori besar selfways,yaitu independent selfways (sejalan denganindividualisme) serta interdependent selfways(sejalan dengan kolektivisme) (Heine, dkk.,1999). Nilai-nilai yang menjadi inti selfwayskebudayaan individualistik adalahindependensi atau ketidaktergantungan,kebebasan, hak atau kesempatan untukmemilih, kecakapan pribadi (personalcompetence), kendali pribadi (personal control),tanggung jawab pribadi, ekspresi pribadi,keberhasilan, dan kebahagiaan. Sebaliknya,nilai-nilai yang menjadi inti selfwayskebudayaan kolektivistik adalah kesaling-tergantungan, kritik-diri (self-criticism) dankerja keras untuk memperbaiki diri, disiplin-diri dalam bentuk berusaha dengan tekundan tahan uji penuh pengendalian-diri demimeningkatkan kesaling-tergantungan denganingroup, penekanan pada kerangka acuaneksternal atau ketergantungan pada penilaianlingkungan sosial, menekankan rasa malu dansikap serba memohon maaf, sertamenekankan pengendalian dankeseimbangan emosi (Heine, dkk., 1999).

Sejalan dengan kedua macam selfwaysitu, ada dua kategori besar konstrual-diri,yaitu konstrual-diri independen sebagai padananindependent selfways dalam kebudayaanindividualistik, serta konstrual-diri interdependensebagai padanan interdependent selfways dalamkebudayaan kolektivistik (Markus &Kitayama, 1991). Ciri-ciri konstrual-diriindependen adalah keyakinan bahwa: (1)setiap pribadi secara inheren terpisah dariyang lain; (2) setiap pribadi wajib menjaditidak tergantung pada orang lain serta

A. Supratiknya

130

bahwa peran saudara sekandung dapatmembantu keberhasilan dari terapi. Sepertiyang dituturkan oleh orang tua dari anakautis dalam majalah Nakita yaitu denganbelajar bersama saudara sekandungnya, anakautis menjadi lebih cepat dalam meresponsesuatu. Melibatkan saudara sekandung akanmempercepat proses anak autis dalammempelajari sesuatu melalui proses menirudan belajar dari saudara sekandungnya.Saudara sekandung juga membantu dalamproses interaksi anak autis denganlingkungan (“Menangani anak autis”, 2002).

Perbedaan keterlibatan saudarasekandung dari anak autis akan membuatperbedaan dalam peran mereka menunjuangkeberhasilan terapi. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa semakin aktif saudarasekandung terlibat dalam pemberian terapimaka semakin banyak kemajuan yang akandicapai oleh anak autis. Peran saudarasekandung dalam menunjang keberhasilanterapi tidak lepas dari faktor-faktor lainnyayang berkaitan dengan saudara autis mereka,yaitu berat ringannya gejala autisme yang ada,usia saat saudara autis mereka didiagnosa,usia saat dimulainnya terapi, kecerdasan yangdimiliki, kemampuan berbicara danberbahasa dan jenis terapi yang didapatkanoleh saudara autis mereka.

Peran saudara sekandung dalam terapiselain dipengaruhi oleh faktor-faktor yangberkaitan dengan kondisi saudara autis, jugadipengaruhi faktor-faktor yang berkaitandengan saudara sekandung dari anak autisitu sendiri, yaitu jenis kelamin dari saudarasekandung dari anak autis, birth order atauurutan kelahiran dan usia saudara sekandung.Pada anak yang berusia lebih tua, saudara

sekandung dapat berperan dengan aktifmemberikan materi terapi bagi saudaraautisnya. Mereka dapat membantu saudaraautisnya dalam menguasai keterampilan-keterampilan tertentu. Hal ini sejalan denganyang dikatakan oleh Lamb (1977, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983), Pelper,Corter, dan Abramovitch (1982, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983) bahwasaudara sekandung yang lebih tuamemainkan peranan yang penting dalammemfasilitasi anak yang lebih muda dalammenguasai keterampilan tertentu dalamlingkungan. Pada saudara sekandung yangberusia lebih muda dari pada anak autisterlibat dalam terapi, namun tidak secaralangsung memberikan materi terapi.

Pada kasus I, perilaku yangdiperlihatkan oleh saudara sekandungmenunjukkan bahwa ia memiliki peran yangcukup besar dalam keberhasilan terapi bagisaudara autisnya. Keterlibatannya secaraaktif dalam pelaksanaan terapi di rumah bagisaudara autisnya ikut memperlancarpelaksanaan terapi tersebut. Kebiasaannyamengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadasaudara autisnya dapat membantu dalamproses pemahaman dan kebiasaannyameminta tolong kepada saudara autisnyauntuk mengambilkan barang-barang yangada di rumah dapat menambah kosakatadan pengetahuan saudara autisnya akanbenda-benda tersebut. Kesediaannyadalam membantu saudara autisnyamelakukan kegiatan sehari-hari sepertimemandikan dan memakaikan baju, dapatmembantu agar saudara autisnya tidak hanyamampu berinteraksi dengan ibunya saja,namun juga dengan orang lain. Keterlibatan

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 8: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200692

menemukan dan mengekspresikan sifat-kemampuan pribadinya yang unik; (3) arahdan makna tingkah laku pribadi terutamaditentukan oleh pikiran, perasaan, dankeputusan sendiri; (4) pribadi merupakanpusat kesadaran, perasaan, penilaian, dantindakan yang bersifat utuh, unik, danterintegrasi; (5) motivasi dasar yangmenggerakkan tingkah laku pribadi adalahdorongan untuk “mengaktualisasikan diri”,“merealisasikan diri”, “mengekspresikananeka kebutuhan, hak, dan kemampuanyang bersifat unik”, serta “mengembangkananeka potensi yang khas”; dan (6) diri adalahpribadi yang otonom serta tidak tergantung.Menurut Markus & Kitayama (1991),konstrual-diri independen adalah khaskebudayaan Barat serta berakar pada tradisiCartesian tentang dualisme antara jiwa danbadan.

Ciri-ciri konstrual-diri interdependenadalah keyakinan bahwa: (1) secarafundamental manusia bersifat salingterhubung atau saling tergantung; (2) setiaporang wajib menjaga dan memeliharakesaling-tergantungan ini; (3) salingtergantung berarti: memandang diri sebagaibagian dari sebuah jaringan relasi sosial danmengakui bahwa tingkah laku seseorangditentukan, tergantung, dan diarahkan olehpersepsi orang itu tentang pikiran, perasaan,dan reaksi orang-orang yang berada dalamjaringan relasi itu; (4) komponen diri yangmenonjol pengaruhnya adalah komponendiri publik (public self); (5) tingkah lakuseseorang tidak ditentukan oleh duniabatinnya (inner self), melainkan oleh relasinyadengan orang lain. Menurut Markus &Kitayama (1991), konstrual-diri

interdependen berakar pada tradisi filsafatmonisme yang memandang pribadi sebagaiesensi dan tak terpisahkan dari semesta alam,serta yang lazim hidup dalam kebudayaan-kebudayaan Timur atau non-Barat.

Masyarakat Indonesia sebagai bagiandari masyarakat Asia atau masyarakat Timurpada umumnya diasumsikan berorientasikolektivistik. Memang belum banyakpenelitian empiris yang mengungkap hal ini.Berbagai penelitian terdahulu tentangindividualisme-kolektivisme yangmelibatkan warga masyarakat kolektivistikdi Asia lazimnya menggunakan subjek dariAsia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Cina.Penelitian ini merupakan awal dari rangkaianpenelitian tentang psikologi kebudayaanpada berbagai kelompok masyarakat diTanah Air yang tergolong warga AsiaTenggara. Kendati sebagai bagian darimasyarakat budaya Timur diasumsikanbahwa berbagai kelompok masyarakatbudaya di Tanah Air secara umumberorientasi kolektivistik, namun sepertitersirat dalam pernyataan Triandis,McCusker & Hui (1990), kadar kolektivismemereka bisa berlainan. Manifestasinya, corakkonstrual-diri yang terbentuk pun tentu akanberlainan. Sebagai langkah awal, penelitianini bertujuan mengeksplorasi perbedaankecenderungan konstrual-diri di kalanganmahasiswa sebuah PTS di Yogyakartadengan memperhatikan gender dan latarbelakang etnik mereka, khususnya Jawaversus non-Jawa. Secara spesifik, rangkaianpertanyaan yang dicoba dicari jawabannyadalam penelitian ini adalah: Bagaimanakahkonstrual-diri subjek tanpa memperhatikangender dan latar belakang etnik mereka?

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

129

apabila ia memiliki kesulitan dalammenyelesaikan tugas-tugasnya.

Pada kasus II, selama pemberianterapi, saudara sekandung dari anak autis iniselalu ikut serta dalam terapi. Ia selalu dudukbersama-sama ibunya ketika terapidiberikan, sehingga sang ibu masih tetapdapat memberikan perhatian kepadanya.Dalam terapi ini saudara sekandung darianak autis malahan banyak membantuibunya dalam terapi, seperti memicupenjelasan-penjelasan lebih lanjut melaluipertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.Selebihnya ia mungkin belum terlaluterganggu dengan masalah pembagianperhatian dari orang tuanya, sebab usianyayang baru 4,5 tahun membuat ia tidak terlalumemahami hal tersebut. Hal ini juga terjadipada kasus IV dimana anak belummemahami konsep dari pembagianperhatian yang adil. Pada kasus keempat,saudara sekandung belum merasa terganggudengan perhatian yang harus dicurahkan olehorang tuanya ketika terapi berlangsung. Halini karena ketika terapi dilaksanakan, iabiasanya sedang tidur, agar tidakmengganggu proses terapi. Selebihnyakarena terapi dilakukan sebagian besar diwaktu-waktu yang tidak khusus makasaudara sekandung dari anak autis inibiasanya ikut terlibat dan hal ini baginyatampak seperti bagian dari bermainbersama saudara autisnya dan ibunya.

Terdapat perbedaan pada kasus III,dimana saudara sekandung dari anak autismerasa bahwa terapi yang harusdilaksanakan di rumah menyita sebagianbesar perhatian dari orang tuanya. Ia merasabahwa semenjak orang tua mereka

mengetahui bahwa saudaranya menderitaautisme, perhatian orang tua lebih banyakterrcurahkan untuk saudara autisnya tersebut.Terlebih lagi ketika terapi dilaksanakan,dimana waktu terapi tersebut biasanyabersamaan dengan waktu ia belajar, yaitubiasanya di sore hari, maka terkadang iaharus mengalah untuk tidak ditemani belajaroleh ibunya. Namun ia tidak pernahmempermasalahkan mengenai perhatianorang tuanya yang terlalu diberikan kepadasaudara autisnya. Ia memahami mengapahal tersebut harus terjadi dan menurutibunya, ia tidak pernah menuntut kepadamereka untuk terlalu diperhatikan dan lebihmemilih untuk bersikap mengalah kepadakepentingan saudara autisnya.

Dari keempat kasus tersebut (kasus I,II, III, dan IV), terapi yang diberikan dirumah untuk anak autis pada umumnyatidak mengganggu perhatian orang tuakepada anak-anak lainnya. Hal ini dapatterjadi selama orang tua dapat dengan baikmembagi waktu untuk anak-anaknyatersebut, berusaha melibatkan saudarasekandung anak autis dalam proses terapinamun tidak memaksakan hal tersebut, danselalu berusaha untuk memeberikanpengertian kepada anak yang lain kenapa haltersebut harus terjadi.

5. Bagaimana Peran Saudara KandungDalam Proses Terapi Bagi Anak Autis

Keterlibatan atau peran saudarasekandung dalam terapi yang dilaksanakanbagi anak autis tampaknya dapat membantudalam menunjang keberhasilan dari tersebut.Pengalaman dari orang tua-orang tua yangmemiliki anak penderita autis menunjukkan

Tri Kurniati Ambarini

Page 9: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 93

Bagaimanakah konstrual-diri subjekberetnik Jawa tanpa memperhatikan gendermereka? Apakah subjek beretnik Jawamemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen dibandingkan subjek non-Jawa? Apakah subjek perempuan memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek lelaki, tanpamemperhatikan latar belakang etnik mereka?Apakah subjek perempuan Jawa memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek lelaki Jawa?

METODE PENELITIAN

SubjekSubjek penelitian ini adalah mahasiswa

semester II tahun akademik 2004-2005 dari20 program studi yang berasal dari 7fakultas di sebuah PTS di Yogyakartadengan latar belakang gender (perempuanvs. lelaki) dan etnik (Jawa vs. non-Jawa)berlainan yang diasumsikan berpengaruhterhadap konstrual-diri mereka, apakahcenderung independen atau interdependen.Jumlah keseluruhan subjek adalah 176 orang,terdiri atas 86 lelaki dan 90 perempuan, sertaterdiri atas 131 Jawa (65 lelaki Jawa dan 66perempuan Jawa) dan 45 non-Jawa (21perempuan non-Jawa dan 24 lelaki non-Jawa). Subjek non-Jawa meliputi merekayang berlatar belakang etnik Tionghoa (15orang), Dayak (14 orang), Batak (8 orang),Sunda (3 orang), Ambon (2 orang), sertaBali, Betawi, dan Flores, masing-masing 1orang.

adalah Skala Konstrual-Diri (Self-ConstrualScale) karya Theodore M. Singelis (1994)yang sudah diadaptasikan ke dalam bahasaIndonesia (Supratiknya & Yeni Siwi Utami,2006). Skala ini bertujuan mengukurungkapan gagasan, perasaan dan tindakanyang mencerminkan konstrual-diriindependen dan interdependen. Item poolaslinya terdiri dari 45 item, 10 di antaranyadiambil dari skala serupa karya Cross &Markus (1991, dalam Singelis, 1994) danYamaguchi (1994, dalam Singelis, 1994),sisanya disusun sendiri oleh Singelis (1994).Item-item ditata secara acak sebagai sebuahskala tunggal. Responden dimintamengungkapkan kesetujuannya terhadapmasing-masing item dalam skala 7 butir jenisLikert (1=sangat tidak setuju; 7=sangat setuju).Makin tinggi skor total menunjukkankecenderungan konstrual-diri inter-dependen, sebaliknya makin rendah skor-total menunjukkan kecenderungankonstrual-diri independen. Lewat dua kalifaktor analisis akhirnya terpilih 24 item (12item untuk masing-masing faktor konstrual-diri) sebagai bentuk final skala. Validitas skaladiperiksa dari segi validitas muka, validitaskonstruk, dan validitas prediktifnya. Lewatexpert judgment item-item kedua subskaladipandang mengungkapkan gagasan,perasaan dan tindakan yang mencerminkankonstrual-diri sebagaimana dimaksudsehingga keduanya dinilai memiliki face validitydan content validity yang baik. Validitaskonstruk skala diperiksa denganmembandingkan skor responden Amerika-Asia (warga Amerika keturunan Asia,meliputi Jepang, Cina, Korea, dan Filipina)dan Amerika-Kaukasia. Seperti

Alat Pengumpul DataAlat pengumpul data penelitian ini

A. Supratiknya

128

autisnya. Kemampuan yang dimiliki olehsaudara sekandung dari anak autis padakasus II saat ini, yaitu berhitung, membaca,pengetahuannya akan warna dankemampuannya dalam mewarnai, didapatkarena keikutsertaannya dalam setiap terapi.Ibunya mengatakan bahwa saudarasekandung ini sampai sekarang belum dapatmenulis, karena ibunya belum pernahmengajari kakaknya menulis.

Hal ini dapat terjadi karena padasaudara sekandung yang lebih muda senangsekali mencontoh perbuatan saudara merekayang lebih tua sehingga dapat membantumereka menguasai keterampilan tertentu.Seperti yang dikatakan oleh Summers(1987, dalam Minnet, Vandell & Santrock,1983), anak tertua terfokus pada orang tuasebagai sumber utama mereka dalam prosesbelajar sosial (social learning) di dalamkeluarga, sedangkan anak yang lebih mudamenggunakan orang tua dan saudarasekandung sebagai model dan guru. Saudarasekandung yang lebih muda, bahkan bayiyang berusia 12 bulan, biasanya melihat,mengikuti dan meniru saudara sekandungmereka yang lebih tua (Lamb, 1977;Samuels, 1977, dalam Minnet, Vandell &Santrock, 1983). Saudara sekandung yanglebih tua memainkan peranan yang pentingdalam memfasilitasi anak yang lebih mudadalam menguasai keterampilan tertentudalam lingkungan (Lamb, 1977; Pelper,Corter, & Abramovitch, 1982, dalamMinnet, Vandell & Santrock, 1983).

4. Bagaimana Dampak Terapi DiRumah Oleh Orang Tua Pada AnakAutis Terhadap Perhatian Orang Tua

Pada Saudara SekandungTuntutan untuk meneruskan

pemberian terapi bagi anaknya yangmenderita autisme di rumah, tentunya akanmemerlukan waktu yang lebih dari orangtua mereka. Hal ini tentu saja akanberpengaruh terhadap bagaimana sikap danpembagian perhatian orang tua terhadapanak-anaknya yang lain.

Orang tua dari anak autis menyatakanbahwa tidak terdapat kesulitan yang berartidalam membagi waktu untuk anak-anakmereka. Pada umumnya, orang tua merekaselalu berusaha agar saudara sekandung ikutterlibat dalam proses terapi yangdilaksanakan di rumah, kecuali orang tuapada kasus IV, dimana ibu merekamenyatakan bahwa ia akan lebih mudahmemberikan terapi bila anaknya yang “nor-mal” tadi sedang tidur, sehingga tidak akanmengganggu konsentrasi anaknya yangmenderita autisme ketika terapi diberikan.

Saudara sekandung dari anak autispada kasus I dan II menyatakan bahwamereka tidak merasa bahwa perhatian or-ang tua terlalu dicurahkan kepada saudaraautis mereka. Pada kasus I, mengatakanbahwa perhatian orang tua kepadanyacukup dan ia tidak pernah merasa terganggudengan kehadiran saudara autisnya. Terapiyang diberikan di rumah bagi saudaraautisnya juga tidak menyita seluruh perhatianorang tuanya. Hal ini karena terapi yangdiberikan kepada saudara autisnya selalumelibatkan dirinya dan dilakukan sebagianbesar pada waktu-waktu dimana semuaanggota keluarga berkumpul bersama,sehingga ia tidak merasa diabaikan. Selainitu orang tuanya juga selalu siap membantu

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 10: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200694

diprediksikan, warga Amerika-Asia (n =208; X=4,91) lebih interdependendibandingkan warga Amerika-Kaukasia(n=49; X=4,37; p<0,01). Validitasprediktifnya diperiksa denganmenggunakan atribusi sebagai kriteria.Sebagaimana diprediksikan, wargaAmerika-Asia dan responden lain yangmemperoleh skor interdependen lebihtinggi cenderung melakukan atribusi padasituasi (X=4,73; SD=1,09) dibandingkanwarga Amerika-Kaukasia dan respondenlain yang memperoleh skor interdependenlebih rendah (X=4,35; SD=1,14) dancenderung melakukan atribusi internal. Jadi,bentuk asli skala ini dinilai memiliki reliabilitasdan validitas yang memadai.

Adaptasi skala ini dari Bahasa Inggriske dalam Bahasa Indonesia dilakukandengan menggunakan back translationtechnique atau teknik penerjemahan kembali(Brislin, 1970). Mula-mula 2 penerjemahbilingualis yang sudah akrab dengan alat inisecara independen menerjemahkannya dariBahasa Inggris sebagai bahasa sumber (sourcelanguage) ke Bahasa Indonesia sebagai bahasasasaran (target language). Hasil terjemahandalam Bahasa Indonesia didiskusikansampai disepakati sebagai bentuk finalterjemahan tahap pertama. Selanjutnya duabilingualis lain yang tidak akrab dengan alatini diminta menerjemahkan kembali bentukfinal terjemahan tahap pertama itu ke dalambahasa sumber secara buta (blind backtranslation), yaitu tanpa melihat versi alatdalam bahasa aslinya serta secara independenpula. Hasil terjemahan kembali jugadidiskusikan dengan para penerjemah yangbersangkutan sampai disepakati bentuk

terjemahan dalam bahasa sasaran yang palingsesuai dengan maksud aslinya. Hasilnyamerupakan bentuk semi-final adaptasidalam Bahasa Indonesia Skala Konstrual-diri yang siap diuji-cobakan untuk diperiksaciri-ciri psikometrik dan reliabilitasnya.

Lewat 5 kali uji-coba dan analisis item,akhirnya diperoleh bentuk final adaptasiSkala Konstrual-diri dengan ciri-ciri sebagaiberikut: (a) terdiri dari 18 item, meliputi 10item independen dan 8 item interdependen; (b)item-item skala ini memiliki koefisien korelasiitem-total sebagai indeks daya beda itemberkisar antara r ix=0,1774 sampairix=0,4173 (r129; 0,05=0,174); dan (c) sebagaikeutuhan skala ini memiliki koefisienreliabilitas konsistensi internal á=0,6749.

Analisis DataAnalisis data dalam rangka menjawab

rangkaian pertanyaan penelitian dilakukandengan teknik statistik yang relevan sesudahdidahului dengan pengujian aneka asumsiyang relevan untuk menentukan apakahpengujian perlu dilakukan dengan teknikstatistik parametrik atau nonparametrik.Semua uji signifikansi dilakukan pada tarafsignifikansi antara 0,05 dan 0,01.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rangkaian pertanyaan yang hendakdijawab dalam penelitian ini adalah: (a)Bagaimanakah konstrual-diri subjek tanpamemperhatikan gender dan latar belakangetnik mereka? (b) Bagaimanakah konstrual-diri subjek beretnik Jawa tanpamemperhatikan gender mereka? (c) Apakahsubjek beretnik Jawa memiliki konstrual-diri

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

127

terhadap saudara autis tidak terlaluberdampak pada anak mereka lainnya danorang tua mereka tetap dapatmemperhatikan kebutuhan mereka.

3. Bagaimana Dampak TerapiTerhadap Anak Autis Di RumahBagi Saudara Kandung

Orang tua selalu mengusahakandengan berbagai cara agar anaknya yangmenderita autisme dapat sembuh. Salah satujalan yang ditempuh oleh orang tua darikeempat kasus yang ada (kasus I, II, III danIV), adalah dengan memasukkan anaknyatersebut ke suatu pusat terapi, yaitu di TK“Citra Cendikia”, untuk mendapatkan terapiyang dapat membantu kesembuhan anakmereka. Agar terapi yang telah diberikan disekolah tersebut dapat berhasil dengan baik,maka pelaksanaan terapi tidak hanyadilakukan di sekolah saja. Terapis yangmenangani anak-anak mereka menyarankankepada orang tua agar meneruskanpemberian terapi di rumah.

Pemberian terapi di rumah melibatkansemua anggota keluarga yang berada dalamrumah tersebut, baik terlibat secara langsungmaupun tidak. Pemberian terapi di rumahsecara tidak langsung menimbulkantuntutan-tuntutan ataupun penyesuaian sikapdari anggota keluarga. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pada saudarasekandung yang lebih tua dari anak autis,orang tua mengharapkan agar anak merekadapat ikut berperan membantu pemberianterapi bagi saudara mereka. Orang tua tidakpernah memaksakan anak mereka untukterlibat dalam pemberian terapi di rumah.Pada kasus I dan III, orang tua memang

mengharapkan agar anaknya dapat ikutmemberi terapi, namun mereka tidakmenuntut agar anak mereka harus terus ikutdalam pemberian terapi bagi saudaramereka. Orang tua tidak pernah memaksaanak mereka apabila mereka tidak mauataupun ketika mereka berhalangan. Hal inidapat terjadi pada saudara sekandung dalamkasus I dan III berkaitan dengan birth orderatau urutan kelahiran dimana merekamerupakan anak tertua dalam keluarga.Biasanya saudara sekandung yang lebih tuadiberikan peran pengawas dan pendisiplinyang diterapkan oleh orang tua dalamkeluarga kecil (Wagner, Schubert & Schubert,1985, dalam Hurlock, 2000). Tanggungjawab untuk mengasuh adik yang lebihmuda biasanya diberikan pada anak yanglebih tua.

Pada kasus I, saudara sekandung anakautis menjadi terbiasa terlibat dalampemberian terapi dan ia dengan senang hatiikut mengajari adiknya. Saudara sekandungpada kasus ini akan marah apabila ia tidakdilibatkan dalam mengajari adiknya. Padakasus III, saudara sekandung dari anak autishanya mau terlibat dalam terapi bila dimintaoleh ibunya. Terapi yang diberikan di rumahmempengaruhi saudara sekandung yanglebih muda dari anak autis dalam halpenguasaan keterampilan-keterampilantertentu. Melalui materi terapi yang diberikanbagi anak autis, secara tak langsung saudarasekandung yang lebih muda ikut menguasaimateri-materi tersebut. Pada kasus II, halini jelas sekali terlihat, dimana saudarasekandung dari anak autis menguasaiketerampilan-keterampilan yang telahdiajarkan oleh ibunya kepada saudara

Tri Kurniati Ambarini

Page 11: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 95

yang lebih interdependen dibandingkansubjek non-Jawa? (d) Apakah subjekperempuan memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjeklelaki, tanpa memperhatikan latar belakangetnik mereka? dan (e) Apakah subjekperempuan Jawa memiliki konstrual-diriyang lebih interdependen dibandingkansubjek lelaki Jawa? Berikut disajikan secaraberturut-turut jawaban atas rangkaianpertanyaan di atas berdasarkan hasil analisisdata yang relevan.

Konstrual-diri Subjek tanpaMemperhatikan Gender dan Etnisitas

Bertolak dari asumsi bahwa sebagaibagian dari masyarakat Timur semuakelompok etnik di Tanah Air secara umumcenderung berorientasi kolektivistik, makauntuk menjawab pertanyaan tentang carakonstrual-diri subjek secara umum diajukanhipotesis: “Tanpa memperhatikan genderdan etnisitas secara umum, subjek memilikikonstrual-diri yang bersifat interdependen”.Uji asumsi normalitas terhadap datakonstrual-diri subjek secara keseluruhantanpa memperhatikan gender dan etnisitasmenunjukkan bahwa asumsi ini terpenuhi(Z176= 0,871; p= 0,434). Uji perbedaan antaramean empirik dan mean teoretik sebagaiindikator kecenderungan umum konstrual-diri subjek secara keseluruhan menunjukkanbahwa mean empirik konstrual-diri subjek(Xe= 73,07; SDe= 8,036) lebih tinggi darimean teoretiknya (Xt= 72; SDt= 18), namunperbedaan ini tidak signifikan (t175= 1,773;p= 0,078). Jadi, ada indikasi bahwa secaraumum subjek cenderung memilikikonstrual-diri interdependen seperti

diprediksikan, namun indikasi ini lemah.Kendati lemah, hasil ini kiranya sejalandengan asumsi bahwa sebagai warga bangsaIndonesia yang merupakan bagian darimasyarakat budaya Timur umumnya danmasyarakat budaya Asia Tenggarakhususnya, subjek secara keseluruhancenderung memiliki konstrual-diri yanginterdependen.

Konstrual-diri Subjek Jawa tanpaMemperhatikan Gender

Uji asumsi normalitas terhadap datakonstrual-diri subjek beretnik Jawamenunjukkan bahwa asumsi ini terpenuhi(Z131= 0,823; p= 0,507). Uji perbedaan antaramean empirik dan mean teoretik sebagaiindikator kecenderungan umum konstrual-diri subjek Jawa secara keseluruhanmenunjukkan bahwa mean empirikkonstrual-diri subjek (Xe= 73,82; SDe=8,428) lebih tinggi dari mean teoretikkonstrual-diri mereka (Xt= 72; SDt= 18),dan perbedaan ini sangat signifikan (t130=2,478; p= 0,015). Jadi, ada evidensi bahwasubjek Jawa, baik laki-laki maupunperempuan, secara umum cenderungmemiliki konstrual-diri yang interdependen.

Kebudayaan Jawa tercermin dalampandangan hidup Kejawen yang menekankanantara lain: (a) kesatuan dan harmoni antaramanusia dengan alam dan masyarakat; dan(b) pengendalian diri. Pada tatarankemasyarakatan, sistem budaya itumenekankan 2 prinsip pengatur hubungansosial, yaitu rukun atau keselarasan sosial danhormat atau menghargai orang lain (Magnis-Suseno, 1985; Mulder, 1984). Menurutkedua prinsip itu, orang harus mengatasi

A. Supratiknya

126

kehidupan keluarga dari saudara laki-laki atausaudara perempuan. Ketidakmampuan (dis-ability) mengganggu urutan yang alami(Naseef, 2003). Hal ini tidak terjadi padakasus IV, karena orang tua mereka selaluberusaha agar anak-anaknya mengetahuiposisi mereka dalam keluarga. Merekamengajarkan pada anak-anak mereka, siapayang lebih tua ataupun yang lebih muda dansikap seperti apa yang harus ditunjukkan olehanak-anaknya berkaitan dengan posisinyatersebut.

Autisme yang diderita oleh saudaranyatidak terlalu mengganggu hubungan antarasaudara sekandung pada saudara sekandungyang berusia lebih tua dari anak autis. Padakasus I dan II, dengan memiliki saudarasekandung penderita autisme, merekadiharapkan oleh orang tua mereka untuk ikutmenjalankan tanggung jawab dalammengasuh dan mengajari saudara autismereka. Orang tua menjadi bersikapoverprotektif terhadap terhadap anaknyayang menderita autisme dan juga terhadapanaknya yang “normal”. Pada kasus II danIV, sikap orang tua yang khawatir terhadapanak autisnya berdampak kepada anak yag“normal”. Mereka tidak memperbolehkansaudara sekandung dari anak autis untukbermain di luar rumah karena saudara autismereka juga tidak boleh bermain di luarrumah. Kekhawatiran mereka akan terjadisesuatu bila anak autis mereka bermain diluar rumah juga terjadi pada anak mereka“normal”. Sikap overprotektif ini dapatterjadi dikarenakan ketika orang tuamempunyai anak kedua yang “normal”,mereka biasanya menjadi cemas akankesehatan perkembangan anaknya tersebut

(Naseef, 2003). Faktor lain yang ikutmendukung adalah ukuran keluarga darikedua kasus termasuk keluarga kecilsehingga terdapat kesempatan yang besarbagi orang tua untuk bersikapoverprotektif dan pengawasan yang ketatpada anak-anaknya dalam keluarga kecil(Blake, 1989; Wagner, dkk., 1985, dalamHurlock, 2000).

Hal ini tidak terjadi pada saudarasekandung dalam kasus I dan II yang jugaberada dalam keluarga kecil, karena merekaberusia lebih tua daripada saudara autismereka sehingga kekhawatiran orang tuatidak sebesar pada kasus II dan IV. Faktorlain yang ikut mendukung adalah pada kasusIII, saudara sekandung dari anak autisberjenis kelamin laki-laki sehingga orang tuamenganggap tidak akan terjadi apa-apapada anaknya.

Hasil penelitian dari keempat kasus,menunjukkan bahwa tidak terjadi masalahdalam penyesuaian diri pada saudarasekandung dari anak autis. Dari keempatkasus tersebut, masalah dalam penyesuaiandiri hanya terjadi pada kasus II, dimanasaudara sekandung dari anak autis inimenjadi anak yang sulit bergaul dengan anaklain dan ia hanya mau berbicara denganibunya saja. Hal ini tejadi pada saudarasekandung dalam kasus II karena orang tuamereka tidak memperbolehkan saudaraautisnya untuk bermain diluar rumah danini juga berdampak pada saudara sekandung,dimana ia setiap harinya selalu menghabiskanwaktu di dalam rumah dan tidak pernahbermain di luar rumah bersama anak lain.Hal ini tidak terjadi pada kasus I, III, danIV, sebab perlakuan orang tua mereka

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 12: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200696

aneka perbedaan, saling menerima dalamsuasana kebersamaan, kedamaian,persaudaraan, kekompakan, dan keselarasan.Ia juga harus menunjukkan hormat kepadaorang lain sesuai status dan perannya, tidakambisius dan bersaing, sebaliknya harusmerasa serba malu, tidak meninggikan-diri,melaksanakan aneka tugas-kewajibandengan tekun dan rendah hati, serta patuhdan setia kepada ingroup. Berarti, cirikebudayaan Jawa sesuai dengan cirikolektivisme seperti ditegaskan olehKagitcibasi (dalam Kurman, 2001), yaitumenekankan pentingnya kelompok sebagaisumber dukungan dan bimbingan dalambertingkah laku. Maka, sejalan denganbudaya Jawa yang cenderung kolektivistikkonstrual-diri subjek Jawa secara umumterbukti cenderung interdependen.

Perbedaan Konstrual-diri antaraSubjek Jawa dan Non-Jawa

Bertolak dari asumsi bahwa budayaJawa cenderung kolektivistik sertaberdasarkan evidensi bahwa konstrual-dirisubjek Jawa cenderung interdependen,untuk menjawab pertanyaan tentangperbedaan konstrual-diri antara subjek Jawadan non-Jawa diajukan hipotesis: “Subjekberetnik Jawa memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjekberetnik non-Jawa.” Uji asumsi homogenitasvarians data subjek beretnik Jawa dan non-Jawa menunjukkan bahwa asumsi ini masihterpenuhi (F174= 4,398; p= 0,037).Selanjutnya uji perbedaan mean konstrual-diri antara subjek beretnik Jawa (X= 73,82;SD= 8,428) dan subjek beretnik non-Jawa(X= 70,89; SD= 6,354) menunjukkan

bahwa subjek Jawa memiliki konstrual-diriyang lebih interdependen dibandingkansubjek non-Jawa, dan perbedaan itu terbuktisignifikan (t174= 2,136; p= 0,034).

Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta,salah satu pusat masyarakat dan kebudayaanJawa. Sebagai kota yang memiliki banyakperguruan tinggi, Yogyakarta didatangi olehbanyak mahasiswa perantau yang berasaldari berbagai daerah lain di Indonesia, entahsebagai generasi pertama pendatang atausudah merupakan generasi kedua atau lebih.Maka populasi mahasiswa di Yogyakartapada umumnya atau pada masing-masingperguruan tinggi khususnya lazimnyaditandai oleh hadirnya mahasiswa denganlatar belakang etnik yang berlainan dariberbagai penjuru di Tanah Air, termasuketnik Tionghoa. Kendati sebagai sesamakelompok etnik di kawasan Asia Tenggarasemuanya tergolong ke dalam kategorikolektivistik, namun fakta bahwakelompok-kelompok etnik non-Jawa inirela meninggalkan basis kultural merekauntuk merantau ke Yogyakarta bisa dijadikandasar dugaan bahwa mereka memilikikecenderungan lebih independendibandingkan kelompok beretnik Jawa yangbertahan di dalam basis kultural merekasendiri. Temuan ini ternyata membuktikandugaan itu.

Perbedaan Konstrual-diri SubjekPerempuan dan Laki-laki tanpaMemperhatikan Etnisitas

Bertolak dari asumsi semua kelompoketnik di Tanah Air secara umum cenderungberorientasi kolektivistik dan secara relatifmemiliki konstrual-diri interdependen, serta

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

125

Perilaku Anak Autis Terhadap SaudaraKandung

Saudara sekandung tentunyamerasakan dampak dengan mempunyaisaudara yang menyandang autis. Adanyaanak autis dalam keluarga dapatmempengaruhi kehidupan anak lain dalamkeluarga tersebut. Sulit bagi saudarasekandung membentuk hubungan yangmemuaskan dengan saudara autisnya. Halini juga dapat menimbulkan rasa frustasi bagisaudara sekandung dalam melakukansesuatu dengan saudara autisnya.

Pada hubungan antara saudarasekandung dengan anak autis muncul polaperilaku agresifitas dan dominasi padasaudara kandung, kecuali pada kasus 1. Padakasus 1 pola perilaku tersebut tidak munculkarena saudara sekandung dalam kasus iniberjenis kelamin perempuan sedangkansaudara autisnya berjenis kelamin laki-laki.Perbedaan jenis kelamin tersebut membuatperilaku agresif dan dominansi cenderunguntuk tidak muncul. Agresifitas dandominansi lebih sering terjadi padahubungan antara saudara sekandung denganjenis kelamin sama dibandingkan padahubungan antara saudara sekandung denganjenis kelamin berbeda (Minnett, Vandell, &Santrock, 1983). Pada ketiga kasus lainnya,saudara sekandung dari anak autis dengananak autis memiliki jenis kelamin yang samasehingga agresivitas sering muncul sebabmereka lebih sering membalas perilakuagresif saudara autis mereka.

Pada saudara sekandung dari anakautis yang mempunyai usia lebih muda darianak autis, yaitu pada kasus II dan kasus IV,mereka kehilangan teman bermain yang

normal. Hasil penelitian memperlihatkanbahwa pola bermain saudara sekandungdengan anak autis di dalamnya tidak terjadikomunikasi dua arah. Komunikasi lebihbanyak dibangun oleh saudara sekandung,dimana saudara sekandung yang lebih mudaseringkali diacuhkan oleh anak autis ketikabermain. Mereka terlihat bermain bersama,namun sebenarnya mereka lebih padamemainkan permainan yang sama tetapibermain sendiri-sendiri. Disampingkehilangan teman bermain “normal”,mereka juga kehilangan “role model”. Saudarasekandung yang lebih muda dari anak autisseringkali mengikuti perilaku kakaknya.Mereka seringkali membuntuti kakaknyadari belakang, walaupun mereka seringkalidiabaikan. Ketidakmampuan (disabilities)yang dimiliki oleh saudara autisnyamengganggu hal-hal normal dalamkeluarga, dimana anak “normal” yang lebihmuda kehilangan teman bermain yang“normal” dan model peran (role model) danhal ini bukanlah sesuatu yang mudahdipahami oleh anak. Karena autisme, sulitbagi anak yang lebih muda untuk menjalinhubungan yang memuaskan dengan kakaklaki-laki atau perempuannya yang memilikigangguan. (Naseef, 2003).

Pada kasus II, pada saudara sekandungyang lebih muda dari anak autis, merekaberperan sebagai anak yang lebih tua danmenjalankan tanggung jawab yang biasanyadipegang oleh anak yang lebih tua dalamkeluarga. Anak yang lebih muda berfungsiatau berperan pada level yang lebih tinggidaripada kakaknya. Ketidakmampuan (dis-ability) yang dimiliki oleh anak autis dapatmengganggu hal-hal normal dalam

Tri Kurniati Ambarini

Page 13: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 97

asumsi tentang stereotipe gender yangmenempatkan perempuan lebih tundukpada norma sosial dibandingkan lelaki,maka untuk menjawab pertanyaan tentangperbedaan konstrual-diri antara subjekperempuan dan lelaki tanpa memperhatikanetnisitas diajukan hipotesis: “subjekperempuan memiliki konstrual-diri yanglebih interdependen dibandingkan subjeklaki-laki”. Uji asumsi homogenitas variansdata konstrual-diri subjek laki-laki danperempuan secara keseluruhan menunjukkanbahwa asumsi ini masih terpenuhi (F174=4,972; p= 0,027). Selanjutnya uji hipotesismenunjukkan bahwa subjek perempuanmemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen (X= 73,92; SD= 7,087)dibandingkan subjek laki-laki (X= 72,19;SD= 8,876) seperti diprediksikan, namunperbedaan ini terbukti tidak signifikan (t174=1,437; p= 0,152).

Kendati lemah, diperoleh indikasibahwa cara konstrual diri subjek secarakeseluruhan masih sejalan dengan yangdiprediksikan bertolak dari asumsi-asumsibudaya yang berlaku, yaitu bahwa konstrual-diri subjek perempuan cenderung lebihinterdependen dibandingkan subjek laki-laki.Namun temuan berupa indikasi lemah itusendiri kiranya sejalan dengan temuansebelumnya bahwa tanpa memperhatikanetnisitas secara umum, subjek cenderungmulai melonggarkan diri dari ikatan tradisi,khususnya dari kecenderungan sex-typingtradisional yang menarik garis batas tegasantara sifat laki-laki dan perempuan.Akibatnya, kendati cara konstrual-diri subjekperempuan dan laki-laki berbeda sepertidiprediksikan, namun perbedaan itu tidak

signifikan.

Perbedaan Konstrual-diri SubjekPerempuan dan Laki-laki BeretnikJawa

Bertolak dari asumsi bahwa sebagaikelompok yang masih hidup dalam habituskulturalnya, subjek Jawa cenderung lebihterikat pada kolektivisme dan akar tradisilainnya, maka untuk menjawab pertanyaantentang perbedaan konstrual-diri antarasubjek perempuan dan laki-laki beretnikJawa diajukan hipotesis: “Di kalangan subjekberetnik Jawa, subjek perempuan memilikikonstrual-diri yang lebih interdependendibandingkan subjek laki-laki”. Uji asumsihomogenitas varians data konstrual-dirisubjek perempuan dan laki-laki Jawamenunjukkan bahwa asumsi ini masihterpenuhi (F129= 2,962; p= 0,088). Ujiperbedaan mean konstrual-diri subjekperempuan dan laki-laki Jawa menunjukkanbahwa subjek perempuan Jawa memilikikonstrual-diri yang lebih interdependen (X=74,50; SD= 7,723) dibandingkan subjek laki-laki Jawa (X= 73,14; SD= 9,098), namunperbedaan ini tidak signifikan (t129= 0,924;p= 0,357).

Jadi, hanya diperoleh indikasi lemahbahwa ada perbedaan cara konstrual-diriantara subjek perempuan dan subjek laki-laki Jawa seperti diprediksikan bertolak dariasumsi-asumsi kultural yang relevan.Temuan ini kiranya juga memberikan indikasibahwa subjek beretnik Jawa tidak pedulilaki-laki atau perempuan secara relatif jugamulai melonggarkan diri dari ikatan dengantradisi budaya mereka, khususnya merekatidak lagi mengikuti sex-typing tradisional

A. Supratiknya

124

1. Bagaimana Persepsi/Penilaian SaudaraSekandung Terhadap Perilaku AnakAutis

Hasil penelitian yang telah diperolehmenunjukkan bahwa saudara sekandungdari anak autis memiliki perasaan yangberubah-ubah terhadap saudara autismereka. Mereka merasa senang dengansaudara autis mereka dan di lain waktumereka merasa tidak senang dan marahterhadap saudara autis mereka. Merekasenang menghabiskan waktu bersamasaudara autis mereka, namun merekamerasa tidak senang apabila mendapatkanrespon yang tidak menyenangkan darisaudara autis mereka seperti dipukul ataupundiacuhkan. Menurut Galagher dan Powell(dalam Meyer & Vadasy, 1996) hubunganantara saudara sekandung dengan anak autismerupakan suatu kontinuum dengan hasilpositif dan negatif pada masing-masingujungnya. Perasaan yang dialami oleh saudarasekandung terhadap anak autis bukanmerupakan sesuatu yang statis tetapiberubah-ubah. Terdapat saat tertentudimana ia memiliki hubungan yang positifdan menyenangkan dengan anak autis dandi lain waktu ia merasakan marah dan tidakmengerti akan tingkah laku anak autistersebut. Anak normal dan anak autis yangbersaudara kandung akan banyakmempengaruhi satu sama lain.

Terdapat kesamaan karakteristiksaudara sekandung pada kasus I dan kasusIII, sedangkan kasus II memiliki kesamaandengan kasus IV. Pada kasus I dan II,saudara sekandung dari anak autis mulaisangat menyadari adanya perbedaan antarasatu manusia dengan yang lainnya dimana

mereka mampu memahami definisi danpenjelasan mengenai kebutuhan khusussaudara autis mereka namun apabila semuadefinisi dan penjelasan tersebut disajikandalam istilah yang dapat mereka pahami.Mereka sudah bisa menilai perilaku saudaraautis mereka dan mereka cenderung tidakmenyenangi perilaku-perilaku agresif sepertimemukul ataupun menendang. Merekasudah bisa menyatakan ketidak senanganterhadap perilaku saudara autis mereka.Respon-respon tipikal yang diperlihatkananak-anak usia ini adalah seperti menolongsaudara autisnya. Kesamaan karakteristik inidapat terjadi karena karena mereka memilikiusia dalam rentang yang sama, yaitu usiasekolah dasar antara usia 6-12 tahun.

Pada kasus II dan IV, saudarasekandung dari anak autis belum mampumengemukakan perasaan mereka mengenaisesuatu, karena mereka akan menunjukkanperasaan mereka melalui tingkah laku.Mereka belum mampu memahamikebutuhan khusus saudara sekandung yangmenyandang autisme, tetapi mereka sudahdapat memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut. Mereka terlihatmenyenangi saudara sekandung merekakarena mereka belum belajar untuk menjadijudgemental, dan perasaan mereka terhadapsaudara autis mereka sama selayaknyadengan saudara sekandung yang normal.Kesamaan karakteristik saudara sekandungpada kasus II dan IV terjadi karena merekamemiliki usia dalam rentang yang sama, yaituusia pra sekolah antara usia 0-5 tahun(Schubert, 1996).

2. Bagaimana Pengaruh/Dampak

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi

Page 14: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 200698

yang menarik garis batas kaku antara sifat-peran laki-laki dan perempuan.

SIMPULAN

Berdasarkan temuan-temuan di atas,kiranya dapat ditarik 2 kesimpulan utamasebagai berikut. Pertama, sebagai wargamasyarakat Timur atau non-Barat padaumumnya yang cenderung berorientasikolektivistik, ada indikasi bahwa secaraumum subjek dengan latar belakang etnikyang berlainan, meliputi Jawa, Tionghoa,Dayak, Batak, Sunda, Ambon, Bali, Betawidan Flores, memiliki konstrual-diri yanginterdependen. Beberapa ciri pentingnyaantara lain: (1) kesadaran bahwa secarafundamental manusia saling tergantung: diriadalah bagian dari sebuah jaringan relasisosial entah berupa keluarga, marga, suku,dan sebagainya; akibatnya (2) dirimendasarkan tingkah lakunya tidak padainner self-nya melainkan pada persepsinyatentang pikiran, perasaan, dan harapanorang-orang lain yang berada dalam jaringanrelasi sosial itu; dengan kata lain (3)keanggotaan dalam suatu kelompokmenjadi aspek sentral identitas diri. Namundi antara subjek dengan latar belakang etnikyang berlainan itu sendiri, kecenderunganmemiliki konstrual-diri interdependen inipaling nyata di kalangan subjek Jawa.Temuan ini bisa dijelaskan dari fakta bahwapenelitian ini dilakukan di Yogyakarta, salahsatu pusat masyarakat dan kebudayaan Jawa.Artinya, dalam penelitian ini subjek Jawamerupakan penduduk lokal sedangkansubjek non-Jawa merupakan pendatang.Kendati secara relatif sama-sama memiliki

konstrual-diri yang interdependen, namunkarena kelompok-kelompok etnik non-Jawa ini rela meninggalkan basis kulturalmereka untuk merantau ke Yogyakartasedangkan kelompok Jawa berada di dalambasis kultural mereka sendiri, bisa dipahamibahwa kelompok non-Jawa memiliki kadarinterdependensi lebih rendah dibandingkankelompok Jawa. Strategi pembandinganseperti ini bisa dibenarkan sebab seperti bisadisimpulkan dari pernyataan Brown &Kobayashi (2002), cara terbaik untukmenguji kecenderungan tertentu pada wargasuatu kebudayaan adalah dengan melakukanperbandingan antar warga yangbersangkutan, dalam hal ini antar sesamawarga budaya Indonesia.

Kedua, kendati ada indikasi bahwabaik secara umum maupun di lingkungankelompok subjek Jawa subjek perempuanmemiliki konstrual-diri yang lebihinterdependen dibandingkan subjek laki-laki,namun perbedaan ini tidak signifikan.Temuan ini bisa diinterpretasikan sebagaiindikasi kuat bahwa baik di lingkungankelompok Jawa maupun non-Jawa, subjekcenderung mulai melonggarkan diri dariikatan tradisi, khususnya dari kecenderungansex-typing tradisional yang menarik garis batastegas antara sifat laki-laki dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Brislin, R.W. (1970). Back translation forcross-cultural research. Journal of Cross-Cultural Psychology, 1, 185-216.

Brown, J.D. & Kobayashi, C. (2002). Self-enhancement in Japan and America.

Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa

123

studi kasus eksplanatoris, sesuai dengan tipepertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitianini berfokus pada pertanyaan-pertanyaan“bagaimana” dan “mengapa”, berkaitandengan luas kontrol peneliti terhadapperistiwa perilaku, dimana peneliti tidakdapat mengkontrol secara ketat peristiwaperilaku yang terjadi, sementara fokuspenelitian ini adalah pada peristiwakontemporer (kini) bukan historis.

Subjek PenelitianSubjek dalam penelitian ini adalah

saudara sekandung dari penderita autisme,dimana saudara autis mereka telah mengikutiterapi minimal selama 3 bulan.

Metode Pengumpulan DataPengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metodewawancara da observasi. Penelitian inimenggunakan metode observasi untukmengamati perilaku atau keadaan subjekpenelitian ketika sesi konseling sedangberlangsung. Tujuan dilakukannya observasiadalah sebagai crosscheck terhadap hal-halyang diungkapkan oleh subjek penelitiansecara verbal. Teknik wawancara yangdigunakan adalah wawancara mendalamdengan pedoman umum.

Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teknikpenjodohan pola (pattern matching) danpembuatan eksplanasi (expalantion building).Logika penjodohan pola (pattern matching)merupakan membandingkan pola yangdidasarkan atas empiri dengan pola yang

diprediksikan (atau dengan beberapaprediksi alternatif). Jika kedua pola ini adapersamaan, hasilnya dapat menguatkanvaliditas internal studi kasus yangbersangkutan (Yin, 2002). Setelah dilakukanpenjodohan pola, maka langkah analisis datadilanjutkan dengan melakukan pembuataneksplanasi untuk membuat penjelasanmengenai kasus yang bersangkutan.Prosedur pembuatan eksplanasi merupakanmetode yang relevan untuk studieksplanatoris (Yin, 2002).

Penjelasan dan analisis atas kasus dalampenelitian ini dilakukan baik untuk kasustunggal dari keempat kasus dalam penelitianini, maupun analisis lintas kasus, sehinggadiperoleh suatu inferensi penting mengenaisaudara sekandung dari anak autis danperan mereka dalam menunjang terapi yangdilaksanakan bagi saudara autis mereka.Pada analisis lintas kasus ini, akan dilakukananalisis terhadap keempat kasus yang adadikaitkan dengan rumusan masalahpenelitian. Analisis akan dibagi dalam limaaspek, yaitu bagaimana persepsi/penilaiansaudara sekandung terhadap perilaku anakautis, bagaimana pengaruh/dampakperilaku anak autis terhadap saudarakandung, bagaimana dampak terapiterhadap anak autis di rumah bagi saudarakandung, bagaimana dampak terapi dirumah oleh orang tua pada anak autisterhadap perhatian orang tua pada saudarasekandung dan bagaimana peran saudarakandung dalam proses terapi bagi anakautis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tri Kurniati Ambarini

Page 15: 1 / 4 - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/downloadfull/INSAN1029-8a1f1329a3fullabstract.pdfH.C. Triandis, (1990). Multimethod probes of individualism and collectivism. : Journal

INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006INSAN Vol. 8 No. 2, Agustus 2006 99

Asian Journal of Social Psychology, 5, 145-168.

Greenfield, P.M. (2000). Three approachesto the psychology of culture: Wheredo they come from? Where can theygo? Asian Journal of Social Psychology, 3,223-240.

Heine, S.J., Lehman, D.R., Markus, H.R., &Kitayama, S. (1999). Is there a universalneed for positive self-regard?Psychological Review, 106, 766-794.

Hui, C.H., & Triandis, H.C. (1986).Individualism-collectivism. A study ofcross-cultural researchers. Journal ofCross-Cultural Psychology, 17, 225-248.

Kurman, J. (2001). Self-enhancement. Is itrestricted to individualistic cultures?Personality and Social Psychology Bulletin,27, 1705-1716.

Magnis-Suseno, F. (1985). Etika Jawa.Jakarta: Gramedia.

Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Cultureand the self: Implications for cognition,emotion, and motivation. PsychologicalReview, 98, 224-253.

Moghaddam, F.M. (1987). Psychology in thethree worlds. As reflected by the crisisin social psychology and the movetoward indigenous Third-Worldpsychology. American Psychologist, 42,912-920.

Mulder, N. (1984). Kebatinan dan hidup sehari-hari orang Jawa. Kelangsungan danperubahan kulturil. Jakarta: Gramedia.

Singelis, T.M. (1994). The measurement ofindependent and interdependent self-construals. Personality and SocialPsychology Bulletin, 20, 580-591.

Supratiknya, A. & Yeni Siwi Utami (2006).Penelitian pendahuluan tentang konstrual-diri mahasiswa Universitas Sanata Dharma.Laporan penelitian, tidakdipublikasikan.

Triandis, H.C., McCusker, C., & Hui, C.H.(1990). Multimethod probes ofindividualism and collectivism. Journalof Personality and Social Psychology, 59,1006-1020.

A. Supratiknya

122

merasa bersalah karena dirinya tidakmengalami gangguan.

Respon-respon tipikal yangdiperlihatkan anak-anak usia ini adalahmereka menolong secara berlebihan danbertingkah laku sangat baik atau sebaliknya,menjadi amat sangat tidak patuh untukmenarik perhatian orang tua. Sepanjangrentang usia sekolah ini, anak-anak akanmemiliki perasaan yang bertolak belakangmengenai saudara autis mereka. Hal yangsama juga ditemukan pada interaksi antarasaudara sekandung yang normal.

3. Remaja(Usia 13-17 tahun)

Remaja memiliki kemampuan untukmemahami penjelasan yang lebih terperincimengenai gangguan yang dialami olehsaudaranya. Mereka akan menanyakanpertanyaan yang detil dan provokatif. Tugasperkembangan pada masa remaja adalahmulai mencari jati diri di luar bagian darisuatu keluarga. Pada saat yang sama,konformitas dengan teman-temanpermainan sebaya juga amat penting. Olehkarena itu, bagi anak-anak di usia ini,memiliki saudara sekandung yang berbedamungkin akan menjadi sesuatu yangmemalukan di depan teman-teman ataupacar. Mereka merasa perasaannya terbagidua antara hasrat untuk mandiri dari keluargadengan mempertahankan hubungan yangkhusus dengan saudara sekandung. Merekamungkin akan kesal terhadap pemberiantanggung jawab dan mereka akan mulaimengkhawatirkan masa depan saudara autismereka tersebut.

Saudara sekandung (sibling) telah

menjadi fokus penelitian dan pelayananmengenai autisme dalam berbagai cara.Schriebman, O’neill dan Koegel (dalamdalam Meyer & Vadasy, 1996)mengembangkan metode tingkah laku yangmengajarkan saudara sekandung untukbekerja sama dengan saudara autis mereka.Keterampilan-keterampilan yang diajarkanini berupa kegiatan rutin sehari-hari seperticara menggunakan kamar mandi, memesanmakanan di restoran dan lain-lain.Keterampilan yang diajarkan saudarasekandung kepada penyandang autisme inidiharapkan dapat mereka generalisasikan kedalam setting lain. Misalnya, jika seorangpenyandang autisme telah dapatmenggunakan kamar mandi di rumahnya,diharapkan ia dapat menggunakan kamarmandi di tempat lain seperti sekolah. Jikaseorang penyandang autisme telah memilikiketerampilan untuk memesan makanan direstoran cepat saji tertentu, diharapkan iatidak kesulitan memesan makanan direstoran lain yang sejenis.

Permasalahan yang hendak dikajidalam penelitian ini adalah bagaimanapersepsi/penilaian saudara sekandungterhadap perilaku anak autis, bagaimanaperan saudara sekandung dalam prosesterapi bagi anak autis, bagaimana dampakterapi terhadap anak autis di rumah bagisaudara sekandung dan bagaimana dampakterapi di rumah oleh orang tua pada anakautis terhadap perhatian orang tua padasaudara sekandung.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

Saudara Sekandung dari Anak Autis dan Peran Mereka dalam Terapi